Pencarian

Dendam Jago Kembar 2

Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar Bagian 2


menyambut kedatangan tubuh
Riwang. "Deees!"
Riwang kembali mencelat bersama belitan-
belitan selendang.
Selendang-selendang yang begitu panjang
membuat diri Riwang tersangkut pada cabang pohon di sekitar halaman bangunan tua
itu. Wintara merasa le-ga melihat Riwang tidak cidera sedikit pun. Maka dia pun
langsung menghadapi ketiga laki-laki itu.
"Kalian bakal jadi setan sungguhan! Tidak guna menakut-nakuti demikian." Gesit
Wintara menghindari setiap babatan pedang. Dia selalu membarengi setiap babatan
pedang dengan hantamannya. Mengetahui begitu hebat, ketiga laki-laki
penyerangnya makin gigih melancarkan serangan. Namun pedang-pedang mereka
yang panjang hampir satu meter, seakan tidak berarti sama sekali bagi Wintara.
Dengan gerakan-gerakan yang gesit serta lin-
cah, Wintara berani berkelit menghindari babatan-
babatan pedang yang bergulung-gulung bagaikan tiga
buah leret sinar yang tak pernah putus.
Wintara yang sudah kepalang tanggung meng-
hadapi mereka melepaskan tiga kali hantaman bertu-
rut-turut. Maka dalam sekejap, pedang-pedang mereka terlepas dari genggaman. Dan
berdentingan menyentuh tanah. Tentu saja pemandangan seperti itu mem-
buat dua perempuan cantik ini makin murka.
Keduanya menerjang bareng dengan pukulan-
pukulan yang siap dilancarkan. Terhadap kedua pe-
rempuan ini Wintara tidak gentar menghadapi seran-
gan-serangan mereka. Maka Pendekar Kelana Sakti ini nekad menyambut serangan
mereka. Hantaman-hantaman mereka beradu di udara.
Saat itu pula Wintara sempat memekik. Karena sebuah pukulan menghantam dadanya
sangat keras. Ia baru
menyadari kalau dua orang perempuan ini lebih tangguh dibanding dengan ketiga
lelaki itu. "Hebat! Setan-setan cantik ini tidak boleh dianggap enteng rupanya!" Wintara
membalas serangan.
Tapi ketika hantamannya hampir mengenai bagian da-
da, Wintara menarik kembali lengannya. Namun len-
gan kanannya cepat maju menghantam pinggul salah seorang perempuan itu sampai
terhuyung. Riwang meronta-ronta tergantung di atas po-
hon. Belitan selendang itu begitu kuat. Rontaannya makin kuat saat tiga orang
lelaki berdatangan menghunuskan pedangnya. Ketiganya melesat ke atas sam-
bil membabatkan pedang. Namun belum sempat pe-
dang mereka menyentuh tubuh Riwang, Wintara lebih
dulu datang. Kedua lengannya langsung berputar
menghantam ketiganya. Tapi dua perempuan cantik
itu rupanya menyusul saat Wintara melesat.
Salah seorang dari perempuan itu cepat me-
nyambar pedang dari laki-laki yang jatuh bergulingan.
Secepat itu pula pedang itu bergerak menyambar.
"Traaang!"
Pedang itu seakan menyentuh benda yang amat
keras. Selendang serta baju yang dikenakan Riwang
robek. Riwang tetap tergantung di atas meronta-ronta, lalu tanpa disadarinya
sesuatu jatuh dari robekan bajunya. Sebuah lempengan batu. Rupanya saat pedang
menghantam tubuh Riwang, sambaran pedang itu te-
pat mengenai batu itu. Batu itu pula yang melindungi tubuh Riwang dari sambaran
pedang. Perempuan itu menghentikan serangannya.
Matanya tertuju pada lempengan batu yang tergeletak di tanah. Dengan ujung
pedangnya perempuan itu
mengambil lempengan batu itu.
Matanya terbelalak saat ia membaca tulisan
yang tertera di situ... Kala Suta... Maka...
"Hentikan...!" Mendadak perempuan itu berteriak. Wintara jadi terheran-heran
melihat para penyerangnya serentak diam. Semua mata mengarah pada
perempuan yang masih menggenggam lempengan ba-
tu. Keempat penyerang itu datang menggerubungi, Dalam kesempatan itu pula
Wintara melesat ke atas pohon. Kelima orang yang berada di bawahnya membiar-
kan Wintara menurunkan Riwang.
"Maafkan tindakan kami tadi, Ketua. Kami se-
mua betul-betul tidak tahu...." Perempuan yang menggenggam lempengan batu itu
langsung memberi hor-
mat ketika Riwang turun bersama Wintara. Kedua te-
lapak tangan perempuan itu mengembalikan lempen-
gan batu. Riwang menerima dengan tidak mengerti.
"Melihat lempengan batu itu, pastilah anda seorang utusan Kala Suta. Sekalipun
anda seorang utu-
san, kami sudah menganggap sebagai pemimpin ka-
mi." Setelah memberi hormat, kelima orang itu bangkit berdiri. Wintara mengira
mereka akan menyerang lagi.
Maka kedua lengannya siap-siap mengeluarkan jurus.
"Aku yang bernama: Wuning Sari sekali lagi
memohon maaf. Juga aku mewakili adik ku Lela War-
ni." Kedua wanita itu memberi hormat lagi. Ketiga lelaki yang berada di dekatnya
berdiri menunduk. Tak la-ma kemudian berdatangan lagi orang-orang memenuhi
halaman bangunan. Dari pakaian mereka menunjuk-
kan bahwa mereka bukanlah penduduk desa itu. Se-
muanya hampir bersenjata. Mereka langsung berderet ke hadapan Riwang dan memberi
hormat. "Siapa sebenarnya kalian?" tanya Riwang sambil melangkah mundur. Wuning Sari
tersenyum.... "Kami semua sebenarnya rakyat biasa. Sengaja
memilih bangunan tua ini sebagai tempat pertemuan.
Kami juga sudah siap memberontak terhadap pemerin-
tah sri baginda. Kami hanya menunggu perintah ke-
tua." "Apa" Jadi kalian semua akan memberontak pada sri baginda" Kalian telah
melakukan tindakan
yang salah. Selama ini sri baginda sangat memperhatikan rakyat. Beliau telah
memeras keringat untuk ke-makmurkan rakyatnya. Kenapa harus memberontak?"
Mendengar ucapan Riwang semuanya saling
pandang. Terlebih-lebih Wuning Sari dan Lela Warni.
Satu pun tidak ada yang berani bicara.
"Kebencian kalian terhadap sri baginda sebe-
narnya hanyalah korban 'Kambing Hitam' seseorang
yang juga memegang jabatan di keraton. Aku dan ka-
kek Kala Suta sendiri yang melihat perbuatan orang itu. Kakek Kala Suta
mengatakan padaku bahwa ia tidak pernah memberontak terhadap sri baginda. Orang
yang harus kalian hadapi adalah: Dwipa Kuntar...!"
"Sebagai seorang ketua, anda telah menerang-
kan perihal yang sebenarnya. Apapun pendapat ketua akan kami junjung tinggi.
Terima kasih telah menyam-
paikan seseorang yang mesti kami hadapi."
"Sekali lagi aku katakan. Aku bukanlah seorang ketua yang pantas memimpin
kalian, aku pun sama
seperti kalian. Namaku Riwang."
"Apapun pengakuanmu, kami tetap mengang-
gap kau sebagai ketua. Kala Suta yang selama pulu-
han tahun menyendiri telah menyerahkan batu tulis
itu padamu. Ia tidak mungkin salah pilih." sela Lela Warni. Riwang makin tidak
bisa menjawab. Wintara
hanya menggaruk-garuk kepala.
Kala Suta menyendiri" Mereka telah berangga-
pan salah lagi. Jelas-jelas Riwang terkurung bersama dalam satu ruang tahanan.
Mereka malah menganggap
Kala Suta menyendiri. Siapa sangka pula kalau Riwang sekarang menjadi pemimpin
mereka. Riwang jadi bingung sendiri.
"Ada sesuatu yang akan kukatakan, Ketua. Aku
rasa untuk mengetahui di mana Kala Suta berada adalah satu rahasia. Tapi tak
mengapa. Kala Suta memang orang yang sukar untuk ditemui, paling tidak kau
akan mengantarkan di mana Dwipa Kuntar." Perkataan Wuning Sari begitu
mengejutkan. "Wuaaah... Kalau urusan kerajaan, aku tidak ikut campur," Tiba-tiba
Wintara nyeletuk. "Biarlah urusan kita sampai di sini saja, Riwang. Aku anggap
sudah tidak ada persoalan lagi." lanjut Wintara, sebelah lengannya menepuk
punggung Riwang.
"Siapakah pemuda yang bersamamu itu, Ketua
Riwang?" tanya Lela Warni.
"Dia..." Oh dia...." Riwang gelagapan. "Aku Wintara, sahabatnya...." Wintara
cepat menjawab.
"Ya, ya... Dia sahabatku." Riwang menimpali.
"Ah, Ketua Riwang rupanya terlalu lelah.
Mungkin karena perjalanannya yang teramat jauh. Sebaiknya kita beristirahat saja
di dalam. Udara di luar
sangat dingin. Tentunya kau pun perlu istirahat. Bu-kankah begitu, Wintara?"
Wuning Sari memberi jalan.
Maka keduanya melangkah masuk ke dalam bangunan
itu lagi. Orang-orang yang berkumpul itu pun mengiringi dari belakang.
Beberapa orang menyediakan sebuah bangku
berukir. Bangku itu diletakkan pada ruangan yang cukup besar di mana kelima peti
mati masih terbujur kosong. Riwang di persilahkan menduduki kursi itu. Dalam
hati, Wintara tertawa geli. Seorang pencuri bisa berlagak seorang raja. Mereka
ini sebenarnya apa" Sepasukan pemberontak" Atau sepasukan orang-orang
kurang waras"
Mula-mula mereka menyamar bagai hantu. La-
lu menyerang ingin membunuh, kemudian mengang-
gap Riwang sebagai ketua. Dan sekarang kedua wanita cantik itu sibuk
mengeluarkan makanan. Ada baiknya juga Wintara mengejar Riwang sampai ke sini.
Setidak-tidaknya ia akan mendapat jatah makan malam.
