Pencarian

Dewi Ratu Maksiat 1

Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat Bagian 1


DEWI RATU MAKSIAT Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Dewi Ratu Maksiat
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Malam itu angin berhembus kencang dan
menderu-deru, seolah suatu pertanda bakal da-
tang badai besar. Hawa dingin terasa semakin
menusuk tulang sum-sum. Dan mendung tebal
yang sejak sore bergayut di langit telah berubah
menjadi hujan, menambah suasana kian mence-
kam. Desa Tumpang nampak sepi. Tak satu pun
orang yang berada di luar rumah, kecuali tiga le-
laki yang sedang menjalankan tugas ronda. Kare-
na hujan kian deras, ketiganya hanya duduk ngo-
brol di gardu sambil mengisap rokok kawung.
"Huh..., tidak biasanya malam seperti ini,"
gumam Bondan mengeluh. Matanya sesekali me-
mandang ke luar gardu yang tampak gelap gulita.
Tak ada suara apa pun kecuali deru angin yang
bercampur rintik hujan.
"Iya, aneh. Padahal saat ini musim kema-
rau," sambut Busran. "Mestinya belum ada hujan." "Namanya alam. Siapa yang bisa
memasti-kan.... Tapi, kurasa hujan ini memang aneh," tukas Pardi. "Terus terang,
sejak tadi aku merinding. Jangan-jangan...."
Pardi tak meneruskan kata-katanya. Ma-
tanya memandang dengan tegang ke sekeliling
gardu yang nampak sepi dan gelap, semakin
membuat bulu kuduknya berdiri.
"Jangan-jangan kenapa, Di?" tanya Busran
penasaran karena temannya tidak meneruskan
kata-katanya. "Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Pardi.
"Setan maksudmu?" terka Bondan.
Pardi hanya mengangguk kecil. Matanya
masih membelalak tegang, memandang ke sekelil-
ing yang dirasakan kian mencekam. Apalagi angin
semakin kencang menderu. Bulu kuduknya se-
makin meremang.
Bondan tertawa kecil. Suaranya terdengar
sumbang dan bergetar, karena diliputi perasaan
tercekam. Dia pun merasakan bulu kuduknya
meremang, namun tetap berusaha menekan rasa
takutnya. "Di.... Pardi. Kamu ini kayak anak kecil sa-
ja," gumam Bondan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Sudah tua kok masih
takut dengan setan." "Bukan begitu. Sejak tadi hatiku memang tak enak rasanya.
Dan..., heh... bau kemenyan,
Bon!" tubuh Pardi bergidik ketika hidungnya mencium bau kemenyan yang menyengat.
Sepertinya ada orang yang membakar dupa.
Bondan dan Pardi mengendus-endus, be-
rusaha mencium bau kemenyan. Seketika kedua-
nya merinding di sekujur tubuh, ketika hidung
mereka pun mencium bau kemenyan yang me-
nyengat. Bahkan kemudian bercampur aroma
wangi bunga kenanga, yang mengingatkan mere-
ka pada kematian.
"Benar, Di. Bau kemenyan dan bunga ke-
nanga...," kata Busran dengan mata membelalak.
"Hiii...!"
Bondan semakin bergidik, wajahnya me-
mucat. Rasa takut itu tak hanya melanda hati le-
laki muda itu. Kedua temannya pun semakin me-
rasa tercekam deh suasana gelap, sunyi, dan ha-
wa dingin yang dihembuskan angin. Ketiga pe-
ronda itu sebenarnya ingin sekali meninggalkan
gardu. Namun keadaan di luar membuat mereka
takut Sesaat tak satu pun yang mengeluarkan
suara. Kini yang terdengar hanya rintik hujan dan deru angin kencang.
Wuss! Krak! Ketiga peronda tersentak kaget ketika dari
luar terdengar suara hembusan hawa aneh diser-
tai retaknya tanah. Mereka terpaku di tempat du-
duk masing-masing, seakan tak mampu berbuat
sesuatu. Wuss! Krak! Suara itu kembali terdengar. Tiba-tiba dari
dalam tanah di depan gardu, keluar asap tebal.
Tidak hanya satu kepulan. Ada delapan tempat
yang tanahnya merekah dan mengepulkan asap
putih. Sementara itu getaran-getaran pun mulai
terasa di sekitar gardu ronda.
Mata ketiga peronda itu terbelalak, mena-
tap penuh ketegangan kepulan asap yang keluar
dari retakan tanah. Tubuh mereka menggigil ke-
takutan. Asap putih kehijau-hijauan itu perlahan-
lahan berubah warna. Semakin lama, kepulan-
kepulan asap itu membentuk warna merah darah.
Lalu membentuk sosok makhluk yang mengeri-
kan. Sosok manusia berwajah tengkorak dengan
memakai jubah warna merah darah hingga menu-
tup kepala. Sosok-sosok manusia berjubah dan
tudung merah itu seperti mayat hidup. Mata me-
reka tampak menyorot merah. Dan mulut mereka
bergigi taring.
"Mayat hidup!" sentak Pardi yang telah gu-gup. Matanya semakin membelalak
tegang, me- nyaksikan makhluk-makhluk aneh itu.
"Se... se... setan...!" pekik Busran dengan suara menggeragap.
"Ma... ma... mayat hidup...!" jerit Bondan.
Ketiga peronda itu kini saling merapat ke-
takutan. Tak ada yang berani berlari, karena
makhluk-makhluk itu berada di depan mereka.
Bahkan kini makhluk-makhluk aneh itu bergerak
mendekat. Sepertinya mereka hendak melakukan
sesuatu terhadap ketiga peronda itu, yang sema-
kin ketakutan. Delapan mayat hidup itu mengelilingi gar-
du ronda, membuat ketiga peronda itu bertambah
ketakutan. Terlebih jika memandang ke wajah
manusia-manusia bermuka tengkorak yang ber-
lumuran darah. "Tolong...! Tolooong...!"
"To... tolong...!" ketiga peronda mulai berteriak-teriak. Mereka saling rapat
satu sama lain,
dengan mata membelalak ketakutan memandang
kedelapan manusia bermuka tengkorak yang me-
nyeringai dengan suara-suara yang aneh pula.
Makhluk-makhluk itu tampaknya berbica-
ra dalam bahasa mereka. Kemudian salah satu
dari mereka menunjuk ke arah Busran yang pal-
ing tampan di antara ketiga peronda itu. Sedang-
kan yang di sampingnya mengangguk-anggukkan
kepala, seakan menyetujui apa yang dikatakan
kawannya. Makhluk bermuka tengkorak yang
mengangguk-anggukkan kepala memerintahkan
kepada anak buahnya untuk menangkap Busran.
"Tidak! Jangan...!" pekik Busran berusaha menolak, ketika dua mayat hidup maju
mendeka-tinya dan siap menangkap.
Kedua makhluk aneh itu seperti tak peduli
dengan teriakan Busran. Mereka terus memegang
tangan Busran dan menyeretnya agar ikut
"Jangan...!" teriak Busran meronta-ronta ketakutan. "Tolong...!"
Bondan dan Pardi hanya kebingungan. Ke-
duanya tak tahu harus berbuat apa untuk meno-
long Busran. Mereka merasa tak tahan melihat
wajah makhluk-makhluk aneh yang berlumuran
darah itu. Tubuh kedua peronda itu menggigil.
Tak ada yang berani melangkah untuk menolong
Busran, karena manusia-manusia bermuka teng-
korak itu masih menjaga mereka.
Saking takutnya, Bondan dan Pardi tak sa-
dar terkencing di celana. Wajah mereka pucat pa-
si. Tubuh mereka sudah lemas dan basah oleh
keringat dingin yang keluar karena rasa takut
yang tak terkira.
Wass! Mendadak makhluk-makhluk aneh itu le-
nyap seketika, kembali menjadi asap. Lalu ter-
dengar suara gemuruh pecahnya tanah di sekelil-
ing gardu. Bersamaan dengan itu, kepulan asap
jelmaan makhluk-makhluk aneh itu lenyap.
"Hah"!" kedua peronda yang ketakutan itu membelalakkan matanya semakin tegang
menyaksikan kejadian yang aneh itu. Mereka tak ta-
hu Busran dibawa ke mana oleh makhluk-
makhluk aneh itu.
"Tolong...! Setan-setan!"
Keduanya lari terbirit-birit sambil berte-
riak-teriak. "Tolong! Tolong ada mayat hidup...!"
Warga Desa Tumpang yang mendengar su-
ara teriakan para petugas ronda langsung keluar,
ingin tahu apa yang terjadi. Bahkan Kepala Desa
Tumpang turut keluar.
"Ada apa, Pardi, Bondan" Seperti orang di-
kejar setan saja kalian. Jejeritan di malam begi-
ni?" tanya Ki Kuswara, lelaki kurus tinggi dengan pakaian warna abu-abu tua
lengan panjang. Berwajah angker dengan kumis tebal melintang. Le-
laki berusia sekitar lima puluh lima tahun ini,
merupakan Kepala Desa Tumpang.
"Setan, Ki. Setan-setan itu membawa Bu-
sran," jawab Bondan.
Mendengar laporan Bondan, para warga
yang ada di tempat itu terbelalak kaget. Namun
Kepala Desa Tumpang seakan tak percaya dengan
cerita itu. "Jangan main-main kau, Bondan"!" bentak
Ki Kuswara dengan mata melotot.
"Benar, Ki," timpal Pardi, "Lihat, kami benar-benar ketakutan! Bahkan aku... aku
sampai kencing di celana."
Pardi menunjuk ke selangkangannya. Ce-
lana kolor panjangnya yang berwarna kuning te-
rang basah kuyup dan bau pesing. Bondan pun
berusaha meyakinkan Ki Kuswara dengan me-
renggangkan selangkangan yang basah.
Semua warga yang melihat kedua peronda
itu ngompol, seketika tertawa terbahak-bahak Ke-
sunyian malam yang semula tegang, seketika be-
rubah menjadi riuh oleh gelak tawa mereka. Na-
mun tiba-tiba....
"Tolong! Tolong...!"
Suara jeritan itu ternyata dari rumah Ki
Kuswara. Para warga desa yang mendengar jeri-
tan menantu Ki Kuswara seketika berlarian me-
nuju rumah kepala desa itu.
"Hantu..., hantu...!"
"Setan! Mayat hidup...!"
Para warga yang telah sampai di rumah Ki
Lurah Kuswara langsung berteriak-teriak ketaku-
tan. Mereka melihat makhluk-makhluk aneh ber-
gigi taring dan berlumuran darah tengah berusa-
ha menyeret anak lelaki Ki Lurah Kuswara.
Menyaksikan hal itu, Ki Kuswara yang ti-
dak ingin putranya dibawa kabur oleh makhluk-
makhluk aneh itu segera bertindak. Lelaki seten-
gah baya itu melompat dan menghadang mayat-
mayat hidup itu.
"Berhenti! Lepaskan anakku!" bentak Ki
Kuswara dengan keras, seperti tak takut sama
sekali terhadap makhluk-makhluk aneh yang
menatapnya dengan wajah mengerikan.
Salah satu dari mayat hidup itu mengge-
rakkan tangan, seperti memerintah pada anak
buahnya untuk membereskan Ki Kuswara.
"Hng...!"
Tiga mayat bermuka pucat dan bergigi tar-
ing maju menghadapi Ki Kuswara yang masih
berdiri dengan mata menatap tajam. Sepertinya Ki
Kuswara belum yakin, kalau sosok-sosok mak-
hluk aneh yang menyeramkan itu setan.
"Jangan kira aku takut menghadapi ka-
lian!" dengus Ki Kuswara pada tiga mayat hidup yang menghampirinya. Tapi
ketiganya tak juga
mau membuka kedoknya, justru terdengar suara
menggereng dari mulut mereka.
