Pencarian

Dendam Manusia Kelelawar 2

Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar Bagian 2


itu. Sagara tersenyum tipis.
"Akhirnya kutemukan juga jalan menuju ke-
bebasan...!" batin Sagara, selanjutnya dalam kegelapan lorong gua kecil itu,
Sagara terus melangkahkan kakinya yang hanya tinggal sebelah itu. Sungguh pun
sepanjang lorong dalam gua kecil itu dalam keadaan gelap gulita. Tapi bagi
Sagara bukanlah merupakan
hambatan yang berarti. Kegelapan di dalam gua kele-
lawar tempat dia tinggal selama ini telah melatih pen-glihatannya dalam suasana
kegelapan yang bagaimana
pun ujudnya. Tiada hambatan apapun sepanjang lo-
rong yang dilaluinya, kemudian setelah berjalan ku-
rang lebih dua ratus meter, maka di ujung lorong itu, Sagara melihat cahaya
terang benderang di sana. "Tak salah lagi, inilah akhir dari lorong yang sangat
panjang ini...!" batinnya lagi. Setelah sesampainya di luar lorong gua kecil
itu, Sagara membalikkan badannya, sejurus dia menatap ke arah lorong yang baru
saja dilaluinya. Kemudian dengan mempergunakan tangannya
yang terkutung sebatas siku, Sagara menjura hormat.
"Kepada orang tua mulia yang telah mencip-
takan jurus-jurus Kelelawar Hitam! Kuucapkan rasa
terima kasihku yang tiada terhingga padamu. Semoga
apa yang kudapat darimu bermanfaat kelak buat kehi-
dupan orang banyak. Terima kasih, Guru...!" ucapan sambil bersimpuh di depan
pintu gua itu. Tak lama setelah itu, Sagara telah pula berlompatan menjauhi
tempat itu. *** 5 Empat tahun Senopati Karpa memerintah ke-
rajaan Muara Panjang, kehidupan rakyat semakin ber-
tambah sengsara. Kekerasan terjadi di mana-mana,
perampokan, penganiayaan dan perkosaan. Sudah me-
rupakan hal yang sering terjadi di masyarakat. Semua kejadian-kejadian itu
dilakukan oleh orang-orang kerajaan yang mengaku sebagai kaum bangsawan yang
terhormat. Hampir setiap saat hati rakyat selalu dice-kam rasa takut yang
teramat sangat. Terlebih-lebih
bagi mereka yang memiliki anak gadis yang berwajah
cantik. Kepercayaan rakyat kepada rajanya hari demi hari akhirnya terpupus juga,
kesengsaraan dan beban upeti yang sangat tinggi sering berakhir dengan
pemberontakan-pemberontakan kecil di mana-mana. Tapi
apalah daya rakyat kecil seperti mereka yang hanya
bermodalkan tekad tapi tiada memiliki kepandaian
apa-apa. Hampir setiap pemberontakan yang mereka
lakukan selalu berakhir dengan pekik kematian dan
tumpahan darah yang tiada dapat dicegah.
Kalaupun di antara rakyat yang memberontak
itu masih ada yang mampu menyelamatkan diri. Bi-
asanya mereka akan menjadi seorang buronan seumur
hidup. Seperti yang terjadi di pagi itu, tampak tak lebih dari tiga puluh orang
penduduk desa sedang menge-royok tak kurang dari dua puluh orang prajurit
kerajaan yang sedang melakukan pembersihan terhadap
rakyat yang melakukan pemberontakan. Dalam perta-
rungan itu nampak seorang gadis berpakaian biru se-
dang memimpin tiga puluh orang penduduk bersenja-
takan golok dan kampak. Melihat cara mereka mela-
kukan serangan, nampaknya penduduk desa itu me-
rupakan orang yang memiliki ilmu silat yang sangat
lumayan. Tidak seperti para pendahulunya yang mela-
kukan pemberontakan hanya bermodalkan tekad dan
semangat. Kenyataannya gadis berpakaian serba biru itu pun memiliki kepandaian
yang dapat diandalkan.
Ilmu meringankan tubuhnya juga sudah mencapai ta-
raf yang sempurna.
Akan tetapi di pihak prajurit kerajaan Muara
Panjang juga merupakan prajurit-prajurit yang terlatih dalam ilmu peperangan,
apalagi seorang laki-laki berbadan gemuk pendek yang bernama Warok itu. Warok
yang merupakan kaki tangan Senopati Karpa, semasa
raja Muara Panjang yang sah masih berkuasa, sesung-
guhnya orang yang memiliki andil besar dalam meren-
canakan pemberontakan yang disusun oleh Karpa
yang saat itu masih berstatus sebagai seorang Senopa-ti. Warok jugalah yang
memberi jalan pada Karpa un-
tuk menggulingkan pemerintahan raja Jaya Suprana
yang sangat tidak disukainya. Yang melatar belakangi Warok untuk bersekutu
dengan para pemberontak
adalah karena sebagai bendahara kerajaan dia telah
dituduh melakukan penyelewengan terhadap kas keu-
angan dan kekayaan kerajaan. Sungguh pun memang
benar dia dapat menerima tuduhan itu setelah adanya bukti-bukti yang kuat. Namun
dia juga tak dapat
membenarkan tuduhan yang lainnya.
Sejak saat itu, raja Jaya Suprana mencopot
kedudukannya sebagai bendahara istana. Di luar se-
pengetahuan raja yang selama dalam memerintah sela-
lu bersikap adil dan bijaksana. Kiranya Warok merasa sakit hati atas keputusan
raja yang dia nilai terlalu ge-gabah. Dia begitu dendam pada raja Jaya Suprana,
dalam keadaan diliputi dendam seperti itu, dia juga rupanya mencium gelagat
pemberontakan yang dipimpin
oleh Senopati Karpa. Tanpa ragu lagi, Warok yang dulunya juga merupakan seorang
tokoh persilatan yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi ikut menggabungkan
diri dalam pemberontakan itu. Kini setelah raja Jaya Suprana dan seluruh
keluarganya dapat ditawan. Ma-ka sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Senopati
Karpa sebagai raja baru setelah pemberontakan yang dilaku-kannya itu mengalami
satu keberhasilan yang gemi-
lang, memberikan satu kedudukan baru yang tak ka-
lah hebatnya dibandingkan sebagai seorang bendahara istana. Kini kembali pada
pertarungan yang sedang
berlangsung seru-serunya. Saat itu satu demi satu
korban mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Namun dalam kenyataannya di pihak
gadis berpakaian biru
korban jatuh lebih banyak lagi. Bahkan boleh dikata dalam pertarungan
selanjutnya, pihak pemberontak
yang jumlahnya hanya puluhan orang itu sudah mulai
terdesak hebat. Mati-matian mereka bertahan, segala kemampuan mereka kerahkan
untuk membendung serangan senjata pihak prajurit kerajaan yang datangnya secara
cepat dan sulit untuk diduga-duga. Sebaliknya pertarungan antara gadis
berpakaian biru dengan Warok juga sedang mencapai puncak-puncaknya. Dengan
mempergunakan sebuah kipas terbuat dari tembaga,
gadis jubah biru yang bernama Ambarwati sedapatnya
berusaha merubuhkan Warok dengan serangan-
serangan ganas dari jurus-jurus kipas yang dimili-
kinya. Sementara di pihak Warok sendiri dengan masih mempergunakan jurus-jurus
silat tangan kosong terus bergerak cepat menghindari setiap sergapan senjata
maut di tangan si gadis.
"Chaaaat...! Traaat.... Traaaat...!"
Kipas di tangan Ambarwati bergerak ke arah
bagian dada Warok dengan tujuan melakukan satu to-
tokan pada jalan gerak lawannya. Sementara bagian
kaki kanannya melakukan satu tendangan ke arah ba-
gian perut lawannya.