"Setelah makan malam ini, Ketua Riwang boleh
beristirahat. Biar kami berjaga di luar bergantian. Ka-mi betul-betul menganggap
malam pertemuan yang
sangat luar biasa." tutur Lela Warni yang berdiri di sebelah Riwang. Pemuda yang
kebingungan itu men-
gangguk. "Tempat ini aman. Kita tidak perlu khawatir
terhadap orang-orang kerajaan." kata Wuning Sari tidak kalah gesit melayani
Riwang. Gadis yang satu ini selalu menunjukkan sikap yang berlebihan.
"Sudah kubilang, jangan libatkan sri baginda
dalam pemberontakan kalian. Musuh kalian dan mu-
suh rakyat sebenarnya adalah Dwipa Kuntar. Keparat itu yang semestinya kita
musnahkan." Saat Riwang bicara orang-orang yang berada di situ diam seketika.
"Aku pun tidak perlu melibatkan diri." sela Win-
tara. 8 Kemarahan Dwipa Kuntar meledak saat menge-
tahui tawanan Riwang melarikan diri. Mulanya ia tidak mengerti, bagaimana Riwang
bisa lolos dari penjara yang tergembok begitu kuat. Dan juga tidak mungkin bisa
lolos karena penjagaan yang begitu ketat.
Mengenai kematian Kala Suta yang sangat
mengerikan itu. Dwipa Kuntar sudah menduga dia bu-
nuh diri. Yang ia tidak habis pikir darimana Riwang bi-sa raib secara misterius,
sedangkan terali besi masih tetap tergembok. Namun setelah ia memeriksa seluruh
ruangan itu. Amarahnya makin memuncak. Karena di-temukannya sebuah lorong
rahasia yang selama ini tidak diketahuinya. Maka dengan sengit ia memerintahkan
seluruh pengawalnya untuk menelusuri terowon-
gan itu dan mencari kembali tawanan Riwang.
Mereka semua menyebar ke segala pelosok.
Memasuki desa-desa, lembah, maupun hutan belanta-
ra sekalipun. Setiap orang yang mereka temui tidak luput dari pertanyaan mereka.
Bahkan ada juga yang mengorbankan nyawa di tangan para pengawal Dwipa
Kuntar. Desa Branjangan jadi gempar mendengar berita larinya tawanan Riwang.
Mereka menduga Riwang pasti berada di desa itu. Para pengawal pun memeriksa
setiap rumah-rumah penduduk. Namun susah payah
mereka belum juga menemukan Riwang.
Rawing yang kebetulan baru memasuki desa itu
guna mencari saudara kembarnya tersentak kaget. Pa-ra penduduk yang dijumpainya
lari kalang kabut. Mereka seperti bertemu setan melihat Rawing berjalan tenang.
Orang-orang itu teriak-teriak di sepanjang la-
rinya... "Riwang di sini...! Riwang di sini...!" Dari teriakan mereka, Rawing
sudah memastikan kalau orang-
orang Dwipa Kuntar tengah mencari-cari Riwang. Ma-
ka ia pun memandang berkeliling. Sekejap saja pelataran desa itu sunyi senyap.
Para penduduk desa menepi dalam gubuk mereka. Semua mata memandang ke
arah Rawing. Rawing sendiri merasa berdiri di tengah-tengah kesunyian.
Saat itu pula bermunculan beberapa orang ber-
pakaian prajurit. Mereka yang berjumlah delapan
orang menghunuskan pedang. Sigap pula mereka me-
langkah ke arah Rawing.
"Bagus kau, Riwang! Berani pula kau menam-
pakkan diri. Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup.
Dwipa Kuntar hanya memerintahkan membawa kepa-
lamu." Para prajurit itu langsung mengepung Rawing.
Mereka mengira Rawing adalah Riwang. Karena wajah
mereka memang serupa. Rawing memanfaatkan ke-
sempatan itu. "Aku khawatir kepala Dwipa Kuntar sendiri
yang bakal menggelinding..." Rawing menjawab tenang.
Kedelapan prajurit itu membelalakkan mata.
"Jaga lidahmu, Riwang." Prajurit itu jadi sengit.
Pedangnya membersit menyambar Yang lainnya men-
gikuti mulai menyerang. Namun sebelum pedang me-
reka mengenai Rawing melepaskan tendangan lebih
dahulu pada salah seorang penyerangnya. Sampai ter-banting ke tanah sambil
menyemburkan darah dari
mulutnya. Mereka betul-betul terperanjat melihat tendan-
gan Rawing yang begitu cepat. Apalagi melihat seorang temannya ambruk tanpa
berkutik. Sudah tentu mereka jadi keder. Semua penuturan Dwipa Kuntar tidak
benar. Riwang yang dibilang tidak becus apa-apa ter-
nyata sangat sukar untuk dilumpuhkan.
Ketujuh prajurit yang masih sisa itu menge-
pung dari segala arah. Pedang-pedang mereka berkelebat mencecar ke tubuh Rawing
yang sebenarnya ingin tertawa melihat mereka kebingungan. Saat itu pula Rawing
menyambut serangan-serangan mereka.
Meskipun dengan tangan kosong, Riwang dapat mem-
buyarkan lawan-lawannya yang bersenjata pedang.
Dari kejauhan para penduduk desa menyaksi-
kan pertarungan itu. Mereka semua menatap ngeri.
Kaum perempuan ada yang sempat memekik ketaku-
tan saat sebilah pedang menyambar ke arah Rawing.
Tapi Rawing yang sudah mengerahkan semua jurus-
jurusnya itu melesatkan diri ke atas.
Dan dalam keadaan yang masih berjumpalitan
di udara itu Rawing melepaskan dua hantamannya se-
kaligus. Maka dua orang prajurit ambruk kelojotan
dengan mulut berlumuran darah.
"Kenapa tidak Dwipa Kuntar sendiri yang da-
tang ke mari. Biar ku habiskan bersama kalian!" bentak Rawing. Sebelah lengannya
cepat menepis perge-langan tangan lawannya. Secepat itu pula ia merebut pedang
dari tangan lawan.


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam satu detik pedang itu bergerak keras, la-
lu disusul dengan jatuhnya seorang prajurit. Isi perutnya terburai ke luar
mengerikan. Jeritannya menyayat memekakkan telinga.
"Majulah kalian bertiga sekaligus." Rawing menyeringai. Pedangnya terhunus masih
bersimbah da- rah. Matanya nyalang menatap ketiga orang prajurit berdiri gemetar di
hadapannya. "Aku kira kalian tidak setakut ini saat membantai keluarga Adipati Rekayasa.
Kenapa sekarang nampak seperti tikus kecebur di kali" Ayo maju...!"
Ketiganya saling pandang. Mereka bergidik me-
lihat lima orang temannya bergelimpangan di tanah
tanpa nyawa. Manakala Rawing melangkah mendekati.
Para penduduk desa yang ada di sekitar situ menatap tegang. "Hraaaaaa...!"
Mendadak Rawing menerjang dengan suara teriakan yang lantang menggelegar.
Pedangnya yang masih berlumuran dengan darah berke-
lebat bagai kilat yang menggelegar di langit. Serentak pula ketiganya ambruk.
Dan di antaranya tidak sempat memekik, karena kepala mereka lebih dulu
menggelinding. Sedang yang satu lagi kelojotan.
Ia telah kehilangan sebelah lengan dan sebelah
telinga. Rupanya Rawing sengaja menyisakan segelintir lawannya. Orang itu tetap
kelojotan di bawah telapak kaki Rawing yang menginjak kepalanya.
"Aku yakin kau masih bisa bertahan sampai
kau menunjukkan di mana adanya Dwipa Kuntar!"
bentak Rawing. Kedua matanya melotot seperti hendak loncat. "Arggght" Orang itu
memekik saat Rawing menarik bangkit.
"Orang-orang kampung...! Kalian tidak perlu
takut padaku! Anjing-anjing ini pantas bergelimpangan dimakan cacing tanah.
Karena mereka bersekutu dengan manusia bernyawa anjing. Tidakkah kalian dengar
peristiwa pembantaian panglima kerajaan Adipati Rekayasa" Dalang semua ini
adalah Dwipa Kuntar. Tidak patutkah aku sebagai anaknya menuntut balas atas
kejahatan mereka" Hah! Pantaskah aku menuntut ba-
las?" Suara Hawing polos namun sangat nyaring. Matanya memandang berkeliling
mengarah pada orang-
orang Desa Branjangan yang berdiri ketakutan di depan gubuk mereka.
Rawing seperti tertawa, tapi suaranya tidak ke-
luar. Tubuhnya yang kekar berdiri memegangi seorang
prajurit cacat.
"Tidakkah kalian sadar, kalau kalian juga mulai dipengaruhi oleh Dwipa Kuntar
keparat itu" Lama-lama daging kalian bakal tersayat seiris demi seiris.
Bahkan terperas sampai tetes darah penghabisan!"
Puas mengumbar kata, Rawing mendorong tawanan-
nya. Langkah-langkahnya yang gegap menyeret.....
Orang-orang Desa Brajangan hanya menatap
kepergian Rawing yang makin lama makin menjauh.
Dalam hati mereka terselip kebenaran yang diucapkan Rawing. Selama ini Dwipa
Kuntar memang mulai me-nindas rakyat Branjangan secara perlahan-lahan Terutama
soal upeti yang dilipatgandakan. Namun yang
mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin Riwang
bisa menggulingkan tujuh orang prajurit dengan sangat cepatnya. Padahal mereka
tahu benar saat tiga
'jagoan' Kampung Branjangan meringkusnya waktu
itu. Riwang sama sekali tidak berontak bagai tak berdaya. Tapi sekarang..."
Tentu saja mereka terkecoh, karena yang mereka lihat tadi bukanlah Riwang, me-
lainkan Rawing saudara kembarnya yang baru datang
dari Tanah Tapak Tuan.
Semenjak Wintara bertemu dengan Riwang
maupun orang-orang penghuni bangunan tua. Wintara
merasa berada di lingkungan orang-orang berpenyakit saraf. Ada pula kesan yang
membuat Wintara selalu
ingin tertawa. Apalagi setelah melihat keakraban yang begitu singkat antara
Riwang dengan Wuning Sari. Terlihat pula sinar kecemburuan di mata gadis
bernama: Lela Warni.
