Pencarian

Dendam Mahesa Lanang 1

Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang Bagian 1


DENDAM MAHESA LANANG Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Dendam Mahesa Lanang
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Malam baru saja tiba. Bulan purnama bersinar
terang di langit yang biru tanpa awan. Bocah-bocah
kecil masih tampak bermain petak umpet. Suara tawa
ceria menyemarakkan suasana malam itu. Mereka ber-
larian ke sana kemari, saling kejar dan bersembunyi di pelataran rumah.
Sementara itu, di rumah Tarbiun nampak ba-
nyak orang berkunjung. Sepertinya ada hiburan rong-
geng di rumah juragan itu. Sudah menjadi kebiasaan,
jika besok akan diadakan karapan sapi, pemilik sapi
pasti akan mengadakan suatu kenduri yang bertujuan
untuk memanjatkan doa kemenangan bagi pertandin-
gan besok. Hal itu juga dilakukan Tarbiun.
"Silakan, Cak. Jangan malu-malu!" kata Tar-
biun mempersilakan teman-temannya yang datang un-
tuk turut berpesta.
"Terima kasih," sahut para tamu yang rata-rata dari kalangan persilatan. Mereka
segera menempatkan
diri di kursi-kursi panjang yang telah disediakan.
Ronggeng belum dimulai, masih terlalu sore.
"Bagaimana pertandingan besok" Apa sapimu
telah siap, Biun...?" tanya Ki Jenar, tokoh tua di Desa Cadas Putih. Hampir
setiap akan diadakan karapan
sapi, Ki Jenar selalu diundang. Lelaki tua itu diminta untuk memberi doa dan
memimpin upacara sakral, tu-juannya memohon kemenangan bagi sapi yang akan
dipertandingkan.
"Sudah, Ki. Namun begitu, saya pikir kurang
sempurna jika belum diberi jejampi," jawab Tarbiun dengan tubuh membungkuk
hormat. Meski Tarbiun seorang saudagar kaya di Desa
Cadas Putih, sikapnya sangat hormat terhadap Ki Je-
nar. Hal itu bukan saja karena Ki Jenar dianggap se-
sepuh di desa itu, melainkan bantuan yang sering di-
berikan pada dirinya. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun yang selalu
membawa tongkat bergagang
kepala ular itu telah banyak memberikan bantuan ke-
pada Tarbiun. Warga Desa Cadas Putih mengenal Ki
Jenar sebagai dukun.
Kemenangan demi kemenangan diperoleh Tar-
biun atas bantuan jejampi yang diberikan Ki Jenar.
Tarbiun pun percaya, kalau lelaki tua yang selalu berpakaian coklat muda dengan
ikatan kain membentuk
sorban di kepala itu memiliki ilmu yang tinggi.
"He he he...! Bisa saja kau, Biun! Sebenarnya
aku ini bukan apa-apa. Aku manusia biasa sepertimu.
Atas kehendak Hyang Widi saja, sapimu menang. Di
samping itu, tahun kemarin sapimu memang hebat,"
gumam Ki Jenar sambil terkekeh-kekeh. Tubuhnya
yang kurus dan agak bungkuk itu, terguncang-
guncang oleh tawanya. Matanya pun semakin menyi-
pit, urat pipinya tertarik karena suara tawanya.
Tarbiun turut tertawa mendengar suara tawa Ki
Jenar yang lucu sambil mengangguk-anggukkan kepa-
la. Sedangkan kedua centeng Tarbiun, hanya nyengir.
"Apa bisa kita lakukan sekarang, Ki?" tanya Tarbiun.
"Heh, bisa juga," jawab Ki Jenar.
"Kalau begitu, biarlah kami siapkan semuanya,
Ki." "Ya ya...! Siapkan saja semua seperti biasanya,"
tutur Ki Jenar. "Kau tentu masih ingat apa yang harus disiapkan untuk pemberian
jampi." "Ingat, Ki."
Tarbiun segera melangkah meninggalkan tem-
pat itu. Namun Ki Jenar kembali memanggilnya. Tar-
biun langsung menghentikan langkahnya, dan berbalik
ke arah Ki Jenar.
"Ada apa lagi, Ki?"
"Ke sini sebentar!" perintah Ki Jenar.
Tarbiun menurut, mendekati Ki Jenar, meski
tak tahu apa yang sebenarnya hendak dikatakan orang
tua itu. "Biun, apa penari ronggengnya cantik-cantik?"
bisik Ki Jenar.
"Oh, jelas, Ki!" jawab Tarbiun seraya berseru.
Mata Ki Jenar melotot, memandang tajam Tarbiun
yang tersentak kaget. Dia tak mengerti, mengapa orang tua itu seakan marah
kepadanya. "Ada apa, Ki?" tanya Tarbiun masih belum
mengerti. "Jangan berisik!" bentak Ki Jenar masih berbisik. "Ooo...," gumam Tarbiun sambil
tersenyum-senyum.
"Bawa ke kamar satu, ya?" pinta Ki Jenar.
"Beres, Ki."
"Nah, sekarang kau siapkan semuanya!" perintah Ki Jenar.
Tarbiun tersenyum, lalu segera beranjak dari
tempat itu, meninggalkan Ki Jenar.
"Dasar orang tua genit! Sudah tua masih saja
minta yang aneh-aneh," gumam Tarbiun setengah
menggerutu. "Terlalu juga Ki Jenar itu, sudah punya anak istri masih mau melalap
daun muda."
Tarbiun melangkah sambil menggeleng-
gelengkan kepala, masuk ke rumah diikuti kedua cen-
tengnya. Dia akan mempersiapkan sesaji yang diguna-
kan untuk mengadakan upacara sakral, pemberian
jampi-jampi kepada sapinya.
Tak lama kemudian, Tarbiun dengan kedua
orang centengnya telah kembali dengan membawa se-
saji di atas tiga nampan besar. Dua nampan itu berisi nasi tumpeng lengkap
dengan lauk-pauknya. Sedang
yang satu berupa sepotong kepala kerbau yang tak di-
masak. "Sudah, Ki. Semua sudah siap," ujar Tarbiun setelah sampai di depan Ki
Jenar. "Ayo, bawa ke kandang!" perintah Ki Jenar pada Tarbiun dan kedua centengnya agar
membawa sesaji ke kandang sapi yang akan diperlombakan besok
Tarbiun dan kedua centengnya segera memba-
wa sesaji ke kandang sapi, diikuti para undangan yang hendak menyaksikan
jalannya upacara.
Setelah sampai di kandang sapi, Ki Jenar sege-
ra mengambil tempat untuk memimpin upacara sakral
itu. Ketiga sesaji itu diletakkan sekitar dua tombak di depan sapi yang akan
diperlombakan. Semua yang turut hadir di sekitar kandang sapi
diam tanpa suara. Mereka dalam keadaan khidmat.
Sementara, Ki Jenar telah duduk bersila dengan mata
terpejam rapat. Mulutnya komat-kamit, mengucapkan
mantera yang sulit diikuti.
"Golapa golani gahgong.... Kias-kias sapi ge-long.... Karap kamenangana sakarap
sapikalasa... Tarbiun...." Sesudah mengucapkan kata-kata aneh dan sulit
dimengerti sebanyak tujuh kali, Ki Jenar meniupkan mulutnya sebanyak tiga kali
ke sapi itu. Aneh sekali! Setelah tertiup, sapi itu mengge-
ram. Seolah-olah merasakan ada sesuatu yang berpen-
garuh di dalam tubuh dan nalurinya. Mata binatang
itu ter-belalak menatap tajam pada Ki Jenar. Kemu-
dian terdengar dengusan beberapa kali disertai gera-
kan kaki yang liar dan aneh.
Orang-orang tersentak kaget, menyaksikan
dengan rasa tegang keanehan itu. Mereka heran men-
gapa sapi itu mendadak berubah ganas dan beringas.
"Ki...!" desis Tarbiun dengan mata membelalak, menyaksikan keanehan yang dialami
sapinya. Matanya
sesaat memandang ke arah Ki Jenar yang telah bang-
kit dari duduk silanya. Lelaki tua berpakaian coklat itu tersenyum dingin
membalas tatapan Tarbiun yang keheranan.
