Pencarian

Dendam Dalam Darah 2

Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah Bagian 2


mungkin dapat ke luar dari sana hidup-hidup. Bahkan banyak diantara mereka yang
terperangkap, tewas
atau kemudian dihidupkan kembali menjadi
hantu, atau mayat-mayat bergentayangan. Tidak
masuk di akal kalau pemuda berpakaian gembel
ini bisa lolos dari perangkap-perangkap yang tidak sedikit yang sengaja dipasang
di setiap sudut Kota Hantu. Kalau pun memang benar apa yang dikatakan oleh
pemuda berperiuk ini, Candra Kila dapat menarik kesimpulan pastilah pemuda
berpakaian merah ini memiliki ilmu kepandaian yang sangat luar biasa sekali. Dalam keragu-
raguannya itu, secara tiba-tiba Candra Kila membentak: "Bocah! Tidak salahkah
apa yang kudengar ini" Setahuku
belum pernah seorang manusia pun yang mampu
membebaskan diri dari maut, apabila pernah me-
masuki Kota Hantu. Dan kau mengaku pernah
memasuki kota itu, bahkan kini telah pula berada di gua milikku. Kalaulah kau
bukan manusia setengah dewa, pastilah kau keturunan para siluman...!"
"Aha... ha... ha...! Kuakui Kota Hantu dihuni oleh mayat-mayat tanpa nyawa, para
iblis bergentayangan di sana. Bahkan tidak ku pung-
kiri, kalau mereka tak mempan dengan segala
jenis pukulan yang kumiliki. Namun bagaimana
pun hebatnya ilmu setan yang dipergunakan un-
tuk membangkitkan mereka dari sebuah kematian.
Tetapi, kebenaran melebihi segala-galanya...!" kata Buang Sengketa sambil
tertawa-tawa. "Bangsat! Tutup mulutmu, Kisanak! Pembi-
caraanku dengan orang yang berhajat untuk me-
miliki aku belum selesai...!" bentak Lukita Sari, nampak mulai memasang
taktiknya. "Candra Kila!
Apakah kau masih berminat meneruskan pembi-
caraan kita atau tidak" Kalau kau sudah tidak tertarik untuk beristrikan aku,
maka kupikir pembicaraan tak perlu ada lagi...!" ancam gadis bertopi caping
berpura-pura marah.
"Kunyuk gembel! Gara-gara mulutmu yang
terlalu jumawa, aku hampir kehilangan kesem-
patan untuk memperistri gadis secantik dia, ku-peringatkan padamu untuk
sementara tutup mu-
lutmu, aku ingin membicarakan persoalan ka-
mi...!" tukas Candra Kila, kemudian kembali berpaling pada Lukita Sari.
Buang Sengketa menjadi panas hatinya de-
mi mendengar kata-kata Candra Kila yang secara terus menerus menyebutnya sebagai
seorang kunyuk gembel. Tapi demi menghargai Lukita Sari
yang sedang menjalankan suatu muslihat, maka
Buang Sengketa hanya diam saja.
"Cepatlah jawab apa yang kutanyakan ta-
di...!" desak gadis bertopi caping itu nampak sudah tak sabaran lagi.
"Baiklah...! Seingatku, tadi kau bertanya
tentang bintang bersegi empat itu bukan" Hhh...!"
Candra Kila menarik nafasnya dalam-dalam. "Du-lu... aku memiliki tidak lebih
tiga puluh orang murid yang ku didik sebagai algojo-algojo bayaran.
Tawaran apapun yang diberikan oleh orang-orang segolongan dengan bayaran yang
tinggi tak pernah kutolak, baik itu melakukan perampokan, pembunuhan-pembunuhan
sadis atau pun melakukan
penculikan-penculikan. Tak pernah satu usaha
pun yang pernah gagal."
"Lalu setiap kalian melakukan satu perbuatan yang tidak terpuji itu, kemudian
satu tanda kalian tinggalkan...?" tanya Lukita Sari dengan ha-ti berdebar.
"Ya... tapi tidak selamanya...!"
"Dan sepanjang hidupmu, anggota kalian
terus melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti
itu...?" pancing Lukita Sari lebih jauh.
"Tidak! Setelah satu pekerjaan yang mem-
buat malapetaka bagi kami semua, Sejak saat itu, bukan saja kami tak mampu
bergerak bebas, tapi juga telah membuat semua anak buahku terbantai di Kota
Hantu. Durga Wungu... manusia keparat
itulah yang telah menghancurkan kami, hingga
kami tak memiliki kekuatan apa-apa...!"
"Kau kalah bertarung dengan mereka...?"
pancing Lukita Sari lebih jauh.
"Ya... segala-galanya kami kalah. Hehh...
kalau saja dulu kami tidak melakukan satu ke-
salahan yang begitu fatal. Tidak nantinya aku
menjadi bungkuk seperti ini. Mataku tidak akan picak seperti yang sekarang yang
kau lihat...!" de-
sah laki-laki setengah baya ini seperti menye-
salkan diri sendiri.
"Kesalahan apa...?" tanya Lukita Sari. Sementara Buang Sengketa yang turut
mendengar pembicaraan mereka hanya mampu garuk-garuk
rambutnya yang tak gatal.
"Hhh. Durga Wungu itu sesungguhnya ma-
nusia picik yang selalu dibayang-bayangi ketakutan akibat keserakahannya
sendiri. Sebenarnya
dialah manusia yang paling terkutuk dan paling keji yang pernah kujumpai di
kolong langit ini..."!"
umpatnya sudah tak mampu menahan kegusa-
rannya. Tetapi Lukita Sari merupakan seorang gadis cerdik yang tak mudah
terpengaruh dan ter-
bawa oleh arus perasaan orang lain.
"Kau mengatakan Durga Wungu merupakan
orang paling keji dan terkutuk! Apakah kau tidak menyadari bahwa pekerjaanmu
sendiri telah menyimpang jauh, apakah itu tidak merupakan
pekerjaan sesat...?" ejek si gadis bertopi caping dengan sesungging senyum
kemenangan. "Hmmm! Kutahu pekerjaan yang kami la-
kukan bukanlah pekerjaan yang mulia, tapi ben-
tuk apapun hasil rampokan yang kami peroleh,
semua itu kami sumbangkan pada mereka yang
membutuhkannya...!" sahut Candra Kila. Kemudian beberapa saat lamanya matanya
yang hanya tinggal sebelah itu memandang ke langit-
langit gua. Seperti ada sesuatu yang coba dia ingat dan ingin dikatakannya pada
Lukita Sari, yang secara mendadak menarik perhatian hati-nya.
"Lain lagi halnya dengan Durga Wungu!"
Candra Kila menyambung. "Saat itu laki-laki keparat itu memerintahkan kami untuk
menghadang perjalanan seorang pedagang yang tidak begitu
kaya dengan imbalan yang tidak memadai pula.
Karena mengingat nama besarnya maka pekerjaan
itu kami terima, sayang dalam pelaksanaan tugas-tugas itu orang-orangku membunuh
korbannya. Sehingga Durga Wungu marah besar, bahkan
orang itu membunuh seluruh anak buahku. Mu-
lanya aku tak tahu sebabnya mengapa Durga
Wungu melakukan tindakan yang begitu kejam.
Tapi setelah kuselidiki, barulah aku tahu bahwa orang yang telah dibunuh oleh
murid-muridku itu ternyata masih merupakan orang tuanya Durga
Wungu...!"
"Tindakan yang sangat keji...!" desis Buang Sengketa dengan wajah memerah.
Sementara Lukita Sari sendiri, sungguhpun kemarahannya telah meluap-luap tapi
dia berusaha untuk tetap mena-hannya. Bahkan dia pun bertanya: "Mengapa Durga
Wungu begitu tega menyuruh kalian untuk
menghadang orang tuanya yang sedang melaku-
kan perjalanan...?"
"Keserakahan, hanya itulah jawaban yang
paling tepat...! Durga Wungu mempunyai seorang adik tiri yang bernama, Sangra
Wulan. Mungkin dia berniat mengangkangi semua peninggalan yang ada. Terbukti tak lama setelah
orang tuanya meninggal, adik tirinya yang bernama Sangra Wulan itu pun diusirnya
mentah-mentah. Beberapa tahun kemudian berita mengenai Sangra Wulan len-
yap begitu saja, dan ketika dia muncul kembali
dengan ilmu sihirnya yang menggemparkan itu.
Semua golongan menjadi musuh besarnya. Dia
pun akhirnya menemui Durga Wungu, tapi kesak-
tian yang dimilikinya masih kalah tinggi. Dia kalah dalam satu pertarungan yang
seru, bahkan perempuan itu harus kehilangan sebelah kakinya...!
Ah... sungguh aku telah terjebak oleh tipu muslihat penguasa Kota Hantu...!"
geram Candra Kila.
"Keparaaat...!" maki Lukita Sari, setindak demi setindak gadis bertopi caping
ini melangkah undur.
"Ee... ada apakah dengan kau, calon is-
triku...?" tanya Candra Kila diliputi ketidak mengertian.
"Calon istri..." Siapa yang sudi menjadi istri gembong pembunuh orang tua
gurunya sendiri...
heh... aku bukanlah seorang murid yang tak tahu membalas guna, seandainya aku
bersedia menjadi istri manusia bungkuk sepertimu..."!" bentak Lukita Sari marah.
"Gurumu! Eee... bicaramu membingungkan.
Apakah engkau bermaksud mengingkari janjimu
sendiri...?" tanya Candra Kila dengan sebelah biji mata membelalak karena tak
percaya. "Hi... hi... hi...! Siapa yang sudi berjanji dengan manusia sesat sepertimu"
Jangankan aku... iblis sekali pun tak mungkin mau berjanji denganmu...!"
"Bangsat! Perempuan pengecut. Heh... ja-
ngan kira kau dapat lolos dari tanganku bocah
cantik...!" bentak si laki-laki bungkuk mata picak dalam kegusarannya. Dalam
situasi menegangkan
seperti itu, tiba-tiba Candra Kila menoleh ke samping, namun dia tidak melihat
adanya Buang Sengketa di tempat itu. Lalu sesungging senyum licik pun menghiasi
bibir Candra Kila.
