Pencarian

Dendam Manusia Kelelawar 3

Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar Bagian 3


barang tentu, baik Godam maupun Wintang Kelelap masih mengenali suara orang
yang dulu pernah dihukumnya. "Sagara!" gumam hati mereka. "Jangan bertindak
seperti setan, main teror namun tak berani menunjukkan muka...!" maki Wintang
Kelelep, kejab kemudian dia telah mencabut pe-
dang panjang dari sarungnya.
Masih di dalam tempat persembunyian yang
tidak diketahui oleh lawan-lawannya. Sagara atau yang lebih ditakuti dengan
julukan "Manusia Kelelawar"
perdengarkan suara tawa menyeramkan.
"Keadaan tubuhku mungkin kau masih dapat
membayangkannya manusia keparaaat! Bahkan aku
sendiri masih dapat merasakan betapa pedihnya pe-
dang terkutuk di tanganmu itu saat mana dia terayun menebas bagian-bagian
tubuhku...!" maki Sagara dalam suaranya. "Saat itu aku menjadi manusia yang
kalah tanpa daya, dan kau tertawa puas dalam keme-
nanganmu. Tapi kau selalu lupa bahwa hidup manusia
ini selalu dipenuhi dengan segala kemungkinan...!"
"Bangsaaat! Tak perlu berkotbah tunjukkan-
lah dirimu...!" sentak Godam merasa tidak sabar lagi.
Masih belum lenyap gema suara Godam, ta-
hu-tahu sosok bayangan tubuh melesat dari ketinggian pohon yang terdapat di
pinggiran jalan itu. Mengagumkan sekali cara laki-laki itu menjejakkan kakinya
di atas tanah. Sungguh pun tubuhnya dalam keadaan
cacat tapi dia masih mampu menjaga keseimbangan
dengan sangat baik sekali.
Sebaliknya di pihak prajurit-prajurit kerajaan
demi melihat kehadiran laki-laki cacat yang berjuluk
"Manusia Kelelawar" ini, dengan cepat pula segera mengepung laki-laki itu.
Sagara sejenak lamanya me-nyapu pandang pada orang-orang yang mengepung di-
rinya. Dia mendengus disertai sesungging senyum tipis sebagai isyarat maut
setiap gerakannya.
Kemudian tanpa menghiraukan prajurit-
prajurit itu dia memandang tajam pada Godam dan
Wintang Kelelep silih berganti. Sorot matanya yang merah menyala, cukup
mengisyaratkan dendam yang se-
lama ini terpendam di lubuk hatinya.
"Kau lihatlah bekas luka-luka ini... hemm
sungguh... sekarang merupakan saat yang tepat untuk melakukan pembalasan...!"
geram Sagara. Selanjutnya tanpa basa basi lagi, dia kibaskan tangannya yang
hanya sebatas pangkal lengan itu. Selarik sinar berwarna hitam pekat, kontan
menyambar pada beberapa
orang prajurit Muara Panjang. Dalam gebrakan perta-
ma ini, lima orang prajurit itu terpelanting tubuhnya dan langsung berkelejetan
meregang ajal. Luar biasa kecepatan gerak yang dilakukan oleh Sagara ini,
sehingga Godam dan Wintang Kelelep sendiri tidak dapat mengikuti gerakan kilat
yang mengeluarkan hawa din-
gin yang sangat hebat ini. Dan mereka lebih terkejut lagi ketika mendapati tubuh
kawan-kawannya terkapar tanpa nyawa hanya dalam segebrakan saja.
"Keparaaat... Ka...!"
"Wuuut...!"
Wintang Kelelep belum lagi sempat melan-
jutkan kata-katanya, tahu-tahu Sagara telah mengi-
baskan tangannya yang buntung ke arah delapan pen-
juru mata angin. Satu gelombang pukulan datang
menggebu, meluruk ke arah delapan penjuru mata an-
gin, pontang panting prajurit-prajurit yang jumlahnya hanya belasan orang itu
berusaha menyelamatkan diri.
Namun tetap saja mereka terhempas oleh pukulan
'Kelelawar Hitam' yang dilancarkan oleh Sagara. Dari sekian banyak orang yang
ada di situ hanya Wintang
Kelelep dan Godam saja yang dapat luput dari seran-
gan ganas itu. Dan yang pasti andai saja kedua orang itu tidak memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi sudah sejak tadi mereka menyusul kawan-kawannya. Melihat
kematian yang menggenaskan itu Wintang Kelelep dan
Godam nampak menjadi sangat gusar sekali, sembari
mengamang-amangkan pedangnya dia berseru mem-
bentak: "Manusia iblis...!" makinya.
*** 9 Sesaat setelah bentakannya itu, secara berba-
reng Wintang Kelelep dan Godam langsung menyerang
Sagara dengan pedang panjangnya. Terasa ada angin
menderu akibat sambaran pedang yang dilakukan oleh
lawannya. Sekejap saja gulungan sinar pedang di tangan lawannya telah mengurung
Sagara dari berbagai
penjuru. Sungguh pun Wintang Kelelep dan Godam
memiliki tubuh yang gemuk luar biasa, namun gera-
kan silat mereka ternyata sebat dan cukup ganas. Apalagi sepuluh jurus kemudian
Godam dan Wintang Ke-
lelep sudah mempergunakan jurus pedang 'Para Rak-
sasa Memukul Setan' tak ayal semakin lama Sagara
semakin terkurung dalam posisi yang sangat rapat.
Tapi Sagara juga tidak ingin keadaan itu berlangsung begitu saja, sebab apa yang
ada di dalam benak laki-laki itu adalah bagaimana caranya menjatuhkan pihak
lawan yang paling dibencinya sesegera mungkin.
Maka setelah pertarungan sengit itu berlang-
sung lebih kurang lima belas jurus, dengan bertumpu sebelah kakinya, tubuh
Sagara langsung melentik ke
udara. Saat itu dia telah bersiap-siap dengan pukulan dahsyat yang diberi nama
'Kelelawar Hitam Menembus
Kepekatan Malam' secara spontanitas, tubuh Sagara
yang masih berkelebat-kelebat di atas kepala lawannya itu terlihat mengepulkan
uap berwarna hitam pekat.
Sungguh hebat sekali pengaruhnya bagi pihak lawan-
nya, sebab tak begitu lama setelah kepulan uap itu.
Godam yang berada paling dekat dengan 'Manusia Ke-
lelawar' ini langsung terbatuk-batuk. Wajahnya sebentar saja memucat dengan
keringat dingin mulai terasa membasahi tubuhnya yang tiada berbaju. Sadarlah
Wintang Kelelep bahwa uap yang mengepul dari tubuh
lawannya ternyata mengandung racun yang sangat ga-
nas. Masih untung se-belum Wintang Kelelep memberi
peringatan pada kawannya itu, Godam telah mengeta-
hui apa yang sesungguhnya yang sedang terjadi. Maka tak menunggu lebih lama
lagi, laki-laki algojo istana itu langsung menutup jalan nafasnya. Sebelum dia
dapat menguasai situasi,
Sagara telah melepaskan pukulan mautnya
melalui tangannya yang buntung.
"Weng...!"
