Pencarian

Dendam Gila Dari Kubur 2

Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur Bagian 2


pintunya dari dalam.
"Kalian yang berada di atas bukit! Jangan
salahkan kami...! Serang...!"
Belum habis gema suara orang yang mem-
beri perintah. Dari segala penjuru hujan anak panah mendera tubuh Buang
Sengketa. Pemuda ini
begitu menyadari adanya bahaya yang mengancam
tubuhnya. Tidak mau mengambil resiko, dengan
cepat tubuhnya bergerak sambil melakukan tang-
kisan-tangkisan yang menakjubkan. Sementara
sebagian tenaga dalamnya dia pergunakan untuk
melindungi diri dalam membentuk kekebalan tu-
buh, sebagian tenaganya yang lain dipergunakan-
nya untuk melakukan perlawanan. Jurus demi ju-
rus silih berganti untuk menghindari hujan anak panah yang tiada henti. Mula-
mula pemuda ini
mempergunakan jurus Membendung Gelombang
Menimba Samudra, dari jurus ini kemudian bera-
lih ke jurus Si Gila Mengamuk, selanjutnya jurus paling pamungkas, yaitu Si
Jadah Terbuang.
Mempergunakan jurus pamungkas ini, tubuh si
pemuda berkelebat lenyap, hanya tinggal bayang-
bayang merah yang terus bergerak menghindari
serangan anak panah yang tiada terhitung jum-
lahnya itu. Dalam gerakannya itu tubuh si pemuda te-
rus meluncur ke arah bawah bukit. Laksana kilat
begitu tiga tombak berada di hadapan lawan-
lawannya. Pemuda titisan Raja Siluman dari Negeri Alam Gaib ini lepaskan pukulan
Empat Anasir Kehidupan. Serangkum Gelombang Ultra Violet yang
menebarkan hawa panas tiada tertahankan, mela-
brak tubuh prajurit-prajurit pemanah tadi.
"Breess...!"
Beberapa orang pemanah terpelanting ro-
boh, tubuh mereka nampak hangus menghitam.
Dari sela-sela bibir dan hidung mengalir darah kental kehitam-hitaman. Mereka
hanya berkelejat-kelejat sekejap. Lalu terdiam untuk selama-
lamanya. Melihat nasib yang dialami oleh beberapa orang kawan, yang lain-lainnya
dengan kemarahan
yang tiada tertahankan langsung mengarahkan
panah mereka ke arah Buang Sengketa. Sementa-
ra dari arah lain juga mengarahkan panah mereka
ke arah lawannya. Beberapa orang pemanah den-
gan arah berlawanan sama-sama melepaskan bu-
surnya. Buang Sengketa tergelak-gelak, lalu melesat ke udara sejauh lima tombak.
Luput dari sasarannya, puluhan batang
anak panah itu saling memakan kawan-kawannya
sendiri. "Agkkrh... Arghk...!"
Sepuluh orang prajurit pemanah tersungkur
roboh ditembus panah mereka sendiri, Buang
Sengketa kembali tergelak-gelak.
"Weii... sudah pada gilakah kalian. Kawan
sendiri kalian bantai bagai membunuh monyet hu-
tan...!" ejek si pemuda sesaat setelah menjejakkan kakinya di atas permukaan
tanah. "Keparaat...! Pasukan pemanah, berhenti...
berhenti kataku...!" perintah salah seorang yang berpakaian Panglima Perang.
Mendengar perintah
atasannya, prajurit-prajurit pemanah itu meng-
hentikan tugasnya. Kemudian laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun
datang mengham-
piri si pemuda yang tetap berdiri tegak sambil tersenyum-senyum.
"Kau telah membunuh prajurit-
prajuritku...!" bentaknya garang.
"Siapa yang membunuh mereka" Panglima
gagah! Mula-mula aku berada di atas Kuil sana,
datang-datang kalian menyerangku dengan hujan
anak panah. Kemudian prajurit-prajurit tolol itu saling memanah antara
sesamanya. Itukah yang
kau maksud dengan membunuhi prajurit-
prajuritmu...?"
"Keparaat! Dosa-dosamu telah melebihi ta-
karan, bocah asing...! Kau telah berkomplot den-
gan Puteri Samba untuk melawan pemerintahan
yang sah. Kemudian kau menyusup ke dalam ke-
putren. Kau perkosa Puteri Kenanga, kau bunuh
dia lalu engkau habisi pula jiwa Permaisuri, ketika kami menyelidiki kemari.
Rupanya engkau juga telah membunuh Datuk Dua dengan cara yang san-
gat terkutuk...!"
Merah padam wajah Pendekar Hina Kelana
demi mendengar tuduhan yang tiada beralasan itu.
Bagaimana mungkin kejadian yang begitu komplit
dan sangat memalukan itu dapat dia terima se-
dangkan letak Kerajaan Datuk Lima saja dia sama
sekali tidak tahu.
"Oh Dewata yang agung, mimpi apa aku
semalam. Kemanapun kami melangkah, lagi-lagi
hanya fitnahan keji yang kuterima...!" ucapnya lirih. Sebentar ia menundukkan
wajahnya, dico-
banya untuk menekan gejolak perasaan yang se-
dang berkecamuk di dalam jiwanya. Dan pabila dia memandang ke arah Panglima
Nawang, maka wajah pemuda itu telah berubah kelam membesi. Ge-
raham terkatup rapat, mata memerah. Ingin sekali diterjangnya Panglima yang
berdiri tidak seberapa jauh darinya. Namun pabila dia teringat pada Puteri Samba
yang sedang melakukan upaya untuk
menjernihkan persoalan yang sebenarnya, pera-
saan marah itu sedikit demi sedikit menjadi berkurang. "Panglima gagah. Sama
seperti para prajuritmu, ternyata engkaupun merupakan seorang
Panglima yang tolol. Beberapa saat yang lalu aku baru saja mendaki dan memasuki
Kuil milik Datuk
Dua bersama Puteri Samba. Puteri itu mendapati
uwanya tewas di atas ranjangnya. Kami sendiri
bingung dengan kejadian yang telah menimpa Da-
tuk Dua, kalau kalian lebih dulu sampai di tempat ini pantaskah kalian menuduh
kami sebagai orang
yang telah membunuh sang Datuk...?" bentak si pemuda.
"Persetan! Kami hanya menjalankan tugas
yang diberikan oleh Raja. Apapun alasanmu eng-
kau boleh mengatakannya pada Raja, nanti setelah kalian sampai di istana!" maki
Panglima Nawang tak kalah gusarnya.
"Kau menginginkan agar kami menyerah...?"
tanya Buang Sengketa mengejek.
"Tentu saja...!"
"Kalau itulah yang kau inginkan, tak perduli engkau Panglima Perang Kerajaannya
para iblis. Langkahi dulu mayatku...!" desis si pemuda merasa hilang kesabarannya.
Bukan main gusarnya Panglima Nawang
begitu melihat ulah si pemuda yang sangat meren-
dahkan martabatnya. Seumur hidup belum pernah
dia mendapat penghinaan yang serendah itu.
"Sikaaat...!" perintahnya memberi aba-aba.
"Tunggu...!" teriak Buang Sengketa. "Tak perlu kau mengorbankan nyawa sebanyak
itu Panglima. Kalau kau benar-benar seorang Panglima
Perang yang berjiwa ksatria, maka hadapilah aku.
Mari kita bertarung secara ksatria. Seandainya
aku kalah, kau boleh memperlakukan diriku dan
Puteri Samba sesuka hatimu. Tetapi kalau engkau
yang kalah...!" si pemuda mengurungkan kata-katanya.
"Kalau aku yang kalah. Engkau mau apa,
pemuda gembel...?" tanya Panglima Nawang sambil berkacak pinggang.
"Kalau engkau kalah! Cukup engkau harus
mau mendengar apa yang ingin kami sampaikan.
Tetapi jika kau tetap tidak mau maka aku hanya
ingin meminta kepalamu...!" desis si pemuda. Kemudian tergelak-gelak.
"Kurang ajar! Kuterima tantanganmu...! Aku
yakin dalam sepuluh jurus di muka kepalamulah
yang kubuat menggelinding...!"
"Heaaaa...!"
Tanpa basa-basi lagi, Panglima Nawang
langsung menerjang dengan menghantamkan satu
pukulan tangan menggeledek. Sementara bagian
kakinya menyapu ke arah perut Buang Sengketa.
Begitu cepat gerakan Panglima Nawang, angin ten-
dangan maupun jotosan menderu deras ke bagian
tubuh pemuda itu. Kenyataan ini membuktikan
meskipun Panglima Nawang berumur begitu mu-
da, namun memiliki tenaga dalam yang handal.
Pendekar Hina Kelana cepat-cepat geser tu-
buhnya ke samping kanan. Serangan luput, tak
mau kalah diapun kirimkan satu tendangan bala-
san yang mengarah ke bagian lambung lawannya
*** 6 Serangan ini dipapaki oleh lawannya den-
gan hantamkan tinju kirinya ke arah kaki si pe-
muda yang menderu deras ke arah dadanya.
Plaak... Duuuk...!
"Uuuh...!"
Tubuh Panglima Nawang terhuyung dua
tindak ke belakang. Sementara tubuh si pemuda
nampak tergetar. Pemuda ini menyeringai begitu
merasakan kakinya bagai menendang batu karang.
"Kepandaianmu boleh juga, pemuda gem-
bel...! Tapi jangan berpuas dulu... terimalah...!" teriak Panglima Nawang dalam
kegusarannya. Sekali
lagi lawan mencoba mendesak si pemuda dengan
mempergunakan jurus-jurus silat tangan kosong
yang handal. Sebaliknya Buang Sengketa dengan
mempergunakan jurus 'Si Gila Mengamuk' terus
melayani permainan silat lawannya.
"Heaah...!" dengus si pemuda. Tubuhnya kembali melompat mundur manakala tangan
Panglima Nawang yang berbentuk cakar hampir saja
merobek bagian wajahnya.
