Pencarian

Dendam Jago Kembar 1

Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-
laka. DENDAM JAGO KEMBAR Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69
H. Samanhudi No.14, Jakarta-Pusat
Cover oleh: David G.
Setting Oleh: TRIAS Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dan penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Dendam Jago Kembar
1 Ujung Kali Talang Hawu merupakan muara
yang paling luas di Tanah Genang Banyu. Tidak heran kalau banyak kapal-kapal
besar milik para saudagar yang bersandar di situ. Seperti sekarang ini, hampir
seluruh pinggiran muara dipenuhi oleh kapal-kapal
besar. Para pekerja buruh angkut barang nampak giat mengangkut muatan, begitu
juga dengan para nelayan yang baru pulang menangkap ikan. Suara-suara mereka
sangat riuh. Karena hasil yang mereka bawa hari ini lebih dari cukup.
Kegembiraan itu sejak tadi telah menjadi perha-
tian beberapa orang yang berdiri seperti menunggu sesuatu pada sebuah pos.
Orang-orang itu tersenyum
mengangguk saat para nelayan itu lewat di hadapan
mereka memberi salam. Semua orang merasa segan
terhadap Adipati Rekayasa. Beliau salah seorang kepercayaan sri baginda. Apalagi
beliau menjabat sebagai panglima tertinggi.
Pagi itu Adipati Rekayasa bersama seorang pu-
tranya berada pada keramaian bandar muara Kali Ta-
lang Hawu. Mereka dikawal oleh beberapa orang prajurit kerajaan. Mereka menatap
tegang setiap melihat kapal-kapal yang berdatangan sandar di tempat itu.
Terlebih-lebih putranya, Riwang. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal dalam
pikirannya. Hal itu bukannya Adipati Rekayasa tidak mengetahui.
"Riwang, seharusnya kau merasa gembira me-
nyambut kedatangan saudara kembarmu! Tidakkah
kau merasa rindu terhadap Rawing" Selama sepuluh
tahun kalian berpisah, entah seperti apa rupanya?" tegur Adipati Rekayasa.
Mendengar ucapan sang ayah,
Rawang agak tersentak.
"Bukannya aku tidak gembira, Ayah. Aku takut
kedatangan Kakang Rawing malah akan membuat
ayah bertambah pusing." jawab Riwang. Adipati Rekayasa tersenyum. "Kalian sudah
dewasa sekarang.
Tidak mungkin kalian akan bertengkar terus seperti dulu. Semasa kecil, kalian
memang selalu memusing-kan ayah. Apalagi Rawing, wataknya yang keras dan
ugal-ugalan hampir setiap hari membuat jengkel. Lain dengan kau. Tapi bagaimana
pun kalian adalah anak-anakku. Aku berharap selama sepuluh tahun ini Raw-
ing dapat merubah pendiriannya." Riwang tidak menjawab. Karena telah dilihatnya
sebuah kapal mulai me-rapat di pinggir muara. Adipati Rekayasa dan para
pengawalnya ikut berdebar menanti para penumpang-
nya turun. Tapi ternyata kapal itu hanyalah pengangkut barang milik seorang
saudagar dari tanah sebrang.
Orang-orang yang turun dari kapal hanya beberapa
pedagang yang akan berniaga di tanah Genang Hawu.
Kembali rombongan Adipati Rekayasa kecewa.
* * * Jauh di tengah Laut Jawa. Dua buah kapal be-
sar dengan layar terkembang saling rapat. Dari kejauhan terdengar benturan
senjata maupun teriakan-
teriakan orang mengerahkan tenaga. Terlihat pula beberapa awak kapal berjatuhan
bersimbah darah me-
nembus permukaan laut yang tenang membiru.
Tidak disangkal lagi. Dua buah kapal yang sal-
ing rapat itu telah terjadi suatu pertempuran sengit.
Telah banyak mayat-mayat bergelimpangan penuh lu-
ka babatan pedang. Sebelah pihak dari mereka men-
genakan seragam prajurit kerajaan. Mereka pula yang
mendesak lawan-lawan yang tinggal beberapa orang
itu. Meskipun tinggal sembilan orang, mereka tidak
gentar menghadapi kurang lebih dua puluh orang prajurit kerajaan. Walaupun
mereka akhirnya mengantarkan nyawa satu demi satu. Para prajurit itu makin gigih
tatkala jumlah lawannya makin berkurang.
Dentingan beradunya senjata mereka terdengar
nyaring. Lima orang yang nampaknya memiliki ke-
mampuan masih dapat bertahan. Bahkan mereka
sempat menjatuhkan beberapa orang prajurit. Pedang mereka tidak henti-hentinya
bergulung. Bersamaan
dengan itu pula bergelimpangan. Ada. yang terlempar membentur tiang layar,
adapula yang langsung nyemplung ke laut.
Melihat para prajurit itu tewas mengerikan,
pemimpin dari prajurit-prajurit itu melompat menghadapi seorang lawan yang
berilmu tinggi. Pedangnya
langsung menyambar tanpa ampun. Tapi hanya den-
gan sekali tepis, pemimpin prajurit itu seperti kelaba-kan. "Kalian orang-orang
kerajaan gadungan. Tindakan kalian tidak lebih macam perompak!" Penumpang kapal
itu agak sengit. Pedangnya berdesing bagai segu-lungan sinar. Hampir saja
pemimpin prajurit tersayat, sejak tadi pemuda ini memang dapat bertahan. Per-
mainan pedangnya jauh dibandingkan dengan yang
lain. Gerakannya yang nampak tenang menunjukkan
bahwa pemuda itu salah satu lawan yang tidak mudah dilumpuhkan.
Pimpinan prajurit itu sendiri seperti tidak saba-
ran untuk menghabisi seluruh awak kapal itu. Cuma
dia yang sanggup mengatasi perlawanan pemuda itu.
Entah sudah berapa orang prajurit yang jatuh di tangannya. Tindakannya itu
bukanlah menurut kehen-
daknya. Tapi justru ia membela diri dari serangan para prajurit yang mendadak
datang menjegal perjalanan mereka.
"Melihat dari tampangmu, pastilah kau Rawing
saudara kembar Riwang." Pimpinan prajurit itu garang membabat pedang. Pemuda
yang satu-satunya dapat
bertahan itu menghardik.
"Sudah tahu begitu kenapa masih juga menye-
rang! Tidak takutkah kau terhadap ayahku?" Pemuda itu ternyata Rawing. Seorang
yang telah dinantikan oleh keluarganya di tepi muara.
"Kenapa harus takut terhadap Adipati Rekaya-
sa" Kau pikir dia itu apa" Aku datang ke sini justru akan melumatkan mu!" jawab
pimpinan prajurit. Gerakannya sangat lincah menggempur Rawing.
"Kalau begitu pastilah kau salah seorang pem-
berontak!" tukas Rawing. Pimpinan prajurit itu malah menyeringai. Babatan
pedangnya berkelebat cepat.
Rawing tidak sempat menangkis, tahu-tahu saja len-
gannya sudah mengucurkan darah. Bersamaan den-
gan itu pula prajurit-prajurit lain berdatangan membantu pemimpinnya.
Saat itu pun Rawing melirik ke arah pertempu-
ran. Semua teman seperjalanannya telah tewas bergelimpangan. Kini tinggal Rawing
sendiri. Dan sekarang para prajurit itu mengepung semua ke arahnya. Sedikit
gugup Rawing menghadapi lawan yang demikian
banyaknya. Apalagi Rawing telah terluka. Pimpinan
prajurit itu tidak perlu lagi menyerang. Dia membiarkan semua anak buahnya
melakukan perintahnya.
Begitu para prajurit itu maju serempak, Rawing
menyambar pedangnya ke depan...
"Breeet!"
Tiga orang bergulingan. Tapi dari arah lain ma-
sih saja berdatangan belasan orang prajurit. Cepat pu-
la Rawing menyabet ke belakang. Namun sambaran
pedang yang begitu lambat membuat para penyerang-
nya itu mudah berjingkat mundur. Secepat itu pula
Rawing berbalik ke belakang.
Dalam hal ini Rawing sudah kepalang tang-
gung. Menyerah atau tidak sama saja hasilnya. Pe-
mimpin prajurit itu menghendaki kematiannya. Wa-
laupun sebenarnya Rawing tidak tahu titik persoalan yang menyebabkan pasukan
prajurit itu menyerang.
Adanya Rawing dalam kapal itu, semata-mata
hanya penumpang biasa. Dia bermaksud akan kembali
ke tanah kelahiran setelah sepuluh tahun ditinggal-kannya. Ayahnya Adipati
Rekayasa sengaja mengirim
Rawing ke tanah Tapak Tuan pada seorang ulama.
Dengan maksud agar Rawing memperdalam ilmu aga-
ma serta ilmu silat.
Tapi malang. Dalam perjalanan pulang kapal-
nya diserang oleh sekelompok orang-orang kerajaan.
Hal itu pula yang menghambat perjalanannya. Rawing sendiri hampir kehabisan
tenaga. Serangan-serangan prajurit yang serempak itu betul-betul tidak dapat di-
kuasainya. "Terhadap ayahmu, aku kenal betul, Rawing!
Terus terang aku iri padanya. Mungkin setelah beliau mampus aku bisa
menggantikan kedudukannya...!" teriak pemimpin prajurit itu. Rawing yang
mendengar ucapannya segera menghardik....
"Manusia licik! Dari tadi pun aku sudah curiga kalau serangan ini adalah atas
kehendakmu sendiri!
Kau akan dihukum pancung jika Sri baginda tahu!"
Rawing melesat ke atas menjurus ke arah pemimpin
pasukan itu. Namun seorang prajurit menghalangi terjangannya dengan babatan
pedang. Bahkan dari arah
lain beberapa prajurit berhasil melepaskan babatan pedang pada bagian punggung.
Rawing berguling sambil memekik. Seluruh pa-
kaiannya telah koyak dan bersimbah darah. Sekalipun ia sudah bangkit berdiri
nampak seloyongan. Pandangannya nanar menatap pemimpin pasukan tertawa
mengkekeh. Dan ia terkesiap saat tiga orang datang melancarkan serangan.
Pedangnya bergerak menangkis serangan itu, tapi ia tidak bisa menghindari dua
babatan pedang yang mengenai dadanya. Ditambah la-gi sebuah hantaman yang
mendorong keras... "Deeer!".
Tubuh Rawing mental membentur tiang layar. Dan te-
rus meluncur ke luar sampai akhirnya nyemplung ke
laut. Setelah melancarkan hantaman, pimpinan pasu-
kan itu berlari ke pinggiran lambung. Dilihatnya permukaan laut memerah
bercampur darah. Sedangkan
tubuh Rawing tenggelam entah ke mana.
Sisa-sisa prajurit itu meluruk mendekati pe-
mimpinnya yang masih berdiri menatap puas tengge-
lamnya tubuh Rawing.
