Pencarian

Iblis Pemburu Perawan 2

Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan Bagian 2


ke Hutan Sungai Buluh. Setelah melakukan perja-
lanan sehari semalam. Siang itu Gadis berlesung
pipit dan Duwur sampai di rumah kediaman Alot
Roso yang selama ini juga merupakan tempat ting-
gal Duwur dan Cindek. Suasana lengang mewarnai
rumah dan daerah sekelilingnya. Dengan sikap
penuh waspada, kedua orang itu melangkah men-
dekati rumah yang hampir keseluruhan bangunan
itu terbuat dari tulang belulang gajah dan hari-
mau. Sepintas lalu rumah milik Ki Alot Roso
berkesan angker dan menyeramkan. Namun seba-
gai seorang gadis pemberani yang selama hidup-
nya ditempa dengan berbagai pengalaman pahit.
Sedikitpun perasaan gentar tak terlihat di wajah
Wanti Sarati. "Hemmm. Rumah ini sepertinya telah di-
tinggalkan oleh Ki Alot Roso! Tapi kemana perginya orang tua yang menurut kakek
Tapak Dewa, Guruku, telah meninggal beberapa puluh tahun yang
lalu...! Ah... tidak...! Aku tak pernah yakin Ki Alot Roso mau meninggalkan
tempat pengasingannya
ini. Kakek Tapak Dewa pernah cerita bahwa Ki Alot Roso sejak dikalahkan oleh
gurunya Paman Kelana, tidak pernah lagi berkeliaran ke mana-mana.
Bahkan dia pernah mengumumkan bahwa dirinya
telah mati." gumam Wanti Sarati. Teringat sampai ke situ dan teringat pula
tentang kelicikan tokoh sesat Ki Alot Roso seperti yang pernah didengarnya dari
Kakek Tapak Dewa gurunya. Tiba-tiba si gadis menyentakkan tangan si Duwur.
"Ayo kita tinggalkan rumah ini. Cepaaat...!"
teriak Wanti Sarati sambil menarik si tubuh raksa-sa.
"Ada apa nisanak...?" dalam ketidak men-gertiannya, Duwur bertanya sambil ikut
berlari meninggalkan rumah itu. Akan tetapi belum lagi
mereka mencapai mulut pintu. Secara tiba-tiba
pintu mengunci sendiri.
Traaak...! Bersamaan dengan terkuncinya daun pintu
yang dilalui oleh kedua orang itu, beberapa detik kemudian terdengar pula suara
gelak tawa yang
begitu berat dan serak. Duwur segera dapat me-
ngenali siapa adanya orang yang mengeluarkan
suara tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam
itu. Tak lain Ki Alot Roso lah orangnya.
"Ha...ha...ha...! Kau kembali, muridku Du-
wur...! Kembali dengan membawa seorang gadis
yang cantik, membuat jiwamu yang tidak memiliki
arti bagiku, kuampuni...!"
Wanti Sarati dan Duwur saling berhadapan,
laki-laki bertubuh raksasa itu nampak semakin
pucat wajahnya. Tetapi lain halnya dengan Wanti
Sarati. Gadis ini kelihatan masih tenang-tenang
saja, meskipun hatinya mulai diliputi perasaan tegang. "Guru...! Perbuatan yang
mana lagi akan kau tempuh untuk menyengsarakan semua orang.
Kedatanganku kemari bukanlah untuk memperta-
ruhkan kehormatan orang lain sebagai jaminan
keselamatanku. Tak pernah terbayang dalam an-
ganku untuk bertindak sepengecut itu. Hidupku
tidak ada artinya bila dibandingkan dengan sekian banyak jiwa yang tercabik-
cabik kehormatannya
oleh ulah murid kesayanganmu itu...! Aku rela ma-
ti demi membantu nisanak ini, daripada aku harus
menuruti keinginanmu yang keji...!" tukas Duwur merasa tidak mempunyai pilihan
lain. "Wuaaa... ha... ha...! Sebuah keputusan
yang dapat membuatmu merana seumur hidup.
Pasti kau akan menyesal...!" geram Ka Alot Roso.
Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang ter-
kurung di dalam rumah itu, Ki Alot Roso melam-
baikan tangannya. Tak pelak satu percikan lidah
api menyambar ke arah sudut-sudut rumahnya
sendiri. Benar-benar hebat luar biasa kesaktian
yang dimiliki oleh laki-laki renta berusia delapan puluh tahun ini. Karena
sekejap kemudian lidah
api yang bersumber dari kekuatan yang dimiliki
oleh laki-laki renta itu telah menyambar rumahnya
sendiri. Begitu cepat api menjalar ke mana-mana,
sekeliling rumah itu benar-benar telah di kelilingi api. Udara di dalam rumah
berselimut asap tebal
dan menjadi panas tiada tertahankan.
"Saudara Duwur! Beranikah engkau mene-
robos dinding yang belum tersentuh api itu?" tanya Wanti Sarati, sementara
sepasang matanya berputar liar mencari kemungkinan jalan keluar.
"Dalam keadaan terjepit seperti ini, aku tak pernah memikirkan keselamatanku
sendiri, nisanak...! Cara apapun akan kutempuh untuk mem-
bebaskan diri dari kobaran api ini...!" tukas Duwur tanpa ragu.
"Tapi manusia dajal itu mungkin telah me-
nunggu di luar sana dan siap menghabisi kita, An-
dai kita sampai lolos dari kepungan api ini...!" gumam si gadis meragu.
"Aku tak perduli!" komentar pemuda bertubuh raksasa itu tiada berobah dari
niatnya se- mula. "Hemm. Baik... nampaknya kita memang
tak punya kemungkinan lain untuk dapat selamat
dari amukan api ini..,! Sekarang lakukanlah... aku berada di belakangmu...!"
"Baiklah...!" sahut si Duwur. Kemudian pemuda ini melangkah ke tengah-tengah
ruangan untuk mengambil jarak. Setelah itu tanpa menge-
luarkan suara sedikitpun dengan mengandalkan
tiga perempat tenaganya diapun bergerak mener-
jang. Wanti Sarati segera mengekor di belakang-
nya, "Bruaaaak...!"
"Brooool...!"
Dinding berantakan diterjang oleh si Du-
wur. Tubuhnya bagai banteng marah yang tiada
terkendali terus melesat ke depan. Dalam pada itu sebuah pukulan dari arah depan
yang dilepaskan
oleh gurunya sendiri datang menyambut. Hal ini
dapat dilihat oleh Wanti Sarati yang sudah mem-
perhitungkan segala sesuatunya. Tak ayal lagi di-
apun hantamkan tangan kanannya menyongsong
pukulan yang mengancam diri si pemuda raksasa.
Dhaaas...! Terdengar satu ledakan yang tidak begitu
keras namun membawa akibat yang cukup lu-
mayan. Menghindari datangnya pukulan yang sal-
ing bertemu, si Duwur menjatuhkan diri dengan
cara berguling-guling. Tak jauh di depannya, tu-
buh Ki Alot Roso yang begitu kurus nampak terge-
tar. Mata terpejam dengan bibir menyeringai. Me-
nandakan bahwa lawan yang dihadapinya ternyata
memiliki kepandaian yang tinggi. Sementara di pi-
hak Wanti Sarati sendiri tampak terhuyung dua
tindak, gadis itu merasakan dadanya begitu sesak
dan sulit untuk bernafas. Barulah setelah menelan sebuah pil berwarna kuning
rasa nyeri di bagian
dadanya mulai berkurang.
"Saudara Duwur! Menyingkirlah...! Kuden-
gar kakek keropos ini memiliki kepandaian se-
gudang. Bahkan tak memiliki tanding, beberapa
puluh tahun yang lalu hingga sekarang. Tapi tak
usah khawatir, sungguhpun kakek Bangkotan Ko-
reng Seribu telah tiada, kurasa aku mampu men-
getahui kelemahan yang tersembunyi dari ilmu
sakti yang dimilikinya. Nah sekarang tunggu apa-
lagi, Ki Alot Roso" Apakah kau menunggu murid-
mu yang menjadi biang iblis itu, atau tenaga sak-
timu telah kau pindahkan kepada manusia kerdil
yang sekarang ini benar-benar telah menjadi see-
kor monyet hitam menjijikkan...?" ejek Wanti Sarati yang telah mengetahui begitu
banyak tentang sejarah hidup tokoh sesat tersebut. Bukan main ter-
kejutnya hati Ki Alot Roso demi mengetahui sang
lawan telah begitu banyak berbicara tentang kehi-
dupan masa lalunya. Padahal selama ini selain si
Bangkotan Koreng Seribu sendiri, tak banyak
orang yang tahu tentang kehidupannya. Tetapi ga-
dis yang berdiri tidak begitu jauh di depannya itu begitu gamblang menceritakan
segala-galanya.
Mungkinkah gadis berwajah cantik itu merupakan
murid musuh besarnya" Rasanya kemungkinan
itu kecil sekali, sepanjang sejarahnya tokoh sakti yang berdiam di pantai barat
itu tak pernah mengambil seorang muridpun. Dia tahu benar hal itu.
Lalu murid siapakah gadis berlesung pipit ini" Dalam kepenasarannya itu, diapun
bertanya dengan
suara membentak:
"Bocah! Siapakah engkau ini" Kau menge-
tahui begitu banyak tentang kehidupanku. Apakah
engkau muridnya si Bangkotan Koreng Seribu
yang telah mampus itu?"
"Bicaramu lantang mengandalkan kepan-
daianmu setinggi langit! Ah... betapa sombongnya
manusia keropos sepertimu Alot Roso. Padahal se-
karang ini kau tak memiliki kekuatan apa-apa lagi.
Aku tahu itu...!" kata Wanti Sarati, menunggu
reaksi. "Jangan bergurau bocah cantik, kesaktian yang kumiliki tidak pernah
berkurang walau barang sedikitpun...!"
"Omong kosong, aku tahu dengan kemun-
culan muridmu yang hebat luar biasa. Itu sama
saja artinya bahwa engkau telah menyalurkan te-
naga sakti yang kau miliki kepada muridmu...!"
"Ho...ho...ho...! Dugaanmu keliru, bocah...!
