Pencarian

Syair Maut Lelaki Buntung 3

Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung Bagian 3


bah memanjang, menghalau senjata rahasia yang
berbentuk bintang.
Gerakan-gerakan lawan inilah yang me-
mang ditunggu Beruk Singgala. Melihat adanya
kesempatan, tanpa membuang-buang waktu, Be-
ruk Singgala dengan cepat memutar tubuh dan
kabur. "Kurang ajar! Rupanya keparat busuk itu tak boleh dikasih hati! Sekarang
saatnya kita harus lenyapkan dia!" seru si Penyair Maut dengan geram. Keduanya
cepat melesat memburu Beruk
Singgala. Seketika Beruk Singgala tersentak ka-
get. Dirinya tak menyangka, kedua lawannya
akan mampu mengejar. Karena merasa sudah ke-
palang basah, Beruk Singgala yang penasaran se-
gera melepas pukulan ke arah kepala lelaki bun-
tung. Sambil mendengus si Penyair Maut me-
nangkis dengan kecapinya, lantas dengan cepat
membalas dengan pukulan. Dua kepalan beradu
hingga mengeluarkan suara keras. Beruk Singga-
la terpekik, tubuhnya terdorong sampai enam
tombak ke belakang. Dan ketika diperhatikan tiga jari tangan kanannya telah
hancur. Di depannya,
ketika Beruk Singgala mengangkat muka, sudah
berdiri tegak si Penyair Maut yang bertolak pinggang dan menyeringai, mengejek.
"He he he...! Apa kau masih berdoa untuk
minta ampun pada Hyang Widhi" Supaya dosa-
dosamu berkurang"!" tukas lelaki buntung sinis.
Beruk Singgala tak menjawab, bibirnya
gemetaran. Wajahnya kaku. Matanya mulai me-
nyipit, menahan rasa sakit, karena jari tangannya hancur. Dan mendadak Beruk
Singgala mencabut
keris dari dalam bajunya. Dengan gerakan cepat
langsung menyerang lelaki buntung dengan me-
nusukkan keris pusakanya.
Sinar kebiruan yang disertai angin panas,
menyembur dari keris itu!
"Heaaat...!"
Namun, si Penyair Maut dan Dewi Sukma-
lelana cepat tanggap. Keduanya melompat mun-
dur sambil menangkis dengan kecapi. Dewi Suk-
malelana melepaskan ikat pinggangnya, yang ter-
nyata berubah jadi amat panjang. Ikat pinggang
dari kain warna merah hati itu melilit kedua tangan Beruk Singgala. Lalu Dewi
Sukmalelana me-
mutar-mutarnya dengan cepat, hingga tubuh Be-
ruk Singgala berputar-putar seperti kipas.
"Aaauwww...! Aaauuuwww...!"
Beruk Singgala menjerit-jerit. Namun Dewi
Sukmalelana semakin cepat memutarnya. Dan le-
laki buntung yang sejak tadi sudah tak dapat me-
nahan dendam dan amarah. Maka, dengan cepat
menyentakkan senar-senar kecapi. Senar-senar
itu bagai hidup, menghantam wajah Beruk Sing-
gala sampai berantakan, tak karuan. Beruk Sing-
gala terus menjerit-jerit kesakitan.
"Habisi saja sekarang, Kakang!" seru Dewi Sukmalelana, lalu tertawa terbahak-
bahak. Si Penyair Maut kemudian menghantam-
kan kecapinya ke kepala Beruk Singgala. Kepala
Beruk Singgala hancur. Belum cukup puas sam-
pai di situ, lelaki buntung dan Dewi Sukmalelana menyayat seluruh tubuh Beruk
Singgala dengan
pisau! "Aku kini puas, puas! Ha ha ha...! Kini gili-ranku untuk menikmati
kekuasaan," lelaki buntung itu kini berubah total perangainya. Mungkin karena
menghisap darah dan memakan daging
Beruk Singgala, manusia berilmu sihir yang dis-
egani itu. Wajah lelaki buntung juga seketika berubah menyeramkan.
"Kakang, dendam kita sudah terbalas.
Mengapa harus menyakiti orang-orang yang tak
ada dalam catatan kita" Lebih baik kita pergi jauh dari Kadipaten Galih Putih!"
ujar Dewi Sukmalelana kurang setuju dengan rencana Brajasukma-
na. "Hm...! Kau mulai jadi pengecut, Dewi. Aku
benci orang pengecut! Kau tahu kita telah mende-
rita cukup lama" Dan kita sudah alami siksaan
batin menjadi orang yang selalu mengalah dan ju-
jur. Kita diinjak-injak mereka yang jahat dan ber-
kuasa. Mereka menghalalkan segala cara. Sampai
kehancuran melanda Padepokan Gunung Talang!
Apa kau sudah lupa..."!" tutur Brajasukmana.
Dewi Sukmalelana diam tak menjawab.
Hanya matanya yang bicara. Memandangi perin-
gai suaminya, yang kini telah berubah.
"Kini aku ingin berkuasa. Dengan caraku.
Kalau kau mau ikut aku senang. Tapi kalau kau
menolak, aku pun tak memaksa. Aku akan me-
nantang siapa pun, termasuk Pendekar Gila. Jika
dia menghalangi keinginanku. Ha ha ha.... Dan
aku harus dapat kuasai Kadipaten Galih Putih!"
tutur Brajasukmana dengan penuh keyakinan.
Lalu si Penyair Maut tertawa-tawa sambil
melangkah meninggalkan tempat itu. Mayat Be-
ruk Singgala dipanggulnya. Walaupun tubuhnya
tidak normal, tapi Brajasukmana tak ada kesuli-
tan memanggul mayat Beruk Singgala yang sudah
tak utuh itu. Lalu melesat dan menghilang. Dewi
Sukmalelana hanya memandangi dari belakang.
Lalu setelah berpikir, baru Dewi Sukmalelana ju-
ga melesat menyusul Brajasukmana, si Penyair
Maut *** Prajurit Kadipaten Galih Putih dikejutkan
oleh sesosok mayat yang tergeletak di pelataran
pintu masuk kadipaten. Membuat suasana jadi
ribut "Ada mayat...! Mayat..!. Mayat..!" teriak pa-ra prajurit dan beberapa
orang yang melihatnya.
Mereka mengerumuni mayat yang wajahnya ru-
sak dan sebagian tubuhnya luka-luka gigitan.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang baru saja
akan meninggalkan kadipaten, setelah menyem-
buhkan Pangeran Sasanadipa, terkejut menden-
gar teriakan itu. Segera keduanya kembali ke ka-
dipaten. "Aneh, tadi kita tak melihat mayat di pela-
taran itu..."!" gumam Mei Lie dengan menge-
rutkan kening. Para pengawal dan pangeran pun keluar.
Nampak wajah Pangeran Sasanadipa yang telah
disembuhkan oleh Sena dengan menyalurkan te-
naga dalam ke tubuh pangeran serta ajian 'Pemu-
lih Saraf'. Pangeran Sasanadipa kini telah sembuh dari segala macam pengaruh
ilmu sihir. "Minggir..., pangeran akan lewat!" seru Adhitia, pengawal yang setia pada
pangeran. Semua orang memberi jalan pada sang
Pangeran. Sementara Sena dan Mei Lie pun telah
sampai ke tempat itu.
"Oh, Sena, kukira kalian berdua sudah
pergi...!" tegur sang Pangeran dengan ramah.
"Baru saja kami hendak pergi, tapi kami
mendengar teriakan mereka, jadi kami kembali
untuk melihat mayat ini, "jawab Sena, lalu menggaruk-garuk kepala. Matanya
segera memperhati-
kan mayat yang tergeletak di depannya.
"Hah"!" gumam Pangeran Sasanadipa keti-ka melihat mayat itu, "Beruk Singgala!
Aku masih mengenal pakaiannya dan gelang bahar berkepala
ular di tangan kirinya!"
Pendekar Gila segera berjongkok dan me-
meriksanya. Keningnya tiba-tiba berkernyit,
"Jangan ada yang menyentuh mayat ini!"
seru Sena. "Kenapa?" tanya Pangeran Sasanadipa ingin tahu.
"Mayat ini mengandung racun. Siapa yang
memegangnya akan mati dalam sekejap," jawab Sena cengengesan.
