Pencarian

Dendam Dalam Darah 1

Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah Bagian 1


DENDAM DALAM DARAH Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1992
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Dendam Dalam Darah
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Pagi nan sejuk udara berselimut kabut.
Tetes-tetes embun pagi terasa menyengat kulit tubuhnya yang halus mulus. Tetapi
tidak sekalipun gadis bertopi caping itu menghiraukan suasana
seperti itu, seolah keadaan seperti itu sudah menjadi kebiasaan dalam hari-hari
kehidupannya di kaki Gunung Gilatama.
"Hiaaaa... haiiit... haiiit...!" Terdengar suara teriakan si gadis yang begitu
nyaring dan merdu.
Sementara seorang nenek tua berpakaian biarawa-ti dengan bertumpu pada sebelah
kakinya nampak berdiri mengawasi semua gerakan-gerakan silat
yang dilakukan oleh gadis bertopi caping itu.
"Tangan terkepal, menghantam ke arah de-
pan. Kemudian kaki kiri melakukan tendangan
dengan mengerahkan sepertiga dari tenaga dalam yang kau miliki. Setelahnya
senjata rahasia yang berada di tangan kirimu menyerang empat bagian tubuh orang
yang berdiri di hadapanmu itu...!" ka-ta nenek berpakaian biarawati ini memberi
penga-rahan pada gadis berwajah cantik yang sedang melakukan latihan.
"Heeeuuup...! Ciaaat...!"
Gadis itu kembali keluarkan suara teriakan
tinggi melengking. Selanjutnya dia pun melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan
apa yang di-perintahkan oleh si nenek berkaki buntung yang berdiri tegak tidak
begitu jauh di depannya.
"Jeb... deb... weeer...!"
Tiga gerakan cepat secara berturut-turut dia
lakukan, manakala gadis berkulit kuning langsat ini hantamkan tangannya ke arah
depan, selanjutnya disusul dengan kaki kiri. Maka menderulah angin yang begitu
kuat menyambar ke seluruh sisi tubuh orang-orangan yang berada di depannya.
Kalau saja nenek berpakaian biarawati itu menan-capkan bagian kaki orang-orangan
ini tidak kuat dan dalam. Sudah dapat dipastikan orang-orangan sebagai sasaran
latihan si gadis terpelanting roboh.
"Jes...! Ces...! Ceeess...!"
Senjata rahasia yang berupa sengat Kala Hi-
tam itu pun dengan tepat mencapai sasaran-nya.
Sesaat nenek berpakaian biarawati itu memeriksa bagian badan yang menjadi
sasaran serangan muridnya.
"Bagus... hi... hi... hi...! Murid berbakat yang kudapat rasanya sangat sesuai
dengan apa yang
sering ku impi-impikan dulu." kata si nenek, lalu berjingkrak-jingkrak dalam
luapan kegembi-raannya. Beberapa saat lamanya nenek ini mena-
tap tajam pada gadis bertopi caping yang berdiri tidak begitu jauh di depannya.
"Teruskan latihanmu dengan jurus 'Meng-
gempur Badai Selatan'...!" Sekali lagi si nenek kaki buntung memberi perintah
pada muridnya. "Aku akan melakukannya, Nenek Gom-
brang...!"
Gadis bertopi caping ini undur tiga langkah,
kaki dia tekukkan membentuk kuda-kuda yang
kokoh. Sementara itu kedua tangannyapun telah
pula disilangkannya ke depan dada.
"Hiiiaat...! Bet... bet...!"
Dengan gerakan yang begitu lincah, gadis
ini terus menghindari jebakan-jebakan yang se-
ngaja dipasang oleh si nenek berkaki buntung
yang menjadi gurunya. Selanjutnya tubuh gadis ini berloncatan dari sebuah batu
ke batu lainnya. Sebagaimana yang terlihat, batu-batu tempat si gadis
berloncatan terletak di sebuah kolam yang airnya begitu dalam dan nampak
menggelegak dan men-gepulkan uap putih. Sedangkan jarak antara batu yang satu
dengan batu yang lainnya tak lebih dari lima meter. Dan batu yang dijadikan
tumpuan oleh si gadis sebenarnya berukuran sangat kecil lagi runcing. Dapat
dibayangkan seandainya dia terge-lincir di atas kolam alam yang senantiasa
menggelegak itu, setidak-tidaknya tubuh gadis itu lumer menjadi bubur.
Namun gadis bertopi caping ini merupakan
murid tunggal si nenek kaki buntung yang men-
dapat gemblengan selama hampir tujuh tahun.
Nenek berpakaian biarawati yang menjadi guru
gadis bertopi caping, juga bukan hanya sekedar guru biasa. Dalam dunia
persilatan dia dikenal sebagai Penyihir Tunggal Pantai Selatan. Nenek buntung
berusia sekitar enam puluh lima tahun ini pada jamannya sangat dikenal sebagai
seorang ah-li sihir yang sangat tangguh dan memiliki pendirian yang selalu
cenderung membela kaum yang
lemah. Berada pada aliran putih, Penyihir Dari Pantai Selatan, dan kerap
dipanggil Nenek Gombrang oleh murid tunggalnya. Dalam dunia persila-
tan dikenal sebagai seorang tokoh yang begitu tegas dan jarang memberi keampunan
bagi setiap lawan dari golongan sesat. Tindakannya terkadang brutal namun beralasan. Tetapi
di lain waktu dia sering bersikap acuh pada keadaan yang terjadi di
sekelilingnya. Sifatnya yang selalu angin-anginan dan misterius ini, sering
berakibat kaum golongan putih menaruh kecurigaan besar pada dirinya. Itulah
sebabnya, sungguh pun telah belasan tahun
Nenek Gombrang kaki tunggal telah mengasingkan diri dari dunia ramai, namun
tetap saja orang-orang yang dulunya pernah berurusan dengan dirinya dan pernah
pula merasa dirugikan, hingga
saat ini terus mencarinya.
Hanya saja mereka merasa kehilangan jejak
buronannya, sejak nenek ini berpindah-pindah
tempat sampai akhirnya dia menemukan sebuah
tempat yang dia kenal sebagai Tanah Bernyawa.
Sejak mulai saat itu, di Tanah Bernyawa in-
ilah Nenek Gombrang hidup dengan murid tung-
galnya Lukita Sari. Kepada gadis yang kini telah berusia remaja, Nenek Gombrang
menurunkan seluruh kepandaian yang dimilikinya. Tidak sampai di situ saja si
nenek berbuat untuk muridnya. Di Tanah Bernyawa si nenek menciptakan ilmu sakti
dan berbagai ilmu sihir lainnya, khusus diperun-tukkan buat Lukita Sari.
"Haap... Ita... lihatlah! Di hadapanmu ada seekor ular raksasa yang telah
bersiap-siap memangsa tubuhmu...!"
Pelan saja ucapan si Nenek Gombrang, tapi
suara itu cukup berpengaruh dan terasa mengge-
tarkan rongga dan seisi perut Lukita Sari. Si gadis nampak tercekat begitu
melihat ke arah depannya.
Benar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya.
Saat itu dari dalam air kolam yang menggelegak, secara tiba-tiba muncul seekor
ular raksasa berkulit hijau lumut. Lidah binatang berbau amis luar biasa ini
nampak menjulur-julur, dengan mulut
terbuka lebar dan siap memangsa tubuh Lukita
Sari. Tanpa membuang-buang waktu lagi gadis
bertopi caping ini mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya, tapi sebelum dia
mampu berbuat banyak. Tubuh ular raksasa berwarna hijau itu telah meliuk dan
langsung menyambar tubuhnya.
"Haiiit...!"
Lukita Sari lentingkan tubuhnya ke udara,
selanjutnya satu pukulan telak yang berintikan tenaga dalam yang kuat
dilepaskannya mengarah
pada bagian kepala ular buas tadi. Namun ular
berkulit hijau ini memiliki naluri yang begitu peka.
Menyadari adanya sambaran angin pukulan yang
begitu dingin, ular raksasa itu meliukkan tubuhnya, membentuk gerakan sebuah
cambuk yang melecut ke udara. Satu pukulan telak yang dilakukan oleh Lukita Sari berhasil
dielakkan oleh ular jejadian ini dengan sangat baik. Pukulan yang menebarkan
hawa panas itu terus menderu, hingga akhirnya menghantam batu yang berada di
tengah-tengah kolam alam tadi. Batu tersebut hancur berantakan, bahkan air panas
di dalam kolam alam itu muncrat ke udara terkena sambaran an-
gin pukulan yang tidak mengenai pada sa-
sarannya. "Zsssss...!"
Ular raksasa jejadian ini mendesis-desis, air
liur berlelehan dari lidahnya yang menjulur panjang dan bercabang. Selanjutnya
dengan gerakan yang sangat cepat, ular itupun menjulur-kan tubuhnya. Bagian
kepala dengan disertai bunyi
mendesis, nampak menyambar ke arah tubuh Lu-
kita Sari. Gadis bertopi caping ini menyambutnya dengan satu pukulan yang
disertai dengan pengerahan setengah dari tenaga dalam yang di-
milikinya. "Dweees...! Hoooooss...!"
Bagai tiada merasakan adanya sambaran
hawa panas yang datang ke arahnya, ular bersisik hijau ini malah menyambut. Dan
keanehan pun terjadi, pukulan 'Awan Biru' yang telah dilepaskan oleh Lukita Sari seolah
lenyap begitu saja tanpa bekas. Gadis bertopi caping ini memandangnya
dengan mata membelalak. Namun ketika dia men-
dengar suara gelak tawa dari mulut orang yang
sangat dikenalnya, maka teringatlah gadis ini pada sesuatu. "Uh, tolol betul aku
ini! Sudah jelas apa yang kulihat sebetulnya adalah permainan sihir Nenek
Gombrang! Mengapa aku tak menyadarinya
sejak tadi?" batin gadis itu.
"Heeeaaa...!"
Lagi-lagi Lukita Sari terus berkelit meng-
hindar saat mana ular bersisik hijau kembali men-yerangnya dengan ganas.
"Wuuut...!"