Bagaimana tidak, Riwang tergolong pemuda
yang sangat tampan. Wajar kalau dua kakak beradik
itu saling berebut. Teman-temannya yang berjumlah
hampir dua puluh orang malah memberi kesempatan
pada Wuning Sari. Hal itu membuat Lela Warni makin
cemberut. "Sobat Wintara, kami akan senang kalau kau
mau bergabung dengan kami. Kami membutuhkan
orang-orang seperti kau." kata Wuning Sari yang duduk rapat di samping Riwang.
Pemuda itu sendiri sebenarnya merasa risih. Wintara hanya menatap seki-
las, lalu.... "Maaf, aku tidak ingin terlibat dengan urusan kalian. Aku cukup bangga dengan
semangat juang yang begitu membara. Juga...."
"Kau takut, Wintara" Untuk apa memiliki ilmu
setinggi gunung kalau tidak dipergunakan saat rakyat membutuhkannya" Lagi pula
kita tidak memberontak
terhadap sri baginda. Seperti yang diperintahkan Kala Suta melalui Ketua Riwang.
Kita hanya menggulingkan kebejatan Dwipa Kuntar. Hanya itu...!" tutur Wuning
Sari. "Betul, Wintara. Kalau saja kita dapat menumpas Dwipa Kuntar, semua rakyat
akan merasa ten-
tram. Sebaiknya kau ikut kami." tukas Rawing.
"Kalian cukup banyak untuk menggulingkan
kekuatan Dwipa Kuntar. Dan lagi kalian semua beril-mu cukup tinggi. Kurang apa
lagi?" jawab Wintara.
"Aku harus pergi sekarang. Maaf... Aku bukan
termasuk orang yang bisa diandalkan. Anggap saja
pertemuan kita ini secara kebetulan. Permisi..." Wintara melangkah ke luar.
Orang-orang yang berkumpul di situ memberi jalan.
"Semoga saja kau berubah pikiran, Wintara.
Kami masih membutuhkan dirimu !"kata Lela Warni yang berlari memburu. Wintara
sudah mendekati kudanya. Wintara tersenyum.
"Mungkin juga." jawabnya sambil naik ke atas pelana. Hanya dengan menarik tali
kekang, kudanya
sudah melangkah. Lela Warni masuk kembali ke dalam
bangunan, namun mendadak ia berhenti. Ia menden-
gar suara langkah-langkah yang amat mencurigakan.
Cepat ia melompat ke balik rimbunnya semak. Di situ ia bisa melihat belasan
orang berpakaian prajurit.
Langkah-langkah mereka seperti akan menuju pada
bangunan tua. Maka dengan gerakan yang sangat lincah, Lela
Warni berjumpalitan tanpa mengeluarkan suara. Melihat kehadiran Lela Warni yang
begitu aneh, orang-
orang yang tengah berkumpul itu merasa terkejut.
"Cepat bersembunyi, para pengawal Dwipa
Kuntar menuju ke mari." bisik Lela Warni yang langsung melompat ke atas
bersembunyi. Suara itu seperti menyebar, maka orang-orang yang berkumpul
berlompatan mencari tempat persembunyian.
Begitu juga dengan Wuning Sari. Sekali ia
menghentakkan kedua kaki, tubuhnya sudah berada
di atas para. Riwang bangkit kebingungan. Dalam sekejap saja ruangan itu sepi
seperti pertama kali ia datang ke situ. Untuk melesat ke atas seperti mereka,
mana mungkin Riwang bisa.
"Ketua Riwang... Cepat naik ke mari!" Wuning Sari mengeluarkan suara pelan. Yang
dilakukan Riwang malah seperti anak tolol. Karena ia tidak dapat melesat, Riwang
hanya memanjat tiang ruangan. Sudah tentu tindakan itu akan memakan waktu yang
sangat lama. Maka Wuning Sari turun kembali me-
nyambar tubuh Riwang.
Tindakan Wuning Sari pun terlambat. Belasan
prajurit sudah terlanjur melewati pintu bangunan yang terbuka lebar. Mereka pun
sempat melihat mereka
berdua. Dan hampir tidak percaya adanya Riwang di
dalam ruangan itu. Maka...
"Itu Riwang...! Cepat tangkap! Juga perempuan itu!" Mereka serempak memburu
Riwang yang gelaga-
pan. Belasan pengawal Dwipa Kuntar memenuhi ruan-
gan itu mengelilingi Riwang dan Wuning Sari.
"Bocah sial! Kau telah menyusahkan kami. Se-
baiknya kau kupenggal sekarang!" Prajurit-prajurit itu mulai maju, Wuning Sari
melindungi posisi Riwang.
* * * 9 Tiba-tiba saja bagian atas ruangan berderak.
Bersamaan dengan itu pula dua puluh orang yang bersembunyi di atas berloncatan
ke bawah. Para prajurit yang berdiri di bawahnya terkejut setengah mati. Ta-hu-
tahu saja mereka telah terkepung. Malah gerakan mereka lebih cepat. Tanpa adanya
perintah lagi orang-orang itu menyerang para prajurit.
Wuning Sari yang berada di tengah-tengah ke-
pungan itu langsung melepaskan babatan pedang. Prajurit yang berada di depannya
terlempar dengan dada yang bersimbah darah. Dan ketika ia membabat untuk yang
kedua kalinya, dua orang ambruk kelojotan.
Rekan-rekannya yang lain sibuk pula mengha-
dapi para prajurit itu. Denting beradunya senjata mereka nyaring. Begitu juga
dengan suara jerit kesakitan yang panjang menyayat. Selalu beriringan dengan
jatuhnya para korban dari kedua belah pihak.
Riwang mundur gemetar. Diam-diam ia mencari
tempat persembunyian. Ia paling takut melihat per-
tempuran. Dalam keadaan seperti itu mana mungkin
para prajurit Dwipa Kuntar dapat mengawasi Riwang.
Wuning Sari sendiri mengira Riwang tengah terlibat pertempuran.
"Pemberontak-pemberontak keparat! Berani ka-
lian terhadap pasukan pengawal Dwipa Kuntar?" Ada juga seorang prajurit yang
gigih melancarkan serangan. Lela Warni memang tengah menghadapinya.
"Mulutmu terlalu busuk! Siapa yang takut ter-
hadap Dwipa Kuntar...!" bantah Lela Warni, pedangnya berkelebat menyambut
serangan. Menimbulkan benturan yang sangat keras.
"Adik Lela Warni, jangan bertele-tele mengha-
dapi mereka. Pancung saja lehernya!" perintah Wuning Sari yang saat itu sudah
menjatuhkan lima orang lawan. Mendengar itu pun Lela Warni memutar pedang-
nya kuat-kuat, maka...
"Craaak!"
Sebuah kepala menggelinding lalu terinjak-
injak di bawah kaki pertempuran.
"Teman-teman...! Lawan kita sudah berkurang
banyak, jangan beri kesempatan mereka melarikan di-ri...!" Sambil berteriak
begitu Wuning Sari terus menggempur para prajurit yang ada di hadapannya.
"Hantam terus...!" Lela Warni makin bersemangat. Kurang lebih sudah enam orang
yang dibikin tewas. Entah sudah berapa orang yang telah bergelim-
pangan tanpa nyawa di ruangan itu. Belum lagi yang terluka. Baik dari kedua
belah pihak yang tengah terluka itu, mereka tetap melancarkan serangan. Dan
ternyata para pengawal Dwipa Kuntar betul-betul porak poranda. Satu demi satu
sampai pada yang terakhir, tewas mengerikan.
Setelah Wuning Sari membabat ke arah leher
lawan terakhirnya, ternyata Lela Warni datang pula merobek bagian perut. Bahkan
ditambah lagi dengan
sebuah tendangan. Tubuh itu terlempar dengan nyawa terputus. Setelah berdegumnya
tubuh itu di lantai
ruangan, tempat itu kembali sunyi. Pertempuran telah usai. Para pengawal Dwipa
Kuntar tewas semua tanpa
sisa. Kelompok Riwang nampak membantu bangkit re-
kan-rekan yang terluka. Saat itu Riwang baru menampakkan diri.
"Tiga orang teman kita tewas, Wuning Sari...
Yang luka enam orang." lapor orang-orang itu. Wuning Sari menatapi para korban,
lalu... "Obati yang luka-luka, yang tewas biarkan saja di sini. Kita tidak punya waktu
banyak. Secepatnya ki-ta harus meninggalkan tempat ini. Karena Dwipa Kuntar
telah mencium markas kita."
"Kenapa harus menunggu waktu berlarut-larut.
Kita jalankan saja rencana semula!" sela Lela Warni.
"Membidik Matahari?" Wuning Sari mengeluarkan kata sandi.
"Ya!"
Wuning Sari menatap teman-temannya yang
terluka tengah diberi pengobatan. Syukurlah luka-luka mereka tidak begitu berat.
Riwang juga tengah memeriksa keadaan mereka. Lalu gadis itu melangkah ke arah
Riwang. Lela Warni mengikutinya.
"Ketua Riwang, mohon diberi petunjuk. Di ma-
nakah kami bisa menemukan Dwipa Kuntar?" Wuning Sari menegur. Riwang menoleh.
"Betul, Ketua Riwang, sebentar lagi pasti pasukan Dwipa Kuntar berdatangan ke
mari. Daripada kita diserang, lebih baik menyerang lebih dulu." timpal Lela
Warni. "Ya...! Kami sudah siap menghadapi mereka!"
jawab orang-orang yang berada di situ serempak. Bahkan orang-orang yang terluka
itu ikut menyahut.
"Kami sudah terlanjur luka, Ketua Riwang. Le-
bih baik mati dalam menghadapi setan keparat Dwipa Kuntar."
Riwang tidak segera menjawab. Sebenarnya ia
merasa khawatir terhadap mereka. Riwang tahu sendi-
ri kalau Dwipa Kuntar mempunyai dua orang tukang
pukul yang berilmu tinggi. Dengan kedua orang itu pu-la Dwipa Kuntar semakin
berkuasa dan tak terkalah-
kan. Namun karena dorongan yang sangat mendesak,
Riwang terpaksa buka suara....
"Baik, aku yang tidak memiliki ilmu secuil pun akan turut bersama kalian.
Bersiap-siaplah. Kita akan menuju 'Penjara Maut..."
"Penjara Maut?" Wuning Sari dan Lela Warni terkejut.
"Pantas kita selalu gagal mencari Dwipa Kun-
tar. Si keparat itu rupanya bersembunyi di sana!" gerutu Lela Warni.