"Kawanmu pemuda gembel itu sudah merat
secara diam-diam! Kini hanya tinggal kau seorang.
He... he... he...! Hanya kita berdua sekarang, kau pasti tak akan lolos dari
tanganku, percayalah....!"
"Oho... jangan terlalu yakin dengan kemampuan yang kau miliki manusia bungkuk.
Kau, Durga Wungu si biang kerok dan orang-orangnya
pasti akan kubasmi sampai ke akar-akarnya...!"
geram Lukita Sari.
"Bicaramu terlalu jumawa. Berhadapan
dengan aku saja kau belum tentu bisa ungkulan.
Apalagi berhadapan dengan Durga Wungu dan
orang-orangnya...!" ejek Candra Kila.
"Tutup mulutmu! Majulah kalau memang
benar merupakan orang yang pernah membunuh
orang tua Sangra Wulan. Nah, sekarang maju-
lah...!" "Kurang ajar...! Kau benar-benar membuat
kesabaranku habis...!"
"Haiiiit...!"
Dengan gerakan yang sangat gesit, laki-laki
bungkuk itu menerkam Lukita Sari, tapi dengan
gerakan yang sangat gesit, gadis bertopi caping itu berkelit menghindar.
"Hemmm. Kiranya kau memiliki kebolehan
juga, Bocah...!" geram Candra Kila, tak ayal lagi la-ki-laki bungkuk itu pun
membangun serangan-
serangan susulan. Tapi pada saat pukulan-
pukulan yang dilepaskan oleh Candra Kila datang menggeledek, pada saat itu
Lukita Sari telah pula merapal mantra-mantra ilmu sihirnya.
"Orang jelek, lihatlah... di depanmu begitu banyak binatang berbisa yang datang
menyerang...!" Teriak Lukita Sari begitu berpengaruh.
Kenyataannya apa yang dilihat oleh Candra Kila memang pada saat itu di depannya
entah dari ma-na datangnya telah dipenuhi oleh ratusan ekor binatang berbisa
yang menebarkan bau amis menji-
jikkan. 7 Anehnya seperti apa yang dikatakan oleh
Lukita Sari, binatang melata yang terdiri dari berbagai jenis itu langsung
menyerang Candra Kila.
Namun tokoh yang satu ini bukanlah merupakan
seorang tokoh yang baru dalam dunia persilatan.
Dengan mengandalkan pukulan Segara Geni, laki-
laki bertubuh bungkuk ini hantamkan kedua tan-
gannya ke depan. Secara praktis suasana di sekitarnya menjadi panas luar biasa.
Api dengan cepat menyambar dari tangan Candra Kila yang menyala bagai bara,
bahkan dengan cara berjumpalitan
tangan Candra Kila kembali dia pukulkan ke de-
pan. Ular-ular berbisa yang tadinya datang menge-royok laki-laki mata picak ini
sebagian besar diantaranya musnah terbakar.
"Hak... ha... ha...! Keluarkanlah seluruh kepandaian yang kau miliki...!" Dengus
Candra Kila sambil terus keluarkan tawa tergelak-gelak.
"Janganlah terlalu berpuas diri...!" sengat Lukita Sari. Lalu melangkah undur
tiga tindak. Selanjutnya gadis bertopi caping ini rangkapkan kedua tangannya ke
depan dada. Begitu mulutnya
berkemik-kemik, maka seketika itu juga angin
yang sangat kencang menderu, masih di dalam
gua itu hujan yang sangat lebat pun terjadi. Candra Kila tak mau mengalah begitu
saja, laki-laki ini angkat tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya sesaat saja telah
tergetar hebat. Sementara tubuh dan pakaiannya telah basah oleh keringat. Api
yang diciptakan oleh Candra Kila sekejap berkobar-kobar, namun di lain saat
meredup bahkan kehilangan
cahayanya. Tetapi hujan yang diciptakan oleh Lukita Sari semakin lama semakin
bertambah deras.
Secara perlahan namun cukup pasti tubuh Lukita Sari mulai basah oleh air hujan
dan keringatnya sendiri. Tapi sampai sejauh itu dia masih belum mampu memunahkan
api yang diciptakan Candra
Kila. "Mengembarlah tubuhku...!" gumam si gadis bertopi caping.
"Jlek... Jlek...!"
Dengan tiada terduga-duga oleh lawannya,
kini tubuh Lukita Sari telah mengembar tiga. Bahkan kembarannya dengan tangan
menyilang di de-
pan dada berusaha membantu Lukita Sari yang
asli dalam menciptakan hujan seperti yang dike-hendakinya.
Dengan kehadiran dua kembaran Lukita
Sari yang palsu, maka hasil apa yang diingin-
kannya juga sangat mengejutkan. Hujan yang ter-
curah semakin bertambah deras. Api yang diciptakan oleh Candra Kila semakin lama
semakin mer- edup. Tetapi Candra Kila bukanlah tokoh yang
mudah putus asa. Dia lipat gandakan tenaga sakti yang dimilikinya, kemudian dua
pukulan beruntun dilepaskannya mengarah tubuh kembar Lukita Sa-ri.
"Yeaaahh.... Bleeem...!"
Satu dentuman keras terdengar saat mana,
pukulan yang dilepaskan oleh Candra Kila tepat menghantam sasarannya. Tubuh


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lukita Sari terlempar tiga tombak ke belakang. Tidak sampai dis-itu saja, bagian
kepala gadis bertopi caping itu menghantam dinding gua yang kerasnya melebihi
baja. Tak ayal lagi dalam pandangan Candra Kila, darah muncrat dari batok kepala
si gadis yang rengkah. Laki-laki bungkuk, muka pucat mata picak tergelak-gelak. Kemudian
dengan begitu ang-kuhnya dia pun berucap: "Menghadapi aku saja kau telah mampus
hanya dalam beberapa gebra-kan. Jangankan kau bermimpi dapat berhadapan
dengan si keparat Durga Wungu...!" Belum juga hilang gema ucapan Candra Kila
memenuhi seantero dinding gua, dari bagian belakang laki-laki bungkuk itu,
meledak pula suara tawa Lukita Sari.
"Hiii... hi... hi...! Candra Kila manusia la-mur! Kau kira aku begitu mudahnya
dapat kau kalahkan" Coba kau lihatlah betul-betulkah aku sudah mati...!"
geramnya dengan suara tergetar. Dalam kesempatan itu.
"Deees...!"
"Gubraaaak...!"
Mendapat pukulan curi yang tiada disang-
ka-sangka itu, membuat tubuh Candra Kila ter-
banting ke depan. Hampir seluruh wajahnya men-
cium ke tanah. Namun sungguh pun bagian pung-
gungnya yang kena dipukul oleh lawan se-rasa
remuk. Tapi laki-laki berbadan bungkuk ini cepat bangkit kembali. Lebih cepat
lagi matanya memandang ke arah tubuh Lukita Sari yang tadinya tewas di pinggiran
dinding gua. Tetapi apa" Dia hanya melihat sebongkah batu berbentuk tubuh
manusia teronggok di sana. Sumpah serapah ber-
hamburan dari mulut Candra Kila.
"Jahanam! Kau memiliki ilmu siluman ki-
ranya...!" maki Candra Kila. Serta merta laki-laki mata picak ini berbalik
langkah, sekali lagi dihan-tamkannya kedua tangannya ke depan. 'Pukulan
Segoro Geni' tingkat satu terlepas. Tapi ketika pukulan yang menimbulkan kobaran
api ini sedang meluruk ke arah lawannya! Tiada terduga-duga,
Lukita Sari telah menciptakan seekor ular naga yang begitu besar. Ular naga
bermata merah menyala ini julur-julurkan lidahnya, sementara mulutnya ternganga
lebar-lebar. Anehnya begitu mulut naga hasil ciptaan Lukita Sari keluarkan bunyi
mencicit-cicit bagai seekor tikus kejepit pintu. Pukulan Candra Kila langsung
tersedot memasuki
mulut naga ciptaan si gadis bertopi caping. Bara api yang begitu panas lenyap
tanpa bekas. Kalau saja Candra Kila tidak cepat-cepat buang tubuhnya ke samping.
Sudah barang tentu, tubuh laki-laki bungkuk itu terbetot dan melayang, masuk ke
dalam mulut naga itu.
"Hoooss...!"
Naga berwarna merah itu menghembuskan
nafas. Bersamaan dengan hembusan nafas itu
menyembur pula lidah api yang memiliki hawa panas berlipat ganda. Lidah api yang
tersembur dari mulut naga itu nampak berusaha menggulung tubuh Candra Kila.
"Hhhhaaaa...!"
Begitu beraneka ragam pukulan yang di-
miliki oleh Candra Kila, begitu lidah api yang dis-emburkan oleh naga merah
mengancam ke- selamatannya. Maka dia pun melindungi dirinya
dengan ajian Inti Es. Tak terbayangkan betapa
dinginnya tubuh Candra Kila saat mana dia selesai merapal ajian itu. Bahkan
Lukita Sari sempat merasakan pengaruh ajian yang dikerahkan oleh lawannya. Tubuh
gadis ini menggigil, gigi-giginya bergemeletukan. Bahkan tubuhnya pun terasa ka-
ku sulit untuk digerakkan. Namun setelah mengerahkan sebagian tenaga dalamnya.
Maka hawa dingin luar biasa itu sirna seketika. Selanjutnya gadis bertopi caping ini pun
berusaha mengerahkan kemampuan yang dimiliki oleh naga merah
hasil ciptaannya. Lidah api terus menggulung tubuh Candra Kila, sejauh itu tubuh
yang sudah terbungkus api lawannya tidak juga hangus ter-
bakar. Bahkan selembar rambutnya pun tidak berkurang sedikit pun.
"Gila! Pertahanan yang dimiliki oleh laki-laki bungkuk itu begitu hebat. Aku
harus me-robah si-asat."
