Pencarian

Pertarungan Di Lembah Selaksa 2

Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat Bagian 2


lisan yang berbunyi;
Kepada muridku Buang Sengketa.
Menjelang akhir hidupku telah ku tinggalkan
buatmu sebuah ilmu silat yang kuberi nama Jurus Koreng Seribu, intinya adalah
ujud kesabaran bagimu
yang baharu. Jurus-jurus itu mengajarkan padamu tentang bagaimana seorang
titisan raja siluman itu harus berusaha menahan diri dari hawa angkara murka.
Menahan nafsu dari amarah, sehingga menjadikan dirimu sebagai seorang ksatria
pendekar yang memiliki jiwa
welas asih. Tanamkanlah satu keyakinan dalam diri-
mu, bahwa apapun yang kau lakukan saat ini akan
mendapat satu balasan yang sesuai dengan perbuatan, kelak di kemudian hari.
Jadikanlah akal sehat merupakan raja yang berkuasa atas nafsu, jangan sampai
terjadi hal sebaliknya. Sebab hal itu hanyalah akan menjadikan dirimu sebagai
seorang pendekar yang angkara murka. Balaslah setiap kebaikan dengan yang lebih
baik. Namun balas pula setiap keburukan dengan sesuatu yang baik.
Muridku yang setengah tolol... mungkin jurus-
jurus Koreng Seribu agak rumit dari jurus-jurus silat yang telah kau kuasai,
tapi hal itu akan mudah kau pa-hami, karena sifat dari jurus-jurus itu pun
sifatnya hanya bertahan dalam lima keadaan dan membalas bi-la jiwamu dalam
keadaan-keadaan terancam.
Kitab ini akan sangat dahsyat bagi jiwa yang
dapat menguasai hawa nafsunya. Nah... Buang Seng-
keta... waktu untuk mempelajari kitab ini hanya Empat puluh hari. Setelah itu,
kitab ini akan lenyap, dan dia akan berubah menjadi sebuah kitab yang tiada har-
ganya. Manfaatkanlah waktu yang sangat terbatas itu dengan sebaik-baiknya.
7 Setelah membaca tulisan itu, Buang Sengketa
nampak tercenung beberapa saat lamanya. Teringat
pula oleh Buang Sengketa akan segala sepak terjang-
nya selama ini di dunia persilatan. Sering dia memban-
tai lawannya tanpa kenal ampun hanyalah karena dia
merasa terlalu disakiti. Dalam perhitungannya kini,
termasuklah hal itu merupakan satu kekejaman, apa-
kah gurunya memang ingin mengarahkan dirinya se-
bagai seorang pendekar yang memiliki jiwa sebagai
seorang begawan" Itu juga satu hal yang sangat tidak
mungkin untuk dilakukannya. Sambil merenungi akan
pesan-pesan gurunya, Pendekar Hina Kelana ini kem-
bali membuka halaman berikutnya. Hanya terdapat
beberapa baris kalimat saja di sana yang berbunyi:
Dalam mempelajari setiap jurus yang terdapat
dalam kitab ini, tidak di benarkan mempergunakan tenaga murni secara
keseluruhan, sebab sifatnya hanya menahan dan menarik tenaga dalam lawan. Hingga
lawan-lawanmu akan menjadi tiada berdaya karenanya.
Itu pun bukan berarti kau harus membiarkan dirimu di cincang lawan tanpa
perlawanan. Lakukanlah andai
tindakan itu benar-benar di luar batas kesabaran mu sebagai seorang manusia....
Kembali Buang Sengketa merenungi akan
makna kata-kata yang di tulis oleh si Bangkotan Ko-
reng Seribu. Tak sampai sepeminum teh, pemuda itu
angguk-anggukkan kepalanya. Nampaknya dia mulai
mengerti ke mana arahnya dari semua apa yang di pe-
sankan oleh sang guru. Selanjutnya dia membuka
lembaran berikutnya, begitu dia memperhatikannya
dengan seksama. Maka terlihatlah pembukaan jurus-
jurus Silat Koreng Seribu. Buang Sengketa kemudian
bangkit berdiri, dengan sikap tegak dan tangan te-
rangkap di depan dada pemuda ini mulai memusatkan
perhatiannya, sekejap dia melirik ke arah kitab yang dia letakkan di atas batu,
maka mulailah dia mengawali pelajaran silat itu dengan satu gerakan yang sulit
untuk di duga-duga.
"Hiaaat...!" Jeritan itu mengawali gerakan
menggunting pada bagian kaki, sementara kedua tan-
gan mendorong ke arah depan, samping kanan kiri, la-
lu mendorong ke atas. Satu dasar permulaan telah dia
selesaikan, lalu berlanjut dengan jurus-jurus berikut-
nya. Kaki kanan menendang ke depan, tangan kiri
terkepal dan merapat di bagian perut. Selanjutnya tan-
gan kanan melakukan gerakan membabat dan memu-
kul, di susul dengan satu tendangan kaki kiri, terus
berputar-putar dan bersalto ke udara sambil kirimkan
satu dorongan mengarah pada batu tempat di mana ki-
tab tadi berada.
"Wuuuut!" Pendekar Hina Kelana setengah
memekik heran saat mana kitab tersebut laksana kilat
melayang ke arah telapak tangannya kemudian mele-
kat di sana. Cepat-cepat dia daratkan kakinya di atas
tanah dengan mulus, sementara kitab tadi menempel
erat di bagian telapak tangannya. Secara perlahan dia
berusaha melepaskan kitab tersebut dari telapak tan-
gannya. Tapi bagai sebuah magnit saja kedua tangan-
nya menahan kitab tersebut.
"Ah, mengapa begini! Bagaimana cara mele-
paskannya..." Celaka tanganku tak ubahnya...!" Buang Sengketa tidak meneruskan
ucapannya, begitu dia teringat pesan gurunya. Secara perlahan dia menarik ba-
lik tenaga saktinya, maka perubahan perlahan pula
terjadilah. Mula-mula kitab yang melekat di telapak
tangannya itu merenggang. Kemudian jatuh di atas ba-
tu tadi. Heran bercampur kagum, Buang Sengketa
memperhatikan telapak tangannya sendiri.
"Hemm. Sebuah ilmu yang sangat langka dan
tak pernah dimiliki oleh orang lain. Seandainya aku
berhasil mempelajari kitab ini sesempurna mungkin,
tentu aku tak perlu bersusah payah mengurus tenaga
untuk melumpuhkan pihak lawan. Bahkan kalau perlu
tak usah mencederainya...!"
Batinnya kagum sendiri. Selanjutnya dia men-
gerahkan sedikit tenaganya ke arah pohon yang berada
tak begitu jauh darinya. Tiada di sangka-sangka tu-
buhnya melayang tanpa terkendali.
"Wueeee...!"
"Kreeep!" Telapak tangan Buang Sengketa me-
lekat erat pada pohon yang berukuran sangat besar
tersebut. Selanjutnya dari telapak tangannya ada se-
suatu yang dia rasakan mengalir deras. Pendekar Hina
Kelana memperhatikan ke arah bagian atas pohon, dia
akhirnya menjadi semakin terkejut sekali begitu meli-
hat bahwa daun-daun pohon yang menghijau itu men-
jadi layu. Walau pohon tersebut tidak mati maupun
kering, namun cukup kuat dugaannya bahwa pohon
tersebut telah kehilangan kekuatan untuk memulih-
kan keadaannya. "Sebuah ilmu sakti yang sangat mengerikan. Kalau aku tak pandai-
pan-dai mengendali-
kannya. Maka aku bisa menjadi bulan-bulanan jurus-
jurus silat ciptaan guruku sendiri. Tapi tak mengapa,
dalam waktu yang sangat singkat ini aku harus dapat
memanfaatkannya dengan baik. Andai tidak, lewat
empat puluh hari nanti tentu isi kitab ini akan hilang begitu saja."
Pada kenyataannya memang begitu, siang dan
malam Pendekar Hina Kelana terus menggembleng di-
rinya dengan jurus-jurus peninggalan almarhum gu-
runya itu. Dia hanya menghentikan latihannya apabila
Ayunda putri Bara Seta, maupun Bara Seta dan is-
trinya datang mengantarkan makanan atau hal-hal
lain yang sangat di perlukan oleh pemuda itu. Selebih-
nya adalah latihan-latihan rutin yang tiada mengenal
lelah. Sekali dua dia pun mengalami kesukaran, tapi
dia tak pernah mengeluh. Apa yang di lakukannya se-
lama berhari-hari telah menempa dirinya menjadi seo-
rang yang sabar dengan di barengi ketekunannya. Pagi
itu merupakan hari yang ketiga puluh bagi Buang
Sengketa dalam mempelajari Kitab Jurus Koreng Seri-
bu. Sebagaimana hari-hari biasanya, pagi itu pun
Ayunda mengantarkan sarapan untuk si pemuda.
Pendekar Hina Kelana menghentikan latihannya saat
mana Ayunda datang menghampirinya. Sambil menye-
ka peluh yang meleleh di wajahnya, Buang Sengketa
segera pula duduk di atas sebuah batu yang tidak se-
berapa besarnya. Sesaat dia, memandang pada Ayun-
da, seperti hari-hari sebelumnya jantungnya berdetak
keras tiada berketentuan. Dia teringat kembali pada
Wanti Sarati yang dia titipkan pada Satria Penggali
Kubur. Mengapa perasaan itu baru timbul saat ini,
apakah karena dia melihat bahwa gadis yang bernama
Ayunda itu sangat mirip sekali dengan Wanti yang du-
lu pernah dia selamatkan pada saat berumur belasan
tahun" "Kakang... sepagi ini kok sudah melamun! Sarapan dulu! Ini ada aku
bawakan ayam hutan yang di
panggang kesukaan mu...!" Ucapnya sambil memper-
hatikan si pemuda dengan pandangan penuh rasa ka-
gum. Buyar lamunan si pemuda saat itu juga, wajah-
nya nampak berubah kemerahan saat dia menyadari
ketololannya sendiri.
"Eee... ayam hutan! Tentu aku sangat suka se-
kali...!" Buang Sengketa tersenyum, dan tanpa malu-malu lagi dia mencomot
potongan ayam tersebut ke-
mudian mengunyahnya dengan lahap.
"Kulihat latihanmu semakin maju, kakang...!
Beberapa hari lagi tentu kitab peninggalan kakek
Bangkotan Koreng Seribu telah selesai kau pelajari...!"
Berkata Ayunda dan kedua matanya mengerling penuh
arti. "Harapanku juga begitu, sebab waktu yang ada pun rasanya sangat terbatas
sekali. Aku masih belum
tahu mengapa isi kitab Jurus Koreng Seribu umurnya
sangat terbatas, walau aku sadar bahwa kitab ini me-
rupakan sebuah kitab yang isinya mengandung jurus-
jurus yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, tapi
waktu yang sangat singkat itu terkadang membuatku
bingung...!"