Aku tak pernah kekurangan sesuatu apapun." ka-ta Ki Alot Roso berusaha menutupi
kegelisahan- nya. "Baik! Kalau memang benar apa yang kau katakan. Aku jadi ingin menjajal
sampai di mana kehebatan bekas gembongnya manusia iblis yang
pernah kesohor berpuluh-puluh tahun yang la-
lu...!" "Haees...!"
Dengan dibarengi satu bentakan melengk-
ing, kaki Wanti Sarati langsung membentuk kuda-
kuda pertahanan yang kokoh. Kedua tangannya
bergerak cepat merentang ke udara membentuk
cakar burung Elang Putih. Beberapa saat tubuh
gadis itu menggelatar hebat. Merupakan sebuah
tanda bahwa ketika itu gadis berlesung pipit ini
sedang mengerahkan jurus andalan yang pernah
dipelajarinya dari Kakek Tapak Dewa gurunya. Ki
Alot Roso terperangah kagum, sebagai tokoh sesat
yang pernah malang melintang di dunia persilatan, agaknya dia cukup menyadari
bahwa saat itu lawannya benar-benar menghendaki nyawanya. Tak
ayal lagi, laki-laki renta inipun membuka seran-
gannya dengan jurus 'Badai Topan Penyapu Dewa'.
Tak terelakan lagi dalam waktu sekejap saja perta-runganpun berlangsung sengit.
Masing-masing la-
wan berusaha melakukan serangan dengan sasa-
ran-sasaran yang mematikan. Sementara itu Du-
wur yang tidak mengetahui begitu banyak tentang
ilmu silat nampak berdiri menonton tidak begitu
jauh dari tempat terjadinya pertempuran.
"Haaaaait...!"
Dengan gerakan seringan kapas, tubuh
Wanti Sarati melakukan satu lompatan. Sementara
tangannya yang terkembang membentuk cakar itu,
menyambar ke arah bagian wajah dan perut la-
wannya. Gerakan itu terlihat cepat bukan main.
Sehingga Duwur yang tidak mengerti banyak ten-
tang ilmu silat itu memastikan gurunya segera
menjadi sasaran empuk jemari tangan lawannya
yang mengandung sebagian tenaga sakti itu. Tapi
yang menjadi lawan Wanti Sarati kali ini adalah
seorang tokoh yang sudah banyak makan asam
garam dunia persilatan.
Ketika Ki Alot Roso merasakan adanya
sambaran angin yang sangat kencang mengancam
bagian wajah dan perutnya. Laksana kilat melom-
pat mundur dua tindak, serangan Wanti Sarati lu-
put. Begitu terhindar dari serangan lawannya, Ki
Alot Roso balas kirim dua tendangan kaki. Semen-
tara tangan kanannya terkepal, lalu menderu
mengancam bagian dada si gadis.
"Kurang ajar!" Maki Wanti Sarati berusaha menggeser tubuhnya ke samping kiri.
Satu sodo-kan yang mengancam bagian dada si gadis luput.
Tetapi tendangan kaki yang membentuk satu sa-
puan ke bagian betis tak dapat dihindarinya.
"Deees...!"
"Gusraaak...!"
Wanti Sarati jatuh terjengkang. Tubuhnya
terus bergulung-gulung menghindari tendangan
susulan. Tetapi Ki Alot Roso terus memburunya
dan berusaha mendesak lawan tanpa memberi ke-
sempatan walau sedikitpun.
"Aku bisa mampus kalau hanya cuma
menghindar seperti ini...!" batin Wanti Sarati.
"Baiknya aku harus mempergunakan pukulan
'Siluman Kembar' seperti yang pernah diajarkan
oleh Kakek Tapak Dewa ketika aku berguru den-
gan beliau tempo hari.
"Heeuup...!"
Dalam posisi berguling-guling seperti itu,
Wanti Sarati rangkapkan ke dua tangannya. Tena-
ga dalam dia kerahkan ke bagian tangannya. Son-
tak tangan yang telah teraliri tenaga dalam itu berobah putih mengkilat laksana
perak. "Wuuut...!"
Sinar putih menyilaukan nampak melesat
ke arah Ki Alot Roso, begitu gadis berlesung pipit itu menghantamkan tangannya.
"Kurang ajar...!" maki Ki Alot Roso, lain me-ngibaskan jubahnya yang berwarna
putih bersih. "Breees...!"
"Keparaat...!" desis si gadis ketika melihat tubuh kakek renta itu hanya
terhuyung-huyung
saja begitu serangan 'Siluman Kembar' yang dile-
paskannya menghantam tubuh lawan.


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hek... kek... kek...! Kalau kau memang be-
nar muridnya Bangkotan Koreng Seribu mana pu-
kulan Empat Anasir Kehidupan, mana pula jurus
si Gila Mengamuk. Dan pecut celaka itu mengapa
pula tak segera kau keluarkan...!" ejek Ki Alot Ro-so, setengah jera.
"Aku bukan muridnya kakek Bangkotan Ko-
reng Seribu, bandot tua. Kalau kau ingin melihat
Cambuk Gelap Sayuto, senjata itu ada pada pa-
manku Kelana...!"
"Oho, rupanya kau bukan muridnya Bang-
kotan Koreng Seribu. Lha dalah... engkau bakal
mati sia-sia...!" hardik Ki Alot Roso sambil menarik nafas lega.
"Kau kelewat takabur, tua renta...! Rasa-
kanlah ini...!"
Setelah melepaskan satu pukulan maut,
Wanti Sarati segera melolos selendang yang melilit di bagian pinggangnya. Begitu
selendang berwarna
biru ini telah berada di dalam genggaman tangan-
nya, maka diapun mengalirkan sebagian tenaga
dalamnya ke bagian selendang itu. Tak lama ke-
mudian selendang di tangannya telah melecut di
udara. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang
dimiliki oleh Wanti Sarati, sehingga selendang di tangannya dapat berubah
melemas dan menge-jang, di lain saat meliuk-liuk bagai seekor ular
yang terus mengejar ke arah sasarannya.
Dalam menghadapi serangan ganas yang
datangnya bertubi-tubi nampaknya Ki Alot Roso
masih mampu menghindarinya. Tapi manakala
Wanti Sarati mulai mencabut pedang tipis yang dia
pergunakan sebagai sabuk. Maka tiga puluh jurus
di depan Ki Alot Roso sudah mulai keteter. Bahkan dalam waktu tiga jurus di
depan, pedang mustika
di tangan Wanti Sarati berhasil merobek pakaian
dan kulit Ki Alot Roso.
Breebeet...! "Agkh... keparat...!" maki kakek renta ini sambil menyeka darah yang meleleh
dari bekas lu-ka itu. Selesai memandangi darah yang membasa-
hi jemari tangannya. Dengan geram Ki Alot Roso
membentak marah: "Betina terkutuk! Kau benar-benar telah membangkitkan amarahku.
Tak ada jalan bagiku, terkecuali mampus...!"
"Sraaak...!"
Entah dari mama datangnya, tiba-tiba di
tangan Ki Alot Roso telah tergenggam sebuah
tongkat yang pada bagian gagangnya terbuat dari
tulang kepala binatang serigala. Dengan adanya
tongkat di dalam genggaman Ki Alot Roso. Penam-
pilan kakek renta itu mendadak berubah angker.
Sepasang matanya mencorong memandang tajam
pada lawannya. "Nisanak kerahkanlah tenaga dalammu, di
dalam tongkat itu terdapat sebilah pedang yang
mengandung racun ganas. Nisanak jangan terpen-
garuh dengan segala ucapannya, walau dia berka-
ta apapun...!" dalam suasana tegang seperti itu si Duwur memberi peringatan pada
Wanti Sarati. "Tenanglah sobat! Aku telah mengetahui
semua tipu muslihatnya...!" kata Wanti Sarati berusaha bersikap tenang.
"Keparaat, kau Duwur...! Begitu beraninya
kau mengkhianati gurumu sendiri...!" maki Ki Alot Roso dengan wajah merah padam.
"Sepuluh tahun aku hidup bersamamu, tua
renta! Tiada ilmu apapun yang kau turunkan pa-
daku. Terkecuali kau suruh aku menimba air dari
bawah lereng yang curam itu. Kemudian kau buru
aku sebagai seekor babi hutan yang menjijikkan.
Masihkah engkau mengakui diriku sebagai mu-
ridmu...?" tanya Duwur penuh ejekan.
"Hemm. Bagus sekali perbuatanmu itu, bo-
cah bertubuh raksasa, namun berpikiran tumpul.
Kalian berdua memang pantas untuk kubunuh."
Traaang...! Sriiing...! Pedang yang berada di dalam tongkat itu,
telah tercabut kini. Senjata itu nampak putih berkilat-kilat tertimpa cahaya
matahari. Wanti Sarati hanya bergumam saja manakala pedang di tangan
Ki Alot Roso berikut sarungnya yang berupa tong-
kat diputar cepat laksana baling-baling. Sinar putih yang ditimbulkan oleh
senjata di tangan Ki Alot Roso nampak bergulung-gulung seolah membungkus tubuh
kakek renta. Sebelum Ki Alot Roso melancarkan seran-
gan pamungkas. Gadis berlesung pipit ini telah
bergerak mendahului dengan lecutan selendang
dan sambaran pedang tipis di tangannya. Kenya-
taannya tidak mudah bagi Wanti Sarati untuk
mendesak lawan sebagaimana pertama tadi.
Nguuung...! Senjata di tangan si kakek menyambar ke
arah bagian kepala lawannya. Duwur yang kebetu-
lan terus memperhatikan jalannya pertempuran
sampai berseru kaget.
"Nisanak, awas...!"
Jtaaar...! Jtaar... Jtaaar...!"
"Taak...! Crees...!"
Begitu pedang di tangan Ki Alot Roso mem-
bentur selendang di tangan Wanti Sarati. Tak ayal lagi selendang yang terbuat
dari sutera pilihan itupun terobek pada bagian ujungnya. Hal ini me-
nandakan bahwa senjata di tangan lawannya me-
mang merupakan senjata pusaka yang sangat
tinggi pamornya. Tubuh gadis berlesung pipit ini
melompat mundur, tangan berdenyut dan kesemu-
tan. Bahkan selendang di tangannyapun hampir
saja terlepas. Pucat wajah gadis itu untuk sesaat lamanya. Tapi diapun sudah tak
dapat berpikir panjang, karena pada saat itu Ki Alot Roso kembali mendesaknya. Menghadapi
situasi seperti itu,
Wanti Sarati nampaknya harus mengandalkan ke-
lincahan gerak dan ilmu meringankan tubuh yang
benar-benar sudah mencapai taraf sempurna.