"Tulang punggung Adipati Rekayasa sudah bi-
nasa. Tuan ku Dwipa Kuntar bisa melanjutkan renca-
na berikutnya." kata salah seorang prajurit. Jelas perkataan itu ditujukan pada
pemimpinnya. "Hm... Memusnahkan Adipati Rekayasa sama
mudahnya dengan mengedipkan mata. Cepat atau
lambat kita bakal menguasai tanah Genang Banyu.
Ayo kita kembali ke kapal. Biarkan saja kapal ini melaju tanpa terkendali ke
muara!" jawab pemimpin mereka yang ternyata bernama: Dwipa Kuntar. Setelah itu
pun ia melompat pada sebuah kapal yang sedari tadi rapat dengan tempat di mana
mereka bertempur.
Anak buahnya yang tinggal belasan orang itu
mengikuti gerakan Dwipa Kuntar. Mereka berebutan
melompat menyebrang dan hinggap pada kapal mere-
ka. Sebagian mengangkut mayat-mayat prajurit. Me-
mindahkan ke kapalnya. Hal itu merupakan suatu tin-
dakan menghilangkan jejak.
Setelah itu kapal kerajaan mulai berangkat me-
ninggalkan kapal yang telah banyak bergelimpangan
mayat-mayat penumpang. Kapal kosong itu tetap mela-ju meski tanpa berpenumpang.
Layar yang terkembang itu tertiup angin yang membawa kapal itu melaju ke muara.
* * * Sudah setengah harian penuh rombongan Adi-
pati Rekayasa berdiri menanti datangnya sebuah kap-al. Beberapa pengawalnya
diperintahkan agar berdiri berjaga-jaga di pinggiran muara. Suasana siang itu
memang telah sepi, meskipun kapal-kapal besar berderet memenuhi pinggiran
sepanjang muara. Tidak ada
lagi para bum yang tengah bekerja. Kecuali para pelayan yang sedang membetulkan
alat penangkap ikan
mereka. Para pengawal Adipati Rekayasa mengawasi te-
rus ke arah laut lepas, dan berharap akan menemukan sebuah kapal yang bakal
datang bersandar. Namun
yang mereka nanti-nantikan belum muncul juga. Me-
reka hampir putus asa. Dan tidak ada harapan lagi
ada sebuah kapal yang datang bersandar di muara itu.
Keringat telah mengucur dari pelipis Adipati
Rekayasa, Riwang putranya yang berdiri menemani di samping ayahnya sudah tidak
karuan lagi. Pakaiannya yang tadi pagi nampak rapi kini kusut semerawut Dia
sudah mengira saudara kembarnya tidak datang pada
hari ini. Juga dia sudah memberi keputusan pada
ayahnya agar mereka kembali pulang, karena Rawing
tidak mungkin datang sekarang. Namun Adipati Re-
kayasa tetap bertahan dan ingin menanti terus. Ter-
nyata harapannya belum pupus benar, karena....
"Ada kapal datang...! Ada kapal datang!" Beberapa para pengawal Adipati Rekayasa
berteriak-teriak.
Mendengar teriakan itu Adipati Rekayasa sendiri langsung berlari ke arah
pinggiran muara di mana banyak kapal-kapal bersandar.
"Tuanku Adipati Rekayasa, kami melihat kapal
datang ke sini" kata seorang pengawal ketika Adipati Rekayasa melangkah menatap
sebuah kapal yang makin lama makin dekat. Riwang berlari mendekati ayahnya.
* * * 2 Mereka tidak percaya dengan penglihatan me-
reka sendiri. Karena kapal yang dinanti-nantikan itu melaju tanpa terkendali.
Begitu kapal tersebut menepi, kapal itu menabrak kapal-kapal yang lain
bersandar. Beberapa kapal yang ada di situ berguncang. Beberapa pengawal yang berdiri di
sekitar situ berlari mundur.
Benturan itu demikian dahsyat. Ada suara
berderak seperti papan lambung yang patah. Setelah keadaan cukup tenang. Tempat
itu menjadi ramai. Pa-ra nelayan dan para awak kapal yang tengah beristirahat
memenuhi tempat itu. Tapi karena Adipati Rekaya-sa berada di situ, mereka tetap
tenang. Mereka hanya menatap menyaksikan kapal tanpa ada yang berani
mengeluarkan sepatah kata pun.


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lama sekali mereka menanti para penumpang-
nya turun. Sampai-sampai Adipati Rekayasa sendiri
yang memerintahkan beberapa pengawalnya untuk
naik memeriksa. Maka setelah kapal tersebut betul-
betul menepi ke pinggir beberapa pengawal Adipati Rekayasa naik ke atas kapal.
Baru saja mereka menginjakkan kakinya di geladak, mereka terkejut setengah mati.
Karena yang mereka lihat hanyalah mayat-mayat yang bergelimpangan di sana sini.
Serta keadaan yang semerawut.
"Tuan ku Adipati Rekayasa, semua penumpang
kapal ini tewas!" Seseorang melapor dari atas kapal dengan suara lantang.
"Apa" Bicara yang betul, Pengawal!" Adipati Rekayasa seakan tidak percaya dengan
laporan itu, maka ia sendiri langsung melesat ke atas. Hanya tiga kali
berjumpalitan di udara Adipati Rekayasa sudah dapat menginjakkan kakinya di
antara para pengawal. Ia pun tidak sanggup mengeluarkan kata-kata setelah berada
di situ. Semua laporan pengawalnya benar. Mata kepalanya sendiri menyaksikan
belasan mayat bergelimang darah. "Astaga! Apa yang terjadi di atas kapal ini"
Cepat geledah seluruh ruangan. Barangkali masih ada
korban-korban lainnya." Dada Adipati Rekayasa bergemuruh.
"Hamba rasa Dimas Rawing tidak menumpang
di kapal ini, Tuan ku."
"Banyak bicara! Perintahku geledah seluruh
ruangan bawah!" Kemarahan Adipati Rekayasa memuncak. Sebenarnya ia tidak pernah
marah seperti itu. Mungkin karena rasa khawatir terhadap diri anaknya Rawing. Menurut
suratnya, Rawing akan datang
hari ini menumpang kapal milik saudagar dari Aceh.
Adipati Rekayasa bisa melihat bahwa kapal yang tengah diperiksanya adalah sebuah
kapal dari tanah sebrang. Ia bisa menentukan begitu karena melihat kepala kapal
itu menggambarkan suatu kebudayaan para pelaut Aceh yang sudah turun temurun.
Tak lama kemudian berdatangan lagi para pen-
gawal yang telah memeriksa ruangan bawah. Dua
orang nampak membawa mayat yang sudah membiru.
Adipati Rekayasa mengernyitkan alis menatap mayat
itu. "Kami tidak menemukan Dimas Rawing di ba-
wah. Kecuali kedua mayat ini." lapor salah seorang pengawal setelah berhadapan
dengan Adipati Rekayasa. Orang tua setengah umur itu makin bingung.
Tentu saja mereka tidak akan menemukan
Rawing, karena sewaktu bertempur melawan pasukan
Dwipa Kuntar, Rawing terkena sambaran pedang serta hantaman sehingga nyemplung
ke laut. Bagaimana pun Adipati Rekayasa cenderung
digeluti perasaan kemelut. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada kapal saudagar
Aceh itu. Yang ia pikir anaknya menumpang kapal ini. Itu menurut surat yang ia
terima beberapa minggu yang lalu. Dengan mengua-tkan diri ia memerintahkan
seluruh pengawalnya un-
tuk membawa turun mayat-mayat itu.
Riwang putra Adipati Rekayasa menatap tak
percaya ketika melihat para pengawal ayahnya mem-
bawa turun para awak kapal yang sudah tak bernya-
wa. Ia mengira saudara kembarnya Rawing ada di an-
tara mayat-mayat itu. Maka ia cepat mendekati rom-
bongan itu dan langsung mengawasi tiap-tiap mayat.
"Rawing tidak ada di kapal itu." Tahu-tahu Adipati Rekayasa sudah berada di
sebelah Riwang.
"Tidak, Ayah. Batinku mengatakan Kakang
Rawing telah menghadapi musibah. Dia pasti sudah
ada di sini." jawab Riwang. Ikatan batin saudara kembar memang kuat. Riwang
sendiri merasa seperti ada guncangan saat pertempuran itu berlangsung.
"Tapi ayah sudah mencarinya, Riwang. Tidak
ada Rawing di sana. Mungkin juga ia menumpang pa-
da kapal yang lain. Tunggu saja sampai beberapa hari, kalau Rawing tidak juga
muncul, kita susul ke tanah Tapak Tuan." bujuk Adipati Rekayasa. Mata Riwang
memandang jauh ke laut lepas yang tenang,
"Menurut pengamatanku, kapal ini tidak di-
rampok. Kita bisa melihat barang-barang mereka yang masih utuh. Jadi penyerang-
penyerang itu sengaja datang mencegat untuk membantai mereka satu persatu.
Apa maksudnya mereka membantai orang-orang ini?"
tutur Riwang dengan tatapan mata yang memandang
jauh. "Hal ini menandakan bahwa perairan laut kita sudah tidak aman lagi."
Adipati Rekayasa merenungi setiap perkataan
anaknya. Sedikitnya ia memang telah diguncangkan
oleh rasa khawatir. Bagaimana tidak, membayangkan
mayat-mayat yang bergelimpangan itu saja sudah de-
mikian ngerinya. Apalagi setelah putranya mengatakan akan pulang bersama kapal
dari Aceh. Sedangkan
kapal dari tanah sebrang biasanya datang hanya sekali dalam satu bulan... Ya,
Gusti... Mudah-mudahan saja anakku Rawing selamat dalam perjalanannya.
* * * Penjagaan sekitar rumah Adipati Rekayasa se-
lalu ketat. Para pengawalnya yang bersenjatakan tombak serta pedang senantiasa
berdiri waspada. Dari pintu gerbang sampai ke pintu masuk rumah teras dijaga.
Pendek kata bangunan megah itu hampir dikelilingi
oleh belasan pengawal. Dari halaman nampak Adipati Rekayasa berdiri di balik
jendela. Wajahnya begitu mu-ram. Sang istri duduk di sebelah anaknya, Riwang.
Ketiganya nampak berdiam diri. Perasaan mereka seperti tengah dilanda sesuatu.
Peristiwa terbunuhnya para pedagang dari Aceh
telah lewat dua hari. Para korban sudah diantar kembali ke tanah air. Sekarang
para pengawal itu yang mengantarkan jenazah belum kembali pulang. Hal itu
membuat Adipati Rekayasa semakin bingung. Karena
ia telah menugaskan seorang pengawalnya untuk singgah ke tanah Tapak Tuan untuk
mencari berita adanya Rawing. "Yang membuat kita semakin cemas setelah
terjadinya pembantaian para pedagang dari Aceh. Aku
khawatir Rawing ikut tewas bersama mereka. Bisa saja para pembunuh itu
melemparkannya ke tengah laut."