"Jadi, bagaimana untuk memindahkan
mayat ini, Sena?" tanya Pangeran Sasanadipa cemas. "Hi hi hi...! Biar saya saja
yang memindahkan jauh dari kadipaten ini. Tenang sajalah, Pangeran!" kata Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
Selesai berkata begitu, Pendekar Gila sege-
ra menarik napas dalam-dalam. Dia nampak
mengumpulkan tenaga dalam lalu segera men-
gangkat mayat Beruk Singgala. Dalam sekejap
tubuhnya melesat bagai anak panah, meninggal-
kan halaman kadipaten.
Semua yang melihatnya merasa kagum dan
bergeleng kepala. Begitu juga Pangeran Sasanadi-
pa. "Sungguh menakjubkan. Sena benar-benar
pendekar yang paling sederhana dan sempurna.
Perkasa, jujur, dan berbudi luhur...," gumam Pangeran Sasanadipa.
Mei Lie hanya tersenyum mendengar pu-
jian sang Pangeran untuk kekasihnya.
Tak berapa lama, Sena pun sudah kembali
dengan cangar-cengir dan menggaruk-garuk ke-
pala. "Terima kasih, Sena! Kau telah banyak menyelamatkan jiwa prajuritku. Juga
jiwa dan piki- ranku. Kalau kau tak keberatan, sudilah kiranya
kau dan Mei Lie tinggal beberapa hari lagi di kadipaten...," kata Pangeran
Sasanadipa. "He he he...! Maaf, Pangeran. Maksud Kan-
jeng Pangeran sangat kami hargai. Tapi masih
ada tugas yang menanti kami. Kami berjanji akan
kembali, untuk menjenguk Pangeran...," kata Se-na seraya menjura.
"Benar, Pangeran. Percayalah...!" tambah Mei Lie dengan diiringi senyum manis.
"Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan.
Kami akan selalu menerima kalian dengan senang
hati. Selamat Sena, Mei Lie! Hati-hati...!" ucap Pangeran Sasanadipa, lalu
menjabat tangan Sena
dan Mei Lie. "Pesan kami harap waspada setiap saat!
Perintahkan para prajurit berjaga-jaga!" ujar Sena mengingatkan Pangeran
Sasanadipa. "Terima kasih, Sena! Aku akan selalu was-
pada...!" jawab Pangeran Sasanadipa dengan ramah. Pendekar Gila dan Mei Lie lalu
melangkah meninggalkan halaman Kadipaten Galih Putih.
Sementara itu para prajurit dan orang-
orang mulai bubar. Pangeran pun kembali masuk
ke kadipaten. *** Pendekar Gila dan Mei Lie menelusuri jalan
di sekitar Hutan Jati. Keduanya merencanakan
untuk mencari lelaki buntung dan Dewi Sukmale-
lana. Ingin menyelidiki, siapa sebenarnya sepa-
sang manusia aneh itu.
"Kakang, aku yakin lelaki buntung itu yang
membunuh Beruk Singgala. Jelas kini, antara
mereka ada latar belakang yang sangat buruk!"
ujar Mei Lie mencoba menyampaikan gagasannya.
"Hi hi hi...! Kau benar, Mei. Aku punya fi-
rasat, si buntung itu akan jadi murka setelah dapat membunuh orang-orang yang
dianggap telah merusak dan menyakiti dirinya. Mungkin saja dia
berubah sifat dan tindak-tanduknya, hingga
membahayakan kita semua," kata Sena sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang bisa menduga demi-
kian?" tanya Mei Lie.
"Ah, sudahlah! Kita lihat nanti. Mungkin
kita nanti juga menjadi orang yang diincar si buntung itu," jawab Sena lagi.
"Apa Kakang takut menghadapi orang ma-
cam itu?" tanya Mei Lie dengan mengerutkan kening. "He he he... takut" Bagi
orang yang benar tak ada istilah takut. Tujuan kita kan baik," jawab Sena, lalu
tertawa-tawa. "Huh...!" gumam Mei Lie dengan cemberut.
Tak terasa keduanya telah sampai di depan
sebuah rumah tua yang menyeramkan.
"Hah"! Kenapa kita bisa sampai di tempat
sesunyi ini, Kakang" Bukankah kita akan ke Desa
Sarangan?"
Sena mengisyaratkan agar Mei Lie tak ber-
bicara lagi. Lalu dengan mengendap-endap, Pen-
dekar Gila mendekati rumah tua yang sunyi dan
nampak angker itu. Mei Lie mengikuti di bela-
kang. Matanya segera menyapu ke sekeliling tem-
pat itu. "Bau amis, Kakang...," bisik Mei Lie sambil menutupi hidung dengan
tangan kirinya.
"Ssst..!" Pendekar Gila memberi isyarat agar Mei Lie diam.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang
sangat sempurna, Pendekar Gila melompat me-
masuki rumah angker itu. Sepi dan tak ada siapa-
siapa. Gelap dan pengap, Pendekar Gila segera
menyapu seisi rumah tua itu dengan pandangan-
nya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa rumah
tua itu berpenghuni.
Hanya ada sebuah kursi yang sudah kotor
terbuat dari kayu jati. Dan kaca berukuran besar berbingkai ukiran. Kaca itu
sudah retak. Mei Lie mendekati kaca itu. Ketika tangan-
nya hendak memegang, tiba-tiba terasa hawa pa-
nas keluar dari kaca itu. Dan seakan mata Mai
Lie melihat sosok wajah manusia menyeringai
menakutkan dari kaca. Dengan cepat gadis itu
mundur dua langkah sambil mencabut Pedang
Bidadari-nya. "Huh...!" dengus Mei Lie sambil menghunus pedangnya.
"Ada apa, Mei"!" tanya Sena sambil meno-
leh dan cepat mendekati kekasihnya.
"Aku merasakan alam gaib, Kakang. Dari
kaca itu ada hawa panas menerpa wajahku. Dan


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sosok makhluk muncul dari kaca itu. Menyeram-
kan!" tutur Mei Lie. Matanya tak berkedip dan terus mengawasi kaca kuno itu.
Brak! Brak! Tiba-tiba pintu rumah tua itu tertutup
dengan keras. Disusul pintu dan jendela yang lain dari rumah itu.
Pendekar Gila bukannya takut. Mulutnya
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Lalu
tertawa-tawa. Membuat Mei Lie kesal.
"Hi hi hi... lucu! Ada yang mengajak kita
main-main, seperti anak kecil, Mei," kata Sena yang terus bertingkah seperti
orang gila. "Kakang...! Jangan bercanda! Kita dalam
bahaya," bisik Mei Lie begitu dekat dengan Sena.
Pendekar Gila hanya tertawa-tawa terus,
seakan tak peduli akan ucapan Mei Lie. Gadis Ci-
na itu cemberut dan makin kesal melihat ulah
kekasihnya. "Tenang, Mei! Ketenangan akan membawa
hasil yang baik. Hi hi hi...! Hei, siapa pun kau adanya, keluar! Jangan main
sembunyi-sembunyi! Kami datang untuk damai. Bukan
menjadi musuh atau jahat," seru Sena sambil terus menggaruk-garuk kepalanya.
Tak ada jawaban. Makin sepi dan mence-
kam. Tiba-tiba angin berhembus kencang sekali.
Daun-daun jendela terbuka dan tertutup lagi be-
rulang-ulang. Seperti ada yang menutupi dan
membuka. Kemudian berhenti sendiri, keadaan
kembali sunyi dan sepi.
"Aneh! Benar-benar rumah hantu!" gumam Mei Lie kesal.
"Cit, cit, cit..!"
Tiba-tiba seekor kelelawar terbang me-
nyambar Mei Lie. Namun dengan cepat gadis itu
membabatkan pedangnya.
Cras! Cras! Kelelawar itu mati seketika. Namun, sete-
lah jatuh ke lantai rumah, kelelawar itu hilang.
Hanya asap mengepul di bekas jatuhnya kelela-
war. Sungguh-sungguh ajaib. Pikir Mei Lie tak
mengerti. "Kakang, sebaiknya kita segera pergi dari
rumah hantu ini! Aku muak dengan keadaan di
sini!" kata Mei Lie geram. Lalu segera dia melesat keluar dari rumah tua yang
angker itu. Rumah
itu tak lain tempat tinggal si Penyair Maut dan
Dewi Sukmalelana.
