Dewi Ratu Maksiat 2
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat Bagian 2
jawab Datuk Tambureh menggeragap.
"Aku tunggu sebelum matahari tenggelam!"
ucap harimau itu, sebelum menghilang mening-
galkan datuk yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan
mengucapkan mantera, Datuk Tambureh mela-
kukan perubahan wujud, seketika wujud sang
Datuk berubah menjadi harimau hitam legam.
Tanpa menunggu-nunggu lagi harimau hitam itu
mengaum lalu berkelebat tinggalkan ruang sema-
di lewat lubang di belakang.
*** Harimau siluman itu terus menyusup ke
pekarangan sebuah rumah di Desa Ngantap. Hi-
dungnya digerak-gerakkan, sepertinya harimau
siluman itu tengah mencari-cari bau darah pera-
wan. Kemudian melompat dengan tak mengelua-
rkan suara sedikit pun.
Di dalam sebuah rumah bilik tampak lam-
punya belum dimatikan, meskipun hari sudah la-
rut malam dan sepi. Terdengar dari dalam rumah
itu suara tawa genit dari seorang gadis dan suara seorang pemuda.
"Ayolah Srini, kakang sudah tak tahan un-
tuk menunggu lebih lama lagi...!" ucap seorang pemuda yang nampak menahan
birahinya. Napasnya terdengar mendesah-desah.
"Hi hi hi...! Sabar dulu, Kang Pujo. Kan
tinggal lima hari lagi," sahut Srini dengan manja lalu menggigit bibirnya
sendiri. "Kakang tahu, Sri. Tapi kakang tak tahan
lagi. Ayolah sekali saja, ya...!" rayu Pujo. Lalu pemuda itu mencium pipi Srini.
Dan tangan kanan-
nya mengusap-usap paha gadis yang masih pera-
wan itu. Sedangkan tangan kirinya merangkul
dengan erat "Kang.... Jangan, Kang! Nanti ketahuan
bapak. Sabar, Kang!" pinta Srini tersendat-sendat.
Karena Pujo yang sudah dirasuki nafsu birahinya
terus menyusupkan kepalanya ke dada Srini yang
montok, mulus, dan putih itu. Tak dipedulikan
ucapan Srini. Sampai akhirnya gadis itu pun terangsang.
Hingga dia pun membalas memeluk dan mencium
Pujo dengan desah napas mulai memburu.
Pujo, cepat merebahkan tubuh Srini yang
calon istrinya di ranjang beralaskan tikar. Ditin-dihnya tubuh gadis itu sambil
terus mencium le-
hernya. "Hooh.... Aaih... sss...!"
Srini merintih dan mendesah. Pujo mulai
melepas pakaian kekasihnya.
Kini Srini yang masih perawan itu sudah
tanpa pakaian. Tak sehelai benang pun yang me-
nutupi tubuhnya yang mulus dan padat itu. Buah
dadanya yang sebesar mangga, keras, dan me-
nantang. Membuat Pujo tak bisa lagi menahan
lama-lama. Namun baru saja Pujo selesai mem-
buka celananya, tiba-tiba...
"Grrr...!"
Terdengar suara menggereng menggetar-
kan. Pujo terkejut kaget menoleh ke sana kemari
mencari datangnya suara. Belum sempat pemuda
itu mengetahui, seekor harimau kumbang mene-
robos masuk, langsung menerkam tubuhnya dan
menggigit sampai mati.
Srini menjerit, namun suaranya tak ada.
Mata harimau siluman itu mengeluarkan sinar hi-
jau menatap mata Srini. Seketika gadis itu terku-
lai pingsan. Sesaat kemudian harimau siluman
berubah menjadi sosok manusia. Kemudian cepat
membawa Srini keluar dengan menembus dinding
rumah itu. Ayah dan ibu Srini yang terbangun dan da-
tang ke kamar anaknya sempat melihat sosok
manusia membawa Srini pergi. Kedua orang tua
itu kaget dan makin kaget ketika melihat calon
menantunya dengan mengerikan.
"Tolong...! Ada rampok!"
