Pencarian

Badai Selat Malaka 1

Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide, hanya ke-
betulan belaka BADAI SELAT MALAKA Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
1 Bila dia memandang pada hamparan laut luas
yang terbentang di hadapannya. Maka hanya satu saja yang ada di dalam hatinya,
tentang gurunya yang tak pernah dia lupa. Si Bangkotan Koreng Seribu, manusia
sakti yang hidup selama ratusan tahun. Padanya dia
pernah berhutang segala-galanya yang tak mungkin
terbayar walau sampai kapanpun. Padanya dia sering
menyimpan rindu, padanya dia selalu ingin bertemu
lalu berkumpul kembali. Tapi, akh... sedalam apapun kerinduannya pada kakek
sakti itu. Untuk bertemu ra-sa-rasanya sangat tidak mungkin, kakek yang memiliki
perangai sangat aneh itu sudah pasti akan marah padanya, petualangannya masih
belum berakhir. Jalan
hidup yang akan dilalui masih terlalu panjang dan
sangat melelahkan.
Kini satu-satunya harapan yang masih terus
membuncah di hatinya adalah ingin bertemu dan
mencari ayahandanya. Raja Ular Piton Utara dari nege-ri alam gaib (Negeri
Bunian). Namun setelah bertahun-tahun melakukan petualangan, ke mana pun dia
men- cari, masih belum juga bertemu dengan orang yang telah menyebabkan kehadirannya
di dunia ini. Menurut si Tangan Setan yang tinggal di Pulau
Bidadari (Dalam Episode: Kembalinya si Tangan Se-
tan). Perempuan sakti itu merupakan penunggu perta-
paan Raja Piton Utara. Dia tahu banyak tentang ayahnya, sialnya dalam
pertarungan dengan lawan-
lawannya, gadis itu lenyap begitu saja bahkan dia sendiri kehilangan jejak untuk
mengikuti perempuan ber-tangan sakti tersebut.
Terkadang kalau mengingat tentang nasibnya
yang sebatang kara, dia menjadi sangat sedih sekali.
Selanjutnya bagai seorang penyair saja layaknya
dia pun berkata pada dirinya sendiri:
Kepada nasib yang selalu tak pernah
berfihak pada kaum yang lemah.
Manusia terlahir sebagai penyebar
malapetaka di mana-mana.
Manusia ingin berkuasa atas diri
manusia yang lain
Harta benda selalu menjadi tolak ukur
dalam menentukan tinggi rendahnya
derajat hidup seseorang.
Di atas penderitaan kaum yang lemah.
Mereka menari-nari
Oh.... Kepada raja yang berkuasa di mana pun,
lihatlah apa yang terjadi di bawah sana....
Lihat pula bumi hidup dan
telah enggan menyapa
Jangan pula mata pedang ikut bicara
Karena mereka juga masih seorang manusia.
Sampai di situ Buang Sengketa atau yang lebih
kita kenal sebagai Pendekar Sakti Hina Kelana nampak terdiam. Selanjutnya tepuk-
tepuk jidatnya sendiri.
"Goublok, mengapa bicaraku sampai ngelantur
tak karuan. Aku sendiri hidup dalam ketidakmenen-
tuan. Mengapa harus ku pikirkan orang lain, dasar
sinting!" makinya seorang diri.
Selanjutnya pemuda berwajah sangat tampan itu
mengitarkan pandangan matanya ke segenap penjuru
laut. Sejauh-jauh mata memandang, hanya kebiruan
air laut saja yang menampak di depan sana.
"Hemm. Mungkinkah sebaiknya saat ini juga aku
menyelam di dalam laut itu. Tapi sejauh manakah
daya tahan ku untuk berenang di dalamnya. Mungkin-
kah Pati Rasa dapat mengatasi kesulitan yang aku
alami" Ah, sebaiknya aku coba saja, siapa tahu ke-
mungkinan itu masih dapat kumiliki..." batinnya, selanjutnya untuk beberapa saat
lamanya dia nampak
terdiam. Lalu terdengar pula dari bibirnya mengeluarkan bunyi mendesis bagai
seekor anak ular yang ingin menemukan kedamaian di sisi orang tuanya. Menyertai
suara desisan itu, mulut Pendekar Golok Buntung itupun berkomat-kamit. Lalu dari
bagian tubuh dan
terlebih-lebih pada bagian ubun-ubunnya, nampak pu-
la mengepul kabut putih. Tubuh pendekar keturunan
Raja Negeri Alam Gaib itupun menggeletar, se-kejab
saja tubuhnya pun telah bermandikan keringat. Mula-
mula dari bagian kakinya terasa kebas, semakin lama semakin tak terasa sama
sekali, selanjutnya rasa ke-semutan itu menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.
Buang Sengketa merasakan tubuhnya bagaikan
mati, semua indera yang dimilikinya seolah bagai sudah tiada berfungsi lagi.
Ringan tubuhnya tak melebihi dari kapas yang diterbangkan angin. Kenyataan yang
lebih jauh lagi, Buang Sengketa telah lebih berani melangkah satu tingkat di
atas ajian Pati Rasa. Yaitu ajian Tinggal Rogo yang sesungguhnya merupakan
sebuah ilmu langka yang dulu pernah diajarkan oleh gurunya si Bangkotan Koreng
Seribu (Dalam Episode:
Utusan Orang-Orang Sesat). Ajian itu sesungguhnya
tidak dapat dipergunakan secara sembarangan. Sebab, secara umum diketahui bahwa
siapa pun yang memilih
ajian Tunggal Rogo, dan mempergunakan ajian terse-
but. Itu sama saja artinya, perpisahan sementara antara jasad dan roh. Semuanya
dapat berlangsung dalam
waktu-waktu tertentu lamanya. Atau tak akan lebih
dari satu jam saja, dan itupun dengan satu ketentuan tak ada orang lain yang
mengganggu jasad yang diting-
galkannya. Dan Buang Sengketa nampaknya telah be-
gitu berani mengambil satu keputusan yang memiliki
resiko yang sangat besar. Semua itu dia lakukan
hanya demi orang yang paling dia rindukan sepanjang hidupnya yang pernah dia
lalui. Saat itu posisi Pendekar Hina Kelana dalam kea-
daan tegak bagaikan arca. Wajahnya dengan matanya
yang terpejam itu memandang ke laut lepas. Sedang-
kan kesadarannya adalah antara ada dan tiada. Secara perlahan namun cukup pasti
rohnya mulai bergerak
meninggalkan raganya.
Semakin lama rohnya telah pula mengambang
jauh, selanjutnya secara cepat laksana kilat roh itu melayang, menuju ke sebuah
tempat dan mencari-cari
ke alam dasar laut. Tapi roh Buang Sengketa pada akhirnya harus terperangah,
begitu sosok yang sama
menghadang di depannya. Sosok roh itu begitu sangat dikenalnya, dia memandang
pada Pendekar Hina Kelana, selanjutnya menyunggingkan senyum mencibir.
Namun semua itu hanya sekejapan saja. Sebab tak
lama kemudian roh yang tak lain merupakan gurunya
sendiri sudah menegurnya dengan kemarahan yang te-
ramat sangat. "Buang Sengketa, murid konyol dan tolol. Apakah kau ingin mati dengan ketololan
mu itu" Jasad mu
kau tinggalkan begitu saja, padahal alam dunia penuh dengan kekerasan dan
kelicikan. Bagaimana nanti kalau jasad mu yang bagaikan patung goblok itu
digotong orang, atau mereka cincang menjadi dendeng. Kema-nakah kau akan
kembali" Bocah geblek! Ajian Mati
Rogo yang kau miliki itu belumlah sempurna benar,
mengapa kau malah menyiksa batin dan raga mu sen-
diri. Cepat kau kembali ke raga mu, sebelum orang
lain menemukan tubuhmu kemudian membuangnya
ke laut...!" kata roh si Bangkotan Koreng Seribu mem-
beri peringatan.
"Guru...! Ammpuuun... murid ingin bertemu den-
gan ayahanda, hanya cara inilah jalan satu-satunya
yang dapat kutempuh agar aku bisa sampai padanya!"
katanya, selanjutnya roh Buang Sengketa berlutut di depan roh si Bangkotan
Koreng Seribu. "Murid tolol, berjumpa dengan ayahmu bukan
dengan cara begini, bapak moyangmu bisa menendang
mu sampai babak belur andai kamu berani-berani me-
nyiksa jasad mu sendiri. Cepat kau kembali, atau kau ingin aku menggebuk mu?"
tanya si Bangkotan Koreng Seribu.
"Ba... ba... baiklah, Guru... tapi tolong katakan padaku mengapa guru bisa
sampai ke alam yang sekarang sedang ku telusuri ini...?" tanya roh Buang
Sengketa, merasa sangat penasaran sekali. Roh si Bangkotan Koreng Seribu terdiam
beberapa saat lamanya. Selanjutnya dia pun berkata pelan namun tanpa kehilangan
wibawa. "Bocah tolol, setelah ku nanti sekian tahun lamanya. Ternyata kau terlalu lama
mengembara. Tapi
aku senang karena apa yang kuberikan padamu telah
kau pergunakan pula untuk jalan kebenaran. Tapi kau juga harus ingat, hidupku
selama seratus delapan puluh tahun. Adalah usia yang sangat renta untuk ber-
tahan hidup. Buang... sungguh ini merupakan sebuah
pertemuan yang konyol dan paling tidak aku sukai.
Bocah... aku sudah meninggalkan dunia mu lebih dari setahun yang lalu...!"
Maka tak dapat dicegah lagi, demi mendengar
ucapan gurunya. Buang Sengketa menjadi tersentak
kaget. Kedua bola matanya terbelalak ke luar, serta merta dia pun menangis
sejadi-jadinya.
"Ahik... ahuk...! Guru, mengapa kau harus mati terlebih dulu, kau kan tahu kalau
muridmu yang tolol
ini belum dapat membalas segala kebaikan yang per-
nah kau berikan padaku. Bagaimana ini, Guru..."!"
tanya Buang Sengketa sesenggukan.
Roh si Bangkotan Koreng Seribu tertawa tergelak-
gelak, wajahnya yang selasam itu semakin bertambah
kusam saja. "Murid sinting, percuma saja setelah berkelana sekian tahun ternyata bukan
bertambah pengalaman-mu. Tetapi malah sebaliknya. Goblok dan bego, tahu-
kah kau bahwa aku hidup damai di alamku. Jangan
kau hiraukan segala macam balas jasa. Tapi kuminta
secepatnyalah kau kembali ke jasad mu, setelah itu
pergilah ke tempat tinggalku di Tanjung Api. Beberapa golongan persilatan
tingkat tinggi, sedang bergerak ke sana. Dengan tujuan ingin memiliki kitab-
kitab jurus Golok Buntung yang terakhir kuciptakan untukmu."
kata roh si Bangkotan Koreng Seribu.
"Tapi, bagaimana persoalanku ingin bertemu
dengan ayahanda! Guru telah pergi meninggalkan du-
nia. Guru bilang, guru cukup bahagia di sana, tapi di alam dunia muridmu ini
menderita, bagaimana kalau
aku ikut dengan kakek saja...?" tanya roh Buang Sengketa. Dan pertanyaan yang
konyol ini sudah barang tentu membuat roh si Bangkotan Koreng Seribu
semakin bertambah masam saja.