Pukulan itu menderu dahsyat mengarah pada
tubuh Godam, mengetahui kawannya terancam ba-
haya, maka Wintang Kelelep dengan pedang panjang-
nya bergerak memapaki serangan lawan dengan sikap
ayal-ayalan. "Wees! Blaaaam...!"
Bukan saja pedang di tangan Wintang Kelelep
mental entah ke mana, namun juga tubuhnya terbant-
ing dan membentur batu besar yang ada di belakang-
nya. Bahkan pukulan 'Kelelawar Menembus Kepekatan
Malam' sempat pula menyambar bagian lengannya.
Nampak lengan yang tersambar pukulan itu menjadi
kehitam-hitaman. Masih untung bagi Wintang selain
memiliki tenaga yang sangat besar ternyata juga dia kebal terhadap berbagai
racun ganas. Begitu pun dia merasakan dadanya bagai remuk, bahkan kedua
tangannya terasa kesemutan. Dia cepat bangkit, namun
Godam yang selamat dari serangan itu telah bergerak mendahului. Satu babatan
pedang secara beruntun
mengarah pada bagian kaki Sagara yang hanya tinggal satu-satunya.
"Uutt...!"
Dengan mengandalkan ilmu mengentengi tu-
buh yang sudah mencapai taraf paling sempurna Sa-
gara masih mampu menyelamatkan kaki tunggalnya.
Tetapi saat dia menjejakkan kakinya di atas tanah, sa-tu pukulan Wintang Kelelep
yang mengandalkan tena-
ga besar dengan ditopang berat tubuhnya menghan-
tam bagian punggungnya.
"Buuuk...! Gusraaak...!"
Tanpa ampun tubuh 'Manusia Kelelawar' ter-
pelanting roboh, pukulan algojo yang sangat diben-
cinya itu membuat tulang punggungnya terasa bagai
melesak ke depan. Tiada tercegah, darah kental meng-
gelogok dari mulutnya, beribu kunang-kunang ber-
main-main di matanya. Bahkan dia merasakan perut-
nya mual bagai hendak muntah. Mempergunakan ke-
sempatan itu, Godam yang masih memegang pedang
terus memburunya. Sagara bukan tak mengetahui
akan datangnya bahaya itu, namun dia terasa sangat
sulit untuk menggerakkan tubuhnya yang cacat. Dia
hanya berguling-guling menghindari sergapan pedang
panjang di tangan lawannya.
Penuh hawa nafsu membunuh, dua algojo
yang terkenal karena kekejamannya ini terus melaku-
kan tekanan-tekanan agar 'Manusia Kelelawar' tidak
mempunyai kesempatan untuk bangkit pada posi-
sinya. Semua kejadian itu kiranya tidak luput dari perhatian Buang Sengketa dan
Ambarwati yang sudah
berada di tempat itu sesaat setelah mereka mendengar suara pekik kematian dari
mulut para prajurit-prajurit kerajaan Muara Panjang. Sudah barang tentu
Ambarwati yang sudah mengenali kakak kandungnya sejak
pertama tadi menjadi sangat cemas, dan Buang Seng-
keta cukup mengetahui kecemasan yang ada di dalam
hati Ambarwati. Tanpa menunggu diperintah tubuh
pendekar Hina Kelana sekejap saja telah melesat sedemikian cepatnya menuju arena
pertempuran. Masih
dalam keadaan melayang itu Buang hantamkan tela-
pak tangannya ke depan, tak pelak pukulan 'Empat
Anasir Kehidupan' dia lepaskan. Selanjutnya serang-
kum gelombang sinar ultra violet menderu mencari sasarannya pada bagian punggung
Godam. Saat itu algo-
jo itu sudah mengayunkan pedang panjangnya men-
gancam pada bagian leher Sagara, tetapi akhirnya dia terpaksa mengurungkan
niatnya begitu merasakan
adanya sambaran angin pukulan yang berhawa panas,
itu mengancam bagian punggungnya. Cepat-cepat Go-
dam membanting tubuhnya ke samping kiri. Kesempa-
tan yang hanya sesaat itu dipergunakan oleh Sagara
untuk bergulingan menjauh.
"Blaaam!"
Gagal menghajar sasarannya, pukulan
'Empat Anasir Kehidupan' yang dilepaskan oleh Buang Sengketa menghantam tempat
kosong. Bumi terasa
bergetar saat mana pukulan itu menghantam tanah
hingga berantakan.
"Keparat! Siapa kau...!" maki Godam begitu terhindar dari pukulan maut itu.
Sebaliknya Sagara memandang pada Buang Sengketa dengan hati diliputi
tanda tanya. Buang tersenyum sinis begitu mendapat
pertanyaan seperti itu, dengan sikap acuh dia menjawab; "Aku adalah seorang
pengelana yang bertugas membasmi algojo bangsat seperti kalian. Tapi karena
saudara Sagara mempunyai persoalan yang lebih penting dengan kalian. Maka di
sini aku hanya bertindak sebagai juri dalam pertarungan ini...! Nah saudara
Sagara, lakukanlah apa yang pantas untuk saudara la-
kukan...!" ucap Buang sembari melangkah mundur.
Sementara itu setelah saling berpandangan sesa-
manya, Wintang Kelelep berseru marah.
"Bocah gembel, nampaknya kalian telah ber-
sekutu dengan manusia cacat itu untuk berkomplot
menyerang kerajaan. Puiiih, jangan harap...!"
Sebagai jawabannya, Sagara kirimkan satu
pukulan 'Kepakan Sayap Kelelawar Hitam'.
Secara spontan dari tangan Sagara yang ter-
kutung sebatas siku menderu serangkaian gelombang
berhawa sangat dingin bergelung-gelung menghajar
tubuh Wintang Kelelep yang berada paling dekat den-
gan dirinya. Algojo kejam yang sudah tiada bersenjata itu tanpa mengenal rasa
takut lagi langsung memapaki serangan lawan yang datangnya bagai gemuruh suara
air bah. "Jungg...!"
Akibat benturan dua tenaga sakti yang dile-
paskan oleh masing-masing lawan, telah menyebabkan
tubuh Sagara mencelat ke udara, namun begitu dia
berjumpalitan ke bawah, 'Manusia Kelelawar' ini masih mampu mendaratkan kakinya
dengan baik di atas tanah berbatu. Sementara Tubuh Raksasa Wintang Kele-
lep setelah roboh dengan menimbulkan suara berde-
bum bagai pohon roboh nampak kerengkangan beru-
saha bangun dari tempatnya. Namun pukulan yang di-
lepaskan oleh Sagara, sungguh pun sebagian dapat dia papaki dengan baik, tapi
sebagian lagi tetap menghantam bagian dadanya. Dia merasakan tubuhnya men-
dadak saja terasa kaku lemas tiada bertenaga bahkan terasa sangat sulit untuk
digerak-gerakkan.
"Hoeeek...!"
Darah meleleh dari sela-sela hidung bibir ser-
ta pori-pori tubuhnya. Hal ini membuat Godam menja-
di sangat terkejut sekali, bahkan kedua matanya terbelalak bagai tak percaya.