Satu gerakan ringan dengan cara bersalto
mengikuti lurusnya batang pohon, membuatnya
telah berada diatas pohon tersebut. Dengan cepat dia merapal ajian ilmu sihir
yang telah dikuasai-nya. Hanya dalam waktu sekedipan mata saja, tubuh Lukita
Sari telah mengembar jadi tiga. Tidak sampai di situ saja, tubuh kembar itu
hanya dalam tempo yang singkat telah pula berubah men-
jadi tiga ekor burung rajawali raksasa.
"Kaaakk... Kroaaak...!"
Burung penjelmaan Lukita Sari ini lang-
sung menyambar ular hijau yang berada di dalam kolam itu. Akhirnya ular dan tiga
ekor burung raksasa itupun terlibat pertarungan sengit dengan ular tersebut.
Dengan mengandalkan kepakan sayapnya
yang luar biasa, burung rajawali itu terus men-cecar ular hijau yang berada di
tengah-tengah kolam berair panas. Pada dasarnya menghadapi sa-
lah seekor dari burung rajawali itu saja, ular raksasa ini sudah keteter,
jangankan menghadapi serangan berbareng yang dilakukan oleh ketiga burung
berukuran sangat besar ini.
Dalam waktu yang begitu singkat, binatang
melata dan berbau amis menjijikkan ini pun sudah terdesak hebat. Hingga beberapa
saat setelahnya cakar-cakar burung rajawali itu berhasil dengan telak melukai
tubuh ular berukuran sangat besar ini.
"Buuueees...!"
Bersamaan dengan terlukanya tubuh ular
raksasa itu, sedetik kemudian ular inipun raib dari hadapan si nenek. Sebagai
akibatnya tubuh Nenek
Gombrang terhuyung-huyung dua tom-bak.
"Kreaaak... Kreaaak...!"
Burung rajawali penjelmaan Lukita Sari itu
pun kembali dalam ujudnya semula.
"Bagus...! Kau benar-benar seorang murid
yang dapat ku andalkan!" gumam Nenek Gom-
brang memuji. "Hemm! Lukita Sari...!" panggil perempuan tua berkaki buntung ini
tanpa menoleh pada lawan bicaranya.
"Iya nek...! Ada apakah...?" tanya Lukita Sa-ri sambil melangkah mendekat.
"Tahukah kau sudah berapa lama engkau
tinggal bersamaku...?" bertanya si nenek tanpa menghiraukan pertanyaan gadis
cantik bertopi caping yang berdiri tegak di hadapannya.
"Eem...! Mungkin sudah hampir tujuh ta-
hun! Atau bahkan lebih...!"
"Tujuh tahun! Sebuah waktu yang cukup
lama, tetapi apakah yang telah kau peroleh se-
lama itu dari seorang guru sepertiku ini?" tanya si nenek dengan sorot mata
tajam. Yang ditanya
nampak terdiam sejenak, namun tak begitu lama
kemudian dia telah menjawab
"Guru... ee... Nenek Gombrang telah mem-
beriku banyak bekal yang nantinya dapat kuper-
gunakan untuk membela kaum yang lemah! Dan
murid tak tahu bagaimana murid harus berterima kasih atas segala apa yang pernah
nenek berikan...!" ujar Lukita Sari dengan sikap takjim.
Penyihir Tunggal Pantai Selatan nampak
sunggingkan seulas senyum, hingga menampak-
kan giginya yang cuma tinggal tiga buah saja.
"Hik... hik... hik...! Ternyata untuk mengucapkan kata-kata terima kasih saja
bagimu sulit-nya bagai orang yang mau melahirkan! Bueh...
murid macam apa engkau ini...?" bentak si nenek, uring-uringan.
"En... anu nek! Maksudku bagaimana cara-
nya agar aku bisa membalas segala kebaikan yang pernah kau berikan kepadaku...!"
ucap si gadis bertopi caping terbata-bata.
"Bagiku bukan itu yang paling penting! Tetapi kata-kataku yang harus kau patuhi
dan pertanyaan sanggup untuk mengerjakannya. Bagai-
mana apakah kau setuju?" tanya si nenek dengan suara datar.
"Apapun yang nenek perintahkan, seandai-
nya aku mampu, sudah barang tentu dengan san-
gat senang hati akan kukerjakan...!"
"Buagus itu... kau memang murid dan cu-
cuku yang begitu berbakti.. Hik... hik...!" kata si nenek begitu bangga. Sekejap
dia memandang pa-da Lukita Sari dalam-dalam. Namun di lain waktu secara mendadak
saja wajahnya berubah murung.
Selama ini belum pernah sekalipun Nenek Gom-
brang bersikap seperti itu, biasanya dalam menghadapi persoalan serumit apapun,
nenek keripu- tan ini selalu tertawa-tawa, atau tersenyum lepas bagai orang sinting. Tapi kali
ini lain, si nenek bagai sedang menghadapi gunung yang mau meletus.
Nampak panik bahkan kerut merut di wajahnya
semakin berlipat ganda.
"Apa yang kau pikirkan, Nek...!" bertanya si gadis dengan sikap berhati-hati.
2 Yang ditanya nampak diam saja, bahkan
seperti ada satu beban di hatinya yang terasa berat untuk disampaikan pada


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muridnya, tetapi lebih
berat lagi bila dia menanggungnya seorang diri.
"Ita muridku...! Aku ingin mengatakan se-
suatu yang sangat penting padamu. Tetapi alangkah lebih baik jika kita
membicarakannya di dalam pondok!"
"Mari, guru...!" kata Lukita Sari, kemudian mengiringi langkah terpincang-
pincang gurunya
dari belakang. "Kreooot...!"
Pintu pondok bertonggak tinggi tersebut
menimbulkan suara berkereotan saat mana Lukita Sari mendorongkannya. Murid dan
guru melangkah memasuki ruangan pondok yang hanya beru-
kuran tiga kali empat meter dan begitu sangat se-derhana sekali. Menunggu Lukita
Sari mengambilkan kendi berisi air dingin, nampak Nenek Gom-
brang tercenung seorang diri. Entah mengapa secara tiba-tiba dia teringat
tentang perjalanan masa lalunya.
Kala itu rasa-rasanya segala sepak terjang
yang pernah dilakukannya begitu sadis dan tak
pernah mengenal kompromi. Ilmu sihir yang ber-
hasil dia pelajari dari dasar lembah Tanpa Ujud selama belasan tahun, ternyata
telah begitu banyak menimbulkan korban dari berbagai golongan persilatan kala
itu. Kehadirannya di dunia persilatan
selalu dimusuhi oleh tokoh-tokoh sakti. Semua itu tak terlepas dan akibat dari
keserakahan abang tirinya yang berusaha mengangkangi seluruh harta kekayaan
peninggalan orang tua mereka. Sebagai adik tiri dan perempuan pula. Sudah jelas
dia tak memiliki kekuatan apa-apa untuk menuntut sekedar hak yang sudah
selayaknya menjadi miliknya.
Walaupun dia menyadari kalaupun dia mendapat-
kan bagian harta itu, sudah pasti sedikit sekali.
Kedua orang tua meninggalkan mereka untuk se-
lama-lamanya akibat malapetaka yang menimpa,
dalam satu perjalanan dagang ke kota raja. Sejauh itu dia masih belum berhasil
mendapatkan siapa pembunuh kedua orang tuanya. Hanya sebuah
benda yang berbentuk bintang empat dan terbuat dari bahan tembaga itulah yang
dapat dia anggap sebagai bukti, bahwa kematian yang dialami oleh orang tuanya,
tentu para pelakunya yang memiliki benda itu. Mengharapkan abang tirinya untuk
me-lacak jejak pembunuh orang tua, rasa-rasanya begitu sulit. Orang yang bernama
Durga Wungu ternyata bersikap tak mau perduli atas kematian kedua orang tuanya.
Dan dia menjadi sangat kecewa sekali, karena tak lama setelah itu Durga Wungu
mengusir dirinya begitu saja.
Antara sedih dan kecewa, akhirnya Gom-
brang atau yang memiliki nama kecil Sangra Wu-
lan itu pergi tanpa tujuan. Namun Rimba Persilatan sesungguhnya bukanlah
kehidupan yang ra-
mah. Berulang kali Sangra Wulan yang memiliki
paras lumayan ini harus berjuang mati-matian
menyelamatkan diri dan tangan orang-orang sesat
yang bermaksud tak baik padanya. Namun sampai
di manakah kemampuan seorang gadis yang tak
memiliki kepandaian apa-apa ini. Beberapa bulan kemudian dia berhasil dinodai
oleh Gembong Hitam, yaitu kepala partai terbesar yang bermarkas di bagian
Tenggara. Betapa hancur hati Sangra
Wulan menerima kenyataan pahit seperti ini. Akibatnya dengan membawa luka hati
yang teramat dalam, dia berhasil membebaskan diri dari ceng-keraman Gembong Hitam. Sepanjang
hari dia terus menempuh perjalanan tanpa arah dan tu-
juan. Hingga pada akhirnya sampailah gadis ini di lembah sesat. Dan di tempat
itulah Sangra Wulan menemukan sebuah kitab yang berisi pelajaran silat dan
sebuah kitab lainnya yang berisi pelajaran ilmu sihir. Sejak mulai saat itu,
dengan tekun di tempat yang sama Sangra Wulan mempelajari kedua kitab yang
memiliki kehebatan yang sangat
mengagumkan. Dalam waktu satu tahun sega-
lanya dapat dia selesaikan dengan baik. Terkecuali pelajaran pamungkas yang
terdapat dalam kitab
ilmu sihir tadi. Bahkan sampai akhirnya dia malang melintang dalam dunia
persilatan, Sangra
Wulan masih belum mampu memecahkan rahasia
puncak yang terkandung dalam kitab ilmu sihir
itu. Waktu itu dunia persilatan menjadi gempar
dengan kemunculannya. Begitu banyak kaum se-
sat terbantai di tangannya, apa yang ingin dilakukannya pada saat itu adalah
mencari tahu siapa sesungguhnya yang telah membunuh kedua orang
tua, serta membalas dendam pada Ketua Gembong
Hitam yang bermarkas di bagian Tenggara. Se-
dangkan hal lain yang ingin pula dia ketahui adalah mengenai harta dan tanah
warisan yang telah dikuasai oleh abang tirinya.