"Hnghh...!"
Ketiga mayat hidup dengan berang menye-
rang Ki Kuswara. Tangan mereka yang hanya tu-
lang-belulang berkuku panjang dan runcing, me-
nyambar dengan cakaran ke tubuh kepala desa
itu. Seketika itu pula Ki Kuswara tersentak kaget melihat bahwa manusia-manusia
itu ternyata

Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengkorak. "Mayat hidup..."!" tanya Ki Kuswara, seraya mengelakkan serangan ketiga
lawannya. Matanya
masih membelalak tegang, ngeri menyaksikan ke-
nyataan yang ada.
Warga Desa Tumpang yang melihat tangan
manusia-manusia yang menyeramkan itu hanya
tulang-belulang, seketika menjerit ketakutan. Se-
rentak mereka pun lari terbirit-birit. Terlebih-
lebih kedua peronda yang telah melihat sebelum-
nya, langsung lari tunggang-langgang.
'Tolong! Mayat hidup! Tolong...!"
Hiruk-pikuk jeritan warga seketika meng-
gema, memecahkan kesunyian malam. Tak seo-
rang pun warga yang berani membantu kepala
desanya, setelah tahu kalau makhluk itu bukan
manusia. Ki Kuswara terpaksa harus bertarung me-
lawan ketiga mayat hidup seorang diri. Dia telah
telanjur menghadapi ketiga makhluk aneh yang
tentunya siluman itu. Dicabutnya keris yang se-
jak tadi terselip di pinggang. Segera dikerahkan
jurus 'Sambar Nyawa' dengan Keris Lekuk Pitu
yang mengeluarkan sinar hijau.
"Hea!"
Keris Lekuk Pitu di tangan Ki Kuswara ber-
gerak cepat, menusuk ke dada salah satu mak-
hluk siluman. Kilatan cahaya keris itu, terus me-
nyeruak masuk berusaha menekan ketiga lawan-
nya. Sementara itu, makhluk aneh yang tadi
membawa anak Ki Kuswara kini telah raib entah
ke mana. Ki Kuswara hanya sempat menyaksikan
ketika makhluk itu berubah menjadi asap di ta-
nah retak. Hal itu semakin membuat mata kepala
desa itu membelalak tegang dan merasa kebin-
gungan. Kejadian itu rasanya tak masuk akal ba-
ginya yang hanya tahu ilmu olah kanuragan se-
mata, tanpa mengerti ilmu gaib.
Tusukan keras dan cepat Keris Lekuk Pitu
di tangan Ki Kuswara tak dihiraukan oleh lawan-
nya. Jlep! Keris Lekuk Pitu menghunjam ke dada
manusia bermuka tengkorak darah. Keris itu te-
rus menancap ke dalam, seperti disedot suatu ke-
kuatan gaib. Ki Kuswara kembali tersentak kaget
merasakan kejadian yang sangat aneh itu.
"Akh! Kerisku tertarik ke dalam"!" pekik Ki Kuswara kaget. Dia berusaha mencabut
kembali kerisnya dari dada mayat hidup. Namun justru
tubuhnya sendiri tertarik oleh kekuatan tubuh
makhluk aneh itu. Keadaan ini membuat Ki Kus-
wara semakin tegang. Apalagi ketika sekujur tu-
buhnya tiba-tiba tersengat hawa panas, bagaikan
ada api yang menjalar begitu cepat
"Akh!" jerit Ki Kuswara.
"Hngh...!"
Mayat-mayat hidup itu menggeram keras.
Pada saat itu, tubuh manusia siluman yang ter-
tusuk Keris Lekuk Pitu milik Ki Kuswara tiba-tiba bersinar hijau. Sinar itu
terus membesar, menyelimuti sekujur makhluk itu. Kemudian menjalar
ke tangan Ki Kuswara.
"Wua...!" Ki Kuswara menjerit setinggi langit, ketika tubuhnya tersengat sinar
hijau yang keluar dari tubuh manusia siluman. Bagaikan
arus listrik yang kuat, menyambar tubuhnya.
Ki Kuswara berusaha melepaskan cekalan-
nya pada keris yang menancap dada lawan. Na-
mun tangannya dirasakan telah melekat kuat pa-
da keris itu. Sehingga sangat sulit baginya untuk
dapat melepaskan tangannya. Bahkan semakin
kuat berontak, semakin lengket tangannya pada
gagang keris. Semakin kuat pula tenaga tarikan
makhluk aneh itu.
"Hng!"
"Heik-heik!"
"Wuk wek-wek!"
Ketiga mayat hidup itu berbicara dengan
bahasa mereka yang tak dimengerti Ki Kuswara.
Kepala desa itu terus berusaha melepaskan pe-
gangan tangannya pada gagang keris. Dia beru-
saha mengerahkan tenaga dalamnya, namun te-
tap tak mampu melepaskan tangan yang melekat
pada gagang keris.
"Ukh!" Ki Kuswara melenguh lirih. Wajahnya semakin pucat pasi, setelah tenaga
dalam terkuras habis. Matanya membelalak tegang seka-
rat "Wua...!"
Diiringi jeritan tertahan. Ki Kuswara akhir-
nya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan
keadaan tubuh mengerikan. Sekujur wajah dan
tubuhnya pucat pasi bagaikan tak berdarah. Ma-
tanya melotot. "Zzsst! Zzsst!"
Kedua mayat hidup lainnya mengangguk-
anggukkan kepala. "Hng!"
Usai melepaskan tubuh Ki Kuswara, ketiga
mayat hidup menjatuhkan sesuatu dari tangan-
nya tepat di muka kepala desa itu. Ternyata se-
buah benda berupa gambar makhluk aneh ber-
mata merah darah!
Ketiga makhluk aneh menghilang, bersama
asap yang menyelimuti mereka. Mereka masuk ke
tanah, setelah berubah menjadi asap tebal keme-
rahan. 2 Sore telah datang, mentari menggelincir di
ufuk barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam, kemudian hadir
kegelapan yang membawa
suasana mencekam. Para petani pulang dari sa-
wah dengan peralatan terpanggul di pundak.
Burung-burung pun berterbangan pulang
ke sarang masing-masing dengan suara bersahut-
sahutan. Cahaya merah tembaga membias di kaki
langit sebelah barat, seakan ingin menyongsong
malam yang hampir tiba. Desir angin senja hari
menghembuskan hawa dingin, seperti datang ber-
sama kegelisahan.
Dua sosok bayangan nampak melangkah
perlahan di keremangan senja. Kedua muda-mudi
itu saling bersenda-gurau dengan riangnya, me-
nikmati suasana senja yang indah.
"Kakang, nampaknya desa ini tengah ber-
duka," kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut digelung dua di atas.
Kulit gadis itu kuning langsat, hidungnya tidak terlalu mancung.
Matanya agak sipit, dihiasi bulu-bulu lentik.
"Hm," gumam pemuda berpakaian rompi
kulit ular, berambut gondrong agak berombak.
Kulit pemuda itu bersih, wajahnya tampan.
Sangat serasi pasangan muda-mudi itu.
Yang lelaki tampan dan gagah, sedangkan yang
perempuan cantik dan elok. Di pundak gadis can-
tik yang berpakaian Cina, tersandang sebilah pe-
dang. Sedangkan pemuda itu, nampak di ping-
gangnya terselip sebuah suling berkepala naga.
Dilihat dari senjata dan pakaian yang dis-
andang, kedua sejoli itu tak lain Sena Manggala
atau Pendekar Gila dengan kekasihnya, Mei Lie
atau Bidadari Pencabut Nyawa. Pedang di pun-
daknya tentu Pedang Bidadari.
Pendekar Gila meringis sambil tangannya
menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang
ke sekeliling yang nampak sunyi dan sepi. Ada
panji-panji atau benda berwarna hitam terpan-
cang di pintu masuk desa, yang menandakan
bahwa desa tengah berkabung. "Aha, mungkin
kematian biasa, Mei Lie."
"Tapi, Kakang...," potong Mei Lie. "Aha, kau begitu nakal, Mei Lie! Ayolah, kita
cepat pergi! Sebentar lagi malam tiba. Kita harus segera mencari tempat untuk
menginap," ajak Sena sambil meng-gandeng tangan kekasihnya. Namun gadis cantik
itu menolak. "Tunggu, Kakang! Firasatku mengatakan,
pasti telah terjadi sesuatu di sini."
Sena tertawa-tawa mendengar penuturan
Mei Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti
monyet. Hal itu membuat Mei Lie merengut.
Pendekar Gila langsung menghentikan
tingkahnya yang persis orang gila itu, setelah melihat sang Kekasihnya cemberut.
Dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala,
Sena menghela napas panjang.
"Hih hi hi! Nakalmu semakin jadi, Mei Lie.
Ah ah ah, tentunya di desa ini memang telah ter-
jadi sesuatu. Kematian, bukan?" goda Sena, semakin membuat Mei Lie bertambah
merengut. Matanya mendelik ke arah Pendekar Gila yang
masih cengengesan.
"Uuh, Kakang!" keluh Mei Lie cemberut
"Aku bersungguh-sungguh, Kakang."
"Aha, apa aku tidak, Mei Lie?" sahut Sena masih saja menggoda, semakin membuat
Mei Lie bertambah mendelik kesal. "Ah ah ah, gawat kalau begini. Sudahlah, Mei Lie!
Sebentar lagi ma-
lam, kita harus segera mencari penginapan."
Sena kembali mengajak Mei Lie meninggal-
kan tempat itu. Akhirnya gadis itu pun menurut
Keduanya melangkah meninggalkan mulut desa
itu. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba....
"Berhenti!"
Sena dan Mei Lie terkejut. Namun kedua-
nya segera membalikkan tubuh, melihat siapa
yang telah menyuruh mereka berhenti. Nampak
seorang lelaki berbadan kurus dengan kumis pan-
jang melintang, berdiri dengan pandangan penuh
rasa curiga kepada mereka. Di belakang lelaki itu berdiri beberapa orang warga
desa. Wajah mereka
pun menyiratkan kecurigaan terhadap kedua
orang yang itu.
Tiba-tiba Sena tertawa terbahak-bahak.
Tingkah lakunya yang konyol muncul. Dia cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Ke-
mudian tangannya menepuk-nepuk pantat
Menyaksikan tingkah laku pemuda berpa-
kaian rompi kulit ular, seketika lelaki yang berdiri paling depan mengerutkan
kening keheranan.
"Rasa-rasanya aku pernah mendengar ten-
tang pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gi-
la?" tanya lelaki itu dalam hati. Keningnya mengerut, memperhatikan penuh
selidik pada Pendekar
Gila dan Mei Lie. "Dan kalau tak salah, gadis ini yang bergelar Bidadari
Pencabut Nyawa. Benarkah mereka...?"
"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Tiba-tiba
menghentikan langkah kami" Hi hi hi...!" Sena masih konyol, menepuk-nepuk pantat
sambil berjingkrak-jingkrak. Sedangkan Mei Lie nampak
waspada, khawatir kalau orang-orang yang
menghadangnya hendak bermaksud jahat
"Siapa kalian"!" tanya lelaki bernama Rapuji itu ingin membuktikan dugaannya.
"Hi hi hi...! Lucu, lucu sekali kau, Kawan."
Pendekar Gila semakin cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami. Baiklah, kami
sepasang muda-mudi
yang sedang bertualang mengikuti langkah kaki.
Nah, apakah belum jelas?"
"Apa kalian Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa?" tanya Rapuji berusaha memas-tikan. "Ya!" sahut Mei Lie menyela.
"Ada apa kalian menghadang kami?"