"He he he..., tenang! Tak ada apa-apa," ujar Ki Jenar sambil terkekeh. Kemudian
kakinya melangkah
mendekati sapi yang masih beringas. Seperti ada sesu-
atu yang tengah dirasakan binatang itu.
Orang-orang semakin tegang, takut kalau sapi
itu mengamuk dan menerjang lelaki tua bertubuh
bungkuk itu. Namun sambil terkekeh-kekeh, Ki Jenar
dengan tenang melangkah menghampiri binatang yang
masih mendengus-dengus itu.
"Tenang..., tenanglah, Manis! Jangan takut!"
ujar Ki Jenar dengan tangan membelai-belai kepala
sapi itu. Kejadian aneh kembali terjadi. Sapi yang tadi
kelihatan beringas dan liar itu mendadak menurut.
Malah melenguh lirih, seakan-akan mengerti dan takut
kepada Ki Jenar. Matanya yang garang, berubah re-
dup. Bahkan kini sapi itu menundukkan kepalanya,
takluk pada belaian tangan lelaki tua bertongkat kepa-la ular itu.
"Besok kau harus menang, Lanang!" gumam Ki
Jenar berbisik di telinga sapi milik Tarbiun yang bernama Lanang. "Kau harus
menunjukkan pada semua
orang, bahwa kaulah yang paling gagah dan kuat!"
"Hmmm... oaaa...!"
Sapi itu melenguh, seolah-olah mengucapkan
sesuatu yang membuat Ki Jenar terkekeh sambil men-
gangguk-angguk. Tangannya masih mengelus-elus ke-
pala binatang bertubuh kekar dan besar itu.
"Semua sudah beres," ujar Ki Jenar sambil melangkah diikuti orang-orang
meninggalkan kandang
sapi. Setelah selesai acara pemberian jampi-jampi,
acara hiburan ronggeng pun dimulai. Para tamu yang
sejak tadi menunggu, langsung turun, menari dengan
para ronggeng sesuai dengan pilihan. Mereka menari
dengan gembira. Sesekali istirahat sambil menenggak
tuak. Suasana yang semula dingin, seketika berubah
hangat. Beberapa tamu telah mabuk karena tuak dan
kecantikan penari-penari ronggeng.
Sedangkan Ki Jenar telah menghilang dari ke-
ramaian. Lelaki tua itu masuk ke kamar, tempat seo-
rang penari ronggeng telah dipersiapkan untuk me-
layani permintaannya.
Semua orang yang ada di rumah Tarbiun ba-
gaikan tak peduli pada apa yang diperbuat Ki Jenar
dengan wanita penari ronggeng dalam kamar di rumah
Tarbiun. Mereka tak berani mengganggunya. Di samp-
ing Ki Jenar memang memiliki ilmu yang tinggi, lelaki tua itu juga disegani
masyarakat Desa Cadas Putih.
"Ayo, Cak. Jangan malu-malu! Minum tuak-
nya...!" seru Tarbiun mempersilakan pada para tamu.
Sementara malam kian larut, bulan pun sema-
kin terang. Hiburan Ronggeng pun kian semarak. Ba-
nyak di antara para tamu yang terkapar di tempat pes-
ta karena mabuk. Tinggal beberapa orang jawara yang
masih bertahan. Mereka terus berjoget, mengiringi
lenggok-lenggok para penari ronggeng yang membang-
kitkan gairah. Sesekali tangan para jawara yang berjoget bergerak nakal, menepak
pantat penari ronggeng
yang bahenol. Di sebuah kamar, Ki Jenar nampak masih
asyik bersenda gurau dengan seorang penari ronggeng.
Wanita cantik itu tersenyum manja, sambil menggoda
Ki Jenar yang berusaha memeluk tubuhnya.
"Ayo, Manis...! He he he...! Jangan menggoda-
ku," gumam Ki Jenar sambil kembali menggerakkan
tangannya, berusaha menangkap tubuh wanita itu.
"Auw! Kau nakal, Ki," jerit wanita itu sambil berlari ke sudut kamar lain.
Senyumnya mengembang
di bibir, seakan menggoda. Hal itu membuat Ki Jenar
semakin bernafsu. Lelaki tua itu kembali bergerak, berusaha menangkap tubuh
wanita bahenol di hadapan-
nya. "Kena kau! He he he..., ayolah, Manis! Jangan terus menggodaku," seru Ki
Jenar sambil menggandeng tangan wanita itu.
Sementara wanita cantik yang tubuhnya tertu-
tup kain kebaya kuning itu mengeluh manja. Ki Jenar
yang sudah tak kuat menahan ledakan nafsunya, terus
menggandeng tangannya ke tempat tidur.
Tak lama kemudian, kamar itu kembali sunyi.
Hanya sesekali terdengar suara kekehan Ki Jenar dan
keluhan-keluhan manja dari penari ronggeng.
*** Malam terus merangkak di bawah cahaya pur-
nama. Ronggeng di rumah Tarbiun masih berlangsung,
walau telah banyak yang mabuk dan tertidur. Kini
tinggal lima orang jawara yang masih menari, mengi-
kuti goyang pinggul para penari ronggeng yang seakan-
akan tak membuat mereka ngantuk. Terlebih-lebih me-
lihat pantat para penari yang bahenol, selalu mem-
bangkitkan gairah dan nafsu di dada para jawara itu.
Di kejauhan tampak seorang pemuda bertubuh
tegap dengan rambut gondrong melangkah mendekati
rumah Tarbiun yang masih ramai. Meskipun gamelan
yang mengiringi tarian kelima Jawara Desa Cadas Pu-
tih tidak sekencang tadi. Mungkin penabuh gamelan
juga sudah lelah, setelah sekian lama mengiringi para penari ronggeng. Namun
suasana semarak masih me-warnai halaman rumah besar Tarbiun.
"Hm, ternyata di sini tempatnya," gumam pe-
muda yang kepalanya terikat kain batik itu. Matanya
menatap tajam ke tempat para penari ronggeng. Sea-
kan memperlihatkan kekuatan yang dimiliki. Wajah
pemuda itu tampan, tapi sorot matanya sangat tajam


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan garang. Sorot mata itu seolah memancarkan sesu-
atu yang terpendam dalam batinnya.
Pemuda itu terus melangkah mendekat. Ma-
tanya masih menatap tajam pada kelima jawara yang
tampak tak peduli dengan kedatangannya, dan terus
menari. Pemuda tampan itu melangkah, lalu berdiri di
salah satu sudut tiang atap tempat pergelaran rong-
geng itu. Matanya memperhatikan kelima jawara yang
menari. "Siapa kau, Kisanak" Mau menari" Ayolah...!"
ajak salah seorang jawara yang berkumis melintang.
Badannya yang tinggi besar terbungkus pakaian hitam
dengan kaos dalam loreng merah putih.
"Inikah rumah Ki Tarbiun" Juragan keparat
itu"!" tanya pemuda itu dingin, seakan mengandung hawa kebencian.
Pertanyaan itu membuat kelima jawara yang
masih menari tersentak kaget, dan menghentikan ta-
riannya. Mata kelima jawara itu menatap tajam pada
pemuda itu. "Jaga mulutmu, Anak Muda! Jangan semba-
rangan kau berkoar di sini!" bentak Jaroi sengit.
Pemuda bertelanjang dada dengan tubuh kekar
itu tersenyum sinis, sepertinya tak peduli dengan bentakan Jaroi. Dengan sikap
tenang, kakinya melangkah
mendekat. "Kenapa..." Tarbiun memang juragan keparat!"
dengus pemuda itu dengan senyum sinis masih mele-
kat di bibirnya.
"Bocah kurang ajar! Jaga mulutmu! Apa kau
sudah bosan hidup, berani menghina teman kami"!"
bentak Satori sengit dengan mata melotot penuh ama-
rah. Pemuda itu semakin melebarkan senyum sinis-
nya. Jaroi dan teman-temannya kian marah. Mata me-
reka melotot dengan napas mendengus geram.
"Kurang ajar! Siapa namamu"!" bentak Kampa-
ni. "Hm, rupanya kalian cecunguk Tarbiun. Huh,
aku Banteng Sumenep," jawab pemuda itu dengan
dengusan penuh kebencian. "Aku datang untuk menagih nyawa juragan kalian!"