"Jangan terus menghindar tolol! Layanilah
aku sampai seribu jurus...!" maki Panglima Nawang. Serta-merta tubuhnya melesat
ke udara me- lakukan salto beberapa kali. Begitu kembali me-
luncur ke bawah. Tak pelak lagi diapun hantam-
kan tangannya ke arah lawannya. Serangkum ge-
lombang pukulan berhawa dingin dan panas mele-
sat ke arah Buang Sengketa. Pemuda ini tidak
tinggal diam. Segera pula dia kibaskan tangannya menyongsong pukulan yang
dilepaskan oleh lawannya.
"Blaamm...!"
Terdengar sebuah ledakan yang membuat
debu dan pasir berhamburan di udara. Tanah di
sekitar tempat itu bergetar bagai dilanda selaksa gempa. Buang Sengketa nampak
mencelat tiga tombak, sementara Panglima Nawang terjungkal
lima tombak. Dari bibirnya meleleh darah kental.
Panglima bertubuh semampai ini merasakan ba-
gian dadanya begitu nyeri. Setelah menghimpun
hawa murni, barulah rasa sakit itu agak berku-
rang. Cepat sekali dia bangkit. Dilihatnya Buang Sengketa masih kerengkangan
sambil memegangi
bagian perutnya.
"Cepatlah bangkit sobat! Empat jurus di
muka andai kau kalah, tidak segan-segan aku
akan memenggal kepalamu...!" geram Panglima Nawang begitu menyadari ternyata
lawannya memiliki kepandaian tinggi. Buang Sengketa menden-
gus, masih sempat bibirnya menyungging senyum
mengejek. Membuat lawannya menjadi marah luar
biasa. "Haaaa...!"
Satu teriakan membahana yang disertai
dengan lengkingan Ilmu Pemenggal Roh. Terasa
menghancurkan gendang-gendang telinga. Bebe-
rapa orang prajurit tersungkur roboh dengan jiwa melayang seketika itu juga.
Masih untung Panglima Nawang memiliki tenaga dalam yang tinggi an-
dai tidak diapun mungkin akan mengalami nasib
yang tidak begitu berbeda dengan para bawahan-
nya. Terperangah Panglima Kerajaan Datuk Lima
demi melihat kenyataan ini, tanpa sadar dia berse-ru lantang:
"Ilmu ibliss...!" desisnya.
Kali ini tanpa sungkan-sungkan lagi diapun
mencabut sebilah pedang panjang berwarna putih
mengkilat karena ketajamannya. Pedang itu lang-
sung disilangkan ke depan dada.
"Sobat! Cabutlah senjatamu, bertarung se-
cara ksatria adalah pertarungan yang adil dan tidak membawa penyesalan di kedua
belah pihak...!"
Buang Sengketa tersenyum tawar, dalam
hati dia mengagumi pendirian Panglima Nawang
yang gagah perkasa.
"Bagiku kau bukanlah seorang musuh yang
harus kubasmi. Kau hanya menjalankan perintah.
Aku baru mau mencabut senjataku andai engkau
merupakan seorang lawan yang paling kubenci di
kolong langit ini. Nah jangan sungkan-sungkan.
Kukira aku masih sanggup melayani permainan
pedangmu...!" kata si pemuda begitu tenang. Hal ini hanya membuat kemarahan
Panglima Nawang
semakin bertambah memuncak.
"Kau terlalu sombong, sobat! Jangan salah-
kan aku andai pedangku yang tiada bermata ini
sampai menembus dadamu...!"
"Aku sudah bersiap segala-galanya, sobat...!
Kau tak perlu ragu...!"
"Kalau itu maumu, terimalah...!" Sebat sekali permainan pedang Panglima Kerajaan
ini. Se- bentar saja pedang di tangannya berputar cepat.
Sinar putih bergulung-gulung disertai sambaran
angin dingin menggigit. Beberapa saat setelahnya sinar pedang telah mengurung
tubuh si pemuda
dari berbagai penjuru. Dengan mempergunakan
jurus si Jadah Terbuang, pemuda ini masih mam-
pu menghindari sambaran senjata yang begitu ga-
nas. "Cabutlah senjatamu, sobat...!"
Dalam keadaan mendesak lawannya, sekali


Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi Panglima Nawang sempat memberi peringatan.
"Hiiih...!"
Sebagai jawabannya pemuda Raja dari Ne-
geri Alam Gaib ini, merobah jurus-jurus silatnya dengan jurus Koreng Seribu.
"Heiiit...!"
Terlihat gerakan Buang Sengketa semakin
lamban bagai tanpa tenaga. Pada saat itu Panglima Nawang mengira pihak lawannya
telah terkuras tenaganya. Tak pelak lagi orang inipun babatkan
senjatanya ke arah bagian tangan lawan dengan
maksud membabat putus.
Wuuuut...! Jemari tangan si pemuda malah mengibas
dengan satu hentakan.
"Creeep...!"
Pedang di tangan lawannya melekat sede-
mikian erat pada jemari tangan Buang Sengketa.
Panglima Nawang yang nampak terkejut berusaha
menarik senjatanya. Aneh sekali, semakin kuat
Panglima Perang ini berusaha menarik balik senjatanya. Maka dia merasakan
tenaganya malah ter-
sedot dan mengalir lepas senjatanya, semakin ba-
nyak dia mengerahkan tenaga. Senjata di tangan
Panglima ini telah berpindah tangan. Tanpa diduga lawan melakukan satu totokan
telak pada bagian
urat geraknya. Tuuk...! Panglima Perang Kerajaan Datuk Lima me-
rasakan tubuhnya mendadak menjadi kaku.
Buang Sengketa tersenyum mencibir, sementara
wajah sang Panglima sebentar memerah sebentar
berobah pucat. "Lihatlah Panglima yang gagah! Betapa an-
dai aku mau membuntungi kepalamu, pekerjaan
itu tidak terlalu sukar untuk kulakukan...!" desis si pemuda.
Mengetahui Panglimanya dapat ditawan
oleh si pemuda. Berpuluh-puluh prajurit pemanah
telah bersiap-siap untuk membela atasannya.
"Orang-orangmu hendak berbuat konyol,
Panglima...! Suruh mereka simpan busurnya! Ka-
lau tidak dirimu sendiri yang akan kujadikan ta-
meng...!" ancamnya tanpa maksud main-main.
"Hei kalian semua, jangan memanah...!
Mundur... mundur kataku orang-orang tolol...!"
bentak Panglima Nawang dengan wajah pucat pasi.
"Tapi... tapi Panglima dalam keadaan ba-
haya...!" kata salah seorang diantara mereka begitu cemas.
"Kurang ajar...! Kubilang kalian mun-
durrr...!" gusar bukan alang kepalang Panglima ini demi melihat sikap konyol
prajurit-prajurit yang dapat membahayakan keselamatan dirinya sendiri.
Tanpa membantah lagi, puluhan prajurit-
prajurit pemanah itupun bergerak mundur. Buang
Sengketa menoleh ke arah Kuil.
"Puteri Samba...! Perang telah usai. Turun-
lah kemari...!" teriaknya.
Tak lama kemudian setelah suara panggi-
lannya lenyap, maka terlihatlah seorang gadis berpakaian kuning gading berlari-
lari menuruni lereng bukit. "Keadaan sudah aman, Puteri...! Sekarang kita harus
membicarakan segala sesuatunya pada
Panglima ini...!"
Sebentar Pendekar Hina Kelana memperha-
tikan Panglima Nawang yang berdiri kaku dalam
keadaan tertotok.
"Kakang pikir dia mau membicarakan ten-
tang segala sesuatu yang kakang ketahui...?" kata Putri Samba ragu-ragu.
"Harus mau! Kalau dia tidak ingin melihat
Kerajaan Datuk Lima runtuh begitu saja...!"
"Siapakah engkau ini" Ilmu kepandaianmu
begitu tinggi...!" tanya si Panglima masih diliputi rasa curiga. Yang ditanya
hanya tersenyum-senyum.
"Mengenai siapa aku, kukira tidak begitu
penting. Justru yang perlu kau ketahui bahwa
saat ini Kerajaan Datuk Lima mungkin dalam kea-
daan bahaya...!"
"Apa maksudmu...?" tanya Panglima Na-
wang tiada mengerti.
"Kau bilang, Puteri Raja dan Permaisuri terbunuh...?" ulang si pemuda. Puteri
Samba nampak terkejut mendengar kabar itu.
"Benarkah itu Panglima...?"
Panglima kerajaan Datuk Lima hanya men-
gangguk pelan. "Dan ketika engkau sampai di sini bersama
prajurit-prajurit itu, engkaupun melihat Datuk
Dua terbunuh pula!"
"Betul...!"
"Apakah kematian mereka dalam keadaan
yang sama...?" tanya si pemuda penuh selidik.
"Untuk apa kau tanyakan itu...?" Panglima Nawang balik bertanya.
"Kalau engkau ingin Rajamu selamat. Ja-
wab dulu pertanyaanku...!"
"Kematian mereka memang tidak jauh ber-
beda. Dada ditembus senjata tajam yang sangat
berbisa. Dan tubuh mereka hangus serta mene-
barkan bau busuk."
"Kematian yang sangat menyedihkan, dila-
kukan oleh tangan yang sama...! Tapi jangan seka-li-kali engkau mempunyai
prasangka yang bukan-
bukan kepada kami. Aku hanya ingin membantu-
mu, dan mencari siapa sesungguhnya yang mela-
kukan teror dengan cara di luar batas ini...!" kata si pemuda berusaha
meyakinkan. "Pertama-tama yang ingin kutanyakan pa-
damu, siapakah yang memberi perintah untuk me-
lakukan penangkapan atas diri Datuk Empat...?"
Panglima Nawang nampaknya kurang se-
nang dengan pertanyaan yang diajukan oleh si
pemuda. "Kau bukan seorang mantri penyidik. So-
bat...! Pertanyaan yang kau ajukan itu rasanya ti-
dak berguna sama sekali...!" geramnya.