Rasa jeri mencekam hati sanubarinya, tapi apabila dia memandangi keadaan ka-
wannya sendiri, ada rasa tak tega membayang lewat
tatapan matanya. Mendadak Godam berubah menjadi
sangat beringas dan buas. Serta merta dia menerjang
'Manusia Kelelawar' dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar-cakar
raksasa. Angin menyambar
keras saat mana kedua tangannya berkelebat menye-
rang bagian pelipis dan dada Sagara, begitu ganas serangan-serangan itu, dan
kenyataannya, dalam pun-
cak kemarahannya Godam telah mempergunakan ju-
rus pamungkas yang dinamakan 'Raksasa Buta Me-
mukul Macan Gila'. Debu mengepul ke udara, suasana
di sekitar pertarungan nampak samar-samar. Godam
tiada mempedulikan hal itu, sebaliknya dalam mela-
kukan setiap serangan dari mulutnya terdengar suara mendengus bagai seekor
banteng terluka.
"Kraaak...!"
Laksana cakar baja, Godam berhasil menca-
kar bagian dada 'Manusia Kelelawar', pakaian laki-laki cacat itu tercabik-cabik.
Bahkan bagian dada yang ter-cakar tangan-tangan yang bertenaga besar itu tampak
meninggalkan luka, tak dapat dicegah, dari guratan
luka memanjang di dada Sagara mulai mengeluarkan
darah. Dalam keadaan seperti itu pun Sagara masih
sempat bersyukur. Sebab selama melakukan pertarun-
gannya dengan algojo-algojo yang telah membuat tu-
buhnya menjadi cacat. Secara terus-menerus dia tetap melindungi tubuhnya dengan
tenaga dalam. Andai tidak bagian dada yang tersambar cakaran jemari-jemari
tangan lawan yang dialiri tenaga dalam itu tentu membuat bagian dadanya menjadi


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berantakan. Akibat dari serangan kilat yang dilancarkan
oleh Godam kiranya telah mengobarkan kemarahan
pula di pihak Sagara.
"Jahanam...!" makinya sambil melompat
mundur. "Heaaa...!" Tanpa memperdulikan makian Sagara, tubuh Godam telah memburu
Sagara. Sebaliknya
Sagara pun telah bersiap-siap melepaskan pukulan
'Kelelawar Sayap Tunggal'nya.
"Chaaat...!"
Satu teriakan membahana dengan disertai
melesatnya sinar biru dari tangan cacat Sagara, membuat Godam menjadi tergagap,
pada saat-saat yang
kritis itu dia bermaksud menarik balik serangannya.
Tapi kecepatan pukulan 'Manusia Kelelawar' benar-
benar terasa sangat sulit untuk dia percaya. Akibatnya.
"Buuum!"
"Argghkh...!"
Dalam keadaan terpelanting itu, dari mulut
Godam nampak menyemburkan darah kental berwar-
na hitam pekat. Terkecuali Sagara sendiri, semua mata yang melihat kejadian itu
nampak terpejam. Rasa ngeri membuat mereka tak tega memperhatikan penderitaan
yang dialami oleh algojo kejam tersebut. Sementara begitu gemuk Godam jatuh
berdebum menghempas batu,
dia menggeliat-geliat meregang ajal. Akibat pukulan
'Kelelawar Sayap Tunggal' yang mengandung racun
sangat ganas, tubuh Godam walaupun kebal terhadap
serangan racun, namun tetap juga mengalami peruba-
han. Mula-mula tubuh gemuk itu membiru, kemudian
secara cepat berubah menjadi hitam macam arang.
Begitu pula halnya yang terjadi atas diri Wintang Kelelep.
Kejadian yang luar biasa ini benar-benar
membuat Buang dan Ambarwati yang saat itu telah
berdiri di samping Pendekar Hina Kelana menjadi sangat terkejut sekali. Tanpa
sadar, Buang berseru memu-ji.
"Hebat! Sebuah pukulan sakti yang sangat
langka...!" ucapnya polos. Secara perlahan 'Manusia Kelelawar' menoleh. Mulanya
dia merasa tersinggung
dengan kata seperti itu, namun setelah dia melihat
seorang gadis yang sangat dikenalnya maka dia malah berteriak; "Adikku
Ambarwati...!"
"Kakang Sagara... oh tak kusangka kau masih
hidup sampai saat ini...!" Kedua kakak beradik itu kemudian saling memburu,
selanjutnya mereka pun ber-
pelukan sangat erat sekali.
"Jhee... mesra banget...!" batin Pendekar Hina Kelana, seraya agak menjauhi
tempat itu. Setelah saling melepas rindu, selanjutnya kakak beradik ini saling
berpandangan. Ambarwati kemudian memperhatikan
tangan dan kaki Sagara yang cacat.
"Jangan kau perhatikan aku seperti itu, kea-
daan tubuhku memang sudah sedemikian parahnya.
Bangsat itu...!" Sejenak Sagara memandang pada mayat Godam dan Wintang Kelelep.
"Kalau saja mereka tak keburu mampus, aku sudah pasti akan memperlakukan mereka
seperti mereka memperlakukan diriku
waktu dulu...!" kertaknya geram. Ambarwati merasa sangat kasihan dengan cacat
yang diderita oleh kakak kandungnya itu. Untuk tidak menimbulkan perasaan
tidak enak berlarut-larut, selanjutnya dia berkata:
"Sudahlah kakang, di balik penderitaan itu,
sudah pasti ada hikmah lain yang tersembunyi. Ber-
syukurlah pada Sang Hyang Widi, bahwa sampai saat
ini kakang masih diberi umur yang panjang. Oh ya ada baiknya kalau kita
membicarakan rencana kita yang
dulu. Aku sangat prihatin kakang, kehidupan rakyat
sekarang ini benar-benar sangat menyedihkan...!" ucap gadis itu sendu.
Sebaliknya Sagara malah menoleh dan memandang ke arah tempat Buang Sengketa
berdiri. Tadi! "Ada apa kakang...?" tanya Ambarwati seperti tak teringat sesuatu.
"Tadi aku melihat seorang pemuda ada ber-
samamu...!"
"Eeh, iya... sampai lupa...!" Ambarwati cepat-cepat menoleh, namun dia pun tak
melihat Buang Sengketa berada di tempat mereka berdiri.
"Kelana...!" panggilnya. Tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang hilang dalam
dirinya. Ah jatuh cintakah dia pada pemuda berbudi luhur itu. Kakak
beradik itu kemudian memandang berkeliling. Dari kejauhan mereka melihat sebuah
batu berukuran besar
nampak ditulis dengan guratan-guratan tangan. Dan
nampaknya tulisan-tulisan itu dibuat dalam keadaan
terburu-buru. Agaknya ketika mereka terlibat pembi-
caraan tadilah pendekar yang telah mampu mengge-
tarkan hatinya itu menulis di atas batu tersebut.
"Itu seperti ada pesan, Ambarwati...!"
"Ayo kita ke sana...!"
Sesampainya di dekat batu itu, ternyata me-
mang terdapat sebuah tulisan yang berbunyi;
Kuucapkan selamat bertemu dengan sauda-
ramu kembali Ambarwati. Maaf aku tak mau meng-
ganggu pertemuan yang sangat bersejarah ini bagi kalian. Beruntung kau masih
memiliki saudara, daripada aku yang hina papa. Tapi jangan pikirkan aku. Saat
ini aku sedang menuju istana Muara Panjang. Menyelidiki suasana, dan mungkin
pula akan menyerbu ke dalamnya. Persiapkanlah diri kalian, mungkin juga
kehadiran kalian banyak gunanya demi meringankan kehidupan rakyat yang tertindas
selama ini. Terima kasih! Tertanda Si Hina Kelana Selesai membaca tulisan di atas tersebut, Sa-
gara dan adiknya saling pandang sesamanya.