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu!" dengus Jumeri seraya melangkah maju
dengan tangan siap
mencengkeram pundak pemuda itu.
Pemuda yang mengaku bernama Banteng Su-
menep itu tetap tenang, tak ada gelagat untuk meng-
hindar. Bibirnya masih mengurai senyum sinis, den-
gan tatapan tajam ke wajah Jumeri yang semakin
mendekat Trep! Kedua tangan Jumeri yang membentuk cakar
mencengkeram kedua pundak pemuda bertubuh kekar
itu. Namun pemuda yang mengaku sebagai Banteng
Sumenep itu masih tenang. Malah semakin lebar ter-
senyum. "Kubunuh kau, Bocah!" dengus Jumeri, marah.
"Hm, mampukah"!" tanya Banteng Sumenep,
seakan sengaja menantang Jawara Desa Cadas Putih
Itu. "Kurang ajar! Heaaa...!"
Tangan kanan Jumeri terangkat, lalu dengan
mengerahkan tenaga dalam, ditamparnya kepala pe-
muda itu. Prak! "Ha ha ha...!"
"Akh!" Jumeri meringis kesakitan sambil me-
langkah ke belakang. matanya terbelalak tegang. Dira-
sakan tangannya seperti remuk akibat memukul kepa-
la lawan. Sedangkan Banteng Sumenep yang dipukul
malah tertawa terbahak-bahak.
"Heh"!"
"Hah..."!"
Kelima Jawara Desa Cadas Putih benar-benar
dibuat kaget, menyaksikan kejadian itu. Mereka tahu
pukulan Jumeri bukanlah sembarangan. Jangankan
kepala manusia, kepala kerbau pun akan hancur ter-
hantam pukulannya. Namun, pukulan 'Geledek Sewu'
yang dimiliki Jumeri, bagaikan tak berarti sama sekali bagi pemuda itu.
"Begitukah kehebatan seorang jawara"!" tanya Banteng Sumenep sambil mencibir
penuh ejekan. Matanya menatap tajam lima jawara yang masih diliputi
keheranan. Mendadak mereka bertambah marah men-
dengar ejekan pemuda itu.
"Keparat! Siapa kau sebenarnya, Bocah!" bentak Jaroi dengan kumis turun naik,
menahan kemara-
han. "Siapa" Tuli kau! Sudah kukatakan, aku Banteng Sumenep. Aku datang untuk
menagih hutang nyawa majikanmu!" sahut Banteng Sumenep semakin
keras. Sementara para penari ronggeng dan penabuh
gamelan sudah menyingkir. Mereka pun takut setelah
menyaksikan bagaimana keampuhan pemuda, yang
tak mempan pukulan Jumeri.
Sedangkan Tarbiun dan orang-orang yang su-
dah tidur, seketika terbangun mendengar suara ribut-
ribut di halaman rumahnya. Mereka kini membuat
lingkaran, mengepung Banteng Sumenep.
*** 2 Tarbiun yang tak mengenal siapa sebenarnya
pemuda itu nampak mengerutkan kening. Kakinya kini
melangkah mendekati kelima Jawara Desa Cadas Pu-
tih, yang masih menghadapi si Banteng Sumenep. Me-
reka nampak siap mengeroyok pemuda bertelanjang
dada itu. Tarbiun mengangkat tangan kanannya ke atas,
yang membuat kelima jawara menyurut mundur. Ke-
mudian dengan senyum mengembang di bibir, lelaki
gemuk berwajah bulat berusia sekitar lima puluh ta-
hun itu mendekati sang Pemuda.
"Kisanak, siapakah kau sebenarnya" Dan dari
mana, serta punya urusan apa kemari...?" tanya Tarbiun dengan suara tenang dan
berusaha ramah.
Pemuda yang mengaku bernama Banteng Su-
menep itu tersenyum. Wajahnya masih menunjukkan
ketenangan. Dihelanya napas dalam-dalam dengan
mata menatap lekat ke arah Tarbiun.
"Kaukah yang bernama Tarbiun?"
"Ya, ada apa?"
"Aku datang untuk menagih nyawamu," sahut
Banteng Sumenep.
Terbelalak mata Tarbiun mendengar ucapan
pemuda itu. Begitu pula dengan kelima jawaranya, me-
reka bertambah geram pada pemuda itu. Hampir saja
kelimanya maju untuk menghajar pemuda yang ku-
rang ajar itu, namun Tarbiun dengan cepat melarang-
nya dengan mengangkat tangan kanannya.
"Kisanak, apa salahku sehingga kau hendak
menuntut nyawaku?" tanya Tarbiun masih dengan suara tenang.
"Masihkah kau belum mengaku salah, Tar-
biun!" Bukankah kau yang telah membunuh ayah-
ku"!" bentak Banteng Sumenep.
Tarbiun terbelalak kaget mendengar tuduhan
pemuda itu. "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Mahesa Lanang, anak Ki Simbar Kangi-
nan," jawab pemuda itu.
"Rasanya, aku tak kenal dengan ayahmu, Kisa-
nak," jawab Tarbiun dengan suara masih tenang. Matanya memandang tajam dengan
tatapan penuh seli-
dik. Hatinya merasa heran, karena selama ini tak per-
nah berhubungan dengan orang yang bernama Simbar
Kanginan. Siapa Simbar Kanginan itu" Tanya Tarbiun da-
lam hati. Selama ini aku tak pernah punya urusan dan
sangkut-paut dengan orang itu. Angin apa yang mem-
buat pemuda ini datang mau menuntut kematianku"
"Huh, kau masih saja mau mungkir, Tarbiun!"
bentak Mahesa Lanang. "Tidak ingatkah kau dengan kejadian dua puluh tahun silam"
Ketika terjadi pembunuhan di arena karapan?"
Tarbiun yang merasa tak pernah mengalami,
atau lupa dengan kejadian dua puluh tahun silam
mengerutkan keningnya. Matanya memandang penuh
tanda tanya pada pemuda gagah bertelanjang dada
yang ada di hadapannya.
"Dua dasa warsa silam...?" gumam Tarbiun perlahan.
"Ya. Ketika kau dan teman-temanmu membu-
nuh seorang lelaki yang menjadi musuh bebuyutanmu,
karena sapi miliknya tak pernah terkalahkan. Lelaki
itu dibunuh bersama istrinya saat menonton karapan
sapi. Beruntung seseorang berhasil menyelamatkan
putranya yang masih berusia lima tahun," tutur Mahesa Lanang.
Tarbiun masih mengerutkan kening. Dia beru-
saha mengingat-ingat peristiwa yang pernah terjadi
dua puluh tahun silam. Namun, pikirannya tetap tak
ingat akan kejadian itu. Hatinya tak merasa pernah
melakukan pembunuhan terhadap orang yang berna-
ma Simbar Kanginan. Lagi pula, dua puluh tahun yang
silam dia belum mengikuti kegiatan karapan sapi, ka-
rena memang belum kaya seperti sekarang ini.
"Aku tak pernah berurusan dengan ayahmu,
Bocah. Lagi pula, dua puluh tahun silam aku belum
ikut kegiatan karapan sapi," tutur Tarbiun.
"Hm, rupanya kau mau lari dari hutang nyawa,
Tarbiun. Bukankah di Desa Cadas Putih ini, hanya ada
satu nama Tarbiun?" tanya Mahesa Lanang.
"Ya, memang. Tetapi aku tak tahu siapa sebe-
narnya kau dan ayahmu," sahut Tarbiun.
Jengkel juga orang tua gemuk itu, karena Ma-
hesa Lanang tetap menuduhnya melakukan semua
tindakan sampai ayahnya tewas. Padahal dua puluh
tahun yang silam, dia tak tahu apa-apa tentang kara-
pan, selain hanya sebagai penonton biasa.
"Jadi kau tak mau mengaku, Tarbiun?"
"Tidak! Jangan kau paksa aku, Bocah! Atau
kau akan menghadapi jawara-jawaraku dan orang De-
sa Cadas Putih ini"!" gertak Tarbiun sengit.
Mahesa Lanang tersenyum, sepertinya tak ta-
kut mendengar ancaman Tarbiun. Matanya meman-
dang tajam pada kelima jawara yang tadi hendak men-
geroyoknya. Seakan ingin melihat sampai di mana ke-
hebatan kelima jawara itu.