"Nampaknya kini kau hanya mampu meng-
hindar kayak monyet pesakitan saja, bocah...! Ma-
na kesaktian yang kau miliki...!" teriak si kakek renta. Dengan sikap ayal-
ayalan, sekali lagi Ki Alot Roso membabatkan pedangnya. Angin dingin menerpa
wajah si gadis saat mana senjata itu mende-
ru ke arahnya. "Jheee...!"
Wanti membanting tubuhnya ke samping,
namun lawan terus memburunya. Sekali lagi gadis
ini lecutkan selendang di tangannya. Kalau saja Ki
Alot Roso tidak cepat-cepat menarik seranganya,
pastilah wajah kakek renta ini hancur tersambar
selendang di tangan si gadis.
"Hebat...!" gumam Ki Alot Roso tanpa kehilangan semangat.
"Jletar... Nguuung...!"
Begitu bangkit berdiri Wanti Sarati melaku-
kan satu tipuan dengan mempergunakan lecutan
selendangnya. Lagi-lagi kakek renta ini bersurut
mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh la-
wannya untuk melakukan satu tusukan kilat.
Jrooos... Jrooot...!
"Wuaaarghk...!"
Dua kali tusukan pedang lawan menembus
bagian tubuh kakek renta tersebut membuat tu-
buhnya terhuyung. Sambil mendekap bagian lu-
kanya yang telah mengucurkan banyak darah. To-
koh sesat yang sudah kehilangan kekuatannya itu
berusaha menghindari terjangan senjata berikut-
nya. Tetapi tubuhnya terasa begitu sulit untuk di-gerakkan.
Croook...! Tak ayal lagi, tubuh Ki Alot Roso ambruk ke
bumi. Darah semakin banyak yang keluar dari ba-
gian perut, dada dan juga lehernya. Laki-laki sesat itu mengerang lemah,
sepasang matanya meredup
memandang sinis pada si Duwur bekas muridnya.
"Sampai menjelang kematianmu, apakah
engkau masih juga tak mau mengakui segala dosa-
dosa yang pernah kau lakukan, kakek lapuk...?"
tanya Wanti Sarati sambil menendang pedang si
kakek jauh-jauh. Pedang melayang jauh dan jatuh
di tengah-tengah rumput lebat. Bekas gembong to-
koh sesat itu nampak sunggingkan seulas senyum
menggidikkan. Dengan kalimat terputus-putus di-
apun berkata: "Hi... dup... dan mati sudah ada ketentuan-
nya. Sejak aku mempelajari ilmu kepandaian yang
menakjubkan itu, aku sudah tahu kematianku
memang berada di ujung pedangmu. Tapi ak... aku
tak pernah menyesal. Sebab kematianku pasti ada
yang akan membalaskannya. Yaitu muridku Cin-
dek! Tak seorangpun yang mampu menghentikan-
nya, tidak juga engkau bocah manis...!"
"Dasar manusia sesat...!" desis Duwur. Kemudian tanpa basa-basi lagi, dengan
mempergu- nakan seluruh kekuatannya. Ditendangnya tubuh
sekarat gurunya sendiri. Terdengar suara tulang
berderak patah saat mana tubuh Ki Alot Roso, me-
lambung dan melayang tinggi ke udara. Kemudian
jatuh lagi menimpa sebongkah batu yang sangat
besar. Kepala maupun bagian tubuh Ki Alot Roso
remuk dan tewas seketika.
"Anda benar-benar hebat, nisanak! Kalau
boleh, aku bersedia menjadi muridmu...!" kata pemuda bertubuh raksasa memandang
kagum pada Wanti Sarati. "Huus. Apa-apaan. Aku tak becus apa-apa,
pula usaha kita dalam menumpas Iblis Pemburu
Perawan masih belum usai...! Mari kita pergi...!"
perintah si gadis. Kemudian langsung melangkah
mendahului. *** 6 Paman Giri Wisa hanya akan mengorban-
kan nyawa yang sia-sia andai tetap nekad juga da-
tang ke Sungai Buluh. Iblis Pemburu Perawan, se-
bagaimana yang tergambar dalam mimpiku beru-
jud seekor Monyet Hitam yang memiliki kesaktian
tiada terukur. Selain itu dia juga kebal terhadap berbagai senjata. Aku tak
ingin melihat korban lebih banyak lagi. Percuma paman membawa selu-
ruh murid paman untuk menggempur makhluk
bejat itu...!" kata Buang Sengketa setelah beberapa hari berada di rumah
kediaman Ketua Perguruan
Lintang Kembar.
"Anak muda, walaupun engkau telah me-
nyelamatkan aku dari cengkeraman maut Iblis itu,
tapi kumohon engkau jangan coba-coba mempen-
garuhi aku...!" kata Giri Wisa dengan wajah sedikit memerah. Pendekar Hina
Kelana meskipun hatinya kesal atas ucapan Ketua Perguruan Lintang
Kembar, namun ia tetap menganggukkan kepala
sambil tersenyum.
"Aku bukan ingin mempengaruhi paman,
karena pertolongan yang tidak seberapa itu. Aku
hanya menginginkan agar paman mau memikirkan
sekali lagi untuk melaksanakan keputusan yang
telah paman ambil...!"
"Heh! Iblis Pemburu Perawan kalau dibiar-
kan terus dengan sepak terjangnya, lama kela-
maan akan menjadi manusia paling sakti yang ti-
dak mungkin terkalahkan oleh tokoh manapun...!"
"Ucapan paman Giri mungkin memang be-
tul! Tetapi sehebat manapun kesaktian yang di mi-
liki oleh setiap manusia di kolong langit ini, pastilah memiliki kelemahan.
Bahkan tadipun paman
berkata begitu padaku...!"
Semakin berkerut alis mata Giri Wisa begitu
mendengar kata-kata si pemuda. Agak lama dia
hanya berdiam diri. Nampaknya seperti ada sesua-
tu yang dipikirkannya.
"Bagaimana, paman Giri" Apakah paman
malah marah karena ucapan saya tadi?" tanya
Buang Sengketa seolah menyesali diri. Giri Wisa
gelengkan kepalanya pelan.
"Seperti sudah kukatakan beberapa hari
yang lalu, gurunya Iblis Pemburu Perawan dulu
juga pernah bentrok dengan guruku. Tokoh sesat
itu sebagaimana kuketahui memiliki kesaktian
yang sangat tinggi. Begitu banyak tokoh golongan
lurus maupun golongan sesat yang tewas di tan-
gannya. Bahkan guruku sendiri sampai tidak ber-
daya menghadapi orang itu. Di delapan penjuru
persilatan saat ini tidak mungkin ada yang mampu
menghadapi orang itu. Kita tidak bisa meremeh-
kannya begitu saja. Hemm. Andai saja tokoh sakti
yang sangat ditakuti oleh guru manusia sesat itu
masih hidup hingga sampai kini. Mungkin kita da-
pat meminta bantuannya." desah Giri Wisa seperti pada dirinya sendiri.
"Siapakah tokoh yang paman maksudkan
itu...?" tanya Buang Sengketa diliputi rasa ingin tahu yang menggebu.
"Kau pasti tak mengenalnya. Karena tokoh
sakti itu merupakan orang aneh yang memiliki
pribadi misterius...!"
"Walau tokoh sehebat manapun. Pastilah
dia memiliki sebuah nama atau julukan." tukas si pemuda kesal
"Ya... ya... engkau betul...! Orang itu ber-
nama si Bangkotan Koreng Seribu...!"
Hampir meledak tawa si pemuda menden-
gar Giri Wisa menyebutkan nama yang bagi si pe-
muda sudah tidak asing lagi.
"Kakek Bangkotan Koreng Seribu...!" ulang si pemuda dengan sikap seolah-olah
belum mengenal orang yang diceritakan oleh Giri Wisa. Pa-
dahal dalam hati:
"Kalau hanya orang itu, akupun lebih seke-


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dar mengenalnya. Tolol...!"
Sambil tersenyum getir, Giri Wisa meng-
ganggukkan kepala seolah merasa takjub dengan
kehebatan yang dimiliki oleh Bangkotan Koreng
Seribu. Sebentar kemudian dia telah kembali pada
Buang Sengketa.
"Bagaimana orang muda, apakah kau men-
genalnya...?"
"Tit... tidak...! Aku tak mengenalnya...!" jawab si pemuda tersendat.
"Mungkin saat itu kau belum lahir, atau
engkau memang jauh dari dunia ramai. Tapi aku
yakin orang tua ataupun kakekmu pastilah kenal
dengan nama yang baru kusebutkan tadi...!"
"Mu... mungkin juga...! Tapi aku belum me-
nanyakannya pada mereka...!" ujar Buang Sengketa semakin berlagak tolol.
"Eee...! Seingatku engkau sudah beberapa
hari di rumahku. Tetapi aku masih belum men-
genal siapa adanya engkau ini!" kata Giri Wisa pi-lon. "Ah, aku yang tolol ini
mana memiliki nama apalagi julukan seperti paman...! Aku hanya pen-gembara
biasa...!" jawab si pemuda merendah.
"Tidak mungkin manusia tidak memiliki
nama, sedangkan binatang saja punya nama! Ayo-
lah orang muda, katakan saja mengapa harus ma-
lu-malu?" "Kalau paman mendesak juga, maka aku
akan mengatakannya...!"
"Itulah yang paling kuharapkan...!" kata Giri Wisa dengan wajah berseri-seri.
"Aku yang hina papa, oleh seseorang diberi
nama Buang Sengketa...!"
Ketua Perguruan Lintang Kembar, langsung
tergelak-gelak begitu Buang Sengketa menye-
butkan namanya.
"Mengapa paman tertawa..." Apakah nama
seperti itu merupakan sebuah nama yang lucu...?"
