Pencarian

Dendam Gila Dari Kubur 1

Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur Bagian 1


DENDAM GILA DARI KUBUR Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Dendam Gila Dari Kubur
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Melakukan perjalanan tanpa menggunakan
kuda tunggangan hal itu bukan merupakan kebia-
saan laki-laki berpenampilan gagah, bertubuh te-
gap dan berkumis tipis ini. Apalagi saat itu dengan busur panah segala. Sepintas
lalu penampilan seperti ini pasti akan menarik perhatian orang ba-
nyak. Apalagi laki-laki setengah baya berpakaian serba kelabu itu merupakan
orang yang mempunyai pengaruh sangat besar di kota Tiram. Karena dia merupakan
orang kepercayaan dari istana Datuk Lima.
Namun karena saat itu dalam suasana ge-
lap gulita dan menjelang tengah malam pula. Maka kegiatan apapun yang
dilakukannya tidak begitu
menyolok pandangan orang lain. Menyertai orang
itu adalah dua orang laki-laki bertubuh ceking
berpakaian serba hitam. Sementara di bagian
pinggang menggelantung senjata mautnya yang di
bagian sisinya bergerigi sangat tajam. Demikian
pula dengan kawannya yang berjalan bersisian
dengan dirinya. Hanya saja dua orang laki-laki
berpakaian hitam bertubuh ceking ini memiliki
penampilan yang berbeda-beda. Jika yang satunya
berwajah muram dan bagai orang yang hendak
marah maka yang lainnya berpenampilan ramah,
bibirnya selalu menyunggingkan senyum. Bahkan
sering tertawa-tawa tanpa sebab. Kalangan persila-tan mengenal mereka berdua
sebagai 'Dwi Lin-
glung dari Pulau Hantu'. Dalam kegelapan itu me-
reka terus berjalan menelusuri pinggiran pantai
yang saat itu sudah mulai pasang. Tak lama sete-
lah mereka berbelok pada sebuah tikungan jalan
setapak berlumpur. Semakin lama mereka telah
jauh meninggalkan pinggiran pantai. Sampai di
tengah-tengah hutan Bakau, jalan di depan mere-
ka menjadi buntu. "Jalan buntu! Mungkin mereka hanya mampu merintisnya sampai di
sini...!" ujar laki-laki berpakaian kelabu, lalu menoleh pada
dua orang laki-laki berpakaian hitam di belakangnya. "Mungkin mereka sudah
keburu mampus, sebelum sempat menemukan posisi tempat itu!"
kata si wajah muram, acuh saja.
Suasana tiba-tiba menjadi hening, hati mas-
ing-masing diliputi perasaan tegang. Yang terdengar hanyalah suara deburan ombak
bergemuruh menghempas batu-batu pantai di kejauhan sana.
"Hemm. Nampaknya kita harus merintis ja-
lan baru! Tapi kita harus menentukannya sesuai
dengan letak bintang di langit...!" desah si laki-laki berpakaian kelabu.
Sekejap ia memandang ke langit yang cerah tiada berawan. Dilihatnya salah sebuah
bintang yang paling terang. Arah Timur Laut itulah yang ingin mereka tuju.
"Aku sudah mendapatkan posisinya. Seka-
rang kita rintis jalan di bagian sebelah sini!" perintah laki-laki berpenampilan
gagah, pada dua orang laki-laki yang menyertainya. Tanpa banyak tanya
lagi, Dwi Linglung dari Pulau Hantu mencabut
senjata lainnya yang berupa sebuah kapak yang
berwarna putih mengkilat.
Sraak! Sraaak...!
"Tumbuhan hutan pinggir pantai ini tidak
begitu besar. Tapi perhatikan setiap ranting, siapa tahu ada ular bakau di sana.
Sekali saja kalian di-gigitnya maka aku sendiri tak membawa racun pe-
nawarnya." kata si laki-laki gagah.
"Usah khawatir Datuk. Hanya binatang se-
kecil itu, kami pun kebal pada berbagai jenis bisa ular...!" yang menyahut
adalah laki-laki yang suka tersenyum-senyum sendirian.
"Aku tahu dengan kemampuan yang kalian,
miliki. Itu makanya aku memilih kalian untuk
membantu usahaku...!"
Dua orang laki-laki berpakaian serba hitam,
anggukkan kepala, selanjutnya tanpa berkata-kata lagi merekapun mulai melakukan
tugasnya. Cepat
sekali mereka merobohkan kayu api yang sebesar
kaki orang dewasa itu. Suara gegap gempita me-
ningkahi kesibukan mereka yang sedang bekerja.
"Coba berhenti dulu!" perintah si laki-laki gagah. Sekejap ia kembali memandang
ke langit lepas. Sesungging senyum membias di bibirnya.
Entah apa makna senyumannya itu tak seorang-
pun di antara laki-laki yang menyertainya tahu.
"Pekerjaan yang bagus! Jalan yang kita rin-
tis memang tepat pada sasaran...! Teruskan se-
dikit lagi kita pasti sudah sampai ke sana...!" kata si laki-laki gagah yang di
panggil datuk. "Craak... Croook...!"
Dengan tubuh bermandi keringat, orang-
orang itu kembali meneruskan pekerjaannya. Ti-
dak sampai setengah jam kemudian pekerjaan itu-
pun selesai. Apa yang mereka lihat di depan sana benar-benar membuat mereka
terbelalak takjub.
"Oh... sebuah tempat yang sangat indah!!
Belum pernah seumur hidupku melihat peman-
dangan yang seindah ini. Siapapun orangnya yang
telah menciptakan tempat seperti ini, pastilah merupakan seorang ahli yang
memiliki cita rasa ting-gi. Aku jadi ingin tahu, benarkah pedang Intan
yang merupakan raja dari segala macam pedang
memang terkubur di tempat ini...?" kata laki-laki gagah seperti pada dirinya
sendiri. "Jadi maksud kedatangan Datuk Mahendra
ke tempat ini hanya ingin melihat pedang Intan
yang sesungguhnya hanya merupakan sebuah
dongeng belaka...?" tanya si wajah murung seperti menyesalkan sesuatu. Laki-laki
berpakaian cokelat gelengkan kepalanya, kemudian tergelak-gelak.
"Tentu saja tidak! Peta tua yang kusimpan
selama berpuluh-puluh tahun merupakan satu
bukti bahwa pedang itu benar-benar ada. Yang ha-
rus kita lakukan sekarang ini adalah mencari posi-si, di mana sesungguhnya
pedang Intan itu terku-
bur...!" "Memiliki pedang itu hanya akan berbuntut panjang, Datuk...! Pedang
Intan mempunyai pemilik yang sah. Menurut kabar yang kudengar, andai pedang itu
terangkat dari kuburnya. Maka sang
pemiliknya juga akan hidup kembali, kemudian
bergentanyangan mencari korban yang masih ke-
turunan Raja Kerajaan Datuk Lima...!" bentak si muka cerah. Yang sedikit
banyaknya memang
mengetahui sejarah pedang Intan.
"Tenanglah kalian. Tak perlu merasa kha-
watir pada dongeng yang tidak berfakta itu. Kalian akan kubayar mahal atas jerih
payah kalian dalam melakukan tugas ini!" ujar Datuk Mahendra dengan sesungging
senyum licik. "Baiklah! Terlanjur sudah sampai di sini,
walaupun kami sesungguhnya enggan melaku-
kannya. Tapi tak mengapa. Mudah-mudahan tidak
terjadi sesuatu dengan kita...!"
Kembali Datuk Mahendra tersenyum sinis,
andai saja dua laki-laki bayaran ini mengetahui
bagaimana wajah Datuk Mahendra saat-saat ter-
senyum tadi, pasti mereka akan berpikir dua kali untuk melakukan tugas yang
diperintahkan oleh
pembesar kerajaan itu.
"Apakah Datuk ada membawa peta itu...?"
tanya si wajah ramah tanpa mengalihkan perha-
tiannya dari beberapa kuburan tua yang hampir
keseluruhannya berdinding mar-mar.
"Oho... tentu... tentu saja aku memba-
wanya...! Tanpa peta di tanganku, jangan-jangan
yang kita dapatkan hanyalah tulang belulang yang tiada guna...!" berkata Datuk
Mahendra Sekejap tangannya meraba ke bagian saku
celananya. Bersamaan keluarnya tangannya itu,
maka selembar kulit kera yang sudah lusuh bera-
da dalam genggamannya pula. Cepat-cepat laki-
laki ini membuka peta yang tertulis di atas kulit kera putih yang memang telah
dipersiapkan dari
rumah. Melalui keremangan cahaya bulan, terlihat dengan jelas petunjuk-petunjuk
mengenai lokasi
benda yang mereka cari-cari.
"Nisan pertama yang berukir Gada Pungga-
wa itu merupakan kuburan pembantu setia Jalak
Beracun dan terletak di sebelah sana...!" kata Datuk Mahendra sambil menunjuk ke
suatu tempat. "Kuburan kedua dan ketiga, batu marmarnya ber-gambar perempuan telanjang! Itu
merupakan ku- buran Jalak Rimang dan istrinya...! Sedangkan
yang merupakan kuburan Pedang Intan...! Di sini
tidak tertera dengan begitu jelas." gumam pembesar Kerajaan Datuk Lima. Otaknya
bekerja cepat, memikirkan segala kemungkinan.
"Mungkin gambar api ini merupakan petun-
juk yang merupakan kuburan senjata itu, Yang
Mulia Datuk Mahendra...!" ujar si muka muram, setelah memperhatikan situasi peta
yang berada di tangan Datuk Mahendra.
"Hemm. Mungkin juga!" seru sang Datuk, lalu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Api adalah kehidupan, sekaligus merupa-
kan sumber kematian. Tak salah pasti batu yang
berbentuk obor yang terletak di sebelah sana itulah yang merupakan tempat
penguburan pedang
Intan yang merupakan raja dari segala macam
senjata...!" kata sang Datuk dengan wajah berseri-seri. "Kalau begitu kita sudah
dapat memulainya sekarang, Datuk...?" tanya salah seorang Dwi Linglung dari
Pulau Hantu dengan suara tergetar.
"Sekarang...!" ulang sang Datuk seolah-olah tengah berpikir. "Ya... sekarang
merupakan bulan purnama penuh, sebuah waktu yang tepat untuk
memulai pekerjaan yang mendebarkan itu...!"