"Benarkah Jurus Koreng Seribu di dalam kitab
itu hanya memuat empat jurus saja...?" Tanya Ayunda, sekejap dia memandang si
pemuda, namun kemudian
segera membuang pandangan matanya jauh-jauh.
"Ya... kenyataannya memang begitu."
"Itu berarti dalam setiap jurus, kakang harus
mempelajarinya dalam waktu sepuluh hari...?"
"Benar!"
"Kakang...!" Ujar Ayunda manja. Ah, mesra
banget! Kalau dia benar-benar sampai jatuh cinta pa-
daku! Matilah aku. Batin Pendekar Hina Kelana sambil
berdoa semoga anaknya Bara Seta itu tidak sampai ja-
tuh hati padanya.
"Ada apa...!?" Tanya Buang Sengketa tanpa menoleh. "Kau merupakan pendekar yang
tangguh. Apalagi kini engkau telah pula memiliki jurus-jurus Koreng Seribu...!"
Pujinya tanpa malu-malu.
"Jurus Koreng Seribu belum sepenuhnya ku
kuasai, masih ada satu jurus lagi yang harus kupelaja-
ri dalam waktu sepuluh hari terakhir...!"
"Semoga kakang dapat melakukannya dengan
baik...!" Pendekar Hina Kelana menarik nafas panjang-panjang, dalam hati diapun
berharap seperti apa yang
di harapkan oleh Ayunda. Sebab dia merasa tak enak
bila harus tinggal di tempat itu lebih lama lagi, Buang tak ingin terlalu
merepotkan Orang lain. Tanpa menunggu jawaban Buang Sengketa, Ayunda menyam-
bung; "Beberapa hari ini ayah dan ibu melihat bebera-
pa orang berkeliaran di sekitar pinggiran lembah ini,
kakang...!" Katanya pelan. "Nampaknya orang-orang itu membawa maksud-maksud yang
tak baik...."
"Mungkin mereka hanya merupakan penduduk
yang sedang mencari rotan, berburu atau mencari ke-
perluan lainnya...!"
Jawab si pemuda berusaha menyembunyikan
kegelisahannya. Ayunda cepat-cepat gelengkan kepa-
lanya. "Sejak kecil aku telah tinggal di lembah ini, kakang...! Aku cukup
mengenali daerah tempat tinggalku
sendiri. Sebelumnya aku tak pernah melihat seorang
pun yang berani berkeliaran di tempat ini, selain jauh dari jangkauan penduduk
desa. Daerah ini bagi mereka juga merupakan sebuah tempat yang angker. Ayah
dan ibu merasa yakin ada pun keperluan mereka sam-
pai di tempat ini hanyalah ingin merampas kitab itu,
sebab menurut ayah orang-orang itu berpenampilan
seperti orang-orang kalangan persilatan. Membawa-
bawa senjata sebagaimana layaknya."
"Kalau begitu aku tak membiarkan paman dan
bibi begitu saja, bagaimana pun aku harus turun tan-
gan andai mereka sampai berani memasuki lembah
ini...!" Katanya tegas.
"Sebaiknya kakang tak usah memikirkan lain
hal. Itu cuma membuat kakang terganggu dalam lati-
han...!" "Bagaimana mungkin! Siang dan malam mereka menjaga keselamatanku. Masa
aku harus membiarkan
mereka begitu saja...! Tak seorang pun kubiarkan me-
nyakiti orang tuamu...!" Tegas kata-kata si pemuda tanpa emosi.
"Terserahmulah, kakang...!" Katanya.
8 Wahana, Adi Olo dan Adi Cilek siang itu keliha-
tan sudah melewati daerah Pagar Gunung yang meru-
pakan hutan penghubung satu-satunya untuk dapat
sampai di Lembah Selaksa Mayat. Panas surya me-
mang terasa terik membakar, masih untung sepanjang
semak belukar yang mereka lalui terdapat pohon-
pohon liar yang menjulang tinggi sehingga mereka tak
perlu mengeluh dari sengatan sang surya. Ketiga orang
dari Perguruan Catur Tunggal itu terus menelusuri
semak-semak belukar, batu-batu yang sangat licin dan
juga tebing-tebing yang curam.
"Kakang Wahana! Berhentilah dulu, sejak dua
malam yang lalu kita tak pernah istirahat barang seke-
jap pun...!" Ujar Adi Cilek setengah mengeluh. Saat itu Wahana yang berada di
bagian paling depan nampak
mengurungkan langkahnya saat mana Adi Cilek me-
manggilnya. "Lembah Selaksa Mayat, sesuai dengan kete-
rangan yang kita peroleh tidak begitu jauh lagi dari si-ni. Mengapa kita harus
berhenti...!"
"Ah, kakang... untuk apa kita harus tergesa-
gesa" Pula kita hanya ingin melihat tentang kebenaran
adanya kitab itu. Bukan untuk memilikinya...!" Tukas Adi Olo mendukung adiknya


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang paling bungsu.
"Apa kalian kata! Untuk apa kita datang dari
jauh-jauh, kalau hanya cuma ingin melihat kitab
itu...!" Bentak Wahana marah. Adi Olo dan Adi Cilek saling pandang. Jelaslah
bagi mereka sudah, bahwa
sesungguhnya Wahana kiranya tidak berolok-olok ke-
tika mereka bicara dengan si Lima Golok Maut di Mua-
ra Beliti beberapa pekan yang lalu. Padahal sebelum-
nya Wahana sendiri pernah bicara pada sesamanya
bahwa tujuan mereka dalam mencari muridnya Bang-
kotan Koreng Seribu yang telah membawa kitab terse-
but ke sebuah tempat yang sangat rahasia. Wah... wah
hal ini benar-benar menjadi runyam urusannya. Batin
Adi Olo dan Adi Cilek.
"Jadi kakang juga punya niat untuk menda-
patkan kitab pusaka itu... apakah itu bukan berarti ki-ta harus berhadapan
dengan tokoh-tokoh silat tingkat
tinggi yang pada dasarnya juga menginginkan kitab
tersebut..."!" Menyela Adi Olo dengan perasaan khawatir. Wahana yang sedari tadi
hanya memandang ke
arah depan kini menoleh dan memandangi tajam pada
kembratnya. "Perduli apa! Kalau kau merasa takut, lebih
baik tak usah bergabung dengan Catur Tunggal. Tak
pernah kulihat nyali kalian seciut ini, mengapa tiba-
tiba kalian berubah menjadi seorang pengecut...!" Teriak Wahana marah.
"Bukan pengecut kakang! Walau bagaimana
pun kita harus menyadari bahwa murid si Bangkotan
Koreng Seribu juga bukanlah seorang murid yang bo-
doh. Sebagai murid tunggal sudah barang tentu dia
memiliki kesaktian yang sangat luar biasa...!" Adi Cilek berusaha memberi
pengertian. Tapi nampaknya Wahana sudah tak memperdulikan segala penjelasan
adik-adik seperguruannya.
"Kalau kalian berdua tak mau ikut! Baiknya ce-
pat-cepat tinggalkan tempat ini! Biarkan aku sendiri
yang berangkat ke sana...!" Berkata begitu, tanpa menoleh-noleh lagi Wahana
menggenjot tubuhnya. Ber-
loncatan di atas cabang-cabang pohon kemudian
menghilang dari pandangan kedua orang kembratnya
Adi Olo dan Adi Cilek saling berpandangan. Secara se-
rentak; "Kakang... aku ikuuuut...!" Teriak mereka secara bersamaan. Dengan cara
yang sama mereka ini pun
akhirnya kabur mengejar Wahana yang sudah tak ter-
lihat lagi. Setelah mengerahkan segenap kemampuan lari
cepatnya, maka tak begitu lama kemudian Wahana
pun telah tersusul. Saat itu mereka sudah berada di
pinggiran Lembah Selaksa Mayat. Sejenak lamanya se-
cara seksama mereka memandang ke arah bagian
lembah itu. Tak terlihat apapun di sana ter kecuali sebuah rumah gubuk yang
sangat kecil. "Agaknya di sanalah muridnya si Bangkotan
Koreng Seribu itu menetap! Mudah mudahan kita ma-
sih belum terlambat mendapatkan kitab itu...!" Gumam Wahana tanpa berpaling dari
lembah yang bera-
da di bawahnya.
"Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke sana,
kakang...!" Kata Adi Olo, selanjutnya mereka sudah bermaksud mulai menuruni
pinggiran lembah yang
sangat licin itu saat mana terdengar suara hentakkan
seseorang lalu di sertai melesatnya dua sosok tubuh ke arah mereka. Dengan
gerakkan yang sangat mengagumkan kedua orang itu menjejakkan kakinya satu
tombak di depan orang-orang Catur Tunggal. Melihat
cara mereka menginjakkan kakinya di atas tanah dan
tanpa menimbulkan suara itu saja sudah merupakan
satu tanda bagi mereka, bahwa laki-laki gemuk dan
perempuan setengah baya itu memiliki ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna.
"Hei... siapakah kalian ini...?" Tanya Wahana dalam keterkejutannya. Dua orang
ini, yang tak lain
Bara Seta dan Dewi Wulan adanya kelihatan terse-
nyum-senyum. "Seharusnya kamilah bertanya ada maksud apa
kalian sampai datang di Lembah Selaksa Mayat ini...!"
"Melihat tampang-tampang kalian, kalau tak
salah kalian ini merupakan ketua Perguruan Candak
Ginaka dan yang betinanya merupakan penguasa
Lembah Selaksa Mayat ini...!" Berkata Adi Olo dengan sesungging senyum
mencemooh. Bukan main gusar
Dewi Wulan begitu mendengar nada ucapan yang san-
gat kasar ini. Sebagai orang yang tak pernah atau ka-
takanlah jarang berhubungan dengan dunia luar, su-
dah tentu kata-kata itu merupakan ucapan yang tak
layak dari jiwanya yang terlalu lugu. Tapi dia masih
berusaha menahan amarahnya begitu Bara Seta mem-
beri isyarat padanya untuk tidak bicara. Sebaliknya
Bara Seta melangkah dua tindak ke depan. Tanpa
sungkan-sungkan lagi dia membentak;
"Jangan bertele-tele! Kalau kalian sudah tahu
bahwa aku merupakan penguasa di lembah ini. Cepat-
lah katakan apakah keperluan kalian hingga dari le-
reng Gunung Butak sampai ke tempat ini...?" Bentak Dewi Wulan geram. Ketiga
laki-laki dari Catur Tunggal
itu saling berpandangan, kemudian meledaklah tawa
mereka. "He... he... he....! Kudengar-dengar manusia
gemuk seperti ikan buntal di sebelah mu itu merupa-
kan anak angkatnya almarhum si Bangkotan Koreng
Seribu?" Tanyanya dengan maksud-maksud yang licik.