Istri Adipati Rekayasa memberi pendapat walaupun
hatinya tidak menghendaki kejadian yang demikian.
"Sudah kukatakan jangan terlalu berpikiran
was-was. Kata-katamu itu hanya membuat perasaan
kita makin kalut. Aku pun tidak rela seandainya Rawing tewas dalam perjalanannya
di tengah laut. Apalagi sampai di bunuh orang." Adipati Rekayasa menghardik.
"Kakang Rawing memang mengalami musibah,
Ayah. Aku merasakan pada batin ku, Aku merasakan
begitu dekat dengan dia. Hanya sayang kita tidak tahu di mana dia berada."
Riwang ikut bicara. Adipati Rekayasa menatap ke arahnya. Lalu menoleh lagi ke
luar dari jendela.
"Kalau memang perasaan batinmu demikian ki-
ta tidak perlu lagi merasa cemas atau khawatir. Kita tunggu saja para pengawal
itu sampai kembali dari tanah Tapak Tuan." Adipati Rekayasa menghentikan
ucapannya. Karena dari situ ia dapat melihat beberapa orang berkuda memasuki
pekarangan rumahnya, Paling depan sekali di antara belasan kuda nampak Dwi-pa
Kuntar. Tentu saja para penjaga itu membiarkan ma-
suk, karena Dwipa Kuntar sama-sama seorang pan-
glima seperti Adipati Rekayasa. Kalaupun sekarang
Dwipa Kuntar singgah ke rumah itu, pasti ada berita penting dari sri baginda
yang akan disampaikan pada tuannya, pikir para prajurit yang menjaga pintu
gerbang. Adipati Rekayasa sendiri yang melihat kedatangan Dwipa Kuntar langsung
melangkah ke luar me-
nyambut. Istri dan Riwang hanya memperhatikan dari balik jendela. Diam-diam
mereka mencuri dengar pembicaraan Adipati Rekayasa.
Belasan pengawal Dwipa Kuntar tidak turun
dari kudanya. Semuanya nampak duduk angkuh di
atas pelana. Adipati Rekayasa tidak merasakan kegan-jilan itu. Dan juga baru
kali ini kedatangan Dwipa Kuntar dikawal oleh prajurit yang jumlahnya belasan
orang. "Sri baginda menugaskan aku untuk menang-kapmu, Adipati Rekayasa." Bagai
tersambar petir jan-tung Adipati Rekayasa mendengar ucapan Dwipa Kun-
tar. "Aku pun tidak mengerti kenapa sri baginda bertindak seperti ini.
Kedatanganku hanya mengemban
tugas dari beliau." kata Dwipa Kuntar lagi.
"Apa kesalahanku?" tanya Adipati Rekayasa membelalakkan mata.
"Tidakkah kau mendengar berita kematian para
pedagang serta para prajurit kerajaan yang tewas?"
Dwipa Kuntar tersenyum.
"Apa hubungannya dengan diriku" Sudah ku-
katakan pada sri baginda bahwa para pedagang dari
Aceh itu tewas oleh segerombolan pembunuh di tengah laut." Cepat pula Adipati
Rekayasa menjawab.
"Tewas dibunuh bukan berarti dirampok, bu-
kan" Saat terjadinya pembantaian itu aku menjadi
saksi mata. Juga belasan pengawal ku melihat sendiri
siapa yang melakukan pembantaian" itu." Sikap Dwipa Kuntar seperti memandang
remeh. Ia berjalan mengelilingi Adipati Rekayasa yang masih berdiri di depan
pintu. Lalu meneruskan pembicaraannya....
"Aku sendiri tidak percaya kalau gerombolan
pembunuh itu dipimpin Rawing anak mu."
"Bohong! Tentunya kau memberikan saksi dus-
ta, Dwipa Kuntar!" bentak Adipati Rekayasa. Wajahnya memerah. Serta tubuhnya
gemetar menahan amarah.
Saat itu Riwang dan istrinya keluar mendekati mereka.
"Kau telah menuduh Rawing seenaknya, Dwipa
Kuntar. Tidak mungkin Rawing akan berbuat sekeji
itu." Istri Adipati Rekayasa mengelak.
"Maaf. Kalau mata kepalaku sendiri tidak melihat, mungkin aku tidak berani
datang ke sini. Mari, Adipati Rekayasa. Kau harus menghadap sri baginda.
Dan juga jangan salahkan aku... Aku hanya menjalankan tugas...." Dwipa Kuntar
mengeluarkan belenggu besi. Tapi sebelum ia mengikat pada kedua lengan
Adipati Rekayasa, laki-laki setengah umur itu menepis dengan kasar. Maka terjadi
keributan kecil.
Melihat Adipati Rekayasa bersikap murka, para
pengawalnya berdatangan. Tapi para pengawal Dwipa
Kuntar cepat melompat semua dari atas kuda dan
langsung menghadapi mereka satu persatu.
"Bagaimana pun aku tidak terima atau tudu-
han ini! Kalian sengaja hendak menjerat aku!" Adipati Rekayasa berontak; Tapi
Dwipa Kuntar cepat meno-dongkan pedangnya. Secepat itu pula Adipati Rekayasa
melompat mundur. Maka Dwipa Kuntar memburunya
dengan babatan pedang.
Sambaran pedangnya tidak mengenai. Adipati
Rekayasa. Tapi malang bagi istrinya yang berdiri tidak jauh dari situ....
"Breeet!"
Sambaran pedang tepat merobek perutnya. Pe-
rempuan itu memekik kelojotan. Adipati Rekayasa terbelalak menatap istrinya
tewas bersimbah darah. Melihat itu pula para pengawal Adipati Rekayasa melakukan
perlawanan terhadap para pengawal Dwipa Kun-
tar. Pedang mereka mulai berdentingan membisingkan halaman rumah.
Adipati Rekayasa bermaksud berlari ke arah
tubuh istrinya yang tergeletak kaku, namun sambaran pedang Dwipa Kuntar
menghalangi. Terpaksa pula ia
melayani dengan tangan kosong. Gerakannya yang ge-
sit berkelit menghindari tiap-tiap sambaran pedang.
Dalam ilmu silat Adipati Rekayasa tidak boleh dianggap remeh. Sukar sekali bagi
Dwipa Kuntar menya-
rangkan sambaran pedangnya. Tidak percuma Adipati
Rekayasa menyandang gelar panglima tertinggi dalam tampuk sebuah kerajaan.
Riwang yang tidak memiliki ilmu silat barang
secuil pun tidak berani turun tangan. Dia malah berdiri masuk kembali ke dalam
rumah. Tindakannya bu-
kan berarti dia seorang pengecut. Tujuannya masuk ke dalam rumah, tentunya ada
maksud tertentu yang di-anggapnya sebuah pertolongan bagi sang ayah.
* * * 3 Larinya makin cepat ketika Riwang sampai pa-
da ruangan khusus ayahnya. Ia tahu betul di mana
Adipati Rekayasa menyimpan senjatanya. Maka se-
sampai di dalam ruangan itu, Riwang langsung me-
nyambar pedang yang tergantung di dinding.
Sementara itu di luar pertempuran makin sen-
git. Para pengawal Adipati Rekayasa lebih banyak yang tewas. Sedangkan para
pengawal Dwipa Kuntar belum
apa-apa. Mereka nampak gigih menghabiskan para
pengawal yang masih tersisa.
Dwipa Kuntar sendiri tidak perlu membantu
para pengawalnya yang sudah berada di atas angin.
Dia telah sibuk menyambar lesatan-lesatan tubuh Adipati Rekayasa. Di tubuhnya
telah nampak goresan-
goresan luka terkena sambaran pedang.
Menghindari serangan-serangan Dwipa Kuntar
tentu saja mengeluarkan tenaga tidak sedikit. Apalagi ia tidak menggunakan
senjata. Mana mungkin Adipati Rekayasa dapat membalas serangan.
"Lebih baik mati daripada menyerah kepadamu,
Dwipa Kuntar!" Adipati Rekayasa mundur menjauh saat Dwipa Kuntar menyapu bagian
bawah dengan tendangan memutar.
"Bagus! Itu tandanya kau sama membrontak
seperti anakmu. Selain itu kau mulai berani melawan perintah sri baginda!
Hiiih!" Pedang Dwipa Kuntar menyambar. Adipati Rekayasa merunduk menghinda-
rinya. "Ayah! Ini pedangmu...!" Riwang muncul dari balik jendela. Dari situ pula
Riwang melemparkan pedang pada ayahnya. Jarak dari situ cukup jauh, Adipati
Rekayasa tidak mungkin menerima begitu saja. Dia harus melompat untuk meraih
pedangnya... Tapi saat Adipati Rekayasa melesat ke samping, Dwipa Kuntar
membabat pedangnya kuat-kuat... "Craas...!" Adipati Rekayasa memang dapat meraih
pedangnya, namun ia
tidak dapat menghindari babatan pedang yang menge-
nai punggungnya. Saat itu pula Riwang memekik.
"Riwang...! Cepat pergi dari sini!" bentak Adipati Rekayasa sambil berbalik
menangkis babatan pedang.
Tapi... "Tangkap anak itu... Kalau perlu bunuh saja!"
Dwipa Kuntar memerintahkan beberapa pengawalnya
untuk mengejar Riwang yang mulai lari lewat belakang rumah. "Bangsat apa hakmu
untuk membunuh keluar-gaku! Tidak mungkin sri baginda memerintahkan de-
mikian!" Pedang Adipati Rekayasa berkelebat menyambar kepala. Tapi cepat Dwipa
Kuntar menangkis pe-
dangnya. "Menghabiskan para pembrontak jangan kepa-
lang tanggung. Harus sampai ke akar-akarnya!" Sambaran pedang Dwipa Kuntar
melesat membalas. Len-
gan Adipati Rekayasa sampai bergetar saat pedang mereka beradu.
"Anjing kepala dua! Kau memfitnahku! lebih
baik kita mati bersama! Hiaaaaa!" Adipati menerjang sengit. Babatan pedangnya
berputar bagai kitiran angin. Namun hanya dengan sekali tebas, tubuh Adipati
Rekayasa terhuyung mundur. Dwipa Kuntar menyeringai seraya membabatkan pedangnya
lagi. Cukup gelagapan Adipati Rekayasa menyambut
babatan pedang itu. Tubuhnya sampai mundur-
mundur terdesak. Seleret sinar putih menyambar da-
danya lagi. Terasa sekali goresan mata pedang me-
nyayat kulitnya. Membuat Adipati Rekayasa kehilan-


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan keseimbangan tubuh. Manakala Dwipa Kuntar
semakin gencar melancarkan babatan-babatan pe-
dangnya. Sementara itu, Riwang tidak luput dari pengeja-
ran beberapa orang pengawal Dwipa Kuntar. Larinya
tunggang langgang tidak karuan. Lima orang pengejarnya memang jauh tertinggal.