"Tentu saja tidak! Cuma bagiku nama
Buang Sengketa merupakan sesuatu yang sangat
asing dan baru kali ini aku mendengarnya. Oh
ya... siapakah gurumu..." Atau pernahkah kau be-
lajar ilmu silat dengan seorang tokoh yang sangat sakti...?" pancing Giri Wisa
lebih lanjut. Buang Sengketa gelengkan kepala. Hatinya
semakin mendongkol saja.
"Jangan coba-coba berdusta! Kau tak
mungkin mampu menolongku andai tidak memiliki
kepandaian silat tinggi dan ilmu meringankan tu-
buh yang begitu sempurna?"
"Aku hanya belajar silat pasaran. Sedang-
kan guruku, merupakan sebuah pantangan bagiku
untuk menyebutkan namanya kepada siapa-
pun...!" "Benarkah begitu...?"
"Paman Giri! Mengenai siapa aku dan siapa
guruku, itu bukan menjadi persoalan. Yang perlu
kita bicarakan saat ini adalah, bagaimana caranya menumpas Iblis Pemburu Perawan
dalam waktu secepatnya...!" tukas si pemuda merasa tak enak hatinya.
"Hemm. Ya, aku sampai lupa...!'
"Bagaimana, apakah paman masih ingin
membawa murid-murid paman menyerbu ke sa-
rang macan...?" sindir Pendekar Hina Kelana.
Giri Wisa menjadi malu hati mendengar ka-
ta-kata si pemuda.
"Kalau menurutmu bagaimana...?" tanya la-ki-laki bertumbuh pendek ini minta
pendapat. Buang menarik nafas panjang-panjang. Baginya
untuk memasuki sarang iblis bukanlah merupa-
kan pekerjaan yang mudah. Diperlukan perhitun-
gan yang matang dan saat-saat yang tepat.
"Kalau menurut hematku, kita tak perlu
mengorbankan sekian banyak murid-murid pergu-
ruan Lintang Kembar. Jadi sebelum kita melaku-
kan penyerangan, ada baiknya kalau kita melaku-
kan penyelidikan terlebih dahulu...!" kata si pemuda menyatakan pendapatnya.
"Sebuah ide yang bagus! Aku merasa setuju
dengan gagasanmu itu...!"
"Kalau paman sudah merasa setuju, dua
hari lagi kita sudah bisa berangkat ke sana...!"
"Hanya berdua...?" tanya Giri Wisa sesaat kemudian.
"Ya... hanya kita berdua saja...! Sebab kura-sa kita tak perlu mengerahkan
sekian banyak mu-
rid-murid paman!"
"Baiklah, akupun setuju...!" ujar Giri Wisa.
*** Matahari tepat berada di atas kepala ketika,
Musang Leman, Karso Broco dan Ki Pragawa serta
empat belas orang pemuda desa sampai di pinggi-
ran hutan Sungai Buluh yang sunyi menyeram-
kan. Tak seorangpun nampak lalu lalang di sepan-
jang jalan yang mereka lalui, terkecuali mayat-
mayat yang masih baru ataupun yang sudah lama
bergelimpangan. Bau busuk menyengat hidung
membuat perut rombongan itu mual dan beberapa
orang diantaranya ada yang muntah-muntah.
Sungguhpun hati mereka diliputi perasaan jerih,
namun mereka tetap terus melanjutkan perjala-
nan. Tiada mereka hiraukan ribuan lalat berter-
bangan dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak
juga mereka perduli ketika melihat beberapa ekor
anjing hutan sibuk menggerogoti bangkai manusia
yang berserak tiada berketentuan. Apa yang ada di dalam benak mereka saat itu
adalah menemukan
putri Kepala Desa dan membunuh Iblis Pemburu
Perawan. "Berhenti...!" perintah Kepada Desa yang berada di bagian paling belakang.
Begitu mendengar
aba-aba Kepala Desa. Maka Karso Broco dan yang
lain-lainnya langsung menghentikan langkah me-
reka. "Ada apa, Ki Pragawa...?" tanya Musang Leman setelah menunggu beberapa
saat lamanya. "Kita tak mungkin menemukan apa-apa ka-
lau hanya bergerombol seperti ini...!" kata Ki Pragawa merasa kesal.
"Maksud Bapak Kepala Desa bagaimana...?"
sentak Karso Broco.
"Mayat-mayat berserakan, anjing menjijik-
kan dan lalat-lalat itu. Hanya itu saja yang kita temui di sepanjang jalan yang
kita lalui...! Tapi kita masih belum juga berhasil menemukan di mana
letaknya sarang iblis itu...!"
"Jadi harusnya bagaimana...!" tanya Karso Broco. Ki Pragawa terdiam, keningnya
mengkerut seperti ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Kalau tidak begini saja. Kita bagi rombon-
gan ini menjadi dua, sebentar lagi kita mulai me-
masuki hutan itu...!" jelas Ki Pragawa.
"Apakah cara seperti itu tidak membahaya-
kan keselamatan kita...?" tanya Musang Leman.
"Kalau engkau merasa takut menghadapi
resiko, lebih baik kau tinggal di rumah saja...!"
komentar Kepala Desa Mekar Sari.
"Maksudku bukan begitu, ki...! Kitapun ha-
rus memperhitungkan kekuatan di pihak kita. Iblis Pemburu Perawan bukan manusia
yang bisa di anggap enteng. Terbukti di sepanjang jalan yang
kita lalui sudah begitu banyak korban yang berja-
tuhan. Padahal mereka memiliki kepandaian yang
mungkin saja lebih tinggi dari kepandaian yang ki-ta miliki...!" kata Musang
Leman. "Tak usah berpikir sampai sejauh itu. Yang
penting sekarang anggota kita bagi dua. Musang
Leman dan tujuh orang lainnya bergabung den-
ganku, dan masuk dari arah timur ini. Sedangkan
Karso Broco dan tujuh orang lainnya masuk dari
sebelah utara! Nah kupikir hanya itu yang perlu
kalian ketahui. Andai kita berhasil menemukan
putriku maka kuharap kita bisa berkumpul lagi di
sini...! Eeee... apakah ada pertanyaan dari sauda-ra-saudara...?" tanya Ki
Pragawa. "Kami kira sudah tidak ada yang perlu kami
tanyakan. Semuanya sudah jelas." kata Karso Broco.
"Kalau begitu sekarang kita berangkat...!"
perintah Ki Pragawa.
Rombongan itu kemudian terbagi dua ber-
gerak menuju jalan yang sudah ditentukan. Seka-
rang kita ikuti rombongan yang dipimpin oleh Kar-
so Broco. Ketika mereka berpisah dengan Ki Pra-
gawa dan Musang Leman, jalan yang mereka tem-
puh untuk selanjutnya merupakan jalan berbukit
cadas yang sangat licin. Sementara di sisi kiri mereka merupakan tebing batu
berlumut yang tiada
henti-hentinya meneteskan air. Dengan bersusah
payah dan tiada mengenal lelah orang-orang ini
terkadang harus merangkak. Tiada mereka hirau-
kan terik matahari yang begitu menyengat, padah-
al rasa harus mulai memanggang tenggorokan se-
tiap anggota rombongan yang cuma terdiri dari tu-
juh orang. "Kakang, udara terasa panas sekali. Aku
haus...!" keluh salah seorang yang berada di bagian paling belakang.
"Tak ada membawa makanan, bekal airpun
sudah habis. Bagaimana kalau kau minum air
kencing saja...!" kata Karso Broco merasa kesal.
"Air kencing... kencing siapa...?"
"Kebetulan semalam aku habis makan jeng-
kol, nah air kencingku pasti berkhasiat mengobati rasa dahagamu...!"
"Kurang ajar! Kalau begitu lebih baik ka-
kang minum air kencing sendiri. Aku tak sudi...!"
maki orang itu. Geram bukan main.
"Makanya jangan banyak rewel! Kau pikir
hanya kau sendiri yang merasa kehausan, semua
orang di sini merasakan hal yang sama. Tetapi kau lihat mereka tak rewel
sepertimu...!"
"Tapi jangan takut, kulihat di bawah sana
terdengar gemuruh suara air. Mungkin sekejap lagi kita segera menemukan sebuah
sungai.,.!" lanjut Karso Broco memberi semangat pada kawan-kawannya. Bagai
saling berlomba, rombongan
yang dipimpin oleh Karso Broco sambil terus men-
dekati sungai yang sudah tidak begitu jauh dari
tempat mereka berada. Tak sampai se-pemakan si-
rih, merekapun telah sampai di pinggiran sungai.
"Breeeng...!"
Lalat-lalat beterbangan menyambut keda-
tangan mereka. Tak lama kemudian tercium pula
bau busuk yang menyengat hidung. Semua mere-
ka yang sudah bersiap-siap hendak terjun ke da-
lam sungai yang kelihatan dasarnya itupun urung,
lalu saling pandang sesamanya.
"Apa yang telah terjadi di tempat ini...?"
tanya mereka pada Karso Broco.
"Sebentar kuperiksa...!" kata laki-laki berusia tiga puluh tahun itu,
selanjutnya dengan diiku-ti oleh kawan-kawannya mereka menuruni sungai
yang menebarkan bau busuk. Baru saja tiga lang-
kah mereka menginjakkan kakinya di dalam sun-
gai yang memiliki kedalaman tidak sampai setinggi lutut. Mata mereka melihat
mayat-mayat bergele-takkan tumpang tindih. Tubuh mereka ada yang
mengambang di atas air karena perutnya telah
menggembung, ada pula yang tenggelam. Tetapi
banyak diantara mereka yang tergeletak begitu sa-
ja di atas batu-batu sungai yang berukuran besar.
"Gila... dimana-mana kulihat pemandangan
mengerikan. Melihat keadaan mayat-mayat ini se-
pertinya mereka tewas dibantai kuku-kuku bina-
tang buas. Ahk... mungkinkah di sekitar tempat ini terdapat binatang mengerikan
yang tak dapat ter-lawan oleh mereka. Padahal aku yakin orang-orang
ini pasti memiliki kepandaian yang tinggi...!" kata Karso Broco dengan wajah
tegang. "Sraak...!" terdengar suara bergemuruh dari atas pohon, kemudian di susul dengan
melayang-nya beberapa sosok tubuh di atas sulur-sulur
tumbuhan merambat.