Pendekar Gila tertawa-tawa sambil meng-
garuk-garuk kepala. Dia masih berada didalam
rumah tua itu. Baru setelah merasa yakin tak ada yang muncul, Sena segera
keluar. Ternyata di luar Mei Lie tak ada. Sena
mencarinya. "Mei..." Mei Lie..."! Di mana kamu, Mei..."!"
Pendekar Gila nampak heran. Segera dia
mencari ke dalam rumah lagi, namun tak ada.
Cepat Sena keluar lagi, lalu melangkah ke bela-
kang rumah tua itu. Dan, ternyata Mei Lie terpe-
rangkap jebakan. Jala! Mei Lie tergantung dalam
jala berduri. Dia berusaha untuk keluar dengan
membabatkan pedangnya, namun sulit, karena
duri-duri menusuk-nusuk ke tubuhnya bila ber-
gerak. "Akh, ukh...!" keluh Mei Lie. Yang tubuhnya mulai terluka.
"Mei..."!"
Sena segera mengeluarkan ajian 'Inti
Brahma' Digosok-gosok telapak tangannya sambil
mengerahkan tenaga dalam. Maka dari telapak
tangan tiba-tiba keluar api. Bergulung-gulung
membentuk bola-bola api.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila menghentakkan telapak tan-
gan ke jala berduri itu. Bola-bola api meluncur
dan membakar jala berduri itu. Mei Lie cepat me-
lompat turun, begitu jala itu mulai terbakar dan terbuka. Setelah itu jala duri
pun terbakar habis.
"Ooo...!" Mei Lie mengeluh. Memegangi lengannya yang terkena duri.
"Duri-duri itu beracun. Jangan banyak
bergerak! Tahan napas, Mei!" kata Sena. Yang segera mengobati Mei Lie yang
terluka oleh duri beracun. Wajah gadis itu mulai berkeringat dan le-
mas. Sena terus berusaha menyatukan tenaga
dalamnya ke tubuh Mei Lie. Getaran kuat terjadi
di tubuh gadis itu, karena mengalirnya tenaga dalam Pendekar Gila yang mulai
menyatu. "Ukh...!"
Mei Lie memekik pendek, lalu tubuhnya
lemas dan pingsan. Sena nampak lega. Karena
ternyata kekasihnya dapat diselamatkan dari ba-
haya. Napas Sena pun naik turun dengan cepat.
Keletihan akibat mengeluarkan tenaga dalam.
"Kau telah lolos dari bahaya, Mei...!" gumam Sena sambil terus memegangi tubuh
keka- sihnya. Mei Lie tak sadarkan diri beberapa saat.
Namun setelah itu tubuhnya berangsur kembali
pulih. "Ohhh..., Kakang...?" terdengar suara Mei Lie yang lemah.
"Tenang, kau sudah dapat melawan racun
itu. Semua ini karena, Hyang Widhi masih mem-
berikan kasih dan sayang padamu, Mei...," kata Sena menghibur Mei Lie.
Mei Lie bangun dari rebahannya, memijit
keningnya sejenak, dan berucap lemah.
"Kita cepat tinggalkan tempat ini, Ka-
kang.... Aku tak ingin mati konyol!"
Sena menggaruk-garuk kepala dan mang-
gut-manggut. Segera sepasang pendekar itu mele-
sat meninggalkan rumah tua.
Dari kegelapan, sepasang mata merah
mengamati kedua pendekar yang pergi mening-
galkan rumah tua itu.
"Hi hi hi...! Ternyata ilmu Pendekar Gila boleh juga. Tapi si Bidadari Pencabut
Nyawa tak sehebat Pendekar Gila...!" terdengar suara dari seorang yang tak lain
lelaki buntung.... Dia muncul setelah Pendekar Gila dan Mei Lie pergi.
"Kenapa Kakang berbuat begitu pada Bida-
dari Pencabut Nyawa. Mereka bukan musuh kita,
Kakang. Kau menyimpang dengan rencana kita
semula...," tukas Dewi Sukmalelana yang kemudian muncul tiba-tiba.
"Diam kau! Jangan ikut campur! Aku su-
dah katakan saat inilah aku harus bertindak dan
memporak-porandakan Kadipaten Galih Putih la-
lu menguasainya! Ha ha ha...!" bentak lelaki buntung atau si Penyair Maut
"Perlahan-lahan Pendekar Gila dan kekasihnya itu aku bunuh. Baru
aku benar-benar aman...! Ha ha ha...!"
Lalu lelaki buntung itu melesat pergi sam-
bil tertawa-tawa. Dewi Sukmalelana kesal dan
menghela napas dalam-dalam.
"Kalau kau bertindak ceroboh, kau akan
menanggung akibatnya, Kakang...," gumam Dewi Sukmalelana bicara pada dirinya
sendiri. 7 Sepak terjang si Penyair Maut kian hari
kian merajalela. Lelaki buntung itu tanpa belas
kasihan membakar dan membantai siapa saja
yang ditemuinya. Tak peduli orang dari kalangan
persilatan maupun rakyat jelata yang berani me-
nentang atau melawan kehendaknya, harus mati
secara mengerikan. Tampaknya hal itu sengaja di-
lakukan untuk mendukung hasrat dan cita-
citanya menjadi orang yang paling ditakuti.
Akhirnya kabar tentang sepak terjangnya
itu sampai terdengar di kadipaten meresahkan
pikiran Pangeran Sasanadipa.
"Siapa lelaki buntung itu sebenarnya..."
Aku merasa tak pernah punya urusan atau ber-
musuhan dengannya. Pengawal, lipat gandakan
penjagaan! Di semua sudut, kerahkan semua pra-
jurit..!" perintah sang Pangeran pada Adhitia, yang kini menjabat senapati.
Diangkat oleh sang
Pangeran karena kesetiaannya.
Suasana di kadipaten malam ini tampak
sunyi. Hawa dingin menusuk tulang sumsum mu-
lai merambat, menambah suasana kian mence-
kam. Padahal pada malam-malam biasa masih
ada beberapa hilir-mudik di sekitar lingkungan
kadipaten. Namun malam ini Kadipaten Galih Pu-
tih terlihat lengang dan mencekam.
Pangeran Sasanadipa pun sudah siap den-
gan keris pusakanya. Diselipkannya keris itu di
pinggang. Kemudian Pangeran Sasanadipa men-
gatur seluruh prajurit dibantu para pengawal dan senapati.
"Jangan ada yang bertindak, sebelum ada
perintah dariku..,!" pesan Pangeran Sasanadipa pada para penjaga. Setelah itu
dia kembali ke ruangan khusus.
"Apakah manusia itu akan muncul malam
ini...?" tanya salah seorang prajurit pada teman jaganya.
"Mungkin. Perasaanku mengatakan demi-
kian...," jawab temannya lirih.
Malam semakin sepi, tak ada tanda-tanda
adanya malapetaka akan datang. Namun di ke-
jauhan tiba-tiba terdengar suara petikan kecapi
melengking memecahkan kesunyian.
Para penjaga dan pengawal tersentak kaget
Demikian juga Pangeran Sasanadipa. Suara leng-
kingan nyaring dari kecapi semakin keras terden-
gar seakan ingin memecahkan telinga. Alunan ke-
capi itu membuat suasana semakin mencekam.
Karena suara itu sangat mengundang rasa takut
"Siapa yang memainkan kecapi itu" Sung-
guh menyakitkan telingaku...!" tukas Pangeran Sasanadipa seraya bangkit berdiri.
Kemudian melangkah keluar.
"Semua siaga dan serang bila melihat yang
mencurigakan...!" seru Pangeran Sasanadipa
sambil terus melangkah keluar.
Suara kecapi terus terdengar dan semakin
keras membuat semua orang menutup telinga.
Dan kemudian disusul suara tawa yang mengge-
legar tanpa terlihat pemitiknya.
Pangeran Sasanadipa kini sudah berdiri
dikawal empat senapannya.
"Hei! Kau manusia atau dedemit, keluarlah!
Apa maksudmu mengacau malam-malam begini"!
