Pencarian

Banjir Darah Di Bukit Siluman 2

Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman Bagian 2


perjalanan bersama-sama. Tentu ada apa-apanya!"
membatin Nyi Sumirah.
Lalu dia berpikir-pikir apa sebabnya keempat
orang itu sampai berada di tempat itu, sedangkan ka-
lau jalan lurus yang telah dilaluinya ditelusuri oleh orang-orang sesat itu,
sudah pasti tiada tempat lain yang mereka tuju terkecuali Lembah Panggang.
"Eeh... kalau tak salah, bukankah anda berdua
sepasang suami istri Maling Durjana...?" tanya si Tongkat Maut tampak
mengernyitkan alisnya.
"Ahh. Tak kusangka kiranya anda memiliki
penglihatan yang tajam, Tongkat Maut...!" ujar si Maling Durjana tersenyum
tipis. Tapi dalam pandangan
Nyi Sumirah senyum itu tak jauh beda dengan orang
yang hendak menangis. Diam-diam perempuan be-
rambut kelabu ini geli hatinya.
"Bukan penglihatanku yang tajam, tapi kebera-
daan anda dan kelihatan anda di bagian Selatan sana
sudah sangat sering aku mendengarnya...!"
"Anda terlalu berlebih-lebihan Ni Sanak...!" sergah salah seorang Monyet Hitam
bersaudara. Sekejap
si Tongkat Maut menoleh dan memandang penuh rasa
jijik pada manusia hitam berbulu itu.
"Hemm... melihat tampangmu, rasa-rasanya
seumur hidup baru kali ini aku bertemu. Perduli
apa...?" tukas Nyi Sumirah. Entah mengapa sejak ber-selisih jalan tadi dia
merasa begitu muak melihat kehadiran Dua Monyet Hitam Bersaudara. Itu makanya
begitu Monyet Hitam ikut bicara dia langsung menge-
jek. *** 5 Hemm...! Begitukah caranya orang golongan
putih bertegur sapa dengan orang lain...?" tanya si Monyet Tinggi kurus macam
Cerangkong, nampak
sangat tersinggung. Si Rambut Kelabu kembali nyele-
tuk dengan kata-kata ketus.
"Oh maaf! Kiranya keturunan para monyet se-
lain mampu bicara dengan baik, juga mengerti segala
macam peradatan!"
"Jahanam! Kau benar-benar sudah bosan hi-
dup rupanya. He... he... he...!" Dua Bersaudara Monyet Hitam terkekeh-kekeh.
"Tak salah kalau ketua kami menyuruh kami untuk membunuh manusia yang tak
tahu peradatan sepertimu...!"
"Oh... ketua mengatakan supaya membunuhku!
Huh... siapa sih ketuamu itu" Mungkin Bapak
moyangnya para monyet menjijikkan sepertimu ya...?"
pancing si Rambut Kelabu. Nampaknya apa yang diin-
ginkan oleh si Tongkat Maut itu mendatangkan hasil.
Sebab tak begitu lama kemudian setelah saling ber-
pandangan sesamanya.
"Kalau kau ingin kenal siapa yang menjadi ke-
tua kami... hhoaa... ha... ha...! Kenalkah kau dengan Sepasang Walet Merah?"
tanya si Monyet Hitam Bersaudara hampir bersamaan. Sungguh pun si Rambut
Kelabu merasa sangat terkejut begitu mendengar uca-
pan mereka tapi sedapatnya dia berusaha menutu-
pinya. Bahkan kini dia menyadari apa sesungguhnya
maksud kedatangan mereka di lembah Panggang. Tak
lain dengan membawa maksud-maksud tak baik.
"Oh jadi kalian inilah para begundalnya murid-
murid terkutuk itu" Pantasan saja kalian begitu patuh pada iblis berkedok
manusia itu!"
"Bangsat! Mulutmu terlalu cerewet manusia
tengik!" makinya, kemudian setelah memandang pada kawan-kawannya beberapa saat
lamanya dia pun
membentak garang. "Bersiap-siaplah kalian untuk mampus...!" teriak si Monyet
Hitam Bersaudara sengit.
Selanjutnya dengan diawali teriakan melengk-
ing tak ubahnya bagai teriakan monyet hutan yang se-
dang dilanda kemarahan besar.
Kedua orang berbadan hitam legam itu lang-
sung menerkam si Tongkat Maut. Gerakan kedua
orang itu sungguh cepat luar biasa, hingga tahu-tahu kedua tangan mereka yang
berkuku runcing itu hampir saja mencakar bagian muka si Rambut Kelabu an-
dai dia tak secepatnya menggeser tubuhnya dua lang-
kah ke samping kiri.
"Hajar terus saudara Monyet Hitam...!" seru si Maling Durjana yang saat itu
sudah mulai terlibat pertarungan dengan tiga orang murid si Rambut Kelabu.
Pada dasarnya mereka adalah merupakan dua golon-
gan persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya begitu mereka
terlibat pertarungan, maka
masing-masing lawan telah pula mengeluarkan jurus-
jurus silat tangan kosong yang paling hebat. Jurus
demi jurus terus berlangsung. Dalam sekejapan saja pakaian mereka telah basah
oleh keringat. "Caat... ciaat... hiaaa...!"
Suara jeritan menggeledek itu disertai dengan
berkelebatnya tubuh Monyet Hitam Bersaudara. Satu
pukulan dan satu tendangan kaki dengan telak dila-
kukan oleh Monyet Hitam Bersaudara. Si Rambut Ke-
labu sebagai orang yang sudah kenyang makan asam
garam dunia persilatan tampaknya sudah dapat men-
duga kemana sasaran yang dituju oleh serangan be-
runtun yang dilakukan oleh dua orang bersaudara ini.
Maka dengan gesit dan tanpa terduga-duga dia putar
tongkatnya. "Tak! Duk! Duk...!"
"Ah... kampret...!" maki Monyet Hitam Bersaudara begitu merasakan sakit yang
sangat luar biasa
saat mana kaki dan tangannya, membentur tongkat
berwarna kuning di tangan si Rambut Kelabu. Seran-
gan pertama mereka yang berhasil digagalkan oleh si
Rambut Kelabu membuat kedua orang ini menjadi
sangat marah. Kemudian mereka menerjang kembali
dengan serangan-serangan yang lebih gencar.
Sementara itu pertarungan antara sepasang
suami istri Maling Durjana dengan tiga orang murid si Rambut Kelabu ini sudah
mencapai puncaknya. Tampaknya menghadapi sepasang suami istri ini, tiga mu-
rid pilihan si Rambut Kelabu tidak mampu berbuat
banyak. Terbukti dalam pertarungan mencapai sepu-
luh jurus ketiga orang itu sudah tampak mulai keteter.
Bahkan menjelang lima jurus selanjutnya mereka
hanya mampu mengelak dan menangkis serangan-
serangan yang datang. Mau tak mau, ketiga orang itu
langsung mencabut senjatanya yang berupa sebuah
tongkat yang panjangnya tidak lebih dari satu meter.
Mengetahui semua apa yang dilakukan oleh tiga orang
murid si Rambut Kelabu, suami istri Maling Durjana
tertawa terbahak-bahak
"Ha... he... he...! Segala tongkat pemukul anjing seperti itu, bagusnya memang
untuk menggebuk diri
sendiri...!" teriak suami istri Maling Durjana dengan maksud mengejek.
"Jangan banyak mulut, majulah kalian! Sekejap
lagi kepalamu pasti berhasil kuremukkan...!" selak salah seorang di antara
mereka. Lalu dengan cepat sekali mereka putar tongkatnya. Tongkat di tangan
mereka menderu-deru hingga menimbulkan angin bersiuran.
Sambil memutar tongkat untuk melindungi diri dari
serangan lawan, sekali dua mereka juga kirimkan se-
rangan yang sangat cepat mengarah pada bagian tu-
buh lawan yang agak melemah pertahanannya.
"Saaaa...!"