"Uoooh...!"
Rombongan itu keluarkan suara pekikkan
tertahan. Bahkan beberapa orang diantaranya
sampai ada yang menutup mata dengan kedua
tangannya. "Monyet hitam berambut panjang seperti
manusia. Mereka hanya mengenakan koteka. Apa
yang telah terjadi dengan diri mereka" Mungkin-
kah mereka kelompok siluman kera?" gumam Kar-so Broco sambil terus memperhatikan
wajah yang ditumbuhi bulu-bulu lebat itu. "Mereka semuanya berjumlah tujuh orang. Tap...
tapi yang satunya
seperti aku kenal, ya... aku kenal meskipun seka-
rang wajahnya telah berubah hitam penuh ditum-
buhi bulu-bulu yang begitu lebat. Mereka benar-
benar telah berubah menjadi seekor siluman mo-
nyet. Pastilah semua ini hasil perbuatan manusia
iblis. Kalau begitu mereka pernah tidur dengan
manusia keparat itu...!" geram Karso Broco.
"Suryaningsih! Apa yang telah terjadi de-
nganmu...?" tanya laki-laki ini tanpa mengalihkan perhatiannya dari sulur-sulur
yang dipergunakan
oleh mereka untuk bergelantungan.
Tiada jawaban sebagaimana yang diharap-
kan oleh Karso Broco, terkecuali erangan marah.
"Kau telah menjadi istrinya manusia iblis
itu, heh...!" bentak salah seorang dari anggota rombongan. Gadis-gadis yang
telah berubah menjadi siluman monyet hitam itupun kembali meng-
geram marah. Berpasang-pasang mata merah
membara memandang pada rombongan itu dengan
penuh kebencian.
"Hoaaar... hoaaar...!"
"Wuut...! Beeet...!"
Dengan mempergunakan sulur tumbuhan


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merambat, mereka pun berayun-ayun tak ubah-
nya bagai seekor monyet hutan. Selanjutnya me-
nyerang rombongan yang di pimpin Karso Broco.
Menyadari adanya bahaya yang mengancam, maka
Karso Broco dan enam orang kawannya langsung
mencabut senjatanya masing-masing. Dalam wak-
tu sekejap terjadilah pertempuran yang sengit an-
tara Karso Broco dan kawan-kawannya melawan
gadis-gadis yang kini telah berubah menjadi silu-
man monyet hitam. Jurus demi jurus berlangsung,
Karso Broco dalam waktu singkat telah terdesak
dalam menghadapi serangan monyet-monyet hitam
yang sesungguhnya merupakan gadis-gadis yang
berhasil diculik, dinodai sekaligus dipengaruhi
oleh ilmu yang di miliki oleh Iblis Pemburu Pera-
wan. Yang membuat Karso Broco merasa hampir
putus asa adalah karena tubuh lawan-lawannya
kebal terhadap berbagai senjata. Sementara kuku
dan tangan lawannya menyambar ganas ke arah
Karso Broco. *** 7 Dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya,
rombongan yang dipimpin oleh Karso Broco sema-
kin terdesak hebat. Bahkan tiga jurus di depan
mulai terdengar pula jeritan-jeritan histeris dari mulut rombongan Karso Broco,
ketika kuku-kuku
yang tajam milik lawannya menyambar pada ba-
gian wajah, dan bagian tubuh lainnya.
"Argggkh...!"
Dua orang kawan Karso Broco terjungkal
roboh, manakala kuku-kuku monyet hitam jeja-
dian itu merobek putus tenggorokan mereka. Air
sungai berobah menjadi merah darah. Keadaan
Karso Broco dan kawan-kawannya semakin kacau
tiada menentu. Mengetahui kawan-kawannya mu-
lai berguguran, Karso Broco dan sisa-sisa kawan-
nya mengamuk membabi buta. Golok besar yang
berada dalam genggaman tangannya berkelebat-
kelebat menyambar.
"Hiihh...!"
Karso Broco hantamkan senjatanya ke arah
salah seorang musuh yang berada paling dekat
dengan posisinya.
"Craaaak...!"
Bagai karet saja tubuh monyet-monyet jeja-
dian ini, bacokan yang dilakukan oleh Karso Broco dan tiga orang kawannya tidak
membawa akibat apa-apa. "Hoaar...! Nguuk...nguuuk...!"
Monyet-monyet jejadian itu kembali mende-
sak lawannya secara bersamaan.
"Ngoeeekkk...!"
"Breet...!"
Terdengar tiga kali suara robekan, tiga
orang kawan Karso Broco kembali terjungkal ke
dalam air sungai. Sungai yang mengalir tidak begi-tu deras berubah warna
seketika, merah darah.
Melihat kematian yang dialami oleh kawan-
kawannya. Karso Broco menjadi gelap mata. Golok
besar di tangannya dia putar membentuk sebuah
perisai pertahanan yang begitu kokoh, sekarang
laki-laki berusia tiga puluhan itu mendapat ke-
royokan dari tujuh ekor monyet jejadian. Sekali
dua senjatanya menghantam bagian tubuh lawan-
nya. Tapi tetap seperti keadaan semula. Lawan-
lawannya begitu kebal terhadap berbagai bacokan
yang dilakukan oleh Karso Broco.
"Hoaaar...!"
Monyet jejadian menggerung keras, lalu sa-
betkan tangannya yang berkuku panjang dan
runcing. Karso Broco saat itu memang benar-
benar dalam keadaan kepepet sekali. Jiwanya ter-
ancam. Namun pada saat-saat yang sangat kritis
itu, mendadak selarik gelombang Ultra Violet melesat cepat dan melabrak tubuh
monyet-monyet hi-
tam jejadian itu. Terdengar jerit dan pekik kesakitan dari mulut binatang-
binatang itu. "Karso Broco, cepat menyingkir...!" perintah sebuah suara yang begitu sangat di
kenal olehnya. "Kakang Giri Wisa! Beruntung sekali engkau
datang...! Andai tidak aku pasti hanya tinggal na-ma saja...!" kata Karso Broco
sambil berusaha menyingkir.
"Saudara, Karso awas di belakangmu...!" teriak Pendekar Hina Kelana yang saat
itu nampak sudah berdiri di atas batu tak jauh dari Wisa.
"Wuuut...!"
Kiranya pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang dilepaskan oleh Buang Sengketa, tidak mem-
buat monyet jejadian itu mati. Bahkan setelah ja-
tuh berkerengkangan, mereka cepat bangkit dan
langsung menyerang Karso Broco kembali. Namun
serangan mereka luput, karena nampaknya seran-
gan itu hanya bersifat ayal-ayalan belaka. Ternyata hampir semua mata makhluk
itu memandang be-ringas pada si pemuda berkuncir.
"Monyet-monyet jejadian itu adalah penjel-
maan dari gadis-gadis yang berhasil diculik oleh
manusia iblis!" kata Buang Sengketa setelah Karso Broco bergabung dengan mereka.
"Ah menyedihkan sekali. Jadi apakah mu-
ridku Nawang Wulan sudah tak dapat disela-
matkan lagi...?" tanya Giri Wisa nampak benar-benar putus asa.
"Secara pasti aku tak dapat mengatakan-
nya, paman! Tapi menurutku gadis-gadis yang su-
dah tidak perawan itu masih dapat kembali ke
asalnya, jika kita mampu membunuh si manusia
iblis itu...!"
"Bagaimana mungkin engkau dapat menge-
tahui kalau mereka sudah tidak utuh lagi...?"
tanya Giri Wisa seakan tak percaya.
"Mereka hanya bisa berubah seperti itu, an-
dai Iblis Pemburu Perawan pernah tidur bersama
mereka, bisa mengertikah paman...?"
"Hmm. Benar-benar keparat terkutuk." ma-ki Giri Wisa dengan geramnya. "Ehh...
monyet-monyet itu menyerang kemari, Buang...!"
"Aku tak bisa bertindak kasar pada mereka,
karena sesungguhnya mereka hanya terpengaruh
oleh ilmu iblis yang di miliki oleh bangsat itu...!
Tutuplah indera pendengaran kalian, aku akan
melakukan sesuatu...!" kata Buang Sengketa pada Giri Wisa dan Karso Broco.
"Heeeikgh...!"
Terdengar suara bergemuruh saat mana si
pemuda mengerahkan ilmu Lengkingan Pemenggal
Roh yang sangat dahsyat itu. Bumi tergetar daun-
daun berguguran. Monyet-monyet hitam jejadian
itu nampak panik dan berbalik ke satu arah, ke-
mudian berlari sekencang-kencangnya.
"Mari kita kejar mereka...!" seru Ketua Perguruan Lintang Kembar.
"Jangan paman, di depan sana bahaya pasti
sedang menunggu kita. Kalau paman mau mengi-
kuti saranku, lebih baik paman tetap saja berada
di sini bersama saudara Karso Broco, biar aku
yang akan melakukan penyelidikan...!"
"Kau yakin dengan kemampuanmu...?"
tanya Giri Wisa merasa kurang enak.
"Berdoa saja untuk keselamatanku, pa-
man...! Biarkan aku akan mengejar mereka seka-
rang juga...!"
Tanpa menunggu jawaban Giri Wisa, tubuh
Buang Sengketa tiba-tiba telah lenyap dari hada-
pan Giri Wisa dan Karso Broco. Orang itu hanya
mampu geleng-gelengkan kepala penuh kekagu-
man. *** Jalan yang ditempuh rombongan yang di-
pimpin oleh Ki Pragawa dan Musang Leman meru-
pakan jalan setapak yang tidak memiliki banyak
rintangan. Setelah melakukan perjalanan lebih ku-
rang empat jam, mereka sudah sampai di tengah-
tengah hutan Sungai Buluh yang angker. Saat itu
Ki Pragawa baru saja ingin memutuskan untuk is-
tirahat, ketika dari arah sebuah bukit yang terletak di sebelah selatan mereka
terlihat puluhan batu
seukuran kerbau meluncur deras ke arah mereka.
Masih untung Musang Leman cepat tanggap den-
gan datangnya bahaya yang secara tiba-tiba ini.