"O, maafkanlah tindakan kami yang lan-
cang! Kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bida-
dari Pencabut Nyawa, kami mengharap sudilah
kalian mampir dan singgah ke rumah kami," pin-ta Rapuji.
"Hm, untuk apa"!" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, jangan galak begitu, Mei Lie! Bagai-
mana kalau kita ikuti saja permintaannya" Bu-
kankah kita di sini merupakan tamu?" tanya Pendekar Gila berusaha menenangkan
kekasihnya yang garang. Nampaknya Mei Lie masih ingat ke-
jadian di Lembah Lamur, di mana orang-orang
yang dekat dengannya kedapatan mati. Itu se-
babnya dia tak mudah percaya dengan orang lain.
(Mengenai trauma Mei Lie, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kwan Im"). "Baiklah! Tapi jangan
sekali-kali bermaksud jahat! Aku tak segan-segan membunuh ka-
lian! Bahkan seluruh penduduk desa ini akan
kumusnahkan!" ancam Mei Lie.
"Baiklah, Nini Pendekar," sahut Rapuji penuh hormat.
"Aha, ayolah!" ajak Pendekar Gila.
Keduanya melangkah mengikuti Rapuji dan
warga desa. Sementara langit di sebelah barat su-
dah tak menampakkan bias cahaya matahari.
Dan malam pun telah turun.
*** Rumah Rapuji nampak terang-benderang.
Lampu pelita besar dan lampu gantung yang bi-
asanya tidak dipasang, malam itu dinyalakan se-
mua. Sehingga suasana di dalam rumah itu, khu-
susnya di beranda, terang-benderang. Tiga orang
tampak duduk di kursi rotan, sementara yang
lain duduk bersila di lantai. Nampaknya para
warga tengah berkumpul, setelah kematian lurah
mereka. Yang duduk di atas bangku, Sena, Mei Lie,


Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Rapuji. Ketiganya tengah membicarakan pe-
rihal yang melanda Desa Tumpang yang baru saja
dilanda malapetaka.
Kepada Pendekar Gila dan Mei Lie, Rapuji
menceritakan peristiwa aneh yang terjadi kemarin
di Desa Tumpang. Dengan tenang Mei Lie men-
dengarkan cerita itu. Sementara, Pendekar Gila
tak henti-henti cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala selama Rapuji bercerita. Tentu saja
sikapnya yang aneh dan lucu itu membuat para
warga yang melihat tersenyum-senyum kehera-
nan. "Hm," Pendekar Gila bergumam. Sedangkan Mei Lie nampak terus memperhatikan
dengan seksama setiap cerita yang dipaparkan Rapuji.
"Aneh, mayat-mayat dari mana?"
"Itulah yang kami pikirkan. Keris sakti mi-
lik Ki Lurah Kuswara yang bernama Lekuk Pitu
hilang entah ke mana. Menurut orang yang meli-
hat, keris itu masuk ke dada salah satu mayat hi-
dup itu...."
"Heh"!" Sena tersentak dengan mata mem-
belalak kaget. "Hhh," desah Mei Lie. Wajahnya kelihatan geram mendengar cerita yang dituturkan
Rapuji. "Kurasa ada yang mendalanginya!"
"Entahlah. Ada atau tidak, kami rasa hal
ini harus dicegah...," tandas Rapuji dengan suara geram. "Hm," lagi-lagi
Pendekar Gila bergumam tak jelas. Sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk
kepala. "Apa mereka kalau keluar selalu malam
hari?" tanya Mei Lie.
"Baru kali ini terjadi, Nini. Jadi...,"
"Hm, ada yang tahu persis" Bagaimana
mula mereka keluar?" tanya Mei Lie.
"Saya, Nini Pendekar," sahut seorang lelaki setengah baya yang ternyata Pardi.
"Bisa, Bapak menjelaskan?" pinta Mei Lie yang disambut anggukan oleh Pardi.
Secara singkat dan jelas, Pardi pun mence-
ritakan apa yang telah dialami bersama kedua pe-
ronda lainnya, yang salah satunya menjadi kor-
ban mayat-mayat hidup.
Selama Pardi bercerita Mei Lie memperha-
tikan dengan seksama. Sesekali mulutnya meng-
gumam. Sedangkan Pendekar Gila tampak cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya ada juga bangsa siluman
yang ingin turut campur dengan urusan manusia.
Hi hi hi...! Lucu sekali," Sena tertawa cekikikan.
Tingkah lakunya semakin konyol, membuat se-
mua orang yang ada di situ tersenyum-senyum
melihatnya. "Siluman...?" tanya Rapuji dengan mata
membelalak. "He he he...! Begitulah menurut dugaanku,"
jawab Sena sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Semua terdiam. Mereka merasakan kete-
gangan setelah mendengar penuturan Pendekar
Gila. Hati mereka bertanya-tanya, dari mana si-
luman-siluman itu datang" Lalu hendak bermak-
sud apa mereka datang ke alam manusia"
"Hm, kalau benar mereka bangsa siluman,
bagaimana kita harus menghadapi makhluk
itu...?" tanya Rapuji nampak kebingungan. Jelas akan sulit sekali manusia biasa
sepertinya dan warga desa untuk menghadapi makhluk-makhluk
siluman. Hanya orang-orang yang menguasai il-
mu gaib mampu menghadapi makhluk-makhluk
dari alam gaib seperti itu.
Pendekar Gila nyengir. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepalanya. Dia pun belum bisa
memutuskan untuk berbuat sesuatu atau men-
gambil kesimpulan. Sebab dia sendiri belum tahu
seperti apa makhluk-makhluk siluman itu.
"Aha, sulit juga rasanya," gumam Sena ti-ba-tiba, menyentakkan semua orang yang
ada di situ. Tak terkecuali Mei Lie yang seketika membe-
lalakkan matanya. Hal itu membuat Pendekar Gi-
la nyengir, lalu sambil garuk-garuk kepala melan-
jutkan, "Hi hi hi...! Kurasa, ada baiknya kita membicarakan masalah ini."
"Justru karena itulah, kami mengundang,
Tuan Pendekar singgah di rumahku," sahut Ra-
puji. "Bagaimana, Mei?" tanya Sena.
Mei Lie tak menyahut, hanya mengangguk-
angguk kepala tanda setuju.
"Baiklah kalau begitu. Hm, hari hampir la-
rut, kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan
pembicaraan. Bagaimana kalau kita berpencar-
pencar?" tanya Sena.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie belum menger-
ti. "Mungkin makhluk-makhluk siluman itu
malam ini akan kembali datang. Dan..., kurasa
ada sesuatu di desa ini. Bagaimana kalau kita
menyelidikinya?" usul Pendekar Gila.
"Hm, aku setuju. Apa yang sekiranya me-
nurut Tuan Pendekar baik, aku setuju saja," jawab Rapuji.
Mei Lie kembali hanya mengangguk-
anggukkan kepala, menanggapi usul kekasihnya.
"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Se-
na. "Kami setuju," sahut warga yang berada di rumah Rapuji.
"Aha, bagus! Kuminta beberapa orang un-
tuk meronda. Kalau kalian melihat makhluk itu
datang lagi, segera bunyikan kentongan sebanyak
lima kali. Dengan begitu, aku dan Mei Lie akan
segera datang," ujar Sena memberi saran.
"Gagasan yang bagus," puji Rapuji.
"Sementara yang lainnya, tolong ikuti Ki
Rapuji untuk memeriksa desa ini. Aku dan Mei
Lie akan berada di sebelah barat desa. Kita akan
bertemu jika kita mendengar salah seorang mem-
bunyikan kentongan!" papar Sena menjelaskan.
"Baiklah, kalau begitu malam ini juga kita
mulai," kata Rapuji.
Setelah mengatur rencana sebaik mungkin,
mereka pun segera menjalankan keputusan itu.
Pendekar Gila dan Mei Lie melesat ke arah barat.
Sedangkan Rapuji dan warga desa berjalan ke ti-
mur. Lima orang warga nampak masih berada di
rumah Rapuji berjaga-jaga dengan kentongan siap
di tangan. "Tolong...!"
Baru saja mereka berpencar, tiba-tiba ter-
dengar suara jeritan.
"Tolong! Gendruwo! Setan...!"
Seorang wanita muda menjerit-jerit sambil
berlari ketakutan. Mungkin karena takutnya, wa-
nita cantik itu tak sadar kalau tubuhnya dalam
keadaan setengah telanjang. Hanya kain yang
menutup bagian bawah tubuhnya. Mendengar
suara jeritan itu, Rapuji yang belum begitu jauh
dari rumahnya langsung berbalik arah, diikuti
beberapa warga yang menyertainya. Begitu pula
yang dilakukan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Ada apa, Sukarti?" tanya Rapuji mendapa-ti anaknya nampak ketakutan.
"Ada setan, Ayah! Setan itu membawa pergi
Kangmas Anggoro!" ujar Roro Sukarti sambil menangis ketakutan.
"Hah! Anggoro, menantuku diculik"!"
Rapuji tersentak, matanya membelalak te-
gang mendengar penuturan anaknya.
Anggoro dan Roro Sukarti baru saja meni-
kah seminggu yang lalu. Kini tiba-tiba muncul
mayat-mayat hidup menculik Anggoro.
Semua belum hilang dari kekagetan, tiba-
tiba.... "Setan...!"
"Gendruwo...!"
Terdengar teriakan-teriakan para pendu-
duk sambil berlarian ketakutan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak me-
lihat para penduduk berteriak-teriak ketakutan.
Tingkahnya yang konyol, membuat Mei Lie melo-
tot. Hal itu menjadikan Sena langsung diam.
Meski begitu Pendekar Gila tetap cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ada apa"! Ada apa ini?" tanya Rapuji kepada para warga.
"Rumah kami dirampok!"
"Anak kami yang masih perjaka diculik!"
"Suami saya dibawa. Padahal kami baru
menikah bareng dengan Den Sukaiti," seorang
gadis muda berkulit kuning langsat dan manis
menangis tersedu-sedu.
Rapuji semakin melongo bengong. Dia ti-
dak tahu harus berbuat apa menghadapi para
warga beramai-ramai melaporkan kejadian di ru-
mah mereka. Lelaki setengah baya yang menjabat
sebagai Ketua Desa Tumpang setelah tewasnya Ki
Lurah Kuswara itu tampak kebingungan. Dirinya
tak habis pikir untuk apa para lelaki muda dicu-
lik oleh makhluk-makhluk aneh itu.
*** Belum tuntas Rapuji dan Pendekar Gila
mendengar keterangan dari para warga yang telah
dilanda malapetaka itu, tiba-tiba datang pula be-
berapa orang dari arah selatan. Mereka melapor-
kan baru saja mendengar kejadian serupa di Desa
Kaliwalang. Mendengar laporan itu, Rapuji diser-
tai Pendekar Gila, Mei Lie, dan para warga lang-
sung berlari menuju Desa Kaliwalang yang meru-
pakan desa terdekat dengan Desa Tumpang.
"Ada apa, Ki Rapuji...?" tanya Ki Lurah Rejasa menyambut Rapuji dan beberapa
warga Desa Tumpang. Rapuji menceritakan semua yang terjadi.
Hal itu menjadikan mata Ki Lurah Rejasa membe-
lalak. "Sama dengan kejadian kemarin," gumam Ki Lurah Rejasa. "Aku heran, untuk
apa lelaki-lelaki muda dan tampan dibawa pergi" Kemudian
keesokan harinya mereka telah menjadi mayat
dengan keadaan mengerikan sekali. Bukankah
warga desa sini juga melihatnya?"
Para warga semua terdiam, tak ada yang
berkata. Semua tengah berpikir, bertanya-tanya
dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi di desa
mereka ini. Dan apa yang dikehendaki manusia-
manusia siluman itu.