Sekali suami istri Maling Durjana bergebrak da-
ri arah yang berlawanan, maka satu pukulan maut
yang diberi nama 'Maling Celaka Menguntit Pengemis
Hina' mereka lepaskan. Tak pelak lagi, selarik sinar berwarna pelangi menderu
laksana kilat mengarah pa-da ketiga orang lawannya. Di luar dugaan si Maling
Durjana kiranya semua pertarungan yang terjadi anta-
ra sesama mereka masih sempat diperhatikan oleh si
Rambut Kelabu yang saat itu terlibat pertarungan dengan 'Dua Bersaudara Monyet
Hitam'. Sekali si Rambut
Kelabu mengebutkan tongkatnya dengan pengerahan
tenaga dalam yang cukup tinggi. Maka menderulah sa-
tu gelombang angin topan begitu kuat laksana prahara memapaki pukulan yang
dilakukan oleh sepasang suami istri Maling Durjana saling berbenturan di tengah-
tengah jalan. "Blaaaaam...!"
Dua kali ledakan keras terdengar, si Rambut
Kelabu tampak terbanting tubuhnya, namun cepat
bangkit kembali. Penguasa Lembah Panggang itu kini
tak ingin bersikap tanggung-tanggung lagi. Beberapa
detik kemudian dia mulai membuka jurus-jurus tong-
kat mautnya. Sementara itu suami istri Maling Durjana yang
tampak terpelanting roboh akibat beradunya dua pu-
kulan sakti tadi, tampak kerengkangan berusaha
bangkit. Dua-duanya terbatuk-batuk sekejap, dada
mereka terasa sesak. Namun setelah menyeka darah
yang meleleh di bagian sudut bibirnya kini dengan
sangat beringas sekali kembali melancarkan pukulan
'Maling Celaka Menguntit Pengemis' tingkatan kesepu-
luh. Tiga orang murid si Rambut Kelabu menyadari be-
tapa berbahayanya pukulan yang dilepaskan oleh su-
ami istri maling itu. Tadi saja andai tidak dibantu oleh gurunya, mungkin mereka
sudah menemui ajal atau
setidak-tidaknya sudah terluka parah. Dan kini dalam keadaan gurunya sibuk
seperti itu Maling Durjana
mengirimkan pukulan maut yang berkekuatan sangat
besar, sudah tentu mereka putar tongkatnya dengan
segenap kemampuan yang ada untuk menyelamatkan
diri dari pukulan yang di lepas oleh lawannya. Lagi-lagi selarik sinar warna
pelangi melabrak cepat ke arah
mereka. "Wuuus! Deeer...!"
"Wuaaaah...!"
Tongkat di tangan mereka hancur berantakan
dihantam pukulan yang dilepaskan oleh Maling Durja-
na. Tubuh mereka terpelanting tujuh tombak. Sekejap
murid-murid si Rambut Kelabu ini berusaha bangkit,
namun begitu mereka menggerakkan badan dan men-
coba merangkak. Pukulan susulan pun dilepaskan
oleh suami istri Maling Durjana. Tubuh mereka yang
sudah menderita luka dalam cukup parah ini kembali
terbanting roboh tanpa mampu bangkit lagi. Suami is-
tri Maling Durjana tertawa tergelak-gelak.
"He... he... he...! Akhirnya mampus juga kau
bocah-bocah tolol...!" desisnya puas sendiri memandang mayat-mayat murid si
Rambut Kelabu. Saat itu si Rambut Kelabu demi melihat kema-
tian murid-muridnya yang sangat mengenaskan ini
tampak gusar dan marah
"Monyet Hitam dan maling terkutuk! Kalian be-
nar-benar harus membayar mahal atas kematian mu-
rid-muridku!" teriaknya sambil terus memperhebat serangan dan melakukan tekanan-
tekanan gencar terha-
dap dua bersaudara Monyet Hitam.
"Jangan besar mulut. Sekejap lagi, kau pun
akan menyusul murid-muridmu ke neraka sana...!" selak dua bersaudara Monyet
Hitam. "Buktikanlah...!" teriak si Tongkat Maut dari lembah Panggang ini sambil
mengayunkan tongkatnya
mengarah pada bagian kaki dan lambung Monyet Hi-
tam bersaudara. Dalam pada itu si Maling Durjana
hanya menyaksikan pertarungan itu dari jarak yang tidak begitu jauh. Sebab
mereka merasa saat itu ra-
sanya mereka masih belum perlu untuk turun mem-
bantu. "Shaaaa...! Bet! Bet...!"
Tongkat di tangan si Rambut Kelabu nyaris
menghajar badan dada, Monyet Hitam kurus kerem-
peng, tapi karena begitu gesit manusia kulit pembalut tulang ini mengelakkannya,
maka dia luput dari sabetan tongkat maut berwarna kuning itu. Sebaliknya
tongkat itu terus menderu mencecar monyet gemuk
yang berada di sebelah kirinya.
"Haes...!"
Monyet Gemuk membuang tubuhnya ke samp-
ing, saat mana merasakan adanya sambaran angin
pada bagian kepalanya. Tapi kiranya gerakan memu-
kul ke arah kepala itu sesungguhnya hanyalah meru-
pakan tipuan belaka. Karena begitu Monyet Gemuk
membuang tubuhnya ke samping, tongkat di tangan si
Rambut Kelabu datang menyambar.
"Brebeeet...!"
"Angk...!"
Monyet Gemuk keluarkan seruan tertahan, ba-
gian bahunya yang tersambar tongkat milik si Rambut
Kelabu terasa nyeri dan banyak mengeluarkan darah.
Tapi begitu tak merasakan rasa sakit yang menggigit, si Monyet Gemuk sudah
bangkit dan bersiap-siap
membangun serangan. Saat itu si Monyet kurus telah
pula bersiap-siap mempergunakan asap pembius yang
selama ini merupakan senjata yang sangat mereka an-
dalkan. Namun sebelum niat itu kesampaian, tiba-tiba terdengar seruan dari si
Maling Durjana yang sejak ta-di hanya menonton pertarungan itu,
"Jangan lakukan itu saudara Monyet Hitam!
Terlalu enak baginya untuk mampus begitu saja!"
"Aku tak menginginkan pekerjaan yang bertele-
tele...!" dengus Monyet Hitam tampak tersinggung.
"Mari kita keroyok mereka beramai-ramai...!"
teriak suami istri Maling Durjana laksana kilat dia
langsung menerjang dengan jurus-jurus andalan. Ma-
ka beberapa jurus setelah pengeroyokan itu. Tampak-
lah kalau si Tongkat Maut sudah mulai keteter. Den-
gan sebat dia kembali kerahkan ilmu tongkat yang di-
milikinya, namun serangan keempat orang itu juga ti-
dak kalah gencarnya. Terlebih-lebih setelah suami istri Maling Durjana keluarkan
senjata mereka yang berupa
kipas berwarna hitam legam. Maka pada jurus-jurus
selanjutnya tampaklah kalau si Rambut Kelabu sema-
kin terdesak hebat. Dari keempat lawan-lawannya itu, nyatalah sudah bahwa yang
memiliki serangan sangat
berbahaya adalah suami istri Maling Durjana yang


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersenjatakan kipas. Sedangkan dua bersaudara Mo-
nyet Hitam sungguh pun melakukan serangan dengan
kuku-kukunya yang sangat panjang dan mengandal-
kan tenaga dalam, namun tidaklah sehebat Maling
Durjana. Hanya keunggulan yang dimiliki oleh dua
bersaudara Monyet Hitam terletak pada asap pem-
biusnya yang telah merenggut banyak korban itu.
"Ciaaat...!"
Kipas di tangan suami istri Maling Durjana
menderu dari bagian depan. Sedangkan dari bagian
belakang dan samping dua bersaudara Monyet Hitam
menyerang dengan sambaran-sambaran kuku-
kukunya yang tajam dan mengandung racun ganas.