Andai tidak mungkin mereka yang sedang duduk
di bawah sebatang pohon rindang, remuk tergilas
batu tersebut. Rombongan yang sedang duduk-
duduk di bawah pohon rindang itu kontan bubar.
Diantaranya ada yang berlarian mencari selamat
dengan caranya masing-masing.
"Apa yang telah terjadi, saudara Musang
Leman...?" tanya Ki Pragawa, lalu memandang ke puncak bukit yang tidak seberapa
tinggi. "Tidak ada hujan tidak ada angin! Batu se-
besar kerbau bunting runtuh begitu saja. Pastilah ada sesuatu yang telah
menyebabkannya...!" kata Musang Leman.
"Apakah kau begitu yakin dengan apa yang
kau katakan itu...?" bertanya Ki Pragawa dengan hati diliputi kebimbangan.
"Mengapa tidak! Malah aku mulai merasa
yakin, mungkin iblis itu telah mengetahui keda-
tangan kita...!"
"Persetan! Aku malah senang andai manu-
sia iblis itu telah mengetahui kedatangan kita. Jadi tak usah susah-susah kita
mencarinya ke mana-mana...!" katanya begitu jumawa.
Weeer...! Terasa adanya sambaran angin dingin yang
begitu keras menerpa diri mereka. Beberapa orang
kawan Musang Leman hampir saja terjungkal ro-
boh. Sementara Musang Leman dan Ki Pragawa
segera mengerahkan tenaga dalamnya agar dapat
terus bertahan pada posisinya.
"Apa kubilang! Iblis itu benar-benar telah
mengetahui kedatangan...!" komentar Musang Leman dengan wajah sedikit memucat.
"Tapi mengapa si terkutuk itu masih belum
juga menampakkan diri...?" tanya Ki Pragawa masih kurang begitu yakin.
"Mungkin juga dia sengaja membiarkan kita
memasuki sarangnya. Atau barangkali dia sengaja
ingin menghabisi kita di sini...!"
"Kurang ajar! Kau malah berusaha mena-
kut-nakuti aku, Musang Leman...! Salah-salah aku
malah membunuhmu...!" bentak Ki Pragawa ma-
rah. "Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Ki...! Bukankah aku sudah pernah
mengatakan apapun yang bakal terjadi. Kita akan menghada-
pinya secara bersama-sama...!" tukas Musang Leman kesal.
"Ahaaa...ha...ha... groaaar...! Lebih baik kalian saling bunuh dengan sesama
kawan sendiri. Kurasa kematian dengan cara seperti itu lebih me-
nyenangkan dari pada harus mati di tanganku se-
cara menyedihkan...!" bentak sebuah suara dari atas bukit. Semua orang yang
berada di bawah
bukit tersentak kaget begitu mendengar kata-kata
yang disertai dengan tenaga dalam dan ditujukan
pada mereka. "Engkaukah kunyuknya yang berjuluk Iblis
Pemburu Perawan?" tanya Musang Leman dan Ki
Pragawa hampir bersamaan. Dalam pada itu me-
rekapun telah mencabut senjata mereka yang be-
rupa sebilah pedang berukuran panjang. Senjata
itu nampak berkilat-kilat diterpa sengatan mata-
hari. "Groaaar... ha... ha... ha... ha...! Benar aku-lah orangnya yang berjuluk
Iblis Pemburu Pera-
wan. Asal kalian tahu saja, sesuai dengan julu-
kanku. Saat ini aku menjadi suami tunggal dari
berpuluh-puluh perawan yang dengan sukarela
menjadi istriku, menjadi budakku dan juga men-
jadi pembantu setia seumur hidup...!"
Merah padam wajah mereka yang hadir di
situ, terutama sekali Ki Pragawa yang merasa kehilangan putri tunggalnya.
"Dengan sukarela kau kata! Apakah bukan
malah sebaliknya" Keparaat...! Hampir setiap ma-
lam engkau bergentayangan menculik anak pera-
wan orang, kemudian kau kumpulkan di sarang
iblis milikmu. Itukah yang kau sebut-sebut dengan sukarela...?" sentak Musang
Leman dengan gera-ham bergemeletuk menahan marah.
"Hemmm..." Iblis Pemburu Perawan men-
dengus. "Itu bukan urusan kalian, apapun yang kukerjakan tak seorangpun yang
mampu menghalang-halanginya."
"Keparaat! Engkau telah melarikan putriku
satu-satunya, masih jugakah kau mau mung-
kir...?" maki Ki Pragawa hampir lenyap kesabaran-nya. Andai saja tidak sejak
tadi Musang Leman
menghalang-halanginya, ingin sekali dia naik ke
atas bukit dan mencincang tubuh lawannya.
Kembali terdengar suara tergelak-gelak, an-
gin kencang menderu dan menyapu habis lima
orang pembantu Ki Pragawa. Tapi hembusan angin
tersebut kiranya satu kejutan yang bersifat mem-
beri peringatan belaka tanpa melukai. Sekejap ke-
mudian mereka yang terpelanting dihembus angin
yang ditimbulkan oleh kesaktian manusia Iblis,
sudah bangkit kembali. Wajah mereka semakin
bertambah memucat.
"Orang yang kuculik begitu banyak! Aku tak
tahu anakmu yang mana. Tapi kau tak perlu kha-
watir, aku menjadi seorang suami yang adil.
Anakmu telah kuurus dengan sangat baik. Bahkan
sekarang ini mereka menjadi orang-orang yang be-
gitu menuruti segala kehendakku...! Groaaar...


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ha... ha... ha...!"
Bumi bagai diguncang selaksa gempa ketika
manusia iblis itu tertawa panjang. Suara tawa itu begitu berpengaruh, bahkan
membuat sakit telinga
bagi siapapun yang mendengarnya.
"Hentikan suara tawamu, manusia gila!
Hentikan...!" teriak Musang Leman dengan disertai tenaga dalam. Tetapi suara
teriakan laki-laki itu seolah lenyap begitu saja ditingkahi suara tawa
lawannya. "Apa yang kau miliki, tak ada setahi kuku-
ku, anak manusia! Kepandaian yang kau miliki ti-
dak mempunyai arti apa-apa bila di bandingkan
kekuatan yang ada padaku. Tokoh-tokoh persila-
tan saja sudah begitu banyak yang mampus di
tanganku. Kalian datang hanya mengantar nyawa
dengan sia-sia...!" hardik si manusia iblis.
"Keparaat! Tunjukkanlah tampangmu, kami
akan mencincang tubuhmu...!"
Tiada terdengar jawaban dari si manusia ib-
lis, suasana sepi mencekam mewarnai diri mereka
yang berada di bawah bukit. Namun hal itu tidak
berlangsung lama, detik selanjutnya terdengar
langkah-langkah berat bagai palu raksasa yang di-
ketukkan di atas tanah. Menyertai terdengarnya
suara langkah-langkah kaki itu, berhembus kem-
bali angin yang sedemikian kerasnya. Mereka yang
berada di bawah bukit itu, terkecuali Musang Le-
man dan Ki Pragawa nampak berusaha mati-
matian mempertahankan diri dari serangan angin
kencang yang menimbulkan udara panas itu.
"Aku datang memenuhi keinginan kalian...!"
terdengar satu suara yang begitu serak dan berat.
Mendadak suara langkah kaki sudah tiada terden-
gar lagi, bahkan angin kencang kini telah berhenti berhembus.
"Jliik...!"
Seringan kapas sosok makhluk yang me-
namakan dirinya sebagai Iblis Pemburu Perawan
menjejakkan kakinya persis dua tombak di bela-
kang mereka. Secara serentak, Musang Leman, Ki Praga-
wa dan lima orang pembantunya menoleh. Betapa
terperanjatnya hati mereka begitu melihat kehadi-
ran sesosok tubuh berbulu hitam lebat, sementara
sepasang matanya yang memerah bagai bara nam-
pak memandang bengis pada mereka.
"Akulah Iblis Pemburu Perawan yang kalian
cari-cari...!" kata Monyet Hitam yang dulunya merupakan murid Ki Alot Roso.
"Kawan-kawan, tunggu apalagi! Cincang...!"
perintah Ki Pragawa memberi aba-aba pada Mu-
sang Leman dan para pembantunya. Sungguhpun
hati mereka diliputi keraguan, namun nampaknya
mereka begitu patuh pada Ki Pragawa. Akhirnya
tanpa membuang-buang waktu lagi merekapun
langsung menyerang Iblis Pemburu Perawan. Pada
dasarnya lima orang pembantu Kepala Desa Mekar
Sari ini hanyalah orang biasa yang tiada mengerti ilmu silat, hanya Musang Leman
dan Ki Pragawa saja yang pernah belajar ilmu silat dengan Giri Wi-sa, seperti diketahui Giri
Wisa merupakan tetangga sebelah desanya.
Di mata si manusia iblis, mereka ini tidak
memiliki arti apa-apa bila dibandingkam dengan
lawan-lawannya terdahulu. Sekali saja lawan ber-
gebrak dengan di sertai gelak suara tawa, lima
orang pembantu Ki Pragawa menggerung roboh
dengan luka mengangga dibagian dada dan leher.
Kejut hati Musang Leman dan Ki Pragawa demi
melihat kejadian yang berlangsung cepat di depan
mereka. Dengan kemarahan menggebu-gebu, ke-
duanya kembali menyerang lawannya dengan sa-
betan pedang di tangannya. Nampaknya pihak la-
wan tidak berusaha menghindar serangan ganas
Musang Leman dan Ki Pragawa. Dengan telah sen-
jata keduanya mencapai sasaran.
Jroook...! Craak...! Tubuh lawan ternyata kebal senjata, pena-
saran mereka kembali melakukan berulang-ulang.
Namun tetap saja tubuh lawannya tiada bergem-
ing, apalagi terluka.
"Cukup...!" teriak Iblis Pemburu Perawan, lalu dorongkan kedua tangannya ke
depan. Serangkum gelombang pukulan berhawa dingin luar
biasa dan mengandung racun jahat melabrak tu-
buh orang itu. Dengan gugup keduanya membant-
ing tubuhnya. Tetapi pukulan yang dilepaskan la-
wannya seolah bagai bermata saja.