"Hemm. Orang-orang ini pasti membawa mak-
sud-maksud yang tak baik. Agaknya aku harus berha-
ti-hati menghadapi orang ini...!" Membatin Bara Seta.
"Hei... mengapa diam! Benarkah kau anak ang-
katnya orang tua yang sangat kesohor itu...?" Bentak Wahana bagai seorang
penguasa saja layaknya.
Memerah wajah Dewi Wulan melihat ulah
orang-orang yang itu. Sikap mereka yang kasar mem-
buat perempuan itu menjadi gatal tangannya.
"Kakang... mengapa kita biarkan mereka men-
jarah daerah kita. Pula iblis-iblis ini terlalu kotor mulutnya...!"
"Tenanglah adi! Aku jadi pengin tau apa tujuan
anjing-anjing geladak ini hingga begitu berani mema-
suki daerah terlarang...!" Tukasnya berusaha menya-barkan Dewi Wulan. Kemudian
dengan sikap tenang.
"Kalau kau mau tahu apa yang menjadi tujuan
kami ke lembah yang sangat menakutkan ini. Jawab
dulu, benarkah kau merupakan anak angkatnya al-
marhum Bangkotan Koreng Seribu...?" Tanyanya ke-
tus. Tanpa ragu dan tiada pula mengenal rasa takut,
Bara Seta membentak marah.
"Bicara saja muter-muter. Kalau memang benar
aku merupakan anak angkatnya Bapak Bangkotan Ko-
reng Seribu, kalian mau apa...?" Tantangnya.
"Ha... he... ha...! Kalau kau merupakan anak
angkatnya si Bangkotan Koreng Seribu. Tentu kau juga
tahu di manakah muridnya saat ini berada...?" Pancing Wahana. Maka mengertilah
Bara Seta dan Dewi Wulan,
apa sebenarnya yang menjadi tujuan orang-orang dari
Catur Tunggal tersebut.
"Kalau pun aku tahu di mana muridnya bapak
angkatku, tidak nantinya kuberitahukan pada ka-
lian...!" "Lebih baik kau katakan saja monyet gemuk...!"
Bentak Adi Olo ikut menimpali.
"Ya... lebih baik katakan saja, untuk apa men-
gorbankan nyawa hanya demi kepentingan orang
lain...!" Maka meledaklah tawa Bara Seta begitu mendapat perintah yang bernada
mengancam dari orang-
orang Catur Tunggal. Dia pun sudah dapat memasti-
kan bahwa se-benarnya kedatangan mereka hanyalah
menginginkan kitab Jurus Koreng Seribu.
"Lebih terkutuk lagi andai aku membiarkan ka-
lian merampas kitab Jurus Koreng Seribu yang bukan
hak kalian...!"
"Bagus kalau kau sudah tahu, itu berarti aku
tak perlu bersusah payah menjelaskannya padamu...
!"Kata Wahana sembari tersenyum-senyum.
"Hemm, sekarang katakan di mana muridnya
orang sakti itu bersembunyi...!" Celetuk kembrat Wahana. "Kalau kau inginkan
kitab itu, langkahi dulu mayat kami...!"
"Kakang jangan banyak cingcong, kita hajar sa-
ja manusia-manusia iblis ini beramai-ramai...!" Dewi Wulan yang sudah sangat
marah itu nampak sudah
tak dapat mengendalikan diri lagi. Maka tanpa me-
nunggu persetujuan suaminya, wanita pendekar itu
pun langsung membuka serangan dengan jurus-jurus
andalannya. Nampaknya Bara Seta pun tidak tinggal
diam. Serentak dengan di sertai teriakan menggelegar,
laki-laki gemuk itu pun kirimkan pukulan-pukulan
mautnya. Orang-orang Catur Tunggal tidak tinggal di-
am, mereka adalah tokoh-tokoh seangkatan yang me-
miliki aliran berbeda. Dalam hal tenaga dalam, puku-
lan-pukulan andalan, nampaknya mereka memiliki ke-
lebihan dan kekurangan yang tidak begitu jauh be-
danya. Dalam waktu yang sangat singkat pertarungan
itu telah mencapai belasan jurus. Namun kelihatannya
keadaan masih tetap seimbang. Masing-masing lawan
kini telah mulai mengeluarkan jurus-jurus simpanan-
nya. Maka semakin bertambah seru sajalah pertarun-
gan tokoh-tokoh tinggi tersebut.
Bara Seta nampaknya tidak ingin menyia-
nyiakan waktu, kejab kemudian tubuhnya berkelebat
lenyap sambil bersiap-siap lancarkan pukulan Candak
Ginaka Menerjang Gunung. Sementara itu istrinya ju-
ga telah mencabut pedang mustika yang di bagian ga-
gangnya terdapat ukiran kepala burung Sri Gunting,
begitu pedang mustika itu tercabut dari sarungnya,
maka pedang itu pun berkelebat dahsyat sehingga
timbulkan angin bersiuran. Pihak lawan ternyata juga
memiliki ambisi yang sama untuk secepatnya dapat
merobohkan musuh-musuhnya. Maka tak pelak lagi,
dalam gebrakan berikutnya mereka pun lancarkan pu-
kulan Halilintar Tunggal yang tak perlu diragukan lagi akan kemampuannya,
"Hiaaa.... Hiaaa...!"
Berputar-putar tubuh mereka sembari berjum-
palitan bagai tiada memiliki bobot. Saat selanjutnya
Wahana dan kawan-kawannya kirimkan pukulan Hali-
lintar Tunggal ke arah tubuh Bara Seta dan Dewi Wu-
lan. Dalam kesempatan itu Bara Seta pun juga telah
kirimkan pukulan Candak Ginaka Menerjang Gunung
yang menebarkan hawa dingin dan panas. Pukulan
Bara Seta yang membersitkan sinar ungu itu pun lebih
cepat lagi memapaki datangnya serangan Halilintar
Tunggal yang di lepaskan oleh lawan-lawannya. Se-
mentara itu, Dewi Wulan putar pedang mustikanya se-
demikian sebat sehingga membentuk satu gulungan
sinar pedang yang dapat di jadikan sebuah perisai
yang sangat kokoh.
"Nguung! Blaaam! Blaam!"
"Gusraak! Gabruuuk!" Masing-masing pukulan
lawan bertubrukan dengan pukulan yang di lepaskan
oleh Bara Seta, sementara dua pukulan lainnya yang
di lepaskan oleh Wahana membentur pertahanan pe-
dang milik Dewi Wulan. Baik tubuh Wahana, Adi Olo,
Adi Cilek terpelanting tiga tombak, dengan dada terasa sesak luar biasa, bahkan
tangan mereka juga berdenyut-denyut sakit. Di pihak Bara Seta dan Dewi Wulan
keadaan mereka juga tidak begitu berbeda jauh Dewi
Wulan; sungguh pun tak sampai terpelanting tubuh-
nya, tapi malah amblas ke dalam tanah sebatas mata
kaki. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Andai saja dia
tak memiliki tenaga dalam yang sudah sangat sempur-
na, sudah barang tentu dia muntah darah atau seti-
dak-tidaknya menderita luka dalam cukup parah. Pe-
rempuan itu cepat-cepat berdiri sembari mengembali-
kan tenaga dalamnya ke arah bagian tangan yang tera-
sa kesemutan. Sementara itu Bara Seta yang sempat terjeng-
kang dua tombak sudah nampak bangkit kembali. Be-
rulang kali dia meludah ke tanah rasa benci pada
orang-orang Catur Tunggal membangkitkan kemara-
hannya yang sudah tak mampu dia kendalikan lagi.
"Orang-orang Catur Tunggal. Mampuslah ka-
lian...!" Teriak Bara Seta. Dan ternyata sebelum Bara Seta belum sempat kirimkan
pukulan mautnya. Wahana dan kawan-kawannya telah mendesaknya dengan
jurus-jurus silat tangan kosong.
Agak kerepotan juta Bara Seta di buatnya, ma-
sih beruntung dia merupakan seorang tokoh yang cu-
kup berpengalaman. Sehingga dengan jurus-jurus silat
tangan kosong pula dia masih mampu mengelak dan
mengkelit serangan-serangan yang di lancarkan oleh
ketiga lawannya. Menghadapi keroyokan tokoh-tokoh
setingkat, yang kesemuanya memiliki permainan silat
yang aneh dan membingungkan. Secepat mana pun
Bara Seta bertindak dan menghindar, lama-kelamaan
dia kena di desak juga. Masih untung Dewi Wulan ce-
pat tanggap menghadapi kenyataan itu. Maka sekali
saja dia melompat, lalu menggempur Wahana dan ka-
wan-kawannya dengan serangan dan tusukan pedang
mustikanya yang sangat ampuh.
"Weeeit! Nguuung...!" Babatan yang kesekian
kalinya nyaris membuat buntung tangan Adi Olo, ka-
lau saja tak cepat-cepat tarik tangannya yang terjulur dengan maksud menghantam
dada Bara Seta, sudah
barang tentu Adi Olo sudah kehilangan sebelah tan-
gannya. Usahanya gagal, bahkan nyaris kehilangan
sebelah tangan membuat Adi Olo mencaci maki pan-
jang pendek. "Kerahkan ajian Jari Sakti Baja...!" Teriak Wahana memberi aba-aba pada kembrat-
kembratnya. "Ciaaat...! Giaat...! Ciaaat...!"
Dalam teriakannya itu, dengan gerakan yang


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat lincah tubuh orang-orang Catur Tunggal sudah
melompat menjauhi pertarungan. Tetapi nampaknya
Dewi Wulan mengetahui gelagat yang tak baik ini, se-
lanjutnya sambil terus memburu lawan-lawannya, dia
berteriak memberi peringatan pada suaminya.
"Kakang! Jangan beri kesempatan pada mereka
untuk mengerahkan ajian Jari Sakti Baja...!"
Bara Seta bagai tersentak dari lamunannya, se-
lanjutnya dia keluarkan bola berduri yang terikat den-
gan rantai baja. Tanpa buang-buang waktu lagi, dia
putar bola duri itu sehingga menimbulkan suara men-
deru-deru. Sampai detik itu kiranya, Wahana dan ka-
wan-kawannya masih belum selesai merapal ajian Jari
Sakti Baja. Mengetahui serangan kilat yang sangat
membahayakan jiwa mereka, sudah barang tentu me-
reka urungkan niatnya. Akhirnya mereka pun bergerak
mengelak, menghindari datangnya babatan mata pe-
dang dan bola duri yang di lancarkan oleh Bara Seta.
"Keparaat...!" Maki Wahana, lalu berlompatan bagai monyet gila mabuk terasi.
Tiada sahutan, sebagai jawabannya, baik Bara Seta dan Dewi Wulan se-
makin mempergencar serangan-serangan mautnya.
Sementara itu pada saat yang sama di dasar
Lembah Selaksa Mayat, Buang Sengketa dengan di te-
mani oleh Ayunda kelihatan sedang terlibat pembica-
raan yang serius. Akhir-akhir ini mereka memang keli-
hatan semakin bertambah akrab antara yang satu
dengan yang lainnya.