"Tolong...!" teriak ibu Srini sambil lari keluar. Ki Rambi, ayah Srini masih
berdiri kaku menatap mayat Pujo yang lehernya hampir putus.
Tak lama kemudian para penduduk Desa
Ngantap berdatangan ke rumah Ki Rambi, karena
mendengar jeritan ibu Srini yang histeris tadi.
"Bagaimana kejadiannya, Ki Rambi"!" tanya Ki Lurah Kirjo Mulyo.
Ki Rambi hanya menggelengkan kepala
perlahan, lalu menarik napas dalam-dalam. Wa-
jahnya nampak sedih karena memikirkan nasib
anak gadisnya yang lima hari lagi akan dinikah-
kan. Kini telah hilang diculik manusia aneh.
"Ini pasti perbuatan mayat-mayat hidup
yang pernah melanda Desa Tumpang beberapa
hari yang lalu, Ki Lurah...!" kata seorang lelaki berbadan tinggi besar dan
berkumis tebal geram.
"Aku rasa bukan, sebab hal ini yang diba-
wa lari Srini, gadis yang masih perawan. Sedang-
kan kejadian di Desa Tumpang, para perjaka yang
dibawa oleh mayat-mayat hidup itu," tutur Ki Lurah menjelaskan pada lelaki
berbadan tinggi besar yang bernama Diman.
"Jadi, kalau begitu siapa pelakunya, Ki"!"
tanya seorang lelaki berambut putih dengan ikat
kepala hitam. Ki Kirjo Mulyo tak langsung menjawab. Dia
nampak berpikir sejenak. Sementara itu Nyi
Rambi masih menangis ditemani para ibu-ibu lain
yang merasa iba.
"Kita sebaiknya cepat menguburkan mayat
Pujo. Nanti kita bicarakan lagi soal ini," kata Ki Lurah Kirjo Mulyo kemudian.
Lalu orang-orang cepat menggotong mayat
Pujo untuk dikuburkan.
6 Malam datang menyelimuti bumi, membuat
suasana gelap dan dingin mencekam. Suara angin
yang menerpa dedaunan, serta suara binatang
malam, seperti mengalunkan tembang-tembang
aneh yang membuat tubuh merinding. Mereka
seakan membawakan syair-syair bagi jiwa-jiwa
yang tengah dilanda ketakutan. Bulan sabit pun
mengintip di balik awan, seolah-olah enggan me-
nampakkan wujudnya.
Malam itu, Perguruan Bajing Ireng nampak
sunyi. Di luar perguruan itu nampak empat orang
murid perguruan sedang berjaga-jaga. Karena
mereka sudah mendengar adanya sepak terjang
Datuk Tambureh dan Dewi Ratu Maksiat yang in-
gin menculik dan membunuh semua tokoh persi-
latan baik aliran putih maupun hitam. Dan tiba-
tiba.... Swing...!
Jlep! "Aaa...!"
Seorang murid Perguruan Bajing Ireng
yang sedang berjaga di pintu gerbang memekik
keras. Sebuah senjata rahasia berupa tusuk
konde beracun menghunjam di dada pemuda itu.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba senjata ra-
hasia itu melesat dan menghunjam tubuhnya.
Mendengar temannya menjerit, tiga orang
murid lainnya yang juga tengah berjaga-jaga ter-
sentak. Betapa terkejut mereka melihat temannya
terkapar tewas.
"Pembunuhan! Tusuk konde beracun...!"
seru ketiga murid itu berusaha mengundang per-
hatian orang-orang perguruan agar terbangun da-
ri tidurnya. Namun tiba-tiba...,
"Akh...!"
Belum juga habis ucapannya, orang itu su-
dah memekik keras. Dadanya tertancap sekun-
tum tusuk konde beracun yang menembus ke da-
lam. Tubuhnya seketika mengejang lalu ambruk
tanpa nyawa, kemudian membiru.
Jlep! Jlep! "Aaakh...!"
Dua orang lainnya kontan memekik keras,
ketika beberapa tusuk konde menghunjam dada.