"Plaaaas...!"
Naga hasil ciptaan Lukita Sari lenyap secara
tiba-tiba. Sebagai gantinya gadis bertopi caping itu menciptakan hujan es. Tubuh
Candra Kila yang
sudah begitu dingin bahkan hampir membeku itu
nampak tiada berkutik. Mula-mula dia tak men-
yadari akan adanya ancaman bahaya seperti itu.
Namun ketika laki-laki bungkuk ini merasakan
udara di sekitar gua itu menjadi semakin bertambah dingin luar biasa, sedangkan
dia merasa tidak melipat gandakan tenaganya, maka sadarlah Candra Kila bahwa
semua itu merupakan ulah lawan
untuk membuat dirinya lumpuh tak berdaya.
"Heeuuup...!" Candra Kila menarik balik Ajian Inti Es yang telah dikerahkannya.
Maka secara perlahan tubuhnya yang berobah dingin itu kembali ke dalam keadaan
normal. Kini yang tinggal hanyalah pengaruh hawa dingin yang dikerahkan oleh
Lukita Sari. Namun begitu laki-laki bungkuk ini mengerahkan sebagian tenaga
dalamnya, maka len-
yaplah pengaruh pukulan lawan. Dengan wajah
semakin bertambah pucat dipandanginya Lukita
Sari dalam-dalam.
"Kau memiliki ilmu siluman. Jangan kau ki-ra manusia Gua Bintang tak mampu
melaku- kannya...!"
"Chiaaa... haaa... ha...!" Sekali saja Candra Kila berteriak, maka gema suaranya
pun sambung menyambung tiada henti memenuhi dinding dan
seisi gua. Bahkan suara menggelegar itu terus menembus ke seluruh pelosok
penjuru gua sampai
jauh ke dalam sana.
Bersamaan dengan suara sambung men-
yambung tiada henti. Mendadak tubuh Candra
Kila lenyap begitu saja. Laki-laki mata picak itu ternyata memang tidak omong
kosong. Sebab dengan mempergunakan Ajian Palemunan (ilmu
menghilang) beberapa detik berikutnya Candra Ki-la menyerang Lukita Sari dengan
tendangan kaki juga gaplokkan tangan. Berulang kali tubuh gadis bertopi caping
ini jatuh bangun. Bahkan dari celah-celah bibirnya telah pula mengalirkan darah.
Bagaimana pun dia berusaha untuk mengatasi se-
rangan lawannya. Namun tetap saja dia merasa
kerepotan. "Chhaaaait...! Hilang...!" teriak Lukita Sari.
Seperti apa yang diucapkannya maka detik se-
lanjutnya tubuh gadis itu pun menyusul lenyap.
Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu yang di-
miliki oleh kedua tokoh yang saling terlibat pertempuran ini.
"Hah...!" Dalam keadaan sama-sama tak terlihat itu, Candra Kila membelalak tak
percaya. "Bagaimana mungkin kau bisa menghilang sebagaimana halnya dengan diriku...?"
"Hik... hii... hiii...! Di dunia ini bukan hanya kau saja yang dapat lenyap
begitu saja. Nah... sekarang rasakanlah ini...!" Teriak Lukita Sari. Seraya
langsung melemparkan sesuatu berwarna hi-
tam dan panjang.
"Ular...!" Desis Candra Kila. Lalu dengan gerakan refleks, laki-laki bungkuk ini
segera mencabut senjatanya berupa sebilah belati tipis yang memiliki panjang
lebih dari satu meter. Belati di tangan Candra Kila memiliki gagang berbentuk
bintang segi empat, sedangkan belati itu sendiri berwarna hitam, menandakan
senjata itu mengandung racun yang ganas. Begitu belati di tangan Candra Kila
tergenggam di tangannya. Maka tanpa menunggu lagi, belati di tangannya dia
babatkan ke arah ular-ular yang disambitkan oleh lawannya.
"Weeer...!"
"Ceees.... Creees...!"
Ular-ular yang disambitkan oleh Lukita Sari
terkutung menjadi beberapa bagian.
"Groaaar...! Hauuung...!"
Belum lagi sempat menarik nafas lega, dua
ekor harimau ciptaan Lukita Sari telah pula menerkam Candra Kila. Tubuh Candra
Kila me- lompat ke udara, begitu tangannya menderu. Dua tusukan berturut-turut
dilakukannya. "Blesss...! Blesss...!"
Laki-laki berbadan bungkuk itu semakin
terbelalak matanya. Tusukan yang dia lakukan
memang benar mencapai sasaran. Tetapi hun-
jaman belati itu dia rasakan bagai menembus ruangan kosong.
"Edan...!" Makinya sambil terus menghindari terjangan dan cakaran kuku-kuku
harimau yang begitu runcing dan tajam.
"Keluarkan seluruh kebisaan mu, Candra
Kila...!" teriak Lukita Sari yang berdiri tidak begitu jauh dari tempat
pertempuran. "Aku kehabisan tenaga dan mampus sendi-
ri! Orang itu memiliki ilmu yang sangat tangguh...!
Ada baiknya kalau aku menghindar untuk semen-
tara waktu. Kalau aku kalah, itu sama artinya tak
dapat membalas sakit hati ini pada Durga Wungu dan kawan-kawannya...!" Batin
laki-laki berbadan bungkuk ini. Saat itu dia sudah mulai berfikir-fikir untuk
melarikan diri sementara waktu.
"Haiiit...!"
"Grauuung...!"
Satu teriakan Candra Kila disambut oleh
dua terkaman dua ekor harimau jejadian milik Lukita Sari.
"Brebet...!"
Terkaman seekor harimau loreng-loreng
berhasil menyambar bagian punggung Candra Ki-
la. Tubuh laki-laki bungkuk itu terhuyung-
huyung. Darah nampak mulai merembes dari luka
memanjang tadi. Nampaknya laki-laki muka picak itu menyadari, sudah tidak
mungkin melakukan
perlawanan lebih lama lagi. Apa yang ada di dalam benaknya saat itu adalah
membalas dendam pada
Durga Wungu. Cepat-cepat dia merogoh sesuatu
dari dalam jubahnya.
"Bummmm...!"
"Keparaat! Dalam keadaan tak terlihat ka-
sat mata seperti ini, kiranya dia juga tidak ber-malu mempergunakan asap
penghilang jejak...!"
maki Lukita Sari. Ketika asap yang menyelimuti sekitar tempat itu sirna, gadis
bertopi caping ini sudah tak melihat lagi adanya Candra Kila di tempat itu.
"Plaaaas...!"
Setelah merapal mantra-mantra sihir yang
dimilikinya, maka tubuh Lukita Sari kembali nampak seperti sediakala.
"Ada baiknya kalau kukejar ke arah sana...!"
batin gadis bertopi caping ini, seraya bermaksud melakukan pengejaran ke arah
bagian dalam lorong Gua Bintang. Namun sebelum niatnya itu ke-sampaian,
terdengar suara teguran seseorang.
"Jangan kau lakukan pekerjaan tolol itu,
Nona...! Di dalam sana terlalu banyak perangkap yang dapat mencelakakan
dirimu...!"
"Kk... kau belum juga minggat dari tempat ini...!" Bentak Lukita Sari ketika
melihat Buang Sengketa muncul dari lorong gua yang terletak di sebelah Utara.
"Mengapa harus tergesa-gesa! Bukankah di
ruangan ini tadi baru saja terjadi permainan sulap yang sangat menarik...?"
"Kurang asem! Jadi kau tadi sempat melihat pertarunganku...?" rutuk Lukita Sari
dengan wajah cemberut.
"Tontonan gratis, kalau tak dilihat muba-
jir...!" jawab si pemuda sambil tersenyum-senyum.
"Pemuda konyol, siapakah kau...!" Bentak Lukita Sari marah. Tetapi hatinya
berdebar-debar dan mulai tertarik.
"Panggil saja, Kelana...!" jawab si pemuda apa adanya.
"Huhh... sebuah nama yang jelek...!"
Buang Sengketa hanya mampu cengar-
cengir. "Sudahlah Nona...!"
"Lukita Sari...!" gadis bertopi caping menyambung.
"Ee... boleh aku memanggilmu Ita...?"
"Nenekku juga biasa memanggilku be-
gitu...!" jawab si gadis begitu polos.
"Begini, Adik Ita...! Kalau kau bermaksud mengejar dan membasmi musuh gurumu
alangkah lebih baik kalau kita pergi ke Kota Hantu secara bersama-sama...!"
"Aku... pergi bersama-sama denganmu...?"
tukas si gadis merasa ragu-ragu.
"Kau tak perlu curiga padaku...!" kata Buang Sengketa memberi keyakinan.
"Baik aku setuju...!"
Akhirnya secara bersama-sama, kedua
orang ini pun tanpa diliputi perasaan curiga antara satu dengan lainnya. Segera
meninggalkan Gua Bintang.
8 Sejak tertangkapnya Panjul dan Panut, pen-
jagaan di Kota Hantu semakin diperketat. Mayat-mayat hidup hampir sepanjang hari
terus menerus mengadakan ronda. Sudah barang tentu semua itu dilakukan atas
perintah Setan Gila dan juga Iblis Dua Muka. Setiap hari bangunan-bangunan yang
sudah tiada berpenghuni diperiksa oleh para abdi Durga Wungu. Namun sampai
sejauh itu tanda-tanda ditemukannya Senjata Kegelapan milik Dur-ga Wungu masih
belum dapat titik terangnya.
Sementara itu di ruangan bawah tanah,
Godot, Panjul dan Panut yang tangan dan kakinya dalam keadaan terikat nampak
dalam pembi- caraan serius. "Kalau kita tak mau berusaha! Sampai ka-
pan kita harus terkurung di ruangan menjijikkan ini...!" terdengar suara serak
Godot memecah ke-heningan.
"Ya... walaupun diberi makan! Tapi kalau
setiap hari harus dipukuli, siapa sudi....'" bela Panut sambil memperhatikan
luka-luka bekas cam-
bukan yang terdapat di sekujur tubuhnya.