Menghadapi serangan yang begitu tiba-tiba dan datang dari berbagai penjuru ini,
pikiran si Rambut Kelabu
bekerja cepat. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang hanya
beberapa detik itu, si Rambut Kelabu putar tongkatnya
ke segala penjuru untuk melindungi diri.
"Traak...! Traaak...!"
"Buuuk...!"
Dua kali benturan keras terjadi saat mana sen-
jata mereka saling bertemu, tubuh masing-masing la-
wan sama-sama tergetar. Celakanya mempergunakan
kesempatan itu, secara curang si Monyet Kurus han-
tamkan tinjunya dengan kekuatan hampir tiga perem-
pat tenaga dalamnya. Tanpa ampun tubuh si Rambut
Kelabu terbanting keras menghajar batu cadas yang
terdapat di tikungan itu. Belum lagi tubuh yang sudah dalam keadaan terluka
parah itu mampu bangkit kembali, satu pukulan jarak jauh dilepaskan oleh suami
istri Maling Durjana. Satu kali pukulan yang meman-
carkan cahaya sinar pelangi itu menghantam tubuh si
Rambut Kelabu tanpa mampu tertangkis atau pun ter-
hindari. Maka tak ayal lagi pukulan itu menghantam
tubuhnya yang sudah dalam keadaan terluka parah.
Sekejap saja tubuh si Rambut Kelabu telah berubah
menghitam, dengan nyawa terlepas dari badannya.
"Kita telah berhasil...!" teriak keempat orang itu bersorak kegirangan.
"Belum, si Panjang Kumis belum tewas di tan-
gan kita...!" sergah si Monyet Kurus. Seraya ngeloyor pergi dengan diikuti oleh
yang lain-lainnya.
*** 6 Pagi yang cerah, burung-burung pun bernyanyi
merdu menyambut kehidupan baru dalam suasana
kedamaian yang abadi. Dari Barat daya, angin ber-
hembus sepoi-sepoi membisikkan suasana romantis
bagi sepasang muda mudi yang sedang dimabuk as-
mara. Nun di bawah pohon besar yang memiliki akar-
akar rambat berjuntai, di celah-celah sebuah gua kecil dan sempit. Di sanalah
kedua pasangan terkutuk itu
memadu asmara hampir semalaman suntuk. Si pemu-
da berwajah lumayan tampan, si gadis bertubuh sintal dengan tinggi semampai dan
memiliki wajah ayu me-nawan, namun memiliki keganasan tersembunyi.
Dialah Sepasang Walet Merah yang akhir-akhir
ini mencuat namanya di kalangan persilatan karena
sepak terjangnya yang membuat setiap orang menjadi
ciut nyalinya karena kesadisan setiap tindak tanduk-
nya. Mereka kini memang boleh berpuas hati dengan
adanya sepasang Batu Walet Merah di tangannya. Me-
reka memang pantas memiliki ambisi untuk memben-
tuk sebuah partai besar dalam rimba persilatan di wi-layah Selatan. Tidak ada
satu hambatan apa pun ter-
kecuali mereka masih merasa bingung untuk menen-
tukan markas mereka untuk hari-hari selanjutnya.
Saat itu, Sepasang Walet Merah sedang berkasak ma-
syuk dengan kekasihnya. Tampak Dewi Ratna Juwita
sedang duduk dalam pelukan Bagas Salaya. Tangan
pemuda itu tak henti-hentinya merambat kian ke mari
pada bagian tubuh si gadis yang sesungguhnya masih
merupakan kakak tirinya sendiri. Sesekali si gadis merintih manja, dan di lain
saat membalas pelukan itu
dengan hangat, (Maklum selain terkutuk mereka juga
merupakan orang yang paling sesat). Lalu di saat lain mereka terlibat percakapan
serius. "Adik Bagas! Kamu nakal sekali, masakan su-
dah hampir semalaman kau tidak bosan-bosan...!"
ucapnya sambil bersungut-sungut manja.
"He... he... he...! Habisnya kamu cantik sih,
membuat aku semakin penasaran!" jawab Bagas Salaya.
"Uuh... mestinya kau tidak memanggilku kakak
lagi, tapi cukup dengan panggilan adik, sedangkan aku akan memanggilmu kakang!
Bagaimana...?" tanya De-wi Ratna Juwita. Bagas Salaya tampak terdiam bebe-
rapa saat lamanya, kemudian mengangguk setuju.
"Kita ini merupakan suami istri, masakan kita
harus mempergunakan peradatan seperti dulu-dulu
juga...!" ujar Bagas Salaya, lalu memeluk Dewi Ratna Juwita lebih erat lagi.
"Coba sekarang kau mulai memanggilku, Kakang...!" Tanpa merasa malu-malu lagi.
"Kakang Bagas...!"
"Woii... mesranya...!" seru Bagas Salaya setengah melonjak kegirangan. Sambil
bersungut-sungut
Dewi Ratna Juwita berkata:
"Sekarang kakang harus mengatakan yang sa-
ma seperti apa yang kukatakan tadi!" pintanya.
"Adik Dewi, istriku...!" ucapnya tersipu malu.
Sesaat setelahnya meledaklah tawa mereka sebagai ra-
sa peluapan rasa kegembiraannya.
"Sekarang engkau menjadi istriku, Adik De-
wi...!" "Kau pun kini telah menjadi suamiku, Kakang Bagas...!"
"Dengan begitu tercapailah sudah apa yang
menjadi tujuan kita selama ini...!" Berkata Bagas Salaya, seraya langsung
beranjak berdiri. Tapi dilihatnya Dewi Ratna Juwita geleng-geleng kepalanya. Hal
ini tentu mengundang tanda tanya di hati Bagas Salaya.
"Mengapa...?"
Si gadis tampak menarik nafas dalam-dalam,
kemudian menghembuskannya kembali dengan kuat.
"Cita-cita kita belum sepenuhnya terpenuhi,
masih ada satu lagi, yaitu membentuk sebuah partai
besar yang memiliki anggota sangat banyak...!"
"Hemm. Betul sekali, kita harus menunjukkan
pada dunia bahwa kita juga mampu menjadi penguasa
di kolong jagad ini. Bukan eyang buyut saja yang
mampu mendirikan sebuah padepokan yang terma-
shur, tapi kita juga akan mendirikan sebuah partai besar yang pasti lebih hebat
dari pada hanya sekedar Padepokan Bukit Berkabung beberapa puluh tahun yang
lalu. Ya... kita pasti mampu mewujudkan cita-cita yang suci itu dengan adanya
sepasang Batu Walet Merah di
tangan kita," kata Dewi Ratna Juwita penuh percaya diri. "Tentu, selain nama
kita menjadi sangat terkenal juga akan di segani oleh kalangan persilatan
manapun juga, ya Adik Dewi...!"
"Benar Kakang!" ucapnya bersemangat.
Setelah melampiaskan uneg-unegnya kemudian
mereka saling diam, tapi suasana seperti itu tidak berlangsung lama, karena
sesaat setelahnya Dewi Ratna
Juwita nyeletuk: "Tapi kita mulai sekarang harus mempunyai markas yang tetap,
Kakang! Kita masih
harus menentukan markas itu!" Sebelum menjawab
Bagas Salaya nampak memperhatikan istrinya lekat-
lekat. "Hemm, bagaimana kalau kita membangun
markas di Bukit Berkabung...!" tanya Bagas Salaya memberikan satu usul.
"Bukit Berkabung" Rasa-rasanya Bukit Berka-
bung bukanlah tempat yang pantas untuk sebuah
markas besar. Pula bagaimana halnya dengan Adik
Dewi Ratih, aku merasa tak tega untuk mengusir dia
dari tempat itu! Selama ini dia sudah terlalu mengalah pada kita. Maksudku
biarlah Bukit Berkabung merupakan tempat tinggalnya selama-lamanya. Tokh sela-
ma ini dia tak pernah mengganggu kita!"
"Bagaimana nanti seandainya dia mengetahui
kita sudah menjadi suami istri lalu apa tindakanmu ji-
ka nanti dia memusuhi kita...?" tanya Bagas Salaya merasa was-was.