Dan siapa kau. Tunjukkan wujudmu, jika kau
memang manusia!" seru Pangeran Sasanadipa
dengan lantang dan berwibawa.
"Ha ha ha...! Pangeran, kini rupanya kau
sudah pulih. Bagus. Ha ha ha...! Aku datang un-
tuk merampas kadipaten ini. Sebaiknya kau dan
orang-orangmu menyingkir saja, sebelum aku
bertindak.... Ha ha ha...!" terdengar suara jawaban yang menggema. Bagai suara
raksasa. Para prajurit dan pengawal kadipaten su-
dah siap untuk meringkus, jika manusia itu
muncul. "Edan! Kurang ajar...! Kau pikir aku tak
mampu mengalahkanmu. Ayo keluarlah kalau
kau ingin menantangku!" kembali Pangeran Sasanadipa berseru, sambil melangkah
beberapa tindak ke depan.
"He he he...! Kau kini bertambah gagah dan
berani, setelah bersekutu dengan Pendekar Gi-
la....! Ha ha ha...! Bagus, bagus..., tapi kau harus ingat, kau sebenarnya tak
mungkin mampu menghadapiku, Pangeran. Ha ha ha...!"
Suara tawa terdengar begitu keras dan
menggetarkan. Sementara alunan kecapi pun ter-
dengar melengking nyaring dipetik lebih cepat,
hingga suaranya kacau tak beraturan. Semakin
membuat telinga sakit
Suara petikan melengking itu seakan be-
rasal dari beberapa kecapi. Satu persatu prajurit yang tak tahan kesakitan
sambil menekap telinga.
Mereka sempoyongan lalu roboh. Satu persatu
para prajurit yang tak memiliki ilmu yang cukup
tinggi roboh dengan telinga mengeluarkan darah.
Melihat hal itu Pangeran Sasanadipa ma-
rah, lalu mencabut keris pusakanya. Lalu men-
gangkatnya tinggi-tinggi ke atas dan berseru.
"Hei! Setan belang, keluarlah! Jangan
membunuh orang yang tak berdosa! Kalau kau
berani hadapi aku...!"
"Ha ha ha... hebat, hebat! Jangan menyesal
jika aku membuatmu menangis dan merengek
minta ampun, Pangeran Dungu!"
Bersamaan dengan itu, muncul sesosok
bayangan hitam berkelebat di hadapan Pangeran
Sasanadipa. Sosok manusia berkaki buntung!
"Hah..."!" gumam Pangeran Sasanadipa
melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
"He he he... kau heran melihat keadaanku
yang ganjil ini" He he he.... Sekarang, cepat kita mulai! Aku sudah tak tahan
lagi ingin merasakan
kursi singgasanamu, Pangeran.... Ha ha ha...!"
ujar lelaki Penyair Maut dengan nada ngejek.
"Baik, bersiaplah kau, kalau itu yang kau
inginkan...," jawab Pangeran Sasanadipa.
Selesai berkata begitu, Pangeran Sasanadi-
pa membuka jurus 'Naga Geni'. Pangeran meng-
gerakkan keris di tangan kanannya bagai seekor
ular naga mencari mangsanya, meliuk-liuk den-
gan cepat Kaki kirinya ditekuk dan diangkat, se-
dangkan tangan kirinya merentang ke samping.
Lalu cepat kaki kirinya diturunkan dengan hen-
takan keras, hingga menimbulkan getaran hebat
di tanah. Sementara Senapati Adhitia dan para pra-


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurit mulai bergerak membuat lingkaran dengan
jarak empat tombak.
"Heaaa...!"
Pangeran Sasanadipa menyerang dengan
menusuk dan membabatkan kerisnya. Sinar pu-
tih yang disertai angin panas menyembur dari
ujung keris sang Pangeran.
Namun si Penyair Maut dengan tenang
mengelak sambil menangkis dengan kecapinya,
kemudian melompat keluar. Lalu menukik sambil
melakukan serangan yang cukup dahsyat Pange-
ran sempat tersentak kaget melihat serangan ba-
lik yang cepat itu. Untung dia masih bisa meng-
hindari serangan lelaki buntung itu dengan me-
rundukkan kepala, lalu berguling di tanah. Na-
mun tubuhnya segera bangkit dan memasang
kuda-kuda mantap.
"He he he...! Boleh juga kau, Pangeran. Ta-
pi kini terimalah ini! Heaaa...!" pekikan keras mengiringi tendangan Iblis
Penyair Maut Kedua
kakinya yang buntung itu seakan utuh, begitu
cepat dan sangat dahsyat
Wuttt! Wuttt! Pangeran sempat terbelalak kaget menyak-
sikan kaki buntung itu dengan cepat menendang
ke muka dan dadanya. Seperti layaknya kaki yang
utuh. "Edan!" gumam Pangeran Sasanadipa sambil mengelak dengan menjatuhkan badan
ke bela- kang, tubuhnya melakukan salto beberapa kali.
Dan ketika telah berdiri pada kedudukan cukup
mantap. Pangeran mengantarkan pukulan jarak
jauh sambil melompat memburu lawan.
"Heaaa...!"
Jglarrr...! Selarik sinar perak terpercik ketika puku-
lan jarak jauh Pangeran Sasanadipa beradu den-
gan kecapi si Penyair Maut. Kini kedua orang be-
rilmu tinggi itu, bertarung di udara. Kecepatan
gerak mereka membuat tubuh masing-masing
tampak seperti bayangan, saling berkelebat me-
nyerang dan menangkis.
Orang-orang yang menyaksikan nampak
kagum. Namun tetap waspada terhadap keadaan
sang Pangeran. Mereka semua telah siap untuk
menangkap lelaki buntung itu.
Bret! Lengan baju Pangeran Sasanadipa robek
terenggut kuku lelaki buntung yang runcing pan-
jang itu! Sang Pangeran tersentak kaget. Kalau
saja tubuhnya tak cepat mengelak, tentu kulit
lengannya robek dan kena racun kuku lelaki bun-
tung itu. "Edan! Gerakannya sulit kuatasi....'" gumam Pangeran Sasanadipa sambil terus
menga- wasi setiap gerakan lawan.
Lelaki buntung yang melihat Pangeran Sa-
sanadipa nampak kaget dan membelalak kaget,
tertawa mengejek.
"Ha ha ha...! Ayo, Pangeran, maju! Atau
kau mau menyerah" He he he...!"
"Bangsat..! Jangan kelewat sombong kau!"
teriak Pangeran Sasanadipa. "Terimalah pukulan-ku ini!" Habis berkata begitu,
Pangeran Sasanadipa menghantamkan tangan kanannya ke depan. Angin laksana bagai
menyerbu ke arah lelaki bun-
tung. "Heaaa...!"
Wusss...! Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat
bahkan hampir roboh terdorong angin pukulan
Pangeran Sasanadipa, si Penyair Maut serta-
merta mengibaskan kecapinya lalu diputar cepat.
Sangat dahsyat! Angin pukulan Pangeran Sasa-
nadipa seketika musnah!
Pangeran Sasanadipa kembali menge-
rutkan kening, keheranan menyaksikan kejadian
itu. Pukulan yang baru saja dilepaskan menggu-
nakan jurus 'Naga Geni Mematuk'. Salah satu ju-
rus yang sangat diandalkannya. Pangeran Sasa-
nadipa sudah yakin ilmu pukulan 'Naga Geni
Mematuk' yang sudah lama tak digunakan mam-
pu melumpuhkan lelaki buntung itu. Namun ter-
nyata dapat dimentahkan hanya dengan tangki-
san kecapi Menyadari kehebatan ilmu lawan, Pange-
ran Sasanadipa segera memerintahkan senapati
dan para prajurit agar menyerang lelaki buntung
itu. "Serang...! Tangkap penjahat itu...!"