Terus memburu kemanapun Musang Le-
man dan Ki Pragawa menghindar.
"Blaak...! Dess... dess...!"
Tiada terhindari lagi dua sosok tubuh ter-
lempar menghantam sebongkah batu yang lu-
mayan besar. Kepala mereka remuk dan tiada
mampu bangkit untuk selama-lamanya. Iblis Pem-
buru Perawan keluarkan suara tawa tergelak-
gelak. Kemudian dengan sekali melompat maka
tubuhnya lenyap diantara kerimbunan pohon.
*** 8 Iblis Pemburu Perawan terus berlari-lari
menuju singgasananya yang sengaja dia bangun di
dalam relung-relung gua. Di sanalah dia me-
ngumpulkan gadis-gadis yang diculiknya dari ber-
bagai daerah. Di sanalah pula dia dengan leluasa
berbuat segala kemaksiatan, tanpa mengalami rin-
tangan dari siapapun. Apa yang dilakukannya su-
dah barang tentu mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan ilmu sesat yang diyakininya.
Demikianlah tanpa menghiraukan suasana
di sekelilingnya, murid sesat Ki Alot Roso, yang
bernama Cindek ini terus berlari. Tanpa disada-
rinya dua pasang mata dari sebuah tempat yang
tidak begitu jauh terus membuntuti. Sebelum ma-
nusia sesat itu membelok pada sebuah tikungan
yang menuju ke arah gua yang menjadi tempat
tinggalnya selama ini. Terdengar satu bentakan
yang membuat lemas persendian orang yang tiada
memiliki kepandaian dan tenaga dalam tinggi.
"Berhenti...!" perintah sebuah suara. Menilik suaranya yang begitu halus,
pemilik suara itu pastilah seorang perempuan. Dengan sikap tenang, si
manusia iblis hentikan larinya, kemudian menoleh
ke beberapa jurusan.
"Sudah sekian banyak kau menumpuk do-
sa, tapi pembunuhan tetap kau lakukan di mana-
mana. Benar-benar iblis bertopeng monyet...!"
"Kurang ajar, begitu datang kau memaki-
maki sedemikian rupa. Agaknya engkau merupa-
kan perempuan yang pantas menjadi istriku...!
Tunjukkan muka...!" berkata begitu Iblis Pemburu Perawan hantamkan tangan
kanannya ke arah re-rimbunan pohon. Selarik sinar berwarna biru me-
nyambar ke arah si pemilik suara.
"Brees...!"
Dua sosok tubuh melesat dari kerimbunan
semak, pukulan sakti yang dilepas oleh lawannya
menghantam sasaran kosong.
Jliigkh...! Begitu kaki mereka menginjak permukaan
tanah, salah seorang di antaranya yang memiliki
tubuh tinggi macam raksasa, langsung memben-
tak marah: "Kau benar-benar telah tersesat jauh, adi
Cindek...! Dewata pasti mengutuk perbuatan se-
satmu...!" kata si tinggi besar. Tanpa menghiraukan ucapan pemuda yang berada di
sebelah gadis berlesung pipit, si manusia iblis yang disebut-
sebut sebagai si Cindek nampak tergelak-gelak.
"Hebat! Gadis yang sangat cantik luar biasa, bahkan lebih cantik dari para gadis
yang telah menjadi istriku. Ah, sungguh beruntung sekali aku hari ini...!"
Wajah Wanti Sarati berubah kelam membe-
si, dalam menghadapi manusia iblis yang satu ini, nampaknya dia tak ingin basa
basi lagi. Dengan
gerakan yang sangat cepat dirangkapkannya ke-
dua tangannya. Sebentar kemudian ke dua tangan
yang terangkat di atas kepala itu berubah warna
menjadi putih berkilauan.
"Kakang Duwur! Kiranya engkau telah me-
ngupah bocah cantik ini supaya sudi tidur den-
ganku. Lihatlah nampaknya dia mau melepaskan
pukulan yang membuat hangat tubuhku. Ah, mes-
tinya kau segera menyingkir kakang Duwur, tahu-
kah engkau bahwa bocah ini menginginkan agar
aku segera memeluknya...!"
Yang diajak bicara palingkan muka dan me-
ludah tiga kali, tanda bahwa pemuda berbadan
raksasa itu begitu membenci si manusia iblis.
"Saudara Duwur! Menyingkirlah...!" dalam puncak tenaga sakti yang ingin
dilepaskannya. Wanti Sarati masih sempat memberi peringatan
pada si pemuda bertubuh raksasa yang tiada me-
miliki kepandaian apa-apa.
"Hiaaaat...!"
Di awali dengan jeritan tinggi melengking,
tubuh si gadis melompat ke udara setinggi dua
tombak. Pada ketinggian itu diapun lepaskan pu-
kulan 'Siluman Kembar' yang menimbulkan hawa
panas tiada tertahankan. Iblis Pemburu Perawan
kembali tertawa panjang, kemudian tangannya
laksana kilat dia silangkan ke depan dada. Saat itu kiranya diapun menyadari
bahwa gadis cantik itu
melepaskan pukulan andalan, hal ini merupakan
satu tanda bahwa lawan memang benar-benar
menghendaki jiwanya. Tak ayal lagi diapun mem-
bentuk sebuah pertahanan dengan memperguna-
kan 'Seribu Perisai Iblis'.
Begitu cepatnya pukulan itu melabrak ke
bagian tubuh si iblis.
"Blaaak...!"
Wanti Sarati sampai terhuyung akibat pe-
ngaruh pukulannya sendiri, debu dan pasir ber-
terbangan. Begitu debu yang menyelimuti suasana
sekitarnya lenyap sama sekali. Maka terlihatlah
tubuh lawannya masih tetap tegak di tempatnya
tanpa kekurangan sedikit apapun. Kecut hati si
gadis, tetapi tekadnya tetap membaja.
"Pukulanmu tak ubahnya bagai sebuah pe-
lukan yang begitu hangat dan membangkitkan gai-
rahku...!"
Sepasang mata manusia iblis itu tiada hen-
ti-hentinya memandangi wajah si gadis. Rona me-
rah yang terpancar, seolah menjilati seluruh per-
mukaan tubuh si gadis. Dalam pada itu kiranya
secara diam-diam Duwur memungut sebuah balok
besar. Setelah mengendap-endap dari arah bela-
kang Duwur memukul kepala si Cindek yang telah
berubah menjadi seekor monyet hitam mena-
kutkan. "Thaaak...!"
Sekali pemuda bertubuh raksasa itu men-
gayunkan kayu di tangannya, dengan tepat balok
kayu itu menghantam tubuh si Cindek. Anehnya
sedikitpun tubuh monyet hitam tiada bergeming.
Apalagi sampai pecah. Padahal Duwur saat me-
mukul tadi telah mengerahkan segenap tenaga
ototnya. Hal ini merupakan satu bukti bahwa pi-
hak lawan ternyata memang memiliki kekebalan
luar biasa. "Kau memukulku, kakang Duwur! Tapi aku
tak marah, aku hanya menginginkan gadis cantik
yang telah kakang bawa kemari...!" kata si iblis kembali tergelak-gelak.
"Terkutuk! Mampuslah kau sekali ini...!"
maki Wanti Sarati, kali ini dengan mengandalkan
tiga perempat tenaga dalamnya. Wanti Sarati kem-
bali hantamkan pukulan 'Siluman Kembar', se-
rangkum gelombang sinar laksana perak datang
menggebu. Iblis Pemburu Perawan kibaskan tan-
gannya dengan maksud memapaki serangan itu.
Tetapi karena dia bersikap ayal-ayalan. Akhirnya
tubuhnya terjungkal roboh.
Wanti Sarati hampir saja menarik nafas lega
saat mana lawannya dapat dijatuhkannya. Namun
perasaan lega itu, kemudian berganti dengan pera-
saan cemas. Saat itu, si manusia iblis sudah
bangkit kembali, tubuhnya tiada kekurangan se-
suatu apapun. Sementara kemarahan membersit
di wajahnya yang dipenuhi bulu-bulu lebat.
"Kau memang hebat, gadis...! Tapi dengan
caraku, kau pasti bakal menjadi milikku! Ya... kau tetap akan menjadi milikku,
selama-lamanya...!"
geram Iblis Pemburu Perawan. Selanjutnya orang
itu membuka jurus-jurus serangan yang tak
ubahnya bagai gerakkan seekor monyet. Mula-
mula tubuhnya berjingkrak-jingkrak. Kemudian
garuk-garuk kepala dan punggungnya. Lalu laksa-
na kilat dia menyerang lawannya dengan cakaran-
cakaran ganas mematikan.
Wanti Sarati juga tidak tinggal diam, dengan
cepat dia cabut pedang dan selendang yang melilit di bagian pinggangnya.
"Jtaar... Jtarr...!"
Iblis Pemburu Perawan hanya keluarkan
erangan aneh, tanpa ragu-ragu lagi dia berusaha
menangkis lecutan selendang di tangan lawannya.


Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Grrrrt...!"
"Jtaaar... Jtaaar...!"
"Kreeep...!"
Selendang di tangan Wanti Sarati tertang-
kap sudah, tarik menarikpun segera terjadi. Na-
mun dalam hal tenaga dalam nampaknya Wanti
Sarati berada tiga tingkat di bawah lawannya,
hingga lama-kelamaan tubuhnya sedikit demi se-
dikit mulai terseret. Si gadis tidak merasa putus asa, dua kali dia babatkan
senjatanya ke bagian
lengan lawan. Tetapi bacokan yang keras tidak
menimbulkan akibat apa-apa. Diam-diam Wanti
Sarati yang sudah terseret mendekati jurang mele-
paskan selendangnya.
"Btaaak...!"
Tubuh Iblis Pemburu Perawan terbanting ja-
tuh terbawa kekuatannya sendiri. Tubuhnya nya-
ris terjerumus ke dalam jurang yang tiada terukur kedalamannya. Laksana kilat
dia bangkit kembali
dan lepaskan satu pukulan dahsyat. Sinar biru
langsung melabrak tubuh Wanti Sarati, gadis itu
sedapatnya berusaha menghindari datangnya pu-
kulan itu. Namun tetap saja tubuhnya terserempet
pukulan yang mengandung hawa dingin yang begi-
tu menggigit. "Brees...!"