"Kalau dia berani mencampuri urusan kita! Tak
perduli siapa pun adanya dia, maka sudah selayaknya
kalau kita membunuhnya!" jawab Dewi Ratna Juwita tegas. "Sebuah usul yang
bagus!" gumam Bagas Salaya setengah bimbang. Mendadak Dewi Ratna Juwita
kernyitkan alisnya, pandangan matanya jauh menatap
ke depan sana, Bagas Salaya juga ikut memperhatikan
apa yang sedang menjadi pusat perhatian istrinya. Sebuah titik hitam bergerak
cepat ke arah mereka, semakin lama titik hitam itu semakin mendekat dan ber-
tambah dekat. "Hhh... seorang kakek tua dengan kumis di-
biarkan memanjang sampai hampir melebihi perut.
Dan dua pemukul yang mirip dengan alat untuk me-
mukul gong itu. Aku belum pernah melihat orang sea-
neh itu...!" gumam Dewi Ratna Juwita hampir tak terdengar. "Orang aneh itu
menuju ke mari, Adik Dewi!"
Sekejap Dewi Ratna Juwita mengerling pada
Bagas Salaya: "Mengapa harus cemas! Kita masing-masing memiliki Batu Walet
Merah. Mungkin kedatan-
gan badut pendek itu ingin minta di gebuk! Tenang sajalah...!"
"Jleeegkh!"
Hanya sekelebatan saja, tahu-tahu kakek tua
berbadan pendek dengan jenggot dan kumis sangat
panjang itu sudah berada di depan mereka berdua.
Begitu sampai langsung cengar cengir bagai monyet
sinting. "Sepasang pemuda yang gagah! Sungguh merupakan pasangan yang sangat
cocok sekali." gumam si kakek aneh ini yang tak lain adalah si Panjang Ku-
mis Gong Akherat dari Lembah Putus Nyawa. "Tapi bila ku lihat wajah-wajah
kalian, aku jadi teringat pada
anak Girinda yang telah tewas di Sungai Banyu Urip.
Sayangnya sahabatku itu telah tewas pula...! He... he...
he... siapakah kalian ini...!" lanjut kakek itu. Sepasang Walet Merah pandang
sesamanya. Bagas Salaya kemudian menyahut:
"Sayangnya kami tak begitu kenal dengan orang
yang anda maksudkan, kakek aneh"!"
"Wee... kau bilang aku orang aneh, kau tidak
kenal pula dengan sesepuh Padepokan Bukit Berka-
bung" Mustahil, semua orang tahu bagaimana hebat
Padepokan Bukit Berkabung pada beberapa waktu
yang lampau, sedangkan aku ini hanyalah jenis manu-
sia yang di kenal sebagai 'si Kumis Panjang Gong Ak-
herat'. He... he... he...!" kata si kakek tanpa terlepas dari tawanya.
"Kelayapan sampai ke mari ada keperluan apa-
kah?" tanya Dewi Ratna Juwita setelah mengetahui segala sesuatunya tentang kakek
itu. "Siapakah kalian...?" tanya si Panjang Kumis tiba-tiba, tanpa menghiraukan
pertanyaan Dewi Ratna
Juwita. "Orang-orang persilatan mengenal kami sebagai Sepasang Walet Merah...!"
Bagas Salaya mengakui.
Terbelalaklah kakek tua ini demi mendengar penga-
kuan laki-laki muda yang berdiri tegak di hadapannya.
Tiba-tiba saja wajahnya berobah memerah, kemara-
hannya pun meluap tanpa terbendung lagi.
"Manusia terkutuk! Jadi kalianlah orangnya
yang telah berani membongkar pintu Gua Bukit Silu-
man dan bercinta dengan saudaranya sendiri" Kalian
benar-benar manusia terkutuk...!" teriak si Panjang Kumis Gong Akherat dengan
tubuh menggigil dibakar
amarah. "Kakek kumis ijuk. Persetan denganmu, aku
tak pernah menyuruhmu datang ke mari. Apa pun
yang kulakukan itu adalah hak kami...!" tukas Dewi Ratna Juwita tak kalah
sengitnya. "Sumpah dunia, biarkan para dewa membakar
kalian di neraka kelak. Puih... aku memang sengaja
datang dari tempat yang jauh hanya ingin mencari bi-
angnya iblis yang telah membunuh beberapa orang
muridku, lebih dari itu aku juga punya kewajiban un-
tuk menghukum kalian yang telah begitu berani men-
curi kunci pintu Gua Siluman tempat penyimpanan
peti jenazah para leluhurmu. Hemm... dengan barang
hasil curian yang berupa Batu Walet Merah itulah engkau coba-coba meneruskan
jalan sesat yang sangat
terkutuk itu...?" maki si Panjang Kumis Gong Akherat.
Mendapat makian dan kata-kata pedas seperti itu ten-
tu saja Sepasang Walet Merah menjadi sangat tersing-
gung. "Keparat...!" balas Dewi Ratna Juwita tak kalah sengitnya. "Mulutmu benar-
benar sangat lancang sekali kakek peot! Tidak tahukah kau bahwa sesung-
guhnya Sepasang Walet Merah tak pernah memandang
bulu terhadap siapa saja yang coba-coba berani meng-
halangi sepak terjangnya?"
Sepasang mata Gong Akherat menggerimit
bahkan semakin bertambah menyipit, sekilas dia meli-
rik pada bagian jemari tangan kedua muda mudi itu.
Kemudian tahulah dia bahwa sepasang Batu Walet Me-
rah berada di tangan mereka. "Hemm. Satu kesulitan besar tampaknya bakal
kuhadapi. Senjata maut yang
mengandung kesaktian gaib itu tidak bisa di buat
main-main. Benda celaka itu telah merenggut banyak
jiwa dari berbagai golongan. Bahkan tokoh sakti dari bukit hampar yang memiliki
kepandaian sangat luar
biasa saja sampai tewas ketika berhadapan dengan
Eyang Buyut Resi Mamba. Sialnya kalau aku sampai
tak dapat menjatuhkan mereka berdua maka semakin
banyaklah nantinya korban yang berjatuhan, satu ke-
sempatan baik andai aku dalam keberuntungan ada-
lah dengan cara menghancurkan tangan mereka sam-
pai ke tulang belulangnya. Andai itu dapat kulakukan, cepat atau lambat aku
pasti dapat merampas benda
terkutuk yang ada pada mereka itu!" batin si Panjang Kumis Gong Akherat, coba-
coba mencari jalan terbaik
untuk menghadapi lawannya.
"Anak muda.... Sebagai keturunan tokoh persi-
latan golongan lurus, tak kusangka langkahmu malah
kesasar jauh dalam kesesatan. Betapa arwah para le-
luhurmu akan menjerit dan merintih-rintih di alam
kuburnya sana...!" kata si Panjang Kumis menyesalkan
"Cukuuup...!" teriak Bagas Salaya. "Kau, benar-benar tak akan kami ampuni,
manusia kropos. Asal
kau ingat saja sekali kau berhadapan dengan Sepa-


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang Walet Merah selamanya kau tak mungkin dapat
kembali ke Lembah Putus Nyawa. Maafkanlah atas se-
gala keputusan yang telah menjadi ketetapan kami!"
lanjut pemuda itu, dengan wajah memerah. Si Panjang
Kumis Gong Akherat dari Lembah Putus Nyawa terta-
wa-tawa begitu mendengar ucapan Bagas Salaya yang
mengeluarkan ancaman itu. Kemudian dengan arif, dia
pun berucap pelan namun mantap!
"Bocah! Mengingat usiaku yang sudah sangat
lanjut, aku sudah sangat letih hidup dalam dunia pana ini. Kematian bagiku
adalah sesuatu yang sangat ku-rindukan. Tapi apakah dengan kematianku di tangan-
mu engkau menjadi puas...?"