"Kakang! Apakah engkau benar-benar berniat
meninggalkan lembah ini andai nanti Kitab Jurus Ko-
reng Seribu telah berhasil engkau kuasai...?" bertanya Ayunda sementara badannya
ngelendot di punggung
Buang Sengketa. Sebenarnya Buang Sengketa menjadi
risih juga, menghadapi suasana seperti ini. Dia merasa takut bagaimana nantinya
kalau keadaan seperti itu
sampai diketahui oleh Bara Seta dan istrinya. Tentu
semuanya biasa berabe. Memang benar dia akui, bah-
wa mempelajari kitab jurus-jurus Koreng Seribu sudah
tuntas bahkan dengan ketekunannya dia masih mem-
punyai sisa waktu tiga hari dari empat puluh hari se-
perti yang tertulis dalam kitab itu. Juga dia sendiri dapat merasakan betapa
hebatnya Jurus-jurus Koreng
Seribu hasil peninggalan gurunya itu. Tetapi dia juga
menghadapi hal lain yang sebenarnya bisa di bilang
persoalan yang sangat sepele, namun berhubungan
erat dengan hati dan perasaan. Ayunda telah jatuh ha-
ti padanya, hal itu juga tak dapat dia sangkal. Gelagat seperti itu sudah dapat
dia rasakan sejak mendengar
pengakuan itu dari Ayunda. Hal ini juga membuat re-
sah hatinya, apalagi selama berada di lembah itu, ga-
dis cantik itulah yang teramat sering menyediakan se-
gala keperluan yang dibutuhkannya.
Haruskah dia mengatakan hal yang sesung-
guhnya bahwa dia sudah mempunyai gadis pilihan
yang selama ini tak pernah dia balas cintanya. Tidak.
Ayunda adalah seorang gadis yang sangat perasa, dia
tak ingin putri paman Bara Seta yang telah banyak
berkorban untuknya, jadi tersinggung, marah atau
bahkan malah berubah membencinya. Tapi bagaima-
nakah caranya agar segala sesuatunya berjalan sesuai
dengan apa yang dia harapkan" Buang menjadi bin-
gung, dan berdenyut-denyut kepalanya.
"Kakang! Mengapa kau hanya diam saja...?"
Ujar Ayunda setengah merajuk.
"Apa yang harus kukatakan...?"
"Katakanlah apakah kakang bermaksud me-
ninggalkan Lembah Selaksa Mayat...?" Tanya Ayunda sambil menarik nafas dalam-
dalam, kemudian di bua-ngnya pandangan matanya jauh-jauh. Hati-hati sekali
dia berucap; "Aku ini hanyalah seorang pengelana, hidupku
tiada berketentuan dan tiada siapa-siapa pula yang
kumiliki. Apa yang ingin kulakukan untuk hari-hari
selanjutnya adalah mencari ayah kandungku, aku ha-
rus dapat menemukannya. Tak perduli apapun yang
bakal terjadi...!" Ayunda tersentak, wajahnya sedikit memucat dan mendadak dia
seperti akan kehilangan,
namun untuk mencegah kepergian pemuda yang telah
membuat hatinya jatuh cinta, juga tak mempunyai ku-
asa. "Kakang andai engkau pergi! Aku di sini sendirian...!" "Siapa bilang"
Bukankah masih ada ayah bun-damu...!" kata pemuda itu sekenanya, namun hatinya
juga merasa geli.
"Maksud... maksudku... ah mengapa engkau
masih tak mau mengerti bagaimana perasaanku pa-
damu, kakang...!" Isak Ayunda, seraya lalu merebahkan kepalanya di atas dada si
pemuda yang bidang.
Buang mengelus-elus rambut Ayunda, tangis gadis
cantik itu semakin keras hingga membuat Pendekar
Hina Kelana jadi kelabakan.
"Sudahlah, mengapa harus menangis, bagai-
mana nanti juga ayah ibumu melihat kita sedang ber-
pelukan seperti ini" katanya, Lugu! Mendadak Ayunda tengadahkan wajahnya,
pandangan matanya sendu
menatap pada wajah tampan yang tidak begitu jauh
dari wajahnya. Hati masing-masing mereka saling ber-
getar. Lalu secara perlahan kedua wajah mereka saling
mendekat, selanjutnya hembusan-hembusan nafas
mereka yang terasa hangat membangkitkan gejolak ha-
ti yang telah lama tersimpan. Tak dapat di cegah lagi
kedua bibir mereka pun saling bertemu dalam gelora
cinta yang menggebu-gebu. Ayunda merintih manja.
Tetapi hanya sebatas itu, sebab saat itu Buang Seng-
keta menangkap adanya suara-suara teriakan orang
yang sedang terlibat pertarungan. Cepat-cepat dia
menjauhkan wajahnya dari wajah Ayunda. Sudah ten-
tu hal ini membuat si gadis terperanjat. Dengan wajah
bersemu merah dia pun bertanya;
"Aku mendengar seperti ada pertarungan di
atas bukit sana. Jangan-jangan paman Bara dan bibi
Dewi Wulan yang sedang bertarung...!" kata si pemuda menduga-duga. Tetapi
ternyata memang benar adanya,
ketika tak begitu jauh dari mereka nampak Suro bekas
murid Bara Seta yang cuma tinggal satu-satunya itu
berlari-lari menghampiri mereka.
"Cel... celana... eeh celaka, tuan muda...!" seru laki-laki berumur tiga puluhan
itu dengan nafas ngos-ngosan dan suara tergagap.
"Ada apakah, Suro! Berkatalah dengan jelas...!"
Ucap si pemuda berusaha meredakan ketegangan yang
dialami oleh laki-laki itu.
"Gu... guru sedang bertarung melawan orang-
orang dari Catur Tunggal...!" Buang Sengketa nampaknya sangat terkejut mendengar
laporan Suro, lalu tan-
pa banyak tanya lagi, pemuda itu pun melesat laksana
terbang. Dengan mengerahkan Ajian Sepi Anginnya
hanya sekejapan mata saja dia sudah sampai di tem-
pat pertarungan itu. Sementara Ayunda dan Suro jauh
tertinggal di belakangnya.
Saat itu Pendekar Hina Kelana dapat melihat
bahwa lawan-lawan Bara Seta sedang mendesak di-
rinya juga istrinya. Mereka kelihatannya sudah mulai
jatuh di bawah angin. Bahkan di beberapa bagian pa-
kaian Bara Seta nampak robek di sana sini. Sedangkan
apabila dia menoleh pada Dewi Wulan, nampaknya pe-
rempuan itu juga mendapat luka di bagian punggung
dan dadanya. "Hhh. Mereka tidak mempergunakan senjata
apapun, namun mereka dapat melukai paman dan bibi
sedemikian rupa. Mungkin jemari-jemari tangan yang
menghitam itulah yang sering di sebut-sebut orang se-
bagai Jari Sakti Baja. Pantasan saja tangan mereka tak mempan terhadap benturan
mata pedang. Hebat luar
biasa...!" Serunya. Tiba-tiba dalam kegusarannya yang tertahan dia membentak;
"Berhenti...!" Teriakan tinggi melengking yang di sertai dengan lengkingan Ilmu
Pe-menggal Roh itu membuat mereka yang sedang berta-
rung hampir terbanting ke tanah. Mereka merasakan
gendang-gendang telinganya bagai mau pecah, sakit
dan berdenyut-denyut. Andai saja mereka tidak memi-
liki tenaga dalam yang sempurna, sudah tentu mereka
akan menemui ajal secara menyedihkan.
Dengan terdengarnya teriakan Buang Sengketa,
maka pertarungan itu terhenti seketika itu juga.
Orang-orang dari Catur Tunggal memandang tajam
pada pemuda berkuncir ini. Ada rasa jerih menghantui
diri mereka, suara teriakan tadi saja sudah cukup bagi mereka untuk mengetahui
bahwa pemuda yang sangat
asing bagai mereka ini sesungguhnya memiliki ilmu
yang sangat hebat. Bahkan mereka pun mulai mendu-
ga, andai mereka bertiga maju secara berbareng, be-
lum tentu mereka bakal ungkulan. Namun di samping
perasaan kecut tersebut kiranya rasa penasaran lebih
menguasai jiwa mereka. Maka tanpa sungkan-sungkan
lagi mereka ini langsung membentak;
"Engkaukah muridnya si Bangkotan Koreng Se-
ribu yang telah mampus itu?" Teriak Wahana penasaran. "Ya... kau mau apa...?"
"Cepat serahkan Kitab Jurus Koreng Seribu pa-
da kami...!" Perintahnya. Buang Sengketa tersenyum saja demi mendengar kata-kata
Wahana, sebaliknya
dia malah berkata pula; "Paman Bara Seta dan Bibi Wulan minggirlah. Orang-orang
ini merupakan bagian-ku...!" Bara Seta dan Dewi Wulan, menepi dan bergabung
dengan putri dan muridnya.
"Kalau kalian ingin memiliki kitab itu, silakan
ambil di dalam periuk ku ini! Tapi ingat, sekali saja kalian coba-coba
memaksaku. Maka liang kuburlah tem-
pat kalian untuk selama-lamanya...!" Ancam si pemu-da dengan, suara hampir-
hampir tak terdengar. Maka
mendidihlah darah orang-orang dari lereng Gunung
Butak ini. Mereka sadar sekarang mereka sedang
menghadapi lawan yang sangat tangguh. Namun un-
tuk membatalkan niat hal itu adalah pantangan yang
tak pernah mereka langgar.
Detik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi me-
reka ini pun langsung menyerang Pendekar Hina Kela-
na dengan Ajian Jari Sakti Baja yang sangat dahsyat
itu. Pendekar Hina Kelana adalah pendekar yang
sangat lihai, apalagi kini dia telah menguasai Jurus-
jurus Koreng Seribu yang sangat dahsyat itu. Mengha-
dapi serangan itu pun dia masih mengandalkan jurus-
jurus kesabaran yang sifatnya menyedot tenaga sakti
lawannya. Pukulan-pukulan dahsyat mulai di lepaskan
oleh lawan-lawannya. Tetapi begitu pukulan itu terle-
pas dan menghantam tubuh Pendekar Hina Kelana,
kelihatannya bagai menembus ruang kosong saja. Pu-
kulan maut mereka amblas ke dalam tubuh lawannya
tanpa meninggalkan akibat apa-apa. Hal itu membuat
ketiga orang lawan menjadi terheran-heran. Sekali lagi mereka mencobanya, saat
mereka pukulkan kedua
tangannya ke depan, maka tiga larik sinar yang berke-
kuatan dahsyat datang menggebu meluruk tubuh si
pemuda. Sebaliknya Buang Sengketa tiada mengelak
maupun memapaki pukulan yang telah di lepaskan
oleh lawan-lawannya.