"Uuuts... Sialan kau bocah manis...!" Warok menarik kakinya dua langkah ke
belakang dengan
sangat cepat, serangan kilat ke bagian dada dan perut Warok luput, sebaliknya
tanpa diduga-duga tangan
Warok menyambar ke arah kaki Ambarwati yang masih
terayun dan gagal mencapai sasarannya. "Creeep!"
"Auuugh...!" Ambarwati keluarkan suara pe-kikkan tertahan begitu dia merasakan
adanya jemari yang sangat kokoh telah mencengkeram erat bagian
tumitnya. Gadis itu benar-benar sangat terkejut dan berusaha meronta sambil
mengebutkan kipasnya ke
bagian wajah Warok, sambil mengekeh jago istana Mu-
ara Panjang itu dengan nekad merampas kipas di tan-
gan Ambarwati. "Sreeet! Brebeet...!"
Sungguh besar tenaga dalam yang dimiliki
oleh Warok, dengan sekali renggut, kipas di tangan
Ambarwati telah pula berpindah tangan. Lebih cepat
lagi dia menotok bagian dada dan kaki Ambarwati, sehingga menyebabkan tubuh
gadis berwajah menawan
tersebut terasa sangat sulit untuk digerakkan. Menyadari keadaannya dan melihat
cara Warok memandang
kepadanya, tiba-tiba gadis itu menyadari nasib apa
yang bakal dialaminya jika dia sampai tertawan. Dalam pada itu Warok tanpa
menghiraukan para bawahannya
yang sedang bertarung melawan beberapa gelintir la-
wan lagi terus saja tertawa-tawa senang.
"Anak manis, mengapa wajahmu jadi sepucat
itu" Pemberontakan.... he.... he... he...! Gadis secan-tikmu tidak pantas
melakukan pemberontakan. Di-
pancung kepalamu, itu hukuman yang paling ringan!"
desisnya tanpa ada maksud mengancam. "Sekarang ini kalau aku menyeret mu ke kota
Raja, setidak-tidaknya mimpi yang sangat buruk itu benar-benar akan kau
alami. Tapi kau masih punya pilihan lain untuk menghindari kematianmu. Asal
saja...!" Tanpa melanjutkan ucapannya, Warok terus terkekeh-kekeh. Ambarwati
sadar ke mana arah ucapan Warok itu, sebagai jawa-
bannya dia meludahi wajah Warok yang bopeng-
bopeng bekas penyakit cacar dulu.
Sementara itu pertarungan antara prajurit-
prajurit kerajaan dengan kelompok pemberontak yang
dipimpin oleh Ambarwati sudah terhenti. Seluruh
pemberontak yang berjumlah tiga puluh orang, semu-
anya tewas dengan keadaan yang sangat menyedihkan.
Sedangkan di pihak prajurit kerajaan hanya bersisa
sepuluh orang. Tak jarang di antara mereka yang se-
lamat mengalami luka-luka yang tidak ringan.
"Tuan Warok... kami telah berhasil membu-
nuh tikus-tikus pemberontak itu, tapi di pihak kita telah gugur, sepuluh
orang...!" lapor salah seorang di antaranya mewakili yang lain-lainnya. Warok
mendengus, tadi dia juga memandang pada prajurit itu seketika
lamanya. "Kuburkan kawan-kawanmu secepatnya. Biarkan aku akan mengadili gadis
ini!" perintah jago istana Muara Panjang tegas, prajurit itu berbalik langkah
dengan tubuh terbungkuk-bungkuk memberi
hormat. Seperginya prajurit tersebut Warok kembali
berpaling pada Ambarwati yang masih tetap terlentang tidak begitu.
"Bagaimana, manis" Apakah kau mau meme-
nuhi permintaanku...!" tanya Warok dengan hidung kembang kempis. Ambarwati
mendengus, ingin rasanya dia mencakar mulut Warok yang tiada berkumis
itu, ingin pula rasanya dia mencincang-cincang tubuh gemuk laki-laki bermuka
pucat itu. Tapi tubuhnya
yang kaku tertotok itu tak memungkinkan untuk me-
lakukan segala sesuatu yang diinginkannya.
"Keparat... tikus gemuk! Mau bunuh silakan
bunuh, mengapa harus berbasa basi?" maki Ambarwati berusaha terus meronta.
"Membunuhmu! Itu tidak terlalu sulit...! Tapi
menurutku, lebih baik kau jadi isteriku. Kau pasti hidup enak bersamaku, pula
aku belum terlalu tua un-
tuk hidup berdampingan dengan ku...!"
"Keparat! Bandot tua, jangan kira aku berse-
dia hidup bersama dengan seorang pemeras rakyat.
Bagiku lebih baik...!" teriak Ambarwati histeris. Memerah wajah Warok yang pucat
seketika, nampaknya dia
sudah hilang rasa kesabarannya. Kemudian selangkah
demi selangkah dia menghampiri Ambarwati, sampai
akhirnya langkahnya terhenti sejengkal tepat berada di depan tawanannya. Kedua
matanya sebentar memandang berkeliling, suasana sepi menyelimuti daerah itu.
Darah berdesir saat mana dia memandang pada bagian
dada Ambarwati yang bergerak sedemikian cepat kare-
na menahan marah. Mendadak, sekali tangannya ber-
gerak mencengkeram;
"Brebet...!"
"Auugh...! Bangsat cabul...!" maki Ambarwati manakala bagian dadanya terobek
besar. Dari pakaian yang tercabik itu, menampakkan dua bukit kembar
yang sangat indah bentuknya. Sedapatnya Ambarwati
berusaha menggerakkan tubuhnya dalam usaha me-
nutupi bagian dadanya yang terbuka lebar. Keadaan
seperti itu membuat jantung Warok semakin berdetak
tak karuan. Wajahnya semakin bertambah memerah
karena gejolak nafsu yang meledak-ledak. Tiba-tiba setelah celingak celinguk
kanan kiri, Warok langsung
menjatuhkan dirinya di atas tubuh Ambarwati.
Sementara di luar sepengetahuan Warok, be-
berapa orang prajurit yang masih merupakan bawa-
hannya melihat kejadian itu dengan pandangan melo-
tot. Tanpa memperdulikan sekelilingnya, Warok yang
sudah dirasuki nafsu iblis itu pun terus menjatuhkan ciuman bertubi-tubi atas
diri si gadis, kedua tangannya bergerak liar meranjah apa yang saja yang
dimiliki oleh Ambarwati. Dalam keadaan tertotok seperti itu, tiada kemampuan
baginya untuk melakukan perlawa-
nan. Hanya linangan air mata membayangkan rasa ta-
kut yang teramat sangat.
"Breeet...!"
Warok menyentakkan pakaian bagian bawah
yang melilit tubuh Ambarwati, kejab kemudian dia sudah mulai berusaha menindih
tubuh si gadis. Tetapi
secara tiba-tiba di luar sepengetahuan mereka semua.
Nampak, melesat sebuah batu berukuran sangat kecil
mengarah pada bagian tengkuk jago istana Muara Pan-
jang ini. Sungguh pun sedang dalam keadaan dilanda
nafsu, kiranya Warok memiliki naluri yang sangat tajam. Begitu dia merasakan
adanya angin sambaran
yang cukup keras di belakangnya, cepat-cepat dia bergeser, lalu menyampok
luncuran benda tadi dengan
tangan kanannya.
