Pencarian

Prahara Rimba Buangan 1

Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan Bagian 1


PRAHARA RIMBA BUANGAN Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Gambar Sampul oleh David
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Prahara Rimba Buangan
1 Gelegar petir sambung menyambung, awan hitam
bergumpal-gumpal dan bergerak cepat menuju langit
sebelah Barat. Tidak lagi terlihat kemerahan matahari senja di ufuk Barat.
Suasana keremangan senja telah
berganti dengan kegelapan kabut pekat. Di langit ke-
lam, kembali suara petir menyambut, alam di sekitar-
nya sekejapan menjadi terang benderang. Namun ke-
mudian adalah kegelapan yang nyata. Sementara ge-
rimis mulai menetes membasahi hutan, bukit maupun
lembah-lembah di sekitarnya.
Manakala hujan turun menderas, pada saat itu-
lah tampak seorang laki-laki tua berpakaian serba putih dengan rambut dan kumis
putih berjalan gontai
menelusuri hutan lebat Rimba Buangan. Mempergu-
nakan sebuah tongkat yang selalu menimbulkan bunyi
gemerincing, kakek berpenampilan serba putih ini te-
rus menyeruak hutan belukar di depannya. Sekali-kali tongkat di tangannya dia
gerak-gerakkan ke samping
kanan, kiri dan depan. Seolah ingin memastikan bah-
wa jalan yang akan dilaluinya bukanlah sebuah jurang yang sewaktu-waktu dapat
mencelakakan dirinya.
Memang sesungguhnyalah bahwa kakek yang
berpenampilan serba putih ini merupakan seorang la-
ki-laki tuna netra yang menjadi ketua perkumpulan
orang-orang cacat di Rimba Buangan, yang banyak di-
kenal oleh kalangan persilatan sebagai si Tanpa Nama Tongkat Selaksa Perak. Ilmu
Tongkat Selaksa Perak
sangat ditakuti oleh berbagai kalangan persilatan. Karena selain terkenal sangat
cepat dan ganas, juga
mempunyai daya tahan yang luar biasa terhadap ben-
turan berbagai senjata tajam dan juga senjata lainnya.
Kini kakek itu tampak hentikan langkahnya, sepasang
matanya yang tak pernah mampu melihat apapun se-
jak masa kecilnya tampak mengerjap. Kemudian ter-
dengar pula suaranya yang serak namun besar.
"He... he... he...! Hujan deras, hujan lagi! Membuat tubuhku yang sudah lapuk
ini semakin kisut sa-
ja. Berrrrt... dinginnya alah emak...! Tapi aku tak pernah melihat rupamu,
dingin! Kalau rasamu memang
ada...!" "Glegeeeerrr!"
Terdengar petir menyambar, dan tubuh si Tanpa
Nama terlonjak sekejap. Matanya yang tiada melihat
apa-apa itu menengadah ke angkasa kelam.
"Heh... suara makhluk apakah itu, kok bikin ka-
get saja...?" ujarnya tanpa maksud melucu. "Percuma saja kalau kupelototkan
mataku, tak ada bedanya antara siang dan malam, hanya kegelapan saja yang ada.
Huh... andai mataku ini dapat melihat, betapa akan
kutatap wajah bintang dan rembulan, kemudian po-
hon-pohon yang hijau. Lalu...!" Si Kakek Tanpa Nama diam sesaat, dia tercenung.
Dan sepasang matanya
yang buta itu mendadak menyipit. Di wajahnya ada
gurat-gurat kesedihan yang dalam, dan tiada disang-
ka-sangka dua butir air matanya menggelinding jatuh, menuruni pipinya yang sudah
keriputan. Seumur-umur belum pernah Kakek Tanpa Nama itu menitik-
kan air mata, apalagi menangis. Tetapi kini, mengapa dia berubah secengeng itu"
"Nasibku tak pernah kupikiri! Tetapi nasib mere-ka hanya aku yang perduli. Aku
tak habis mengerti,
mengapa begitu tega mereka yang punya anak-anak
membuang begitu saja darah daging mereka sendiri.
Cacat seolah sebuah aib yang memalukan, apakah
orang-orang itu tak tahu bahwa cacat bukanlah satu
pilihan mereka yang lahir. Tak seorangpun manusia di dunia ini berkeinginan
dilahirkan sebagai orang yang
memiliki cacat tubuh. Seperti aku juga tak ingin memiliki mata yang buta.
Semprul! Apa yang mereka derita kiranya tidak cukup sampai di situ saja. Kini
dunia luar telah pula melemparkan sebuah fitnahan yang keji terhadap kaum cacat yang
tinggal di tengah-tengah
hutan Rimba Buangan. Kaumku yang tersisih mereka
permalukan, mereka benar-benar keterlaluan sekali.
Malapetaka tetap malapetaka, begitu juga musibah pe-
nyakit yang terjadi itu bukan salah kaumku...!" desah si Tanpa Nama sedih.
"Gabruk...!"
Mendadak kakek berpakaian serba putih itu
menjatuhkan diri dan duduk berlutut. Seluruh pa-
kaiannya telah basah oleh siraman air hujan. Tapi dia tiada memperdulikan
keadaan dirinya sendiri, apa
yang ada dalam pikirannya hanyalah tentang nasib
kaum cacat yang saat ini tinggal di Rimba Belantara
Buangan. Mereka semua tentu tak mengetahui apa
yang sesungguhnya sedang terjadi di dunia luar, yang saat itu sedang meributkan
adanya wabah penyakit
menular yang sedang menjangkiti sekian banyak pen-
duduk di seantero kadipaten.
Hampir setiap hari mereka yang terse-rang wabah
penyakit aneh itu menemui ke-matian secara mengeri-
kan. Mula-mula tubuh mereka kejang kemudian diser-
tai muntah yang hanya terdiri darah kental berwarna
hitam. Tubuh orang yang terserang wabah itu pun be-
robah menghitam pula. Hanya beberapa detik setelah-
nya, orang yang terserang wabah penyakit aneh itu
pun menemui kematian. Mereka yang menjadi sesepuh
desa atau pihak lain yang menjadi penanggung jawab
atas ketenteraman kehidupan masyarakat di sekitar-
nya tentu menjadi panik. Terlebih-lebih hampir setiap hari mereka harus membuat
dan menguburkan mereka yang tewas dengan jumlah yang tidak sedikit. Mau
tak mau, puluhan kuburan masal pun mereka gali.
Kakek Tanpa Nama yang selama ini tinggal di tengah-
tengah hutan Rimba Buangan bukan tak berusaha me-
lakukan penyelidikan atas musibah yang diderita oleh masyarakat di luar
golongannya itu. Namun jika sampai mendapat tuduhan bahwa wabah penyakit itu
ber- sumber dari Rimba Buangan sungguh tak masuk akal
bahkan merupakan tuduhan yang tidak beralasan sa-
ma sekali. Apa yang ditakutkan oleh Kakek Tanpa Nama
adalah bagaimana seandainya sewaktu-waktu mereka
melakukan serbuan ke Rimba Buangan" Fitnahan
yang keji itu harus dia cari dari mana sumbernya, dan dia sudah bertekad untuk
menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Tapi mungkinkah mereka mau
percaya begitu saja" Seperti yang dia ketahui selama ini, Rimba Buangan
merupakan tempat penampungan
orang-orang yang memiliki cacat tubuh maupun mere-
ka yang menderita penyakit menahun. Selama ini se-
bagai ketua orang-orang cacat sudah barang tentu cu-
kup mengetahui tentang status orang-orang yang men-
jadi asuhannya. Kalau pun begitu banyak kegiatan
yang mereka lakukan sudah barang tentu berkisar pa-
da bidang bercocok tanam dan sedikit ilmu silat.
"Sangat tidak beralasan kalau mereka yang telah begitu tega mengucilkan
kehidupan kami, sekarang
malah justru menanamkan satu kecurigaan yang tiada
beralasan seperti yang kudengar. Oh... orang-orangku yang malang, aku merasa tak
rela andai kalian mengalami nasib yang lebih tragis dari penderitaan panjang
yang kini sedang kalian jalani. Aku merasa bertanggung jawab atas keselamatan
kalian...!" desahnya. Saat mana kakek buta ini merasa tidak ada sesuatu
mencurigakan di sekelilingnya, kejab kemudian dia sudah
bangkit dari duduknya. Namun ketika ia hendak me-
langkahkan kakinya menuju ke perkampungan orang-
orang cacat tempat selama dia tinggal. Kakek Tanpa
Nama ini mendengar suara lolongan panjang bagai
seekor serigala kelaparan. Kemudian bau busuk me-
nyengat hidungnya, seperti bau bangkai yang sudah
mengering, bahkan lebih dari itu. Mengandalkan keta-
jaman penciumannya, walau saat itu perutnya terasa mual, Kakek Tanpa Nama
berusaha mengikuti ke arah
sumber bau tadi. Berjalan tak lebih sepuluh langkah, kakek tuna netra itu
hentikan langkahnya. Wajah
mendongak ke langit. Kemudian bergumam seorang di-
ri. "Hh. Sukur aku berada di daerahku sendiri, bau tak enak ini datangnya dari
sebelah kananku. Dan aku
yakin pastilah Utara. Aku tak tahu ada apa di sana,
kalau kuikuti terus pasti aku akan sampai di sebuah
jurang, kalau suara lolongan itu bersumber dari binatang mungkin aku mampu
mengatasinya. Namun an-
dai suara itu berasal dari manusia dan bermaksud ke-
ji, keadaanku semakin bertambah repot. Hemm, bau
tak sedap itu tiba-tiba saja hilang begitu saja. Kurasakan angin dari Utara
memang tidak berhembus seken-
cang tadi, ee... baiknya aku pulang ke perkampungan
dan nantinya akan kukabarkan hal ini pada murid-
muridku...!" kata si Kakek Tanpa Nama mengambil sa-tu kesimpulan. Kakek buta itu
kemudian berbalik
langkah, lalu melanjutkan perjalanannya menuju per-
kampungan orang-orang cacat di tengah-tengah hutan
itu. Hujan masih deras ketika tubuh kakek berpakaian serba putih yang basah itu
lenyap di sela-sela kerimbunan dedaunan yang lebat.
*** Udara dingin terasa menusuk sampai ke sumsum
tulang, di seluruh seantero desa Lalang. Mungkin juga desa-desa lain yang
bersebelahan dengannya. Langit
kelam tiada berbintang. Tidak tampak lagi bulan sabit yang senja tadi
menampakkan diri. Enggan. Angin laut mulai berhembus dari pelan hingga kencang.