"Kita ke sana...!" ujar sang Datuk, lalu melangkah mendahului dua laki-laki
berpakaian ser-
ba hitam. Setelah sampai di dekat batu nisan ber-lukisan api tersebut. Datuk
Mahendra hentikan
langkah. Selanjutnya dengan keadaan berjongkok
diperhatikan batu nisan yang terpisah jauh dari
kuburan lain yang berada di tempat itu. Jantung-
nya terasa berdetak keras saat laki-laki itu mengelus nisan yang berada di
depannya. Lama kela-
maan bulu kuduknya meremang. Sementara dua
orang lainnya tetap berdiri tidak begitu jauh di belakangnya. Mereka tak tahu
bahwa saat itu Datuk
Mahendra sedang mengucapkan sumpah di atas
nisan. Bahwa andaipun Pedang Intan meminta
korban, maka korban pertama yang menjadi sasa-
ran adalah Dwi Linglung dari Pulau Hantu. Apa-
kah sumpah itu bersambut atau malah sebaliknya,
hanya Datuk Mahendra saja yang mengetahuinya.
Setelah mengucapkan sumpahnya, sang Datuk
kembali berdiri, sebentar dipandanginya dua orang jago bayaran yang berdiri
terpaku di belakangnya.
"Bagaimana Datuk...! Apakah kita sudah bi-
sa memulainya sekarang...?" salah seorang dari ja-go bayaran ini bertanya.
"Aku baru saja mohon doa restu dan keiji-
nan. Nampaknya kita diperkenankan mengambil
barang itu. Dan sekarang juga kalian bisa memu-
lainya...!" Datuk Mahendra memberi perintah. Akhirnya tanpa membantah dan banyak
tanya lagi, kedua orang itupun dengan mempergunakan
cangkul, segera memulai tugasnya.
Tanah yang mereka gali tidak begitu keras
karena tanah itu masih merupakan daerah pantai
yang terkadang masih terpengaruh pasang surut.
Dalam waktu sekejap, tanah galian telah menjadi
dalam. Datuk Mahendra terus mengawasi peker-
jaan Dwi Linglung dari Pulau Hantu dengan sek-
sama. Menjelang penggalian mencapai kedalaman
satu meter tanah mengalami perubahan dari tanah
liat berganti dengan tanah pasir, masih belum ada tanda-tanda ditemukannya benda
yang mereka ca-ri-cari. "Teruskan saja, mungkin tak sampai dua meter lagi benda
itu telah kita temukan!" kata Datuk Mahendra memberi semangat.
"Semakin dalam kami melakukan pengga-
lian, jantung kami berdetak semakin keras Da-
tuk...!" tukas salah seorang di antara mereka yang sedang melakukan penggalian
itu. "Aku tahu kalian pasti terbawa perasaan
dengan adanya dongeng-dongeng tak berfakta
yang serba menakutkan itu!"
"Tidak juga Datuk! Terkadang sebuah don-
geng mempunyai sejarah yang benar. Tak ada ceri-
ta kalau tak ada fakta...!" ujar si wajah muram setengah membantah. Datuk
Mahendra tertawa re-
nyah, kemudian kembali merogoh ke bagian baju.
Terdengar bunyi bergerincing manakala sebuah
kantong berwarna hitam dikeluarkan oleh sang
Datuk dari dalam sakunya.
"Lima puluh keping uang emas bukanlah
jumlah yang sedikit. Andai kalian bekerja, mung-
kin selama lima belas tahun kalian baru dapat
mengumpulkannya. Bayangkan pekerjaan hanya
satu malam mendapat imbalan uang sebanyak li-
ma belas tahun bekerja sebagai tukang perahu
atau nelayan lainnya. Jumlah ini bahkan masih
akan kutambah lagi andai pekerjaan kita benar-
benar membawa hasil yang sebagaimana kuha-


Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rapkan...!" Datuk Mahendra menunjukkan uang yang dipegangnya pada orang yang
sedang melakukan penggalian. Melihat mata uang dan janji
sang Datuk yang berjanji akan menambah upah
mereka sudah barang tentu hati 'Dwi Linglung dari Pulau Hantu' menjadi bungah
tak karuan. Upah
yang dijanjikan dan sangat menggiurkan hati,
membuat mereka melupakan tentang dongeng-
dongeng mengerikan yang pernah mereka dengar
sebelumnya. Pekerjaanpun semakin bertambah
giat. Dua orang itu bahu membahu dalam mengo-
rek kuburan yang mereka perkirakan sebagai tem-
pat mengubur pedang Intan peninggalan Jalak Be-
racun. Bulan mulai condong ke arah barat, saat
mana cangkul mereka membentur sesuatu yang
sangat keras. Craaak...! Mereka sedikit tersentak kaget, seketika
menghentikan gerakan cangkulnya.
"Hati-hati, mungkin kita sudah hampir sele-
sai...! Coba kalian periksa benda apa yang telah membentur cangkul kalian...!"
perintah sang Datuk dengan hati berdebar. Dengan patuh salah
seorang diantaranya langsung melakukan peme-
riksaan. Mula-mula benda yang membentur cang-
kul mereka tidak kelihatan sama sekali. Namun
setelah tanah-tanah di sekelilingnya di-bersihkan.
Maka terlihatlah sebuah peti berwarna putih yang terbuat dari bahan perak. Agak
gemetar tangan si muka ramah manakala ujung-ujung jemarinya
menyentuh peti yang berukuran tidak seberapa
besar itu. "Apa yang kau lihat...?" tanya sang Datuk, tegang. "Sebuah peti terbuat dari
perak...!" jawab si muka ramah dengan suara bergetar. Datuk Mahendra
mengeluarkan gumaman yang tak dimen-
gerti maknanya oleh Dwi Linglung dari Pulau Han-
tu. "Mungkin itulah benda yang kita cari-cari...!
Sekarang coba angkat peti yang telah kalian da-
patkan itu...!" perintah Datuk Mahendra. Salah seorang dari mereka berusaha
mengangkat peti
yang berukuran tidak begitu besar seorang diri, tetapi apa yang terjadi kemudian
benar-benar mem-
buat semua mata yang menyaksikannya membela-
lak tak percaya. Peti yang terbuat dari bahan perak itu tidak bergeming
sedikitpun juga. Padahal si muka ramah telah mengerahkan segenap tenaga
dalamnya. Seolah ada sebuah kekuatan yang tidak
terlihat mempertahankan benda itu dari bagian
bawah sana. "Seorang diri, peti ini tidak bergeming sedikitpun juga, Datuk...!" lapor si
muka ramah. Sang Datuk anggukkan kepalanya, kemudian memberi
isyarat pada si muka muram untuk segera turun
membantu. Dua orang ini saling bahu membahu
mengangkat peti perak yang mereka perkirakan
berisi pedang Intan.
Dengan mengerahkan segenap tenaga da-
lam yang mereka miliki, secara bersamaan ke du-
anya segera mengangkat peti perak yang terletak di bawahnya.
"Heuuup...!"
"Broool...!"
Setelah bersusah payah, akhirnya peti yang
terbuat dari perak itupun dapat mereka angkat ke permukaan tanah. Apa yang
terjadi di kuburan Jalak Beracun setelah peti perak itu terangkat ke permukaan
tak seorangpun diantara mereka yang
mengetahuinya. "Gledek...! Gledeek...!"
Terdengar suara tanah di bawah sana ber-
gemuruh, melihat kejadian ini si muka ramah
memberi perintah pada kawannya;
"Cepat naik ke atas! Mungkin tanah itu
hendak runtuh...!" teriaknya sambil berusaha menggeser peti perak yang telah
berada di atas tanah datar.
"Heuuup...!"
Dengan sekali lompat. Si muka muram te-
lah pula meninggalkan lobang yang mereka gali.
Angin laut bertiup kencang, udara hangat terasa
menusuk. Namun beberapa detik kemudian mere-
ka mengendus adanya bau tak sedap. Mereka sal-
ing berpandangan sesamanya, dua orang dianta-
ranya merasa curiga. Namun perasaan curiga itu
segera lenyap manakala Datuk Mahendra mengu-
lurkan kantong hitam yang berisi lima puluh kep-
ing uang emas. "Jangan kalian hiraukan bau yang tak se-
dap itu. Hembusan angin laut yang baru saja kita rasakan, menandakan mungkin di
pinggiran laut sana ada ikan besar yang mati dan terdampar. Tu-
gas belum selesai...! Sekarang kita tinggal membu-ka tutup peti...! Lakukanlah
segera!" Datuk Mahendra kembali memberi perintah. Karena baru
saja mendapat upah yang sangat memuaskan,
maka si muka muram dengan cepat dan tanpa
perhitungan langsung mencabut kapaknya. Den-
gan sekali ayun. Kunci penutup peti itupun telah terbuka secara paksa.
"Buka...!" perintah sang Datuk kali ini suaranya agak lain dari yang biasanya.
Sejauh itu Dwi Linglung dari Pulau Hantu masih belum menyadari apa sesungguhnya
yang sedang terjadi atas diri Datuk Mahendra.
Kali ini dengan gerakan sangat berhati-hati,
salah seorang diantaranya mulai membuka penu-
tup peti. "Brraaak...!"
Begitu penutup peti terbuka, meluncur be-
berapa batang senjata rahasia yang berupa anak
panah beracun yang berukuran kecil. Si muka
muram keluarkan jeritan tertahan saat mana se-
batang anak panah itu menancap di bagian tela-
pak tangannya. Kiranya anak panah yang dijadi-
kan sebagai senjata rahasia di dalam peti itu mengandung racun yang sangat
ganas. Dengan cepat
sekali tangan si muka muram berubah membiru.
Beberapa detik setelahnya, seluruh tubuh si muka muram berubah total dari biru
menjadi hitam pe-
kat. Laki-laki bertubuh ceking ini mengerang, seluruh pori-pori kulitnya
mengeluarkan darah ber-
warna hitam gelap.
"Agrkh... tolong aku saudara muka ra-
mah...!" suara teriakannya hanya sampai se-batas kerongkongan saja. Kedua
tangannya menggapai,
kemudian tubuhnyapun tersungkur di atas tanah
berpasir. Pucat wajah si muka ramah, tubuhnya
gemetaran tiada menentu, sementara dengan sikap
tenang Datuk Mahendra mendekati peti yang sem-
pat merengut korban jiwa.