Dengan cepat Senapati Adhitia merangsek
maju dengan keris di tangan, menyerang si Pe-
nyair Maut, diikuti para pengawal dan prajurit
Sementara itu, Pangeran Sasanadipa cepat
masuk ke kadipaten untuk mengambil tombak
pusakanya. Di luar pertarungan semakin seru. Si Pe-
nyair Maut dikeroyok belasan prajurit dan pen-
gawal kadipaten. Namun lelaki buntung itu den-
gan mudah menghabisi satu persatu lawan-
lawannya. Sudah banyak prajurit yang mati di
tangan lelaki buntung itu. Kini sampai pada Se-
napati Adhitia yang bertarung sengit menghadapi
keganasan Penyair Maut
Lelaki buntung itu menghantamkan keca-
pinya ke rusuk kiri Senapati Adhitia. Namun se-
napati itu masih bisa menangkis dengan kerisnya
sambil menjatuhkan diri ke samping. Gagal se-
rangan pertama si Penyair Maut terus mencecar
Senapati Adhitia yang jadi kewalahan.
Tiba-tiba lelaki buntung itu dengan cepat
membalikkan tubuh. Disusul dengan sabetan ke-
capinya ke kepala Senapati Adhitia yang belum
sempat mengatur keseimbangan.
"Heaaa...!"
Prak! Prak! "Aukh...!"
Kecapi menghantam kepala Senapati Adhi-
tia, hingga pecah. Darah segar pun muncrat. Se-
ketika nyawa Senapati Adhitia melayang. Tubuh-
nya ambruk mencium tanah.
Para prajurit dan pengawal kadipaten lain-
nya tercengang, melihat Senapati Adhitia yang
mati dengan sangat mengerikan. Mereka mulai
merasa kecut dan gentar. Namun karena terdo-
rong rasa setia pada Pangeran Sasanadipa, para
prajurit dan pengawal pantang mundur. Mereka
pertaruhkan nyawa untuk mengusir, menangkap
atau bila bisa membunuh lelaki buntung itu.
"Seraaang...! Tangkaaap...!" seru salah satu pengawal yang berbadan besar,
bernama Haryosasono.
Semangat para prajurit kembali berkobar.
Mereka segera menyerbu si Penyair Maut dan
mengepungnya. Rupanya keadaan seperti itu ju-
stru membuat lelaki buntung semakin kesetanan.
Dia lebih ganas membunuh siapa saja yang men-
dekat menyerangnya.
"Heaaat..!"
Dengan teriakan keras membahana lelaki
buntung itu melesat dengan memutar dan mengi-
baskan senjatanya.
Cras! Cras! Prak! Prak! "Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Jerit dan teriakan kematian bagai bersahu-
tan terdengar. Tak berapa lama sudah puluhan
mayat bergelimpangan di pelataran kadipaten.
Darah berceceran di tanah. Keadaan kadipaten
semakin kacau dan mengerikan. Jeritan kematian
menyayat, memilukan.
Hiruk-pikuk pertarungan itu sampai ke te-
linga Dewi Sukmalelana yang kurang setuju den-
gan tindakan Brajasukmana, suaminya. Hal itu
juga karena Dewi Sukmalelana sangat menghor-
mati dan kagum pada Pangeran Sasanadipa sejak
sebelum terjadinya malapetaka yang menimpa
Padepokan Gunung Talang.
Dewi Sukmalelana cepat melesat untuk
mencegah Brajasukmana yang membabi buta
membunuh para prajurit dan orang-orang tak
berdosa. "Yeaaat..!"
Dewi Sukmalelana melenting dan bersalto
di udara, lalu mendarat di tengah-tengah arena
pertarungan. Si Penyair Maut terkejut melihat kedatangan istrinya di tempat
pertarungan. "Hah"! Dewi, minggir! Jangan halangi aku!
Atau kau kini menantangku..."!" bentak lelaki
buntung itu dengan geram.
"Tindakanmu tak sesuai dengan rencana
kita, Kakang! Aku terpaksa menentangmu...!" jawab Dewi Sukmalelana dengan sinis.
"Kurang ajar! Aku mengerti sekarang, ru-
panya kau sudah tergoda oleh pangeran bodoh
itu! Terserah apa maumu! Heaaa...!"
Kini pertarungan semakin seru. Si Penyair
Maut bertarung dengan Dewi Sukmalelana, is-
trinya sendiri. Keduanya sama-sama tangguh. Pa-
ra prajurit dan pengawal, serentak mundur, dan
tetap membuat lingkaran sambil berjaga-jaga.
"Aneh, perempuan itu kini memihak ki-
ta...!" ujar salah seorang prajurit
"Ya. Untung perempuan itu segera datang
kalau tidak, kita lebih banyak yang korban! Mu-
dah-mudahan perempuan itu dapat mengalah-
kannya. Apalagi mampu membunuhnya," sahut
yang lain. "Diam kalian, tetap waspada, siapa tahu ini cuma siasat kedua manusia asing
itu!" bentak Haryosasono, pengawal pangeran.
Pertarungan Dewi Sukmalelana dan lelaki
buntung cukup seru. Keduanya bergerak begitu
cepat bagai bayang-bayang berkelebat ke sana
kemari. Saling pukul dan tangkis.
"Heaaa...!"
8 Dewi Sukmalelana mengibaskan rambut
saktinya. Seketika rambut itu berubah meman-
jang dan menyerang suaminya. Membuat lelaki
buntung itu harus melenting ke udara sambil
bersalto dan akhirnya mendaratkan kaki di pagar
benteng kadipaten. Dewi Sukmalelana terus
memburu dengan menghentakkan kedua telapak
tangan ke depan.
"Yeaaat..!"
Jlegarrr...! Dua larik api keluar dari telapak tangan
Dewi Sukmalelana. Menghantam ke tubuh si Pe-
nyair Maut yang berdiri di atas tembok kadipaten.
Namun lelaki buntung melompat untuk menghin-
dari serangan dahsyat itu. Hingga tembok kadipa-
ten hancur. Ledakan itu terdengar oleh Pangeran
Sasanadipa yang berada di dalam bersama dua
pengawalnya. "Suara apa itu"! Seperti ledakan!" seru Pangeran Sasanadipa dengan mengerutkan
kening. Tangan kanannya sudah menggenggam seba-
tang tombak berukuran satu lengan. Kepala tom-
bak terbuat dari kuningan. Batangnya hitam le-
gam. Lalu pangeran segera melangkah ke pintu
keluar. Diikuti dua pengawalnya.
Sampai di luar, Pangeran Sasanadipa san-
gat terkejut, melihat yang bertarung kini Dewi
Sukmalelana dan lelaki buntung itu.
"Siapa perempuan itu sebenarnya..." Men-
gapa dia memihak kita. Tapi rasanya aku pernah
melihat wajah perempuan itu...," gumam Pangeran Sasanadipa lirih.
"Ya, saya pun pernah mengenalnya, Kan-
jeng Pangeran," pengawal mengingat-ingat, lalu....
"Saya ingat, Kanjeng Pangeran, perempuan itu kalau tak salah penari Tayub tempo
hari. Yang juga melawan Danur Saka dan Beruk Singgala,
sebelum Pendekar Gila membantunya...."
Pangeran manggut-manggut, lalu menghela
napas dalam-dalam.
"Ya, ya... betul aku agak lupa. Tapi mung-
kin kau benar...."
Dewi Sukmalelana terkesiap. Serangan
yang dilancarkannya tadi memang hanya meru-
pakan satu tipuan. Tapi bagaimana suaminya itu
bisa membaca"! Dewi Sukmalelana mulai sadar,
bahwa ilmunya sudah melekat pada diri lelaki
buntung itu. Lagi pula jurus mereka hampir sa-
ma, serupa. Hanya saja si Penyair Maut berada
lebih tinggi di atasnya.
Setelah mementahkan serangan Dewi
Sukmalelana, Brajasukmana menerjang ke depan.
Kecapinya berkelebat bertubi-tubi ke wajah dan
kepala istrinya. Untung Dewi Sukmalelana memi-
liki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, hingga
dapat mengelakkan semua serangan si Penyair
Maut Brajasukmana atau si lelaki buntung me-
mutar kecapinya dengan cepat, hingga sinar kebi-
ruan tampak bertabur bergulung-gulung. Dia co-
ba merangsek ke depan untuk membuyarkan se-
rangan Dewi Sukmalelana yang mengandalkan


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambut panjang tak terbatas itu.
Rambut itu kini terpegang tangan kiri si
Penyair Maut, lalu dengan cepat pula dililitkan di kecapi saktinya. Kemudian
lelaki buntung itu
menghentaknya dengan keras. Sehingga Dewi
Sukmalelana memekik kesakitan, dan coba me-
lemparkan diri dari cengkeraman Brajasukmana.