"Puuut! Auuughk...!" keluh Warok. Memang
pada kenyataannya biar pun dia berhasil menghindari adanya serangan senjata
rahasia itu, tetapi dia merasakan tangannya terasa sakit luar biasa. Antara
nafsu birahi dan amarah karena mendapat bokongan dari
orang yang tidak dikenalnya. Warok cepat-cepat bangkit, pandangan matanya
menatap liar pada keadaan di sekelilingnya. Tapi dia tidak melihat adanya tanda-
tanda kehadiran orang lain di tempat itu, terkecuali para bawahannya sendiri.
"Manusia kampret...! Jangan bersikap penge-
cut seperti itu, tuajukkanlah diri kalau memang benar engkau seorang yang
jantan...!" tantangnya penuh percaya diri. Sesaat lamanya keadaan sunyi sepi,
hanya gaung suara Warok menggema di sepanjang tebing ba-tu gamping yang mengapit
jalan itu. Tapi setelah gema suara Warok berlalu untuk kemudian lenyap sama
sekali. Maka terdengarlah suara tawa berkepanjangan
yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
sangat hebat. "Heaaaa... ha... ha... Hei manusia tolol yang


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjuluk Warok Selatan. Yang jantan adalah sosok binatang sepertimu. Bukan aku,
lihat sajalah caramu
yang hendak memperkosa orang lain. Bukankah cara
itu tak lebih merupakan tanda bagimu sebagai bina-
tang yang sangat menjijikkan...!" berkata begitu seso-sok tubuh melayang
sedemikian ringannya dari atas
sebatang pohon yang terdapat di atas tebing itu.
"Jleeek!"
Begitu indahnya kedua kaki pemuda berkun-
cir itu menjejakkan kakinya di atas permukaan tanah.
Baik Warok maupun sepuluh orang prajurit yang saat
itu sudah bergerak mengepungnya nampak terperan-
gah. Laki-laki berwajah tampan itu kelihatan masih
sangat muda, tapi dari caranya bergerak dari cabang pohon serta begitu merasakan
suara tawanya tadi. Jelas pemuda berpakaian dekil ini bukanlah pemuda
sembarangan, namun Warok sendiri menyadari baru
pertama kali inilah dia bertemu dengan si pemuda.
*** 6 Sungguh pun dia masih belum dapat mendu-
ga kehebatan pemuda asing itu, namun sebagai jagoan istana Muara Panjang.
Sedikit pun dia tidak pernah
merasa gentar berhadapan dengan pemuda itu. Den-
gan sikapnya yang sangat angkuh, Warok membentak
dengan diiringi sesungging senyum mencemooh
"Bocah... melihat tampangmu. Kukira engkau
seorang pengemis yang suka usilan dengan urusan
orang lain... benar sekali, agaknya engkau merupakan
gembel yang sudah bosan hidup...!"
Tanpa menjawab sepatah kata pun Buang
Sengketa mendekati Ambarwati yang masih dalam
keadaan tertotok dengan keadaan pakaian tak karuan.
Mulanya dia merasa ragu-ragu, tapi akhirnya dibesarkannya niat dengan satu
tujuan yang baik. Tetapi sebelum tangannya bergerak untuk membebaskan toto-
kan itu, Warok datang menerjangnya dengan satu ca-
karan mengarah pada bagian lambung dan rusuk ki-
rinya. Menyadari bahaya itu. Buang bukanlah mengu-
rungkan niatnya untuk membebaskan gadis itu. Seba-
liknya dengan tangan kirinya dia memapaki cakaran
maut yang dilakukan oleh Warok, sementara tangan
yang lainnya membebaskan totokan di bagian dada
dan kaki Ambarwati.
"Auugh...!"
Ambarwati keluarkan pekikan tertahan saat
mana jemari tangan pendekar Hina Kelana menyentuh
salah satu bukit kembar itu, walau pur Ambarwati ta-hu bahwa pemuda itu bermaksud baik kepadanya,
namun nampaknya dia tidak mau terima begitu saja.
Begitu dia terbebas dari pengaruh totokan
Warok, tanpa menghiraukan keadaan dirinya yang se-
tengah telanjang, dia langsung menyerang Buang
Sengketa secara membabi buta.
Sudah barang tentu, saat itu tangan Buang
Sengketa yang melekat erat dengan jemari tangan Wa-
rok, tidak dapat digerakkan dengan sangat leluasa.
Terlebih-lebih detik itu dia sedang mengerahkan jurus Koreng Seribu, yang
sifatnya membetot tenaga dalam
lawannya dan memerlukan konsentrasi yang penuh.
Karuan saja pukulan jarak dekat tersebut tak dapat
dielakkannya. Dia menerima dengan sambutan tangan
kanannya. "Plaak!"
Laksana terbang semangat Ambarwati demi
melihat kenyataan yang didapatnya, sebelum melaku-
kan pukulan 'Mega Biru', tadi pun dia sempat melihat tangan Warok melekat erat
begitu jemari tangan yang membentuk cakar itu membentur tangan si pemuda.
Mulanya dia menyangka bahwa Warok sengaja menga-
du tenaga dalam dengan lawannya. Pada kenyataan-
nya dia sendiri merasakan tangannya melekat erat pa-da tangan Buang Sengketa.
Semakin dia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk menarik balik tangannya, ma-
ka dia merasakan ada sesuatu yang mengalir deras
melalui tangannya, untuk selanjutnya berpindah ke
tangan Buang Sengketa.
"Jangan kau kerahkan tenagamu untuk me-
narik balik tanganmu!" kata si pemuda melalui ilmu menyusupkan suara. Dan
tampaknya Ambarwati juga
sedikit banyaknya mengetahui tentang ilmu menyu-
supkan suara. Secara perlahan jemari tangan Ambar-
wati mulai mengendor, sebaliknya demikian juga hal-
nya yang terjadi pada Warok.
"Wuut! Wuut!"
Secara hampir bersamaan Warok dan Am-
barwati menyentakkan tangannya masing-masing.
"Sialan... kiranya bandot Warok itu tahu juga
tentang ilmu menyusupkan suara!" gerutu pendekar Hina Kelana.
Ambarwati pucat wajahnya, apalagi kini se-
mua mata memandang padanya. Buang Sengketa me-
nyadari apa sesungguhnya yang sedang dirisaukan
oleh gadis yang belum dikenalnya itu. Kemudian tanpa ragu lagi, segera mengambil
beberapa helai pakaian di dalam periuknya. Selanjutnya melemparkannya pada
Ambarwati, tanpa membuang waktu Ambarwati lang-
sung menerimanya, untuk kemudian berlari-lari kecil menuju sebuah tempat yang
terlindung dari pandan-
gan mata. Saat itu sepuluh orang prajurit telah mengu-
rung Buang dengan jarak yang sangat rapat. Sementa-
ra Warok sendiri masih dalam keadaan sempoyongan.
Dia merasakan tubuhnya sangat lemas luar biasa, te-
naga bagai lenyap tak ubahnya orang yang baru saja
melakukan pertarungan ratusan jurus.
"Ah... ah... ah...! Tikus-tikus kerajaan dan
yang seekor lagi tikus Warok istana. Bangsat betul...
melihat perut kalian yang pada buncit kayak perem-
puan bunting. Pantas saja berpuluh-puluh desa yang
telah kulalui, badan orang-orang desa pada kurus macam orang cacingan. Tak
dinyana, rupanya makanan
mereka telah kalian serobot dengan dalih pembayaran upeti...!" "Keparaaat...
Siapakah engkau ini yang sebenarnya Ki Sanak... tampangmu baru kali ini aku
melihatnya!" bentak Warok tak kalah geramnya.
Pendekar Hina Kelana keluarkan tawa berge-
lak; "Mengenai siapa diriku" Hemm. Rasa-rasanya itu tak terlalu penting. Tapi
untuk tidak membuatmu penasaran, orang-orang memanggilku sebagai si Hina
Kelana...!" kata Buang Sengketa tanpa ada maksud me-nyombongkan diri.