"Bahaya telah berlalu...!" ucapnya begitu acuh. Seolah kematian orang bayaran
yang masih merupakan sahabatnya sendiri, merupakan sesua-
tu yang wajar-wajar saja. Dengan sigap dia lang-
sung memeriksa isi peti perak yang bagian dalam-
nya nampak bersih dan memancarkan cahaya pu-
tih berkilauan.
"Ha... ha... ha...ha...! Sudah kudapat. Se-
mua apa yang menjadi cita-citaku pasti segera
akan menjadi kenyataan...!" kata Datuk Mahendra.
Kemudian secara perlahan diapun bangkit berdiri.
Tiada disadari oleh Datuk Mahendra, di atas ku-
bur Jalak Beracun terdapat sosok putih tembus
pandang terbangkit dari tidurnya. Sosok putih itu tersenyum pias begitu melihat
ke arah Datuk Mahendra yang telah menggenggam pedang Intan
yang memancarkan cahaya putih berkilauan. So-
sok putih tembus pandang ini kemudian me-
layang, berputar-putar di atas ubun-ubun sang
Datuk. Kemudian menyatu dengan jiwa raga Da-
tuk Mahendra. Seusai menyatunya sosok yang tia-
da berujud itu dengan sang Datuk. Mendadak se-
pasang mata sang Datuk yang mulanya sayu dan
berwibawa, kini telah berubah liar dan beringas.
Kejadian dan perubahan yang dialami oleh Datuk
Mahendra kiranya tak luput dari perhatian si mu-
ka ramah. "Datuk... kawanku tewas secara menyedih-
kan...! Dan... dan kau mengapa tiba-tiba saja berubah seperti itu...?" tanyanya
begitu tegang. "Aku tidak pernah berubah, sobat...! Pedang ini telah kudapatkan...! He... he...
he...!" suara Datuk Mahendra tidak sebagaimana biasanya bero-
bah serak menyeramkan.
"Kau... akan memberi tambahan upah pa-
daku, Datuk...!" tanya si muka ramah menagih janji. Datuk Mahendra gelengkan
kepalanya. "Ja... jadi...!" si muka ramah terbata.
Datuk Mahendra yang sudah dirasuki ar-
wah Jalak Beracun menggeram. Sebagai jawaban-
nya dengan gerakan secepat kilat. Datuk Mahen-
dra tusukkan pedang Intan yang baru saja dida-
patnya tepat menembus bagian dada si muka ra-
mah. Laki-laki bertubuh ceking itu hanya sempat
belalakkan matanya, seolah tak percaya dengan
apa yang terjadi. Sebagaimana yang dialami oleh
kawannya, dengan cepat terjadilah perubahan
warna pada tubuh si muka ramah. Dari pori-pori
Dwi Linglung Pulau Hantu ini nampak mengalir
darah kental kehitam-hitaman. Datuk Mahendra
tertawa gelak-gelak. Dengan gerakan sangat kasar disentakkannya senjata yang
telah menembus bagian dada sampai ke punggung si muka ramah,
kuat-kuat. Tak ayal lagi tubuh si muka ramah ter-banting roboh tanpa mampu
bangkit kembali.
"Pedang yang hebat! Senjata pamungkas
yang sangat luar biasa. Ha... ha... ha...! Dengan senjata ini Kerajaan Datuk
Lima akan menjadi
geger. Segala yang kuinginkan pasti segera tercapai...! Mungkin akulah yang
paling pantas berkua-sa atas tahta singgasananya...!" gumam Datuk Mahendra.
Sekejap dipandanginya dua sosok
mayat yang menggeletak tak begitu jauh di depan-
nya. Entah karena sebab apa, mayat yang baru
beberapa menit itu menebarkan bau busuk yang
menusuk hidung.
"Kalian sahabat-sahabat yang turut berjasa
dalam mewujudkan impianku. Aku pasti tak akan
melupakannya. Uang itu... he... he...!" Datuk Mahendra berjalan perlahan
menghampiri mayat si
muka muram. Kemudian menyentakkan kantong
hitam yang masih berada di dalam genggamannya.
"Orang yang sudah mampus tak pernah
membutuhkan uang! Emas ini baiknya kubawa la-
gi...!" kata Datuk Mahendra. Lalu tanpa menghiraukan mayat-mayat yang masih
merupakan sa- habatnya. Sambil tergelak-gelak. Laki-laki berpakaian cokelat ini berlari-lari
menjauh meninggalkan tempat itu.
*** 2 Hampir satu purnama pemuda berkuncir ini
meninggalkan hutan Sungai Buluh. Namun ke-
nangan tentang kekasihnya yang terjatuh ke da-
lam jurang ketika bertempur melawan manusia Ib-
lis Pemburu Perawan. Masih juga belum hilang da-
ri ingatannya, bahkan saat tidurpun bayangan bu-
ruk itu menjelma menjadi mimpi yang menyedih-
kan. Baginya si manusia iblis itu merupakan seo-
rang lawan yang memiliki kesaktian tinggi, sekaligus orang yang telah
menghancurkan segala-
galanya. Kini pemuda berwajah sangat tampan itu
memang merasakan telah kehilangan segala apa
yang dimilikinya. Kehilangan gadis yang dicin-
tainya pernah beberapa hari membuatnya mere-
nung di pinggir jurang itu. Dia merasakan hatinya menjadi hampa, hidup semakin
tiada berarti. Siang malam si pemuda berada di pinggiran jurang itu, tiada bergeming sedikitpun
ketika dia melihat gadis bertelanjang dada yang telah terbebas dari pengaruh
ilmu iblis milik si Cindek menghaturkan sembah sebagai ucapan terima kasih
mereka. Tidak juga ketika Giri Wisa dan si Duwur memberi
ucapan selamat tinggal kepadanya. (Dalam Epi-
sode Iblis Pemburu Perawan).
Sampai pada satu purnama kemudian
Buang Sengketa memutuskan untuk meninggal-
kan hutan Sungai Buluh yang lenggang. Dengan
membawa duka dan kepedihan hati, sepanjang ha-
ri pemuda ini terus melakukan perjalanan menuju
ke arah barat. Terkadang iapun mempergunakan
ilmu larinya, Ajian Sapu Angin untuk memperce-
pat perjalanan. Hanya pabila tubuhnya terasa letih benar, baru dia mau istirahat
melepas lelah. Siang itu si pemuda telah sampai di pinggi-
ran wilayah Kerajaan Datuk Lima. Panas yang be-
gitu terik membuatnya mempercepat langkah, tia-
da pepohonan yang dapat dijadikannya sebagai
tempat untuk berteduh. Karena hampir sepanjang
jalan yang di laluinya hanya merupakan perkebu-
nan kelapa yang luas serta tumbuhan nipah yang
menjalar tidak teratur. "Mengherankan, sepanjang jalan ini tak pernah aku
bertemu dengan seorang
pendudukpun. Padahal kulihat begitu banyak ru-
mah yang terdapat di daerah ini. Setiap rumah
pintunya tertutup rapat, padahal aku tahu di balik pintu dan jendela berpasang-
pasang mata memandang kehadiranku dengan tatapan curiga. Apa
agaknya yang telah terjadi di daerah ini" Pembe-
rontakan, perampokan, perkosaan atau apa! Sial-
nya mereka tak ada yang mau keluar. Hanya men-
gintip di balik pintu. Kalau aku nekad mendatangi salah sebuah rumah, aku takut
malah mereka berteriak dan mengundang perhatian orang banyak."
membatin pemuda itu. Merasa bosan sendiri, ak-
hirnya diapun mengerahkan Ajian Sapu Angin.
Bagai dikejar-kejar setan tubuh Buang Sengketa
melesat sedemikian cepatnya. Hanya dalam waktu
yang singkat dia telah begitu jauh meninggalkan
hutan kelapa.

Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjelang sampai di kota ramai yang ber-
nama Tiram, pemuda ini menghentikan langkah.
Kemudian berjalan sebagaimana kebanyakan
orang yang berada di tempat itu. Penampilannya
yang begitu aneh, membuat dirinya menjadi perha-
tian orang banyak, beberapa di antaranya ada
yang menyingkir saat berpapasan dengan dirinya.
Atau ada pula yang memalingkan muka. Pendekar
Hina Kelana tiada perduli, apa yang dicarinya adalah menemukan sebuah warung
penjual makanan.
Singgah sebentar kemudian pergi lagi untuk mene-
ruskan perjalanan.
Tetapi belum lagi dia menemukan warung
yang cocok dengan seleranya, mendadak di ten-
gah-tengah keramaian di depan sana. Terdengar
suara ribut-ribut disusul dengan denting bera-
dunya senjata tajam dan teriakan-teriakan maut
dari mulut yang menyongsong ajal. Berpuluh-
puluh orang berlarian menjauhi tempat terjadinya keributan. Heran dan penasaran
si pemuda demi melihat kejadian ini. Dalam hatinya timbul satu
pertanyaan bagaimana mungkin di tengah-tengah
kota seramai itu bisa terjadi keributan, sementara para pamong keamanan dengan
sikap acuh tetap
banting kartu di meja judi. Benar-benar sebuah
kebiasaan jelek yang tidak patut dibiarkan berlarut-larut. Dengan sikap tidak
sabar, Buang Seng-
keta menyeruak di antara kerumunan orang yang
sedang menyaksikan pertempuran itu.
Kemudian terlihat olehnya seorang gadis
berpakaian kuning gading dengan senjatanya be-
rupa cambuk yang terbuat dari ekor ikan pari se-
dang menghadapi keroyokan tiga orang laki-laki
bertampang kasar bersenjatakan pedang pendek.
Pabila si pemuda memandang ke arah lain, di sana terlihat dua orang laki-laki
lainnya dalam keadaan roboh, muka hancur berlumuran darah.
"Haeess...!"
Gadis berpakaian kuning gading kembali
membentak garang, cambuk ekor ikan pari kemba-
li menggelepar di udara menyambut datangnya se-
rangan ganas yang dilakukan oleh tiga orang laki-laki bertampang kasar. Tiga
orang lawan yang
nampaknya sudah dapat mengetahui kelemahan
permainan cambuk gadis berpakaian kuning lang-
sung menyeruak. Begitu si gadis itu menyadari
keadaan yang dapat membahayakan keselamatan
jiwanya. Dia sudah tak sempat lagi menghindar.
Brebeet...! "Auuughk...!"