"Kalau begitu kita segera berpencar. Biar Ketua Riwang bersamaku. Lela Warni,
harap memimpin yang
lain. Jangan terlalu bergerombol. Hal itu akan mencurigakan."
Meski agak cemberut, Lela Warni menuruti pe-
rintah kakaknya. Langkahnya menuju ke luar lebih
dulu. "Siapa yang mau ikut bersamaku, silahkan...!"
Nada bicaranya begitu kesal. Tanpa diperintah lagi tiga orang temannya datang
mengikuti Lela Warni.
* * * Ki Balung tersenyum lebar saat ia menarik ja-
lanya untuk yang keempat kali. Puluhan ikan meron-
ta-ronta berkecipak dalam jalanya. Ia hampir tidak sanggup menarik. Manakala
ombak laut demikian besar menerpa. Lengannya yang legam memunguti satu
demi satu ikan-ikan itu. Sampai-sampai tempat ikannya yang tergantung di
pinggangnya penuh sarat.
Ikan-ikan yang masih berkecipak dalam jalanya
tidak mungkin akan tertampung. Ki Balung sengaja
menyeret jalanya ke pantai. Bermaksud akan member-
sihkan jalanya dari ikan. Saat itu ia mendengar derap kaki kuda yang menderu-
deru. Dari tempat ia berdiri Ki Balung sudah melihat
kepulan debu yang bergulung-gulung memenuhi tanah
berpasir. Belasan kuda serta para penunggangnya
yang berpakaian prajurit nampak menghela kuda-
kudanya demikian cepat. Ki Balung mengernyitkan alis menatap pasukan itu yang
makin lama makin dekat.
Dia sudah tahu maksud kedatangan para pra-
jurit itu. Maka ia bersikap pura-pura tidak tahu.
Meskipun tangannya gemetar memunguti ikan-ikan
dari jalanya. Jantungnya hampir copot saat kuda-kuda itu berhenti


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengelilinginya.
"Kakek Kriput! Kami tengah mencari seorang
buruan bernama Riwang. Apakah kau melihatnya?" tegur salah seorang prajurit itu.
Ki Balung tidak berani menatap. Dengan geme-
tar ia tetap menunduk.
"Kakek peyot! Apakah kau tuli!" bentak yang lain tidak sabaran. Kali ini Ki
Balung mengangkat wajahnya menatap mereka. Dilihatnya belasan prajurit berwajah
garang. Ki Balung makin menggigil.
"A-a-aku... ti-tit-tidak tahu... Betul-betul tidak tahu." jawab Ki Balung gugup.
Matanya memandang ke arah gubuk. Ia khawatir sebab Mayang putrinya ada di sana.
Dia pun tahu pula kalau mereka adalah para pengawal Dwipa Kuntar. Tiba-tiba
saja... "Plak!" Salah seorang dari mereka menampar dengan telapak kaki.
Kontan Ki Balung bergulingan.
"Kau tidak jujur, Kakek busuk! Seret dia! Bawa ke gubuknya dan periksa!" Para
penunggang kuda itu turun, mereka langsung menyeret Ki Balung. Ikan-ikan
tangkapannya berantakan menggelepar-gelepar di pa-
sir. "Aku sungguh-sungguh tidak tahu... Aduuuh!
Ampun!" Mereka langsung mendobrak pintu gubuk.
Mayang yang berada di dalam tengah menanak nasi
mendadak terkejut. Ia hampir tidak percaya gubuknya telah penuh dengan para
prajurit. Tiba-tiba pula dari kerumunan itu mencelat tu-
buh Ki Balung ke hadapan Mayang. Sudah tentu
Mayang jadi kalang abut memburunya. Para prajurit
itu hanya menyeringai menatap mereka.
"Geledah seluruh ruangan ini, cepat!" Mereka menghambur memasuki tiap-tiap
ruangan dalam gubuk itu. "Kalian mencari apa?" bentak Mayang. Tapi Mayang
mendapat jawaban yang tak terduga. Seorang
prajurit yang paling menyeramkan datang menghampi-
ri Mayang. Gadis itu tersentak, tahu-tahu saja rambutnya yang panjang dijambak.
"Tentunya gadis ini putri mu, Ki. He-he-he-he...
Sangat cantik. Disayangkan pula hidup terpencil seperti ini...." Wajah bringas
itu mendekat ke wajah Mayang. Gadis itu berontak.
"Lepaskan dia! Dia tidak tahu apa-apa...!" teriak Ki Balung. Namun sebuah
tamparan mendarat lagi di
pipinya. Ki Balung meringis. Lalu diam bergetar menatap seorang prajurit
menghunuskan pedang ke arah Ki Balung. "Kau lihat apa yang kupegang ini, Ki..."
Sekarang kau tidak mungkin berdusta lagi." Orang yang menghunuskan pedang itu
menunjukkan sesuatu pa-da Ki Balung. Laki-laki setengah tua itu membelalakkan
mata. "Pakaian bekas ini masih teramat bagus. Ra-
sanya tidak mungkin kalau pakaian ini milikmu. Bekas
apa pula bercak-bercak darah yang melekat di baju
ini?" "Ayah...!" pekik Mayang sambil berlari, tapi langkahnya segera terhenti
karena salah seorang prajurit menahan tubuhnya dan langsung memeluk erat-
erat. Datang lagi beberapa orang ikut memegangi
Mayang yang meronta-ronta.
"Dia sudah pergi...! Dia sudah tidak ada di si-ni...!" teriak Mayang. Orang-
orang itu makin kuat me-rejang. "Mayang kau bicara apa!" Ki Balung membentak.
Namun mendadak kedua mata membelalak. Kare-
na sebilah pedang telah menembus di perutnya.
"Ayah...!" Para prajurit sengaja melepaskan Mayang. Mereka menatap gadis itu
meratapi Ki Balung. Sebentar kemudian mereka menarik kembali
Mayang. Gadis itu menjadi bulan-bulanan belasan prajurit. Tawa mereka
menggelegak memenuhi ruangan
gubuk. Mereka mulai mempreteli pakaian Mayang.
Mencabik-cabik secara bergantian. Sampai polos
membugil. Pemandangan seperti itu terlihat jelas oleh Ki
Balung yang mengeluarkan nafas terputus-putus.
"Kalian laknat...! Binatang...!" teriaknya. Darah sudah mengalir dari perut.
Kedua bola matanya seperti hendak keluar menatap anaknya yang bugil meronta-
ronta dari tangan ke tangan.
"Sebelum kau mampus katakan ke mana Ri-
wang?" Mereka berhenti mempermainkan Mayang yang sekarang sudah terbaring di
tanah menangis. Bibir Ki Balung bergetar. Tiba-tiba saja ia meludahi muka
orang yang bicara tadi. Tanpa membalas orang itu berbalik melangkah mendekati
Mayang. Para prajurit
lainnya diam membisu. Mendadak saja orang itu me-
narik ke atas tubuh Mayang. Menghadapkan pada
sang ayah yang sudah sekarat. Gadis itu menggeliat-geliat lemas. Di hadapan Ki
Balung pula orang itu
menjilati seluruh tubuh bugil Mayang.
Dengan mengerahkan tenaganya Ki Balung be-
rusaha bangkit. Langkah-langkah yang gontai mener-
jang ke arah orang yang melumat habis anaknya. Na-
mun seleret sinar putih menebas lehernya lebih dulu.
Kepala Ki Balung yang kuntung melayang ke luar di-
iringi dengan tawa mereka yang mengakak. Dari leher Ki Balung mengucur deras
darah bagai air mancur.
Buntungan kepala itu jatuh tepat di pangkuan
Wintara yang kebetulan melewati gubuk itu. Kudanya sengaja dihentikan di muka
gubuk. Tanpa merasa jijik ia memegangi kepala Ki Balung sambil turun dari atas
pelana. Dari pintu yang terkuak lebar itu, Wintara bisa melihat seorang gadis
membugil meronta-ronta di bawah rejangan belasan orang laki-laki.
* * * 10 "Hentikan pesta kecil ini, pasukan-pasukan rakus!" Suara Wintara mengejutkan
orang-orang yang berada di dalam gubuk. Semuanya menoleh ke arah
suara. Maka mereka melihat sosok Wintara berdiri di tengah-tengah pintu
memegangi kutungan kepala.
"Oh, kiranya ada seorang anjing pengusik yang mengantarkan nyawa! Masuklah
kemari, kami memang tengah haus membunuh." jawab orang yang sedang menindih
tubuh bugil Mayang.
"Aku bukan saja anjing pengusik, Sobat... Tapi juga anjing yang galak. Apalagi
terhadap cecurut-cecurut tengik macam kalian!" jawab Wintara tenang.
Ia meletakkan kutungan kepala Ki Balung pada leher yang masih mengalirkan darah
di tanah. "Bangsat! Cincang dia...!" Belasan prajurit itu menarik gagang pedang. Semuanya
menghunus ke arah Wintara. "Aku harap kalian bisa melakukannya. Karena
selama ini belum ada yang bisa membunuhku, padah-
al aku sendiri sudah bosan hidup." Bicara Wintara mengejek. Dia malah melangkah
mendekat. Mendengar
ucapannya para prajurit Dwipa Kuntar garang mele-
paskan babatan pedang.
Orang yang paling dulu melepaskan sabetan
pedang itu mendadak terjungkal. Dan menimpa bebe-
rapa orang di belakangnya. Ternyata Wintara lebih du-lu melancarkan tendangan.
Setelah itu pun Wintara
tertawa mengekeh. Orang-orang itu cepat bangkit lalu menyerang lagi. Babatan-
babatan pedang berseliweran bagai leretan-leretan sinar putih mengarah deras
pada Wintara. Kedua mata Wintara yang selalu awas dapat
melihat leretan-leretan sinar putih yang bakal menggores di tubuhnya, maka
sebuah babatan-babatan pe-
dang melesat, Wintara menyambutnya dengan hanta-
man maupun tendangan.
"Bagaimana kalian bisa mencincang diri ku,
menggunakan pedang saja kalian tidak becus!" Sambil berkata begitu ia merunduk
menghindari dua babatan pedang, lalu dalam keadaan merunduk itu Wintara
mendorong kedua telapak tangannya ke depan, ma-
ka... "Bleder!"
