Pencarian

Badai Selat Malaka 2

Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka Bagian 2


Beruang Merah dia masih
menaruh dendam pada laki-laki itu
Beberapa waktu yang lalu, manakala dia men-
dengar musuh bebuyutannya itu meninggal dunia,
maka dengan segera dia mengutus murid, sekaligus
merupakan Ketua Beruang Merah.
Namun nampaknya dia terpaksa harus menelan
kina pahit, setelah seminggu kemudian para utusan-
nya itu kembali dengan membawa kekalahan. Dia san-
gat terpukul sekali dengan kejadian yang dialami oleh murid-muridnya.
Sebagai seorang guru yang telah menurunkan
segala apa yang dipunyainya kepada murid-muridnya.
Sedikit banyaknya timbul juga tanda tanya di hatinya.
Basra Panewu dan Sudak Pari adalah dua orang mu-
rid, yang selama ini sepak terjangnya menjadi hantu dalam dunia persilatan. Ilmu
kepandaian dan juga pukulan Beruang Merah yang mereka miliki juga sudah
mencapai taraf yang sangat sempurna.
Dan menurut laporan murid-muridnya, yang
mengalahkan mereka di Tanjung Api hanyalah seorang
pemuda yang berpakaian gembel bahkan terbilang ma-
sih sangat muda. Yang membuat heran Nyai Tambak
Sari adalah karena pemuda berkuncir itu mengaku-
aku sebagai muridnya si Bangkotan Koreng Seribu.
Padahal seperti dia ketahui, selama ini si Bangkotan Koreng Seribu tak memiliki
atau bahkan tak pernah
mengangkat seorang murid pun.
Rasa penasaran dan keingintahuan pada akhir-
nya telah membulatkan tekadnya untuk sampai di
Tanjung Api, sekaligus untuk mendapatkan Kitab Ju-
rus-jurus Koreng Seribu.
Hari itu juga dengan membawa rombongan yang
sangat besar, berangkatlah Nyai Tambak Sari, Basra
Panewu dan Sudak Pari menuju Pantai Tanjung Api.
Sementara itu pada saat yang sama di sebuah tempat
yang bernama Sendang Hamparan Perak. Kegiatan
yang sama pun nampak sedang berlangsung di tempat
itu. Jauh berbeda dengan par-tai-partai lainnya. Tiklu Sara dan beberapa orang
murid yang tersisa, kelihatan sedang menghadap ke arah sendang yang memiliki air
sangat jernih sekali.
Tak lama setelahnya, Tiklu Sara segera melapor-
kan segala sesuatunya yang telah menimpa mereka.
Suaranya begitu lantang, sehingga menggema di mana-
mana. Bahkan getaran suara itu sampai pula menem-
bus ke dasar sendang.
Suara Tiklu Sara nampaknya cukup di-dengar
oleh sosok mahluk yang berada di dasar sendang itu.
Mahluk yang berujud sangat mengerikan itu seperti
terjaga dari tidurnya. Mula-mula bagian ekornya
menggeliat, air di dalam sendang itu bergolak-golak.
Selanjutnya manakala sosok panjang yang berujud
seekor ular naga itu meluncur ke atas permukaan air.
Maka saat itu pula ujudnya yang sangat mengerikan
itu secara perlahan pun telah berubah menjadi sosok tubuh berjubah putih.
"Byuur!"
Sosok naga yang telah berubah menjadi manusia
setengah tua dan rambut, kumis serta jenggotnya yang sangat panjang dan telah
memutih pula, kelihatan
berdiri tegak di atas permukaan air. Begitu melihat kehadiran laki-laki itu,
maka serentak Tiklu Sara dan
beberapa murid yang hadir di tempat itu, nampak se-
gera menghaturkan sembah.
"Guru Bagawan Ardi Soma! Murid kembali den-
gan membawa sebuah kekalahan... maafkanlah mu-
ridmu ini. Kami telah berusaha sedapat yang kami bi-sa, namun ternyata, si
Bangkotan Koreng Seribu me-
miliki seorang murid yang sangat tangguh sekali...!"
berkata Tiklu Sara dengan wajah bersemu merah.
Laki-laki setengah tua dengan tubuhnya yang
semampai itu memandang sejenak pada muridnya. So-
rot matanya tajam, dan membuat jeri bagi siapapun
yang memandangnya. Laki-laki itu menggumam den-
gan suara yang hampir saja tak terdengar.
"Tiklu Sara... tahukah kau tugas apa yang telah aku berikan padamu?" tanya
Begawan Ardi Soma penuh teguran.
"Murid selalu mengingatnya...!"
Begawan Ardi Soma geleng-gelengkan kepalanya.
"Bohong! Kau tak pernah mengingatnya,
Tiklu Sara...! Beberapa waktu yang lalu aku sengaja mengutus mu ke sana adalah
untuk melihat benarkah
si Bangkotan Koreng Seribu telah meninggal dunia"
Namun ternyata setelah kau sampai di sana pendi-
rianmu berubah, kau telah bersekutu dengan orang-
orang sesat. Kau bergabung dengan mereka, untuk
kemudian kalian maju bersama-sama mengeroyok mu-
rid-murid Candak Ginaka yang tak berdosa itu. Tidak-kah segala tindakanmu itu
memalukan aku sebagai
seorang begawan yang seharusnya menjadi pelindung
dan pembimbing semua umat yang membutuhkan per-
tolongan...?"
"Guru...!" sergah Tiklu Sara, lalu menjatuhkan diri dan berlutut di atas tanah.
"Murid takut pada ancaman orang-orang Beruang Merah, pula mereka tak
tahu dari golongan manakah murid berasal...!" bantah
Tiklu Sara setengah membujuk. Sesungging senyum
yang tak dapat diduga maknanya oleh Tiklu Sara
menghiasi bibir Begawan Ardi Soma. Namun sekejab
kemudian dia sudah berkata: "Hemm. Beginikah tingkah laku orang yang ingin
mengorbankan hidupnya
sebagai seorang begawan" Sejak dulu pun aku selalu
meragukan kejujuran hatimu, Tiklu Sara. Itu makanya walaupun sudah berpuluh-
puluh tahun kau menjadi
muridku, aku masih belum juga mengangkatmu men-
jadi seorang calon begawan. Sebab apa" Semua itu karena aku masih selalu melihat
ketidak jujuran hati-
mu... tahukah kau bahwa menjadi orang tua yang baik itu terlalu sulit. Tapi
menjadi orang tua yang benar-benarnya orang tua jauh lebih sulit lagi. Tiklu
Sara, sa-tu kesalahan yang tak pernah terampuni adalah apabi-la sebuah
kepercayaan tak pernah dilaksanakan seba-
gaimana mestinya. Karena kesalahan itu telah kau
perbuat, dan kulihat pula ketidak jujuran di hatimu.
Maka sebagai kutuk ku. Tetaplah kau tinggal di dalam sendang ini selama sepuluh
tahun. Sementara itu biar aku sendiri yang akan berangkat ke Tanjung Api untuk
melihat keramaian yang akan terjadi di sana!" berkata Begawan Ardi Soma pada
Tiklu Sara dan tiga orang
murid-murid tersisa.
Tak dapat disangkal lagi, menggigillah tubuh Tik-
lu Sara demi mendengar keputusan gurunya.
"Guru, sampai hatikah engkau menghukum mu-
ridmu sampai sedemikian rupa" Bukankah baru sekali
ini saja murid melakukan sebuah kesalahan...?" kata Tiklu Sara menghiba.
"Ha... he... he...he...! Karena kau telah melakukan banyak kesalahan, maka
kesalahan yang paling
besar saja yang selalu kau ingat! Hemm. Sungguh se-
kalipun segala keputusanku tak pernah berobah, dan
kau harus dengan rela menjalaninya. Sebab hanya ja-
lan inilah satu-satunya yang terbaik buatmu...!"
"Guru, mengapa kau tak pernah memberiku
maaf?" tanya Tiklu Sara merasa kurang puas dengan keputusan yang telah diambil
oleh gurunya. "Maaf selalu kuberikan pada siapa pun! Namun
kalau maaf itu kuberikan padamu, maka kau akan
menjadi manusia yang paling banyak melakukan do-
sa...!" "Kalau begitu murid, tak terima...!" bantah Tiklu Sara dengan wajah
memerah karena menahan amarah
yang sejak tadi dipendamnya. Kiranya segala apa yang ada di hati Tiklu Sara,
rupanya bagi Begawan Ardi So-ma sudah berada di dalam perhitungannya.
"Tiklu Sara murid murtad! Karena kedurhakaan
mu itu, maka aku telah mengutukmu menjadi sebuah
Patung Naga Banjaran. Diamlah kau di situ selama-
lamanya, tak akan pernah berakhir kutuk ku itu, terkecuali akan datang seseorang
padamu, seorang pe-
muda pengelana dengan membawa sebuah Cambuk
Gelap Sayuto di tangannya. Jalanilah kutukan mu itu, semoga kau menyadari sejauh
mana kau telah melangkah di sebuah jalan yang sangat lurus...!" kata Begawan
Ardi Soma. Sesaat saja setelah ucapan itu, maka bertiuplah
angin yang sangat kencang sekali. Nampaknya kutuk
yang telah dijatuhkan oleh Begawan Ardi Soma pada
muridnya mulai berlaku.
Mula-mula, tubuh Tiklu Sara tersentak ke bela-
kang. Sementara sepatah kata pun tak mampu terucap
dari bibir Tiklu Sara, lidah terasa kelu membeku. Tanah di sekitar tempat itu
kemudian tergetar, mata murid Begawan Ardi Soma terbelalak, bagai melihat setan
di tengah hari bolong.
Kemudian seiring dengan berhembusnya badai
topan, maka tubuh Tiklu Sara sedikit demi sedikit mu-
lai mengalami perubahan ujud. Empat orang murid
lainnya nampak terheran demi melihat kejadian yang
berlangsung di depan mata mereka. Dan dalam hati
mereka timbul satu pertanyaan, akankah keadaan se-
perti itu juga menimpa, diri mereka semuanya.
Saat itu tubuh Tiklu Sara benar-benar telah be-
rubah menjadi sosok Naga Banjaran dengan rupa yang
sangat menyeramkan. Mulut menganga dengan lidah
menjulur ke luar. Sorot matanya memancarkan rasa
ketidak senangan yang tiada tertahankan. Namun Be-
gawan Ardi Soma sudah tiada memperdulikan keadaan
itu. Satu kalimat kemudian terucap dari bibirnya.