"Coba lihatlah orang-orang kurus macam je-rangkong hidup itu! Kalau kuperhatikan
orang itu, rasanya keadaan kita masih lumayan... tapi kalau kupikir lagi,
alangkah enaknya hidup di dunia ramai...!" selak Panjul tak mau kalah.
"Sebetulnya memasuki Kota Hantu bukan
merupakan kesalahan yang begitu besar bagi kita.
Tapi mengapa orang-orang terkutuk itu malah me-nangkap kita, kemudian
menjebloskan kita di
tempat yang berbau busuk ini...?"
"Apakah Kota Hantu menyimpan sesuatu
yang sangat penting artinya bagi mereka?" tanya Panjul, serta merta dia
mengerling ke arah Godot.
"Jangan keras-keras bicara. Salah-salah le-hermu bisa dipancung oleh mereka."
sentak laki-laki bekas kepercayaan Durga Wungu dengan sua-
ra lirih. "Memangnya kenapa...?" tanya Panjul hampir berbisik.
"Kota Hantu kabarnya ada menyimpan sen-
jata pusaka yang memiliki kharisma tinggi. Siapa pun yang memiliki senjata
kegelapan konon kabarnya dapat lenyap sedemikian rupa. Yang pasti
orang yang menguasai senjata itu dapat mengua-
sai dunia persilatan berbagai golongan...!"
"Kau mengetahui begitu banyak, seolah kau ini merupakan seorang pendekar sakti
yang punya hubungan dekat dengan Durga Wungu...!" ejek kedua orang itu, lalu
garuk-garuk koreng bekas


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cambukan. Sejenak lamanya, Godot ter-diam. Se-
cara mendadak wajahnya yang agak memucat itu
pun bersemu merah. Tapi kemudian laki-laki ini mendengus.
"Durga Wungu tua bangka yang tak tahu
membalas guna! Dia kangkangi semua harta ben-
da yang ada, seolah masih akan hidup seribu tahun lagi. Siapa yang tak kenal
dengan orang yang pernah menyuruh orang lain untuk membegal
orang tuanya yang sedang melakukan perjalanan
itu. Bahkan aku mengenalnya begitu dekat...!"
ucap Godot seolah pada dirinya sendiri.
"Ha...! Jadi kau merupakan kaki tan-
gannya...?" tanya Panjul dan Panut dengan kedua mata membelalak. Tanpa sadar
mereka ini pun mulai beringsut menjauh. Tetapi begitu Godot
menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Maka
legalah kedua laki-laki konyol ini.
"Ah... kami pikir, kau merupakan kaki tangan setan terkutuk itu....!"
"Walaupun aku bukan kaki tangannya, te-
tapi dulu aku bekas tukang kebunnya selama berpuluh-puluh tahun...!"
"Lha... tukang kebun, kok sekarang ada di dalam penjara...!" desak Panjul seolah
tidak percaya. Godot tersenyum getir. Selanjutnya secara
singkat namun gamblang dia menceritakan segala sesuatunya pada Panjul dan Panut.
"Sungguh biadab perbuatan manusia yang
bernama Durga Wungu itu. Misalkan aku ini ada-
lah dirimu, sudah tentu aku melakukan apa yang kau lakukan. Sebab di dunia ini
tolong menolong dalam berbuat kebajikan, semua pendeta atau ahli Budha juga
menganjurkannya. Jadi bukan malah
sebaliknya, yang memiliki kekuasaan menekan ra-kyat kecil. Yang kaya raya
menari-nari di atas penderitaan orang lain. Huh, andai saja aku memiliki ilmu
kepandaian seperti Pendekar Hina Kelana.
Orang yang bernama Durga Wungu pasti tak akan
kubiarkan hidup lebih lama di kolong langit ini...!"
dengus salah seorang dari laki-laki bertampang konyol itu. Tanpa sadar dia
meludahi wajah Godot.
"Keparaat.... Kau menghinaku...!" maki laki-laki berbadan gemuk itu tidak
terima. "Eeh... siapa yang menghinamu! Aku tak
pernah bermaksud menghinamu...!"
"Kalau tak bermaksud menghina, mengapa
kau meludahiku...?"
"Siapa suruh kau duduk di depanku! Aku
meludah, seharusnya dibuang ke mana...?"
"Kan bisa ke samping kiri atau ke samping kanan...!" bentak Godot dengan dada
kembang kempis menahan amarah.
"Goblook! Leherku yang terluka, susah se-
kali untuk digerak-gerakkan ke kanan dan ke ki-ri...!" Panjul menyahuti dengan
wajah cemberut.
"Eee... he... he...! Betul juga ya...!"
"Sebaiknya kita tak usah saling berbantah-
an. Pernahkah kalian memikirkan bagaimana ca-
ranya agar terbebas dari tempat seperti ini...?"
tanya Panut yang sedari tadi hanya diam saja. Suasana di dalam ruangan penjara
di dalam gudang bawah tanah itu kemudian sunyi sepi. Masing-masing orang
tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Entah apa yang dipikirkan oleh dua orang lainnya.
Yang jelas saat itu, Panjul sedang teringat pada istrinya Loro Item yang sedang
hamil sembilan bulan. Entah bagaimana keadaan istrinya saat itu.
Entah sudah melahirkan atau belum. Kalaupun
sudah, apakah anak yang terlahir itu hitam legam kulit tubuhnya sama mirip
dengan kulit ibunya.
Semoga saja tidak begitu. Mudah-mudahan saja
anaknya mirip dengan dirinya. Tak pernah marah.
Ah jangan. Jangan seperti dirinya, nanti ke-
hidupannya sengsara terus. Jadi murid di Perguruan Jagad Kelanggengan nasibnya
apes. Punya kambing dua ekor juga, akhirnya malah menyeret dirinya ke dalam jurang
kesengsaraan. Anaknya
tidak boleh menuruni nasibnya. Dia berharap, mo-ga-moga saja anaknya yang
terlahir bisa menjadi seorang pendekar tangguh seperti Pendekar Golok Buntung.
Pendekar Penegak Keadilan itu, ya seperti itulah yang diharapkannya.
"Panjul... apakah kau sudah menemukan
jalan keluar dari penjara celaka ini?" tanya Panut.
Membuat laki-laki berusia tiga puluhan itu tersentak dari lamunannya.
"Jalan keluar apa" Ketahuan sejak tadi tangan dan kakiku terbelenggu rantai
terkutuk seperti ini. Bagaimana aku bisa keluar...?"
"Tolol! Bukan itu yang kumaksudkan...!" gerutu Panut merasa kesal dengan ulah
kawannya yang satu ini. "Jadi apa yang kau pikirkan sejak tadi...?"
"Ah, aku sih cuma memikirkan apakah saat
ini istriku sudah melahirkan apa belum...!"
"Dasar sinting. Otakmu tak pernah lepas-
lepas dari memikirkan istrimu melulu!" Panjul hanya terkekeh. Sementara itu
Panut sekarang be-ralih pada Godot.
"Bagaimana menurutmu, Saudara...!"
"Kalau aku tahu jalan keluar dari tempat
celaka ini, sudah barang tentu sejak kemarin-
kemarin aku telah merat dari sini. Cobalah kalian lihat. Mereka yang berbadan
kurus kering yang
terbelenggu rantai baja itu, sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi tidak
setolol kalian. Tokh mereka saja tak mampu menghindar dari tempat ini.
Jangankan hanya kita...!"
"Kalaupun bisa keluar semua usaha men-
jadi sia-sia. Kota Hantu tak pernah luput dari pen-jagaan mayat-mayat
bergentayangan. Aku sendiri merasa takut dengan yang namanya mayat hidup...!"
"Kalau begitu sampai mampus kita tetap
terkurung di tempat ini...!" Godot akhirnya hanya menggerutu, lalu merebahkan
tubuhnya di lantai becek dan lembab.
*** "Masih jauhkah tempat itu dari sini...?"
tanya gadis bertopi caping itu pada pemuda yang berjalan di sisinya. Sementara
perhatiannya tak lepas-lepas dari pemuda berwajah tampan ini.
"Hmmm. Tidak begitu jauh, mungkin satu
hari lagi kita akan sampai di sana!" kata si pemuda seadanya.
"Tiga hari tiga malam kita melakukan per-
jalanan tanpa henti, Kakang...! Tubuhku terasa letih sekali, bahkan perutku
terus melilit minta diisi...!"
"Dendeng ikan lumba-lumba telah habis
kau makan semuanya, masak makan sebegitu ba-
nyak kau masih merasa lapar juga...?" kata Buang Sengketa sambil terus
mengayunkan langkahnya.
"Ah... hanya empat potong saja. Mana cu-
kup membuatku kenyang...!" kilah si gadis ber-sungut-sungut.
"Yang lapar itu, mulutmu atau perutmu...?"
"Perutku...!"
"Tapi kulihat bibirmu yang berkata be-
gitu...!" "Ah, Kakang jangan bercanda...!" rengek Lukita Sari begitu manja.
Buang Sengketa tergelak-gelak. Dalam hati-
nya merasa senang juga sepanjang perjalanan di-temani oleh seorang gadis cantik
yang memiliki kepandaian yang mengagumkan pula.
"Aha... lihat...!" kata pemuda itu, mendadak dia hentikan langkah.
"Ada apa Kakang...?" tanya Lukita Sari.
Pendekar Hina Kelana kemudian dengan te-
lunjuknya menunjuk pada sebuah dahan pohon
yang terdapat di depannya.
"Yang kau maksudkan ayam hutan itu...?"
"Ya...! Ayam jantan yang gemuk... kalau kita tangkap, kita pasti dapat menikmati
dagingnya...!"
