Pencarian

Darah Perempuan Iblis 2

Pendekar Kelana Sakti 8 Darah Perempuan Iblis Bagian 2


Alap-alap Bukit Busung Kawu,"
"Sudah jangan banyak kotbahi Tidak mendapat
pusaka pun, kita tidak bakal mati! Sekarang kita bergabung saja dengan orang-
orang persilatan. Kita ka-
barkan bahwa kita pernah bertemu Alap-alap Bukit
Busung Kawu." Gindek melangkah ke luar.
Gondok dan Gundik ikut melangkah ke luar
meskipun mereka masih menahan sakit. Keduanya
melangkah di belakang Gindek. Suara-suara mereka
terdengar terus oleh Wintara setelah mereka jauh meninggalkan bangunan itu,
barulah Wintara turun dari para. Kakinya hinggap di lantai tanpa bersuara.
Matanya menatap tiga orang kerdil yang makin
lama makin jauh melangkah.
"Terlalu lancang bila ikut campur urusan mere-
ka. Tapi justru yang ku khawatirkan adalah diri Tapak Welang. Tentunya ketiga
kurcaci-kurcaci itu sudah
berhadapan dengan Tapak Welang. Mungkin juga den-
gan Alap-alap Bukit Busung Kawu." kata Wintara dalam hati. Ia sudah tidak
melihat lagi tiga manusia kerdil.
"Melihat dari tampang mereka bertiga, mereka
bukanlah dari aliran lurus. Malah sekarang mereka
berniat akan mengacaukan dunia persilatan. Rupanya
mereka yang selama ini bikin hura-hura orang-orang
persilatan." Wintara mulai keluar dan ia pun segera pergi mengikuti jejak-jejak
tapak kuda yang membekas pada permukaan tanah.
"Tapak Welang mungkin lebih memerlukan per-
tolongan." Wintara terus melesat, kecepatan larinya sangat luar biasa. Hampir
sukar diikuti oleh pandangan mata.
*** Entah sudah berapa lama sosok ramping itu
tergeletak di dasar jurang yang dipenuhi oleh kabut.
Tubuhnya nampak bergetar dengan nafas yang perla-
han turun naik. Darah telah menutupi seluruh wajah-
nya. Sukar sekali ia membuka kelopak mata.
Darah memang telah mengering di seluruh wa-
jahnya. Lengannya yang gemetar berusaha menyeka.
Tapi ia cepat memekik. Rasa sakit yang tak terhingga menyengat kulit muka. Meski
dengan susah payah,
akhirnya gadis itu dapat menyingkirkan bercak-bercak darah kering yang menutup
di sekitar rongga mata.
Sekalipun ia dapat melihat, pandangannya ma-
sih kabur. Mungkin karena sudah lama tidak sadarkan diri. Wajah cantiknya tampak
begitu menyeramkan
tatkala ia mencoba bangkit. Seluruh tulang-tulang
sendinya terasa remuk.
Lama-kelamaan pandangannya kembali pulih.
Jelas sekali pedang pendeknya tergeletak di samping tubuh. Setelah ia meraih
pedang itu ia bangkit berdiri.
Namun keadaan yang masih lemah membuat tubuh-
nya ambruk lagi. Saat itu pun secara tidak sengaja sesuatu jatuh dari gulungan
rambutnya. Sebuah tusuk
konde berwarna keemasan.
Bergetar ia meraih tusuk konde itu. Lapat-lapat
pula ia seperti mendengar suara yang sangat halus.
Suara itu pernah di dengarnya pada lima belas tahun yang lalu.
"Simpanlah ini.... Kalau perlu selipkan saja pa-da gulungan rambutmu. Jangan
sampai hilang, Laran-
ti.... Di dalamnya tersimpan beberapa lembar jurus il-mu silat yang dapat
mengalahkan Paman Wundung
Kuro.! Wundung Kuro.... Wundung Kuro.... Wundung
Kuro...." Suara itu sebenarnya datang dari ingatannya sendiri yang telah terbuka
bersama kenangan masa silam. Maka air matanya berderai pula mengaliri ke-
rak-kerak darah di wajah gadis itu. Bola mata yang
bening menampakkan sinar kebencian yang paling da-
lam. Saat itu bibirnya bergetar.
"Aku betul-betul telah melupakannya Bu.... Aku mengira ilmu pedang yang
kupelajari darimu sudah
cukup untuk membalas kematian ayah dan ibu... Se-
karang sudah tak mungkin lagi bisa membalas kepada
manusia keparat itu.... Aku putus asa, Bu.... Putus asa...!" Gadis itu
tertunduk. Tubuhnya tertelungkup tersiram kabut yang memenuhi dasar jurang.
Namun suara bathinnya seperti kembali terngiang....
"Di dalam terselip beberapa lembar jurus ilmu
silat yang dapat mengalahkan Paman Wundung Ku-
ro.... Wundung Kuro.... Wundung Kuro.... Wundung
Kuro...." Bersamaan dengan itu pula genggaman gadis itu mengejang kuat. Tusuk
konde dalam genggamannya sampai patah. Perlahan ia mengangkat wajahnya
menatap patahan tusuk konde itu. Di dalamnya terse-
lip gulungan kulit yang sangat tipis. Tanpa ragu-ragu pula ia mengeluarkan gulungan itu dan
langsung membukanya. Pada lembaran itu tertera belasan gambar serta
petunjuk serangkaian ilmu pedang. Ia tahu betul kalau gambar-gambar itu
merupakan perpaduan ilmu pedang yang selama ini ia dapatkan dari ibunya.
Melintas pula saat ibunya menghembuskan na-
fasnya yang terakhir. Membiarkan Laranti terkatung-
katung sendiri memperdalam ilmu pedang. Untunglah
saat itu Laranti telah menguasai seluruh ilmu yang di-turunkan dari sang ibu.
Meskipun dengan perbekalan
ilmu pedang yang belum tuntas, namun Laranti sudah
dapat mengguncangkan dunia persilatan. Bahkan te-
lah menyandang gelar sebagai 'Alap-alap Bukit Busung Kawu'. Terlintas pula dalam
ingatannya saat ia tergantung di mulut jurang menarung nasib. Masih ter-
bayang jelas ketika sambaran pedang menyambar mu-
kanya. Sampai di situ pandangannya kabur lagi. Men-
dadak gelap dan pingsan.
Tidak jauh dari situ terdengar recek air yang ja-
tuh bagai air terjun ke dalam telaga. Tebing-tebing ba-tu berlumut serta
kumpulan kabut yang merayap di
permukaan tanah berbatu menyemarakkan suasana
dasar jurang. Langit biru yang jauh di atas sana hanya nam-
pak dari celah-celah daun dari tiap-tiap pohon yang merimbun. Di bawah situ
telah tergeletak sosok Laranti. Entah sampai kapan ia akan tersadar lagi..."
*** Niat Wintara yang bermaksud mencari Tapak
Welang ternyata membuang waktu saja. Sampai saat
ini ia belum juga menjumpainya. Jejak-jejaknya telah hilang dan sukar untuk
menentukan ke mana arah
Tapak Welang berlalu. Ia tetap yakin kalau Tapak Welang masih 'utuh' seperti
adanya. Makanya ia tetap
bersikeras terus melangkah.
Bukit Busung Kawu telah jauh dilaluinya. Kini
langkahnya yang perlahan tengah menyusuri pinggiran kali. Kali itu tidak lebar,
namun di kedua sisinya banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Di bawahnya
menghampar akar-akar pohon yang merambat. Terka-
dang Wintara harus menerobos semak-semak yang
menghalang di depan. Sepertinya ia sengaja mengikuti ke mana arah kali itu
berakhir. Selama dalam perjalanannya pula ia berharap
agar dapat menemui Tapak Welang. Ada sesuatu hal
yang membuat ia penasaran. Mengenai adanya 'Weduk
Pamungkas' serta kemunculan tiga manusia kerdil
yang bakal merecoki dunia persilatan. Kalau soal Alap-alap Bukit Busung Kawu,
Wintara belum begitu yakin.
Walaupun Tapak Welang sudah menjelaskan
Alap-alap Bukit Busung Kawu adalah seorang wanita
cantik yang pernah menyerangnya. Wintara belum bisa mengatakannya demikian,
karena ia sendiri sudah
mengukur kepandaian gadis itu sewaktu menyerang-
nya pada dua malam yang lalu.
Sekarang ia hanya melangkah mengikuti sepan-
jang kali. Sepertinya ia begitu yakin bakal bertemu dengan Tapak Welang di
kemudian hari. Tapi mendadak saja kebisuannya itu tersentak. Permukaan air
kali yang tadi tenang tiba-tiba berkecipak oleh jatuhnya beberapa butir buah
dari atas pohon. Sebentar
Wintara menghentikan langkahnya. Pandangannya
seolah menatap riaknya air, tapi pendengarannya yang selalu tajam dapat
mendengar gerak gerik yang lain.
Di atas pohon sana memang telah mengendap-
endap beberapa orang. Sejak tadi mereka mengawasi
setiap langkah Wintara. Wintara sendiri yang sudah
dapat menduga jumlah mereka lebih dari lima, seolah tidak perduli. Ia kembali
meneruskan perjalanannya.