Suasana dingin yang berselimutkan sepi, membuat penduduk
desa itu sejak sore menutup pintu, mengurung diri di dalam rumahnya masing-
masing. Sesekali terdengar
suara rintihan perempuan di sebuah rumah besar di
tengah-tengah desa itu. Suaranya yang mengerang-
erang terasa membangkitkan rasa kalut dan membuat
berdiri bulu tengkuk yang mendengarnya. Dari rumah
yang lain terdengar pula suara erangan seorang laki-
laki, kemudian dari rumah yang berada di pinggiran
suara yang sama juga terdengar dari mulut seorang
bocah kecil. Selanjutnya adalah isak tangis yang tersendat tertahan dari
keluarga yang merasa diting-
galkan. Suara rintihan yang tak ubahnya saling bersahut-sahutan itu, semakin
lama semakin jarang terden-
gar. Agaknya malaekat maut telah merenggutkan jiwa-
jiwa yang menderita itu terbebas dari belenggu keseng-saraan.
Menjelang tengah malam yang terdengar hanya-
lah suara erangan dari rumah besar yang terletak di
tengah-tengah desa itu. Semakin lama suara erangan
itu terdengar semakin lemah, bahkan suara perem-
puan itu nyaris tak terdengar saat mana di luar rumah besar tadi terdengar
seseorang mengetuk daun pintu.
Si pengetuk pintu memang tak terlihat bagaimana
tampangnya, karena 1ampu minyak yang terletak di
teras rumah tak pernah dinyalakan sejak salah seo-
rang di rumah itu menderita sakit keras mulai sema-
lam. "Tok...! Tok...! Tok...!"
"Siapa...?" tanya suara dari dalam. Menilik suaranya yang berat dan serak, jelas
kalau orang yang
bertanya itu dalam suasana berduka.
"Kami, Renggas dan Margono... Tuan Adipati...!"
sahut yang di luar. Orang yang dipanggil sebagai Adipati menarik nafas lega.
Kemudian terdengar lagi;
"Masuklah pintu tak terkunci...!" perintahnya.
Orang yang mengaku sebagai Renggas dan Margono
kemudian mendorongkan pintu yang terbuat dari kayu
cendana itu pelan-pelan. Begitu pintu terkuak lebar, tampaklah suasana di dalam
rumah yang serba mewah
dan mahal. Menandakan bahwa pemiliknya termasuk
orang yang berada dan terpandang di masyarakatnya.
Kemudian dari ruangan dalam muncul sosok laki-laki
dan perempuan berusia empat puluhan. Yang laki-
lakinya mengenakan pakaian serba mahal, dengan se-
buah blangkon di kepalanya, dan keris menyelip di bagian pinggangnya.
"Duduk...!" perintahnya berwibawa. Tangan laki-laki itu menunjuk pada sebuah
permadani yang mem-
bentang lebar di ruangan tamu. Dua orang pendatang
tadi dengan sikap hormat mengikuti apa yang diperin-
tahkan oleh laki-laki empat puluhan yang tiada memi-
liki kumis serta jengggot. Sebelum mereka membuka
percakapan, laki-laki yang dipanggil Adipati itu menoleh sejenak pada istrinya;
"Istriku baiknya masuk saja ke dalam, tunggui anak kita yang sedang sakit...!"
pin-tanya. Lalu tanpa menghiraukan istrinya yang tampak
beranjak menuju ke belakang. Sang Adipati kembali
pada dua orang tamunya, sebagaimana dia meman-
dang pada istrinya tadi, kini laki-laki itu memperhatikan wajah sang tamu satu
persatu. Kemudian dia me-
narik nafas pendek.
"Bagaimana" Apakah kalian ada membawa ha-
sil...?" ucapnya mengawali pembicaraan. Yang ditanya tundukkan wajah sekejap,
lalu menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Tampak laki-laki berbelangkon
itu menyimpan rasa kecewa yang dalam atas apa yang
baru saja didengarnya.
"Maafkan kami Tuan Adipati....! Tugas yang tuan berikan pada kami tidak dapat
kami kerjakan dengan
baik...!" jawab seorang diantaranya yang bernama Ranggas.
"Apa alasanmu...?" tanya sang Adipati dengan wajah muram. Sekejapan dua orang


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utusan itu saling
pandang sesamanya. Margono membungkuk, lalu:
"Sebenarnya bukan kami tak mampu menyele-
saikan tugas yang tuan berikan. Dan bukan pula tabib itu tak mau mengobati
puteri tuan...!"
"Lalu...?" potong sang Adipati merasa tak sabaran. "Tabib Canda Muka ketika kami
sampai di rumahnya telah tewas dengan sebuah lubang kehitaman
di bagian dada dan leher-nya...!"
"Apa..."!" Setengah terlonjak tubuh sang Adipati, kedua matanya membelalak bagai
melihat setan di
siang bolong. "Bagaimana itu bisa terjadi...?" tanya Adipati Gupta semakin bertambah murung.
"Kami memang sedikit terlambat sampai di ru-
mah kediaman Tabib Canda Muka. Tapi melihat kema-
tian dan tubuh tabib sakti itu, rasanya pembunuhan
itu belum lama berlangsung...!" kata Margono menarik kesimpulan.
"Hemm... sakit putriku sudah demikian parah.
Aku tak tau apakah nyawanya dapat bertahan sampai
besok. Tabib Canda Muka, tewas saat-saat aku mem-
butuhkan pertolongannya." desahnya seperti putus ha-rapan. "Mungkinkah kematian
kakek tabib itu ada hubungannya dengan wabah penyakit yang sekarang ini
sedang melanda seluruh desa...?" tanpa Adipati Gupta setengah menyelidik.
"Kita masih belum bisa menarik kesimpulan
sampai sejauh itu, menurut hemat saya. Alangkah le-
bih baik lagi kalau mulai dari sekarang kita melakukan penyelidikan terhadap
dunia persilatan.
*** 2 "Sebuah ide yang cukup bagus! Tapi aku juga
merasa sangat perlu untuk menghubungi tokoh-tokoh
persilatan golongan putih, untuk membantu usaha ki-
ta dalam menyingkap misteri penyakit yang selama be-
berapa purnama ini telah merenggutkan nyawa ratu-
san korban...!" Baik Margono maupun Ranggas tampaknya masih belum mengerti apa
maksud kata-kata
yang diucapkan oleh Adipati Gupta. "Maaf Tuan Adipati, untuk apa kita harus
menghubungi kalangan persi-
latan. Apakah tuan merasa bahwa wabah yang saat ini
melanda hampir lebih dari tiga puluh desa itu mempu-
nyai sangkut paut dengan kalangan persilatan golon-
gan sesat...!" tanya Margono, sepertinya sudah mengetahui apa yang akan
dikatakan oleh Adipati Gupta.
"Kemungkinan itu masih dalam dugaan-ku. Aku
sering mendengar laporan bahwa penyakit terkutuk itu akan mewabah pabila
beberapa malam sebelumnya
sosok bayangan mencurigakan bergentayangan di desa
itu. Begitu pun halnya yang terjadi di daerah kita ini."
kata sang Adipati, hampir-hampir berbisik.
"Apakah dia berujud sosok manusia, binatang
atau dalam bentuk benda-benda tertentu...!"
Adipati Gupta kembali geleng-gelengkan kepa-
lanya. Seperti ada rasa kecut yang saat itu sedang
membayangi dirinya.
"Masih belum dapat kusimpulkan. Keterangan
yang kudapat masih simpang siur!" ucapnya begitu cemas. "Untuk mencari
jawabannya, semuanya kuse-rahkan pada kalian untuk melakukan penyelidikan."
"Lalu kapan kami harus menghubungi tokoh-
tokoh golongan putih...?" tanya Ranggas. Tetapi Adipati Gupta tidak menjawab apa
yang ditanyakan oleh
orang-orangnya. Sebab tak begitu lama kemudian ter-
dengar suara erangan putrinya yang sedang dalam
keadaan sakit di dalam kamarnya.
"Kalian! Berjaga-jagalah di luar sana! Sepertinya penyakit putriku semakin
bertambah parah...!"
Ranggas dan Margono setelah menjura hormat,
lantas melangkah keluar dari ruangan tamu. Begitu
mereka melangkahkan kaki menuju gardu jaga. Kea-
daan di luar terasa sunyi sepi.
Sementara Adipati Gupta kini sudah berada di
dalam kamar putrinya. Dilihatnya putri Asih terus merintih-rintih, badan panas
menggigil, sementara wajah gadis itu tampak pucat dan berkeringat.
"Sudah kau berikan obat, yang tadi, istriku...!"
tanyanya menoleh sebentar pada istrinya yang sejak
tadi terus menangisi putri satu-satunya.
"Semuanya hampir tak bersisa...!" jawab sang istri tersendat. "Tapi panasnya tak
pernah turun-turun.
Bahkan semakin menggila...!"
"Aku tak tau apa yang sedang terjadi. Kalau pe-
nyakit itu merupakan kutuk sang Hyang Widi, menga-
pa sampai melanda hampir seluruh desa yang menjadi
wilayah kekuasaanku. Mengapa desa di luar kekua-
saanku tak pernah terserang penyakit aneh ini...!"
ucap Adipati Gupta seperti merasa iri.
Dalam keadaan diliputi kegelisahan seperti itu,
mendadak bertiuplah angin yang sangat kencang. Hor-
den jendela, kayu yang terdapat di dalam ruangan Pu-
tri Asih tampak berkibar-kibar. Adipati Gupta dan is-
trinya tercekat merasakan keganjilan itu. Suami istri saling berpandangan. "Aku
merasa ada kekuatan gaib yang menyertai hembusan angin ini. Yang pasti seseorang
berilmu sangat tinggi berada di sekitar rumahku.
Tapi mungkinkah Margono dan Ranggas tidak melihat
seseorang di luar sana" Atau sesuatu yang mencuriga-
kan. Hhh. Kalau orang itu memiliki maksud-maksud
tak baik, sudah sejak tadi dia pasti sudah mencelakakan kami!" membatin Adipati
Gupta. Tapi tanpa disadarinya secara reflek dia sudah menyentuh hulu keris yang
disengkelitkannya pada bagian pinggangnya.
"Apa apakah, Kakang" Mengapa angin tiba-tiba
saja bertiup sekeras ini..."!" tanya istrinya yang biasa dipanggil dengan nama
kecil Puja. "Psst.. jangan keras-keras bicara! Ada sesuatu
yang mungkin saja bisa terjadi sewaktu-waktu di ru-
mah kita...!" kata Adipati Gupta sambil memberi isyarat dengan mempergunakan
jari telunjuknya. Pada ke-
nyataannya apa yang baru saja dikatakan oleh Adipati Gupta tampaknya tidaklah
berlebihan, justru karena
beberapa saat kemudian setelah ucapannya itu hem-
busan angin yang menerpa daun jendela semakin ber-
tambah keras. Kemudian disertai dengan terdengarnya
suara lirih yang disampaikan melalui ilmu mengirim-
kan suara. "Adipati Gupta! Apakah kau tidak menyadari
bahwa penyakit putrimu itu semakin bertambah pa-
rah" Aku sendiri merasa usia anakmu itu hanya ting-
gal dua hari lagi. Dan kau harus menyadari bahwa ob-
at yang diberikan oleh istrimu untuk anakmu itu tidak ada gunanya sama sekali.