"Dengan ajian Tinggal Rogo yang cuma setahi ku-ku itu, kau secara sembrono mau
meninggalkan dunia
mu" Kau tinggalkan jasad mu... sungguh satu tinda-
kan yang sangat ceroboh kau mengambil satu keputu-
san yang tidak pada tempatnya. Kau harus banyak be-
lajar, Buang Sengketa. Belajar dalam segala banyak
hal yang pada akhirnya membuat seseorang itu dapat
bertindak lebih dewasa. Apakah kau mengerti dengan
segala apa yang kukatakan itu..." Dan engkau jangan sekali-kali mencoba
menyalahi kodrat, Sang Hyang
Widi bisa murka padamu. Sekarang juga kau harus
kembali ke jasad mu. Kalau tidak para bajak laut yang melihat yang sudah berada
sangat dekat dengan tubuhmu di pinggiran pantai itu akan segera menggo-
tongnya ke laut...!" katanya. Membuat roh Pendekar Hina Kelana menjadi ciut.
"Baiklah, Guru.... Aku akan segera kembali ke
dalam jasad ku...!" Setelah berkata begitu dan menghaturkan sembah. Roh Buang
Sengketa secepatnya me-
layang kembali mendekati jasadnya yang masih tetap
terpacak di tempatnya.
Namun baru saja dia hampir sampai pada jasad-
nya mendadak dari semak-semak belukar bermuncu-
lan beberapa sosok tubuh bertelanjang dada. Di pinggang mereka menggelantung
sebuah senjata yang be-
rupa sebilah pedang yang sangat pendek. Mereka yang berjumlah tidak lebih dari
tujuh orang itu langsung mendekati jasad Buang Sengketa yang berdiri terpacak
bagaikan arca. Roh Buang Sengketa menjadi kebat kebit, dan
sebelum mereka yang ada di situ sempat bertindak sesuatu, laksana kilat roh
Pendekar Hina Kelana kembali memasuki jasadnya. Begitu semuanya telah menyatu
kembali, maka tubuhnya pun bergerak-gerak lalu ke-
dua matanya yang mengatup itupun membuka. Kenya-
taan itu sudah barang tentu membuat kejut hati mere-ka yang ada di situ.
"Kupret. Dia bukan arca...!"
"Kubilang tadi juga begitu, coba kalau tadi cepat-cepat pereteli harta bendanya.
Pasti resikonya tidak terlalu besar...!" Menyela salah seorang laki-laki
berbadan kurus dengan kumisnya yang jarang-jarang. Dan
sesungguhnya mereka yang berjumlah tujuh orang itu
kesemuanya memiliki badan kurus kering.
"Kalian mau apa...?" tanya Buang Sengketa tanpa
mengalihkan perhatiannya dari laut yang membentang
di hadapannya. Ketujuh orang itu saling berpandangan sesa-
manya, lalu derai tawa mereka pun berhamburan me-
ningkahi suara deburan ombak yang menghempas di
pantai. "He... he... he....! Bocah, kirain kau arca yang berharga. Eee... tak taunya
cuma seorang gembel yang lagi ketiduran. Sialan betul...!" maki salah seorang
dari mereka. "Tapi... jangan tergesa-gesa mengambil keputu-
san, Sobat. Siapa tau di dalam periuk bututnya dia
menyimpan harta benda yang berharga. Lumayan kan
untuk menyambung hidup sampai esok hari...!"
Pemuda dari Negeri Bunian ini yang sejak semula
berusaha menahan kesabarannya, kini menjadi naik
pitam.

Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** 2 "Ha... ha... ha...! Harta benda" Hemm, memang
betul. Di dalam periukku ini ada ku simpan emas dan permata. Kalau kalian mau,
ambillah...!" kata pemuda itu sembari mengembangkan kedua tangannya.
Kata-kata Pendekar Hina Kelana yang hanya ber-
pura-pura itu ternyata membuat para bajak laut ber-
badan kurus kerempeng itu jadi jejingkrakan. Mereka mengira apa yang dikatakan
oleh Buang Sengketa adalah benar adanya. Maka dengan keangkeran yang di-
buat-buat salah seorang di antaranya membentak:
"Lekas kau serahkan periuk yang berharga itu
pada kami, kalau tidak...!"
"Kalau tidak kalian bisa berbuat apa, Cacing kurus...?" tanya pendekar ini lalu
tersenyum mengejek.
Geram bukan main para bajak laut itu dibuatnya.
Lalu tanpa basa basi lagi mereka segera mencabut pedang pendek yang terselip di
bagian pinggangnya.
"Criiing! Cruuk...!"
"Wah para cacing ingin minta di gebuk. Kasihan badan kurus begitu, kalau sekali
ku pukul tulang belulangnya pasti pada remuk...!"
Belum lagi Buang Sengketa usai dengan kata-
katanya, secara serentak mereka sudah mengurung
pemuda itu dengan serangan-serangan yang sangat
mematikan. Sungguhpun badan mereka kurus tinggal
kulit pembalut tulang, namun para bajak laut itu memiliki tenaga yang sangat
besar sekali. Bahkan jurus-jurus pedang Bajak Laut Menggulung Mangsa, keliha-
tan benar-benar sebuah jurus pedang yang oleh Pen-
dekar Hina Kelana dinilai sangat berbobot.
Namun betapapun hebatnya mereka ini, tapi
Pendekar Hina Kelana bukanlah seorang lawan yang
dapat dianggap ringan. Selama malang melintang da-
lam dunia persilatan hanya beberapa gelintir tokoh
persilatan saja yang dapat menandingi kesaktian yang dimilikinya. Itupun pada
akhirnya harus mengakui
keunggulan pendekar itu, setelah Pusaka Golok Bun-
tung dan Cambuk Gelap Sayuto ikut bicara. Sungguh-
pun dia merupakan seorang tokoh muda dan masih
terhitung baru beberapa tahun saja turun dalam dunia persilatan. Tetapi banyak
orang merasa gentar bila
berhadapan dengan dirinya.
"Haeees...! Cacing kurapan...!" makinya begitu salah sebuah pedang lawannya
sempat membabat bebe-
rapa helai rambutnya yang berkibar-kibar. Maka den-
gan perasaan kesal, tubuhnya pun berkelebat cepat.
Tak ayal lagi, begitu menghadapi serangan ganas yang
datangnya bertubi-tubi. Pemuda ini pun cepat-cepat mempergunakan jurus silat
tangan kodong, Membendung Gelombang Menimba Samudra. Menghadapi pe-
rubahan dan gerakan-gerakan kaki dan tangan secepat itu. Nampaknya para bajak
laut itu dibuat bingung untuk beberapa saat lamanya. Namun keadaan itu tidak
berlangsung lama ketika detik berikutnya, salah seorang yang jadi pimpinannya
berseru lantang.
"Kutu kampret! Bocah gombal amoh ini kiranya
punya kebisaan juga. Anak-anak cepat pergunakan ju-
rus Bajak Laut Memenggal Kepala Bangau...!" teriaknya memberi aba-aba semua anak
buahnya. "Wuuut!"
"Sialan...!" maki pemuda itu, sambil mengkelit tusukan pedang yang datangnya
secara beruntun itu.
Baru saja dia terlepas dari sergapan yang perta-
ma, mendadak sebelum dia sempat menarik napas, se-
rangan berikutnya datang menggebu. Buang Sengketa
coba-coba kirim-kan satu sapuan mengarah pada ba-
gian ba-wah yang lowong. Nampaknya orang-orang itu
tiada menyadari adanya serangan yang sangat menda-
dak itu. "Plook! Kraaak...!"
"Argggkh...!" Tiga orang pembajak terjengkang tubuhnya. Sementara kaki mereka
nampak patah akibat tersapu tendangan kaki Buang Sengketa yang teraliri tenaga
dalam. "Kurang asem...! Nguuuung...!" maki kepala bajak laut, sambil babatkan
pedangnya. Andai saja Buang tidak cepat-cepat menundukkan kepalanya, sudah ba-
rang tentu kepala akan terputus terbabat pedang.
"Bangsat! Terimalah ini...!" Sambil berteriak begitu, Buang Sengketa
berjumpalitan. Selanjutnya tu-
buhnya melentik bagaikan seekor udang sungai meng-
hindari terjangan mata pedang yang dibabatkan oleh
keempat lawannya.
"Mampuslah. Wuuut...!"
Saat tubuh pendekar ini menukik ke bawah, dia
telah kirimkan pukulan Empat Anasir Kehidupan yang
menebarkan hawa panas yang sangat luar biasa itu.
Selanjutnya selarik Sinar Ultra Violet yang dilepaskan oleh Buang Sengketa
menggerung memapaki datangnya kilatan pedang yang dilakukan oleh lawan-
lawannya. "Beeees! Praaang...!"
Keempat orang itu terpental tubuhnya sampai
puluhan tombak, tiga di antaranya menabrak beberapa batang kayu api. Dan tak
ampun lagi dalam keadaan
tubuh hangus, tulang belulang mereka pun berpata-
han. Tiada erangan maupun jeritan yang terdengar,
sementara itu yang jadi pimpinannya nampak tersuruk ke dalam pasir. Keadaan yang
dideritanya pun tak lebih baik dari apa yang dialami oleh kawan-kawannya.
Darah kental menggelogok dari bibirnya, semen-
tara kedua matanya memandang jeri pada lawan yang
tetap berdiri tegak tanpa kekurangan sesuatu apapun.
Sesungging seringai menghiasi bibir Buang Sengketa, tapi tiada hawa pembunuhan
yang terpancar di bola
matanya. "Cacing kurus... cepat-cepatlah merat dari hadapanku sebelum aku berobah
pendirian...!" bentak Pendekar Hina Kelana.
Bentakan yang disertai tenaga dalam itu, nam-
paknya cukup berpengaruh bagi kepala bajak dan ke-
tiga kawannya. Dengan terbata-bata mereka menya-
hut. "Ba... baiklah... pendekar! Kau memang hebat, kami mengaku kalah...!"
katanya hampir bersamaan.
Lalu dengan langkah tergesa dan kaki terpin-
cang-pincang, orang itupun cepat-cepat bergegas me-
ninggalkan Buang Sengketa yang saat itu juga telah berlari sangat cepat menuju
Tanjung Api tempat ke-diaman gurunya si Bangkotan Koreng Seribu. (Dalam
Episode: Utusan Orang-Orang Sesat).
Begitu cepat sekali gerakannya, karena pada saat
itu dia telah pula mengerahkan ilmu lari cepatnya yang diberi nama Ajian Sepi
Angin. Tak ayal lagi kalau
hanya dalam waktu sekedipan mata pemuda dari Ne-
geri Bunian itu telah lenyap dari pandangan mata,
* * * Bara Seta adalah merupakan seorang Ketua Per-
guruan Candak Ginaka yang selama ini bermukim di
Lubuk Sikaping, daerah bagian Barat Tanjung Api!