Tapi baru saja ia melangkah beberapa tindak,
Wintara mendengar suara teriakan yang datangnya da-
ri atas pohon ke arahnya. Mengetahui adanya seran-
gan, Wintara cepat melompat ke depan. Maka nampak-
lah beberapa orang berloncatan datang menyerang.
Satu, dua... tiga... empat.... Semuanya tujuh
orang, Wintara menghitung. Dan mereka tidak membe-
ri kesempatan pada Wintara untuk buka suara. Tahu-
tahu saja mereka menyerang dengan serempak. Na-
mun begitu mereka datang menerjang, Wintara me-
nyambut dengan sapuan kakinya.
"Sreeet...! Buuuuug...!"
Tiga orang yang datang menyerang itu ambruk
terpelanting. Bahkan dua orang di antaranya masuk
ke dalam kali. Datang lagi dua orang, kali ini menggunakan
pedang. Wintara cepat melirik, dua laret sinar putih menyambar.... Menghadapi
dua sambaran pedang,
Wintara tidak bergerak sejengkal pun. Malah kedua
tangannya bergerak memutar. Tahu-tahu saja kedua
lining itu memekik hebat. Karena saat Wintara memu-
tar kedua lengannya tepat menghantam pergelangan
tangan mereka. Dua orang yang melihat teman-temannya am-
bruk berjatuhan sigap menarik pedangnya. Tapi mere-
ka menunggu semua temannya bangkit. Setelah itu
barulah mereka menyerang lagi serempak. Babatan-
babatan pedang menyambar ke arah Wintara.
Menghadapi lima orang bersenjata pedang cu-
kup bagi Wintara untuk bersikap mundur ke belakang.
Tapi bukan berarti bagi Wintara kabur. Saat pedang-
pedang mereka bergerak menyambar, mendadak Win-
tara melesat ke atas. Bersamaan dengan itu pula ke-
dua kakinya berputar menyambar setiap kepala para
penyerangnya. Maka dengan serempak pula mereka ja-
tuh terguling. Malang bagi ketiga orang yang langsung nyemplung ke kali. Dua
orang yang tadi nyebur lebih dulu menyelam kembali, karena tertimbun oleh ketiga
orang temannya.
* * * 7 Susah payah kelima orang itu memanjat ke
pinggir kali. Mereka langsung berlari datang memban-tu dua orang temannya yang
sibuk menghadapi Winta-
ra. Saat itu pun Wintara sudah ketelepasan melancarkan sebuah tendangan memutar.
"Des...! Des...!"
Dua orang itu langsung celentang tak berkutik
di tanah. Lima orang yang telah basah kuyup menda-
dak berhenti menyerang karena...
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha.... Aku sudah menduga!
Ha-ha-ha-ha-ha...." Terdengar tawa yang menggelegak.
Cepat Wintara menoleh ke arah suara itu.
"Tapak Welang!" Wintara tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. "Aku memang
sengaja menyu-ruh mereka untuk menyambutmu, Wintara," Tapak
Welang tersenyum, langkahnya mendekat.
"Dan ternyata dugaanku tidak meleset bahwa
kau bukanlah seorang pengelana sembarangan.... Ini
memang daerah kekuasaan ku, Wintara," sambung
Tapak Welang. "Sambutan mu cukup hangat. Hampir saja ke-
palaku menggelinding di sini." jawab Wintara. "Tidak tahukah kau, aku sudah
setengah mampus mencari-mu?" "Mencariku" Ada urusan apa?" tanya Tapak Welang
keheranan. "Tidakkah kau bertemu dengan tiga orang ker-
dil pada beberapa hari yang lalu?"
"Mereka tiga orang kerdil yang hampir saja
mencelakai diriku. Mengapa dengan mereka?" Tapak Welang menunjukkan bekas-bekas
luka babatan pedang yang telah dibalut pada dada serta lengannya.
"Mereka datang juga ke perguruan itu. Mereka
sama dengan kau mencari Pusaka 'Weduk Pamung-
kas'. Dia juga menyebut-nyebut nama Wundung Kuro.
Siapa Wundung Kuro itu?"
Bagai tersambar petir Tapak Welang mendengar
pertanyaan Wintara. Ia hampir tidak dapat menjawab-
nya. Wintara dapat melihat perubahan sikap sahabat-
nya. Tapak Welang akhirnya menjawab juga.
"Pusaka 'Weduk Pamungkas' adalah warisan
dari perguruan yang pernah kami tempati. Ayahku sa-
tu-satunya pewaris tunggal yang masih hidup. Tapi
sampai saat ini kami belum juga mendapatkan pusaka
tersebut."
"Kalau ayahmu pewaris tunggal yang masih hi-
dup, pastilah ia Wundung Kuro murid tertua pergu-
ruan itu." Wintara bisa berkata seperti itu karena ia sudah mendengar dari
pembicaraan ketiga manusia
kerdil. "Kenapa ayahmu sampai meninggalkan perguruan" Dan juga kenapa baru
sekarang ia memerlukan
Pusaka 'Weduk Pamungkas'" Tidak sadarkah kalau
persoalan ini menjadi rumit akhirnya.... Apalagi sekarang tiga manusia cebol
telah mengetahuinya."
"Cukup Wintara...! Kau telah banyak tahu da-
lam urusan ini! Sekarang aku mulai curiga, tentunya kau pun punya maksud lain
terhadap kami." Tapak Welang berubah sinis. Secepat kilat ia mencabut pedang dan
langsung menghunuskannya ke arah tenggo-
rokan Wintara. Sebagai seorang pendekar, Wintara tetap tenang.
"Apa perduli mu sampai datang ke tempat itu"
Tidak mungkin kalau kau pun tidak tertarik dengan
pusaka itu!" Tapak Welang berkata lebih sinis. Perlahan Wintara menggeser
pedangnya yang mengarah di
tenggorokannya, lalu....
"Itu tuduhan yang tidak mutlak, Tapak Welang.
Aku tidak tertarik dengan pusaka warisan kalian. Aku justru datang menemuimu
untuk memberi kabar bahwa ketiga orang kerdil itu telah bergabung dengan
orang-orang persilatan untuk mencari Wundung Kuro."


Pendekar Kelana Sakti 8 Darah Perempuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wintara berkata yang sesungguhnya. Tapi....
"Pembohong besar!" Sambil menghardik begitu, Tapak Welang membabatkan pedangnya
ke depan. "Weees!"
Wintara berjingkat mundur.
"Tapak Welang.... Tahan!" Wintara membentak.
Namun Tapak Welang tidak menggubris bentakan itu.
Babatan pedangnya semakin gencar menyerang Winta-
ra. Kalau Wintara tidak berhati-hati mungkin sudah
melukai tubuhnya.
Lima orang anak buah Tapak Welang yang ba-
sah kuyup itu mengangkat dua orang yang pingsan.
Mereka tidak membantu Tapak Welang menghadapi
Wintara. Karena mereka tahu, Tapak Welang tidak
pernah minta bantuan dalam menghadapi suatu.
Wintara sendiri sudah dapat mengukur. Betapa
hebatnya ilmu pedang yang dikeluarkan oleh Tapak
Welang. Setiap babatannya selalu mengundang maut.
Tatkala pedang itu berdesing saat berkelebat. Wintara sengaja tidak membalas.
Dia hanya berusaha menghindar. Karena ia tidak ingin Tapak Welang berpra-
sangka makin buruk terhadap dirinya.
Diperlakukan demikian, Tapak Welang sangat
merasa diremehkan. Maka serangannya makin gencar
menggempur Wintara. Dalam hal ini pun Wintara tetap mengalah. Sekalipun dalam
hatinya ia sudah tidak sabar atas perlakuan Tapak Welang.
Tapi sebelum Wintara bertindak untuk memba-
las.... "Bruuug!"
Tapak Welang jatuh berguling. Wintara sadar
kalau pukulannya itu tidaklah keras dan juga tidak
mengena. Beberapa saat pula Wintara baru sadar akan bergulingnya Tapak Welang.
Itu disebabkan oleh seseorang yang datang secara tiba-tiba. Orang itu langsung
berdiri di hadapan Wintara dengan sikap menan-
tang. Seorang setengah tua berbaju serba putih, sebelah lengannya buntung. Namun
begitu sebilah pedang
tersoren di pinggangnya.
"Sungguh besar nyalimu, Anak muda.... Berani
memasuki daerah kekuasaan kami.
Apalagi berani menyebut-nyebut nama besar
Wundung Kuro. Benar-benar tak tahu penyakit! Tidak
tahukah setiap orang itu harus mati bila menyebut
namaku?" Suara orang tua itu pelan, tapi cukup ber-wibawa. Wintara mundur
selangkah. Mengetahui orang yang mendorongnya Wun-
dung Kuro, Tapak Welang langsung bangkit.
"Ayah, dia seorang pengelana yang berilmu
sangat tinggi. Berbahaya sekali kalau dibiarkan hidup.
Karena ia telah tahu Pusaka 'Weduk Pamungkas' yang
kita cari!" kata Tapak Welang yang berdiri di belakang Wundung Kuro.
"Diam kau, Anak tolol! Bisa mu hanya berkoar
saja!" Wundung Kuro membentak. Saat itu Wundung Kuro menarik pedangnya. Suaranya
berdesing panjang. Terhadap laki-laki setengah tua ini, Wintara lebih berhati-
hati lagi. Saat itu dua orang yang tadi pingsan telah di-
bawa pergi. Di tempat itu hanya mereka bertiga. Sekarang Tapak Welang malah ikut
mengurung Wintara.