Ketika Sangra Wulan meluruk markas
Gembong Hitam, seluruh murid dan pentolannya
dia tumpas hingga tiada bersisa lagi, hancurnya Gembong Hitam dan murid-murid
perguruan itu mengundang kemarahan para sahabat partai
Tenggara ini, hingga membuat dirinya dimusuhi
oleh tokoh-tokoh kaum sesat. Di manapun dia berada selalu saja maut mengincar
dirinya. Korbanpun terus berjatuhan, bahkan abang tirinya yang akhirnya dia
ketahui sebagai orang yang telah ber-gabung dengan para manusia sesat berulang
kali sempat bentrok dengan dirinya. Tapi pada kenyataannya, kakak tirinya itu
memiliki ilmu kepandaian setingkat lebih tinggi dengan kepandaian yang
dimilikinya, hingga akhirnya dia sendiri nyaris tewas di tangan saudara tirinya
itu. Dalam keadaan terluka di bagian kaki aki-
bat sabetan senjata di tangan saudara tirinya, Sangra Wulan melarikan diri. Dan
dalam perjalanan melewati sungai yang tengah dilanda ban-jir, perempuan ini
menemukan Lukita Sari yang kemudian dia angkat sebagai muridnya. Sambil
berusaha memecahkan inti pamungkas yang ter-
dapat dalam kitab ilmu sihir itu yang kemudian mendatangkan hasil. Sangra Wulan
yang kemudian bertukar nama dengan Nenek Gombrang,
terus mendidik Lukita Sari dengan berbagai ilmu kepandaian yang dimilikinya. Dan
tanpa terasa waktu yang tujuh tahun itu pun berlalu, segala rahasia yang terkandung dalam
kitab ilmu sihir yang dulu tak dapat dipecahkannya. Kini sepe-nuhnya telah
dikuasai dengan baik oleh Lukita Sa-ri. Nenek Gombrang merasa sekaranglah
saatnya mengutus murid tunggalnya untuk turun ke dunia ramai guna mengadakan perhitungan
dengan Durga Wungu juga mencari tahu simbol bintang per-
segi empat yang dia ketahui sebagai pembunuh
kedua orang tuanya. Demikianlah ketika hatinya sedang diliputi oleh galau masa
lalunya, secara ti-ba-tiba Lukita Sari yang telah kembali dari dapur dengan
membawakan kendi berisi air langsung
menegur: "Nek! Apa sih yang nenek pikirkan" Sejak
tadi kulihat nenek nampak melamun melulu...!"
ujar si gadis setelah duduk persis di depan Penyihir Tunggal Pantai Selatan ini.
"Eeeh... tidak ada apa-apa...!" ucap si nenek tersentak dari lamunannya.
"Sepertinya, nenek merahasiakan sesuatu
terhadapku! Katakan saja nek... bukankah aku
sudah berjanji untuk mengerjakan sesuatu seperti apa yang nenek inginkan...?"
sentak Lukita Sari tanpa ragu-ragu lagi.
"Huuus... bocah tau apa! Tak usah kau
minta, apa yang sedang ku renungi ini juga nantinya merupakan pekerjaanmu...!"
kata si nenek. Kejab kemudian dia telah menyambar kendi itu
dan langsung pula meneguknya. Terdengar suara
bercekglukan saat mana air itu melewati kerong-kongannya yang kering. Beberapa
saat lamanya setelah menghabiskan air di dalam kendi itu lebih dari setengahnya, maka
Penyihir Tunggal Pantai Selatan itupun dengan sikapnya yang begitu berwibawa
kembali berkata kepada Lukita Sari:
"Ita muridku...! Lama sebelum kau menjadi muridku, tahukah engkau siapa dan apa
saja yang kulakukan di kalangan persilatan?" Yang ditanya gelengkan kepalanya
berulang-ulang. Tapi Nenek Gombrang menanggapinya dengan sesungging senyum.
"Nenek tak pernah mengatakan apa-apa pa-
daku, mustahil aku bisa mengetahui segala apa
yang terjadi dengan nenek ketika itu...!"
"Hik... hi... hi...! Kau memang tak kan tahu apa-apa, karena aku belum
mengatakannya padamu...!" ujarnya. "Hemm! Saat itu hidupku terlalu banyak
dilanda kesengsaraan dan kenangan-kenangan yang sangat menyakitkan. Tapi rasa-
rasanya hal itu tak perlu ku ungkap. Sungguhpun begitu, dalam usia senja dan
menjelang akhir hidupku ini, aku punya satu keinginan yang nantinya merupakan
sebuah tugas penting yang harus
kau kerjakan...! Pahamkah engkau dengan apa
yang kumaksudkan...?"
"Paham, Nek...! Tapi belum seluruhnya da-
pat kuketahui maknanya...!" jawab Lukita Sari.
Nenek Gombrang kembali terdiam, nampaknya pe-
rempuan berusia senja ini sedang berusaha men-
gingat-ingat sesuatu tentang masa lalunya.
"Setelah kau meninggalkan Tanah Bernya-
wa ini, satu yang harus kau lakukan adalah mencari orang yang bernama Durga
Wungu. Tanyakan
tentang warisan peninggalan orang tua kami pada laki-laki itu. Kalau pun
pendiriannya tetap tidak berubah bahkan terus menunjukkan permusuhan
padamu. Maka kau wajib membunuhnya...!"
"Tapi nek! Orang yang nenek sebutkan itu
mana mungkin bisa percaya dengan segala omon-
ganku...!"
"Tidak percaya" Hik... hi... hik...! Dia pasti masih mengenali benda ini!" ujar
si nenek. Lalu menunjukkan sesuatu pada Lukita Sari. Gadis
bertopi caping itupun menerimanya. Sejenak di-
perhatikannya benda pemberian si nenek. Benda
itu sesungguhnya hanya berupa kelenengan mai-
nan anak-anak kecil yang bentuknya sangat mirip dengan kelenengan yang dipasang
di leher lembu penarik pedati. "Aneh! Nenek ini hanya menunjukkan sesuatu yang
sebenarnya tak memiliki arti
apa-apa?" batin Lukita Sari dalam hati.
"Dengan mengatakan bahwa kau meru-
pakan murid tunggalku. Durga Wungu pasti akan
mempercayainya. Tapi ingat sungguh pun dia me-
rupakan saudara tiriku, jangan sekali-kali kau termakan bujuk rayunya. Orang itu
manusia iblis yang patut kau waspadai setiap waktu...!" kata Nenek Gombrang
wanti-wanti. "Hal itu bisa aku mengerti, Nek! Tapi apakah selain Kakek Durga Wungu, masih ada
lagi orang lain di rumah kediamannya...?" tanya Lukita Sari dengan dipenuhi rasa
keingintahuan. "Cukup banyak! Bahkan mungkin lebih dari
lima puluh orang, dan perlu kau ketahui selain menguasai seluruh harta benda
peninggalan orang
tua. Durga Wungu juga mendirikan sebuah pergu-
ruan yang cukup besar di rumahnya. Untuk saat
sekarang, mungkin juga dia telah memiliki pem-
bantu-pembantu yang sangat tangguh. Tapi aku
merasa yakin dengan kemampuan dan ilmu sihir
tingkat pamungkas yang telah kau kuasai dengan baik. Orang itu pasti dapat kau
tundukkan...!"
"Kalau memang itu yang nenek kehendaki,
sebagai murid aku akan melaksanakannya dengan
baik...!" kata Lukita Sari menyanggupi. "Eiit... masih ada satu lagi...!" sergah
Penyihir Tunggal Pantai Selatan ini. Nenek Gombrang tak lama ke-
mudian telah pula mengambil sebuah benda ter-
buat dari bahan perunggu berbentuk bintang segi empat. Perempuan keriputan ini
selanjutnya menyerahkan bintang perunggu tersebut pada Lukita Sari. Setelah
menyerahkan bintang persegi empat pada muridnya, sambil menatap lurus ke
depannya. Perempuan ini kemudian bergumam:
"Ketika aku merambah dunia persilatan!
Saat itu aku masih belum berhasil mencari tahu siapa sesungguhnya yang memiliki
simbol bintang seperti ini. Kalau pun dia merupakan sebuah perguruan, tapi
perguruan manakah" Itu pun aku belum tahu. Sedikit sekali petunjuk yang
kudapatkan tentang benda ini. Mungkin juga bintang tembaga ini merupakan sebuah
lambang persatuan
dari golongan tertentu. Komplotan garong, atau lambang persatuannya orang-orang
golongan hitam. Aku masih belum mampu menemukan jawa-
bannya...!"
"Yakinkah nenek, benda ini ada sangkut
pautnya dengan pembunuhan yang terjadi atas di-ri orang tua...?" tanya Lukita
Sari ragu-ragu.
"Aku merasa sangat yakin sekali! Sebab
benda itu kutemukan berada dalam genggaman
ibuku. Begitu erat bahkan terlalu sulit bagiku untuk mengambilnya...!" Lukita
Sari menganggukkan kepalanya berulang-ulang.
"Sekarang aku sudah mengerti, Nek! Semo-
ga nantinya aku tidak mengecewakan harapan-
mu...!" "Yaah... itulah yang selalu nenek harapkan darimu! Tapi sebelum kau pergi ke
dunia ramai. Nenek punya sesuatu yang nantinya dapat me-
nyelamatkan dirimu apabila engkau menghadapi
bahaya maut yang sangat sulit untuk kau hin-
dari...!" kata Nenek Gombrang, sekejap kemudian dia telah beranjak dari tempat
duduknya, selanjutnya melangkah menuju ke arah kamarnya. Se-
kejap saja Nenek Gombrang berada di dalam
kamarnya, ketika dia muncul kembali mengham-
piri Lukita Sari.
Nenek Gombrang kemudian memperlihat-
kan sebuah benda lainnya yang memiliki panjang tak lebih dari sejengkal. Ketika
perempuan tua ini menarikkan sarung berwarna merah yang mem-bungkusnya. Maka
terlihatlah sebilah keris lekuk tiga berwarna hitam pekat. Anehnya begitu keris
lekuk hitam itu tercabut keseluruhannya dari sarungnya secara tiba-tiba saja
tubuh Nenek Gom-
brang lenyap tanpa bekas. Hal ini sudah barang tentu membuat kejut di hati
Lukita Sari. "Dapatkah kau melihatku, Lukita Sari...?"
"Aku tak dapat melihatmu, Nek...! Dimana-
kah kau...?" tanya si gadis dengan pandangan ma-ta mencari-cari.