Dua prajurit itu terlempar beberapa meter tak
berkutik. Menghadapi mereka dalam ruangan gubuk itu
Wintara merasa sedikit kewalahan. Setiap sambaran
pedang hampir saja mengenainya. Untunglah Wintara
cukup gesit dan tangguh. Ia bisa berkelit menghindari setiap sambaran pedang.
Ingin sekali Wintara memancing agar mereka segera keluar dari gubuk. Tapi
nampaknya para prajurit itu tidak memberi kesempatan. Mereka telah menutup semua
jalan keluar. Mayang yang masih berada di sudut ruangan
berdiri ketakutan melihat sambaran-sambaran pedang nyaris memenggal kepala
Wintara. Bagaimana tidak"
Wintara yang hanya seorang diri dan tanpa menggu-
nakan senjata, terpaksa menghadapi belasan orang
prajurit yang sudah terlatih. Sekalipun Mayang tahu kalau pemuda yang satu ini
berilmu sangat tinggi...
Tidak henti-hentinya ia mendengar suara yang
membledar menghantam jatuh satu demi satu para
prajurit itu. Ditambah lagi dengan teriakan semangat Wintara. Membuat ruangan
itu jadi makin gaduh. Yang nampak dari luar hanyalah para prajurit yang
terlempar dari pintu maupun jendela. Di dalamnya Wintara sibuk melancarkan
serangan-serangan.
Dua telapak tangannya terus berputar meng-
hantami setiap prajurit yang datang menyerbu. Selama menghadapi mereka Wintara
tidak berkedip sedikit
pun. Sambaran pedang yang berjumlah belasan itu betul-betul merencahnya dari
segala arah. Bahkan Wintara tidak dapat menyelamatkan selembar rambutnya
yang putus terbabat.
"Gila! Kalian hampir saja mengupas batok ke-
palaku!" Wintara mundur selangkah.
"Itu baru beberapa lembar rambutmu, Anjing
buduk! Sebentar lagi tubuhmu yang bakal hancur berkeping-keping." Penyerang itu
melancarkan babatan pedang membabi buta. Sedangkan dari belakang penyerang-
penyerang lain membokong. Merasa tidak
sempat menyambut, Wintara melesat ke atas. Tubuh-
nya menerobos atap jerami.
"Kejar dia. Cepat...!" Dengan garang mereka berlari ke luar. Wintara sudah
berdiri di atas atap. Dia menatap ke bawah pada atap jerami. Mayang masih
menangisi jasad Ki Balung.
"Nona... cepatlah berpakaian. Tidak baik mem-
bugil terus dalam keadaan demikian."
Baru sadar kalau keadaan Mayang telanjang
bulat. Seperti bangun dari mimpi, gadis itu langsung menutupi dada serta
auratnya dengan kedua tangannya. Lalu ia menyambar selembar pakaian yang meng-
geletak di tanah. Pakaian bekas Rawing memang agak koyak tapi masih bisa
dikenakan. Di bagian dadanya agak terbuka, menampakkan buah dada yang ranum
menonjol ke depan dan hampir keluar. Sementara itu Wintara tetap di atas atap
memandangi para prajurit yang menghambur ke luar. Beberapa orang di antaranya
mulai berusaha naik. Dengan demikian Wintara lebih mudah melancarkan serangan.
Belum sempat mereka mendekati, Wintara su-
dah menjemput lebih dulu. Tentu saja dengan sambu-
tan sebuah tendangan. Maka dengan sekali tendang,
lima orang jatuh sekaligus. Kelimanya jatuh menggelinding lalu membentur
permukaan tanah. Tidak satu pun dari kelima orang itu dapat bangkit lagi, karena
tulang leher mereka patah semua.
Sudah tentu yang lainnya makin murka. Mere-
kapun mulai naik dari segala sudut. Tapi secepat itu pula Wintara terjun ke
bawah. Selama tubuhnya melesat ke bawah sebelah telapak tangannya menghantami
tiga orang yang hampir mencapai atap. Maka tidak
ampun lagi ketiganya celentang ke tanah dengan me-
nyemburkan darah.
Wintara sendiri berjumpalitan, lalu hinggap di
tanah tanpa bersuara. Karuan saja semua orang yang
sudah berada di atas atap itu berlompatan turun. Namun belum sampai orang-orang
itu menginjakkan ka-
kinya ke tanah, Wintara sudah menyambut mereka.
Kali ini Wintara menghantam lebih keras. Hantaman-
hantamannya meremukkan dada semua lawannya.
Kuda-kuda tunggangan mereka meringkik-
ringkik. Kuda-kuda itu hampir memenuhi pelataran
gubuk. Hanya kuda Wintara yang nampak tenang ber-
diri. Nampaknya kuda itu melihat banyak kehebatan
tuannya. Tidak jarang pula ia selalu menghindar dari timbunan para prajurit yang
berjatuhan ke bawah.
Saat itu Wintara masih menghadapi enam
orang prajurit. Keenamnya itu pula telah mengurungnya. Namun Wintara tidak
gentar sedikit pun. Leretan-leretan sinar yang menyambar ke arahnya dengan mu-
dah dihindari. Tiga orang yang berada di hadapannya gencar membabatkan pedang.
Babatan-babatan pedang itu mengarah pada
bagian perut dan dada. Secepatnya pula Wintara salto ke belakang berkali-kali.
Dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, Wintara sudah berada di pantai.
Ketika ketiga orang itu maju lagi, Pendekar Ke-
lana Sakti ini menyambut dengan hantaman lengan-
nya... "Bug!"
Tubuh serta pedangnya langsung ambruk tersi-
rat ombak. Dua orang lagi maju. Terjangannya bagai orang kesetanan. Babatan
pedang mereka berkelebat
cepat. Dengan tenang Wintara melancarkan tendangan memutar...
"Des...! Des!"
Kontan keduanya ngusruk mencium air laut.
Salah seorang dari mereka bangkit. tapi... "Der!"
Tendangan Wintara kali ini membuat orang itu
mencelat tidak kepalang tanggung. Tahu-tahu saja tu-
buh itu telah mengambang di permukaan laut terom-
bang ambing ombak.
Tiga orang lagi yang berada dekat gubuk lang-
sung melompat ke atas kuda mereka. Dan melarikan
diri. "Kau akan menerima akibatnya, Pemuda keparat...! Dwipa Kuntar pasti
memancung kepalamu!!!" teriaknya. Mereka melarikan kuda secepat mungkin.
Wintara berlari menyusul...
"Kalau begitu Dwipa Kuntar sama bejadnya
dengan kalian!" teriak Wintara. Tubuhnya melesat deras dan mendadak saja sudah
berada di atas pelana
kudanya. "Kalian sudah menganiaya orang dan bermak-
sud memperkosa seorang gadis, sekarang hendak
mengadu pula pada Dwipa Kuntar. Siapa sebenarnya
Dwipa Kuntar itu?" gerutu Wintara dalam hati. Ketika ia hendak memacu kudanya,
Mayang keluar dari gubuk. Ia sudah tidak membugil lagi.
Pakaian bekas Rawing dikenakannya, meski-
pun telah ternoda dengan bercak-bercak darah men-
gering. Mayang berdiri di muka pintu menatap Winta-ra, sedangkan Wintara merasa
risih. Karena bagian
dada gadis itu masih terbuka lebar menampak jelas.
"Mereka telah membunuh ayahku. Aku harus
memberitahukan pada sri baginda...."
"Sepertinya mereka para prajurit gadungan. Tidak mungkin mereka akan bertindak
seperti ini kalau mereka betul-betul pengawal kerajaan." ujar Wintara.
"Mereka orang-orang suruhan Dwipa Kuntar.
Beliau seorang panglima yang tidak disukai rakyat.
Aku juga sudah mendengar kalau Tanah Genang
Banyu telah berubah menjadi neraka setelah Dwipa
Kuntar menguasainya." Mayang mendekati salah satu kuda yang ada di muka
gubuknya.

Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wintara yang mendengar penuturan Mayang
jadi berpikir. Ia teringat akan rencana kelompok Riwang yang akan menghadapi
Dwipa Kuntar. Kalau be-
gitu jelaslah baginya sekarang. Mereka bukan seke-
lompok orang-orang senewen. Tapi....
"Hey, Nona... Kau hendak ke mana?" tegur Wintara. Mayang sudah melarikan
kudanya. Wintara berusaha mengimbangi.
"Sudah kukatakan, Dwipa Kuntar tidak bisa di-
diamkan. Sekarang juga aku akan menghadap sri ba-
ginda untuk melaporkan ulahnya." jawab Mayang tanpa menoleh. Wintara dapat
melihat air mata gadis itu telah membasahi di kedua belah pipinya.
"Tindakanmu sangat tepat, Nona. Biarlah aku
mengejar sisa prajurit itu." Wintara membelokkan arah kudanya. Ia masih dapat
melihat ke mana tiga orang prajurit yang melarikan diri. Kepulan debu bekas
derap kaki kuda masih nampak dari kejauhan. Wintara
memacu kudanya mengejar mereka.
* * * Penjara maut berdiri tegak menyeramkan. Din-
gin bagai sebongkah balok es. Sekeliling penjara nampak air kolam beriak,
sesekali pula berloncatan ikan-ikan berwarna keperakan di permukaan air. Jumlah-
nya hampir tidak dapat dihitung. Mungkin juga jutaan.
Setiap kali mereka melompat nampak gigi-gigi yang
berderet runcing bagai mata gergaji.
Rawing tetap memegangi tawanannya mengha-
dap ke arah penjara di sebrang kolam. Tawanannya
hampir tidak dapat berdiri, setiap kali Rawing mengangkat ke atas selalu jatuh
lagi. Keadaannya memang telah parah. Sebelah tangan serta telinganya telah sa-
pat. Darah pun terus menetes. Sepanjang bekal jalan mereka telah penuh dengan
tetesan-tetesan darah.
Rawing menatap geram ke arah penjara itu. Dadanya
bergemuruh. "Tunjukkan di mana jalan menuju ke sana!"
bentak Rawing. Tangannya menghantam punggung
orang itu. Hampir saja orang itu tersungkur masuk ke dalam kolam.
"Dari sini tidak ada jalan, kecuali... Kecuali..."
jawabnya gugup. Ia membiarkan tubuhnya tetap lusuh di pinggir kolam.
"Kecuali apa!" Rawing seperti tidak sabar.
"Kecuali orang-orang di dalam sana yang mem-
bukakan jalan."