Si gadis memekik keras dan jatuh bergu-
lung-gulung. Namun lawan yang berhasil memba-
batkan pedangnya terus memburu dengan tujuan
mengakhiri hidup lawannya.
"Tahan...! Jangan kita bunuh buronan itu,
adi...! Dia bisa kita hadapkan pada Datuk. Siapa tahu sang Datuk berkenan dengan
kecantikan Puteri Samba yang aduhai ini...!" kata salah seorang diantara ketiga
laki-laki itu, dingin.
"Keparaat! Kalian para begundal tengik yang telah begitu tega membunuh majikan
kalian sendiri. Aku akan mengadu jiwa dengan para tikus pen-
gecut...!" teriak si gadis berpakaian kuning gading dalam kegusarannya.
"Datuk Empat, ayahmu bermaksud mela-
kukan pemberontakan terhadap Kerajaan Datuk
Lima. Tidak salah kalau kami berpihak pada yang
benar...!"
"Keparaat...! Semua itu fitnah, pasti ada
orang dalam Kerajaan Datuk Lima yang telah me-
lakukan pekerjaan keji ini...!" bantah si gadis berpakaian kuning gading dengan
wajah merah pa-
dam. "Tak usah berdalih, kau harus kami tangkap dan kami laporkan pada sang
Datuk selaku Kepala Pasukan Keamanan di kota ini...!" kata salah seorang diantara mereka yang
memiliki nama Roka Geni. "Di dalam kedatuan ayahandaku, kalian
hanyalah para pembantu yang tidak memiliki we-
wenang apa-apa, kalian hanyalah seorang abdi
yang telah begitu tega menjadi seorang penghianat.
Bukan tak mungkin Kerajaan Datuk Lima seka-
rang sedang berada dalam bahaya...!"
"Ringkus dia...!" perintah Roka Geni kepada dua orang kawannya. Baru saja mereka
hendak bergerak, mendadak terdengar satu bentakan yang
disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Jangan kalian lakukan itu...!"
Merasa ada orang berkepandaian tinggi
mencampuri urusan mereka, secara serentak baik
ketiga laki-laki bertampang kasar itu maupun ga-
dis berpakaian kuning gading menoleh ke arah si
pemilik suara. Dari kerumunan orang-orang yang
menyaksikan pertempuran itu, nampak seorang
pemuda berpakaian merah menghampiri mereka.
Melihat penampilan Buang Sengketa yang sedemi-
kian dekilnya membuat tiga orang laki-laki yang
sedang mengurung gadis berpakaian kuning lang-
sung tertawa-tawa. Sedangkan si gadis tertegun
penuh kagum. "Melihat tampangmu, nampaknya kau
orang asing di kota ini. Apa maksudmu mengha-
langi niat kami...!" bentak orang itu begitu gusar.
"Melakukan pengeroyokan terhadap seorang
perempuan yang sudah terluka, apalagi bekas Pu-
teri majikan sendiri. Tidak jauh bedanya dengan
orang yang tak tau membalas guna...!" bentak si pemuda tanpa merasa sungkan-
sungkan lagi. "Keparaat...! Kau benar-benar ingin mencari penyakit telah berurusan dengan
orang kepercayaan Datuk...!" sentak Roka Geni dengan gigi berkerokotan.
Tanpa menghiraukan kata-kata, laki-laki
bertampang kasar. Buang Sengketa nyeletuk:
"Manusia tidak tahu membalas budi! Kebai-
kan majikan sendiri kalian lupakan setelah meli-
hat tumpukan uang yang tiada seberapa...! Kalau
aku lebih baik membunuh diri...!" ejek Pendekar Hina Kelana sengaja ingin
memancing kemarahan
lawan. "Kampret! Cacing gembel ini memang sengaja mencari urusan dengan kita,
kakang Roka Ge-
ni...!" "Kalau begitu, cincang dia...!" perintah Roka Geni. Gadis berpakaian
kuning gading bergerak
menepi meninggalkan gelanggang pertempuran.
Kini berhadapanlah Buang Sengketa dengan Roka
Geni, Roka Bayu dan Roka Tirta. Dengan ganas
mereka menyerang si pemuda. Pedang pendek di
tangan mereka menderu keras, mengancam bagian
pertahanan lawan yang tidak terjaga dengan baik.
Tetapi para pengeroyok nampak harus memendam
kekecewaan manakala serangan-serangan ganas
mereka selalu kandas di tengah jalan. Sebaliknya Buang Sengketa hanya
mengandalkan jurus silat
tangan kosong, Membendung Gelombang Menimba
Samudra dan jurus Si Gila Mengamuk. Dengan te-
nang masih mampu menghalau setiap serangan
lawannya dengan baik. Sepuluh jurus telah berla-
lu, namun sejauh itu tiga pengeroyoknya masih
belum mampu melakukan tekanan-tekanan yang
berguna kepada lawannya.
"Gunakan jurus Pedang Menggorok Babi
Hutan...!" teriak Roka Tirta. Sebentar saja permainan pedang mereka berobah
total, serangan da-
tangnya semakin menggebu-gebu. Setiap jurus
mengandung tipu-tipu. Berulang kali pedang pen-
dek di tangan lawannya nyaris merobek bagian pe-
rut Buang Sengketa. Pemuda keturunan manusia
Negeri Alam Gaib ini melompat mundur, bibirnya
memperdengarkan suara gumaman yang tak begi-
tu jelas. "Heiiit...!"
Sekali lagi mata pedang di tangan Roka Ge-
ni menyambar dari arah belakang. Buang Sengke-
ta miringkan tubuhnya berusaha mengkelit seran-
gan lawan. Kemudian kirimkan satu tendangan
kaki yang begitu telak
"Deek...!"
"Hoeeek...!"
Gubrak...!"
Terdengar suara tawa riuh rendah manaka-
la Roka Geni tersungkur mencium tanah. Melihat
kemampuan yang dimiliki oleh lawannya. Dua
orang kawannya menerjang maju dengan mengan-
dalkan segenap kemampuan yang ada. Sejauh itu
usaha yang mereka lakukan untuk mendesak la-
wannya tetap saja tidak mendatangkan hasil.
"Tikus comberan! Dengan sangat terpaksa
aku menggusur kalian...!" geram si pemuda. Dengan gerakan bersalto beberapa
kali, Buang Sengke-ta lambaikan tangan kanannya ke arah depan. Se-
rangkum gelombang berwarna Ultra Violet me-
nyambar deras ke arah tiga orang lawannya. Me-
nyadari adanya bahaya yang mengancam jiwa me-
reka, maka ke tiga orang itu putar pedangnya
membentuk perisai diri. Dengan telak pukulan
Empat Anasir Kehidupan yang dilepaskan oleh si
pemuda menghantam tubuh mereka.
"Brees...!"
"Wuaargkh...!"
Terdengar jeritan lolongan maut manakala
pukulan yang mengandung hawa panas yang tiada
terkirakan itu mencapai sasarannya. Tubuh mere-
ka terpelanting dalam keadaan hangus dan jiwa
melayang. Mengetahui kehebatan yang dimiliki
oleh pemuda berkuncir, maka mereka yang sempat
menyaksikan pertarungan sengit itu, bergegas
menjauh. Bahkan secara diam-diam beberapa
orang diantaranya ada yang menuju ke rumah ke-
diaman orang yang dipanggil Datuk oleh lawan
yang telah binasa. Tinggallah Buang Sengketa dan gadis berpakaian kuning yang
memandangi dirinya
dengan penuh takjub. "Anda telah menyeret diri anda dalam kemelut yang
seharusnya saya hadapi
sendiri, pendekar...!" kata si gadis setengah menyesalkan.
"Panggil saja, Kelana...! Mengenai apa yang baru saja nona katakan itu,
sesungguhnya tidak
menjadi masalah. Yang terpenting nona berada
pada pihak yang benar...!" jawab si pemuda dengan sikap tak acuh.
"Ee... nama saya Samba...!" tanpa diminta gadis berkulit kuning langsat itu
memperkenalkan diri. "Tepatnya Puteri Samba! Benarkan...?"
Wajah si gadis merona merah.
"Saya tak suka dengan sebutan seperti itu,
pendekar... apalagi saya hanya merupakan bekas
Puteri Datu yang tiada apa-apanya...!" bantah si gadis berpakaian kuning gadis
berpakaian kuning
gading merasa tak setuju.
"Kalau begitu jangan sebut diriku pendekar!
Panggil saja Kelana...!" ujar si pemuda, lalu tersenyum ramah.
"Baiklah Kelana! Tahukah anda bahwa den-
gan membunuh tiga orang kepercayaan Datuk
Mahendra. Secara tak langsung anda telah mem-
buat perkara dengan Kerajaan Datuk Lima. Anda
bisa dihukum gantung...!"
"Mengapa begitu! Siapa Datuk Mahendra
yang anda maksudkan itu...?" tanya Buang Sengketa tiada mengerti. Gadis
berpakaian kuning gading itu nampak memperhatikan sekelilingnya, se-
perti ada sesuatu yang ditakutkannya.
"Baiknya kita cari tempat yang aman. Den-
gan terbunuhnya orang kepercayaan sang Datuk,
sebentar lagi tempat ini pasti sudah di kurung
dengan pasukan pemanah. Nanti di sana baru ku-
ceritakan segala-galanya." ujar Puteri Samba.
Buang Sengketa hanya menganggukkan kepala.
Tampa buang-buang waktu lagi. Puteri Samba dan
pemuda itu berlari cepat menuju keluar kota Ti-
raun. *** 3 Pagi itu Datuk Mahendra nampak mengha-
dap Raja Kerajaan Datuk Lima di istana kedia-
mannya tidak jauh di Timur Laut kota Tiram. Da-
lam ruangan besar yang dihiasi dengan berbagai
benda berharga yang terdiri dari emas dan perak.
Di atas singgasana sana nampak duduk pemimpin
tinggi Kerajaan yang bernama Datuk Satu, men-
dampingi sang Raja, di sebelah kanan Permaisuri
Dewi Kerudung Sutra yang memiliki wajah cantik
rupawan. Sedangkan di sisi kiri singgasana Datuk Satu, duduk bersimpuh dua orang
Puteri Raja yang bernama Puteri Kenanga dan Puteri Cempa-
ka. Tiga tombak di depan singgasana Datuk Satu,
dalam posisi melingkar, nampak duduk Panglima
Nawang, Patih Dahana, Datuk Mahendra dan be-
berapa Pejabat Tinggi Kerajaan yang jumlahnya lebih dari empat orang.