Hanya Pendekar Gila yang masih terse-
nyum-senyum. Malah bersiul-siul. Wajahnya
memandang ke langit yang gemerlapan.
"Em... kalau aku boleh tahu, apakah
orang-orang yang diculik pernah melakukan se-
suatu pelanggaran. Berbuat jahat misalnya?" Mei Lie menyelidik. Gadis itu masih
memegangi Pedang Bidadari-nya yang mampu mengeluarkan
sinar kuning kemerah-merahan.
Kedua pimpinan desa itu terdiam, berusa-
ha mengingat-ingat apa yang pernah dilakukan
warganya yang hilang diculik.
"Kami rasa tidak," sahut Rapuji.
"Tapi anehnya, mayat-mayat hidup itu
memilih para lelaki muda yang gagah dan berwa-
jah tampan...," sambut Ki Lurah Rejasa.
"Hm, aneh. Untuk apa lelaki-lelaki itu?"
gumam Mei Lie sambil memasukkan pedang ke
dalam warangkanya. Seketika suasana di sekitar
tempat itu menjadi gelap gulita.
Warga desa baru tersentak kaget. Mereka
semua baru sadar kalau yang membuat suasana
di tempat itu terang, ternyata berasal dari pedang Mei Lie. Dengan mata
terbelalak, mereka berde-cak kagum. Tak henti-hentinya mereka meman-
dang wajah Mei Lie, lalu beralih ke Pendekar Gila yang masih acuh dan
cengengesan. "Kalau boleh kami tahu, apakah kalian?"
tanya Ki Lurah Rejasa pada Sena dan Mei Lie,
dengan menyipitkan kedua matanya.
Melihat Ki Lurah Rejasa dan para warga
Desa Kaliwalang tertegun keheranan terhadap
Pendekar Gila dan Mei Lie, Rapuji tampak terse-
nyum. Lalu menoleh ke arah kedua pendekar
muda itu. "Mereka adalah Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa," ujar Rapuji memberitahukan.
Seketika Ki Lurah Kaliwalang dan war-
ganya tersentak kaget. Mereka memang sering
mendengar nama keduanya, tapi baru kali ini me-
lihat orangnya.
"O, terimalah salam hormat kami!" Ki Lurah Rejasa langsung menjura hormat di
hadapan Pendekar Gila dan Mei Lie. Begitu pun para warga
Desa Kaliwalang, mereka membungkuk memberi
hormat tanpa diperintah.
"Aha, sudahlah! Tak perlu kalian berlaku
begitu! Yang penting sekarang bagaimana kita be-
rusaha mencari kesepuluh penduduk yang hi-
lang," kata Sena mengalihkan pada masalah pokok Semua terdiam, tak seorang pun
yang da- pat menjawab pertanyaan itu. Mereka tak tahu
dari mana manusia-manusia siluman itu muncul.
Apalagi untuk mengetahui di mana markas mere-
ka berada. "Bagaimana kalau kita mencarinya di seke-
liling desa?" tanya Mei Lie menyarankan.
"Setuju saja! Tapi, apakah mungkin berada
di sekitar desa ini?" tanya Ki Lurah Rejasa.


Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengenai itu aku tak tahu. Yang pasti, ki-
ta harus berusaha mencarinya," tukas Mei Lie.
"Aha, benar juga pendapatmu, Mei Lie.
Nah, bagaimana?" sambung Pendekar Gila.
?"Kalau begitu, sebaiknya memang segera bertindak," tambah Rapuji.
"Aha, tidakkah kita harus memakai obor"
Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila.
Para penduduk bergegas mencari obor.
Kemudian setelah semuanya selesai, mereka pun
dipecah menjadi empat bagian. Masing-masing
bergerak ke utara, timur, selatan, dan barat. Sua-
sana di dua desa itu seketika menjadi ramai. Di
sana-sini obor menyala, menerangi suasana ge-
lapnya malam. Suara kentongan pun sahut-
menyahut, semakin membuat suasana kedua de-
sa bertambah riuh.
Namun setelah seluruh pelosok desa dikeli-
lingi, tidak juga mereka menemukan tanda-tanda
adanya tempat yang mencurigakan. Hal itu men-
jadikan semuanya terheran-heran dan bingung,
harus bagaimana lagi untuk dapat menemukan
beberapa warga desa yang hilang.
"Hhh..., bagaikan mencari jejak di dalam
air. Tak mudah bagi orang-orang macam kita
memburu makhluk siluman yang tak meninggal-
kan jejak," gumam salah seorang warga Desa
Tumpang. "Hi hi hi...! Lucu sekali. Kita seperti main petak umpet dengan para siluman,"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie menyapukan pandangannya ke se-
keliling tempat mereka berada. Namun sama se-
perti para warga, tak menemukan tanda-tanda
kalau di tempat itu ada yang mencurigakan. Se-
mentara malam kian larut. Namun di sana-sini
masih terdengar suara kentongan dipukul oleh
para warga yang masih bersemangat mencari.
Dan tiba-tiba....
"Ingat Pendekar Gila dan kau Bidadari Pe-
nyabut Nyawa! Kalian telah ikut campur dalam
urusan ini! Kalian akan menyesal...!"
Terdengar suara keras dan berkumandang
mengancam Pendekar Gila dan Mei Lie. Suara itu
seolah-olah berasal dari langit. Dan dari jenis suaranya, ancaman itu sepertinya
diucapkan oleh seorang wanita.
Orang-orang tersentak kaget mendengar
suara tanpa wujud pemiliknya. Mereka kebingun-
gan mencari-cari suara itu dengan mendongak-
kan kepala ke langit yang hanya tampak gelap gu-
lita. Sementara itu, Pendekar Gila justru terta-
wa terbahak-bahak, sepertinya tak takut sama
sekali dengan ancaman yang baru saja didengar-
nya. Bahkan dengan suara lantang Sena balas,
"Ha ha ha...! Siluman jelek! Jangan kira aku takut menghadapimu! Ayo, keluarlah!
Biar kujitak pan-tatmu! Hua ha ha...!" tubuh Sena turut bergetar, karena tawanya
yang terpingkal-pingkal. Kemudian dengan konyol Pendekar Gila menung-
gingkan pantat ke atas sambil berseru, "Nih, kentut busukku! Bruut..!"
Pendekar Gila kembali tertawa-tawa sambil
berjingkrakan tak ubahnya seperti monyet. Hal
itu menjadikan semua penduduk yang ada di
tempat itu terbengong-bengong. Heran bercampur
kagum atas keberanian Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Tunggulah saatnya nanti,
Bocah Gila!" suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih kuat dan menggelegar,
seakan diucapkan
dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat.
"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Siluman! Se-
harusnya akulah yang mengancammu. Karena
kau telah berani melanggar ketentuan Hyang
Widhi. Kau telah berani melanggar garis alam!"
dengus Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu
setelah berjingkrak-jingkrak kembali, ditunggin-
gan pantatnya, "Nih kentutku. Brutt...!"
Suasana tegang yang menyelimuti warga
desa, seketika berubah oleh tingkah laku Pende-
kar Gila yang konyol dan lucu.
Wuuss...! Tiba-tiba angin bertiup kencang laksana
badai, menjadikan semua warga desa tersentak
kaget. Angin besar itu datang dari arah selatan.
"Aha, rupanya kau mau bercanda dengan-
ku, Siluman Jelek"! Baik. Ayo, kita main-main pe-
tak umpet!" Sena melangkah mundur, tangannya bergerak memerintahkan pada semua
warga agar bertiarap. "Kalian mundur semua! Mei Lie, jaga mereka!"
"Baiklah, Kakang...."
Setelah para penduduk mundur, Sena se-
gera menyatukan telapak tangan di depan dada,
kemudian diangkatnya lurus ke atas kepala. Lalu
digerakkan melebar ke samping. Dan setelah me-
narik napas dalam-dalam...
"'Inti Bayu'. Hea...!" diiringi teriakan keras, dihempaskan tenaga dalamnya
lewat kedua telapak tangan. Seketika itu pula serangkum angin
dahsyat laksana prahara menderu kencang. Angin
'Inti Bayu' bergerak kencang, menerjang angin
badai yang entah dari mana datangnya.
Wss! Jlegar! Ledakan dahsyat pun terdengar, ketika dua
angin besar laksana badai saling bertabrakan di
udara. Akibat dari ledakan menggelegar itu, tanah di bawahnya hancur
berhamburan, hingga membentuk sebuah lubang besar dan dalam.
Sesaat kemudian suasana kembali sepi,
tak terdengar suara angin maupun ancaman.
"Hm," gumam Sena tak jelas. Kepalanya
mendongak melihat ke atas, tempat suara anca-
man tadi terdengar. "Malam ini, kurasa dia agak sedikit kapok"
Namun tiba-tiba Sena sangat terkejut, ke-
tika dilihatnya di antara kerumunan penduduk
tak tampak Mei Lie. Sena menggaruk-garuk kepa-
la. "Mei Lie"! Kau lihat Mei Lie, Ki Rapuji..."!"
tanya Sena pada Rapuji. Matanya terus mencari-
cari Mei Lie. Srak! Wess! Sesosok bayangan merah berkelebat cepat
membopong sosok tubuh berpakaian putih. "Mei Lie"!" Sena tersentak kaget melihat
sosok bayangan itu membawa kekasihnya.
Pendekar Gila cepat mengejarnya. Namun
sosok yang membawa Mei Lie sudah menghilang.
Pemuda itu nampak cemas dan menggaruk-garuk
kepala. "Bodoh sekali aku ini!" gumam Pendekar Gila kesal.
3 Sesosok bayangan kemerahan melesat be-
gitu cepat menembus kegelapan malam. Bagaikan
tak menghiraukan dinginnya hawa yang menusuk
ke tulang sumsum, sosok bayangan yang ternyata
seorang lelaki tua itu terus berkelebat. Di pun-
daknya tampak sesosok tubuh wanita berpakaian
putih, terkulai lemas seperti mati. Lesatan cepat yang dilakukan lelaki tua
berjubah merah itu menandakan bahwa ilmunya tak dapat dianggap re-
meh. Gerakannya yang secepat kilat tak dapat di-
lihat mata biasa.
Lelaki tua bercambang panjang dan lebat
itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya
yang tajam menatap liar ke sekeliling tempat itu.
Kini jelas, sosok berpakaian putih yang dipang-
gulnya tak lain Mei Lie. Kekasih Pendekar Gila.
Rupanya sewaktu Pendekar Gila tengah
mengerahkan ajian 'Inti Bayu', menggempur se-
rangan angin badai, lelaki tua berjubah merah itu mendapatkan saat yang tepat
untuk menotok Mei
Lie. Mei lie pun lengah dan tak menduga kalau
ada orang yang tengah mengintainya.
"Ha ha ha...! Aku akan berkuasa! Aku akan
dapat menguasai Jawa Dwipa ini. Ha ha ha...!" lelaki tua itu tertawa terbahak-
bahak. "Ternyata Pendekar Gila hanya seorang pendekar bodoh...!"
kemudian tubuhnya melesat kembali meninggal-
kan tempat itu.
Lelaki itu berharap impiannya untuk men-
guasai semua tokoh persilatan di Jawa Dwipa
akan menjadi kenyataan. Ia masih teringat wang-
sit yang diturunkan untuk dirinya. Wangsit itu
mengatakan: "Siapa yang dapat memperistri seorang gadis bergelar Bidadari Pencabut Nyawa
atau Titisan Dewi Kwan Im, maka kelak akan menjadi tokoh
sakti. Selain itu akan menguasai tanah Jawa Dwipa dan Andalas, serta menurunkan
raja-raja di Pulau Andalas".