Sungguh pun begitu pengakuan Buang mem-
buat Warok sedikit memucat wajahnya. Sedikit ba-
nyaknya tentu dia pernah mendengar tentang sepak
terjang seorang tokoh yang masih sangat muda di ta-
nah air bagian barat. Pemuda golongan putih dan ma-
sih merupakan titisan rajanya para siluman itu, konon sangat ditakuti oleh
datuk-datuk persilatan dari berbagai golongan karena kehebatan "Pusaka Golok
Buntung" dan "Cambuk Gelap Sayuto" yang sangat dahsyat itu. Warok berfikir, masa
iya tokoh muda yang
memiliki kesaktian luar biasa itu hanyalah berujud sosok tampan namun gembel,
bahkan periuk yang
menggelantung di pinggangnya memberi sebuah kesan
orang yang kurang waras.
"Kau jangan mengada-ada, Ki Sanak...!" tukas Warok, hatinya diliputi keraguan.
Sementara itu, para prajurit yang tidak memiliki pengetahuan luas tentang
kehadiran dan sepak terjang pendekar Hina Kelana,
kelihatan masih tenang-tenang tanpa memperlihatkan
keterkejutan sedikit pun. Bahkan di luar dugaan me-
reka sudah semakin rapat mengurung Buang dengan
senjata terhunus.
"Tikus Warok... kalau kau pernah mendengar
tentang pendekar Golok Buntung, si Hina Kelana, akulah orangnya...!"
"Oho... jadi gembel sepertimu inilah orang-
nya?" maki Warok marah sekali. Dia pun cukup menyadari adanya bahaya yang sangat
besar bakal men-
gancam kekuasaan Senopati Karpa. Bagi dirinya andai dapat menangkap pemuda itu
hidup atau mati, sudah
pasti raja akan memberinya hadiah yang sangat besar.
Tapi dia pun tahu kalau dalam pertarungan nanti apakah dia berada di pihak yang
menang atau malah se-
baliknya. Begitu pun dia selalu yakin pada kemam-
puan yang dimilikinya.
"Ki Sanak, baiknya kau menyingkirlah dari
wilayah kekuasaan kerajaan Muara Panjang. Jika ti-
dak, maka tiang gantungan telah menantimu...!" ancam Warok tanpa bermaksud
menakut-nakuti. Se-
sungging senyum sinis menghias di wajah Buang
Sengketa, tanpa sungkan-sungkan dia pun menyelak:
"Tikus Warok... sungguh tidak kusangka sama sekali, kalau orang terhormat
sepertimu sekaligus sebagai bekas bendahara kerajaan engkau telah begitu tega
bersekutu dengan pihak pemberontak seperti Anjing Kar-
pa! Ternyata kau seorang pendendam yang berjiwa
pengecut! Bahkan tak segan-segan melakukan pem-
bunuhan terhadap kaum yang lemah. Yang lebih me-
malukan lagi, di depan hidung para bawahanmu kau
hendak melakukan perkosaan. Apakah tidak sama ar-
tinya kau mengajarkan pada prajurit-prajurit itu untuk melakukan perkosaan
terhadap selir raja...?"
Kata-kata yang bernada ejekan itu karuan sa-
ja membuat kemarahan Warok bergolak memenuhi
rongga dadanya.
"Bocah! Mulutmu benar-benar sangat keterla-
luan sekali. Kalau kubiarkan terus engkau nyerocos, sebentar lagi kau pasti
menginjak-injak kewibawaan
pemerintah kerajaan...!"
"Bukan saja hanya ku injak-injak, tapi pada
saatnya aku akan mengobrak abrik kekuasaan Seno-
pati Karpa dan membebaskan rajanya yang sah...!"
Nampaknya Warok sudah tak mampu mem-
bendung kemarahannya, lagi kemudian dia memberi
isyarat pada para prajuritnya. Tanpa menunggu dipe-
rintah dua kali, prajurit-prajurit kerajaan Muara Panjang langsung membuka
serangan-serangan ganas.
Namun sebelum mereka sempat bertindak lebih lanjut
terdengar seruan tinggi melengking
"Pendekar Hina Kelana! Tikus-tikus kerajaan
itu menjadi bagianku...!" teriak Ambarwati yang saat itu telah berganti pakaian
pemberian Buang Sengketa.
Begitu datang, gadis ini langsung menerjang dengan
jurus-jurus tangan kosong, "Hembusan Bayu". Hebat sekali serangan-serangan yang
dilancarkan oleh Ambarwati ini. Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai taraf lumayan serta kelin-cahan tubuh dalam bergerak.
Membuat lawan- lawannya yang bersenjatakan pedang kerepotan juga.
Seperti diketahui Ambarwati sebenarnya masih meru-
pakan saudara kandung Sagara, atau si Manusia Kele-
lawar yang sampai saat sekarang masih belum diketa-
hui nasibnya oleh adik kandungnya tersebut. Pada
saat terjadinya penangkapan dan akhirnya Sagara
menjalani hukuman pancung. Ambarwati yang sedang
berguru pada seorang tokoh yang tidak begitu terna-
ma. Beberapa bulan setelah kejadian yang menimpa
abangnya itu, Ambarwati muncul dengan maksud
membantu usaha abangnya dalam menyusun kekua-
tan untuk menyerang kekuasaan raja baru yang san-
gat sewenang-wenang itu. Tapi hampir tak dapat dia
percaya, saat mana dia menerima kabar dari orang-
orangnya, bahwa kakak kandungnya telah tertangkap
oleh prajurit-prajurit kerajaan, bahkan konon menurut beberapa saksi mata
bersama orang-orang yang melakukan tindak pencurian, Sagara telah pula menjalani
hukuman yang lebih mengerikan. 'Dibuntungi sebelah
kaki dan kedua belah tangannya'. Ketika itu, tiada harapan lain, maka Ambarwati
dengan bekal kepandaian
yang dimilikinya serta dibantu oleh beberapa puluh
orang yang bersimpati dengan perjuangannya, secara
sembunyi-sembunyi melakukan pemberontakan.
Sayangnya niat yang baik tersebut tidak di-
tunjang dengan kemampuan fisik maupun kepandaian
yang memadai. Hingga baru berhadapan dengan Wa-
rok saja dia dan sudah kena dikalahkan. Masih un-
tung seorang pemuda yang berjuluk pendekar 'Hina
Kelana' itu dapat menyelamatkannya dari ancaman
yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian.
Menyadari sampai ke situ, mengamuklah Ambarwati
secara membabi buta. Sekali waktu dia merampas pe-
dang milik prajurit-prajurit itu, selanjutnya memba-batkan pedang rampasan
tersebut ke arah lawan-
lawannya. Tak ayal lagi, jerit kematian pun menggema di sekitar tempat
pertarungan itu.
Pada saat yang sama pertarungan antara
Buang Sengketa dengan jago istana Muara Panjang se-
dang berlangsung seru-serunya. Berulang kali bentrok tenaga dalam pun tak dapat
dihindari lagi, dalam adu tenaga dalam ini nampaknya Warok berada setingkat
di bawah lawannya. Pukulan demi pukulan dilepaskan
silih berganti, dari Pukulan Empat Anasir Kehidupan tingkat pertama sampai
tingkat ke empat, hanya membuat tubuh Warok tergetar dan terhuyung-huyung be-
berapa langkah, pukulan selanjutnya Buang memper-
gunakan serangan maut 'Si Hina Kelana Merana',
sampai pada pukulan ini, Buang Sengketa hanya
mampu membuat tubuh lawan terpelanting tiga tom-
bak dengan memuntahkan darah kental dari mulut
Warok. Begitu pun Warok masih dapat mempertahan-
kan diri dengan pukulan andalannya 'Beruang Es
Menggulung Badai Salju', tingkat satu, dua, dan tiga.