Putrimu itu akan segera ma-ti jika... he... he... he...!" Terdengar suara
mengekeh, dan semua itu hanya Gupta sendirilah yang tahu karena di antara dia
dan istrinya, hanya dia seorang saja yang mengerti tentang dunia persilatan.
Sementara itu tampak sekali wajah Adipati Gupta selain berubah
memerah juga mulai tampak tegang. Kemudian melalui
ilmu mengirimkan suara dia pun berkata:
"Siapakah kau ini, dari mana kau tahu bahwa
putriku akan segera mati?" tanyanya tanpa mampu menutupi rasa kecemasan hatinya.
Orang yang bicara
melalui ilmu mengirimkan suara tadi kembali tertawa
mengekeh. "Mengenai siapa aku, itu tidak penting bagimu,
Gupta! Yang perlu kau pertanyakan bagaimanakah ca-
ranya agar kau dapat memperoleh obat untuk me-
nyembuhkan putrimu!" Adipati Gupta termangu-
mangu demi mendengar apa yang dikatakan oleh si
pengirim suara. Sejauh itu dia masih belum mengerti
ada maksud apa di sebalik kata-kata yang terdengar
bagai memberi petunjuk ini.
"Heh... kau sepertinya memang benar! Tapi apa
dayaku, aku bukannya tak mau berusaha. Tapi satu-
satunya tabib yang kuanggap dapat menyembuhkan
penyakit terkutuk itu telah pula tewas entah siapa
yang telah membunuhnya...!" Berkata Adipati Gupta seperti orang yang sedang
putus asa. "Ha... ha... ha...!" Terdengar suara tawa bergelak-gelak menyeramkan. "Benarkah
Tabib Canda Muka telah tewas?" tanyanya seolah pada dirinya sendiri.
"Begitulah menurut kabar yang pernah kuden-
gar!" jawab Adipati Gupta tanpa ragu.
"He... he... he...! Tabib Canda Muka tewas, ba-
gaimana mungkin, atau mungkinkah?"
"Keterangan orang-orangku tak pernah mengan-
dung dusta...!" ucap sang Adipati tampak memerah wajahnya.
"Manusia sering tertipu oleh penglihatannya sendiri, aku tak pernah yakin tabib
sehebat Canda Muka
dapat tewas semudah itu. Dunia selalu penuh dengan
tipu-tipu, heh! Sekali lagi cobalah cari tau, benarkah Tabib Canda Muka telah
wafat...?" Pertanyaan yang berisi makna-makna yang tiada dimengerti oleh Adipati
Gupta ini membuat dia tenggelam dalam keragu-raguan.
"Secara logika aku masih belum mengetahui arti
dari semua ucapanmu. Tapi apakah putriku masih da-
pat disembuhkan?" Bergetar suara Adipati Gupta ketika mengajukan pertanyaan
seperti itu. Angin kencang
kembali menerpa, mengibarkan horden kain jendela.
Mengibarkan anak-anak rambut Adipati Gupta yang
tidak tertutup blangkon. Lalu menyapu wajah sang
Adipati yang pucat pias karena kurang tidur dan dibe-bani dengan perasaan kalut.
"He... he... he...! Tergantung keberuntungan yang dimiliki oleh putrimu...!"
Ringan saja si pengirim suara memberi jawaban. Seolah nyawa manusia baginya
tiada memiliki arti apa-apa di matanya. Sebaliknya Adi-
pati Gupta semakin tercengang begitu mendengar ka-
ta-kata yang sangat menyepelekan ini. Sebagai Adipati baru kali ini ada seorang
tamu yang tiada terlihat
ujudnya telah begitu berani bicara seenaknya tanpa ta-ta krama dan peradatan.
Selama ini tak seorang pun
berani bicara sembarangan begitu saja. Apalagi dengan kata-kata meremehkan
seperti itu. Kecemasan tentang
keselamatan putrinya, dan rasa penasaran karena ta-
munya tidak mau menunjukkan diri. Membuat sang
Adipati mulai terbakar kemarahannya.
"Siapakah kau...! Kedatanganmu secara sem-
bunyi-sembunyi seperti ini, jangan-jangan kaulah
orangnya yang telah menyebarkan wabah penyakit ini
di seantero desa?" tukas sang Adipati tanpa sungkan-sungkan lagi. Tiada rasa
amarah yang terdengar dari
jawaban si pengirim suara.
"Manusia sering terlalu curiga terhadap sesa-
manya. Dan kau pun tak pantas mengetahui siapa aku
ini adanya. Apakah aku ini manusia sepertimu, apa-
kah ujudku sebagai binatang, atau bahkan sebagai jin, itu bukan urusanmu...!"
"Keparat! Selain kau tak mengenal tata krama,
kiranya kau sosok misterius yang perlu kucurigai...."
Menggeram Adipati Gupta. Walaupun perbincangan
mereka tidak dapat didengar oleh istri sang Adipati, tapi ketegangan yang
terlihat membuat Puja diliputi
tanda tanya. "Ada apa, Kakang...?"
Tak terdengar jawaban, terkecuali erangan terta-
han dari bibir sang Adipati Gupta.
"Heh...! Tiada yang mampu mencegah setiap tin-
dakanmu, Adipati! Sekarang kau berdiri di dalam ke-
kuasaanmu. Tapi ingat, aku bukanlah orang yang bisa
terpengaruh dengan pangkat manusia mana pun."
"Jangan kau buat aku semakin bertambah pena-
saran. Saat sekarang ini diriku sedang dalam kekalu-
tan. Kalau kau tak mempunyai urusan apa-apa den-
ganku, cepat pergilah...!" perintah Adipati Gupta semakin bertambah berang.
Sekali lagi angin berhembus
kencang. Pada saat itulah terdengar kata-kata yang tak ubahnya bagai sebuah
sajak terdengar:
Aku datang bersama hembusan sang bayu
Rupaku tiada pernah terlihat.
karena aku berada antara ada dan tiada
Dalam kegelapan aku melihat apa-apa
yang tiada terlihat, dalam tidur,
dalam mimpi aku selalu menjaga.
Tapi aku tiada pernah mengusik
Tiada pula pernah menyapa,
Kebenaran ada pada hati yang tulus,
sedangkan kejujuran hanya ada
dalam nurani yang putih....
Kalau jiwa telah dirasuki dengan
ambisi dan nafsu
Manusia lebih jahat dari hanya
sekedar binatang buas
Hitam warnanya, angkara murka
tindakannya, Maka jangan sesalkan andai kehancuran
yang didapatnya
Aku datang bersama hembusan bayu....
Sekali lagi terdengar suara tawa bergelak-gelak,
lalu seiring dengan hembusan angin yang sangat ken-
cang, maka si pengirim suara itu pun lenyap begitu sa-ja. Heran bercampur
bingung berbaur menjadi satu.
Adipati Gupta menyadari kata-kata si pengirim suara
yang berupa untaian sajak itu berisikan petunjuk yang perlu dicari tahu
jawabannya. Dia merasa yakin siapa pun adanya orang yang telah berkata-kata
dengannya melalui ilmu menyusupkan suara, pastilah seorang to-
koh golongan putih yang memiliki kesaktian yang san-
gat tinggi. Tapi kalau pun memang benar, mengapa
orang itu tak mau mengatakan apa yang menjadi pe-
nyebab terjadinya wabah penyakit menular yang telah
melanda hampir tiga puluh buah desa, dan tentang
Tabib Canda Muka, benar-benarkah masih hidup
sampai sekarang ini" "Aku harus menyelidiki tentang semua kebenaran yang ada."
membatin Adipati Gupta.
Seraya lalu melirik ke arah putrinya yang masih saja terus merintih dengan tubuh
menggigil. Sementara istrinya sudah tampak tertidur dengan posisi duduk di
samping pembaringan anaknya.
*** 3 Dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan
dipenuhi dengan liku-liku serta kekerasan itu. Ada sa-tu hal yang selalu dia


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingat! Yaitu tentang semua pesan almarhum gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu.
Perjalanan nasib selamanya memang tidak harus ber-
pihak pada seseorang. Tapi jangan salahkan keadaan
dan menyesali diri, karena semua yang terjadi sudah
ada yang mengaturnya.
"Kakek Bangkotan Koreng Seribu! Semoga aku te-
tap berjalan pada langkah yang selalu kau restui!"
menggumam pemuda itu. Tiada mengurangi niatnya
untuk mencari tahu tempat pertapaan ayahandanya
Raja Ular Piton Utara yaitu raja diraja dari negeri alam gaib (negeri Bunian)
pemuda tampan dengan rambut
dikuncir dengan sebuah periuk berjelaga yang mengge-
lantung di bagian pinggangnya ini terus mengayunkan
langkah. Sesekali anak-anak rambutnya tampak me-
lambai-lambai ditiup semilir hembusan angin pagi nan lembut.
Sementara pakaiannya yang berwarna merah itu
tampak sudah basah oleh keringat. Hal itu pun tak ju-ga dia hiraukan. Yang
selalu mengganggu pikirannya
adalah, selama melakukan perjalanan melewati desa-
desa yang masih merupakan wilayah kadipaten Ungga-
ran. Dia selalu melihat iring-iringan penduduk yang
sedang mengusung beberapa keranda. Dari beberapa
keterangan yang dia kumpulkan dia mengetahui bah-
wa orang-orang itu tewas karena terserang wabah pe-
nyakit misterius yang telah menewaskan banyak kor-
ban. Namun pabila dia melewati desa di sebelahnya
dan mendapati kejadian yang serupa, mau tak mau
dihatinya timbul sebuah tanda tanya.
"Mengapa sekian banyak desa sampai terserang
bahwa yang sama" Sudah berapa banyak yang me-
ninggal" Lebih celaka lagi hampir setiap mata selalu memandangku dengan tatapan
sinis dan rasa curiga.