"Juragan, bocah sombong ini memang patut di-
hajar. Serahkan saja bocah ini pada kami," ujar Jaroi.
"Benar, Juragan. Bocah sombong ini telah
menghina Juragan. Dia harus dihajar...!" sambut Jumeri yang penasaran setelah
dipecundangi pemuda itu.
Pukulannya yang dahsyat tak berarti apa-apa bagi pe-
muda itu. Banteng Sumenep tersenyum mendengar uca-
pan para jawaranya. Seakan dirinya tak memandang
sebelah mata pun pada kelima jawara itu.
"Baiklah, Tarbiun. Kau telah menolak semua
yang kutuduhkan. Bagaimanapun juga, di Desa Cadas
Putih ini, hanya ada satu Tarbiun. Kau harus mati di
tanganku," ancam Mahesa Lanang dengan suara din-
gin dan datar. Tarbiun dan kelima jawaranya membelalakkan
mata marah. Begitu juga dengan orang-orang yang be-
rada di tempat itu, kaget bercampur heran mendengar
ucapan Mahesa Lanang.
Mereka merasa pemuda itu terlalu sombong,
karena di samping Tarbiun masih ada lima jawara
yang memiliki kepandaian dan kemampuan teruji.
Meski sehebat apa pun, melawan kelima jawara Tar-
biun bukan hal yang gampang dan mudah. Bahkan
mungkin pemuda itulah yang bakal tewas.
"Pemuda kurang ajar! Rupanya kau mencari
masalah!" bentak Tarbiun yang kini marah, setelah berusaha sabar tetapi Mahesa
Lanang tetap saja tak mau
mengerti. "Kuperintahkan, segera pergi dari sini, sebelum habis kesabaranku!"
"Hm, kau tak bisa mengusirku begitu saja, Tar-
biun. Sebelum kau mampus di tanganku," dengus Ma-laga Lanang dengan mata menatap
garang pada Tar-
biun. Matanya nampak memerah. Dari hidung dan te-
linganya, keluar angin deras sebagaimana layaknya
seekor banteng yang marah.
"Kurang ajar! Tangkap dia...!" seru Tarbiun pa-da kelima centengnya.
"Memang pemuda itu patut dihajar, Juragan!"
dingus Jaroi. "Serahkan pada kami!" kata Ropii. Kelima jawara itu segera merangsek maju,
berusaha menangkap
Banteng Sumenep. Namun belum pula mereka sampai,
pemuda itu telah mendahului menyerang. Tangannya
bergerak cepat, memukul dan mancengkeram ke tu-
buh lima jawara itu yang dengan cepat bergerak men-
gelak. "Hiaaa...!"
"Heaaa...!"
Orang-orang yang ada di tempat itu seketika
mundur beberapa langkah, untuk memberi ruang ge-
rak bagi mereka yang bertarung. Mereka pun seper-
tinya tak mau terkena sasaran pukulan dari pertarun-
gan itu. "Kubunuh kau, Bocah!" bentak Jaroi sambil menyerang maju dengan pukulan
tangan kanannya.
Namun, Banteng Sumenep tak menunjukkan gerakan
untuk mengelak. Mulutnya malah menyeringai, dan
membiarkan lawan menghantam pukulannya.
Degk! "Ukh!" Jaroi terpekik, tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang dengan
mulut meringis.
Tangannya dirasakan panas bagai terbakar, akibat
memukul dada lawan. Mata Jaroi terbelalak, tak per-
caya dengan apa yang dirasakannya. Begitu pun den-
gan empat temannya serta Tarbiun. Mereka benar-
benar dibuat kaget, menyaksikan bagaimana Mahesa


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lanang tak mengalami apa-apa setelah menerima pu-
kulan maut Jaroi. Pemuda itu hanya tersenyum men-
gejek. "Hanya sebegitu kehebatanmu, Centeng Tolol"!"
dengus Mahesa Lanang. Nada suaranya sangat dingin,
sepertinya mengejek Jaroi.
"Cuih! Sombong kau, Bocah!" dengus Jaroi marah, merasa malu karena di hadapan
majikannya dia tak mampu menunjukkan sesuatu yang berarti.
"Hm, tunjukkan kalau kau masih memiliki yang
lebih dari itu, ayo!" tantang Mahesa Lanang seraya senyum. "Kurang ajar!
Terimalah pukulan 'Jalaprage-ni'ku. Heaaa...!"
Jaroi yang sudah marah, segera mengeluarkan
pukulan saktinya. Tangannya kini berubah merah
membara. Kemudian dengan mengerahkan tenaga da-
lam, Jaroi menghantamkan pukulan dahsyat ke dada
Mahesa Lanang. "Heaaa...!"
Wrt! Degk! "Aaakh...!" Jaroi kembali terpekik keras. Tangannya dirasakan bagai menghantam
batu karang yang sangat kuat. Tubuhnya kembali terhuyung-
huyung ke belakang dengan mata terbelalak kaget,
menatap tegang Banteng Sumenep yang masih terse-
nyum. Sedikit pun tubuhnya tak bergeming mendapat
pukulan dahsyat lawan.
"Hm, hanya sebegitukah kekuatanmu, Cen-
teng" Kini terimalah balasanku!" ujar Mahesa Lanang seraya melangkah mendekati
tubuh Jaroi. Senyum
masih mengembang di bibirnya, seolah-olah tak ter-
gambar ke-marahan sedikit pun di wajahnya.
"Aku sudah siap!" jawab Jaroi menantang. Dianggapnya pemuda itu hanya
mengandalkan kebesa-
ran tenaga, sedangkan ilmu silat dan tenaga dalamnya
kosong. Sehingga, Jaroi masih diam, menunggu seran-
gan lawan. "Benarkah kau sudah siap?" Mahesa Lanang
kembali bertanya.
"Huh, apa kau kira akan mampu mengalah-
kanku"!" dengus Jaroi sengit
Mahesa Lanang tersenyum sinis, kedua kakinya
melangkah mendekati Jaroi. Sementara, keempat te-
man Jaroi dan Tarbiun menatap penuh ketegangan
pada Jaroi. Meski tahu siapa Jaroi sebenarnya, tapi
entah mengapa mereka merasa tegang menyaksikan
penampilan pemuda itu.
"Bersiaplah, Centeng! Heaaa...!"
Tangan pemuda itu mencengkeram pundak Ja-
roi, kemudian dengan cepat kepalanya diadukan den-
gan kepala Jaroi.
"Heaaa...!"
Jaroi menyangka Mahesa Lanang akan mati
menghadapi tenaga dalamnya. Maka segera tenaga da-
lamnya dikerahkan untuk menahan benturan kepala
lawan. "Heaaa...!"
Brakkk! "Akh...!"
Mata semua orang yang ada di tempat itu terbe-
liak menyaksikan kepala Jaroi hancur berantakan aki-
bat berbenturan dengan kepala Mahesa Lanang. Seke-
tika berhambur ke luar otak dan darah dari kepala Ja-
roi. Tubuh Jaroi terpental ke belakang, menggele-
par-gelepar sesaat, kemudian diam, mati dalam kea-
daan yang mengerikan. Kenyataan itu semakin mem-
buat berang semua orang yang menyaksikan. Keempat
Jawara lainnya marah, melihat tindakan pemuda itu.
Mahesa Lanang tersenyum kecut, menatap
mayat Jaroi yang tak karuan dengan kepala pecah. Se-
dangkan keempat Jawara temannya semakin marah,
setelah kematian Jaroi. Dengan mulut mendengus ge-
ram, mereka serentak maju menyerang Mahesa La-
nang. "Kubunuh kau, Bocah! Yeaaa...!" Jumeri melesat dengan serangan dahsyat ke
tubuh Mahesa La-
nang. Disusul ketiga kawannya merangsek sambil me-
nyerang. "Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
"Kubunuh kau, Bocah! Yeaaa...!" Jumeri melesat dengan serangan dahsyatnya ke
tubuh Mahesa Lanang. Disusul ketiga kawannya bergerak merangsek.
"Heaaa...! Yeaaat..!"