Rawing menatap pintu penjara yang tingginya
melebihi sepuluh meter. Dia sudah menduga kalau
pintu itu berfungsi juga sebagai jembatan penyeberangan. Sebenarnya dengan
mengandalkan ilmu peringan
tubuh Rawing bisa menyebranginya, tapi di depan sa-na tidak ada tempat untuk
hinggap. Karena seluruh
dinding berdiri rata dan licin. Dia juga tidak gegabah terhadap kolam yang
mengelilingi penjara itu. Lebar kolam yang cuma sepuluh meter itu tidak ada
artinya. Pastilah ada yang tersembunyi di balik permukaan air.
Sementara itu di balik tembok penjara berdiri
tiga orang berpakaian gemerlapan. Mereka tidak lain Dwipa Kuntar, Sawung
Blambang dan Pragola. Mereka
sudah mengetahui kedatangan Rawing ke tempat itu,
karena mereka dapat melihat jelas dari balik jendela.
* * * 11 Para pengawal yang ada di situ hanya beberapa
orang. Berdiri siaga mengawal ketiga orang yang tetap menghadap ke luar dari
balik jendela. Dwipa Kuntar nampak tersenyum.
"Tikus dungu itu berani datang lagi ke sini. Kalau tahu begini aku tak akan
mengutus semua anak
buahku untuk mencarinya." ujar Dwipa Kuntar. Sawung Blambang dan Pragola hanya
tertawa mengekeh.
Mereka mengira orang yang berdiri di muka penjara
adalah Riwang. "Dia sudah bosan hidup. Lempar saja ke dalam
kolam." sahut Pragola. Tanpa basa-basi lagi Dwipa Kuntar memberi aba-aba pada
para pengawalnya untuk segera membuka jembatan. Maka dua orang me-
langkah ke balik pintu. Salah seorang dari mereka menarik tuas. Maka pintu
penjara berderak membuka.
Rawing yang berada di sebrang kolam sudah
menduga kedatangannya itu sudah diketahui. Pintu
yang merebah di hadapannya semakin merendah
membentuk sebuah jembatan. Dwipa Kuntar bersama
dua orang andalannya berdiri di tengah-tengah pintu penjara. Ketiganya menatap
Rawing. "Bagus, Riwang! Kau memang harus mampus
di sini. Nah pintu sudah terbuka. Kau bisa berjalan ke mari?" sapa Dwipa Kuntar.
Pragola dan Sawung Blambang tidak henti menatap. Merasa dipanggil Riwang,
tahulah Rawing bahwa Riwang saudara kembarnya
masih hidup. Ia berpura-pura pula berperan sebagai Riwang. Tanpa memperdulikan
tawanannya Rawing melangkah maju. Setiap gerakan langkahnya nampak te-
gang. Sementara itu ketiga orang yang menunggu di
tengah-tengah pintu nampak tenang-tenang saja.
"Aku seperti ling lung, Dwipa Kuntar. Seper-
tinya aku tidak pernah datang ke sini." jawab Rawing
sambil melangkah terus. Dia sudah berada di perten-gahan jembatan.
"Biasanya perasaan orang yang hampir mam-
pus memang begitu, Riwang. Kau tak perlu merasa
aneh." Dwipa Kuntar bicara angkuh.
Tanpa sepengetahuan Riwang, tawanan yang
ditinggalkan di tepi kolam mengikuti langkah-langkah Rawing. Meskipun ia telah
kehilangan sebelah lengannya, orang itu menerjang bagai seekor kerbau. Ia
bermaksud akan mendorong Rawing ke dalam kolam, Tapi
Rawing adalah Rawing. Bukan pula Riwang. Terjangan itu dapat dirasakannya
walaupun Rawing tidak menoleh ke belakang.
Secepat itu pula ia berbalik sambil menghem-
paskan kedua lengannya...
"Bug!"
Sambil memekik nyaring pembokong itu terje-
rumus ke dalam kolam. Namun jeritannya segera le-
nyap. Rawing sendiri dapat melihat tubuh penyerangnya digerogoti oleh jutaan
ikan-ikan pemakan daging.
Dalam waktu sekejap saja telah berubah menjadi tulang-tulang kerangka. Kembali
Rawing menatap Dwipa Kuntar. Melihat gerakan Rawing, barulah Dwipa Kuntar sadar
kalau pemuda yang tengah menuju ke arahnya
bukanlah Riwang. Kalau Riwang, tentunya tidak bisa menghindari serangan itu. Dan
juga tidak mungkin datang ke situ seorang diri. Dwipa Kuntar tersenyum sinis.
Diam-diam ia menarik kembali tuas pengendali
jembatan. Maka pintu yang merebah itu berderit bergerak ke atas. Rawing yang
berdiri di atasnya terkejut setengah mati, Tanpa diduga pula Pragola dan Sawung
Blambang maju menyerang. Rawing yang sudah kepa-
lang berada di tengah-tengah jembatan terpaksa
menghadapi kedua orang itu. Rawing dapat menghin-
dari serangan Pragola. Namun menghadapi serangan
Sawung Blambang ia amat terkejut. Meskipun ia dapat menangkis, namun tenaga yang
dilancarkan Sawung
Blambang begitu keras. Sehingga tepat masuk meng-
hantam dadanya.
Dua kali berturut-turut Rawing menerima han-
taman dari Sawung Blambang tanpa terhindar. Mana-
kala jembatan semakin berdiri vertikal menjorok cu-ram. Saat Pragola melepaskan
tendangan, Rawing
memekik. Tubuhnya terlontar ke samping. Tak ampun
lagi Rawing jatuh ke bawah di mana jutaan ikan-ikan pemakan daging menanti
dengan lapar. Namun sebelum tubuh Rawing menyentuh
permukaan air, terasa lengan-lengan kekar datang
menyambar. Rawing tidak sempat siapa yang telah
menyelamatkannya. Tahu-tahu saja mereka sudah be-
rada di atas jembatan yang tetap bergerak menutup
pintu penjara. Pragola maupun Sawung Blambang amat terke-
jut melihat kemunculan seorang pemuda mengenakan
baju binatang. Kehebatannya dalam menyelamatkan
Rawing amat mengagumkan. Di atas jembatan yang
nyaris tertutup seperti itu pun sempat berdiri tegak.
Pemuda itu melompat masuk bersama Rawing
saat pintu penjara menutup rapat. Di bawahnya Prago-la dan Sawung Blambang
menyambut dengan seran-
gan-serangan. Dwipa Kuntar memberi aba-aba agar
para pengawalnya ikut menyerang. Maka berhamburan
para pengawal bersenjata pedang mengepung. Melihat itu Rawing langsung
menghadapi para prajurit itu.
"Riwang! Kenapa bertindak sendiri" Mana yang
lain?" Suara Wintara agak keras. Karena ia sendiri tengah menghadapi dua orang
andalan Dwipa Kuntar.
Saat itu ia merunduk menghindari sebuah tinju yang nyaris memecahkan kepalanya.
"Aku bukan Riwang! Tapi...." Rawing tidak melanjutkan ucapannya. Karena seleret
sabetan pedang datang begitu cepat. Namun saat itu pula Rawing sempat melepaskan
hantaman keras. Orang itu sampai
mencelat jatuh. Tanpa sengaja pula tubuh yang ter-
lempar itu menancap tembus pada tuas pengendali
pintu. Maka terdengar suara derakan dari pintu yang mulai membuka lagi.
"Aku Rawing, saudara kembar Riwang. Di mana
adikku?" lanjut Rawing setelah menjatuhkan seorang lawan lagi. Langkah-
langkahnya gencar melabrak tiap-tiap prajurit. Karena yang ditujunya adalah
Dwipa Kuntar, Laki-laki setengah tua itu telah bersiap-siap dengan pedangnya.
Nampaknya ia pun tidak gentar
melihat Rawing menuju ke arahnya sambil melancar-
kan serangan yang menjatuhkan beberapa pengawal-
nya. "Apa" Ucapanmu tidak jelas!" teriak Wintara.
Suasana di ruangan itu memang gaduh. Lagi pula Wintara agak repot menghadapi dua
orang lawannya itu.
Pragola maupun Sawung Blambang tergolong orang
yang berilmu tingkat tinggi. Wintara nyaris jadi bulan-bulanan mereka. Setiap
serangan balasan Wintara tidak berarti apa-apa bagi mereka.
"Aku Rawing! Riwang saudara kembar ku!" Suara Rawing lebih keras.
Dwipa Kuntar malah maju. Babatan pedangnya
tidak tanggung-tanggung diarahkan pada Rawing. Se-
belum Rawing mendekat, ia menyambar pedang dari
salah satu lawannya yang berhasil dibuat jatuh klenger. Dengan pedang itu ia
menangkis sambaran pe-
dang Dwipa Kuntar.
"Bangsat kau Rawing! Aku pikir sudah jadi
bangkai di laut sana!" sergah Dwipa Kuntar. Serangannya dilipatgandakan.
"Aku memang setannya, Kunyuk Dwipa Kuntar.
Datang ke mari justru akan menuntut atas perbua-
tanmu!" jawab Rawing. Ia menangkis lagi. Benturan senjata mereka berdenting
sampai memercikkan api.
Para pengawal yang lain tidak berani maju. Juga tidak berani melancarkan
serangan, karena saat itu Dwipa Kuntar tengah bergelut dengan Rawing. Sama-sama
gigih, karena dalam kepandaian ilmu pedang mereka
sangat berimbang.
Di lain pihak, Wintara harus berjumpalitan se-
tengah mati menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pragola dan Sawung
Blambang. Telah bebe-
rapa kali Wintara membalas serangan-serangan itu
dengan melepaskan 'Pukulan Hawa Dingin', namun
kedua lawannya itu selalu dapat mengelak. Bahkan ketika hantaman mereka beradu,
benturan tenaga dalam mereka menimbulkan bunyi yang membledar.
Ketiganya berpentalan ke arah yang berlawa-
nan. Malang bagi Wintara, tubuhnya terus keluar dan harus jatuh bergulingan di
atas jembatan yang telah terbuka itu. Tak dapat dihindarinya pula ketika
tubuhnya tergelincir ke bawah. Namun dengan cepat pu-la ia berpegangan dengan
sebelah lengan. Kalau tidak, mungkin sudah menjadi sasaran ikan-ikan pemakan
bangkai. Melihat itu Pragola maupun Sawung Blambang
meluruk keluar. Sawung Blambang sengit melancar-
kan serangan terhadap Wintara yang tergantung pada tepian jembatan.