"Gusraaak!"
Wanti Sarati terbanting keras, lawannya ter-
tawa mengekeh. Kemudian kembali memburu
dengan maksud menyudahi pertempuran. Dalam
keadaan seperti itu Duwur dengan gerakan yang
tiada terduga melakukan tendangan telak ke arah
bagian perut bekas adik seperguruannya.
"Buuk...!"
Dihantam tendangan yang bertenaga raksa-
sa, tak urung tubuh si manusia iblis terbanting
roboh. Tetapi tendangan itu nampaknya tidak be-
rakibat apa-apa. Dengan cepat dia kembali berdiri, tanpa menghiraukan Duwur, dia
kembali memburu Wanti Sarati yang sudah mengalami luka dalam
cukup parah. Saat itu Wanti Sarati benar-benar
dalam keadaan terancam, tiada terduga-duga da-
lam detik-detik yang menegangkan itu, serangkum
gelombang berwarna merah menyala melabrak tu-
buh Cindek. Sekali lagi manusia sesat itu terjengkang ke tanah. Dada terasa
berdenyut sakit. Den-
gan langkah sempoyongan dia bangkit berdiri, di
hadapannya kini telah berdiri seorang pemuda
berpakaian kumuh berwarna merah dengan se-
buah periuk besar menggelantung di bagian ping-
gangnya. "Paman Kelana...!" seru Wanti Sarati. Pendekar Hina Kelana menghampiri si gadis
dengan sikap penuh waspada.
"Bangunlah Wanti...! Manusia Iblis ini bu-
kan tandinganmu...!" kata si pemuda, kemudian tangannya merapat ke bagian
punggung si gadis.
Diam-diam dia menyalurkan tenaga saktinya un-
tuk mengobati luka dalam yang diderita oleh keka-
sihnya. Melihat adegan yang begitu mesra, Iblis
Pemburu Perawan merasa panas hatinya. Mes-
kipun dia menyadari bahwa lawan yang telah me-
lakukan pertolongan atas diri lawannya itu memi-
liki kesaktian yang tinggi. Namun tanpa merasa
sungkan diapun segera membentak: "Kunyuk ber-periuk! Berani sekali kau
mencampuri urusan-
ku...!" "Telah begitu banyak nyawa yang kau hu-
tang, tidak terhitung pula perempuan kau rusak
kehormatannya. Kedatanganku kemari adalah
dengan tujuan untuk mengambil jiwamu. Apalagi
kau telah berani melukai kekasihku...!" desis Huang Sengketa dengan wajah kelam
membesi. "Jahanam terkutuk, kiranya kalian meru-
pakan sepasang kekasih. Kalau begitu kalian ber-
dua harus segera mampus di tanganku...!" teriak si manusia iblis.
"Mampuslah...!" desis Pendekar Hina Kela-na. Dengan gerakan yang sangat cepat
pemuda in- ipun kembali hantamkan pukulan Si Hina Kelana,
nampaknya lawannya pun tak mau kalah. Diapun
lepaskan pukulan Iblis Pembasmi Dewa. Kejab
kemudian terjadi dua ledakan yang terasa mengge-
tarkan seluruh tebing dan hutan yang terdapat di
sekitar tempat itu manakala dua pukulan sakti
saling bertubrukan di udara. Masing-masing lawan
sama-sama terbanting roboh dengan luka dalam
yang cukup lumayan. Darah nampak berlelehan
dari kedua belah pihak yang sedang terlibat perta-rungan. Namun mereka sama-sama
mengerang marah, sekali lagi mereka sama-sama melepaskan
pukulan andalan yang disertai dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi. Sinar merah menyala dengan
sinar biru seolah saling berkejaran. Benturan ke-
ras kembali terjadi. Membuat Buang Sengketa
maupun Iblis Pemburu Perawan sama-sama ter-
lempar dua tombak. Di pihak Buang Sengketa
nampaknya mengalami luka dalam yang lebih se-
rius kali ini bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh lawannya. Darah
kental semakin ba-
nyak menetes dari celah-celah hidung dan bibir-
nya. Saat itu sambil menyeringai menahan sakit,
Iblis Pemburu Perawan telah kembali menerjang si
pemuda yang masih dalam posisi terduduk.
"Awaaas... pamaaan...!" teriak Wanti Sarati sambil memburu ke arah Buang
Sengketa. Saat itu
pukulan yang seharusnya menghantam tubuh si
pemuda malah menyambar tubuh si gadis yang
berusaha melindungi Pendekar Hina Kelana.
"Brees...!"
Tiada tercegah lagi, tubuh Wanti Sarati yang
terhantam pukulan si manusia iblis, terperosok ke dalam jurang yang tiada
terukur dalamnya. Lolongan panjang menyertai meluncurnya tubuh gadis
cantik ke bawah sana.
"Wanti...! Kau telah terlempar ke dalam ju-
rang" Oh, Wantiiiiiii...!" jerit si pemuda, begitu histeris suaranya. Si Duwur
terpana, namun si ma-
nusia iblis tanpa mau perduli lagi kembali kirim-
kan satu pukulan telak.
"Wuuus...!"
"Bruaakkk!"
Tubuh Buang Sengketa terpental mendekati
bibir jurang, pada saat-saat yang kritis itu Duwur cepat-cepat mengangkat tubuh
Buang Sengketa menjauhi bibir jurang.
"Kakang Duwur, lepaskan kunyuk gembel
yang kau gendong itu, jika tidak kau benar-benar
akan tewas bersamanya." teriak si manusia iblis.
"Wuut...!"
Secara tiada terduga Pendekar Hina Kelana
yang sudah terluka dalam dan mengalami pukulan
batin ini melompat dari gendongan si Duwur.
Dengan langkah-langkah terhuyung-huyung
pemuda yang telah dirasuki kemarahan ini menge-
ram marah. Pelan namun cukup pasti tangannya
mencabut senjata andalannya yang berupa Pusaka
Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto. Begitu
senjata yang memancarkan sinar merah menyala
itu tercabut dari sarungnya. Mendadak udara di
sekitar tempat itu menjadi dingin luar biasa. Se-
mentara bibir si pemuda memperdengarkan bunyi
mendesis bagai ular piton yang sedang dilanda
kemarahan. "Kau... telah menggoreskan sebuah luka te-
ramat dalam di hatiku. Kau telah menghancurkan
satu-satunya orang yang paling kuharapkan di
dunia ini. Hatiku tak kan pernah puas sebelum
mencincang lumat tubuhmu...!" dingin suara Pendekar Hina Kelana sedingin tatapan
matanya yang memandang tajam pada lawan.
"Kau jangan membual kunyuk gembel. Kau
telah terluka dalam, sebentar lagi engkau pun
bakal menyusul kekasihmu ke dasar jurang sa-
na...!" kata si manusia iblis.
"Huaaaat...!"
"Nguuung...!"
Senjata di tangan Buang Sengketa mende-
ru, sementara cambuk di tangannya terus melecut.
Suasana di sekitarnya mendadak berubah gelap
gulita. Iblis Pemburu Perawan jadi terke-sima, begitu juga halnya dengan si
Duwur. Tetapi tiada
waktu bagi si iblis untuk berpikir panjang. Tubuh-
nya menghindar, sekali dua dia lancarkan pukulan
mautnya. Tak jarang pukulan itu menghantam tu-
buh lawannya. Tetapi dengan adanya senjata di
tangan si pemuda pukulan itu tidak memiliki arti
sama sekali. Gleger...! Bunyi petir sambung menyambung tiada
henti saat mana senjata di tangan si pemuda me-
lecut ke udara.
"Kau harus mampus di tanganku, manusia
iblis...!" "Caaat...!"
"Craas...! Craaas...!"
Tubuh Iblis Pemburu Perawan berputar-
putar, saat senjata di tangan Buang Sengketa
menghantam tubuhnya. Darah menyembur dari
dua buah lubang luka yang sangat dalam. Tetapi
Buang Sengketa tidak berhenti sampai di situ saja.
Dia kembali hantamkan senjatanya ke seluruh ba-
gian tubuh lawannya yang sudah tiada bernyawa.
Hingga tubuh manusia iblis itu sudah tiada ber-
bentuk lagi. Suasana kemudian adalah hening se-
pi. Secara perlahan kabut yang menyelimuti dae-
rah pertempuran sirna sama sekali. Di sebuah
tempat mayat Iblis Pemburu Perawan terbujur da-
lam keadaan tiada berbentuk.
"Pendekar Golok Buntung! Hari ini aku me-
ngaku kalah. Tetapi satu saat kelak aku akan me-
nitis pada keturunanku, dan kau merasakan beta-
pa pedihnya pembalasan yang kulakukan...!" kata sebuah suara lamat-lamat.
"Keparat! Manusia Iblis itu kiranya hanya
jasadnya saja yang mampus. Tapi aku tak per-
duli." batin si pemuda, kemudian kembali dia memandang ke arah jurang. Hatinya
tiba-tiba menja-
di sedih. Wajahnya menunduk lesu.
"Dua kali kau menyelamatkan jiwaku. Sebe-
lum aku sempat membalas kebaikan dan cinta
yang kau berikan. Kini kau pergi dengan cara yang menggenaskan. Belum pernah
kebahagiaan sing-gah dalam hidupmu... kiranya manusia iblis itu telah
menghancurkan segala impian mu...!" rintih si pemuda. Tiba-tiba kelopak matanya
menghangat. Namun manakala sebuah suara yang sangat dike-
nalnya menegur, maka Pendekar Hina Kelana ce-
pat-cepat menoleh.
"Pendekar Golok Buntung! Monyet-monyet
jejadian telah kembali ke asalnya. Tetapi maaf aku tak bisa membawa serta
menemuimu, karena...
karena sebagian di antara mereka tak memiliki
pakaian yang memadai. Aku terpaksa pulang dulu
untuk mengambil pakaian buat mereka...!"
"Pergilah paman! Ajak saudara Duwur me-
nemani mu, aku tetap akan berada di sini. Hingga
aku benar-benar mendapatkan sebuah keda-
maian." kata si pemuda dengan hati pedih.
T a m a t Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 9 Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih 8
^