"Aku masih berada di tempat! Tapi kau me-
mang tak akan pernah melihatku, karena tu-
buhku dilindungi oleh Keris Jalak di tanganku...!
Engkau pun bisa melakukannya asalkan kau ca-
but pusaka kegelapan dari sarungnya maka tubu-
hmu selamanya tak mungkin dapat dilihat oleh
orang lain...!" kata Nenek Gombrang secara panjang lebar. Tak lama setelah itu,
begitu Nenek Gombrang menyarungkan senjata kegelapan itu ke dalam warangkanya
yang terbungkus kain merah.
Maka tubuh Nenek Gombrang terlihat kembali se-
bagaimana mestinya.
"Sebuah senjata yang hebat dan tak pernah kulihat sebelumnya." kata Lukita Sari
berseru memuji.
"Nah sekarang tibalah saatnya bagimu un-
tuk meninggalkan Tanah Bernyawa! Kuharap kau


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan kembali ke sini sebelum apa yang menjadi tugasmu dapat kau selesaikan
dengan baik...!"
kata si Nenek Gombrang, lalu menyerahkan sen-
jata kegelapan yang berada dalam genggamannya.
"Baiklah nek! Sungguh pun hatiku merasa
sangat berat untuk berpisah denganmu, namun
demi tugas yang telah nenek berikan padaku. Ma-ka aku pun akan melakukannya...!"
ujar Lukita Sari tegar.
"Berangkatlah! Semoga Sang Hyang Widi se-
lalu melindungimu...!"
Untuk selanjutnya tanpa menoleh-noleh la-
gi, Lukita Sari segera berangkat meninggalkan Tanah Bernyawa yang selama ini
merupakan tempat
menimba berbagai ilmu kanuragan.
3 Tiada kebimbangan tersembunyi, itulah ke-
san pertama yang dapat ditangkap bagi siapa saja yang kebetulan bertemu dengan
pemuda berwajah
sangat tampan ini. Dalam keremangan menjelang
senja, saat matahari telah turun di kaki bukit dan memandarkan cahaya kuning
kemilau keemasan.
Saat itu pemuda berperiuk dengan rambut pan-
jang di kuncir sampai ke bahu ini telah hampir sampai di pinggiran Kota Hantu.
Dengan langkah pasti pemuda ini terus melangkahkan kaki menuju kota yang sudah
tiada berpenghuni tersebut. Tiada di perdulikannya dinginnya udara senja yang
me-nyibakkan anak-anak rambutnya yang menjela
dan berkibar-kibar.
Hanya satu yang ada di dalam hatinya, dia
ingin menyingkap tabir yang selama ini menjadi misteri yang sangat mengerikan
bagi setiap orang seperti apa yang selalu didengarnya di sepanjang perjalanan
menuju Kota Hantu. Perjalanan yang
dilakukannya selama tiga hari tiga malam ternyata tidaklah sia-sia. Setelah
menempuh berbagai
hambatan dan rintangan, senja itu dia telah hampir sampai di tempat tujuan. Kota
Hantu bila dilihat dari jarak yang tidak begitu jauh, nampak menimbulkan kesan
angker. Begitu sunyi, bahkan
bangunan megah yang didirikan dengan cita rasa tinggi pada jamannya. Hampir
sepanjang hari selalu diliputi kegelapan. Si pemuda berkuncir, atau yang lebih
di kenal dengan julukan Pendekar Hina Kelana, dari jarak yang tidak begitu jauh
berusaha mengawasi kota yang begitu menyeramkan ini. Ti-ba-tiba saja dia
bergumam seorang diri:
"Tak seorang pun yang mampu memberi ja-
waban apa yang pernah dan sedang terjadi di tempat itu. Kota Hantu tak ubahnya
bagai sebuah ko-ta mati tiada berpenghuni! Mungkinkah apa yang kukatakan itu
sesuai dengan kenyataan yang
ada..." Alangkah lebih baik kalau aku melakukan penyelidikan ke sana.!" batin si
pemuda. Selanjutnya dengan mengerahkan ilmu mengentengi tubuh
yang sudah begitu sempurna pemuda keturunan
Raja Piton Utara dari Negeri Bunian itu segera pula mengerahkan
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<< 31 - 32
daan, semakin dia melangkah lebih jauh la-
gi, maka gerakannya pun semakin berhati-hati.
"Aku tak dapat melihat, apakah sosok ba-
yangan yang membuntutiku itu merupakan ma-
nusia atau bukan. Yang jelas bila melihat gelagat, siapa pun adanya bayangan
yang bergerak-gerak
itu pasti membawa maksud-maksud yang tak
baik...!" batin si pemuda.
"Heeuuup...!"
Dengan gerakan yang sangat ringan sekali
Pendekar Hina Kelana menjejakkan kaki, selan-
jutnya tubuh pemuda itu melentik ke udara. Di
lanjutkan dengan gerakan bersalto beberapa kali, sampailah dia diatas atap
sebuah bangunan yang sudah begitu tua dan usang. Bahkan ketika menerima berat
tubuhnya, bangunan itu menimbulkan
suara berderak-derak bagai hendak patah.
Celakanya ketika pemuda ini telah berada
di atas bangunan itu, bayangan dalam bentuk lain telah pula mengincarnya
"Mbu...!" Terdengar satu seruan yang sangat mirip dengan dengus seekor lembu
jantan yang sedang terserang radang tenggorokan. Suara lengguh seekor lembu ini sudah barang
tentu semakin bertambah curiga. Pemuda dari Negeri Bunian ini pun mulai bersikap
sangat hati-hati sekali.
"Mbuu...! Mbuuu...Mbuuuuu...!" Suara ber-sahut-sahutan yang membuat bingung si
pemuda, mulai bermunculan dari segala penjuru arah.
Jumlah mereka semakin lama juga semakin ber-
tambah banyak. Dan suara-suara senada nam-
paknya semakin bertambah gencar, terasa mer-
obek kegelapan malam. Seiring dengan gemuruh
suara lengguh lembu jantan itu, terlihat pula bermunculan beberapa sosok
bayangan tubuh men-
dekat ke arah si pemuda.
" Jleegkh... Jleegkh...!"
Keanehan pun terjadi, sungguh pun ban-
gunan tua itu telah banyak menanggung beban
dengan hadirnya sosok yang tidak begitu jelas.
Namun bangunan tua ini tidak berderak patah.
Satu sisi lain yang sangat sulit untuk dipercaya
begitu saja, bagi Pendekar Hina Kelana.
"Siapakah orang-orang ini! Tubuh mereka
begitu ringan bagai tak memiliki bobot! Padahal tadi saja ketika aku menjejakkan
kaki di atas bangunan tua ini, kayu penyanggah di bawah ku sana sudah
menimbulkan bunyi berderak-derak.
"Mbuuuh...!"
Satu sambaran lidah api yang keluar dari
mulut orang yang memiliki kepala tak jauh be-
danya dengan bentuk kepala seekor lembu.
"Sialan...!" maki si pemuda sambil berusaha menghindari semburan api yang
mengarah ke bagian tubuhnya dengan satu pukulan yang begitu
dahsyat. "Wuuus!"
"Bleeess...!"
Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang di-
lakukan oleh si pemuda secara telak menghantam semburan lidah api yang di
semburkan melalui
mulut manusia berkepala lembu tadi. Sosok ber-
bentuk aneh ini keluarkan suara jeritan tertahan-tahan saat mana gelombang
pukulan berhawa pa-
nas luar biasa menghantam tubuhnya. Orang ini
pun terjengkang. Tubuhnya jatuh dari atas ban-
gunan tua tadi, anehnya tiada suara apa pun yang terdengar. Sementara itu begitu
melihat kawannya jatuh dari atas bangunan tua tadi maka yang lainnya datang
menyerbu. Kembali semburan api yang begitu gencar datang dari mulut berpuluh-
puluh sosok berbentuk aneh yang kini telah mengepung dan menyerang Buang
Sengketa dari jarak yang
begitu dekat. "Gila,...! Entah iblis dari mana yang mampu melakukan pekerjaan seperti ini!
Benar-benar edan dan sulit untuk kupercaya...!" rutuk si pemuda.
"Caaaiit...! Wuuus...!"
"Hueer...!"
Satu pukulan si Hina Kelana Merana den-
gan lidah api yang di semburkan dari segala penjuru oleh lawannya, datang
menyambut. "Braaar...!"
Tubuh Buang Sengketa nampak melayang
jatuh dari atas bangunan tua itu, hanya dengan cara bersalto saja pemuda itu
dapat menginjak-kan kedua kakinya dengan baik di atas tanah.
Sementara lawan-lawannya yang memiliki hati setengah iblis masih tetap berada di
atas bangunan itu tanpa kekurangan sesuatu apapun.
"Mbuuuuh...!" Kembali terdengar suara hi-ruk pikuk mirip lengguh lembu jantan.
Tapi nampaknya mereka tiada punya keinginan untuk men-
gejar lawan yang telah terjatuh di bawahnya.
Sungguh pun lawan yang berada di atas ti-
dak memburu pendekar Hina Kelana, namun bu-
kan berarti pemuda itu telah terlepas dari ancaman maut. Sama sekali tidak. Di
bawah sana be- berapa sosok bayangan lain yang sejak pertama
tadi mengikuti dirinya dalam waktu tidak begitu lama telah pula menyergap Buang
Sengketa. "Hoaaar... Roaaar... Grauuung...!" Sosok pe-nyerbu yang berada di lorong-lorong
gelap itu keluarkan bunyi bagai binatang buas.
"Sialan betul! Makhluk apa pula ini...!" maki
si pemuda, kemudian berlari-lari cepat menuju lorong lainnya.
"Hoaar...!"
Di depannya sosok yang sama telah pula
menghadang langkahnya. Pendekar Hina Kelana
membalikkan tubuh dan bermaksud menuju ke
tempat semula. Namun orang-orang aneh yang
mengejar dibelakangnya saat itu juga telah berada begitu dekat dengan pemuda ini
dengan sikap mengancam. Baginya tiada pilihan lain lagi. Secara bersamaan kedua tangannya
yang telah teraliri tenaga dalam dia pukulkan kedua arah sekaligus.
"Weeer! Weeer...!"
"Buum! Bruaaak...!"
