Dewi Jalang Gunung Tunggul 2
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul Bagian 2
gannya siap-siap memegang benda panjang terbung-
kus kain sutra. Tatkala dua orang itu menyerang se-
rempak. Arso Lumbing lepaskan babatan dengan ben-
da itu. * ** 8 "Plaak...!" Kontan keduanya tersungkur ke lan-tai. Namun mereka cepat bangkit
kembali mendampin-
gi Rengga Loka. Pemuda tampan berdiri tenang melin-
dungi Srikaton Munggel.
"Mereka semua orang-orang jahat! Mereka ber-
maksud mengganggu diriku!" ujar Srikaton berlindung di belakang Arso Lumbing.
"Bangsat! Rupanya pemuda bertampang pe-
rempuan ini gundikmu! Menyesal kau akan mati mu-
da, sobat. Kau belum tabu siapa kami!" bentak mereka. Serempak mereka berjaga-
jaga dengan benda pan-
jang yang terbungkus. Matanya memandang berkelil-
ing mengawasi mereka.
Tanpa basa basi lagi ketiga pentolan desa itu
babatkan senjata-senjatanya. Golok dan pedang pating serabut mencecar dari arah
yang tak menentu. Gesit
pula Arso Lumbing berkelit menghindari sambaran-
sambaran senjata mereka. Dia sengaja hanya menang-
kis serangan-serangan itu dengan benda panjang itu.
Meski hanya memapaki begitu, nampak ketiga
lawannya harus kewalahan. Sambaran senjata mereka
selalu meleset. Srikaton dapat melihat akan kehebatan pemuda idamannya. Ia makin
tertarik melihat gerakan-gerakan semacam ilmu pedang yang dikeluarkan oleh
Arso Lumbing. Sudah terlihat jelas kalau ketiga lawannya ini tidak akan sanggup
mengalahkan Arso Lumb-
ing. "Hreaaaaa...!" Sekali lagi Arso Lumbing hentakkan benda terbungkus itu memutar
ke depan.... "Plaaak...! Plaaak!.... Plaaaak!" Ketiga lawannya jatuh bergulingan. Masing-
masing mendapat luka memar di bagian mata. Dua teman Rengga Loka kelojotan
berusaha bangkit. Rengga Loka semakin murka. Terjangannya deras lancarkan
babatan golok. Tapi Arso
Lumbing hanya bergeser cepat ke samping, lalu ka-
kinya menendang....
"Beeeeg!" Tak urung tubuh Rengga Loka mencelat jauh ke luar ruangan. Tubuh laki-
laki penuh brewok itu bergulingan di jalan. Untuk kemudian jatuh
ambruk, ia pingsan.
Dua orang lawannya ragu-ragu menyerang.
Nyalinya jadi keder melihat Rengga Loka tidak bangkit-bangkit. Maka keduanya
lepaskan jurus langkah
seribu. Arso Lumbing hanya melihat bagaimana kedu-
anya lari kocar kacir.
"Huh. Baru punya kepandaian setahi kuku saja
mau unjuk gigi. Jangan lari kalian!" ejek Srikaton sekaligus memuji Arso
Lumbing. Ia memaki-maki terus,
bahkan berlari keluar menendangi tubuh Rengga Loka
yang tidak berdaya tergeletak di tanah.
"Sudahlah, Nona. Kau tidak akan di ganggu lagi oleh mereka." ujar Arso Lumbing
mengulum senyum.
Srikaton kembali lagi menemui pemuda itu.
"Mereka memang perlu diberi hajaran. Bagus-
nya mereka dibikin mampus saja tadi!" gerutu Srikaton Munggel. Arso Lumbing
tidak menyahut. Ia mengikat
kembali benda panjang terbungkus ke punggungnya.
Demi melihat itu Srikaton tahu kalau pemuda ini hendak meninggalkan penginapan.
Apalagi ketika dilihatnya Arso Lumbing sudah membayar pesanannya tadi.
Srikaton Munggel buru-buru menyusul.
"Sobat, kau hendak ke mana bukankah maka-
nanmu belum habis?"
"Selera makanku sudah hilang, Nona. Lagi per-
jalananku masih sangat jauh." jawab Arso Lumbing ia bersikap acuh meninggalkan
Srikaton Munggel. Perempuan cantik ini hanya melongo menatap kepergian
Arso Lumbing. Tapi saat pemuda ini mulai membawa
kudanya, Srikaton Munggel berusaha mengejar.
"Kau mau ke mana" Kalau satu perjalanan kita
bisa berangkat bersama-sama." kata Srikaton Munggel.
"Rasanya tidak mungkin, Nona." ujar Arso
Lumbing. "Kenapa tidak mungkin. Bukankah lebih baik
ada seorang teman dalam perjalanan?"
"Kau tidak akan mengerti."
Srikaton Munggel diam. Maka Arso Lumbing te-
rus menunggangi kudanya berjalan perlahan. Perem-
puan ini seperti kesal. Tak urung juga ia ikut melangkah membuntuti jalannya
kuda itu. Kelakuan Srikaton Munggel menjadi perhatian orang-orang sedesa itu.
Dengan tidak perduli Srikaton Munggel mengikuti te-
rus sampai keluar desa. Ia nekad ingin mengikuti Arso Lumbing ke mana pergi.
Pemuda tampan menghela nafas di atas ku-
danya. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Tapi ia tetap tidak perduli membawa
kudanya berjalan terus.
Matahari semakin tinggi. Arso Lumbing sengaja
mengatur kudanya berjalan perlahan. Sesekali ia melirik ke belakang, dan sosok
molek menggiurkan Srika-
ton Munggel tetap mengikutinya. Apalagi sekarang mereka telah meninggalkan jauh
desa. Sekarang mereka
mengarungi dataran kering berbatu.
Selama itu pula panas menyengat membuat
tenggorokan mereka semakin kering. Tapi Srikaton
Munggel tetap berjalan di belakang tanpa mengenal le-
lah. Padahal keringat sudah mengucur deras di seku-
jur tubuhnya. Langkahnya pun sudah mulai goyah.
Bisa saja Arso Lumbing meninggalkan Srikaton
Munggel dengan memacu kudanya cepat, maka ia bisa
bebas tanpa diikuti perempuan itu. Tapi Arso Lumbing tidak tega untuk berbuat
itu. Manakala langkah-langkah Srikaton Munggel sudah tidak karuan lagi.
Perjalanan Arso Lumbing demi menjemput ca-
lon pengantin perempuan untuknya agak terhambat.
Juga kalau ia bersikap begini terus akan memakan,
waktu yang sangat lama. Tindakannya jadi serba sa-
lah. Tidak mungkin Arso Lumbing meninggalkan begi-
tu saja. Kalau ia mengikut sertakan Srikaton menunggangi kuda bersama-sama, akan
membawa kesan yang
kurang baik. Bagaimana nanti kalau kebetulan mereka bertemu dengan calon
pengantinnya di perjalanan"
Sebagai calon pengantin pria cuma itu yang bi-
sa menjadi beban pikirannya. Berkali-kali ia menghela nafas. Sepanjang dataran
itu seakan tiada batas. Di kejauhan matanya menghampar bukit hijau menghampar
samar. Tidak terasa pula kalau matahari mu-
lai condong ke barat. Langit di atas membias kemerahan. Teringat akan sosok
ramping yang mengikuti
perjalanannya. Tapi setelah Arso Lumbing menoleh ke belakang, sosok Srikaton
Munggel. Dataran kering berubah dingin diiringi hembusan angin. Namun Arso
Lumbing membelalakkan matanya. Srikaton Munggel
bukan hilang atau pergi begitu saja.
Dalam jarak yang sangat jauh Arso Lumbing
dapat melihat sosok ramping Srikaton Munggel terbaring di atas permukaan tanah.
Maka cepat-cepat pemu-
da tampan ini menghela kudanya mendekati. Ia lang-
sung turun di samping tubuh terbaring.
Wajah Srikaton Munggel nampak begitu pucat.
Keringat yang membanjir di sekujur tubuhnya telah
bercampur dengan debu. Melihat itu perasaan iba
muncul. Wajah cantik dalam keadaan begitu mengge-
tarkan jantung Arso Lumbing. Sesaat ia menatap wa-
jah yang sangat menggoda hatinya.
Lalu terpaksa pula ia harus memapah menaik-
kan ke atas kuda. Di atas kuda itu Arso Lumbing
membasahi wajah Srikaton Munggel dengan perse-
diaan airnya. Perempuan itu tetap memejamkan mata
disertai nafas yang pelan. Tubuhnya terasa dingin dalam pelukan Arso Lumbing.
Hari makin gelap. Sambil menjaga tubuh Srika-
ton, pemuda tampan mengendalikan kudanya melang-
kah cepat. Bulan di atas mengambang menerangi per-
jalanan mereka. Srikaton Munggel tetap belum si-
uman. Tidak mungkin kalau Arso Lumbing mene-
ruskan perjalanannya pada malam itu.
Sehingga harus terpaksa pula ia bermalam di
tengah-tengah dataran gersang berbatu. Dengan letu-
pan api unggun Arso Lumbing menghangati tubuhnya.
Srikaton Munggel terbaring berselimut kain tebal. Tapi rasanya, kehangatan api
unggun tiada artinya dibanding udara malam yang semakin dingin menyengat. Ma-
nakala persediaan kayu bakar makin habis berkurang.
"So-sobat... Hh... hah...." Terdengar rintihan Srikaton Munggel. Tubuhnya
menggigil hebat. Kedua
rahangnya terkatup rapat bergetar. Arso Lumbing me-
natap perempuan itu melawan hawa dingin yang tidak
mungkin dapat diatasi. Arso Lumbing mendekatinya.
Ia sendiri pun mulai menggigil.
"Ki-kita akan mati kedinginan.... Brrr...," rintih Srikaton Munggel bergetar. Ia
menarik baju Arso
Lumbing. Arso Lumbing langsung jatuh dalam deka-
pan itu. Terasa sekali perempuan ini bergetar hebat.
Dirasakan pula dekapan Srikaton Munggel semakin
erat. Namun akibat dari sentuhan itu, seperti mengalir kehangatan yang luar
biasa. * ** 9 Rasanya seperti mimpi menghadapi sergapan-
sergapan Srikaton Munggel yang menghanyutkan itu.
Arso Lumbing tak dapat mengelak. Ia malah menyam-
but menggeluti tubuh Srikaton Munggel. Sebagai lelaki Arso Lumbing memang tidak
bisa membohongi diri. Di
malam yang gelap gulita berselimut dingin. Mereka
berdua saling membagi kehangatan.
Tidak ada lagi rasa dingin di antara tubuh me-
reka. Kalau tadi waktu terasa begitu lama menyiksa, kini serasa teramat cepat.
Tidak disadarinya bulan di atas sana sudah bergeser jauh. Manakala tubuh
keduanya menggelepar-gelepar.
Seekor kuda yang berdiri tidak jauh dari situ
seakan merinding menyaksikan sesuatu yang amat as-
ing baginya. Saat itu api unggun telah menjadi bara api. Mengeluarkan asap putih
kehitaman membum-bung tinggi.
Dua sosok masih nampak duduk berpelukan.
Keringat mereka deras mengucur. Srikaton Munggel tidak lagi menggigil. Ia
membiarkan tubuhnya luruh dalam pelukan Arso Lumbing. Pemuda ini diam bagai pa-
tung. Ia tidak ingat apa yang telah dilakukannya terhadap perempuan cantik.
Membiarkannya pula seka-
rang perempuan itu mengelus-elus dadanya.
Arso Lumbing terbuai untuk kedua kalinya. Ia
betul-betul lupa dengan tujuan perjalanannya. Untuk
apa ia melakukan perjalanan sejauh ini, untuk apa pu-la sebenarnya Resi Wesakih
menugaskan dirinya"
Apakah ia tidak teringat sama sekali kalau dirinya harus menjemput seorang
wanita yang kelak menjadi is-
trinya" Seratus persen memang tidak lupa. Tuntutan
badaniah memang selalu dapat berontak dan tak ter-
kendali. Apalagi Arso Lumbing seorang laki-laki normal. Muda dan gagah. Srikaton
Munggel kurang apa.
Tubuhnya yang mulus, wajahnya yang cantik, serta
bentuk tubuhnya yang jarang dimiliki wanita sempur-
na manapun. Pada malam yang dingin ini Arso Lumb-
ing telah menikmati apa yang dimiliki oleh Srikaton Munggel.
Ada sesuatu yang membuat Arso Lumbing mu-
lai tertarik pada Srikaton Munggel. Sekalipun ia menyadari kalau perempuan dalam
dekapannya itu jauh
lebih tua darinya. Seperti yang kita ketahui Srikaton Munggel telah malang
melintang hidup bersama nenek
berambut putih penguasa Gunung Tunggul selama ku-
rang lebih tiga puluh tahun. Ternyata pula kalau Srikaton Munggel benar-benar
masih perawan tulen.
*** Ki Wirayuda setengah tidak percaya ketika
mendengar cerita dari seorang gadis bernama Um-
bayani. Keadaan Umbayani setelah dua hari ini agak
membaik. Sekeliling pinggangnya masih terbalut den-
gan kain perak. Saat ini Umbayani tengah duduk
menghadapi Ki Wirayuda dan Pendekar Kelana Sakti.
"Tidak kusangka kalau nona yang cantik ini
seorang putri dari majikan perguruan Pedang Ular. Tidak disangka-sangka pula
bahwa kita mengalami na-
sib yang sama. Dua perempuan iblis Gunung Tunggul
itupun pernah membuat kami di sini kalang kabut."
ujar Ki Wirayuda.
"Yang kusesalkan hanyalah soal Pedang Ular
Emas, Paman. Biarlah kami gagal dalam pertemuan
hari pertunangan. Asalkan pusaka milik perguruan
kami kembali." Umbayani merenung.
"Kami melihat sendiri Pedang Ular Emas berada
dalam tangan Srikaton Munggel. Pantaslah ia sedemi-
kian hebatnya hari itu. Kiranya ia menggunakan pusa-ka Pedang Ular." jawab Ki
Wirayuda. "Terlalu... Persoalannya akan rusuh. Orang-
orang persilatan akan menganggap ini perbuatan
orang-orang Pedang Ular, padahal...." kata Umbayani lagi. "Kami cukup mengerti,
Nona." tukas Wintara.
"Malah yang membingungkan ini adalah persoalan pertunangan nona."
"Maksud Pendekar Wintara?" Umbayani ker-
nyitkan alls. "Apakah kau tidak tahu sama sekali terhadap
orang yang membawa dirimu ke pemukiman ini?"
tanya Wintara agak menyelidik.
"Bagaimana bisa tahu. Setelah berada di sini
saja, aku betul-betul merasa keheranan. Aku mengira diriku sudah berada di
neraka. Ternyata?" Umbayani menahan tawanya.
"Mungkin kau tidak percaya kalau penyelamat
itu bernama Arso Lumbing." tukas Ki Wirayuda.
"Arso Lumbing?" Mata Umbayani hampir keluar dari rongganya.
"Betul. Kenapa Arso Lumbing tidak mengenali-
mu?" tanya Ki Wirayuda. Suasana diam sesaat. Umbayani hampir tidak percaya.
"Kami sudah dijodohkan sejak kecil. Aku mau-
pun Arso Lumbing sama sekali tidak saling kenal.
Hanya ayah dan paman Rakadewa Geni yang mengenal
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas terhadap calon suamiku."
"Memang sulit untuk mengenali pendekar-
pendekar muda sekarang. Sampai-sampai aku sendiri
sulit mengenali engkau sewaktu dibawa ke sini. Wah-
wah.... Runyam. Sebenarnya kalian sudah saling temu.
Sayang aku yang tua pikun ini tidak tahu situasi." ujar Ki Wirayuda.
"Sekarang persoalannya sudah jelas. Alangkah
baiknya kalau kita mencari Srikaton Munggel untuk
mengambil kembali pusaka Pedang Ular. Sekaligus kita lumpuhkan mereka. Karena
tindakannya sudah di luar
batas." ujar Wintara.
"Jangan dulu. Aku hanya mengusulkan, kalau
Umbayani harus menemui Resi Wekasih untuk menje-
laskan keterlambatan ini. Biarlah dalam hal ini aku tugaskan Pendekar Wintara
menemanimu, setelah itu
terserah pada Resi Wesakih nanti." Usul Ki Wirayuda.
Sebagai orang yang cukup tua usul itu sangat disetujui oleh kedua pendekar muda
ini. "Bagaimana dengan lu-ka-lukamu, Umbayani?" tanya Ki Wirayuda. Laki-laki tua
ini duduk setengah bersandar di atas balai. Tulang rusuknya yang patah belum
sembuh betul. Belum tentu satu bulan dapat pulih. Melihat itu pun Umbayani cepat
menjawab.... "Luka babatan pedang di perut ini memang ma-
sih terasa sekali, Paman. Aku tidak khawatir selama Wintara bersedia membantu.
Siapa yang tidak kenal
dengan Pendekar Kelana Sakti?" ujar Umbayani.
"Kalau begitu pergilah ke kandang, kalian boleh pilih kuda yang kalian sukai."
tukas Ki Wirayuda.
Di atas puncak Gunung Tunggul. Nenek be-
rambut putih berbaju serba merah mondar mandir da-
lam ruangan agak gelap. Rambutnya yang putih beru-
ban bergerak-gerak sebatas pinggang. Raut mukanya
menandakan ia sedang murka.
Berkali-kali ia menendangi tumpukan-
tumpukan jerami yang berserakan dalam ruangan ter-
sebut. Demi kekesalannya, tidak henti-henti ia mema-ki.... "Murid sialan! Murid
tidak tahu balas budi! Ke mana perginya ia mencari obat. Tiga harian Juntreng
belum juga nongol batang hidungnya. Dasar brengsek!"
Tanpa lelah Nilasari Grewek terus berjalan mondar
mandir. Kedua tinjunya mengepal erat.
"Bila kembali ke sini kau akan tahu rasa pe-
rempuan tengik!" Ia mengepal tinjunya sendiri. Lalu seperti biasa ia selalu
duduk di sudut ruangan yang terlindung dari sinar matahari. Di sampingnya ada
sebuah meja kecil pendek. Tersedia pula teh hangat ramuannya sendiri.
Pada meja itu tergeletak pula sebilah pedang
bersinar keemasan. Apalagi kalau bukan Pedang Ular
Emas. Kemarahannya segera lenyap demi melihat pe-
dang tersebut. Tangan keriputnya lantas menimang-
nimang Pedang Ular Emas.