"Itulah karmaku. Sebuah karma kebenaran! Dan
kalian empat murid lainnya, jadilah kalian penjaga patung Tiklu Sara di tempat
ini selama-lamanya, sampai kemudian datang seseorang pada kalian. Kalau kalian
selama menjalani kutukan ini dapat melakukannya
dengan ikhlas, maka dewata akan menggugah hati
pemuda itu untuk membebaskan diri kalian dari kutuk ku...! Nah selamat
menjalani...!" kata begawan yang dapat merobah-robah ujudnya itu dengan hati
mantap. Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi, Begawan
Ardi Soma segera bergerak tubuhnya dari atas permu-
kaan air sendang nan jernih. Tubuh tokoh sakti kea-
gamaan itu akhirnya melayang bagai tiada memiliki
bobot. Dalam waktu sekejab saja begawan yang men-
diami Sendang Hamparan Perak itupun telah lenyap
dari pandangan keempat muridnya yang tiada sanggup
bergerak ke mana-mana. ***
8 "Haiiiit... Shaaa...!" Tubuh Buang Sengketa bergerak sedemikian cepatnya,
sehingga tinggal merupakan bayang-bayang belaka. Tubuhnya yang bertelanjang
dada itupun sudah bercucuran dengan keringat.
Sungguhpun begitu bagai tak kenal rasa lelah saja dia terus melatih diri dengan
jurus-jurus baru peninggalan terakhir, si Bangkotan Koreng Seribu. Baginya
jurus-jurus tangan kosong Koreng Seribu, merupakan jurus
silat yang paling rumit yang pernah dia pelajari. Selain itu juga banyak menyita
tenaga dan harus berkonsen-trasi penuh, andai tidak ingin celaka.
Jurus silat tangan kosong Koreng Seribu secara
lahiriah tak ubahnya bagai jurus si Gila Mengamuk.
Gerakan maupun pukulannya tiada beraturan dan ti-
dak pula berketentuan, tapi tak dapat disangkal kalau jurus peninggalan si
Bangkotan Koreng Seribu itu
memiliki banyak kelebihan dibandingkan jurus-jurus
silat tangan kosong yang telah dikuasainya.
"Hiaaat.... Wuuut.... Bluaaar...!"
Sambil berkelebat cepat, Buang lepaskan satu
pukulan ke arah deretan batu-batu karang yang men-
julang tinggi. Pukulan yang dilepaskannya menderu
dahsyat dan bahkan sampai timbulkan suara bercui-
tan. Begitu satu rangkaian gelombang sinar yang berhawa panas luar biasa itu
mencapai pada sasarannya.
Maka satu letupan yang membuat berantakan batu
karang itupun terdengar.
Begitulah halnya yang terjadi hampir setiap ha-
rinya di tempat itu. Apa yang ada dalam hati Pendekar Hina Kelana adalah
bagaimana caranya agar dalam
waktu yang sangat singkat dia sudah dapat menguasai
semua jurus Koreng Seribu yang merupakan warisan
gurunya yang terakhir.
"Buang! Istirahatlah... sejak pagi kau tenggelam dalam latihanmu yang sangat
melelahkan itu...!" berkata Bara Seta, selanjutnya laki-laki berbadan gemuk dari
Lubuk Sikaping itu mengangsurkan beberapa ekor ikan laut yang baru saja di
panggangnya. Buang Sengketa menerimanya, kemudian di atas
batu-batu karang mereka terlibat percakapan.
"Buang Sengketa...!" ucap Bara setelah agak lama dia memandangi wajah pemuda
yang sangat tampan
ini. Yang dipanggil hanya menelengkan kepalanya se-
bentar, tapi kemudian telah kembali lagi tatapan matanya ke laut lepas,
"Ada apa, Paman...?"
Bara Seta menarik nafas pendek, seperti ada se-
suatu yang mendesak dan ingin ditanyakan secara
langsung. "Aku ingin mengetahui sesuatu lebih banyak lagi tentang kau, tetapi...?" Bara
Seta sejenak nampak meragu. "Katakan saja, Paman... mengapa harus sungkan-
sungkan..."!" menyela pemuda dari Negeri Bunian itu dan kali ini sudah menatap
tajam pada Bara Seta.
"Buang! Menurut bapak, benarkah kau hidup se-
batang kara di dunia pana ini?"
Pendekar Hina Kelana untuk sesaat lamanya
hanya terdiam, tapi tak lama kemudian dia sudah
menganggukkan kepalanya pelan.
"Kau seorang keturunan raja di alam gaib sana, apakah juga benar...?" lanjut
Bara Seta setengah me-nyelidik.
Buang hanya tersenyum-senyum saja, walau se-
sungguhnya hati kecilnya menjerit. Raja Ular Piton di alam Negeri Bunian, itu
memang benar adanya. Tetapi
untuk apa Bara Seta menanyakan hal itu" Batin Pen-
dekar Hina Kelana merasa risih dengan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh Bara Seta.
"Mungkin begitu, Paman! Aku sendiri tak dapat
memastikannya, sebab sejauh ini aku belum pernah
bertemu dengan ayahanda ku...!" jawab si pemuda akhirnya.
"Sendiko, Gusti! Kalau begitu aku harus men-


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gabdikan hidupku padamu, Buang!" kata Bara Seta, kemudian menjura hormat dalam-
dalam. "Ha... apa-apaan ini, Paman Bara Seta!" ucap si pemuda nampak terperangah.
"Sudah menjadi kodrat seandainya aku bertemu
dengan seorang pemuda dari negeri alam gaib, aku harus mengabdi padanya...!"
"Tapi aku tak mau begitu, Paman...?" sahutnya setengah tersentak. Sebaliknya
Bara Seta dan keempat orang muridnya masih tetap dengan posisinya. Mem-bungkuk
hormat. "Jangan sungkan-sungkan, Buang! Kami akan
mengabdi padamu...!"
"Aku tetap tak mau!" kata Buang Sengketa tetap pada pendiriannya.
Sementara dalam keadaan seperti itu, di luar se-
pengetahuan mereka serombongan orang-orang ber-
kuda nampak telah mengepung Pantai Tanjung Api
yang merupakan tempat tinggal mereka.
Jumlah para pengepung itu tak lebih dari lima
belas orang. Suatu jumlah yang sesungguhnya tidak
terlalu besar. Namun karena mereka telah siap dengan pasukan pemanahnya maka hal
itu akan menjadi sangat berbahaya sekali bagi keselamatan Buang Sengke-
ta, Bara Seta dan keempat orang muridnya. Masih un-
tung dalam keadaan terkepung seperti itu, salah seorang murid Bara Seta sempat
melihat beberapa orang
di atas batu karang dengan senjata siap di tangan.
"Guru, lihat! Orang-orang itu akan menghujani
kita dengan panah-panah mereka!" teriaknya, dan saat itu juga mereka langsung
mencabut senjatanya. Hanya sekejab saja Bara Seta dan Pendekar Hina Kelana me-
nyapu pandang pada bukit karang yang ada di seki-
tarnya, ternyata memang benar apa yang dikatakan
oleh salah seorang muridnya. Tempat itu kini telah terkepung oleh murid-murid
Batu Kiambang. "Buat pertahanan Candak Ginaka Mem-
pertahankan Pedang Mustika!" perintah Bara Seta.
Dan sungguh luar biasa sekali, belum lagi Bara Seta usai dengan ucapannya
keempat orang muridnya sudah membentuk posisi melingkar, membentuk sebuah
pertahanan yang sangat kokoh.
Demi menghadapi kenyataan yang tiada terduga-
duga sebelumnya, Buang nampak menjadi sangat gu-
sar sekali. "Manusia-manusia pengecut! Kalian benar-benar
ingin mencari penyakit telah begitu berani berurusan denganku...!" maki pemuda
itu dengan suara yang lantang sekali.
Sesaat suasana di sekitarnya menjadi sunyi sepi,
tiada apapun yang terdengar, hanya deburan ombak di laut nan luas. Namun sesaat
kemudian terdengar suara tawa yang sangat menyakitkan gendang-gendang te-
linga bagi siapa saja yang mendengarnya.
Selanjutnya terdengar pula suara ucapan yang
lebih condong pada perintah dan makian.
"Kepada bocah yang mengaku dirinya sebagai si
Hina Kelana. Menyerah dan serahkan Kitab Jurus-
jurus Koreng Seribu. Jika tidak, aku Jumparing Retno dari Perguruan Batu
Kiambang, akan menghapuskan
nama besarmu dari permukaan bumi ini!"
Buang Sengketa terpana, dari nada suaranya ra-
sa-rasanya dia baru kali ini melihat orang itu. Tapi dia pun tak dapat
menyangkal bahwa orang yang baru bicara tadi sesungguhnya memiliki tenaga dalam
yang sudah sangat sempurna sekali. Diam-diam dia mulai
memperhitungkan seberapa banyak orang-orang yang
berada di atas bukit-bukit karang tersebut. Akhirnya tanpa mengesampingkan lawan
bersenjatakan panah
yang jumlahnya sangat lumayan itu, Buang Sengketa
pun balas membentak:
"Hemm. Enak betul bicaramu! Sungguhpun kau
seorang iblis dari neraka sekalipun, jangan kira aku akan undur walau barang
setapak pun!" bantahnya dengan suara dingin sekali. Sudah barang tentu, jawa-ban
si pemuda yang di luar perhitungannya itu, mem-
buat Jumparing Retno. Atau si tokoh kerdil ini menjadi gusar luar biasa.
"Kuperingatkan sekali lagi, serahkanlah Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu kepada
kami. Jika tidak,
seandainya gurumu masih hidup sekalipun tidak nan-
tinya dia ungkulan menghadapi aku!"
"Hanya manusia edan saja yang mau percaya
dengan segala bualanmu...!" ejek Buang Sengketa.
Saat itu kemarahan Jumparing Retno sudah
sampai pada puncak kemarahannya, maka tanpa ba-
nyak cakap lagi dia langsung memberi isyarat pada
murid-muridnya.
"Hajar mereka, dengan hujan panah...!" teriak Jumparing Retno. Maka sedetik
kemudian berhambu-ranlah anak-anak panah yang jumlahnya sangat besar
sekali. Murid-murid Candak Ginaka yang jumlahnya
hanya empat orang itu, segera putar pedangnya. Se-
dangkan Bara Seta dan Pendekar Hina Kelana, sebe-
lum panah-panah beracun itu sampai padanya telah
pula kirimkan pukulan jarak jauhnya.
"Wus... wusss.... Trang... trang...!"
Panah-panah itu berpentalan ke segala arah, be-
gitu pedang di tangan murid Bara Seta maupun puku-
lan-pukulan yang dilepas-kan oleh Buang dan Bara
Seta menyongsong datangnya hujan panah yang tiada
henti-hentinya itu.
"Arrrrrgkh...!"
Beberapa orang yang berada di atas batu karang
itu menjerit roboh, saat mana Buang menyambitkan
beberapa batang anak panah yang berada di dekatnya.
Namun karena datangnya hujan panah itu tiada henti.
Maka mau tak mau Buang Sengketa habis juga kesa-
barannya. Lalu satu pukulan Empat Anasir Kehidupan
dia lepaskan mengarah pada pasukan pemanah itu.