Dengan sikapnya yang berwibawa, satu de-
mi satu Datuk Satu memperhatikan wajah para
abdinya yang sejak dari tadi menunduk hormat.
"Datuk Mahendra!" ujar Datuk Satu mem-
buka pembicaraan. "Sebagai orang kepercayaan di luar keluarga Kerajaan, engkau
telah mendapat kehormatan dengan sebutan Datuk. Semua itu ka-
rena jasa-jasamu yang tidak sedikit pada Kerajaan Datuk Lima ini. Bukti yang
dikumpulkan cukup
kuat, bahwa laporanmu tentang usaha saudaraku
yaitu Datuk Empat untuk melakukan pemberon-
takan terhadap Raja yang sah sudah kami ketahui
dengan jelas. Sebagai orang luar yang telah me-


Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nunjukkan bakti yang cukup besar terhadap pe-
merintahan. Maka kami telah sepakat untuk men-
gangkatmu sebagai Penasihat Kerajaan baru. Apa-
kah engkau merasa setuju dengan keputusan ka-
mi ini...?" tanya sang Raja kepada Datuk Mahendra. Orang berwajah dingin yang
bernama Datuk Mahendra nampak membungkukkan badannya
dalam-dalam. Setelah menyembah tiga kali, orang
itupun berkata.
"Ampun Paduka Raja! Hamba kira kedudu-
kan itu begitu tinggi buat diri hamba yang hina
dan berasal dari masyarakat biasa. Adapun segala apa yang pernah hamba lakukan
untuk Kerajaan Datuk Lima, sebagai rakyat hamba merasa berke-
wajiban untuk menjaga kewibawaan pemerinta-
han...!" Datuk Satu nampak tersenyum dan semakin takjub dengan sifat yang
dimiliki oleh Datuk
Mahendra. Sesungguhnya Raja Kerajaan Datuk
Lima tak tahu bagaimana kelicikan yang sedang
direncanakan oleh Mahendra yang sudah disusupi
arwah Jalak Beracun itu.
"Ah... anda tidak sepantasnya menampik
kepercayaan Paduka Raja yang telah diberikan pa-
da anda, Datuk Mahendra...!" yang ikut bicara adalah seorang laki-laki bertubuh
tegap dan berpakaian perang. Dialah Panglima Nawang, jago is-
tana Kerajaan Datuk Lima yang memiliki kepan-
daian tinggi. Yang diajak bicara kembali menjura dalam-dalam.
"Hamba bukannya menampik, Panglima!
Cuma hamba sedang bertanya pada diri hamba
sendiri. Pantaskah hamba menerima jabatan se-
tinggi itu...!" kata Datuk Mahendra begitu meren-dah. Sang Raja yang duduk di
singgasananya, nampak tergelak-gelak.
"Mengatakan tidak pantas, berarti engkau
menerima tawaran kami, Datuk! Ah betapa Kera-
jaan Datuk Lima akan menjadi semakin kuat den-
gan kehadiran dirimu. Aku merasa sangat bergem-
bira sekali. Dan perlu kau ketahui, mulai saat ini Datuk harus tinggal di salah
sebuah rumah pembesar yang masih terdapat di sekeliling istanaku ini!" kata sang
Raja memberi keputusan. Bukan main girangnya hati Datuk Mahendra demi mendengar
keputusan sang Raja. Terlebih-lebih roh
Jalak Beracun yang telah menyatu di dalam jiwa
Datuk Mahendra. Dengan diangkatnya dirinya
menjadi Penasehat Kerajaan hal ini merupakan sa-
tu keuntungan baginya untuk melakukan sesuatu
tanpa dicurigai oleh pihak manapun. Begitupun
Datuk Mahendra yang licik ini masih memperli-
hatkan wajah sedih.
"Yang Mulia Paduka Raja!" ucapnya setelah menghaturkan sembah. "Bukan hamba
menolak kehendak Paduka, supaya hamba tetap tinggal di
dalam lingkungan istana. Tetapi hamba khawatir
tentang sesuatu...!"
"Engkau mengkhawatirkan sesuatu, sesua-
tu apakah gerangan...!" tanya sang Raja diliputi dengan rasa keingintahuan.
Datuk Mahendra nampak memperhatikan suasana sekelilingnya,
sekali dia memandang ke arah Raja yang sedang
duduk di singgasananya, terlihat pula olehnya
Permaisuri dan Puteri Raja yang ayu rupawan.
Membuat hatinya semakin bergembira, namun pe-
rasaan seperti itu hanya tersimpan di dalam hati, tak seorangpun dari mereka
yang hadir mengetahui hal itu.
"Begini Paduka! Dua hari yang lalu, tiga
orang kepercayaan hamba tewas secara menyedih-
kan. Tubuhnya hangus bahkan sangat sulit untuk
dikenali, padahal mereka merupakan orang-orang
yang paling hamba percaya...!" ujar Datuk Mahendra berpura-pura sedih. Apa yang
diceritakan oleh Datuk Mahendra seperti yang telah diduganya menarik perhatian
mereka yang hadir di ruangan itu.
"Tiga orang kepercayaan Datuk tewas! Siapa
yang telah melakukannya...?" tanya Patih Dahana yang sejak tadi hanya diam saja.
"Yang melakukannya, maaf...! Hamba tidak
dapat mengatakannya karena orang itu masih
punya hubungan darah dengan Yang Mulia Ra-
ja...!" jawab Datuk Mahendra berpura-pura sungkan. Wajah Datuk Satu nampak
memerah, tanda dirinya sedang diliputi perasaan gusar.
"Maaf Yang Mulia, hamba tidak bermaksud
menyinggung perasaan Yang Mulia...!" kata Datuk Mahendra, lalu rangkapkan ke dua
tangannya sebagai pernyataan atas penyesalannya. Tetapi sang Raja cepat-cepat
gelengkan kepala.
"Tidak! Engkau tidak bersalah, siapapun
yang telah melakukan pembunuhan atas orang-
orang kepercayaanmu yang telah sama kita keta-
hui berpihak pada pemerintah. Tidak perduli orang itu masih memiliki hubungan
darah dengan kerajaan, harus dihukum. Engkau tak perlu ragu, Da-
tuk! Coba katakan siapakah orangnya...!" perintah sang Raja dengan perasaan
tegang. "Orang itu merupakan Putrinya Datuk Em-
pat...!" jelas Datuk Mahendra dengan suara hampir-hampir tak terdengar.
"Puteri Samba...!" bergetar suara sang Raja ketika menyebut nama itu. Bagaimana
tidak. Puteri Samba masih merupakan keponakannya sendiri.
Cuma ayahandanya terpaksa dihukum mati kare-
na berusaha melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah yang sah. "Mungkinkah Puteri Samba yang mempunyai watak pendiam itu,
berusaha membalas dendam atas kematian ayahandanya.
Tetapi kalaulah memang benar, mengapa harus
membunuh orang-orang kepercayaan Datuk Ma-
hendra..." Mungkinkah dia mengetahui bahwa
yang melaporkan rencana pemberontakan yang
akan dilakukan oleh ayahandanya, adalah Datuk
Mahendra. Kenyataan itu cukup beralasan!" batin Datuk Satu.
"Puteri Samba, meskipun pernah kuketahui
berguru ilmu silat pada seseorang, tetapi kupikir tidak memiliki kesaktian
sehebat itu. Bagaimana
mungkin dia dapat membunuh seseorang dengan
akibat sehebat yang kau ceritakan Datuk...?" tanya Panglima Nawang seolah tak
percaya. Dengan sangat berhati-hati, Datuk Mahendra berucap: "Kalau hanya Puteri
Samba. Jelas tak mungkin mampu
melakukan tindakan sehebat itu. Tetapi saat dia
melakukan di kota Tiram, tiba-tiba hadir seorang pemuda tampan, berpakaian
kumal, dengan sebuah periuk di pinggang datang membantu sang
Puteri. Nah pemuda asing itulah yang telah mene-
waskan orang-orang kepercayaan hamba...!" jelas Datuk Mahendra lebih lanjut.
"Hem... sudah kau selidiki siapa gerangan
pemuda itu...!" tanya sang Raja dengan tujuan ingin mengetahui lebih jauh.
"Sudah Yang Mulia! Tetapi secara pasti
hamba masih belum mengetahui identitasnya. Be-
berapa orang memberi laporan pada hamba, bah-
wa Puteri Samba dan pemuda berkuncir me-
larikan diri ke luar kota Tiram...!"
Datuk Satu terdiam beberapa saat lamanya,
suasana di dalam ruangan pertemuan hening sepi.
Masing-masing orang tenggelam dalam alam piki-
rannya sendiri. Tak seorangpun di antara pembe-
sar-pembesar Kerajaan ada yang berani angkat bi-
cara. "Puteri Samba mungkin saja begitu mendendam atas kematian ayahandanya!
Dulu aku masih berpikir untuk menangkapnya. Tepat seper-
ti apa yang dikatakan oleh Datuk Mahendra dulu.
Kelak keturunan Datuk Empat adikku dapat men-
jadi duri dalam daging...!" ucap sang Raja tanpa sadar. Hal ini hanya semakin
membesarkan hati
Datuk Mahendra yang telah menyusun siasat licik.
"Kanda Prabu, bukan hamba bermaksud
mencampuri urusan pemerintahan. Tetapi tudu-
han dan hukuman yang dijatuhkan pada adinda
Datuk Empat nampaknya terlalu tergesa-gesa.
Siapa tahu dia bukannya memiliki maksud untuk
melakukan pemberontakan. Mungkin saja dia
mengumpulkan banyak orang untuk membangun
sebuah padepokan atau kuil buat para Brahma...!"
"Adi Permaisuri! Apapun alasan dinda, yang
jelas Datuk Empat memiliki tujuan tertentu untuk menjatuhkan pemerintahan yang
sah...!" tukas Datuk Satu agak gusar. Membuat Permaisuri Dewi
Kerudung Sutra terdiam seribu bahasa. Datuk
Mahendra tertawa penuh kemenangan, meskipun
hanya di dalam hati. Sesungguhnya ada yang me-
rasa kurang begitu setuju dengan sikap sang Raja ini, yaitu Panglima Nawang.