Pendekar Kelana Sakti sudah menduga, bakal repot
menghadapi mereka berdua.
Malah Tapak Welang sendiri yang menyerang
lebih dulu. Pedangnya berkelebat menyambar bagian
kepala. Serangan itu tidak main-main lagi. Wintara
melesat ke samping. Tapi tikaman pedang Wundung
Kuro deras menghujani tubuhnya. Untung Wintara
cukup awas. Dia bisa menghindari diri dengan bersalto ke belakang.
Wintara yang hanya mengandalkan kemam-
puan tangan kosong harus berkelit mati-matian meng-
hindari sambaran-sambaran pedang dari dua orang
lawannya. Lentingan tubuhnya yang gesit selalu ber-
jumpalitan atau beterbangan ke sana ke mari. Ia tidak berani mendekat, karena ia
tahu setiap gerakan mereka sangat berbahaya.
Apalagi Wundung Kuro mengerahkan hampir
seluruh permainan pedangnya. Gerakannya yang rin-
gan selalu dapat mengejar ke mana Wintara menghin-
dar. Begitu juga dengan serangan Tapak Welang, sam-
baran pedangnya tidak kalah hebat dengan ayahnya.
Terhadap Tapak Welang, Wintara dapat mem-
balas serangan itu dengan sesekali ia melancarkan
tendangan. Sehingga Tapak Welang harus terbanting.
Melihat Tapak Welang mencium tanah, sudah tentu
Wundung Kuro makin geram. Dengan gerakan yang
sangat cepat Wundung Kuro menendang pergelangan
tangan Tapak Welang.
Maka pedang dalam genggaman itu terlempar.
Yang lebih tak terduga lagi, pedang itu melesat deras mengarah pada Wintara.
Mendapat serangan yang tak terduga, Wintara
rada tersentak. Tapi ia cepat menepis lesatan pedang.
"Trak!"
Pedang itu kembali menancap di tanah dan
hampir mengenai Tapak Welang yang masih tergeletak.
Tapi ternyata saat Wintara menepis lesatan pe-
dang, Wundung Kuro membarengi dengan sebuah ter-
jangan. Pedangnya menyambar.
"Breeet!"
Wintara tidak sempat menghindar. Tahu-tahu
saja lengannya mengucurkan darah. Setelah melan-
carkan babatan pedang, Wundung Kuro melompat
mundur. Wintara tidak berusaha membalas, karena
ada rasa kelainan pada luka goresan tadi...
"Riwayatmu sudah tamat, Anak muda! Tidak
ada seorang pun yang dapat hidup terkena racun
'Pedang Geni Kluwuk'. Aku menciptakan ilmu pedang
itu agar tidak ada orang yang mengusik ketenangan
kami di sini." Suara Wundung Kuro seakan mengancam. "Kau...." Wintara merasakan
berat badannya melayang. Pandangannya mulai kabur. Seluruh lengannya membiru.
Mungkin racun 'Pedang Geni Klu-
wuk' sudah menjalar di tubuhnya. Nampak pula Wun-
dung Kuro tertawa mengekeh.
"Nasibmu sangat malang. Itu karena ulah mu
yang terlalu banyak campur tangan terhadap orang-
orang persilatan." Selesai berkata begitu, Wundung Kuro mengangkat pedangnya.
Meskipun dengan pandangan yang kabur serta tubuh seloyongan, Wintara
sudah menduga apa yang bakal dilakukan Wundung
Kuro. Maka saat pedangnya bergerak menyambar.
Wintara dapat menghindar. Dua kali sambaran pe-
dangnya nyaris merobek perut. Serangan-serangan itu pula yang mendesak Wintara.
Tapi begitu Wundung
Kuro melepaskan tendangannya, Wintara tidak sempat
lagi mengelak. "Der!"
Tendangan itu mendarat telak di dadanya. Dia
tidak ingat apa-apa lagi sesaat tubuhnya masuk ke dalam kali.
Tapak Welang yang sudah bangkit tersenyum
melihat tubuh Wintara mengambang di kali terbawa
arus. Wundung Kuro memasukkan kembali pedangnya
ke dalam sarungnya. Tanpa bicara ia pergi melangkah
meninggalkan anaknya yang masih berdiri menatap
Wintara semakin jauh mengapung.
*** Tenda-tenda yang berderet di sekitar perbata-
san Bukit Busung Kawu sudah tiga hari berdiri di situ.
Empat partai besar perguruan ilmu pedang telah ber-
kumpul. Bendera-bendera lambang kebesaran mereka
banyak berdiri di atas tiap-tiap tenda. Begitu juga dengan murid-murid yang
berkumpul di situ, rata-rata
mereka merupakan andalan tiap-tiap perguruan.
Para tetua mereka berkumpul pada satu tenda
yang lebih besar. Mereka memang tengah menyusun
satu rencana. Semuanya atas prakarsa gerombolan
'Gagak Hitam Penyebar Maut'. Ternyata usaha pende-
katannya kepada orang-orang persilatan berjalan mu-
lus. Kini ketiga manusia kerdil itu tengah duduk
bersila di antara keempat ketua partai perguruan ilmu pedang. Selama ini mereka
bertiga selalu bersikap baik terhadap orang-orang perguruan. Siapa pun tidak
menyangka kalau di balik kebaikannya itu
terselip maksud tertentu. "Kita telah mendatan-gi bekas perguruan tersebut.
Ternyata telah banyak
orang-orang yang berdatangan ke tempat itu. Bahkan
Ki Pelong telah kita temukan mati terbunuh. Jelas sekali luka-lukanya bekas
babatan pedang." kata Abiyasa yang memimpin pertemuan empat partai itu.
"Menurut saudara Tiga 'Gagak Hitam Penyebar
Maut' itu perbuatan Alap-alap Bukit Busung Kawu, be-tulkah demikian?" tanya Ki
Rantungan yang duduk di sebelah Abiyasa.
"Kalau kami belum pernah berhadapan den-
gannya, mana berani kami menuduh. sendiri tidak
percaya kalau Alap-alap Busung Kawu hanya seorang
gadis yang masih bau kencur." jawab Gindek. Gondok dan Gundik hanya senyum-
senyum saja. "Hm.... Kalau begitu pastilah Alap-alap Bukit
Busung Kawu telah mengambil Pusaka 'Weduk Pa-
mungkas', karena menurut kabar hanya Ki Pelong
yang tahu letak penyimpanan pusaka tersebut." tukas Buluk Bongas.
"Bukan.... Aku tahu betul perihal Ki Pelong. Beliau tidak tahu menahu persoalan
pusaka. Ki Pelong
hanya seorang abdi dalem perguruan itu. Soal siapa
yang mencuri Pusaka 'Weduk Pamungkas' masih da-
lam teka-teki. Lagi pula tujuan kita bukan ke sini. Kita berkumpul di sini untuk
merencanakan bagaimana
menghadapi Alap-alap Bukit Busung Kawu." Abiyasa menenangkan suasana dalam tenda
itu. "Bagaimana pun kita harus menemukan kem-
bali pusaka itu." sela Gundik yang kini kehilangan sebelah telinga.
Mendengar ucapan Gundik, Gindek langsung
menyikut secara diam-diam. Tapi keempat ketua per-
guruan ilmu pedang melotot secara bersamaan.
"Maksud kami, kita harus menyerahkan pusa-
ka tersebut pada orang yang berhak mewarisi Weduk
Pamungkas'...." Gundik nyengir.
* * * 8 "Hraaaaat...!"
Di balik gemericiknya air yang jatuh ke dalam
telaga, terdengar pula serentetan teriakan panjang. So-
sok tubuh ramping berjumpalitan di udara. Dengan
putaran-putaran pedang pendek yang menderu-deru
bagai angin taufan. Begitu tubuhnya hinggap di atas tanah, maka belasan ranting
pohon yang berada di dekatnya berjatuhan.
Belum lagi ranting-ranting itu jatuh menyentuh
tanah, sosok ramping itu menyebar lagi dengan baba-
tan pedang. Seleret sinar putih kehitaman berdesing.
Dan saat ranting-ranting itu jatuh, daun-daun yang
tadi memenuhi tiap-tiap ranting rontok terbabat habis oleh sambaran pedang.
Beberapa saat kemudian gadis itu berdiri me-
natap satu demi satu ranting-ranting yang plontos
tanpa daun. Ia telah puas dengan apa yang ia tekuni selama ini di dasar jurang.
Dan ternyata ilmu yang di-tekuninya itu sangatlah luar biasa.
Kembali suasana hening. Gadis itu tetap berdiri
di pinggiran telaga. Sesaat kemudian ia melangkah
mengitari telaga itu. Kabut-kabut putih yang meng-
hampar di permukaan tanah buyar. Maka nampak je-
las air yang bening bagai kaca. Nampak jelas pula
bayangannya yang berjalan mengitari pinggiran itu.
Bagai tersambar petir ia melihat bayangannya
sendiri. Ditatapnya seraut wajah yang membayang di
permukaan air. Wajah cantiknya telah tercoreng oleh bekas luka yang belum
mengering. Luka itu memanjang dari kening sampai ke dagu. Hidung mancungnya
sudah tidak nampak lagi. Kini hanya terlihat dua lubang besar di atas mulutnya.