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu di balik semua pe-ristiwa ini." batin si
pemuda. Tanpa menghiraukan orang-orang di sekeliling-
nya, Pendekar Hina Kelana terus saja melangkah. Ma-
tanya melirik ke kanan dan kiri, mencari-cari sebuah warung tempat penjual
makanan. Tapi kalau pun ada,
warung di kanan kiri jalan itu tampak tutup. Barulah ketika dia sampai di sudut
desa, pemuda ini melihat
sebuah warung berukuran besar yang sarat pengun-
jung. Tanpa merasa ragu, Buang Sengketa mengayun-
kan langkahnya ke sana. Tiada dia hiraukan beberapa
pasang mata yang memandang curiga padanya. Den-
gan sikap tenang, si pemuda menghampiri pemilik wa-
rung. Lalu setelah memesan makanan, pemuda ini pun
segera duduk di sebuah kursi panjang yang terdapat di sudut ruangan. Sekejapan
dia mengitarkan pandangan
matanya menyapu ke segenap penjuru ruangan. Meli-
hat cara mereka menatap, tampak bagi pemuda itu ka-
lau kehadirannya tidak disukai oleh orang-orang di dalamnya. Tapi Buang tiada
memperdulikannya, sebalik-
nya dia langsung menyantap makanan yang telah di-
pesannya begitu pemilik warung menghantarkan ma-
kanan itu. "Pak tua...!" Terdengar bentakan seseorang memanggil pemilik warung itu. Yang
dipanggil perlihatkan wajah cemas bercampur rasa bersalah. Dengan gugup,
pemilik warung yang sudah berusia berkisar lima pu-
luh lima tahun ini datang menghampiri orang yang
memanggilnya. "Sese... saya tuan...! Apakah makanannya perlu
ditambah...!" tanya si pemilik warung, gemetaran. Tan-
pa berkata seorang laki-laki berpakaian hitam putih
yang tadi memanggil si pemilik warung, langsung me-
nyentakkan ikat kepala yang membungkus kepala pe-
miliknya. Begitu ikat kepala pemilik warung disentakkan. Maka terlihatlah
kepalanya yang botak plontos.
Sehingga mengundang tawa mereka yang hadir di wa-
rung itu. Semakin pucat wajah pemilik warung, kemu-
dian sambil menggaruk kepalanya yang tiada ditum-
buhi rambut, laki-laki tua ini berkata dengan penuh
permohonan: "Maafkan saya tuan. Sungguh saya benar-benar lupa dengan pesan-pesan
yang pernah tuan
berikan pada saya...!"
"Creep...!"
Dengan sekali sambar, maka krah baju si pemilik
warung telah tergenggam erat di tangan laki-laki berpakaian hitam putih itu.
Dengan keras laki-laki berpakaian hitam putih itu menyentakkan tubuh si pemilik
warung ke atas, hingga membuat kakinya tidak dapat
dipergunakan untuk menjaga keseimbangan tubuh-
nya. Tubuh laki-laki tua ini bergoyang-goyang bagai
kentongan yang habis dipukul peronda.
"Sudah kubilang padamu, jangan kau layani ti-
kus-tikus pendatang di warungmu ini. Siapa tahu dia
merupakan penyebar kuman penyakit...!" geramnya dengan kedua mata melotot.
"Berp... ee... maafkanlah saya tuan! Saya berjanji untuk tidak melakukan
kesalahan lagi. Percayalah
tuan...!" Gemetaran suara pelayan itu menandakan bahwa dia sedang dilanda rasa
takut yang teramat
sangat. Laki-laki berpakaian hitam putih dengan beberapa orang kawannya,
mendengus. Tanpa diduga-duga
dicampakkannya tubuh laki-laki itu ke salah sebuah
bangku yang terletak paling dekat dengan Buang
Sengketa, "Gubraaak...!"
Laki-laki itu menjerit saat mana bagian iganya
menghantam kursi panjang tak begitu jauh darinya.
Tubuhnya menggeliat-geliat merasakan sakit yang tia-
da tertahankan.
"Bangunlah, Pak tua...!" kata Buang Sengketa.
Saat itu dia baru saja selesai menyantap pesanannya.
Dengan dibantu oleh si pemuda, laki-laki pemilik warung itu sudah terduduk di
bangku yang tadi ditempati oleh Buang Sengketa. Sekejapan dia memeriksa bagian
perut hingga ke bagian dada. Pemilik warung itu ke-
mudian menjerit saat mana tangan Buang Sengketa
meraba tulang rusuknya yang patah. Pemuda itu lalu
menarik nafas pendek. "Kejam sekali tindakan orang itu!" batinnya.
"Bocah tak dikenal! Biarkan pemilik warung yang tak tahu adat itu. Satu hukuman
memang layak dija-tuhkan padanya untuk satu kesalahan yang seharus-
nya tidak dia lakukan di depan mata kami!" bentak yang lainnya di antara empat
orang yang tergabung
bersama laki-laki itu.
"Apakah kesalahan yang telah dilakukan oleh
orang tua ini...?" tanyanya. Lalu melangkah dua tindak ke depan. Masih tetap
berada di tempatnya, orang itu menjawab ketus:
"Apa yang telah dilakukan olehnya" Huh... coba
kau tanyakan saja pada orangnya...!" Dari nada ucapannya, tampak sekali kalau
keempat orang itu me-
mang tidak menunjukkan rasa persahabatan. Akan te-
tapi Buang sudah tiada perduli, perlahan-lahan dia
berpaling pada pemilik warung.
"Apakah kesalahan yang telah pak tua laku-
kan...?" desisnya. Orang tua itu tidak segera menjawab. Ada keragu-raguan
membayang di wajah yang te-
lah keriput itu. Sesekali dia menoleh pada keempat
orang yang tadi sempat membuat tulang rusuknya pa-
tah. "Katakan dengan jelas, botak pikun! Asal tahu saja, salah jawab berarti
kepalamu yang botak itu kami pecahkan...!"
"Jangan hiraukan kunyuk-kunyuk itu pak tua!
Bicaralah dengan jelas, siapa tahu aku dapat memban-
tumu...!" Hampir berbisik suara si pemuda terdengar.
Sementara lebih dari sepuluh pasang mata tampak
memusatkan perhatiannya pada Buang Sengketa dan
pemilik warung.
"Anda bukan orang sini, Tuan muda...!"
"Betul! Aku memang bukan orang sini, tapi men-
gapa...?" selak si pemuda keheranan.
"Tahukah tuan apa yang sedang terjadi di daerah kami ini...?" tanya si pemilik
warung, sambil menyerin-gai menahan rasa sakit di bagian dadanya. Buang
mengangguk pelan. "Sedikit saja yang kuketahui, yaitu tentang orang-orang yang
tewas itu...!"
"Desa kami terserang semacam wabah penyakit
misterius. Kami mendapat pesan untuk tidak melayani
tamu asing di warungku ini...!" Buang manggut-
manggut, lalu katanya: "Oh itu sebabnya maka orang-orang itu menghukummu...?"
tanya Buang Sengketa dengan suara sengaja dikeraskan.
"Mereka adalah kaum persilatan golongan putih
yang sengaja disewa oleh Adipati Gupta untuk mela-
kukan penyelidikan siapa sebenarnya yang bertang-
gung jawab atas wabah yang sedang melanda banyak
desa...!" kata si pemilik warung dengan suara hampir-hampir tak terdengar.
Mendengar penjelasan yang di-
berikan oleh orang itu, serta merta dia palingkan wajah, dan memandang pada
empat orang laki-laki ber-
pakaian hitam putih itu. Namun baru saja mata mere-
ka saling beradu pandang, tiba-tiba salah seorang dari empat laki-laki yang
bernama Sona Kirana, mem-
bentak: "Kalau kau sudah tahu tentang un-dang-
undang yang berlaku di sini, cepat- cepat menyingkirlah...!" perintahnya garang.
"Ah, aku bukan seekor kucing kurap, bukan pula
seorang pengacau. Tak perlu anda mengusirku, kalau
aku mau pergi tak seorang pun punya hak memberi
perintah...!"
"Brengsek! Berani sekali bocah berperiuk ini
membantah perintah Adipati, Kakang Sona...!"
"Bocah berpakaian gembel ini cukup beralasan
untuk dicurigai...!" kata Sona Kirana sambil melompat dari tempat duduknya.
"Kalau begitu, kita ringkus dia untuk dibawa ke hadapan Adipati...!" menyela
salah seorang yang berbadan gemuk pendek.
Pendekar Hina Kelana tampak tersenyum-
senyum, lalu sambil bertolak pinggang pemuda ini lantas nyeletuk: "Wuee... enak
betul kalian bicara! Aku bukan seorang maling. Dan kalian tak punya bukti
yang kuat untuk mencurigaiku...!"
"Kampret! Kita tak perlu berdebat dengan orang
ini. Kawan-kawan, ringkus dia...!" perintah Sona Kirana. Tiga orang lainnya
langsung berloncatan dari tempat duduk masing-masing. Dengan sangat cepat sekali
keempat tokoh dari Gunung Slamet ini mengurung
Pendekar Hina Kelana. Sementara itu pemilik warung
yang sudah tampak ketakutan itu, dengan langkah
terseok-seok tampak meninggalkan warungnya. Begitu
pun dengan para pengunjung lainnya.
"Kalian terlalu berburuk sangka pada orang lain, Sobat...!" keluh si pemuda,
sambil mengelakkan tinju Sona Kirana yang mendera ke arah wajahnya.
"Wuuut...!"
Serangan yang dilancarkan oleh Sona Kirana lu-
put, tapi bagian kaki kanannya datang menyambut.
Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalamnya, Buang
memapaki dengan kepalan tangan kanannya.
"Duuuk...!"
"Auhh...!"
Sona Kirana terlonjak-lonjak kesakitan. Menge-
tahui salah seorang kawan dapat dicelakakan oleh si
pemuda berkuncir. Maka tiga orang kawannya segera
sadar, kalau pemuda itu kiranya memiliki kepandaian
yang dapat diandalkan. Maka mereka ini akhirnya
tanpa sungkan-sungkan lagi langsung melakukan
pengeroyokan dengan jurus-jurus silat tangan kosong
yang paling ampuh. Sekarang Sona Kirana yang kena
dihantam oleh Buang pun kembali turun ke gelang-
gang ikut melakukan pengeroyokan.
Tapi Buang Sengketa juga tidak tinggal diam,
dengan mempergunakan jurus Mem-bendung Gelom-
bang Menimba Samudra, dia papaki setiap serangan
lawannya dengan kecepatan yang sangat sulit diduga-
duga. "Heaaat.... Shaaaaa...!"
Mempergunakan jurus 'Badai Topan Utara'
keempat orang itu tampak mundur dua tindak. Lalu
tangan mereka terpentang membentuk dua buah cakar
mirip cakar elang yang sedang bersiap-siap untuk me-
nerkam mangsanya.
"Deb... deb... deb...!"
Terdengar suara bergemuruh saat tangan-tangan
yang terpentang itu berkelebat-kelebat mengawali se-
buah serangan. Secara serentak mereka ini bergebrak.
Pukulan-pukulan mempergunakan jurus tangan ko-
song itu memang dapat dirasakan oleh si pemuda akan
kecepatannya. Bahkan pemuda itu merasa tak sempat
untuk menghindarinya. Hanya dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuh saja, kemudian dia lenting-
kan badannya ke udara. Keempat orang itu terus
memburunya. "Haiiit...!"