Sungguh sangat luar biasa. Selama malang melintang
di rimba persilatan, banyak lawan-lawannya yang te-
was hangus dengan hanya mempergunakan pukulan
'Empat Anasir Kehidupan', tapi kini seorang jago istana kerajaan yang bernama
Warok tidak tumbang den-
gan pukulan andalan 'Si Hina Kelana Merana'. Walau-
pun sampai detik itu Warok hanya mampu bertahan
tanpa sedikit pun dapat melakukan serangan balik.
Namun bagi Buang Sengketa hal itu adalah sesuatu
yang sangat langka dan tak pernah dia temukan pada
lawan-lawannya terdahulu. Diam-diam pendekar Hina
Kelana memuji dalam hati.
"Ciaaat...!"


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Buang Sengketa berkelebat undur tiga
tombak, dia pun dapat merasakan betapa hawa dingin
masih menyerang ke arah dirinya. Sedapatnya dia mu-
lai mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir hawa
dingin yang ditimbulkan oleh pukulan yang dilepaskan
oleh Warok. Saat itu bagai tak merasakan sakit yang
mendera di sekujur tubuhnya, Warok sembari menye-
ka darah yang meleleh di bibirnya, nampak menyung-
gingkan seulas senyum getir. Walau dia pun secara
pribadi tetap tidak memungkiri bahwa dirinya sedang menderita luka dalam yang
sangat hebat. Namun dengan sikapnya yang tetap menantang detik kemudian
dia sudah menyela
"Kuakui, kau benar-benar seorang pendekar
yang hebat! Namun sampai mati pun aku tak percaya
bahwa kau ini merupakan pendekar Hina Kelana, se-
belum aku melihat dengan mata kepala sendiri bagai-
mana hebatnya pusaka Golok Buntung, yang membuat
kucar kacir kaum persilatan itu...!" menyelak Warok merasa masih penasaran.
"Hak... ha... ha...! Menyesal sobat, begitu pusaka Golok Buntung tercabut dari
sarungnya. Kau tak akan pernah mampu melihatnya. Mulanya banyak juga
orang-orang yang cari penyakit menginginkan sesuatu yang seperti apa yang kau
ingin kan itu, namun seperti para pendahulunya mereka pun tak pernah mampu
menyaksikan kehebatan golok itu...!" bentak pendekar Hina Kelana, dan saat itu,
kedua mata pemuda dari
negeri Bunian itu nampak berubah memerah saga. Da-
ri celah-celah bibirnya terdengar bunyi mendesis bagai ular Piton yang sedang
dilanda kemarahan. Dan itulah satu tanda baginya bahwa saat itu dia sedang
berada pada puncak kemarahannya. Warok sebenarnya melihat perubahan itu, namun
rasa penasaran akan kebe-
naran tentang apa yang dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana, membuat kecutnya
lenyap sama sekali. Bahkan dengan sangat berani dia nyeletuk;
"Kalau kau memang benar-benar pendekar
Hina Kelana, tunjukkanlah satu bukti padaku tentang
kehebatanmu itu...!" katanya mencemooh.
Kala itu Buang Sengketa sudah tiada mem-
perdulikan kata-kata Warok, sebagai jawabannya, ser-ta merta dia meraba
pinggangnya. Kemudian laksana
kilat, dia cabut pusaka Golok Buntung yang pamornya sangat menghebohkan itu.
Jago istana Muara Panjang
merasa tersirap darahnya begitu melihat sinar merah menyala yang terpancar dari
pusaka di tangan Buang
Sengketa. Bahkan mendadak dia dapat merasakan be-
tapa udara di sekitar tempat itu berubah menjadi dingin luar biasa. Bahkan baik
Warok, maupun Ambarwa-
ti yang baru saja menyelesaikan pertarungan dengan
prajurit-prajurit kerajaan dan saat itu menonton pertarungan tak begitu jauh
dari tempat itu terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa din-
gin yang terasa menggigit sampai ke tulang sumsum.
Dalam keadaan seperti itu, nampaknya
Buang Sengketa sudah tiada memperdulikan keadaan
lawannya. Selanjutnya dengan disertai jeritan panjang bagai hendak meruntuhkan
tebing di pinggiran jalan. Tubuh pendekar Hina Kelana, mendadak berkele-
bat lenyap. Detik berikutnya Warok hanya merasakan
hawa dingin berkelebat-kelebat menyambar di sekitar tubuhnya, sementara itu
sinar merah menyala menyer-takan bunyi berdengung-dengung terasa menyambar-
nyambar di sekelilingnya. Menghadapi bahaya yang
sedang mengintainya, Warok dengan mengandalkan
jurus Singa Bayangan, berusaha menyelamatkan diri
dari ancaman senjata maut tersebut. Satu ketika;
"Wuuut...!"
"Haeees!"
Secara bersusah payah, Warok masih dapat
membuang tubuhnya menghindari sergapan golok di
tangannya. Celakanya bagai bermata saja, Golok Bun-
tung di tangan lawannya terus memburunya ke mana
pun dia pergi. Hingga pada saat yang sangat tepat, tak ayal lagi senjata itu
menyambar. "Jrooos...!"
"Akkkhh...!"
Terdengar suara pekikan tertahan saat mana
tubuh Warok terpelanting jatuh akibat sambaran golok di tangan Buang. Begitu
tubuh gemuk itu terbanting di atas tanah, maka Warok pun tiada berkutik untuk
selama-lamanya.
Buang Sengketa masih dapat melihat sebuah
luka yang sangat lebar menggurat di bagian perut lawannya. Selanjutnya dia
memasukkan golok itu ke da-
lam sarungnya. Seperti tak pernah terjadi apa-apa,
kemudian dengan wajah tertunduk Buang mengayun-
kan langkah tanpa memperdulikan Ambarwati, yang
terkagum-kagum memandangi kehebatan pemuda itu.
"Kelana... tunggu...!" teriak gadis itu, seraya tanpa sadar mengikuti Buang
Sengketa dari belakang.
*** 7 Istana kerajaan Muara Panjang sebenarnya
merupakan sebuah bangunan yang sangat besar lagi
indah. Pada halamannya yang sangat luas ditanami
dengan berbagai tanaman yang terdiri dari tanaman
pelindung. Sedangkan di sekeliling istana itu berdiri kokoh sebuah tembok yang
menjulang tinggi yang ber-fungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan-
serangan pihak musuh. Biasanya suasana di dalam is-
tana Muara Panjang saat-saat senja hari begitu selalu dalam keadaan lengang.
Namun di senja itu, suasana di dalam ruan-
gan istana disibuki oleh kehadiran para pembesar dan orang-orang penting istana.
Di sebuah ruangan pertemuan nampak hadir
Wintang Kelelep, Godam dan para algojo penting lainnya. Sedangkan di sebelah
kiri yang menghadap kursi singgasana raja nampak pula Sudra Blonteng, Senopati
Salya, yaitu senopati pengganti raja yang menduduki tahta kerajaan saat itu.
Suasana di dalam ruangan
pertemuan itu nampak sunyi mencekam. Raja Karpa,
atau yang dulunya lebih dikenal dengan Senopati Kar-pa nampak termangu di atas
singgasananya. Selama
hampir empat tahun memerintah kerajaan Muara Pan-
jang, akhir-akhir ini dia merasa mendapat teror yang sangat mengejutkan hatinya.