Bergetar ia meraba bagian wajah. Makin dira-
sakan benjulan-benjulan yang memanjang bekas luka
itu. Mendadak wajah seram itu berubah makin menye-
ramkan. Tubuhnya seperti bergemuruh menahan ama-
rah yang tiada tara. Saat ingatannya menggambarkan
seraut wajah seorang pemuda yang telah melukainya,
tiba-tiba saja telapak tangannya menghantam bayan-
gan yang muncul di permukaan air. Hantaman itu dis-
ertai dengan luapan yang sudah tak tertahan lagi. Ma-ka menimbulkan suara yang
membledar. Air telaga
muncrat ke atas setinggi dua tombak. Lalu....
"Biar keadaanku begini, mungkin sudah takdir.
Tapi aku belum puas kalau belum bermandikan darah
orang-orang persilatan. Terlebih-lebih pada Wundung Kuro dan pemuda keparat
itu...! Lihat saja nanti!" kata gadis itu seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Dan ucapannya itu memang telah tertanam sebagai dendam yang sukar untuk dihapus.
Pandangannya nyalang menatap ke atas pada
batas jurang yang nampak tegar menanti kemuncu-
lannya. Setelah pedang pendek tersarung kembali di
pinggangnya, gadis itu melesat ke atas bersama den-
gan teriakannya yang menggema di sekitar dasar ju-
rang. "Wundung Kuro.... Kau tidak bisa menghindari dendam! Lima belas tahun aku
mencari kesempatan
ini...!" Suara itu terus menggema. Manakala tubuh ramping itu semakin tinggi
dengan lesatan tubuh yang ringan mencapai puncak jurang.
Kau tidak dapat menghindari ku lagi, meskipun
sampai ke ujung langit!" Gadis itu sudah tidak nampak, tapi gema suaranya tetap
memecah kesunyian
dasar jurang. Kita semua tahu, bahwa pada lima belas tahun
yang lalu istri Legowo berhasil selamat dari kepungan saudara seperguruannya,
Wundung Kuro memang telah menghancur belahkan keluarga Legowo. Hal ini berlatar
belakang adanya sebuah Pusaka 'Weduk Pamungkas' yang telah dicuri oleh istri
Legowo sendiri.
Sekarang Wundung Kuro tidak mungkin lagi
dapat memiliki pusaka tersebut. Karena si gadis kecil
yang dulu menyelamatkan serta merawat ibunya kini
telah menguasai tingkat akhir ilmu pedang itu.
Mereka betul-betul telah melupakan seorang
gadis kecil yang bernama Laranti anak dari Legowo.
Selama itu pula ia pernah membuat heboh orang-
orang persilatan. Bahkan orang-orang menyebutkan
sebagai Alap-alap Bukit Busung Kawu. Sebutan apa


Pendekar Kelana Sakti 8 Darah Perempuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi yang akan diberikan pada Laranti, setelah sekarang ia menguasai tingkat
akhir ilmu pedang itu..."
Kini Laranti tengah menghadapi gundukan ta-
nah berlapis rerumputan halus. Dua gundukan tanah
itu tidak lain kubur orang tuanya. Siapa pun tidak
akan menyangka kalau dua gundukan tanah itu kubu-
ran. Karena pada bukit itu memang banyak gundukan-
gundukan lain. Laranti sendiri akan bingung kalau ia tidak menandainya dengan
tumpukan tulang-tulang
kerangka bekas korbannya.
Di depan dua gundukan tanah itu pula Laranti
menghancurkan beberapa lembar kulit yang merupa-
kan pusaka 'Weduk Pamungkas'. Dia menebarkan so-
bekan-sobekan kulit itu bagai menabur bunga. Maka
kepingan-kepingan kecil kulit berserakan di atas dua gundukan tanah itu.
*** Setelah seharian penuh, rombongan yang ber-
jumlah belasan orang itu baru menemui sebuah kali
yang memanjang pada dataran Bukit Busung Kawu.
Bagai menemui sesuatu yang berharga, rombongan itu
saling serabut menuju ke arah kali. Hanya tujuh orang yang tetap berjalan tenang
menyusul orang-orang
Di antara ketujuh orang itu terselip tiga orang
kerdil. Mereka pun berjalan ke arah kali. Abiyasa yang memimpin rombongan itu
membiarkan belasan anak
buahnya melepaskan dahaga. Dia sendiri pun merasa
tenggorokannya telah kering.
Gabungan empat partai besar itu seperti ber-
pesta pora. Ada yang langsung menyebur ke kali. Ada juga yang hanya meminum dan
mengisi tempat perse-diaan air mereka. Tawa beberapa orang yang bermata
jeli dapat melihat situasi air kali yang mengalir.
"Aneh! Ikan-ikan di sini semua mengambang.
Apa yang menyebabkan ikan-ikan ini mati?" tanya salah seorang yang mengawasi
seluruh pinggiran kali.
Ikan-ikan memang banyak mengambang, bahkan telah
kembung membiru. Saat itu tiga orang kerdil dan rombongan Abiyasa mulai
mengambil air untuk mencuci
muka. "Airnya pun sangat aneh. Coba kau perhatikan.
Seperti ada cairan hitam yang larut bersama air kali."
jawab seorang lagi. Abiyasa yang mendengar pembica-
raan itu tidak jadi mengambil air. Matanya pun ikut mengawasi arus air kali yang
mengalir tenang. Saat ia tengah memperhatikan permukaan air, tiba-tiba saja
beberapa anak buahnya yang tadi meminum air kali
berteriak dengan tubuh mengejang. "Aaaaarght...!"
Abiyasa langsung melompat ke arah orang-
orang yang mengejang itu. Ki Rantungan dan Buluk
Bongas mengikuti gerakkan Abiyasa.
Didapatinya tiga orang tewas dan langsung
membiru saat itu juga. Setelah Abiyasa mengawasi
permukaan air, ia mendapatkan satu kesimpulan.
"Air kali mengandung racun! Jangan ada yang
minum!" teriaknya. Orang-orang itu menyingkir semua dari kali. Mereka segera
berkumpul mengerumuni tiga mayat yang telah membiru.
"Pasti ada yang sengaja meracuninya. Cepat pe-
riksa...!" perintah Ki Rantungan. tiga manusia kerdil berlari ke pinggiran kali.
Begitu juga dengan Buluk
Bongas dan para pengikutnya. Mereka berjalan di se-
panjang pinggiran kali. Air kali memang tampak lain.
Ada cairan hitam yang tidak larut dalam arus kali. Selain itu banyak pula
bangkai-bangkai ikan. Kelompok
'Gagak Hitam Penyebar Maut' paling sibuk. Tubuh
kerdil mereka yang lincah meloncat ke seberang kali.
Mereka terus mencari sumber racun itu.
"Aku menemukan mayat...!" Tiba-tiba saja terdengar teriakan. Kontan orang-orang
berdatangan. "Nampaknya orang ini masih hidup, coba per-
hatikan nafasnya." teriaknya lagi. Yang mereka lihat memang sosok tubuh seorang
pemuda terlentang di
pinggiran kali. Abiyasa dan teman-temannya menuju
ke tempat itu, "Angkat dia. Pemuda ini tidak keracunan. Mungkin kita bisa
menolongnya." kata Buluk Bongas setelah mengamati sosok tubuh kekar.
"Tunggu dulu!. bentak Gindek. "Jangan terlalu ceroboh. Siapa bilang pemuda ini
tidak keracunan.
Coba kalian lihat luka di lengannya itu." kata Gindek lagi. Semua mata memandang
luka pada lengan pemuda itu. Dari situ mengalir cairan hitam kental.
"Dari manusia keparat ini rupanya racun itu
berasal...!" Gondok menghardik.
"Kenapa tidak dihabisi saja nyawa anak muda
ini." usul Gundik.
"Bukan! Racun itu bukan berasal dari lengan
anak muda ini. Kalian lihat disepanjang kali ini masih mengalir cairan kental
seperti itu." teriak dari salah seorang rombongan itu.
"Ah! Terlalu buang waktu, sudah jelas luka di
lengannya itu mengeluarkan racun. Kenapa kalian ma-
sih kurang yakin?" Gundik geram. Sebelah lengannya ke atas hendak menghantam.
Tapi Abiyasa cepat menahan.
"Selamatkan dia dulu. Aku yakin anak muda ini
korban dari racun itu juga. Cepat angkat dia."
Maka beberapa orang mengangkat tubuh ping-
san itu. Mereka meletakkannya pada tempat yang cu-
kup leluasa. Ki Rantungan memeriksa luka di lengan-
nya. Yang lain masih terus mengamati permukaan air
kali. Tiga manusia kerdil nampak bersungut.
"Hebat! Anak muda ini telah bebas dari penga-
ruh racun. Tubuhnya telah melewati masa kritis.
Mungkin karena terlalu lama terendam dalam air." Ki Rantungan membolak balikkan
tubuh pemuda itu.
"Racun apa gerangan yang bekerja sangat ganas ini"
Darah korban akan cepat membeku dan tidak mung-
kin tertolong."