Melihat keempat jawara itu menyerang, Mahesa
Lanang tidak berusaha mengelak. Dia hanya tersenyum dan tetap berdiri di
tempatnya! Melihat keempat jawara itu menyerang, Mahesa
Lanang tidak berusaha mengelak. Sambil tersenyum
tetap berdiri di tempatnya, seakan siap untuk meneri-
ma hantaman tangan keempat jawara itu.
Degk! Degk...! "Ukh!"
"Akh...!"
Keempat lelaki bertubuh besar yang menyerang
itu mengeluh, tubuh mereka terhuyung-huyung ke be-
lakang dengan mata terbelalak. Mereka tak percaya,
kalau pukulan-pukulan mereka yang sudah terbukti
kehebatannya, tak mempan bagi Mahesa Lanang.
Bahkan mulut pemuda itu menyeringai, mengejek
keempat lawannya.
"Hanya sebegitukah kemampuan kalian"!"
tanya Mahesa Lanang dengan tersenyum. Matanya
yang merah, menatap tajam keempat jawara yang ter-
paku, penuh rasa heran bercampur geram menyaksi-
kan senyum pemuda itu.
"Bedebah! Kubunuh kau, Bocah Sombong!" ge-
ram Jumeri marah. Tubuh lelaki itu melesat maju den-
gan tangan siap menyerang. Namun, dengan cepat
Mahesa Lanang menangkapnya.
Trap! "Heaaa...!"
Mahesa Lanang dengan cepat menyentakkan
tangan Jumeri. Kemudian lelaki berpakaian hitam itu
diangkatnya. Dan....
"Heaaa...!"
Wrrrt! Brak! "Aaakh...!"
Jumeri terpekik, ketika tubuhnya dengan keras
dibanting ke tanah. Tulang-belulangnya bagaikan re-
muk, akibat bantingan yang sangat keras itu. Sesaat
Jumeri meregang, kemudian diam tanpa nyawa.
Suasana bertambah riuh. Jeritan-jeritan keta-
kutan dari para penari ronggeng dan penabuh gamelan
terdengar memecah suasana malam. Tarub atau atap
tempat pergelaran ronggeng ambruk dan hancur. Seke-
tika itu pula orang-orang yang mabuk, terperanjat dan bangun karena dikagetkan
suara jeritan itu.
Menyaksikan mayat Jaroi dan Jumeri, orang-
orang yang baru bangun itu marah. Mereka tak meng-
hiraukan siapa pemuda itu, dan bagaikan tak melihat
bagaimana Jumeri dibanting sampai mati dengan tu-
lang remuk. Mereka langsung menghunus senjata
mengepung Mahesa Lanang.
"Tangkap pemuda itu, jangan sampai lolos...!"
teriak Tarbiun pada orang-orang yang ada di rumah-
nya untuk menangkap Mahesa Lanang.
"Aku tak akan lari, sebelum mencabut nyawa-
mu!" sahut Mahesa Lanang seraya maju menghadang
orang-orang yang hendak menangkap dan menyerang-
nya. Pemuda bertelanjang dada dengan tubuh kekar
itu bagaikan tak takut meskipun menghadapi lawan
bersenjata. Dengan langkah tegap Mahesa Lanang te-
rus menghadang mereka.
"Heaaa...!"
Trak! Begk! Bacokan dan tusukan senjata yang dilakukan
para pengeroyoknya tak berarti sama sekali. Tubuh
Banteng Sumenep tak mempan apalagi tergores senja-
ta lawan. Bahkan beberapa senjata tajam itu patah,
bagai menghantam benda keras yang kuat.
Prak! "Heh..."!"
Semua mata yang menyerang terbelalak, seo-
lah-olah tak percaya pada apa yang terjadi. Mereka segera melompat mundur dengan
mata masih menatap
tegang pada Mahesa Lanang yang masih tersenyum
mengejek. "He he he...! Apa ada senjata lain yang lebih hebat dari itu?" tantang Mahesa
Lanang dengan som-
bong. Kakinya terus melangkah mendekat ke arah
Tarbiun yang kian tegang, menyaksikan pemuda itu
menghampirinya.
"Jangan hanya diam! Serang dia...!" perintah Tarbiun. Hatinya semakin tegang
setelah menyadari
kalau pemuda itu tak mempan senjata.
Orang-orang yang melihat Banteng Sumenep
hendak mendekati segera berusaha menghadang. Na-
mun dengan sekali menghentakkan tangan, pemuda
itu mampu membuat lawan yang menghadang lang-
sung berhamburan terpental ke mana-mana.
"Kau harus mampus, Tarbiun!" dengus Mahesa
Lanang setelah menyingkirkan orang-orang yang
menghadangnya. Matanya yang merah, menatap tajam
wajah Tarbiun yang mundur ketakutan. Tarbiun ba-
gaikan dihadapkan pada malaikat maut yang siap me-
renggut nyawanya.
"Oh! Apa salahku, Anak Muda" Mengapa kau
hendak membunuhku...?" ratap Tarbiun dengan perasaan tegang, menyaksikan pemuda
bertubuh kekar itu
semakin dekat dengannya. Mahesa Lanang tersenyum
dingin, seakan-akan tak mau memberi ampun sedikit
pun pada Tarbiun.
"Kau harus mampus, Tarbiun!" dengus Mahesa
Lanang. Giginya bergemeretuk keras menahan ama-
rah. "Ki Jenar, tolong...!" jerit Tarbiun berusaha memanggil orang tua sakti
yang diharapkan mampu
menolongnya. Namun, lelaki tua itu sepertinya terlelap dalam tidurnya, bersama
wanita penari ronggeng.
Sementara itu, Banteng Sumenep telah berada
di depan Tarbiun dan siap mencengkeram pundak le-
laki setengah baya itu.
Trep! "Tidak! Ampun!" Tarbiun menjerit dan meratap pada pemuda bertubuh kekar itu.
Namun Banteng Sumenep tak mempedulikan ratapan Tarbiun. Direng-
gutnya kepala lelaki bertubuh gemuk itu, lalu diben-
turkan dengan kepalanya sendiri.
Prak! "Akh...!"
Tarbiun terpekik keras. Kepalanya hancur den-
gan otak dan darah berhamburan. Sesaat tubuhnya
menggelepar-gelepar setelah Mahesa Lanang mele-
paskan cengkeramannya, tapi kemudian diam tak ber-
kutik se-lamanya.
Orang-orang yang menyaksikan kematian Tar-
biun seketika menjerit-jerit ketakutan. Mereka ber-
hamburan, meninggalkan rumah saudagar kaya itu.
Banteng Sumenep tersenyum. Kemudian den-
gan tenang meninggalkan rumah Tarbiun, menembus
malam yang menjelang pagi. ***
3 Pagi-pagi penduduk Desa Cadas Putih berda-
tangan ke rumah Tarbiun untuk membuktikan kabar
yang ramai tersiar di desa itu. Mereka mendengar dari beberapa orang yang
semalam begadang di rumah
saudagar itu, bahwa ada banteng mengamuk.
"Apa"! Banteng..." Banteng mengamuk"!" tanya salah seorang warga desa, ketika
mendengar berita
bahwa Juragan Tarbiun dan kelima jawaranya mati di-
amuk banteng. "Ah! Masa dengan seekor banteng kelima jawa-
ra itu kalah" Rasanya tak mungkin!" sambung yang lainnya, tak percaya pada
berita kematian Tarbiun dan kelima jawaranya.
"Dasar tolol! Bukan banteng sembarangan yang
menyerang mereka di rumah Juragan Tarbiun," sahut orang yang menceritakan
masalah itu pada kedua rekannya.
"Lalu banteng apa?" tanya lelaki kurus itu tak mengerti maksud kawannya.
"Iya, banteng mana lagi?" sambung yang bertubuh gendut
"Yang ku maksud, julukan orang! Pemuda ber-
badan kekar dan tak mempan dengan senjata. Kepa-
lanya pun sangat kuat," tutur Sabian. "Pemuda itu mengaku bernama Mahesa Lanang.
Ng..., dia juga berjuluk Banteng Sumenep."