Mula-mula Raja Karpa mendapat laporan Su-
dra Blonteng bentrok dengan seorang pemuda yang
menamakan dirinya 'Pendekar Hina Kelana', terkecuali Sudra Blonteng sendiri,
semua orang-orangnya tewas
di tangan pemuda berkuncir yang konon memiliki
tingkat kepandaian yang dapat disejajarkan dengan
Dewa. Tak lama setelah itu, hampir setiap malamnya, beberapa orang prajurit
kerajaan yang sedang melakukan ronda ditemukan tiada bernyawa dengan luka be-
kas gigitan dan guratan bergambar kelelawar hitam di bagian prajurit-prajurit
yang malang itu
Hampir setiap malam, penjagaan baik di da-
lam maupun di luar istana semakin diperketat. Sejauh itu tetap saja korban
berjatuhan tiada mengenal henti.
Dan sekarang Raja Karpa baru saja menerima
laporan tentang tiada kembalinya Warok dari tugasnya melakukan patroli di
seluruh desa yang menjadi kekuasaan kerajaan Muara Panjang. Sungguh merupakan
kejadian yang sangat mengejutkan, apalagi tidak didapat kabar ke mana atau apa
yang sedang terjadi pada jago istana tersebut. Dan barusan algojo yang bernama
Godam mengutus beberapa orang kepercayaan yang
berilmu sangat tinggi untuk mencari tahu tentang kabar Warok dan beberapa puluh
prajurit istana kera-
jaan. Dalam hati Raja Karpa mulai mencemaskan
tentang adanya teror-teror itu. Tiba-tiba pandangan matanya menatap ke
sekelilingnya. "Sudah hampir tiga hari, saudara Warok be-
lum juga kembali dari tugasnya. Apakah di antara an-da semua sudah mencari tahu
tentang kabar saudara
Warok...?" bertanya Raja Karpa memecahkan keheningan suasana.
Sudra Blonteng, algojo Godam dan Wintang
Kelelep secara hampir bersamaan sama-sama men-
gangkat wajahnya. Semua mata kini tertuju pada ra-
janya. "Yang mulia paduka...! Baru saja pagi tadi saya mengutus beberapa orang
kepercayaan untuk
mencari tahu tentang saudara Warok...!" sela si algojo yang bernama Godam
sembari menunduk hormat. Ra-ja Karpa kelihatannya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. "Ya... bagus sekali kalau hal itu sudah anda lakukan. Nampaknya untuk
selanjutnya kita tak bisa
berleha-leha lagi dengan segala fasilitas yang ada. Se-kelompok orang-orang
tertentu atau bahkan lebih dari itu kelihatannya sudah mulai berusaha merongrong
kewibawaan pemerintah kerajaan. Yang kuinginkan
dari anda-anda semua adalah mencari tahu dan seka-
ligus menangkap siapa adanya pendekar Hina Kelana.
Satu hal yang cukup membuat pusing kepalaku adalah
tentang adanya teror makhluk kelelawar yang akhir-
akhir ini terjadi di lingkungan istana...!"
"Ee... ralat... yang mulia! Iblis yang melaku-
kan pembunuhan terhadap prajurit ronda di lingkun-
gan istana ini bukanlah sosok makhluk atau pun binatang. Melainkan seorang
manusia cacat yang berilmu
sangat tinggi sekali...!" sela Sudra Blonteng memberi-tahukan duduk persoalan
yang sebenarnya. Raja Kar-
pa kerutkan alis matanya yang sudah mulai memutih,
namun sosok tubuhnya masih kekar dan gagah.
"Benarkah itu, Paman Sudra Blonteng..."
Apakah paman melihatnya...?" selak Karpa seolah tak percaya dengan apa yang
dikatakan oleh Sudra Blonteng.
"Apa yang saya katakan ini adalah yang se-
sungguhnya, Gusti! Bahkan tadi malam pun saya
hampir dapat menangkap orang itu, setelah saya ketahui dia membunuh dua orang
penjaga malam. Sayangnya dalam pengejaran tersebut saya kehilangan jejak!" Semua orang yang
berada di dalam ruangan itu nampak terperanjat bukan main. Terlebih-lebih saat
mana Sudra Blonteng menyebutkan tentang ciri-ciri
orang yang melakukan teror tersebut.
"Apa..." Paman bilang pelaku pembunuhan
atas diri prajurit-prajurit jaga malam ternyata hanyalah seorang cacat...!"
selak Godam dan Wintang Kelelep tersentak bagai disengat lebah.
"Ya... bahkan dalam keadaan berlari itu, den-
gan tangannya yang buntung sebatas siku dia masih
sempat menuliskan sesuatu di atas daun lontar kemu-
dian menyambitkannya padaku...!" Selanjutnya Sudra Blonteng merogoh sesuatu di
dalam saku celananya"
Sementara Karpa dan para algojo-algojo istana nampak saling pandang antara yang
satu dengan yang lainnya secara silih berganti. Mereka seolah bagai tak percaya
dengan apa yang dikatakan oleh Sudra Blonteng. Sulit di percaya seseorang yang
sedang mengerahkan lari
cepat masih sempat menuliskan sesuatu di atas daun
lontar, apalagi yang melakukan itu hanyalah orang
yang memiliki cacat tubuh.
Saat itu, Sudra Blonteng sudah pula menye-
rahkan daun lontar itu kepada Raja Karpa. Secara
cermat Karpa meneliti daun lontar pemberian Sudra
Blonteng, alis matanya semakin berkerut begitu melihat sederetan kata-kata yang
tertulis rapi di atas daun lontar yang berada di tangannya. Adapun tulisan itu
berbunyi: Senopati Karpa raja keparat! Terkadang hu-
kuman kejam tak pernah menyelesaikan satu persoalan. Sayang... kau tak pernah
sadar, bahwa ada saatnya manusia itu salah perhitungan. Kau tentu mengira, orang
yang telah kau hukum melalui tangan algojomu dengan cara membuntungi kedua
tangan dan sebelah kakinya sudah menjadi tulang belulang saat ini. Raja
gemblung.... Di atas jurang Bukit Kelelawar, hukuman menyakitkan itu aku jalani.
Tak ada salahnya kalau saat ini dari bawah lembahnya kuawali sebuah dendam...!
Tertanda Manusia Kelelawar
Usai membaca tulisan yang terdapat di atas
daun lontar, wajah Senopati Karpa sebentar memerah
sebentar memucat. Sorot matanya memperlihatkan ra-
sa kecut yang teramat sangat. Tiba-tiba dia meman-
dang pada para algojo istana. Tanpa diduga-duga terdengar pula suaranya yang
sember namun cukup ber-
pengaruh buat para abdi-abdinya: "Saudara Godam...
dan saudara Wintang Kelelep...!" ucap Raja Karpa.
"Masih ingatkah saudara-saudara saat mana dulu saya memerintahkan satu hukuman
pada seorang pemuda
yang menyantroni tempat tinggal Paman Sudra Blon-
teng?" Bagai tercekap, baik Wintang Kelelep maupun
Godam demi mendengar pertanyaan seperti itu. Cepat-
cepat mereka menghaturkan sembah, lalu salah seo-
rang di antaranya menjawab: "Kami masih ingat, Gusti...! Kalau tak salah orang
itu bernama Sagara...!"
menjawab Wintang Kelelep yang sangat ditakuti oleh
kalangan persilatan karena kekejamannya. Raja Karpa mengangguk sembari
melemparkan sesungging senyum rawan.
"Hukuman apakah yang telah kalian berikan
pada pemuda itu...?" Dengan tubuh sedikit gemetaran, kedua algojo itu menjawab
serentak; "Sesuai dengan perintah gusti raja, kami membuntungi kedua tangan
pemuda itu, juga sebelah kakinya. Setelah itu kami
pun melemparkannya ke dalam jurang kelelawar!" Walau sebenarnya Raja Karpa
merasa sangat puas den-
gan hasil kerja para abdi-abdinya, namun di lubuk hatinya dia juga kecewa.