Merasa sangat kewalahan, Buang Sengketa sege-
ra merobah jurus silatnya dengan jurus si Gila Men-
gamuk. Detik itu juga permainan silat si pemuda berobah secara total. Tubuhnya
tampak terhuyung-huyung
ke depan dan ke belakang. Sementara tangan dan ka-
kinya melakukan tendangan dan pukulan yang tiada
terduga-duga. Sungguh pun pihak lawan mampu di-
buat kelabakan, namun mereka tetap terus merang-
sak. Dengan sangat bernafsu Sona Kirana dan seorang
yang lainnya hantamkan tangan kanannya mengarah
ke bagian pelipis, sedangkan lawan yang lain lakukan satu tendangan satu
jotosan. Buang Sengketa kali ini tak ingin bersikap ayal-ayalan. Tiada alasan
baginya untuk mengelakkan pukulan yang dilakukan oleh lawannya. Maka secepatnya
dia kerahkan jurus Koreng
Seribu untuk memapakinya.
"Desss! Creeep... creeep...!"
Satu tangan kanan tampak melekat erat di ba-
gian pelipis Buang Sengketa, sedangkan tangan dan
kaki Sona Kirana melekat pada bagian perut dan tumit si pemuda.
Bukan main terkejut dua orang tokoh dari Gu-
nung Slamet ini, sedapatnya mereka mencoba membe-
baskan diri dari daya tarik yang sangat luar biasa itu, namun semakin kuat
mereka mengerahkan tenaga dalamnya untuk membetot tangan maupun kaki yang
melekat itu, maka mereka merasakan tenaga mereka
semakin terkuras habis. Sedangkan dua orang lainnya
tampaknya merasa sangat penasaran sekali. Tanpa
berpikir panjang lagi, mereka sudah bersiap-siap un-
tuk hantamkan pukulan jarak dekatnya. Buang Seng-


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keta kiranya menyadari akan semua itu. Namun dalam
keadaan sedemikian rupa mana mungkin dia dapat
menghindarinya, akalnya pun bekerja. Dengan mem-
pergunakan tenaga yang didapatnya dari pihak lawan,
maka dia lipatgandakan tenaga untuk melindungi se-
luruh tubuhnya.
"Hiaa.... Hiaaa...!"
Begitu lawan hantamkan tangannya ke depan,
maka tak pelak lagi selarik sinar warna putih meng-
hantam telak tubuh Buang Sengketa.
"Bleees.... Bleees...!"
Semakin menjadi-jadi rasa kejut di hati lawan
yang baru saja melepaskan satu pukulan tadi. Terle-
bih-lebih selain pukulan itu terasa bagai menembus
ruangan hampa, juga mereka merasakan ada kekuatan
tak terlihat membetot tubuh mereka mendekati si pe-
muda yang tadi diserangnya.
Sementara mereka terlibat tarik menarik dengan
pihak lawan. Di jalanan tak jauh dari warung itu, tampak beberapa ekor kuda
dengan penunggangnya tam-
pak menuju ke arah warung tersebut. Begitu kuda-
kuda itu berhenti di depan warung tadi, maka tiga
orang penunggang kuda itu pun berlompatan turun.
Pabila mereka memandang ke dalam warung. Maka
terkejutlah hati si penunggang kuda yang tak lain merupakan orang-orang
kepercayaan Adipati Gupta yang
sedang menjalankan tugasnya. Dengan sangat tergesa-
gesa mereka memasuki warung itu. Tampaknya tiga
orang penunggang kuda itu mengenai cukup baik sia-
pa orang yang berpakaian hitam putih dari Gunung
Slamet ini. "Hentikan... hentikan pekerjaan yang gila-gilaan ini...!" teriak salah seorang
di antaranya yang bernama Margono. Sontak keempat orang yang sedang berusaha
membebaskan diri dari pengaruh tarikan pihak Buang
Sengketa menoleh. Dalam keadaan seperti itu sudah
barang tentu tenaga yang mereka kerahkan sedikit
berkurang. Dan Buang Sengketa sendiri sudah merasa
cukup memberi pelajaran pada orang-orang itu. Maka
dengan sekali menghentakkan tangannya, keempat
penyerangnya jatuh terduduk dengan tubuh terasa le-
mah lunglai. Setelah memperhatikan orang-orang dari
Gunung Slamet, maka kini tiga orang penunggang ku-
da itu beralih pada Buang Sengketa.
"Hebat.... Sekali seumur hidup aku menyaksikan
permainan silat yang luar biasa sepertimu!" Berkata Ranggas sambil memperhatikan
pemuda berpakaian
kumuh itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Maafkan atas penyambutan yang kurang baik oleh kawan-kawan kami. Kalau kami
boleh tahu siapakah
anda...?" "Aku hanya seorang pengelana, bukan perampok
menjijikkan yang perlu dicurigai!" kata pendekar keturunan Raja Ular Piton
Utara. Hilang keramahannya.
"Aha... sudah saya bilang, maafkanlah sobat-
sobat kami itu. Mereka hanya menjalankan perintah
Adipati Gupta." ujar Margono. Dari sikap mereka, Buang dapat menarik satu
kesimpulan bahwa keramahan mereka memang tidak dibuat-buat.
"Baik, aku memaafkannya! Dan aku harus pergi
sekarang...!" kata si pemuda lalu bergegas melangkah keluar warung. Namun baru
beberapa tindak dia melangkahkan kaki, salah seorang dari penunggang kuda
itu memanggilnya.
"Sobat! Tunggu dulu, kami ingin membicarakan
sesuatu dengan anda...!"
Tanpa menoleh, pemuda berperiuk itu hentikan
langkahnya. Lalu: "Cepatlah katakan aku tak memiliki banyak waktu untuk
melanjutkan perjalanan...!" kata si pemuda dingin.
"Sobat! Adipati Gupta saat ini sedang membu-
tuhkan orang-orang persilatan yang memiliki kepan-
daian tinggi. Bahkan beliau berani membayar berapa
saja. Asal yang menjadi penyebab terjadinya wabah
penyakit misterius di seantero pelosok desa dapat diketahui siapa pelakunya...!"
ucap salah seorang tangan kanan Adipati Gupta sambil mendekati Buang Sengketa.
Pemuda keturunan alam gaib itu hanya tersenyum-
senyum saja begitu mendengar penjelasan Ranggas.
*** 4 "Aku bukan jagoan bayaran! Pun tidak memiliki
kepandaian apa-apa, terkecuali hanya seorang penge-
lana hina. Carilah orang lain yang lebih tepat untuk bidang itu, maaf aku harus
pergi sekarang juga...!"
Hanya dengan sekedipan mata, tubuh Pendekar Hina
Kelana telah lenyap dari pandangan orang-orang yang
berada di depan warung itu. Kejadian itu membuat
mereka terperangah, sama sekali mereka tiada me-
nyangka kalau pemuda berpakaian lusuh itu memiliki
ilmu kepandaian yang sangat tinggi.
"Saudara Ranggas! Kami bilang apa, pemuda itu
memang pantas untuk dicurigai! Mungkin saja dia ter-
libat dan bertanggung jawab atas wabah misterius
yang kini melanda seluruh desa...?" sela Sona Kirana bersungut-sungut. Ranggas
dan Margono sebagai
orang yang berpengalaman, cepat geleng-gelengkan
kepala. "Kita harus punya bukti yang kuat untuk mencu-
rigai seseorang. Sudahlah, alangkah lebih baik kalau kita melakukan penyelidikan
ke Utara. Adipati membutuhkan laporan sudah berapa banyak penduduk yang
tewas akibat wabah terkutuk itu...!" selak Margono.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi berangkatlah mere-
ka menuju ke arah Utara.
Saat itu Pendekar Hina Kelana yang baru saja
meninggalkan orang-orang kepercayaan Adipati tam-
pak masih terus berlari-lari. Dengan mempergunakan
ajian Sepi Angin tubuh pemuda itu tampak melesat
laksana terbang. Apa yang menjadi tujuannya kini
adalah berusaha mencari keterangan di rumah kedia-
man sang Adipati. Demikianlah setelah bertanya-tanya pada orang yang dijumpainya
di jalanan, maka tak
sampai satu jam kemudian sampailah pemuda ini di
Desa Lalang. Setelah menghentikan ilmu larinya, pe-
muda itu kemudian melangkah perlahan mendekati
sebuah bangunan rumah mewah, yang pada bagian
luarnya dijaga ketat oleh beberapa orang penjaga bertampang angker.
"Berhenti...!" bentak salah seorang penjaga rumah mewah itu yang berada di
bagian paling depan.
"Kau orang asing, ada keperluan apakah...!?" tukas orang itu, kemudian beberapa
kawannya yang lain
tampak mendekati, lalu bergabung dengan laki-laki
pertama berusia sekitar limapuluh tahun.
"Maaf... namaku Buang Sengketa, ingin bertemu
dengan Adipati Gupta...!" ujar pemuda itu dengan nada bersahabat. Orang-orang
yang berada di situ tampak
saling pandang sesamanya. Lalu kembali pada si pe-
muda. "Ada keperluan apakah...?" tanya si laki-laki yang memiliki kumis serta janggut
serba putih itu.
"Aku ingin bicara mengenai penyakit putrinya...!"
jawab Buang Sengketa yang secara kebetulan dia sem-
pat mendengar tentang sakit yang diderita oleh putri sang Adipati.
"Kalau begitu baiklah! Mari ikuti aku..." kata laki-laki tua itu, kemudian tanpa
menghiraukan Buang
Sengketa laki-laki itu terus melangkah pergi. Sebenarnya pemuda itu merasa
kurang senang dengan sikap
orang tua itu. Tapi dia pun tak mungkin bisa protes
terkecuali mengikuti dari belakangnya. Tak lama ke-
mudian setelah melewati pintu depan, maka akhirnya
sampailah mereka pada sebuah ruangan yang sangat
luas dan bertikar permadani tebal. Laki-laki tua tadi kemudian masuk ke ruangan
dalam, kemudian keluar
lagi dengan seorang laki-laki berpakaian bangsawan.
Setelah memperhatikan pemuda itu sejenak, maka
dengan ramah laki-laki berpakaian bangsawan tadi
mempersilahkan tamunya duduk di atas tikar perma-
dani. "Benarkah anda menanyakan tentang penyakit putri kami itu, orang muda...?"
tanya Adipati Gupta.
"Ya... memang benar...!" jawab si pemuda lugas.
"Apakah anda seorang tabib...?" tanya sang Adipati sambil memandang penuh
selidik. Sementara laki-
laki tua yang bernama Karsa, sejak tadi terus menerus memperhatikan Buang
Sengketa. "Aku bukan seorang tabib yang mulia Adipati,
sungguh pun aku bukan seorang ahli obat, tapi meli-
hat penyakit yang diderita oleh banyak orang, sedikit banyaknya aku jadi ingin
mengetahui sebuah kemungkinan apakah penyakit itu hasil perbuatan usil
manusia, atau karena azab yang diturunkan oleh Sang
Hyang Widi...!"