Para pengejar dan penghadang di depannya
nampak berpelantingan ke segala penjuru. Pu-
kulan si Hina Kelana Merana, sesungguhnya berakibat fatal bagi mereka, tetapi
anehnya me-reka-mereka ini seperti tidak merasakan akibat yang mereka alami.
Bahkan tubuh aneh yang hangus
akibat pukulan itu nampak bangkit kembali, se-
lanjutnya langsung menyerang pemuda itu dengan cara lebih beringas lagi.
"Setan alas...! Aku yakin mereka pastilah bukan bangsanya manusia biasa. Tapi
mungkin-kah ada satu kekuatan yang tiada terlihat telah mengendalikan sosok
tanpa ekspresi ini?" Batin pemuda itu, secara diam-diam diantara kesibuk-annya
dalam menghadapi serangan yang begitu
gencar. Pendekar Hina Kelana mengerahkan se-
genap kekuatan batinnya.
"Hemm! Benar seperti dugaanku...! Orang-
orang ini pasti ada yang telah mengendalikan-
nya...!" gumam Buang Sengketa dalam hati.
"Kalau begitu, mereka ini merupakan sosok yang tiada pernah mengalami mati. Atau
bahkan mereka ini sudah mati, namun ada seseorang dengan cara-cara tertentu dengan
sengaja membang-
kitkannya. Aku telah menyerang mereka dengan
cara apa pun, tenaga terkuras secara percuma. Sa-tu yang harus kulakukan adalah
mencari sumber kekuatan yang telah membangkitkan mereka se-
cara tak wajar...!" Berpikir sampai di situ, secara mendadak Buang Sengketa
keluarkan teriakan
nyaring satu lengkingan Ilmu Pemenggal Roh telah di lepaskannya. Bangunan tua
yang terletak di sekitar tempat itu runtuh. Tanah tempat mereka
berpijakpun tergetar hebat. Tubuh tanpa nyawa
yang telah dikendalikan sebuah kekuatan yang
tiada terlihat itupun tergetar dan terhuyung-
huyung. Namun tak seorangpun diantara mereka
merasa terpengaruh oleh akibat yang ditimbulkan Ilmu Lengkingan Pemenggal Roh
yang begitu dahsyat.
"Aku harus cari selamat...! Hiaaaa...!"
Dengan mengerahkan ajian Sepi Angin pen-
dekar inipun tak begitu lama setelahnya telah me-lesat pergi. Tetap saja orang-
orang tanpa ekspresi itu mengejarnya. Namun nampaknya mereka kalah cepat dalam
hal mengadu ilmu berlari. Hingga sedetik kemudian merekapun telah kehilangan
jejak. Sementara itu, pendekar Hina Kelana terus saja berlari dan berlari, dia
sudah tiada perduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Sampai akhirnya pe-
muda inipun telah begitu jauh meninggalkan Kota Hantu.
4 Suasana di dalam gudang ruangan bawah
tanah tampak remang-remang menyeramkan, lan-
tai dasar ruangan itu senantiasa becek licin dan menebarkan bau amis darah.
Sementara itu beberapa orang laki-laki berkulit hitam legam dan bertelanjang
dada, nampak berjalan mondar-mandir mengelilingi ruangan demi ruangan yang
jumlahnya tak lebih dari delapan buah. Sesekali terdengar pula erangan-erangan
lemah yang keluar dari mulut orang-orang yang terantai kaki dan tangannya di
pojok-pojok ruangan. Dan pabila di lihat secara lebih dekat lagi, maka dengan
jelas beberapa sosok tubuh terkapar dan terbelenggu rantai baja itu hampir
keseluruhannya dalam keadaan terluka parah bekas cambukan maupun benturan
benda tumpul lainnya. Keadaan mereka memang
benar-benar sangat mengenaskan sekali, tubuh
yang terluka yang sebagian besar telah mulai
membusuk itu begitu kurus. Hanya tinggal kulit pembalut tulang. Tetapi yang
lebih menyedihkan lagi, justru mereka yang berada di dalam kerang-keng ini
kurang di beri makan. Sehingga menim-
bulkan kesan, hidup segan mati tak mau.
" Jletaaar... Jtaar...!"
"Ampun...ampun... jangan tuan siksa diriku seperti itu. Lebih baik tuan-tuan
membunuhku sa- ja...!" rintih sebuah suara berasal dari ruangan lain.
"Apa! Mati bagimu terlalu enak, Godot...! Selama belasan tahun kau telah kuberi
pekerjaan yang begitu enak! Siapa suruh kau menyalah gu-
nakan kepercayaan yang kuberikan padamu...?"
Sayup-sayup terdengar suara bentakan seseorang.
"Maafkanlah aku tuan! Sungguh aku tak
pernah menyalahgunakan kepercayaan yang tuan
berikan...!" rintih orang yang mendapat lecutan cambuk tadi.
"Heh...! Kau tak pernah menyalahgunakan
kepercayaan yang telah kuberikan padamu, jadi
kau kemanakan hasil sawah dan ladangku selama
ini...?" bentak orang itu dengan suara begitu dingin.
"Sebagian hasil sawah dan ladang tuan te-
lah saya bagi-bagikan pada orang yang tidak memiliki kemampuan lahir batin...!"
jawab laki-laki berbadan tegap itu dengan tubuh menggigil. Si
Kakek renta yang masih memegang cambuk dan
tetap berdiri di hadapan laki-laki gemuk itu memandang sinis pada lawan
bicaranya. Kerut merut di wajahnya semakin bertambah banyak menandakan bahwa
laki-laki berpakaian hitam ini sedang dilanda kemarahan besar.
Tiada terduga-duga kakek ini kembali men-
cambuki si laki-laki gemuk tanpa mengenal pe-
rasaan sedikitpun.
"Jraat...! Jtaaar... taaarr...!"
"Agffgkh... ampun! Emaaak.... huuu... hu...
hu.... Tolong, bapaaaak...!" jerit laki-laki itu sambil
terus meronta-ronta.
"Menangislah engkau sepuasmu! Sungguh
memalukan pahlawan kesiangan sepertimu masih


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenal tangis seperti anak kecil..."
"Ampuni saya tuan! Semua kesalahan itu,
hanya berdasarkan atas rasa kasihan terhadap
orang lain yang benar-benar membutuhkan per-
tolongan...!"
"Bagus! Sekarang melolonglah engkau se-
perti seekor anjing. Aku jadi ingin lihat apakah orang yang pernah kau tolong,
sekarang juga akan datang membalas pertolongan yang pernah kau
berikan...?"
Dengan nafas terengah-engah.
"Mereka hanya orang desa biasa, tak mung-
kin mereka dapat melakukannya, tuan?"
"Dan kau menganggap dirimu sebagai seo-
rang dewa penolong,...?" hardik kakek berpakaian serba hitam itu merasa sangat
tersinggung. "Sama sekali tidak! Saya hanya merasa ka-
sihan pada mereka...!" rintih laki-laki gemuk bernama Godot ini tersendat-
sendat. "Dasar celaka...! Hiaaat...!" maki kakek tua ini, kemudian kembali melecutkan
cambuknya ke-bagian tubuh Godot yang sudah memar membiru.
Karena saat mengayunkan cambuk itu disertai tenaga dalam yang tinggi, maka sudah
barang tentu tubuh laki-laki gemuk ini terbanting kian kemari.
Jeritan-jeritan histerispun terus terdengar, tapi semakin lama semakin bertambah
melemah hingga akhirnya hanya tinggal rintihan belaka.
"Bleeegkh...!"
Godot jatuh pingsan dan menggeletak di
lantai ruangan bawah tanah yang becek lagi licin.
Kakek berpakaian serba hitam ini tergelak-gelak, bahkan perutnya yang buncit
itupun bergoyang-goyang. Setelah tawanya reda, kemudian dia berpaling pada dua
orang laki-laki bertampang sangar yang berdiri tegak tak begitu jauh di
belakangnya. "Iblis Dua muka!"
"Saya, Tuan Durga Wungu...!" Laki-laki bertelanjang dada yang dipanggil Iblis
Dua Muka menyahuti.
"Dan kau Setan Gila...!" tukasnya sambil melirik pada laki-laki kurus yang
berada di sebelah Iblis Dua Muka.
Sesaat yang ditanya tundukkan wajahnya
memberi hormat. Dengan sikap acuh laki-laki berpakaian serba hitam itupun
melangkahkan kak-
inya menuju ruangan penjara kearah jalan keluar.
"Ada apakah, Tuan Durga Wungu...?" tanya Setan Gila, lalu mengikuti langkah
Durga Wungu dari belakangnya.
"Kota Hantu! Huaaa... ha... ha... ha...!" Kakek tua berperut buncit itu
keluarkan tawa tergelak-gelak. Ruangan bangunan di bawah tanah
tergetar hebat begitu suara kakek ini bergema
memantul diantara dinding penjara. "Sudahkah kota itu kau isi dengan hantu-hantu
bergentayangan...?"
"Sepuluh tahun Kota Hantu berada dalam
kekuasaan kita, tiada berpenghuni manusia yang bernyawa terkecuali mereka yang
sudah mati, dan kami bangkitkan kembali menurut kehendak para
iblis...!" jawab Iblis Dua Muka. Sebagaimana biasanya, laki-laki berbadan hitam
legam inipun sunggingkan seulas senyum sinis. Sementara se-
pasang matanya yang senantiasa merah menyala
inipun nampak berkilat-kilat.
"Apa yang dilakukan oleh saudara Iblis Dua Muka, semuanya tak bisa lepas dari
bantuan yang saya berikan, Tuan Durga Wungu! Sayalah yang
telah melakukan penculikan terhadap siapa saja yang berani berkeliaran atau
mencari tahu tentang rahasia yang tersimpan di Kota Hantu. Saya yang membunuh
mereka, lalu saudara Iblis Dua Muka
yang menghidupkan mereka dalam bentuk lain
sehingga dengan mudah dapat dikendalikan...!"
ujar Setan Gila tak mau kalah.