Satu gelombang sinar yang berhawa sangat pa-
nas luar biasa datang menggebu. Beberapa murid Batu Kiambang tersentak, namun
sudah tidak keburu untuk menyelamatkan diri. Tanpa ampun lagi, sinar Ultra
Violet itupun langsung menghajar tubuh mereka.
"Blaaaar!"
"Arrrgghk!"
Mereka ini tewas seketika dengan keadaan tubuh
hangus secara mengerikan. Baik Lukas Asmoro mau-
pun Jumparing Retno, nampaknya sangat terperanjat
demi melihat nasib yang dialami oleh murid-muridnya.
Tapi sebelum rasa kejut di hati mereka lenyap sama
sekali, Buang Sengketa telah lepaskan satu pukulan si Hina Kelana Merana. Lagi-
lagi selarik gelombang yang menimbulkan hawa lebih panas lagi melesat menghantam
murid-murid Batu Kiambang. Lebih dari lima
orang pemanah menemui ajalnya menyusul kawan-
kawannya terdahulu.
"Berhenti...!" perintah Jumparing Retno, merasa tak tega melihat nasib tragis
yang dialami oleh murid-muridnya. Diikuti oleh Lukas Asmoro, Jumparing Ret-
no melesat dari tempat persembunyiannya.
"Jliiik! Jliiiik!"
Jumparing Retno dan Lukas Asmoro menda-
ratkan kakinya di atas tanah berpasir putih tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
Selanjutnya dia mengi-
tarkan pandangan matanya pada Buang Sengketa, Ba-
ra Seta dan juga pada keempat orang murid yang lainnya. Pada saat itu, hal yang
sama pun dilakukan oleh Buang Sengketa. Pemuda ini tampak agak tertegun begitu
melihat sosok katai yang hanya mengenakan ca-
wat saja. Manusia katai itu berusia berkisar lima puluh enam tahun. Di tangannya
menggenggam tongkat
berkepala srigala, sedangkan pada bagian kepalanya
yang hanya ditumbuhi rambut beberapa helai itu ditutup dengan sebuah topi dari
kulit menjangan.
"Heh, kiranya engkaulah kunyuknya yang telah
begitu berani kelayapan sampai ke Tanjung Api ini...?"
gerutu Pendekar Hina Kelana dengan sesungging se-
nyum mengejek. Laki-laki katai itu mendengus, masih dengan
memandang remeh tak kalah sengitnya dia pun ikut
membentak. "Kaukah yang punya julukan si Hina Kelana itu"
Beh, kau lebih pantas menjadi rajanya para gembel.
Sayangnya kau segera mampus... dan kematianmu
hanya bisa ditunda pabila kau mau menyerahkan Ki-
tab Jurus-jurus Koreng Seribu!" bentak Jumparing Retno sambil tudingkan
telunjuknya yang hanya dua
inci itu. Buang Sengketa tersenyum sinis, wajahnya
membayangkan sesungging seringai maut. Sementara
itu Bara Seta yang sudah tiada sabaran lagi, segera pula membentak.
"Buang, mengapa harus bertele-tele, lebih baik kita gebuk cacing kerdil kurang
makan ini, biar dia ti-
dak ngebacot di depan kita...!" tukas Bara Seta merasa sudah tak sabaran lagi.
Jumparing Retno menjadi semakin panas saja
hatinya, maka dengan kedua bola mata melotot bagai
mau melompat ke luar dia pun berseru:
"Ikan Buntal tak tahu adat, makanlah nih puku-
lanku. Sheaaat...!" Berkata begitu, Jumparing Retno pukulkan tangan kanannya
mengarah pada Bara Seta.
Sudah barang tentu Bara Seta yang sudah bersiap sia-ga sejak tadi juga tidak
tinggal diam. Serta merta dia pun pukulkan tangan kirinya memapaki serangan
yang dilancarkan oleh si kerdil.
Maka tak terelakkan lagi, pukulan Candak Gina-
ka Menjungkir Batu Membabat Bukit, itupun menderu
memapaki datangnya pukulan Srigala Hutan Mener-
kam Mangsa itupun saling bertemu.
"Bluuummm!"
Tanah di sekitar pantai itu nampak tergetar, pa-
sir-pasir yang berwarna putih itupun beterbangan. Ba-ra Seta terpelanting sampai
tiga tombak jauhnya, sementara itu darah mengalir dari celah-celah bibirnya yang
berkumis sangat lebat. Tapi sungguh hebat daya tahan Bara Seta, sebab tak lama
kemudian dia telah
bangkit kembali dengan keadaan siap melakukan se-
rangan balasan.
Saat itu Jumparing Retno yang masih tetap ber-
diri tegak di tempatnya tanpa kekurangan sesuatu
apapun, keluarkan tawa mengekeh.
"Ah... ahh... ha...! Cuma segitu saja rupanya kekuatan dedengkot Candak Ginaka!"
Sejenak dia berpaling pada Pendekar Hina Kela-
na, lalu lanjutnya. "Bocah gembel! Maju saja sekalian, biar aku tak usah
bersusah payah mengirim kalian ke neraka!" tantangnya dengan nada sangat
meremehkan sekali.
"Baik... itulah keinginanmu, Paman Bara Seta!
Hadapilah tikus-tikus itu! Biar akan kujajal sampai di mana kehebatan kerdil
jelek ini...!" berkata begitu, Buang Sengketa segera melangkah setindak dua.
Saat itu Bara Seta sudah pula berhadapan dengan Lukas
Asmoro dan beberapa orang murid yang tersisa.
"Sekarang kita ketemu lagi, Lukas Asmoro. Apa-
kah dengan mengandalkan cacing kerdil itu kau ber-
harap dapat berbuat banyak?" tanya Bara Seta dengan disertai sesungging senyum
mengejek. "Kutu kampret! Kali ini aku akan mengadu jiwa
denganmu...!" maki Lukas Asmoro. Sesaat kemudian dengan dibantu oleh murid-
muridnya, Lukas Asmoro
sudah menggempur Bara Seta dan keempat orang mu-
rid yang tersisa.
Sementara itu Buang Sengketa dan si kerdil ber-
kancut, sudah bergebrak mendahului, dengan seran-
gan-serangan yang sangat dahsyat. Buang Sengketa
juga tak ingin bertindak sungkan-sungkan. Dengan
mempergunakan jurus-jurus silat tangan kosong.
Buang Sengketa mengerahkan segenap kemampuan-
nya. Maka dalam waktu sekejab saja pertarungan itu-
pun berlangsung sangat seru sekali. Buang segera pula mempergunakan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra saat mana Jumparing Retno menye-
rangnya dengan jurus Srigala Menyergap Harimau
Tua. Pukulan-pukulan dahsyat untuk selanjutnya me-
reka lancarkan. Sementara tubuh mereka berkelebat
sangat cepat sekali. Masing-masing lawan nampaknya
berusaha secepatnya ingin menjatuhkan pihak lawan.
"Ciaaaaat.... Haiiiiit...!" Dalam kesempatan itu guru kerdil dari Batu Kiambang
itu telah lancarkan
pukulan dahsyat yang diberi nama Srigala Bergabung
Menghalau Burung Hantu. Tak pelak lagi selarik sinar
yang berwarna biru keperak-perakan melesat sedemi-
kian cepatnya mengarah ke bagian dada Pendekar Hi-
na Kelana. Menyadari bahaya yang sedang mengancam
jiwanya, Buang juga melepaskan satu pukulan yang
tak kalah dahsyatnya.
Pukulan Empat Anasir Kehidupan, maka saat itu
juga segelombang sinar yang berwarna Ultra Violet
dengan menebarkan hawa panas luar biasa datang
menggebu memapaki datangnya sinar yang berhawa
sangat dingin luar biasa.
"Blaaaaam!"
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya,
tubuh si kerdil Jumparing Retno terpelanting sepuluh tombak. Andai saja dia
tidak memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai taraf yang sudah sangat
sempurna, sudah barang tentu tubuhnya akan menjadi
remuk manakala membentur batu karang yang berada
di belakangnya.
*** 9 Sementara tubuh Pendekar Hina Kelana sendiri
nampak tergetar dengan kaki amblas ke tanah sampai
sebatas lututnya. Dengan cepat dia cabut kedua ka-
kinya yang terbenam di dalam pasir pantai itu. Kemudian dia hanya leletkan
lidahnya saat mana dia merasakan dadanya sesak luar biasa. Maka secepatnya dia
himpun hawa murni, dan tak lama kemudian tubuhnya telah kembali seperti
sediakala. Karena saat itu Jumparing Retno telah kembali menyerangnya dengan
pukulan-pukulan andalan. Maka Buang tak ingin lagi
membuang-buang waktu dengan percuma, sekejab
kemudian tubuhnya telah berkelebat lenyap hingga
tinggal merupakan bayang-bayang mereka.
"Shaaaa...!"
Lagi-lagi Jumparing Retno kirimkan satu puku-
lan yang sangat ganas, yaitu pukulan Selaksa Halilin-tar Menggempur Bukit.
Begitu tangannya berkiblat,
maka detik kemudian menderulah serangkum gelom-
bang berwarna kuning menggebrak ke arah tubuh
Buang Sengketa. Saat itu juga Buang yang sudah san-
gat kesal melihat tingkah si katai bertopi kulit manjangan ini segera melepas


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan si Hina Kelana Mera-
na. Detik itu serangkum sinar berwarna merah me-
nyala datang membadai memapaki datangnya pukulan
yang dilepaskan oleh Jumparing Retno. Dua tenaga
sakti itupun tanpa dapat dihindari lagi akhirnya saling bertubrukan di udara.
"Dhweeeeer!"
Kembali tubuh Jumparing Retno tunggang lang-
gang dengan posisi tak karuan, dan keadaan Buang
sendiri saat itu tidak lebih baik dengan apa yang dialami oleh si katai yang
merupakan guru dari Partai Batu Kiambang.
"Sialan! Bangsat cebol itu kiranya memiliki pukulan beracun yang hebat. Hmm
untung aku kebal ter-
hadap segala pukulan beracun, andai tidak sudah se-
jak tadi aku kojor dibuatnya!" batin pemuda itu. Selanjutnya dengan tubuh
sempoyongan pemuda yang me-
rupakan keturunan raja dari segala macam mahluk
halus (Siluman) segera bersiap-siap dengan posisinya.
Tapi kali ini kemarahan yang tiada tertahankan lebih menguasai dirinya.
Sementara itu Bara Seta yang sedang bertarung
melawan Lukas Asmoro dan murid-muridnya nampak
sedang dalam keadaan terdesak hebat. Walaupun saat
itu memang sudah banyak murid-murid dari Batu
Kiambang yang berguguran termakan pukulan Candak
Ginaka Membahana, akan tetapi di lain pihak murid
Bara Seta yang tinggal empat orang saja, saat itu tiga di antaranya telah gugur
pula dengan keadaan yang
sangat menggenaskan.