Dalam hatinya ia sangat kagum pada si pencip-
ta Pedang Ular Emas. Entah pengaruh apa yang ter-
kandung dalam pedang ini. Teringat akan Srikaton
Munggel lagi, saat murid tunggalnya itu menghadapi
Pendekar Kelana Sakti dan Ki Wirayuda. Ketika ia
menggunakan pedang tersebut, kemampuan murid
tunggalnya dua kali lipat lebih hebat.
Wajah Nilasari Grewek mendadak pucat. Pera-
saan cemas serta khawatir timbul dengan seketika.
"Dasar aku yang bodoh! Tahunya hanya ngo-
mel! Marah-marah! Menyalahkan Srikaton Munggel!
Tidak pernah memikirkan akan keselamatan murid
tunggalku.... Jangan-jangan ia telah bertemu dengan pendekar-pendekar sial itu.
Celaka! Pastilah Srikaton
Munggel mendapat halangan. Tidak mungkin ia pergi
sampai berlarut-larut!" Nilasari Grewek cemas bukan kepalang.
* ** 10 Selama didampingi Srikaton Munggel, Arso
Lumbing benar-benar lupa daratan. Dalam hati serta matanya hanya Srikaton
Munggel yang selalu nampak.
Tidak ada istilah di antara mereka beda usia. Hubungan mereka makin rapat penuh
kasih sayang. Baik Arso Lumbing maupun Srikaton Munggel
tidak perduli lagi akan tujuan mereka sebenarnya. Kini mereka memilih sebuah
tempat untuk kediaman. Dalam perjalanannya ketika mereka menelusuri aliran
sungai. Mereka menemukan sebuah gubuk yang sudah
tidak ditempati. Mereka sepakat untuk menempati dan membetulkan gubuk reyot
tersebut. Seharian penuh mereka memberesi tempat
tinggal yang baru. Gubuk mereka nampak bagai ru-
mah panggung yang mengambang di atas aliran sun-
gai. Pohon-pohon yang rindang tumbuh di tepi sungai.
Cukup melindungi gubuk mereka dari sinar matahari.
Manakala air sungai begitu bening. Ikan-ikan yang be-renang kian kemari dapat
terlihat berseliweran di bawah gubuk mereka.
Arso Lumbing sengaja membuat tangga kayu
yang menjurus ke bawah. Tangga itu gunanya untuk
turun ke sungai bila ingin mandi atau mencari ikan.
Hampir kebanyakan Arso Lumbing menggunakan ca-
bang-cabang pohon untuk membangun gubuknya.
Cukup tegar dan kokoh.
Seperti hari itu, saat Arso Lumbing selesai
membuat tangga kayu, ia langsung mencari ikan. Se-
belumnya ia memang telah menyediakan tombak runc-
ing dari kayu pula.
"Ha-ha-ha-ha.... Hari ini kita makan besar, Srikaton.... Aku sudah mengumpulkan
lima ekor ikan.
Cepat kau sediakan api!" teriak Arso Lumbing. Di ujung tombak kayunya
menggelepar-gelepar seekor
ikan cukup besar. Di pinggangnya telah terkumpul
empat ekor ikan.
"Dari tadi api sudah meletup-letup, Arso Lumb-
ing. Kau saja yang tidak mendengarnya." jawab Srikaton Munggel. Ia duduk di
teras belakang gubuk. Sejak tadi ia memperhatikan pemuda idamannya.
"Cukupkah lima ekor ikan?" teriak Arso Lumbing yang sudah mengincar seekor lagi
di bawah ka- kinya. "Rasanya tidak. Aku tahu betul kau sangat lelah. Pasti makanmu banyak
sekali." ujar Srikaton Munggel.
"Wah... Kalau menuruti kamu, ikan-ikan di
sungai ini bisa habis." Tak urung Arso Lumbing lancarkan tusukan tombaknya ke
bawah. Air sungai ber-
geming tertembus tombak kayu. Tapi gagal. Ikan incarannya keburu pergi jauh.
"Kampret! Ikan-ikan di sini mulai gesit." Mendengar itu Srikaton Munggel hanya
tersenyum. Ia be-
tul-betul mengakui akan ketampanan Arso Lumbing.
Rasanya pula ia tidak ingin berpisah dengan pemuda
ini. Ia makin jatuh cinta melihat Arso Lumbing telanjang dada, bergerak-gerak
menunjukkan otot-ototnya
yang kekar. Malamnya mereka menyantap hasil tangkapan
Arso Lumbing. Arso Lumbing sanggup menghabiskan
tiga ekor. Berkali-kali pula tenggorokannya terselak, sehingga ia harus cepat-
cepat menenggak air dalam
pundi. Srikaton Munggel sudah selesai makan. Ia
membiarkan Arso Lumbing makan sendirian. Karena
tempat tidur mereka masih berantakan. Ia membenahi
tumpukan alang-alang yang memenuhi sebagian ruan-
gan gubuk, lalu dilapisi dengan selimut tebal. Dia sudah membayangkan, pasti
Arso Lumbing akan tertidur
dengan nyenyak.
Memang benar. Tak lama pun setelah usai ma-
kan, dengkur Arso Lumbing sudah terdengar. Srikaton Munggel duduk bersandar pada
dinding gubuk tanpa
bisa memejamkan matanya. Malam itu ia benar-benar
tidak dapat tidur. Perasaannya seperti mengganjal sesuatu. Dalam kesunyian itu
pikirannya menggambar-
kan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya.
Teringat pula akan seraut wajah keriput Nilasa-
ri Grewek. Nenek yang selalu memakinya tanpa jun-
trungan. Namun kepada nenek itu pula ia selalu ber-
lindung. Kesan-kesannya memang pahit selama tiga
puluh tahun mengekor dalam aliran sesat. Terakhir ia meninggalkan gurunya, dalam
keadaan luka parah.
Bagaimana sekarang keadaannya. Sehat-sehatkah ia"
Tapi karena terlalu banyaknya kepahitan hidup ber-
sama Nilasari Grewek, membuat Srikaton Munggel ti-
dak perduli. Sekarang ia coba-coba menggantungkan
hidupnya terhadap orang yang begitu cepat ia cintai.
Rela pula ia menyerahkan kesuciannya yang selama ti-ga puluh tahun ia
pertahankan. Selama ini pula ia berusaha menyembunyikan diri yang sebenarnya.
Dia sudah bertekad akan mengabdi pada orang
yang dicintainya itu. Andai saja Arso Lumbing menya-kiti hatinya, Srikaton
Munggel tidak akan segan-segan melumuri tangannya dengan darah Arso Lumbing.
Kedua mata Srikaton Munggel memandang
berkeliling menatap dinding gubuk yang begitu kokoh tanpa celah. Ruangan itu
dapat diterangi dengan api unggun yang meletup-letup di tepi sungai, dalam ke-
remangan itu Srikaton dapat melihat benda panjang
terbungkus kain sutra. Benda apa sebenarnya itu.
Benda itu tergantung di dinding. Arso Lumbing ternya-ta sudah lama tidak
menyentuhnya. Hari-harinya di-
habiskan selalu bersama Srikaton Munggel.
Tergerak pula rasa ingin tahu Srikaton Mung-
gel. Tanpa bersuara ia melangkah mendekati benda
yang diam dingin tak bergerak. Cekatan pula tangan-
nya yang mulus itu mulai membuka bungkusan kain
sutra. Sesaat matanya membelalak lebar.
Ternyata benda itu hanya sebilah pedang yang
bersinar keemasan. Bentuk pedang membuat Srikaton
Munggel tidak percaya. Betapa tidak, pedang dalam
tangannya itu tidak lain Pedang Ular Emas.
Dia masih ingat betul ketika ia pernah mere-
butnya dari tangan seorang gadis. Bahkan ia pernah
menggunakannya menumpas rombongan itu. Tapi se-
pengetahuannya, Pedang Ular Emas telah ia berikan
pada Nilasari Grewek, gurunya. Kenapa pedang ini sekarang berada dalam tangan
kekasihnya"
Timbul pikiran yang bermacam-macam. Bagai-
mana mungkin Pedang Ular Emas bisa berada dalam
tangan Arso Lumbing" Apakah ia juga telah merebut-
nya dari tangan gurunya" Kalau begitu.... pastilah Nilasari Grewek telah tewas!
Perasaan itu yang tergambar dalam benak Srikaton Munggel. Arso Lumbing te-
tap mendengkur pulas.
Ada juga sedikit dendam di jantung Srikaton
Munggel. Pikirannya mulai bercabang, manakala Pe-
dang Ular Emas terhunus tajam dalam genggamannya.
Tapi secepat itu pula ia jadi 'Dingin'.
Hidup bersama Arso Lumbing meskipun baru
beberapa hari merasakan dirinya selalu bahagia. Tidak tega ia membunuh Arso
Lumbing dalam keadaan seperti ini. Lagi pula Pedang Ular Emas tidak berarti apa-
apa, pikirnya. Pendekar Kelana Sakti masih dapat
mengalahkan dengan ilmu-ilmu yang dimiliki. Biar saja Pedang Ular Emas menjadi
kebanggaan Arso Lumbing.
Toh pemuda ini merupakan pujaannya.
Cinta memang hebat! Dapat merubah sega-
lanya. Yang baik bisa berubah jahat, begitu juga dengan yang jahat, akan berubah
sebaliknya. Perlahan
Srikaton Munggel membungkus kembali Pedang Ular
Emas itu. Hati-hati pula ia menggantungkan kembali
ke dinding. Lalu ia kembali ke samping Arso Lumbing.
Mengelus-elus sosok pemuda yang tertidur pulas.
*** Keresahan yang disebabkan oleh pendekar-
pendekar muda, bukan hanya menggayuti pikiran Ni-
lasari Grewek. Ternyata pula perasaan itu mence-
maskan seorang tua bungkuk bernama Resi Wesakih.
Kakek bungkuk ini tinggal dalam sebuah goa dekat jeram. Hari pertunangan
putranya telah lewat satu
minggu lebih. Keterlambatan itu sangat keterlaluan.
Resi Wesakih selalu menatap keluar menunggu keda-
tangan orang-orang Pedang Ular. Namun sampai saat
ini, baik orang-orang Pedang Ular maupun putranya
Arso Lumbing belum juga muncul.
Ia hidup seorang diri dalam goa itu. Ternyata
pula goa itu bukan sembarang goa. Di dalamnya lebih nampak seperti layaknya
sebuah bangunan batu yang
ditata sedemikian rapi. Lampu-lampu damar tergan-
tung pada tiap-tiap sudut menerangi ruangan itu. Dalam keresahannya, mendadak
jantungnya bergetar ke-
tika didengarnya derap langkah-langkah kuda.
* ** 11 Serta merta ia langsung berlari keluar. Dari de-
pan pintu ia dapat melihat dua orang berkuda mende-
kati goanya. Jelas terlihat oleh mata tuanya kalau salah seorang dari penunggang
kuda itu seorang perem-
puan. Seorang lagi laki-laki muda berpakaian bulu bi-natang. Resi Wesakih tetap
menunggu mereka dengan
hati yang berdebar. Langkah-langkah kuda berderak
nyaring semakin dekat. Mata tuanya memang tidak
pernah salah. Mereka memang dua muda mudi yang
tengah menuju ke arahnya. Dan ternyata pula dua
muda mudi ini tidak lain Wintara dan Umbayani.
Ketika mereka tiba di mulut goa, Resi Wesakih
berdiri terbungkuk keheranan. Umbayani dan Wintara
segera turun dari kudanya.
"Maaf, apakah kakek yang bernama Resi Wesa-
kih?" sapa Umbayani berjalan ke hadapan kakek
bungkuk berambut putih. Kakek ini tidak langsung
menjawab. Kedua matanya yang hampir tertutup alis
hanya menatap gadis muda itu. Lalu ia mengangguk
perlahan. "Oh, Paman Resi Wesakih!" Melihat itu Um-
bayani langsung berlutut memberi hormat.
"Mata tuaku ini tidak bisa dikelabui, pastilah kau cah ayu Umbayani." Resi
Wesakih mengangkat bangkit Umbayani. Wintara hanya berdiri mengawasi
pertemuan itu. "Mana Pedang Ular Emas dan Arso Lumbing"
Mengapa ia tidak bersama kalian?" tanya Resi Wesakih. Hampir menangis pula
Umbayani mendapat per-
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanyaan itu. Dengan bergetar ia menjawab.
"Mengenai Kakang Arso Lumbing, aku sama se-
kali tidak bertemu dengannya. Karena-karena.... Kami telah dihadang.... Tidak
disangka pula Pedang Ular
Emas di rebut orang." tutur Umbayani.
"Astaga..."! Sebaiknya kita bicara di dalam, Cah ayu. Ceritakan dengan jelas
bagaimana sampai terjadi hal seperti ini. Arso
Lumbing pun belum kembali ke sini." ujar Resi
Wesakih. Kakek bungkuk itu menuntun Umbayani
memasuki goa. Wintara mengikutinya tanpa bicara.
Dalam ruangan itu menyebar bau wangi pendupaan,
Terheran-heran- pula Wintara saat berada di dalam
ruangan goa tersebut. Dirinya tidak mirip di dalam sebuah goa, Mereka bagaikan
dalam sebuah ruangan
megah yang indah.
Di dalam ruangan itu Umbayani menceritakan
panjang lebar mengenai nasibnya. Dimulai dari perjalanannya yang telah terjebak
oleh dua penguasa Gu-
nung Tunggul. Sampai ia berada di pemukiman Ki Wi-
rayuda, lalu bagaimana ia sampai di situ bersama seorang berilmu tinggi yaitu
Pendekar Kelana Sakti.
Resi Wesakih kerutkan kening, sepertinya ada
kesan tersendiri dari penuturan cerita Umbayani.
"Mungkin pula Kakang Arso. Lumbing telah di-
jegal oleh kedua perempuan iblis itu." ucap Umbayani sebagai penutup dari
penuturannya. "Maksudmu, Arso Lumbing telah tewas di perja-
lanannya" Tidak mungkin, Umbayani. Arso Lumbing
cukup dikenal dalam kalangan persilatan, kalaupun ia sudah tewas, pasti kabar
beritanya sudah sampai oleh ku." tukas Resi Wesakih.
"Kalau begitu, bagaimana mengenai pusaka
perguruan Pedang Ular, Paman?" ujar Wintara yang duduk bersebelahan dengan
Umbayani. Kakek bungkuk ini seperti hendak mengekeh.....
"Jangan khawatir. Pedang Ular Emas yang be-
rada di tangan dua penguasa Gunung Tunggul itu ha-
nyalah pedang tiruan buatanku." jawab Resi Wesakih.
Umbayani dan Wintara menatap tidak mengerti. Tapi
Resi Wesakih cepat menjelaskannya.
"Pedang Ular Emas yang asli justru berada di
tangan Arso Lumbing, putra ku. Memang cukup rumit.
Dan kalian juga tidak bakal mengerti."
"Jadi selama ini perguruan Pedang Ular hanya
memegang pusaka buatan Paman?" Umbayani hampir tidak percaya.
"Betul, kisahnya berawal pada dua puluh tahun
yang lalu. Saat Perguruan Pedang Ular menjadi inca-
ran tokoh-tokoh aliran sesat. Dengan gigih ayahmu
mempertahankan nama besar perguruannya. Tentunya
dibantu pula dengan pendekar-pendekar lain. Bahkan
di antara pendekar-pendekar itu ada yang menjadi
korban. Begitu pula dengan tokoh-tokoh sesat, mereka lebih banyak dapat
ditumpas. Semuanya bermaksud
ingin merampas Pedang Ular Emas. Saat itu aku be-
rumur enam puluh tahun. Dengan ilmu yang kumiliki
turut pula membantu ayahmu. Aku memang tinggal di
sana. Arso Lumbing masih berumur tujuh tahun.
Mungkin saat itu kau baru berumur empat tahun,
Umbayani, tentunya kau masih ingat. Waktu itu kau
hidup tidak sendirian. Kau hidup dua bersaudara dengan kakak perempuan bernama
Umbamayu. Masih in-
gat?" "Ingatanku tidak setajam itu, Paman." tukas Umbayani.
"Saat itu kau masih bau kencur yang lugu. Ka-
kakmu Umbamayu selalu mengajak kau bermain. Tapi
ketenangan itu nampaknya tidak langgeng selamanya.
Seorang tokoh sesat berjuluk Penguasa Gunung Tung-
gul datang menyatroni perguruan Pedang Ular. Dengan tujuan yang sama. Ingin
merebut pedang Ular Emas.
Dalam pertempurannya, ayahmu terkena pukulan
Tombak Gunung yang sangat dahsyat. Aku yang men-
gabdi terhadap ayahmu selama puluhan tahun mana
sempat berdiam diri. Nekad pula aku menghadapi pen-
guasa Gunung Tunggul itu. Rupanya keberuntungan
ada di pihak kami, Penguasa Gunung Tunggul dapat
kami usir dengan luka parah yang sama. Hal itu tidak membuat kami tenang. Karena
ia sempat pula membawa Umbamayu kakakmu. Saat itu kami tidak berku-
tik. Karena ia menyandera Umbamayu dan mengan-
cam, Sampai sekian lama akhirnya penguasa Gunung
Tunggul tidak pernah kembali. Umbamayu pun lenyap
bersama tokoh perempuan sesat itu, Setelah itu pun
aku merawat ayahmu sebagaimana layaknya seorang
saudara. Rupanya ayahmu menaruh simpati padaku.
Dalam keadaan sakit ia menjodohkan kau dengan Arso
Lumbing. Mula-mula aku menolak. Aku merasa ku-
rang pantas menerima tawaran yang bagai mimpi. Ka-
rena aku mengingat hanyalah seorang abdi yang ber-
tugas selama bertahun-tahun membuat pedang.
Ayahmu sangat memaksa, dan tawaran tak dapat ku-
tolak. Dia menyuruh membuat tiruan Pedang Ular
Emas. Lebih gila lagi aku ditugaskan memelihara pe-
dang aslinya. Pedang itu kelak akan dipertemukan lewat pertunangan kau dan Arso
Lumbing, Dan sekali-
gus kau menjadi pewaris ayah, karena kakakmu Um-
bamayu hilang tanpa ada beritanya lagi." Resi Wesakih mengakhiri ceritanya.
"Aku yakin Srikaton Munggel adalah kakakmu,
Umbayani. Cerita Paman Resi Wesakih menjelaskan
semuanya." ujar Wintara. Umbayani menatap diam Re-si Wesakih.