"Dia orang yang sangat nekad...!" keluh Ambarwati merasa terharu.
"Sebaiknya kita susul dia...!" kata Sagara, seraya segera menggandeng tangan
adiknya. Selanjutnya dengan mengandalkan ilmu lari cepatnya. Tubuh kedua kakak
beradik itu pun melesat laksana terbang.
*** 10 Pabila malam menjelang pada saat sang kege-
lapan mengembangkan sayapnya memeluk bumi. Ma-
ka pada saat itulah kegiatan semua makhluk jadi terhenti. Tiada terdengar lagi
kicau burung tiada pula tangis dan rengek bocah-bocah kelaparan di desa-desa
dalam kekuasaan kerajaan Muara Panjang.
Hanya keresahan menanti esok, melewatkan
malam-malam mencekam. Bukan saja hati penduduk
yang dilanda penderitaan itu saja yang gelisah. Tapi para pembesar dalam istana
Muara Panjang juga. Apalagi menyadari jumlah mereka semakin menyusut dan
para utusan itu tak pernah kembali ke istana. Tidak juga Godam dan Wintang
Kelelep, algojo yang sangat
ditakuti karena kekejamannya.
Di dalam benteng istana, kelihatan beberapa
puluh orang prajurit sedang melakukan ronda menge-
lilingi halaman istana Muara Panjang yang sangat
luas. Dalam keadaan melakukan ronda seperti itu juga hati mereka juga diliputi
oleh rasa was-was. Tak dapat disangkal kalau saat itu ketakutan memang benar-
benar menyelimuti hati mereka. Malam memang sema-
kin bertambah pekat, apalagi di langit sana tidak terlihat bulan menampakkan
diri. Di luar sepengetahuan
para prajurit-prajurit itu, di atas tembok, nampak sosok tubuh bergerak cepat di
dalam kegelapan. Tanpa mereka sadari bahaya memang sedang mengancam ji-wa
mereka. Hal itu segera terbukti, ketika tak begitu lama kemudian sosok bayangan
itu menyambitkan sesuatu ke arah beberapa orang prajurit penjaga malam itu.
Tanpa menimbulkan suara prajurit-prajurit itu roboh dengan jiwa melayang.
Demikianlah bayangan itu
terus menjatuhkan prajurit-prajurit itu dari yang satu
berpindah pada yang lainnya. Dalam pada itu muncul
pula dua sosok bayangan lainnya di atas benteng ista-na itu, sama seperti apa
yang dilakukan oleh bayangan pertama tadi, dua sosok bayang itupun kemudian ber-
pencar antara sesamanya. Korban-korban pun mulai
banyak yang berjatuhan, namun sejauh itu mereka
masih kelihatan leluasa melakukan aksinya. Sementa-
ra itu di dalam ruangan pertemuan, nampak sedang
berkumpul Sudra Blonteng, Senopati Salya dan juga
Raja Karpa. Suasana di dalam ruangan yang sangat
besar ini kelihatan hening dan sepi. Yang jelas, dalam pertemuan ini mereka
sedang membicarakan orang-orang penting kerajaan Muara Panjang yang hingga
saat itu belum juga kembali dan tugasnya.
"Bagaimana saudara Salya...! Kita tidak
mungkin terus berdiam diri seperti sekarang ini! Paman Warok, mungkin tiada
pernah kembali lagi. Begitu juga halnya dengan saudara Godam dan Wintang
Kelelep." desah Raja Karpa memecah keheningan suasana.
"Sebagai seorang raja, aku merasa kehilangan muka, jika tidak mampu mengatasi
keadaan seperti ini. Coba anda bayangkan saja, hampir setiap malam prajurit-
prajurit kerajaan jatuh bergelimpangan berlumuran
darah. Tiap saat kita mendapat rongrongan, kita sendiri hampir tak mampu
menangkap si keparat itu. Belum lagi mereka-mereka yang tiada kembali dalam
tugasnya mencari Warok. Tiga rombongan dalam jumlah
yang cukup besar. Ini benar-benar sangat keterlaluan sekali." berkata Raja Karpa
membayangkan kecemasan. "Maaf gusti...! Kalaupun memang demikian adanya, kita
sebenarnya masih dapat menyewa tokoh-tokoh bayaran atau setidak-tidaknya kita
bisa bersekutu dengan orang-orang persilatan segolongan. Ini
adalah cara yang paling mudah...!" selak Senopati
Salya mencoba memberikan pendapatnya.
"Tidak bisa...!" bantah Sudra Blonteng tegas.
"Sebuah kerajaan akan hancur berantakan andai ada orang luar ikut campur tangan
di dalamnya. Apalagi
orang itu merupakan kalangan persilatan golongan hitam. Ini tak boleh
terjadi...!"
"Tapi kita butuh kekuatan yang sangat be-
sar...!" tukas Senopati Salya dengan wajah memerah.
"Sebagai senopati, kau punya kewajiban un-
tuk menjaga keselamatan kerajaan dari rongrongan
musuh...!" bentak Sudra Blonteng mulai panas hatinya. Memang sesungguhnya selama
ini Sudra Blon-
teng yang juga merupakan sesepuh kerajaan memiliki
penilaian bahwa Senopati Salya terlihat kurang mam-
pu mengatasi teror-teror yang terjadi. Bahkan terhadap rakyat yang melakukan
pemberontakan saja dia terlalu lamban dalam bertindak. Bagi Sudra Blonteng
Senopati Salya hanyalah merupakan sosok yang cerdik, na-
mun tak memiliki kesaktian yang dapat diandalkan.
Seandainya dia merupakan seorang raja, sudah barang tentu senopati seperti Salya
itu tidak masuk dalam hitungannya.
"Aku tahu paman, tapi semua itu memerlu-
kan waktu untuk memikirkannya...!" Semakin sengit saja senopati itu menangkis
setiap ucapan yang dilon-tarkan oleh Sudra Blonteng, yang pasti keadaan itu
membuat Raja Karpa menjadi tersinggung. Dengan ka-
ta-kata berwibawa dia menegur.
"Paman Sudra Blonteng! Saudara dalam kea-
daan seperti ini, apa yang anda perdebatkan itu tak mungkin dapat menyelesaikan
persoalan. Orang-orang
kita semakin sedikit. Masihkah anda berdua bermak-
sud memperkeruh suasana...?"
Mendapat teguran seperti itu, baik Senopati
Salya maupun Sudra Blonteng yang sekaligus meru-
pakan tangan kanannya kelihatan menundukkan ke-
pala. "Gusti! Maafkanlah kami...!" ucap kedua
orang itu hampir bersamaan. Karpa hanya mengang-
gukkan kepalanya pelan.
"Sudahlah, sekarang ini aku meminta penda-
pat anda berdua...!" selak pemberontak yang telah berhasil menjadi raja ini.
"Bagaimana maksud, Gusti...?" tanya Sudra Blonteng masih dengan wajah tertunduk.
Raja Karpa menghela nafasnya dalam-dalam sebelum mengelua-
rkan apa yang menjadi ganjalan di dalam hatinya.