"Engkau sudah menjadi tawananku, Pan-
glima...! Berguna atau tidak yang ku mau jawab-
lah pertanyaanku ini...!"
"Aku menjalankan tugas setiap kali sang
Raja memberi perintah padaku...!" jawabnya kemudian.
"Apakah anda punya bukti yang kuat, bah-
wa Datuk Empat memang benar berniat melaku-
kan pemberontakan...?" komentar si pemuda.
Panglima Kerajaan Datuk Lima kembali ge-
lengkan kepala.
"Kalau begitu perintah penangkapan Datuk
Empat berdasarkan atas laporan seseorang, siapa-
kah yang memberi laporan yang sebenarnya hanya
berupa fitnahan ini?" tanyanya lebih jauh.'
Panglima Nawang terdiam seribu bahasa.
Wajahnya tertunduk seperti ada sesuatu yang se-
dang dipikirkannya.
"Katakanlah Panglima...!" desak Buang
Sengketa merasa sudah tak sabar lagi.
Setelah membuang pandangan matanya
jauh-jauh, Panglima Perang ini kemudian menja-
wab: "Waktu itu yang memberi laporan adalah seorang yang sangat di percaya oleh
sang Raja...!"
"Siapa...?"
"Datuk Mahendra, yang tinggal di kota Ti-
ram...!" jawab Panglima Nawang, lesu.
"Jelas! Sejak dulupun aku sudah mendu-
ga... manusia keparat itulah yang telah melakukan segala-galanya...!" sergah
Puteri Samba begitu geram.
"Lalu sekarang ini orang yang bernama Da-
tuk Mahendra itu di mana" Aku tak melihatnya
bercokol di kota Tiram...!" ujar Buang Sengketa lebih lanjut.
"Datuk Satu telah mengangkatnya menjadi
Penasehat Kerajaan...!"
"Apa..." Telah mengangkat seekor ular men-
jadi seorang Penasehat Kerajaan" Sebuah kekeli-
ruan yang sangat fatal yang dapat menghancurkan
segala-galanya...!" sentak Pendekar Hina Kelana dengan mata membelalak tak
percaya. "Apa maksudmu, sobat...! Aku benar-benar
tidak mengerti apa makna pembicaraanmu...?" ka-ta Panglima Nawang begitu polos.
"Panglima, lebih baik anda pulang selekas
mungkin ke Kerajaan. Coba selidiki iblis yang bernama Datuk Mahendra itu. Atau
kalau perlu, kau
tangkap dia...!" kata Puteri Samba begitu serius.
"Tanpa alasan-alasan yang kuat. Mencurigai
seorang kepercayaan Raja. Bisa-bisa aku di-
hukum gantung...!"
"Kau akan menyesal, Panglima...! Perlu kau
ketahui saat ini seisi Kerajaan sedang terancam...!
Sungguhpun aku masih belum bisa mengung-
kapkannya secara pasti siapa sebenarnya Datuk
Mahendra itu. Tetapi aku merasa yakin dia punya
niat untuk menggulingkan pemerintahan yang
sah...!" "Dapatkah kata-katamu di percaya...?"
"Aku tidak memintamu untuk mempercayai
kata-kataku. Yang ku mau coba kau buktikan
sendiri mengenai kebenaran kata-kataku...!" sen-
tak Buang Sengketa mendongkol sekali.
"Hemh...! Kalau ternyata apa yang kau ka-
takan itu tidak terbukti, tentu sang Raja tidak
akan memperdayaiku lagi...!"
"Jangan bodoh Panglima. Maksudku jangan
kau beri laporan pada sang Raja mengenai apa
yang kukatakan padamu tadi. Kau selidikilah du-
lu, kalau perlu kau tangkap Datuk Mahendra ka-
lau apa yang kukatakan ini terbukti. Sekarang lebih baik anda segera kembali ke
Kerajaan...!"
"Aku masih punya tugas menghubungi Da-
tuk Tiga! Pula aku harus mencari akal mengenai
kegagalanku dalam menangkap kalian...!" kata Panglima Nawang.
"Apakah para prajurit pemanah itu begitu
patuh padamu...?" tanya Buang Sengketa.
"Mereka bukan lagi patuh. Tetapi malah se-
lalu berada di pihakku...!"
"Kalau begitu mereka bisa menutup mulut
dengan segala kejadian di tempat ini." ujar si pemuda. "Jadi mengenai Datuk Tiga
bagaimana...?"
tanya Panglima Nawang.
"Biarlah kami yang akan menghubun-
ginya...! Setelah urusan itu selesai kamipun segera menyusulmu ke Kerajaan Datuk
Lima. Pesanku berhati-hatilah menghadapi manusia iblis yang
bernama Datuk Mahendra itu...!" kata si pemuda.
Panglima Nawang menganggukkan kepa-
lanya. "Baiklah kita berpisah sampai di sini dulu, sobat...! Semoga kita masih
ada umur untuk dapat
saling bertemu...!"
Setelah berkata begitu. Panglima Nawang
berbalik langkah. Tak lama kemudian terdengar
derap langkah kaki kuda meninggalkan tempat itu.
"Moga-moga Panglima itu mempercayai
omongan kakang...!" kata Puteri Samba, lalu tersenyum cerah dan langsung
menggenggam erat
jemari pendekar ini.
"Masih banyak yang harus kita selesai-
kan...! Mari kita pergi...!" ujar Buang Sengketa sambil melangkahkan kaki.
*** 7 Panjang sebenarnya merupakan sebuah
daerah yang padat penduduk dengan mata penca-
harian sebagai nelayan. Penduduknya yang ramah
tamah membuat siapapun merasa kerasan tinggal
di sana. Melalui desa itu agak ke pedalaman, se-
buah rumah yang cukup mewah berdiri kokoh se-
lama hampir puluhan tahun. Setiap orang di dae-
rah itu pasti mengenal pemilik rumah mewah ini.
Beliau masih merupakan keturunan Kerajaan Da-
tuk Lima. Orang itu tak lain adalah Datuk Tiga,
saudara kandung Datuk Satu yang kini menjadi
Kepala Pemerintahan di Kerajaan Datuk Lima. Dia
seorang laki-laki berusia lima puluh enam tahun, berkumis serta berjenggot putih
dan sepanjang hi-
dupnya belum pernah berkeluarga. Hanya sendiri
yang menempati bangunan besar yang serba me-
wah ini, wataknya pendiam dan acuh terhadap
semua orang, namun memiliki ilmu silat yang cu-
kup tinggi. Berbeda dengan saudara-saudaranya
yang lain, Datuk Tiga tahu betul tentang sejarah Kerajaan Datuk Lima mulai dari
jaman nenek moyang hingga pada kejadian yang sekecil-
kecilnya. Laki-laki bertubuh semampai ini sela-
manya paling tak suka dengan segala urusan yang
berbau pemerintahan Kerajaan. Itulah sebabnya
selama hampir tiga puluh tahun beliau belum per-
nah sekalipun mengunjungi saudara tuanya yang
memerintah di Kerajaan Datuk Lima. Hanya sese-
kali saja pabila malam hari Datuk Tiga yang memiliki watak aneh ini mengunjungi
dua saudaranya yang lain. Yaitu Datuk Dua dan Datuk Empat.
Tak urung beliau menjadi sangat kecewa
dan sedih ketika mendengar berita tentang kema-
tian saudaranya, yaitu Datuk Empat yang tewas di tiang gantung. Dengan tuduhan
yang sangat me-nyakitkan pula. Siang malam dia hampir tidak da-
pat memejamkan mata walau sekejappun. Kema-
tian Datuk Empat terasa benar memukul pera-
saannya. Bagaimana tidak, sejak kecil Datuk Em-
pat adalah orang yang paling dekat dengan dirinya.
Bila dibandingkan dengan dua orang saudaranya
yang lain. Kemanapun mereka selalu bersama-


Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama. Saat bermain-main, saat tidur mereka tak
pernah terpisah. Pabila teringat kenangan masa
kecil dulu, ingin sekali dia datang ke Kerajaan Datuk Lima untuk meminta
pertanggung jawaban
atas kematian Datuk Empat pada saudara tuanya.
Namun hal itu tak pernah dilakukannya. Sebab
dia pernah bersumpah untuk tidak menginjak Ke-
rajaan Datuk Lima. Selama Kepala Pemerintahan-
nya tidak mau bekerja sama dengan saudara-
saudaranya yang lain.
Kini laki-laki bertubuh jangkung itu nam-
pak berjalan mondar mandir mengitari kamar
ruangan tengah. Wajahnya sebentar menunduk,
sekejap kemudian telah pula membasah oleh air
mata. Entah apa yang membebani perasaannya
saat itu. Tiba-tiba dia menghempaskan tubuhnya
di atas permadani yang begitu tebal lagi lebar. Beberapa saat dipandanginya
langit-langit ruangan
itu. "Adikku Datuk Empat telah pergi! Orang yang paling baik dalam hidupku telah
tiada. Aku tak tahu kemana perginya Puteri Samba! Kasihan
anak itu, ibunya telah tiada. Semestinya aku
membawanya kemari, tetapi dia menghilang ketika
aku sampai tak seorangpun kulihat di sana, tidak juga para pembantu Datuk
Empat...! Kini kudengar pula Permaisuri Raja dan Puterinya tewas terbunuh. Aku
mulai mengkhawatirkan pasti ada se-
suatu yang tak beres telah terjadi di Kerajaan. Seluruh keturunan Datuk Lima
mungkin saja teran-
cam kehancuran. Tetapi untuk datang ke kota Ra-
ja memberi kabar tentang keadaan itu. Aku tak
sudi, apalagi Datuk Satu telah menghukum orang
yang paling dekat denganku. Aku tak mau perduli
apapun yang akan terjadi dengan kerajaan Datuk
Lima, andai aku belum dapat berjumpa dengan
Puteri Samba...!" gumamnya dalam hati.
Datuk Tiga bangkit berdiri, saat itu hari te-
lah menjelang senja. Apa yang ingin dilakukannya adalah mengurung diri di dalam
kamarnya, itulah
kebiasaan yang selalu dilakukannya selama ini.