Dalam hati ia menyesali dirinya Kenapa dari dulu ia tidak pernah mempelajari
ilmu silat. Sekarang ia betul-betul kesulitan. Melihat para pengejarnya
mengacung-acungkan pedang ia su-
dah gemetaran. Apalagi berusaha melawan. Mungkin
kalau kelima pengejarnya itu tanpa senjata, barangkali Riwang sudah nekad
melawan. Dalam pelariannya itu, Riwang sengaja menuju
ke arah bekas reruntuhan bangunan. Ia bermaksud
akan bersembunyi di situ Cuma itu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri.
Saat Riwang memasuki
bangunan itu, kelima pengejarnya kehilangan jejak.
Namun mereka tetap yakin kalau Riwang bersembunyi
di dalam reruntuhan bangunan batu. Begitu mereka
mendekati bangunan itu, mereka mendengar batu-
batu berserakan dari atas. Maka kelimanya tanpa ra-gu-ragu lagi berebut masuk.
Namun baru saja mereka melangkah masuk,
tiba-tiba saja sebongkah batu melayang ke arah mere-ka. Dua orang yang melangkah
menaiki tangga di de-
pan tidak sempat menghindar. Keduanya bergulingan
dengan kepala remuk. Melihat dua temannya ambruk
kelojotan, tiga orang lagi bersikap hati-hati. Pelan-pelan sekali mereka menaiki
tangga batu yang menuju ke atas. Dari balik dinding Riwang telah bersiap-siap
dengan sebatang kayu. Jantungnya berdebar-debar
menanti kedatangan langkah-langkah mereka. Mana-
kala detak-detak ketiga orang itu makin dekat. Dan saat salah seorang muncul
dari balik dinding, Riwang menghantam kuat-kuat... "Praaaak!" Tepat menghantam
tenggorokan. Setelah itu pula Riwang cepat berlari ke arah
jendela. Lalu dari situ ia melompat ke luar. Padahal jendela itu cukup tinggi.
Riwang jatuh bergulingan di tanah. Rupanya saat Riwang melompat ke luar dari
jendela para pengejarnya tidak sempat melihat. Maka Riwang mendapatkan
kesempatan untuk melarikan di-ri.
Cepat Riwang menyusup pada rimbunnya
alang-alang yang memenuhi pelataran bangunan itu.
Dari situ ia cukup aman merangkak menjauhi rerun-
tuhan bangunan. Sekarang para pengejarnya itu betul-betul telah kehilangan
jejak. Mereka keluar dari reruntuhan itu sambil membawa tiga orang temannya yang
terluka. Saat itu Riwang sudah cukup jauh dari tempat itu. Dan tidak mungkin
lagi para pengawal Dwipa Kuntar mengejarnya. Riwang sendiri belum berani kembali
ke rumahnya. Ia yakin pertempuran masih berlangsung di sana. Untuk itulah ia
terus berlari saat menembus rimbunnya alang-alang.
Riwang sengaja memilih jalan yang jarang dila-
lui orang. Ia tidak ingin pelariannya diketahui orang lain. Dia tahu di depan
sana ada sebuah perkampun-gan. Sengaja pula tujuannya ke sana, dan bermaksud
akan tinggal untuk beberapa hari.
* * * Angin laut berhembus ke pantai membuat
daun-daun nyiur melambai-lambai seperti menari. Burung-burung camar yang
beterbangan hampir menyen-
tuh permukaan laut saat itu Ki Balung mengangkat jalanya. "Sial! Dari tadi tidak
ada satu ekor ikan pun yang nyangkut di jala ku. Wuah-wuah bisa tidak makan
malam ini!" gerutunya setelah melihat jala kosong.
Lalu ia menebar lagi ke arah lain. Namun setelah ia mengangkat lagi, hasilnya
tetap sama saja. Kosong!
"Kenapa laut ini mendadak miskin?" Ki Balung makin jengkel.
"Ayah...!" Ki Balung tersentak. Ia menoleh ke
belakang menatap ke arah gubuknya. Seorang gadis
nampak melambai-lambaikan tangan.
"Ada apa, Mayang?" jawab Ki Balung setengah membentak.
"Orang itu sudah sadar dari pingsannya.
Dia mengerang-ngerang kesakitan!" jawab Kadis itu. Suaranya terbawa angin.
"Suruh dia minum obat yang telah kusediakan!"
Aku takut, Ayah!"
"Bah! Jangan malu-malu kucing, Mayang! Ter-
hadap pemuda ganteng saja harus takut!" Ki Balung terpaksa menggulung jalanya.
Kemudian ia berbalik melangkah ke pinggiran pantai. Mayang putrinya masih
menunggu di depan gubuk. Gadis itu menyambut
membawakan jalanya saat Ki Balung mulai masuk ke
dalam gubuk. Rawing sudah duduk di atas balai ketika Ki Ba-
lung berada dalam ruangan itu. Bajunya sudah tidak melekat lagi pada tubuhnya.
Maka nampak jelas semua luka-luka bekas sambaran pedang. Masih terasa
perih. Ki Balung melangkah tersenyum membawakan
gelas bambu. "Luka-lukamu cukup parah. aku tidak mempu-
nyai persediaan obat kecuali ini. Minumlah... mungkin bisa mengurangi rasa
sakit." Rawing menerima gelas bambu itu. Cairan obat di dalamnya masih mengepul-
kan asap. Rawing tidak langsung meminumnya. Ia
menatap Ki Balung.
"Di mana ini...?"
"Di rumahku.... Kami menemukan kau tergele-
tak pingsan di pantai. Tadinya kami mengira bahwa kau sudah mati. Ternyata kau
hanya pingsan. Makanya kau ku rawat di sini." tutur Ki Balung.
"Te-terima kasih, Ki." Setelah itu Rawing menenggak habis cairan dalam gelas
bambu, Saat itu
Mayang putri Ki Balung masuk ke dalam ruangan itu.
Saat itu pula Rawing menatapnya. Merasa ditatap demikian, Mayang tertunduk malu.
"Dia putri ku. Ibunya telah meninggal ketika
berumur lima tahun. Dialah yang menemukan dirimu
di pantai."
"Sangat cantik. Pastilah ibunya cantik pula."
Mendengar ucapan yang demikian wajah Mayang ma-
kin memerah. "Dia memang mirip dengan ibunya. Itulah se-
babnya aku tidak pernah merasakan kehilangan istri-ku." Rawing menyodorkan gelas
bambu yang telah kosong itu pada Ki Balung. Setelah menerima gelas itu Ki Balung
membantu Rawing bangkit berdiri. Luka-lukanya masih mengeluarkan darah. Ia dapat
meman- dang pantai berpasir putih dari pintu itu. Angin pun berhembus masuk menerpa
tubuhnya. Pandangannya jauh ke depan pada hamparan
permukaan laut yang biru. Di sanalah ia terakhir kali bertempur dengan para
pasukan kerajaan. Dia masih
ingat betul pada orang yang telah melukainya. Seseorang yang tidak pernah takut
terhadap ayahnya.
"Pakaianmu telah koyak, Anak muda. Aku me-
nyimpannya di dalam. juga kepingan-kepingan uang
logam yang tak ternilai jumlahnya. Semua kusimpan
baik-baik." Kata-kata Ki Balung membuyarkan lamu-nan Rawing.
"Syukurlah.... Tapi aku tidak memikirkan soal itu. Selamat dalam keadaan begini
saja aku sudah bersyukur. Simpanlah uang itu untukmu, Ki."
"Lebih baik ku belikan pakaian atau obat. Karena luka-lukamu itu mesti diobati.
Dan kau pun harus beberapa hari tinggal di sini."
"Kau terlalu baik, Ki. Jarang aku menemui
orang sepertimu."
"Aku merasa baru kali ini menolong orang. Lain dari kau tidak pernah. Bagaimana
harus dianggap baik?" Rawing tersenyum. Kata-kata Ki Balung begitu lugu. Dia pun diam dengan
kedua mata yang memandang ke arah laut. Ki Balung memperhatikannya.
"Melihat kau sepintas, rasanya hampir mirip
dengan seorang putra panglima kerajaan yang mengu-
asai tanah Genang Banyu." Ki Balung bicara lagi. Rawing cepat menoleh ke arah Ki
Balung dengan panda-
ngan yang aneh.
"Maksudmu panglima tertinggi Adipati Rekaya-
sa?" tanya Rawing menyentak. Ki Balung malah gelagapan, tapi ia cepat
menjawab.... "Betul! Yang kumaksudkan bahwa kau sangat
mirip dengan putranya. Sedikit pun tidak berbeda dengan Riwang."
"Kalau begitu dugaanmu tidak salah lagi, Ki....
Aku saudara kembarnya yang baru datang dari Tanah
Tapak Tuan. Namaku Rawing."
Kontan mata Ki Balung terbelalak. Ia tidak per-
caya dengan ucapan Rawing. Semula dirinya yang berdiri berdampingan, mendadak
mundur selangkah. Mu-
lutnya menganga seperti hendak mengeluarkan kata-
kata. "Masih belum percaya kalau aku putra kembar Adipati Rekayasa" Atau perlu
kusebutkan nama ibuku Sartinah?" Rawing maju mendekat. Ki Balung belum percaya.
"Mayang...! Mayang ke mari! Cepat ke mari...!
Ternyata orang yang kau selamatkan ini seorang putra Panglima Kerajaan...."
Setelah berteriak begitu Ki Balung berlutut seperti memberi hormat.
"Terhadap ayahmu yang bijaksana itu aku cu-
kup segan dan menghormatinya. Terhadapmu pun ten-
tunya harus demikian. Maafkan aku Dimas Rawing,
kami benar-benar tidak tahu kalau kau putra pangli-ma." Sembah Ki Balung. Mayang
sudah keluar dari gubuk. Rawing tersenyum menatapnya.
* * * 4 Satu-satunya desa yang terdekat dengan Tanah
Genang Banyu, adalah Desa Branjangan. Desa yang
selalu ramai dikunjungi banyak pendatang. Para saudagar datang ke situ untuk
berniaga. Juga para penduduk asli memanfaatkan keadaan keramaian de-
sanya. Dari penginapan sampai rumah makan berderet bersaing.
Tiap-tiap gubuk nampak berukuran besar.
Meskipun atapnya dari jerami namun dinding-
dindingnya hampir dari kayu semua. Bahkan ada juga yang sengaja membangun
gubuknya bertingkat. Biasanya gubuk bertingkat itu sebuah penginapan.
Kereta-kereta kuda pengangkut barang berdiri
pada tambatan kuda. Para pengemudinya tengah me-
nyinggahi salah satu rumah makan. Siang itu memang agak lain. Tidak seperti
hari-hari biasanya. Hampir tiap-tiap kedai ramai dipenuhi oleh para pendatang.