Murid-muridnya tidak banyak, hanya berjumlah
belasan orang saja. Namun sungguhpun begitu, mu-
rid-muridnya yang hanya berjumlah lima belas orang
itu, merupakan murid yang pilih tanding. Selama Bara Seta selalu mendidiknya
dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya. Sehingga mereka menjadi murid-
murid yang berkepandaian tinggi. Beberapa tahun be-
lakangan dia telah pula menjalin hubungan yang san-
gat baik dengan Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Den-
gan orang tua yang sakti mandraguna itu dia diangkat sebagai seorang anak. Itu
makanya begitu mendengar
tentang kabar kematian si Bangkotan Koreng Seribu,
yang agak terlambat sampai padanya. Bara Seta sejak dua hari yang lalu sudah
melakukan perjalanan ke
daerah Tanjung Api.
Tujuannya sudah jelas ingin menyelamatkan se-
mua peninggalan orang tua angkatnya itu dari tangantangan orang yang bermaksud
menguasainya. Seperti
yang diketahui, dalam beberapa purnama terakhir, si
Bangkotan Koreng Seribu telah menciptakan sebuah
kitab jurus-jurus Koreng Seribu untuk seorang muridnya yang selama ini sedang
melakukan pengembaraan
dalam mencari ayahandanya. Bara Seta masih ingat,
kala dalam keadaan sakit-sakitan bapak angkatnya itu pernah berkata padanya.
"Bara Seta...! Hidup selama seratus delapan puluh tahun. Sesungguhnya aku ini
sudah sangat letih, dan pada saatnya aku juga akan kembali pada Sang
Hyang Widi. Tubuhku sudah lapuk, dan dalam usia
yang menjelang malam ini. Aku telah menciptakan ju-
rus-jurus silat Koreng Seribu untuk kuwariskan pada si Hina Kelana murid
tunggalku itu...!" katanya dalam sisa-sisa kelelahan yang menggurat di wajahnya
yang keriput. Masih teringat oleh Bara Seta saat itu Kakek Bangkotan Koreng
Seribu menyambung lagi. "Sebenarnya aku sudah sangat rindu pada murid geblek
itu. Tapi salahku sendiri, dulu aku pernah memberi perintah padanya agar tidak segera
kembali. Sebab aku ingin agar dia menimba pengalaman sebanyak-
banyaknya di dunia luar sana agar pengalaman yang
didapatnya membuat dia menjadi lebih dewasa. Na-
mun terkadang sebagai seorang guru dan ayah ang-
katnya, ada perasaan tak tega melihat dia pergi begitu jauh dariku. Tahukah kau
bahwa muridku itu terkadang selalu terlambat untuk mengambil keputusan
maupun tindakan yang sesungguhnya sangat perlu
untuk menjaga keselamatan dirinya. Aku suka merasa
kasihan padanya. Sejak kecil dia telah ditinggal mati oleh ibunya, aku yang
menemukan dirinya dalam keadaan terombang ambing di permainkan Badai Selat
Malaka di atas sebuah kotak yang membawanya dalam
sebuah perjalanan yang sangat menyedihkan...!"
"Lalu bersama bapak dia tinggal di sini?" tanya Bara Seta saat itu.
"Betul, aku juga telah mengajarkan segala sesua-tu yang menjadi milikku selama
aku malang melintang dalam dunia persilatan dulu. Kalaupun hari ini aku
memanggilmu, Bara Seta, tak lain karena aku ingin
menyampaikan satu rahasia yang nantinya harus kau
sampaikan pula pada si Buang Sengketa...."
"Rahasia apakah itu, Bapak...?" tanya Bara Seta yang telah berumur tak kurang
dari lima puluh empat tahun itu penuh perhatian.
Si Bangkotan Koreng Seribu menarik nafasnya
pendek: "Aku telah menyimpan sebuah kitab terakhir hasil ciptaanku, yang kuberi
nama Jurus-jurus Koreng Seribu. Kitab itu telah kusimpan di sebuah karang gua
yang terdapat di jajaran karang yang sangat banyak
itu. Murid tunggalku itu pasti mengetahui di gua karang yang mana telah kusimpan
kitab itu. Pesanku,
andai umurku tak sampai hingga menjelang Buang
Sengketa kembali ke Tanjung Api ini. Maka jagalah
tempatku ini dari tangan orang-orang yang mempunyai keinginan tak baik. Akan
celakalah dunia persilatan andai saja kitab ciptaanku yang terakhir itu sampai
jatuh ke dalam golongan orang-orang yang sesat...!"
"Tapi, Bapak. Mungkinkah murid yang telah lama mengadakan pengembaraan itu akan
segera kembali lagi ke sini...?" tanya Bara Seta kala itu.
Kakek berwajah murung itu, nampak tersenyum.
Sebuah senyum enggan yang Menandakan rasa malas
dari usianya yang telah lanjut.
"Aku yakin dia pasti akan kembali pada gurunya, kalau pun tidak maka aku yang
akan memanggilnya
pulang...!"
"Baiklah, aku akan mengingat pesan-pesan ba-
pak, dan mudah-mudahan aku tidak akan mengece-
wakan harapan bapak...!"
"Ingat, selamatkan dan pertahankanlah tempat
ini sampai muridku si Buang Sengketa kembali ke
tempat ini...!" Pesan si Bangkotan Koreng Seribu.
Apa yang dikatakan oleh orang tua angkatnya itu
terus mengiang di telinga Bara Seta. Serta merta dia menggebrak laju kudanya,
tanpa komentar murid-muridnya pun melakukan hal yang sama.
Lebih kurang tiga jam kemudian maka mereka
sudah hampir sampai di Tanjung Api. Namun betapa
terperanjatnya mereka ketika melihat kepulan asap hitam membubung tinggi di
udara. Sesaat lamanya Bara
Seta menghentikan laju kudanya. Sementara kedua
matanya memandang pada kepulan asap yang disertai
kobaran api yang menjulang tinggi.
Seperti yang dia ketahui di pantai sekitar Tan-
jung Api tak ada penghuni lain terkecuali hanya se-
buah rumah yang merupakan tempat tinggal Kakek
Bangkotan Koreng Seribu. Dalam kegusarannya itu, ti-ba-tiba dia berseru lantang
pada murid-muridnya:
"Kebakaran! Sumber asap itu berasal dari rumah orang yang sangat aku hormati.
Anak-anak, pertahankan rumah dan seluruh yang ada di tempat tinggal
Bapak Bangkotan Koreng Seribu. Ayo kita ke sana se-
cepatnya...!" teriak Bara Seta yang sedang diliputi kegusaran yang teramat
sangat. Selanjutnya bagai dikejar-kejar setan saja, kuda-
kuda itupun melesat bagaikan anak panah yang terle-
pas dari busurnya. Akhirnya tak sampai sepemakan
sirih, sampailah mereka di Tanjung Api. Dan rombon-
gan berkuda ini lebih terperanjat lagi, karena mereka melihat di sekeliling
rumah tempat tinggal mendiang si Bangkotan Koreng Seribu. Telah dikerumuni
banyak tokoh dari berbagai aliran.
Mereka yang hadir di situ, hanya memandang se-
kilas begitu melihat kehadiran Bara Seta dan murid-
muridnya. Selanjutnya mereka kembali memandang
kobaran api yang membakar rumah tinggal si Bangko-
tan Koreng Seribu. Bahkan salah seorang di antara
mereka yang memiliki tampang sangar dengan pa-
kaiannya yang terbuat dari kulit Beruang Merah me-
nyela: "Ha... ha... ha...! Bangkotan Koreng Seribu, ternyata setelah kau mampus.
Nama besarmu yang men-
julang ke langit itu tidak ada apa-apanya. Lihatlah ru-mahmu yang kami bakar ini
saja tak menimbulkan
reaksi apa-apa. Sungguhpun mayatmu tidak kami ke-
tahui. Tapi kami puas, dan kami akan mencari kitab
ciptaanmu yang terakhir itu, sungguhpun sampai ke
lubang semut sekalipun...!" kata laki-laki itu dengan sorot matanya yang penuh
ambisi. *** 3 "Engkau pun tolol, Adi Basra Panewu, orang yang sudah mati mana bisa berbuat
apa-apa. Pula untuk
apa kita hiraukan segala macam mayatnya yang tiada
berharga dan jauh-jauh kita datang ke mari hanyalah untuk mendapatkan Kitab
Jurus-jurus Koreng Seribu


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat berharga itu...!" Menyela Sudak Pari sambil memandang pada murid-
muridnya yang berjumlah
lebih dari dua puluh orang.
Sementara itu Bara Seta dan murid-muridnya
sangar marah sekali, begitu orang-orang itu mengu-
capkan kata-kata yang bernada sangat menghina ter-
hadap orang yang paling dihormatinya. Maka begitu
melompat dari atas punggung kudanya masing-masing
orang itu langsung tunjuk hidung.
"Kepada maling-maling yang tidak di undang!
Hmm, kulihat kalian semuanya terdiri dari empat perguruan. Bangsat... kalian
telah begitu berani membakar rumah orang yang sangat kami hormati...!"
Sekejap wakil ketua Beruang Merah yang berna-
ma Basra Panewu memandang pada Bara Seta dengan
sinisnya. Lalu dia pun membentak marah:
"Keparat... begitu datang kau malah marah-
marah sedemikian rupa" Apamukah almarhum si
Bangkotan Koreng Seribu itu...?"
"Kampret. Orang tua itu merupakan ayah ang-
katku, aku sebagai anaknya wajib melindungi semua
peninggalan milik si Bangkotan Koreng Seribu...!" bantah Bara Seta lalu
gertakkan rahang.
"Oho, kiranya si Bangkotan Koreng Seribu meru-
pakan bapak moyang angkatmu. Bagus! Kalau begitu
kau pasti tahu di mana orang tua yang namanya men-
jadi momok dalam dunia persilatan itu menyimpan Ki-
tab Jurus-jurus Koreng Seribu...?" menyela Sudak Pari yang merupakan ketua
Perguruan Bruang Merah. Sementara itu beberapa perguruan yang lain hanya diam
saja, melihat perdebatan yang mulai memanas.
"Hemm. Kalian memang benar-benar bangsat sia-
lan. Sudah membakar rumahnya, kini inginkan pula
yang sesungguhnya tak pernah ada itu...!" menukas Bara Seta coba menutup-nutupi.
Tapi mana mau orang-orang Beruang Merah dan
lain-lainnya percaya begitu saja. Dari keterangan yang dapat dipercaya, hampir
menjelang akhir hidupnya si Bangkotan Koreng Seribu telah menciptakan jurus-
jurus yang paling dahsyat. Dari semua jurus silat yang pernah ada. Keterangan
itu benar-benar sangat mutlak kebenarannya, dan kalau sekarang ini, Bara Seta
mengatakan sebaliknya mereka beranggapan bahwa den-
gan begitu berarti jurus-jurus Koreng Seribu tak akan pernah terjatuh ke tangan
orang lain. Keparat betul.
Maki Sudak Pari dalam hati. Sejenak dia meneliti lawan bicaranya, sekilas rasa-
rasanya dia pernah men-
genali laki-laki enam puluhan yang berbadan gemuk
bagai karung itu. Mendadak dia tertawa tergelak-gelak.