Namun baru saja beberapa tindak dia melangkah,
terdengar daun pintu depan diketuk oleh seseo-
rang. "Heran! Hampir lima tahun aku tak menerima tamu. menjelang malam begini
ada orang yang mengetuk pintu. Apakah mungkin Puteri
Samba keponakanku itu yang datang...?" batin Datuk Tiga sambil melangkah ke arah
pintu. "Siapa...!" tanya Sang Datuk ketika sampai di depan pintu.
"Saya, Datuk...! Cepatlah buka pintunya...!"
jawab seseorang dari luar sana.
"Saya siapa...?" tanya Sang Datuk curiga.
"Dari kota Tiram, ingin membicarakan se-
suatu yang sangat penting pada Datuk...!" jawab orang di luar, mendengar
suaranya. Nampaknya
orang yang berada di depan pintu luar dalam kea-
daan tergesa-gesa. Meskipun Datuk Tiga merasa
curiga, namun akhirnya dibuka juga kunci pintu.
Laki-laki berjanggut putih ini sedikit terkejut begitu melihat tamunya memakai
sebuah topeng. Da-
tuk Tiga cepat menjaga jarak sambil memperhi-
tungkan segala sesuatunya.
"Kau siapa...?" tanya Datuk Tiga dengan pandang penuh selidik.
Yang ditanya hanya mendengus.
"Aku hanya seorang utusan Datuk...!" desis
wajah di balik topeng itu begitu sinis.
"Utusan..." Utusan siapa...?" sentak Datuk Tiga, lalu melangkah mundur tiga
langkah. Si orang bertopeng kembali mendengus.
"Utusan orang penasaran yang selama ber-
puluh-puluh tahun begitu mendendam pada selu-
ruh keturunan Raja Datuk Lima...!"' cibir orang itu, sementara sepasang matanya
yang tidak tertutup topeng nampak berkilat-kilat memandang ta-
jam pada Datuk Tiga. Laki-laki berjanggut putih
mengerutkan alisnya yang keriput. Orang berto-
peng itu mengatakan dirinya sebagai utusan orang penasaran yang telah berpuluh
tahun mendendam
pada keturunan Datuk Lima. Siapakah dia, sein-
gatnya keluarga Datuk Lima tak mempunyai seo-
rang musuhpun" Hemm... mungkinkah orang
itu..." Gumam Datuk Tiga.
"Datuk Tiga...! Sepanjang sejarah Kerajaan, hanya engkaulah yang mengetahui
segala sesuatu yang pernah terjadi di Kerajaan Datuk Lima. Eng-
kaulah yang menjadi kunci segala-galanya. Kurasa engkau tahu dan mengenal
suaraku, Datuk Ti-ga...?" tanya si orang bertopeng. Mendadak suaranya telah
berubah menyeramkan. Datuk Tiga
terperangah. Dia merasa kenal betul dengan suara itu. Tapi bukankah orang itu
telah mati dan terkubur di tengah-tengah Hutan Bakau bersama-sama
keluarganya"
"Jalak Beracun...! Bukankah engkau telah
mati beberapa puluh tahun yang lalu?" tanya Datuk Tiga tak percaya.
"Ha... ha... ha...! Jasadku boleh mati Datuk,
tetapi rohku tetap hidup selamanya. Dulu aku
memang gagal membasmi seluruh keluarga Kera-
jaan. Tetapi seseorang telah membangkitkan aku.
Ya, orang yang berdiri di hadapanmu inilah yang
telah berhasil membangkitkan tidurku. Kini aku
telah menyatu dengannya. Kerajaan berikut selu-
ruh keluarga Kerajaan termasuk engkau akan ku
binasakan seluruhnya. Tak seorangpun mampu
menghalang-halangi diriku...!"
Lemas seluruh persendian Datuk Tiga, wa-
jahnya kian pucat. Keringat dingin mulai memba-
sahi sekujur tubuhnya. Masih dapat dia bayang-
kan betapa Jalak Beracun dulunya masih meru-
pakan adik tiri ayahandanya. Berambisi ingin
menguasai tahta Kerajaan. Ilmunya sangat tinggi
luar biasa. Lebih dari itu, dia memiliki sebuah pedang Intan yang sangat
beracun. Tetapi akhirnya dalam suatu pertempuran sengit Jalak Beracun
dan ayahandanya sama sama terluka. Dua-duanya
tewas pada saat itu juga. Kalau kini Jalak Beracun muncul kembali adalah
sosoknya yang lain, hal ini benar-benar di luar dugaannya.
"Sekarang engkau sudah ingat siapa aku,
Datuk Tiga...?" desis si orang bertopeng begitu dingin. "Aku mengenalmu sebagai
adik tiri ayahandaku yang serakah dan selalu bermimpi yang mu-
luk-muluk. Sekarang engkau memperalat orang
lain untuk membunuh seluruh keturunan Datuk
Lima, sungguh kau merupakan seorang pengecut
yang paling menjijikkan...!" kata Datuk Tiga dengan wajah merah padam.
"Keparat...! Aku tak pernah memperalat-
nya. Dia sendiri mempunyai tujuan yang sama
dengan tujuanku dulu...! Aku hanya membantu
kekuatannya...!" dengus si orang bertopeng, lalu menghentakkan kakinya di atas
tanah. Tanah itu
nampak berlubang dan mengepulkan uap putih.
Dapat dibayangkan betapa laki-laki bertopeng
memiliki tenaga dalam yang tiada terukur.
"Gila. Aku tak mungkin bisa menang meng-
hadapi Jalak Beracun. Moga-moga saja orang ber-
topeng ini tidak membawa serta pedang Intan yang sangat berbisa itu...!" batin
Datuk Tiga begitu was-was. "Keturunan Datuk Lima...! Kurasa segalanya telah
menjadi jelas. Sekarang serahkanlah
nyawamu...!"
"Heaaah...!"
Cepat sekali gerakan laki-laki bertopeng itu,
tahu-tahu sepuluh jari tangannya telah menderu
ke arah bagian wajah Datuk Tiga. Terasa ada sam-
baran angin dingin yang begitu menggigit menerpa wajah Datuk Tiga. Dengan gesit
dia melompat keluar halaman rumahnya. Si laki-laki bertopeng terus memburu
sambil hantamkan satu pukulan ja-
rak jauhnya. Angin kencang yang mengandung
hawa dingin luar biasa menderu memburu Datuk
Tiga. Menyadari pukulan yang dilepaskan oleh la-
wannya mengandung racun yang ganas, Datuk Ti-
ga lempar tubuhnya ke samping, kemudian lang-
sung bergulingan di atas tanah.
"Dweeer...!"
Pukulan itu luput dan menghantam pohon
yang terletak di belakang Datuk Tiga. Pohon itu tidak tumbang. Tetapi daun-
daunnya langsung layu
dan runtuh seketika itu juga. Datuk Tiga terkejut bukan alang kepalang. Laki-
laki bertopeng tergelak-gelak, lalu kembali hantamkan tangannya ke
arah Datuk Tiga. Angin kencang yang disertai si-
nar kebiru-biruan kembali menderu. Datuk Tiga
tidak tinggal diam, atau hanya sekedar berkelit
menghindar. Kali itu dengan mempergunakan se-
luruh tenaga dalamnya dia melepaskan sebuah
pukulan sakti pula.
"Wuuus...!"
Selarik sinar pelangi nampak menyongsong
datangnya sinar biru yang dilepaskan oleh lawan-
nya. Tak terelakkan lagi, dua kekuatan sakti saling bertubrukan di udara.
"Blaaam...!"
Terdengar suara mengekeh saat mana suara
ledakan yang serasa menggoncangkan bumi itu
terjadi. Tubuh laki-laki bertopeng itu hanya tergetar saja, sementara tubuh
Datuk Tiga terpelanting roboh, wajahnya pucat pasi, nafas tersengal tiada
beraturan. Sedangkan dari celah-celah bibirnya
nampak pula mengalir darah kental kehitam-
hitaman. "Gila! Tenaga dalamnya hebat luar biasa.
Dia pasti telah melepaskan pukulan beracun. Tu-
buhku terasa kaku dan tak bisa digerakkan...!" desis Datuk Tiga.
"Hak... kek... kek... kek...! Pertarungan seri hanya terjadi sekali dalam
hidupku. Kau bukan
lawanku Datuk Tiga...! Kini tibalah saatmu untuk
mati...!" geram wajah di balik topeng. Pelan namun cukup pasti orang yang
dirasuki roh Jalak Beracun ini meraba bagian pinggangnya.
"Sriing...!"
Pedang itu kini telah tergenggam di tangan
si laki-laki bertopeng.
"Pedang Intan...!" seru Datuk Tiga dengan mulut terperangah. "Senjata beracun
itu tak mungkin dapat ku tahan...!" kata Datuk Tiga, sementara matanya tak
pernah lepas dari pedang di
tangan lawan yang memancarkan cahaya putih
laksana perak. "Kau pasti gentar menghadapi senjataku,
Datuk...!" begitu dingin suara si laki-laki bertopeng membuat bulu tengkuk sang
Datuk meremang.
"Tak seorangpun dapat mengatasi senjata ini...!
Kau memang pantas mati, Datuk Tiga...!"
"Haiiit...!"
Didahului dengan jeritan menggelegar, laki-
laki bertopeng menghunuskan senjatanya menga-
rah pada bagian perut Datuk Tiga yang sudah tia-
da memiliki kekuatan untuk menggerakkan tu-
buhnya. Namun pada saat-saat menegangkan itu,
mendadak berkelebat bayangan merah dengan
senjatanya yang berwarna merah pula.
"Traaang...!"
Si laki-laki bertopeng terhuyung tiga tindak
ke belakang. Sedangkan bayangan merah tadi ja-
tuh bergulingan, namun cepat bangkit kembali.
"Puteri Samba...! Cepat kau bantu Datuk
Tiga...!" teriak si pemuda berpakaian merah sambil memperhatikan ke satu tempat.