Laki-laki berumur dua puluh delapan tahun ini menilai Datuk Satu dalam bertindak
hanya dengan mempergunakan patokan
dan keterangan yang diberikan oleh Datuk Ma-
hendra. Padahal yang mengetahui sedikit banyak-
nya tentang siapa Datuk Mahendra yang sebenar-
nya hanya Panglima Nawang sendiri. Itulah sebab-
nya ketika Panglima Nawang ditugaskan menang-
kap Datuk Empat hatinya diliputi kebimbangan.
Sebab dia tidak begitu yakin kalau Datuk Empat
bermaksud melakukan pemberontakan. Mulai saat
itulah secara diam-diam Panglima Nawang mulai
melakukan penyelidikan atas diri Datuk Mahendra
yang begitu dipercaya oleh sang Raja. Entah men-
gapa Panglima Kerajaan yang berumur masih begi-
tu muda itu begitu curiga pada Datuk Mahendra.
Sungguhpun kecurigaan itu tak pernah dinam-
pakkan di depan siapapun.
"Panglima Nawang! Merupakan tugasmu
untuk mencari di mana Puteri Samba dan pemuda
asing itu bersembunyi...!" perintah sang Raja, menyentakkan Panglima itu dari
lamunannya. "Perintah gusti akan hamba jalankan...!" ka-ta Panglima Nawang agak gelagapan.
Sebentar kemudian sang Raja kembali pada
Datuk Mahendra, dengan sikap serius beliau pun
bertanya: "Nah Datuk! Semuanya sudah beres, atau adakah hal-hal lain yang Datuk
khawatirkan...?" tanya Datuk Satu.
Sekali lagi Datuk Mahendra menghaturkan
sembah, lalu berkata: "Untuk saat ini hamba kira tak ada persoalan apapun!"
"Kalau begitu pertemuan kita kali ini kita
cukupkan sampai di sini dulu...!" ujar Datuk Satu, menutup pembicaraannya.
*** 4 Hampa tatapan matanya memandang ke
laut lepas, sesekali ia tengadahkan wajahnya un-
tuk menjaga air matanya tidak sampai jatuh me-
netes. Sejauh itu Buang Sengketa yang duduk tak
begitu jauh di sampingnya terus berusaha membu-
juk si gadis agar tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.
"Air mata dan tangis tidak pernah menyele-
saikan persoalan yang engkau hadapi. Lebih baik kau ceritakan segala persoalan
yang telah menimpa ayahanda mu, siapa tahu aku dapat membantu
menyelesaikan persoalan yang engkau hadapi...!"
Gadis berpakaian kuning gading itu geleng-
kan kepalanya. "Terlalu besar resiko yang bakal kuhadapi,
aku tak ingin orang lain ikut terseret dalam kemelut keluargaku...!" kata gadis
itu tersendat. "Apakah kau pikir semua persoalanmu da-
pat kau selesaikan sendiri Puteri Samba?" tanya Buang Sengketa dengan nada
tertekan. "Justru itulah masalahnya yang membuat
aku bingung! Aku tahu ayahanda tidak bersalah,
beliau hanya merupakan korban fitnah. Andai saja aku terlahir sebagai seorang
laki-laki, pasti aku akan lebih leluasa lagi untuk melakukan penyelidikan!"
"Ayahanda mu korban fitnah! Sudah jelas pasti ada keluarga Kerajaan yang tidak
begitu suka dengan keberadaan ayahanda mu...!" kata Buang
Sengketa berusaha menarik kesimpulan.
Puteri Samba kembali gelengkan kepalanya
keras-keras. Kemudian terdiam, seperti ada se-
suatu yang dipikirkannya.
"Aku kenal betul dengan Datuk Satu, yaitu
yang menjadi Kepala Pemerintahan yang sekarang
ini. Karena beliau masih merupakan kakak kan-
dung ayahandaku. Beliau tidak asal sembarang
perintah, jika tidak ada bukti-bukti yang sah atau-pun laporan yang kuat dari
orang yang diper-
cayainya...!"
"Maksudmu...?" tanya si pemuda tiada
mengerti. "Sejak dulu aku selalu curiga pada orang
yang bergelar Datuk Mahendra itu. Dia orang luar yang begitu dipercaya oleh
Datuk Satu karena ja-sa-jasanya dalam menumpas kekacauan-
kekacauan yang terjadi di kota Tiram. Karena jasa-jasanya itulah maka sang Raja
memberinya gelar
kehormatan dengan sebutan Datuk. Aku tak tahu
apakah dia yang telah menyusun semua rencana
terkutuk itu. Tetapi ketika aku berusaha melaku-
kan penyelidikan, orang-orangnya malah berusaha
meringkusku. Masih untung engkau datang meno-
long Kelana, jika tidak entah bagaimana nasib-
ku...!" kata Puteri Samba sedih.
"Nampaknya ada satu kekuatan tersem-
bunyi yang telah bercokol, dalam pemerintahan
uwamu. Bukan tak mustahil cepat atau lambat
kekuatan itu malah akan meruntuhkan kekuasaan
Raja yang sah...!" komentar si pemuda sambil menatap tajam pada Puteri Samba.
"Hem... selain Datuk Empat yang merupa-
kan orang tuamu, Datuk Satu yang menjadi Kepa-
la Pemerintahan di Kerajaan Datuk Lima. Apakah
masih ada Datuk-Datuk lainnya?" tanya Pendekar Hina Kelana.
"Masih ada. Yaitu Datuk Dua dan Datuk Ti-
ga. Datuk Dua tinggal di Pesisir sedangkan Datuk Tiga tinggal di Panjang...!
Memang kenapa...?"
Puteri Samba memandangi si pemuda den-
gan perasaan curiga. Yang dipandangi hanya ter-
senyum-senyum saja. Tanpa menghiraukan perta-
nyaan si gadis pemuda itu kembali mengajukan
pertanyaan: "Apakah mereka tahu tentang hukuman


Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati yang telah dijatuhkan pada ayahanda mu...?"
"Mungkin mereka sudah tahu! Aku sendiri,
setelah kematian ayahanda belum pernah lagi ber-
kunjung ke sana...!" kata si gadis.
"Apakah hubungan ayahanda mu dengan
saudara-saudaranya pernah terjadi pertengkaran
atau sejenis dengan itu...?"
"Tidak! Hubungan kekeluargaan selama ini
kuketahui berjalan dengan baik. Perlu engkau...
ehh... kakang ketahui bahwa pengangkatan Raja
sesuai dengan hukum adat yang berlaku secara
turun temurun. Jadi tidak masuk akal sama sekali kalau ayahanda bermaksud
melakukan pemberontakan. Karena ayahanda dulu pernah bicara pada-
ku bahwa beliau sendiri tak pernah punya minat
menjadi seorang Raja. Sungguhpun beliau sendiri
masih merupakan keturunan seorang Raja yang
sah...!" "Aku begitu yakin dengan apa yang dikata-
kannya. Kulihat sebuah kejujuran di matanya.
Kuat dugaanku, pasti ada sesuatu yang tak beres
dalam pemerintahan Raja sekarang. Datuk Ma-
hendra... mungkinkah dia merupakan dalang atas
fitnah yang telah dijatuhkan pada orang tua Puteri Samba" Atau masih adakah
orang lain yang turut
memegang peranan dalam hal ini, Panglima Kera-
jaan, Patih atau...!" gumam Pendekar Hina Kelana mencoba mereka-reka segala
kemungkinan. "Menurutmu, apakah Datuk Dua dan Tiga
percaya dengan apa yang dilakukan oleh ayahanda
mu...?" "Mungkin juga ya, tetapi aku lebih cende-rung untuk mengatakan tidak.
Sebab seperti yang
kuketahui Datuk Dua dan Datuk Tiga cukup men-
genal betul bagaimana sifat ayahanda...!"
"Kalau begitu kita masih dapat menghu-
bungi mereka...!"
Buang Sengketa nampak tersenyum cerah.
"Untuk apa, kakang...?"
"Kita harus meminta pendapat mereka
mengenai fitnah yang telah dijatuhkan pada orang tuamu...!" kata si pemuda.
"Percuma kakang...! Sebagaimana ayahan-
da, mereka juga merupakan orang-orang yang ti-
dak begitu perduli dengan segala macam urusan
Kerajaan. Pula sungguhpun ayahanda masih me-
rupakan adik Datuk Satu, tetapi yang namanya
hukum tetap berlaku bagi siapapun...!" kata Puteri Samba dengan suara tersendat.
"Kita belum melakukannya. Siapa tahu me-
reka masih mau turut memikirkan tentang huku-
man yang semena-mena itu...!"
"Bagaimana jika di sana juga telah dipasang mata-mata untuk menangkap kita?"
tanya gadis berpakaian kuning gading ini nampak cemas sekali.
"Kalau itu sampai terjadi, demi menegakkan
kebenaran. Maka aku siap mengatakan perang pa-
da mereka...!" jawab si pemuda tanpa ragu-ragu lagi. "Peraang...!" ulang si
gadis dengan mata membelalak tak percaya.
"Ya...!"
"Dua orang anak manusia ingin memerangi
kekuasaan Raja yang memiliki Panglima Perang
tangguh, dan ratusan prajurit yang terlatih dengan baik. Apa hal itu tidak sama
saja artinya dengan membunuh diri secara menyedihkan...?" ujar Puteri Samba
semakin merasa cemas dengan keneka-
tan si pemuda yang baru beberapa hari di kenal-
nya itu. "Mengapa! Kau takut...?" tanya si pemuda, lalu memandang tiada berkedip.
"Bukannya aku takut. Kita ini tak ubahnya
bagai dua ekor semut yang berada di antara ratu-
san gajah. Apa yang akan kita lakukan hanya
akan sia-sia belaka...!"
"Jangan selalu merasa putus harapan, Pu-
teri Samba...! Banyak jalan yang dapat kita tem-
puh andai kita benar-benar ingin melakukan-
nya...!" "Yakinkah, kakang dengan kemampuan
yang kakang miliki...?" tanya gadis berpakaian kuning gading ragu-ragu.
"Sudah kubilang jangan cepat putus asa.
Akal harus kita lawan dengan akal pula. Yang
penting kita harus segera ke Pesisir mengunjungi Datuk Dua...!"
"Baiklah kalau begitu...!" jawab si gadis menyerah.