Merasa diguncang-guncangkan, tubuh pingsan
itu mulai siuman. Tanpa sadar pula ia menyebutkan
sesuatu. "Wundung Kuro.... Wundung Kuro...." Kata-
kata itu yang keluar dari bibir gemetar. Abiyasa dan Buluk Bongas beranjak ke
samping Ki Rantungan. Mereka seperti menemukan sesuatu setelah mendengar
ucapan pemuda yang tanpa sadar.
Tubuh yang mulai siuman itu mendadak kelojo-
tan. Ki Rantungan bersama yang lainnya cepat meme-
gangi tubuh kelojotan seperti mengamuk. Mereka me-
rasakan hawa panas yang keluar di sekujur tubuh pe-
muda itu. "Saudara 'Gagak Hitam', kenapa diam saja..."
Bantu aku!" Rombongan 'Gagak Hitam Penyebar Maut'
yang tadi hanya diam berpangku tangan, berdatangan
ikut memegangi tubuh yang meronta-ronta itu. Mereka yang memegangi tercengang
melihat asap kehitaman
keluar dari sekujur tubuh basah kuyup. Mendadak pu-
la pemuda itu mengeluarkan gumpalan-gumpalan da-
rah beku dari mulutnya.
Beberapa saat kemudian barulah ia dapat te-
nang. Mereka tidak merejang lagi. Mereka membiarkan anak muda itu terlentang
bebas di tanah. Kedua matanya mulai membuka. Dan dapat terlihat beberapa
orang mengerumuninya.
"Anak muda.... Kau telah selamat dari racun
ganas yang bersarang di tubuhmu. Untunglah daya
tahan tubuhmu sangat kuat." sapa Abiyasa ketika anak muda benar-benar sadar dan
berusaha bangkit.
"Aku...." Sukar sekali anak muda itu menceri-takan. Kepalanya masih terasa
pening. Ia tidak perduli dengan orang-orang yang mengerubungi. Pikirannya
berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya. "Anak muda,
barusan kau menyebut-nyebut nama Wundung Kuro. Di mana kau pernah menemukan
dia...?" tanya Ki Rantungan tidak sabar.
"Betul, Anak muda. Sudah lima belas tahun
kami mencari beliau. Sampai saat ini pun kami tengah mencarinya." kata Buluk
Bongas. "Beliau salah satu orang yang perlu diselamatkan...."
"Wundung Kuro...?" kata pemuda itu mengu-
lang. Kesadarannya telah pulih.
"Hm... Beliau salah seorang pewaris dari partai perguruan ilmu pedang."
"Apa aku tidak salah dengar kalau kalian akan
menyelamatkan Wundung Kuro?" Pemuda itu malah
balik bertanya. Kedua matanya berputar mengawasi
tiap-tiap orang yang mengerubungi. Sampai pandan-
gannya membentur pada tiga manusia kerdil....
"Kenapa anjing-anjing kontet ini berada di sini pula" Apakah mereka juga akan
menyelamatkan Wundung Kuro?"
Disebut anjing kontet, mata ketiga manusia
kerdil ini melotot. Gundik dan Gondok tidak sabar lagi
ingin menampar. Gindek yang bersikap tenang mena-
han mereka. Abiyasa dan lainnya semakin tidak men-
gerti dengan ucapan itu. Tapi mereka sengaja mem-
biarkan pemuda itu meneruskan kata-katanya.
"Belum lama ini aku melihat kurcaci-kurcaci jelek macam mereka berkeliaran
menggeradai bekas per-
guruan. Apakah pusaka 'Weduk Pamungkas' belum ju-
ga didapati, sehingga mereka sekarang bergabung dengan partai-partai lain?"
ucapnya makin berani.
* * * 9 Mendengar ucapan yang demikian pedas, tentu
saja wajah ketiga manusia kerdil memerah. Abiyasa
dan yang lainnya saling pandang.
"Bocah keparat! Mulutmu memang harus diberi
pelajaran!" hardik Gondok. Tinjunya melayang ke depan. Gondok tidak menyadari
kalau empat jarinya te-
lah kutung, bagaimana Ia bisa mengerahkan tena-
ganya..." "Dasar manusia busuk. Menyerang tanpa pakai
pikiran!" tukas pemuda itu. Dengan mudah pula ia menepis pukulan Gondok. Hampir-
hampir manusia kerdil itu ngusruk ke tanah. Gundik dan Gindek ber-
maksud maju menyerang, tapi....
"Cukup...!" Ki Rantungan membentak. Orang-orang kerdil itu mengurungkan niatnya.
"Bocah sial ini terlalu lancang, Ki, main tuduh sembarangan. Siapa yang datang
mengacak-acak bekas perguruan itu?" Gondek menyangkal.
"Hal itu tidak penting! Kita telah kehilangan ti-ga nyawa, kenapa harus
bertengkar pula.... Tujuan ki-ta hanyalah mencari Wundung Kuro, Pusaka 'Weduk
Pemungkas' hanya membuat kita celaka." Bulus Bongas angkat bicara.
"Biarkan saja Wundung Kuro pada tempatnya.
Laki-laki yang akan kalian selamatkan tidak lebih see-kor binatang." sahut
pemuda itu. Abiyasa dan Ki Rantungan mendelik.
"Sudah kubilang, pemuda itu terlalu lancang!
Sudah habisi saja dia!" Gondok memanas-manasi. Tapi Abiyasa tetap bersabar.
"Apa yang kau ketahui tentang Wundung Kuro,
Anak muda?" tanya Buluk Bongas dengan suara pelan.
Anak muda itu tidak langsung menjawab, ia hanya
menoleh pada luka di lengannya. Luka itu sudah agak membaik. Lalu....
"Aku sungguh tidak mengerti, mengapa orang
macam Wundung Kuro mesti diselamatkan. Wundung
Kuro bisa menjaga dirinya sendiri. Ilmu pedangnya
sangat hebat. Selain itu...." Belum habis anak muda itu menjelaskan, tiba-tiba
saja ucapannya terputus.
Karena seseorang telah membentak...
Wintara...!" teriakan itu jelas terdengar. Maka semua orang pun menoleh ke arah
suara itu. Nampaklah sosok Tapak Weleng berdiri angker. Di belakangnya berdiri
pula beberapa orang pengikutnya. Anak muda
yang ternyata Wintara itu tersenyum memandang Ta-
pak Welang. "Dengan apa kau melenyapkan pengaruh Racun 'Pedang Geni Kluwuk'
ayahku, Wintara?" Tapak Welang membalas senyuman itu dengan sinis.
"Entahlah.... Barangkali racun ayahmu itu ter-
golong racun murahan." jawab Wintara mengejek. Tapak Welang bersikap tenang.
Tapi setelah melihat gerombolan 'Gagak Hitam Penyebar Maut' ia berubah si-
nis. "Kebetulan kita ketemu lagi, Cecoro kerdil. Kita bi-sa perhitungan untuk
persoalan yang lalu."
Tapak Welang melangkah. Para pengikutnya
yang berderet di belakang ikut juga melangkah. Bah-
kan mereka sudah siap mencabut senjata.
Gabungan empat partai besar itu pun tak kalah
sigap. Saat rombongan Tapak Welang melangkah ma-
kin dekat, mereka serempak menarik gagang pedang.
Suasana nampak tegang. Tapak Welang seperti tertawa mengekeh. Langkah yang
dituju mendekat pada gerombolan 'Gagak Hitam Penyebar Maut'. Tiga manusia
kerdil itu langsung berpencar.
Abiyasa selaku pemimpin rombongan itu cepat
menghadang langkah Tapak Welang,
"Apa maksudmu menghadang kami, Anak mu-
da" Kita belum pernah berurusan sebelumnya." Pandangan Abiyasa tajam memandang
Tapak Welang. "Memang benar apa katamu.... Tapi sekarang
kita mulai berurusan." jawab Tapak Welang. Pemuda ini menarik gagang pedangnya
dari punggung. "Anak dan ayah sama konyolnya. Sama-sama
tidak tahu diri. Buat apa menyendiri di dalam hutan kalau diri tetap terancam."
Wintara menyindir. Tapi Tapak Welang yang berada di dekatnya langsung
mengarahkan sambaran pedangnya pada Wintara.
"Weees!"
Untung Wintara cepat merunduk. "Manusia ce-
rewet! Kau pun bakal mampus di sini!" bentak Tapak Welang. Sambaran pedangnya
terus mencecar. Abiyasa
cepat menarik pedang. Kemudian menangkis setiap se-
rangan Tapak Welang.
Melihat Tapak Welang sudah mulai menyerang,
para pengikutnya langsung menyerang menggempur
gabungan empat partai ilmu pedang itu. Maka saat itu pula berdentingan senjata-
senjata mereka beradu. Pa-
ra pengikut Tapak Welang yang berjumlah tujuh orang harus terpaksa melayani
belasan orang. Mereka memang memiliki ilmu pedang yang tidak rendah. Tapi
menghadapi gabungan empat partai itu mereka hanya
membuang tenaga. Karena gabungan itu terdiri dari
andalan jago-j ago pedang.