"Maksudku, apakah kita harus bertahan di
dalam istana ini sampai orang-orang itu menyerbu ke mari...!" "Hamba kira itu
bukanlah merupakan jalan yang paling baik, mengingat orang-orang kita yang
semakin tiada seberapa jumlahnya...!" selak Sudra Blonteng.
"Menyesal sekali, prajurit-prajurit yang masih setia terhadap Raja Jaya Suprana
pada melarikan diri dan kini entah berada di mana. Kalau tidak sesungguhnya
kekuatan kita sangat besar sekali...!"
"Tak perlu disesalkan gusti! Masih banyak ca-
ra untuk dapat mengatasi dua ekor tikus cecurut itu.
Sebab di kolong langit ini, tidak hanya 'Manusia Kelelawar dan Pendekar Hina
Kelana' saja yang memiliki
kesaktian yang sangat tinggi. Bahkan hamba pun
punya kawan di daerah selatan yang memiliki kesak-
tian luar biasa. Jika gusti menghendaki sewaktu-
waktu hamba dapat menghubungi mereka...!" ucap Senopati Salya penuh percaya
diri. "Kalau begitu, besok saudara Salya sudah
dapat melakukan perjalanan untuk menghubungi
orang-orang itu...!"
"Akan hamba lakukan gusti...!" janji Senopati Salya dengan wajah berseri-seri.
Namun saat pembicaraan itu belum usai, dari
arah lorong bagian luar ruangan pertemuan terdengar jerit salah seorang prajurit
kerajaan, kemudian disertai dengan ambruknya salah seorang tubuh prajurit
kerjaan tidak jauh di belakang Senopati Salya.
"Ahh... gubraaaak...!"
Spontanitas ketiga orang yang berada di da-
lam ruangan itu langsung menoleh ke arah ambruknya
tubuh prajurit mereka.
"Arrrghk... gusti, tiga orang tak dikenal me-
nyerbu ke dalam halaman istana me... mereka berilmu sangat tinggi, ce... cep...
cepatlah gusti. Tak seorang pun prajurit-prajurit kerajaan mampu membendung
laju gerak mereka...!"
"Karta...!" sentak Senopati Salya begitu melihat salah seorang prajurit tewas
seketika. "Saudara Salya... Paman Sudra Blonteng...
cepat bantu mereka! Pertahankan istana ini jangan
sampai jatuh ke tangan bangsat-bangsat itu...!" teriak Raja Karpa kemudian tanpa
membuang-buang waktu
lagi, dia segera berlari ke dalam ruangan pribadinya untuk mengambil pedang
pusaka. Sebaliknya Sudra Blonteng dan Senopati
Salya tanpa menunggu lebih lama lagi segera melesat ke luar. Sekejap saja mereka
berdua telah sampai di luar halaman istana kerajaan. Mereka juga menjadi
terperangah begitu melihat sudah sangat banyak pra-
jurit-prajurit istana bergelimpangan menjadi mayat.
"Hentikan...!" suara bentakan Salya yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
yang kuat membuat suaranya bagai merobek kegelapan malam.


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan secara serentak pula orang-orang yang sedang terlibat pertempuran itu
menghentikan pertarungannya.
Serentak baik prajurit kerajaan maupun tiga orang penyerbu yang terdiri dari,
Buang Sengketa, 'Manusia
Kelelawar' dan juga Ambarwati itu menoleh ke arah datangnya suara tadi.
"Senopati Salya... Sudra Blonteng...! Hemm...
aku tak melihat si keparat Karpa...!" desis Manusia Kelelawar sinis.
"Inilah Manusia Kelelawar itu, Paman Su-
dra...!" bisik Senopati Salya sembari mencabut senja-tanya yang berupa pedang
bermata ganda. "Senopati! Mengapa kau hanya diam saja, di
mana raja keparat itu bersembunyi saat ini...!" teriak Sagara sudah tak sabaran
lagi. "Ha... ha... ha...! Aku tak pernah berbuat se-
pengecut itu manusia cacat...!" Mendadak terdengar suara tawa bergelak disusul
berkelebatnya sosok tubuh menuju halaman istana yang begitu luas.
"Jlek...!"
Sangat ringan sekali gerakan raja Karpa,
hingga saat dia menjejakkan kakinya di halaman ista-na itupun tiada menimbulkan
suara sedikit pun.
"Hemmm... kiranya kalian telah membantai
sekian banyak prajurit-prajurit istana. Sungguh kalian merupakan orang yang
berani mampus dan berusaha
melawan pemerintah yang syah...!" geram Raja Karpa gusar. "Raja yang syah...
apakah kuping ku ini sudah sedemikian rusaknya untuk mendengar penga-
kuan seorang pemberontak sepertimu, Karpa...?" selak pendekar Hina Kelana.
"Jahanam!" maki raja pemberontak itu, sorot matanya tajam menusuk, menyiratkan
rasa benci yang
tak terhingga. "Bocah gembel... mungkin engkaulah yang punya julukan 'Pendekar
Hina Kelana'. Budak
hina... kunyuk cacat! Puh, kiranya hanya kunyuk ma-
cam kalian yang coba-coba berani melakukan pembe-
rontakan...!"
"Tiada siapa-siapa lagi yang dapat kalian an-
dalkan, raja pemberontak! Warok telah mampus di
tangan Hina Kelana, Sudra Blonteng kalau tidak melarikan diri juga sudah mampus.
Sementara algojo keparat yang telah membuat cacat kedua tangan dan sebe-
lah kakiku juga telah mampus berikut begundal-
begundalnya. Nah kini hanya kalian bertiga berikut
prajurit-prajurit yang tiada berguna itu, menyerah
atau pilih mampus...?" selak Sagara.
Sebaliknya demi mendengar kata-kata Sagara
tentang kematian orang-orangnya. Baik Karpa, Sudra
Blonteng, maupun Senopati Salya kelihatan menjadi
berang. Tak dapat disangkal lalu dia segera mencabut sebilah pedang hitam yang
terselip di pinggangnya. Sebaliknya Sudra Blonteng telah mendahului mencabut
toya baja yang tiada seberapa panjangnya.
"Anak-anak! Ringkus tiga ekor kunyuk itu hi-
dup atau mati...!" teriak Raja Karpa memberi aba-aba pada prajurit-prajuritnya.
"Puiiiit...!" Ambarwati bersuit nyaring. Tiada diduga dari arah pintu istana
yang sudah terbuka,
bermunculan pula prajurit-prajurit lain yang masih setia pada rajanya yang lama.
Jumlah mereka juga cu-
kup besar, begitu datang mereka langsung menyerang
prajurit-prajurit raja pemberontak. Tak pelak lagi pertempuran sengit pun
terjadilah. Denting beradunya
senjata tajam berbaur menjadi satu dengan pekik lo-
long kesakitan dari mulut-mulut mereka yang mere-
gang ajal. Dengan dibantu oleh Ambarwati, prajurit-
prajurit yang masih setia pada rajanya yang lama itu terus berusaha mendesak
prajurit-prajurit di bawah
pimpinan raja pemberontak. Saat itu 'Manusia Kelelawar' berhadapan dengan Sudra
Blonteng dan Senopati
Salya. Sedangkan Raja Karpa berhadapan pula dengan
pen dekar Hina Kelana.