Seorang gadis berpakaian kuning gading muncul, berteriak histeris dan langsung memapah tubuh
Datuk Tiga dan membawanya masuk ke dalam rumah.
"Kau...!" desis wajah di balik topeng itu nampak terkejut. "Senjatamu lumayan
hebat. Kau telah membantunya untuk melakukan pemberontakan. Kau harus mampus di
ujung pedang In-
tan...!" "Sekarang sedikit banyaknya aku sudah mulai mengerti, iblis mana yang
berada di balik
topeng itu. Jahanam...! Kau telah membuat seng-
sara banyak orang...!" bentak Buang Sengketa.
Akhirnya tanpa banyak bicara lagi, Buang
Sengketa hantamkan senjatanya saat mana laki-
laki bertopeng itu menyerangnya dengan dua tu-
sukan menjurus ke bagian dada dan perutnya.
Sinar merah dan sinar putih nampak berke-
lebat-kelebat dalam kegelapan malam. Sekali dua.
Dua senjata yang sangat ampuh ini saling berben-
turan. Terkadang laki-laki bertopeng nampak me-
nyerang si pemuda dengan gerakan-gerakan yang
aneh. Namun tak kalah cepatnya si pemuda selalu
berhasil mematahkan serangan si laki-laki berto-
peng yang dirasuki roh Jalak Beracun.
Sekejap saja pertempuran telah mencapai
lebih dari tiga puluh jurus, tetapi masih belum terlihat tanda-tanda siapa yang
akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu. Masing-masing
lawan nampaknya menyadari kelebihan dan keku-
rangan yang dimilikinya. Hingga pada satu kesem-
patan, laki-laki bertopeng ini membentak marah.
Tubuhnya nampak berkelebat cepat. Sekejap saja
dia mulai merangsak lawannya dengan serangan
senjata yang tiada putus-putusnya. Buang Sengke-
ta terkurung oleh gulungan sinar putih yang me-
nimbulkan udara dingin menggigit.
"Hiyaaaa...!"
Sekali saja menjejakkan kakinya di atas ta-
nah, dengan menggunakan jurus Si Jadah Ter-
buang. Maka tubuh si pemuda telah terbebas dari
kepungan sinar putih yang mengurung dirinya.
Senjata Golok Buntung yang berada dalam geng-
gaman tangannya menderu dan timbulkan suara
bercuitan. Sinar merah berkelebat mendominasi
sinar putih. Udara dingin semakin bertambah din-
gin sekali. "Haiiit...!"
Traaang!

Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlihat bunga api berpijar manakala dua
senjata sakti yang dialiri tenaga dalam tinggi saling berbenturan. Sekali lagi
si laki-laki bertopeng bersurut langkah. Tubuh si pemuda terhuyung-
huyung. Tetapi diapun tak kehilangan semangat,
langsung mengebrak kembali dengan babatkan
senjata di tangannya. Dalam pada itu yang menja-
di lawannya mengeluarkan sesuatu dari balik ju-
bahnya, kemudian melemparkannya ke arah si
pemuda. "Buuum...!"
Terdengar satu letupan kecil, yang menim-
bulkan asap tebal. Buang Sengketa terbatuk-
batuk. Tetapi matanya tetap memandang ke de-
pan. Begitu asap penghilang jejak itu sirna, dilihatnya lawan sudah tak berada
lagi di depannya.
Buang Sengketa yang sudah berada dalam kema-
rahan ini bermaksud melakukan pengejaran. Na-
mun sebuah suara dari dalam rumah memanggil-
nya. "Kakang Kelana...! Cepatlah kemari." teriak Puteri Samba. Buang Sengketa
menoleh sebentar,
lalu bergegas menghampiri Puteri Samba.
"Ada apa?" tanya si pemuda setelah berada di depan Puteri Samba.
"Uwa Datuk terluka dalam! Nampaknya ter-
kena pukulan beracun...!" ujar Puteri Samba nampak begitu cemas.
"Bagaimana, apakah nafasnya masih
ada...?" "Masih, kakang. Tetapi keadaannya sudah sangat payah sekali...!"
"Coba mari kita lihat."
Dengan tergesa-gesa Buang dan Puteri
Samba segera memasuki rumah yang berukuran
besar itu. Di atas permadani tubuh Datuk Tiga
nampak tergeletak tiada daya. Si pemuda langsung menghampiri. Tak lama
setelahnya diapun telah
mulai memeriksa denyut nadi Datuk Tiga.
"Nampaknya uwamu masih dapat disela-
matkan. Untung beliau memiliki tenaga dalam
yang lumayan. Andai tidak mungkin jiwanya su-
dah sejak tadi berlalu...!" kata si pemuda tanpa maksud melucu. Dengan cepat dia
keluarkan senjata andalannya. Senjata maut itu tetap meman-
carkan sinar merah menyala. Selanjutnya si pe-
muda menggores telapak kaki Datuk Tiga. Nampak
darah kental kehitam-hitaman mengalir dari luka
yang dibuat oleh si pemuda. Sekali lagi Buang
Sengketa menempelkan senjata pada luka itu
sambil menyalurkan tenaga dalamnya. Demikian-
lah keadaan itu terus berlanjut. Barulah setelah darah yang mengalir keluar
berwarna sebagaimana
mestinya. Buang Sengketa menarik balik senja-
tanya. "Masa-masa kritis sudah lewat. Sebentar la-gi mungkin dia sudah
siuman...!"
"Kakang, siapakah orang bertopeng itu...?"
tanya Puteri Samba, beberapa saat setelah mem-
perhatikan Datuk Tiga yang sudah mulai siuman.
"Dialah yang menyebabkan kematian orang
tuamu, Datuk Dua, juga Permaisuri dan Puteri Ra-
ja. Puteri Samba, tetaplah engkau berada di tem-
pat ini. Aku akan mengejar bajingan itu ke kota
Raja...!" kata Buang Sengketa memutuskan.
Kemudian tanpa menunggu persetujuan Pu-
teri Samba. Pendekar dari Negeri Bunian ini langsung melangkah pergi.
"Hati-hati, kakang...!" ujar si gadis merasa khawatir atas keselamatan Buang
Sengketa *** 8 Kematian Puteri dan Permaisurinya benar-
benar membuat sang Raja menjadi berduka. Ham-
pir sepanjang hari beliau mengurung diri di dalam kamarnya. Siang itu di atas
singgasananya, Datuk
Satu kelihatan sangat muram sekali, saat seperti itu sesungguhnya beliau merasa
enggan untuk mengadakan pertemuan dengan para pembesar-
pembesarnya. Namun karena pertemuan kali ini
dianggap cukup penting. Maka mau tak mau be-
liau harus menghadirinya juga.
Sebagaimana biasanya dalam pertemuan itu
hadir, Patih Dahana, Panglima Nawang tak ke-
tinggalan Menteri Penasehat Kerajaan Datuk Ma-
hendra. Suasana di dalam ruangan itu mendadak
menjadi hening ketika Datuk Satu memperhatikan
para abdinya satu demi satu dengan perasaan cu-
riga. "Hari ini kulihat para pembesar-pembesar Kerajaan berkumpul semua. Apapun
yang ingin kuketahui adalah mengenai usaha anda semua
dalam mencari orang yang telah membunuh Per-
maisuri dan Puteriku. Bagaimana pendapatmu,
Datuk Mahendra...?" tanya sang Raja. Sekejap beliau kembali memandang ke arah
Datuk Mahendra yang sejak tadi terus menundukkan kepalanya.
Yang ditanya langsung memberi hormat dan mem-
bungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Ampun Yang Mulia! Bukankah sebagaima-
na biasanya orang yang bertugas mencari seseo-
rang yang dicurigai telah melanggar hukum berada di pihak Patih Dahana dan juga
Panglima Nawang...!" jawab Datuk Mahendra tanpa berani menoleh pada orang-orang
yang dimaksudkannya.
"Hemm. Aku tahu hal itu...! Tetapi bukan-
kah beberapa hari yang lalu, aku juga memberimu
tugas untuk melakukan penyelidikan, Menteri Pe-
nasehat...?" sentak Sang Raja seperti ada sesuatu yang sedang mengganjal
perasaannya. "Maaf Yang Mulia...! Mengenai tugas Yang
Mulia berikan itu telah hamba laksanakan. Dua
hari hamba melakukan penyelidikan jauh di luar
kota. Bahkan hamba telah sampai di Pesisir untuk menjumpai Datuk Dua dan meminta
pendapatnya. Tetapi ketika hamba sampai di sana, Datuk Dua
telah pula tewas dalam keadaan yang sama seperti apa yang dialami oleh Yang
Mulia Permaisuri dan
Puteri...!"
"Apa..." Saudaraku Datuk Dua juga tewas
oleh tangan yang sama...?" tanya Sang Raja, semakin bertambah gusar. "Apakah
engkau juga pergi ke Panjang menjumpai saudaraku Datuk Ti-
ga...?" tanya Datuk Satu lebih lanjut.
Penasehat Kerajaan itu menganggukkan ke-
palanya dalam-dalam. Kemudian dengan sangat
hati-hati dia berkata: "Ketika hamba sampai di kediaman Datuk Tiga itulah hamba
mendapati sesu-
atu yang tak pernah hamba duga sebelumnya...!"
"Coba katakan lebih jelas lagi, Datuk Ma-
hendra...!" perintah Sang Raja.
"Maafkanlah hamba beribu kali maaf, Yang
Mulia Paduka Raja...! Saat sampai di sana hamba
melihat Datuk Tiga sedang terlihat pertengkaran
dengan seorang pemuda dan Puteri Samba. Orang
itu kemudian terlihat pertempuran. Nampaknya
Datuk Tiga terluka parah saat itu, tetapi hamba tidak berani bertindak gegabah
karena hamba lihat
pemuda itu memiliki kepandaian tinggi sekali...!"
"Kurang ajar! Jadi Puteri Samba telah ber-
komplot dengan pemuda itu...! Kuat dugaanku.