"Kau perempuan laknat! Perlu dikasih pela-
jaran! Aku masih sayang padamu Dewi, sekarang
pergi dan jangan ganggu aku lagi...!" bentak lelaki buntung marah dan kemudian
dia memotong rambut yang panjang itu dengan tangannya yang
setajam pisau. Lalu menghentakkannya kuat-
kuat tubuh Dewi Sukmalelana.
"Ukh...!" Dewi Sukmalelana memekik, tubuhnya terdorong ke belakang dan jatuh ke
ta- nah. Pangeran Sasanadipa yang melihat itu se-
gera maju sambil berteriak.
"Kau lelaki biadab! Tangkap dia...!"
Kembali prajurit dan orang-orang kadipa-
ten menyerang lelaki buntung. Pangeran kali ini sudah kehilangan kesabaran
menghadapi si Penyair Maut
Pertarungan kembali terjadi dengan seru.
Sampai akhirnya pangeran yang bermaksud me-
nyelamatkan Dewi Sukmalelana, kini menjadi bu-
lan-bulanan lelaki buntung itu. Tombak pusa-
kanya pun tak mampu mengalahkan kehebatan
ilmu si Penyair Maut Bahkan kemudian terlepas
dari genggamannya.
Dewi Sukmalelana yang melihat Pangeran
Sasanadipa, segera melesat untuk membela. Wa-
laupun kekuatannya sudah berkurang, karena
rambut saktinya dipotong oleh Brajasukmana.
"Yeaaat..!"
Plak! Plak! "Heaaa...!"
Dewi Sukmalelana mendesak si Penyair
Maut dengan jurus-jurus mautnya. Dilancarkan
serangan dengan tendangan tanpa wujud, yang
membuat suaminya sempat terdesak dan kewala-
han. Disusul dengan semburan api yang keluar
dari telapak tangan.
Wusss...! Glarrr...! Lelaki buntung itu terlontar ke belakang
ketika serangan Dewi Sukmalelana yang bertubi-
tubi menghantamnya. Namun, si Penyair Maut itu
bukan tokoh sembarangan, dia tak mengalami lu-
ka sedikit pun, bahkan tertawa-tawa.
"Dewi, rupanya kau sudah tak bisa lagi ku-
sayangi. Dan aku pun tak ingin rencanaku untuk
menguasai kadipaten ini gagal, terpaksa aku ha-
rus membunuhmu.... Heaaa...!"
Selesai berkata demikian, secepat kilat si
Penyair Maut melesat dan menghentak-
hentakkan senar kecapinya sambil membuat ge-
rakan aneh. Pangeran Sasanadipa terperangah menyak-
sikan gerakan si Penyair Maut yang tak pernah ia saksikan. Tubuh lelaki buntung
itu bersalto dengan cepat di udara, hingga seperti gumpalan hi-
tam saja. Lalu senar-senar kecapi itu dengan ga-
nas, dihentakkan. Bagai hidup senar-senar itu
pun menghantam ke arah Pangeran Sasanadipa
dan Dewi Sukmalelana.
Srakkk! Trakkk...!
Swing! Swing! "Fit...!" Dewi Sukmalelana mencoba me-
nangkis dengan mengibaskan ikat pinggangnya.
Senar-senar itu melilit ikat pinggang Dewi Suk-
malelana. Dengan cepat si Penyair Maut meng-
hantamkan kecapinya ke dada sang Istri yang ter-
tarik oleh kekuatan gaib yang dikeluarkannya.
Pada saat kecapi itu diayunkan ke atas, hendak
menghantam kepala Dewi Sukmalelana, tiba-
tiba.... Berkelebat sosok bayangan di udara. Dengan cepat bayangan itu menghajar
kepala lelaki buntung yang hendak menghantamkan kecapi itu
ke kepala Dewi Sukmalelana.
"Heaaa...!"
Plak! Plak! "Aaa...!"
Si Penyair Muat memekik dan terhuyung-
huyung ke belakang.
"Bangsat kau, Pendekar Gila...!" bentak si Penyair Maut, ketika tahu kalau yang
menghalangi maksudnya ternyata Sena.
Pangeran Sasanadipa merasa lega, dengan
kedatangan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut
Nyawa. "Aku sebenarnya tak ingin ikut campur urusanmu. Tapi rupanya kau
keterlaluan, Kisanak..," ujar Pendekar Gila dengan tenang sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Itu urusanku! Aku pun tak suka kau sela-
lu campur tangan. Aku telah berubah pikiran.
Bahwa aku akan membunuhmu sekarang. Hhh...
aku akan berkuasa di jagad ini.... Ha ha ha...!
Bersiaplah kau, Pendekar Gila...! Heaaa...!"
Brajasukmana melesat cepat menyerang
Pendekar Gila dengan pukulan berantai, yang
mengeluarkan jarum-jarum beracun.
Pendekar Gila dengan tenang mengelak
dan melenting ke udara.
"Awas...!" seru Mei Lie mengingatkan Pangeran Sasanadipa agar menyingkir. Sambil
me- nangkis jarum-jarum beracun yang sebagian me-
luncur ke tubuhnya, dengan Pedang Bidadari-
nya. Sementara itu Dewi Sukmalelana cepat men-
dekati Pangeran Sasanadipa dan mengajaknya
menghindar dari tempat itu. Mei Lie yang melihat itu merasa curiga. Kemudian
cepat mendekati
Dewi Sukmalelana dan Pangeran Sasanadipa
yang tengah terluka itu.
"Mau kau bawa ke mana pangeran" Jangan
coba-coba macam-macam...!" tegur Mei Lie, sambil menghunuskan Pedang Bidadari-
nya ke arah Dewi Sukmalelana.
"Aku tidak bermaksud buruk terhadap
pangeran, percayalah! Aku memang istri lelaki
buntung itu, tapi aku tak setuju dengan renca-
nanya yang buruk itu.... Aku datang karena ingin menyelamatkan pangeran. Kau
boleh tanya pada
pangeran sendiri...," tutur Dewi Sukmalelana polos.
"Benar, Mei Lie. Kalau saja perempuan ini
terlambat datang, mungkin aku sudah dikuasai
lelaki buntung itu...," jawab Pangeran Sasanadipa dengan menahan sakit.
"Kalau kau tak keberatan, maukah mem-
bantuku untuk mengobati luka pangeran?" pinta Dewi Sukmalelana pada Mei Lie
kemudian. Mei Lie berpikir sejenak, lalu mengangguk-
kan kepala. "Ayo, cepat kita obati pangeran...!" ajak Mei Lie kemudian. Dewi Sukmalelana
nampak senang. Segera kedua perempuan muda itu mema-
pah tubuh Pangeran Sasanadipa masuk ke kadi-
paten. "Pendekar Gila, rupanya kau pun ingin mencari mampus! Kau telah berani
mencampuri urusanku! Kau harus mati di tanganku!"
Pendekar Gila tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he...! Ocehanmu seperti si buntung
yang ingin naik gunung saja! Ah ah ah...! Sung-
guh sombong kau, Kisanak...!" sindir Sena.
"Kurang ajar! Heaaa...!"
Dengan jurus 'Iblis Membelah Samudera',
si Penyair Maut segera menyerang. Kedua tan-
gannya bergerak membelah ke muka Pendekar
Gila, mengeluarkan racun ganas. Gerakannya in-
gin mencakar wajah dan dada Pendekar Gila.
"Eits! He he he... leherku terlalu licin, Kisanak!" Pendekar Gila segera
meliukkan tubuhnya dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu
dengan cepat Suling Naga Sakti
diambilnya, dan langsung disodokkan ke tubuh
lawan. "Ini bagianmu, Kisanak..! Heits...!"
Lelaki buntung itu tersentak kaget melihat
gerakan Pendekar Gila yang sangat aneh. Sepin-
tas nampak pelan dan lemah. Tapi sesungguhnya
sangat dahsyat. Bahkan mampu menjangkau
pinggangnya yang pendek. Dengan cepat diba-
batkan kecapinya memapak serangan itu.
"Haits...!"