"Ada kemungkinan juga. Kalau memang benar
Srikaton Munggel adalah Umbamayu, kita bisa mena-
riknya dari tangan Nilasari Grewek." kata Resi Wesakih.
"Satu-satunya jalan kita harus mencari Nilasari Grewek. Dia harus menerima
pembalasan dariku."
Sumpah Umbayani di hadapan Resi Wesakih.
"Kita juga tidak harus berdiam diri di sini. Nasib Arso Lumbing perlu kita
pikirkan. Kalau memang
tujuannya ke perguruan Pedang Ular tidak mungkin
akan berlarut-larut seperti ini." Wintara kemukakan pendapat. Resi Wesakih
menghela nafas....
"Siapa yang tidak merasa khawatir terhadap
anaknya. Sekali pun aku yakin Arso Lumbing masih
hidup, Kita memang harus mencarinya. Pertunangan
Umbayani dengan anakku harus terjalin. Itu sudah
menjadi amanat majikan Perguruan Pedang Ular." Kakek bungkuk itu seraya bangkit
dari tempat duduknya.
Hutang darah yang terpendam selama dua pu-
luh tahun itu akhirnya terjangkit pula di kalangan
orang tua. Selama dalam goanya Resi Wesakih tidak
menyangka kalau nenek keriput Nilasari Grewek mun-
cul kembali mengaduk-aduk tanah Sungkawarang. Hal
itu tidak bisa dibiarkan. Nilasari Grewek memang tokoh paling sesat dan mesti
ditumpas. Hari itu juga Resi Wesakih mempersiapkan sen-
jatanya. Senjatanya itu merupakan dua buah palu se-
besar kepalan tangan. Dengan senjata itu Resi Wesa-
kih pernah menghantam mundur musuh-musuhnya
pada dua puluh tahun yang lalu. Termasuk pula Nila-
sari Grewek. Kalau saat itu Nilasari Grewek tidak menyandera Umbamayu, tentunya
Nilasari Grewek si
penguasa Gunung Tunggul sudah tamat riwayatnya.
Terhadap Umbayani ini Resi Wesakih memper-
lakukan sebagaimana ia pernah mengabdi pada ayah-
nya. Sekalipun ia calon mertua. Tapi bagaimana si-
kapnya nanti seandainya Srikaton Munggel benar-
benar Umbamayu.
* ** 12 "Aduh Srikaton yang malang, nasib apa geran-
gan yang melandamu, kalau kau tewas di tanah orang
bagaimana dengan nasib ku.... Aduh Srikaton.,.." keluh Nilasari Grewek. Nenek
keriput berbaju serba merah itu mengarungi pinggiran sungai. Ia baru saja turun
dari Puncak Gunung Tunggul. Tangannya erat
menggenggam pedang berkilau keemasan.
"Menyesal aku selalu mencaci maki dan men-
ganggapmu murid tolol. Kiranya tanpa dirimu hidupku begitu kesepian. Aduuuh.....
mudah-mudahan saja
aku bisa menemukan engkau dalam keadaan sehat-
sehat saja. Biar cacad juga tidak apa-apa." keluhnya terus. Meski sosok itu
sudah nampak peyot keriput
serta rambut beruban sebatas pinggang, langkah-
langkah kakinya masih nampak tegar. Tubuhnya begi-
tu ringan. Sehingga dalam beberapa langkah saja kelihatan Nilasari Grewek
seperti berlari. Menyapu tepian sungai. Manakala air sungai sangat bening menam-
pakkan ikan-ikannya. Penguasa Gunung Tunggul itu
tanpa berhenti melangkah.
Dia sengaja mengambil jalan pintas. Jalan yang
jarang dilalui orang-orang. Dengan begitu ia bebas
membawa pusaka Pedang Ular Emas tanpa diketahui
orang-orang persilatan. Nilasari Grewek sebenarnya
enggan membawa pusaka tersebut. Tapi enggan pula
ia meninggalkan pusaka itu dalam gubuknya. Dalam
hatinya dia yakin sekali kalau nanti akan berhadapan dengan orang-orang Pedang
Ular. Dengan begitu peristiwa dua puluh tahun bakal terjadi lagi.
Sementara itu pada jalur sungai mengalir, ter-
dapat sebuah gubuk kayu. Tempat tinggal itu tidak
lain sebuah gubuk panggung yang mengambang di
atas aliran sungai milik Arso Lumbing bersama Srikaton Munggel. Saat itu Arso
Lumbing tidak ada di situ.
Arso Lumbing tengah mencari kayu bakar di pinggiran kali. Sudah sejak tadi
Srikaton Munggel menunggu
kedatangannya, ia duduk di depan teras gubuk. Mena-
tap ke bawah pada aliran air yang begitu beningnya.
Namun dari semalam pikirannya agak kacau. Ada se-
suatu yang ingin ditanyakan pada Arso Lumbing, tapi ia sendiri sengaja menahan-
nahan. Takut kalau perta-nyaannya itu akan meretakkan hubungan mereka
yang selama ini terjalin baik. Pikirannya masih membayang pada pusaka Pedang
Ular Emas. Benarkah Ar-
so Lumbing telah merebutnya dari tangan Nilasari
Grewek" Begitu mudahnya Arso Lumbing dapat meraih
pusaka tersebut. Setahunya, tidak mungkin Nilasari Grewek mau menyerah begitu
saja. Paling tidak mereka harus menghadapi pertarungan dulu. Tentunya pu-
la kalau Pedang Ular Emas berada di tangan Arso
Lumbing, pastilah Nilasari Grewek gurunya telah tewas. Lamunannya buyar saat
datangnya Arso Lumb-
ing memanggul seikat kayu-kayu ranting di punggung-
nya. Pemuda tampan ini tersenyum dari kejauhan.
Srikaton tetap diam tanpa menyahut.
"Aduh dewiku.... Setengah harian penuh aku le-
lah mencari kayu bakar, malah disambut dengan cem-
berut." goda Arso Lumbing.
Dia terus berjalan ke samping gubuk. Srikaton
Munggel tetap acuh. Diliriknya Arso Lumbing tengah
menyusun kayu-kayu ranting kering. Selesai menyu-
sun kayu-kayu itu Arso Lumbing berjalan ke arah Srikaton, lalu duduk di
sampingnya. "Ada apa seharian ini kau jarang bicara." tegur Arso Lumbing. Tubuhnya yang
telanjang dada basah
dengan keringat.
"Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan pada-
mu Arso Lumbing."
"Soal apa" Kau masih belum percaya kalau aku
mencintaimu sepenuh hatiku?"
"Bukan. Bukan soal itu...." Srikaton Munggel ragu-ragu.
"Lalu apa?" Arso Lumbing penasaran.
"Harap kau jangan marah. Kau harus berjanji
dulu." "Hm.... Katakanlah."
"Benda apa sebenarnya yang tergantung di da-
lam?" Srikaton Munggel pura-pura tidak tahu apa yang terbungkus dengan kain
sutra yang tergantung di
dinding. Arso Lumbing kernyitkan alis. Ia teringat akan benda yang jarang
disentuhnya selama berdampingan
dengan Srikaton.
"Cuma itu yang ingin kau ketahui" Benda itu
cuma sebilah pedang. Kenapa?" Arso Lumbing balik bertanya. Ia tidak menyangka
kalau siang itu sikap
Srikaton Munggel agak berubah. Perempuan ini tidak
bicara. Ia langsung bangkit berjalan ke dalam gubuk.
Tak lama keluar lagi dengan membawa benda terbung-
kus kain sutra. Di hadapan Arso Lumbing, Srikaton
Munggel membukanya.
"Katakan dari mana kau dapatkan pedang ini.
Arso Lumbing?" Srikaton Munggel menghunuskan pedang Ular Emas. Arso Lumbing
tenang-tenang saja
menjawab... "Ayahku sendiri yang membuat pedang itu."
"Jangan bohong, Arso Lumbing. Aku tahu be-
nar pusaka ini milik siapa."
"Heh, kau ini kenapa Srikaton. Kau anggap apa
aku ini. Kau pikir aku tukang rebut dan main rampas milik orang lain?" Arso
Lumbing bangkit berdiri menghadapi Srikaton Munggel. Perempuan ini tidak sang-
gup menatap Arso Lumbing. Keduanya berdiri diam.
Srikaton Munggel seperti hendak menangis.
"Srikaton.... Ada apa dengan kau" Kau boleh
memiliki pedang itu. Aku tidak perlu lagi. Semenjak hidup bersamamu, aku menarik
diri dari dunia persilatan. Bahkan aku telah melupakan tugas dari ayahku
sendiri...." Arso Lumbing membujuk.
"Arso Lumbing kuharap kau tidak berdusta...."
Suara Srikaton Munggel terisak. Kedua bola matanya
tergenang air bening. Menatap itu Arso Lumbing makin trenyuh. Maka tak sanggup
lagi Arso Lumbing menahan diri. Ia memeluk tubuh Srikaton Munggel yang terisak
menahan tangis. Namun dengan tiba-tiba saja....
"Srikaton...!" Kedua muda mudi ini mendadak tersentak kaget. Bentakan itu sangat
nyaring. Keduanya serempak menoleh ke arah suara. Tidak jauh, Srikaton Munggel
membelalakkan matanya lebar-lebar.
Sosok Nilasari Grewek berdiri tegak menyaksi-
kan mereka. Tidak percaya pula Srikaton melihat Pe-
dang Ular Emas di tangan gurunya. Lalu pedang apa-
lagi yang ada di tangan Srikaton Munggel" Bentuknya sama tiada beda. Srikaton
Munggel jadi serba salah.
"Susah payah aku mencari-cari kau. Penuh ra-
sa cemas, khawatir, tahu-tahunya lagi enak-enakan di sini bersama seorang anak
Resi Wesakih. Brengsek!"
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bentak Nilasari Grewek.
Arso Lumbing melepaskan pelukannya. Ia juga
hampir tidak percaya melihat sosok
Nilasari Grewek berdiri di hadapannya. Terle-
bih-lebih nenek itu menggenggam Pedang Ular Emas.
Dari mana ia dapat" Pikir Arso Lumbing.
"Murid bejad! Kenapa kau biarkan putra Resi
Wesakih itu! Ayo bunuh!" perintah Nilasari Grewek dengan kedua mata melotot.
"Guru.... Aku...." Srikaton keluar dari teras berjalan menghampiri nenek berbaju
serba merah. Men-
dadak Nilasari Grewek terkejut setengah mati. Srikaton Munggel juga memegang
Pedang Ular Emas.
"Pantas kau tidak kembali ke Gunung Tunggul.
Kiranya kaupun memiliki Pedang Ular Emas juga. Ce-
pat Srikaton, sebelum habis kesabaranku, bunuh dia!"
perintah Nilasari Grewek.
"Tidak bisa, Guru. Arso Lumbing adalah sua-
miku!" tukas Srikaton Munggel.
"Chis, tidak sudi aku bermantukan orang aliran lurus. Baiklah kalau kau tak
sanggup membunuhnya.
Biar aku yang tua keriput membinasakan putra Resi
Wesakih!" Serta merta nenek berambut putih ini merebut pedang dalam genggaman
Srikaton Munggel. Pe-
rempuan ini tidak menyangka kalau gurunya akan
bertindak seperti itu.
Arso Lumbing masih ingat betul akan sosok Ni-
lasari Grewek. Dulu dua puluh tahun yang silam ia
pernah mengenalinya. Saat Arso Lumbing bersama
ayahnya, Resi Wesakih mengabdi pada majikan Pergu-
ruan Pedang Ular. Masih ingat pula bagaimana ayah
Arso Lumbing menghantam mundur nenek berambut
putih itu. Tapi hari ini rupanya, Arso Lumbing menerima
karma dari perbuatan orang tuanya. Kini ia harus
menghadapi serangan Nilasari Grewek. Dengan dua
buah Pedang Ular Emas di tangannya, Nilasari Grewek mencecar habis-habisan
pemuda Arso Lumbing. Nya-tanya pula Arso Lumbing bukan sembarangan orang.
Tidak percuma ia sebagai putra Resi Wesakih.
* ** 13 Meski tanpa menggunakan senjata sekalipun,
Arso Lumbing dapat menghadapi serangan-serangan
nenek keriput berambut putih.
"Aku memang pikun! Mudah melupakan keja-
dian pada dua puluh tahun yang telah lalu. Dan aku
telah mengira pula kalau Resi Wesakih telah mampus, sekarang kehadiranmu ini
membuat kedua mata tuaku
terbuka!" gerutu Nilasari Grewek. Ia memutar kedua Pedang Ular Emas. Maka
bergulung-gulung sinar keemasan. Suara anginnya menderu-deru. Bahkan sam-
pai mengoyak ketenangan arus air sungai. Sekali ia
hentakkan kedua pedang tersebut, Arso Lumbing
menghindar mundur. Sepertinya pula angin mendo-
rong begitu keras membuat dirinya terlempar jauh ke belakang sampai tercebur ke
dalam sungai. "Hak-hak-hak-hak...! Biar tak kesampaian me-
lepas dendam terhadap Resi Wesakih. Jantungku akan
puas dengan mampusnya anak jelek ini,
"Hreaaaaaa...!" Nilasari Grewek menerjang lagi. Ia nekad ikut masuk ke dalam
kali. Saat itu Arso Lumbing sudah berdiri meski harus terendam dalam sungai. Ia
baru tahu akan kehebatan Pedang Ular Emas. Tapi
mengapa sekarang harus ada dua" Apakah Perguruan
Pedang Ular telah kecolongan pusaka itu" Arso Lumb-
ing tidak sempat memikirkan persoalan itu. Serangan Nilasari Grewek datang
begitu cepat. Melihat Arso Lumbing tercecar demikian rupa,
mana mau Srikaton Munggel berdiam diri. Dengan ka-
lap pula ia melompat ke dalam sungai.
"Guru, kau tidak boleh membunuhnya. Karena
Arso Lumbing harus menjadi bapak si jabang bayi ini!"
ujar Srikaton Munggel menghalangi serangan-serangan Nilasari. Nenek berambut
putih hentikan serangan
menatap geram dua muda mudi yang telah basah
kuyub.... "Dasar jalang! Murid tidak tahu diuntung! Se-
baiknya kalian mati bersama dengan pemuda anjing
ini! Pergilah ke akherat. Hiaaaaaaa...!" Nilasari Grewek babatkan dua Pedang
Ular Emas sekaligus ke arah
mereka, tapi Arso Lumbing yang selalu waspada itu
dapat menarik tubuh Srikaton Munggel. Ia segera me-
lesat ke atas hindari babatan-babatan maut tersebut.
Lalu keduanya hinggap persis di tepian sungai.
Dengan sigap Nilasari Grewek menyusul mere-
ka, lentingan tubuh keriputnya sangat cepat tahu-tahu saja ia sudah hinggap
tanpa bersuara di hadapan mereka..... Arso Lumbing siap siaga.... Kedua matanya
menatap jalang. Tak urung juga ia keluarkan jurus-jurus andalannya.
"Baiklah, Nilasari Grewek. Aku tidak pandang
lagi siapa kau. Jelasnya aku pernah tahu kau pernah malang melintang merecoki
Perguruan Pedang Ular.
Seperti apa yang pernah dilakukan Resi Wesakih. Aku pun akan bersikap sama.
Menghentikan perbuatan se-satmu." ujar Arso Lumbing mantap.
Nilasari Grewek tidak perduli, ia terus maju
lancarkan babatan-babatan Pedang Ular Emas. Seran-
gan itu begitu dahsyat. Tapi Arso Lumbing yang telan-
jang dada sigap berkelit mati-matian. Setiap kali gerakannya dapat menghindari
sinar keemasan yang ber-
kelebat cepat. Arso Lumbing yakin dua dari pedang itu, salah satunya 'Asli'.
Karena ia tahu ayahnya pernah membuat pedang tersebut guna pertemuan pertunan-
gannya dengan Umbayani.
Sudah tentu Arso Lumbing tidak akan sanggup
menghadapi amukan Pedang Ular Emas yang asli. Ni-
lasari Grewek sendiri sudah merasakan akan keheba-
tan pedang yang berada dalam genggaman tangan ki-
rinya. Ia bisa bergerak ringan setiap kali ia lancarkan babatan. Dirasakannya
pula pedang itu dapat bergerak sendiri dalam tangannya mencecar ke arah lawan.
Setengah mati Arso Lumbing dibuat jatuh ban-
gun. Pada kesempatan itu Srikaton Munggel datang
membantu. Ia ikut memapaki serangan-serangan gu-
runya. Mati hidup ia sudah nekad akan membantu Ar-
so Lumbing. Ternyata di mata Arso Lumbing, Srikaton Munggel ini seorang
perempuan yang memiliki ilmu setinggi gunung.
Maka makin bersemangat Arso Lumbing mem-
balas serangan ke arah Nilasari Grewek. Menghadapi
serangan balasan itu Nilasari Grewek tidak tanggung-tanggung lepaskan babatan
Pedang Ular Emas di tan-
gan kirinya. Akibatnya sangat dahsyat, meski hanya
terkena sambaran anginnya saja, tubuh Arso Lumbing
terpelanting bergulingan.
Namun terhadap murid tunggalnya, Nilasari
Grewek masih memberi hati. Serangan-serangan Srika-
ton Munggel disambut dengan lesatan-lesatan tubuh.
Tapi justru bertindak seperti itu malah membahayakan dirinya. Karena Srikaton
Munggel menyerang tanpa
memandang kalau Nilasari Grewek adalah gurunya.
"Baiklah, Srikaton...! Kau boleh pilih hidup bersama pemuda itu. Kau boleh hidup
tenang, tapi di sa-
na.... Di akherat!" bentak Nilasari Grewek seraya ia melepaskan Pedang Ular Emas
buatan Resi Wesakih,
Sebenarnya pula ia tidak becus menggunakan senjata
pedang, Hanya saja ia sekarang memiliki Pedang Ular sungguhan yang pernah
menjadi impiannya pada dua
puluh tahun yang lalu.
Srikaton tidak perduli dengan sikap gurunya. Ia
makin gencar lepaskan serangan. Sudah pasti tinda-
kan murid tunggalnya membuat Nilasari Grewek mur-
ka. Maka dengan sebelah tangan kosongnya ia lancar-
kan pukulan Tombak Gunung....