Masing-masing lawan kelihatannya telah mele-
paskan pukulan-pukulan mautnya, sedangkan murid-
murid Batu Kiambang yang tersisa hanya tinggal beberapa gelintir itupun
menyerang Bara Seta dengan senjatanya yang beraneka ragam.
"Caiiiit...! Mampusss!" teriak Lukas Asmoro. Pedang pendek yang sangat tipis
dengan warnanya yang
hitam legam itupun berkelebat.
Hanya sesaat sebelum senjata tajam dan men-
gandung racun yang sangat keji itu mencapai sasarannya. Bara Seta telah membuang
dirinya ke samping
kanan, selanjutnya dia berguling-guling. Akan tetapi senjata di tangan Lukas
Asmoro terus memburunya
tanpa kenal ampun.
Bara Seta yang bertubuh gemuk itu tak ubahnya
bagai sebuah karung saja, terus menggelinding kian ke mari. Namun bersikap
seperti itu tak mungkin sela-manya dapat dia pertahankan. Hingga kemudian kesa-
barannya pun benar-benar telah melampaui takaran-
nya. Dia sudah naik pitam, tanpa ampun lagi begitu
dia menggenjot tubuhnya dengan mempergunakan il-
mu mengentengi tubuh yang sudah mencapai taraf
sempurna. Maka badan yang beratnya lebih dari satu kwintal itupun sudah melesat
ke udara. Dalam keadaan seperti itu, dia pun mencabut senjatanya yang
berupa sebilah keris bereluk sepuluh.
Begitu keris pusaka Perguruan Candak Ginaka
itu berada di tangannya, maka terlihat cahaya berkilat-kilat karena ketajamannya
yang dipantulkan oleh sinar
matahari. Selanjutnya dengan teriakan menggembor bagai
seekor kerbau jantan terluka. Senjata di tangan Bara Seta menderu mencari titik
lemah pertahanan pihak
lawan yang bersenjatakan sebilah pedang pendek.
Sesaat kemudian terdengar pula lolongan maut,
saat mana salah seorang murid Batu Kiambang beru-
saha menyerobot pertahanan Bara Seta secara curang.
Murid bertubuh tinggi semampai itu menekan bagian
lambungnya yang terobek keris Bara Seta tak kurang
dari sejengkal lebarnya.
Tubuh si tinggi semampai terhuyung-huyung,
sementara tangannya yang mendekap bagian lambung
sudah basah oleh darah. Mata melotot bagai melihat
setan yang bangkit dari neraka. Selanjutnya tubuh
itupun limbung, lalu ambruk manakala darah terakhir membanjiri pasir yang putih.
Bukan main marahnya Lukas Asmoro demi meli-
hat kawan dekatnya tewas di tangan Bara Seta secara menggenaskan.
"Keparat! Ka... kau... telah membunuh orang
yang paling berharga dalam hidupku. Kau benar-benar sangat keji...!" maki Lukas
Asmoro sangat marahnya.
Bara Seta tergelak-gelak demi melihat kegusaran
lawannya. Maka masih dengan sesungging senyum si-
nis dia berkata tajam.
"He... he... he...! Membantai orang-orang kesasar merupakan pekerjaanku. Mengapa
harus disesali.
Tokh kematian itu juga akan datang pada setiap mah-
luk bernyawa secara cepat atau lambat...!"
"Kutu kupret...! Mampus...!"
"Ngguuuung!"
Lukas Asmoro yang sudah sangat kesal itu tanpa
banyak cingcong lagi, kembali babatkan pedangnya.
Bara Seta pun tidak ingin bertindak setengah-setengah
lagi, segera saja mencecar dan melakukan serangan-
serangan balasan dengan gerakan yang sangat cepat
dan sulit diduga-duga.
Sementara itu pertarungan antara Pendekar Hina
Kelana dan Jumparing Retno telah mencapai puncak-
nya. Baik Buang maupun si katai bertopi kulit men-
jangan, sejak tadi jatuh bangun dalam adu tenaga sak-ti yang saling mereka
lepaskan. Hingga beberapa saat kemudian, nampaknya si kerdil ini sudah tidak
sabar lagi menghadapi perlawanan yang cukup sengit dari
pihak lawannya.
Kini tanpa sungkan-sungkan lagi, Jumparing
Retno sudah mencabut sebuah tongkat sakti yang ber-
kepala srigala. Tongkat itu berwarna hitam mengkilat tertimpa cahaya matahari.
Demi melihat apa yang dilakukan oleh lawannya yang masih tetap saja nekad,
maka Buang semakin bertambah jengkel saja dibuat-
nya. Kini sudah jelaslah baginya, bahwa Jumparing
Retno benar-benar menghendaki nyawanya.
"Mampuslah, kau! Budak hina...!" berkata begitu manusia katai dari Partai Batu
Kiambang itu sudah
menyerang si pemuda dengan serangan-serangan
tongkatnya yang sangat berbahaya itu. Pemuda ketu-
runan Raja Ular Piton Utara dari Negeri Bunian itu, sudah tak dapat berpikir
panjang lagi. "Emaaaak...!" jeritnya, manakala tongkat di tangan Jumparing Retno, nyaris
memukul remuk batok
kepalanya. Masih belum dia berhasil menghindari terjangan tongkat itu dengan
baik. Satu sodokan susulan datang beruntun. Semakin lama semakin menggila.
Karena memang sesungguhnya saat itu Jumparing
Retno sedang mempergunakan jurus Tongkat Srigala
Menggila. Buang meskipun sudah mempergunakan jurus
silat tangan kosong si Gila Mengamuk, namun kesela-
matannya masih juga terancam. Dalam keadaan kepe-
pet seperti itu, tiba-tiba dia teringat akan sebuah jurus awal yang belum
sepenuhnya dipelajari dan dikuasainya, dari jurus-jurus Koreng Seribu, ciptaan
terakhir gurunya.
"Hiaaaa...!" Buang keluarkan jeritan melengking bagai gaung suara ratusan para
siluman yang terluka.
Seiring dengan suara jeritannya yang membahana itu, maka bagai ditelan bumi.
Pemuda itu lenyap dari pandangan mata Jumparing Retno.
"Bangsat! Ilmu siluman...!" maki manusia katai itu sambil celingukkan bagai
seekor monyet yang ke-tinggalan rombongannya. Tahu-tahu:
"Buuuuk!"
Kaki Buang Sengketa mendarat di bagian pung-
gung Jumparing Retno. Namun dalam keadaan sem-
poyongan itu dia masih sempat hantamkan tongkat-
nya. "Breeeet...!"
"Arrgggh...!" jerit Buang Sengketa. Bagian bawah ketiaknya terasa perih sekali.
Dalam keadaan sakit, namun cepat bangkit kembali. Buang Sengketa sempat
berfikir. Mengapa jurus-jurus Koreng Seribu hasil ciptaan gurunya yang terakhir
tidak ada apa-apanya"
Bahkan tidak memiliki kekuatan yang dapat diandal-
kan" Bagai orang bego yang tiada memiliki kepandaian apa-apa, selanjutnya
dirinya dipermainkan oleh Jumparing Retno yang semakin bertambah besar kepala.
Jangan-jangan kelanjutan jurus Koreng Seribu hanya-
lah sebuah kitab mainan bocah cilik! Kalau begitu
sungguh keterlaluan kakek pemuram itu. Batin Buang
Sengketa dalam hati.
Akhirnya sampailah dia pada kesimpulan demi
untuk menyelamatkan selembar jiwanya yang tiada di-
jual di warung mana pun, dia segera merubah jurus-
jurus silatnya yang paling sangat diandalkan selama ini. Si Jadah Terbuang! Tak
salah lagi, jurus yang sangat dahsyat itulah yang kini dipergunakan oleh
Buang Sengketa dalam menghadapi serangan tongkat
sakti yang berada dalam genggaman tangan lawannya.
Menghadapi perubahan yang sangat mendadak
itu, sudah barang tentu manusia kerdil dari Perguruan Batu Kiambang ini menjadi
terkejut bukan alang kepa-lang. Sama sekali dia tiada menyangka kalau si pemu-da
memiliki jurus silat tangan kosong yang sangat hebat luar bias!
*** 10 Di lain pihak, Pendekar Hina Kelana demi mera-
sakan rasa sakit yang teramat sangat akibat pukulan maupun sabetan tongkat sakti
milik Jumparing Retno.
Nampak sudah tak dapat lagi menahan kesabarannya,
dalam posisi berdiri sejauh empat meter jaraknya dari pihak lawan. Pemuda itu
memandang tajam pada
Jumparing Retno. Kedua bibirnya terkatup rapat, dengan rahang bergemeletukkan.
Dingin pandangan ma-
tanya, hawa pembunuhan terpancar dari wajahnya
yang menegang. Selanjutnya adalah bunyi mendesis
bagai seekor Ulat Piton yang sedang dilanda kemara-
han. "Manusia katai berfikiran picik! Semua kesaba-ranku sebagai seorang anak
manusia telah kuberikan!
Sepanjang itu kau tak pernah menyadarinya. Kau kira dengan kemampuan yang kau
miliki itu, kau sanggup
meruntuhkan kodrat yang telah digariskan. Bukan ke-
sombonganku kalau hari ini aku harus menggusur
nama besar Perguruan Batu Kiambang. Maafkan aku,
karena aku juga masih merupakan keturunan raja di
negeri alam gaib, terkadang kodratku sebagai titisan raja siluman menjadi
peredam dalam kodrat amarahku
sebagai seorang anak manusia!" ucap Pendekar Hina Kelana.
"Kentut busuk! Katakan saja kalau kau merasa
jera berhadapan denganku!" maki Jumparing Retno.
Tiada kata yang terucap dari mulut pemuda itu,
hanya satu lengkingan ilmu Pemenggal Roh saja yang
menyertai berkelebatnya tubuh pemuda dari Negeri
Bunian itu. Begitupun membuat tubuh murid-murid
Batu Kiambang yang hanya bersisa tiga orang itu
menggelepur roboh dengan telinga mengalirkan darah.
Baik Bara Seta, Lukas Asmoro, maupun Jumparing
Retno nampak terkesima. Demi mendengar lengkingan
ilmu Pemenggal Roh yang dapat merontokkan tebing
batu karang yang ada di sekitarnya. Namun rasa ke-
terkejutan itu nampaknya tidak berlangsung lama, karena detik kemudian dia harus
berjuang mati-matian
demi mempertahankan keselamatannya sendiri.
"Wuuus!"
Tongkat di tangan Jumparing Retno datang men-
gibas manakala Buang kirimkan satu pukulan ke arah
bagian dada manusia katai itu. Tangkisan yang tiada terduga-duga itu membuat
pendekar kita ini tak sempat menarik balik pukulannya.