Marah bercampur heran Bagas Salaya dan De-
wi Ratna Juwita mendengar kata-kata kakek tua yang
berdiri tegak di hadapannya itu. Tapi sedikit pun mereka tidak berusaha mencari
makna dalam kata-kata
yang telah diucapkan oleh si Panjang Kumis. Sebalik-
nya dia malah membentak:
"Kakek renta, seribu nyawa tiada harga seper-
timu masih belum membuatku puas terkecuali kami
telah mencapai ambisi kami membentuk sebuah partai
persilatan yang sangat besar dan tiada duanya!"
"Cekk... cekk... cek...!" Si Panjang Kumis geleng-gelengkan kepalanya. "Cita-
cita kalian memang sungguh besar orang muda, sayang... semuanya itu
dikendalikan oleh hawa nafsu, sehingga membuat ka-
lian selain tersesat juga merupakan orang yang paling sesat di dunia ini!"
"Tua celaka! Kamu benar-benar telah menghina
kami...!" selak Bagas Salaya, seraya lalu bersiap-siap membangun sebuah
serangan. "Kakang, padanya kita tak perlu basa basi! Kita bunuh dia...!" teriak Dewi Ratna
Juwita tidak sabaran.
*** 7 Memang benar, berkomentar terhadap manusia
semacam ini memang tidak banyak guna, baiknya kita
hancurkan dia!" kata Bagas Salaya. Kejab kemudian kedua muda mudi ini telah
menggempur si Panjang
Kumis dengan jurus-jurus silat tangan kosong warisan Padepokan Bukit Berkabung.
Kakek tua dari Lembah
Putus Nyawa ini tidak ingin bertindak gegabah, sekali saja tubuhnya berkelebat
maka senjata andalannya
yang berupa dua alat mirip pemukul gong berkelebat
menyambar mengarah pada bagian tangan masing-
masing lawannya.
"Wuuut! Beet!"
"Ihhh...!" Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya keluarkan seruan tertahan saat
mana kedua senjata
yang sesungguhnya remeh namun sangat berbahaya
ini nyaris menghantam pergelangan tangannya. Me-
nyadari akan adanya bahaya yang sangat mengancam
diri mereka, maka secara serentak mereka mencabut
pedangnya "Sring! Sriiing...!"
Pedang di tangan Sepasang Walet Merah yang
mengkilat tajam itu terus berkelebat menyambar den-
gan ganas. Pada dasarnya permainan pedang yang me-
reka miliki juga bersumber dari empat kitab jurus Pedang Dewa Berkabung, karena
jumlah kitab jurus pe-
dang maupun jurus silat milik Padepokan Bukit Ber-
kabung jumlah sesungguhnya ada lima kitab, sudah
jelas, sehebat manapun mereka memainkan pedang di
tangan, tetap saja kunci penutupnya tidak mereka mi-
liki. Apalagi si Panjang Kumis sedikit banyaknya sudah banyak mengetahui
perkembangan jurus pedang yang
mereka mainkan. Maka dengan sangat mudah saja, se-
tiap gerakan pedang di tangan lawan-lawannya sudah
terbaca oleh si Panjang Kumis. Tak heran pada setiap gebrakan-gebrakan yang
dilakukan oleh Sepasang Walet Merah selalu saja kandas di tengah jalan.
"Haiiit...!"
"Hieee... he... he...! Cuma segitu saja permainan pedang Sepasang Walet Merah
yang bikin onar di ma-na-mana itu...!"
"Jangan ngebacot dulu, Kakek sial...!" maki Dewi Ratna Juwita sambil berloncatan
menghindari sergapan-sergapan senjata pemukul gong di tangan
Kakek Panjang Kumis.
"Kampret...!" si Panjang Kumis balas memaki, dalam keadaan seperti itu terlintas
pula dalam benak-nya bahwa sesungguhnya dia tidak mungkin mengulur
waktu lebih lama lagi menghadapi Sepasang Walet Me-
rah yang memiliki senjata yang tidak bisa dianggap
main-main. Melalui pertarungan itu saja si Kakek Panjang Kumis sudah dapat
menarik kesimpulan, bahwa
kehebatan Sepasang Walet Merah mungkin terletak
Batu Permata Walet Merah itu sendiri, dia berpikir andai tidak cepat-cepat dia
bertindak mungkin tak lama lagi dia akan celaka. Maka tanpa pikir panjang lagi
si Panjang Kumis Gong Akherat mulai bersiap-siap mempergunakan pukulan saktinya
yang diberi nama 'Tiga
Nyanyian Penghantar Kematian'. Sekejap saja begitu si Panjang Kumis kerahkan
tenaga dalamnya, maka tangan kakek tua itu segera berubah warna menjadi me-
rah bara. Karena saat itu tubuh si kakek terus saja
berkelebat tiada henti. Maka otomatis perubahan yang sangat mendadak itu luput
dari perhatian Sepasang
Walet Merah. "Hiyaaaa...!"
Mempergunakan jurus mengentengi tubuh
yang sudah mencapai tahap sempurna, tubuh Kakek
Panjang Kumis meletik ke udara. Saat mana dia memi-
liki kesempatan yang sangat baik untuk melepaskan
pukulan 'Tiga Nyanyian Penghantar Kematian', maka sambil bersalto beberapa kali.
Kakek Panjang Kumis
hantamkan tangan kanannya menghadap pada Bagas
Salaya, sedangkan tangan kiri kirimkan satu pukulan
ke arah Dewi Ratna Juwita.
"Wuuus! Wuuus!"
Serangkum gelombang sinar yang menebarkan
hawa panas, melesat sedemikian cepatnya memburu
ke arah lawan-lawannya. Sepasang Walet Merah tam-
pak terkesima untuk beberapa kejab lamanya. Namun
detik kemudian mereka sudah memutar pedangnya
sambil berloncatan menghindari terjangan tenaga sakti yang telah dilepas oleh si
Kakek Panjang Kumis dari
Lembah Putus Nyawa ini. Yang lebih celakanya lagi
kemana pun mereka berusaha menghindar, maka kesi-
tulah pukulan itu memburunya. Melihat kenyataan
seperti itu selain Sepasang Walet Merah dibuat panik, juga kehabisan akal untuk
mencari jalan keluar melepaskan diri dari kejaran pukulan maut yang terus
mengejar bagai memiliki mata itu.
"Batu Walet Merah, Adik Dewi...!" teriak Bagas Salaya, dan dalam keadaan kepepet
seperti itu mendadak dia teringat tentang Batu Walet Merah yang men-
jadi senjata pusaka andalannya. Tanpa banyak mem-
buang-buang waktu lagi, Dewi Ratna Juwita dan Bagas
Salaya mengerahkan tenaga dalamnya ke arah bagian
tangan kanan yang terdapat Batu Walet Merah di ba-
gian jari manisnya. Beberapa saat berlangsung, begitu tenaga dalam yang
tersalurkan lewat tangan itu sampai pada batu, maka perubahan pun terjadilah.
Mula- mula tubuh Sepasang Walet Merah tampak gemetaran
bagai orang yang sedang dilanda birahi. Kejab kemu-
dian setelah wajah mereka bersemu merah, maka se-
cara perlahan Batu Walet Merah yang melingkar di ba-
gian jari manis mereka mulai memancarkan sinar me-
rah menyala. Beberapa saat kemudian, kedua orang ini mengarahkan batu itu pada
gelombang pukulan yang
mengejar diri mereka. Tak ayal lagi selarik sinar berwarna merah kebiru-biruan
yang berbentuk pipih me-
lesat dari batu di tangan mereka.
"Buuuuum! Buuuuuum!"
Dua kali dentuman keras terdengar berturut-
turut. Pukulan Tiga Nyanyian Kematian buyar seketika itu juga di sapu lesatan
sinar yang bersumber dari Ba-tu Walet Merah di tangan lawan-lawannya. Tanpa am-
pun tubuh si Panjang Kumis terjengkang tiga tombak,
sebaliknya tubuh kedua lawannya hanya tergetar saja
dengan merasakan akibat yang tiada berarti. Sebalik-
nya begitu terbanting di atas tanah keras, dari bibir kakek Lembah Putus Nyawa
ini meleleh darah kental.