Prak! Glarrr...! Ledakan keras terdengar diikuti melompat-
nya kedua orang itu. Sesaat keduanya terdiam
berhadap-hadapan. Kemudian si Penyair Maut
segera mengerahkan jurus 'Iblis Menusuk Gu-
nung', lelaki buntung itu menyatukan jari telun-
juk kuat-kuat. Kuku-kukunya yang runcing dan
panjang mengarah ke Pendekar Gila.
Melihat itu Pendekar Gila hanya senyum-
senyum dan menepuk-nepuk pantat, lalu mem-
buka jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya
bergerak laksana melepas lilitan tali. Berputar begitu cepat. "Heaaa...!"
Jari-jari tangan lelaki buntung itu bergerak
cepat menyerang dengan tusukan ke bagian dada
Pendekar Gila, disusul ke samping kanan dan ki-
ri. Gerakannya sangat cepat dan lincah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Sul-
ing Naga Sakti di tangan kanan diputarnya, lalu digerakkan lurus ke atas.
"Yiaaa. ..!"
"He he he.... Edan! Galak benar si buntung
ini...!" *** Didahului pekikan menggelegar, keduanya
kembali melakukan serangan. Tangan dan jari-
jari lelaki buntung bergerak cepat. Menusuk ke
depan, menghantam ke samping. Diteruskan den-
gan cakaran dari atas ke bawah, kemudian dis-
ambung dengan sambaran dari kiri ke kanan.
Saking cepatnya, gerakan tangan itu, seperti hi-
lang. Yang nampak hanya bayangan hitam berke-
lebat. Tak sampai di situ, si Penyair Maut me-
nyentakkan senar-senar kecapinya ke arah Pen-
dekar Gila. "Heaaa...!"
Crak! Crak! Namun serangan itu tak mengenai sasaran.
Senar-senar itu dapat dipatahkan oleh tangkisan
Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila. Bahkan
senar-senar itu berbalik menguasai pemiliknya.
"Ukh...! Bangsat!" umpat si Penyair Maut sambil memekik kesakitan. Senjata makan
tuan. Lelaki buntung segera membuat gerakan cepat
dan sangat berbahaya. "Heaaa...!"
Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat
sulit ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera mengerahkan jurus
andalannya, 'Si Gila
Menembus Badai'.
"Heaaa...!"
"Haittt..!"
Wut! Blak! Prak! Kecapi dan Suling Naga Sakti beradu. Pija-
ran api keluar dari benturan kedua benda itu.
Asap putih keperakan dan beracun terus bergu-
lung-gulung menyerang Pendekar Gila. Kalau ti-
dak pernah meminum 'Darah Ular Putih', pasti
Pendekar Gila telah tewas! Namun dia kebal dari
segala macam racun (Untuk jelasnya, silakan ba-
ca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kwan Im").
Agak kaget juga lelaki buntung menyaksi-
kan Pendekar Gila tidak mempan racun yang ke-
luar dari kuku-kukunya. Gerakan tangannya se-
makin dipercepat, berusaha menghancurkan Sul-
ing Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut! Prak! Prak! "Heaaa...!"
Saling tangkis dan pukul terus berlang-
sung antara kedua orang sakti itu. Mereka beru-
saha untuk mengalahkan satu sama lainnya.
Namun sejauh itu, belum tampak ada yang kalah.
Pendekar Gila terus menyodokkan sulingnya den-
gan masih menggunakan jurus 'Si Gila Menembus
Badai'. Sesekali sulingnya disabetkan ke tubuh
lawan, atau didongakkan ke atas berusaha mem-
buka tangkisan lawan yang cukup tangguh itu.
"Heaaa...!"
"Uts...!"
Lelaki buntung cepat-cepat membuang
muka ke samping. Lalu dengan cepat menghan-
tamkan kecapinya ke tubuh Pendekar Gila den-
gan jurus 'Sapuan Badai Neraka'.
Wut! Melihat kecapi menderu ke arahnya, den-
gan cepat Pendekar Gila menarik serangan. Lalu
memutar sulingnya hingga setengah lingkaran.
Dipapaknya hantaman kecapi dengan jurus 'Si
Gila Menipu Lawan Memukul Karang'.
"Hih...!"
Prak! Keduanya melompat ke belakang. Berdiri
saling berhadapan. Kemudian kembali saling me-


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyerang dengan didahului pekikan menggelegar.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Tubuh keduanya melesat cepat. Sampai di
udara, mereka berusaha saling menyerang. Suling
Naga Sakti menyodok ke wajah lawan. Sedangkan
kecapi yang terbuat dari perak itu menghantam
ke kepala Pendekar Gila.
Wrets! "Hups!"
Wut! Pendekar Gila berguling ke samping, men-
gelakkan hantaman kecapi lawan. Kemudian den-
gan cepat, sulingnya disodokkan kembali ke wa-
jah lawan. Namun lawan tak pernah lengah sedi-
kit pun. Dengan cepat lelaki buntung itu menarik kepalanya ke belakang.
Melihat lelaki buntung itu mampu meng-
hindari serangannya, Pendekar Gila menurunkan
tangan agak ke bawah. Kali ini sulingnya dis-
odokkan ke dada lawan.
"Heaaa...!"
"Heh"!"
Lelaki buntung itu tersentak kaget menda-
patkan serangan cepat itu. Lalu berusaha me-
nangkis dengan mengebutkan kecapinya ke tu-
buh Pendekar Gila.
"Hop! Yeaaa...!"
Melihat hantaman itu, Sena cepat-cepat
menekuk lutut ke bawah, lalu meliuk ke samping.
Setelah kecapi lawan menderu, kakinya bergerak
cepat menendang kecapi dengan jurus 'Si Gila
Menyapu Bumi'. Plak! "Heaaa...!"
Tubuh si Penyair Maut terhuyung ke samp-
ing, terkena dorongan tenaga dalam pada keca-
pinya. Sementara Pendekar Gila yang menyaksi-
kan lawan terhuyung, segera menyodokkan Sul-
ing Naga Sakti ke dada lawan yang tak mampu
mengelak lagi. Dugkh! "Hukh...!"
Blukkk! Lelaki buntung itu terdorong ke belakang,
lalu jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara
keras. "Bangsat! Akan kuremukkan tubuhmu
Pendekar Gila...!" dengus si Penyair Maut
"Ha ha ha...! Aku ingin lihat, siapa yang le-
bih dulu mati, kau apa aku!" sahut Pendekar Gila sambil tertawa dan menggaruk-
garuk kepala. Keduanya bergerak cepat Kecapi perak di-
pegang dengan dua tangan menderu keras me-
nyambar Pendekar Gila. Asap tebal berwarna pu-
tih keperakan semakin banyak keluar.
Para prajurit dan orang-orang yang me-
nyaksikan, mundur bahkan ada yang lari ketaku-
tan. Karena tahu asap itu beracun. Hingga kea-
daan di halaman Kadipaten Galih Putin semakin
riuh dan kacau.
Mei Lie dan Dewi Sukmalelana yang baru
saja keluar dari kadipaten menyaksikan perta-
rungan itu, Dewi Sukmalelana yang tahu kedah-
syatan asap pukulan itu, cepat melangkah mun-
dur lima tombak Wajahnya menggambarkan ke-
cemasan, takut kalau-kalau Pendekar Gila akan
terkena racun ganas itu.
"Celaka racun itu! Pendekar Gila akan le-
mas terkena racun itu...," gumam Dewi Sukmalelana. "Jangan khawatir! Sena dapat
menangkal-nya," sahut Mei Lie dengan bangga. Karena dirinya tahu Pendekar Gila
telah kebal dengan sega-la macam racun.
Pendekar Gila memang nampak tak ter-
pengaruh sedikit pun terhadap racun itu.
"Heaaa...!"
Prang! Keduanya terus bergerak cepat, saling me-
nyerang dan menangkis. Kini bukan hanya senja-
ta mereka yang bertemu, tapi kaki mereka pun
saling berusaha menyapu dan menendang lawan.
Si Penyair Maut yang tak memiliki kaki sempurna
menggunakan 'Ilmu Tendangan Iblis' Seakan dia
memiliki kaki utuh. Pendekar Gila sempat tersen-
tak kaget, karena tendangan itu tak berwujud.
Namun Sena dapat menguasai keadaan.
Sudah puluhan jurus yang mereka kelua-
rkan, tapi keduanya sama-sama kuat. Mereka te-
rus bertarung bagai tak mengenal telah.