Berkata begitu si pemuda memungut se-
buah batu sebesar ibu jari. Kemudian dengan sikap ayal-ayalan. Pemuda ini pun
menyambitkan batu itu. "Taakk...!" Batu tepat menghantam bagian kepala ayam hutan yang bertengger di
atas sebatang pohon. Sesaat ayam jantan itu mengge-
lupur, kemudian tubuhnya melayang jatuh di atas rerumputan. Kedua muda-mudi ini
kemudian berjalan menghampiri ayam tadi. Setelah memungut
dan mengurut-ngurut dadanya.
"Lumayan! Ayam ini cukup gemuk...! Seka-
rang kau yang membersihkan bulu dan koto-
rannya. Biarkan aku yang mengumpulkan kayu
bakar dan membuat apinya...!" Buang Sengketa dan Lukita Sari tak begitu lama
kemudian telah tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Ketika Lukita Sari selesai mengerjakan
ayam itu, maka bara apipun telah disiapkan oleh si pemuda. Tak lama setelahnya
ayam hutan itu pun telah dipanggang di atas bara yang merah
menyala. Menunggu daging ayam itu masak, se-
bentar-sebentar Lukita Sari memperhatikan wajah Buang Sengketa. Entah mengapa
setiap memandang sosok wajah yang sangat tampan itu, hati
gadis itu terasa bergetar. Bahkan secara diam-
diam dia mulai mengagumi pendekar dari Negeri
Bunian ini. "Jangan kau pandangi aku sedemikian ru-
pa...!" sindir Buang Sengketa ketika secara tak sengaja mata mereka saling
beradu pandang. Wajah Lukita Sari berubah memerah.
"Kenapa, memang tidak boleh...!" desah si gadis mengajuk. Buang Sengketa tertawa
lepas "Bukan tak boleh! Tapi aku takut, nanti kan jatuh cinta padaku...!"
"Ah.... Kakang... mana mungkin ada orang
yang sudi dengan perempuan macamku ini...!"
ucap Lukita Sari salah tingkah.
"Nah... nah... apa kubilang...!"
"Memang apa...?" tanya Lukita Sari tersipu malu.
"Kalau kau jelek, mana mungkin Candra Ki-
la mengharapkan kau menjadi istrinya!" kata Buang Sengketa sambil terus membolak
balik ayam panggang yang hampir matang.
"Terhadap manusia jelek seperti dia siapa mau...!"
"Kalau kamu nggak mau sama dia, apakah
kau mau sama aku...?" ledek Buang Sengketa langsung tunjuk hidung.
"Iiih.... Kakang! Pandai sekali kau mera-
yu...!" kata gadis bertopi caping ini. Saat itu wajahnya yang bersemu merah
terpanggang panas
matahari semakin bertambah merah karena di-
hinggapi perasaan salah tingkah.
"Eee... sudahlah...! Sekarang ayam yang
kupanggang ini sudah matang! Coba kau cicipi...!"
kata Buang Sengketa, seraya menyodorkan se-
bagian daging panggang di tangannya pada Lu-kita
Sari. Sambil mengunyah daging ayam panggang
yang sangat lezat, pemuda ini pun selanjutnya
berkata: "Hari sudah mendekati malam. Kota Hantu
sungguh berbahaya sekali pabila malam hari. Ada baiknya kalau besok kita
meneruskan perjalanan...!"
"Apapun keputusanmu, aku akan menu-
rut...!" Pendekar Hina Kelana angguk-anggukkan
kepalanya. 9 Ketika laki-laki berbadan bungkuk itu sam-
pai di Kota Hantu. Matahari baru saja menapak di ufuk timur. Embun pun masih
menempel di atas
dedaunan, tiada menghiraukan suasana seperti
itu. Candra Kila yang baru saja membebaskan diri dari kejaran Lukita Sari di Gua
Bin-tang, dengan mantap terus melangkah mendekati Kota Hantu
yang lengang. Dengan gerakan yang sangat lincah.
Laki-laki bungkuk mata picak ini menyelinap dari lorong ke lorong.
"Kukira sekaranglah saatnya yang paling
tepat untuk menghancurkan Durga Wungu dan
orang-orangnya! Sesuai dengan rencanaku untuk
tidak mengalami banyak rintangan dari mayat-
mayat hidup yang dikendalikan oleh Iblis Dua Mu-ka dan Setan Gila. Maka mulai
dari sini kota akan kubakar....'" bathin laki-laki ini. Tak lama setelah-
nya dia pun telah menurunkan buntalan yang di
dalamnya terdapat berpuluh potongan tepas ke-
lapa yang telah dicelup dengan minyak pembakar.
"Bleep.... Whueeeer...!"
Api pun segera membesar ketika Candra Ki-
la menghidupkan sabut kelapa yang sudah dicelup bahan minyak bakar. Nampaknya
segala sesuatunya telah diperhitungkan oleh Candra Kila. Terbukti ketika api
mulai berkobar-kobar. Laki-laki bungkuk ini pun telah pula bergerak membakar
bangunan tua yang terdapat di sebelah selatannya.
Kemudian berpindah lagi di bagian sebelah barat.
Sehingga Kota Hantu akhirnya benar-benar terkepung api dari segala penjuru.
Entah apa yang menjadi tujuan Candra Kila membakar kota yang
selama ini sangat ditakuti oleh banyak orang.
Tetapi akibat dari pembakaran-pembakaran
yang dilakukan Candra Kila tak sampai sesaat
kemudian sudah mulai kelihatan hasilnya. Dari
atas bangunan maupun dari lorong-lorong yang
begitu banyak jumlahnya. Nampak berlarian ber-
puluh-puluh laki-laki maupun wanita bertubuh
aneh pakaian hitam ke segala penjuru. Tak ter-
dengar suara-suara teriakan. Hanya dengusan-
dengusan bagai suara seekor lembu jantan yang
sedang marah. Melihat gelagat ini, nampaknya
Candra Kila mengetahui siapa sebenarnya orang-
orang yang sedang berlarian menghindari amukan api itu.
"Ha... ha... ha....! Begitu lama aku men-
gadakan penyelidikan, akhirnya ku tahu juga
bahwa sebenarnya mayat-mayat bergentayangan
tanpa nyawa ini kiranya takut pada api. Tak terbayangkan oleh ku betapa marahnya
Setan Gila dan Iblis Dua Muka yang menjadi majikan mayat-
mayat itu....!" batin Candra Kila. Saat itu dia memang sedang bersiap-siap
menyambut keda-
tangan mayat gentayangan yang sedang berusaha
menghindari api.
"Hayaa... pada mampuslah kalian se-
muanya....'" teriak Candra Kila, lalu menyabetkan obornya ke segala penjuru.
Keanehan demi ke-anehanpun terjadilah. Setiap mayat-mayat gen-
tayangan itu tersentuh api. Maka tubuhnya langsung melepuh, kemudian terhuyung-
huyung. Se- lanjutnya tersungkur ke atas tanah. Tidak sampai di situ saja tubuh mayat
bergentayangan itu pun meleleh dan menimbulkan bau busuk yang sangat
menyengat hidung.
Api semakin lama semakin bertambah


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membesar. Seolah ingin meluluh lantakan ban-
gunan-bangunan tua yang terdapat di Kota Hantu.
Korban terus berjatuhan, Candra Kila yang bekerja seorang diri menghadapi sekian
banyak mayat-mayat yang berusaha membebaskan diri dari ke-
pungan api. Tentu saja semakin lama semakin keteter juga. Hanya karena
semangatnya yang begitu tinggi untuk membalas dendam pada Durga Wungu. Dia tidak
begitu menghiraukan dirinya sendiri.
Sedang gencar-gencarnya laki-laki bungkuk mata picak melakukan pembantaian
terhadap mayat-mayat yang bergentayangan itu. Dari kobaran api di atas bangunan-
bangunan yang sudah tua itu.
Nampak berkelebat dua sosok bayangan tubuh
mendekati Candra Kila. Melihat gerakan tubuhnya yang begitu lincah dan ringan.
Jelas sekali kalau mereka ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
"Wuuut...! Wuuuut...!"
Begitu datang langsung kirimkan dua puku-
lan ke arah Candra Kila yang sedang membantai
mayat-mayat gentayangan. Laki-laki bungkuk ini merupakan tokoh yang sudah
kenyang makan asam garam dunia persilatan, sudah tentu begitu ada sambaran angin pukulan dia
menyadari adanya bahaya yang sedang mengancam dirinya.
Dengan gerakan yang sangat cepat, Candra Kila
melompat ke samping kiri. Lalu lambaikan tan-
gannya pula. "Blaaam...!"
Tubuh laki-laki mata picak ini tergetar se-
saat lamanya. Sementara dua orang yang sangat
dikenalnya telah sampai pula di depannya.
"He... kau...! Kukira sejak menjadi pecundang engkau tak berani lagi datang ke
sini. Ternyata kau masih mempunyai muka untuk menim-
bulkan kekacauan di Kota Hantu...!" selak Iblis Dua Muka dengan wajah berang.
"Huh...! Kedatanganku tak ada sangkut
pautnya dengan diri kalian. Aku sengaja datang untuk mengadakan perhitungan lama
yang belum dilunasinya...!" dengus Candra Kila, dari nada suaranya nampak sangat meremehkan
sekali. "Sombong sekali bicaramu, punggung
bungkuk...!" sentak Setan Gila nampak kurang begitu senang dengan kehadiran
Candra Kila yang
dulu pernah dikalahkan oleh Durga Wungu.
"Aku tidak hanya sekedar bicara, iblis dan setan muka dajal. Cepat-cepat engkau
panggillah Durga Wungu untuk menghadap ku, jika tidak
bukan Kota Hantu saja yang akan ku ratakan dengan tanah, tetapi jiwa kalian pun
akan kubuat melayang...!" kata Candra Kila mengancam.
"Krrrtttkh... Grrrr.... Ingin kulihat, apakah berhadapan dengan Iblis Dua Muka
kau mampu...!" geram laki-laki berbadan tinggi semampai dan berkulit sawo gosong
ini penasaran sekali.