Raja Karpa nampaknya sangat terkejut sekali
demi melihat kehadiran prajurit-prajurit yang masih setia dengan raja yang lama
datang menyerbu ke dalam istana. Sama sekali dia tiada menyangka kalau
apa yang direncanakan oleh Senopati Salya benar-
benar meleset dari perhitungan. Kini sadarlah dia
bahwa rencana penyerbuan yang dilakukan oleh ketiga orang itu ternyata telah
direncanakan dengan perhitungan cukup matang.
"Keparaaaat...!" makinya sembari memba-
batkan pedangnya ke arah bagian perut pendekar Hina Kelana. Sambaran pedang itu
disadari oleh si pemuda sebagai gerakan yang sangat cepat dan mengandung
tenaga dalam yang luar biasa. Bahkan ketika Buang
menghindarinya dengan jurus silat tangan kosong
'Membendung Samudera Menimba Gelombang', dia
merasakan adanya sambaran angin yang sangat keras
dan mengandung hawa panas menerpa bagian ba-
hunya. Itulah sebabnya sejak awal-awal bergebrak,
Buang tidak mau mempergunakan jurus kesabaran
hasil ciptaan terakhir almarhum gurunya 'Si Bangko-
tan Koreng Seribu'. Sebab baginya tak perlu lagi bersikap sungkan-sungkan dalam
bertarung dengan raja
yang telah banyak menyengsarakan masyarakat ba-
nyak. Setidak-tidaknya itulah alasannya mengapa dia tidak mau mempergunakan
jurus 'Koreng Seribu' itu.
Tetapi Raja Karpa, adalah seorang jagoan da-
lam mempergunakan ilmu pedang, apalagi sebelum
menduduki tahta kerajaan dulunya dia merupakan
seorang panglima perang yang sangat tangguh. Sudah
barang tentu dia bukanlah lawan yang ringan bagi
Buang Sengketa. Masih dalam mempergunakan jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudera' pende-
kar keturunan raja Piton Utara itu berusaha menghindari serangan pedang yang
dilancarkan oleh Karpa.
Celakanya selain permainan pedang yang dimiliki oleh Karpa sangat tangguh luar biasa, namun
juga gerakan tangan dan kakinya juga mengancam bagian-bagian
tubuh Buang yang sangat rawan.
"Haiiit!"
Dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, pemuda itu menggenjot tubuhnya ke udara, sa-
tu jotosan dan dua kali babatan pedang yang dilancarkan oleh Karpa luput
mencapai sasarannya. Mengeta-
hui serangannya mencapai sasaran kosong. Maka se-
makin bertambah menggilalah serangan-serangan be-
runtun selanjutnya. Beberapa jurus berikutnya, Buang Sengketa sudah kelihatan
mulai terdesak, walaupun
saat itu dia telah mempergunakan jurus 'Si Gila Mengamuk', tetap saja dia masih
belum mampu mengim-
bangi permainan pedang lawannya. Pada pertarungan
yang sangat melelahkan itu, Raja Karpa telah pula keluarkan jurus 'Pedang
Pembasmi Iblis'.
Jurus pedang yang dimainkan oleh Karpa
memang tak dapat dipungkiri sebagai jurus pedang
yang sangat hebat. Bahkan dulu pun sebelum menjadi
senopati untuk kemudian menjadi raja. Karpa memang
dikenal dan ditakuti oleh kalangan persilatan karena jurus-jurus pedangnya.
Sementara itu pada satu kesempatan, Raja
Karpa yang terus memburu lawannya secara beruntun
mengayunkan pedang di tangannya. Tiga kali sabetan
pedang itu masih dapat dielakkan oleh Buang Sengke-
ta, namun saat mana dia benar-benar dalam keadaan
terdesak, maka "Brebet...!"
"Arghk...!"
Buang mengeluh, kemudian jatuh terguling-
guling. Dari bagian punggungnya yang terobek nampak mengalir darah segar. Perih
sekali rasanya. Kejadian itu sesungguhnya tak luput dari perhatian Sagara,
namun dia juga tak mampu berbuat banyak, sebab
saat itu dia sedang menghadapi serangan toya, dan
pedang bermata ganda milik Senopati Salya dan Sudra Blonteng. Dan pada
kenyataannya kedua orang itu bukanlah lawan yang bisa dianggap enteng.
Kembali pada pendekar Hina Kelana yang da-
lam keadaan terluka itu masih saja terus diburu oleh Raja Karpa.
Kemarahan nampak jelas terpancar dari se-
pasang mata Buang yang telah berubah memerah itu,
desisan-desisan halus bagai suara seekor ular piton mulai menyertai
berkelebatnya tubuh si pemuda pada
detik berikutnya. Mendadak Karpa merasakan setiap
serangan pedangnya selalu mencapai sasaran yang ko-
song. Ini benar-benar membuatnya terheran-heran.
Namun keheranan itu sirna seketika saat mana dia
mendengar suara bentakan Buang Sengketa yang ma-
sih saja terus berkelebat.
"Karpa kalau kau punya pukulan yang sangat
kau andalkan! Maka bersiap-siaplah untuk menyam-
but pukulan milikku...!"
"Jahanam...!" maki raja pemberontak itu
sembari menyalurkan tenaga dalamnya ke arah pe-
dang yang tergenggam di tangannya. Senjata di tangan Raja Karpa tampak
menggeletar seiring dengan teria-kannya itu maka pedang di tangannya diputar
sedemi- kian rupa sehingga membentuk sebuah pertahanan
yang sangat kokoh. Putaran pedang yang sangat cepat itu membuat tubuhnya lenyap
terbungkus gulungan
sinar pedang yang berwarna hitam-pekat.
Kala itu Buang Sengketa telah pula mele-
paskan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan' yang dimi-
likinya. Tak dapat disangkal lagi begitu tangan Buang didorong ke depan. Maka
satu gelombang sinar Ultra
Violet yang berhawa panas luar biasa meluruk mem-
bentur pertahanan Raja Karpa.
"Dweer...!"
"Gila...!" desis Buang Sengketa begitu melihat pukulan yang dilancarkannya malah
membuat tubuhnya terpelanting roboh. Sebaliknya di pihak lawan,
jangankan bergeming bergetar pun tidak.
"Kau tak kan menang menghadapiku, kunyuk
hina...!" teriak Karpa tetap memutar pedangnya.
"Kita lihat saja nanti...!" gerung pendekar ini sembari meringis-ringis
kesakitan. Begitu pun dia sudah bangkit kembali, sekali lagi dia mengerahkan dua
pertiga tenaga dalamnya, dengan tujuan ingin mengerahkan pukulan 'Si Hina Kelana
Merana'. "Haiiiik...!" jerit pendekar ini, seraya kembali dorongkan tangannya ke depan.
Menderulah satu gelombang sinar merah menyala yang menimbulkan ha-
wa panas berlipat ganda. Karpa masih tetap berada di tempat semula saat mana
pukulan yang dilepaskan
oleh Buang melabrak tubuhnya kembali.
"Blaaaam...!"
"Wuaaaah...!"
Raja Karpa keluarkan seruan tertahan, tu-
buhnya laksana terbang dilanda pukulan 'Si Hina Ke-
lana Merana', setelah terjengkang beberapa tombak.
Kerengkangan Raja Karpa berusaha bangkit kembali.