"Beeees...!" Kembali kejadian pertama terulang.
Buang Sengketa tetap tegak tanpa kekurangan sesuatu
apapun. Heran, namun panas hati mereka demi meli-
hat semua kenyataan ini.
"Ilmu Siluman...!" Maki Wahana mulai timbul
perasaan jeri. Dalam kesempatan itu Buang Sengketa
berseru memberi peringatan.
"Kuperintahkan bagi kalian untuk segera me-
ninggalkan tempat ini...!" Wahana dan kembrat-
kembratnya sungguh pun sudah gentar tapi mana sudi
menuruti perintah Buang Sengketa.
"Budak jangan kau harapkan kami untuk me-
nuruti perintahmu. Kami hanya meninggalkan tempat
ini jika kau mau menyerahkan Kitab Jurus Koreng Se-
ribu...!" Buang Sengketa hanya angguk-anggukkan kepalanya, tetapi hatinya mulai
marah. "Kalau itulah keinginan kalian. Kesabaran ma-
nusia itu ada batasnya, maka jangan kau salahkan
aku andai tindakanku nanti benar-benar membuat ka-
lian menjadi sengsara seumur-umur...!"
"Bocah gembel... jangan coba-coba menakuti-
nakuti kami, nih makanlah jari-jari kami...!" Berkata begitu orang-orang Catur
Tunggal menerjang si pemuda dengan serangan-serangan jari sakti mereka.
10 Pendekar Hina Kelana menyadari bahwa seran-
gan-serangan jemari mereka tentu lebih berbahaya lagi
ketimbang pukulan-pukulan maut yang pernah mere-
ka lepaskan. Maka tak ayal lagi pendekar ini silih ber-ganti mempergunakan jurus
si Gila Mengamuk namun
di lain kesempatan dia pergunakan pula Jurus Koreng
Seribu yang sangat aneh tapi tak pernah di ragukan
kedahsyatannya.
"Caiiiit...!" Tubuh Pendekar Hina Kelana yang bergerak tak beraturan itu tiba-
tiba saja melesat ke
udara, pada saat itu pihak lawan pun di luar dugaan si pemuda melakukan gerakan
yang sama. Ketiga lawannya melakukan tusukan secara berbarengan.
"Wuut! Wuut! Wuut!"
"Haiiit...!" Pendekar dari Negeri Bunian tersebut melakukan satu gerakan
menangkis dengan sedikit
mengerahkan tenaga dalamnya.
"Pleeek! Pleek!" Tangan Wahana dan Adi Olo
melekat erat di telapak tangan Buang, sementara je-
mari tangan Adi Cilek terus menderu menghantam ba-
gian dadanya. "Buuk!" Jemari tangan Adi Cilek pun melekat
erat di bagian dada si pemuda. Dalam keadaan seperti
itu sudah barang tentu mereka tidak memiliki kemam-
puan untuk menjaga keseimbangan maka begitu tu-
buh keempat-empatnya melayang turun mereka tidak
mampu menjaga keseimbangan tubuhnya lagi.


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gabruuk...!" Masing-masing mereka jatuh ter-duduk dengan keadaan tangan melekat
di bagian tu- buh lawannya. Kejut di hati Wahana dan kawan-
kawannya bukan alang kepalang, wajah ketiga orang
itu sekejap saja telah berubah menjadi pucat pasi.
"Ilmu Setan...!" Rutuk mereka di dalam hati.
Sedapatnya mereka berusaha menarik balik tangan-
tangan mereka yang melekat tersebut. Tetapi setiap
mereka mengerahkan tenaganya dengan maksud
membetot. Mereka merasakan jemari tangan-tangan
mereka terasa semakin bertambah erat melekat. Se-
mentara mereka merasakan pula tenaga dalamnya ter-
tarik keluar mengarah pada bagian tangan yang mele-
kat itu. Maka sadarlah Wahana, apa sesungguhnya
yang sedang terjadi, kalau mereka terus mengerahkan
tenaga dalamnya tentu berakibat sangat fatal pada diri mereka sendiri. Sebab
sama saja artinya secara tak
langsung mereka telah menyumbangkan tangan sakti
yang sangat besar terhadap pihak lawan.
"Jangan kerahkan tenaga dalam... kita semua-
nya bisa celaka...!" Teriak orang pertama dari Catur Tunggal tersebut pada
kawan-kawannya. Buang Sengketa demi melihat lawannya menyadari keadaan itu
hanya tersenyum-senyum saja. Ternyata memang be-
nar apa yang di katakan oleh Wahana, begitu mereka
menarik balik tenaga dalamnya, maka mereka merasa-
kan daya lekat itu semakin mengendor. Satu kesempa-
tan yang sangat baik, orang-orang ini menyentakkan
jemari tangan yang melekat itu secara bersamaan.
"Hayaaaa...!" Serentak dengan terlepasnya jemari tangan yang melekat tersebut,
maka tanpa am- pun tubuh mereka pun jatuh terguling-guling. Namun
secepatnya pula mereka telah bangkit berdiri. Begitu
pun halnya dengan si pemuda. Sesungging seringai
menggidikkan membias di bibirnya, sementara sepa-
sang matanya yang sudah berubah memerah itu nam-
pak memandang tajam pada lawan-lawannya yang su-
dah kembali bersiap-siap untuk melakukan serangan-
serangan yang sudah barang tentu jauh berbeda den-
gan serangan terdahulu.
Buang Sengketa yang sejak tadi berusaha me-
redam kemarahannya, namun demi melihat orang-
orang Catur Tunggal masih juga, nekad kelihatannya
dia sudah tak mampu membendung emosinya. Begitu
pun dia masih berusaha memberi peringatan pada
orang-orang itu.
"Kuperintahkan sekali lagi pada kalian! Cepat-
cepat menyingkirlah dari hadapanku. Andai tidak, me-
nyesal pun nantinya sudah tiada guna...!" teriaknya marah. Hanya Wahana saja
yang keluarkan suara ta-wa mengekeh, sedangkan dua orang lainnya semakin
bertambah ciut nyalinya.
"Aku tau kau memiliki ilmu kepandaian yang
luar biasa dahsyatnya. Tapi jangan kira aku akan lari
ketakutan meninggalkanmu!" Maki Wahana semakin
membuat sebal hati si pemuda.
"Guru...!" Teriaknya pada dirinya sendiri. "Setapak jalan sulit yang ku lalui,
aku sampai pada dua
persimpangan jalan yang membuka pada dua pilihan.
Aku memilih mengikuti jalan yang kau tunjukkan pa-
daku. Jangankan kau sesalkan aku, karena sebagai
seorang anak manusia aku juga punya pilihan terbaik
untuk diriku sendiri...! Pada mereka juga telah kuberikan dua pilihan, namun
mereka rupanya memilih jalan
yang paling menyakitkan. Mampuslah kalian. Hiaaa...."
Di sertai suara mendesis bagai seekor piton yang se-
dang di landa kemarahannya Buang Sengketa akhir-
nya membuka jalan darah.
Dengan sekali berkelebat saja, mendadak tu-
buhnya telah lenyap dari penglihatan lawan-lawannya.
Tiada pukulan-pukulan maut yang dia lepaskan, seba-
liknya terlihat seberkas sinar merah menyala menyer-
tai berkelebatnya Pusaka Golok Buntung yang sudah
tergenggam di tangannya. Udara di sekitar tempat itu
mendadak saja menjadi dingin luar biasa, bukan main
terkejutnya Wahana di buatnya. Tubuh mereka meng-
gigil dalam rasa kecut dan dingin yang di timbulkan
oleh senjata maut di tangan lawannya. Tapi perasaan
apapun yang dihadapi oleh pihak lawan-lawan, Buang
Sengketa sudah tiada perduli lagi. Senjata di tangan-
nya terus berkelebat menyambar hingga menimbulkan
suara mendengung-dengung.
"Wuua!" Senjata itu berkelebat kembali me-
rangsak pertahanan pihak lawan. Namun mereka ma-
sih berusaha menangkis dengan Ajian Jari Sakti Baja.
"Creees! Crees! Crees...!"
"Arghh...!" Wahana, Adi Olo dan Adi Cilek me-raung setinggi langit saat mana
senjata di tangan
Buang membabat tanpa ampun. Tangan mereka yang
di pergunakan untuk menangkis serangan Golong
Buntung, terbabat hingga sebatas pangkal lengan. Da-
rah menyembur-nyembur dari pangkal lengan yang
terpotong itu. Secepatnya mereka menotok jalan darah
di bagian pangkal lengan masing-masing. Tak lama
kemudian darah pun berhenti mengalir. Adi Olo dan
Adi Cilek menggigil ketakutan. Sementara Buang
Sengketa nampaknya memang sengaja memberi ke-
sempatan pada lawan-lawannya. Dengan sekali bersal-
to, maka tubuhnya berjumpalitan, kemudian mendarat
tidak begitu jauh dari depan lawan-lawannya.
"Kuberi kesempatan terakhir pada kalian. Ce-
pat-cepat minggatlah dari sini, andai masih juga kalian keras kepala. Maka
sekejap lagi golok di tanganku ini akan memenggal kepala kalian...!"
Wahana menoleh pada kembrat-kembratnya...!
"Baiklah kita menyingkir saja, kakang...!" rintih Adi Olo dan Adi Cilek
menyeringai menahan rasa sakit.
"Ciuh. Mestinya kita harus bertarung dengan
budak keparat ini sampai mampus. Tapi baiklah... tapi
awas kau Pendekar Golok Buntung. Satu saat kami
pasti mencarimu untuk menagih hutang tangan...!"
"Sampai kapan pun aku tetap menantimu, so-
bat...!" kata pendekar ini. Tanpa menghiraukan jawaban si pemuda, ketiga orang
Catur Tunggal bergerak
meninggalkan tempat itu, namun kemudian harus
berbalik sebentar. Saat mana Buang Sengketa berkata;
"Eei... kutungan tangan kalian...!" ucapnya
mengingatkan. "Oh ya... kakang! Kutungan, tangan kita ter-
tinggal...!" kata Adi Cilek. Setelah memungut kutungan tangannya masing-masing.
Tanpa menoleh-noleh lagi
ketiga orang itu pun terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Geli hati Buang
Sengketa melihat tingkah orang-orang Catur Tunggal. Namun rasa geli itu tidak
sampai meledak jadi tawa. Hanya Bara Seta, istri dan anaknya
saja yang sudah tak dapat membendung tawanya.
Di luar sepengetahuan mereka, tak jauh dari
tempat itu, kiranya ada dua orang lain yang sejak tadi memperhatikan sepak
terjang Pendekar Hina Kelana.