* * * Malam setelah lebih dari dua purnama Da-
tuk Mahendra yang kini telah diangkat menjadi
Penasehat Kerajaan tinggal di lingkungan istana.
Saat itu hujan deras yang turun sejak sore, masih kelihatan belum ada tanda-
tanda akan reda. Langit kelam, mendung di langit kian menebal. Sese-
kali terlihat prajurit-prajurit Kerajaan meronda dalam suasana hujan lebat
begitu. Udara dingin
menggigit membuat mereka bertahan di pos ja-
ganya masing-masing. Suasana Kerajaan Datuk
Lima kelihatan sunyi bagai tiada berpenghuni. Hal itu bukan berarti tiada
manusia yang tidak berke-liaran dalam suasana hujan lebat seperti itu.
Nun di belakang rumah kediaman Datuk
Mahendra, terlihat sosok bayangan bertopeng
nampak melangkah ke arah bagian dapur pemban-
tunya. Mendadak lampu yang menerangi ruangan
itu padam. Tak seorangpun melihat kejadian ini.
Dalam kegelapan itu, si manusia bertopeng menye-
ringai. Sesungging senyum yang tak jelas dituju-
kan pada siapa nampak menghiasi bibirnya.
"Beberapa hari aku telah melakukan penye-
lidikan di sekitar sini. Penjagaan yang dilakukan oleh prajurit-prajurit ronda
nampaknya begitu ketat. Cara satu-satunya yang dapat kutempuh ha-
nyalah dengan melalui genteng. Teror yang telah
kurencanakan nampaknya sudah mulai dapat ku-
lakukan mulai sekarang. Begitulah menurut orang
kutemui dalam mimpiku. Tetapi mengapa orang
itu malah menyuruhku membunuh Permaisuri
sang Raja dan Putrinya.
Bukan Datuk Satu saja, atau Panglima Pe-
rangnya yang membuatku hampir tersudut" Da-
lam mimpi itu aku melihat pemuda berpakaian
serba putih begitu mendendam keluarga Raja.
Bahkan dengan jelas dia menyebutkan satu persa-
tu orang yang harus kubunuh. Mulai Datuk Satu
sampai Datuk Tiga. Apakah mereka ini merupakan
musuh terpenting, dengan adanya pedang Intan
miliknya, aku dapat meraih segala cita-citaku...!"
gumam si orang bertopeng. Kemudian tanpa
menghiraukan derasnya hujan. Orang inipun lang-
sung melompat ke atas genteng. Gerakannya rin-
gan sekali, menandakan bahwa si laki-laki berto-
peng memiliki ilmu meringankan tubuh yang su-
dah sangat sempurna sekali. Tanpa menimbulkan
kecurigaan apa-apa. Dengan cepat orang itu terus mengendap-endap di atas
genteng. Selanjutnya
menuju ke arah bagian kamar Puteri Raja. Di sa-
lah satu tempat yang terletak di bagian sudut Kerajaan. Laki-laki bertopeng ini
hentikan langkah.
Sebentar sepasang matanya menyapu ke segenap
halaman yang sunyi sepi. Tidak terdapat tanda-
tanda mencurigakan di sana.
Tanpa berpikir panjang si orang bertopeng
langsung membuka dua buah genteng yang berada
di bawahnya. Kemudian terlihatlah olehnya salah
seorang Puteri Raja yang tengah tidur begitu pulas.
Si orang bertopeng belum dapat memastikan yang
mana satu diantara dua Puteri Raja yang menem-
pati ruangan itu. Lima buah genteng kembali dige-sernya, lalu tanpa menunggu
lebih lama lagi. Tu-
buhnya melayang ke bawah, sesampainya di da-
lam kamar Puteri Raja, dia langsung lakukan dua
totokan pada bagian gerak dan jalan suara. Sang
Puteri yang sedang bernasib sial itu rupanya bernama Puteri Kenanga, yaitu
seorang Puteri yang
paling cantik bila dibandingkan dengan kakak su-
lungnya Puteri Cempaka. Dia tersentak kaget ma-
nakala merasakan kehadiran orang lain di dalam
kamar tidurnya. Matanya membelalak ketika meli-
hat si orang bertopeng, tetapi dia tak mampu berbuat apa-apa, jangankan
bergerak, sedangkan un-
tuk berteriak saja dia tak mampu. Wajah di balik topeng menyeringai, sepasang
matanya nampak berkilat-kilat memandang pada Puteri Kenanga
yang dalam keadaan terlentang. Semakin lama
orang itu melangkah mendekati sang Puteri yang
dalam keadaan ketakutan. Tiada henti-hentinya
sepasang mata iblis itu menyapu pandang mulai
dari bagian wajahnya yang putih mulus, lalu ke
arah dada yang membusung kemudian terus tu-
run dan berhenti di suatu tempat.
"Hanya sekali aku melihat Puteri yang can-
tik ini di ruangan pertemuan Raja beberapa hari
yang lalu. Sebelum aku membunuhnya alangkah
baiknya kalau aku mencicipi kehangatan tubuh-
nya. He...!" si orang bertopeng mendengus. Lalu menghampiri peraduan Puteri
Kenanga. Mengetahui gelagat tidak baik gadis itu ketakutan setengah mati. Tapi
tetap saja dia tak mampu berbuat banyak, ketika tangan-tangan yang kokoh itu
menye- linap di balik pakaiannya. Di sela-sela bukit kembar jemari kokoh itu bermain-
main sekejap. Puteri Kenanga tak mampu berbuat apa-apa ketika si
orang bertopeng mencabik habis semua pakaian
yang melekat di tubuhnya. Wajah di balik topeng
itu kembali menyeringai ketika melihat tubuh mu-
lus yang tergolek di depannya tanpa sehelai be-
nangpun. Tanpa menunggu lagi, si orang berto-
peng yang memang sedang ditunggangi roh iblis
langsung menindih tubuh sang Puteri. Semakin
deras air mata yang meleleh membasahi pipi sang
Puteri, saat dia merasakan rasa sakit yang begitu mendera di bagian bawah
perutnya. Tetapi si orang bertopeng nampaknya sudah tiada perduli. Terus
saja dia melampiaskan nafsu iblisnya.
Waktu terus berlalu tanpa terasa, di luar is-
tana hujan lebat masih belum juga reda. Sementa-
ra di dalam kamar tubuh si orang bertopeng nam-
pak bermandikan keringat. Laki-laki itu nampak
turun dari peraduan Puteri Raja, dengan cepat dia mengenakan pakaiannya kembali.
Puteri Kenanga nampak menangis sejadi-jadinya, meskipun sua-
ranya tetap tak pernah keluar. Selesai mengena-
kan pakaiannya, si orang bertopeng langsung
menghunus senjatanya. Pedang Intan di tangan-
nya nampak memancarkan cahaya putih berkilat
laksana perak. Ada hawa aneh yang menebar lewat
pancaran cahaya yang ditimbulkannya.
"Kau telah berkorban sesuatu yang paling
berarti dalam hidupmu! Agar kau tidak menang-
gung rasa malu. Aku akan melenyapkan penderi-
taanmu. Hih...!"
Sekali saja pedang Intan berkelebat. Maka
senjata iblis menembus bagian perut Puteri Ke-
nanga yang tiada berpakaian walau selembarpun.
Sang Puteri menggeliat. Darah memancar memba-
sahi kulitnya yang halus. Manakala senjata itu
disentakkan oleh pemiliknya. Sekejap kemudian
kulit tubuh Puteri Kenanga berubah biru, lalu
menghitam. Bahkan seluruh pori-pori tubuhnya
berwarna hitam dan mengeluarkan darah yang le-
bih hitam pula. Puteri yang bernasib sial itupun tewas seketika itu juga. Dengan
cepat si orang bertopeng kembali melesat ke atas genteng. Tanpa
menutupkannya kembali dia terus bergerak menu-
ju kamar yang terletak di sebelahnya. Dua buah
genteng dia geser dari tempatnya. Ketika kepa-
lanya melongok ke arah bawah, tak dilihatnya Pu-
teri Cempaka berada di ruangan itu. Ditutupkan-
nya kembali genteng itu. Kemudian dengan gesit
tubuhnya bergerak menuju peraduan Permaisuri
Raja. Hal yang samapun kembali dilakukannya.
Ketika matanya melihat ke bawah, maka wajah di
balik topeng itupun tersenyum sinis. "Tak salah lagi itulah Dewi Kerudung Sutra!
Raja akan kubuat berduka dengan kematian anak dan istrinya."
kata si orang bertopeng. Empat buah genteng dige-
sernya dalam suasana hujan lebat. Setelah mem-
perhatikan suasana di sekelilingnya, orang itupun melayang turun, malangnya
Permaisuri Dewi Kerudung Sutra terjaga dari tidurnya. Istri Raja
nampak terkejut sekali begitu melihat kehadiran
orang lain didalam kamarnya.
"Jangan coba-coba berteriak Permaisuri!
Aku pasti akan membunuhmu...!" ancam si orang bertopeng sambil menghunus
pedangnya. Dewi
Kerudung Sutra terperangah, dia menyadari
adanya bahaya yang tiada terduga ini. Dengan ne-
kad tangannya menyambar sebilah pedang pendek
yang terletak di atas peraduannya. Namun lebih
cepat lagi, senjata di tangan orang bertopeng menyambar ke arah bagian lehernya.
"Jraas...!"
Permaisuri Raja Datuk Lima terkulai tu-
buhnya. Darah membasahi ranjang dan seprei.
Sama seperti apa yang dialami oleh putrinya, maka sebentar kemudian tubuh Dewi
Kerudung Sutra berubah jadi menghitam dan tiada berkutik lagi.
"Sebuah tontonan yang menarik. Sayang
aku tak menemukan di mana adanya Puteri Cem-
paka...!" dengus orang itu, kemudian berkelebat pergi. Ketika si orang bertopeng
menyelinap di kegelapan malam, saat itu hujan hanya tinggal rin-
tik-rintik belaka.
*** 5 Masih jauhkah tempat itu dari sini, Puteri
Samba...?" yang bertanya adalah si pemuda tampan yang berjalan di sisi gadis
berkulit kuning langsat.
"Kakang sudah capek?" Puteri Samba balik bertanya. Si pemuda gelengkan kepala
sambil te-puk periuknya.
"Kalau tidak capek mengapa tanya jauh de-


Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kat jarak yang kita tempuh...?"