Berbondong-bondong mereka berdatangan ke
rumah Juragan Tarbiun untuk melayat dan menyaksi-
kan, apa yang sebenarnya terjadi di rumah Juragan
Tarbiun. Di antara kerumunan orang yang hendak me-
lihat mayat di rumah Juragan Tarbiun ada seorang
pemuda berpakaian rompi kulit ular. Tingkah laku
pemuda itu mengundang perhatian orang-orang yang
datang ke rumah Tarbiun.
"Ah ah ah..., rupanya di sini ada banteng men-
gamuk," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular, yang ternyata Sena Manggala,
atau yang lebih dikenal
dengan julukan Pendekar Gila. Mulutnya yang tampak
cengengesan, membuat semua orang yang ada di ru-
mah Tarbiun seketika mengalihkan pandangan pada
pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila itu.
Sena menggaruk-garuk kepalanya. Dengan ma-
sih cengengesan, diperhatikan mayat-mayat yang pe-
cah kepalanya. Kepala mereka seperti habis diadu


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan batu karang yang besar dan kuat
"Hi hi hi...! Di sini tak ada karang, tetapi kepala mereka pecah seperti
membentur karang. Ah, aneh sekali...," kembali Sena bergumam sambil menggeleng-
gelengkan kepala, menyaksikan kejadian itu. Tangan-
nya menggaruk-garuk kepala, dengan mulut masih
cengengesan. Setelah memperhatikan dengan seksama kea-
daan tubuh mayat-mayat di rumah Juragan Tarbiun,
dengan cengengesan Sena meninggalkan tempat itu
untuk melanjutkan perjalanan. Namun, tiba-tiba lang-
kahnya terhenti, ketika dilihatnya seorang wanita cantik berpakaian merah tua
berlari tergesa-gesa menuju
rumah Tarbiun. Sepertinya ada sesuatu yang hendak
dilakukan wanita cantik itu.
"Ah, mengapa harus kupikirkan" Siapa pun
dia, kurasa orang biasa," gumam Sena sambil melanjutkan langkah kakinya,
meninggalkan tempat itu. Ba-
ru saja kakinya berjalan beberapa langkah, tiba-tiba
dari belakang terdengar suara seorang wanita me-
manggilnya. "Tuan, tunggu...!"
Suara yang merdu itu cukup membuat Sena
menghentikan langkahnya. Tubuhnya langsung berba-
lik, dan memandang ke asal suara tadi. Pemilik suara
itu ternyata gadis cantik berpakaian merah tua yang
tadi dilihatnya. Gadis itu berlari-lari menghampiri Pendekar Gila.
Sena cengengesan dengan mata memandang
gadis cantik itu. Lalu tangannya kembali menggaruk-
garuk kepala. Gadis cantik berusia sekitar dua puluh
empat tahun itu mengerutkan keningnya, melihat
tingkah pemuda tampan di depannya. Mata gadis itu
menatap tajam wajah Sena. Gadis itu seperti hendak
memastikan siapa lelaki muda berusia sebaya dengan
dirinya itu. "Aha, ada gerangan apa kau memanggilku, Ni-
sanak?" tanya Sena, masih dengan cengengesan. Kepalanya kini mendongak ke atas,
menatap langit biru.
Tampak sekawanan burung terbang ke utara menim-
bulkan suara yang ramai.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya gadis itu agak ragu-ragu.
Sena mengerutkan kening. Kemudian tertawa
terbahak-bahak, hingga tubuhnya ikut terguncang-
guncang. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, terlalu tinggi julukan itu bagiku, Nisanak.
Namaku Sena. Hanya orang-orang saja yang memberi-
ku julukan Pendekar Gila. Padahal julukan itu terlalu tinggi bagi orang setolol
dan sebodoh diriku," gumam Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Jadi benar kau Pendekar Gila?" tanya gadis cantik itu memastikan.
"Aha, terserah kau saja, Nisanak," jawab Sena seenaknya. Sikapnya yang persis
orang tolol, membuat
gadis cantik itu menarik napas keheranan. Ada pera-
saan gemas terlintas di wajahnya, melihat tingkah laku
dan ucapan Pendekar Gila yang konyol.
"Namaku Kinanti," ujar gadis itu memperkenalkan dirinya. Kemudian setelah
memperhatikan Sena
dengan seksama, Kinanti melanjutkan kata-katanya.
"Aku mendapat pesan dari guruku, jika menjumpaimu agar mengajak ke
padepokannya."
"Hi hi hi..., siapa gurumu, Nisanak?" tanya Se-na sambil cengengesan.
"Guruku Ki Windu Ajar," jawab Kinanti.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya. Dia be-
lum pernah bertemu orang yang dimaksud Kinanti. Hal
itu membuat Sena nyengir, dan tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala. Lalu kepalanya digeleng-
gelengkan sambil tertawa cekikikan.
"Ah ah ah...! Ada apa gerangan hingga gurumu
memanggilku, Nisanak?"
"Entahlah.... Yang pasti, guru mengundangmu,"
jawab Kinanti agak ketus. Gadis itu tampak gemas
mendengar pertanyaan dan tingkah laku Pendekar Gi-
la. "Aha, kau nampak cemberut, Nisanak" Hi hi
hi..., tak baik cemberut! Nanti kecantikanmu hilang,"
goda Sena sambil masih cengengesan.
Kinanti semakin merengut, matanya melotot le-
bar. Hal itu membuat Sena tertawa terbahak-bahak
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Dasar gila!" maki Kinanti. "Guru menunggu kedatanganmu. Ayo ikut aku!"
"Hi hi hi...! Ke mana, Ni?" goda Sena semakin membuat Kinanti jengkel dan kesal.
Namun, Pendekar
Gila malah tertawa terbahak-bahak, merasa senang
menggoda gadis cantik itu. Saat itu pula ingatannya
kembali melayang pada Mei Lie yang ditinggalkan di
rumah Ki Gede Mantingan.
Gadis itu hampir mirip dengan Mei Lie. Hanya
hidungnya yang lebih mancung. Rambutnya pun be-
rombak panjang, mirip dengan rambut Mei Lie. Hal itu
pula yang membuat Sena tertarik untuk menggoda Ki-
nanti. "Sinting! Ayo cepat ikut aku!" sentak Kinanti yang kian kesal melihat
tingkah laku dan ucapan Pendekar Gila. Hati gadis itu agak berdebar, ketika ma-
tanya beradu pandang dengan Pendekar Gila. Meski
bertingkah laku seperti orang gila, tapi ketampanannya cukup membuat hati wanita
itu berdebar-debar.
"Aha, kenapa kau terlalu memaksa, Nisanak"
Tapi baiklah," ujar Sena.
Tanpa banyak berkata lagi, Kinanti segera men-
gajak Pendekar Gila menuju kediaman gurunya. Kedu-
anya lalu berlari meninggalkan Desa Cadas Putih me-
nuju Pegunungan Blige, tempat kediaman Ki Windu
Ajar. Meski belum mengerti apa yang hendak dilaku-
kan Ki Windu Ajar pada dirinya, Pendekar Gila menu-
ruti, karena dilihatnya ada tanda-tanda baik. Kakinya terus berlari mengikuti ke
mana Kinanti pergi.
*** Pendekar Gila terus mengikuti Kinanti yang
mengajak ke tempat kediaman gurunya. Keduanya
seakan tak merasa lelah, terus berlari. Hal itu karena Kinanti ingin segera
sampai ke tempat gurunya.
Begitu juga dengan Pendekar Gila yang masih
penasaran dan ingin tahu siapa guru gadis cantik itu, berusaha ingin cepat
sampai. Meski keduanya baru
bertemu, tapi Pendekar Gila melihat gadis itu bermak-
sud baik. Itu pula yang membuatnya tak merasa sung-
kan. "Aha, masih jauhkah tempat gurumu, Ni?"
tanya Sena sambil terus menggoda. Sesekali larinya
diperlambat, sehingga gadis itu harus memperlambat
larinya. Namun tiba-tiba melesat cepat, sampai Kinanti tak mampu mengejarnya.
"Dasar gila!" gerutu Kinanti. "Hei, tunggu...!"
Kinanti berseru sambil mengejar Pendekar Gila
yang tertawa terbahak-bahak dengan menggaruk-
garuk kepala. "Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Ni! Mengapa
kau seperti burung pipit yang patah sayapnya"!"