Selanjutnya begitu tawanya usai:
"Karung kubut! melihat tampangmu rasanya kau
ini dari Lubuk Sikaping, tokoh golongan lurus yang
dulu hampir mampus di tangan Tiga Iblis dari Pulau
Berhala. He... he... he... Syukur kalau kau mau bersikap jujur padaku. Kami
pasti akan mengampuni jiwa-
mu...!" bentak Sudak Pari dengan liciknya.
"Oho... orang-orang Beruang Merah manusia se-
rakah! Bisa berbuat apakah kalian padaku. Tokh aku
sendiri merasa tak pernah bermusuhan pada siapa
pun...?" Mendengar ucapan itu, baik Basra Panewu, Su-
dak Pari maupun tiga kelompok kaum persilatan lain-
nya berseru mencemooh.
"Dasar karung bodol! Bicaramu sebakul-bakul,
kalau kau memang tak mengatakan di mana Bangko-
tan Koreng Seribu menyimpan Kitab Jurus-jurus Ko-
reng Seribu. Maka kami akan mengobrak-abrik Tan-
jung Api berikut kau dan murid-muridmu itu...!" teriak Sudak Pari, lalu meludah
ke tanah. Sudah barang tentu murid-murid Candak Ginaka
menjadi sangat marah sekali. Seperti mereka ketahui, selama ini Bara Seta adalah
orang yang paling dihormati oleh banyak orang. Bahkan seingat mereka sela-
ma ini Bara Seta adalah orang yang sering bertindak bijaksana pada siapa pun.
Tak pernah menyakiti orang lain. Mungkin seekor semut pun dia tak tega untuk
membunuhnya. "Ketua mengapa hanya diam saja! Orang-orang
itu sangat keterlaluan sekali. Baiknya kita rejam mereka beramai-ramai...!" kata
salah seorang murid dari
perguruan Candak Ginaka.
"Weii... kurang ajar betul, kau bocah pentil..."
Kurobek-robek nanti mulutmu yang tak tahu adat
itu...!" teriak salah seorang dari tiga perguruan yang diketuai oleh Lukas
Asmoro. Lalu tanpa basa-basi lagi dia sambitkan tangannya yang telah menggenggam
beberapa batang jarum perak.
"Weeer!"
Selarik sinar berwarna putih mengkilat melesat
sedemikian cepatnya mengarah pada beberapa orang
murid-murid Perguruan Candak Ginaka. Namun san-
gat mengagumkan sekali. Tanpa berkesip dari tempat-
nya berdiri, mereka segera pukulkan tangannya ke depan. Sungguh di luar dugaan
Lukas Asmoro, kalau da-
lam waktu yang sangat singkat. Jarum perak itu beberapa batang di antaranya
sempat berpelantingan dan
tak kurang tiga di antaranya membalik. Lukas Asmoro berkelit ke samping, lalu
lambaikan tangannya sehingga membuat jarum-jarum itu berjatuhan ke tanah.
"Bangsaaat! Murid-murid Perguruan Candak Gi-
naka kiranya punya kepandaian juga...! Anak-anak!
Bunuh mereka semua...!" Perintah Lukas Asmoro pada beberapa orang murid-
muridnya. Baru saja murid-murid itu hendak bergerak,
mendadak terdengar suara bentakan yang sangat me-
mekakkan gendang-gendang telinga.
"Kalian tak perlu bersusah-susah membantai
orang-orang dari Lubuk Sikaping ini. Biarkan aku yang akan membereskannya...!"
kata Basra Panewu, dan sebentar saja sudah turun ke dalam kalangan. Tak ayal
lagi murid-murid Perguruan Candak Ginaka yang rata-rata memiliki ilmu yang
sangat tangguh itupun segera mengurung Basra Panewu. Laki-laki berkumis tebal
yang merupakan wakil dari Perguruan Beruang Merah
itupun segera memainkan jurus-jurus Beruang Merah
yang sangat diandalkannya. Dalam waktu sekejap saja pertarungan yang sangat
menegangkan pun terjadilah.
Maka tinggallah perguruan lain menjadi penonton da-
lam pertarungan yang sangat seru itu.
"Hiaaa...!"
Mendadak Basra Panewu kirimkan satu tendan-
gan dan satu cakaran memapaki datangnya serangan
senjata yang berupa golok yang panjang hampir dari
satu meter itu.
"Wuuung!"
Senjata-senjata yang sangat tajam itu menderu
ke arah bagian dada, leher, kaki dan perut Basra Panewu. Lalu dengan sekali
genjot, tubuhnya sudah me-
layang membubung ke udara. Selanjutnya begitu dia
kembali menjejakkan kakinya di atas tanah. Maka satu pukulan yang diberi nama
Beruang Merah Merobek
Sarang Lebah dilepaskan oleh Basra Panewu.
Selanjutnya tak dapat disangkal lagi, serangkum
sinar berwarna putih kebiru-biruan menderu melabrak para pengeroyoknya. Namun
sebelum pukulan yang dilepaskannya mencapai sasaran yang tepat, mendadak
kejadian yang tiada diduga-duga pun terjadi. Murid-
murid Candak Ginaka pukulkan tangannya mengarah
serangkum gelombang yang menderu ke arah mereka.
"Wuuut!"
Maka tak pelak lagi, beberapa larik gelombang
pukulan yang diberi nama Candak Ginaka Memburu
Mangsa yang berwarna ungu itupun saling bertubru-
kan dengan pukulan yang dilepas oleh Basra Panewu.
Akibatnya benturan dengan menimbulkan suara ber-
dentum yang berkepanjangan pun terdengar.
Murid-murid Candak Ginaka tersentak tubuh-
nya, namun Basra Panewu juga hampir terjengkang.
Dalam adu tenaga dalam itu ternyata satu lawan lebih dari lima orang sama-sama
memiliki kekuatan yang
berimbang. Basra Panewu nampak mengurut dadanya yang
terasa sesak. Namun begitu dia mengerahkan tenaga
dalamnya, rasa sesak itupun segera menghilang. Baik Basra Panewu maupun yang
lain-lainnya kelihatan
sangat gusar sekali. Sama sekali mereka tiada me-
nyangka kalau murid-murid Candak Ginaka kiranya
merupakan murid-murid yang tangguh.
"Caiiiit... Huaaa...!" Basra Panewu yang sudah dalam keadaan emosi itupun
kembali menghantamkan
kedua tangannya ke arah lawannya. Lagi-lagi selarik gelombang pukulan Beruang
Merah Merobek Sarang
Lebah dia lepaskan. Pukulan itu berisi kurang lebih ti-ga perempat dari tenaga
dalamnya. Mengetahui kawan-
kawannya dalam keadaan bahaya, maka yang lainnya
pun turun membantu. Sambil berjumpalitan tak ku-
rang dari delapan orang Candak Ginaka, kiblatkan
tangannya memapaki datangnya serangan yang ber-
hawa panas itu.
"Bluduuk...!"
Tubuh Basra Panewu terpelanting bahkan nyaris
terjerumus ke dalam kobaran api yang hanya tinggal
baranya saja. Sebaliknya delapan murid Candak Gina-
ka terjengkang satu tombak. Terlihat darah segar meleleh dari hidung mereka,
keadaan Candak Ginaka ma-
lah lebih parah lagi. Sungguhpun dia berusaha me-
nyembunyikan apa yang sedang dideritanya, namun
dari raut wajahnya yang pucat, nampak nyata sekali
kalau dia sedang menderita luka dalam yang cukup serius. Dadanya masih terasa
menyesak, pandangan ma-
tanya mengabur dan berkunang-kunang. Namun demi
menjaga gengsi di depan orang yang begitu banyak, dia cepat-cepat bangkit
berdiri. Saat itu murid-murid Candak Ginaka sudah siap-
siap untuk melakukan serangan balasan. Tapi menda-
dak segalanya berubah begitu cepatnya. Sudak Pari
begitu melihat wakilnya tunggang langgang dalam
menghadapi murid-murid Candak Ginaka nampaknya
menjadi sangat murka sekali. Selanjutnya dengan te-
riakan-teriakan yang sangat lantang, ketua Partai Beruang Merah itupun
memerintah: "Kuharap. Dari semua perguruan yang ada mari-
lah beramai-ramai mencincang tikus-tikus dari Can-
dak Ginaka... tapi kalau tak setuju, cepat-cepat tinggalkan tempat ini. Sebab
tak satu pun di antara kalian nantinya kubiarkan terima bersih dalam mendapatkan
Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu...!" Sejenak suasana di se-kitar tempat itu
menjadi hening, masing-masing perguruan saling pandang sesamanya.
Sementara itu Bara Seta sendiri nampak sedang
berfikir keras bagaimana caranya mengatasi lawan
yang jumlahnya tidak kurang dari enam puluh orang.
Andaipun memang benar, murid-muridnya merupakan
murid-murid yang tangguh. Tapi jumlah lawan boleh di bilang cukup besar. Sehebat
apapun kekuatan mereka, namun mungkinkah mereka dapat mempertahankan
diri" Persetan, mati berkorban untuk orang yang dia hormati adalah jauh lebih
baik daripada harus berdiam diri membiarkan orang-orang itu menghancurkan
dan mengobrak abrik tempat itu. Batinnya dalam hati.
Maka akhirnya tanpa pikir panjang lagi dia pun
memberi isyarat pada murid-muridnya. Lalu dengan
mempergunakan jurus-jurus Candak Ginaka, mereka
ini pun tanpa basa basi lagi segera melakukan serangan menghadapi enam puluh
orang murid dan ketua
gabungan dari empat perguruan.
Semakin bertambah gusarlah, Basra Panewu,
Sudak Pari dan Lukas Asmoro dibuatnya. Maka, den-
gan kemarahan yang menggebu-gebu, masing-masing
ketua perguruan itu memberi perintah serupa pada
murid-muridnya:
"Basmi orang-orang Candak Ginaka...!"
"Hoiiaaat...!"
"Cring! Cring!"
Dalam sekejap saja kobaran pertarungan pun
sudah tak dapat dihindari lagi, denting beradunya berbagai senjata tajam
meningkahi jerit menyayat dari
korban-korban dari kedua belah pihak yang mulai berjatuhan. Enam puluh orang
murid perguruan gabun-
gan bertarung melawan lima belas orang murid-murid
Bara Seta. Sementara Bara Seta sendiri tengah berjuang
menghadapi empat orang ketua perguruan yang rata-
rata memiliki ilmu sangat tinggi. Tubuh Bara Seta sebentar saja sudah bermandi
peluh, sejauh itu perta-
rungan tokoh-tokoh kelas menengah ini masih saja
mempergunakan jurus-jurus tangan kosong. Sekali
dua pukulan-pukulan maut pun mereka lancarkan si-
lih berganti. Namun nampaknya Bara Seta yang memi-
liki ajian Inti Bumi itu merupakan manusia yang ma-
tang dalam hal pertempuran. Kala itu, Basra Panewu, Sudak Pari, Lukas Asmoro dan
Tiklu Sara dengan aliran yang berbeda-beda mulai melancarkan pukulan-
pukulan mautnya. Dengan sangat gencar dan datang-
nya bertubi-tubi.
"Wess! Wut! Wut! Wut!"