Adipati Gupta tampak angguk-anggukkan kepa-
lanya pelan. "Hemmm...! Sudah sekian banyak tabib yang be-
rusaha menyembuhkan mereka dan juga penyakit pu-
triku. Tapi tak seorang pun yang mampu memberi ke-
sembuhan pada mereka...!" ucap Adipati Gupta. Dari nada suaranya pemuda itu
dapat merasakan bahwa
laki-laki setengah baya itu merasa putus asa.
"Bolehkah aku melihat keadaan putri yang mu-
lia...?" tanya Buang Sengketa dengan sangat hati-hati.
"Bolehkah aku tahu siapa namamu, se-belum
kau kuberi izin melihat putriku, orang muda...?" ujar Adipati Gupta curiga.
Sementara Buang Sengketa sendiri hanya tersenyum-senyum saja.
"Namaku Buang Sengketa, yang mulia Adipati...!"
kata si pemuda tanpa punya keinginan untuk menye-
butkan julukan yang dimilikinya di rimba persilatan.
"Buang Sengketa...!" kata Adipati Gupta setengah mengeja nama si pemuda yang
baginya masih terasa
begitu asing, "Baiklah, Buang...! Mari aku antarkan kau ke sana!" kata Adipati
Gupta ramah. Ditemani Karsa dan sang Adipati, pendekar itu kemudian memasuki
sebuah ruangan lain merupakan kamar Putri
Asih. Buang Sengketa melihat seorang gadis terbaring lemah di atas sebuah
ranjang yang sangat indah. Wajah gadis itu tampak pucat dan layu, badan kurus
se- kali. Pendekar keturunan alam gaib itu merasa sangat iba sekali. Lalu tanpa
meminta persetujuan terlebih
dulu, dia pun mendekat ke arah ranjang si gadis.
Sekejap dia memperhatikan keadaan tubuh si
gadis, lalu terlihatlah olehnya bercak-bercak merah
yang timbul di atas seluruh permukaan pori-porinya.
Tanpa disadarinya, kedua belah matanya membelalak.
"Racun Pembunuh Iblis...?" serunya tertahan.
"Apa yang kau ucapkan, orang muda...!" selak Karsa juga tak kalah kagetnya.
"Tak seorang pun manusia di kolong langit ini
yang bertahan hidup lebih lama setelah racun maut
itu. Tapi... mengherankan, anak yang mulia bisa ber-
tahan hidup sampai hari ini...!" kata si pemuda itu keheranan. Penasaran sekali
Adipati Gupta mendengar
ucapan yang baru saja disampaikan oleh si pemuda.
Bahkan dia pun merasa takjub, melihat pengalaman
yang dimiliki oleh orang yang baru saja dikenalnya itu.
"Orang muda, bagaimana kau bisa menarik ke-
simpulan bahwa penyakit yang diderita oleh putriku
itu bukan merupakan wabah biasa...?" tanyanya diliputi rasa keingintahuan.
"Sungguh pun aku bukan seorang tabib, tapi me-
lihat keadaan putri tuan, aku dapat menarik kesimpu-
lan bahwa hanya Racun Pembasmi Iblis saja yang da-
pat meracuni sekian banyak desa. Karena sesungguh-
nya Racun Pembasmi Iblis sudah dapat bekerja dengan
sendirinya hanya dengan bantuan hembusan angin."
jelasnya tanpa merasa perlu dicurigai.
"Menurutmu! Siapakah pemilik Racun Pembasmi
Iblis itu! Dan apa pula yang menjadi tujuannya. Hingga orang itu begitu tega
menyebarkan maut di mana-mana?"
"Aku tak berani mengatakan siapa orangnya, se-
tahuku di kolong langit ini hanya seorang tabib golongan sesat yang mampu
membuat Racun Pembasmi Ib-
lis itu. Tabib itu bernama Tabib Sapta Rengga yang du-lu pernah bermukim di
Gunung Tengger...!" kata pemuda itu.
"Tabib Sapta Rengga...?" desis Adipati Gupta.
"Baru kali ini aku mendengar adanya tabib sesat seperti itu. Menurutmu
mungkinkah orang itu masih ada
sampai saat ini...?"
"Berita terakhir yang kudengar, Tabib Sapta
Rengga sudah tidak berada lagi di Gunung Tengger,
ada yang bilang tabib itu hidup mengelana di berbagai tempat. Kalaulah memang
benar dugaanku ini berarti
Tabib Sapta Rengga telah melakukan petualangannya
sampai ke mari... dan bukan tak mungkin seluruh
penduduk desa akan mengalami celaka dalam waktu
yang singkat...!" kata Buang Sengketa berpendapat.
"Hemmm, bagaimana dengan putriku...!" tanya
sang Adipati semakin bertambah cemas. Buang Seng-
keta tampak terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Baginya untuk menyembuhkan racun yang mengen-
dap di dalam darah putri Adipati Gupta hanya ada sa-
tu kemungkinan saja. Yaitu dengan jalan menyedotnya
dengan perantaraan Pusaka Golok Buntung. Hanya ca-
ra itulah yang dapat dipergunakan.
"Bagaimana orang muda! Apakah nyawa putriku
masih dapat tertolong...?" tanyanya dengan sikap was-was. "Kemungkinan dan cara
satu-satunya adalah dengan jalan menyedot habis racun yang telah mengendap di
dalam darah putri yang mulia. Andai nasib
baik, dan kondisi pisik putri tuan memungkinkan, su-
dah jelas dia akan segera sembuh sebagaimana mes-
tinya...." jawab Buang Sengketa panjang lebar.
"Kalau begitu, daripada dia menanggung penderi-
taan yang tiada berkesudahan. Lakukanlah...!"
"Yang mulia gusti...!" Laki-laki pendek dari Gunung Semeru yang sejak tadi hanya
diam saja kini ikut bicara.
"Ada apa paman...?"
"Cara pengobatan yang akan dilakukan oleh pe-
muda ini, merupakan cara yang sangat berbahaya.
Kondisi tubuh Putri Asih sudah tidak memungkinkan
lagi. Bagaimana nanti jika jiwa putri tak tertolong...?"


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucap Karsa merasa sangat khawatir dan begitu tak ya-
kin dengan apa yang akan dilakukan oleh si pemuda.
"Kurasa tak ada jalan lain lagi, Paman Karsa! Kalau pun jiwa putriku sampai
tidak tertolong, setidak-tidaknya kita telah melakukan sesuatu untuk kesem-
buhannya." jawab Adipati Gupta tanpa ragu-ragu. "Lakukanlah orang muda...!"
perintah sang Adipati, tabah.
*** 5 Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Hina Kelana segera menghampiri ranjang Putri Asih.
Kemudian pemuda itu mencabut Pusaka Golok Bun-
tung yang terselip di bagian pinggangnya. Begitu senjata maut itu tergenggam di
tangan si pemuda, terkejutlah Adipati Gupta dan Karsa, manakala mereka mera-
sakan udara di sekitar kamar itu secara tiba-tiba menjadi dingin luar biasa.
Sampai akhirnya mereka pun
mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat senjata
di tangan si pemuda memancarkan sinar merah me-
nyala. "Pusaka Golok Buntung! Jadi kaulah Pendekar Hina Kelana dengan Pusaka
Golok Buntungnya yang
sangat menghebohkan itu...?" desis Adipati Gupta dan Karsa hampir bersamaan.
Selama ini mereka hanya
mendengar tentang sepak terjang seorang pendekar
muda yang menamakan dirinya sebagai Pendekar Hina
kelana. Siapa sangka secara tak terduga mereka malah kedatangan tamu berpakaian
kumuh yang ternyata
pendekar yang sangat kesohor itu. Maka hilanglah ra-
sa curiga di hati Adipati Gupta maupun Karsa tokoh
persilatan yang disewanya.
Sementara itu tanpa menjawab, Buang Sengketa
tampak mulai sibuk dengan tugas-tugasnya. Golok
Buntung yang sangat tajam itu dia goreskan di tangan Putri Asih. Bekas goresan
Golok Buntung di bagian te-lapak tangan gadis itu kini telah pula mengalirkan
darah kehitam-hitaman. Tanpa membuang-buang waktu
lagi pemuda itu langsung menempelkan golok itu ke
bagian luka tadi. Begitu golok pusaka itu menempel di bagian luka si gadis. Maka
golok yang memancarkan
sinar merah itu tampak meredup, bahkan sekejap la-
manya berubah pula kehitam-hitaman. Tubuh si pe-
muda kini telah basah oleh keringat, sementara darah berwarna kehitaman itu
sudah semakin banyak yang
tersedot oleh golok di tangan si pemuda. Sampai ak-
hirnya warna hitam itu lenyap sama sekali dan Golok
Buntung itu pun kembali memancarkan sinar merah
seperti sediakala. Sepemakan sirih mereka menunggu,
bercak-bercak merah di bagian tubuh Putri Asih pun
tampak mulai lenyap sama sekali. Melihat perobahan
itu bukan main gembiranya Adipati Gupta dan istrinya Puja, terlebih-lebih saat-
saat kemudian terdengar suara Putri Asih menjelang kesadarannya. Tiada henti-
hentinya mereka memanjatkan sukur kehadirat Sang
Hyang Widi. Sementara itu Buang dan Karsa sudah
tampak berada di ruang tengah kembali.
"Atas kesembuhan Putri Asih, kami mengu-
capkan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepa-
damu, hai orang muda! Namun terlepas dari semua
itu, alangkah baik-nya kalau kita membicarakan ten-
tang tindakan selanjutnya untuk mencari tahu, kebe-
radaan tabib sesat Sapta Rengga." ujar tokoh dari Gunung Tengger itu bersahabat.
"Apakah adipati telah menyebarkan orang-
orangnya...?" tanya Buang Sengketa seolah ingin tahu lebih banyak lagi sebagai
bahan pertimbangan.
"Tidak begitu banyak! Namun mereka terdiri dari tokoh-tokoh persilatan kelas
satu." "Ke mana saja mereka melakukan penye-
lidikan...?"
"Di antaranya ke daerah Bumi Ayu, dan ada juga
yang ke daerah Rimba Buangan, yang selama ini san-
gat dikenal sebagai tempat pengasingan orang-orang
cacat dan yang mengidap penyakit menular lainnya...!"
"Hemmm... Rimba Buangan! Sebuah nama yang
cukup menarik!" gumam pemuda itu. Sejenak nampak
tercengang. "Paman! Tolong sampaikan salamku. Saat ini ju-
ga aku harus pergi untuk mencari tahu tentang Tabib
Sapta Rengga." kata Buang Sengketa, walau bagaimana pun dia sudah mengambil satu
keputusan bahwa
dirinya tidak ingin dijadikan sebagai orang upahan
oleh Adipati Gupta.