"Deeeer!" Srikaton Munggel tidak sempat mengelak. Hantaman itu telak mendera di
tubuhnya. Tak urung tubuh rampingnya terjungkal ke belakang sam-
bil menyemburkan darah. Melihat itu pun Arso Lumb-
ing cepat melindungi Srikaton. Cepat pula ia meraih Pedang Ular Emas 'Tiruan'
yang tergeletak di tanah.
Srikaton Munggel bangkit terhuyung di belakangnya.
Tapi belum sempat Arso Lumbing lancarkan serangan,
Nilasari Grewek lepaskan lagi hantaman Tombak Gu-
nungnya. "Bledaaaaaar...!" Kerasnya tidak kepalang. Pasangan muda mudi ini kembali
ambruk. Srikaton
Munggel lebih parah. Ia menyemburkan darah berkali-
kali. Arso Lumbing merasakan sekujur tubuhnya re-
muk. Manakala Nilasari Grewek tidak tinggal diam melihat keadaan mereka. Dengan
gerakan yang sangat
cepat ia menerjang lepaskan babatan Pedang Ular
Emas. Tapi Arso Lumbing yang masih dapat bertahan,
menangkis dengan babatan pedang pula.
"Traaaang...!" Benturannya nyaring sekali. Tapi kedahsyatannya jauh dibanding
dengan pedang di tangan Nilasari Grewek. Tentu saja. Karena Arso Lumbing
menggunakan 'Tiruannya'. Arso Lumbing hampir tidak
mampu menahan kekuatan yang maha dahsyat itu.
Kedua tangannya erat menggenggam pedang. Me-
nyambut setiap serangan Nilasari Grewek.
Pandangan Srikaton Munggel mulai nanar. Se-
luruh tubuhnya serasa lemas. Tenaganya benar-benar
ludes terkuras. Manakala rasa sakit di sekujur tubuhnya itu membuat ia hampir
pingsan. Pandangannya ti-
dak lepas menyaksikan bagaimana Arso Lumbing
mempertahankan nyawanya dari maut.
Setiap babatan pedang Nilasari Grewek disertai
dengan teriakan lantang merencah di tubuh Arso
Lumbing. Namun lelaki muda ini tetap berupaya me-
nyingkir, meskipun ia yakin bakal tewas di tangan nenek berambut putih itu.
"Sekarang mampuslah kau, pemuda keparat!
Hreaaaaaa...!" Nilasari Grewek arahkan Pedang Ular Emas kuat-kuat ke batok
kepala Arso Lumbing, tapi....
"Traaaaang...!" Pedang di tangan Nilasari Grewek mendadak bergetar. Suatu benda
melayang-layang
di udara. Kiranya benda itu pula yang menggagalkan
niatnya. Sebuah palu sebesar kepalan. Palu itu terus melayang menjauh dan
kembali pada pemiliknya.
Resi Wesakih sigap menangkap sebelah pa-
lunya. Ia berdiri bringas didampingi dengan Wintara dan Umbayani. Ketiga orang
yang baru datang itu cepat menuju ke pinggiran kali. Nilasari Grewek ker-
nyitkan alls menatap Resi Wesakih.
"Heh, kiranya kau telah menjadi tua bangka be-
jad! Tak kusangka pertemuan ini sangat mengharu-
kan. Kau lihat putramu ini bakal mampus di tangan-
ku!" bentak Nilasari Grewek.
Ketiga orang ini menatap Arso Lumbing bangkit
dengan sebilah pedang bersinar keemasan. Namun da-
ri kejauhan itu Resi Wesakih dapat melihat kalau pedang dalam tangan Arso
Lumbing adalah pedang bua-
tannya sendiri. Mendadak kaget pula saat ia melihat
Pedang Ular Emas dalam tangan Nilasari Grewek.
"Nenek usil! Rupanya kau belum bisa mampus
dengan tenang sebelum melihat pusaka Ular Emas.
Ternyata pula hari ini kau mesti mampus." ujar Resi Wesakih.
*** Umbayani yang berdiri di samping kiri Resi We-
sakih dapat melihat sosok Srikaton Munggel berlumu-
ran darah. Melihat perempuan itu Umbayani jadi ge-
ram. Serta merta ia berjingkat maju.
"Paman, perempuan busuk itulah yang ikut
membantu merampas Pedang Ular Emas dari tangan-
ku. Sekarang ia harus menerima ganjarannya!" Umbayani mementang jurus, tapi
Srikaton Munggel tetap diam dengan pandangan samar.
"Tahan amarahmu, Umbayani." ujar Resi Wesakih. Sesaat pula orang tua bungkuk itu
menatap jelas perempuan berlumuran darah.
"Tidak salah dugaan kita. Srikaton Munggel
yang selama ini mengekor bersama Nilasari Grewek
adalah Umbamayu, kakak mu Umbayani." kata Resi Wesakih pasti. Saat itu Arso
Lumbing membawa tubuh
Srikaton Munggel dari tempat itu. Ia membawa masuk
ke dalam gubuk. Umbayani berdiri mematung. Piki-
rannya bimbang.
"Sekarang kita sudah berkumpul semua di sini.
Selanjutnya bisa kita atasi setelah melumatkan Iblis Keriput ini!" Resi Wesakih
bersiap-siap dengan kedua senjata palunya.
"Hik-hik-hik-hik...! Boleh.... Boleh...! Majulah kalian semua...! Selama Pedang
Ular Emas di tanganku, aku tidak bakal mundur. Juga kepada Pendekar
Kelana Sakti, kau boleh pergi ke akherat lebih dulu!"
kata Nilasari Grewek lantang. Ia langsung menyerang.
Serangannya itu diarahkan pada Wintara. Pendekar
Kelana Sakti tidak perlu menyambut, karena Resi We-
sakih dan Umbayani menghalanginya terlebih dahulu.
Palu godam berturut-turut seakan menghantam
kepala Nilasari Grewek, Umbayani tidak kenal takut
lepaskan hantaman meskipun lawannya menggunakan
pusaka Pedang Ular. Saat itu Arso Lumbing sudah ke
luar dari gubuknya. Dia pun melihat pertarungan tersebut. Gerakan Umbayani
diawasi oleh Arso Lumbing.
Ia masih ingat akan wajah gadis yang pernah ditolongnya itu. Tidak menyangka
pula kalau gadis itu calon pengantin perempuan untuknya. Bagaimana dengan
Srikaton Munggel" Bagaimana pula dengan sikap
ayahnya nanti" Hal itu akan sangat panjang bila dipikirkan. Sekarang ia melompat
ikut mengeroyok Nilasa-ri Grewek.
Wintara belum bereaksi. Diam-diam ia merasa
kagum akan kehebatan Nilasari Grewek. Meskipun la-
wannya berjumlah tiga orang ia tidak merasa keteter.
Malahan babatan pedangnya membuyarkan serangan
ketiga orang itu. Yang ia khawatirkan adalah gadis
Umbayani, karena ia masih terluka di perutnya. Terlihat jelas kalau bagian
perutnya itu mengembar darah.
Bahkan terdesak dari serangan-serangan nenek be-
rambut putih. Demi melihat itu Wintara melesat ke arah per-
tempuran. Ia cepat menarik tubuh Umbayani dari
sambaran pedang.
"Nona, sebaiknya kau tidak perlu campur tan-
gan. Nenek itu terlalu berbahaya. Menyingkirlah." ujar Wintara.
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sanggup menghadapi keparat itu!" tukas Umbayani.
"Jangan, Nona. Luka di perutmu belum sem-
buh betul. Lihatlah." Umbayani menatap ke bawah.
Benar saja. Perutnya telah banyak mengeluarkan da-
rah lagi. Maka tanpa bicara Umbayani segera melang-
kah mundur. Wintara berbalik menghadapi pertempu-
ran. Resi Wesakih bersama putranya kompak me-
lancarkan serangan. Palu godam menderu-deru berke-
lebat di sekitar tubuh Nilasari Grewek. Sambaran palu itu menggetarkan rambut
putih nenek berbaju merah.
Dari arah lain Arso Lumbing lancarkan puku-
lan tangan kosong yang bertubi-tubi mencecar ke ba-
gian dada. Wintara melompat lancarkan pukulan Bayu
Menghantam Tebing. Nilasari Grewek tidak gentar. Ia menyambut dengan sambaran
Pedang Ular Emas sekuatnya. Maka hantaman Wintara berbalik mengenai
tuannya sendiri. Tak urung Wintara mundur ter-
huyung. Begitu juga dengan Resi Wesakih dan Arso
Lumbing. Saat nenek berbaju merah itu kibaskan pe-
dangnya, anak beranak ini jatuh bangun dibuatnya.
"Hik-hik-hik-hik.... Apa kubilang! Kalian semua bakal mengambang di sepanjang
sungai ini!" ejek Nilasari Grewek. Ia terus memutar-mutar pedangnya se-
hingga timbul suara yang berdesing panjang.
Tak terduga kalau desingan panjang itu meme-
kakkan telinga. Membuat semua orang yang berada di
situ blingsatan. Umbayani erat menutup telinga den-
gan kedua tangannya. Resi Wesakih mempengaruhi
desingan suara itu dengan benturan dua palu godam.
Wintara tidak henti-hentinya keluarkan jurus Bayu
Menghempas Gelombang. Kedua tangannya bergerak
bergulung-gulung menimbulkan suara yang amat ber-
gemuruh. Tapi Nilasari Grewek semakin tertawa men-
gikik memutar pedang tersebut tanpa berhenti.
Arso Lumbing bertahan sekuat tenaga. Telin-
ganya serasa pecah. Pada detik itu ia nekad melompat deras ke arah Nilasari
Grewek. "Arso Lumbing.... Jangan...!" Terlambat. Teriakan Resi Wesakih tidak
diperdulikan. Arso Lumbing
lepaskan babatan pedang pada Pedang Ular Emas yang
tengah berputar sangat cepatnya.
"Traaaaaaaang...!" Benturan kedua pedang itu memercikan api. Dari benturan itu
Aso Lumbing terlempar berdegum di tanah. Tubuhnya kelojotan me-
nyembur darah. Tapi hasil dari terjangan Arso Lumb-
ing melenyapkan suara desingan Pedang Ular Emas.
Resi Wesakih menggeram hebat. Ia nekad pula memba-
las dengan kedua palu godam. Hantaman-hantaman
palu godam disambut dengan babatan-babatan pe-
dang. Suaranya berdentang nyaring.
Tak terkira kalau diam-diam Nilasari Grewek
lepaskan hantaman Tombak Gunung. Resi Wesakih
memekik sambil terhuyung. Nilasari Grewek tidak berhenti. Jurus-jurus Jari
Tombak pun beraksi. Jari-jari Nilasari Grewek yang laksana mata jarum mengais-
ngais ke bagian perut. Disertai pula dengan tusukan pedang. Akibat dari cakaran-
cakaran itu lengan Resi Wesakih tergores dan tersayat mengeluarkan darah.
Setengah mati Wintara menghalangi serangan-
serangan Nilasari Grewek, malah sambaran pedang la-
wannya nyaris memisahkan kepalanya. Tujuan dari
Pendekar Kelana Sakti ini adalah menghindari Resi
Wesakih dari serangan-serangan Nilasari Grewek, karena hanya Wintara yang tahu
kehebatan nenek pen-
guasa Gunung Tunggul. Tapi siapa yang menyangka
kalau sekarang nenek itu mendadak hebat. Apalagi ia menggunakan pusaka Pedang
Ular. Wintara yang selalu dapat membuat nenek penguasa Gunung Tunggul
lari kocar kacir, malah sekarang jadi bulan-bulanan.
Reflek tubuh Pendekar Kelana Sakti menghin-
dari serangan Nilasari Grewek. Setiap gerakannya ia mencari kesempatan untuk
membalas. Maka pada detik berikutnya Wintara tidak tanggung-tanggung le-
paskan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Deeeeer...!" Tubuh Nilasari Grewek mencelat ke belakang. Lalu membentur batang
pohon besar. Dengan murka ia menggeram. Dia babatkan Pedang Ular
Emas sekehendak hatinya. Tapi babatan pedang itu
hanya menumbangkan pohon besar yang ada di bela-
kang. Wintara sudah mundur terlebih dulu. Bahkan
telah bersiap-siap lepaskan hantaman Menyibak Tirai Bayu. Benar saja ketika
Nilasari Grewek maju dengan putaran Pedang Ular Emas. Serangan itu bergulung-
gulung menyerupai putaran sinar kemilau. Hantaman
itu pun dilepaskan sekuatnya oleh Wintara. Kembali
Nenek penguasa Gunung Tunggul memekik. Rambut
putihnya seakan bergetar saat tubuh keriput Nilasari Grewek ambruk di tanah.
"Nenek yang maha sakti, sudi kiranya menye-
rahkan pedang itu pada kami." ujar Wintara. Nilasari Grewek beringsut bangkit.
Ia menyeka aliran darah di sudut bibirnya....
"Chis! Pendekar sialan! Siapa yang tidak tahu
akal busukmu! Bukankah kau pun ingin memiliki pe-
dang ini" Ambillah olehmu sendiri...." jawab Nilasari Grewek, ia malah maju
lancarkan tusukan Pedang
Ular Emas ke arah jantung. Wintara yang berdiri di
hadapannya cepat menghindar lalu lancarkan lagi Tin-ju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar...!" Tak pelak Nilasari Grewek menyemburkan darah. Tubuhnya mencelat
terlempar ke tengah sungai. Tak lama ia bangkit dengan tubuh ba-
sah kuyub. Ia hentakkan kedua kakinya.
"Splaaaaaash...!" Maka terlihatlah satu peman-
dangan yang sangat mengagumkan. Nilasari Grewek
dapat berdiri di atas aliran sungai bening. Lalu tanpa perduli ia melarikan diri
ke sebrang. Larinya sangat cepat, sampai-sampai Wintara dan yang lain tidak
sempat mengetahui ke mana perginya. Tapi suara pa-
rau Nilasari Grewek bergema di sekitar tempat itu....
"Pendekar-pendekar sialan! Kalian akan tahu
rasa nanti! Tunggu saja sampai aku kembali lagi untuk menghancurkan batok kepala
kalian!" Suara itu terus menggema lalu hilang tertelan dengan arus air yang
mengalir. Wintara menghela nafas panjang. Berkali-kali
Nilasari Grewek selalu dapat melarikan diri darinya.
Menyesal sekali Pendekar Kelana Sakti tidak dapat merebut pusaka Perguruan
Pedang Ular. Ia berdiri menatap Resi Wesakih didampingi Arso Lumbing dan Um-
bayani. "Tidak perlu disesali, Wintara. Kita bisa menemukan Nilasari Grewek
lagi. Selama Pedang Ular Emas di tangannya ia akan selalu muncul membuat keona-
ran." ujar Resi Wesakih. Lelaki tua bungkuk ini nampak mengurut-ngurut dadanya.
"Sebenarnya orang macam Nilasari Grewek itu
tidak bisa dibiarkan. Meskipun tua renta, tindakannya melebihi daripada iblis.
Menyesal aku tidak dapat me-lumpuhkannya." desah Wintara.
"Tak jadi soal. Lagi pula ke mana kita harus
mengejarnya" Biarkan saja, nanti setan tua itu pasti muncul lagi." jawab Resi
Wesakih yang mulai pulih.
Lalu ia menoleh pada Arso Lumbing.
"Anakku, bawa keluar Umbamayu kemari." Ar-so Lumbing tidak mengerti akan maksud
ayahnya. "Siapa" Umbamayu?" ulang Arso Lumbing.
"Ya, perempuan yang bersamamu tadi." kata Resi Wesakih.
"Dia Srikaton Munggel, bukan Umbamayu,
Ayah...." "Tidak, kau tahu apa, bawa Umbamayu ke
luar." perintah Resi Wesakih dituruti juga. Maka tak lama Arso Lumbing ke luar
dari gubuk memapah tubuh pingsan Srikaton Munggel.
"Nah, kau perhatikan baik-baik. Apakah kau
masih belum mengenali Umbamayu" Kau lihat Um-
bayani, kau lihat dengan gelas. Srikaton adalah kaka-mu, Srikaton bukan lain
dari Umbamayu. Kakakmu
yang selama dua puluh tahun menghilang."
Baik Arso Lumbing maupun Umbayani teringat
akan masa silam mereka. Dua puluh tahun memang
cukup lama. Membuat mereka melupakan sosok Um-
bamayu yang lenyap itu. Dan ternyata masih ada pula cacad luka di kening
Srikaton Munggel. Cacad lama.
Cacad sewaktu menyelamatkan Umbayani dan Arso
Lumbing terjatuh dari sebuah pohon. Yakinlah seka-
rang kalau Srikaton Munggel adalah Umbamayu. Lalu
bagaimana dengan pertunangan Arso Lumbing dengan
Umbayani"..... Tiba-tiba Arso Lumbing merasakan ke-
palanya berputar tujuh keliling. Kenapa Srikaton harus kakak Umbayani" Kenapa
pula Umbamayu harus
kakak Umbayani, kenapa... Arso Lumbing bisu.
"Tindakannya selama ini di aliran sesat hanya
karena pengaruh tokoh sesat penguasa Gunung Tung-
gul. Kau harus memaafkan segala perbuatannya, Um-
bayani. Selama ini Umbamayu hanya diperbudak. Kau
harus menerima kehadirannya...." ujar Resi Wesakih.
Umbayani tertunduk menitikkan air mata. Di perutnya darah mengembar terus akibat
gerakan-gerakan tadi.
Tapi rasa sakit itu seakan tak terasa saat ia menatap wajah pucat Umbamayu.
Bayangan-bayangan masa silam tergambar menguras habis air matanya.
Arso Lumbing sudah melihat bagaimana sikap
Umbayani, calon pengantin perempuannya. Ia jadi ser-ba salah. Kekikukan itu
dapat dirasakan oleh Resi Wesakih. Lelaki bungkuk ini sempat melihat bagaimana
Arso Lumbing ketika melindungi Umbamayu. Dia ke-
rahkan tenaga mati-matian, bagai membela seorang
kekasih dari maut. Resi Wesakih dapat membaca lewat pikiran tuanya. Apalagi
hampir sebulan ia tidak me-nampakkan diri ke hadapan Resi Wesakih. Dan seka-
rang Arso Lumbing ditemukan dalam keadaan akrab
dengan Umbamayu. Bagaimana pertunangan putranya
itu dengan gadis Umbayani" Kita tidak dapat mengikutinya sekarang. Masih ada
satu kisah lagi yang akan membuat anda semakin haru dan mengerti.
Ikutilah.... Pedang Ular Emas.