Lelaki tua itu terus berlari semakin cepat, seakan tak ingin ada orang lain
melihatnya. Namun ketika melintasi sebuah hutan kecil yang tak
seberapa luas, tiba-tiba....
"Datuk Tambureh, tunggu...!"
Lelaki berjubah merah darah tak menghi-
raukan seruan itu. Hatinya sudah menduga siapa
orang yang memanggilnya. Lelaki tua yang di-
panggil Datuk Tambureh itu terus berlari. Hal itu karena hatinya telah menaruh
rasa curiga terhadap tokoh-tokoh persilatan di Tanah Jawa.
Ternyata lelaki berjubah merah yang ber-
nama Datuk Tambureh inilah tokoh sesat yang
akhir-akhir ini sering membuat keonaran. Lelaki
tua itu mampu membangunkan mayat-mayat
orang jahat dari dalam kubur. Demi tujuan dan
cita-cita yang telah lama didambakannya.
Suatu wangsit telah turun atas dirinya me-
lalui Dewi Ratu Maksiat, yang juga ibu angkatnya.
Datuk Tambureh melakukan penculikan terhadap
para lelaki muda dan tampan untuk dipersem-
bahkan kepada ibunya yang menganut ilmu pem-
buat awet muda. Dengan bersetubuh dan memi-
num darah para pemuda tampan Dewi Ratu Mak-
siat bisa terus awet muda.
"Datuk...! Datuk Tambureh, tunggu...!"
Orang itu kembali berseru sambil berlari
mengejar lelaki tua berjubah merah. Dalam seke-
jap saja, tubuh orang itu berkelebat cepat menyu-
sul Datuk Tambureh, bahkan tiba-tiba telah
menghadangnya. "Berhenti!"
"Apa urusanmu, Orang Usil!" bentak Datuk Tambureh geram.
Lelaki bercadar biru itu tersenyum menge-
jek. "Datuk, rupanya kau pun menghendaki gadis itu. Hem, aku pun jadi ingin
merebutnya dari
tanganmu."
"Bedebah! Jangan, bermimpi!"
"Kenapa tidak, Datuk...!" tiba-tiba terdengar suara orang lain membentaknya,
menjadikan sang Datuk tersentak kaget dan memalingkan wa-
jah ke arah suara bentakan itu.
"Hm...! Rupanya kalian bersekongkol hen-
dak merebut gadis itu. Heh..., jangan kira kalian akan mampu merebutnya.
Langkahi dulu mayatku!" "Begitu?" tanya orang yang baru datang
dengan sinis. Lelaki berpakaian serba hitam itu
ternyata Bulus Wulung yang telah mengejar Da-
tuk Tambureh setelah mendengarkan keterangan
dari ketiga pengusung. Seperti Datuk Tambureh,
kedua orang yang mengejarnya pun telah mengira
siapa adanya Putri Kumala Dewi yang menurut
wangsit kelak akan menurunkan raja-raja di Pu-
lau Andalas. Karena berpegang pada wangsit itu-
lah, ketiga orang tersebut segera memburunya.
Kini putri tersebut berada di tangan Datuk Tam-
bureh, sehingga kedua orang pengejar itu pun
mau tak mau harus menghadang lelaki berjubah
merah. "Ya, begitu, tak ada jalan lain," jawab Datuk Tambureh sinis.
"Hem, kita bertiga," gumam Bulus Wulung yang mengenakan pakaian serba hitam
dengan kedok hitam. "Tak apa. Yang penting salah seorang di
antara kita harus dapat menjadi pemenangnya,"
orang bercadar biru menyarankan, "Bagaimana
kalau kita langsung saling menyerang?"
"Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya,"
sela Datuk Tambureh.
"Kau rupanya takut, Datuk!"
"Bedebah! Jangan kira aku takut mengha-
dapi kalian berdua. Ayo, kalian maju bareng men-
geroyokku! Datuk Tambureh tak akan mundur
menghadapi orang macam kalian," habis berkata begitu, serta-merta Datuk Tambureh
mengibaskan tangannya. Dari kibasan tangan, keluar
ratusan jarum berwarna ungu, melesat ke arah
kedua orang tersebut.
"Awas serangan!" pekik Bulus Wulung
memperingatkan pada rekannya yang dengan se-
gera berkelebat sambil mengibaskan lengan ba-
junya. "Datuk edan! Rupanya kau memang ingin segera mampus!" bentak orang
bercadar biru. Napasnya mendengus bagaikan memendam kekesa-
lan yang hendak ditumpahkan pada Datuk Tam-
bureh. "Terimalah pembalasan dariku! Hiat...!"
orang bercadar biru itu menghantamkan tangan
kanannya ke arah Datuk Tambureh. Sang Datuk
terkesiap kaget, melihat larikan sinar putih melesat dari telapak tangan lawan.
"Hah...! Kaukah Barong Culla?" Datuk
Tambureh terkejut setelah tahu siapa adanya
orang bercadar biru itu. "Kenapa kau ikut campur dalam urusan ini, Barong
Culla!" "Hua ha ha...! Ternyata matamu belum be-
gitu rabun, Datuk" Nah, bila sudah tahu siapa


Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku, mestinya kau menyembah dan rela membe-
rikan gadis itu, padaku...," kata lelaki bercadar biru yang ternyata bernama
Barong Culla. "Enak saja kau ngomong! Aku bersusah-
payah menculiknya, tiba-tiba kau menginginkan
hasil jerih payahku?" bentak Datuk Tambureh.
"Walaupun namamu sudah setinggi langit, Datuk Tambureh tak gentar sedikit pun
menghadapimu. Apalagi menghadapi Bulus Wulung kere macam
temanmu itu!"
"Setan! Rupanya kau memang harus kuha-
jar!" bentak Bulus Wulung marah, karena ucapan Datuk Tambureh dirasakan sangat
menganggap remeh dirinya. Betapapun Bulus Wulung meru-
pakan anggota Panca Leluhur Sakti yang tidak
dapat dipandang remeh. Mendengar ucapan Da-
tuk Tambureh, darahnya seketika mendidih.
"Jangan sombong, Datuk! Kalau kau memang jantan, hadapilah aku!"
Sang Datuk yang telah siap-siap akan
menghadapi dua orang sekaligus, tak mau kalah
berkata lantang. "Majulah kalian berdua sekaligus, jangan tanggung-tanggung!
Biar lebih cepat
selesai!" Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan
dua orang tokoh dari Pulau Jawa dengan ejekan
lawan. Serta-merta keduanya berkelebat menye-
rang Datuk Tambureh. Serangan kedua tokoh
persilatan yang berbeda perguruan itu tampak
begitu kompak. Keduanya berganti-ganti melan-
carkan serangan cepat. Namun begitu, sang Da-
tuk bagaikan tak merasa sedikit pun. Meskipun
lelaki tua itu memanggul tubuh Mei Lie, gerakan-
nya tetap lincah.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Keti-
ganya seperti tak mengenai lelah, saling gempur
dengan jurus-jurus yang mereka miliki. Entah be-
rapa puluh jurus yang dikeluarkan. Karena begitu
cepat pertarungan yang mereka lakukan, keti-
ganya telah terlibat dalam pertarungan sengit
dengan jurus andalan masing-masing.
"Celaka!" Datuk Tambureh tersentak kaget, ketika menyadari dirinya kini telah
sampai di tepi jurang, terdesak oleh kedua lawan yang nampak
makin beringas. "Kalau begini terus-menerus, akulah yang akan kalah. Aku harus
mencari ak-al."
Bulus Wulung dan Barong Culla kurang
waspada memperhatikan gerak-gerik sang Datuk.
Keduanya terjebak oleh serangan-serangan yang
mereka lancarkan.
Melihat musuhnya mendesak ke pinggir ju-
rang, serta-merta Datuk Tambureh memekik ke-
ras. Lalu setelah berbuat begitu, tiba-tiba tubuhnya melenting bersamaan dengan
serangan yang dilancarkan Bulus Wulung dan Barong Culla.
Tanpa dapat dihindari, kedua orang bertutup
muka itu meluncur deras ke jurang.
"Akh...!"
"Hua ha ha...! Terjunlah kalian! Selamat
berpisah, dan bahagialah kalian di akherat sana!"
Setelah sesaat memandang ke dasar ju-
rang, Datuk Tambureh dengan masih tertawa-
tawa berkelebat meninggalkan tempat itu dengan
memanggul tubuh Mei Lie.
Walau dalam keadaan tertotok, saat itu
ternyata Mei Lie telah siuman dari pingsannya.
Sehingga ia pun dapat menyaksikan betapa kedua
orang bercadar itu menemui ajalnya dengan tra-
gis. "Siapa sebenarnya orang ini" Sangat licik dan berilmu tinggi," tanya Mei
Lie dalam hati. Gadis itu merasa cemas, karena lelaki berjubah me-
rah itu merupakan orang bam dalam pengliha-
tannya. "Anak manis, kau akan kubawa ke pulau
tempatku tinggal. Di sana tak seperti di Jawa ini yang serba keras. He he
he...!" Setelah berkata kepada Mei Lie yang masih
dalam keadaan tertotok, Datuk Tambureh melesat
meninggalkan tempat itu.
*** Tak lama setelah Datuk Tambureh pergi,
nampak Pendekar Gila di dekat Jurang Wadas Pa-
rang. Wajahnya nampak murung, kakinya terus
melangkah menuju ke tepi jurang itu. Sesaat Se-
na berhenti. Berdiri sambil memandang sekeliling
tempat itu. Mulutnya cengar-cengir sendirian. Se-
dangkan tangannya terus menggaruk-garuk kepa-
la. Mata Pendekar Gila tiba-tiba membelalak,
ketika melihat beberapa tapak kaki yang masih
jelas membekas di tanah agak basah.
"Ah, rupanya baru saja ada pertarungan di
sini," gumam Sena sambil menggaruk-garuk ke-
pala. Sena segera menyelusuri jejak-jejak kaki
itu. Hatinya merasa heran ketika mengetahui
bahwa telapak-telapak kaki itu ternyata memba-
wanya ke tepi jurang. Seketika mata Pendekar Gi-
la semakin menyipit, tatkala dilihatnya jejak-jejak kaki itu hilang tepat di
bibir jurang. "Tak salah!" gumam Sena sambil meman-
dang ke dasar jurang yang nampak gelap gulita.
"Heh, benar!" Sena memekik setelah mena-jamkan pendengarnya.
Tiba-tiba terdengar suara orang dari dalam
jurang. Namun belum nampak orangnya. "Hai,
Kisanak yang berada di atas, dapatkah menolong
kami?" "Hi hi hi...! Ternyata di bawah sana bukan
hanya seorang," gumam Pendekar Gila sedikit kaget
Sejenak Pendekar Gila berpikir, akan dito-
long atau tidak kedua orang itu. Sebab dia belum
tahu yang di dalam jurang itu orang jahat atau
baik. Tampak tangannya mulai menggaruk-garuk
kepala sambil cengengesan.
"Hai...! Kawan yang di atas, apakah kau tak
mendengar seruan kami ini"!" terdengar kembali seruan seorang yang berada di
bawah. Pendekar
Gila kembali berpikir sambil menggaruk-garuk
kepala. "Aku harus menolong kedua orang di bawah sana. Siapa tahu mereka bisa
memberi kete- rangan padaku. Mungkin mereka melihat orang
yang membawa Mei Lie," kata Sena dalam hati.
Sesaat lamanya suasana kembali sunyi,
tak terdengar lagi teriakan orang dari dalam ju-
rang. "Hai...! Aku akan menolongmu. Tap kalian harus mau menjawab pertanyaanku
dengan ju-jur...." Kedua orang di bawah jurang, Bulus Wulung dan Barong Culla
nampak saling pandang.