"Hiaaat...!" teriak Candra Kila, lalu dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh
yang sudah mencapai taraf sempurna. Laki-laki berbadan bungkuk ini pun mulai
membuka serangan dengan jurus-jurus tangan kosongnya. Nam-paknya
Iblis Dua Muka pun yang sudah dirasuki kemara-
han tidak mau kalah. Terbukti orang ini pun menyambut serangan Candra Kila
dengan pukulan-
pukulan tangan kosong yang lebih he-bat lagi.
Hanya dalam tempo yang singkat, pertarun-
gan pun telah berlangsung belasan jurus. Tetapi masih belum ada tanda-tanda
siapa yang keluar
sebagai pemenangnya dalam pertarungan itu. Hal ini membuat Candra Kila menjadi
gusar bukan alang kepalang. Kemudian satu lompatan yang
disertai dengan lolongan panjang, melambungkan tubuh Candra Kila. Dalam
kesempatan seperti itu, dia mengerahkan sebagian tenaga dalam yang dimilikinya
ke bagian telapak tangannya. Dengan
sangat cepat sekali tangan Candra Kila yang telah teraliri tenaga dalam itu
berubah menjadi merah
bara. Tak salah lagi, saat itu Candra Kila sudah bersiap-siap melepaskan Pukulan
Segara Geni yang sangat hebat itu.
"Huaaa...! Wuuuus...!"
Iblis Dua Muka menjadi pucat wajahnya,
namun dalam keadaan begitu masih juga ia sem-
pat tergelak-gelak. Satu gerakan yang lebih cepat menghantam ke arah Pukulan
Segara Geni yang
dilepaskan oleh Candra Kila! Pukulan yang me-
ngandung hawa dingin dengan pukulan yang me-
nebarkan hawa panas saling beradu.
"Blaaaam...!" Tanah di sekitar tempat itu tergetar, sementara tubuh Candra Kila
dan Iblis Dua Muka sama-sama terdorong lima tombak. Da-da terasa sesak luar
biasa. Melihat kejadian seperti itu, Setan Gila yang sejak awal menyaksikan ja-
lannya pertempuran nampak tertawa tergelak-
gelak. "Saudara Iblis...! Mengapa banyak mengulur waktu, lebih baik kau kerahkan
pukulan 'Iblis Penggoda' atau kau cincang saja tubuhnya men-
jadi dendeng...!"
"Diamlah sobat! Tak lama lagi, aku pasti
akan membuatnya menjadi hantu bergentayangan
di tempat ini....!"
"Jangan mimpi, iblis muka jelek...?" sentak Candra Kila. Belum lagi usai kata-
kata yang diucapkannya. Secara tiba-tiba tubuhnya berputar-
putar. Sementara di tangan laki-laki bungkuk itu tergenggam senjata pusakanya
yang berupa belati yang memiliki panjang tak kurang dari satu meter.
Berputarnya tubuh Candra Kila semakin
lama semakin cepat, hingga lama kelamaan tak
ubahnya bagai sebuah gasing mainan anak-anak.
Dalam keadaan seperti itulah tubuh orang ini me-labrak apa saja yang begitu
dekat dengan dirinya.
"Mengapa harus menghindar seperti itu,
Saudara Iblis" Cepat hantamkan pukulanmu...!"
teriak Setan Gila memanas-manasi.
"Hiaaat.... Huaaa...!"
Tubuh Iblis Dua Muka nampak melenting
ke samping kiri, tapi Candra Kila dengan senjata tetap tergenggam di tangannya
terus memburu. Pada satu kesempatan yang sangat baik, tubuh
Candra Kila mendekat.
"Kreeess...! Brebeeeet...!"
"Ahh... kurang ajar...!"
Iblis Dua Muka berteriak keras saat mana
bagian bahunya tergores senjata di tangan Candra Kila. Kiranya tak terhenti
sampai di situ saja, laki-laki berbadan bungkuk itu kembali memburu. Iblis Dua
Muka saat sedang bersiap-siap untuk melepaskan pukulan mautnya.
"Jraaaas...!"
"Akkkhg...!"
"Wueeeer...!"
Sungguh pun tubuhnya dalam keadaan
terhuyung-huyung akibat luka di bagian dadanya, namun Iblis Dua Muka masih
sempat juga lepaskan pukulan. Tak dapat dicegah lagi, serangkum gelombang
pukulan yang menimbulkan hawa
panas luar biasa memburu ke arah Candra Kila.
Laki-laki berbadan bungkuk muka pucat ini segera kerahkan Ajian Palingmunan.
"Plaaaaass...!"
Bukan saja pukulan yang dilancarkan oleh
Iblis Dua Muka mencapai sasaran kosong, tetapi juga tubuh lawannya raib begitu
saja. Menyadari keadaan seperti ini Iblis Dua Muka secara hampir bersamaan
memaki: "Jadah...!"
"Bagaimana sobat...! Si punggung onta ki-
ranya dapat menghilang seperti setan." kata Setan Gila, lalu tersenyum-senyum
mengejek. "Dia kira aku tak mampu melakukan apa
yang dia tunjukkan. Puih, hanya mainan anak-
anak seperti itu...?"
"Buk....! Buuuk...!"
"Uhkgh...!"
Belum lagi sempat Iblis Dua Muka meng-
akhiri kata-katanya, satu tendangan yang begitu telak mendarat di punggungnya.
Apa yang dialami oleh Iblis Dua Muka, rupanya menimbulkan kemarahan yang sangat
besar di hati Setan Gila. Tak ayal lagi, sambil membentak dia pun langsung ter-
jun ke dalam arena pertarungan.
"Saudara Iblis...! Kita sudah terlalu banyak membuang-buang waktu. Bahkan korban
di pihak kita sudah terlalu banyak. Hancurkan manusia siluman itu....!"
"Pergunakan pukulan Iblis Penunggu Kege-
lapan....'" teriaknya.
"Zeeeb...! Zeeeb...!"
Tanpa berkata-kata lagi. Iblis Dua Muka
dan Setan Gila membuka sebuah jurus sesat tingkat tinggi. Tubuh mereka nampak
terdiam tiada bergeming. Tapi di saat yang lain kaki dan tangan
yang telah teraliri tenaga dalam itu bergerak perlahan, seolah sedang berusaha
mencari posisi lawan yang tidak terlihat oleh kasat mata.
"Wuuusss...!"
"Dhaaaak.... Thaaaak...!"
Satu sambaran angin yang sangat keras
menderu, lalu menghantam tubuh Iblis Dua Muka
dan Setan Gila. Tapi tubuh mereka tiada bergeming sedikit pun. Sebaliknya orang-
orang ini malah keluarkan tawa menyeramkan.
"Sudah kutemukan posisinya...!"
"Ya... aku pun sudah mengetahui posis-
inya...!" sahut Setan Gila tak mau kalah. Serta merta kedua orang ini berbalik,
lalu mereka men-garahkan pukulannya ke satu arah.
"Heeeup...!"
"Chaaaa...!"
Begitu kedua orang ini hantamkan kedua
tangannya ke depan. Serangkum gelombang puku-
lan yang menimbulkan hawa dingin dan panas
menderu. Pada saat yang sama, kira juga Candra Kila yang tak terlihat kasat mata
karena Aji Panglemunan, sudah pula melepaskan Pukulan Segara
Geni. "Herrrrtk...!"
"Blaaaammm...!"
Terdengar suara jeritan tinggi melengking
dari mulut Candra Kila. Tubuh laki-laki besar dan bungkuk ini pun terpelanting
tujuh tombak sedangkan di pihak lawan hanya tergetar saja. Walaupun memang tidak
dapat disangkal, saat itu
mereka merasakan dada mereka sesak luar biasa.
Namun setelah menghimpun hawa murni, maka
rasa sesak itu pun mulai berkurang.
Laki-laki bungkuk mata picak, yang sudah
tidak dilindungi oleh Ajian Panglemunan nampak tertatih-tatih. Wajahnya yang
pucat bagaikan mayat, semakin bertambah pucat. Sementara dari
bibir dan hidungnya mengalir darah kental kehitam-hitaman. Nampaklah kalau saat
itu Candra Kila sedang menderita luka dalam yang cukup parah.
"Ha... ha... ha...! Kau akan segera mampus, Candra Kila...!"
"Jangan diberi kesempatan hidup padanya
lebih lama lagi...!" geram Setan Gila.
"Ciaaat...!"
Setan Gila kembali hantamkan pukulan
mautnya. Dengan tubuh sempoyongan laki-laki
bungkuk dari Gua Bintang ini berusaha menghin-
dari pukulan yang dilancarkan oleh Setan Gila.
"Dwuuuuueeer...!"
"Geeeekh...!"
Candra Kila terpelanting roboh. Tubuhnya
yang berubah membiru itu hanya berkelojotan sesaat saja. Selanjutnya terdiam
untuk selama- lamanya. "Mampus juga laki-laki bungkuk ini akhir-
nya...!" geram Iblis Dua muka. Lalu kedua manusia sesat ini saling berpandangan
sesamanya. Tetapi mereka akhirnya dibuat terperangah ke-tika mereka mendengar suara
teriakan-teriakan dan
dentingan beradunya senjata tajam.
"Jahanam! Pekerjaan siapa lagi itu, Saudara
Setan Gila...!"
"Aku pun tidak tahu, tapi ada baiknya ka-
lau kita ke sana. Siapa tahu manusia bungkuk ini membawa orang lain ke sini...!"
"Ayolah...!"
Tanpa buang-buang waktu lagi, keduanya
pun segera berlari-lari di sela-sela kobaran api yang sedang berkobar
membumihanguskan Kota
Hantu. 10 Ketika Pendekar Hina Kelana dan Lukita
Sari sampai di Kota Hantu. Mereka melihat kota angker ini sudah dilanda kobaran
api. Siapapun yang melakukan pembakaran atas Kota Hantu,
keduanya tidak perduli. Yang pasti orang itu setidak-tidaknya telah mengetahui
situasi di dalamnya. Juga termasuk mayat-mayat bergentayangan
yang selama ini menghuni di dalamnya.
"Jleeek...!"