"Bleetak!"
"Auggh...!" Pendekar Hina Kelana terpekik, saat mana tangannya yang telah
teraliri tenaga dalam itu membentur tongkat di tangan Jumparing Retno. Tangan
Buang yang membentur tongkat sakti tersebut te-
rasa sakit luar biasa. Maka sambil menyeringai menahan sakit. Tak tertahankan
lagi Buang segera cabut
pusaka Golok Buntung yang sangat menggemparkan
itu. Begitu senjata maut itu telah tergenggam di tangan pendekar ini. Tak ayal
lagi, seberkas sinar warna merah menyala terpancar dari senjata yang sangat
tinggi pamornya. Jumparing Retno jadi keder nyalinya, bahkan wajahnya semakin
bertambah pucat saja, saat
mana dia merasakan udara di sekitarnya mendadak
menjadi sangat dingin luar biasa. Namun Pendekar Hi-na Kelana yang sudah
mencapai puncak kemarahan-
nya itu, nampaknya sudah tiada memperdulikan kea-
daan Jumparing Retno.
"Heiiik!"
Teriak si pemuda, sementara dari bibirnya terus
memperdengarkan bunyi mendesis bagai seekor Ular
Piton yang sedang marah.
"Hiaaat... cia... ciaaa...!" Jumparing Retno bertindak mendahului, dan dengan
tongkatnya dia berusaha
mendesak Buang dari segala penjuru.
Pendekar Hina Kelana habis sudah kesabaran-
nya, pada satu kesempatan tubuhnya kembali berge-
rak cepat, hingga tinggal merupakan bayang-bayang
merah saja. Saat itu, golok di tangannya menderu
hingga timbulkan suara bergemuruh dan menerbang-
kan pasir dan mengibarkan rambut lawannya yang
hanya beberapa helai saja.
"Wuuus!"
Manusia katai kiblatkan tongkatnya dengan
maksud menangkis senjata pihak lawan.
"Braaaak!"
Tongkat sakti di tangan manusia katai itu hancur
berkeping-keping, manakala golok di tangan Buang
menyambarnya. Pucat wajahnya membayangkan keta-
kutan yang teramat sangat. Namun lagi-lagi pendekar ini sudah tidak memberi
kesempatan lagi pada lawannya.
Senjata di tangan Buang Sengketa kembali berke-
lebat sangat cepat, Jumparing Retno hanya terkesima begitu melihat berkelebatnya
sinar merah, mengarah
pada bagian tubuhnya.
Maka tak terelakkan lagi:
"Craaat! Craaas!"
Jumparing Retno menjerit setinggi langit. Tubuh-
nya limbung, sesaat kemudian kedua tangannya nam-
pak menekan bagian luka yang sangat mengerikan itu.
Namun semua usahanya itu tidak juga mampu. meng-
hentikan darah yang menyembur ke luar. Detik kemu-
dian tubuh Jumparing Retno ambruk ke bumi, berke-


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lojotan sebentar, untuk kemudian terdiam dengan jiwa melayang.
Pendekar Hina Kelana menarik nafas pendek, se-
kejab dipandanginya mayat manusia katai dari Partai Batu Kiambang, kemudian
beralih pula pada mayat-mayat yang lainnya. Wajahnya tertunduk, saat itu Pusaka
Golok Buntung masih tergenggam erat di tangan-
nya. Nampaknya pemuda dari Negeri Bunian itu larut
dalam lamunannya. Tetapi manakala dia mendengar
denting suara beradunya senjata tajam tak jauh dari tempat dia berada, maka
teringatlah olehnya Bara Se-ta, yang sedang bertarung melawan Lukas Asmoro. Se-
kilas dia menoleh, maka tampak saat itu Bara Seta setengah kewalahan dalam
menghadapi Lukas Asmoro.
"Kampret sialan muridnya kerdil dungu itu me-
mang perlu secepatnya diberangkatkan ke liang ku-
bur...!" batinnya dalam hati.
Dengan sekali lompat dan bahkan dengan gera-
kan yang sangat ringan dia telah berada di tengah-
tengah pertarungan.
"Paman Bara Seta! Menyingkirlah...!"
Bara Seta tanpa menunggu diperintah dua kali
segera menuruti apa yang diperintahkan oleh Pendekar
Hina Kelana. Maka begitu berhadapan dengan Buang,
menggigillah tubuh murid Jumparing Retno yang cuma
tinggal satu-satunya ini.
Lalu ditudingnya Lukas Asmoro dengan jari te-
lunjuknya. Kemudian dengan berapi-api dia pun mem-
bentak. "Kau... ha... ha... ha...!" Buang Sengketa tertawa mengekeh. "Jangan kira aku
akan membiarkanmu hidup...!" Berkata begitu pendekar ini langsung menerjang
Lukas Asmoro dengan senjata andalannya. Kalau
Jumparing Retno saja sebagai gurunya menjadi kela-
bakan saat mana menghadapi kehebatan Pusaka Go-
lok Buntung. Tak terbayangkan lagi, kalau saat itu ju-ga Lukas Asmoro menjadi
ciut nyalinya. "Nguuung...!"
Golok di tangan Buang menderu dahsyat, dan de-
tik selanjutnya tanpa mengalami banyak kesulitan
Buang Sengketa kembali babatkan golok di tangannya.
Lukas Asmoro hanya sesaat saja terperangah, lalu:
"Craas...! Craaas...!"
"Arggghk...!"
Lukas Asmoro menjerit, darah muncrat dari
punggungnya yang terbabat golok di tangan lawannya.
Setelah memutar tubuh Lukas Asmoro menggeletar,
kemudian terjengkang tanpa mampu berkutik lagi.
"Hemm. Banyak orang di kolong langit ini mene-
mui kematian karena ulahnya sendiri...!" Bergumam pendekar ini seperti pada
dirinya sendiri.
Saat itu Bara Seta telah pula berdiri di samping
si pemuda dengan hanya ditemani seorang muridnya
yang cuma tinggal satu-satunya.
"Satu ilmu langka yang telah kulihat untuk pertama kalinya, di dalam hidupku.
Hemm... Pusaka Go-
lok Buntung itu... baru kali ini aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri
tentang apa yang selama ini
diceritakan oleh Bapak Bangkotan Koreng Seribu. Kau benar-benar seorang pendekar
sejati, Kelana...!" puji Bara Seta tanpa bermaksud melebih-lebihkan. Sementara
Buang Sengketa hanya geleng-gelengkan kepa-
lanya pelan. "Sudahlah, Paman. Aku bukanlah apa-apa bila
dibandingkan dengan kebesaran Sang Hyang Pencipta.
Pula nampaknya kita akan menghadapi lawan-lawan
yang sangat berbahaya sekali. Sedangkan di lain pi-
hak, aku merasakan seperti ada sesuatu rahasia di balik Kitab Jurus-jurus Koreng
Seribu yang diciptakan oleh Kakek Bangkotan Koreng Seribu...!" ujar Buang
Sengketa berhati-hati.
"Apa maksudmu, Buang...?" tanya Bara Seta penuh ketidak mengertian.
Pendekar Hina Kelana membuang pandangan
matanya jauh-jauh. Selanjutnya Bara Seta mendengar
helaan nafasnya yang terasa berat.
"Paman! Mempelajari Kitab Jurus-jurus Koreng
Seribu, nampaknya memerlukan waktu beberapa pur-
nama. Aku menyadari betapa tololnya aku ini, selama beberapa hari aku
mempelajari kitab itu, ternyata aku melakukan satu kesalahan yang bisa berakibat
sangat patal sekali...!"
Bara Seta nampaknya semakin tidak me-ngerti
saja dengan apa yang dikatakan oleh pendekar yang
sangat dikaguminya itu.
"Buang! Katakanlah sesuatu padaku agar aku
dapat menjadi mengerti...!"
"Paman Bara Seta! Agaknya paman pun harus
tahu bahwa selama ini Kakek Bangkotan Koreng Seri-
bu sengaja merahasiakan intisari dari jurus-jurus hasil ciptaannya yang
terakhir. Hari-hari kemarin ternyata aku mempelajari sesuatu yang tiada gunanya.
Katakanlah bahwa itu sebuah tipuan atau mainan anak-
anak yang tidak ada manfaatnya." kata Buang Sengketa lirih. Lalu sesaat kemudian
dia telah mengambil kitab yang tebalnya tak lebih dari empat puluh halaman.
Sebentar dia membolak balik kitab yang terbuat dari kulit ikan hiu tersebut.
Satu halaman di antaranya dia angkat tinggi-tinggi menghadap ke arah matahari.
Lalu tampaklah olehnya sebuah guratan-guratan yang tiada teratur. Dan saat mana
dia meletakkan lembaran kitab tersebut di atas batu karang, maka guratan-guratan
tadi sudah tidak kelihatan lagi. Yang ada hanyalah gerakan-gerakan silat yang
hari-hari kemarin telah dipe-lajarinya. Namun ternyata salah besar!
Buang Sengketa tanpa sadar tepuk-tepuk jidat-
nya sambil leletkan lidah yang terasa kelu. Lalu tanpa ditanya dia pun berucap:
"Sungguh, kakek merupakan orang yang berpiki-
ran cerdas. Begitu pandai dia menjaga rahasia kitab dan isinya, hingga andai pun
sampai terjatuh ke tangan orang lain. Sampai botak sekalipun mereka tetap tak
akan mampu memahami makna yang terkandung
di dalamnya. Oh betapa besar perhatiannya padaku si Hina Kelana, sampai akhir
hayatnya ini pun aku tak
mampu membalas sedikit dari sekian banyak kebaikan
yang pernah dia berikan padaku. Kakek... guru...
maafkanlah muridmu yang tak dapat membalas budi
ini...!" kata Buang Sengketa dengan hati pedih.
Saat itu nampaknya Bara Seta merasa tak sam-
pai hati membiarkan Buang Sengketa berlarut-larut
dalam kesedihan, sambil menepuk-nepuk bahu si pe-
muda, Bara Seta pun pada akhirnya berucap.
"Sudahlah, Kelana...! Dalam kehidupan manusia, tolong menolong adalah merupakan
satu perbuatan yang sangat terpuji. Kalau pun engkau tak dapat
membalas segala kebaikan bapak, maka kau dapat
melakukannya pada orang lain. Yang terpenting seka-
rang ini kita harus memikirkan jalan keluarnya untuk mencari tempat yang aman
guna mempelajari kitab
warisan gurumu yang terakhir...!"
Nampaknya Pendekar Hina Kelana jadi terkesima
demi mendengar apa yang dikatakan oleh Bara Seta.
Dia pun berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh laki-laki dari Lubuk Sikaping itu
benar adanya. Tanjung
Api kini bukanlah merupakan sebuah tempat yang
aman untuk mempelajari sebuah kitab yang sangat
dahsyat. "Menurutmu bagaimanakah, Paman?"