Dari empat penjuru mata angin pukulan maut
yang memiliki hawa dingin dan panas itupun datang
menggebu. Bara Seta menyadari kalaupun dia bermaksud
untuk memapaki pukulan yang datangnya secara ber-
samaan itu. Pasti akibatnya sangat patal sekali. Tubuhnya bisa hancur berkeping-
keping, atau paling kurang tulang belulangnya menjadi remuk dengan jiwa
tiada tertolong lagi.
*** 4 Maka dalam keadaan yang sangat kritis itu sece-
patnya dia kerahkan ajian Inti Bumi yang sangat ampuh itu.
"Bleeees!"
Begitu tangan kanannya dia pukulkan pada per-
mukaan tanah yang merupakan tempat dia berpijak,
maka kejab kemudian tubuhnya pun lenyap begitu sa-
ja. Sementara pukulan yang dilepaskan oleh lawan-
lawannya saling bertubrukan sesamanya. Tak dapat
disangkal lagi pukulan yang dilepas dengan kobaran
nafsu membunuh itupun berakibat sangat patal bagi
murid-murid kedua belah pihak yang saat itu sedang


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan pertarungan.
"Kampret! Si bangsat itu kiranya memiliki ilmu setan. Cari dia sampai
ketemu...!" teriak Sudak Pari merasa penasaran sekali dibuatnya.
"Tak usah dicari-cari segala, beruang celaka. Aku ada di sini...!" kata Bara
Seta, serta merta bagai setan gentayangan saja telah pula berdiri di depan
lawan-lawannya dengan sikapnya yang angker.
"Setan pengecut! Nih makan pukulanku...!"
Belum lagi ucapannya usai, mendadak dia telah
kirimkan satu pukulan yang sangat dahsyat menyong-
song tubuh Bara Seta yang sudah melayang sambil le-
paskan satu pukulan maut yang diberi nama, Candak
Ginaka Kibarkan Bendera. Selaksa gelombang mende-
ru sedemikian cepatnya. Sudak Pari yang sama sekali tidak menyangka kalau Bara
Seta masih sempat ki-
rimkan satu pukulan penangkal nampaknya menjadi
sangat geram, lalu kirimkan satu pukulan susulan.
"Bum! Bum!"
"Auooooo...! Kampret...!" maki Sudak Pari begitu pukulan lawannya beradu dengan
pukulan Beruang
Merah Menggerung, miliknya. Sudak Pari tunggang
langgang dengan posisi tubuh melipat bagai seekor
trenggiling yang berjungkiran di atas tanah berbatu.
Sementara Bara Seta dengan sangat baik masih dapat
mendaratkan kakinya, tiga tombak jauhnya dari para
lawan-lawannya. Namun belum lagi dia sempat mena-
rik napas, tiga orang ketua perguruan lainnya dengan sikap tak sabar telah pula
menyerangnya dengan senjata mereka yang beraneka ragam.
Saat itu murid-murid Candak Ginaka yang se-
dang berusaha bertahan mati-matian menghadapi se-
rangan-serangan brutal yang dilakukan oleh tak ku-
rang dari empat puluh orang murid gabungan empat
perguruan. Pihak Candak Ginaka, kini hanya tinggal berjum-
lah sepuluh orang saja. Lima orang di antaranya telah tewas dengan keadaan yang
sangat menyedihkan sekali. Sungguhpun mereka hanya tinggal berjumlah sepu-
luh orang saja, namun semangat tempur mereka se-
makin menggila. Dengan tubuh saling merapat ber-
punggungan sesamanya, mereka bahu membahu da-
lam mempertahankan diri. Tapi juga di lain saat secara serentak mereka melakukan
serangan kilat yang tiada terduga-duga. Pukulan-pukulan maut yang tak kalah
hebatnya dari guru mereka sendiri pun mereka le-
paskan. Akibatnya celakalah bagi murid-murid gabun-
gan empat perguruan yang coba-coba menghancurkan
pertahanan Candak Ginaka. Jerit dan lolongan maut
pun kembali terdengar. Masing-masing ketua pergu-
ruan pihak lawan menjadi sangat marah sekali melihat
murid-murid mereka terbantai secara mengerikan oleh musuh murid-murid Candak
Ginaka. Maka tak sabaran lagi Lukas Asmoro dari Perguruan Batu Kiambang
dan Tiklu Sara dari Perguruan Hamparan Perak segera bergabung dengan murid-
muridnya. Sementara itu
saudara kakak beradik, Basra Panewu dan Sudak Pari
terus bertarung melawan Bara Seta.
"Keparat kalian murid-murid Candak Ginaka...!"
maki Lukas Asmoro, selanjutnya mendahului seku-
tunya, Tiklu Sara dan langsung memporak porandakan
pertahanan murid-murid Candak Ginaka. Tiklu Sara
pun tiada tinggal diam.
"Sobat Lukas Asmoro! Jangan ajak bicara mere-
ka, kita mampusin saja semuanya biar mereka tidak
bisa ketemu anak bini lagi...!" Sambil mengekeh Tiklu Sara. "Ku pertahankan dan
tidak kami biarkan anjing mana pun merongrong tempat tinggal orang tua yang
sangat kami hormati hingga titik darah yang penghabisan!" teriak salah seorang
murid Candak Ginaka. Saat itu mereka sudah mencabut pedangnya masing-masing,
selanjutnya menggempur lawan-lawannya
tanpa ampun lagi.
"Segala kutu kupret, mau bertingkah di hadapan empat perguruan gabungan. Caaat,
mampus...!" maki Tiklu Sara. Dan sekali saja senjatanya yang berupa
kebutan itu menyambar. Maka hancurlah wajah salah
seorang murid Candak Ginaka yang tak sempat me-
nangkis serangan itu.
Tubuhnya terhempas di atas tanah berpasir,
menggelupur sekejab selanjutnya diam untuk selama-
lamanya. Tiklu Sara yang sudah kerasukan setan itu
tiada lagi menghiraukan lawannya yang sudah terka-
par itu. Sebaliknya bagai tak pernah mengenal puas, Tiklu Sara sudah menghantam
murid-murid Candak
Ginaka yang lainnya. Satu demi satu murid-murid Ba-
ra Seta berguguran, sungguhpun hal itu tidak terlepas dari perhatian gurunya.
Namun Bara Seta tak mampu
berbuat banyak, sebab dia sendiri sedang berjuang
menghadapi Basra Panewu dan Sudak Pari yang ter-
nyata memiliki ilmu simpanan yang sangat berbahaya
sekali bagi Bara Seta. Malang sekali nasib Bara Seta dan gurunya. Agaknya murid-
muridnya yang hanya
tinggal empat orang itu sekejab lagi pasti akan terbantai habis andai saja pada
saat-saat yang sangat kritis itu tidak muncul sosok bayangan berpakaian me-
rah-merah. Begitu sosok bayangan itu melayang turun dari atas sebuah pohon kayu
api-api. Maka tak ampun lagi dia langsung kirimkan pukulan Empat Anasir
Kehidupan secara bertubi-tubi, pada murid-murid ga-
bungan empat perguruan. Sontak keadaan menjadi
berbalik, begitu pukulan yang memancarkan Sinar
Violet dan berhawa panas luar biasa itu melabrak tubuh mereka, jerit kematian
dan lolongan kesakitan
pun membahana bagai merobek angkasa yang diseli-
muti mendung. Kehadiran pemuda yang tak lain merupakan mu-
rid tunggal si Bangkotan Koreng Seribu ini benar-
benar membuat keadaan pihak lawan menjadi kacau
balau. Tubuh-tubuh berpelantingan dengan keadaan
hangus dan jiwa melayang. Namun Buang Sengketa
tak ingin berhenti sampai di situ saja, Pukulan si Hina Kelana Merana yang
menimbulkan udara dingin yang
teramat sangat itupun dia lepaskan silih berganti. Dalam waktu tidak sampai
sepemakan sirih, murid-murid perguruan gabungan itupun hanya tinggal beberapa
gelintir saja. Maka terkejutlah empat ketua partai itu demi melihat sepak
terjang pemuda yang tiada mereka kenal itu. Dan lebih terbelalak lagi begitu
melihat murid-murid mereka terbantai habis di tangan pemuda
itu. Dengan kegusaran yang bukan alang ke-palang,
serentak mereka-mereka yang sedang terlibat perta-
rungan itupun bagai dikomando saja segera menghen-
tikan pertarungan.
Di antara mereka yang hadir di situ hanya Bara
Seta saja yang kelihatan tenang-tenang. Sebab begitu dia melihat kehadiran Buang
Sengketa, menurut ciri-ciri yang diberikan oleh almarhum si Bangkotan Ko-
reng Seribu. Apa yang dilihat dari pemuda itu adalah sangat persis sekali. Baik
pakaiannya, wajahnya yang sangat tampan, mau pun sebuah periuk yang
menggelantung di pinggangnya. Semuanya persis dengan apa
yang dikatakan oleh orang tua angkatnya.
"Hmm. Masih sedemikian muda, namun memiliki
kepandaian yang sangat mengagumkan sekali!" batin Bara Seta.
Sementara itu, Buang Sengketa setelah lama
memandang rumah tempat tinggal almarhum gurunya,
kini memandang pada semua orang yang hadir di situ
secara silih berganti. Begitu dingin dan angker tatapan matanya, menandakan
bahwa pemuda itu benar-benar
merasa sangat tidak senang dengan tindakan yang
sangat menghina tersebut,
"Sungguh hanya setan-setan yang berani mati sa-ja, yang begitu sanggup membakar
rumah guruku. Tak
satu pun di antara kalian yang kubiarkan hidup. Cela-ka sekali nasib kalian hari
ini...!" "Bangsat... begitu datang kau bagai iblis membu-nuhi murid-murid kami. Kemudian
manusia gembel semacammu berani pula mengaku-ngaku sebagai mu-
ridnya si Bangkotan Koreng Seribu... siapakah kau ini, Bocah hina...?" tanya
Basra Panewu sangat gusar ber-campur jerih.
Memerah wajah Buang Sengketa saat itu juga,
kedua gerahamnya mengatup rapat. Namun sedikitpun
perhatiannya tiada pernah berpaling dari Basra Pane-wu yang bermulut runcing
bagai tikus curut itu.
"Orang-orang celaka, akulah Buang Sengketa
murid tunggalnya Kakek Bangkotan Koreng Seribu
yang rumahnya telah kalian bakar itu...!"
"Kami tak pernah percaya...!"
"Aku juga yang hampir lapuk dimakan usia tidak pernah mempercayai keterangan-mu
itu, Bocah sinting...!" Sudak Pari, Lukas Asmoro dan Tiklu Sara menyahut hampir
berbarengan. "Hak... kek... kak... ke...! Percaya atau tidak percaya itu bukan urusanku. Yang
jelas kalian datang ke mari hanya ingin merampok Kitab Jurus-jurus Koreng
Seribu yang telah diciptakan oleh guruku, nah seka-
rang bersiap-siaplah kalian untuk kukirim ke neraka.
Hiaaat...!"
Selanjutnya tanpa mengenal kompromi lagi,
Buang segera menerjang Basra Panewu dan Sudak Pa-
ri. Sementara itu Bara Seta segera pula berhadapan
dengan Lukas Asmoro dan Tiklu Sara.