Apalagi di muka jalan. Meskipun tidak penuh sesak, tapi cukup sulit untuk
melangkah. Sebentar-sebentar Riwang menoleh ke bela-
kang. Ia selalu berpapasan dengan orang-orang yang jalan dari arah berlawanan.
Riwang hanya tersenyum saat orang-orang itu merutuki. Sebelah telapak tangannya
menimang-nimang sekeping uang logam. Ha-
tinya merasa lega, karena di Desa Branjangan itu tidak
dilihatnya seorang prajurit pun.
Tenang pula ia melangkah menghampiri salah
satu rumah makan. Tapi mendadak pula ia menghen-
tikan langkahnya. Ia sempat mendengar obrolan beberapa orang yang kebetulan
singgah di tempat itu.
"Tidak kusangka Panglima Adipati Rekayasa
yang selama ini kita segani ternyata hanya seorang penghianat kerajaan."
"Untunglah Dwipa Kuntar bersama pasukannya
cepat meringkus." kata salah seorang temannya menimpali.
"Bukan hanya diringkus. Melainkan sekarang
keluarganya telah dikirim ke akherat! Memang seha-
rusnya begitu hukuman bagi pemberontak!"
"Masih untung mereka bertemu dengan Dwipa
Kuntar. Coba kalau sampai kedapatan oleh sri baginda, pasti sudah.... Sreeeett!
Orang itu menggorok lehernya dengan lengannya sendiri.
"Sana saja! Ketemu sri baginda maupun Dwipa
Kuntar akan mengalami nasib yang serupa. Toh seka-
rang mereka sekeluarga sudah mampus semua." Mereka tertawa mengkekeh. Jelas
sekali Riwang mendengar pembicaraan mereka. Cepat Riwang menyelinap ke balik
dinding. Dia masih ingin mendengarkan pembicaraan orang-orang itu, meskipun
hatinya hancur.
"Menurut yang kudengar, putranya sempat me-
larikan diri. Dwipa Kuntar masih terus mencarinya.
Bahkan ia telah melepaskan sayembara. Siapa saja
yang dapat menangkap Riwang hidup-hidup akan di-
beri hadiah yang memuaskan." Riwang yang merapatkan telinganya ke dinding
bergetar bagai tersambar petir. "Riwang..." Bagaimana kita bisa menangkapnya
kalau kita sendiri tidak tahu rupa si Riwang itu?"
"Dasar jauh ke duit! Syukurlah aku sempat me-
lihat dia walaupun hanya beberapa kali."
"Kalau begitu..." Temannya tidak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja
dinding di sebelah mereka berderak. Serempak mereka menoleh ke arah
suara derak itu. Mereka pun melihat seseorang berlari menjauh. Nampak sekali
orang itu seperti berlari ketakutan. "Astaga! Tidak salahkah penglihatanku?"
Salah seorang yang berada di rumah makan itu
bangkit berdiri.
"Ada apa" Kau seperti melihat setan?" tanya temannya keheranan.
"I-i itu Riwang! Baru saja ia pergi dari sini!" ka-ta orang itu sambil beranjak
meninggalkan meja ma-
kan menyusul Riwang. Dengan tidak mengerti dua
orang temannya ikut bangkit dan menyusul temannya.
Sudah tentu pemilik kedai itu mencegah.
"Kalian mau ke mana" Bayar dulu makanan
tadi." "Maaf, Ki. Sekarang pun kami tidak mempunyai uang... Hitung saja dengan
yang kemarin-kemarin. Be-sok aku bayar sepuluh kali lipat!" kata salah seorang
dari mereka sambil mendorong pemilik kedai. Mereka pun meneruskan larinya.
"Bajingan-bajingan tengik. Sekali lagi makan tidak bayar aku racuni kalian!"
rutuk pemilik kedai se-wot. Sementara itu Riwang betul-betul mempercepat
larinya. Beberapa kali ia menabrak orang-orang yang berlalu lalang sampai
bergelimpangan. Maka tempat
itu menjadi riuh seketika. Di belakangnya tiga orang mengejar dengan kecepatan
penuh. Mereka pun sering menyeruduk apa saja yang menghalanginya. Beberapa
meja dagangan ambruk terguling sampai barang-
barang dagangan itu berserakan di tanah.
Usaha mereka tidak sia-sia. Dalam sekejap me-
reka telah mengepung Riwang yang sudah terpojok gelagapan. Mereka langsung
melancarkan hantaman-
hantaman agar buruannya tidak lari lagi. Tindakan
mereka sama seperti menggebuki seorang maling.
Riwang sama sekali tidak melawan. Karena dia
memang tidak memiliki kepandaian ilmu silat. Secepat itu pula Riwang dapat
diringkus. Maka tempat itu
menjadi penuh dengan orang-orang yang berdatangan
menonton. Tiga orang yang meringkus Riwang menca-
but pedang. Lalu mereka membabatkan ke Mana ke
mari. Tentu saja orang-orang yang datang menonton
itu segera menyingkir sehingga ketiga orang itu leluasa membawa Riwang ke luar
dari kerumuman itu.
"Minggir...! Minggir...! Kami harus menyerahkan buronan ini pada Panglima Dwipa
Kuntar. Minggir...!"
Mereka bertiga memang terkenal sebagai 'jagoan' Desa Branjangan. Orang-orang itu
sangat takut melihat pedang-pedang mereka berkelebat.
Saat itu Ki Balung baru saja keluar dari gubuk
seorang tabib. Di tangannya membawa dua buah
bungkusan yang berisi obat dan pakaian. Alisnya mengernyit ketika dilihat tiga


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sosok mengacung-acungkan pedang membawa seseorang yang sudah babak belur.
Orang-orang masih saja membuntuti mereka di
belakang. Ketiga orang yang membawa Riwang nampak
seperti bangga.
"Buronan Riwang tertangkap! Buronan Riwang
tertangkap!" Hanya itu yang didengar dari teriakan kerumunan yang menggiring
Riwang. Luka-luka di tubuh Rawing belum sembuh.
Kain pembalut luka masih merembes darah. Tapi Raw-
ing yang dalam keadaan luka itu sengaja tidak selalu diam. Dia sibukkan dirinya
dengan membelah kayu
bakar yang bertumpuk di samping gubuk.
Mayang, putri Ki Balung, diam-diam memper-
hatikannya. Ia khawatir sekali kalau-kalau Rawing
akan jatuh pingsan lagi. Apalagi panas matahari makin mencorot membuat keringat
Rawing membasahi di se-kujur tubuhnya. Sepertinya rasa lelah dan keringat yang
meleleh itu tidak diperdulikan.
"Berhentilah dulu, Kang Mas Rawing. Air yang
sejak tadi kusediakan belum juga kau minum." Suara halus Mayang mengejutkan
Rawing. "Luka-lukamu belum sembuh betul. Biarlah
aku yang mengerjakannya." lanjut Mayang lagi. Rawing menghentikan membelah kayu.
Ia tersenyum menatap
Mayang, lalu....
"Aku biasa melakukan pekerjaan ini, Kang Mas
Rawing. Kau yang tidak pantas melakukannya. Karena kau anak seorang panglima."
Mayang melirik Rawing menenggak habis air itu. Mendengar ucapan Mayang,
Rawing terbatuk.
"Aku memang putra Adipati Rekayasa, tapi cara hidupku tidak seperti tuan besar,
atau anak bangsa-wan lainnya. Selama sepuluh tahun hidup dalam lingkungan para
ulama. Mereka mendidik diriku dengan
cara-cara yang paling keras sekalipun. Terus terang selama sepuluh tahun ini aku
tidak berada dalam lingkungan keluarga. Aku berada di Tanah Tapak Tuan."
"Tapak Tuan" Di mana itu?" "Di pulau sebrang.
Tepatnya di bagian Tenggara Pulau Andalas."
Mayang diam tidak mengerti. Sebagai seorang
dusun yang terpencil, Mayang memang kurang penga-
laman. Dari maksud pembicaraan Rawing, Mayang
hanya bisa mengartikan bahwa Rawing adalah seorang petualang. Diam-diam pula ia
mengagumi terhadap
pemuda yang satu ini. Dia juga tidak mengerti kenapa harus tertunduk malu saat
Rawing menatapnya.
"Apa yang kau pikirkan, Mayang?" Rawing
mendekati. Mayang jadi gelagapan. Mukanya berubah
merah saat Rawing menyentuh rambut Mayang. Ia be-
tul-betul tidak berani menatap atau mengelak.
"Selama hidupku belum pernah aku melihat
wanita secantik kau, Mayang.... Aku...." Rawing sendiri tidak berani meneruskan
kata-katanya. Dengan gemetar pula Mayang mengangkat wajahnya. Tapi pandan-
gannya cepat menoleh....
"Ayah datang, Kang Mas Rawing." Pandangan Mayang menatap Ki Balung yang berjalan
tergesa-gesa menuju gubuknya. Belum pernah Mayang melihat
ayahnya berjalan terburu-buru seperti itu. Untuk itulah Mayang datang menyambut.
Dia membawakan dua
bungkusan yang dibawa Ki Balung.
Rawing hanya menatap dari samping gubuk.
Mayang sengaja menuntun ayahnya ke arah Rawing,
Dari situ Ki Balung sudah melihat kepingan-kepingan kayu bakar bertumpuk di
samping gubuk. Dia juga
melihat Rawing masih memegang kampak.
"Dimas Rawing, sebaiknya kau jangan ke luar
dulu." kata Ki Balung setelah berada dihadapan Rawing. Mayang sudah masuk ke
dalam gubuk. "Luka-luka ini tidak seberapa, Ki. Aku merasa sudah agak mendingan." jawab
Rawing sambil mengangkat kampak melanjutkan membelah kayu. Baru
tahu kalau kepingan-kepingan kayu itu pekerjaan
Rawing, "Bukan saja soal luka, Dimas Rawing. Situasi di luar sedang kacau, juga
menyangkut persoalan keluargamu." "Apa maksudmu, Ki...?" Rawing menatap tak
mengerti. "Sebaiknya kita bicara dalam." Ki Balung merangkul Rawing. Pemuda itu mengikuti
dengan pena- saran. Sambil menutup pintu gubuk, Ki Balung men-
gawasi keadaan di luar. Ia merasa khawatir kalau-
kalau ada orang lain yang kebetulan lewat di daerah itu. Padahal gubuk Ki Balung
satu-satunya yang ada di pesisir pantai.
"Ada yang perlu kukatakan padamu, Dimas
Rawing. Di luar keadaan benar-benar sedang kacau."
"Dari dulu juga tanah air kita selalu kacau. Apa yang membuatmu ketakutan
seperti ini, Ki?" tanya Rawing tidak sabaran.