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Sakti Tongkat Mustika 5 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Sumpah Palapa 23
gannya siap-siap memegang benda panjang terbung-
kus kain sutra. Tatkala dua orang itu menyerang se-
rempak. Arso Lumbing lepaskan babatan dengan ben-
da itu. * ** 8 "Plaak...!" Kontan keduanya tersungkur ke lan-tai. Namun mereka cepat bangkit
kembali mendampin-
gi Rengga Loka. Pemuda tampan berdiri tenang melin-
dungi Srikaton Munggel.
"Mereka semua orang-orang jahat! Mereka ber-
maksud mengganggu diriku!" ujar Srikaton berlindung di belakang Arso Lumbing.
"Bangsat! Rupanya pemuda bertampang pe-
rempuan ini gundikmu! Menyesal kau akan mati mu-
da, sobat. Kau belum tabu siapa kami!" bentak mereka. Serempak mereka berjaga-
jaga dengan benda pan-
jang yang terbungkus. Matanya memandang berkelil-
ing mengawasi mereka.
Tanpa basa basi lagi ketiga pentolan desa itu
babatkan senjata-senjatanya. Golok dan pedang pating serabut mencecar dari arah
yang tak menentu. Gesit
pula Arso Lumbing berkelit menghindari sambaran-
sambaran senjata mereka. Dia sengaja hanya menang-
kis serangan-serangan itu dengan benda panjang itu.
Meski hanya memapaki begitu, nampak ketiga
lawannya harus kewalahan. Sambaran senjata mereka
selalu meleset. Srikaton dapat melihat akan kehebatan pemuda idamannya. Ia makin
tertarik melihat gerakan-gerakan semacam ilmu pedang yang dikeluarkan oleh
Arso Lumbing. Sudah terlihat jelas kalau ketiga lawannya ini tidak akan sanggup
mengalahkan Arso Lumb-
ing. "Hreaaaaa...!" Sekali lagi Arso Lumbing hentakkan benda terbungkus itu memutar
ke depan.... "Plaaak...! Plaaak!.... Plaaaak!" Ketiga lawannya jatuh bergulingan. Masing-
masing mendapat luka memar di bagian mata. Dua teman Rengga Loka kelojotan
berusaha bangkit. Rengga Loka semakin murka. Terjangannya deras lancarkan
babatan golok. Tapi Arso
Lumbing hanya bergeser cepat ke samping, lalu ka-
kinya menendang....
"Beeeeg!" Tak urung tubuh Rengga Loka mencelat jauh ke luar ruangan. Tubuh laki-
laki penuh brewok itu bergulingan di jalan. Untuk kemudian jatuh
ambruk, ia pingsan.
Dua orang lawannya ragu-ragu menyerang.
Nyalinya jadi keder melihat Rengga Loka tidak bangkit-bangkit. Maka keduanya
lepaskan jurus langkah
seribu. Arso Lumbing hanya melihat bagaimana kedu-
anya lari kocar kacir.
"Huh. Baru punya kepandaian setahi kuku saja
mau unjuk gigi. Jangan lari kalian!" ejek Srikaton sekaligus memuji Arso
Lumbing. Ia memaki-maki terus,
bahkan berlari keluar menendangi tubuh Rengga Loka
yang tidak berdaya tergeletak di tanah.
"Sudahlah, Nona. Kau tidak akan di ganggu lagi oleh mereka." ujar Arso Lumbing
mengulum senyum.
Srikaton kembali lagi menemui pemuda itu.
"Mereka memang perlu diberi hajaran. Bagus-
nya mereka dibikin mampus saja tadi!" gerutu Srikaton Munggel. Arso Lumbing
tidak menyahut. Ia mengikat
kembali benda panjang terbungkus ke punggungnya.
Demi melihat itu Srikaton tahu kalau pemuda ini hendak meninggalkan penginapan.
Apalagi ketika dilihatnya Arso Lumbing sudah membayar pesanannya tadi.
Srikaton Munggel buru-buru menyusul.
"Sobat, kau hendak ke mana bukankah maka-
nanmu belum habis?"
"Selera makanku sudah hilang, Nona. Lagi per-
jalananku masih sangat jauh." jawab Arso Lumbing ia bersikap acuh meninggalkan
Srikaton Munggel. Perempuan cantik ini hanya melongo menatap kepergian
Arso Lumbing. Tapi saat pemuda ini mulai membawa
kudanya, Srikaton Munggel berusaha mengejar.
"Kau mau ke mana" Kalau satu perjalanan kita
bisa berangkat bersama-sama." kata Srikaton Munggel.
"Rasanya tidak mungkin, Nona." ujar Arso
Lumbing. "Kenapa tidak mungkin. Bukankah lebih baik
ada seorang teman dalam perjalanan?"
"Kau tidak akan mengerti."
Srikaton Munggel diam. Maka Arso Lumbing te-
rus menunggangi kudanya berjalan perlahan. Perem-
puan ini seperti kesal. Tak urung juga ia ikut melangkah membuntuti jalannya
kuda itu. Kelakuan Srikaton Munggel menjadi perhatian orang-orang sedesa itu.
Dengan tidak perduli Srikaton Munggel mengikuti te-
rus sampai keluar desa. Ia nekad ingin mengikuti Arso Lumbing ke mana pergi.
Pemuda tampan menghela nafas di atas ku-
danya. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Tapi ia tetap tidak perduli membawa
kudanya berjalan terus.
Matahari semakin tinggi. Arso Lumbing sengaja
mengatur kudanya berjalan perlahan. Sesekali ia melirik ke belakang, dan sosok
molek menggiurkan Srika-
ton Munggel tetap mengikutinya. Apalagi sekarang mereka telah meninggalkan jauh
desa. Sekarang mereka
mengarungi dataran kering berbatu.
Selama itu pula panas menyengat membuat
tenggorokan mereka semakin kering. Tapi Srikaton
Munggel tetap berjalan di belakang tanpa mengenal le-
lah. Padahal keringat sudah mengucur deras di seku-
jur tubuhnya. Langkahnya pun sudah mulai goyah.
Bisa saja Arso Lumbing meninggalkan Srikaton
Munggel dengan memacu kudanya cepat, maka ia bisa
bebas tanpa diikuti perempuan itu. Tapi Arso Lumbing tidak tega untuk berbuat
itu. Manakala langkah-langkah Srikaton Munggel sudah tidak karuan lagi.
Perjalanan Arso Lumbing demi menjemput ca-
lon pengantin perempuan untuknya agak terhambat.
Juga kalau ia bersikap begini terus akan memakan,
waktu yang sangat lama. Tindakannya jadi serba sa-
lah. Tidak mungkin Arso Lumbing meninggalkan begi-
tu saja. Kalau ia mengikut sertakan Srikaton menunggangi kuda bersama-sama, akan
membawa kesan yang
kurang baik. Bagaimana nanti kalau kebetulan mereka bertemu dengan calon
pengantinnya di perjalanan"
Sebagai calon pengantin pria cuma itu yang bi-
sa menjadi beban pikirannya. Berkali-kali ia menghela nafas. Sepanjang dataran
itu seakan tiada batas. Di kejauhan matanya menghampar bukit hijau menghampar
samar. Tidak terasa pula kalau matahari mu-
lai condong ke barat. Langit di atas membias kemerahan. Teringat akan sosok
ramping yang mengikuti
perjalanannya. Tapi setelah Arso Lumbing menoleh ke belakang, sosok Srikaton
Munggel. Dataran kering berubah dingin diiringi hembusan angin. Namun Arso
Lumbing membelalakkan matanya. Srikaton Munggel
bukan hilang atau pergi begitu saja.
Dalam jarak yang sangat jauh Arso Lumbing
dapat melihat sosok ramping Srikaton Munggel terbaring di atas permukaan tanah.
Maka cepat-cepat pemu-
da tampan ini menghela kudanya mendekati. Ia lang-
sung turun di samping tubuh terbaring.
Wajah Srikaton Munggel nampak begitu pucat.
Keringat yang membanjir di sekujur tubuhnya telah
bercampur dengan debu. Melihat itu perasaan iba
muncul. Wajah cantik dalam keadaan begitu mengge-
tarkan jantung Arso Lumbing. Sesaat ia menatap wa-
jah yang sangat menggoda hatinya.
Lalu terpaksa pula ia harus memapah menaik-
kan ke atas kuda. Di atas kuda itu Arso Lumbing
membasahi wajah Srikaton Munggel dengan perse-
diaan airnya. Perempuan itu tetap memejamkan mata
disertai nafas yang pelan. Tubuhnya terasa dingin dalam pelukan Arso Lumbing.
Hari makin gelap. Sambil menjaga tubuh Srika-
ton, pemuda tampan mengendalikan kudanya melang-
kah cepat. Bulan di atas mengambang menerangi per-
jalanan mereka. Srikaton Munggel tetap belum si-
uman. Tidak mungkin kalau Arso Lumbing mene-
ruskan perjalanannya pada malam itu.
Sehingga harus terpaksa pula ia bermalam di
tengah-tengah dataran gersang berbatu. Dengan letu-
pan api unggun Arso Lumbing menghangati tubuhnya.
Srikaton Munggel terbaring berselimut kain tebal. Tapi rasanya, kehangatan api
unggun tiada artinya dibanding udara malam yang semakin dingin menyengat. Ma-
nakala persediaan kayu bakar makin habis berkurang.
"So-sobat... Hh... hah...." Terdengar rintihan Srikaton Munggel. Tubuhnya
menggigil hebat. Kedua
rahangnya terkatup rapat bergetar. Arso Lumbing me-
natap perempuan itu melawan hawa dingin yang tidak
mungkin dapat diatasi. Arso Lumbing mendekatinya.
Ia sendiri pun mulai menggigil.
"Ki-kita akan mati kedinginan.... Brrr...," rintih Srikaton Munggel bergetar. Ia
menarik baju Arso
Lumbing. Arso Lumbing langsung jatuh dalam deka-
pan itu. Terasa sekali perempuan ini bergetar hebat.
Dirasakan pula dekapan Srikaton Munggel semakin
erat. Namun akibat dari sentuhan itu, seperti mengalir kehangatan yang luar
biasa. * ** 9 Rasanya seperti mimpi menghadapi sergapan-
sergapan Srikaton Munggel yang menghanyutkan itu.
Arso Lumbing tak dapat mengelak. Ia malah menyam-
but menggeluti tubuh Srikaton Munggel. Sebagai lelaki Arso Lumbing memang tidak
bisa membohongi diri. Di
malam yang gelap gulita berselimut dingin. Mereka
berdua saling membagi kehangatan.
Tidak ada lagi rasa dingin di antara tubuh me-
reka. Kalau tadi waktu terasa begitu lama menyiksa, kini serasa teramat cepat.
Tidak disadarinya bulan di atas sana sudah bergeser jauh. Manakala tubuh
keduanya menggelepar-gelepar.
Seekor kuda yang berdiri tidak jauh dari situ
seakan merinding menyaksikan sesuatu yang amat as-
ing baginya. Saat itu api unggun telah menjadi bara api. Mengeluarkan asap putih
kehitaman membum-bung tinggi.
Dua sosok masih nampak duduk berpelukan.
Keringat mereka deras mengucur. Srikaton Munggel tidak lagi menggigil. Ia
membiarkan tubuhnya luruh dalam pelukan Arso Lumbing. Pemuda ini diam bagai pa-
tung. Ia tidak ingat apa yang telah dilakukannya terhadap perempuan cantik.
Membiarkannya pula seka-
rang perempuan itu mengelus-elus dadanya.
Arso Lumbing terbuai untuk kedua kalinya. Ia
betul-betul lupa dengan tujuan perjalanannya. Untuk
apa ia melakukan perjalanan sejauh ini, untuk apa pu-la sebenarnya Resi Wesakih
menugaskan dirinya"
Apakah ia tidak teringat sama sekali kalau dirinya harus menjemput seorang
wanita yang kelak menjadi is-
trinya" Seratus persen memang tidak lupa. Tuntutan
badaniah memang selalu dapat berontak dan tak ter-
kendali. Apalagi Arso Lumbing seorang laki-laki normal. Muda dan gagah. Srikaton
Munggel kurang apa.
Tubuhnya yang mulus, wajahnya yang cantik, serta
bentuk tubuhnya yang jarang dimiliki wanita sempur-
na manapun. Pada malam yang dingin ini Arso Lumb-
ing telah menikmati apa yang dimiliki oleh Srikaton Munggel.
Ada sesuatu yang membuat Arso Lumbing mu-
lai tertarik pada Srikaton Munggel. Sekalipun ia menyadari kalau perempuan dalam
dekapannya itu jauh
lebih tua darinya. Seperti yang kita ketahui Srikaton Munggel telah malang
melintang hidup bersama nenek
berambut putih penguasa Gunung Tunggul selama ku-
rang lebih tiga puluh tahun. Ternyata pula kalau Srikaton Munggel benar-benar
masih perawan tulen.
*** Ki Wirayuda setengah tidak percaya ketika
mendengar cerita dari seorang gadis bernama Um-
bayani. Keadaan Umbayani setelah dua hari ini agak
membaik. Sekeliling pinggangnya masih terbalut den-
gan kain perak. Saat ini Umbayani tengah duduk
menghadapi Ki Wirayuda dan Pendekar Kelana Sakti.
"Tidak kusangka kalau nona yang cantik ini
seorang putri dari majikan perguruan Pedang Ular. Tidak disangka-sangka pula
bahwa kita mengalami na-
sib yang sama. Dua perempuan iblis Gunung Tunggul
itupun pernah membuat kami di sini kalang kabut."
ujar Ki Wirayuda.
"Yang kusesalkan hanyalah soal Pedang Ular
Emas, Paman. Biarlah kami gagal dalam pertemuan
hari pertunangan. Asalkan pusaka milik perguruan
kami kembali." Umbayani merenung.
"Kami melihat sendiri Pedang Ular Emas berada
dalam tangan Srikaton Munggel. Pantaslah ia sedemi-
kian hebatnya hari itu. Kiranya ia menggunakan pusa-ka Pedang Ular." jawab Ki
Wirayuda. "Terlalu... Persoalannya akan rusuh. Orang-
orang persilatan akan menganggap ini perbuatan
orang-orang Pedang Ular, padahal...." kata Umbayani lagi. "Kami cukup mengerti,
Nona." tukas Wintara.
"Malah yang membingungkan ini adalah persoalan pertunangan nona."
"Maksud Pendekar Wintara?" Umbayani ker-
nyitkan alls. "Apakah kau tidak tahu sama sekali terhadap
orang yang membawa dirimu ke pemukiman ini?"
tanya Wintara agak menyelidik.
"Bagaimana bisa tahu. Setelah berada di sini
saja, aku betul-betul merasa keheranan. Aku mengira diriku sudah berada di
neraka. Ternyata?" Umbayani menahan tawanya.
"Mungkin kau tidak percaya kalau penyelamat
itu bernama Arso Lumbing." tukas Ki Wirayuda.
"Arso Lumbing?" Mata Umbayani hampir keluar dari rongganya.
"Betul. Kenapa Arso Lumbing tidak mengenali-
mu?" tanya Ki Wirayuda. Suasana diam sesaat. Umbayani hampir tidak percaya.
"Kami sudah dijodohkan sejak kecil. Aku mau-
pun Arso Lumbing sama sekali tidak saling kenal.
Hanya ayah dan paman Rakadewa Geni yang mengenal
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas terhadap calon suamiku."
"Memang sulit untuk mengenali pendekar-
pendekar muda sekarang. Sampai-sampai aku sendiri
sulit mengenali engkau sewaktu dibawa ke sini. Wah-
wah.... Runyam. Sebenarnya kalian sudah saling temu.
Sayang aku yang tua pikun ini tidak tahu situasi." ujar Ki Wirayuda.
"Sekarang persoalannya sudah jelas. Alangkah
baiknya kalau kita mencari Srikaton Munggel untuk
mengambil kembali pusaka Pedang Ular. Sekaligus kita lumpuhkan mereka. Karena
tindakannya sudah di luar
batas." ujar Wintara.
"Jangan dulu. Aku hanya mengusulkan, kalau
Umbayani harus menemui Resi Wekasih untuk menje-
laskan keterlambatan ini. Biarlah dalam hal ini aku tugaskan Pendekar Wintara
menemanimu, setelah itu
terserah pada Resi Wesakih nanti." Usul Ki Wirayuda.
Sebagai orang yang cukup tua usul itu sangat disetujui oleh kedua pendekar muda
ini. "Bagaimana dengan lu-ka-lukamu, Umbayani?" tanya Ki Wirayuda. Laki-laki tua
ini duduk setengah bersandar di atas balai. Tulang rusuknya yang patah belum
sembuh betul. Belum tentu satu bulan dapat pulih. Melihat itu pun Umbayani cepat
menjawab.... "Luka babatan pedang di perut ini memang ma-
sih terasa sekali, Paman. Aku tidak khawatir selama Wintara bersedia membantu.
Siapa yang tidak kenal
dengan Pendekar Kelana Sakti?" ujar Umbayani.
"Kalau begitu pergilah ke kandang, kalian boleh pilih kuda yang kalian sukai."
tukas Ki Wirayuda.
Di atas puncak Gunung Tunggul. Nenek be-
rambut putih berbaju serba merah mondar mandir da-
lam ruangan agak gelap. Rambutnya yang putih beru-
ban bergerak-gerak sebatas pinggang. Raut mukanya
menandakan ia sedang murka.
Berkali-kali ia menendangi tumpukan-
tumpukan jerami yang berserakan dalam ruangan ter-
sebut. Demi kekesalannya, tidak henti-henti ia mema-ki.... "Murid sialan! Murid
tidak tahu balas budi! Ke mana perginya ia mencari obat. Tiga harian Juntreng
belum juga nongol batang hidungnya. Dasar brengsek!"
Tanpa lelah Nilasari Grewek terus berjalan mondar
mandir. Kedua tinjunya mengepal erat.
"Bila kembali ke sini kau akan tahu rasa pe-
rempuan tengik!" Ia mengepal tinjunya sendiri. Lalu seperti biasa ia selalu
duduk di sudut ruangan yang terlindung dari sinar matahari. Di sampingnya ada
sebuah meja kecil pendek. Tersedia pula teh hangat ramuannya sendiri.
Pada meja itu tergeletak pula sebilah pedang
bersinar keemasan. Apalagi kalau bukan Pedang Ular
Emas. Kemarahannya segera lenyap demi melihat pe-
dang tersebut. Tangan keriputnya lantas menimang-
nimang Pedang Ular Emas.