Dadanya terasa sesak luar biasa, jantung berdenyut-
denyut sakit dan nyeri. Sementara kepalanya pusing
bukan alang kepalang. Tanpa menghiraukan keadaan-
nya sendiri, secara cepat dia sudah bangkit. Saat itu lawan-lawannya sudah
berdiri tegar sambil berkacak
pinggang. "Kau benar-benar akan menemui kematian di
tangan kami, Kakek malang...!" desis Dewi Ratna Juwita sambil menyunggingkan
seulas senyum sinis.
"Sudah kukatakan bagiku kematian bukanlah
hal yang menakutkan. Kupasrahkan nyawaku di tan-
gan Sang Hyang Widi...!" kata Kakek Panjang Kumis tersenyum lembut.
"Kampret tua! Bukan di tangan Sang Hyang
Widi nyawamu di serahkan, tetapi di tangan kamilah
nyawamu tercabut secara paksa...!" selak Bagas Salaya. Lagi-lagi dia mengerahkan
tenaga dalamnya ke
bagian yang sama. Menyadari ancaman yang sangat
membahayakan keselamatan jiwanya, maka si Panjang
Kumis lipat gandakan tenaga dalamnya. Masih mem-
pergunakan Tiga Nyanyian Kematian tingkat kedua
kakek ini untuk yang kedua kalinya hantamkan kedua
tangannya mendahului lawan-lawannya. Kembali sela-
rik gelombang pukulan yang menebarkan udara lebih
panas dari yang pertama tadi menderu-deru hingga
timbulkan angin berciutan. Pada saat itu Sepasang
Walet Merah juga sudah mengarahkan Batu Walet Me-
rah ke arah lawannya.
"Hweeee! Hweeee...!"
Sinar pipih berwarna merah kebiru-biruan
kembali melesat memapak pukulan yang dilepaskan
oleh si Panjang Kumis. Terdengar suara menggemuruh
saat mana tiga sinar sakti itu saling memburu.
"Dweeeer! Dwweeeer...!"
"Wuaaa...!"
Sekali lagi tubuh si Panjang Kumis dari Lembah
Putus Nyawa itu terpelanting lima tombak. Darah se-
makin banyak yang menyembur dari dalam mulutnya.
Sementara dari lubang hidungnya juga mulai menga-
lirkan darah kental berwarna kehitam-hitaman. Di pi-
hak lawannya, baik Dewi Ratna Juwita maupun Bagas
Salaya, sungguh pun tidak sampai tersungkur jatuh,
namun tetap saja terhuyung-huyung. Selama malang
melintang beberapa purnama ini, baru kali inilah me-
reka menjumpai tanding yang seimbang. Begitupun
mereka masih sempat tergelak-gelak demi melihat kea-
daan si Panjang Kumis yang sudah menderita luka da-
lam cukup serius.
"Nyawa tuamu benar-benar alot sekali, orang
tua! Tapi kau jangan berpuas dulu betapa pun hebat-
nya pukulan sakti yang kau miliki, cepat atau lambat engkau pasti harus
mengakui, bahwa kau bukanlah
lawan tandingan Sepasang Walet Merah. Siapa pun
manusianya tak kan pernah mampu mengalahkan-
nya...!" selak Dewi Ratna Juwita sambil memandang sinis pada lawannya yang saat
itu sudah berdiri kembali. Meskipun dengan kuda-kuda yang sangat goyah.
"Hek... kalian memang sepasang manusia ter-
kutuk yang hebat. Sayangnya dan entah mengapa
nyawa lapuk ini masih begitu lekat dengan jasad renta yang sudah tak banyak
guna. He... he... he...! Tiada mengapa, tapi sedikit banyaknya kau juga harus
ingat, bahwa di atas langit masih ada langit...!"
"Apa maksudmu, orang tua...?" tanya Bagas Salaya tiada mengerti.
Si Panjang Kumis terdiam sejenak lamanya
sembari mengurut-urut dadanya yang terasa panas
bagai terbakar. Setelah memandang lawannya dengan
tatapan iba, maka dia pun berkata:
"Saat ini, esok atau lusa, kalian memang boleh
berbangga diri dengan Batu Walet Merah yang berada
dalam kekuasaan kalian itu. Tapi ingatlah suatu saat kelak pirasatku mengatakan
bahwa akan datang padamu seorang lawan yang sangat tangguh yang tak
dapat kau jatuhkan begitu saja. Hek... hek... hek...!"
"Keparat! Kau jangan coba-coba menggertak
kami orang tua celaka!" maki Dewi Ratna Juwita merasa sudah tidak mampu menahan
kesabarannya lagi
"Memakilah sepuas hati kalian! Apa yang kuka-
takan itu kelak akan terbukti juga...!"
Sepasang Walet Merah agak meremang teng-
kuknya demi mendengar ucapan yang se-akan-akan
merupakan sebuah kutuk ini. Namun untuk membe-
sarkan hati suaminya, Dewi Ratna Juwita berucap te-
gas. "Kakang Bagas! Jangan kau hiraukan ucapan
manusia sinting itu, mari kita gempur! Sebentar lagi dia pasti binasa di tangan
kita...!" "Mari, Adik Dewi!" jawab Bagas Salaya. Sekali ini tanpa banyak cakap lagi kedua
orang itu langsung mengerahkan Batu Walet Merah pada si Panjang Kumis Gong
Akherat. "Weeer! Weeer!"
Dua lesatan sinar merah kebiru-biruan kembali
meluruk si Panjang Kumis, kakek tua ini langsung
menyambutnya dengan pukulan 'Tiga Nyanyian Kema-
tian' tingkat yang paling tinggi.
"Blaam...!"
Kali ini bukan tubuh si Panjang Kumis saja
yang terpelanting sampai tujuh tombak, tetapi kedua
lawannya juga terjengkang ke belakang. Namun sece-
pat mereka terbanting maka secepat itu pula mereka
bangkit berdiri tanpa kekurangan sesuatu apa pun
terkecuali merasakan nyeri di bagian dada. Si Panjang Kumislah yang menerima
akibat yang paling fatal dalam peristiwa itu, tubuhnya yang sudah menderita lu-
ka dalam sejak mulai pukulan pertama dan kedua kini
semakin bertambah parah. Wajah kakek tua itu tam-
pak pucat pasi. Dari bibir dan hidungnya darah tiada henti-hentinya mengalir.
Sepasang Walet Merah bukan
tak menyadari kalau saat itu lawannya sudah tiada
memiliki daya apa-apa, tapi mereka tampaknya sudah
tiada perduli lagi. Sekali lagi mereka mengarahkan cincin Batu Walet Merah.


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lesatan-lesatan sinar merah
kebiru-biruan kembali meluruk si Panjang Kumis. Da-
lam keadaan sekarat seperti itu, kakek tua ini kiranya masih menyadari adanya
ancaman bahaya. Dua pemukul gong yang selama ini dia pergunakan sebagai
senjata andalan dia lontarkan dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki.
"Beees!"
Senjata sakti itu hancur berkeping-keping di
landa pukulan lawannya. Sinar tadi terus melabrak
tubuh si Panjang Kumis yang sudah tiada memiliki
daya apa-apa. "Bruaaak!"
Tiada terdengar lolongan atau pun rintihan.
Tubuh yang sudah tiada bernyawa itu terhempas begi-
tu saja, dengan keadaan yang sangat menggenaskan.
Sepasang Walet Merah saling pandang, dan sama-
sama tersenyum puas.
"Baiknya mulai saat sekarang kita menuju Bu-
kit Siluman sekalian membuat markas di sana...!"
"Ayolah...!" Dewi Ratna Juwita langsung mengangguk setuju, lalu keduanya segera
melangkah pergi menuju Bukit siluman.
8 Mengandalkan ajian Sepi Angin Pendekar Hina
Kelana terus berlari-lari tanpa pernah perduli dengan suasana di sekelilingnya.