"Benar, tuan...! Semua usaha yang saya lakukan tak mungkin bisa berhasil dengan
baik. Ji-ka tidak di bantu oleh saudara Setan Gila...!" Kata Iblis Dua Muka
mendukung ucapan sahabatnya si
Setan Gila. "Sebuah kerja sama yang cukup baik! Dan
upah yang kuberikan padamu juga pastilah be-
rupa imbalan yang sangat memuaskan. Tapi un-
tuk sekarang ini aku hanya memberikan sebagian diantaranya. Satu tugas lain yang
belum kalian selesaikan adalah mencari Keris Jalak Senjata Kegelapan yang telah
hilang dari dalam kamarku. Aku yakin, senjata itu masih di sembunyikan oleh
seseorang di Kota Hantu." ujar Durga Wungu sambil terus melangkah menuju lorong
ruangan lainnya.
"Kami bersama-sama dengan manusia tan-
pa nyawa telah memeriksa setiap sudut ruangan
yang terdapat di kota ini, Tuanku... tapi kami belum mendapatkan apa yang
seperti tuan katakan
itu....!" Selak Iblis Dua Muka berusaha memberi penjelasan tentang usaha mereka
mencari senjata kegelapan yang telah dilarikan oleh seseorang beberapa tahun
yang lalu. Durga Wungu mendengus, lalu cepat-cepat palingkan muka.
"Cuuuh...!"
Sekali saja laki-laki itu meludah pada dind-
ing tembok sebagai pelampiasan kekesalannya.
Maka dinding yang diludahinya menjadi bolong.
Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu yang
dimiliki oleh kakek berpakaian serba hitam ini.
"Aku tak ingin mendengar segala alasan
yang tak bisa kuterima. Bagiku tugas adalah tugas. Laporan keberhasilan yang
kalian peroleh, hanya itulah yang ingin kudengarkan....!" bentak Durga Wungu
dengan wajah berubah sinis.
"Beb...baiklah....! Tuan tak perlu merasa ri-sau tentang segala urusan yang kami
kerjakan....! Saya Iblis Dua Muka dan kawan saya, Setan Gila pasti segera mendapat petunjuk
untuk mem-peroleh senjata kegelapan yang telah hilang itu....!"
janji Iblis Dua Muka pada Durga Wungu.
"Hemm. Baiklah... melihat cara-cara kerja kalian selama ini, aku percaya dengan
apa yang kalian katakan....! Asal tahu saja. Aku tak mau kalian mengalami
kegagalan dalam hari-hari selanjutnya....!" kata Durga Wungu setengah mengancam.
"Percayalah, Tuan....! Sebagaimana hari-
hari kemarin, untuk selanjutnya kami pasti tak
akan mengalami kegagalan....!" Dalam kesempatan itu, secara tiba-tiba Iblis Dua
Muka berpaling ke arah belakang lorong.
"Para Suruhan! Lemparkan dua orang tang-
kapan itu untuk di periksa....!" Perintahnya begitu berwibawa. Dari kegelapan
malam terdengar suara bergemuruh di sertai rintihan-rintihan kecil. Selanjutnya
terlihat dua sosok tubuh terlempar bagai dua buah karung yang tiada guna.
"Gubraak....!"
"Auuuh... ala emaaak....!" jerit kedua orang itu secara hampir bersamaan.
"Siapa mereka....?"'tanya Durga Wungu setelah meneliti wajah para tawanan satu
persatu. "Tikus-tikus comberan ini coba-coba mema-
suki Kota Hantu, Tuan....!" lapor Setan Gila, dan tanpa di sangka-sangka orang
inipun me-nendang kedua-duanya.
"Duuuk... Buuk....!"
"Aduh... hiii... salit... eeh sakiit....!"
"Tendangan orang jelek itu memang sakit!
Tapi rasa sakitmu di bagian mana?" tanya kawannya yang juga sama-sama kena
tendang begitu melihat kawannya berjingkrak-jingkrak.
"Anuku... orang itu sungguh kejam! Anu-
ku... huhu... hu... hu....!" rintih si laki-laki bertampang lucu sambil memegang
bagian selang- kangannya. "Anumu... anumu sakit ya....! Apa sekarang masih ada di tempatnya" Coba
periksa....!" Selak yang satunya lagi. Sungguhpun dia sendiri merasakan sakit di
bagian punggungnya akibat tendan-
gan, tapi masih juga dia bersikap konyol.
"Apa...anuku harus kuperiksa! Ah, jangan...
aku malu sama orang-orang...!" Tukasnya lugu.
"Ya sudah....!" Kata kawannya dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Diaamm....!" bentak Durga Wungu. Nampaknya laki-laki berusia tujuh puluhan ini
merasa tak sabar menghadapi dua laki-laki setengah baya bertampang tolol itu.
Sejenak lamanya, suasana di sekeliling ruangan itu menjadi hening, tapi kehen-
ingan itu tidak berlangsung lama. Karena Setan Gila sudah pula menyelak.
"Tikus-tikus penyelundup! Katakan siapa
nama kalian! Dari mana asal usul, dan apa mak-
sud tujuan kalian memasuki Kota Hantu....?"
Dua orang laki-laki bertampang tolol itupun
saling berpandangan sesamanya. Tapi demi meng-
hindari siksaan, salah seorang diantaranya cepat-cepat berkata:
"Namaku Panjul, Tuan....! Sedangkan ka-
wanku ini Panut! Alkisah dulunya kami meru-
pakan murid-murid dari Perguruan Besar Jagad
Kelanggengan! Tapi akhirnya guru kami tewas di tangan seorang pendekar gembel
yang berjuluk Pendekar Hina Kelana... lalu kami pulang kam-
pung dan menjadi petani biasa....!"
"Cukup! Keterangan kalian tidak ber-
mutu....!" potong Iblis Dua Muka marah sekali.
"Beri kesempatan pada mereka untuk bi-
cara....!" ujar Durga Wungu berwibawa. Sebentar dia menoleh pada Panjul dan
Panut (Untuk lebih jelasnya siapa kedua orang ini terdapat dalam Epi-
sode Satria Penggali Kubur). Setelah memperhatikan kedua laki-laki bertampang
tolol ini, kemudian dia pun berkata: "Sekarang coba katakan mengapa kalian
memasuki Kota Hantu?"
"Kami tak sengaja! Kami tersesat ketika
mencari tiga ekor kambing kami yang tiada kem-
bali....!"
"Bohong....!" bentak Setan Gila. Sekali lagi ditendangnya Panjul dan Panut.
Begitu keras tendangan itu sehingga selain dua-duanya terlempar menabrak dinding
juga dari mulut mereka mengalirkan darah kental.
"Hoeeek....! Hoeeek....!" Dengan napas ter-sengal-sengal dan dada terasa
menyesak, Panjul dan Panut coba-coba merangkak. Tapi tangan dan kakinya goyah
tiada bertenaga, tak dapat dicegah, tubuh mereka pun ambruk kembali dengan
posisi menelungkup. "Amm...ampun tuan....! Kami benar-benar
tak memiliki maksud-maksud tertentu ketika me-
masuki Kota Hantu....!"
"Omong kosong! Kalian kami curigai....! Se-umur hidup selama kalian masih belum
mau men- gaku, maka kebebasan bagi kalian hanyalah beru-pa isapan jempol belaka....!"
kata Durga Wungu.
"Rantai mereka dan siksa sampai mau men-
gaku....!" perintahnya pada dua orang tangan kanannya.
Dengan cepat kedua orang itu segera mela-
kukan pekerjaannya, hanya dalam waktu sebentar saja Panjul dan Panut telah
terantai tangan dan kakinya. Tanpa banyak tanya lagi orang-orang itu-
pun langsung mencambuki tubuh dua laki-laki
bertampang tolol ini tanpa merasa kasihan sedikitpun. Sementara itu Durga Wungu
sudah tak kelihatan lagi berada di sana.
5 Sudah begitu jauh aku meninggalkan Tanah
Bernyawa. Tempat-tempat yang tidak ku kenalpun telah banyak yang kulalui. Tetapi
bintang tembaga atau tanda-tanda yang hampir sama tak juga kudapat. Mungkin apa
yang dikatakan Nenek Gom-
brang tentang apa yang terjadi dan menimpa orang tuanya puluhan tahun yang lalu
itu tidak pernah ada. Dalam arti bintang persegi empat yang terbuat dari tembaga
ini tidak memiliki sangkut paut apa-apa dengan kematian orang tuanya. Terbukti
selama puluhan tahun hingga kini tanda-tanda ditemukannya pelaku pembunuhan itu
masih belum juga dia dapat. Bagiku tugas yang diberikan oleh Nenek Gombrang merupakan tugas
berat yang harus kupikul....! Kata gadis bertopi caping ini seorang diri.
Gadis berkulit kuning langsat dan meru-
pakan murid tunggal Nenek Gombrang di Tanah
Bernyawa nampak terdiam sesaat lamanya. Se-
pasang matanya yang begitu teduh berkesan curi-ga pada siapa saja memandang
lurus-lurus ke depannya. Tak ada hal-hal yang mencurigakan terlihat, terkecuali
pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, serta hamparan bukit dan lembah yang
membiru. "Iihh...!"
Tiba-tiba gadis itu berjingkrak kaget. Apa-
bila matanya kembali memandang ke arah semula, maka terlihat olehnya satu
kilatan cahaya putih yang dipantulkan sinar matahari. Kilatan putih itu tak
ubahnya bagai sebuah cermin yang berukuran besar dan berasal dari lereng bukit
sebelah Utara tidak begitu jauh dari posisinya saat itu.
"Ahh...! Kilau benda berwarna putih di bukit itu semakin bertambah banyak. Ingin
ku tahu sesungguhnya benda apakah yang bisa memantul-
kan cahaya seperti itu?" gumam Lukita Sari. Selanjutnya gadis bertopi caping itu
pun menga- yunkan langkahnya menuju lereng bukit yang
jaraknya tidak begitu jauh dengan posisinya saat itu.
Hanya beberapa saat setelah itu, Lukita Sari
terpaksa menghentikan langkahnya. Di depannya
sebuah jurang menganga dalam, gadis ini mengi-
tarkan pandangan matanya ke segenap penjuru.
Tak sesuatu benda apapun yang dapat diperguna-
kan dalam menuruni jurang itu. Tapi sebagai gadis yang memiliki pikiran cerdik,
sedikit pun dia tiada merasa putus asa. Ketika dilihatnya di sekitar tempat itu
banyak terdapat sulur-sulur tumbuhan merambat. Maka harapan lain pun bermunculan
di benaknya. "Sulur tumbuhan merambat ini pasti dapat
kupergunakan sebagai tali untuk mencapai lereng bukit di sebelah sana." membatin
gadis itu. Selanjutnya dengan cekatan diraihnya sulur tadi. Den-
gan cara bergelantungan sekejap kemudian Lukita Sari mengerahkan sebagian tenaga
dalamnya untuk melompati jurang yang ada.