Dalam hatinya ia sangat kagum pada si pencip-
ta Pedang Ular Emas. Entah pengaruh apa yang ter-
kandung dalam pedang ini. Teringat akan Srikaton
Munggel lagi, saat murid tunggalnya itu menghadapi
Pendekar Kelana Sakti dan Ki Wirayuda. Ketika ia
menggunakan pedang tersebut, kemampuan murid
tunggalnya dua kali lipat lebih hebat.
Wajah Nilasari Grewek mendadak pucat. Pera-
saan cemas serta khawatir timbul dengan seketika.
"Dasar aku yang bodoh! Tahunya hanya ngo-
mel! Marah-marah! Menyalahkan Srikaton Munggel!
Tidak pernah memikirkan akan keselamatan murid
tunggalku.... Jangan-jangan ia telah bertemu dengan pendekar-pendekar sial itu.
Celaka! Pastilah Srikaton
Munggel mendapat halangan. Tidak mungkin ia pergi
sampai berlarut-larut!" Nilasari Grewek cemas bukan kepalang.
* ** 10 Selama didampingi Srikaton Munggel, Arso
Lumbing benar-benar lupa daratan. Dalam hati serta matanya hanya Srikaton
Munggel yang selalu nampak.
Tidak ada istilah di antara mereka beda usia. Hubungan mereka makin rapat penuh
kasih sayang. Baik Arso Lumbing maupun Srikaton Munggel
tidak perduli lagi akan tujuan mereka sebenarnya. Kini mereka memilih sebuah
tempat untuk kediaman. Dalam perjalanannya ketika mereka menelusuri aliran
sungai. Mereka menemukan sebuah gubuk yang sudah
tidak ditempati. Mereka sepakat untuk menempati dan membetulkan gubuk reyot
tersebut. Seharian penuh mereka memberesi tempat
tinggal yang baru. Gubuk mereka nampak bagai ru-
mah panggung yang mengambang di atas aliran sun-
gai. Pohon-pohon yang rindang tumbuh di tepi sungai.
Cukup melindungi gubuk mereka dari sinar matahari.
Manakala air sungai begitu bening. Ikan-ikan yang be-renang kian kemari dapat
terlihat berseliweran di bawah gubuk mereka.
Arso Lumbing sengaja membuat tangga kayu
yang menjurus ke bawah. Tangga itu gunanya untuk
turun ke sungai bila ingin mandi atau mencari ikan.
Hampir kebanyakan Arso Lumbing menggunakan ca-
bang-cabang pohon untuk membangun gubuknya.
Cukup tegar dan kokoh.
Seperti hari itu, saat Arso Lumbing selesai
membuat tangga kayu, ia langsung mencari ikan. Se-
belumnya ia memang telah menyediakan tombak runc-
ing dari kayu pula.
"Ha-ha-ha-ha.... Hari ini kita makan besar, Srikaton.... Aku sudah mengumpulkan
lima ekor ikan.
Cepat kau sediakan api!" teriak Arso Lumbing. Di ujung tombak kayunya
menggelepar-gelepar seekor
ikan cukup besar. Di pinggangnya telah terkumpul
empat ekor ikan.
"Dari tadi api sudah meletup-letup, Arso Lumb-
ing. Kau saja yang tidak mendengarnya." jawab Srikaton Munggel. Ia duduk di
teras belakang gubuk. Sejak tadi ia memperhatikan pemuda idamannya.
"Cukupkah lima ekor ikan?" teriak Arso Lumbing yang sudah mengincar seekor lagi
di bawah ka- kinya. "Rasanya tidak. Aku tahu betul kau sangat lelah. Pasti makanmu banyak
sekali." ujar Srikaton Munggel.
"Wah... Kalau menuruti kamu, ikan-ikan di
sungai ini bisa habis." Tak urung Arso Lumbing lancarkan tusukan tombaknya ke
bawah. Air sungai ber-
geming tertembus tombak kayu. Tapi gagal. Ikan incarannya keburu pergi jauh.
"Kampret! Ikan-ikan di sini mulai gesit." Mendengar itu Srikaton Munggel hanya
tersenyum. Ia be-
tul-betul mengakui akan ketampanan Arso Lumbing.
Rasanya pula ia tidak ingin berpisah dengan pemuda
ini. Ia makin jatuh cinta melihat Arso Lumbing telanjang dada, bergerak-gerak
menunjukkan otot-ototnya
yang kekar. Malamnya mereka menyantap hasil tangkapan
Arso Lumbing. Arso Lumbing sanggup menghabiskan
tiga ekor. Berkali-kali pula tenggorokannya terselak, sehingga ia harus cepat-
cepat menenggak air dalam
pundi. Srikaton Munggel sudah selesai makan. Ia
membiarkan Arso Lumbing makan sendirian. Karena
tempat tidur mereka masih berantakan. Ia membenahi
tumpukan alang-alang yang memenuhi sebagian ruan-
gan gubuk, lalu dilapisi dengan selimut tebal. Dia sudah membayangkan, pasti
Arso Lumbing akan tertidur
dengan nyenyak.
Memang benar. Tak lama pun setelah usai ma-
kan, dengkur Arso Lumbing sudah terdengar. Srikaton Munggel duduk bersandar pada
dinding gubuk tanpa
bisa memejamkan matanya. Malam itu ia benar-benar
tidak dapat tidur. Perasaannya seperti mengganjal sesuatu. Dalam kesunyian itu
pikirannya menggambar-
kan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya.
Teringat pula akan seraut wajah keriput Nilasa-
ri Grewek. Nenek yang selalu memakinya tanpa jun-
trungan. Namun kepada nenek itu pula ia selalu ber-
lindung. Kesan-kesannya memang pahit selama tiga
puluh tahun mengekor dalam aliran sesat. Terakhir ia meninggalkan gurunya, dalam
keadaan luka parah.
Bagaimana sekarang keadaannya. Sehat-sehatkah ia"
Tapi karena terlalu banyaknya kepahitan hidup ber-
sama Nilasari Grewek, membuat Srikaton Munggel ti-
dak perduli. Sekarang ia coba-coba menggantungkan
hidupnya terhadap orang yang begitu cepat ia cintai.
Rela pula ia menyerahkan kesuciannya yang selama ti-ga puluh tahun ia
pertahankan. Selama ini pula ia berusaha menyembunyikan diri yang sebenarnya.
Dia sudah bertekad akan mengabdi pada orang
yang dicintainya itu. Andai saja Arso Lumbing menya-kiti hatinya, Srikaton
Munggel tidak akan segan-segan melumuri tangannya dengan darah Arso Lumbing.
Kedua mata Srikaton Munggel memandang
berkeliling menatap dinding gubuk yang begitu kokoh tanpa celah. Ruangan itu
dapat diterangi dengan api unggun yang meletup-letup di tepi sungai, dalam ke-
remangan itu Srikaton dapat melihat benda panjang
terbungkus kain sutra. Benda apa sebenarnya itu.
Benda itu tergantung di dinding. Arso Lumbing ternya-ta sudah lama tidak
menyentuhnya. Hari-harinya di-
habiskan selalu bersama Srikaton Munggel.
Tergerak pula rasa ingin tahu Srikaton Mung-
gel. Tanpa bersuara ia melangkah mendekati benda
yang diam dingin tak bergerak. Cekatan pula tangan-
nya yang mulus itu mulai membuka bungkusan kain
sutra. Sesaat matanya membelalak lebar.
Ternyata benda itu hanya sebilah pedang yang
bersinar keemasan. Bentuk pedang membuat Srikaton
Munggel tidak percaya. Betapa tidak, pedang dalam
tangannya itu tidak lain Pedang Ular Emas.
Dia masih ingat betul ketika ia pernah mere-
butnya dari tangan seorang gadis. Bahkan ia pernah
menggunakannya menumpas rombongan itu. Tapi se-
pengetahuannya, Pedang Ular Emas telah ia berikan
pada Nilasari Grewek, gurunya. Kenapa pedang ini sekarang berada dalam tangan
kekasihnya"
Timbul pikiran yang bermacam-macam. Bagai-
mana mungkin Pedang Ular Emas bisa berada dalam
tangan Arso Lumbing" Apakah ia juga telah merebut-
nya dari tangan gurunya" Kalau begitu.... pastilah Nilasari Grewek telah tewas!
Perasaan itu yang tergambar dalam benak Srikaton Munggel. Arso Lumbing te-
tap mendengkur pulas.
Ada juga sedikit dendam di jantung Srikaton
Munggel. Pikirannya mulai bercabang, manakala Pe-
dang Ular Emas terhunus tajam dalam genggamannya.
Tapi secepat itu pula ia jadi 'Dingin'.
Hidup bersama Arso Lumbing meskipun baru
beberapa hari merasakan dirinya selalu bahagia. Tidak tega ia membunuh Arso
Lumbing dalam keadaan seperti ini. Lagi pula Pedang Ular Emas tidak berarti apa-
apa, pikirnya. Pendekar Kelana Sakti masih dapat
mengalahkan dengan ilmu-ilmu yang dimiliki. Biar saja Pedang Ular Emas menjadi
kebanggaan Arso Lumbing.
Toh pemuda ini merupakan pujaannya.
Cinta memang hebat! Dapat merubah sega-
lanya. Yang baik bisa berubah jahat, begitu juga dengan yang jahat, akan berubah
sebaliknya. Perlahan
Srikaton Munggel membungkus kembali Pedang Ular
Emas itu. Hati-hati pula ia menggantungkan kembali
ke dinding. Lalu ia kembali ke samping Arso Lumbing.
Mengelus-elus sosok pemuda yang tertidur pulas.
*** Keresahan yang disebabkan oleh pendekar-
pendekar muda, bukan hanya menggayuti pikiran Ni-
lasari Grewek. Ternyata pula perasaan itu mence-
maskan seorang tua bungkuk bernama Resi Wesakih.
Kakek bungkuk ini tinggal dalam sebuah goa dekat jeram. Hari pertunangan
putranya telah lewat satu
minggu lebih. Keterlambatan itu sangat keterlaluan.
Resi Wesakih selalu menatap keluar menunggu keda-
tangan orang-orang Pedang Ular. Namun sampai saat
ini, baik orang-orang Pedang Ular maupun putranya
Arso Lumbing belum juga muncul.
Ia hidup seorang diri dalam goa itu. Ternyata
pula goa itu bukan sembarang goa. Di dalamnya lebih nampak seperti layaknya
sebuah bangunan batu yang
ditata sedemikian rapi. Lampu-lampu damar tergan-
tung pada tiap-tiap sudut menerangi ruangan itu. Dalam keresahannya, mendadak
jantungnya bergetar ke-
tika didengarnya derap langkah-langkah kuda.
* ** 11 Serta merta ia langsung berlari keluar. Dari de-
pan pintu ia dapat melihat dua orang berkuda mende-
kati goanya. Jelas terlihat oleh mata tuanya kalau salah seorang dari penunggang
kuda itu seorang perem-
puan. Seorang lagi laki-laki muda berpakaian bulu bi-natang. Resi Wesakih tetap
menunggu mereka dengan
hati yang berdebar. Langkah-langkah kuda berderak
nyaring semakin dekat. Mata tuanya memang tidak
pernah salah. Mereka memang dua muda mudi yang
tengah menuju ke arahnya. Dan ternyata pula dua
muda mudi ini tidak lain Wintara dan Umbayani.
Ketika mereka tiba di mulut goa, Resi Wesakih
berdiri terbungkuk keheranan. Umbayani dan Wintara
segera turun dari kudanya.
"Maaf, apakah kakek yang bernama Resi Wesa-
kih?" sapa Umbayani berjalan ke hadapan kakek
bungkuk berambut putih. Kakek ini tidak langsung
menjawab. Kedua matanya yang hampir tertutup alis
hanya menatap gadis muda itu. Lalu ia mengangguk
perlahan. "Oh, Paman Resi Wesakih!" Melihat itu Um-
bayani langsung berlutut memberi hormat.
"Mata tuaku ini tidak bisa dikelabui, pastilah kau cah ayu Umbayani." Resi
Wesakih mengangkat bangkit Umbayani. Wintara hanya berdiri mengawasi
pertemuan itu. "Mana Pedang Ular Emas dan Arso Lumbing"
Mengapa ia tidak bersama kalian?" tanya Resi Wesakih. Hampir menangis pula
Umbayani mendapat per-
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanyaan itu. Dengan bergetar ia menjawab.
"Mengenai Kakang Arso Lumbing, aku sama se-
kali tidak bertemu dengannya. Karena-karena.... Kami telah dihadang.... Tidak
disangka pula Pedang Ular
Emas di rebut orang." tutur Umbayani.
"Astaga..."! Sebaiknya kita bicara di dalam, Cah ayu. Ceritakan dengan jelas
bagaimana sampai terjadi hal seperti ini. Arso
Lumbing pun belum kembali ke sini." ujar Resi
Wesakih. Kakek bungkuk itu menuntun Umbayani
memasuki goa. Wintara mengikutinya tanpa bicara.
Dalam ruangan itu menyebar bau wangi pendupaan,
Terheran-heran- pula Wintara saat berada di dalam
ruangan goa tersebut. Dirinya tidak mirip di dalam sebuah goa, Mereka bagaikan
dalam sebuah ruangan
megah yang indah.
Di dalam ruangan itu Umbayani menceritakan
panjang lebar mengenai nasibnya. Dimulai dari perjalanannya yang telah terjebak
oleh dua penguasa Gu-
nung Tunggul. Sampai ia berada di pemukiman Ki Wi-
rayuda, lalu bagaimana ia sampai di situ bersama seorang berilmu tinggi yaitu
Pendekar Kelana Sakti.
Resi Wesakih kerutkan kening, sepertinya ada
kesan tersendiri dari penuturan cerita Umbayani.
"Mungkin pula Kakang Arso. Lumbing telah di-
jegal oleh kedua perempuan iblis itu." ucap Umbayani sebagai penutup dari
penuturannya. "Maksudmu, Arso Lumbing telah tewas di perja-
lanannya" Tidak mungkin, Umbayani. Arso Lumbing
cukup dikenal dalam kalangan persilatan, kalaupun ia sudah tewas, pasti kabar
beritanya sudah sampai oleh ku." tukas Resi Wesakih.
"Kalau begitu, bagaimana mengenai pusaka
perguruan Pedang Ular, Paman?" ujar Wintara yang duduk bersebelahan dengan
Umbayani. Kakek bungkuk ini seperti hendak mengekeh.....
"Jangan khawatir. Pedang Ular Emas yang be-
rada di tangan dua penguasa Gunung Tunggul itu ha-
nyalah pedang tiruan buatanku." jawab Resi Wesakih.
Umbayani dan Wintara menatap tidak mengerti. Tapi
Resi Wesakih cepat menjelaskannya.
"Pedang Ular Emas yang asli justru berada di
tangan Arso Lumbing, putra ku. Memang cukup rumit.
Dan kalian juga tidak bakal mengerti."
"Jadi selama ini perguruan Pedang Ular hanya
memegang pusaka buatan Paman?" Umbayani hampir tidak percaya.
"Betul, kisahnya berawal pada dua puluh tahun
yang lalu. Saat Perguruan Pedang Ular menjadi inca-
ran tokoh-tokoh aliran sesat. Dengan gigih ayahmu
mempertahankan nama besar perguruannya. Tentunya
dibantu pula dengan pendekar-pendekar lain. Bahkan
di antara pendekar-pendekar itu ada yang menjadi
korban. Begitu pula dengan tokoh-tokoh sesat, mereka lebih banyak dapat
ditumpas. Semuanya bermaksud
ingin merampas Pedang Ular Emas. Saat itu aku be-
rumur enam puluh tahun. Dengan ilmu yang kumiliki
turut pula membantu ayahmu. Aku memang tinggal di
sana. Arso Lumbing masih berumur tujuh tahun.
Mungkin saat itu kau baru berumur empat tahun,
Umbayani, tentunya kau masih ingat. Waktu itu kau
hidup tidak sendirian. Kau hidup dua bersaudara dengan kakak perempuan bernama
Umbamayu. Masih in-
gat?" "Ingatanku tidak setajam itu, Paman." tukas Umbayani.
"Saat itu kau masih bau kencur yang lugu. Ka-
kakmu Umbamayu selalu mengajak kau bermain. Tapi
ketenangan itu nampaknya tidak langgeng selamanya.
Seorang tokoh sesat berjuluk Penguasa Gunung Tung-
gul datang menyatroni perguruan Pedang Ular. Dengan tujuan yang sama. Ingin
merebut pedang Ular Emas.
Dalam pertempurannya, ayahmu terkena pukulan
Tombak Gunung yang sangat dahsyat. Aku yang men-
gabdi terhadap ayahmu selama puluhan tahun mana
sempat berdiam diri. Nekad pula aku menghadapi pen-
guasa Gunung Tunggul itu. Rupanya keberuntungan
ada di pihak kami, Penguasa Gunung Tunggul dapat
kami usir dengan luka parah yang sama. Hal itu tidak membuat kami tenang. Karena
ia sempat pula membawa Umbamayu kakakmu. Saat itu kami tidak berku-
tik. Karena ia menyandera Umbamayu dan mengan-
cam, Sampai sekian lama akhirnya penguasa Gunung
Tunggul tidak pernah kembali. Umbamayu pun lenyap
bersama tokoh perempuan sesat itu, Setelah itu pun
aku merawat ayahmu sebagaimana layaknya seorang
saudara. Rupanya ayahmu menaruh simpati padaku.
Dalam keadaan sakit ia menjodohkan kau dengan Arso
Lumbing. Mula-mula aku menolak. Aku merasa ku-
rang pantas menerima tawaran yang bagai mimpi. Ka-
rena aku mengingat hanyalah seorang abdi yang ber-
tugas selama bertahun-tahun membuat pedang.
Ayahmu sangat memaksa, dan tawaran tak dapat ku-
tolak. Dia menyuruh membuat tiruan Pedang Ular
Emas. Lebih gila lagi aku ditugaskan memelihara pe-
dang aslinya. Pedang itu kelak akan dipertemukan lewat pertunangan kau dan Arso
Lumbing, Dan sekali-
gus kau menjadi pewaris ayah, karena kakakmu Um-
bamayu hilang tanpa ada beritanya lagi." Resi Wesakih mengakhiri ceritanya.
"Aku yakin Srikaton Munggel adalah kakakmu,
Umbayani. Cerita Paman Resi Wesakih menjelaskan
semuanya." ujar Wintara. Umbayani menatap diam Re-si Wesakih.