"Ah... tidak...! Aku hanya pingin pipis sa-
ja...! Tapi di sini tak ada pepohonan sebagai tempat berlindung...!" ujar si
pemuda malu-malu. Wajah Puteri Samba merona merah sekejap. Kemu-
dian membuang mukanya ke arah lain.
"Cih... tak bermalu...! Mestinya tidak ka-
kang katakan itu, dengan seorang perempuan...!"
"Habis aku mau bicara sama siapa" Sejak
tadi kita terus berlari. Engkau di belakang aku di depan. Tidak lucu kalau aku
kencing sambil berlari, sementara engkau seperti mengejarku dari be-
lakang...!"
"Apa aku mengejarmu...!" tukas Puteri
Samba, cemberut.
"Maksudku bukan mengejar, tapi mengiku-
tiku terus dari belakang...!" ralat Buang Sengketa, lalu tersenyum-senyum.
"Ah, sial. Mau kencing, kencing saja! Tokh
aku tak ingin mengintip!"
"Sekarang kau berjalan duluan, biarkan aku
di sini sebentar...!" kata si pemuda.
Puteri Samba tanpa berkata apa-apa lang-
sung berlari-lari kecil mendahului, Buang Sengke-ta berbalik langkah, lalu
cepat-cepat turunkan celananya. Sebentar saja dia telah menarik cela-
nanya ke atas. "Ah lega rasanya...!" ucapnya seorang diri.
Pabila dia memandang ke arah jalan di depannya.
Maka dilihatnya Puteri Samba sudah begitu jauh.
Tanpa berpikir lagi, pemuda inipun langsung men-
gejar. Hanya beberapa kedipan mata saja, gadis
berpakaian kuning gading inipun telah terkejar.
"Mengapa kau tak mau menungguku?" ta-
nyanya setelah menyamai langkah si gadis.
"Kalau aku menunggumu, aku takut orang-
orang yang mengintipmu mengatakan bahwa aku
gadis kurang ajar...!"
"Orang mengintai aku" Siapa..." Aku tak
melihat siapapun di belakang sana...!" ujar si pemuda keheranan.
"Kakang memang tak melihat mereka! Tapi
mereka dan aku sama-sama melihat kakang!"
Beberapa kali pemuda keturunan Raja Piton
Utara ini menggaruk kepalanya. Bagaimana
mungkin Puteri Samba melihat orang di belakang-
nya, sedang dia sendiri tak pernah melihat apa-
apa. "Kakang tahu...! Perjalanan kita ke Pesisir untuk menjumpai Datuk Dua
mungkin sudah ada
yang mengetahuinya. Tepatnya kita dimata-matai
oleh orang-orang Kerajaan...!" kata Puteri Samba tanpa ragu-ragu lagi.
"Bagaimana mungkin mereka bisa secepat
itu mengetahui rencana kita...?"
"Mata-mata Datuk Mahendra tersebar di
mana-mana. Bahkan di lobang tikuspun mata-
mata itu selalu ada. Kita sekarang menjadi buro-
nan, kakang...!"
"Mengapa harus takut. Buronan yang tidak
bersalah bukanlah merupakan persoalan yang
rumit bagiku...!" ujar si pemuda, acuh.
"Kalau kita sampai tertangkap. Tanpa mela-
lui proses pengadilan, kita segera menghadap tiang gantungan seperti
ayahandaku...!"
"Itu juga tidak membuatku takut! Tokh bu-
kan aku saja yang digantung, kaupun akan di-
gantung!" kata si pemuda tanpa ekpresi, Puteri Samba semakin cemas saja hatinya
demi mendengar ucapan si pemuda yang tanpa perasaan
itu. "Eeh... sebuah Kuil! Bagaimana mungkin di tempat yang terpencil ini
dibangun sebuah Kuil.
Siapa yang menjadi jema'ahnya...?"
Buang Sengketa memang nampak kehera-
nan begitu melihat Kuil yang terletak jauh terpencil dari keramaian penduduk.
"Itu bukan Kuil, kakang...! Di sanalah tem-
pat tinggal uwa Datuk Dua selama bertahun-
tahun" jelas Puteri Samba. Tanpa menunggu atau-pun mengajak, gadis berkulit
kuning langsat ini
berlari-lari ke arah bangunan itu.
"Uwa... uwa... aku yang datang uwa...!" terdengar suara si gadis memanggil-
manggil Datuk Dua. Tiada jawaban dari dalam, padahal pintu ba-
gian depan terbuka.
"Bagaimana, kau telah ketemu uwamu...?"
tanya Buang Sengketa beberapa saat setelah sam-
pai di depan halaman Kuil.
"Orangnya tak ada di tempat. Tetapi men-
gapa pintu terbuka" Tidak biasanya uwa Datuk
Dua berbuat teledor seperti ini...!"
Si pemuda hanya diam saja mendengar pen-
jelasan Puteri Samba, sebaliknya dia meneliti ke sekeliling bangunan yang sudah
berusia tua, namun masih menampilkan sisa-sisa keindahannya
ini. "Tetes-tetes darah! Mungkin telah terjadi sesuatu di sini. Tetapi ini darah
siapa... Datuk Dua...?" Buang Sengketa mereka-reka.
"Arrrkgh...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan Puteri Samba da-
ri dalam Kuil. Buang Sengketa terkejut bukan
alang kepalang. Cepat sekali dia berputar dari bagian belakang Kuil menuju pintu
depan. Dengan tergesa-gesa pemuda ini menyeruak masuk. Apa
yang dilihatnya kemudian adalah merupakan se-
buah pemandangan yang menggenaskan.
Di atas sebuah ranjang, nampak sosok tu-
buh dengan keadaan hangus menghitam. Sebuah
luka bekas tusukan senjata tajam, meninggalkan
darah menggumpal yang sudah mengering dan
berwarna hitam. Sementara tak jauh di sebelah-
nya, Puteri Samba terus menjerit-jerit meratapi
kematian Datuk Dua. Buang Sengketa mendekat,
lalu memeriksa keadaan mayat yang menebarkan
bau busuk itu. "Dua buah luka bekas tusukan senjata ta-
jam. Pastilah senjata milik si pembunuh mengan-
dung racun yang sangat ganas. Kalau melihat luka ini, mungkin saja kejadiannya
baru tadi malam,
atau menjelang dinihari tadi. Belum pernah aku
melihat senjata beracun sehebat ini. Masih belum bisa kuduga hasil perbuatan
siapa...!" batin si pemuda dalam hati.
"Uwa... uwa Datuk. Mengapa kau pergi pada
saat-saat aku butuh nasehatmu...!" kata Puteri Samba sambil memeluki jenazah
Datuk Dua. Nampaknya dia tidak perduli, meskipun jenazah
itu menebarkan bau yang menusuk hidung. Pen-
dekar Hina Kelana mendekat, kemudian meme-
gang bahu si gadis dengan tujuan memberinya ke-
kuatan. "Kita telah didahului oleh seseorang, Pute-
ri...! Aku hanya dapat menyimpulkan uwamu di-
bunuh pada saat-saat dia tertidur. Orang itu me-
miliki senjata yang mengandung racun sangat ga-
nas. Sebaiknya kita cepat-cepat menyingkir dari
tempat ini, siapa tahu semua hanyalah merupakan
sebuah perangkap untuk menjebak kita...!" kata si pemuda, dengan paksa diapun
menarik tangan Puteri Samba untuk segera meninggalkan ruangan
itu. Namun baru saja mereka sampai di bagian
pintu depan. Beberapa batang anak panah telah
menyambut mereka secara bertubi-tubi.
"Tiarap...!" perintah Buang Sengketa sambil menekan bagian punggung Puteri Samba
hingga rata dengan tanah.
"Bukit ini sudah terkepung dengan pasukan
pemanah dari Kerajaan, Puteri! Apakah engkau tak dapat mempergunakan pengaruhmu
untuk meme-rintahkan mereka mundur?" tanya si pemuda, lalu memandang wajah
Puteri Samba yang kelihatan
pucat pasi. "Sebelum ayahandaku mendapat fitnah du-
lu, mungkin bisa...! Tetapi sekarang ini aku tak ubahnya bagai seekor kucing
kurap yang pasrah
dimasukkan ke dalam karung...!"
"Kita benar-benar berada dalam posisi yang
paling sulit. Andai mereka sampai naik ke sini.
Mereka pasti menuduh bahwa kitalah yang telah
melakukan pembunuhan atas diri Datuk Dua...!"
geram si pemuda.
"Apakah lebih baik kita menyerah saja...!"
Puteri Samba mengajukan sebuah pendapat.
"Apa! Menyerah...! Tiada istilah bagiku un-
tuk menyerah pada siapapun...!" sergah si pemuda begitu gusar. Dalam pada itu
terdengar teriakan-teriakan dari bawah bukit sana.
"Orang-orang yang berada dalam Kuil! Lebih
baik kalian menyerah secara baik-baik untuk me-
nerima hukuman. Andai tidak, sebentar lagi Kuil
itu akan kami hujani dengan anak panah...!" ancam sebuah suara dari bagian bawah sana.
"Bagaimana ini, kakang! Mereka mengan-
cam kita...!" tanya Puteri Samba begitu cemas.
Buang mendengus sebagai tanda bahwa tiada gen-
tar dengan ancaman itu.
"Sekalipun mereka dapat menciptakan hu-
jan badai, aku tak akan pernah menyerah. Seka-
rang lebih baik kau kembali ke dalam Kuil, kunci
pintunya dari dalam. Jangan lupa kalau dirimu
dalam keadaan bahaya, cepat-cepat kau kasih
tanda dengan teriakan yang keras...!"
"Kakang hendak ke mana...?" tanya Puteri Samba nampak begitu mengkhawatirkan
keselamatan si pemuda.
"Aku ingin menghadang anak panah mere-
ka. Kalau terpaksa aku harus membunuh!" jawabnya dingin.
"Cepatlah kau masuk ke Kuil itu sebelum
mereka naik ke puncak bukit ini...!" perintah Buang Sengketa. Sungguhpun saat
itu ia merasa tak tega meninggalkan si pemuda. Namun akhir-
nya dia menurut juga begitu melihat perubahan
air muka si pemuda. Dengan cepat gadis itu berlari kembali ke dalam Kuil,
kemudian menguncikan
Suling Emas 1 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Pedang Bengis Sutra Merah 1
^