"Haaaat...!"
Tubuh gadis bertopi caping ini nampak me-
layang melewati jurang yang tidak terlihat bagian dasarnya.
"Jleeegkh...!"
Dengan gerakan ringan tiada menimbulkan
suara sampailah dia pada tebing jurang yang berada di seberangnya.
"Melihat keadaan jurang ini, rasa-rasanya ada sesuatu yang tersimpan di depan
sana. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan sebaiknya aku
akan merobah ujudku menjadi seekor musang...!"
kata Lukita Sari. Tak begitu lama kemudian setelah merapal mantra-mantra ilmu
sihir yang di- milikinya. Maka berubahlah ujud Lukita Sari menjadi seekor musang berbulu abu-
abu. Musang penjelmaan gadis bertopi caping ini kemudian melompat dari dahan ke
dahan, mendekati lereng bukit.
Di luar sepengetahuan si gadis kiranya ada
sepasang mata yang sejak dari tadi terus menerus mengawasinya. Pemilik sepasang
mata itu tak lain merupakan seorang pemuda berkuncir si Hina Kelana.
"Gadis bertopi caping itu sekarang telah me-rubah dirinya menjadi seekor musang.
Aku jadi ingin tahu apa saja yang dilakukannya di tempat seperti ini...?"
"Heeep...!"
Dengan kecepatan yang luar biasa, pemuda
keturunan manusia negeri alam gaib itu melompat pada sebatang pohon, selanjutnya
dari dahan ke dahan dia berloncatan bagai seekor tupai. Walaupun gerakannya


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedemikian cepat, namun dia te-
tap menjaga jarak agar kehadirannya tidak diketahui oleh gadis bertopi caping
yang kini telah me-rubah ujudnya menjadi seekor musang. Ketika
musang penjelmaan Lukita Sari telah menuruni
sebatang pohon berdaun lebat. Pendekar Hina Kelana hentikan gerakannya sejenak.
Lalu diperhatikannya musang penjelmaan Lukita Sari yang se-
dang berusaha mendekati barak-barak kecil yang sunyi seolah tiada berpenghuni.
Barak demi barak ditelitinya. Namun dia tak melihat siapa pun
berada di sana.
"Heran! Melihat keadaannya, barak-barak
yang kosong ini pastilah dihuni oleh manusia biasa! Tapi kemanakah perginya
mereka, dan pula
aku tak melihat benda putih berkilau yang ben-
tuknya sangat mirip dengan bintang tembaga yang ada bersamaku ini. Mungkinkah
agak di sebelah
sana...?" batin Lukita Sari. Selanjutnya musang penjelmaan gadis bertopi caping
itu berjalan menuju barak yang terletak di sebelah kanannya.
Namun tidak juga dijumpainya siapa pun di barak itu, maka musang penjelmaan
Lukita Sari mulai
memeriksa suasana di lereng bukit itu.
"Ahh. Benda di depan itu seperti yang me-
mancarkan kilauan cahaya ketika pertama tadi.
Baiknya kuperiksa lebih teliti lagi...!" desis Lukita Sari, selanjutnya musang
jejadian itupun bergerak cepat mendekati sebuah benda persegi yang me-
lekat di atas tanah lebih kurang satu tombak di depannya.
"Hem. Jadi benda inilah yang tadi meman-
carkan sinar berkilauan ketika aku sampai di
pinggiran jurang itu" Aku yakin benda ini pasti ada pemiliknya...!" Gadis
bertopi caping merogoh sesuatu dari saku bajunya. Selanjutnya mengeluarkan benda
berbentuk bintang persegi empat
pemberian Nenek Gombrang beberapa waktu yang
lalu. "Bintang ini sangat mirip sekali dengan bintang besar yang melekat di atas
permukaan tanah ini. Tapi mengapa tak pernah kulihat seorang manusia pun berada
di tempat ini...!" batinnya pula.
"Ada baiknya kalau kuselidiki apa yang tersembunyi di balik semua yang
terlihat...!"
Musang penjelmaan gadis bertopi caping
menggerakkan kaki depannya menyentuh ujung
bintang yang terdapat di sisi kirinya. Di luar du-gaannya begitu ujung bintang
itu tersentuh. Ter-dengarlah suara bergemuruh bagai suara gempa
bumi. Bintang bersisi empat itu amblas, secara cepat seperti ada kekuatan yang
tidak terlihat mem-betotnya ke dalam. Bintang bersisi empat lenyap dari
penglihatan Lukita Sari secara tiba-tiba. Sebagaimana bintang tadi, maka tanah
di balik bintang itu berlubang membentuk sebuah gua ber-
bentuk bintang. Gua berbentuk bintang itu terus memperdengarkan suara-suara
bergemuruh. Musang penjelmaan gadis bertopi caping sudah berniat menjauhi gua
bintang yang muncul secara ti-ba-tiba tadi. Namun sebuah kekuatan yang tidak
terlihat telah menyentakkan musang berbulu abu-abu itu, hingga menyebabkan
tubuhnya terpelanting memasuki gua tersebut.
"Kampret! Gua ini begitu gelap, aku tak ta-hu apa yang sedang terjadi di sini?"
gumam Lukita Sari. Sementara tubuh musang jejadian terus ter-seret mengikuti
kekuatan gaib yang menariknya.
Sementara di luar sepengetahuan si gadis,
Pendekar Hina Kelana yang merasa tertarik untuk mengikuti perkembangan
selanjutnya, diam-diam
ikut menyelinap memasuki gua bintang yang telah menyeret tubuh musang tadi.
Keanehan pun kembali terjadi. Dari bagian luar sebuah bintang lain menutup gua
yang telah dimasuki oleh Pendekar
Hina Kelana dan Lukita Sari.
"Breeeeng...!"
"Celaka! Gua ini menutup kembali. Aku ya-
kin semua ini hanyalah berupa jebakan belaka.
Sialnya gua ini semakin bertambah gelap saja, tak bisa kulihat di mana posisi
gadis jejadian itu berada...!" gerutu si pemuda merutuki diri sendiri. Dalam
pada itu jauh di depannya terdengar suara
bentakan sayup-sayup.
"Selamat datang tamu tak diundang di Is-
tana Bintang. He... he... he...! Seekor musang cerdik lagi cantik,..!" Secara
tiada terduga-duga, begitu suara sayup-sayup di depan sana lenyap,
mendadak ruangan di dalam gua itu berubah men-
jadi terang benderang.
"Cepat-cepatlah rubah ujud mu menjadi se-
bagaimana semula...!"
"Ngoeeeek...!"
Di dalam sana musang penjelmaan Lukita
Sari melompat undur tiga tombak. Kemudian setelah merapal ajian yang
dimilikinya: "Plaaas...!"
Tubuh musang penjelmaan gadis bertopi
caping telah kembali ke dalam ujudnya semula.
"Hak... hak... hak...! Apa kubilang, kau memang merupakan seekor musang yang
cantik. Heh... sudah lebih dua puluh tahun musang can-
tik sepertimu atau yang sejenis dengan dirimu tak pernah ada yang berani muncul
di daerahku ini.
Bahkan seekor kunyuk jelek pun tak ada yang berani menyaba daerah kekuasaanku.
Tapi kini seekor musang cantik bersedia datang dengan seekor monyet gembel...
sungguh aku merasa ka-gum
dengan keberanian yang dimilikinya...!"
"Sialan! Orang itu mengetahui kehadiran-
ku...!" maki Buang Sengketa dari tempat per-sembunyiannya.
Lukita Sari yang tidak mengetahui kehadir-
an orang yang disebut-sebut oleh suara yang belum menampakkan diri itu, sudah
tentu merasa heran dan terkejut sekali. Seingatnya hanya dia seoranglah yang terperangkap
memasuki gua itu.
Kini orang yang berkata-kata itu menyebut-nyebut kehadiran orang lain selain
dirinya sendiri, dari si-ni saja Lukita Sari sudah dapat menarik kesimpulan
bahwa orang yang sedang berkata-kata itu ten-tulah seorang tokoh yang memiliki
kesaktian tinggi.
"Kau menjebakku seperti seekor tikus com-
beran yang begitu pengecut! Kini kau bicara dalam
kegelapan bagai orang sinting yang lagi kumat gi-lanya! Manusia macam
apakah...!" ejek Lukita Sari dalam kegusarannya.
"Hak... he... ha... ha...! Mulutmu kelewat ta-kabur bocah ayu, kau mau pun
kunyuk gembel yang ngumpet di lorong sana masih hijau untuk
mengetahui siapa sesungguhnya diriku ini...!" gerutu sang suara.
Sekali lagi gadis bertopi caping itu melirik
ke arah belakang, namun tak seorang pun yang
dia lihat. Merasa tidak sabar, maka gadis itu pun kembali berpaling ke arah
datangnya suara tadi.
"Kau hanya seorang pembohong besar! Tak
seorang pun yang datang bersamaku, terkecuali
diriku sendiri...!"
"Kaulah yang pembohong! Kuharap gembel
berperiuk yang masih ngumpet di depan gua bin-
tang sana segera tunjukkan diri...!"
"Kurang ajar! Sungguh pun bangsat itu ti-
dak melihatku, tapi justru dia melihat bagaimana keadaanku...! Aku pun bukan
seorang pengecut.... Haaiiit...!"
Dengan sekali berkelebat saja, maka tubuh
Buang Sengketa telah berada di belakang Lukita Sari.
"Ka... kau... siapakah anda...!" tanya Lukita Sari merasa terkejut bukan alang
kepalang. "Jangan bermain sandiwara di hadapanku,
musang cantik dan kunyuk gembel! Siapapun
yang telah begitu berani memasuki Gua Bintang, hanya ada satu kemungkinan
baginya. Yaitu ma-ti... tapi sebelum kematian itu sendiri aku pun ha-
rus mengetahui apa yang menjadi tujuan kalian
memasuki daerah yang menjadi kekuasaanku se-
cara turun temurun...?"