Menghadapi Lukas Asmoro dan Tiklu Sara bagi
Bara Seta bukanlah sesuatu yang sangat istimewa. Sebab seperti yang dia ketahui,
Tiklu Sara dan Lukas
Asmoro hanyalah merupakan wakil maupun kurir dari
salah satu perguruan yang berasal dari daerah Tengga-ra. Itu sebabnya dalam
waktu hanya sekejab saja dia telah pula mengetahui kunci dari jurus-jurus yang
di-mainkan oleh kedua lawannya. Begitu segala rahasia
jurus-jurus silat lawannya telah diingatnya dengan
baik, maka detik kemudian dia telah melakukan se-
rangan balasan dengan mempergunakan tenaga yang
berlipat ganda.
Sementara itu Buang Sengketa yang berhadapan
dengan Basra Panewu dan Sudak Pari nampak sedang
menggempur lawannya dengan mempergunakan jurus-
jurus tangan kosong yang diberi nama si Gila Menga-
muk. Selanjutnya senjata Basra Panewu dan Sudak
Pari yang berupa sebatang toya itupun menderu men-
girimkan gempuran-gempuran yang sangat dahsyat.
Namun Pendekar Hina Kelana bukanlah pendekar ke-
marin sore, sungguhpun usianya relatip sangat muda, tapi dia merupakan tokoh
silat yang memiliki ilmu sakti yang beraneka ragam. Jurus silat si Gila Mengamuk
juga merupakan jurus tingkat dua setelah jurus tangan kosong Membendung
Gelombang Menimba Samu-
dra. Sungguhpun mempergunakan jurus ini, permai-
nan silatnya nampak kacau balau dan sangat tidak teratur. Namun serangan toya
yang begitu gencar itupun masih belum mampu menyentuh selembar rambut
Buang Sengketa.
Orang-orang dari Perguruan Beruang Merah itu-
pun gusarnya bukan main, sebaliknya kini tubuh
Buang Sengketa berkelebat sangat cepat, hanya terasa angin sambaran tubuh pemuda
itu saja yang mengibar-ngibarkan pakaian Basra Panewu dan Sudak Pari.
Sekejab kedua orang itu nampak kebingungan sekali.
Pada saat seperti itulah, dengan diawali jerit tinggi melengking Buang Sengketa
pukulkan tangannya ke de-
pan. Serangkum sinar berwarna Ultra Violet yang me-
nimbulkan hawa sangat panas luar biasa datang
menggebu meluruk ke arah lawan-lawannya.
Akibat pukulan yang sangat ganas itu tadi mere-
ka sempat melihat dari apa yang dialami oleh murid-
muridnya. Dan mereka pun sadar bahwa saat itu la-
wan pasti mempergunakan pukulan maut yang berke-
kuatan besar. Maka secepatnya mereka putar toyanya
untuk melindungi diri.
"Weeertt...! Blaaaam...!"
Pukulan Empat Anasir kehidupan yang dilepas
oleh Pendekar Hina Kelana menghantam kedua orang
itu, tunggang langgang tubuh mereka terbanting, toya berantakan menjadi beberapa
keping. Pada saat itu
terdengar teriakan Bara Seta:
"Bangsat! Setelah merasa tidak ungkulan, kalian mau kabur, jangan harap...!"
Berkata begitu Bara Seta bermaksud melakukan pengejaran. Tetapi Buang
Sengketa mencegahnya.
"Jangan, Paman...! Masih banyak persoalan yang harus kita selesaikan di sini.
Pula kedua bangs...!"
Buang Sengketa tak melanjutkan ucapannya karena
begitu dia menoleh, lawan-lawannya yang tadi terpe-
lanting itupun sudah tidak ada di tempatnya.
"Mereka juga kabur! Namun aku yakin cepat atau lambat mereka pasti akan kembali
lagi ke sini...!" kata Buang Sengketa, lalu menarik nafas pendek. Sementara itu
Bara Seta dan empat orang murid yang tersisa sudah menghampiri si pemuda.
Selanjutnya tanpa ra-gu-ragu lagi dia pun menyela:
"Engkaukah yang bernama Buang Sengketa?" tanyanya penuh perhatian.
Pendekar Hina Kelana anggukkan kepalanya pe-
lan. *** 5 "Kalau begitu tak salah seperti apa yang dikatakan oleh Bapak Bangkotan Koreng
Seribu. Bahwa Pen-
dekar Hina Kelana itu, engkaulah adanya...!" Dalam nada ucapannya, jelaslah
sudah bahwa kepulangan
Buang Sengketa di Tanjung Api membuat Bara Seta
dan keempat muridnya merasa sangat girang sekali.
"Mengapa kejadian ini sampai terjadi, dan siapakah adanya paman ini...?" tanya
pemuda itu setelah gejolak di dalam hatinya menjadi reda kembali.
Kemudian secara singkat Bara Seta menceritakan
mengenai hubungannya dengan Kakek Bangkotan Ko-
reng Seribu. Akhirnya mengertilah Pendekar Hina Ke-
lana tentang duduk persoalan yang sebenarnya. Selanjutnya dengan sikap
persaudaraan Buang Sengketa
segera bertanya:
"Paman! Apakah paman tahu di mana kira-kira
jenazah kakek guru berada?" Ditanya begitu Bara Seta nampak tercenung beberapa
saat lamanya. Lalu sepa-sang matanya yang agak menyipit itupun memandang
pada hamparan batu-batu karang yang ada di pinggi-
ran pantai. "Sebagai muridnya, tentu kau tahu tentang gua-
gua yang ada di celah-celah batu karang itu. Nah
mungkin di sanalah dia berada...!"
Pendekar keturunan Raja Ular Piton Utara itupun
nampak angguk-anggukkan kepalanya.
"Gua di batu karang itu banyak sekali, namun
aku merasa sangat khawatir andai sekarang ini kita ke sana, nantinya akan datang
lagi tokoh-tokoh persilatan untuk merampas Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu hasil
ciptaan yang terakhir kali...!"


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ancaman itu akan selalu ada, Buang! Tapi
akan tegakah kita-kita membiarkan jenazah orang
yang kita hormati menderita lebih lama lagi di alam pana ini...?" tanya Bara
Seta seperti pada dirinya sendiri. "Betul juga!" kata pemuda itu, lalu angguk-
anggukkan kepalanya. Lalu sambungnya lagi: "Apapun yang akan terjadi kita harus
dapatkan kakek guru hari ini juga...."
"Kalau begitu sekarang juga kita mulai pencaharian itu...!" ajak Bara Seta, maka
berangkatlah keenam orang itu menelusuri tebing karang yang saat itu sedang
dalam keadaan pasang surut.
"Paman! Aku melihat semua pintu gua karang
yang ada di sini tertutup dengan sangat baik. Aku sendiri merasa yakin pintu
batu karang itu tak akan ter-buka walau didorong oleh sepuluh tenaga kuda. Yang
mana satu kira-kira yang merupakan tempat peristira-hatan terakhir guru...?"
ujar Buang Sengketa mereka-reka. "Sebagai muridnya, tentu kau tahu gua yang ma-
na yang paling sering dipergunakan oleh bapak untuk keperluan-keperluan
tertentu...!"
"Guru orangnya payah sekali, Paman! Tingkah-
nya suka yang aneh-aneh dan bikin kepalaku pusing
berdenyut-denyut. Sesuatu yang pasti tak pernah ada dalam hidupnya. Kecuali
kematian dan hidupnya sendiri. Aku bisa saja menduga kalau guru berada di sebuah
gua karang yang sangat besar itu! Namun siapa
tahu dia malah sengaja menyembunyikan diri di atas
pohon-pohon. Atau barangkali di dalam perut bumi...!"
Sesungguhnya mendengar kata-kata Buang
Sengketa, Bara Seta menjadi geli hatinya, namun
hanya keadaanlah yang membuat dia menahan segala
bentuk tawanya cukup di dalam hati saja. Sebaliknya dia malah berkata serius
sekali. "Rasanya dalam keadaan yang sangat serius, dia tak akan pernah main-main, Buang"
Menurutmu, yang mana satu gua yang sering dipergunakan oleh
bapak untuk menyimpan sesuatu yang sangat raha-
sia...?" "Maksud paman tentang kitab itu...?" Buang Sengketa malah balik bertanya. Bara
Seta gelengkan kepalanya. "Maksudku bukan itu! Mengenai kitab semuanya
bisa kita selesaikan kemudian! Yang terpenting bagaimana caranya kita cari tahu
tentang jenazah kakek
Bangkotan Koreng Seribu...!"
Pendekar Hina Kelana nampak terdiam untuk se-
saat lamanya, kembali pandangannya menerawang ke
laut lepas. Lalu teringat pula olehnya masa-masa ketika masih kecil dulu. Di
tempat itu, di Pantai Tanjung Api yang memiliki ombak yang sangat ganas. Kakek
tua itu telah menggemblengnya sedemikian rupa, siang dan malam tanpa mengenai
lelah. Dengan segenap jiwa raganya, kakek sakti itu menciptakan jurus-jurus,
maupun pukulan-pukulan yang sangat ampuh. Semua
itu hanya diperuntukkan untuk dirinya, ah, betapa hatinya menjadi pedih, sampai
akhir hayatnya dia sebagai orang yang pernah dididik dan diberi kasih sayang
sedemikian rupa. Namun tak sekalipun dia pernah
mampu membalas segala kebaikan yang pernah dibe-
rikan oleh orang tua itu. Mengapa semuanya begitu
cepat berlalu, padahal selama ini dalam pengembaraan yang sangat melelahkan itu
dia teramat sering ingin bertemu dengan orang tua yang baginya merupakan
segala-galanya. Mengenang semua itu, tanpa sadar air mata pemuda itupun menetes,
dan tentu saja keadaan
itu membuat heran semua yang ada di tempat itu.
Namun sebelum keheranan itu tertanyakan, mendadak
Buang Sengketa bergumam seperti pada dirinya sendi-
ri. "Aku ini seorang murid yang tolol! Tak pernah
mampu berbakti pada orang yang paling berarti dalam hidupku! Dia yang merupakan
segala-galanya bagiku
kini telah tiada. Pada siapa aku harus membalas sega-la kebaikannya. Oh...
dasar... nasib, hidup di atas dunia hanya sebatang kara.... Pendekar Hina
Kelana... manusia hina sengsara...! Buang Sengketa... bocah
terbuang yang kehadirannya dipersengketakan oleh
banyak orang. Ahik... hu... hu...hu...! Guru, jalan yang manakah semestinya yang
harus kutempuh. Semuanya jadi serba rumit dan membingungkan. Guru eng-
kau manusia terdahulu sebelum kehadiranku. Kau bi-
lang aku ini tak boleh menangis menyesali nasib, tapi aku juga tak pernah
menyesalkannya, Guru...! Namun
berilah aku titik terang, agar hatiku dijauhkan dari ke-resahan dan rasa
bersalah...!" kata pemuda itu, tubuhnya nampak terguncang-guncang. Dia merasa
san- gat terpukul sekali atas kepergian gurunya.
Bara Seta dan murid-muridnya nampak sedih
melihat apa yang sedang dialami oleh pemuda yang
sangat mengagumkan itu. Selanjutnya sambil meme-
gang pundak si pemuda dia berkata setengah menasi-
hatkan: "Sudahlah, Buang! Mengapa kau tangisi orang
yang sudah tiada! Hal itu hanya akan membuat resah
arwah bapak di nirwana. Berbuat kebaikan sesama
umat manusia sesungguhnya merupakan sesuatu
yang sangat terpuji. Kalau pun dia kini telah tiada lagi.