Dengan posisi yang berada di sebelah Ti-
mur. Dengan jelas mereka dapat melihat pertarungan yang sedang terjadi di ujung
lorong. Antara seorang tokoh melawan puluhan mayat-mayat
bergentayangan yang sedang berusaha membe-
baskan diri dari kepungan api. Dari sini sadarlah Buang Sengketa maupun Lukita
Sari, sesungguhnya kelemahan mayat-mayat suruhan itu terletak pada api. Tanpa
sungkan-sungkan lagi, kedua muda mudi menyerbu ke tengah-tengah kota yang
di sekelilingnya sudah dilanda kobaran api. Dengan menggunakan obor, Buang
maupun gadis ber-
topi caping itu membantai mayat suruhan yang
sedang sibuk menyelamatkan diri dan dilanda ke-panikan. Sepuluh tombak maju ke
depannya, Buang Sengketa melihat beberapa sosok tubuh
menggapai-gapai tangannya dari sebuah ruangan
bawah tanah. Tanpa menunggu lebih lama keduanya pun
menyerbu ke sana. Setelah melihat keadaan orang-orang yang terbelenggu rantai
dan mengenali secara pasti, dua diantaranya. Tahulah pemuda
keturunan Raja Ular Piton Utara dari Negeri
Bunian ini, bahwa mereka adalah para tawanan
yang berusaha mencari selamat.
Karena rantai yang membelenggu tangan
dan kaki mereka, terasa begitu sulit untuk di-
buka. Tak ayal lagi Buang Sengketa mempergu-
nakan Pusaka Golok Buntung untuk memutus-
kan rantai yang membelenggu tangan dan kaki pa-ra tawanan itu.
"Craaaang...! Traaas...! Traaaas...!"
"Pendekar Golok Buntung...!" seru Panjul dan Panut yang dulunya pernah bertemu
bahkan

Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlibat pertarungan dengan pendekar itu, ketika mereka masih menjadi murid di
perguruan Jagad
Kelanggengan. (Dalam episode Satria Penggali Kubur).
"Cepat bebaskan kawan-kawan kalian yang
lain...!" perintah pemuda itu tanpa menghirau-kan ucapan Panjul yang terus
membelalak begitu melihat berkelebatnya Pusaka Golok Buntung di tan-
gan Buang Sengketa.
"Lagi-lagi! Kami berhutang nyawa padamu,
Pendekar...!"
"Bagaimana kami harus membalasnya...!"
kata Panut ikut bicara.
"Guobloook...! Sudah kubilang, kalian selamatkan kawan-kawanmu...!" bentak
pemuda itu. Dengan tergopoh-gopoh, orang-orang itu kembali menuruni tangga menuju ruangan
bawah tanah. Tak begitu lama setelah orang-orang yang baru sa-ja dibebaskan pendekar ini
lenyap dari pandangan si pemuda. Dari arah lain, nampak berkelebat sesosok tubuh
ke arah mereka.
"Weeer...!"
Tanpa diduga-duga, pendatang tak dikenal
ini lambaikan jubahnya. Akibatnya sungguh di
luar dugaan Buang Sengketa dan Lukita Sari. Tubuh kedua muda mudi ini terhuyung-
huyung. An- dai saja mereka tidak cepat-cepat memasang ku-
da-kuda. Dapat dipastikan dua-duanya ter-
jengkang. Begitu menjejakkan kakinya, satu bentak-
an yang disertai pengerahan tenaga dalam yang
cukup tinggi pun menggeledek.
"Bocah-bocah pentil...! Berani kalian datang ke Kota Hantu, itu sama saja
artinya kalian membuat urusan yang cukup dengan kami...!" kata la-ki-laki tua
berjubah hitam tanpa dapat menyembunyikan kemarahannya.
Buang Sengketa terdiam, tetapi Lukita Sari
nampak terus menerus memandangi laki-laki itu
dengan pandangan tiada berkedip sedikitpun juga.
"Mungkin inilah kakek Durga Wungu, yang merupakan kakak tiri Nenek Gombrang. Tak
salah, manusia yang sudah hendak masuk liang kubur ini
tak pernah berubah seperti apa yang dikatakan
oleh Penyihir Tunggal Pantai Selatan." batin gadis bertopi caping itu.
"Belum pernah aku melihat tampang kalian
sebelumnya, sekarang cepat-cepatlah katakan padaku. Siapa kalian yang
sesungguhnya...!"
"Engkaukah yang bernama Durga Wun-
gu...?" selak Lukita Sari tanpa menghiraukan pertanyaan kakek berjenggot panjang
itu. "Hrrrrt.... Keparat...! Ditanya malah balik bertanya. Tapi baiklah, kalau aku
memang Durga Wungu, engkau mau apa...?"
"Kalau memang betul anda Durga Wungu.
Maka maksud kedatanganku ke sini adalah untuk
mengambil jiwamu...!"
"Haah... apa....! Tidak salahkah apa yang kudengar..." Ha... ha... ha....!
Begitu berhargakah jiwa lapukku ini hingga kau menginginkannya...?"
menggeram kakek berjubah hitam ini.
"Ingatkah anda pada adik tiri anda yang
bernama Sangra Wulan....!" desis gadis bertopi caping ini sinis.
Begitu Lukita Sari menyebut-nyebut nama
Sangra Wulan. Durga Wungu pun nampak terdiam
beberapa saat lamanya. Alis mata mengkerut, tan-da hatinya sedang diliputi
dengan berbagai perasaan.
"Sangra Wulan, adik tiri yang tiada guna.
Dengan ilmu sihir picisan dia coba-coba menuntut
balas padaku... he... he... he....! Andai saja waktu itu dia tak kabur dalam
pertempuran. Mungkin
saat ini hanya tinggal namanya belaka....!"
"Bocah! Apakah kedatanganmu kemari se-
ngaja mewakilinya...?" bentak Durga Wungu dengan pandangan berapi-api.
"Terkutuklah engkau tua bangka. Kau-
pembunuh orang tua sendiri, kau kangkangi harta bendanya. Lalu kau singkirkan
pula adik sendiri....!" sentak Lukita Sari, nampaknya saat itu dia sudah merasa
tak mampu membendung luapan
kemarahannya. "Aku... aku pembunuh orang tuaku sendi-
ri.... huhu... hu... hu...! Bangsat bajingan Candra Kila itulah yang telah
melakukannya. Aku menye-salkan hal itu, tetapi segalanya mungkin memang harus
terjadi. Dan itu bukanlah kesalahanku...
ya... bukan kesalahanku...!"
"Kau mau memungkiri semuanya! Dosa-
dosamu kelewat besar, para Dewa sekalipun tak
mungkin mau memaafkanmu. Kalau pun engkau
mati, itu pun belum setimpal untuk menebus se-
gala kesalahan yang pernah kau lakukan...!" teriak Lukita Sari. Menyadari kakek
tua berpakaian serba hitam ini memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Maka
sejak awal dia telah mempersiapkan segala sesuatunya.
"Herrng...! Kau utusannya si Buntung San-
gra Wulan. Hok... hok... hooo...! Pucuk dicinta ulam menyerah. Kau memang pantas
mampus di tanganku...!" geram Durga Wungu.
Kejap kemudian dia sudah bermaksud
membuka serangan, namun pada saat itu terden-
gar satu seruan yang disertainya berkelebatnya dua sosok tubuh, dan langsung
berdiri di sisi Durga Wungu.
"Tuan...! Biarkan kami yang meringkus dua ekor tikus muda ini untuk tuan...!"
sergah Setan Gila.
Sejenak Durga Wungu memandangi dua
orang tangan kanannya, lalu mendengus dengan
sikap tidak senang: "Kota Hantu yang selama ini ku bangga-banggakan sudah
diambang kehan-curan, kini kalian datang hanya dengan maksud
menghibur ku.... Puih...! Kalian berdua hadapi bocah gombal itu! Biarkan gadis
cantik ini menjadi bagianku....'" bentak kakek renta berpakaian serba hitam ini
gusar. Menyadari majikannya sedang dilanda ke-
marahan, maka tanpa menunggu diperintah dua
Iblis Dua Muka dan Setan Gila segera menyerang Pendekar Hina Kelana dengan
jurus-jurus an-dalannya.
"Hiaaaat...!"
"Haeeees...!" Buang Sengketa mengelak-kannya dengan cara menggeser tubuhnya ke
samping kiri. Selanjutnya satu tendangan kilat dia lakukan, namun dengan cara
berjumpalitan Setan Gila dan Iblis Dua Muka berhasil pula menghindari serangan
lawannya. Sebentar saja pertarungan seru pun segera terjadi. Nampaknya masing-
masing lawan mulai mengeluarkan jurus-jurus simpanannya.
Sementara itu, pertarungan antara Lukita
Sari dan Durga Wungu juga tak kalah hebatnya.
Apalagi kakek berpakaian serba hitam ini meru-
pakan tokoh sesat yang dulunya pernah menga-
lahkan guru si gadis. Sungguh pun begitu, Lukita Sari juga bukanlah bocah
kemarin sore yang dapat dianggap remeh.
Rahasia Ilmu Sihir yang diberi nama 'Ba-
yang-Bayang Dewa' yang berhasil dipelajarinya
merupakan Ilmu Sihir yang sangat langka dan
mengandung banyak tipu muslihat. Maka ketika
pertarungan tingkat tinggi itu berlangsung, kesaktian yang mereka miliki pun
segera mereka gelar dalam pertempuran itu.
"Chaaaa...!"
Tubuh Durga Wungu melambung tinggi ke
angkasa dalam keadaan seperti itu sambil ber-
siap-siap melepaskan pukulan 'Musnah Tanpa Ka-
rana', kakek berpakaian serba hitam ini berseru.
"Bocah bau ingus! Kau tahanlah pukulan
mautku ini, kerahkan segala kemampuan yang
kau miliki. Seandainya nasibmu baik, mungkin
kau masih dapat melihat matahari esok pagi...!" teriak Durga Wungu. Pada saat
seperti itu, kedua tangan kakek tua ini telah pula berubah putih
menyilaukan mata. Bahkan sebentar kemudian se-
luruh tubuhnya telah pula berubah putih. Tak dapat dibayangkan betapa hebatnya
pukulan yang akan dilepaskan oleh lawannya.