Keduanya terluka di bagian kepala dan punggung.
"Apa yang akan kau tanyakan, Kawan.."!"
seru Barong Culla sambil mendongak ke atas.
"Apa kalian tadi melihat seseorang lewat di
sini memanggul seorang wanita..."!" Pendekar Gi-la menengok ke bawah seakan-akan
ingin melihat kedua orang itu. Namun suasana gelap gulita dan
kedalaman jurang membuatnya tak mampu meli-
hat "Hah"!" gumam Bulus Wulung menge-
rutkan kening, "Yang dimaksud mungkin datuk
keparat itu...!"
"Ya. Sebaiknya kita beritahu saja, siapa ta-
hu kita peralat orang itu. Untuk menangkap Da-
tuk Tambureh. Bagaimana"!" usul Barong Culla pada Bulus Wulung.
"Hai kalian yang di bawah, kenapa diam"
Maukah kalian" Atau ragu terhadapku..., baiklah
aku pergi...!" seru Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tunggu...! Kami setuju, sekarang cepat to-
long kami!" seru Barong Culla.
"Hi hi hi...! Lucu orang-orang itu," gumam Pendekar Gila, "Baiklah, sebelum aku
menolong kalian, cepat jawab pertanyaanku tadi! Nanti aku
akan menolong kalian!" serunya kemudian.
"Hah"!" gumam Bulus Wulung sambil men-
gerutkan kening. Lalu menatap wajah Barong
Culla, "Bagaimana...?"
"Apakah mulutmu bisa kami percaya"!"
tanya Barong Culla.
"Ah ah ah! Kalian ternyata orang-orang
yang terlalu banyak mulut Aku sudah tak ada
waktu lagi, selamat tinggal...!"
Selesai bicara begitu Pendekar Gila segera
melesat pergi meninggalkan jurang itu.
"Hai! Kawan, tunggu!" seru Bulus Wulung dengan kesal dan cemas.
"Siapa orang di atas tadi..."! Kurang
ajar...!" dengus Barong Culla sambil memukul telapak tangannya.
Barong Culla dan Bulus Wulung orang-
orang yang memiliki ilmu tinggi. Dengan tenaga
dalam atau ilmu merusak tubuh, mereka dapat
keluar dari jurang itu. Hanya saja keduanya
mempunyai maksud jahat pada Pendekar Gila.
Dan itu diketahui oleh Sena yang mempunyai pe-
rasaan sangat peka.
4 Di kediaman Dewi Ratu Maksiat malah se-
dang diadakan suatu pesta untuk menyambut
keberhasilan Datuk Tambureh, anak angkatnya
Dewi Ratu Maksiat yang bernama Asri Srintil
Arum. Ruangan cukup luas di sebuah goa yang
terletak di kaki Gunung Kelud, suasana tampak
semarak. Dewi Ratu Maksiat dikelilingi empat le-
laki muda yang telah menjadi abdinya sebagai
pemuas nafsu. Pelampiasan nafsu kepada para le-
laki muda itu merupakan syarat utama untuk
menciptakan ilmu kekebalan dan awet muda yang
dimiliki Dewi Ratu Maksiat
"Hi hi hi...! Putraku Tambureh, kau telah
melaksanakan tugas dengan baik, untuk ibu-
mu...," kata Dewi Ratu Maksiat seraya tersenyum bangga. Mata wanita cantik itu
menatap lembut Datuk Tambureh. Pakaiannya yang tipis terbuat
dari sutera merah, hanya menutupi bagian dada
dan bagian bawah sampai perut.
"Terima kasih, Bu...," sambut Datuk Tambureh sambil menundukkan kepalanya.
"Dan kau telah berhasil menculik si Bida-
dari Pencabut Nyawa. Aku bangga mempunyai
putra seperti kau. He he he...! Aku akan mengua-
sai dunia ini. Dan putra angkatku, Datuk Tambu-
reh akan menjadi orang yang paling sakti dan di-
takuti oleh tokoh-tokoh persilatan di Jawa Dwipa
ini. Hi hi hi...!" ujar Dewi Ratu Maksiat diiringi tawanya yang cekikikan. "Tapi
ingat, kau harus segera pergi dari tanah Jawa Dwipa ini! Dan bawa
gadis Cina itu ke Pulau Andalas!" lanjutnya.
"Baik, Bu...," jawab Datuk Tambureh pa-
tuh. "Tapi, bagaimana kalau Pendekar Gila mengetahui hal ini..."!" lelaki
berjubah merah itu tak mampu menyembunyikan rasa cemasnya.
Sejenak Dewi Ratu Maksiat mengerutkan
kening, tak langsung menjawab pertanyaan Da-
tuk Tambureh. Kemudian ditariknya seorang lela-
ki yang ada di sisi kirinya, lalu memerintahkan
agar menciumi dada dan seluruh tubuhnya. Lela-
ki yang telah menjadi budak nafsu wanita itu me-
nyanggupi. "Jangan pikirkan itu, Tambureh! Aku bisa
mengatasi Pendekar Gila dengan caraku! Apa kau
lupa, aku memiliki seribu cara dan tipu musli-
hat"! Percayalah pada ilmu ini, Tambureh...! He
he he.... Aaahhh!"
Dewi Ratu Maksiat lalu mendesah merasa-
kan raba dan ciuman lelaki yang menjadi budak
nafsunya. Datuk Tambureh hanya menghela napas
dan menggeleng kepala, melihat tingkah laku ibu
angkatnya itu. Namun dia bisa memaklumi, lalu
tersenyum-senyum.
"Besok, pagi-pagi buta kau harus segera
berangkat, Tambureh. Mengerti"!" kata Dewi Ratu Maksiat sambil membuka penutup
dadanya. Lalu didekapnya kepala lelaki yang menjadi budak naf-
sunya ke dalam dadanya yang bagus dan agak
besar itu. Dewi Ratu Maksiat mendesah dan merintih
merasakan nikmatnya permainan itu.
Datuk Tambureh lalu melangkah pergi me-
ninggalkan ruangan itu dengan menggeleng-
gelengkan kepala.
Ketika sampai di satu ruangan lain. Datuk
Tambureh nampak seperti memikirkan sesuatu.
Dia mondar-mandir di ruangan yang nampak sepi
dan gelap itu. "Kenapa aku mesti pergi ke Pulau Anda-
las"! Tidak! Aku tak mau dikatakan oleh Pendekar
Gila sebagai pengecut, karena telah melarikan ke-
kasihnya. Tidak!" sentak Datuk Tambureh lirih, seolah bicara pada diri sendiri.
Kembali Datuk Tambureh berpikir sambil
memegangi keningnya. Sejenak dia memandang
ke sebuah pintu ruangan yang ada di sebelah ki-
rinya. "Tapi, kalau ibuku tahu aku tak berangkat, dia akan murka...! Aku harus
mencari akal. Aku
tak ingin kembali ke Pulau Andalas, sebelum bisa
menuntaskan urusanku dengan Pendekar Gila.
Aku akan berterus terang pada Pendekar Gila,
bahwa aku mencintai kekasihnya dan akan men-
gawininya," kata Datuk Tambureh dalam hati.
Setelah berkata begitu, Datuk Tambureh
melangkah menuju kamar itu dan masuk. Lalu
buru-buru ditutup pintunya.


Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di dalam kamar itu ternyata ada seorang
gadis berpakaian silat warna putih dengan ram-
but panjang. Matanya yang bening dan bulu mata
lentik. Wajahnya yang pucat, menatap sinis Da-
tuk Tambureh yang memandangnya.
"Kenapa kau memandangku demikian ru-
pa..." Kau benci padaku, Nini Mei Lie?" tanya Datuk Tambureh dengan suara berat
"Huh...!" gumam Mei Lie, lalu melengos.
"Heh he he...! Kau tambah cantik kalau
cemberut Nini Mei Lie. Aku suka...," kata Datuk Tambureh sambil melangkah
mendekati Mei Lie
yang membelakanginya. Lalu Datuk Tambureh
memegangi bahu kanan gadis itu. Namun dengan
cepat Mei Lie menepiskan tangan Datuk Tambu-
reh, lalu disusul dengan tamparan tangan kanan-
nya. Plak! Plak!
Datuk Tambureh hanya senyum. Matanya
menatap tajam wajah Mei Lie. Tatapannya seperti
mengandung hipnotis. Seketika Mei Lie terdiam,
lalu kembali melengos, membuang muka. Si Bi-
dadari Pencabut Nyawa itu takut jika menatap te-
rus mata lelaki tua itu, dia akan terkena ilmu si-hirnya. "Kalau kau memang
merasa paling jago,
kembalikan pedangku! Dan kita adu ilmu...!" kata Mei Lie dengan nada penuh
emosi. "Ha ha ha.... Hebat! Aku paling suka den-
gan wanita seperti kamu ini. Tak salah kalau
Pendekar Gila memilihmu, Anak Manis. Ha ha
ha...! Asal kau tahu saja, keinginanmu tak akan
pernah terpenuhi. Dan perlu kau ingat, Pendekar
Gila umurnya tak akan lama. Aku akan meng-
hancurkannya...! Ha ha ha...!" kata Datuk Tambureh memanas-manasi Mei Lie.
Lalu Datuk Tambureh berbalik dan me-
langkah pergi sambil tertawa-tawa. Mei Lie yang
merasa diremehkan, menjadi marah. Tanpa pikir
panjang, kekasih Pendekar Gila itu, segera berba-
lik lalu.... "Yeaaa...."
Sambil memekik keras Mei Lie melancar-
kan serangan. Namun Datuk Tambureh bukan
orang biasa. Serangan dengan menggunakan pu-
kulan jarak jauh itu dapat dimentahkan, karena
Datuk Tambureh dengan cepat mengibaskan tan-
gan kanan dan menghentakkan ke arah Mei Lie,
tanpa menoleh sedikit pun. Kibasan tangan ka-
nan Datuk Tambureh mengeluarkan angin ken-
cang dan mengeluarkan hawa panas. Mei Lie ter-
sentak kaget. Dan seketika tubuh gadis itu ter-
dorong ke belakang dan jatuh membentur dind-
ing. "Ukh...!" Mei Lie memekik tertahan.
"Kuperingatkan, jangan kau ulangi tinda-
kanmu ini! Aku bisa membunuhmu. Tapi itu tak
akan aku lakukan. Karena sebentar lagi kau akan
menjadi istriku...!" tutur Datuk Tambureh bangga. Lalu kembali tertawa terbahak-
bahak dan ke- luar dari kamar itu.
*** Kembali kepada Dewi Ratu Maksiat yang
sedang bercumbu dengan para budak pemuas
nafsunya di atas pembaringan. Desah dan rinti-
han terus terdengar. Dewi Ratu Maksiat yang
mempunyai kekuatan iblis sanggup melayani tiga
sampai lima lelaki sekaligus. Semua itu dilakukan demi umurnya yang mampu
mempertahankan usia mudanya. "Oooh.... Aaah... benar-benar nikmat..," desah Dewi Ratu Maksiat Seluruh
tubuhnya sudah basah kuyup bagai disiram dengan air.
Lalu, Dewi Ratu Maksiat beranjak bangun,
seraya menggapai kain sutera warna kuning un-
tuk menutupi tubuhnya yang tanpa pakaian. Be-
gitu indah dan menggairahkan tubuh wanita yang
sebenarnya sudah berumur hampir sembilan pu-
luh tahun itu. Dewi Ratu Maksiat kemudian bertepuk
tangan. Sesaat kemudian muncul seorang wanita
muda berambut panjang terurai. Dengan pakaian
bagian atas hanya berupa kemben, kain penutup
bagian dada. Dan kain sarung lurik pula warna
coklat. Wajah wanita itu cukup cantik
"Ada tugas apa untuk hamba, Tuan Pu-
tri..?" tanya wanita muda itu sambil menjura.