"Satu-satunya jalan kita harus meninggalkan
tempat ini, untuk mencari sebuah tempat yang ter-
sembunyi demi keselamatan kitab itu!"
Buang Sengketa angguk-anggukkan kepalanya.
Lalu dipandanginya Bara Seta dengan hati masgul.
"Aku menurut apa yang paman katakan, kalau
bisa secepatnya pula kita tinggalkan tempat ini...!"
Tanpa berkata-kata lagi, Buang Sengketa, Bara
Seta dan seorang muridnya yang bernama Pamuja ini
pun segera menghampiri makam si Bangkotan Koreng
Seribu. Selanjutnya setelah memberi penghormatan
pada makam guru dan sekaligus merupakan orang tua
angkat Bara Seta. Maka ketiga orang itupun berlalu
meninggalkan Tanjung Api.
*** 11 Rombongan berkuda dari Partai Beruang Merah
yang dipimpin langsung oleh ketua-nya, Nyai Tambak
Sari itu kini telah sampai di Tanjung Kait. Itu berarti tak sampai setengah jam
lagi mereka telah sampai di
Tanjung Api. Dalam keadaan tergesa-gesa takut dida-
hului oleh yang lainnya. Rombongan itu semakin
mempercepat laju kuda-kuda mereka.
Sementara itu tanpa mereka sadari, sosok tubuh
yang sedang menggerakkan lari cepatnya itu terus
mengikuti gerak laju kuda orang-orang Beruang Me-
rah. Namun agaknya orang yang sedang mengerahkan
ilmu lari cepatnya itu sudah tak sabaran lagi. Karena tak sampai satu menit
kemudian dia telah menghadang jalan yang akan dilalui oleh rombongan orang-
orang berkuda ini. Tentu saja gerakannya yang sangat cepat itu membuat terkejut
para penunggang kuda tersebut. Serta merta mereka menarik tali kekang ku-
danya, dan kuda-kuda itu meringkik keras langsung
hentikan langkah.
Nyai Tambak Sari yang menjadi kepala rombon-
gan dan bermata buta itu bagai me-ngerti saja bahwasanya ada orang yang sedang
menghadang jalan mere-
ka. Maka tanpa sabar lagi dia pun membentak.
"Sialan betul! Kunyuk mana yang telah begitu berani menghadang jalan yang akan
kami lalui...?" teriak Nyai Tambak Sari sambil kedip-kedipkan matanya
yang berongga mengerikan.
"Kunyuk berpakaian pendeta ini nampaknya sen-
gaja mencari gara-gara pada kita, Ketua...!" menyela Basra Panewu, memberi
gambaran tentang ciri-ciri
orang yang menghadang mereka.
Alis Nyai Tambak Sari menggemirit, dia berusaha
mereka-reka siapakah gerangan orang yang berdiri tegak di hadapannya itu. Sekali
lagi dia membentak gusar: "Kunyuk tuli! Kuperintahkan sekali lagi padamu, cepat-
cepat minggirlah kau dari hadapanku...!"
Orang yang menghadang di tengah jalan dan tak
lain Begawan Ardi Soma adanya tertawa ganda. Suara
tawanya sesungguhnya hanya pelan saja, namun ka-
rena suara tawa itu disertai dengan tenaga dalam yang lumayan. Tak urung
beberapa orang murid Beruang
Merah cepat-cepat menutup telinganya yang berde-
nyut-denyut sakit. Bahkan kuda-kuda tunggangan me-
reka pun meringkik keras.
Nyai Tambak Sari yang buta matanya itu nampak
geleng-gelengkan kepalanya. Nampaknya dia berusaha
keras untuk mengingat-ingat suara tawa yang tak
ubahnya bagai jerit seekor ular naga tersebut. Sepertinya dia masih ingat siapa
adanya. laki-laki ini. Tak salah di dunia persilatan hanya ada seorang tokoh
saja yang mampu mengeluarkan suara tawa seperti itu. Begawan Ardi Soma, ya hanya
dialah satu-satunya tokoh yang dapat berubah ujud seperti itu. Batin Nyai Tambak
Sari. Namun sebelum Nyai Tambak Sari mampu
berkata apa-apa, mendadak orang yang sedang dipi-
kirkannya, sudah pula berkata:
"Kalian orang-orang sableng dari Beruang Merah!
Hendak ke manakah hingga kelihatan bagai dikejar-
kejar setan..."!"
"Kampret sialan! Begawan Ardi Soma, jangan kira aku tak dapat mengenali siapa
adanya engkau itu. Aku tak punya urusan denganmu, maka cepat menyingkir-lah...!"
maki Nyai Tambak Sari
Lagi-lagi Begawan Ardi Soma tertawa mengekeh,
sepanjang sepak terjang ketua Beruang Merah ini, ra-sa-rasanya dia sudah
mengetahui ke mana tujuan
rombongan berkuda yang dipimpin oleh manusia sesat
tersebut. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi dia pun
menyela: "Nyai Tambak Sari! Kulihat dulu matamu pernah
dibutakan oleh si Bangkotan Koreng Seribu. Kulihat
hari ini kau mau ke Tanjung Api, ada keperluan apa-
kah gerangan...?" pancing Begawan Ardi Soma dengan sesungging senyum penuh
misteri. Kata-kata sang be-
gawan meskipun diucapkan biasa-biasa saja namun
bagi Nyai Tambak Sari merupakan sesuatu yang san-
gat menyakitkan hatinya.
"Begawan palsu! Dulu si Bangkotan Koreng Seri-
bu, boleh unjuk gigi di depan siapapun. Tapi tidak untuk saat ini. Akan
kubuntungi kedua tangan dan ka-
kinya, kemudian kubutakan pula matanya, agar dia
tahu bahwa di kalangan persilatan akulah yang paling berkuasa...!" tukas Nyai
Tambak Sari berusaha menutup-nutupi tujuan yang sesungguhnya.
"Hua... ha... ha... ha...! Si Bangkotan Koreng Seribu telah meninggal dua
purnama yang telah lewat.
Bahkan jenazahnya pun telah dikuburkan lebih dari
satu purnama yang lalu. Hemm, si Bangkotan Koreng
Seribu yang manakah yang akan kau buntungi kedua
kaki dan tangannya" Dan mata siapakah yang akan
kau butakan..." Aku malah khawatir bahwa kedatan-
gan kalian ke sana hanyalah untuk membunuh Pen-
dekar Hina Kelana sekaligus untuk mendapatkan Ki-
tab Jurus-jurus Koreng Seribu yang dahsyat itu...!" se-lanya tanpa tedeng aling-
aling lagi. Saat itu juga baik Basra Panewu, Sudak Pari
maupun Nyai Tambak Sari kelihatan berubah paras-
nya. Terlebih-lebih dedengkot Beruang Merah, tubuh-
nya sampai tergetar karena menahan kemarahan yang
luar biasa. Dengan gigi-gigi bergemeletukkan, Nyai
Tambak Sari membentak:
"Keparat tengik! Kiranya kau memang sengaja
mencari permusuhan dengan kami dan bukan tak
mungkin pula bahwa kau juga punya ambisi untuk
mendapatkan kitab yang tiada ternilai harganya itu...!"
"Kita cincang saja begawan gila ini, Ketua...!" Sudak Pari yang sudah tidak
sabaran itupun ikut pula
menyela. Tanpa menghiraukan ucapan Sudak Pari,
Begawan Ardi Soma menatap tajam pada Nyai Tambak
Sari, nenek renta namun punya ambisi setinggi langit.
"Tambak Sari manusia salah kaprah! Tiada sedi-
kit pun terbetik di hatiku untuk mengangkangi segala kitab yang berbau
keduniawian. Asal kau tahu saja,
bahwasanya si Bangkotan Koreng Seribu adalah salah
seorang yang merupakan sahabat karib ku... kebera-
daan kami tak ubahnya bagai daging dengan darah...!"
Nenek buta terperangah begitu mendengar kata-
kata Begawan Ardi Soma. Dalam hati sedikitpun dia


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiada menyangka kalau laki-laki yang berdiam di Sendang Hamparan Perak itu masih
merupakan sahabat
karib si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau memang be-
nar apa yang dikatakan oleh Begawan Ardi Soma, ma-
ka itu berarti bahwa dia harus berhadapan dengan tokoh yang berilmu sangat
tinggi. Dia pun tahu kepan-
daian yang dimiliki mungkin hanya setingkat di atas begawan itu. Namun itu
adalah beberapa puluh tahun
yang lalu. Sedangkan sebagaimana hebat kesaktian
Begawan Ardi Soma saat ini, sama sekali dia tidak ketahui. Buta sebuta matanya.
"Ho... ho... ho! Jadi sekarang apa yang kau inginkan dari kami...?" tanya Nyai
Tambak Sari berusaha menghindari terjadinya bentrokan dengan Begawan
Ardi Soma. Laki-laki berambut, kumis serta jenggot
yang sudah memutih ini berobah tegas.
"Mengingat di antara kita tidak ada permusuhan.
Aku minta batalkan niat kalian untuk datang ke Tan-
jung Api. Andai tidak...?"
"Andai tidak kau mau apa, Begawan sinting...?"
tanya Nyai Tambak Sari seolah sudah mengerti ke ma-
na arah pembicaraan Begawan Ardi Soma.
"Andai tidak! Aku akan merintangi tujuan ka-
lian...!" "Caile... enak betul! Jangan kira aku akan mundur dalam menghadapimu, Begawan
keparat...!" maki
Nyai Tambak Sari dalam kemarahan yang sudah tiada
terkontrol lagi. Serta merta dia memberi isyarat pada Basra Panewu dan Sudak
Pari. Maka tanpa dapat dicegah lagi, dengan masih berada di atas punggung ku-
danya masing-masing, baik Basra Panewu dan Sudak
Pari langsung kirimkan satu pukulan yang diberi nama Sekawanan Beruang Merah
Menyergap Harimau Tua.
"Weeees!"
Serangkum gelombang berhawa sangat dingin
luar biasa menderu ke arah Begawan Ardi Soma. Dan
nampaknya begawan ini tahu betul bahwa pukulan
maut yang memancar-kan sinar ungu itu mengandung
racun yang sangat ganas. Sebagai seorang begawan
yang sudah kenyang makan asam garam kelicikan
kaum sesat. Dia tak ingin ambil resiko yang dapat
membahayakan keselamatan dirinya. Dalam gebrakan
pertama ini dia juga ingin menjajal sampai di mana
kehebatan murid-murid Beruang Merah. Maka tanpa
bergeser dari tempatnya dia kirimkan empat pukulan
beruntun sekaligus.
"Wret! Wer! Wer! Wer...!"