Mereka ini terdiri dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, yang keduanya telah berusia sangat lanjut
sekali. Yang perempuan bermata buta, dengan wajah-
nya yang sangat angker, sedangkan yang laki-laki be-
rambut jarang-jarang berwarna kecoklatan, laki-laki
ini seperti manusia yang kurang waras dan tiada pula
memakai baju. Tubuh kurus kering dengan kedua ma-
ta menjorok ke dalam sehingga menambah keangke-
rannya. Sejak tadi mereka terus memperhatikan sepak
terjang Buang Sengketa, dan laki-laki itu pun harus
mengakui bahwa Jurus Koreng Seribu yang baru di-
pergunakan oleh si pemuda sama sekali belum pernah
dikenalnya. Mungkinkah dalam waktu yang relatif
singkat bocah muridnya almarhum si Bangkotan Ko-
reng Seribu itu telah mampu menguasai jurus terakhir
ciptaan gurunya"
"Ilmu yang sangat langka. Jurus-jurus yang
sangat hebat! Andai aku ingin menjadi pemenang da-
lam pertarungan nanti, maka jalan satu-satunya aku
harus menghindari bentrok tangan secara langsung...!"
Membatin kakek kurus kering. Tiba-tiba dia meman-
dang pada adik seperguruannya.
"Adi Tambak. Sekarang saatnya kita turun tan-
gan...!" kata laki-laki tua renta tersebut. Wanita buta yang tak lain Nyai
Tambak Sari adanya, mengangguk.
Lalu dengan sekali lompat, melayanglah tubuh kedua-
nya dari tempat persembunyiannya.
Baik Pendekar Hina Kelana, Bara Seta, istri dan
anaknya nampak terkejut demi melihat kehadiran ke-
dua orang itu. Tapi kemudian dia tersenyum-senyum
begitu mengenali salah seorang di antara mereka. Se-
jenak mereka saling berpandangan. Tapi Buang Seng-
keta tak lama setelahnya segera berkata pelan.
"Aha... selamat bertemu lagi Ketua Beruang Me-
rah. Nampaknya kau mendatang-kan seorang ksatria
mu yang kurus kering bagai cacing...!" ejek si pemuda.
"Keparat kau bocah gembel! Dulu kau bisa ber-
tingkah dan membunuhi murid-muridku tapi tidak un-
tuk saat kini...!" Maki Nyai Tambak Sari sangat marah, apalagi bila teringat
pada murid-muridnya yang tewas
di tangan Pendekar Hina Kelana. (Dalam Episode Badai
Selat Malaka). Dari hanya sekedar senyum sinis, kini
pendekar itu malah tertawa lebar.
"Hia... haha... haha...! Dengan mengandalkan
cacing kurus ini, kau dapat berkoar seenak perutmu.
Dulu pun andai kau tidak kabur, kau pun sudah be-
rada di neraka saat ini...!" Merah padam wajah Nyai Tambak Sari, tapi dalam
kesempatan itu kakang seperguruannya yang bernama Badak Sangrang sudah
membentak dengan suaranya yang tinggi melengking.
"Bocah keparat! Kurang ajar sekali mulutmu,
tahukah kau bahwa kedatanganku kemari ini hanya
ingin menagih hutang nyawa dan malu pada gurumu
yang korengan itu...?"
"Sobat tua. Jumpa dengan tampangmu saja ba-
ru kali kini, jangan kau bawa-bawa nama guruku yang
sudah tiada...!" geram Buang Sengketa merasa tak re-la, laki-laki renta itu
menyebut-nyebut gurunya yang
telah tiada. "Keparat betul kau bocah! Kau tanyalah guru-
mu di liang kubur sana, kesalahan apa yang pernah
dia perbuat terhadapku...!"
"Jadi sekarang apa maumu...?"
Badak Sangrang kertakkan rahangnya yang
hanya memiliki gigi tinggal beberapa buah saja.
"Karena gurumu sudah mampus! Maka sebagai
muridnya kau harus membayar hutang mata adik se-
perguruanku, membayar hutang malu beberapa tahun
yang lalu padaku. Selain itu, kau juga harus menye-
rahkan Kitab Jurus Koreng Seribu sebagai pembaya-
ran atas nyawa murid-murid adik seperguruanku
ini...!" kata Badak Sangrang setengah memerintah.
Mengertilah Buang Sengketa duduk persoalan
yang sebenarnya. Dia berfikir Nyai Tambak Sari meru-
pakan tokoh sakti yang sangat licik dan tak mudah di
kalahkan. Kalau laki-laki kurus itu pernah berhada-
pan dengan gurunya, sudah barang tentu orang tua
renta itu memiliki ilmu beberapa tingkat di bawah gu-
runya. Atau setidak-tidaknya dia merupakan lawan
yang sangat tangguh.
"Tengkorak hidup, bagiku tiada pilihan lain.
Majulah kalian bersama-sama, biar hari ini juga tak
usah susah payah aku menggusur dedemit persilatan
ke liang kubur...!" kata Buang Sengketa sambil menjaga setiap kemungkinan.
11 "Untuk menghadapi kutu kecil sepertimu tak
perlu orang lain ku libatkan. Kalau dulu kepandaianku
hanya setingkat di bawahnya. Maka jangan harap hari
ini kau mampu mengalahkan aku. Lihat serangan...!"
Teriak Badak Sangrang. Begitu membuka serangan dia
telah keluarkan jurus-jurus silatnya yang paling am-
puh. Di lain pihak, Nyai Tambak Sari yang buta kedua
matanya itu berpaling pula pada Bara Seta dan is-
trinya. "He... he... he...! Dari pada kalian bengong bagai monyet pesakitan
seperti itu, lebih baik kumampusi
saja sekalian...!"
"Sejak tadi pun kesempatan seperti ini selalu
ku nanti-nantikan tikus buta!" Ejek Dewi Wulan. Kemudian dengan di bantu oleh
Mara Seta, Ayunda dan
juga Suro. Bertarunglah Nyai Tambak Sari menghadapi
keroyokan keempat orang lawan yang rata-rata memi-
liki kepandaian tinggi. Begitu bergebrak, Nyai Tambak
Sari sudah lancarkan pukulan-pukulan andalan yang
di beri nama Beruang Merah Menendang Gunung. Se-
berkas sinar hitam menderu menerjang ke arah empat
penjuru mata angin. Dewi Wulan dan Ayunda memutar
pedangnya begitu sebat, pedang itu bergelung-gelung
membentuk sebuah perisai yang sangat kokoh.
Dalam pada itu Bara Seta pun tak mau kalah,
sekali saja tubuh berlompatan maka dia pun lancar-
kan pukulan yang tak kalah dahsyatnya.
"Blumm!" Terdengar satu suara letupan bagai longsoran batu gunung. Nyai Tambak
Sari tergetar tubuhnya, tapi Bara Seta, istri, anak dan seorang murid-
nya terpental beberapa tombak. Nyai Tambak Sari ter-
tawa tergelak-gelak. Sadarlah Bara Seta dan keluar-
ganya, bahwa perempuan buta itu ternyata memiliki
kepandaian beberapa tingkat di atas mereka. Begitu
pun mereka tiada mengenai rasa takut secara beramai-
ramai mereka mengerubuti perempuan itu. Mau tak
mau Nyai Tambak Sari jadi kerepotan juga. Apalagi pe-
dang di tangan Dewi Wulan dan Ayunda terus berkele-
bat menyambar, di lain pihak bola duri milik Bara Seta juga ikut bicara.
Sementara itu pertarungan antara Buang
Sengketa dan Badak Sangrang semakin bertambah se-
ru saja. Apalagi mereka kini telah mengeluarkan segala kemampuan yang


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimilikinya. Pertama-tama Badak
Sangrang mempergunakan Jurus Dewa Matahari un-
tuk menggempur pertahanan pihak lawan. Namun ju-
rus-jurus ini selalu kandas saat mana Buang menan-
dinginya dengan jurus si Gila Mengamuk dan jurus si
Jadah Terbuang. Badak Sangrang yang bertabiat be-
rangasan itu tak sabar. Lalu kirimkan pukulan Dewa
Rembulan Menunggu Kekasih. Buang Sengketa ma-
mapakinya dengan Jurus Empat Anasir Kehidupan.
Tapi dia merasa kewalahan, bahkan berulang kali dia
sempat terbanting ke tanah, dengan bibir mengham-
burkan darah kental. Saat itu dia masih berusaha ber-
tahan dengan pukulan Empat Anasir Kehidupan dalam
memapaki setiap serangan gencar yang dilancarkan
oleh Buang Sengketa. Tapi setelah berulang kali di
buat jatuh bangun bahkan terkadang sampai terpe-
lanting sepuluh tombak. Maka begitu Badak Sangrang
melepaskan pukulan Dewa Rembulan Menunggu Ke-
kasih, untuk yang kesekian kalinya, dia pun mele-
paskan pukulan si Hina Kelana Merana.
Bumi bagai dilanda selaksa gempa manakala
dua pukulan sakti itu saling bertemu antara yang satu
dengan lainnya. Bahkan di pihak Nyai Tambak Sari
yang sedang bertarung menghadapi keroyokan keluar-
ga Bara Seta pun nampak terkejut bukan alang kepa-
lang. Bahkan sesaat mereka menghentikan pertarun-
gan, untuk kemudian berlanjut kembali.
Pada saat itu kedua lawan yang telah sama-
sama melepaskan pukulan sakti tersebut, nampak be-
rusaha merangkak bangun. Baik Buang Sengketa
maupun Badak Sangrang sama-sama pula menghapus
darah yang meleleh di bibir dan bagian hidung mereka.
Wajah mereka sedikit memucat dengan dada terasa se-
sak luar biasa.
"Kau hebat orang muda. Tapi jangan bangga
dulu... aku masih punya pukulan yang sebelumnya
tak pernah di lihat oleh gurumu. Dan aku pun punya
senjata yang dapat menandingi Cambuk Gelap Sayuto
itu...!" kata Badak Sangrang dengan suara tergetar.
"Kau pun lebih hebat dariku orang tua, tapi
kau pun harus ingat. Aku pun tak akan membuat ma-
lu almarhum guruku dengan sebuah kekalahan...!"
Jawab si pemuda. Tapi akhirnya dia jadi sangat terke-
jut luar biasa saat mana dia memandang kembali pada
Badak Sangrang. Dilihatnya kedua tangan laki-laki
renta itu telah berubah bagai bara api yang menyala.