"Dasar gila, sebel!" maki Kinanti yang terpaksa tersenyum juga melihat tingkah
laku pemuda konyol
itu. "Hi hi hi.... Sebel" Ah ah ah, bahaya kalau begi-tu!" gumam Sena yang membuat
Kinanti mengerutkan kening, tak mengerti maksud ucapan Pendekar Gila.
"Bahaya..." Bahaya kenapa, Sena?" tanya Ki-
nanti. "Aha, bukankah sebel artinya senang betul" Hi hi hi...!" Kinanti agak
tersentak mendengar ucapan Sena barusan. Wajahnya yang tampak memerah tampak
tersipu malu. Matanya membelalak, tapi bukan karena
marah. "Kinanti, ada apa..."!"
Kinanti dan Sena tersentak kaget ketika tiba-
tiba terdengar suara orang menyapa. Keduanya segera
menoleh ke asal suara itu. Tampaklah seorang pemuda
tampan bertelanjang dada, berusia sekitar dua puluh
lima tahun melangkah mendekat ke arah mereka ber-
dua. "Eh, Kakang Mahesa! Kau di sini, Kakang?" sa-pa Kinanti sambil tersenyum
manis melihat pemuda
bertelanjang dada yang dipanggilnya Mahesa. "Sena, ini kakak seperguruanku.
Namanya Mahesa Lanang.
Tapi sering disebut Banteng Sumenep."
"Aha, sungguh sebuah keberuntungan bagiku,
bisa berkenalan denganmu, Kakang Mahesa," sahut
Sena dengan tingkah laku yang masih konyol. Mulut-
nya cengengesan, dengan sesekali nyengir kuda. Tan-
gannya menggaruk-garuk kepala, seperti kebanyakan
kutu. "O, inikah yang biasa disebut Pendekar Gila, Kinanti?" tanya Mahesa Lanang
tersenyum-senyum,
melihat tingkah laku Sena yang aneh, seperti orang gi-la.
"Benar, Kakang. Dialah yang dimaksud guru,"
jawab Kinanti menjelaskan. "Apakah guru ada, Ka-
kang?" "Oh, ada. Guru tengah menunggu kalian," sahut Mahesa Lanang. Matanya yang
tajam, sejenak me-
natap lekat pada Pendekar Gila. Seakan-akan ada se-
suatu yang menarik perhatian Mahesa Lanang pada
diri Pendekar Gila.
"Terima kasih, Kakang! Ayo, Sena!" ajak Kinanti pada Pendekar Gila. "Kau mau ke
mana, Kakang?" ta-nyanya kemudian pada Mahesa Lanang.
"Aku ingin jalan-jalan, cari angin," jawab Mahesa Lanang. Matanya masih menatap
lekat Pendekar Gi-
la yang masih cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
Bahkan tingkahnya semakin bertambah konyol, mem-
buat Mahesa Lanang tersenyum kecut sambil berlalu
meninggalkan mereka.
Pegunungan Blige yang terletak di sebelah uta-
ra Desa Karang Tengah membentang dari barat ke ti-
mur. Pegunungan itu tampak seperti mengurungi Desa
Karang Tengah. Di lereng Pegunungan Blige, tepatnya
di Desa Karang Tengah, ada sebuah padepokan yang
bernama Padepokan Gedangan Lor. Di padepokan itu-
lah Ki Windu Ajar tinggal bersama murid-muridnya,
yang tengah menuntut ilmu.
Lereng Pegunungan Blige tampak sangat indah.
Di sekelilingnya tumbuh pepohonan menghijau. Saat
itu memang sedang musim semi, di mana daun-daun
mulai bersemi, yang membuat suasana di lereng Pegu-
nungan Blige bertambah indah.
Kinanti dan Pendekar Gila segera menaiki le-
reng pegunungan itu, tempat kediaman Ki Windu Ajar.
Keduanya berlari-lari kecil, sambil tertawa-tawa
seperti dua orang bocah yang sedang bercengkerama.
Tak lama kemudian, keduanya sampai di Padepokan
Gedangan Lor. "Ayo Sena," ajak Kinanti ketika Pendekar Gila masih memandangi puluhan murid Ki
Windu Ajar yang
sedang berlatih ilmu silat. Pendekar Gila menggaruk-
garuk kepala sambil cengengesan. Hal itu membuat
Kinanti tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepa-
la. Keduanya segera masuk ke padepokan. Di da-
lam tampak seorang lelaki tua berambut putih dengan
jenggot serta kumis putih duduk bersila. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh
tahun dengan pakaian seperti resi itu tersenyum ketika melihat kedatangan
Pendekar Gi-la. Kemudian lelaki berpakaian resi warna hijau itu
bangun dari duduknya.
"O, selamat datang di Pulau Madura, Pendekar
Gila! Lama sekali aku ingin bertemu denganmu. Sila-
kan...!" ajak Ki Windu Ajar mempersilakan tamunya duduk. Pendekar Gila pun
menurut duduk. Kemudian
dengan cengengesan sambil garuk-garuk kepala, ma-
tanya memandang ke sekeliling tempat itu. Tampak
senjata-senjata pusaka bergelantungan di sekitar
ruangan itu. Di belakang tubuh Ki Windu Ajar,, berdiri dua batang tombak. Di
samping kanan dan kiri, ter-
gantung sepasang pedang.
"Aha, terima kasih atas sambutanmu yang ra-
mah dan baik ini, Ki. Terlebih dengan Ni Kinanti. Hi hi hi...!" ujar Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan, membuat Kinanti merengut dengan pipi
merona merah. Ki Windu Ajar yang melihat muridnya tersipu
malu, turut tersenyum-senyum. Sepertinya lelaki tua
berpakaian jubah hijau tua itu senang, melihat murid-
nya akrab dengan Pendekar Gila.
"Aha, kalau boleh kutahu, ada apa gerangan Ki
Ajar memanggilku...?" tanya Sena berusaha sungguh-sungguh, setelah tersenyum-
senyum dan cengengesan.
Ki Windu Ajar sesaat terdiam. Dihelanya napas
dalam-dalam, seolah-olah hendak menenangkan pera-
saan. Sejenak matanya memandang lepas ke sekitar
padepokannya. "Pendekar Gila, sudah lama aku mengharapkan
kau datang ke Pulau Madura ini. Sebenarnya aku ingin
sekali minta padamu agar bersedia memberikan bim-
bingan pada muridku Kinanti," tutur Ki Windu Ajar, seraya menoleh ke arah
Kinanti Gadis cantik berpakaian merah tua itu menun-
dukkan kepala, dengan rona merah menghias di wa-
jahnya. Matanya berbinar-binar, seperti ada sesuatu
yang terkandung dalam hatinya. Dengan malu-malu
Kinanti mengangkat kepalanya, lalu melirik Pendekar
Gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepa-
la. "Aha, lucu sekali kau, Ki! Mengapa harus aku
yang kau percaya" Bukankah kau memiliki murid yang
telah berpengalaman?" kilah Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala dan
cengengesan. Kinanti menundukkan kepala, merasa berdebar
hatinya. Dia khawatir kalau pendekar muda itu akan
menolak untuk diikuti olehnya. Di sisi lain hatinya,
Kinanti juga merasa ada sesuatu yang aneh. Perasaan
yang sulit diucapkan dengan kata-kata. Hanya dirinya
sendiri yang dapat mengerti, apa sebenarnya yang ter-
kandung di dalam batinnya.
"Maksudmu Mahesa Lanang, Pendekar Gila?"
balik Ki Windu Ajar bertanya.
"Aha, benar. Muridmu yang bernama Mahesa
Lanang," jawab Sena dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
nyengir kuda. Melihat itu


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Windu Ajar tersenyum-senyum, seraya menghela
napas dalam-dalam.
"Rasanya aku tak tega kalau Kinanti harus ber-
samanya," gumam Ki Windu Ajar. Raut wajahnya seketika berubah muram, seperti ada
sesuatu yang terpen-
dam dalam batinnya.
"Aha, mengapa begitu, Ki" Bukankah Mahesa
Lanang kakak seperguruan Kinanti sendiri...?" tanya Sena sambil mengernyitkan
kening dengan tangan
kembali menggaruk-garuk kepala.