Kecewa karena ternyata Sagara yang pada waktu dulu mempunyai niat untuk
melakukan pemberontakan, ternyata setelah menjalani hu-
kuman yang sangat mengerikan itu masih tetap hidup
juga. Begitu pun dia mana mungkin bisa menyalahkan
para bawahannya.
Tercekat hati Raja Karpa untuk mengatakan
sesuatu, namun pada akhirnya dia memaksakan diri
untuk mengatakannya juga.
"Orang itu ternyata masih tetap hidup... me-
mang sangat sulit dipercaya. Tapi ini adalah satu kenyataan yang harus dan pasti
akan kita hadapi. Sebagai raja aku pun belum tahu, ada hubungan apa anta-
ra Manusia Kelelawar dengan pemuda yang berjuluk
'Pendekar Hina Kelana' itu... tapi apapun tujuan mereka yang pasti mereka
mempunyai maksud-maksud tak
baik yang nantinya dapat mengancam keselamatan ki-
ta semua,..!" desah sang raja cemas.
"Gusti...!" menyela Senopati Salya yang sedari tadi hanya berdiam diri. "Menurut
hamba, mengapa ki-ta harus mencemaskan kehadiran dua ekor tikus cecu-
rut! Kita memiliki kekuatan yang sangat besar, dan orang-orang kita juga bukan
merupakan prajurit-prajurit sembarangan. Sebagai senopati hamba selalu merasa
yakin dengan kekuatan yang kita miliki. Pula hamba berani jamin mereka pasti tak
punya kebera-nian untuk menyerbu ke mari...!" kata senopati yang masih berusia
sangat muda tersebut penuh percaya di-ri.


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi akhirnya dia terkesiap begitu melihat ra-
ja Karpa menggelengkan kepala pelan.
"Persoalannya tidak semudah itu, saudara
Salya...!" desahnya. "Aku merasa khawatir andai kedua orang itu saling bersatu,
kemudian menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap kita. Nah
di sinilah mereka akan menjadi lawan yang sangat
tangguh bagi kita...!"
Orang-orang penting kerajaan yang di ruan-
gan itu serentak mengangguk-angguk setuju. Tapi ti-
dak begitu halnya dengan Senopati Salya yang berpikiran sangat cerdik. Kemudian
dia melanjutkan gaga-
sannya! "Menurut hamba, untuk melatih para penduduk desa dalam ilmu silat maupun
ilmu peperangan
membutuhkan waktu yang cukup lama, dalam kea-
daan paceklik seperti ini, tentu setiap orang lebih me-mentingkan isi perut
daripada hanya sekedar pembe-
rontakan yang tiada pasti hasilnya. Kalaupun mungkin kedua orang itu dapat
bersatu kemudian melatih penduduk biasa dengan berbagai ilmu kanuragan. Seti-
dak-tidaknya patroli kerajaan yang kita adakan dalam waktu sesering mungkin.
Pasti dapat membongkar kegiatan mereka. Satu-satunya yang harus kita perketat
adalah penjagaan di sekitar istana ini. Dan jangan pula beri kesempatan pada
penduduk untuk berkasak ku-suk sesamanya...!" ujar Senopati Salya sembari
tersenyum puas.
Wajah Raja Karpa sedikit berubah cerah saat
mana mendengar semua gagasan yang diberikan oleh
senopatinya. Rasa-rasanya semua apa yang dikatakan
oleh Senopati Salya memang tak dapat dipungkiri ke-
benarannya. "Kupuji kecerdikanmu dalam berpikir. Semo-
ga apa yang menjadi ganjalan di hatiku akhir-akhir ini, kelak tidaklah menjadi
suatu kenyataan...!"
"Terima kasih, Gusti....! Sebagai seorang abdi sekaligus sebagai seorang
senopati, keselamatan kerajaan memang sudah menjadi tanggung jawab ham-
ba...!" "Baiklah... kukira pertemuan ini kita sudahi
sampai di sini dulu. Jangan lupa kirim para utusan la-gi untuk mencari tahu
kabar tentang saudara Warok.
Andai sampai besok juga belum kembali...!" pesannya sebelum meninggalkan ruangan
pertemuan yang sangat luas itu.
"Perintah akan kami jalankan, Gusti...!" me-nyahut para pembesar kerajaan Muara
Panjang secara serentak. *** 8 Kedua bola matanya yang kecoklat-coklatan
tiada henti-hentinya memandangi wajah pemuda gan-
teng yang berjalan tak jauh dari sisinya. Ada terbersit rasa kagum yang membias
lewat tatapan mata gadis
itu. Dia merasakan ada perasaan aneh menjalar perlahan di lubuk hati sanubarinya
yang paling dalam.
Bahkan dia pun tak pernah memiliki kemampuan un-
tuk saling berpandangan mata dengan pemuda berpa-
kaian lusuh di sampingnya itu. Pendekar Hina Kelana, hmm. Tak kusangka di balik
kesaktian yang kau miliki, ternyata kau seorang pemuda rendah hati, yang lebih
akrab dengan kesederhanaan. Penampilanmu san-
gat sesuai dengan julukan yang kau terima.
"Apa yang kau pikirkan, Ambarwati"! Tidak
cukupkah kau tangisi kepergian kakakmu selama se-
malam suntuk...!" Suara teguran si pemuda yang berjalan lambat di sisi Ambarwati
membuat gadis itu tersentak dari lamunannya.
"Ee... anu... saat ini rasanya bukan itu yang
ku pikirkan!" ujarnya tersipu malu. "Aku cuma ingin, secepatnya sampai ke
kerajaan Muara Panjang, tidak-kah kakang lihat betapa kehidupan rakyat sudah
san- gat menderita" Pula aku harus membalaskan kematian
kakang Sagara yang sangat mengenaskan itu...!" Pemuda berbaju merah di samping
gadis itu menyung-
gingkan seulas senyum maklum, tapi kemudian dia te-
lah berkata pula; "Pernahkah kau lihat seekor semut melawan gajah...?"
"Apa maksudmu...?" tanya si gadis tiada
mengerti. "Maksudku, janganlah mengambil suatu tindakan hanya menuruti kehendak
nafsu belaka. Apalagi kalau sampai punya niat menyatroni sarang macan...!
Kita menyerang mereka dengan kekuatan dua gelintir, sedangkan mereka berjumlah
puluhan, atau bahkan
mungkin ratusan, kita harus mencari kekuatan tam-
bahan untuk menghadapi bala tentara kerajaan. Atau-
pun kalau tidak mungkin, kita harus menjalankan tak-tik teror.... Kita rongrong
kekuatan mereka sedikit de-
mi sedikit, ini pasti banyak membantu dalam usaha ki-ta untuk menghancurkan
Senopati Karpa dan begun-
dal-begundalnya. Kalau tidak dengan cara itu, aku tak berani menjamin apakah
kita ada kemungkinan untuk
menang...?"
Ambarwati tercenung demi mendengar penje-
lasan Buang Sengketa, namun sesungguhnya apa yang
dikatakan oleh pemuda itu benar adanya. Dengan
hanya berdua mana mungkin dapat mengalahkan pra-
jurit-prajurit kerajaan yang jumlahnya mencapai ratusan belum lagi pembantu-
pembantu raja yang rata-
rata dia ketahui berilmu sangat tinggi. Namun apabila dia teringat sesuatu, maka
saat selanjutnya dia sudah berucap lagi; "Kelana, mengenai gagasanmu tadi,
nampaknya ada seseorang yang menamakan dirinya seba-
gai 'Kelelawar Hitam' juga seperti apa yang kudengar telah pula melakukannya.
Hampir setiap malam aku
mendengar kabar bahwa orang itu melakukan aksi te-
ror terhadap prajurit peronda malam. Aku merasa ya-
kin orang itu mempunyai maksud-maksud yang sama
dengan kita...!"