"Hei... tunggu dulu orang muda! Adipati belum
memberimu satu hadiah apa pun!" ujar Karsa berusaha mencegah kepergian Buang
Sengketa. "Kalau pun adipati yang sangat baik itu membe-
riku hadiah, ambillah untukmu, Paman Karsa! Aku tak
membutuhkannya...!" Samar-samar pendekar keturunan raja alam gaib itu menyahuti
dari kejauhan. Laki-laki setengah baya dari Gunung Semeru itu geleng-
gelengkan kepalanya. Sementara itu Adipati Gupta te-
lah pula sampai di ruangan tamu, namun jadi tertegun ketika dia tidak melihat
lagi si pemuda berada di ruangan itu.
"Paman Karsa! Ke mana perginya pendekar pen-
gelana itu?"
"Dia baru saja pergi, yang mulia! Padahal saya telah melarangnya."
"Tidak paman tanya, ke mana perginya...?" tanya Adipati Gupta merasa tak enak.
Laki-laki dari Gunung Semeru itu tampak geleng-gelengkan kepalanya. Lalu:
"Aku belum sempat mengucapkan rasa terima kasihku padanya. Pula aku butuh
bantuannya untuk mencari
tahu tentang tabib yang disebutkannya tadi." ucapnya menyesalkan.
"Mungkin kepergiannya semata-mata hanya un-
tuk mencari manusia penyebar malapetaka di seluruh
pelosok desa kita. Tapi begitu pun ada baiknya kita
ikut ambil bagian untuk mencari Tabib Sapta Reng-
ga...!" "Saya pun berharap yang mulia adipati mengam-
bil tindakan seperti itu...!" kata Karsa.
Selanjutnya mulai saat itu Adipati Gupta dan be-
berapa orang sewaannya mulai mempersiapkan segala
sesuatunya untuk memulai perjalanannya.
*** Rimba Buangan hampir sepanjang hari berseli-
mut kabut. Sangat jarang sekali orang yang berlalu la-lang di sana. Apalagi
daerah itu banyak dikenal orang sebagai tempat pembuangan bagi orang- orang
cacat. Tak seorang pun penduduk dari kadipaten maupun
desa-desa lainnya yang mau datang ke tempat itu. Bagi mereka mungkin keberadaan
orang-orang cacat itu tak
ubahnya sebagai makhluk yang sangat menjijikkan
dan perlu untuk dijauhi. Saat itu di bagian sebelah
Utara tidak begitu jauh dari tempat bermukimnya para orang-orang cacat. Tampak
mengendap-endap beberapa sosok tubuh berpakaian aneka warna. Dari gelagat
yang terlihat tampak jelas kalau mereka sedang mela-
kukan pengintaian terhadap perkampungan orang-
orang cacat. Sementara itu dari sebuah bukit yang tersem-
bunyi di bagian Timur Rimba Buangan, tampak seo-
rang laki-laki berpakaian pendeta juga sedang menga-
wasi ke arah perkampungan itu. Laki-laki berpakaian
ungu dengan sebuah tasbih di tangannya ini berusia
sekitar tujuh puluh tahun. Pada bagian wajahnya yang tiada ditumbuhi oleh
jenggot dan kumis tampak rusak
di sana sini. Sehingga menimbulkan kesan menyeram-
kan bagi orang yang melihatnya. Sesekali sepasang
matanya yang berwarna merah itu tampak meman-
dang lurus ke arah lereng di bawahnya. Namun di lain saat mata yang cekung ke
dalam dan membentuk se-
buah rongga itu kembali terpejam. Kemudian terlihat
pula sesungging senyum pias di bibirnya yang seten-
gah sumbing. Lalu tanpa terduga-duga, laki-laki ber-
pakaian ungu itu seperti mendesah. Namun menghe-
rankan karena justru suara yang terdengar tak ubah-
nya bagai suara lolongan serigala hutan. Dan pabila
angin berhembus kencang, maka menebarlah bau
bangkai di sekitar tempat itu. Selanjutnya manakala
angin kencang berhembus ke arah lereng bukit yang
selama ini merupakan pemukiman orang-orang cacat.
Maka seluruh penghuni perkampungan orang-orang
cacat jadi terbatuk-batuk. Kemudian beberapa orang di antaranya langsung
menggelupur roboh sambil memegangi dadanya yang terasa sakit.
Kejadian itu sudah hampir satu purnama ber-
langsung, dan sering terulang pabila bau bangkai yang mengandung racun itu telah
menebar ke arah bagian
bawah bukit, maka beberapa orang penghuni perkam-
pungan itu langsung menemui ajal secara menyedih-
kan. Kejadian demi kejadian yang terjadi sudah barang tentu membuat kepala
dusunnya yang bernama Kakek
Buta Tanpa Nama menjadi pusing dibuatnya. Seingat-
nya selama puluhan tahun mereka menetap di situ,
kejadian ganjil seperti yang sedang terjadi saat sekarang sangat jarang terjadi,
bahkan boleh dikata tak
pernah ada. Tapi mengapa penyakit misterius itu tiba-tiba menyerang mereka,
padahal mereka sangat jauh
dalam keterasingan. Di lain pihak dia pun merasa sangat terpukul dengan adanya
berita dari kalangan luar.
Bahwa malapetaka yang terjadi di daerah-daerah juga
bersumber dari mereka. Ini sangat keterlaluan sekali, padahal selama ini sungguh
pun mereka merasa dikucilkan dari kehidupan ramai, namun mereka merasa
tidak pernah membuat ulah maupun semacam pelam-
piasan dendam kepada orang-orang yang berada di
dunia ramai. Sementara itu di atas bukit, laki-laki berpakaian
ungu itu masih tampak tersenyum-senyum seorang di-
ri. Bahkan senyumannya kini telah berubah menjadi
sebuah seringai puas.
"Auuuunngg...!" Lolongnya lirih. "Kaing.., kaing...!
Biarkan saja orang-orang cacat itu pada mampus se-
mua. Racun Pembasmi Iblis hasil ciptaanku memang
terlalu ampuh. Bahkan puluhan kampung telah ber-
hasil kuracuni, putrinya Adipati Gupta juga! He... he...
he...! Salah siapa" Dulu dia begitu berambisi menjadi adipati. Kalau tidak
karena bantuanku, mana mungkin
sekarang dia bisa hidup enak dan dihormati oleh orang banyak. Dia kira siapa
Tabib Canda Muka itu" Pernahkah dia berpikir jika tanpa bantuanku dia dapat
menggantikan Adipati Tambak Yoso yang telah tewas
karena Racun Pembasmi Iblis milikku. Tapi di dunia
ini terlalu jarang orang yang mampu membalas guna.
Sekarang biarkan saja Adipati Gupta mumet memikir-
kan siapa yang menjadi penyebab maut atas desa-desa
yang menjadi kekuasaannya. Hek... hek... hek...!" Sekejap dia memperhatikan ke
arah lereng bukit. Di sana memang terlihat sedang terjadi kekacauan. Kemudian
kembali terdengar suara lolongannya, sayup-sayup.
"Auuung... kaing... kaing...! Bagus... saling mam-pusin saja, biar orang-orang
segolongan jadi cerai berai...!" dengusnya sinis.
Saat itu di lereng bukit memang sedang terjadi
kekacauan. Beberapa orang pengintai yang sejak pagi
mengawasi daerah perkampungan orang-orang cacat
itu kini sudah turun menyerbu, dan mulai membantai
orang-orang cacat yang hanya memiliki sedikit kepan-
daian. Raungan maut pun mulai membahana meme-
nuhi seluruh lereng, hingga sampai ke atas bukit tempat di mana Sapta Rengga
berada. Bumi perkampun-
gan orang-orang cacat mulai basah bersimbah darah.
Tapi para penyerang yang sudah diliputi api amarah
itu tampaknya sudah tiada memiliki rasa kasihan lagi.
Orang-orang cacat yang tiada memiliki kepandaian
tinggi itu dalam waktu se-kejap saja menjadi kocar-
kacir dalam mem-pertahankan diri.
Sementara itu dari dalam sebuah pondok yang
berukuran sangat besar, tampak seorang kakek tua
berkelebat memasuki arena pertempuran. Tanpa me-
nunggu waktu lebih lama lagi, tongkat di tangannya
pun segera berkelebat.
"Traang.... Traaang... Traaang...!" Terdengar ben-turan keras antara senjata si
kakek dengan senjata
yang telah dipergunakan oleh pihak penyerang untuk
membunuhi orang-orang cacat itu. Tampak tergetar
tubuh para penyerang tadi begitu senjata pedang me-
reka membentur tongkat di tangan kakek buta.
"Tua keparat! Siapakah engkau ini...!" tanya salah seorang di antara mereka
sambil bersurut langkah.
Pemimpin perkampungan orang-orang cacat itu men-
dengus, lalu silangkan tongkatnya ke depan dada.
"Aku Tua Bangka Tanpa Nama yang me-mimpin
perkampungan orang-orang cacat!" kata laki-laki buta itu, dan wajahnya mendadak
berubah merah padam
saat dia mendengar jeritan salah seorang masyarakat-
nya. "Hentikan kawan-kawan kalian itu!" sentak kakek buta. "Kalau pun kalian
memang ingin memusnahkan kami, setidak-tidaknya sebelum menutup mata kami
harus mengetahui persoalan yang sebenarnya...!" bentak Kakek Buta Tanpa Nama. Si
penyerang meman-
dang sejenak pada kawan-kawannya, seolah ingin min-
ta sebuah persetujuan.
"Kawan-kawan, berhenti dulu...!" perintah yang jadi pemimpin pada kawan-
kawannya. Kemudian
orang itu menyambung: "Orang-orang cacat tiada guna ini ingin tahu apa sebabnya
kita membantai mereka...!"
"Kakang Suroso, menunda pembunuhan itu sa-
ma saja artinya kalau kita menunda kematian mere-
ka...!" cela salah seorang berbadan kecil kurus merasa kurang begitu senang
dengan keputusan pemimpin-nya. "Sabar, Adik Bungkring! Tak ada salahnya kita
meluluskan permintaan orang yang hendak mampus...!"
"Sekarang cepat kau tanyakan apa saja yang in-
gin kau ketahui, tua buta..?" sentak Suroso sembari menimang-nimang toyanya.
"Aku ingin tahu, mengapa tiba-tiba saja kalian
datang langsung membunuhi orang-orang yang tiada
berdosa?" "Heh... apa katamu! Kalian bukan orang-orang
yang bersalah" Pernahkah kalian dengar tentang ke-
matian beratus-ratus warga dari tiga puluh desa kare-na terserang wabah terkutuk
itu...?" sentak Suroso.
"Siapakah kalian ini...?" tanya si Kakek Buta Tanpa Nama dengan mata
berkeriapan. Lagi-lagi laki-laki yang bernama Suroso itu mendengus.
"Siapa kami! Cukup kau tahu bahwa kami ini
merupakan utusan Adipati Gupta. Ditugaskan untuk


Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari biang penyakit yang melanda hampir seluruh
pelosok desa." kata laki-laki itu sembari menyungging-kan senyum sinis.