Puteri Samba pasti ingin membalas dendam atas
kematian ayahandanya. Lalu apa yang akan kita
lakukan...?" tanya Sang Raja. Kemudian memandangi para abdi-abdinya satu
persatu. Suasana ruangan pertemuan kembali men-
jadi sepi. Masing-masing orang tenggelam dalam
pikirannya. Lain lagi halnya dengan Panglima Na-
wang. Apa yang diceritakan oleh Datuk Mahendra
itu membuat hatinya menjadi bimbang. Menurut
pengakuan Datuk itu, dia pernah datang dan me-
lihat kematian Datuk Dua di Pesisir sana, kemu-
dian melihat pula Buang Sengketa sedang berta-
rung melawan Datuk Tiga. Mungkinkah kata-
katanya ini dapat dipercayai" Jangan-jangan Da-
tuk Mahendra merupakan musuh di dalam seli-
mut. Sebab satu yang diingat oleh Panglima Na-
wang, selama ini dia tahu betul kalau Datuk Em-
pat merupakan adik kesayangan Datuk Tiga, begi-
tupun dia begitu menyayangi keponakannya. Pe-
muda itu datang ke Panjang, hal ini diketahui oleh Panglima Nawang. Tak mungkin
Puteri Samba memusuhi uwanya sendiri. Apalagi sampai memin-
jam tangan pendekar itu. Jangan-jangan Datuk
Mahendra sendirilah yang memerangi Datuk Tiga!
Diam-diam kecurigaan Panglima Nawang
semakin membuncah.
"Baginda...! Walaupun kita berusaha me-
nangkap ke dua orang itu, kemudian menjatuhkan
hukuman kepadanya. Tetapi kita tidak boleh lalai dengan musuh dalam selimut!"
kata Datuk Mahendra, memecah keheningan. Bagai disengat ka-
lajengking, Panglima Nawang terlonjak. Sebentar
wajahnya tertunduk itu nampak memucat. "Akal iblis mana lagi yang akan
dipergunakan oleh Menteri Penasehat Kerajaan ini,"
"Maksud Datuk Mahendra bagaimana...?"
tanya Baginda Raja tercengang.
Sebelum menjawab Datuk Mahendra nam-
pak melirik ke arah Panglima Nawang.
"Maaf Baginda! Terkadang musuh dalam se-
limut lebih berbahaya dari pada musuh yang me-
nyerang secara terang-terangan. Coba saja Bagin-
da pikir, mungkinkah orang yang telah membunuh
Permaisuri dam Puteri bisa mengetahui secara
pasti di mana letaknya ruangan pribadi Permaisuri dan Puteri Kenanga andai tidak
ada orang dalam
yang bersedia berkomplot dengan pemuda itu...!"
sela Menteri Penasehat Kerajaan.
"Heh... betul juga! Tapi menurutmu mung-
kinkah diantara pembesar Kerajaan ada yang co-
ba-coba berkhianat?"
"Kemungkinan itu selalu ada, Baginda!"
"Kalau begitu apa yang menjadi tujuannya
sehingga orang itu mau berkomplot dengan buro-
nan kita...!"
Datuk Mahendra rangkapkan ke dua tan-
gannya, kemudian membungkuk hormat. Semen-
tara suasana pertemuan itu berobah menjadi pa-
nas. Baik Patih maupun Panglima Nawang sema-
kin geram saja melihat ulah Datuk Mahendra
nampak mulai mengacaukan suasana.
"Baginda! Beberapa hari yang lalu, orang
penting Kerajaan bersama puluhan prajurit pema-
nah melakukan pencarian atas diri Puteri Samba
dan pemuda itu. Mereka juga saat itu sebenarnya
telah bertemu dengan para buronan, bahkan sem-
pat terlihat pertempuran sengit. Tapi entah men-
gapa, pada saat buronan kita hampir tertangkap.
Pembesar kita malah melakukan perundingan...!"
"Apaa..." Dan siapakah orangnya...?"
"Dialah Panglima Nawang, Baginda...!" kata Datuk Mahendra tanpa ragu-ragu lagi.
Merah padam wajah Panglima Nawang
mendengar kata-kata yang berupa fitnah busuk
dari Menteri Penasehat celaka itu. Diapun bangkit berdiri. Andai saja tidak
dilerai oleh Patih Dahana yang juga merasa terperanjat atas pengaduan itu.
Sudah tentu diterjangnya Datuk Mahendra.
"Kau telah melakukan fitnah yang begitu
keji, Datuk...! Sengaja kau hancurkan istana Da-
tuk Lima dengan cara mengadu domba dengan
berbagai tipu muslihatmu...!" geram Panglima Nawang. "Benarkah apa yang
dikatakan oleh Datuk Mahendra itu, Panglima?" tanya Sang Raja setengah tak
percaya. "Dia pembohong Paduka! Orang ini benar-
benar ingin menghancurkan keturunan Raja Da-
tuk Lima. Aku mendengarnya sendiri dari Puteri
Samba...!" teriak Panglima Nawang dalam kegusarannya.
"Lihatlah. Betapa dia telah berhubungan
dengan Puteri Samba. Paduka, apakah itu bukan
merupakan bukti, bahwa kata-kata hamba betul
adanya...!" tukas Datuk Mahendra.
"Ringkus dan gantung, Panglima penghianat
ini...!" teriak Datuk Satu dengan kemarahan me-luap-luap.
Beberapa orang prajurit yang berada di de-
pan pintu ruangan pertemuan bermunculan.
Langsung mengurung Panglima Nawang dengan
senjata terhunus. Bahkan Datuk Mahendra sendiri
ikut ambil bagian. Diantara para pembesar yang
hadir di situ, hanya Patih Dahana sendiri yang tidak ambil bagian dalam
meringkus Panglima Na-
wang. Dia merasa tak yakin kalau Panglima Na-
wang mau berkomplot dengan Puteri Samba. Patih
Kerajaan yang berumur hampir enam puluh tahun
ini tahu betul bagaimana watak Panglima Nawang.
Kalaupun Panglima ini bersedia bicara dengan Pu-
teri Samba, pasti ada sesuatu yang sangat penting yang mungkin sangat perlu
disampaikan pada
Panglima ini. Itu makanya untuk tidak menarik
perhatian, Patih Dahana berpura-pura melindungi
Sang Raja. Sementara itu posisi Panglima Nawang
nampak semakin terdesak, walau bagaimanapun
dia tak ingin melukai prajurit-prajurit Kerajaan yang rata-rata begitu setia
padanya. "Panglima penghianat! Lebih baik kau me-
nyerah saja...!" perintah Datuk Mahendra.
"Aku tak akan pernah menyerah padamu,
Datuk keparat...!" teriak Panglima Nawang.
"Panglima Nawang kuperintahkan padamu
untuk menyerah...!" kali ini yang memerintah adalah Datuk Satu. Walau
bagaimanapun sekeras-
kerasnya Panglima Perang ini, namun begitu men-
dengar perintah Raja. Dia langsung takluk dan


Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerah. "Ringkus...!" perintah Datuk Satu.
Karena Panglima Nawang tidak melakukan
perlawanan maka dengan mudah saja dia kena di-
ringkus. "Penjarakan dia untuk sementara waktu...!"
Dengan diantar oleh Patih Dahana, Pangli-
ma Kerajaan ini kemudian digiring menuju ruan-
gan penjara. Sementara Datuk Mahendra dan
Sang Raja masih tetap berada di atas singgasa-
nanya dengan ditemani oleh Datuk Mahendra te-
rus melanjutkan pembicaraan. Tak lama kemudian
Panglima Nawang telah dimasukkan ke dalam sel
penjara. Seusainya prajurit-prajurit meninggalkan
ruangan penjara. Nampak Panglima Nawang se-
dang terlihat pembicaraan serius dengan Patih
Dahana. "Benarkah apa yang dikatakan oleh Datuk
Mahendra itu, Nawang...?" tanya Patih Dahana dengan suara berbisik.
"Selama ini paman Patih tahu bagaimana
watakku, kehidupanku dan segala-galanya tentang
hidupku. Tak ada sedikitpun di hatiku terlintas ingin berkomplot dengan Puteri
Samba. Aku bukan
manusia sepengecut itu. Kalau aku mau melaku-
kan seperti apa yang dituduhkan pada diriku, ba-
giku hal ini sangat mudah. Semua prajurit-prajurit yang ada di istana ini ada di
pihakku, bukan di pihak Baginda Raja...!" katanya tanpa emosi.
"Tapi benarkah engkau pernah bentrok
dengan pemuda dan Puteri Samba...?" tanya Patih Dahana penuh pengertian.
"Aku memang pernah bentrok dengan pe-
muda itu paman. Tetapi dengan satu perjanjian
andai aku menang bertarung dengannya, maka dia
akan menyerah begitu juga dengan Puteri Samba.
Tetapi jika aku kalah, maka harus bersedia men-
dengar apa yang ingin disampaikannya. Ternyata
pemuda itu memiliki ilmu yang sangat tangguh.
Aku kalah dalam pertarungan itu. Dengan terpak-
sa aku harus mendengarkan segala apa yang ke-
mudian disampaikannya padaku. Paman hanya
padamu aku menaruh harap, andai aku esok mati
di tiang gantungan. Tolong lindungilah Paduka Ra-ja, bukti bagiku telah cukup
bahwa sesungguhnya
Datuk Mahendra ingin menggulingkan pemerinta-
han yang sah...!" kata sang Panglima sendu. Hati Patih Dahana jadi tersentuh,
tetapi nampaknya diapun tak mempunyai kekuatan untuk melawan
Datuk Mahendra yang begitu dipercaya oleh Sang
Raja. "Panglima apakah tidak ada kemungkinan jalan lain bagimu untuk meloloskan
diri!" ujar Patih Dahana dengan suara begitu lirih.
"Aku bukan manusia sepengecut itu, pa-
man...! Aku rela mati demi sebuah kebenaran." desah Panglima Nawang lugas.
"Tetapi bagaimana dengan dirimu...?"