Sementara di belakangnya
Dewi Ratih merasa kewalahan mengikuti cara lari pe-
muda berwajah tampan ini yang begitu cepat laksana
terbang. Walaupun saat itu Ratih telah mengerahkan
segenap kemampuannya untuk mengimbangi ilmu lari
yang dimiliki oleh Buang Sengketa, tapi tetap saja gadis itu tertinggal jauh.
Napas si gadis terasa memburu tidak beraturan. Dia merasakan tubuhnya sangat
letih sekali. "Kakang...!" panggilnya di sela-sela tarikan na-fasnya yang
memburu. Buang Sengketa sejenak la-
manya menoleh ke belakang.
"Ada apa Ratih...?" tanyanya serta merta dia mengurangi kecepatan larinya.
"Berhentilah, Kakang! Kau lari bagaikan hem-
busan angin, kalau terus menerus begitu sebentar lagi nafasku bisa putus!" keluh
si gadis. "Bukankah tadi kau yang mengajakku berlari-
lari?" "Ya... ya... tapi aku tak menyangka kau memiliki kemampuan lari yang
segila itu...!" dengus Dewi Ratih, saat itu dia sudah berhenti berlari dan mulai
berjalan sebagaimana biasa. Buang menjadi tak tega untuk
membiarkan gadis itu berjalan di belakangnya. Maka
pemuda ini pun ikut-ikutan berjalan.
"Kita telah mencari Kakang Bagas Salaya dan
Kak Dewi Ratna Juwita ke mana-mana, Kakang! Tapi
tampaknya mereka berpindah-pindah!!" desah Dewi Ratih sembari melirik pada Buang
yang secara diam-diam dikaguminya itu.
"Semakin lama aku bertahan di daerahmu ini
aku merasa semakin perihatin! Ketika kita pergi menu-ju Lembah Panggang untuk
menjumpai sahabat al-
marhum eyangmu bukan keterangan yang kita dapat,
sebaliknya berita duka tentang kematian si Rambut
Kelabu yang kita peroleh. Demikian juga ketika kita
menuju Lembah Selaksa Mayat, kita tak menjumpai si
Panjang Kumis, ketika dalam perjalanan, kita justru
menjumpai mayat Si Panjang Kumis yang sudah ham-
pir membusuk...!" desahnya seperti tak bersemangat.
"Apakah kakang yakin, Sepasang Walet Merah-
lah pelaku pembunuhan itu?" tanya si gadis was-was.
Buang Sengketa tampak kerutkan alisnya begitu men-
dengar apa yang dikatakan oleh Dewi Ratih. Jika melihat luka-luka yang di derita
oleh si Panjang Kumis,
memang tak dapat disangkal bahwa semua itu akibat
perbuatan Sepasang Walet Merah, luka-luka itu benar-
benar sangat jauh berbeda dengan luka yang dialami
oleh Nyi Sumirah dan ketiga orang muridnya. Itu be-
rarti pembunuhan yang terjadi atas diri tokoh golongan putih itu dilakukan oleh
orang yang berbeda. Mungkinkah pembunuhan atas diri si Rambut Kelabu ada
hubungannya dengan Sepasang Walet Merah" Kalau
memang ternyata benar, itu sama artinya bahwa Sepa-
sang Walet Merah kini sudah memiliki sekutu. Siapa
pun adanya orang itu, Buang merasa yakin mereka
pasti berasal dari golongan sesat.
"Kakang! Mengapa engkau malah diam saja?"
selak si gadis menyadarkan si pemuda dari lamunan-
nya. "Ee...! Tidak, aku hanya merasa sedih atas kematian si Rambut Kelabu dan si
Panjang Kumis!"
"Dan kau merasa yakin bahwa Sepasang Walet
Merahlah pelakunya?" desak Dewi Ratih merasa tidak sabaran lagi.
"Kemungkinan itu ada, tapi tidak keseluruhan-
nya benar."
Dewi Ratih merasa tidak mengerti dengan kata-
kata si pemuda, bahkan selama beberapa hari ini
Buang Sengketa sering banyak berdiam diri bila di-
bandingkan dengan hari-hari biasanya. Juga dia tidak mengerti apa yang
menyebabkannya.
"Apakah maksudmu, Kakang...?"
"Sebelum Nyi Sumirah dikuburkan beberapa
hari yang lalu, tidakkah kau melihat luka-luka bekas cakaran seperti binatang
buas ataupun monyet hutan?" "Ya... aku melihatnya...!"
"Aku merasa si Rambut Kelabu tewas di tangan
orang yang memiliki semacam ilmu binatang, walau
memang tak kupungkiri bekas luka akibat pukulan te-
naga dalam memang tak bisa dianggap enteng! Nah
sedangkan mengenai kematian si Panjang Kumis Gong
Akherat, aku merasa yakin Sepasang Walet Merahlah
pelakunya!"
"Apa alasan kakang bisa mengatakan demi-
kian?" Pendekar Hina Kelana tersenyum pias, dalam
hati dia mengakui bahwa sesungguhnya Dewi Ratih
merupakan gadis yang lugu dan masih hijau pengala-
man. "Masih ingatkah kau tentang kematian ketua begal yang tewas di tanganmu?"
tanya si pemuda seolah-olah mengingatkan.
"Ya, masih...!"
"Tubuh orang itu melepuh dan membiru, se-
dangkan waktu itu kau mempergunakan Batu Walet
Merah. Keadaannya sama seperti apa yang dialami
oleh penguasa Lembah Putus Nyawa!"
Dewi Ratih mengangguk-anggukkan kepalanya:
"Benar juga pendapatmu itu kakang...!"
"Lalu apa yang kita lakukan...?"
Setelah mencari ke sana kemari kita tidak bisa
mendapatkan jejak Sepasang Walet Merah, mungkin
ada baiknya kalau kita pergi ke Bukit Siluman!"
"Mengapa harus ke sana" Tempat itu tak lebih
hanya merupakan makam para leluhur kami!"
"Justru tempat itu merupakan kuburan para le-
luhurmulah maka ada kemungkinan mereka mulai
membangun markas di sana!"
"Baiklah aku selalu percaya padamu, moga-
moga saja dugaan kakang tidak meleset!" kata Dewi Ratih mengalah.
Beberapa saat kemudian tanpa banyak basa
basi lagi Buang Sengketa dan Dewi Ratih sudah beran-
jak meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa
saat saja mereka meninggalkan tempat itu, mendadak
terdengar suara bentakan-bentakan di belakang mere-
ka. Belum lagi suara bentakan-bentakan tadi lenyap
sama sekali. Tampak berkelebat beberapa sosok tubuh
yang langsung menghadang jalan di depan mereka.
Sejenak Buang Sengketa dan Dewi Ratih terpa-
ku di tempatnya. Sorot mata si pemuda yang begitu tajam menusuk, dalam waktu se
bentar saja sudah da-
pat menduga bahwa para penghadang itu mempunyai
maksud-maksud yang tak baik.
"Ha... ha... ha...! Seorang pemuda gembel berjalan dengan seorang nona cantik!
Hendak kemana- kah...?" "Muka Monyet, atau tepatnya monyet yang
mampu berkata-kata. Sedangkan laki-laki dan perem-
puan itu juga sebelumnya aku tak pernah melihat
tampang mereka. Sedikit banyaknya aku harus tau
siapa mereka ini!" membatin Pendekar Hina Kelana.
"Kampret! Mungkin kedua orang ini merupakan
jenis manusia tuli, kawan-kawan?" kata si Monyet Hitam yang memiliki badan
paling gemuk dibandingkan
ketiga orang kawannya.
"Kisanak! Sungguh sopan sekali bicaramu, be-
gitu datang langsung bicara tak karuan...?" selak si pemuda merasa kurang senang
melihat tingkah si Monyet Hitam.
"Ah... ah... sopan santun! Rupanya sopan san-
tun saja aku tak pernah tau. Pula masihkah manusia
hina sepertimu memerlukan segala macam perada-
tan...?" tanya si Monyet gemuk dengan sunggingkan senyum mengejek.