Wajah Badak Sangrang telah di banjiri dengan kerin-
gatnya sendiri, sementara bibirnya menyunggingkan
seringai maut, tak salah lagi. Saat itu Badak Sangrang kiranya sedang
mengerahkan pukulan Tapak Setan
hasil ciptaannya terakhir. Pendekar Hina Kelana tak
mengerti banyak tentang bagaimana kekuatan puku-
lan yang akan di lepaskan oleh pihak lawan. Tapi dia
yakin betul bahwa pukulan yang akan di lepaskan oleh
Badak Sangrang tentunya merupakan pukulan yang
sangat ampuh. Tegang wajah si pemuda bila mem-
bayangkan akibatnya. Memapaki pukulan itu dengan
pukulan si Hina Kelana Merana" Sifatnya masih un-
tung-untungan. Bagaimana nanti andai ternyata puku-
lan yang di lepas oleh si renta kurus itu berkekuatan
lebih besar dari pukulan sakti yang dimilikinya. Dia
cukup sadar bahwa saat itu dia sedang menghadapi
lawan yang seangkatan dengan gurunya. Mempergu-
nakan Jurus-jurus Koreng Seribu baginya juga tidak
mungkin. Pukulan itu tentunya berhawa panas mem-
bakar, kalaupun dia menyedot pukulan yang akan di
lepaskan oleh Badak Sangrang. Akibatnya kalau sam-
pai kalah sakti tentu badannya akan hangus terbakar,
hemm. Agaknya pukulan si Hina Kelana Merana, den-
gan di bantu Golok Buntung dapat mengatasi pukulan
maut itu...! Membatin pendekar ini dalam keputusan
yang mantap. Saat itu, Badak Sangrang dengan di sertai sua-
ra melengking tinggi dan mata melotot sudah lepaskan
pukulan Tapak Setan yang sangat berbahaya tersebut.
Satu badai topan menyertai bergemuruhnya selarik si-
nar merah bara menyongsong ke arah tubuh Pendekar
Hina Kelana. Angin pukulannya saja dapat di rasakan
oleh si pemuda panas bukan main. Kalau sampai ter-
pukul matilah aku! Gumam pendekar ini.
Selanjutnya dengan mengerahkan sebagian be-
sar tenaga saktinya, pemuda ini kembali lepaskan pu-
kulan si Hina Kelana Merana, lalu dibarengi dengan
tercabutnya pusaka Golok Buntung sebagai perisai.
"Hiaaat...."
"Blaaaar...!" Orang-orang yang bertarung di sekitarnya pun berpelantingan dengan
menderita luka dalam yang cukup hebat, Nya Tambak Sari pun tak
luput dari akibatnya. Bahkan Lembah Selaksa Mayat
terguncang keras. Buang Sengketa dan Badak San-
grang nampak lenyap dari pandangan mereka yang ter-
tatih-tatih. Di luar sepengetahuan mereka kiranya tu-
buh Badak Sangrang dan Buang Sengketa sama-sama
amblas ke dalam tanah hingga sebatas leher, dalam ja-
rak yang tidak begitu berjauhan pula. Berlomba mere-
ka berusaha membebaskan diri dari timbunan tanah
yang menghimpit masing-masing tubuh keduanya. Ba-
dak Sangrang menggerakkan badannya, lalu menge-
rahkan segenap kemampuannya.
"Hiaaa...!"
"Brooll!" Laki-laki renta dari Bukit Sambuang itu, sekarang telah terbebas dari
tanah yang menghim-pitnya. Celinguk kanan, celinguk kiri. Dan sepasang
matanya yang menjorok ke dalam membentur tubuh
lawannya yang masih berkutetan membebaskan diri.
Badak Sangrang tertawa mengekeh begitu melihat
keadaan Buang Sengketa.
"Sudah kukatakan hari ini telah di tentukan
akulah yang keluar sebagai pemenangnya. Mam-
pussss...!" Maki Badak Sangrang sambil pukulkan kedua tangannya ke depan.
Kembali sinar merah bara
pukulan Tangan Setan menggemuruh menerjang ke
arah bagian tubuh Buang Sengketa yang terbenam.
Matilah aku kali ini! Membatin pemuda itu sambil me-
nadahkan pusaka Golok Buntung yang masih tergeng-
gam erat di tangannya. Pemuda itu pejamkan matanya
saat mana dia melihat sinar maut itu semakin mende-
kat ke arahnya.
"Blaaar...!" Begitu sinar merah Pukulan Tapak Setan itu membentur golok pusaka
di tangan Pendekar
Hina Kelana, sinar itu membalik ke arah tuannya. Ba-
dak Sangrang tiada pernah menyangka kalau hal se-
perti itu bisa terjadi, maka laksana kilat tubuhnya
berkelebat berusaha menghindari pukulannya sendiri.
Kenyataannya sehebat dan secepat manapun dia
menghindar, tak urung sebagian sinar merah menyala
itu masih tetap saja menyambar tubuhnya. Laki-laki
itu terjengkang di makan pukulannya sendiri. Sem-
poyongan dia bangkit.
Saat itu Buang Sengketa sudah tak terlihat dari
pandangan siapa pun. Ternyata tubuhnya semakin
amblas ke bumi. Hal ini sudah barang tentu membuat
cemas hati Bara Seta dan Dewi Wulan yang kini mulai
berada di atas angin. Tapi untuk mencari tahu lebih
banyak rasa-rasanya tidak mungkin. Maka sebagai pe-
lampiasan kemarahan mereka mengamuklah Bara Se-
ta dan istri dengan di bantu Ayunda. Nyai Tambak Sari
semakin lama semakin terdesak hebat. Hingga pada
satu kesempatan yang sangat baik, Nyai Tambak Sari
lengah, Dewi Wulan kirimkan satu babatan satu tusu-
kan. Perempuan buta itu berusaha mengkelit serangan
tersebut, namun dari samping kiri Ayunda kirimkan
satu tusukan, di susul dengan satu pukulan yang te-
lak ke bagian dada.
"Argkh...!" Nyai Tambak Sari menjerit tertahan, pedang di tangan Ayunda menembus
bagian lambung,
sementara pedang Dewi Wulan menembus pada bagian
lehernya. Tubuh perempuan buta itu tergetar sesaat,
kemudian berjalan sempoyongan, lalu terjerembab ke
depan tanpa mampu bangkit lagi.
Cepat-cepat mereka berbalik dan bermaksud
menyerang Badak Sangrang yang masih terlolong-
lolong memandangi tubuh adik seperguruannya. Na-
mun pada saat itu dari dalam tanah, melesat tubuh
Pendekar Hina Kelana dengan Golok Buntung tergeng-
gam di tangannya. Pakaiannya nampak kotor tak ka-
ruan, gigi-giginya bergemeletukan menahan marah,
sedangkan dari bibirnya keluarkan bunyi mendesis-
desis tak beraturan. Tiba-tiba dia membentak garang;
"Badak Sangrang! Kau bilang kau masih memi-
liki senjata yang sangat ampuh. Cepat kau keluarkan-
lah sekarang juga, aku tak akan mengampuni jiwamu
lagi...!" teriak Buang Sengketa dengan sikap menantang. Dari memandangi jenazah
adik seperguruannya,
kini Badak Sangrang yang juga sedang di landa kema-
rahan besar beralih pada keluarga Bara Seta, selanjut-
nya terpaku pada Pendekar Hina Kelana yang telah
siap menanti. "Kau memang hebat, bocah...! Tapi ingat aku
pun masih belum kalah. Kalau kau ingin tahu sebera-
pa hebat senjata maut ku, inilah Cambuk Inti Sukma
itu...!" Serentak dengan ucapannya itu, Badak Sangrang mencabut Cambuk Inti
Sukma yang dulu juga
pernah dia pergunakan untuk menandingi Cambuk
Gelap Sayuto ketika melawan si Bangkotan Koreng Se-
ribu. Begitu cambuk di tangan Badak Sangrang terle-
pas dari pinggangnya, maka cambuk itu pun langsung
menderu dan menghantam apa saja yang berada di se-
kitarnya. Batu-batu berukuran besar pun jadi hancur
berkeping-keping saat mana cambuk tersebut meng-
hantamnya. Buang Sengketa terus berkelebat, mengimbangi
serangan-serangan cambuk tersebut, Golok Buntung
di tangan Buang Sengketa bergerak lebih cepat mema-
tahkan setiap serangan yang datangnya saling susul
menyusul. Pendekar Hina Kelana memang harus men-
gakui bahwa ternyata Cambuk Inti Sukma itu benar-
benar hebat luar biasa. Setiap kali cambuk itu mele-
cut, maka tanah di sekitar mereka bergetar hebat. Tapi Pendekar Hina Kelana
dengan Golok Buntungnya terus
bergerak, kadang-kadang tubuhnya lenyap sehingga
tinggal merupakan bayang-bayang saja.
"Ciaaaat...! Ngung...!"
"Cter... cter... cter...!" Begitu golok di tangan si pemuda bergerak mendesak
lawannya, cambuk di tangan Badak Sangrang datang menyambut.
"Aiiiiih...!" Kalau saja Buang tidak cepat-cepat tarik balik serangannya, sudah
barang tentu tangannya hancur dilanda cambuk lawan. Tak begitu jauh
dari tempat itu, Bara Seta menyaksikan pertarungan
itu dengan hati harap-harap cemas.
Masih di sekitar tempat terjadinya pertarungan,
sudah hampir satu jam lebih nampak seorang laki-laki
dalam suasana tegang terus memperhatikan jalannya
pertarungan. Laki-laki berkaki buntung dengan kea-
daan tubuh rusak bekas luka-luka cambukan itu me-
rasa bahwa sekarang saat yang sangat tepat untuk
membantu Badak Sangrang yang baru saja dia kenali,
masih merupakan sahabat lamanya. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, begitu dia keluar dari
tempat persembunyiannya, laki-laki berkaki buntung
itu langsung menyerang Buang Sengketa dengan pu-
kulan-pukulan mautnya. Merasa ada orang lain yang
datang membantu dirinya, sejenak tua renta kurus
kering itu pun meneliti.
12 Begitu mengenali siapa adanya orang yang da-
tang membantunya, maka masih dalam keadaan ber-
gerak menyerang dia pun berseru;
"Aha... selamat datang sobat lama! Nampaknya
kau pun mempunyai keperluan yang sama terhadap
muridnya si Bangkotan Koreng Seribu?" Kata Badak
Sarang masih dengan tawa mengekeh.
"Tepat sekali dugaanmu, Bangkotan Koreng Se-
ribu mempunyai hutang padaku. Pula dendam lama
belum juga terobati. Gurunya sudah kojor, maka tak
salah kalau hari ini aku menagih hutang pada murid-
nya...!" kata Wandiro sambil melakukan serangan-
serangan gencar.
"Keparat... kalian benar-benar iblis yang sudah
bosan hidup...!" Maki Buang Sengketa secara terus
menerus berusaha menghindari pukulan maupun le-
cutan cambuk yang di lakukan oleh Badak Sangrang.
Sementara itu Bara Seta dan istrinya kelihatan
saling berbisik sesamanya; "Kakang masakan kita biarkan saja, Buang mendapat
keroyokan seperti itu.
Ada baiknya kalau kita datang membantu...!" Usul De-wi Wulan tanpa mengalihkan
perhatiannya dari perta-
rungan. "Kalau kita membantu, hal itu malah mere-
potkan dia. Kau harus sadar istriku bahwa kita bukan-
lah lawan mereka. Mereka itu merupakan tokoh ting-
kat tinggi yang dapat di sejajarkan dengan almarhum
bapak. Kalau pun kita turun tangan menggempur to-
koh-tokoh sesat tersebut, jangan-jangan jiwa kita sen-
diri sangat sulit untuk melindunginya...!"