"Ada kemungkinan juga. Kalau memang benar
Srikaton Munggel adalah Umbamayu, kita bisa mena-
riknya dari tangan Nilasari Grewek." kata Resi Wesakih.
"Satu-satunya jalan kita harus mencari Nilasari Grewek. Dia harus menerima
pembalasan dariku."
Sumpah Umbayani di hadapan Resi Wesakih.
"Kita juga tidak harus berdiam diri di sini. Nasib Arso Lumbing perlu kita
pikirkan. Kalau memang
tujuannya ke perguruan Pedang Ular tidak mungkin
akan berlarut-larut seperti ini." Wintara kemukakan pendapat. Resi Wesakih
menghela nafas....
"Siapa yang tidak merasa khawatir terhadap
anaknya. Sekali pun aku yakin Arso Lumbing masih
hidup, Kita memang harus mencarinya. Pertunangan
Umbayani dengan anakku harus terjalin. Itu sudah
menjadi amanat majikan Perguruan Pedang Ular." Kakek bungkuk itu seraya bangkit
dari tempat duduknya.
Hutang darah yang terpendam selama dua pu-
luh tahun itu akhirnya terjangkit pula di kalangan
orang tua. Selama dalam goanya Resi Wesakih tidak
menyangka kalau nenek keriput Nilasari Grewek mun-
cul kembali mengaduk-aduk tanah Sungkawarang. Hal
itu tidak bisa dibiarkan. Nilasari Grewek memang tokoh paling sesat dan mesti
ditumpas. Hari itu juga Resi Wesakih mempersiapkan sen-
jatanya. Senjatanya itu merupakan dua buah palu se-
besar kepalan tangan. Dengan senjata itu Resi Wesa-
kih pernah menghantam mundur musuh-musuhnya
pada dua puluh tahun yang lalu. Termasuk pula Nila-
sari Grewek. Kalau saat itu Nilasari Grewek tidak menyandera Umbamayu, tentunya
Nilasari Grewek si
penguasa Gunung Tunggul sudah tamat riwayatnya.
Terhadap Umbayani ini Resi Wesakih memper-
lakukan sebagaimana ia pernah mengabdi pada ayah-
nya. Sekalipun ia calon mertua. Tapi bagaimana si-
kapnya nanti seandainya Srikaton Munggel benar-
benar Umbamayu.
* ** 12 "Aduh Srikaton yang malang, nasib apa geran-
gan yang melandamu, kalau kau tewas di tanah orang
bagaimana dengan nasib ku.... Aduh Srikaton.,.." keluh Nilasari Grewek. Nenek
keriput berbaju serba merah itu mengarungi pinggiran sungai. Ia baru saja turun
dari Puncak Gunung Tunggul. Tangannya erat
menggenggam pedang berkilau keemasan.
"Menyesal aku selalu mencaci maki dan men-
ganggapmu murid tolol. Kiranya tanpa dirimu hidupku begitu kesepian. Aduuuh.....
mudah-mudahan saja
aku bisa menemukan engkau dalam keadaan sehat-
sehat saja. Biar cacad juga tidak apa-apa." keluhnya terus. Meski sosok itu
sudah nampak peyot keriput
serta rambut beruban sebatas pinggang, langkah-
langkah kakinya masih nampak tegar. Tubuhnya begi-
tu ringan. Sehingga dalam beberapa langkah saja kelihatan Nilasari Grewek
seperti berlari. Menyapu tepian sungai. Manakala air sungai sangat bening menam-
pakkan ikan-ikannya. Penguasa Gunung Tunggul itu
tanpa berhenti melangkah.
Dia sengaja mengambil jalan pintas. Jalan yang
jarang dilalui orang-orang. Dengan begitu ia bebas
membawa pusaka Pedang Ular Emas tanpa diketahui
orang-orang persilatan. Nilasari Grewek sebenarnya
enggan membawa pusaka tersebut. Tapi enggan pula
ia meninggalkan pusaka itu dalam gubuknya. Dalam
hatinya dia yakin sekali kalau nanti akan berhadapan dengan orang-orang Pedang
Ular. Dengan begitu peristiwa dua puluh tahun bakal terjadi lagi.
Sementara itu pada jalur sungai mengalir, ter-
dapat sebuah gubuk kayu. Tempat tinggal itu tidak
lain sebuah gubuk panggung yang mengambang di
atas aliran sungai milik Arso Lumbing bersama Srikaton Munggel. Saat itu Arso
Lumbing tidak ada di situ.
Arso Lumbing tengah mencari kayu bakar di pinggiran kali. Sudah sejak tadi
Srikaton Munggel menunggu
kedatangannya, ia duduk di depan teras gubuk. Mena-
tap ke bawah pada aliran air yang begitu beningnya.
Namun dari semalam pikirannya agak kacau. Ada se-
suatu yang ingin ditanyakan pada Arso Lumbing, tapi ia sendiri sengaja menahan-
nahan. Takut kalau perta-nyaannya itu akan meretakkan hubungan mereka
yang selama ini terjalin baik. Pikirannya masih membayang pada pusaka Pedang
Ular Emas. Benarkah Ar-
so Lumbing telah merebutnya dari tangan Nilasari
Grewek" Begitu mudahnya Arso Lumbing dapat meraih
pusaka tersebut. Setahunya, tidak mungkin Nilasari Grewek mau menyerah begitu
saja. Paling tidak mereka harus menghadapi pertarungan dulu. Tentunya pu-
la kalau Pedang Ular Emas berada di tangan Arso
Lumbing, pastilah Nilasari Grewek gurunya telah tewas. Lamunannya buyar saat
datangnya Arso Lumb-
ing memanggul seikat kayu-kayu ranting di punggung-
nya. Pemuda tampan ini tersenyum dari kejauhan.
Srikaton tetap diam tanpa menyahut.
"Aduh dewiku.... Setengah harian penuh aku le-
lah mencari kayu bakar, malah disambut dengan cem-
berut." goda Arso Lumbing.
Dia terus berjalan ke samping gubuk. Srikaton
Munggel tetap acuh. Diliriknya Arso Lumbing tengah
menyusun kayu-kayu ranting kering. Selesai menyu-
sun kayu-kayu itu Arso Lumbing berjalan ke arah Srikaton, lalu duduk di
sampingnya. "Ada apa seharian ini kau jarang bicara." tegur Arso Lumbing. Tubuhnya yang
telanjang dada basah
dengan keringat.
"Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan pada-
mu Arso Lumbing."
"Soal apa" Kau masih belum percaya kalau aku
mencintaimu sepenuh hatiku?"
"Bukan. Bukan soal itu...." Srikaton Munggel ragu-ragu.
"Lalu apa?" Arso Lumbing penasaran.
"Harap kau jangan marah. Kau harus berjanji
dulu." "Hm.... Katakanlah."
"Benda apa sebenarnya yang tergantung di da-
lam?" Srikaton Munggel pura-pura tidak tahu apa yang terbungkus dengan kain
sutra yang tergantung di
dinding. Arso Lumbing kernyitkan alis. Ia teringat akan benda yang jarang
disentuhnya selama berdampingan
dengan Srikaton.
"Cuma itu yang ingin kau ketahui" Benda itu
cuma sebilah pedang. Kenapa?" Arso Lumbing balik bertanya. Ia tidak menyangka
kalau siang itu sikap
Srikaton Munggel agak berubah. Perempuan ini tidak
bicara. Ia langsung bangkit berjalan ke dalam gubuk.
Tak lama keluar lagi dengan membawa benda terbung-
kus kain sutra. Di hadapan Arso Lumbing, Srikaton
Munggel membukanya.
"Katakan dari mana kau dapatkan pedang ini.
Arso Lumbing?" Srikaton Munggel menghunuskan pedang Ular Emas. Arso Lumbing
tenang-tenang saja
menjawab... "Ayahku sendiri yang membuat pedang itu."
"Jangan bohong, Arso Lumbing. Aku tahu be-
nar pusaka ini milik siapa."
"Heh, kau ini kenapa Srikaton. Kau anggap apa
aku ini. Kau pikir aku tukang rebut dan main rampas milik orang lain?" Arso
Lumbing bangkit berdiri menghadapi Srikaton Munggel. Perempuan ini tidak sang-
gup menatap Arso Lumbing. Keduanya berdiri diam.
Srikaton Munggel seperti hendak menangis.
"Srikaton.... Ada apa dengan kau" Kau boleh
memiliki pedang itu. Aku tidak perlu lagi. Semenjak hidup bersamamu, aku menarik
diri dari dunia persilatan. Bahkan aku telah melupakan tugas dari ayahku
sendiri...." Arso Lumbing membujuk.
"Arso Lumbing kuharap kau tidak berdusta...."
Suara Srikaton Munggel terisak. Kedua bola matanya
tergenang air bening. Menatap itu Arso Lumbing makin trenyuh. Maka tak sanggup
lagi Arso Lumbing menahan diri. Ia memeluk tubuh Srikaton Munggel yang terisak
menahan tangis. Namun dengan tiba-tiba saja....
"Srikaton...!" Kedua muda mudi ini mendadak tersentak kaget. Bentakan itu sangat
nyaring. Keduanya serempak menoleh ke arah suara. Tidak jauh, Srikaton Munggel
membelalakkan matanya lebar-lebar.
Sosok Nilasari Grewek berdiri tegak menyaksi-
kan mereka. Tidak percaya pula Srikaton melihat Pe-
dang Ular Emas di tangan gurunya. Lalu pedang apa-
lagi yang ada di tangan Srikaton Munggel" Bentuknya sama tiada beda. Srikaton
Munggel jadi serba salah.
"Susah payah aku mencari-cari kau. Penuh ra-
sa cemas, khawatir, tahu-tahunya lagi enak-enakan di sini bersama seorang anak
Resi Wesakih. Brengsek!"
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bentak Nilasari Grewek.
Arso Lumbing melepaskan pelukannya. Ia juga
hampir tidak percaya melihat sosok
Nilasari Grewek berdiri di hadapannya. Terle-
bih-lebih nenek itu menggenggam Pedang Ular Emas.
Dari mana ia dapat" Pikir Arso Lumbing.
"Murid bejad! Kenapa kau biarkan putra Resi
Wesakih itu! Ayo bunuh!" perintah Nilasari Grewek dengan kedua mata melotot.
"Guru.... Aku...." Srikaton keluar dari teras berjalan menghampiri nenek berbaju
serba merah. Men-
dadak Nilasari Grewek terkejut setengah mati. Srikaton Munggel juga memegang
Pedang Ular Emas.
"Pantas kau tidak kembali ke Gunung Tunggul.
Kiranya kaupun memiliki Pedang Ular Emas juga. Ce-
pat Srikaton, sebelum habis kesabaranku, bunuh dia!"
perintah Nilasari Grewek.
"Tidak bisa, Guru. Arso Lumbing adalah sua-
miku!" tukas Srikaton Munggel.
"Chis, tidak sudi aku bermantukan orang aliran lurus. Baiklah kalau kau tak
sanggup membunuhnya.
Biar aku yang tua keriput membinasakan putra Resi
Wesakih!" Serta merta nenek berambut putih ini merebut pedang dalam genggaman
Srikaton Munggel. Pe-
rempuan ini tidak menyangka kalau gurunya akan
bertindak seperti itu.
Arso Lumbing masih ingat betul akan sosok Ni-
lasari Grewek. Dulu dua puluh tahun yang silam ia
pernah mengenalinya. Saat Arso Lumbing bersama
ayahnya, Resi Wesakih mengabdi pada majikan Pergu-
ruan Pedang Ular. Masih ingat pula bagaimana ayah
Arso Lumbing menghantam mundur nenek berambut
putih itu. Tapi hari ini rupanya, Arso Lumbing menerima
karma dari perbuatan orang tuanya. Kini ia harus
menghadapi serangan Nilasari Grewek. Dengan dua
buah Pedang Ular Emas di tangannya, Nilasari Grewek mencecar habis-habisan
pemuda Arso Lumbing. Nya-tanya pula Arso Lumbing bukan sembarangan orang.
Tidak percuma ia sebagai putra Resi Wesakih.
* ** 13 Meski tanpa menggunakan senjata sekalipun,
Arso Lumbing dapat menghadapi serangan-serangan
nenek keriput berambut putih.
"Aku memang pikun! Mudah melupakan keja-
dian pada dua puluh tahun yang telah lalu. Dan aku
telah mengira pula kalau Resi Wesakih telah mampus, sekarang kehadiranmu ini
membuat kedua mata tuaku
terbuka!" gerutu Nilasari Grewek. Ia memutar kedua Pedang Ular Emas. Maka
bergulung-gulung sinar keemasan. Suara anginnya menderu-deru. Bahkan sam-
pai mengoyak ketenangan arus air sungai. Sekali ia
hentakkan kedua pedang tersebut, Arso Lumbing
menghindar mundur. Sepertinya pula angin mendo-
rong begitu keras membuat dirinya terlempar jauh ke belakang sampai tercebur ke
dalam sungai. "Hak-hak-hak-hak...! Biar tak kesampaian me-
lepas dendam terhadap Resi Wesakih. Jantungku akan
puas dengan mampusnya anak jelek ini,
"Hreaaaaaa...!" Nilasari Grewek menerjang lagi. Ia nekad ikut masuk ke dalam
kali. Saat itu Arso Lumbing sudah berdiri meski harus terendam dalam sungai. Ia
baru tahu akan kehebatan Pedang Ular Emas. Tapi
mengapa sekarang harus ada dua" Apakah Perguruan
Pedang Ular telah kecolongan pusaka itu" Arso Lumb-
ing tidak sempat memikirkan persoalan itu. Serangan Nilasari Grewek datang
begitu cepat. Melihat Arso Lumbing tercecar demikian rupa,
mana mau Srikaton Munggel berdiam diri. Dengan ka-
lap pula ia melompat ke dalam sungai.
"Guru, kau tidak boleh membunuhnya. Karena
Arso Lumbing harus menjadi bapak si jabang bayi ini!"
ujar Srikaton Munggel menghalangi serangan-serangan Nilasari. Nenek berambut
putih hentikan serangan
menatap geram dua muda mudi yang telah basah
kuyub.... "Dasar jalang! Murid tidak tahu diuntung! Se-
baiknya kalian mati bersama dengan pemuda anjing
ini! Pergilah ke akherat. Hiaaaaaaa...!" Nilasari Grewek babatkan dua Pedang
Ular Emas sekaligus ke arah
mereka, tapi Arso Lumbing yang selalu waspada itu
dapat menarik tubuh Srikaton Munggel. Ia segera me-
lesat ke atas hindari babatan-babatan maut tersebut.
Lalu keduanya hinggap persis di tepian sungai.
Dengan sigap Nilasari Grewek menyusul mere-
ka, lentingan tubuh keriputnya sangat cepat tahu-tahu saja ia sudah hinggap
tanpa bersuara di hadapan mereka..... Arso Lumbing siap siaga.... Kedua matanya
menatap jalang. Tak urung juga ia keluarkan jurus-jurus andalannya.
"Baiklah, Nilasari Grewek. Aku tidak pandang
lagi siapa kau. Jelasnya aku pernah tahu kau pernah malang melintang merecoki
Perguruan Pedang Ular.
Seperti apa yang pernah dilakukan Resi Wesakih. Aku pun akan bersikap sama.
Menghentikan perbuatan se-satmu." ujar Arso Lumbing mantap.
Nilasari Grewek tidak perduli, ia terus maju
lancarkan babatan-babatan Pedang Ular Emas. Seran-
gan itu begitu dahsyat. Tapi Arso Lumbing yang telan-
jang dada sigap berkelit mati-matian. Setiap kali gerakannya dapat menghindari
sinar keemasan yang ber-
kelebat cepat. Arso Lumbing yakin dua dari pedang itu, salah satunya 'Asli'.
Karena ia tahu ayahnya pernah membuat pedang tersebut guna pertemuan pertunan-
gannya dengan Umbayani.
Sudah tentu Arso Lumbing tidak akan sanggup
menghadapi amukan Pedang Ular Emas yang asli. Ni-
lasari Grewek sendiri sudah merasakan akan keheba-
tan pedang yang berada dalam genggaman tangan ki-
rinya. Ia bisa bergerak ringan setiap kali ia lancarkan babatan. Dirasakannya
pula pedang itu dapat bergerak sendiri dalam tangannya mencecar ke arah lawan.
Setengah mati Arso Lumbing dibuat jatuh ban-
gun. Pada kesempatan itu Srikaton Munggel datang
membantu. Ia ikut memapaki serangan-serangan gu-
runya. Mati hidup ia sudah nekad akan membantu Ar-
so Lumbing. Ternyata di mata Arso Lumbing, Srikaton Munggel ini seorang
perempuan yang memiliki ilmu setinggi gunung.
Maka makin bersemangat Arso Lumbing mem-
balas serangan ke arah Nilasari Grewek. Menghadapi
serangan balasan itu Nilasari Grewek tidak tanggung-tanggung lepaskan babatan
Pedang Ular Emas di tan-
gan kirinya. Akibatnya sangat dahsyat, meski hanya
terkena sambaran anginnya saja, tubuh Arso Lumbing
terpelanting bergulingan.
Namun terhadap murid tunggalnya, Nilasari
Grewek masih memberi hati. Serangan-serangan Srika-
ton Munggel disambut dengan lesatan-lesatan tubuh.
Tapi justru bertindak seperti itu malah membahayakan dirinya. Karena Srikaton
Munggel menyerang tanpa
memandang kalau Nilasari Grewek adalah gurunya.
"Baiklah, Srikaton...! Kau boleh pilih hidup bersama pemuda itu. Kau boleh hidup
tenang, tapi di sa-
na.... Di akherat!" bentak Nilasari Grewek seraya ia melepaskan Pedang Ular Emas
buatan Resi Wesakih,
Sebenarnya pula ia tidak becus menggunakan senjata
pedang, Hanya saja ia sekarang memiliki Pedang Ular sungguhan yang pernah
menjadi impiannya pada dua
puluh tahun yang lalu.
Srikaton tidak perduli dengan sikap gurunya. Ia
makin gencar lepaskan serangan. Sudah pasti tinda-
kan murid tunggalnya membuat Nilasari Grewek mur-
ka. Maka dengan sebelah tangan kosongnya ia lancar-
kan pukulan Tombak Gunung....