Kelompok 'Gagak Hitam Penyebar Maut' diam-
diam meninggalkan tempat itu. Tapi Tapak Welang
yang tengah menghadapi Abiyasa dapat melirik, maka
setelah ia menepiskan sambaran pedang, Tapak We-
lang melompat. Tubuhnya berjumpalitan di udara,
tahu-tahu saja sudah hinggap di muka tiga manusia
kerdil. Ketiganya serempak bergulingan saat pedang
Tapak Welang menyambar keras. Wintara hanya berdi-
ri tenang menyaksikan pertempuran itu. Sedikitnya ia mengagumi kehebatan Tapak


Pendekar Kelana Sakti 8 Darah Perempuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Welang. "Monyet-monyet kerdil! Kalian pikir Alap-alap
Bukit Busung Kawu cukup mampu mengalahkanku..."
Ha-ha-ha-ha.... Dia telah mampus di dasar jurang sa-na!" Pedangnya berkelebat
cepat. Gerombolan kerdil jatuh bergulingan.
"Siapa yang percaya dengan ocehanmu, Pemu-
da sinting?" Gindek membalas serangan Tapak Welang.
Ternyata hantaman jarak jauhnya cukup lumayan.
Terkena angin pukulan itu Tapak Welang sampai ter-
dorong mundur. Gondok dan Gundik melancarkan pu-
kulannya juga. "Bweees...!"
Kalau Tapak Welang tidak segera melompat ke
atas, dua hantaman itu pasti mengenai dadanya.
"Paling-paling kau sendiri yang minta ampun
terhadap Alap-alap Bukit Busung Kawu!" Gondok
mengejek sambil melepaskan hantaman ke atas. Tapi
malang baginya. Tapak Welang yang berjumpalitan di
udara itu sempat membabatkan pedangnya ke bawah.
"Crak!"
Gondok tidak sempat berteriak lagi. Karena ke-
palanya sudah menggelinding ke tanah.
"Seperti itulah nasib Alap-alap Bukit Busung
Kawu. Kalau kalian tidak percaya, silahkan tengok ke dasar jurang!" Pedang Tapak
Welang terus berputar.
Kelompok manusia kerdil yang tinggal dua orang itu
berjingkat mundur
Kedua mata mereka menatap pada tubuh tanpa
kepala kelojotan di tanah. Tapi saat itu pula Tapak Welang menghentikan
serangannya, karena....
"Pemuda keparat! Bicaramu kelewat nga-
wur...!" Terdengar bentakan keras. Terlihat pula sosok ramping melesat di udara
bagai rajawali. Tapak Welang tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Bagaimana pun ia masih mengenali sosok ramping itu. Pe-
dang pendek Laranti berputar menderu menimbulkan
suara angin yang bergemuruh. Secepat itu pun tubuh-
nya menukik ke arah pertempuran antara para pengi-
kut Tapak Welang dengan gabungan empat partai ilmu
pedang. Di luar dugaan pula sambaran pedangnya
membabat setiap kepala yang di laluinya.
Jeritan yang menyayat memenuhi tempat itu
bersamaan dengan jatuhnya kepala-kepala mereka.
Manakala Laranti belum berhenti memutar pedang.
Maka makin bergelimpangan tubuh tanpa kepala. Ta-
nah sekitar itu telah banjir dengan darah. Untung saja dalam pertempuran itu ada
Abiyasa, Ki Rantungan dan Buluk Bongas. Mereka dapat menahan amukan Laranti yang
datang secara tiba-tiba itu.
Adanya ketiga orang tersebut, Laranti menga-
lihkan serangan. Selama tubuhnya melesat ia tidak
menyentuh tanah, ke kepala orang yang tengah ber-
tempur itu di jadikan batu loncatan. Hanya dengan
beberapa hentakan saja ia telah menjurus ke arah Ta-
pak Welang. Pemuda itu sendiri masih sibuk mengha-
dapi hantaman-hantaman jarak jauh dari Gindek dan
Gundik. Pada saat yang sama dari arah berlawanan, me-
lesat pula sosok serba putih menyambut lesatan La-
ranti yang siap mengarah babatan pedang pada Tapak
Welang. Sosok putih berlengan tunggal itu sebenarnya sudah mengarahkan pedangnya
pula pada Laranti,
maka saat mereka membentur. Hanya dentingan sen-
jata mereka yang terdengar. Beberapa saat kemudian
keduanya hinggap di tanah tanpa bersuara.
Tapak Welang yang melihat sosok tanpa berlen-
gan tunggal datang, semakin bersemangat. Tapi ia tersentak pula saat melihat
wajah Laranti yang telah jauh berubah. Begitu juga dengan Wintara. Ia masih
ingat sosok ramping yang pernah menyerangnya dulu. Seorang gadis yang cantik
jelita. kini sosok jelita itu sangat mengerikan. Benjulan luka yang memanjang
sam- pai ke dagu dengan kedua lubang hidung sebesar se-
perti tengkorak. Lama juga Wundung Kuro menatap ji-
jik. "Wundung Kuro, selama lima belas tahun aku
malang melintang mencari kau, akhirnya kita bertemu di sini. Sangat kebetulan
sekali. Hutang darah itu harus diselesaikan sekarang juga, Wundung Kuro!" Suara
Laranti dingin. Matanya nyalang menatap tubuh tanpa sebelah lengan.
"Kaukah Alap-alap Bukit Busung Kawu" Huh!
Apa perduli mu kau mencariku selama lima belas ta-
hun itu?" tanya Wundung Kuro.
"Masih ingat peristiwa lima belas tahun yang la-lu" Ketika kau dan saudara
seperguruanmu mengerjai
saudara seperguruannya sendiri" Mungkin juga nama
Legowo belum terhapus dalam ingatanmu!" Laranti sengaja bicara agak keras.
Abiyasa dan teman lain
yang melangkah ke situ dapat mendengar ucapan La-
ranti. "Siapa kau sebenarnya, Perempuan buruk?"
Wundung Kuro murka.
"Lima belas tahun memang waktu yang sangat
panjang! Cukup membuat pikun untuk orang se usia-
mu. Sebenarnya terhadap mu aku harus memanggil
paman. Karena aku putri tunggal Legowo!"
Wundung Kuro agak tersentak. Tapak Welang
berhenti menyerang dua manusia kerdil, itu pun setelah manusia-manusia kerdil
itu bergulingan kehabisan tenaga. "Tidak kusangka kalau semua ini akibat ulah mu
sendiri, Wundung Kuro. Terhadap saudara seperguruanmu sendiri kau tega
membantainya." Ki Rantungan mendongkol. "Kau tahu apa, Ki Rantungan! La-gi pula
ini bukan urusan kalian!" Wundung Kuro melancarkan babatan pedangnya. Tapi
Abiyasa dan Buluk Bongas cepat menepis serangan itu dengan senjata
mereka. Benturan senjata itu mengakibatkan tubuh
mereka terlempar. Ki Rantungan yang melihat cepat
pula membalas. Tapi sabetan pedangnya melesat. Ma-
lah Ki Rantungan terjengkal terkena sambaran ten-
dangan dari Wundung Kuro.
Melihat ketiga tetua partai ilmu pedang itu ber-
gelimpangan, Wundung Kuro gigih melancarkan se-
rangan. Tapi saat tubuhnya melesat maju, hampir saja sambaran pedang pendek
Laranti merobek dadanya.
Sementara itu Tapak Welang masih mengawasi
gerak-gerik Laranti. Ia tidak sadar kalau Gindek dan Gondok diam-diam kabur dari
tempat itu. Larinya cepat menggelinding bagai bola. Namun begitu mereka bangkit
berdiri, mereka terkejut setengah mati.
Karena tahu-tahu saja Wintara sudah berdiri di
hadapan mereka. Mereka tidak sempat pula menghin-
dar saat Wintara mendorong dengan kedua telapak
tangannya. "Deeeer...!"
Dua tubuh kerdil itu mencelat ke arena per-
tempuran kembali.
Para pengikut Tapak Welang menduga kedua
orang kerdil itu akan melancarkan serangan. Maka begitu mereka jatuh di tanah,
beberapa orang dari mere-ka langsung mencacah tubuh keduanya. Darah me-
nyembur dari tubuh kerdil itu bagai air mancur. Saat itu juga riwayat 'Gagak
Hitam Penyebar Maut' telah
pupus," Tapak Welang tidak membiarkan para anak buahnya mulai kewalahan
menghadapi gabungan partai ilmu pedang itu. Sebab ia melesat pedangnya berputar.
Wintara yang sudah tahu niat Tapak Welang,
melompat pula ke arah pertempuran. Tinjunya berhasil menghantam lengan Tapak
Welang. Tapi setelah tahu
adanya Wintara, putra Wundung Kuro itu tidak meng-
gubrisnya. Babatan-babatan pedang Tapak Welang dapat
menjatuhkan satu demi satu gabungan partai ilmu pe-
dang. Gerakannya yang sangat cepat luar biasa selalu memakan korban. Sementara
itu pun Wintara sengaja
menghabisi semua para pengikut Tapak Welang. Malah
gerakan Wintara lebih sengit. Meskipun tanpa senjata, ia bisa menjatuhkan dua
sampai tiga orang sekali pukulan. Memang tidak tewas! Tapi cukup mengurangi
kekuatan lawan.
Maka dalam waktu yang sangat singkat per-
tempuran itu mendadak sepi. Banyak orang-orang ber-
gelimpangan tewas atau tanpa sadar. Namun masih
saja terdengar suara beradunya senjata maupun jerit kesakitan yang menyayat.
Tapak Welang tidak kepalang tanggung membantai lawan-lawannya. Wintara
hampir tidak sanggup membendung.