"Aku kali ini memberi tugas untuk mele-
nyapkan Pendekar Gila. Untuk itu aku perlu me-
rubah wajahmu. Agar Pendekar Gila kebingun-
gan. Ingat, bila kau merasa sukar untuk melaku-
kannya, pakai cara yang biasa kita lakukan. Lela-
ki tak akan kuat jiwanya, jika kita terus mende-
sak dan membangkitkan kelakiannya. Tak terke-
cuali dengan Pendekar Gila. Sama saja! Ha ha
ha... hi hi hi...! Sekarang ikut aku ke ruang se-
madi. Ayo, cepat!" kata Dewi Ratu Maksiat
"Baiklah, Tuan Putri...," jawab wanita itu sambil menjura. Lalu melangkah
mengikuti Dewi Ratu Maksiat menuju sebuah ruangan. Keduanya
sampai di sebuah pintu yang terbuat dari batu
gunung. Dewi Ratu Maksiat menempelkan telapak
tangannya ke batu itu, seketika pintu itu terbuka sendiri. Wanita cantik itu
melangkah masuk diikuti anak buahnya tadi. Pintu tertutup kembali.
Di dalam ruangan yang penuh dengan asap
dupa dan kemenyan nampak menyeramkan.
Hanya diterangi dua obor yang tergantung di
dinding batu itu. Di tengah ruangan ada sebuah
batu besar, berbentuk bundar dan datar. Di de-
pannya ada sebuah cawan berukuran besar, beri-
si tulang-tulang manusia dan darah. Air dalam
cawan raksasa itu mendidih.
Dewi Ratu Maksiat kemudian membaca
mantera, setelah duduk bersila di atas batu itu.
Kedua tangannya diangkat ke atas kepalanya
sambil menengadah.
Sedangkan wanita muda tadi duduk di se-
berang cawan raksasa itu. Juga bersila sambil
menatap Dewi Ratu Maksiat. Beberapa saat ke-
mudian, Dewi Ratu Maksiat berdiri mendekati
wanita muda itu. Lalu telapak tangannya ditaruh
di atas kepala wanita itu. Seketika tubuh wanita itu berasap. Kemudian Dewi Ratu
Maksiat melepas telapak tangannya dari atas kepala wanita
itu. Seperti kena hipnotis, wanita muda itu berdi-ri, lalu membuka seluruh
pakaiannya, hingga po-
los. Lalu melangkah dan menceburkan diri ke da-
lam cawan besar. Tubuhnya terus direndam di
dalam cawan raksasa itu. Aneh, tak sedikit pun
kulitnya terkupas oleh air yang mendidih itu. Ma-
lah perlahan-lahan wajahnya berubah, menjadi
Mei Lie. Kemudian, wanita yang kini berubah men-
jadi Mei Lie, melompat turun dari cawan raksasa
itu. "Ha ha ha...! Kali ini akan kupermainkan Pendekar Gila. Ha ha ha...! Hi hi
hi...! Jika Pendekar Gila mampus, datuk putraku akan menjadi
orang yang paling disegani di rimba persilatan!"
*** "Ha ha ha... hi hi hi...! Kali ini Pendekar Gi-la tak akan bisa menaklukkanku.
Aku akan per- mainkan pendekar tampan itu. Dan sudah lama
aku menginginkan keperkasaannya, untuk me-
muaskanku sepanjang malam. Hi hi hi...!"
Dewi Ratu Maksiat terus tertawa-tawa.
Wanita yang deh kalangan tokoh persilatan juga
dijuluki Wanita Iblis dari Andalas itu tampaknya
benar-benar yakin akan mampu memperdaya
Pendekar Gila. Lalu Dewi Ratu Maksiat, menarik lengan
wanita jelmaan itu merapat ke tubuhnya. Dipe-
luknya erat-erat, hingga menyatu benar dengan
tubuh Dewi Ratu Maksiat. Hal itu dimaksudkan
untuk memberi kekuatan tenaga dalam pada wa-
nita yang menjadi abdinya. Mendadak tubuh Mei
Lie samaran itu berasap, ketika Dewi Ratu Mak-
siat mendekapnya rapat-rapat
"Kau akan kuat dan memiliki ilmu silat
yang sama sepertiku, Cah Ayu. Hi hi hi....! Jangan sampai gagal, jangan ceroboh!
Kalau gagal, nya-wamu sebagai pengganti darah Pendekar Gila!"
suara Dewi Ratu Maksiat terdengar mendesis, ba-
gai suara roh halus. Kemudian perlahan-lahan
wanita iblis itu melepaskan pelukannya. Lalu
mengusap-usap lembut buah dada wanita mirip
Mei Lie itu. "Kau memiliki dada yang bagus, seperti
aku pula, Cah Ayu..., hi hi hi.... Aku berhasil
mengubah dirimu dengan sempurna...," gumam
Dewi Ratu Maksiat lirih.
Kemudian si Wanita Iblis dari Andalas itu
melangkah ke satu sudut. Dia mendekati sebuah
peti besar berukiran indah. Dibukanya kotak ku-
no terbuat dari kayu jati itu. Di dalamnya ada sepasang pakaian silat warna
kuning, dengan penu-
tup wajah juga kuning. Dewi Ratu Maksiat segera
mengambilnya, dan membawa ke tempat wanita
mirip Mei Lie yang masih dalam keadaan tanpa
pakaian. "Pakai ini! Pakaian ini pernah kupakai se-
waktu aku seumurmu. Ketika aku masih tinggal
di Pulau Andalas," ujar Dewi Ratu Maksiat, sambil memberikan pakaian itu pada
Mei Lie sama- ran. Wanita itu menerimanya, "Cepat kau pa-
kai...!" Lalu Dewi Ratu Maksiat melangkah ke tempat batu besar, tempat duduknya.
Dia duduk dengan bersila. Lalu menarik napas panjang
sambil mengawasi wanita abdinya yang sedang
memakai pakaian keramat tadi.
"Aku akan puas dan baru ingin mati te-
nang, jika semua rencanaku berhasil. Jauh-jauh
aku datang dari Pulau Andalas kemari, demi cita-
cita anak angkatku, Datuk Tambureh untuk
mempersunting si Bidadari Pencabut Nyawa itu.
Dia akan dapat menjadi orang yang berilmu ting-
gi, menurut wangsit yang kuterima dari arwah
guruku," kata Dewi Ratu Maksiat dalam hati. Matanya terus memandangi wanita
abdinya yang te-
lah selesai memakai pakaian serba kuning itu.
"Kematian suamiku karena Singo Edan.
Dan orang tua gila itu kini telah pergi entah ke mana. Jadi aku harus membalas
dendam pada muridnya. Ha ha ha...!"
Sementara itu Pendekar Gila yang sudah
dua hari mencari belum juga menemukan Mei Lie.
Pemuda tampan itu tampak sangat cemas dan
kesal. Dia terus menggaruk-garuk kepala sambil
sebentar-sebentar menghentakkan kaki kanannya
ke tanah dengan keras, menumpahkan rasa ke-
kesalannya. Pendekar Gila terus menyelusuri jalan se-
tapak di pinggiran sungai. "Bodoh...! Benar-benar orang goblok aku ini!"
gerutunya terus sambil memukuli keningnya. "Aku yakin orang yang
menculik Mei Lie itu mempunyai ilmu yang cukup
tinggi," gumam Sena yang nampak murung itu.
Langkahnya dipercepat, terkadang pelan.
Nampak sekali pikirannya sedang kacau. Namun
dia masih dapat menguasai diri.
Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya.
Memandangi sekeliling tempat itu. Sejenak dia
berpikir sambil memegangi keningnya.
"Sebaiknya aku mampir di Kadipaten Galih
Marta. Siapa tahu orang-orang kadipaten bisa
memberikan keterangan padaku tentang Mei Lie,"
kata Sena dalam hati.
Selesai berkata begitu, Sena segera menye-
berangi sungai dengan menggunakan ilmu merin-
gankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Hingga dia bisa menotol-notol di atas per-mukaan air dengan tenang.
Benar-benar ilmu
yang sangat luar biasa hebatnya.
Dalam sekejap Sena sudah sampai di sebe-
rang. Pemuda itu menggaruk-garuk kepala sambil
cengar-cengir. Lalu dia melongok ke atas. Dilihatnya matahari sudah mulai
condong ke barat Ma-
ka Sena menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', me-
lesat bagaikan anak panas lepas dari busurnya.
Begitu cepat, hingga yang nampak hanya bayan-
gan hitam berkelebat cepat bagaikan angin.
Namun larinya tiba-tiba terhenti, ketika
terdengar suara orang menegur dengan kasar.
Sena cengengesan ketika melihat di depan telah
berdiri dua orang lelaki menghadangnya. Kedua-
nya bertolak pinggang dengan sikap angkuh.
"Aha, ada apa kiranya kalian menghentikan
aku...?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang seperti
orang gila, membuat orang yang ada di depannya bertanya-tanya siapa pemuda tampan berbaju rompi kulit
ular itu. "Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang
berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan...?" tanya orang yang bermuka bulat dengan
hidung besar. "Ya. Dari tingkah lakunya mungkin dia si
Pendekar Gila itu, Kakang Barong Culla," bisik Bulus Wulung.
"Hai..."! Kenapa kalian berdua diam"!"
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan
menepuk-nepuk pantatnya.


Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya
Barong Culla dalam hati mencoba menebak. Di-
rinya memang sering mendengar nama Pendekar
Gila. Tapi melihatnya belum pernah.
"Kalian berdua rupanya orang-orang bisu...
Kalau begitu aku akan melanjutkan perjalanan.
Permisi...!" kata Sena sambil cengar-cengir lalu mulai melangkah.
"Hei...! Tunggu, Kawan...! Kalau tidak sa-
lah, kau Pendekar Gila yang kesohor itu...?" pancing Barong Culla dengan menatap
tajam ke arah Sena yang terpaksa menghentikan langkahnya.
Lalu berbalik badan sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... lucu sekali! Kalian ini mau apa"!
Kalau memang aku orang yang kau sebut, lantas
kalian mau apa?" tanya Sena cengengesan.
Barong Culla dan Bulus Wulung saling
pandang, lalu saling menganggukkan kepala, ke-
mudian tertawa-tawa.
"Begini, Kawan. Tiga hari lalu kami berdua
bentrok dengan seorang lelaki tua berjubah me-
rah. Kami kalah dan terperosok ke dalam ju-
rang...," tutur Barong Culla menerangkan.
"Hah"!" gumam Sena sambil menggaruk-
garuk kepala, "Jadi kalian ini yang ada di dalam Jurang Wadas Parang itu..."!"
tanya Sena. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Bulus
Wulung mengerutkan kening.
"Hi hi hi...! Akulah orang yang tak jadi me-
nolong kalian. Karena aku yakin dan tahu, bahwa
kalian orang-orang yang berilmu tinggi. Sebab ka-
lau tidak, kalian sudah mati terperosok ke jurang seperti itu. Apalagi orang
yang berjubah merah itu pasti ilmunya lebih tinggi dari kalian berdua," ka-ta
Sena sambil cengengesan.
"Oooh! Jadi kaulah yang meninggalkan
kami kemarin itu. Bagus sekarang aku mau
tanya, kenapa kau juga mencari orang berjubah
merah itu...?" selidik Barong Culla dengan menyipitkan sebelah matanya. Kemudian
melirik ke Bu- lus Wulung sejenak, lalu kembali menatap Pende-
kar Gila. "Hi hi hi...! Mungkin tak jauh berbeda den-
gan kalian berdua. Hanya saja, aku lebih berduka
dari kalian," sahut Sena kalem, kemudian kemba-
li menggaruk-garuk kepala.