Saat itu pula di sebrang kolam berdatangan be-
lasan orang menunggangi kuda. Mereka rombongan
Lela Warni bersama pasukannya, Dari atas pelana ku-da gadis itu langsung melesat
bagai anak panah. Hantamannya mendorong keras Sawung Blambang. Men-
dapat bantuan seperti itu Wintara salto ke atas lalu
hinggap di atas jembatan itu lagi.
"Wintara, kalau saja kau akan bertindak seperti ini, kenapa tidak bergabung
dengan kami. Bertindak sendirian hanya mengantar nyawa." Lela Warni meng-halau
kedua penyerang Wintara dengan pedang, te-
man-temannya sudah turun dari kuda dan mulai me-
nyerbu. "Hati-hatilah terhadap dua anjing gudik itu, Le-la Warni... Pukulan
tenaga dalamnya sangat hebat."
Wintara berjumpalitan di udara, lalu hinggap di samping Lela Warni langsung
melancarkan serangan.
"Mana anjing Dwipa Kuntar itu! Suruh dia ke-
luar menghadapi kami!" bentak Lela Warni sambil melepaskan sambaran pedang pada
Pragola. Namun ia
sangat terkejut, karena mendadak saja sebuah hantaman menggedor perutnya....
"Der!"
Pedang serta tubuhnya terlempar dan bergulir
jatuh ke arah kolam.
Melihat itu, Wintara yang tadi menghadapi Sa-
wung Blambang cepat berbalik. Saat itu pula Sawung Blambang melepaskan
hantamannya. Wintara terdo-rong maju. Dari mulutnya menyembur darah.
* * * 12 Meskipun telah mendapatkan hantaman yang
sangat keras dari Sawung Blambang, Wintara tetap
melanjutkan niatnya. Dalam gerakan yang sangat lambat kita dapat melihat
bagaimana Wintara menyela-
matkan Lela Warni. Bagaikan seekor rajawali Wintara
menyambar tubuh ramping yang hampir masuk ke da-
lam permukaan air kolam.
Lalu keduanya hinggap di atas jembatan tanpa
mengeluarkan suara. Kembali Wintara menyemburkan
darah lagi. Ketika Lela Warni hendak maju lagi, Wintara merentangkan sebelah
lengan menghalangi- langkah Lela Warni.
"Menyingkirlah dari sini, Lela Warni. Mereka
bukan tandingan mu. Menyingkirlah!" sergah Wintara.
Pasukan Lela Warni telah berkumpul di belakangnya.
Lalu Wintara menghimpun tenaganya kembali. Setelah mengepak-ngepakkan kedua
tangannya. Kedua telapak
tangannya mengatup sebatas dada. Lela Warni mera-
sakan hawa dingin yang keluar dari tubuh Wintara.
Makanya ia segera mundur beberapa langkah.
Dan gadis itu hampir tidak percaya ketika me-
lihat Wintara terbang menjurus bagai sebutir peluru.


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nampak pula Pragola dan Sawung Blambang menyam-
but dengan melepaskan beberapa pukulan. Hantaman-
hantaman itu memang mengena di tubuh Wintara. Ta-
pi Wintara sendiri seperti tidak merasakan apa-apa.
Malah Wintara sempat melepaskan dua kali berturut-
turut hantaman pada kedua orang lawannya itu.
Pragola maupun Sawung Blambang jatuh kelo-
jotan. Keduanya menyemburkan darah dari mulut.
Namun Wintara lebih hebat lagi. Darah kehitaman
mancur dengan deras dari mulut dan hidung. Tapi tindakannya itu tidak percuma.
Saat keduanya jatuh kelojotan, pasukan Lela Warni menerobos masuk ke da-
lam ruang penjara. Wintara tetap berdiri dengan pandangan nanar mengawasi kedua
lawannya yang mulai
bangkit berdiri.
Lela Warni serta pasukannya tersentak bagai
tersambar petir saat melihat sosok tubuh dengan gagah menghadapi belasan orang
pengawal Dwipa Kun-
tar. Melihat itu pun Lela Warni datang membantu. Ju-ga pasukannya. Pedangnya
yang telah terhunus lang-
sung mencari sasaran.
"Riwang. Astaga...! Kau pun diam-diam bertin-
dak sendiri." tegur Lela Warni dengan nada keras.
Rawing tidak perduli. Babatan pedangnya terus berputar menjatuhkan dua orang ke
lantai. "Mana Wuning Sari serta pasukannya. Apakah
mereka semua tewas?"
"Kau bicara apa, Nona. Aku tidak kenal dengan Wuning Sari atau pun kau!" jawab
Rawing sengit melancarkan babatan pedang. Jatuh lagi seorang pen-
gawal Dwipa Kuntar.
"Apa?" Lela Warni heran. Ia berdiri mematung menghentikan serangan. Dan tidak
menyadari kalau
serangan lawan datang dari arah belakang. Matanya
memandang Rawing penuh keheranan.
"Awas di belakangmu, Nona!" Rawing berteriak.
Lela Warni tersadar dari kebingungannya, maka ia segera membabat ke belakang...
"Bret!"
Seorang prajurit terjungkir dengan perut terbu-
rai menyembur darah.
"Kau aneh, Riwang! Dalam beberapa hari saja
kau sudah lupa pada kami, apakah ini hanya siasatmu saja?" Lela Warni mengawasi
pasukannya menggempur habis para pengawal Dwipa Kuntar.
"Siasat apa" Aku betul-betul tidak kenal kalian.
Lagipula aku bukan Riwang. Aku saudara kembarnya."
jawab Rawing. Babatan pedangnya tidak pernah putus.
Para pengawal Dwipa Kuntar berjatuhan. Begitu juga dengan Dwipa Kuntar, ia pun
tidak tanggung-tanggung membalas kematian para anak buahnya terhadap pasukan
Lela Warni. Ruangan itu telah penuh bergelimpangan para korban pertempuran.
Pasukan Lela Warni tinggal beberapa orang, se-
dangkan para pengawal Dwipa Kuntar hampir habis.
Namun kekuatan Dwipa Kuntar melebihi seekor ban-
teng. Pedangnya lebih banyak memakan korban. Dan
sekarang ia tengah menghadapi Lela Warni bersama
Rawing. Leretan sinar putih saling gulung merencah menimbulkan percikan api.
Dentingan senjata mereka memekakkan telinga saat senjata mereka beradu. Gigih
pula kedua muda mudi ini menggempur pertaha-
nan Dwipa Kuntar.
Saat itu Wintara tengah berkelit menghindari
serangan Pragola dan Sawung Blambang yang datang
serempak. Kemarahan Wintara kian memuncak. Ju-
stru dengan kemarahan seperti itu kedua lawannya ja-di blingsatan. Wintara tidak
memperdulikan hanta-
man-hantaman mereka bersarang di tubuhnya. Na-
mun dengan sekali balas, tinju Wintara dapat mem-
buat Sawung Blambang terjungkal bergulingan di se-
panjang jembatan. Ia tidak segera bangkit, karena hantaman itu mengena telak
pada ulu hati. Bagi Pragola hantaman Wintara yang bergu-
lung-gulung menimbulkan suara bergemuruh dapat
diatasi. Itu pun dia harus kewalahan menahan serangan itu. Kedua lengannya
serasa berdenyut manakala hantaman mereka saling bentur. Pragola yang memiliki
kepandaian agak lumayan dibanding Sawung Blambang dapat mengimbangi setiap
gerakan Wintara, Ma-
ka pada satu kesempatan Pragola dapat melepaskan
tendangan ke arah perut. Tak urung lagi Wintara mencelat ke belakang. Sawung
Blambang yang sudah siap bangkit tidak sempat menghindar saat Wintara jatuh
menimpa dirinya. Dan tak ayal lagi tubuh Sawung
Blambang terjerumus masuk ke dalam permukaan ko-
lam tanpa ampun.
Ketika tubuh itu masuk ke dalam kolam, per-
mukaan air kolam seperti bergolak. Muncul pula ju-
taan ikan-ikan pemakan daging saling berebut meng-
gerogoti tubuh Sawung Blambang. Jeritannya keras
merobek suasana menyeramkan itu.
Melihat itu Wintara bergidik, dalam sekejap
yang nampak hanyalah tulang-tulang kerangka tanpa
secuil daging. Permukaan air kolam sekitar itu memerah bercampur darah. Pragola
menatap geram. Tubuh-
nya seperti bergetar dengan wajah yang murka.
Ketika mereka saling tatap. Mendadak dari da-
lam ruangan penjara terlontar sosok tubuh Dwipa
Kuntar. Tubuhnya bergulingan di bawah kaki Pragola.
Punggungnya telah robek bekas babatan pedang.
Dari mulut pintu muncul Rawing dan Lela
Warni yang siap mengejar Dwipa Kuntar. Di belakangnya berderet sisa-sisa pasukan
Lela Warni. Serempak pula mereka menyerbu. Namun serbuan itu disambut
oleh Pragola. Lela Warni dan Rawing tidak menyangka kalau Pragola akan
merebahkan diri dan menyapu
langkah-langkah mereka.
Tak terelakkan lagi keduanya jatuh bangun.
Pragola cepat menepis saat Lela Warni membabatkan
pedangnya. Sebelah lengan Pragola maju menghan-
tam.... "Des!"
Lela Warni memekik. Pedangnya terlepas se-
dangkan tubuhnya kembali berguling. Rawing cepat
maju ke depan mengarahkan sambaran pedang. Sudah
tentu maksudnya menghalangi Pragola dalam melan-
carkan serangan pada Lela Warni yang masih kesaki-
tan. Pasukan Lela Warni yang tinggal beberapa
orang itu datang menyerbu. Namun mereka bukanlah
apa-apa bagi Pragola. Meskipun mereka menggunakan
senjata pedang, Pragola tanpa kesulitan menghantami
mereka. Ada juga beberapa dari mereka yang terjerumus ke dalam kolam tanpa ampun
tidak sempat berte-
riak lagi. Mereka sudah terseret ke dasar kolam digeluti oleh jutaan ikan-ikan
pemakan bangkai. Permukaan air kolam mendadak merah, bercampur darah.