"Ketika aku pulang membeli obat-obatan, aku
melihat saudaramu, Riwang tertangkap di Desa Bran-
jangan. Mereka menuduh keluargamu sebagai pembe-
rontak. Menurut kabarnya Adipati Rekayasa pun te-
lah..." Ki Baking menghentikan ceritanya. Dengan gemetar ia menatap ke arah
Rawing. "Kenapa dengan ayahku, Ki... Kenapa dengan
beliau?" "Dwipa Kuntar telah membunuh ayah serta ibumu. Dia pula sekarang yang
menggantikan Adipati Rekayasa menguasai Tanah Genang Banyu."
"Tidak mungkin, Ki... Aku tidak percaya! Ba-
gaimana mungkin ayahku menjadi seorang pembron-
tak" Beliau satu-satunya orang kepercayaan sri baginda." Rawing menyangkal. "Itu
baru berita yang kudengar, belum tentu kebenarannya demikian. Yang kulihat hanya
Riwang tertangkap oleh anak buah Dwipa Kuntar. Orang-orang itu akan menerima
hadiah yang sangat besar." Ki Balung mengakhiri ceritanya. Rawing duduk terdiam
seribu bahasa. Orang seperti Ki Balung tidak mungkin berdusta. Kalau saja ia
tidak dalam keadaan luka begini, tentunya Rawing sudah mencari orang-orang yang menangkap
saudara kembarnya.
Rawing hanya diam ketika Ki Balung mulai membuka
balutan luka-lukanya. Ia hampir memekik saat bubuk-bubuk obat dibalurkan pada
luka-luka yang belum
mengering. Pikirannya berkecamuk perasaan lain, seperti ingin cepat bertemu
dengan saudara kembarnya.
Maka keesokan harinya Ki Balung tidak mene-
mukan Rawing dalam kamarnya. Pakaian yang dibe-
linya kemarin sudah tidak ada, Kecuali sepucuk surat yang tergeletak di atas
meja. Sekalipun Ki Balung tidak dapat membacanya, ia sudah yakin kalau surat itu
sebuah ucapan selamat tinggal. Memang benar, Tadi pagi sebelum matahari terbit,
diam-diam Rawing meninggalkan gubuk itu.
* * * 5 Penjara itu sangat jauh letaknya dari kerajaan.
Sri baginda sengaja membangunnya di situ. Sebenar-
nya bukan membangun. Tapi memugar. Sejak sri ba-
ginda belum lahir pun penjara itu sudah ada. Sebuah penjara tempat tawanan kelas
berat. Di mana sekelil-ing penjuru itu dibuat kolam membuat penjara itu seperti
berdiri di tengah-tengah sebuah danau.
Airnya yang bening menampakkan dasarnya
demikian jelas. Terlihat pula tumpukan-tumpukan tulang kerangka yang sudah
berlumut. Ikan-ikan pema-
kan bangkai banyak berseliweran dalam dasar kolam
itu. Jumlahnya jutaan ekor.
Para petugas yang datang ke situ menyeberangi
dengan pintu penjara sepanjang setengah meter yang berfungsi juga sebagai
jembatan. Ikan-ikan buas itu langsung menyembul dari permukaan bila ada prajurit
yang menyeberangi penjara. Jutaan ikan itu nampak
bagai sebuah dataran kecil yang bergelombang. Sungguh mengerikan!
Sekarang semenjak kematian Adipati Rekayasa,
sri baginda menugaskan Dwipa Kuntar untuk meng-
gantikan kedudukannya. Sri baginda sendiri tidak ta-hu penyebab kematian Adipati
Rekayasa. Yang ia tahu hanyalah sekelompok pemberontak muncul membantai
keluarganya. Dan beliau tidak menolak saat Dwipa Kuntar memilih markas pada
penjara itu. Tanpa sepengetahuan sri baginda pula Dwipa
Kuntar menyelundupkan dua orang tokoh sakti seba-
gai dekingan. Dengan adanya mereka, Dwipa Kuntar
semakin kuat. Namun sejak ia menggantikan kedudu-
kan Adipati Rekayasa, banyak rakyat yang kurang su-ka. Rakyat banyak yang lebih
sengsara dan tertindas.
Apalagi terhadap dua orang tukang pukulnya itu. Mereka menjadi musuh rakyat yang
paling ditakuti. Tindakannya yang kejam tanpa perikemanusiaan mere-
sahkan rakyat. Yang lebih menjemukan lagi, kedua
orang itu kerapkali mencuri anak perawan orang sesu-ka hatinya.
Hari itu Dwipa Kuntar yang kebetulan berada
dalam penjara, kedatangan tiga orang dari Desa Branjangan. Bukan main senangnya
Dwipa Kuntar ketika
melihat ketiga orang itu membawa Riwang ke hada-
pannya. "Bagus...! Bagus...! Kalian pantas mendapat
hadiah dariku, karena meringkus pemberontak kecil
ini ke hadapanku." Dwipa Kuntar tertawa menggelak.
Tiga orang yang berdiri di hadapannya ikut tertawa.
Tapi mereka terus diam saat menatap kedua orang
yang duduk di sebelah Dwipa Kuntar. Bagaimana ti-
dak, tikus pun akan lari melihat keseraman wajah kedua orang itu.
Sejenak kemudian Dwipa Kuntar berjalan men-
gelilingi Riwang yang berdiri lunglai. Wajahnya banyak bekas-bekas luka pukulan
yang telah membiru.
"Pengawal...! Jebloskan dia dalam penjara!" Ti-ba-tiba saja Dwipa Kuntar
berteriak. Maka beberapa orang berpakaian prajurit yang berdiri di balik tembok
berdatangan menyeret tubuh Riwang. Tanpa meronta
Riwang mengikuti empat orang prajurit menelusuri lorong menuju ruang tahanan.
Kasar sekali mereka
mendorong tubuh Riwang, sampai Riwang terjerembab
mencium lantai batu ruang tahanan.
Sementara itu nampak Dwipa Kuntar menepuk-
nepuk punggung salah seorang yang membawa Ri-
wang. "Kalian akan menerima hadiah yang tidak sedikit dariku. Masing-masing
mendapat sekantong uang
emas." Mendengar itu ketiga orang ini menelan ludah-nya sendiri. Mereka begitu
tergiur dengan kepingan-kepingan uang emas yang sebentar lagi menjadi miliknya.
Mereka hanya menatap Dwipa Kuntar yang me-
langkah menuju ke sebuah meja berukir. Di atas meja itu memang sudah tersedia
belasan kantong uang.
Dwipa Kuntar mengambil tiga kantong, lalu meni-
mang-nimang sambil tersenyum ke arah mereka.
"Nah terimalah ini. Kalian boleh membukanya
di sini kalau tidak percaya dengan apa yang kalian terima." kata Dwipa Kuntar
sambil melempar tiga kantong itu. Begitu mereka menerimanya terdengar suara
gemerincingnya uang logam. Seperti terkesima ketiga orang itu pun langsung
membuka kantong itu. Seketika wajah mereka berseri, karena apa yang mereka
lihat. Betul-betul sekantong uang emas.
"Kalau mau pergi sekarang, silahkan. Mum-
pung pintu masih terbuka. Kalian bisa menyebrang
dengan jembatan itu."
"Ka-kami memang harus pergi sekarang, Pan-
glima. Karena urusan kami memang masih banyak."
jawab mereka. "Silahkan... Silahkan." Dwipa Kuntar memberi jalan pada mereka. Ia pun mengantar
ketiga orang itu sampai ke depan pintu yang merebah bagai jembatan
menyebrangi kolam. Setelah melewati beberapa penja-ga pintu mereka bertiga
menyebrangi kolam.
Ikan-ikan pemakan bangkai menyembul me-
lompat-lompat begitu mereka berjalan di atas jembatan. Jumlahnya yang jutaan
membuat permukaan air
kolam benar-benar bagai sebuah daratan yang bergolak. Dwipa Kuntar tersenyum
menatap kepergian keti-ga orang itu. Diam-diam ia menarik tangkai besi yang ada
di samping pintu. Maka ketiga orang ini yang masih menyebrangi jembatan terkejut
setengah mati. Karena tiba-tiba saja jembatan yang mereka pijak berderak,
terangkat ke atas. Dan Dwipa Kuntar tersenyum semakin lebar saat ketiga orang
itu nyemplung ke dalam daratan bergolak.
Mereka hanya menjerit sekejap, manakala ju-
taan ikan pemakan bangkai berlomba mengerubuti tu-
buh mereka yang hilang di kedalaman dasar kolam itu.
Detik itu pula cairan merah mulai mengembang ke
atas bercampur dengan air kolam.
Dua orang bertampang angker itu sudah berdiri
di samping Dwipa Kuntar, saat Dwipa Kuntar tertawa tergelak-gelak. Mereka
kembali masuk setelah jembatan itu menutup bagai pintu penjara...
"Sayang sekali uang-uang emas itu kau buang,
Dwipa Kuntar."
"Tiga kantong uang mas tidak berarti lagi bagi kita sekarang, Sawung Blambang.
Kita masih memiliki puluhan karung uang emas dan masih bisa mengum-pulkan lebih
banyak lagi."
"Rencanamu menggantikan kedudukan Adipati
Rekayasa rupanya sudah kau pikirkan masak-masak,
Dwipa Kuntar. Tidak kusangka otakmu sehebat kan-
cil." jawab seorang lagi yang bernama: Pragola. Keduanya tertawa menggelak
mendengar ucapan Dwipa Kun-
tar. "Kuakui... Semua ini berkat kerja sama kita
yang baik." kata Dwipa Kuntar lagi. Ia berjalan melangkah paling dulu.
"Melihat kau mendadak kaya seperti ini, ra-
sanya aku ingin juga aku menguasai sebuah tanah di wilayah ini." sela Sawung
Blambang. "Betul. Kalau hanya bergelimang uang rasanya
kurang puas." Pragola menimpali.
"Tak lama lagi kita bisa menguasai tanah-tanah lain. Lihat saja nanti. Sementara
sri baginda sibuk mengurusi tahta kerajaan, kita bisa menyusun rencana. Lama-
lama pun kita akan menggeser kedudukan
sri baginda." Dwipa Kuntar merangkul keduanya. Mereka menelusuri lorong yang
menuju ke ruang taha-
nan. Saat itu Riwang mulai bangkit. Ia menatap
ruangan yang cukup besar namun pengap. Dilihatnya
pula seorang kakek berambut putih sebatas dada du-
duk bersila di atas tumpukan jerami. Kening kakek itu berkerut saat Riwang
melangkah mendekat.
"Ada lagi seorang tawanan yang menemaniku di
sini. He-he-he.... Kau masih muda belia. Penjara ini khusus tawanan pemberontak.
Hebat! Semuda ini sudah jadi pemberontak.
Mengingatkan aku pada masa muda ku." Suara
kakek itu rada bergetar.
"Aku bukan pemberontak, Kek. Juga bukan
seorang penjahat. Dwipa Kuntar itu sendiri yang sebenarnya musuh kerajaan, ia
telah memfitnah keluarga-ku sebagai pemberontak." jawab Riwang sambil duduk di
sebelah kakek itu.