Dia sudah tiada perduli dengan darah yang berlelehan di bibirnya. Pukulan
terakhir yang dilepaskan oleh si pemuda benar-benar dia rasakan bagai memanggang
tubuhnya. Panas luar biasa! Masih untung dia memili-ki kesaktian yang luar biasa
andai tidak, mungkin begitu tubuhnya terpelanting tadi sudah pasti dia tergele-
tak menjadi mayat. Karpa sadarlah kini, bahwa nama
besar Pendekar Hina Kelana bukanlah nama kosong.
Namun kenyataan itu bukanlah membuat dirinya ber-
pikir dua kali untuk terus melakukan perlawanan. Baginya tiada kamus untuk
menyerah sampai titik-titik darahnya yang penghabisan.
"Kau memang hebat, bocah! Namun jangan
kau sangka aku akan bertekuk lutut di bawah kaki-
mu...!" sentaknya penuh dendam.
Buang Sengketa tiada memperdulikan ucapan
Karpa sebaliknya kini dia sudah mencabut pusaka Go-
lok Buntung yang menyelip di bagian kanan pinggang-
nya. "Siiiig...!"
Begitu senjata maut itu tercabut dari sarung-
nya, maka mendadak saja udara di sekitar tempat itu berobah menjadi dingin
sekali. Tentu saja kenyataan ini membuat kejut di hati Karpa, terlebih-lebih
saat mana dia melihat golok di tangan Buang memancarkan
cahaya merah menyala.
"Golok Buntung... kau Pendekar Golok Bun-
tung...!" desisnya dengan pandangan mata terbelalak tak percaya.
*** 11 "Sudah sangat terlambat, Karpa! Tiada guna
kau menyesali segala apa yang telah terjadi. Maka sekarang tibalah giliranmu
untuk mampus.... Chaaat...!"
teriak Buang Sengketa. Sebentar saja golok di tangannya dengan menimbulkan suara
menggemuruh telah
berkelebat-kelebat menyambar.
"Auh...!"
Karpa keluarkan seruan tertahan saat mana
golok di tangan Buang hampir saja mencapai lehernya.
Buru-buru dia kiblatkan pedangnya memapaki golok
di tangan lawannya.
"Trang.... Trang...!"
Raja Karpa terbelalak matanya ketika pedang
pusaka di tangannya hancur berkeping-keping dilanda golok di tangan Buang
Sengketa. "Shaaat...! Ngguuuuung...!"
"Ciaaaat...!"
Tubuh Karpa mumbul ke udara menghindari
terjangan senjata lawannya. Kini tanpa senjata di tangannya terasa sulitlah bagi
raja pemberontak itu untuk menghindari setiap serangan lawannya. Apalagi kini
Buang Sengketa tanpa memberi kesempatan lagi terus
memburunya. Keadaan masing-masing lawan memang
telah berbalik kini. Kalau pada saat awal pertarungan tadi Karpa mendesak Buang,
maka kini malah sebaliknya yang terjadi. Bahkan beberapa detik selanjutnya Raja
Karpa benar-benar dalam keadaan kepepet sekali.
"Nguuuuung...!" Golok di tangan Buang kembali menyambar. Karpa yang dalam
keadaan jungkir
balik sudah tak mungkin mengkelit serangan kilat itu.
"Haaat.... Craaaas.... Craaaas...!"
"Arggh...!"
Karpa menjerit-jerit sembari memegangi-
bagian perutnya yang terburai, darah terus menetes
deras dari luka yang sangat lebar. Sejenak tubuh raja pemberontak itu terhuyung-
huyung ke depan. Dengan
kedua bola mata membeliak, tanpa mampu berucap
lagi, Karpa ambruk untuk selama-lamanya. Sinis tatapan mata pendekar Hina Kelana
melihat tubuh yang
sudah tiada bernyawa itu. Selanjutnya setelah me-
nyimpan Golok Buntung ke dalam sarungnya. Buang


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sengketa menoleh pada Ambarwati yang sedang mela-
kukan pertarungan melawan prajurit-prajurit Karpa.
Mungkin karena dibantu oleh prajurit-prajurit lama
yang masih setia pada raja Jaya Suprana. Maka Am-
barwati dan prajurit itu dengan cepat sudah mampu
membereskan prajurit pimpinan Karpa yang jumlah-
nya tidak seberapa. Bahkan saat itu Buang tiada melihat adanya Ambarwati di
tempat itu. "Hemm. Agaknya gadis itu sedang berusaha membebaskan raja yang
lama di dalam penjara." batinnya.
Dalam ketermanguannya itu mendadak dia
mendengar suara pekik tertahan dari suara orang yang sangat dikenalnya.
"Sagara...!" pekiknya begitu melihat Sagara terhuyung-huyung terhantam toya di
tangan Sudra Blonteng. Kiranya dalam pertarungan yang cukup me-
lelahkan antara Sagara melawan Sudra Blonteng dan
Senopati Salya masih belum ada tanda-tanda siapa
yang bakal keluar sebagai pemenangnya. Tapi melihat pertarungan itu, Buang sudah
dapat meraba bahwa
saat itu 'Manusia Kelelawar' kelihatan mulai jatuh di bawah angin menghadapi
tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Sudra Blonteng dan Senopati Salya.
Maka tanpa mengenal kompromi lagi pende-
kar Hina Kelana, bergebrak melancarkan satu tendan-
gan telak mengarah bagian punggung Sudra Blonteng.
Sudra Blonteng saat itu sedang mencecar Sa-
gara dengan toyanya, namun kelihatannya dia cukup
mengetahui adanya angin sambaran mengancam ba-
gian punggungnya. Tiada terduga dia kiblatkan pula serangan toya tadi setelah
sebelumnya memutar tubuhnya setengah lingkaran.
"Plaaak! Duuuk!"
"Auuu...!"
Ternyata Buang sama sekali memang tiada
menduga kalau secepat itu Sudra Blonteng dapat me-
mutar tubuhnya, sehingga tendangan kilat yang berisi setengah tenaga dalam itu
pun membentur toya di
tangan Sudra Blonteng. Buang Sengketa meringis-
ringis kesakitan, sementara Sudra Blonteng sendiri
merasakan tangannya yang memegang toya itu tergetar dan menimbulkan rasa sakit
yang sangat hebat.
Saat itu pertarungan antara 'Manusia Kelela-
war' dengan Senopati Salya sedang seru-serunya. Da-
lam pertarungan perorangan ini, nyatalah sudah. Wa-
laupun Senopati Salya bersenjatakan pedang bermata
ganda. Namun tak dapat dipungkiri kalau senopati itu sesungguhnya kalah dalam
segala-galanya. Kalau pun
dalam pertarungan terdahulu dia selalu luput dari pukulan-pukulan maut yang
dilepaskan oleh Sagara, hal itu dikarenakan Sudra Blonteng dengan putaran toya
baja di tangannya selalu bertindak melindunginya.
Dan kini setelah Sudra Blonteng terlibat pertarungan dengan pendekar Hina
Kelana. Maka pontang pantin-glah Senopati Salya berusaha menghindari pukulan-
pukulan 'Kelelawar Sayap Tunggal' yang dilepaskan
oleh Sagara. 'Manusia Kelelawar' lama kelamaan men-
jadi hilang kesabarannya, tiada terduga-duga dia melepaskan pukulan 'Taring
Kelelawar Hitam' yang se-
sungguhnya ilmu pukulan pungkasan yang dimiliki
oleh Sagara. "Mampuslah. Hiaaat...!"