Ki Windu Ajar terdiam sepertinya sangat sulit
untuk menjawab pertanyaan yang baru dilontarkan
Pendekar Gila. Ada sesuatu yang seakan disembunyi-
kan di dalam perasaan lelaki tua itu.
"Entahlah. Aku tak sehati dengan Mahesa. Aku
tak tega, kalau Kinanti berada dengan Mahesa La-
nang," ujar Ki Windu Lanang. "Bagaimana, Pendekar Gila" Apakah kau bersedia
membimbing dan membagi
pengalaman pada muridku?"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan
mulut cengengesan, mendengar permintaan Ki Windu
Ajar. Dia seakan-akan merasa jengah, kalau harus ber-
jalan dengan seorang gadis. Apalagi belum begitu lama dia mengenalnya. Sedangkan
dengan Mei Lie saja dia
sering merasa tak enak.
Ah, aneh sekali orang tua ini! Bagaimana
mungkin aku harus berjalan dengan seorang gadis"
Gumam Sena dalam hati, merasa heran dengan per-
mintaan Ki Windu Ajar yang begitu percaya kalau dia
pemuda baik-baik. Ah! Haruskah aku menerimanya..."
"Bagaimana, Pendekar Gila" Maukah kau berja-
lan bersama muridku?" desak Ki Windu Ajar, dengan mata menatap wajah Pendekar
Gila. Ki Windu Ajar benar-benar mengharap dengan sepenuh hati, akan ke-
sediaan Pendekar Gila untuk menuntun muridnya
mencari pengalaman di dunia persilatan.
"Ah ah ah, kau percaya padaku, Ki?" tanya Se-na dengan tangan kembali menggaruk-
garuk kepala. Kemudian melirik Kinanti, yang tersipu malu.
"Ya, aku merasa tenang jika muridku bersa-
mamu, Pendekar Gila."
"Aha, namaku Sena, Ki," tukas Sena cepat,
memperkenalkan namanya.
"Begitulah, Sena. Aku rasa, lebih aman jika Ki-
nanti bersamamu."
"Aha, kalau memang begitu, baiklah. Sekarang
aku mohon pamit, Ki. Karena aku harus segera mene-
ruskan perjalanan," ujar Sena sambil berdiri.
"Guru, aku mohon doamu!" pinta Kinanti.
"Hati-hatilah! Doaku menyertai kalian."
Setelah menjura, Sena dan Kinanti segera ke-
luar dari Padepokan Gedangan Lor tempat kediaman
Ki Windu Ajar. Dan terus meninggalkan Pegunungan
Blige. *** 4 Pendekar Gila dan Kinanti telah sampai di per-
batasan Desa Karang Tengah. Keduanya tengah melin-
tasi Bukit Sandang Batari, ketika tiba-tiba dari balik rerimbunan pohon
berlompatan empat sosok tubuh
berselubung kain hitam di kepala. Di tangan keempat
orang berpakaian coklat itu tergenggam clurit tajam
yang berkilat putih keperakan.
"Berhenti...!"
Salah seorang dari keempat orang berselubung
hitam membentak. Tubuh keempatnya sama tinggi dan
tegap. Mata mereka yang tampak beringas menatap ta-
jam pada Pendekar Gila.
"Hi hi hi..! Ada kelelawar-kelelawar jelek yang
menghadang kita, Kinanti. Lihat muka mereka lucu
sekali, bukan?" Sena tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang
seperti orang gila, membuat orang-orang berselubung hitam itu mendengus
sengit "Kaukah yang bernama Pendekar Gila"!" bentak lelaki yang mungkin pimpinan
atau orang yang paling
tua dari keempatnya. Matanya menatap tajam, seakan
penuh amarah terhadap Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha...! Siapa yang gila" Kalian yang gi-
la?" sahut Sena dengan cengengesan. "Aha, pantas sekali kalau kalian gila.
Rupanya kalian malu, sehingga menutupi muka. Hi hi hi...!"
Mata keempat lelaki berselubung kain hitam itu
membelalak mendengar ucapan Pendekar Gila. Mereka
mendengus, semakin sengit menyaksikan tingkah laku
Pendekar Gila yang dianggap sebagai hinaan.
"Kurang ajar! Kau terlalu berani dengan Catur
Demit, Pendekar Gila!" bentak Ranjani yang ternyata pimpinan Catur Demit.
Matanya tambah garang menatap wajah Pendekar Gila.
Pendekar Gila kembali tertawa terkekeh, tan-
gannya menggaruk-garuk kepala. Lalu mulutnya cen-
gengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dita-
tapnya sejenak wajah Kinanti, seakan-akan berusaha
memberi tahu pada gadis itu. Kinanti hanya terse-
nyum-senyum melihat tingkah lakunya yang konyol,
sambil memegang pedang yang telah tercabut dari wa-
rangkanya. "Kinanti, mereka itulah yang dinamakan kele-
lawar. Hi hi hi...! Lucu bukan?" Sena mengejek sambil memonyongkan mulutnya.
Kemudian kembali tertawa
terbahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak seperti
seekor kera. "Bocah edan! Rupanya kau perlu berkenalan
dengan Catur Demit!" bentak Ranjani semakin marah mendengar ucapan dan tingkah
laku Pendekar Gila
yang konyol dan menjengkelkan.
Mendengar bentakan keras Ranjani, Pendekar
Gila malah tertawa semakin keras sambil menggaruk-
garuk kepala, lalu berjingkrakan. Hal itu membuat Ki-
nanti yang sudah tak sabar, segera hendak maju.
"Sena, biar kubereskan mereka!"
"Aha, mereka memang perlu diusir. Karena me-
reka sering menakut-nakuti bayi. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil tertawa
cekikikan. "Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!" bentak Ranjani. Kemudian tangan kanannya
bergerak, memberi perintah pada ketiga temannya agar segera
menyerang Pendekar Gila.
"Aha, rupanya kalian mencari mati, Kelelawar
Jelek! Hi hi hi...!"
"Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa...!"
Keempat Catur Demit langsung menyerang
Pendekar Gila. Wrt! "Aha, galak sekali kalian! Wuah, bahaya kalian
main-main clurit," ejek Sena sambil menggeser kaki ki-ri ke samping, lalu
membungkukkan tubuh untuk
mengelakkan serangan. Clurit lawan menderu di atas
tubuhnya. "Sena, kita tak boleh main-main. Mereka harus
segera disingkirkan!" seru Kinanti sambil bergerak memapaki serangan dua
lawannya. "Heaaa...!"
Wrt! Pedang di tangan Kinanti bergerak cepat, mem-
babat dan menusuk ke tubuh lawannya. Hal itu sem-
pat membuat kedua lawannya tersentak kaget. Kedua-
nya segera melompat mundur, kemudian dengan cepat
pula memutar golok untuk menangkis serangan pe-
dang gadis itu.
"Haits! Heaaa...!"
Trang! Trang! "Yeaaa...!"
Dua dentangan keras terdengar secara berun-
tun ketika pedang Kinanti membentur dua clurit yang
berkelebat di depannya. Bagaikan macan betina, tubuh
Kinanti terus bergerak cepat dan lincah dengan pedang berkelebat menyerang dua
orang lawannya. Pedangnya
berputar bagaikan baling-baling yang bergerak cepat,
menyerang dengan sabetan-sabetan dan tusukan ke-
ras mengarah ke tempat-tempat yang mematikan.
"Heaaa!"
Wrt! Pedang di tangan gadis cantik bergaun merah
tua itu tak pernah berhenti. Tangannya terus bergerak memutar pedang, membabat,
dan menusuk ke dada
dan pinggang kedua lawannya.
Keganasan Kinanti dalam melakukan serangan-
serangannya, membuat kedua lawan harus terbelalak
kaget. Mereka tak menyangka, kalau gadis itu akan le-
bih garang daripada Pendekar Gila.
"Celaka, Gento! Ternyata kita salah serang," se-ru Sampian pada temannya, karena
merasa serangan
Kinanti lebih berbahaya dibandingkan dengan pemuda
bertingkah laku seperti orang gila, yang kini mengha-
dapi kedua orang temannya.
Serangan-serangan Pendekar Gila memang
Menuntut Balas 14 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Makam Bunga Mawar 34
^