"Kau mau apa kemari...!" tanya Lukita Sari pada Buang Sengketa, tanpa
menghiraukan pertanyaan Penguasa Gua Bintang.
"Aku... he... he... he...!" Buang Sengketa cengar cengir. "Hanya secara
kebetulan saja aku memasuki daerah ini tanpa tujuan apa-apa...!"
"Bohong...!" bentak Lukita Sari. "Kalaupun nona menginginkan jawaban yang benar!
Maka tu-juanku sampai terjebak di dalam gua terkutuk ini hanyalah ingin melihat
bagaimana caranya seekor musang cantik melepaskan diri dari perangkap
seekor bandot tua...!"
"Keparaat...!" maki suara tanpa ujud. Serak.
Tiba-tiba dari kegelapan menderu satu pukulan
ganas berhawa dingin luar biasa.
"Hi... hi... hi...! Inilah caranya menyambut kedatangan tamu seekor musang dan
seekor kunyuk gembel. Elakkanlah kisanak, kalau kau tidak mampu. Silakan merat
ke neraka dulu-an...!" kata Lukita Sari. Dengan cepat gadis ini menghindar.
"Plaaaas...!"
Secara tiba-tiba pula tubuh Lukita Sari le-
nyap begitu saja. Tinggallah Buang Sengketa sendirian yang menghadapi serangan
mendadak itu. Karena ruangan di dalam gua itu begitu luas, ma-ka dengan cara berjumpalitan si
pemuda mem- buang tubuhnya ke samping. Namun pukulan
yang dilepas oleh lawannya terus memburunya
kemana pun dia menghindar.
"Kurang ajar...!" maki Buang Sengketa.
"Melompat-lompatlah seperti seekor monyet, Kisanak...! Hi... hi... hi...!" kata
Lukita Sari yang merasa luput dari serangan yang dilakukan oleh lawannya.
"Aku tak perduli apakah ruangan ini cukup kuat untuk menahan terjangan
pukulanku... haaaiiit...!"
Buang Sengketa bersalto tiga kali. Ke-
mudian dikerahkannya sebagian tenaga dalam
yang dia miliki. Begitu tangannya dia hantamkan ke arah pukulan lawan yang terus
memburu. Tak ayal selarik sinar Ultra Violet yang menimbulkan hawa panas luar biasa, bertemu
di udara: "Buuummmm...!"
"Gila-...!"
Terdengar satu seruan tertahan saat mana
ruangan di dalam gua itu runtuh sebagian. Ke-
mudian berkelebat pula sesosok tubuh dari kegelapan mendekati si pemuda yang
saat itu nampak tertatih-tatih dan berusaha bangkit berdiri.
"Anda memang hebat kunyuk gembel...!"
puji Lukita Sari. Tahu-tahu telah berada tidak begitu jauh dari Buang Sengketa.
"Segala pukulan picisan kau pamerkan di
hadapanku, bocah gembel...!" maki penghuni Gua Bintang, yang sesungguhnya
seorang laki-laki berbadan bongkok berwajah pucat dan hanya memili-
ki sebelah mata.
"Sekarang coba kalian katakan apa yang kalian cari di tempat ini sehingga kalian
begitu berani memasuki daerah Gua Bintang...!" bentak si
Bungkuk muka pucat mata picak.
Karena perhatian laki-laki bungkuk itu ter-
tuju pada Buang Sengketa, maka mau tak mau
pemuda ini pun menjawab: "Aku tak mempunyai tujuan tertentu, hanya seorang
pengelana belaka...!"
"Melihat tampangmu, mungkin aku bisa se-
dikit mempercayaimu... tapi kalau musang je-
jadian itu apa juga hendak mengaku sebagai seorang pengembara juga...?" tanya
laki-laki bungkuk mata picak menyindir.
"Berkata terus terang! Aku merasa tertarik dengan gua bintangmu ini...!" jawab
Lukita Sari ketus. Mendengar pengakuan gadis bertopi caping, mata picak langsung
tergelak-gelak. Perlu diketa-hui walaupun laki-laki berusia setengah abad ini
merupakan tokoh sesat, namun dalam hal berkata-kata dia suka bersikap apa
adanya. "He... hek... he...! Dua puluh tahun aku
menjadi seorang kacung, hingga aku tak pernah
memikirkan kehidupan diri sendiri. Aku memiliki murid yang begitu banyak. Begitu
setianya pen-gabdianku. Tapi seorang majikan tak pernah
menghargai segala pengorbanan yang pernah ku-
lakukan. Satu kesalahan kecil yang pernah kulakukan, membuat semua muridku
bergentayangan tanpa nyawa di Kota Hantu...! Nasibmu terlalu buruk Candra Kila...!" ujar laki-
laki bungkuk mata picak seperti pada dirinya sendiri.
Kata-kata laki-laki bungkuk yang tiada ter-
duga-duga itu sudah barang tentu membuat
Buang Sengketa yang pernah memasuki kota han-
tu menjadi terperangah. Namun sampai saat itu
tiada niat dalam hatinya untuk memotong pembi-
caraan Candra Kila.
"Bicaramu ngaco manusia jelek! Aku tak
sudi mendengar segala ocehanmu...?" bentak Lukita Sari.
"Jangan bersikap kasar padaku, Nona Can-
tik! Sungguh pun aku sudah tua, namun aku ma-
sih seorang perjaka yang selalu mendamba-kan
kehadiran seorang gadis cantik sepertimu. Istana Gua Bintang ini akan ku
persembahkan padamu
andai kau mau menjadi istriku...!" ujar laki-laki bungkuk Candra Kila, lalu
sunggingkan seulas senyum misterius. Memerah wajah gadis bertopi caping itu,
tiba-tiba dia meludah tiga kali
"Cuih... manusia jelek bau tanah! Bi-
caramu kacau tak ubahnya orang yang kurang wa-
ras. Tapi...!" ucap si gadis, nampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang
begitu rumit. "Tapi mungkin aku akan mempertimbang-
kan keinginanmu itu, andai kau bersedia memberi ku beberapa petunjuk yang
kuinginkan...!" katanya tanpa ragu. Jawaban Lukita Sari membuat
Candra Kila yang hampir sepanjang hidup-nya terus hidup membujang menjadi
terlonjak kegiran-
gan. 6 "Nona boleh mengatakan segala keinginan
nona, dan aku akan menyanggupi, bahkan me-
menuhinya jika aku mampu...!" ujar si Picak Candra Kila tanpa menghiraukan
keberadaan Buang
Sengketa di tempat itu, dan begitu pun halnya
dengan Lukita Sari. Gadis bertopi caping ini nampak mengeluarkan sebuah bintang
per-segi empat dari balik sakunya. Tak lama setelah memperlihat-kannya pada
Candra Kila, maka tanpa basa basi
lagi Lukita Sari langsung bertanya:
"Kulihat pintu gua ini tertutup oleh sebuah pintu berbentuk bintang empat sisi.
Bahkan di bagian bajumu juga terdapat benda yang sama, aku hanya memilikinya
satu di antara sekian banyak.
Nah coba katakan, apakah gunanya bintang yang
berada di tanganku ini bagi kalian...?" tanya Lukita Sari dengan pandangan tiada
berkedip. "He... hek... hek...! Pertanyaanmu menye-
ramkan yang sesungguhnya tak perlu kujawab un-
tuk seorang calon istriku...!" tukas Candra Kila.


Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau akulah yang diberi pertanyaan seper-ti itu, oleh seorang gadis seperti
Nona ini... hemmm...! Aku tak ingin kehilangan kesempatan
yang begitu menarik!" celetuk Buang Sengketa memanas-manasi.
"Tutup mulutmu gembel berperiuk...!" maki Candra Kila merasa tersinggung.
"Nah! Kalau engkau tak mau menjawab per-
tanyaanku itu, maka aku akan segera pergi dari tempat ini...!" ancam Lukita
Sari. Dengan kata-katanya itu, dia pun memutar langkah.
"Eiiit... tunggu...! Aku akan mengatakannya padamu, jantung hatiku...!"
"Cepatlah! Sebelum kesabaranku habis...!"
Sebentar Candra Kila memandang tajam
pada Buang Sengketa, dengan suaranya yang se-
rak bahkan hampir tak terdengar: "Aku percaya kau pasti tak bermaksud usil
dengan urusan kami berdua. Kalau pun kau melakukannya, nasibmu
menjadi lebih buruk dari mereka-mereka terda-
hulu yang pernah memasuki Gua Bintang...!"
"Bicaralah dengan sesuka kalian, sementara waktu, aku merasa aman berada dalam
ruangan menyeramkan ini...!" tukas si pemuda tanpa dapat mengerti apa sebenarnya yang
dikehendaki gadis bertopi caping dari laki-laki berpunggung bungkuk seperti
onta. "Mm... baiklah...!" ujar Candra Kila, sesaat laki-laki bungkuk muka pucat mata
picak memperhatikan Lukita Sari dan Buang Sengketa secara silih berganti. Acuh
tak acuh diapun berkata:
"Dulu aku merupakan seorang penguasa di
daerah sini. Tapi ketika manusia yang menamakan dirinya sebagai Durga Wungu dan
merupakan pe-waris tunggal seluruh kekayaan milik orang tu-
anya menyerang dan mengalahkan diriku. Maka
dia telah memaksaku menjadi seorang kacung ( Suruhan) di dalam singgasananya
yang terdapat di Kota Hantu...!"
"Tunggu dulu! Kau menyebut-nyebut
adanya Durga Wungu dan Kota Hantu. Apakah
maksudmu yang sesungguhnya...?" sentak Lukita Sari dengan hati berdebar-debar.
"Kota Hantu adalah kota terkutuk yang
hampir saja membuatku mampus di sana, se-
dangkan Durga Wungu mungkin saja majikan pe-
milik hantu-hantu yang bergentayangan...!" celetuk Buang Sengketa. Dari tatapan
matanya, nampak sekali kalau pemuda keturunan negeri
alam gaib ini masih diliputi kecemasan. Ucapan pendekar dari Negeri Bunian ini
membuat Candra Kila terlonjak bagai disengat kalajengking. Bagaimana tidak,
selama ini dia tahu persis, siapapun yang berani datang ke Kota Hantu. Tak
Tersiksa Seperti Di Neraka 2 Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Pendekar Kelana 2
^