Setelah tubuh cacat yang hanya memiliki se-
belah kaki itu berputar-putar sangat cepat tak ubahnya bagai baling-baling. Maka
Sagara telah bersalto ke udara, begitu tubuhnya menukik ke bawah kembali,
tangannya yang buntung sebatas siku itu menghantam
tubuh Senopati Salya yang masih berputar-putar men-
cari posisi lawannya.
"Weeet..."
"Blukkk...! Wuaaaa...!"
Tak dapat dibayangkan betapa tubuh
Senopati Salya yang hangus itu sudah tak karuan bentuknya. Nyawa melayang pada
saat tubuhnya masih
meluncur di udara. Tubuh hangus akibat pukulan
'Taring Kelelawar Hitam' akhirnya melesak menabrak
sebuah pohon kering tiga tombak di belakangnya.
'Manusia Kelelawar' itu kemudian menarik nafas da-
lam-dalam, apabila dia menoleh pada Buang Sengketa
dan Sudra Blonteng, maka terlihat dengan jelas bahwa laki-laki berperut buncit
itu sedang menjadi bulan-bulanan pendekar Hina Kelana. Rasanya tidak pantas
bagi Sagara untuk membantu pendekar yang sangat
menggemparkan itu, maka secara diam-diam dia mulai
meninggalkan halaman istana menuju ruangan penja-
ra bawah tanah untuk bergabung dengan prajurit ke-
rajaan yang tetap setia pada raja yang lama beserta adiknya Ambarwati.
Membebaskan raja yang sah dari
penjara. Itu sudah barang tentu.
Kita kembali pada pendekar Hina Kelana yang
saat itu sedang mempermainkan Sudra Blonteng.
"Ah... cacing gemuk... pukulan toyamu lagi-
lagi meleset.... Baiknya ku tendang saja pantatmu...!"
kata Buang sembari melompat-lompat bagaikan seekor
lutung kebakaran ekor. Begitu sabetan toya di tangan Sudra Blonteng luput. Maka,
kaki kanannya menyambar ke bagian pantat Sudra Blonteng.
"Buuuk...!"
Tubuh laki-laki gemuk, yang pada perjum-
paan pertama dengan Buang Sengketa sempat melari-
kan diri nampak melambung ke udara. Tapi tanpa dis-
angka-sangka begitu tubuh itu kembali meluncur ke
bawah, satu sabetan toya menghajar bagian iga, pen-
dekar itu. "Tak...!"
"Uaaah... kampret...!" maki pemuda itu terge-
tar sesaat dengan tulang-tulang terasa sakit sekali.
"Kubunuh kau keparaat....!" maki Sudra
Blonteng. Kejab kemudian dia telah lepaskan satu pukulan yang diberi nama 'Setan
Kubur Memburu Han-
tu'. "Wuuus...!"
Berkibar rambut si pemuda berkuncir saat
angin pukulan milik Sudra Blonteng hampir pada tu-
buhnya. Tak kalah cepatnya, Buang Sengketa mele-
paskan pukulan 'Si Hina Kelana Merana'. Saat itu dia hanya mengerahkan setengah
dari tenaga dalam yang
dimilikinya. Selarik gelombang sinar merah untuk yang kesekian kalinya di tempat
itu melesat memapaki gelombang pukulan berwarna kuning milik Sudra Blon-
teng. "Blaam! Blaam!"
Bumi terasa terguncang hebat saat mana dua
pukulan yang berisi tenaga dalam itu saling berbenturan. Masing-masing lawan
terpelanting roboh. Tapi
yang menerima akibat paling parah dari pertemuan
dua tenaga Sakti itu adalah Sudra Blonteng.
Sebab selain toyanya terlempar entah ke ma-
na, juga tepat di tengah-tengah bagian dadanya nam-
pak hangus dan segera menimbulkan bau tak sedap.
Bahkan ketika dari mulutnya sesaat kemudian meng-
gelogok darah. Maka darah yang mengental itu se-
sungguhnya setengah matang. Sudra Blonteng meng-
gelepar pelan, kedua matanya yang membeliak ke luar itu semakin lama semakin
meredup. Pa Bila bagian
kepalanya terkulai lemas, maka jiwa Sudra Blonteng
pun sudah tiada dapat diselamatkan lagi.
Sementara itu, keadaan Buang Sengketa
hanya sedikit lebih baik, tak kalah hebatnya dari mulut pemuda itu menyembur
darah segar. Kepalanya
berdenyut-denyut. Dengan sangat bersusah payah dia
berusaha merogoh saku bajunya, kemudian diambil-
nya beberapa butir pel yang berwarna merah dan kun-
ing. Setelah menelan pel itu, Buang Sengketa lalu
mengambil sikap seperti orang yang sedang melakukan semedhi, dengan tujuan untuk
memulihkan dan mengerahkan hawa murninya ke arah bagian tubuh yang
terasa sakit. Barulah setelah keringat bercucuran
membasahi tubuhnya, tak sampai setengah jam ke-
mudian dia merasakan rasa sakit di bagian tubuhnya
mulai berkurang.
Pemuda itu kemudian memandang ke kanan
dan ke kiri. Namun Sagara dan Ambarwati masih juga
belum muncul dari ruangan bawah tanah.
"Baiknya aku tak usah menunggu mereka!
Aku tak ingin Ambarwati menaruh harapan yang san-
gat besar padaku. Aku merasa yakin tak mampu men-
cintai siapapun terkecuali dia... namun sampai sekarang aku tak tahu gadis itu
entah berada di mana...
Wanti Sarati... oh, baiknya ku tinggalkan saja tempat ini...!" kata pendekar
Hina Kelana sendu. Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi dia sudah melompati benteng
untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan fajar. Saat hari mulai pagi, dan
semburat merah mulai menampak
di ufuk timur, Sagara, Ambarwati dan beberapa puluh orang prajurit lama
kelihatan keluar dari dalam ruangan penjara bawah tanah. Raja Jaya Suprana
berikut permaisuri dan keluarganya juga ada bersama mereka.
Yang bergerak mendahului mereka adalah Ambarwati.
Gadis itu memang ingin mengetahui apa yang terjadi
dengan pendekar Hina Kelana. Namun setelah me-
mandang ke sekelilingnya dan tak mendapati Buang
Sengketa, maka terdengar ucapannya yang memelas.
"Kakang, dia telah pergi...!" ujarnya sedih, kemudian terisak-isak.
"Relakanlah adikku...!"
"Tapi aku mencintainya, Kakang...!" bantah gadis cantik itu. Sagara saat itu
memang telah berada di dekat adiknya, langsung saja memeluknya.
"Ada kalanya kita akan kehilangan orang-
orang yang kita cintai...!" ucap Sagara sembari meng-hapus dan membelai belai
rambut adiknya.
"Dan aku pun belum pernah membalas ke-
baikan yang dia perbuat...!" desah Raja Jaya Suprana sembari mengajak orang-
orang itu memasuki istana
miliknya. TAMAT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Iblis Sungai Telaga 15 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Kisah Pendekar Bongkok 13
^