"Kakang Kelana, mendengar suaranya tak sa-
lah! Dialah yang telah merampas Batu Walet Merah
malam itu...!" teriak Dewi Ratih tiba-tiba. Selain Buang Sengketa, keempat orang
itu juga tak kalah terkejut-nya. Wajah mereka mendadak pucat pias bagai tak
memiliki darah lagi. Untuk menutupi rasa malu mere-
ka, mendadak suami istri Maling Durjana membentak:
"Bocah! Mulutmu lancang sekali, bertemu mu-
ka dengan kalian saja baru kali ini, bagaimana mung-
kin kau bisa menuduh kami telah merampas sesuatu
yang tidak kami ketahui sama sekali...!"
"Dia benar-benar ingin mencari penyakit ka-
wan-kawan..." tukas si Monyet kurus ikut menimpali.
"Benarkah mereka ini" Apakah kau tak salah
duga Ratih?" tanya Buang Sengketa tampak berubah paras mukanya.
"Tidak salah! Aku cukup tanda dengan suara
manusia Monyet Hitam ini...!" kata Dewi Ratih bersungguh-sungguh.
"Hei... siapakah engkau ini, sejak tadi bicaramu ngelantur tiada menentu. Kami
benar-benar tak mengerti apa yang kau maksudkan!" sergah si Monyet kurus.
"Di dunia ini mana ada maling yang mau men-
gakui perbuatannya...!" sentak Pendekar Hina Kelana tampak sudah tidak sabaran
lagi. "Keparat! Kau benar-benar sangat keterlaluan
sekali!" Sejenak dia memandang pada ketiga orang kawannya. Lalu
"Anak-anak! Ringkus bajingan dan gadis itu!"
teriak si Monyet Hitam yang memiliki badan gemuk.
"Tak perlu beramai-ramai, biarkan kami berdua
yang menangkapnya hidup-hidup." Tukas istri Maling Durjana! Seraya melangkah
satu tindak dan mulai
bersiap-siap membangun serangan.
"Ho'oh! Biar kita berdua saja yang meringkus-
nya! Kau yang pemuda gembel itu, dan aku meringkus
yang perempuan!" kata suami si Maling Durjana menimpali. Tapi sebelum mereka
bertindak, istri Maling Durjana membentak garang pada suaminya, agaknya
dia merasa cemburu.
"Kurang ajar, kau suamiku! Tidak bisa seenak
perutmu saja, biar aku yang meringkus gadis itu, se-
dangkan kau yang membekuk pemuda gembel di de-
panmu!" "Baiklah... baik... aku menurut saja...!"
"Kalian harus bisa meringkusnya tidak lebih
dari sepuluh jurus, kalau tidak terpaksa si Monyet Hitam bersaudara ikut turun
tangan...!" kata si Monyet kurus langsung menonton pertarungan itu dengan jarak
yang tidak begitu jauh.
Tampaknya Dewi Ratih dan Buang Sengketa
merasa sudah tak sabaran lagi untuk melakukan ge-
brakan-gebrakan serangannya. Terbukti begitu tubuh-
nya melompat ke depan lawannya dia langsung menge-
rahkan jurus silat tangan kosong 'Membendung Ge-
lombang Menimba Samudra'. Sebaliknya Dewi Ratih
lebih awal lagi telah menyerang istri si Maling Durjana
dengan jurus silat yang terdapat pada lima kitab milik Padepokan Bukit
Berkabung. Di bandingkan dengan
Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya, maka tingkat
kepandaian Dewi Ratih lebih tinggi lagi, justru karena dia berhasil mempelajari
kelima kitab itu sampai pada tingkatannya yang terakhir yaitu tingkat yang
ketujuh. Sebaliknya istri Maling Durjana bukanlah bocah kema-
rin sore yang baru terjun di dalam rimba persilatan.
Selama sepuluh tahun mereka malang melintang di
dunia persilatan dengan senjata andalannya yang be-
rupa kipas warna hitam telah begitu banyak korban-
korban berjatuhan, di tangannya, selama ini hanya si Kakek Tinggi Besar yang
berkuasa di Maliau dan Taruak saja yang tak pernah mampu mereka hadapi ber-
dua. Seperti diketahui Gada Wisa masih merupakan
saudara seperguruan mereka yang paling tua. Yang
pasti memiliki ilmu silat yang tinggi, di samping senjatanya yang berupa gada
itu sangat berbahaya sekali
bagi lawan-lawannya. Sebelum gurunya meninggal,
suami istri Maling Durjana mendapat tugas untuk
mengambil gada pusaka itu dari tangan si Gada Wisa
yang telah melarikannya selama hampir lebih dari lima belas tahun. Dengan
senjata berupa gada yang besar-nya tak lebih dari ibu jari itu dia berhasil
membentuk sebuah gerombolan yang menamakan dirinya sebagai
Gerombolan Sinar Kayangan. Kalau pun mereka yang
sebenarnya memiliki ilmu tangguh tapi kemudian me-
milih bergabung dengan Sepasang Walet Merah hal itu
bukan berarti ilmu mereka di bawah ilmu Sepasang
Walet Merah. Sama sekali tidak. Mereka melakukan itu adalah karena Sepasang
Walet Merah meskipun tidak
berilmu tinggi, namun memiliki senjata andalan yaitu berupa sepasang Batu Walet
Merah yang mereka perki-rakan dapat menandingi Gada Wisa. Dengan cara ber-
gabung seperti itu cepat atau lambat mereka berharap dapat mempengaruhi Sepasang
Walet Merah untuk
melakukan penyerangan terhadap gerombolan Sinar
Kayangan yang berkuasa di Daerah Maliau dan Ta-
ruak. Wajar saja kalau kemudian mereka bersikap pa-
tuh dan tunduk di bawah perintah Sepasang Walet
Merah, termasuk juga menjalankan tugas-tugas pent-
ing, yaitu mencuri atau lebih tepatnya merampas Batu Walet Merah yang satunya
lagi dari tangan Dewi Ratih, melakukan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh golongan
putih termasuk juga dalam membinasakan si
Rambut Kelabu penguasa lembah Panggang.
Tapi mereka sama sekali tiada menyangka ka-
lau dalam perjalanannya menuju Bukit Siluman guna
menemui pemimpin mereka di tengah jalan mereka
bertemu dengan Pendekar Hina Kelana dan seorang


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis yang pernah mereka tinggalkan di tengah-tengah hutan pinus beberapa waktu
yang lalu. Siapa pun
adanya gadis itu, keempat orang itu sudah merasa ya-
kin bahwa sebenarnya dia masih merupakan keturu-
nan Padepokan Bukit Berkabung. Sedangkan si pemu-
da menurut anggapan mereka tentu juga memiliki ke-
pandaian yang tiada seberapa. Dengan keyakinan se-
perti itu mereka merasa cukup untuk dihadapi satu
lawan satu. Tetapi setelah menyaksikan pertarungan
yang sedang berlangsung, jurus demi jurus baik dua
bersaudara Monyet Hitam dari Gunung Beruk, mau-
pun suami istri si Maling Durjana mau tak mau harus
membuka mata demi melihat kenyataannya bahwa si
pemuda berpakaian kumuh dekil dengan sebuah pe-
riuk besar menggelantung di pinggangnya itu ternyata memiliki kepandaian yang
tinggi. Terbukti walau pun
sejauh itu si pemuda belum pernah membalas setiap
serangan yang dilakukan oleh suami Maling Durjana,
namun tak satu pun pukulan manusia maling itu yang
mengenai. *** 9 Walaupun mereka menyadari bahwa si pemuda
tak mungkin mampu dirobohkan oleh kawannya tetapi
Monyet Hitam bersaudara tak ingin mempermalukan
kawannya dengan cara melakukan pengeroyokan. Pula
Maling Durjana masih kelihatan belum keteter. Demi-
Putri Ular Putih 3 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Pedang Inti Es 5
^