Tokh kau bisa melakukan kebaikan pada orang lain.
Pahalanya juga sama. Nah sekarang lebih baik kita co-ba membuka dinding gua itu
satu demi satu. Jangan
bersedih, malu nanti kalau sampai orang-orang persilatan tahu, kalau pendekar
yang namanya kesohor di
mana-mana itu ternyata memiliki hati yang rapuh...!"
ujar Bara Seta dengan sikapnya yang kebapakan.
Mendengar ucapan Bara Seta, pemuda itu bant-
ing-banting kakinya sambil berkelesetan bagai anak
kecil yang kehilangan tetek ibunya. Lalu dengan ter-sendat-sendat dia berucap:
"Ma... masa bodoh! Aku tak bisa bersikap pura-
pura! Biarkan semua orang di penjuru dunia tahu, aku tak akan perduli. Aku
paling tak bisa memendam pera-
saan. Kakek guru bilang, kalau banyak memendam pe-
rasaan jika sampai memuncak ke kepala bisa jadi
uban, kalau bergerak ke muka jadi jerawat. Sebaliknya kalau turun ke pantat bisa
jadi bisul. Oho... aku tak ingin berpura-pura, Paman! Paman dengarkah itu?"
ucap Buang Sengketa setengah bertanya.
Semakin bertambah geli saja hati Bara Seta.
Bahkan keempat orang murid tersisa sudah tak dapat
memendam tawanya lagi. Serta merta Buang Sengketa
menyadari tingkahnya yang bagaikan anak kecil itu,
lalu teringat pula kebencian gurunya akan sebuah ke-cengengan. Selanjutnya
cepat-cepat dia seka air ma-
tanya. Mendadak saja wajahnya berubah menjadi ceria seperti sediakala. Sementara
itu, Bara Seta sudah angguk-anggukkan kepalanya bagai burung puntul yang
mengais ikan di pinggiran pantai.
"Gurumu mau pun bapak angkatku memang ti-
dak salah. Itu makanya aku ingin sekarang juga kita mencari lokasi di mana Kakek
Bangkotan Koreng Seribu berada, setelah kita temukan jenazahnya, maka ki-ta
adakan upacara sederhana untuk selanjutnya me-
nyemayamkan jenazahnya di tempat yang sangat
layak...!"
"Marilah, kita mulai dari yang di tengah itu. Namun untuk mendobrak pintunya,
aku harus mengge-
rakkan segenap pukulan sakti yang kumiliki...!" kata Buang tegas.
"Cara apapun yang akan kau lakukan sepenuh-
nya kuserahkan padamu...!"
Lalu tanpa menjawab, mereka pun me-langkah
kembali. Barulah setelah sampai di depan pintu gua
yang tertutup batu karang, pemuda itu menghentikan
langkahnya diikuti oleh yang lain-lainnya.
"Hemm! Nampaknya aku harus mempergunakan
pukulan si Hina Kelana Merana." batin Buang Sengke-
ta. Selanjutnya tanpa banyak basa basi lagi, dia segera mengerahkan tenaga
saktinya ke arah kedua belah
tangannya. Tubuh Buang Sengketa menggeletar untuk bebe-
rapa saat lamanya, selanjutnya dari kedua belah tangannya itu mengeluarkan uap
panas, semakin lama
tangan itu berobah memerah. Mereka yang menyaksi-
kan kejadian itu nampak sangat terkejut sekali, na-
mun sebelum kejut mereka hilang sama sekali. Men-
dadak Buang Sengketa berteriak dengan suara tinggi
melengking. "Haaiiiit...! Huaaa!!"
Buang pukulkan kedua tangannya mengarah pa-
da pintu gua karang, maka sekejab kemudian satu ge-
lombang sinar berwarna merah menyala meluruk ke
arah pintu gua karang yang berukuran sangat tebal
itu. "Bluuuuaarrr...!"
Pintu gua karang itupun jebol berantakan, Pen-
dekar Hina Kelana langsung menyerbu ke dalamnya.
Setelah jalan hilir mudik dalam ruangan yang berukuran sangat luas itu dia pun
terdiam di tengah-tengah ruangan yang berhawa hangat udara laut.
"Bagaimana, Buang...?" tanya Bara Seta sambil mengitarkan pandangan matanya.
Pemuda itu geleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Nampaknya tak ada tanda-tanda kalau Kakek
Bangkotan Koreng Seribu mengakhiri hayatnya di
tempat ini...!" ujar Pendekar Hina Kelana dengan alis mengerimit tanda bahwa dia
sedang memikirkan tempat yang sering merupakan pengasingan bagi gurunya
tersebut. "Lalu bagaimana...?"
"Masih banyak gua karang yang belum kita lihat!
Cobalah kita ke gua lainnya, barangkali dia ada di
tempat itu...!" kata Buang Sengketa. Selanjutnya dia meninggalkan gua yang sudah
berantakan pintunya
menuju gua karang yang lainnya. Sesampainya di gua
karang yang terletak tak begitu jauh dari gua karang pertama Buang Sengketa
kembali menghentikan langkahnya. Dalam pada itu Bara Seta sudah pula berkata:
"Mestinya ada tanda-tanda tertentu yang dapat kau pahami maknanya...!"
Saat itu Pendekar Hina Kelana sudah bersiap-
siap dengan pukulan dahsyatnya si Hina Kelana Mera-
na, namun begitu mendengar apa yang dikatakan oleh
Bara Seta akhirnya dia menjadi urung. Dia tercenung, dalam hati membenarkan apa
yang dikatakan oleh Ba-ra Seta.
"Betul juga! Mengapa tak kucari saja, tanda-
tanda seperti apa yang dikatakan oleh Paman Bara Se-ta. Almarhum Kakek Bangkotan
Koreng Seribu pasti
ada meninggalkan sesuatu yang hanya aku dan dia sa-
ja yang mengetahui maknanya." batinnya lagi. Selanjutnya dia melangkah mendekat,
lalu memperhatikan
dengan seksama kalau apa yang diharapkannya ada di
depan pintu gua karang yang tertutup.
Dibantu oleh Bara Seta dan keempat orang mu-
rid-muridnya, satu demi satu pemuda ini meneliti setiap pintu gua yang ada, dua
empat dan enam telah
mereka periksa, namun mereka tak menemui apa yang
mereka harapkan. Sehingga setelah sampai pada pintu gua karang yang ke delapan
mereka mulai menemukan
sebuah titik terang yang mungkin juga merupakan se-
buah petunjuk untuk menemukan di mana adanya
mayat gurunya berada.
"Lihat, Paman! Sepertinya guratan-guratan ini merupakan sebuah petunjuk yang
dibuat oleh kakek
guru...!" Buang Sengketa setengah berseru. Bara Seta dan keempat orang muridnya
mendekat, dan ikut pula
meneliti. Namun mereka tiada pula mengerti akan
makna dari coretan-coretan yang ada.
"Betul katamu, Buang! Namun aku yang telah
lamur ini tak tahu apa arti dari tulisan yang digurat dengan jemari bapak!"
Agak lama juga Pendekar Hina Kelana ini mere-
nung di situ, sampai akhirnya teringatlah dia akan jurus-jurus di Gila Mengamuk
yang pernah diajarkan
oleh si Bangkotan Koreng Seribu.
"Hemm. Tulisan ini sungguh mirip sekali dengan jurus-jurus si Gila Mengamuk
seperti yang tertulis dalam kitab terdahulu." batinnya lagi. Selanjutnya dia
coba-coba mengingat tentang abjad jurus-jurus si Gila Mengamuk yang telah
dikuasainya. Maka dalam tulisan yang seperti cakar ayam itu, dapatlah dia
artikan sebagai berikut:
"Buat muridku yang goblok. Usah tangisi keper-gianku, aku telah pergi
meninggalkan dunia ini.. Tapi jangan pula kau menangis, karena menangis itu
hanyalah pekerjaan perempuan atau pekerjaan bayi.. Ada sa-tu yang ku tinggalkan
padamu, yaitu tentang sebuah Kitab Jurus-jurus 'Koreng Seribu' hasil ciptaan ku.
Tapi ingat, berhati-hatilah dalam mempelajari kitab itu, sebab salah sedikit
saja kau mengerahkan tenaga, maka jiwamu bisa melayang. Hal lain yang perlu kau
perhatikan adalah tentang jenazah ku. Dia berada di gua kesepuluh, seandainya
jasad itu masih ada, maka itu berarti aku masih seperti manusia biasa. Namun
andai tidak, maka itu berarti aku ini manusia setengah dewa.
Satu saja pesanku, Buang! Kitab itu ada di sebuah gua kecil yang menghadap ke
Timur Laut. Selama kau
mempelajari kitab tersebut, bahaya akan selalu mengancam mu. Maka bekerja
samalah dengan baik pada Bara Seta. Mudah-mudahan segala rintangan dapat
kau atasi! Buat Murid Guoblok
Si Bangkotan Koreng Seribu
"Sialan," umpat Buang Sengketa begitu selesai membaca, tanda-tanda yang mirip
dengan cakar ayam
itu. Sebentar dia memandang pada Bara Seta dan
keempat murid-muridnya. Lalu dengan suara hampir-
hampir tak terdengar dia pun berkata:
"Kita harus pergi ke gua karang yang kesepuluh, Paman. Menurut petunjuk di sini,
di gua itulah Kakek Bangkotan Koreng Seribu berada... marilah secepatnya kita ke
sana...!" "Ayolah...!"
Selanjutnya mereka pun melangkah kembali me-
nuju ke gua kesepuluh. Sekejab kemudian mereka pun
telah sampai di depan mulut gua karang kesepuluh.
"Inilah tempat yang dimaksudkan oleh kakek!
Menjauhlah sedikit, Paman! Aku akan mengerahkan
pukulan Hina Kelana Merana."
Tanpa menjawab, Bara Seta dan murid-muridnya
menjauh, sekejab kemudian mereka telah merasakan
betapa udara di sekitarnya menjadi sangat panas luar biasa. Padahal saat itu
angin laut berhembus sangat kencang sekali. Maka sekejab kemudian, kedua tangan
Buang Sengketa menggeletar, selanjutnya berubah
warna merah pun terjadilah.
"Heiiiik...!"
Pendekar Hina Kelana pukulkan kedua tangan-
nya ke depan. Lalu selarik gelombang berhawa panas
luar biasa menderu menerjang pintu gua batu karang
yang berada satu tombak di hadapannya.
Pintu gua batu karang itupun hancur beranta-


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan. Debu dan batu-batu kecil beterbangan ke udara.
Dan sekejab kemudian pintu gua batu karang itupun
sudah menganga lebar sekali.
6 Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pendekar Hina Kelana dengan diikuti oleh yang lainnya segera memasuki gua
tersebut. Keadaan di dalam gua
itu gelap gulita adanya, sehingga menimbulkan kesan yang sangat angker. Namun
setelah Buang Sengketa
menyalakan sebuah pelita, maka ruangan di dalam
gua karang yang lembab dan licin itupun menjadi te-
rang temaraman. Buang dan Bara Seta mengitarkan
pandangan matanya ke segenap penjuru ruangan itu,
tetapi nampaknya di ruangan induk tak mereka dapati adanya jenazah si Bangkotan
Koreng Seribu, maka untuk selanjutnya dia bergerak ke ruangan yang lainnya.