* * * 10 Tapak Welang yang nampak seperti kesetanan
menyerang membabi buta. Pedangnya bergerak bak ki-
latan-kilatan sinar putih yang siap menjemput maut.
Wintara yang tanpa senjata terpaksa berkelit menghadapi setiap sambaran pedang.
Maka nampaklah tubuh
gesit Wintara beterbangan ke sana ke mari.
"Tapak Welang tidak semestinya kau memban-
tai mereka!" bentak Wintara. Tinjunya melayang hampir mengenai muka Tapak
Welang. "Kenapa" Lebih baik tidak ada perguruan sama
sekali di muka bumi ini! Hraaaaat!" Membersit sinar putih di atas kepala
Wintara. Dalam keadaan merunduk seperti itu, Wintara mendorong kedua telapak
tangannya. "Der...!"
Terasa sekali hantaman itu begitu dingin. Tapi
berakibat sangat fatal. Tapak Welang seloyongan ke belakang sambil menyemburkan
darah segar dari mulut-
nya. "Belum terlambat bagimu untuk kembali ke jalan yang benar, Tapak Welang...
Masih ada waktu."
Wintara sengaja tidak menyerang lagi. Tapi ia tetap waspada terhadap pemuda itu.
Setiap saat pedangnya
dapat menyambar tak terduga.
Tapi ternyata tidak. Hantaman Wintara tadi cu-
kup membuat Tapak Welang tak berkutik. Di dadanya
masih mengepul uap dingin tenaga pukulan Wintara.
Rupanya ada berapa tulang iganya telah patah, se-
hingga sukar bagi Tapak Welang bergerak. Baginya ti-
dak ada pilihan lain. Tapak Welang melepaskan pe-
dangnya ke tanah. Dan ia sekarang berdiri pasrah.
Mulutnya menyembur darah lagi. Tubuh Tapak
Welang seakan lemas tak bertenaga saat tubuhnya
bergulir ambruk. Wintara cepat melompat menyang-
gah. Tapak Welang berpegangan erat pada punggung
Wintara. Sementara itu para tetua partai perguruan
ilmu pedang menjadi bingung. Mereka tidak tahu mesti berpihak pada siapa.
Wundung Kuro tidak terima atas perlakuan baik mereka. Malah membalasnya dengan
sambaran pedang. Apalagi Laranti. Gadis berilmu ting-gi ini sukar diajak
kompromi. Ia tidak perduli terhadap siapa pun. Pedang pendeknya selalu bergerak
kepada siapa saja yang mendekat.
Abiyasa sendiri menjadi repot. Mana kala ia
tengah menghadapi serangan Laranti, Wundung Kuro
malah menggunakan kesempatan itu. Ia menyerang
dari arah lain. Untung saja Ki Rantungan selalu waspada akan keselamatan
temannya. Ia bisa mencegah
serangan Wundung Kuro.
Namun bagi Buluk Bongas, pikirannya tetap ti-
dak terpecah dua. Serangannya dari tadi mendesak
gadis berilmu tinggi itu. Sayangnya Buluk Bongas bukanlah ukuran bagi Laranti
yang telah menguasai
tingkat akhir ilmu pedang. "Ztraaaang...!"
Saat pedangnya tersambar pedang pendek. Pe-
dang Buluk Bongas patah dua. Bersamaan dengan itu
pula tenggorokannya robek mengalirkan darah yang
menyembur bagai air mancur. Buluk Bongas ambruk
kelojotan di tanah. Ki Rantungan menggeram melihat
Buluk Bongas kaku diam bersimbah darah memenuhi
bajunya. Tentu saja Abiyasa dan Ki Rantungan segera
mengalihkan serangannya. Amarah mereka memuncak
karena telah kehilangan salah satu sahabat mereka.
Kedua tetua itu mendesak pertahanan Laranti.
Tenang sekali Laranti menyambut serangan-
serangan mereka. Hanya dengan memutar pedang
pendeknya, senjata-senjata lawan patah dua semua.
Gadis itu tersenyum sinis melihat mereka berdua gelagapan. Keduanya merunduk
serempak saat Wundung
Kuro datang membersitkan pedang, desingan anginnya
terasa sekali di atas kepala mereka. Belum habis ia menghindari serangan Wundung
Kuro. Laranti melepaskan tendangan berantai yang bertubi-tubi ke arah mereka. ,
"Bug...! Bug...! Bug...! Bug...!"
Kontan Abiyasa maupun Ki Rantungan bergu-
lingan di tanah.
Bagi Wundung Kuro yang sudah kepalang
tanggung bertindak belum cukup puas sebelum pe-
dangnya menghirup darah mereka. Dengan langkah
gencar ia mengarahkan pedangnya. Abiyasa dan Ki
Rantungan belum sempat bangun.
"Mampuslah kalian!" Pedang Wundung Kuro
menyambar ke arah leher keduanya. Tapi sebelum pe-
dang itu mengena....
"Arghtt...!"
Wundung Kuro memekik. Kedua matanya
membeliak menatap perutnya yang tertembus pedang.
Rupanya tindakan Wintara tidak terlambat.
Saat Wundung Kuro membabatkan pedangnya, Winta-
ra cepat menendang pedang Tapak Welang yang terge-
letak di tanah. Dan lesatan pedang itu tepat menem-
bus di perut Wundung Kuro.
"Para tetua...! Hati-hati terhadap Wundung Ku-
ro! Pedangnya mengandung racun!" teriak Wintara. Ia tetap duduk menyanggah Tapak
Welang. "Menyingkir dari situ. Gadis itu lebih berbahaya lagi!" Mendengar perintah
Wintara. Abiyasa maupun Ki Rantungan bersalto mundur. Wundung Kuro masih
berdiri tegar dengan sebilah pedang menembus di pe-
rut. Tapi ia cepat segera menoleh ketika mendengar
suara teriakan garang menjurus ke arahnya. Laranti
yang sudah menunggu-nunggu kesempatan itu melun-
cur deras. Pedang pendeknya mengarah cepat bagai
anak panah. Wundung Kuro hanya bergeser ke samping,
maka terjangan Laranti melesat. Dalam pada itu pun Laranti cepat membalikkan
serangan. Pedang pendek
menyambar disertai dengan sebuah tendangan. Wun-
dung Kuro dapat menepis babatan pedang pendek


Pendekar Kelana Sakti 8 Darah Perempuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pedangnya. Tapi ia tak bisa menghindari ten-
dangan Laranti menghantam pedang yang menancap
di perut semakin amblas.
Seperti tidak dirasakan sama sekali, Wundung
Kuro membalas serangan itu. Keduanya sama-sama
membabatkan pedangnya. Benturan pedang mereka
beradu sampai memercikkan api. Lesatan tubuh mere-
ka bergulung-gulung bersamaan dengan berendarnya
sinar pedang saling bentur membersit.
Sekali Wundung Kuro mengerahkan tenaganya.
Lengannya bergerak cepat. Maka sambaran pedang
dapat menggores punggung Laranti. Reflek pula gadis itu membabatkan pedangnya ke
samping. Seketika itu
juga wajah seram Laranti terkena cipratan darah.
Sambaran pedang Laranti yang tanpa disada-
rinya itu telah menyambar putus kepala Wundung Ku-
ro. Tubuh tanpa kepala Wundung Kuro tetap berdiri.
Dari lehernya yang buntung mengucur darah. Memer-
cik mengotori wajah Laranti. "Gadis itu mendorong pelan tubuh Wundung Kuro.
Perlahan pula tubuh tanpa
kepala itu ambruk ke belakang.
Laranti sendiri merasakan punggungnya berde-
nyut. Racun pedang 'Geni Kluwuk' Wundung Kuro be-
kerja cepat. Sebentar saja sebagian punggung Laranti membiru. Dengan langkah
gemetar pula ia maju mendekati pada Tapak Welang.
"Kini giliranmu, Pemuda keparat! Luka di wa-
jahku belum kering, begitu juga dengan dendam yang
membakar hangus jantungku!" Sambil berkata demikian Laranti mengeluarkan jurus-
jurusnya lagi. Pedang pendek berputar menderu-deru.
Wintara yang berada sangat dekat dengan Ta-
pak Welang cepat menarik sebelum Pedang itu berke-
lebat. Tapi tindakan itu justru membahayakan diri
Wintara. Karena saat Wintara membawa tubuh Tapak
Welang, Laranti gencar membabatkan pedangnya. Ab-
iyasa dan Ki Rantungan datang membantu.
"Tetua.... Selamatkan Tapak Welang dari sini!"
Wintara menyerahkan Tapak Welang pada Abiyasa.
Namun seperti sudah kesetanan Laranti melesat terus ke arah Tapak Welang.
Melihat itu Wintara langsung
melancarkan tendangan memutar.
"Bug...!"
Laranti memekik. Tubuhnya ambruk di tanah.
"Tahanlah, Nona.... Anda sudah terkena racun
pedang Wundung Kuro. Racun itu amat ganas. Kalau
tidak segera mengobatinya dengan tenaga inti, kau bi-sa mati. bentak Wintara.
Bentakan itu tidak diperdulikan. Laranti malah melempar Wintara dengan pedang-
nya. "Bweees...!"