Dalam hal ini bukan berarti Wintara tinggal di-
am. Wintara juga dapat melihat betapa mengerikan
nasib pasukan Lela Warni. Tapi dia sendiri merasa repot menghadapi Dwipa Kuntar.
Apalagi Dwipa Kuntar
membabi buta melancarkan sambaran pedangnya. Se-
tiap sambaran pedangnya selalu maut bagi Wintara.
Lela Warni yang sudah diselamatkan oleh Raw-
ing dapat melihat kesibukan Wintara. Makanya ia cepat menarik selendang yang
merupakan ikat pinggang.
Sebentar saja selendang itu menggletar nyaring. Dwipa Kuntar tidak sempat
menghindari lecutan selendang
Lela Warni. Tahu-tahu saja tubuhnya telah terbelit tanpa daya. Detik itu juga
Lela Warni menarik kuat-kuat. Saat tubuh Dwipa Kuntar melayang ke atas,
Wintara melesat ke atas pula melepaskan tendangan...
"Deeer!"
Tubuh Dwipa Kuntar melintir lalu ambruk ke-
ras di atas jembatan.
Bersamaan dengan itu pun Rawing terjungkal.
Sambaran Pragola seperti kitiran angin yang menderu-deru menghempas Rawing.
Namun mendadak saja
Pragola tersentak. Kedua lengannya bagai membentur benda yang amat keras.
Rupanya Wintara cepat datang mematahkan serangan Pragola.
"Bangsat! Jangan seperti tikus-tikus pengerat!
Maju saja kalian bertiga!" bentak Pragola. Mendapat tantangan seperti itu, Lela
Warni maupun Riwang segera bangkit. Keduanya menerjang dari arah yang
berlawanan. Wintara ikut pula melancarkan serangan.
Tanpa melangkah mundur Pragola cepat memutar ke-
dua lengannya. Maka terdengar bagai suara guntur.
Sekali Pragola menghempaskan seluruh tenaganya.
Ketiga jago itu berpentalan. Rawing tersungkur terpe-lanting bergulingan, Lela
Warni jatuh ke pinggir jembatan dan hampir saja terjerumus. Mukanya yang men-
garah ke permukaan air kolam berubah pucat saat
ikan-ikan pemakan bangkai berlompatan menyambar.
Wintara mundur beberapa langkah sambil terhuyung.
Dadanya terasa sesak.
"Hebat kau anak muda! Kau sanggup menahan
pukulan 'Guntur Selaksa', cobalah ini sekali lagi...
Hreaaaa!" Pragola menerjang. Langkahnya gegap menginjak jembatan. Cepat Wintara
mengerahkan tenaga
inti hawa dingin. Tanpa berkedip ia mendorong kuat-kuat telapak tangannya ke
depan, maka....
"Bledaaaaar!"
Keduanya mental dari kedua sisi jembatan. Di
bawahnya telah menanti permukaan air kolam yang
dihuni oleh mahluk-mahluk mengerikan, jeritan Prago-la memecah keras. Dan
tubuhnya yang meluncur de-
ras ke permukaan kolam langsung diserbu jutaan
ikan-ikan sebesar telapak tangan.
Pada saat sebelum Pragola jatuh, Wintara pun
mengalami nasib yang serupa. Tanpa ampun Wintara
jatuh ke bawah. Saat itu pula Lela Warni bertindak cepat. Selendangnya di
lecutkan ke arah Wintara. Maksud gadis itu akan menyambar dan menarik tubuh
Wintara, tapi sayang tindakannya terlalu cepat. Selendang itu merentang bagai
sebuah galah tepat di atas pemukaan air kolam.
Tanpa diduga pula, Wintara berjumpalitan di
udara. Lalu kedua kakinya menapak pada ujung se-
lendang Lela Warni. Nampak jelas ilmu peringan tubuh yang sangat sempurna. Gadis
itu membelalakkan matanya saat Wintara berlari cepat di atas rentangan se-
lendang yang mengambang. Kemudian dengan henta-
kan kaki kirinya Wintara melesat ke atas mencapai
jembatan lagi. Rawing meringis seluruh tulang-tulang sendinya terasa rontok.
Meskipun begitu ia bisa melihat kehebatan Pendekar Kelana Sakti itu. Ia
membiarkan tubuhnya yang penuh luka memar terbaring.
Diam-diam pula Dwipa Kuntar yang juga sudah
terluka melarikan diri. Wintara dan Lela Warni me-
langkah mengejar. Tapi keduanya segera menghenti-
kan larinya. Membiarkan Dwipa Kuntar berlari terus.
Mereka tidak perlu mengejarnya, karena mereka sudah melihat rombongan Wuning
Sari sudah berada di
ujung jembatan. Dwipa Kuntar sendiri terkejut setengah mati saat hampir sampai
di ujung jembatan. Langkah-langkahnya yang terhuyung mendadak berhenti
menatap belasan orang turun dari kuda. Paling tengah dan berjalan lebih dulu
adalah Wuning Sari, di sebelahnya Riwang mengikuti dengan tenang.
Dwipa Kuntar menoleh ke belakang, dilihatnya
Wintara bersama Lela Warni mulai melangkah. Dirinya benar-benar terkurung. Tidak ada jalan lain lagi, di
kanan kirinya sebuah kolam. Riwang tidak berhenti
menatap Dwipa Kuntar berdiri ketakutan.
Dengan geram pula Riwang merampas pedang
Wuning Sari dari pinggangnya. Gadis yang berdiri di sebelahnya tidak menghalangi
saat Riwang berlari ke arah Dwipa Kuntar sambil mengacungkan sebilah pedang
mengkilat bagai kaca.
Dwipa Kuntar menatap ngeri pada pedang yang
sudah teracung siap menebas lehernya. Langkahnya
bergetar mundur. Sebelum Riwang membabatkan pe-
dangnya, Dwipa Kuntar tergelincir sendiri... "Byuuur!"
Cepat Dwipa Kuntar berpegangan pada pinggi-
ran jembatan. Ia tidak sadar pula kalau setengah tubuhnya masuk ke dalam
permukaan air. Maka pada
detik itu teriakan menyayat keluar dari mulut Dwipa Kuntar. "Wuaaaaaaaaaaa...!"
Dwipa Kuntar meronta-ronta. Tangannya tetap berpegangan erat pada pinggiran
jembatan. Semua orang yang berada di situ menatap ngeri. Manakala jeritan Dwipa
Kuntar yang me-
nyayat terdengar semakin histeris. Tergetar hati Riwang untuk menolongnya. Maka
ia segera melangkah
mengulurkan tangannya, namun....
"Biarkan dia!" Terdengar suara bentakan seorang lelaki. Jelas suara itu bukan
dari mulut Wintara maupun Rawing. Maka serentak orang-orang yang
berdiri di atas jembatan itu menoleh ke arah suara.
Nampaklah sepasukan prajurit kerajaan lengkap ber-
kuda. "Biarkan dia digerogoti habis oleh makhluk-mahkluk laknat itu." kata
seorang lelaki yang menunggangi kudanya paling tengah, Seorang gadis cantik
turun dari kudanya, ia segera berlari ke arah jembatan.
Rombongan Wuning Sari yang memenuhi di ujung
jembatan memberi jalan. Larinya semakin cepat ketika hampir mendekati Riwang.
"Kakang Rawing..." Gadis itu langsung memeluk tubuh Riwang yang gelagapan. Ia
seperti ingin menghindar dari pelukan gadis itu. Wuning Sari cepat membuang muka. Lela Warni
hanya tersenyum, ia ta-hu apa yang menyebabkan Riwang gelagapan seperti
itu. Maka ia melangkah mendekati keduanya...
"Nona... kau salah alamat. Orang yang kau
maksud ada di sana." ujar Lela Warni sambil menunjuk ke arah Rawing yang sudah
bangkit duduk. Laki-
laki itu tersenyum ke arah gadis yang tengah memeluk Riwang. "Mayang...!
Mestinya kau memeluk aku" kata Rawing sambil melepaskan senyum yang lebar.
Mayang membelalakkan matanya. Sebentar kemudian
ia menatap Riwang, lalu kembali ke arah Rawing. Dengan pipi yang memerah Mayang
melepaskan pelukan-
nya, dan ia berlari lagi ke arah Rawing.
Wintara menjadi geli. Orang-orang yang berada
di situ maupun para pasukan yang baru datang terta-wa melihat tingkah gadis itu.
Namun tawa mereka
mendadak tegang saat....
"Aaaaaaaaaaarght!" Jeritan terakhir Dwipa Kuntar memekak nyaring. Tubuhnya tetap
bergelan-tungan di atas pinggiran jembatan. Semua orang yang menatapnya berdecak
ngeri, karena tubuh Dwipa Kuntar telah habis separuh. Yang tersisa bagian
tubuhnya saja. Ia pun tewas dengan kedua mata yang membelalak. Di bawahnya
berkecipak ikan-ikan pemakan
bangkai saling lompat berebut sisa daging yang berjatuhan ke bawah.
"Kalian harus ikut kami menghadap sri baginda sekarang juga." kata seorang
prajurit yang nampak berwibawa. Ia tetap duduk di atas kudanya. Mendengar ucapan
itu semuanya diam tegang. Kecuali....
"Tidak! Kami tidak akan menyerahkan diri pada sri baginda! Apa lagi harus
menerima hukuman darinya. Kami akan menentang!" bantah Lela Warni. Prajurit
kerajaan itu malah tersenyum.


Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan berprasangka buruk dulu, Nona. Ka-
lian diundang oleh sri baginda bukan untuk menjalankan hukuman, tapi untuk
menghadiri pengangkatan
Rawing dan Riwang menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai panglima. Apa kalian tidak setuju?" sergah prajurit itu lagi.
Lela Warni mengangkat bahu. Wuning Sari me-
narik Riwang ke arah Rawing. Dua pemuda kembar itu berdiri bersampingan. Di sisi
mereka berdiri pula
Mayang dan Wuning Sari. Lela Warni menoleh kanan
dan kiri seperti ia mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari, Nona" Pendekar muda itu"
Dia sudah pergi lebih dulu. Kami pun tidak tahu ke mana tujuannya." kata
prajurit yang tetap duduk berwibawa di atas kudanya. Lela Warni melengos.
Selintas ia nampak cemberut.
TAMAT E-Book by Abu Keisel Dewi Penyebar Maut I 2 Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Pendekar Jembel 11
^