"Ssssst... Bicaramu perlahan sedikit. Dwipa
Kuntar banyak memiliki telinga di sini. Aku tidak ber-tanggung jawab bila setan
keparat itu murka. Kau
bakal jadi santapan mahluk-mahluk najis." Riwang tidak mengerti dengan ucapan


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek itu. "Tentunya kau yang bernama Riwang... Aku
sudah mendengar nasib malang seorang Panglima Adi-
pati Rekayasa. Dwipa Kuntar memang berlidah ular.
Pemberontak yang sebenarnya, tidak mampu ditanggu-
langinya." gerutu kakek berambut putih.
"Apakah kakek juga seorang pemberontak?"
"He-he-he-he... Sebelum sri baginda lahir pun aku sudah jadi pemberontak. Sssst
diamlah..." Kakek itu memandang ke depan, Riwang menoleh mengikuti.
Di balik terali besi berdiri Dwipa Kuntar dan dua orang kaki tangannya.
"Kalian boleh sesuka hati mencaci ku. Karena sebentar lagi kalian akan kukirim
ke dasar kolam. Te-rutama kau Riwang. Berhati-hatilah di sini." Dwipa Kuntar
menyeringai seram.
"Kenapa harus dikirim ke dasar kolam?" bisik Riwang. "Sssst..., Diam saja. Kelak
kau bakal tahu." jawab si kakek dengan nada pelan. Mereka masih me-
mandang ke arah terali besi saat ketiga orang itu pergi meninggalkan ruang
tahanan. Mereka mendengar pula
suara Dwipa Kuntar...
"Kuserahkan Riwang pada kalian, karena aku
harus kembali ke Tanah Genang Banyu. Kalau perlu
bunuh saja secepatnya... Aku tidak ingin melihat ketu-runan Adipati Rekayasa
masih berkeliaran."
Setan! Kenapa mereka tidak membunuh ku se-
karang saja" Sekarang pun atau nanti tokh aku tidak bisa melawan" Pikir Riwang.
Kini tiga hari penuh hi-dupnya telah dilalui dalam ruangan pengap. Selama ti-ga
hari itu pula ia tidak diberi makan. Terkadang ia in-
gin mengikuti cara hidup kakek itu, yang selalu memakan binatang kecil apa saja
yang ada di situ. Tapi mana sanggup Riwang mengikutinya. Bagaimana
sanggup" Kakek itu tanpa jijik melahap seekor tikus hidup-hidup, kadang kecoa,
kadang pula cicak. Melihat saja Riwang sudah muntah!
Biarlah Riwang tidak makan serta minum, ken-
datipun ia harus mati kelaparan. Ketika mendengar
suara langkah orang mendekati ruangan itu, Riwang selalu gembira. Karena ia
yakin ada seorang pengawal yang akan menyeretnya untuk melaksanakan hukuman
mati. Itu lebih bagus daripada harus mati tersik-sa.
Seperti siang itu, Riwang langsung berlari ke
arah terali besi, ketika mendengar suara, langkah beberapa orang. Bukan Dwipa
Kuntar juga bukan dua
orang pengikut setianya. Tapi cuma dua orang pen-
gawal. Mereka membawa sesuatu dalam sebuah bung-
kusan daun. Riwang langsung menerima bungkusan itu ke-
tika seorang pengawal menyodorkan bungkusan itu.
Cepat pula ia membuka bungkusan itu. Tidak diperdu-likannya dua pengawal pergi
meninggalkan ruangan.
Isinya sebungkus nasi dengan paha ayam. Riwang
sangat tergiur.
"Makanlah sepuas hatimu, Riwang, karena itu
makananmu yang terakhir." Tiba-tiba saja kakek yang duduk bersila itu mengekeh.
Ia menatap Riwang melahap rakus makanan itu. Sebentar saja bungkusan
daun itu telah bersih. Setelah itu pula Riwang menjilati dinding tembok yang
merembes air. "Ratusan orang sebelumnya mengalami nasib
yang sama sepertimu. Diberi makanan yang enak-
enak, untuk kemudian menjalani hukuman yang pal-
ing buruk. Dibuang ke dasar kolam yang penuh den-
gan jutaan penghuni pemakan bangkai!"
"Apa katamu, Kek?" Riwang berhenti menjilati rembesan air.
"Kataku kau akan dibuang ke dasar kolam. Da-
lam sekejap saja tubuhmu akan di sulap menjadi tu-
lang-tulang kerangka."
Riwang mengernyitkan alis. Kata-kata kakek itu
begitu menakutkan.
"Sekarang kau sudah kenyang, sedikitnya tena-
gamu sudah pulih. Apakah masih juga ingin minta ma-ti lebih cepat?" Kakek itu
seperti mengejek. Padahal maksudnya menyadarkan Riwang dari ketololannya.
"Kau benar, Kek. Setiap orang akan lupa dara-
tan bila sudah merasa kekenyangan. Seperti katamu, aku sudah lupa dengan maut
yang siap menjemput."
Riwang tersandar lesu. Matanya menatap lantai-lantai batu. "Masih ada harapan
untukmu. Aku bisa mengeluarkan kau dari sini. Itu bila kau mau." jawab kakek
itu. "Yang kau ucapkan itu tidak bisa menghibur
diriku, Kek... Bagaimana bisa mengeluarkan aku dari sini, sedangkan kau sendiri
tetap terkurung. Kedua kakimu sudah lumpuh, apa yang bisa kau lakukan
terhadap kedua orang pengikut Dwipa Kuntar yang
hebat-hebat itu"
Kakek berambut putih tetap duduk bersila, se-
nyumnya melebar.
* * * 6 "Aku memang lemah tak berdaya, usiaku pun
hampir mencapai seratus tahun. Seusia mu dulu aku
memang pemberontak terhadap kerajaan. Sudah ba-
nyak yang telah aku lakukan. Dan aku menyadari, tidak ada pemberontak kalau
tidak ada kezaliman. Sri baginda yang sekarang tidak zalim. Beliau tokoh ma-
syarakat yang paling disukai rakyat. Cuma sayang sejak kemunculan Dwipa Kuntar,
nama sri baginda jadi tercoreng." Kakek itu mengangkat kesepuluh jarinya,
menunjukkan kuku-kuku yang runcing bagai mata pi-sau. Riwang menatap ngeri.
"Bagiku sudah tidak ada harapan lagi, sanak
saudara juga semua rekan-rekanku yang berjumlah
ratusan orang telah tewas dalam dasar kolam maut.
Tidak ada pilihan lain selain menetap seumur hidup di sini." Tiba-tiba saja
kesepuluh jari kakek itu mengarah ke bawah, di luar dugaan pula ia menusukkan
pada kulit pahanya. Bahkan meremas-remas sampai daging
keriput di pahanya terkoyak dan mengeluarkan darah.
Melihat itu Riwang langsung mencegah Namun
kakek itu berontak menyingkirkan Riwang. Pemuda itu menatap semakin ngeri.
Sepertinya ada sesuatu yang akan dikeluarkan dari daging pahanya. Ternyata
dugaan Riwang tidak meleset.
Setelah mengejang-ngejang kelojotan, kakek be-
rambut putih mengeluarkan sesuatu dari dalam daging pahanya yang bergetar hebat.
Sebuah lempengan batu bercampur darah. Setelah dibersihkan dengan ujung
rambutnya, kakek itu menyerahkan pada Riwang.
"Kala Suta" Riwang membaca tulisan dalam lempengan batu. Saat itu pula kakek
berambut putih berdiri dari tempatnya.
"Kau harus pergi dari sini, Riwang. Kita bukan pemberontak yang pantas dihukum
mati. Pergilah! Dan simpanlah batu nama ku jangan sampai hilang. Suatu saat kau
pasti membutuhkannya." Setelah berkata be-
gitu, kakek berambut putih menyingkirkan tumpukan
jerami. Tidak ada apa-apa selain batu-batu lantai yang tersusun rapi meskipun
sudah agak berlumut.
"Ke marilah, Riwang, bantu aku..." Kakek itu nampak menarik-narik salah satu
batu lantai. Riwang jadi penasaran, setelah memasukkan batu bertuliskan
'Kala Suta' ke dalam balik bajunya, ia membantu mengangkat batu lantai.
Maka terlihatlah sebuah lubang yang cukup
besar menuju ke bawah. Cukup gelap dan pengap. Ri-
wang sendiri terkejut saat kakek itu mendorongnya ke bawah. "Keluarlah dari
situ. Terowongan ini di gali hampir tiga puluh tahun lebih. Belum ada orang yang
mencobanya lari dari sini. Cepat pergi! Hanya ini satu-satunya jalan keluar."
Kakek itu tidak memperdulikan Riwang yang masih menatapnya keheranan. Dia cepat
menutup kembali lantai itu dan menutupinya dengan
tumpukan-tumpukan jerami sebagaimana asal mu-
lanya. Tinggallah kakek berambut putih sendirian dalam ruang tahanan itu. Ia
melangkah terhuyung-
huyung. Mulutnya terus mengerung menahan sakit. Ia menatap kesepuluh jarinya
bergetar bersimbah darah.
Di luar dugaan pula kesepuluh jari yang berku-
ku runcing itu bergerak cepat menyambar tenggoro-
kannya sendiri. Secepat itu pula darah menyembur
bagai air mancur. Dengan tenaga yang masih tersisa ia menarik putus urat
pernafasannya. Maka lantai ruangan itu banjir dengan darah saat kakek berambut
putih kelojotan menjelang ajal.
Terowongan yang dilalui Riwang cukup pan-
jang. Selain gelap dan pengap, bau busuk pun menyebar memuakkan. Riwang
menelusurinya dengan me-
rayap bagai binatang melata. Manakala air mengge-
nang separuh tubuhnya. Binatang berbisa memang
banyak berkeliaran di sekitar lubang itu. Tapi nasib mujur rupanya tengah
melindungi Riwang. Dalam keadaan gelap seperti itu mana mungkin Riwang bisa
melihat situasi sekitarnya. Terhadap bau busuk saja ia sudah tidak tahan. Ingin
rasanya ia cepat-cepat keluar dari terowongan itu.
Maka setelah melihat setitik sinar, Riwang
mempercepat menyeret tubuhnya. Udara segar mulai
tercium. Sinar terang semakin nampak. Dan ternyata pula di situ batas
terowongan. Rumput alang-alang
menutupi mulut terowongan itu. Riwang cepat menyi-
bak. Maka terlihatlah pemandangan yang amat menye-
jukkan. Hamparan tanah berumput serta pepohonan
yang merimbun. Berkali-kali Riwang menghirup udara segar. Sebuah kali terlihat
pula memanjang menembus lembah yang nampak hijau berkabut.
Setelah keluar dari mulut terowongan itu, ia
baru sadar kalau pakaiannya telah kotor tidak karuan.