"Jangan hiraukan diriku, paman...! Yang
penting, lindungi Raja. Perketat penjagaan di sekitar kamarnya. Aku yakin si
bangsat Mahendra
pasti akan datang untuk membunuh Sang Raja...!"
"Nawang...! Kita lebih baik memberontak
dan menghancurkan Datuk Mahendra...!" sentak Patih Dahana saking geramnya.
"Jangan! Aku masih menunggu kedatangan
pendekar itu. Aku begitu mempercayai janji-
nya...!" "Bagaimana aku bisa mengenalinya sean-dainya dia benar-benar
kemari...?" tanya Patih Dahana.
"Gampang paman, pemuda itu berpakaian
merah. Di pinggangnya menggelantung sebuah pe-
riuk, sedangkan bagian rambutnya di kuncir seba-
tas bahu...!"
"Kalau begitu aku akan melakukan penja-
gaan tersembunyi setiap malam...!"
"Panglima, baiknya pintu ini tak usah di-
kunci. Aku akan memberitahu beberapa penjaga.
Kalau sewaktu-waktu aku membutuhkanmu...!
Maka aku akan memanggilmu dengan tiga kali sui-
tan..." kata Patih Dahana.
"Aku sudah paham paman...! Sekarang pa-
man pergilah...! Berlama-lama paman di sini bisa dicurigai oleh Datuk Mahendra!"
"Baiklah, Panglima. Hati-hatilah kau menja-
ga diri...! pesan Patih Dahana, lalu bergegas pergi.
*** 9 Beberapa prajurit penjaga nampak hilir
mudik mengitari halaman depan dan belakang is-
tana. Sementara itu hampir di setiap sudut nam-
pak beberapa prajurit lainnya dengan senjata siap di tangan terus mengamati
suasana di dalam dan
di luar tembok benteng istana. Di sebuah tempat
yang tidak terlihat oleh siapapun Patih Dahana terus memperhatikan bangunan
rumah yang diting-
gali oleh Datuk Mahendra.
Suasana hening mencekam mewarnai selu-
ruh penghuni istana. Masih untung sore tadi Patih Dahana berhasil membujuk Sang
Raja untuk mengosongkan kamar tidurnya. Bahkan beberapa
jam kemudian kamar peraduan Raja digantikan
oleh seorang prajurit yang begitu rela menghadapi resiko apapun. Ketika hati
Patih Dahana sedang
diliputi suasana tegang. Tiba-tiba dia melihat lampu bagian belakang rumah Datuk
Mahendra pa- dam. Tak terlihat sesuatu apapun di belakang sa-
na. Patih Dahana langsung melompat ke atas gen-
teng dengan posisi menelungkup serendah mung-
kin. "Mungkin kali inilah aku dapat membuktikan apa yang telah dikatakan oleh
Panglima Na- wang. Mudah-mudahan malam ini dia muncul
dengan sepak terjangnya. Kalau hal itu dilakukannya, itu sama saja artinya dia
benar-benar hendak melakukan bunuh diri." batin Patih Dahana harap-harap cemas.
Tepat seperti dugaannya, tak berapa lama
setelahnya dari atas genteng rumah yang didiami
oleh Datuk Mahendra, nampak muncul sosok
bayangan berpakaian serba hitam. Bayangan itu
dengan gerakan yang sangat ringan langsung me-
lompat ke atas genteng yang menuju Kerajaan. So-
sok bayangan itu terus bergerak cepat menuju
kamar peraduan Raja yang terletak di bagian belakang. Mengherankan sekali, para
prajurit ronda yang begitu banyak dan mondar-mandir di bawah
sana tidak melihat kehadiran si orang bertopeng
ini. "Kini saatnyalah aku bertindak...!" gumam Sang Patih. Kemudian dari arah yang
sama Patih Dahana terus mengikuti laki-laki bertopeng tadi.
Suatu saat mungkin si orang bertopeng merasakan
seperti ada sesuatu yang membuatnya curiga. Se-
cara reflek dia berbalik, maka terlihatlah olehnya kehadiran orang lain di
tempat itu. Orang ini melangkah mundur dan bermaksud melarikan dir.
Mengetahui gelagat kurang baik, Patih Dahana
membentak: "Berhenti...! Siapakah kau... menyerah atau
orang-orang di bawah sana akan menghujanimu
dengan anak panah...!" teriakan Patih Dahana cukup keras, membuat prajurit-
prajurit jaga tersentak kaget, kemudian langsung berloncatan di atas genteng
istana "Prajurit! Kepung kunyuk yang telah mem-
bunuh Permaisuri dan Puteri Raja!" perintah Patih Dahana pada prajurit-prajurit
yang berada di atas genteng dan juga yang berada di bawah sana.
Secara serentak mereka mengadakan pen-
gepungan. "Kau dan orang-orang tolol itu tak mungkin
mampu menangkapku, Patih Dahana...! Kalian
semua hanya akan mati secara sia-sia... Menying-
kirlah... aku segera berlalu dari sini...!" dengus si laki-laki bertopeng.
"Hemm. Mendengar suaramu, pastilah kau
merupakan tukang fitnah busuk, Datuk Mahen-
dra...!" "Hebat. Matamu benar-benar jeli, monyet tolol...! Tapi kau jangan mimpi
dapat menangkapku...!" sentak Datuk Mahendra.
"Kuperingatkan padamu untuk menyerah,
Datuk Mahendra...!" perintah Patih Dahana.
Tiba-tiba Datuk Mahendra tergelak-gelak.
"Kau akan melihat bagaimana seorang Ma-
hendra menyerah, Patih keparaat...!" berkata begitu laki-laki ini hantamkan ke
dua tangannya ke
arah delapan penjuru mata angin. Serangkum ge-
lombang sinar biru yang disertai hembusan angin
yang sangat keras menderu dan melabrak tubuh
para pengawal yang sedang mengepung Datuk
Mahendra. Disertai jerit lolongan maut prajurit-
prajurit yang naas itu berpelantingan roboh dan
jatuh dari atas genteng. Patih Dahana terkejut bukan alang kepalang demi melihat
kehebatan yang dimiliki oleh Sang Datuk. Sama sekali dia tiada
menyangka kalau diam-diam Menteri Penasehat
Kerajaan ini memiliki kesaktian yang sedemikian
dahsyat. Selangkah demi selangkah Patih Dahana
mulai mendekat, sementara beberapa puluh praju-
rit-prajurit yang berada di bawah nampak berlom-
patan naik ke atas genteng.
"Serbuu...!" perintah Sang Patih pada prajurit-prajurit itu. Tanpa menunggu
diperintah dua kali dengan senjata terhunus prajurit Kerajaan inipun kembali menyerang Datuk
Mahendra. Sambil
tergelak-gelak Penasehat Kerajaan ini kembali hantamkan tangannya ke berbagai
arah. Wuuuss...! "Arrgkh...!"
Jeritan-jeritan maut kembali membahana
memenuhi daerah di sekitar Kerajaan Datuk Lima.
Sudah barang tentu suara teriakan prajurit mena-
rik perhatian prajurit lainnya. Semakin lama
orang-orang yang mengepung Datuk Mahendra
semakin bertambah banyak dan berlapis-lapis. Hal itu bagi Datuk Mahendra tidak
memiliki arti apa-apa, bahkan beberapa saat kemudian laki-laki bertubuh semampai
ini sambil terus tertawa-tawa
berkata lantang:
"Patih Dahana! Ratusan prajurit kau kerah-
kan untuk menangkapku, tak memiliki arti apa-
apa. Mengapa engkau tidak maju sekalian saja,
Patih..." Apakah engkau takut mampus...?" teriak Datuk Mahendra.
Kata-kata Penasehat Kerajaan ini sudah ba-
rang tentu membuat Patih Dahana menjadi marah.
Tanpa membuang waktu diapun menerjang Datuk
Mahendra dengan senjatanya yang berupa keris
berlekuk tujuh. Sebagai seorang Patih kerajaan
ternyata beliau memiliki kepandaian yang cukup
tinggi. Terbukti begitu bergerak beliau langsung
melepaskan pukulan-pukulan dahsyat dengan tu-
juan ingin secepatnya menjatuhkan pihak lawan-
nya. Mengatasi pukulan beruntun yang dilakukan
oleh Patih Dahana, nampaknya Datuk Mahendra
tidak begitu kerepotan. Sebaliknya dengan cepat
diapun melancarkan pukulan balasan yang lebih
dahsyat lagi. "Patih goblook...! Kau tahanlah pukulanku
ini...!" teriak Datuk Mahendra, lalu lambaikan ke dua tangannya mengarah pada
Sang Patih. Selarik
sinar biru kemilau yang menebarkan hawa dingin
luar biasa menderu ke arah Patih Dahana. Patih
inipun lepaskan satu pukulan sakti pula.
Wueeees...! "Blaaar...!"
Terdengar suara ledakkan keras manakala
dua pukulan sakti itu saling bertemu. Patih Daha-na tanpa ampun lagi
terpelanting dan jatuh terguling-guling di atas genteng. Dari mulutnya nampak
menyembur darah kental. Datuk Mahendra yang
hanya terhuyung-huyung saja nampak menyerin-
gai. Kemudian mencabut senjatanya.
"Sriiing...!"
Patih Dahana membelalakkan mata saat
mana melihat sinar putih menyilaukan mata me-
mancar dari senjata yang tergenggam di tangan
Datuk Mahendra. Terasa adanya pengaruh iblis
yang menyebar dari pedang di tangan lawannya
itu. Tetapi Patih Dahana merupakan orang yang
pantang bersurut langkah, dengan tubuh terasa
sakit luar biasa beliau mencoba bangkit kembali, keris di tangannya di genggam
dengan erat. Tiga
kali suitan dia lakukan dengan tujuan memanggil
Panglima Nawang yang berada di dalam penjara.
"Ha... ha... ha...! Patih tolol, biasanya orang yang sudah mau mampus memang
sering buang tabiat. Contohnya seperti engkau ini...! Tetapi aku tak perduli, sekarang
terimalah kematianmu...!" teriak Datuk Mahendra.