"Deeeer!" Srikaton Munggel tidak sempat mengelak. Hantaman itu telak mendera di
tubuhnya. Tak urung tubuh rampingnya terjungkal ke belakang sam-
bil menyemburkan darah. Melihat itu pun Arso Lumb-
ing cepat melindungi Srikaton. Cepat pula ia meraih Pedang Ular Emas 'Tiruan'
yang tergeletak di tanah.
Srikaton Munggel bangkit terhuyung di belakangnya.
Tapi belum sempat Arso Lumbing lancarkan serangan,
Nilasari Grewek lepaskan lagi hantaman Tombak Gu-
nungnya. "Bledaaaaaar...!" Kerasnya tidak kepalang. Pasangan muda mudi ini kembali
ambruk. Srikaton
Munggel lebih parah. Ia menyemburkan darah berkali-
kali. Arso Lumbing merasakan sekujur tubuhnya re-
muk. Manakala Nilasari Grewek tidak tinggal diam melihat keadaan mereka. Dengan
gerakan yang sangat
cepat ia menerjang lepaskan babatan Pedang Ular
Emas. Tapi Arso Lumbing yang masih dapat bertahan,
menangkis dengan babatan pedang pula.
"Traaaang...!" Benturannya nyaring sekali. Tapi kedahsyatannya jauh dibanding
dengan pedang di tangan Nilasari Grewek. Tentu saja. Karena Arso Lumbing
menggunakan 'Tiruannya'. Arso Lumbing hampir tidak
mampu menahan kekuatan yang maha dahsyat itu.
Kedua tangannya erat menggenggam pedang. Me-
nyambut setiap serangan Nilasari Grewek.
Pandangan Srikaton Munggel mulai nanar. Se-
luruh tubuhnya serasa lemas. Tenaganya benar-benar
ludes terkuras. Manakala rasa sakit di sekujur tubuhnya itu membuat ia hampir
pingsan. Pandangannya ti-
dak lepas menyaksikan bagaimana Arso Lumbing
mempertahankan nyawanya dari maut.
Setiap babatan pedang Nilasari Grewek disertai
dengan teriakan lantang merencah di tubuh Arso
Lumbing. Namun lelaki muda ini tetap berupaya me-
nyingkir, meskipun ia yakin bakal tewas di tangan nenek berambut putih itu.
"Sekarang mampuslah kau, pemuda keparat!
Hreaaaaaa...!" Nilasari Grewek arahkan Pedang Ular Emas kuat-kuat ke batok
kepala Arso Lumbing, tapi....
"Traaaaang...!" Pedang di tangan Nilasari Grewek mendadak bergetar. Suatu benda
melayang-layang
di udara. Kiranya benda itu pula yang menggagalkan
niatnya. Sebuah palu sebesar kepalan. Palu itu terus melayang menjauh dan
kembali pada pemiliknya.
Resi Wesakih sigap menangkap sebelah pa-
lunya. Ia berdiri bringas didampingi dengan Wintara dan Umbayani. Ketiga orang
yang baru datang itu cepat menuju ke pinggiran kali. Nilasari Grewek ker-
nyitkan alls menatap Resi Wesakih.
"Heh, kiranya kau telah menjadi tua bangka be-
jad! Tak kusangka pertemuan ini sangat mengharu-
kan. Kau lihat putramu ini bakal mampus di tangan-
ku!" bentak Nilasari Grewek.
Ketiga orang ini menatap Arso Lumbing bangkit
dengan sebilah pedang bersinar keemasan. Namun da-
ri kejauhan itu Resi Wesakih dapat melihat kalau pedang dalam tangan Arso
Lumbing adalah pedang bua-
tannya sendiri. Mendadak kaget pula saat ia melihat
Pedang Ular Emas dalam tangan Nilasari Grewek.
"Nenek usil! Rupanya kau belum bisa mampus
dengan tenang sebelum melihat pusaka Ular Emas.
Ternyata pula hari ini kau mesti mampus." ujar Resi Wesakih.
*** Umbayani yang berdiri di samping kiri Resi We-
sakih dapat melihat sosok Srikaton Munggel berlumu-
ran darah. Melihat perempuan itu Umbayani jadi ge-
ram. Serta merta ia berjingkat maju.
"Paman, perempuan busuk itulah yang ikut
membantu merampas Pedang Ular Emas dari tangan-
ku. Sekarang ia harus menerima ganjarannya!" Umbayani mementang jurus, tapi
Srikaton Munggel tetap diam dengan pandangan samar.
"Tahan amarahmu, Umbayani." ujar Resi Wesakih. Sesaat pula orang tua bungkuk itu
menatap jelas perempuan berlumuran darah.
"Tidak salah dugaan kita. Srikaton Munggel
yang selama ini mengekor bersama Nilasari Grewek
adalah Umbamayu, kakak mu Umbayani." kata Resi Wesakih pasti. Saat itu Arso
Lumbing membawa tubuh
Srikaton Munggel dari tempat itu. Ia membawa masuk
ke dalam gubuk. Umbayani berdiri mematung. Piki-
rannya bimbang.
"Sekarang kita sudah berkumpul semua di sini.
Selanjutnya bisa kita atasi setelah melumatkan Iblis Keriput ini!" Resi Wesakih
bersiap-siap dengan kedua senjata palunya.
"Hik-hik-hik-hik...! Boleh.... Boleh...! Majulah kalian semua...! Selama Pedang
Ular Emas di tanganku, aku tidak bakal mundur. Juga kepada Pendekar
Kelana Sakti, kau boleh pergi ke akherat lebih dulu!"
kata Nilasari Grewek lantang. Ia langsung menyerang.
Serangannya itu diarahkan pada Wintara. Pendekar
Kelana Sakti tidak perlu menyambut, karena Resi We-
sakih dan Umbayani menghalanginya terlebih dahulu.
Palu godam berturut-turut seakan menghantam
kepala Nilasari Grewek, Umbayani tidak kenal takut
lepaskan hantaman meskipun lawannya menggunakan
pusaka Pedang Ular. Saat itu Arso Lumbing sudah ke
luar dari gubuknya. Dia pun melihat pertarungan tersebut. Gerakan Umbayani
diawasi oleh Arso Lumbing.
Ia masih ingat akan wajah gadis yang pernah ditolongnya itu. Tidak menyangka
pula kalau gadis itu calon pengantin perempuan untuknya. Bagaimana dengan
Srikaton Munggel" Bagaimana pula dengan sikap
ayahnya nanti" Hal itu akan sangat panjang bila dipikirkan. Sekarang ia melompat
ikut mengeroyok Nilasa-ri Grewek.
Wintara belum bereaksi. Diam-diam ia merasa
kagum akan kehebatan Nilasari Grewek. Meskipun la-
wannya berjumlah tiga orang ia tidak merasa keteter.
Malahan babatan pedangnya membuyarkan serangan
ketiga orang itu. Yang ia khawatirkan adalah gadis
Umbayani, karena ia masih terluka di perutnya. Terlihat jelas kalau bagian
perutnya itu mengembar darah.
Bahkan terdesak dari serangan-serangan nenek be-
rambut putih. Demi melihat itu Wintara melesat ke arah per-
tempuran. Ia cepat menarik tubuh Umbayani dari
sambaran pedang.
"Nona, sebaiknya kau tidak perlu campur tan-
gan. Nenek itu terlalu berbahaya. Menyingkirlah." ujar Wintara.
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sanggup menghadapi keparat itu!" tukas Umbayani.
"Jangan, Nona. Luka di perutmu belum sem-
buh betul. Lihatlah." Umbayani menatap ke bawah.
Benar saja. Perutnya telah banyak mengeluarkan da-
rah lagi. Maka tanpa bicara Umbayani segera melang-
kah mundur. Wintara berbalik menghadapi pertempu-
ran. Resi Wesakih bersama putranya kompak me-
lancarkan serangan. Palu godam menderu-deru berke-
lebat di sekitar tubuh Nilasari Grewek. Sambaran palu itu menggetarkan rambut
putih nenek berbaju merah.
Dari arah lain Arso Lumbing lancarkan puku-
lan tangan kosong yang bertubi-tubi mencecar ke ba-
gian dada. Wintara melompat lancarkan pukulan Bayu
Menghantam Tebing. Nilasari Grewek tidak gentar. Ia menyambut dengan sambaran
Pedang Ular Emas sekuatnya. Maka hantaman Wintara berbalik mengenai
tuannya sendiri. Tak urung Wintara mundur ter-
huyung. Begitu juga dengan Resi Wesakih dan Arso
Lumbing. Saat nenek berbaju merah itu kibaskan pe-
dangnya, anak beranak ini jatuh bangun dibuatnya.
"Hik-hik-hik-hik.... Apa kubilang! Kalian semua bakal mengambang di sepanjang
sungai ini!" ejek Nilasari Grewek. Ia terus memutar-mutar pedangnya se-
hingga timbul suara yang berdesing panjang.
Tak terduga kalau desingan panjang itu meme-
kakkan telinga. Membuat semua orang yang berada di
situ blingsatan. Umbayani erat menutup telinga den-
gan kedua tangannya. Resi Wesakih mempengaruhi
desingan suara itu dengan benturan dua palu godam.
Wintara tidak henti-hentinya keluarkan jurus Bayu
Menghempas Gelombang. Kedua tangannya bergerak
bergulung-gulung menimbulkan suara yang amat ber-
gemuruh. Tapi Nilasari Grewek semakin tertawa men-
gikik memutar pedang tersebut tanpa berhenti.
Arso Lumbing bertahan sekuat tenaga. Telin-
ganya serasa pecah. Pada detik itu ia nekad melompat deras ke arah Nilasari
Grewek. "Arso Lumbing.... Jangan...!" Terlambat. Teriakan Resi Wesakih tidak
diperdulikan. Arso Lumbing
lepaskan babatan pedang pada Pedang Ular Emas yang
tengah berputar sangat cepatnya.
"Traaaaaaaang...!" Benturan kedua pedang itu memercikan api. Dari benturan itu
Aso Lumbing terlempar berdegum di tanah. Tubuhnya kelojotan me-
nyembur darah. Tapi hasil dari terjangan Arso Lumb-
ing melenyapkan suara desingan Pedang Ular Emas.
Resi Wesakih menggeram hebat. Ia nekad pula memba-
las dengan kedua palu godam. Hantaman-hantaman
palu godam disambut dengan babatan-babatan pe-
dang. Suaranya berdentang nyaring.
Tak terkira kalau diam-diam Nilasari Grewek
lepaskan hantaman Tombak Gunung. Resi Wesakih
memekik sambil terhuyung. Nilasari Grewek tidak berhenti. Jurus-jurus Jari
Tombak pun beraksi. Jari-jari Nilasari Grewek yang laksana mata jarum mengais-
ngais ke bagian perut. Disertai pula dengan tusukan pedang. Akibat dari cakaran-
cakaran itu lengan Resi Wesakih tergores dan tersayat mengeluarkan darah.
Setengah mati Wintara menghalangi serangan-
serangan Nilasari Grewek, malah sambaran pedang la-
wannya nyaris memisahkan kepalanya. Tujuan dari
Pendekar Kelana Sakti ini adalah menghindari Resi
Wesakih dari serangan-serangan Nilasari Grewek, karena hanya Wintara yang tahu
kehebatan nenek pen-
guasa Gunung Tunggul. Tapi siapa yang menyangka
kalau sekarang nenek itu mendadak hebat. Apalagi ia menggunakan pusaka Pedang
Ular. Wintara yang selalu dapat membuat nenek penguasa Gunung Tunggul
lari kocar kacir, malah sekarang jadi bulan-bulanan.
Reflek tubuh Pendekar Kelana Sakti menghin-
dari serangan Nilasari Grewek. Setiap gerakannya ia mencari kesempatan untuk
membalas. Maka pada detik berikutnya Wintara tidak tanggung-tanggung le-
paskan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Deeeeer...!" Tubuh Nilasari Grewek mencelat ke belakang. Lalu membentur batang
pohon besar. Dengan murka ia menggeram. Dia babatkan Pedang Ular
Emas sekehendak hatinya. Tapi babatan pedang itu
hanya menumbangkan pohon besar yang ada di bela-
kang. Wintara sudah mundur terlebih dulu. Bahkan
telah bersiap-siap lepaskan hantaman Menyibak Tirai Bayu. Benar saja ketika
Nilasari Grewek maju dengan putaran Pedang Ular Emas. Serangan itu bergulung-
gulung menyerupai putaran sinar kemilau. Hantaman
itu pun dilepaskan sekuatnya oleh Wintara. Kembali
Nenek penguasa Gunung Tunggul memekik. Rambut
putihnya seakan bergetar saat tubuh keriput Nilasari Grewek ambruk di tanah.
"Nenek yang maha sakti, sudi kiranya menye-
rahkan pedang itu pada kami." ujar Wintara. Nilasari Grewek beringsut bangkit.
Ia menyeka aliran darah di sudut bibirnya....
"Chis! Pendekar sialan! Siapa yang tidak tahu
akal busukmu! Bukankah kau pun ingin memiliki pe-
dang ini" Ambillah olehmu sendiri...." jawab Nilasari Grewek, ia malah maju
lancarkan tusukan Pedang
Ular Emas ke arah jantung. Wintara yang berdiri di
hadapannya cepat menghindar lalu lancarkan lagi Tin-ju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar...!" Tak pelak Nilasari Grewek menyemburkan darah. Tubuhnya mencelat
terlempar ke tengah sungai. Tak lama ia bangkit dengan tubuh ba-
sah kuyub. Ia hentakkan kedua kakinya.
"Splaaaaaash...!" Maka terlihatlah satu peman-
dangan yang sangat mengagumkan. Nilasari Grewek
dapat berdiri di atas aliran sungai bening. Lalu tanpa perduli ia melarikan diri
ke sebrang. Larinya sangat cepat, sampai-sampai Wintara dan yang lain tidak
sempat mengetahui ke mana perginya. Tapi suara pa-
rau Nilasari Grewek bergema di sekitar tempat itu....
"Pendekar-pendekar sialan! Kalian akan tahu
rasa nanti! Tunggu saja sampai aku kembali lagi untuk menghancurkan batok kepala
kalian!" Suara itu terus menggema lalu hilang tertelan dengan arus air yang
mengalir. Wintara menghela nafas panjang. Berkali-kali
Nilasari Grewek selalu dapat melarikan diri darinya.
Menyesal sekali Pendekar Kelana Sakti tidak dapat merebut pusaka Perguruan
Pedang Ular. Ia berdiri menatap Resi Wesakih didampingi Arso Lumbing dan Um-
bayani. "Tidak perlu disesali, Wintara. Kita bisa menemukan Nilasari Grewek
lagi. Selama Pedang Ular Emas di tangannya ia akan selalu muncul membuat keona-
ran." ujar Resi Wesakih. Lelaki tua bungkuk ini nampak mengurut-ngurut dadanya.
"Sebenarnya orang macam Nilasari Grewek itu
tidak bisa dibiarkan. Meskipun tua renta, tindakannya melebihi daripada iblis.
Menyesal aku tidak dapat me-lumpuhkannya." desah Wintara.
"Tak jadi soal. Lagi pula ke mana kita harus
mengejarnya" Biarkan saja, nanti setan tua itu pasti muncul lagi." jawab Resi
Wesakih yang mulai pulih.
Lalu ia menoleh pada Arso Lumbing.
"Anakku, bawa keluar Umbamayu kemari." Ar-so Lumbing tidak mengerti akan maksud
ayahnya. "Siapa" Umbamayu?" ulang Arso Lumbing.
"Ya, perempuan yang bersamamu tadi." kata Resi Wesakih.
"Dia Srikaton Munggel, bukan Umbamayu,
Ayah...." "Tidak, kau tahu apa, bawa Umbamayu ke
luar." perintah Resi Wesakih dituruti juga. Maka tak lama Arso Lumbing ke luar
dari gubuk memapah tubuh pingsan Srikaton Munggel.
"Nah, kau perhatikan baik-baik. Apakah kau
masih belum mengenali Umbamayu" Kau lihat Um-
bayani, kau lihat dengan gelas. Srikaton adalah kaka-mu, Srikaton bukan lain
dari Umbamayu. Kakakmu
yang selama dua puluh tahun menghilang."
Baik Arso Lumbing maupun Umbayani teringat
akan masa silam mereka. Dua puluh tahun memang
cukup lama. Membuat mereka melupakan sosok Um-
bamayu yang lenyap itu. Dan ternyata masih ada pula cacad luka di kening
Srikaton Munggel. Cacad lama.
Cacad sewaktu menyelamatkan Umbayani dan Arso
Lumbing terjatuh dari sebuah pohon. Yakinlah seka-
rang kalau Srikaton Munggel adalah Umbamayu. Lalu
bagaimana dengan pertunangan Arso Lumbing dengan
Umbayani"..... Tiba-tiba Arso Lumbing merasakan ke-
palanya berputar tujuh keliling. Kenapa Srikaton harus kakak Umbayani" Kenapa
pula Umbamayu harus
kakak Umbayani, kenapa... Arso Lumbing bisu.
"Tindakannya selama ini di aliran sesat hanya
karena pengaruh tokoh sesat penguasa Gunung Tung-
gul. Kau harus memaafkan segala perbuatannya, Um-
bayani. Selama ini Umbamayu hanya diperbudak. Kau
harus menerima kehadirannya...." ujar Resi Wesakih.
Umbayani tertunduk menitikkan air mata. Di perutnya darah mengembar terus akibat
gerakan-gerakan tadi.
Tapi rasa sakit itu seakan tak terasa saat ia menatap wajah pucat Umbamayu.
Bayangan-bayangan masa silam tergambar menguras habis air matanya.
Arso Lumbing sudah melihat bagaimana sikap
Umbayani, calon pengantin perempuannya. Ia jadi ser-ba salah. Kekikukan itu
dapat dirasakan oleh Resi Wesakih. Lelaki bungkuk ini sempat melihat bagaimana
Arso Lumbing ketika melindungi Umbamayu. Dia ke-
rahkan tenaga mati-matian, bagai membela seorang
kekasih dari maut. Resi Wesakih dapat membaca lewat pikiran tuanya. Apalagi
hampir sebulan ia tidak me-nampakkan diri ke hadapan Resi Wesakih. Dan seka-
rang Arso Lumbing ditemukan dalam keadaan akrab
dengan Umbamayu. Bagaimana pertunangan putranya
itu dengan gadis Umbayani" Kita tidak dapat mengikutinya sekarang. Masih ada
satu kisah lagi yang akan membuat anda semakin haru dan mengerti.
Ikutilah.... Pedang Ular Emas.
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Sakti Tongkat Mustika 5 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Sumpah Palapa 23