Maka langkahnya terus menuju ke pinggir kali. Di situ ia langsung mencuci tubuh
serta pakaiannya yang penuh lumpur. Mulai terasa kesegaran tubuhnya. Ia pun
meminum sepuasnya.
Menyadari baru melarikan diri, Riwang cepat-
cepat meninggalkan kali itu. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar ringkikan
seekor kuda. Dengan was-was ia menyelinap ke balik semak. Mengintai ke arah
suara ringkik kuda itu. Ternyata bukan orang yang
mengejar seperti prasangkanya. Kuda itu nampak tertambat pada sebatang pohon.
Dengan mengendap-endap Riwang melangkah
mendekati. Tidak ada siapa pun di situ kecuali seekor kuda. Pada tali kekang
yang tertambat itu menggan-tung sebuah baju dari kulit binatang. Tanpa pikir
pan- jang lagi Riwang menukar pakaiannya dengan kulit binatang itu.
Setelah melepaskan pakaian kotornya Riwang
naik ke punggung kuda. Saat itu pula ia langsung
menghela kuat-kuat. Maka kuda itu berlari cepat. Riwang nampak seperti seorang
pendekar menunggangi
kuda dengan mengenakan pakaian bulu binatang. He-
laan-helaannya makin jauh terdengar.
Mendengar ringkikan kuda, anak muda yang
tengah merendam dalam air kali langsung berjingkat.
Sekali lompat saja anak muda itu sudah berdiri pada tanah tepian kali.
Ditatapnya seekor kuda lari menjauh dengan seorang penunggangnya. Anak muda itu
mendadak melotot.
"Gila...! Kuda serta pakaianku amblas di gondol maling." gerutunya dalam hati.
Lalu ia berusaha mengejar... "Hooooy...! Kembalikan kuda dan pakaianku...!"
teriak pemuda itu sambil mengibar-ngibarkan pakaian kotor milik Riwang. Riwang
yang telah melarikan kudanya melaju terus tanpa mendengar teriakan dari
arah belakangnya.
"Brengsek! Bagaimana pun aku harus menda-
patkan kembali pakaianku. Maling keparat itu harus tahu dengan siapa ia
berhadapan." Kecepatan larinya memang sangat luar biasa. Hanya dengan beberapa
hentakan kaki saja tubuh anak muda itu melesat jauh.
Ada pun pemuda itu seorang tokoh persilatan yang
pantang dikenal orang. Namun dirinya sebenarnya
seorang pendekar yang maha sakti. Siapa lagi pemuda yang selalu mengenakan
pakaian bulu binatang, selain Pendekar Kelana Sakti" Selain Wintara...
* * * Menjelang gelap Riwang menghentikan kudanya
tepat di depan sebuah bangunan yang hampir runtuh.
Bangunan itu nampak amat menyeramkan. Alang-
alang yang tumbuh di sana sini nampak pula tak teru-rus.
Riwang menambatkan kudanya di depan ban-
gunan itu. Dia sendiri tanpa ragu-ragu melangkah ke hadapan pintu yang tertutup
rapat. Dia bermaksud
mengetuk. Tapi baru beberapa ketukan, pintu itu berderak ambruk ke belakang.
Rupanya pintu itu memang telah rusak, dan Riwang berpendapat bangunan tua ini
sudah tidak berpenghuni.
Untuk itulah ia lebih berani masuk ke dalam.
Di dalamnya masih utuh segala perabotan meski da-
lam keadaan porak poranda. Di mana-mana terdapat
sarang laba-laba. Membuat Riwang semakin merind-
ing. Namun ia tetap melangkah jauh ke dalam.
Mendadak saja ia hampir memekik saat ia me-
masuki ruangan lain. Karena yang dilihatnya pada
ruangan itu lima buah peti mati tanpa tutup. Kelima mayat utuh terbujur seperti
tidur. Riwang berjingkat mundur. Ia memilih ruangan lain di sebelah kamar
mati itu. Pada ruangan yang tak berpintu itu Riwang su-
dah dapat melihat keadaan di dalam sana dari luar.
Sebuah tempat tidur dengan peralatan lain yang nampak bersih teratur. Setelah
melepaskan senyumnya, ia melangkah masuk. Tubuhnya terasa lelah karena setengah
harian mengendarai kuda. Belum pernah ia
melakukannya sebelumnya. Maka direbahkan tubuh-
nya di atas tempat tidur. Kedua matanya mulai terpe-jam. Tiba-tiba...
"Maling busuk! Aku sudah mendapatkan kuda-
ku. Sekarang kembalikan pakaianku...! Kalau tidak...!"
Terdengar suara teriakan dari luar.
Riwang tersentak bangun. Ia baru menyadari
kalau tadi siang baru saja mencuri seekor kuda dan menukar pakaiannya dengan
pakaian yang dikenakannya sekarang. Dia tidak berani menjawab. Seluruh tubuhnya
gemetar. "Rupanya kau memaksaku menyeret keluar"
Baik...." Terdengar lagi suara teriakan. Begitu juga dengan suara langkah kaki
yang mulai memasuki
ruangan. "Tunggu....! Aku menyerah. Kau boleh ambil
kudamu kembali, juga pakaian ini... Harap kau mau
mengampuni, bukan maksudku mencuri semua mi-
likmu... Aku terpaksa." Riwang berdiri di tengah-tengah pintu kamar. Baju bulu
binatang sudah dile-
paskannya. "Semua maling akan mengaku terpaksa bila
tertangkap." Wintara melangkah mendekat, dia pun membuka pakaiannya.
"Percayalah padaku, Sobat. Aku betul-betul tidak bermaksud mencuri. Aku pun
tidak tahu kalau
semua ini milikmu. Aku sengaja menggunakannya un-
tuk mengelabui anak buah Dwipa Kuntar." Riwang mencoba menjelaskannya.
"Siapa pun yang kau sebut-sebut itu, bukan
urusanku." kata Wintara sambil menarik baju bulu binatang dari genggaman Riwang.
Sebaliknya Wintara
hanya melemparkan pakaian Riwang ke arah muka.
Riwang gelagapan menerimanya.
"Terhadapmu aku masih memberi hati. Entah
kenapa mendadak kasihan setelah melihat kau tanpa


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenakan baju. Melihat dari raut wajahmu, kau bukan seperti golongan pencuri."
Wintara bersikap ra-mah. "Kalau kau bukan anak buah Dwipa Kuntar,
aku bersyukur sekali. Aku bisa bersembunyi di sini untuk sementara. Terus terang
aku baru saja lari dari perangkapnya." jawab Riwang.
"Ah! Aku tidak mau tahu urusanmu. Gara-gara
kau pun, aku terpaksa bermalam di sini." Wintara masih keki.
"Tidak ada salahnya kalau kita berdua berma-
lam di sini, Sobat. Kamar ini cukup bersih dan tempat tidurnya cukup besar. Atau
kau boleh tidur di sana aku di lantai." Riwang menunjuk ke arah tempat tidur.
Wintara tidak menjawab, ia melangkah memasuki ka-
mar itu yang cukup terang oleh sinar bulan yang masuk dari jendela kayu.
Namun langkah-langkah Wintara jadi terhenti
ketika terdengar suara berderak-derak. Terlebih-lebih Riwang yang masih menatap
ke ruangan itu. Matanya
langsung tertuju pada suara derak. Yang berasal dari kelima peti mati itu.
Kedua bola mata Riwang hampir lompat dari
rongganya saat melihat lima pasang lengan mulai bergerak-gerak ke luar dari peti
mati. Wintara sendiri hampir tidak percaya melihatnya. Apalagi ketika kelima
mayat itu bangkit menunjukkan raut wajah yang
begitu dingin kebiruan.
"Ma-ma-mayat hiduuup!" Riwang seperti berteriak tapi suaranya terdengar
perlahan. Wintara yang dalam keadaan tercengang itu sempat menarik tubuh
Riwang menerobos jendela kayu saat kelima mayat itu melesat beterbangan menjurus
ke arah mereka.
* * * 7 Kayu-kayu jendela berderak menghambur ke
luar. Bersamaan dengan itu pun tubuh Wintara terus menerobos ke luar menyeret
Riwang. Keduanya jatuh
bergulingan di tanah.
Kelima mayat itu menyusul satu persatu beter-
bangan. Dan tahu-tahu saja sudah berdiri berderet di hadapan mereka. Wajah
mereka yang nampak amat
menyeramkan menyeringai. Wintara cepat bangkit. Riwang langsung berlari ke
belakang Wintara.
Dua dari kelima mayat itu bersenjatakan selen-
dang, sedang yang tiga lagi dengan tenang menarik
ikat pinggangnya. Maka dalam sekejap ikat pinggang itu berubah menjadi tiga
bilah pedang. Saat itu pula kelimanya serempak menyerang.
Dua utas selendang menyambar, suaranya
membledar saat Wintara menghindari sambil men-
gangkat tubuh Riwang ke atas. Namun tiga lawannya
yang bersenjatakan pedang beterbangan menjurus ta-
jam. Wintara yang selalu awas dapat melihat gerakan mereka. Maka saat tubuh
Wintara berjumpalitan di
udara, sempat ia melepaskan tendangan ke arah me-
reka. "Plaaaak...!"
Tiga lawannya sekaligus berjatuhan ke tanah.
Melihat orang yang mereka serang begitu hebat
menjatuhkan tiga orang sekaligus. Dua orang bersenjatakan selendang menarik se
suatu dari wajah mere-ka. Ternyata wajah seram mereka cuma sebuah to-
peng. Begitu terpana pula Wintara menatap dua orang perempuan cantik.
"Buka kedok kalian semua! Kita tidak perlu
menakut-nakuti dengan cara ini. Dan juga jangan
membuang-buang waktu. Habiskan mereka berdua se-
cepatnya!" bentak salah seorang perempuan cantik itu.
Maka ketiga orang yang tadi jatuh bergulingan,
segera membuka topeng-topeng mereka. Nampaklah ti-
ga orang laki-laki gagah.
"Serang!" Selendang itu menyambar lagi. Wintara cuma bergeser ke kiri. Sambaran
selembar selen-
dang memang luput, tapi bagi Riwang yang buta ter-
hadap, ilmu silat tidak bisa berbuat banyak. Dia sendiri terkejut saat dua
selendang itu melilit di tubuhnya.
Wintara melesat menendangi selendang-
selendang itu, namun tiga orang bersenjata pedang datang menghalangi. Babatan-
babatan pedang begitu cepat menyambar. Untunglah Wintara cepat menarik
mundur dirinya.
Saat itu pula kedua wanita menarik selendang-
nya kuat-kuat. Tubuh Riwang sampai mencelat ke
atas. Di luar dugaan salah seorang dari perempuan itu melepaskan tendangan
Golok Bulan Sabit 14 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kisah Tiga Kerajaan 27
^