Lukita Sari menyadari akan datangnya ba-
haya ini, dalam pertarungan menghadapi tokoh
tingkat tinggi untuk kali ini, dia tak mau mempergunakan segala bentuk ilmu
sihir yang di- milikinya, karena dia pun berpikir. Walau bagai mana pun lawannya yang pernah
bentrok dengan gurunya pastilah mengetahui kelemahan ilmu sihir yang dimilikinya. Akhirnya
tanpa merasa canggung-canggung lagi, gadis bertopi caping ini mencabut Keris
Jalak. Yaitu senjata pemberian gu-
runya yang berhasil dicurinya dari tangan Durga Wungu ketika mereka saling
bentrok dulu. "Hiaaaiiit...!"
"Hwwwweeeeeesss...!"
Serangkum gelombang sinar putih yang
menimbulkan angin ribut dan hawa panas tak ter-tahankan menghantam tubuh Lukita
Sari yang ha- lus mulus. Sedemikian cepatnya datangnya gelombang pukulan yang dilepaskan oleh
Durga Wungu itu, sehingga semua orang yang berada di tempat itu memperkirakan gadis bertopi
caping ini tak mungkin mampu menghindarinya.
"Sriiing...!"
Dalam keadaan yang sangat kritis itu, serta
merta Lukita Sari mencabut senjata kegelapan
yang terselip di bagian pinggangnya.
"Plaaas...!"
Tubuh Lukita Sari secara gaib lenyap begitu
saja, begitu pun dia tetap tidak bergeser dari tempatnya semula.
"Jleeeeng...!"
Pukulan yang dilepaskan oleh Durga Wun-
gu bagai membentur dinding baja. Bahkan puku-
lan itu membalik dengan sendirinya. Andai Durga Wungu tidak cepat-cepat membuang
tubuhnya. Pasti dia termakan pukulannya sendiri.
"Celaka...! Senjata kegelapan milikku, kiranya ada di tanganmu.... Sangra Wulan
benar- benar seorang pencuri yang licik...!" maki Durga Wungu di dalam hati.
"Kerahkanlah segenap kemampuan yang
kau miliki Durga Wungu. Senjata kegelapan yang merupakan segala kelemahan dari
ilmu kesaktian yang kau miliki, kini telah berada di tanganku...!"
ejek Lukita Sari dalam suaranya yang tidak beru-jut.
"Kau hanya membual! Aku tak kan pernah
dapat dikalahkan dengan senjata jenis apapun...!"
balas Durga Wungu berusaha menutupi keresahan
hatinya. "Kalau begitu, bersiap-siaplah kau untuk
mampus...!" desis Lukita Sari. Kali ini malah berbalik menyerbu.
Ketika itu, tidak jauh dari tempat perta-
rungan antara Durga Wungu dengan Lukita Sari.
Buang Sengketa sedang berusaha mengatasi gem-
puran-gempuran yang dilakukan oleh Iblis Dua
Muka dan Setan Gila. Pada hakekatnya ilmu pu-
kulan tangan kosong yang dimiliki oleh kedua lawannya memang mengandung racun
yang sangat panas. Bahkan dalam menghadapi setiap lawan-
lawannya, selama ini kedua tokoh sesat tingkat tinggi ini cukup hanya
mengandalkan pukulan
'Mayat Gentayangan' yang tidak perlu diragukan lagi keampuhannya.
Menjelang pertarungan lima puluh jurus,
Buang dengan telak kena dihajar pukulan yang dilepaskan oleh Setan Gila. Tubuh
pemuda ini ter-
jengkang tiga tombak, darah meleleh dari hidung dan bibirnya, sementara bagian
dada maupun perut, terasa sesak luar biasa.
"Ha... ha... ha...! Pukulan Mayat Gentayangan tidak dapat dianggap sembrono,
Bocah...! Racun yang bekerja di dalam tubuhmu sebentar lagi segera membuat
nyawamu terbang ke neraka...!"
"Hoeeek...! Glook.... Glook...!" Dua kali Buang Sengketa terbatuk. Maka darah
kental pun menggelogok dari mulutnya. Dalam keadaan seperti itu pun pemuda ini
masih mampu menyung-
gingkan seulas senyum rawan. Di luar dugaan kedua lawannya, Buang Sengketa
dengan langkah terhuyung-huyung segera bangkit berdiri.
"Nguuuung...!"
Begitu dia meraba pinggangnya, maka Pu-
saka Golok Buntung pun telah tercabut dari sa-
rungnya. Baik Setan Gila maupun Iblis Dua Muka nampak sama-sama terkejut begitu
melihat senjata di tangan lawannya memancarkan sinar
merah menyala. "Pendekar Golok Buntung...!"
"Hmmm...!" gumam Pendekar Hina Kelana.
Sementara itu dari sela-sela bibirnya mengeluarkan bunyi mendesis-desis bagai
seekor ular piton yang sedang marah. "Seandainya aku merupakan seekor monyet
tolol, tentu aku sudah mampus di tangan kalian para iblis! Berpuluh-puluh
kesempatan telah kuberikan pada kalian.... Menyesal kalian tak pernah becus
mempergunakan setiap ke-
sempatan dengan baik. Kini rasakanlah akibat-
nya...!" geram pemuda itu. "Hiaaaaat...!"
Tubuh Buang Sengketa kemudian melom-
pat ke depan, Golok Buntung di tangannya berkelebat-kelebat menyambar. Sekejap
saja tubuh pemuda itu telah terbungkus sinar merah yang di-
pancarkan oleh senjata pusaka yang memiliki pa-mor sangat tinggi ini. Sekali dua
untuk mem- porakporandakan pertahanan lawannya, pemuda
ini melepaskan pukulan Si Hina Kelana Merana.
Yang menimbulkan hawa sedemikian hebat pa-
nasnya. Pada kenyataannya setelah pertempuran
dengan mempergunakan senjata berlangsung tidak lebih tujuh jurus. Setan Gila dan
Iblis Dua Muka sudah terdesak hebat. Tidak sedikit pun peluang bagi mereka untuk
melepaskan pukul-an-pukulan
saktinya. Semakin lama jarak antara si pemuda den-
gan lawannya semakin bertambah dekat, lagi-lagi pemuda dari Negeri Bunian ini
melompat sambil
membabatkan senjatanya.
"Hiaaaat...!"
"Craaas...!"
Setan Gila terhuyung-huyung sambil men-
dekap bagian mukanya yang berlumuran darah.
Tetapi tiada terdengar suara apapun dari mulutnya. Buang Sengketa tiada perduli.
Sekali ini dia merangsak ke arah Iblis Dua Muka. Laki-laki berwajah menyeramkan
ini melompat mundur dan
bermaksud meninggalkan pertempuran. Namun
nampaknya Buang sudah tidak memberikan ke-
sempatan lagi....


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jraaas...!"
"Akgrrr...!"
Begitu bagian leher Iblis Dua Muka tersam-
bar senjata di tangan Buang Sengketa, sekejap
kemudian tubuh orang ini ambruk ke bumi. Ber-
kelejat-kelejat sebentar, lalu diam untuk selama-lamanya. Belum lagi Pendekar
Hina Kelana meno-
leh ke arah Setan Gila yang sudah tak berada di tempatnya. Terdengar pula satu
jeritan. "Kau memang pantas mampus, manusia
paling durhaka di kolong langit...!" geram Lukita Sari. Rupanya saat itu, gadis
bertopi caping yang sedang terlibat pertempuran dengan Durga Wungu berhasil
merobohkan kakek renta itu dengan senjata kegelapan pemberian Penyihir Tunggal
Pantai Selatan.
"Satu orang lawan berhasil lolos dari ta-
nganku, Adik Ita...!" kata si pemuda setelah keduanya saling mendatangi.
"Suatu saat, Setan Gila pasti akan mencari kita Kakang...!" kata si gadis dengan
tatapan sen-du.
"Yeaaah... di suatu saat kelak! Mungkin kita pun kan bertemu kembali...!"
"Kakang... aku harus kembali menemui gu-
ruku di Daerah Tanah Bernyawa! Apakah kau mau
ikut...?" tanya si gadis penuh harap.
"Tidak sekarang! Tetapi di suatu saat ke-
lak...!" "Kita berpisah, Kakang...!" ujar Lukita Sari dengan tatapan kecewa.
Tanpa berkata apa-apa pemuda berwajah
tampan ini semakin mendekat. Wajah si gadis se-
makin memerah. "Kau tak ingin memberi ku satu kenang-
kenangan Kakang...!". tanya si gadis ketika membalikkan langkah.
"Ya...!" ujar Buang Sengketa. Lalu wajah mereka saling mendekat, Lukita Sari
gemetar tubuhnya lalu memejamkan mata. Dengan tulus
pemuda dari Negeri Bunian ini pun mencium bibir si gadis. Begitu lembut, namun
tak sampai sekedipan mata.
"Itulah sebuah kenangan yang ingin kuberikan padamu...!" kata Buang Sengketa
ketika gadis bertopi caping itu membuka matanya kembali.
"Aha... asyiiik...!" kata Panjul, Panut dan Godot ketika melihat adegan itu.
Lukita Sari semakin bertambah memerah wajahnya, karena me-
rasa malu maka tanpa membuang-buang waktu,
gadis itu pun berlari-lari cepat meninggalkan si pemuda dengan meninggalkan
kerlingan penuh ar-ti.
"Maafkan kami Pendekar...! Kami bukan
bermaksud mengganggu Pendekar! Sama sekali ti-
dak... kami hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih...!" ucap ketiga orang
lalu membungkuk hormat. Namun begitu mereka menoleh dan memandang ke depannya,
Pendekar Hina Kelana su-
dah tak ada lagi di depan mereka.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Patung Dewi Kwan Im 4 Walet Besi Karya Cu Yi Duel 2 Jago Pedang 5
^