"Apakah ada hubungannya dengan gadis
yang dibawanya itu?" pancing Barong Culla lagi.
Makin yakin kalau orang yang dihadapi adalah
Pendekar Gila, murid Singo Edan.
"Ah, sudahlah. Aku tak ada urusan dengan
kalian. Aku mau pergi," ucap Sena lalu berbalik badan hendak pergi.
"Hai! Tunggu...! Aku mungkin bisa bekerja
sama untuk menangkap orang yang membawa
gadismu itu...!" seru Barong Culla.
Sena mengerutkan kening, berpikir seje-
nak. Lalu berbalik dan mendekati kedua lelaki
itu. "Hi hi hi... bagus! Hm... tapi aku masih belum perlu bantuanmu, Kawan. Maaf
aku tak ada lagi waktu untuk bicara pada kalian!"
Sena melesat meninggalkan Barong Culla
dan Bulus Wulung. Kedua orang itu hanya bisa
ternganga, merasa kagum melihat kehebatan ilmu
meringankan tubuh Pendekar Gila yang melesat
bagaikan angin. Sehingga dalam sekejap saja te-
lah hilang dari pandangan.
"Edan...! Benar-benar pemuda gila! Kenapa
kita tidak langsung menantangnya tadi..."!" tukas Barong Culla kesal dan geram.
"Bagaimana mungkin..." Dia bukan pende-
kar sembarangan. Dia dapat membaca pikiran ki-
ta. Jadi apa yang kita ingin lakukan, dia sudah
tahu terlebih dahulu," sahut Bulus Wulung mengingatkan Barong Culla.
"Benar. Tapi kalau tadi berhasil membujuk
Pendekar Gila itu, kita akan bisa lebih cepat me-
naklukkan Datuk Tambureh. Dan setelah itu, kita
bawa pergi gadis Cina itu...!" ujar Barong Culla mengkhayal.
"Ah, sudahlah! Kau jangan berkhayal. Se-
baiknya kita Cepat pergi dari tempat ini. Kita cari datuk keparat itu...!" ajak
Bulus Wulung. Keduanya lalu segera pergi ke barat, arah
yang dituju Pendekar Gila.
5 Datuk Tambureh yang telah menguasai Mei
Lie, nampak merasa gembira dan puas. Lelaki tua
itu terus berusaha merayu Mei Lie agar mau men-
jadi istrinya. Karena sesuai dengan wangsit, bah-
wa siapa saja yang dapat memperistri Bidadari
Pencabut Nyawa kelak keturunannya akan men-
jadi raja penguasa tanah Andalas. Sudah bebera-
pa kali sang Datuk berusaha mempengaruhi Mei
lie. Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia miliki digunakan, tapi
ternyata tak ada yang
mempan sedikit pun. Karena telah berusaha se-
kian lama tak mendapatkan hasil, sang Datuk
hampir putus asa, kalau pembantu setianya yang
bernama Datuk Balino, tidak terus memberi se-
mangat "Jangan Tuan putus asa dulu, sebab bu-
kan tak mungkin nantinya Tuanlah yang akan
mendapatkan anugerah tersebut," kata Datuk Balino memberi saran, manakala
didengarnya kelu-
han Datuk Tambureh, yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha, Balino. Dan
nyatanya, ah.... Semuanya hanya impian," keluh Datuk Tambureh. "Bukan hanya
sekali aku mencoba mempengaruhi dia, tap semuanya tak ada
yang dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tak
lebih baik aku perkosa saja?"
Tersentak kaget Datuk Balino mendengar
ucapan tuannya. Dia tak menyangka kalau tuan-
nya yang sangat kokoh dan ulet akan cepat putus
asa. Memperkosa, berarti hubungan yang tak se-
laras. Hal itu bukan tak mungkin justru akan
menimbulkan sebuah tekanan jiwa, yang nan-
tinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa Tuan begitu cepat putus
asa?" tanya Datuk Balino tercenung. "Memperkosa itu tidak baik, Tuan."
"Alasannya...?"
"Maaf, hamba mungkin dalam hal ini terla-
lu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini di-
anggap sok pintar, terlebih dahulu hamba kemba-
li minta maaf."
"Hem, katakanlah! Bagiku kau sama saja
dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang se-
tia, yang selalu memberikan saran-saran yang
baik. Kejayaanku sebagai datuk, tak luput dari
saran yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan
kau ragu, Balino!"
Datuk Balino sesaat terdiam. Kepalanya
tertunduk sambil menarik napas panjang. Sesaat
kemudian ditengadahkan wajahnya, memandang
pada tuannya yang menyiratkan rasa ketidak-
mengertian. Setelah kembali menunduk Datuk
Balino pun akhirnya membuka suara, berkata.
"Menurut hamba yang telah tua, perkosaan
itu tindakan tercela bagi diri kita. Pertama, kita akan menanggung beban mental
yang berlarut-larut, kalau sampai orang yang diperkosa nanti
membalas dendam. Kedua, hubungan kita dengan
yang diperkosa dapat menimbulkan suatu per-
tumpahan darah."
"Ah, apa mungkin nanti keturunan ku be-
rani melawanku?" Datuk Tambureh mengelak
seakan tak yakin akan segala ucapan Datuk Bali-
no. "Tak akan berani anak dengan orang tua!"
"Itu pendapat Tuan. Tapi perlu Tuan ingat,
bukankah anak akan lebih dekat dengan sang
Ibu?" Terangguk-angguk kepala Datuk Tambureh mendengar keterangan pembantunya.
Dirasakan-nya segala petuah Datuk Balino memang benar
adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha untuk
dapat menggugah hati si Bidadari Pencabut Nya-
wa, dan ternyata segalanya tak membawa hasil.
Kalau niatnya untuk memperkosa gadis Cina itu
dilakukan, ia juga takut kalau-kalau segala uca-
pan Datuk Balino akan menjadi kenyataan.
Lama Datuk Tambureh terdiam membisu,
angannya melayang pada khayalan untuk dapat
menjadikan dirinya orang yang terhormat. Orang
yang bakal menurunkan raja-raja di Pulau Anda-
las. Hatinya bimbang, takut kalau lama-kelamaan
ada orang lain yang berilmu tinggi lebih tinggi darinya dapat merebut Mei Lie.
Apakah itu tidak
mungkin terjadi"
"Hem, sungguh aku penakut. Biarlah aku
mati nantinya, asalkan margakulah yang bakal
menjadikan namaku terhormat. Bukankah mar-
gaku kelak yang menjadi raja" Hh..., persetan
dengan segala balas dendam! Bagiku yang utama,
aku berhasil mendapatkan wanita yang kelak
bakal menurunkan raja-raja," gumam hati Datuk Tambureh. "Baiklah, aku pura-pura
menuruti apa yang dikatakan pembantuku."
"Memang benar apa yang kau katakan, Ba-
lino. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak
boleh melakukan itu. Apakah kau dapat memban-
tuku mencarikan seorang dukun yang dapat me-
mikat si Bidadari Pencabut Nyawa itu, Balino?"
tanyanya kemudian.
Datuk Balino kembali terdiam, pikirannya
kini agak tenang. Sebenarnya di hati Datuk Bali-
no ada rasa kasihan melihat Mei Lie. Mei Lie itu
begitu mengibakan hatinya. Gadis itu setiap hari
hanya melamun dan menangis. Makanan yang
dihidangkan tak pernah disentuh, sehingga ba-
dannya kurus kering. Pernah Datuk Balino men-
coba bertanya bagaimana dengan diri Mei Lie ter-
sebut. Jawabannya sungguh mengejutkan, gadis
Cina itu memilih lebih baik mati daripada harus
menjadi istri Datuk Tambureh yang jahat dan ke-
ji. "Kenapa, Balino" Kenapa kau terdiam me-
lamun?" Tersentak Datuk Balino dari lamunannya,
mendengar pertanyaan Datuk Tambureh yang se-
cara tiba-tiba itu.
"Am... ampun, hamba tengah berpikir, ba-
gaimana supaya segalanya dapat segera tersele-
saikan. Baiklah, hari ini juga hamba akan beru-
saha mencarikan seorang dukun pemikat"
"Hua ha ha...! Bagus, bagus. Kalau kelak
aku mendapatkan gadis Cina itu, maka kau akan
aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan
kuberi setengah dari kekuasaanku. Dan akan ku-
jadikan Raja Datuk Balino, bagaimana?"
"Terima kasih atas segala yang bakal Tuan
berikan. Tapi untuk sekarang-sekarang ini, ham-
ba lebih senang mengabdi pada Tuan Datuk Tam-
bureh yang terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bi-
la bersama Tuan, sebab hamba tahu kesaktian
Tuan tak dapat dianggap remeh...," berkata Datuk Balino dengan nada menyanjung,
menjadikan Datuk Tambureh kembali tertawa bangga.
Saking senangnya Datuk Tambureh sam-
pai-sampai melupakan apa yang sebenarnya ha-
rus ia lakukan. Hari itu adalah hari yang sudah
ditetapkan, seperti biasa Datuk Tambureh harus
melakukan semadi. Kalau semadi itu sampai di-
tinggalkan akan mengakibatkan berkurangnya
ilmu yang dimiliki. Bila sering melakukan kela-
laian, tidak melaksanakan nyepi seperti itu, bu-
kan saja ilmu mempermuda usianya hilang, wa-
jahnya pun akan berubah kembali ke asalnya.
Tersentak Datuk Tambureh ketika mengingat itu.
Serta-merta ia berlari meninggalkan pemban-
tunya yang hanya terbengong-bengong tak men-
gerti. Dengan napas memburu dan keringat din-
gin bercucuran, Datuk Tambureh segera memu-
satkan hati dan pikiran. Setelah sesaat hal itu dilakukan, dan keadaan menjadi
hening tiba-tiba....
"Auuummm...."
Terdengar suara auman seperti lolongan
anjing hutan. "Guru, ampunilah kelalaian murid!" gemetar Datuk Tambureh seperti ketakutan.
Wajahnya yang biasa tampak sadis, kini berubah pucat ba-
gaikan tak berdarah setetes pun. "Ampunilah kelalaian murid. Guru!" kata-kata
itu diulang, dan diulangnya sampai beberapa kali.
Tak lama kemudian tampak sesosok
bayangan keluar dari balik dupa. Sosok bayangan
itu ternyata tubuh harimau besar dan tinggi. Ha-
rimau itu hampir sebesar kerbau, dengan mata
lebar dan gigi-giginya yang menyeringai mena-
kutkan. "Kenapa kau teledor! Aku lapar, aku la-
par...!" terdengar seruan dari mulut harimau itu.
Matanya yang besar menyorot merah. Liurnya
yang berbau terasa menusuk hidung. "Kau harus mencarikan darah untukku, darah
perawan!" "Apakah tidak bisa ditunda. Guru?" tanya Datuk Tambureh.
"Tidak! Sekarang lakukan!"
"Tapi hari masih siang, Guru?" keluh Datuk Tambureh.
Namun bagaikan tidak peduli, harimau ib-
lis itu menggeram, mengeluarkan aumannya yang
bergemuruh dan menggetarkan. "Jangan kau in-
gkar, Bureh! Ingat perjanjian kita yang telah kita


Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakukan! Bukankah kau akan memberikan pada-
ku sebaskom darah pada siang hari menjelang
purnama seperti ini..." Kenapa kau lupa" Apa da-
rahmu yang harus kuminum, hah!"
"Ampun, Guru! Baiklah, murid akan men-
carikannya. Murid minta. Guru bersabar sesaat!"
Dendam Si Anak Haram 7 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Sian Ku Po Kiam Karya Khu Lung Panji Wulung 1
^