Dalam gebrakan pertama ini saja Begawan Ardi
Soma sudah mempergunakan pukulan Ekor Naga Me-
lecut Karang. Saat itu juga menderulah satu gelom-
bang sinar berwarna jingga. Begitu pukulan Begawan
Ardi Soma terlepaskan, maka udara yang teramat din-
gin menyelimuti daerah sekitarnya. Sejenak lawan-
lawannya nampak tersentak, tapi hanya sekejapan sa-
ja, karena tak lama berselang terdengar dua letupan disertai pekik ringkik kuda
milik Basra Panewu dan
Sudak Pari. Bersamaan dengan ambruknya kuda tunggan-
gan kedua orang itu, tubuh Basra Panewu dan Sudak
Pari mencelat dari punggung kudanya. Akan tetapi mereka cepat-cepat bangkit
kembali tanpa kekurangan
sesuatu apapun. Namun begitu melihat kuda-kuda mi-
liknya tewas dengan tubuh membeku. Dua orang mu-
rid utama ini menjadi berang. Dan langsung menuding Begawan Ardi Soma yang masih
tetap berdiri tegak
tanpa kekurangan sesuatu apapun.
"Kampret! Kau telah membunuh kuda kesayan-
gan kami. Puih, jika nyawa kuda itu ditukar dengan
nyawamu, itupun belum bisa dianggap lunas!" maki Sudak Pari.
"Kuda adalah tetap kuda! Siapa sudi menukar
nyawaku dengan nyawa kudamu?" teriak Begawan Ar-di Soma semakin bertambah
jengkel saja. Dalam kesempatan itu, Nyai Tambak Sari masih
memberi kesempatan pada dua orang pembantunya
untuk menjajal kepandaian yang dimiliki oleh Begawan Ardi Soma. Sungguhpun kedua
matanya sudah tidak
dapat melihat apa-apa, namun nalurinya mengatakan
bahwa ternyata murid-muridnya yang cukup tangguh
itupun masih kalah dalam hal adu tenaga dalam. Di-
am-diam dia ingin mengikuti perkembangan selanjut-
nya. Sementara Begawan Ardi Soma sudah terlibat
pertarungan kembali dengan Sudak Pari dan Basra
Panewu. Namun kali ini mereka dibantu oleh murid-
murid utama lainnya yang berjumlah tak kurang dari
sepuluh orang. Mereka-mereka ini dengan mempergu-
nakan senjatanya yang terbuat dari kebutan kelihatan merangsek Begawan Ardi Soma
dari segala penjuru.
Mau tak mau begawan dari Sendang Ham-paran
Perak dibuat kerepotan juga. Dengan gerakan-gerakan silat mengkelit dan
menghindar yang diberi nama Naga Sendang Gelengkan Kepala. Berulang kali
serangan-serangan gencar yang dilakukan oleh pihak lawan
menjadi luput. Dalam keadaan seperti itu dan berlangsung terus
menerus, pada akhirnya membuat murid-murid Be-
ruang Merah menjadi gusar, yang pasti Sudak Pari dan Basra Panewu tak dapat
melepaskan pukulan mautnya
kalau tak ingin mengenai kawannya sendiri.
Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh Bega-
wan Ardi Soma untuk melepaskan pukulan-pukulan
Naga Kibarkan Ekor. Tak dapat dihindari lagi lolongan maut pun terdengar dari
murid-murid Beruang Merah
yang terhantam pukulan yang dilepaskan oleh sang
begawan. "Minggir kalian semua...!" teriak Basra Panewu dan Sudak Pari hampir bersamaan.
Selang beberapa
saat setelahnya murid-murid Beruang Merah telah pu-
la mengikuti perintah Basra Panewu dan Sudak Pari.
Kini dengan sangat leluasa mereka dapat mele-
paskan pukulan-pukulan mautnya. Begitu pun Bega-
wan Ardi Soma bukanlah lawan yang enteng bagi me-
reka. Sebab setiap mereka melepaskan pukulan Be-
ruang Merah Menyergap Harimau Tua, Begawan Ardi
Soma selalu saja dapat mematahkan pukulan gencar
itu di tengah jalan.
Berulang kali mereka dibuat jatuh bangun oleh
pukulan mereka yang membalik, sementara darah pun
tiada henti mengalir diri celah-celah bibir mereka. Namun sebagai golongan sesat
yang tiada kenal menye-
rah mereka masih saja berusaha menekan pihak lawan
dengan jalan apapun.
Murka Nyai Tambak Sari demi melihat pemban-
tu-pembantu utamanya masih belum juga dapat men-
gatasi Begawan Ardi Soma. Sebaliknya dia pun sung-
guh tidak melihat, masih dapat merasakan bahwa mu-
rid-muridnya merasa kewalahan dalam menghadapi
tokoh sakti itu. Dia tidak ingin lagi bicara, namun indera pendengarannya mulai
memperkirakan posisi pi-
hak lawan saat itu berada.
Tak lama kemudian setelah mengetahui kebera-
daan Begawan Ardi Soma, maka satu pukulan mengge-
ledek yang sangat memekak-kan gendang-gendang te-
linga pun menyambar ke bagian tubuh laki-laki dari
Sendang Hamparan Perak ini.
Begawan Ardi Soma adalah seorang tokoh yang
penuh dengan pengalaman, itu makanya begitu mera-
sakan adanya sambaran angin pukulan di belakang-
nya, laksana kilat tubuh Ardi Soma melesat ke udara.
"Blaaammm!"
Pukulan Beruang Merah yang dilepaskan oleh
Nyai Tambak Sari mencapai pada sasaran yang ko-
song. *** 12 Nyai Tambak Sari mencaci maki habis-habisan.
Serta merta dia melompat dari atas punggung ku-
danya. Sesaat berikutnya dia pun sudah membentak:
"Begawan keparat! Jangan panggil aku sebagai
Ketua Beruang Merah jika aku tak dapat membunuh-
mu...!" teriaknya.
Yang dibentak hanya diam saja, namun di dalam
hatinya telah pula membaca ajian Naga Sendang yang
telah dikuasainya dengan baik selama berpuluh-puluh tahun. Begitu dia selesai
merapal ajian Naga Sendang, kemudian.
"Peeesss!"
"Hieeek... hurrr...!"
Dengan memperdengarkan bunyi yang sangat
menggidikkan tubuh Naga Sendang itupun meliuk-liuk
dalam kemarahannya. Selanjutnya dengan ekor dan
kepalanya dia melabrak apa saja yang berada di sekitar tempat itu. Celakalah
nasib murid-murid Beruang Merah yang berjarak sangat dekat dengan naga
penjelmaan Begawan Ardi Soma. Sekali waktu dia menju-
lurkan lidahnya, satu demi satu murid-murid malang
itu lenyap dalam mulut naga yang bergigi runcing
mengerikan. "Ketua... hati-hati, begawan sialan itu kini telah berubah menjadi seekor naga
yang ganas...." teriak Basra Panewu.
Mendengar peringatan Basra Panewu, Nyai Tam-
bak Sari malah tertawa tergelak-gelak.
"Hemm. Naga belekan bisa berbuat apa pada Ke-
tua Beruang Merah...!" maki Nyai Tambak Sari. Selanjutnya begitu tubuhnya
mencelat, secara berbarengan dengan gerakan yang dilakukan oleh pembantu
utamanya. Maka mereka pun secara bersamaan mele-
paskan satu pukulan tingkat tinggi yang diberi nama, Beruang Merah Mencabik
Musuh Besar. "Weeer! Weeer! Weeer!"
Nampaknya Naga Sendang itu juga menyadari
bahaya yang mengancamnya. Dengan posisi setengah
tegak dia pun membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu
begitu naga itu menghembuskan nafasnya, maka sem-
buran lidah api melesat lebih cepat lagi memapaki datangnya pukulan yang
dilepaskan oleh lawan-
lawannya. "Bruuus! Bluaaaar...!"
Tiga orang tokoh tingkat tinggi itupun terpelant-
ing jatuh, dua di antaranya menderita luka dalam yang cukup serius. Sedangkan
Nyai Tambak Sari masih tetap terkekeh-kekeh, sungguhpun dadanya terasa sesak
luar biasa. Di lain pihak, Naga Sendang yang merupakan
penjelmaan Begawan Ardi Soma ter-banting tubuhnya.
Tubuhnya menggelepar, dan berusaha bangkit dari
keadaan yang tidak menyenangkan itu. Matanya yang
merah semakin bertambah merah.
"Ngiiik...!"
Bagai merintih dia berusaha kembali ke dalam
ujudnya semula. Detik selanjutnya. Naga Sendang itupun telah berubah menjadi
Begawan Ardi Soma.
"Kalian benar-benar manusia sesat yang memiliki ilmu sangat tangguh. Aku
berpikir, aku memang tak
bakal ungkulan menghadapi kunyuk-kunyuk sesat se-
perti kalian. Tapi kutuk yang kuberikan pada siapapun akan tetap berlaku bagi
siapapun...!" Berkata Begawan Ardi Soma, sambil berpikir-pikir kutukan apa yang
paling pantas dijatuhkan pada orang-orang Beruang Me-
rah. Namun sebelum dia memperoleh kepastian untuk
menjatuhkan hukuman pada orang-orang Beruang
Merah dan murid-muridnya. Tiba-tiba terdengar suara teguran seorang. Bersamaan
dengan suaranya itu,
mendadak muncul seorang pemuda berkuncir yang tak
lain Buang Sengketa adanya.
Mengapa Buang Sengketa sampai di tempat itu"
Seperti diketahui Buang dan Bara Seta Setelah mengalahkan Jumparing Retno dan
murid-muridnya, ber-
maksud meninggalkan Pantai Tanjung Api guna men-
cari sebuah tempat yang aman untuk mempelajari Ki-
tab Jurus-jurus Koreng Seribu hasil ciptaan terakhir gurunya yaitu si Bangkotan
Koreng Seribu. Namun baru saja setengah jam melakukan perja-
lanan, baik Bara Seta maupun Pendekar Hina Kelana
mendengar adanya orang yang sedang bertarung. Di-
desak oleh rasa keingintahuan, maka bergeraklah
Buang Sengketa dan Bara Seta mendekati tempat per-
tarungan. Karena keduanya sempat mendengar perde-
batan dari mereka yang sedang bertarung, maka men-
gertilah mereka siapa sesungguhnya Begawan Ardi
Soma. Tapi sejauh itu mereka masih belum juga mau
turun tangan membantu Begawan Ardi Soma. Barulah
kemudian setelah merasa bahwa sang begawan dalam
keadaan kepepet. Maka dengan meninggalkan Bara Se-
ta untuk menjaga keselamatan Kitab Jurus-jurus Ko-
reng Seribu, di tempat persembunyiannya. Buang
Sengketa berkelebat dan menghambur ke dalam perta-
rungan. Saat itu, mereka yang saling bersitegang itu
nampak sama-sama terkesima melihat kehadiran
Buang Sengketa.