"Tapi ayah... kelihatannya Kakang Kelana su-
dah sangat kerepotan sekali. Cambuk di tangan Badak
Sangrang dahsyat memburu. Belum lagi menghadapi
serangan-serangan si kaki buntung yang tak ubahnya
bagai gelegar halilintar. Sementara Kakang Kelana
hanya mengelak dan menangkis...!" Ayunda ikut mendesak ayahnya dengan hati
harap-harap cemas. Na-
mun nampaknya Bara Seta tidak terpengaruh dengan


Pendekar Hina Kelana 16 Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desakan istri dan anaknya, sebab dia merasa yakin,
bahwa saat-saat itu Buang Sengketa sedang mene-
rapkan rasa kesabarannya demi mematuhi pesan-
pesan yang tertulis dalam kitab Jurus Koreng Seribu.
Tak perduli walau berulang kali tubuhnya harus jatuh
bangun menerima pukulan-pukulan maut yang di lan-
carkan oleh dua orang lawan-lawannya.
"Kita tak perlu cemas. Itu bukan berarti kita
membiarkan bocah itu begitu saja, sudah kukatakan
kita-kita ini bukanlah apa-apa bila di bandingkan den-
gan tokoh-tokoh itu. Aku yakin tak lama lagi pemuda
itu akan mengambil tindakan yang sangat tepat...!"
Ternyata memang benar apa yang dikatakan
oleh Bara Seta, setelah jatuh bangun tak karuan den-
gan menderita luka dalam yang lumayan. Pendekar
Hina Kelana kemudian nampak bertindak sangat ce-
pat. Sementara Pecut Inti Sukma terus bergerak me-
nyambar memburu tubuhnya, Buang Sengketa sambil
membabatkan Golok Buntungnya cepat pula melepas
Cambuk Gelap Sayuto yang melilit di pinggangnya.
"Nguung! Ctar... ctaaaar... ctaar...!"
Tak dapat di sangkal, menderulah angin topan
yang sangat dahsyat menyertai terdengarnya gelegar
petir di angkasa sana. Cambuk di tangan Pendekar Hi-
na Kelana terus melecut ke segala arah, mematahkan
Pukulan Halilintar Tunggal yang di lepaskan oleh Iblis Pencabut Nyawa yang
berkaki buntung itu. Tiba-tiba
saja suasana di sekelilingnya berubah menjadi gelap
gulita. Di lain pihak walaupun Badak Sangrang dan Ib-
lis Pencabut Sukma pernah berhadapan dengan situasi
itu ketika bertarung dengan si Bangkotan Koreng Seri-
bu pada beberapa puluh tahun yang lalu. Namun kea-
daan yang mereka hadapi sekarang ini terasa agak
lain. Golok Buntung yang memancarkan sinar merah
menyala dalam kegelapan yang di timbulkan oleh
Cambuk Gelap Sayuto itu benar-benar terasa sangat
angker sekali. Buang Sengketa yang telah sampai pada pun-
cak kemarahannya itu, nampak sudah tak memperdu-
likan keadaan di sekitarnya.
"Heiiik...!" Jeritnya, sebentar saja gerakan tubuhnya pun sudah berputar sambil
melecutkan cam-
buk di tangannya, dia juga kirimkan satu babatan ke
arah tubuh Badak Sangrang.
"Nguuuung...!" Golok Buntung menderu dan
timbulkan suara berisik meningkahi gelegar petir dan
hujan topan di tempat itu. Namun Badak Sangrang
bukanlah tokoh sembarangan, dia merupakan tokoh
yang seangkatan dengan si Bangkotan Koreng Seribu.
Menghadapi berkelebatnya golok di tangan Buang,
maka secepatnya dia menggempos tubuhnya hingga
melesat ke udara, dalam suasana gelap seperti itu dia
masih sempat lecutkan cambuknya mengarah pada
bagian punggung Pendekar Hina Kelana. Si pemuda
merasakan ada sambaran angin yang terasa panas
bergerak menerjang bagian belakang.
Maka tanpa ayal-ayalan lagi dia putar tubuh,
cambuk melecut ke arah tubuh Wandira sedangkan
Golok Buntung di tangannya memapasi lecutan Cam-
buk Inti Sukma milik Badak Sangrang.
"Tersss...! Teeees...!" Badak Sangrang keluarkan seruan tertahan saat mana dia
lihat Cambuk Inti
Sukma miliknya terbabat putus oleh ketajaman golok
pusaka milik si pemuda. Namun dia sudah tak dapat
berpikir panjang lagi, sebab saat itu golok di tangan
Buang Sengketa menderu kencang ke arahnya. Lagi-
lagi Badak Sangrang berusaha mengkelit datangnya
sambaran golok maut tersebut.
"Beeet!" Serangan kilat yang di lancarkan
Buang, luput! Dia menjadi sangat penasaran. Kemu-
dian dia ulangi lagi.
"Crees...! Craaas...!"
"Ahhkk...!" Badak Sangrang menekuk tubuh-
nya, pada bagian leher terlihat luka yang sangat lebar.
Melalui luka tersebut mengalir darah yang tiada kun-
jung henti. Sebentar tubuh Badak Sangrang ambruk
dan berkelejat-kelejat selanjutnya diam membeku. Tapi
Buang sudah tiada menghiraukannya lagi, sebab saat
itu Wandiro demi melihat kematian kawan nya yang
sangat mengenaskan itu, langsung menyerang si pe-
muda dengan pukulan-pukulan mautnya yang diberi
nama Halilintar Tunggal Hancurkan Gunung Berapi.
Buang Sengketa pun tak kalah gusarnya, cam-
buk di tangannya terus melecut ke udara, sedangkan
golok di tangan kanannya terus berkelebat menyam-
bar, memburu Wandiro dalam kegelapan yang di tim-
bulkan oleh Cambuk Galap Sayuto.
"Wiing... nguuung...!"
"Ctaaar...! Ctaaar...!"
"Caaait...!" Dengan keberanian yang luar biasa Iblis Pencabut Sukma itu berusaha
merebut cambuk di
tangan Pendekar Hina Kelana. Tapi akal licik itu tak
luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana. Golok di
tangan pemuda itu menderu laksana kilat, Wandiro
yang berkaki buntung berusaha membuang tubuhnya
ke samping. Tapi celakanya gerakan pertama yang di-
lakukan oleh si pemuda sesungguhnya hanyalah me-
rupakan gerakan tipuan semata. Begitu melihat tubuh
Wandiro miring ke samping kiri, maka dari bagian
atas, golok itu menyambar.
"Buuut...!"
"Kampreet sialan!" Maki si pemuda ketika untuk yang kesekian kalinya babatan
golok itu pun kem-
bali luput. Wandiro tergelak-gelak merasa menang da-
lam mengecoh lawan-lawannya. Buang semakin panas
hatinya, lain di salurkannya sebagian tenaga dalamnya
mengarah ke bagian cambuknya. Tubuhnya bergetaran
sekejap lamanya. Lalu dengan disertai jeritan tinggi
melengking, pemuda itu kini malah melecutkan cam-
buknya secara beruntun.
"Ctaaar... ctaaar... ctaaar...!"
Cambuk di tangan Buang terus melecut, berge-
rak menyambar-nyambar ke mana pun Wandiro beru-
saha menghindar. Hingga pada satu kesempatan yang
sangat baik. "Jdaaar...!" Wandiro terpelanting tubuhnya dilanda Cambuk Gelap Sayulo ditangan
Pendekar Hina Kelana. Sebagian tubuhnya hangus dan bau daging
terbakar pun menyebar bersamaan dengan berhem-
busnya badai topan dan gelegar suara petir yang da-
tang sambung menyambung tiada berkesudahan.
Pemuda itu melangkah perlahan meng-hampiri
tubuh lawannya, sekejap dia meme-riksa keadaan
orang itu. Begitu dia merabai denyut nadinya, Iblis
Pencabut Nyawa kiranya sudah tiada bernyawa pula.
Buang menarik nafas pendek, di selipkannya Pusaka
Golok Buntung pada tempatnya menyusul Cambuk
Gelap Sayuto yang telah menewaskan Wandiro. Tokoh
seangkatan dengan gurunya itu. Seiring dengan ter-
simpannya cambuk di bagian pinggangnya, maka ba-
dai topan pun langsung terhenti. Begitu juga gelegar
halilintar di angkasa sana. Saat itu Bara Seta, istri dan anaknya sudah datang
menghampiri si pemuda, dari
cara mereka memandangnya nyatalah bahwa mereka
begitu terkesan dengan kesaktian yang di miliki oleh
pemuda itu. "Buang! Kau benar-benar seorang pendekar
yang sangat mengagumkan...!" Puji Dewi Wulan sem-
bari menjabat erat tangan Buang Sengketa.
"Aku bukanlah apa-apa tanpa mendapat bim-
bingan kakek guru...!" Bantahnya begitu lugu.
"Hemm. Tokoh-tokoh sesat itu akhirnya tewas
dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Tapi kupikir
hal itu malah lebih baik...!" Ucapnya seperti pada dirinya sendiri.
"Ya... kadang-kadang keserakahan terhadap se-
suatu yang bukan miliknya, dapat berakibat fatal pada
dirinya sendiri...!" Dewi Wulan menimpali.
"Oh ya, kau masih memiliki waktu sekitar dua
hari lagi untuk menguasai Jurus-jurus Koreng Seribu
yang berada dalam kitab itu...!" Buang hanya tersenyum-senyum saja.
"Kakang Kelana telah berhasil mempelajari Ki-
tab Jurus Koreng Seribu dalam waktu tiga puluh tujuh
hari, ayah...!" Ucap Ayunda, kemudian memandang
sendu pada pemuda yang sangat di cintainya.
"Benarkah itu, Buang...?" Tanya Dewi Wulan
seolah-olah tak percaya.
"Benar, paman dan bibi... dan mungkin aku tak
bisa berlama-lama tinggal di Lembah Selaksa Mayat
ini...!" "Hei mengapa harus tergesa-gesa...?" tukas Ba-ra Seta. "Aku ingin
secepatnya bertemu dengan ayahanda ku, paman...!" Jawabnya bersungguh-sungguh.
"Kalaupun memang begitu, tinggallah beberapa
hari lagi di rumah kami...!" Kata Dewi Wulan penuh permohonan. Sebenarnya Buang
merasa keberatan,
tapi demi menyenangkan hati Bara Seta dan istri serta
Ayunda. Maka akhirnya dia menyanggupinya juga.
Demikianlah setelah menguburkan mayat ketiga orang
lawannya, selanjutnya mereka kembali menuruni
Lembah Selaksa Mayat.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 25 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Sian Ku Po Kiam Karya Khu Lung Pedang Langit Dan Golok Naga 42
^