"Dari mana kau tahu tentang semua itu...?"
tanya pendekar Hina Kelana. Sejenak dia menghenti-
kan langkahnya, namun tak lama kemudian setelah
menatap tajam pada Ambarwati, dia telah melanjutkan langkahnya kembali.
Gadis berhidung bangir tersebut kemudian
menceritakan tentang mata-mata yang berkomplot pa-
danya. Dari laporan yang dia terima, diketahui bahwa sudah lebih dari dua
purnama seorang laki-laki cacat, dengan jurus-jurus kelelawarnya yang sangat
dahsyat hampir setiap malamnya melakukan aksi pembunuhan
terhadap prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan beberapa tokoh penting kerajaan yang
melakukan pengejaran
sempat tewas di tangan Manusia Kelelawar itu. Dari
sikap dan perbuatannya, jelas sekali kalau Manusia
Kelelawar itu mempunyai dendam kesumat pada
orang-orang kerajaan.
Sebaliknya Buang Sengketa demi mendengar
apa yang baru saja dikatakan oleh Ambarwati, nam-
paknya sudah dapat menduga-duga siapa adanya laki-
laki cacat itu. Dari keterangan yang dia peroleh jelas ciri-ciri Manusia
Kelelawar sangat sesuai betul dengan hukuman yang dijatuhkan atas diri Sagara.
Namun sebelum dia dapat melihat fakta yang sebenarnya, dia akan tetap berusaha untuk
tidak bercerita tentang apa yang diketahuinya pada Ambarwati.
* * * Sementara itu pada saat yang sama tidak be-
gitu jauh dari tempat kedua orang ini berada. Serombongan penunggang kuda yang
terdiri dari prajurit-
prajurit kerajaan nampak sedang melalui sebuah jalan berbatu tak jauh dari Desa
Batu Gantung. Melihat cara mereka membedal kuda-kuda tungganggannya, nampaknya
mereka dalam keadaan tergesa-gesa.
Kenyataannya memang begitu, siang yang
sangat terik itu mereka sedang menjalankan tugas
menyusul orang-orang kerajaan yang bertugas mencari Warok yang tiada kembali
dari patroli sejak beberapa hari yang lalu. Bahkan begitu juga halnya yang
terjadi dengan prajurit-prajurit yang menyusulnya kemudian.
Kenyataan seperti itu benar-benar membuat resah hati sang Raja Karpa. Tanpa
pikir panjang lagi, pagi itu dia mengutus beberapa orang algojo kepercayaannya
yang bernama Wintang Kelelep bersama beberapa orang
prajurit pilihan.
Kini setelah melewati sebuah hutan tua, di
sebuah tikungan jalan mereka melihat sebuah peman-
dangan yang sangat mengerikan. Mayat-mayat berge-
limpangan berikut kuda-kuda tunggangan, berbaur
menjadi satu. Wintang Kelelep dan Godam demi meli-
hat kenyataan ini segera melompat dari punggung ku-
danya. "Lihatlah saudara Godam! Tiga puluh orang prajurit berikut kuda-kuda
tunggangan mereka, semuanya tewas terbantai...!" teriak Wintang Kelelep sembari
memeriksa keadaan mayat-mayat itu. Algojo yang
dipanggil Godam itu, dan selalu membawa-bawa pe-
dang panjang ke mana pun dia pergi nampak meng-
hampiri kawannya yang sedang memeriksa mayat-
mayat tersebut. Setelah melihat sebuah luka bekas gigitan, serta sebuah tanda
yang berbentuk Kelelawar
Hitam. Maka tanpa sadar dia pun mengeluarkan se-
ruan tertahan. "Manusia Kelelawar...!"
"Apa katamu, pembunuh terkutuk itu...!" gumam Wintang Kelelep, dan untuk pertama
kali dalam hidupnya, sebagai seorang algojo dia merasakan ha-
tinya diliputi rasa cemas.
"Paman Warok dan orang-orangnya tiada
kembali ke kerajaan sampai saat ini dan tiba-tiba prajurit-prajurit yang
menyusulnya juga menemui kema-
tian secara menyedihkan begini...!" desah Godam setengah mengeluh melihat nasib
yang dialami oleh prajurit-prajurit itu. "Aku sendiri bukanlah orang yang takut
mati, tapi menghadapi seorang lawan yang me-
nyimpan dendam lama, aku merasa yakin dia memiliki
persiapan yang berlipat ganda...!"
Sesaat lamanya kedua algojo kerajaan ini sal-
ing berpandangan sesamanya, ada rasa khawatir ter-
pancar lewat tatapan mata mereka. Apalagi bila men-
gingat cara Manusia Kelelawar membantai lawan-
lawannya. Nampaknya sama sekali prajurit-prajurit itu
tiada diberi kesempatan sedikit pun untuk mengada-
kan perlawanan dan bahkan di antara prajurit-prajurit yang tewas, mereka tak
sempat mencabut pedang dari
sarungnya. Sungguh merupakan ilmu sakti yang san-
gat langka yang mengandalkan kecepatan gerak dan
pukulan jarak jauh.
"Saudara Wintang Kelelep.... Aku merasakan
bahwa manusia keparat itu masih berada di sekitar
tempat ini. Cobalah kau lihat darah yang masih me-
netes di bagian luka di tubuh mereka...!" ucap algojo berbadan raksasa itu
hampir-hampir tiada terdengar.
Saat itu suasana memang benar-benar terasa mence-
kam, tidak saja kedua orang itu yang merasakannya,
tapi juga prajurit-prajurit yang ikut serta dengan mereka. Dalam kebisuan
suasana, mendadak Wintang
Kelelep memberi perintah pada para prajurit yang me-nyertainya, suaranya cukup
keras meningkahi rasa
cemas yang menyelimuti hatinya sendiri.
"Kalian semua! Cepat buat sebuah kuburan
massal untuk menguburkan mayat-mayat kawan-
kawan kita...!" perintahnya tegas.
Tanpa memberi jawaban apapun, sangat ce-
pat sekali belasan orang prajurit kerajaan Muara Panjang segera mengerjakan
perintah atasannya. Tak
sampai sepemakan sirih pekerjaan menggali kubur itu pun selesailah sudah.
Kini satu demi satu mayat-mayat bergelim-
pangan itu mereka usung untuk kemudian mereka
masukkan ke liang lahat.
Wintang Kelelep dan Godam hanya mengawa-
si pekerjaan para prajurit-prajurit itu sambil menjaga setiap kemungkinan.
Begitu pekerjaan itu usai, rombongan ini bermaksud meneruskan perjalanannya da-
lam upaya mencari tahu kejadian apa yang sesung-
guhnya telah menimpa atas diri Warok dan yang lain-
lainnya. Namun sebelum mereka sempat membedal tali
kekang kuda, terdengar satu bentakan keras yang disertai dengan pengerahan
tenaga dalam yang sangat
hebat; "Kalau kubur untuk kembrat-kembrat kalian telah selesai kalian buat.
Sekarang kalian buatlah sebuah kubur baru sebagai tempat peristirahatan terakhir
buat kalian kunyuk-kunyuk kerajaan...!"
Meremang bulu kuduk prajurit-prajurit kera-
jaan, begitu mendengar nada ucapan yang mengan-
cam. Terlebih-lebih ketika mereka menoleh ke sekelilingnya tak seorang pun orang
asing ada di tempat itu.
"Godam... Wintang Kelelep...! Kalian kuharap
masih mengenali suaraku. Hukuman itu selain me-
ninggalkan cacat, namun juga telah menggoreskan lu-
ka yang teramat pedih...!" teriak suara yang masih belum terlihat rupanya. Sudah
Tongkat Rantai Kumala 9 Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Panji Wulung 8
^