Pedang di tangan Datuk Mahendra menderu
dahsyat mengurung tubuh Patih Dahana, sinar
putih terus berkelebat dan timbulkan suara men-
dengung-dengung hingga membuat sakit gendang-
gendang telinga. Dalam waktu sepuluh jurus, Pa-
tih Dahana sudah nampak terdesak hebat. Bebe-
rapa orang prajurit yang bermaksud membantu
Sang Patih berpelantingan dengan dada ditembus
pedang. "Hiaaat...!"
Patih Dahana dengan nekad tusukkan sen-
jata mengarah pada bagian lambung kiri lawan-
nya. Namun Datuk Mahendra lebih cepat lagi ber-
kelit, lalu hantamkan senjatanya ke arah Patih
Dahana. "Jraaas...!"
"Wuaargkh...!"
Terdengar jeritan tinggi menyayat mana-
kala senjata di tangan Datuk Mahendra memang-
gang batang leher Sang Patih. Tubuh yang tiada


Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernyawa itu langsung ambruk menuruni genteng.
Pada saat itu dari arah samping Datuk Mahendra
melesat pula sebuah pukulan yang dilakukan da-
lam jarak jauh. Sang Datuk yang masih terus
memperhatikan mayat Patih Dahana nampaknya
tidak merasakan datangnya pukulan ini. Begitu
dia berpaling, laki-laki itu hanya terpana.
"Breess...!"
Sang Datuk langsung terguling-guling tu-
buhnya, tapi dalam keadaan terguling-guling itu, dia malah keluarkan suara tawa
bergelak-gelak.
Rupanya pukulan yang menghantam tubuhnya ti-
dak membawa sakit apa-apa. Terbukti hanya bebe-
rapa saat setelahnya dia sudah bangkit kembali.
Saat dia menoleh ke arah belakangnya, di sana telah melihat Panglima Nawang
telah berdiri tegak
dengan gagahnya.
"Kau...! Rupanya kau dapat meloloskan diri
dari penjara itu, Panglima...! Atau Patih Dahana yang telah mampus itu memang
membiarkan pintu penjara tidak terkunci. Aha... ha... ha...! Keda-tanganmu
kemari hanya mempercepat kematian-
mu saja, Panglima." kata Datuk Mahendra sambil mengamang-amangkan pedangnya.
"Manusia iblis...! Pengangkatanmu menjadi
Penasehat Kerajaan hanya menimbulkan malape-
taka belaka. Menyesal sekali, Raja tak pernah mau mendengar segala apa yang
pernah aku katakan...!" geram Panglima Nawang, hatinya begitu tersentuh saat
mana melihat mayat Patih Dahana
yang berubah hitam seperti hangus.
"Segalanya telah terlambat, Panglima...!
Sayangnya Datuk Satu tidak berada di dalam ka-
marnya! Seandainya dia ada di tempat, malam ini
Kerajaan Datuk Lima benar-benar runtuh...!"
"Penasehat keparat! Engkaulah yang telah
merencanakan segala sesuatunya secara keji. Mu-
la-mula kau fitnah Datuk Empat dengan tuduhan
Datuk itu ingin melakukan pemberontakan. Ke-
mudian kau perkosa Puteri Kenanga dan kau bu-
nuh pula. Kemudian Permaisuri Raja. Bukan tak
mungkin yang membunuh Datuk Dua di Pesisir
engkaulah orangnya."
"Ha... ha... ha...! Engkau memang lebih bi-
jak bila di bandingkan dengan Patih Dahana. Apa
yang kau katakan itu semuanya kuakui! Memang
akulah orangnya yang telah merencanakan segala-
galanya...! Sayang, sebelum niatku kesampaian
untuk membunuh Raja dan menjadi penguasa di
Kerajaan ini, Patih terkutuk itu telah menjebakku.
Hemm. Apa boleh buat, rencanaku boleh tertunda
tetapi yang paling penting kau harus kubunuh...!"
desis Datuk Mahendra
Pedang di tangannya nampak tergetar, Pan-
glima Nawang yang sempat melihat keampuhan
senjata di tangan lawannya segera pula mencabut
pedang panjang yang berada di belakang pung-
gungnya. Sekejap kemudian terjadilah pertarun-
gan sengit antara Panglima Nawang dan Datuk
Mahendra. Namun baru saja pertarungan berlang-
sung lebih kurang lima jurus. Serangkum sinar
merah menyala nampak melesat ke arah Datuk
Mahendra. Laki-laki berusia setengah baya ini
nampak terkejut sekali. Dia tidak dapat menduga
siapa yang telah melepaskan pukulan sakti itu.
Namun dengan mempergunakan pedang Intan di
tangannya diapun memapaki datangnya pukulan
itu. Traaang! Tubuh Datuk Mahendra hanya terhuyung-
huyung saja, namun hampir saja senjatanya terle-
pas dari tangan. Sama seperti apa yang dilakukan oleh Panglima Nawang, dalam ke-
terkejutannya itu, dia memandang ke satu arah.
Sesosok bayangan merah nampak berlonca-
tan dari arah dinding tembok. Begitu cepat gera-
kan orang ini, hingga tahu-tahu telah berada tidak jauh di depan Datuk Mahendra.
"Panglima Nawang! Mundur...! Iblis ini bu-
kan tandinganmu...!" perintah pemuda berpakaian merah yang tak lain Buang
Sengketa. Gembira sekali Sang Panglima melihat kehadiran Pendekar
Hina Kelana. Tanpa berkata apa-apa diapun berge-
rak mundur, namun tetap tidak meninggalkan
tempat itu. "Kau datang, keparaat...!" desis Datuk Mahendra begitu geram.
"Sekedar meminta padamu untuk melan-
jutkan pertempuran kita yang belum selesai, Da-
tuk iblis...! Engkau penyebar fitnah yang paling terkutuk, kau fitnah Panglima
itu, kemudian kau
laporkan pada Raja bahwa aku telah membunuh
Datuk Tiga, padahal engkaulah yang hampir
membunuhnya, Puih. Hari ini segala sepak ter-
jangmu segera akan berakhir manusia terkutuk.
Percayalah kau padaku, bahwa roh Jalak Beracun
yang mendekam di dalam tubuhmu telah kulihat
saat itu. Dialah angkara murka dari kubur. Tapi
jangan mimpi dapat mengelabui aku keturunan
Raja Siluman...! Tunggu apa lagi Datuk, marilah
kita bertarung sampai salah seorang diantara kita
ada yang mampus...!"
"Haeees...!"
Tiada banyak komentar lagi. Buang Sengke-
ta yang sudah mengetahui kekuatan lawannya ini
langsung mencabut senjata andalannya. Begitu
Pusaka Golok Buntung tergenggam di tangannya.
Maka mengaunglah suara selaksa harimau terlu-
ka. Sinar merah dan sinar putih nampak berkele-
bat saling menyambar. Berulang kali senjata-
senjata ampuh itu saling berbenturan. Kembang
api berpijar dan menerangi suasana di sekitarnya.
Hanya dalam waktu sekejap, masing-masing lawan
telah bermandi keringat. Setiap kali senjata itu saling membentur, maka tubuh
masing-masing lawan
sama-sama tergetar. Sampai sejauh itu Buang
Sengketa nampaknya tidak berani mengeluarkan
jurus Koreng Seribu. Mungkin dia tidak ingin
mengambil resiko yang bisa membahayakan diri
sendiri. "Heaaat...!"
Merasa lawannya memiliki kekuatan tidak
begitu jauh di bawahnya. Maka pemuda inipun se-
gera pula mengeluarkan Cambuk Gelap Sayuto
yang melilit di bagian pinggangnya.
"Ctaar! Ctaaar...!"
Terdengar suara menggeledek saat mana
senjata itu melecut ke arah pergelangan tangan
Datuk Mahendra. Laki-laki berusia setengah baya
ini langsung memaki habis-habisan, ketika bebe-
rapa kali cambuk itu hampir saja membuat jatuh
senjatanya. Malam berubah gelap gulita, tiada terlihat lagi bintang di langit.
Yang terdengar hanya-
lah deru angin ribut. Keadaan itu tentu saja membuat heran semua orang yang
berada di sekitar-
nya. Datuk Mahendrapun merasakan perobahan
ini, tetapi dia sudah tiada perduli lagi. Dengan gerakan sangat cepat dia coba
menerobos pertaha-
nan lawannya, namun tetap saja cambuk di tan-
gan Buang Sengketa selalu menghalangi niatnya.
Bahkan beberapa saat setelahnya pedang di tan-
gan Datuk Mahendra telah pula tersambar cam-
buk si pemuda. Senjata yang mengandung racun
ganas itu sekarang telah berpindah tangan. Datuk Mahendra terperangah, pada saat
laki-laki ini len-gah golok di tangan si pemuda berkelebat tiga kali.
"Craas... Cereees... Sreeet...!"
Tubuh laki-laki itu langsung menyembur-
kan darah dari beberapa tempat. Tak lama kemu-
dian roboh dengan jiwa melayang.
Buang Sengketa menarik nafas panjang,
Panglima Nawang mendekatinya dengan pandan-
gan penuh kagum.
"Sobat. Engkau telah menyelamatkan Kera-
jaan ini dari kehancuran. Raja pasti merasa berhu-tang jasa padamu! Marilah anda
akan kuperkenal-
kan pada Raja...!" tawar Panglima Nawang begitu akrab. Buang Sengketa gelengkan
kepala: "Maafkan aku Panglima. Aku tak bisa memenuhi keingi-
nanmu. Sampaikan saja salam hormatku padanya,
aku ingin menemui Datuk Tiga dan Puteri Samba,
untuk menyerahkan pedang celaka ini padanya...!"
kata Buang Sengketa, kemudian berkelebat pergi.
Tinggallah Panglima Nawang dan belasan prajurit
yang berdiri terpaku menatap kepergian sang pen-
dekar. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Rahasia Si Badju Perak 7 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Badai Di Laut Arafuru 1
^