"Paman Begawan Ardi Soma! Aku muridnya Ka-
kek Bangkotan Koreng Seribu, kuminta paman mene-
pilah, sebab sekedar kutukan tak mungkin membuat
mereka menjadi jera. Aku ingin membasmi cecurut Be-
ruang Merah ini sekarang juga...!" berkata Buang Sengketa lalu memandang dingin
pada Nyai Tambak
Sari yang buta dan juga pada Basra Panewu dan Su-
dak Pari silih berganti. Sementara Begawan Ardi Soma kelihatan menyingkir dari
kalangan pertarungan, tetapi Nyai Tambak Sari malah tertawa tergelak-gelak.
"Kau kiranya yang telah membuat tunggang lang-
gang para pembantuku. Heii, kunyuk Bangkotan Ko-
reng Seribu sudah mampus, padahal dia telah meng-
hutangkan matanya padaku. Karena sampai akhir
hayatnya si Bangkotan Koreng Seribu itu tak dapat
membayar hutang-hutangnya, maka sebagai murid-
nya. Kaulah yang harus membayar hutang-hutangnya
yang tak pernah terlunasi itu...!" teriak Nyai Tambak Sari dengan rahang
bergemeletukkan.
"Ha... ha... ha...! Simpanlah mimpimu sampai ke alam sana, Nenek keriput. Semua


Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalih yang kau pergunakan untuk menutup-nutupi ambisimu dalam
menguasai kitab jurus Koreng Seribu telah kuketahui.
Satu pilihan saja yang ada padamu, menyingkir berarti keselamatan bagimu...!"
ancam Pendekar Hina Kelana rawan.
"Puih, Bocah bau kencur! Makanlah pukulan Be-
ruang Merah Menggebrak Landak Hutan...!"
Satu rangkaian sinar berwarna merah kebiru-
biruan meluruk pada si pemuda, dan hal ini sudah dalam perhitungannya.
"Weeeer!"
Tak kalah dahsyatnya dia pun lepaskan pukulan
Empat Anasir Kehidupan. Tak ayal lagi selarik sinar Ultra Violet datang menggebu
menyongsong pukulan
yang dilepaskan oleh Nyai Tambak Sari. Benturan dua tenaga sakti itupun tak
dapat dihindari lagi.
"Blaaam!"
Tubuh kedua orang itu sama-sama tergetar he-
bat, bahkan dari mulut Pendekar Hina Kelana meleleh darah kental kehitam-
hitaman. Belum lagi dia sempat menghimpun hawa murni untuk mengurangi rasa sesak
yang terasa menghimpit rongga dadanya. Menda-
dak datang lagi sambaran angin pukulan yang tak ka-
lah ganasnya. Pukulan yang sama itu dilepaskan oleh Basra Panewu dan Sudak Pari
secara berbarengan.
"Sialan!" maki pendekar ini, sedapatnya berusaha memapaki serangan yang
datangnya sangat cepat itu.
Lagi-lagi benturan tenaga sakti itupun saling ber-
tubrukan. Tanpa ampun tubuh Buang Sengketa ter-
buntang tiga tombak. Dari mulutnya menggelogok da-
rah segar. Melihat kejadian ini sudah barang tentu Begawan Ardi Soma sangat
marah sekali. Tak dapat dicegah lagi mengamuklah sang begawan, dengan puku-
lan-pukulan yang sangat handal. Satu saja yang ada
dalam hatinya, membela kebenaran walau dengan ja-
lan kekerasan sekalipun bila perlu harus dilakukan.
Kini yang menjadi sasaran pukulan-pukulan
mautnya adalah murid-murid Beruang Merah lainnya.
Sekejab saja jerit kematian menggema di tempat itu.
Sementara itu, Buang Sengketa yang secara terus me-
nerus diburu oleh lawan-lawannya akhirnya menjadi
lenyap pula kesabarannya. Rasa sakit di sekujur tu-
buhnya membangkitkan amarah yang tak dapat dita-
war-tawar lagi.
"Heiiiik...!" Satu jeritan dari ajian Pemenggal Roh, disertai tercabutnya Pusaka
Golok Buntung dari balik pinggangnya. Membuat ketiga lawannya jadi terkesima.
Suara lengkingan ajian ilmu Pemenggal Roh itu saja
sudah membuat jantung mereka serasa bagai copot.
Sementara telinga terasa sakit luar biasa. Andai saja mereka ini tidak memiliki
tenaga dalam yang cukup
sempurna, sudah barang tentu mereka kojor sejak ta-
di-tadi. Kini masing-masing lawan saling pan-dang sesa-
manya, ada rasa jeri membayang dalam sinar mata
mereka. Apalagi, terkecuali Nyai Tambak Sari, Basra Panewu dan Sudak Pari dapat
melihat betapa golok di tangan Buang Sengketa memancarkan sinar merah
menyala. Satu hal lain yang dapat mereka sama-sama
rasakan adalah karena mendadak udara di sekitar
tempat itu berubah menjadi sangat dingin luar biasa.
Hanya Buang Sengketa saja yang tidak perduli dengan perubahan itu, sebab saat
itu hawa membunuh sudah
bersarang di dadanya yang masih berdenyut-denyut
sakit. Selanjutnya dengan disertai bunyi mendesis bagai seekor raja piton yang
sedang marah. Golok di tangan pendekar ini menderu memburu lawan-lawannya
ke mana pun mereka bergerak.
"Weeer!"
Membela keselamatan para muridnya, Nyai Tam-
bak Sari lepaskan satu pukulan dahsyat. Sesaat ke-
mudian pukulan yang mengandung unsur racun yang
sangat ganas itupun segera melabrak ke arah Pende-
kar Hina Kelana. Menyadari pukulan yang sangat ga-
nas itu, maka tak ayal lagi Buang Sengketa kiblatkan senjatanya.
"Traaaang...!"
Pukulan yang dilepaskan oleh Nyai Tambak Sari
membalik bahkan nyaris menghantam tubuhnya, an-
dai saja dia tidak cepat-cepat mengelak. Semakin penasaran saja Pendekar Hina
Kelana dibuatnya. Sambil bersurut dua tombak si pemuda berseru lantang.
"Nenek buta dan kembrat-kembratnya manusia
sial! Jangan salahkan aku karena kecerobohan kalian ini...." "Jangan banyak
cingcong, Bocah edan...!
Hiaaaat...!" Satu pukulan pamungkas melesat dari tangan Nyai Tambak Sari.
Namun tubuh Buang Sengketa telah berkelebat
lenyap. Manakala kemudian terdengar suara lecutan.
Maka pucatlah wajah orang-orang yang berada di sekitar tempat yang terlebih-
lebih di pihak lawan-
lawannya. "Ctarrr...! Ctaaar...! Ctaaar...!"
Cambuk Gelap Sayuto yang melilit di pinggang
pendekar itu, kini ikut pula bicara. Begitu cambuk itu memperdengarkan gelegar
bagai suara petir. Maka perubahan yang sangat cepat pun terjadilah.
Terik matahari yang tadinya terasa panas mem-
bakar kini telah tertutup awan hitam, bagai topan bertiup sangat kencang sekali.
Seiring dengan lecutan
cambuk selanjutnya. Maka di angkasa kelam sana ter-
dengar gelegar petir sambung menyambung tiada hen-
ti. Saat itu hanya kilatan sinar merah yang terpancar dari pusaka Golok Buntung
saja yang terlihat mene-rangi sebagian wajahnya yang dipenuhi kobaran ama-
rah. "Nguuuuung!"
Berkelebatnya tubuh Pendekar Hina Kelana me-
nyertai menderunya senjata yang berada dalam geng-
gaman si pemuda. Orang pertama yang menjadi sasa-
ran senjata maut itu adalah yang paling dekat posi-
sinya dengan si pemuda.
"Haiiiit!" jerit pendekar itu. Menggigillah tubuh Sudak Pari begitu senjata itu
berkelebat mengarah padanya.
"Craas!"
Sudak Pari sudah tak sempat menjerit lagi, tu-
buhnya limbung dengan tenggorokan hampir terputus.
Namun Buang sudah tiada perduli, dia terus saja bergerak merangsek Basra Panewu.
Kembali senjata maut
itu menghajar tubuh lawannya.
"Crak! Craaas!"
"Arrrrrgk...!"
Basra Panewu melolong setinggi langit, bagian
lambungnya terobek hampir sejengkal. Tak lama ke-
mudian sambil tetap memegangi bagian perutnya,
pembantu Ketua Partai Beruang Merah itupun ambruk
untuk selama-lamanya.
Pendekar Hina Kelana menoleh dengan maksud
menggempur Nyai Tambak Sari, namun dalam kegela-
pan itu dia tak melihat adanya tokoh nomor satu dari Beruang Merah ini. Bukan
main gusarnya dia demi
melihat kenyataan ini.
"Sialan! Nenek peot itu kiranya telah kabur di luar sepengetahuan siapapun!"
makinya dalam hati.
Secepatnya Buang Sengketa menyimpan kedua
senjata yang sangat menggemparkan itu. Secara perlahan dan berangsur-angsur
langit kembali berubah ce-
rah. Mataharipun kembali menampakkan sinarnya.
Tiada orang lain yang terlihat di sana terkecuali, Begawan Ardi Soma dan Bara
Seta yang telah keluar dari
tempat persembunyiannya. Sedangkan yang lainnya
adalah tubuh tumpang tindih dari murid-murid Be-
ruang Merah yang telah binasa di tangan Begawan Ardi Soma. Setelah
memperkenalkan diri, di antara mereka kemudian saling berucap:
"Tidak percuma kalau sahabatku Koreng Seribu
telah memiliki murid tunggal yang setangguh kau." Sekejab Begawan Ardi Soma
melirik Bara Seta dan seo-
rang muridnya. Kemudian lanjutnya: "Kutitipkan murid kawanku ini padamu Saudara
Bara Seta. Selama
mempelajari Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu. Jagalah keselamatannya. Mudah-
mudahan dengan kerja sama
yang baik itu segala sesuatunya berjalan lancar...!"
"Terima kasih, Paman...!" kata Buang Sengketa menjura hormat.
"Kepercayaan begawan sungguh merupakan satu
kehormatan bagiku. Aku akan memenuhinya...!"
"Berhati-hatilah kalian selalu...!" pesan Begawan Ardi Soma, lalu kejab kemudian
tubuhnya telah lenyap dari pandangan mereka. Bara Seta, Pendekar Hina Kelana dan
seorang murid Bara Seta tanpa berkata-kata lagi segera bergerak pula untuk
mencari tempat yang aman guna mempelajari jurus-jurus Koreng Seribu peninggalan
terakhir sang guru. (Kisah ini masih ber-
sambung pada Episode Rahasia Kitab Jurus Koreng
Seribu). TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pecut Sakti Bajrakirana 7 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Naga Sasra Dan Sabuk Inten 38
^