Wintara salto ke belakang membarengi lesatan
pedang. Di luar dugaan Laranti melancarkan dua pukulan sekaligus. Sudah tentu
Wintara yang dalam kea-
daan berjumpalitan tidak mengetahui adanya seran-
gan. Apalagi hantaman-hantaman itu mendadak men-
dera di dadanya.
Melihat Laranti tidak menggunakan pedang la-
gi, Abiyasa dan Ki Rantungan serempak maju. Namun
hal itu bukan berarti gadis berilmu tinggi itu tidak ta-hu. Setelah menghantam
Wintara, ia berbalik mele-
paskan tendangan.
"Deeer..!"
Abiyasa balik mencelat. Bajunya basah oleh da-
rah yang menyembur dari mulut Ki Rantungan pun
demikian. Ia tidak menyangka kalau tendangan itu dapat langsung melencong ke
arahnya. Melihat gerakan
kaki yang sangat cepat, Ki Rantungan sangat tersen-
tak. Makanya ia tidak bisa menghindari tendangan Laranti yang menghantam
tenggorokannya. Keadaannya
lebih parah. Ki Rantungan ambruk dengan tulang leh-
er patah. Semuanya di luar dugaan. Wintara sendiri tidak
menyangka kalau gadis itu demikian luar biasa. Tanpa pedang pun gadis itu dapat
mendesak pertahanan
Wintara. Setiap kali Wintara menangkis hantaman-
hantaman Laranti, terasa sekali dorongan tenaga da-
lam mematahkan lengan-lengan Wintara.
"Seluruh tubuhmu telah membiru, Nona! Pem-
buluh darahmu sudah mulai beku!" Tidak henti-
hentinya Wintara memperingati. Sebenarnya apa yang
dikatakan Wintara memang sudah terasa oleh Laranti.
Selain tubuhnya yang mulai membiru, gerakannya pun
seperti lambat. Namun demikian Laranti keras kepala menyerang Wintara.
Terpaksa pula Wintara meladeninya. Hanta-
man-hantaman mereka beradu sampai menimbulkan
suara yang membledar. Hantaman Laranti bagaikan
ribuan jarum menyengat di tubuh Pendekar Kelana
Sakti. Tapi Alap-alap Bukit Busung Kawu mendadak
mental ke belakang saat Wintara mengerahkan seluruh pukulan hawa dingin. Tubuh
Laranti bergulingan dengan mengepulkan asap. Dalam keadaan berguling se-
perti itu Laranti sempat meraih sebilah pedang yang tergeletak di tanah. Dan
begitu ia bangkit berdiri, ta-hu-tahu saja sudah menyandera Tapak Welang. Winta-
ra tidak jadi menyerang. Abiyasa yang membantu Ki
Rantungan bangkit merasa khawatir.
"Benarkah anak muda ini bernama Tapak We-
lang?" tanya Laranti dengan suara parau.
"Ada berapa Tapak Welang sebagai anak Wun-
dung Kuro" Sudah tahu dia Tapak Welang masih ba-
nyak tanya! Lepaskan saja dia! Dia sudah tidak ber-
daya! Akulah yang mesti kau hadapi!" Wintara bersikap menantang.
"Pendekar sombong!" Sambil menghardik begitu Laranti membanting tubuh Tapak
Welang. Lalu meno-dongkan pedang itu di tenggorokannya. Senyum gadis
itu nampak sinis.
"Kita memang pernah bermain bersama, Tapak
Welang. Kau yang selalu menjaga dan melindungiku
ternyata berjiwa anjing! Masih ingat lima belas tahun yang lalu saat seorang
gadis kecil jatuh bersamamu
pada sebuah batang pohon di samping perguruan?"
Pertanyaan itu membuat Tapak Welang membe-
lalakkan mata. Selintas ingatannya membayang pada
lima belas tahun yang lalu. Ia memang pernah terjatuh dari sebatang pohon di
saat bermain bersama seorang teman gadis kecil.
"K-Kk-Kaukah Laranti...?" Gadis berwajah buruk itu tersenyum. Kenangan masa
kecil memang te-
ramat manis. Tidak terasa pula Laranti menitikkan air mata. Bersama Tapak Welang
masa kecilnya tidak dapat dilupakan. Janji bocah ingusan yang bersumpah
akan menjadi pasangan raja pedang terngiang kembali.
Manakala wajah tampan Tapak Welang menatap La-
ranti. Saat itu pula keharuan yang melanda hati Alap-alap Bukit Busung Kawu
sirna. Sinar matanya yang
berkaca-kaca berubah nyalang.
Pedang dalam genggaman Laranti bergetar he-
bat. Lalu tanpa memejamkan mata Laranti memutar
pedang ke arah wajah Tapak Welang. "Breees...!"
Seketika wajah Tapak Welang mencair darah.
Seluruh wajahnya nampak rata. Bersamaan dengan itu
pula Tapak Welang kelojotan. Dingin Laranti menatap tubuh kelojotan itu.
Kejadian itu terjadi sangat cepat. Wintara me-
nyesali diri karena ia tidak sempat menyelamatkan Tapak Welang. Dengan langkah
yang gesit ia melompat
bermaksud mengambil tubuh Tapak Welang. Tapi ter-
nyata Laranti telah mendahuluinya. Saat tubuh mere-
ka melesat, Laranti maupun Wintara saling melancar-
kan hantaman. Terdengarlah suara benturan hanta-
man mereka. Begitu juga dengan jeritan panjang La-
ranti. Keduanya memang terbanting di tanah. Winta-
ra cepat bangkit meskipun mulutnya menyemburkan
darah. Laranti bangkit pula dengan pandangan yang
nyalang. Mulut serta lubang hidungnya yang besar
mengucurkan darah kehitaman. Bibirnya menggeram.
Beberapa detik kemudian tubuh ramping itu melesat
lagi. Kali ini terjangannya lebih dahsyat. Kedua telapak tangannya merentang
siap menghantam kepala.
Wintara yang sudah bersiap-siap, cepat pula
menghimpun tenaga inti hawa dingin. Begitu Laranti
berkelebat di atas kepala, Wintara menjatuhkan diri sambil melepaskan dua
hantaman sekaligus.
"Deeeeer...!"
Hantaman-hantaman Wintara mendarat telak
pada dada serta perut. Laranti tidak memekik lagi. Tu-
buhnya langsung terbanting keras di tanah dengan
nyawa melayang. Tubuhnya terlentang menghadap
langit. Dari setiap bekas hantaman Wintara mengepul asap putih.
Wintara menatap tubuh Laranti dengan berdiri
sempoyongan. Membiarkan Tapak Welang tetap kelojo-
tan. Membiarkan Abiyasa mendekati membawa Ki Ran-
tungan yang nampak parah. Orang-orang gabungan
partai ilmu pedang yang masih sisa atau terluka mulai berdatangan menghampiri.
Beberapa orang dari mereka mengangkat tubuh Tapak Welang yang pingsan.
Wintara menoleh ketika Abiyasa menepuk pundaknya.
Sebelum Abiyasa bicara, Wintara mendahului.
"Dalam hal ini Tapak Welang tidak bersalah.
Perlakukan dia baik-baik. Tindakannya selama ini
hanya dipengaruhi oleh Wundung Kuro. Dia pula ru-
panya yang menyebabkan peristiwa lima belas tahun
itu. Aku rasa kalian sudah mengerti akan persoalan-
nya" "Anak muda.... Siapa sebenarnya diri mu" Sejak aku temukan kau di pinggir
kali, aku sudah mera-sa curiga. Bahwa kau bukanlah orang yang sembaran-
gan." tanya Abiyasa.
"Aku hanya seorang pengelana yang mencari
pengalaman. Tidak lebih dari itu." jawab Wintara singkat.
"Tapi kau telah banyak mengetahui persoalan
sengketa antara keluarga Legowo dan Wundung Kuro.
Apakah kedatangan mu ke bukit ini untuk mempere-
butkan pusaka 'Weduk Pamungkas' juga?" Mendengar pertanyaan seperti itu Wintara
nyengir. Lalu, "Aku tidak pernah memimpikan sebuah pusaka. Juga kalian
tidak bakal akan mendapatkan pusaka itu. Karena
'Weduk Pamungkas' sudah sirna bersama tewasnya
Alap-alap Bukit Busung Kawu.... Tidakkah kalian da-
pat melihat jurus-jurusnya tadi. Selain ilmu pedang yang tinggi, jurus-jurus
tangan kosongnya pun sangat mematikan. Kepandaiannya jauh di atas kita. Pastilah
Alap-alap Bukit Busung Kawu telah menguasai pusaka
'Weduk Pamungkas'. Kalau saja ia tidak terkena racun
'Pedang Geni Kluwuk' ciptaan Wundung Kuro, mung-
kin kita semua sudah binasa."
Setelah berkata begitu Wintara melangkah. A-
biyasa dan orang-orang gabungan partai ilmu pedang menatap heran. Tidak ada yang
berani menahan langkah-langkah Pendekar Kelana Sakti itu.
"Anak muda.... Sebutkan siapa nama mu!" teriak Abiyasa yang merasa kagum.
Wintara tetap tidak menjawab. Ia terus melangkah semakin menjauh. Tanpa menoleh
Wintara melambai-lambaikan tangannya.
TAMAT E-Book by Abu Keisel Pendekar Super Sakti 22 Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Pendekar Gila 1
^