Malam semakin larut, suasana di halaman
kadipaten itu masih terdengar hiruk-pikuk perta-
rungan. Pekikan-pekikan keras ditingkahi bentu-
ran kecapi dan suling terus terdengar.
"Hiaaa...!"
Kecapi di tangan si Penyair Maut bergerak
cepat memburu dan membabat lawan. Melihat se-
rangan lawan, Pendekar Gila segera mengegos ke
samping. Kemudian menghantamkan Suling Naga
Sakti-nya ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Dugkh! "Hukh...!"
Tubuh lelaki jangkung itu terhuyung-
huyung ke belakang. Darah tampak meleleh
membasahi wajahnya. Melihat itu, Pendekar Gila
tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat, dihan-
tamkannya pukulan sakti 'Inti Brahma' ke tubuh
si Penyair Maut.
"Terimalah kematianmu! Heaaa...!"
Dari telapak tangan Pendekar Gila melesat
larikan api yang menyala-nyala memburu tubuh
si Penyair Maut. Tanpa ampun lagi, api pun
membakar tubuh lelaki buntung itu.
Wusss...! Blab! "Wuaaa...!"
Si Penyair Maut menjerit-jerit. Tubuhnya
berguling-guling, berusaha memadamkan api
yang melahap tubuhnya. Namun api itu sulit di-
padamkan. Lelaki buntung berpakaian itu berke-
lojotan terbakar. Kecapi perak di tangannya terlepas. Saat itu juga Pendekar
Gila meniup Suling
Naga Saktinya dengan suara mendayu. Rupanya,
Sena berusaha menyempurnakan kematian lelaki
buntung itu. "Wuaaa.... Tobat!" pekik si Penyair Maut dengan tubuh masih berkelojotan.
Telinga dan hi-dungnya mengeluarkan darah. Tak lama kemu-
dian, gerakannya pun berhenti, menandakan ajal
telah menjemputnya.
Sena menghentikan tiupan Suling Naga
Sakti-nya. Dengan menghela napas panjang, Sena
kemudian nampak merasa lega.
"Kakang...!" teriak Dewi Sukmalelana
menghambur menghampiri mayat suaminya yang
hangus. Mei Lie memburunya dan coba mene-
nangkan. "Bukankah kau tadi juga ingin melawan
dan membunuh dia..." Dia pantas mendapatkan
ganjaran. Tapi kalau aku boleh tahu, siapa kalian sebenarnya...?" tanya Mei Lie
kemudian Ingin ta-hu. Dewi Sukmalelana tak langsung menjawab.
Matanya masih memandang sedih mayat lelaki
buntung itu. Pendekar Gila lalu menghampirinya, begitu
juga Pangeran Sasanadipa yang dibantu dua pen-
gawalnya. "Maafkan aku! Aku terpaksa membunuh-
nya, demi ketenteraman dunia persilatan dan ka-
dipaten ini.... Makilah aku, jika kau anggap aku terlalu kejam terhadap lelaki
buntung itu!" ujar Sena dengan polos. Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Tidak! Kau tak bersalah Pendekar Gila.
Kau telah berbuat benar. Kakang memang harus
menerima kenyataan ini.... Namun yang aku se-
dihkan, kenapa sifat dan tindak-tanduknya beru-
bah, setelah kami berhasil membunuh Beruk
Singgala dan Danur Saka. Dia jadi murka. Ingin
menguasai kadipaten dan menantangmu, Pende-
kar Gila...," tutur Dewi Sukmalelana sedih.
"Sudahlah, tapi aku masih ingin tahu sia-
pakah kau sebenarnya" Kenapa kelima orang dari
partai sesat Panca Siwara yang menjadi sasaran
utama...?" tanya Pangeran Sasanadipa pada Dewi Sukmalelana.
"Panjang ceritanya, Kanjeng Pangeran....
Kami sebenarnya dari aliran putih. Dulu kami
menempati Padepokan Gunung Talang yang di-
pimpin kakak iparku, Ki Damar Kiwangi... Mung-
kin Pangeran sendiri masih ingat, keadaan sepu-
luh tahun yang silam...," tutur Dewi Sukmalelana menjelaskan.
Pangeran Sasanadipa mengerutkan kening,
lalu memegangi keningnya. Nampak berusaha
mengingat sesuatu.
"Ya, ya aku ingat sekarang. Ki Damar Ki-
wangi adalah seorang yang bijaksana dan berse-
kutu dengan kami. Lalu apa hubunganmu dengan
lelaki buntung itu?"
"Lelaki buntung ini, suamiku. Dan nama
sebenarnya Anjang Kawiwangi. Adik dari Ki Da-
mar Kiwangi satu-satunya...," tutur Dewi Sukmalelana. "Dan aku sendiri
Saraswati...."
Pangeran manggut-manggut, merasa telah
jelas semuanya. Begitu juga Sena dan Mei Lie.
"Lalu kenapa tiba-tiba melawan suamimu
sendiri setelah orang-orang yang pernah menyaki-
timu terbunuh...?" tanya Mei Lie menyelidik.
"Kau rupanya masih ragu dengan ceritaku,
Nini. Baiklah akan kujelaskan. Aku dan Kakang
Anjang sudah sepakat untuk membalas dendam
setelah selamat dari kematian. Namun aku sendi-
ri heran, setelah berhasil membunuh Beruk Sing-
gala yang memiliki ilmu sihir, Kakang berubah
perangainya. Aku tak ingin Pangeran Sasanadipa
yang telah menderita cukup lama karena ulah Be-
ruk Singgala dan teman-temannya harus menga-
lami kesengsaraan lagi. Karena aku masih ingat,
pada masa sepuluh tahun lalu, Pangeran Sasana-
dipa begitu bijaksana dan baik budi terhadap ke-
luarga Ki Damar Kiwangi, termasuk aku. Itulah
sebabnya aku menantang suamiku sendiri, wa-
laupun aku tahu nyawaku akan melayang di tan-
gannya. Aku rela, demi keadilan semua. Hanya
itulah yang dapat kujelaskan.... Aku sudah lelah sekali hidup di dunia
persilatan yang penuh sega-
la macam peristiwa yang sangat menakutkan, iri,
dengki, dan tipu muslihat terus berlanjut...," tutur Dewi Sukmalelana atau
Saraswati mengakhiri
penjelasannya. Pendekar Gila dan Mei Lie menghela napas
panjang, keduanya terharu mendengar tutur kata
Dewi Sukmalelana. Begitu juga Pangeran Sasana-
dipa. "Maafkan aku, yang telah mencurigaimu, Saraswati...!" kata Mei Lie dengan
tulus, lalu memeluk Dewi Sukmalelana. Penuh persahabatan.
"Aku dapat memaklumi, Nini. Tak apa-
lah..., kalian juga telah menyelamatkan jiwaku...,"
sahut Saraswati lemah.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala
dan cengar-cengir melihat kedua perempuan yang
saling berpelukan itu. Pangeran pun merasa lega, wajahnya nampak cerah.
"Tak usah disedihkan lagi Saraswati! Aku
tak keberatan bila kau ingin tinggal di kadipaten.
Pintu selalu terbuka untukmu...," saran Pangeran Sasanadipa penuh kasih.
"Terima kasih, Pangeran.... Hamba sudah
lelah hidup dan lagi pula, hamba telah berjanji
akan hidup dan mati bersama Kakang Anjang
Kawiwangi...."
Selesai berkata begitu, Saraswati atau Dewi
Sukmalelana segera mencabut keris dari balik
ikat pinggangnya lalu cepat menusukkan keris itu ke dadanya.
Cras! Cras! "Ukh...!"
Seketika tubuh perempuan malang itu ke-
jang-kejang, lalu kaku. Mati!
Mei Lie memeluknya dengan penuh keha-
ruan. Demikian juga Sena dan Pangeran Sasana-
dipa. Mereka merasa haru melihat kenyataan
mengenaskan itu. Namun mereka tak kuasa ber-
buat apa-apa. Karena Dewi Sukmalelana atau Sa-
raswati telah mengambil jalan demikian, demi
cinta dan janji setianya pada Anjang Kawiwangi,
si lelaki buntung itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Edited by Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kisah Sepasang Rajawali 27 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih 2
^