Dan di dalam ruangan yang berukuran sangat kecil
itulah Buang Sengketa melihat sebuah pelita lain dengan nyalanya yang terang
benderang. Di sebuah lantai dalam ruangan yang sangat sempit itu, Buang Sengketa
melihat adanya sebuah keranda yang ditutupi den-
gan selembar kain putih yang sangat panjang. Kain itu terjuntai sampai menutupi
keseluruhan keranda.
Buang Sengketa berdebar hatinya, selanjutnya
dengan langkah gemetaran dia menghampiri keranda
tersebut. Kemudian dengan gerakan yang sangat cepat Buang Sengketa segera
membuka penutup keranda.
Begitu penutup keranda itu dibuka, maka terciumlah
bau harum semerbak dari dalamnya. Maka terlihatlah
jenazah si Bangkotan Koreng Seribu, tubuhnya terbu-
jur, dengan wajahnya yang keriput dan pucat bagaikan kapas. Namun anehnya,
sungguhpun si Bangkotan
Koreng Seribu sudah meninggal lebih dari satu pur-
nama, namun tak tercium bau bangkai sebagaimana
mestinya. "Kakek...!" Tak urung Buang Sengketa merintih, kemudian berlutut di depan
jenazah si Bangkotan Koreng Seribu. Dipandanginya wajah orang tua renta
yang kini nampak diam tiada bergeming lagi.
"Bapak, eee... aku merasa bersyukur sekarang ini aku telah dipertemukan dengan
muridmu! Tapi, Bapak... rumah tinggalmu telah terbakar... orang-orang sialan
itulah yang telah membakarnya...!" ucap Bara Seta pula.
Suasana di sekelilingnya kemudian adalah kehe-
ningan belaka. Masing-masing mereka sama-sama
tenggelam dalam fikirannya.
"Sebaiknya sekarang juga kita rumat jenazah kakek, hari masih siang! Kesempatan
masih ada hanya
untuk mengadakan upacara pemakaman secara kecil-
kecilan." "Marilah, Buang...!" jawab Bara Seta, seraya be-ranjak berdiri dari tempatnya. Selanjutnya keempat
orang murid Bara Seta segera mengusung keranda
yang berisi jenazah si Bangkotan Koreng Seribu. Sekejab kemudian di tempat itu
terlihatlah kesibukan-
kesibukan untuk mengebumikan jenazah orang tua
yang mereka hormati.
Keempat murid Bara Seta segera membuat se-
buah lubang kubur, sementara Buang Sengketa den-
gan dibantu oleh Bara Seta segera merawat jenazah si Bangkotan Koreng Seribu.
Saat itu di langit lepas,
nampak awan hitam bergumpal dan bergulung-gulung
dihembus angin tenggara.
Tak lama kemudian terdengar pula gelegar bunyi
petir bagaikan membelah jagad. Selanjutnya, hujan
pun mulai turun rintik-rintik. Namun mereka tiada
menghiraukan semua itu, sebaliknya jenazah si Bang-
kotan Koreng Seribu telah mulai memasuki liang lahat.
Tubuh Buang Sengketa nampak menggigil dalam duka.
Tetapi dia selalu berusaha untuk tetap tabah menghadapi kenyataan yang ada.
Murid-murid Bara Seta tak lama kemudian telah
pula mengurus jenazah si Bangkotan Koreng Seribu
dengan tanah. Hujan mulai turun sangat lebat, dan
pada saat yang sama gelegar bunyi petir sambung me-
nyambung tiada henti. Namun mereka yang sedang
mengikuti upacara pemakaman sederhana itu, sedikit-
pun tiada pula merasa terusik. Bahkan tak lama ke-
mudian terdengar pula suara Buang Sengketa mening-
kahi gemuruh suara hujan:
"Kapal tua yang selama ini memberi perlindungan hangat terhadap seorang bocah.
Kini telah pergi ber-layar menuju pelabuhan terakhir. Dia tetap akan berla-buh
di sana selama-lamanya menunggu pengadilan
Yang Maha Adil. Tinggallah sebuah kenangan atas ja-sa-jasanya. Seorang bocah
pasti selalu mengingatnya.
Pergilah hai, Kapal tua, aku melepasmu dengan hati ridho, dan moga pula engkau
selalu diridhoi."
Usai berkata begitu, Buang Sengketa dengan di-
ikuti oleh yang lainnya nampak merangkapkan kedua
tangannya di depan dada, selanjutnya dia pun mem-
bungkuk penuh hormat. Sementara itu hujan semakin
bertambah lebat, terlihat pula air laut mulai pasang naik. Lewat sepemakan sirih
upacara pemakaman itupun segera usai, Buang Sengketa dan yang lainnya
yang sudah basah kuyup cepat-cepat meninggalkan
tempat itu, kemudian melangkah memasuki gua ka-
rang tempat di mana si Bangkotan Koreng Seribu ta-
dinya berada. * * * Perguruan Batu Kiambang adalah sebuah pergu-
ruan yang memiliki murid yang sangat besar jumlah-
nya. Perguruan itu dipimpin oleh seorang tokoh sakti yang memiliki badan sangat
kerdil sekali. Siang itu Jumparing Retno atau si tokoh kerdil
yang jadi pimpinan partai sekaligus merupakan ketua Perguruan Batu Kiambang.
Nampak sedang berkumpul
dengan para murid-muridnya.
Sejenak laki-laki katai itu memandang pada se-
mua murid-muridnya, lalu perhatiannya pun terhenti
setelah kedua matanya yang angker itu bersitatap dengan mata Lukas Asmoro.
Laki-laki berjenggot kambing itu nampak me-
nundukkan kepalanya begitu, Jumparing Retno me-
mandang tajam padanya.
"Baru kali ini seumur hidupku aku mempunyai
seorang murid nomor satu, namun memiliki jiwa yang
sangat pengecut sekali. Kawan-kawanmu terbunuh
semuanya, padahal menurut laporanmu kalian berga-
bung dengan ketiga partai yang lainnya. Lalu partai semacam apakah yang
merupakan sebuah perseku-tuan bagi kalian" Kalau dalam menghadapi murid si
Bangkotan Koreng Seribu saja, kalian sudah keok?"
"Orang itu sangat sakti sekali, Ketua! Dia memiliki pukulan yang sangat dahsyat.
Padahal sebelum ke-
hadirannya, kami sudah hampir dapat menghancur-
kan orang-orang Candak Ginaka...!" jawab Lukas Asmoro masih dengan wajah
tertunduk. "Dan nyatanya kau lari terkencing-kencing, setelah mengetahui kehebatan tikus
itu. Puih...! Padahal aku memberi perintah padamu, dengan cara bagaimana pun
kalian harus mendapatkan kitab jurus-jurus
Koreng Seribu yang sangat luar biasa itu. Semuanya
jadi berantakan, murid-murid pada kojor semuanya.
Lalu apa yang dapat aku harapkan dari kalian sebagai seorang murid...?" tanya si
Katai Jumparing Retno dengan nada meninggi. Maka semakin bertambah
menciut sajalah hati Lukas Asmoro dibuatnya. Lalu
dengan terbata-bata dia menyahut:
"Gu... guru dan ketua... maafkan muridmu yang
bodoh ini, murid berjanji untuk menebus kesalahan
ini, walau nyawa sebagai taruhannya...!"
Jumparing Retno yang hanya bercawat itupun
hanya tersenyum sinis begitu mendengar apa yang di-
katakan oleh Lukas Asmoro.
"Omonganmu seperti beo saja, Lukas Asmoro!
Tapi kau memiliki jiwa seorang pengecut. Kau kira aku akan membiarkanmu pergi
dengan kawan-kawanmu
yang lain" Sama sekali tidak! Kalau pun kau pergi ke Tanjung Api, maka aku juga
akan ke sana, dan aku
pun ingin lihat bagaimana sih hebatnya murid si
Bangkotan Koreng Seribu yang membuat heboh dunia
persilatan itu...?" tukas Jumparing Retno mencemooh.
Sebaliknya Lukas Asmoro demi mendengar kepu-
tusan gurunya nampak menarik nafas pendek.
"Jadi kapan kita berangkat, Guru...?" tanyanya bersemangat.
"Sekarang juga kita harus berangkat ke sana!"
jawabnya berapi-api.
Lukas Asmoro nampak meragu, dengan sangat
hati-hati dia berucap:
"Mengapa harus sekarang, Ketua..." Bukankah
lebih baik esok, atau bahkan lusa saja..."
Jumparing Retno nampak terkesiap, bahkan tu-
buhnya sangat pendek itu sampai terlonjak dari atas singgasananya yang
berlapiskan kain sutera. Dengan
sangat gusar sekali, laki-laki kerdil itu menghentakkan kakinya ke lantai.
Lantai itupun amblas hingga membuat kaki laki-laki kerdil itu terbenam sebatas
lutut. Lalu cepat-cepat dia menyentakkan kakinya yang ter-
benam itu. "Lukas Asmoro, andai saja kau bukan murid
yang paling kuperhatikan selama ini. Sudah pasti aku telah membunuhmu sejak
tadi-tadi...!" bentaknya dengan tubuh menggigil karena dilanda kemarahan yang
tertahan-tahan. Pucat wajah Lukas Asmoro, seketika
itu juga. Tiada kata yang terucap. Wajahnya semakin menunduk dalam-dalam.
"Aku tak mau tahu, yang penting sekarang juga
kita harus berangkat. Siapkan kuda-kuda yang ter-
baik. Aku tak ingin Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu sampai terjatuh ke tangan
orang lain...!" teriak Jumparing Retno.
Sementara itu Lukas Asmoro tanpa berani berka-
ta apapun, segera mengerjakan apa yang diperintah-
kan oleh ketuanya.
Tidak sampai setengah jam kemudian rombongan
berkuda itupun telah berlalu meninggalkan perguruan, menuju Pantai Tanjung Api.
*** 7 Guru Beruang Merah sesungguhnya merupakan
seorang perempuan tua renta yang berusia sekitar
sembilan puluh tahun. Pada jaman jaya-jayanya dulu, selama hampir tiga puluh
tahun malang melintang di
dunia persilatan. Perempuan renta yang bernama Nyai Tambak Sari ini merupakan
seorang tokoh sesat yang
sangat telengas dan suka berlaku sewenang-wenang
terhadap berbagai golongan kaum persilatan. Dengan
jurus dan pukulan-pukulan Beruang Merah yang
membuat geger dunia persilatan, dia menyebarkan
onar di mana-mana. Ratusan jiwa telah melayang di-
renggutkan tangannya yang keji.
Dari sekian banyak tokoh-tokoh tingkat tinggi,
hanya seorang saja tokoh persilatan yang selama itu mampu mengalahkan dirinya.
Bahkan kedua matanya
pun buta akibat ulah laki-laki itu. Sampai menjelang pengasingannya di Pulau
Kemelut Di Majapahit 11 Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek 11
^