"Lalu kalian menuduh kami sebagai bapak
moyangnya penyebar wabah terkutuk itu" Huh tidak
tahukah kalian bahwa orang-orangku sendiri hampir
setiap hari kedapatan tewas dengan sebab-sebab yang
tak jelas...!" kata Kakek Buta Tanpa Nama balas membentak.
*** 6 "Wue... pandai sekali kau berkilah kakek buta!
Padahal menurut penyelidikan kami. Dari Rimba
Buangan sinilah sumbernya dari segala macam penya-
kit yang telah merenggut banyak korban itu...!"
"Bohong! Semua itu hanya fitnah! Kami selama
hidup berpuluh-puluh tahun di sini selamanya tak
pernah mengganggu urusan dunia luar! Apalagi sam-
pai menyebarkan segala macam penyakit...!" bentak Kakek Buta Tanpa Nama sangat
marah sekali. "Jadi kau tetap membantah, orang tua...!" tanya Suroso tampak gusar sekali.
"Kalau kami merasa, bahwa kami berada di pihak
yang benar. Maka kami tetap tidak akan mengakuinya
walaupun nyawa sebagai taruhannya...!" Suroso,
Bungkring, Kethu Dadap dan Kali Gundil tampaknya
sudah tiada mampu lagi mengendalikan emosinya.
"Tak ada gunanya lagi kita saling berbantahan
dengan mereka Kali Gundil. Baiknya kita hancurkan
mereka." teriak Kethu Dadap.
"Seraaaang...!" teriak lawan-lawannya beramai-ramai.
Sekejap kemudian peperangan pun berkecamuk
kembali. Karena keempat orang-orang itu rata-rata
memiliki kepandaian tinggi dan sekaligus merupakan
tokoh sewaan terpilih maka dalam waktu sepuluh ju-
rus kemudian sebagian besar penghuni perkampungan
cacat itu tewas terbantai. Sungguh pun Kakek Buta
Tanpa Nama tiada dapat melihat apa yang sedang ter-
jadi, namun dia dapat merasakan betapa orang-orang
yang segolongan dengannya banyak yang sudah me-
nemui ajal secara menyedihkan.
"Kalian mengaku-ngaku sebagai golongan lurus.
Tapi tindakan kalian melebihi kebrutalan iblis. Keparat... aku akan mengadu jiwa
dengan kalian...!" teriak Kakek Buta Tanpa Nama sambil mengayunkan tongkatnya ke
arah. "Jangan banyak mulut! Kau harus mampus di
tangan kami, Kakek Buta...!" selak Suroso. Maka pengeroyokan pun terjadilah.
Dengan hanya mengandalkan indera perasa dan
permainan tongkat di tangannya. Kakek Tanpa Nama
ini terus melakukan serangan-serangan gencar. Sekali waktu tongkat di tangannya
menderu dan timbulkan
suara bercuitan. Hal ini menandakan bahwa Kakek
Tanpa Nama sebenarnya memiliki tenaga dalam yang
tinggi. Tetapi yang dihadapi oleh kakek itu bukanlah lawan sembarangan. Selain
mereka ini mempunyai
pengalaman yang tidak jauh beda dengan yang dimiliki oleh Kakek Tanpa Nama, juga
mereka memiliki senjata
andalan yang tentunya beraneka ragam.
Tidak keliru kalau dalam beberapa jurus selan-
jutnya Kakek Tanpa Nama, sudah mulai terdesak he-
bat. Bahkan lima jurus di depan dia sudah harus me-
mutar tongkatnya untuk melindungi diri dari sabetan
dan tusukan senjata pusaka di tangan lawannya. Satu
ketika dengan disertai jeritan tinggi melengking, keempat orang itu secara
bersama-sama langsung melaku-
kan penyergapan dengan toya, golok dan pedang ter-
hunus. Tampaknya Kakek Tanpa Nama menyadari
akan bahaya yang mengancam dirinya. Lalu tanpa
membuang-buang waktu lagi dengan mengandalkan
ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tahap
sempurna Tubuh Kakek Tanpa Nama meletik ke uda-
ra, namun dalam kesempatan itu. Lebih cepat lagi, pedang di tangan Suroso
berkelebat. "Breet...!"
"Ahkk...!"
Tubuh kakek Tanpa Nama terlonjak ke atas, ba-
gian bahunya terobek sebesar ibu jari hingga membuat sebuah luka yang terus
mengalirkan darah. Tapi pihak Suroso dan kawan-kawannya nampaknya sudah tidak
perduli lagi. Tanpa mengenai rasa belas kasihan mere-ka bermaksud untuk
menghabisi nyawa Kakek Tanpa
Nama. Tak ayal lagi, baik toya, golok maupun pedang
di tangan lawan-lawannya tampak terayun ke atas.
Sekali ini dengan sekali sabet maka tewaslah kakek
malang itu, namun di luar dugaan dalam keadaan
yang sangat kritis itu mendadak berkelebat sosok
bayangan merah begitu cepatnya. Bayangan itu terus
menyambar ke arah Kethu Dadap dan kawan-
kawannya: "Traang... trang... traang...!"
Tak ayal lagi tubuh mereka terjengkang dengan
senjata masih tergenggam di tangan masing-masing.
Namun secepatnya mereka sudah bangkit kembali. Be-
gitu dia memandang pada Kakek Tanpa Nama, mereka
melihat seorang pemuda yang tak dikenal sedang be-
rusaha menolong kakek itu. Karuan saja mereka men-
jadi sangat marah sekali.
"Kurang ajar! Siapakah engkau, bocah pembawa
periuk nasi...?" hardik Bungkring dengan tubuh gemetaran karena memendam luapan
emosi. Begitu dingin
tatapan si pemuda, menyapu pandang pada keempat
laki-laki yang telah melakukan pembantaian terhadap
orang-orang cacat di Rimba Buangan.
"Mestinya kalian tak perlu bertanya siapa aku ini.
Karena sesungguhnya kalian sendiri tiada mengerti
siapa diri kalian sendiri...!" gumam pemuda itu geram.
"Keparat! Ditanya malah balas bertanya! Ada hu-
bungan apakah kau dengan kakek buta ini..."!"
"Hemmm...! Aku tak memiliki hubungan apa-apa,
cuma aku tak habis pikir, manusia yang mengaku-
ngaku sebagai golongan lurus seperti kalian kok begitu
tega membunuhi orang yang lemah tanpa daya...?"
"Kurang ajar! Kau tau apa bocah gembel" Sudah
jelas mereka yang telah membuat sengsara orang ba-
nyak, tetapi mengapa justru kau membelanya...?" bentak Suroso dengan mata
melotot. "Apakah kalian melihat dengan mata kepala sen-
diri...?" bertanya Buang Sengketa dengan pandangan berapi-api. Tampak orang-
orang itu saling pandang sesamanya, biar bagaimana pun selama ini mereka men-
jalankan perintah hanya berdasarkan laporan yang
mereka terima dari orang-orang kepercayaan sang adi-
pati. Tetapi sebagai orang yang merasa derajat golongannya lebih tinggi dari si
pemuda maupun kakek bu-
ta, mana mungkin mereka mau mengakui kesalahan
mereka begitu saja.
"Sungguh pun tidak! Tapi semua itu berdasarkan
laporan orang-orang kepercayaan kadipaten?" kata Kali Gundil, mewakili kawan-
kawannya. "Kalau sudah merupakan orang-orang upahan
kadipaten. Lantas kalian bisa berbuat sewenang-
wenang pada orang-orang yang selama hidupnya telah
banyak menelan penderitaan ini...?" sentak pemuda itu mulai terseret-seret dalam
api kemarahan. "Kampret! Kau tau apa tentang kadipaten...?"
tanya seorang di antara mereka membanggakan diri.
"Ah... ha... ha... ha...! Sombong sekali kau ini sobat! Yang ku tahu di
kadipaten sedang mewabah to-
koh-tokoh persilatan upahan seperti kalian ini. Juga termasuk sakitnya Putri
Asih karena Racun Pembasmi
Iblis itu. Heh... tak kusangka kalau Adipati Gupta yang sedang dilanda
kebingungan itu malah mengupah para
begal pembunuh memuakkan seperti kalian ini. Kupe-
rintahkan pada kalian untuk menyingkir dan jangan
ganggu lagi orang-orang yang tiada berdosa ini...!" bentak Buang Sengketa.
Akan tetapi, mana mau orang-orang itu meneri-
ma begitu saja. Sebaliknya Kethu Dadap yaitu meru-
pakan orang-orang yang paling tua di antara keempat
utusan sang adipati malah balas membentak: "Kampret! Kau benar-benar tidak
memandang muka terhadap
utusan dari kadipaten...!"
"Harus kulihat dulu apa yang telah dilakukan
oleh kunyuk-kunyuk upahan seperti kalian ini. Baru
aku akan memperhitungkan baik buruknya...!" kata Buang Sengketa lugas.
"Kurang ajar! Menghina kami itu berarti sama sa-ja kau menghina adipati. Ringkus
kunyuk keparat ini
hidup atau mati...!" teriak Suroso marah.
"Beet...!"
Hanya sekejapan mata saja keempat orang itu te-
lah mengurung si pemuda dari empat jurusan. Suroso
tak perlu mengulangi perintahnya untuk yang kedua
kalinya, karena secara serentak mereka telah melaku-
kan serangan-serangan mautnya dengan gencar.
"Kakek Tanpa Nama, menyingkirlah...!" kata Buang Sengketa sambil berusaha
mengkelit serangan
gencar pihak lawan yang datangnya bertubi-tubi.
Namun datangnya serangan itu tak ubahnya ba-
gai luapan air bah, variasi jurus-jurus silat mereka pun sangat banyak dan
beraneka ragam. Sampai detik
itu, Pendekar Hina Kelana masih mempergunakan ju-
rus silat tangan kosong 'Membendung Samudra Me-
nimba Gelombang'. Satu kesempatan Bungkring han-
tamkan senjatanya yang berupa sebuah toya yang pa-
da bagian ujungnya terdapat sebuah pisau tajam yang
berwarna kekuning-kuningan.
"Wuuus!"
Angin sambaran toya bermata pisau itu menderu
ganas mengarah pada bagian perut Buang Sengketa.
Pemuda itu menghindari-nya dengan cara berjumpali-
tan dan kirimkan satu tendangan satu pukulan terha-
dap lawan yang berada di belakangnya.
"Wuuut!"
Sambaran ujung pisau yang terdapat di ujung
toya lawan, luput. Suroso yang berada di bagian belakang si pemuda tampak
gelagapan. "Buuuk! Ngeeek...!"
Terhuyung tubuh laki-laki berbadan jangkung
ini, isi perutnya terasa bagai diaduk-aduk. Saat itu semakin bertambah meluaplah
amarahnya. Serta merta tubuhnya melentik ke udara, kemudian setelah ber-
jumpalitan dan melayang turun. Pedang di tangannya
Sepasang Pedang Iblis 6 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Rahasia Lukisan Kuno 3
^