Mata mereka melotot menyaksikan sebuah
bayangan berkelebat cepat keluar dari kegelapan.
Bayangan kuning itu laksana angin yang berhem-
bus. Sesaat keduanya kelojotan kemudian tewas.
Bayangan kuning itu terus melesat menuju
kamar Ketua Perguruan Bajing Ireng, yang ber-
nama Ki Galingga.
Brak! "Heh"!" Ki Galingga tersentak
Swing! Swing! Dua tusuk konde beracun melesat cepat ke
arah tubuh Ki Galingga. Beruntung lelaki tua itu
cepat membuang tubuhnya dan berguling ke
samping. Namun tak urung, istri mudanya men-
jadi sasarannya tusuk konde beracun.
Jlep! Jlep! Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang
usianya berbeda jauh dengan Ki Galingga itu te-
was. Dada den wajahnya tertancap tusuk konde
beracun. Ki Galingga geram menyaksikan istrinya
mati di tangan seorang wanita berbaju serba kun-
ing. Lelaki berparas seperti bajing berpakaian
abu-abu dengan rambut tergerai kaku serta ikat
kepala berwarna biru itu mendengus. Tangannya
dengan cepat menyambar senjata dari logam yang
berbentuk jari bajing.
"Siapa kau?" tanya Ki Galingga dengan suara membentak sambil menuding
senjatanya. "Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" sahut wanita yang sekujur tubuhnya ditutupi kain
kurung. Termasuk wajahnya.
"Bangsat! Ditanya malah balik bertanya!
Katakan, siapa kau sebenarnya"!" bentak Ki Galingga gusar.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti,
kau dan kelima temanmu termasuk adipati kepa-
rat itu harus mampus di tanganku! Hiaa!"
Ki Galingga tersentak kaget diserang begitu
cepat dan tiba-tiba. Segera kakinya melompat ke
belakang, kemudian berkelit ke samping.
"Hop! Heaaa...!"
Ki Galingga berusaha merangsek maju
dengan cakaran kedua tangannya yang menggu-
nakan jurus 'Bajing Mengambil Buah'. Namun ge-
rakan lawan begitu cepat Ki Galingga hampir ter-
kena sambaran tangan lawan. Tapi, orang tua
berwajah seperti bajing dengan pakaian abu-abu
ini memiliki ketajaman tinggi. Kalau tidak, tu-
buhnya sudah menjadi sasaran empuk pukulan
lawan. "Hari ini bagianmu, Bajing Busuk! Yeaat..!"
Wanita berpakaian serba kuning itu terus me-
rangsek maju menyerang Ki Galingga. Serangan-
serangannya sungguh dahsyat dan mengarah pa-
da bagian tubuh yang mematikan.
Ki Galingga yang tak mau menjadi korban
wanita misterius itu segera berkelit ke samping.
Lalu dengan gerakan cepat, balas menyerang la-
wan. Kali ini menggunakan jurus 'Bajing Mener-
kam Mangsa'. Tangannya bergerak cepat merang-
sek ke tubuh lawan.
Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus
kain kuning itu terus menyerang dengan gabun-
gan jurus 'Sembilan Tapak Tangan Darah' dan ju-
rus 'Tusuk Konde Pencari Sukma'. Sesekali tan-
gannya melemparkan sebuah tusuk konde bera-
cun. Meskipun nampaknya tak berarti, tangan
wanita itu sangat berbahaya. Tusuk konde bera-
cun itu mampu membunuh lawan dalam sekejap.
Swing! Swing! "Aits! Tusuk Setan!" maki Ki Galingga seraya mengelakkan tusuk konde yang telah
mem- bunuh istrinya. Tubuh Ki Galingga bergerak ke
sana kemari, terkadang berputar di udara untuk
mengelakkan serangan yang berbahaya itu.
"Hiaaa!"
"Hop! Hats!"
Lawan benar-benar tak memberi kesempa-
tan pada Ketua Perguruan Bajing Ireng itu untuk
balas menyerang. Serangan-serangannya begitu
cepat, disusul lemparan-lemparan tusuk konde
beracun yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di dalam ka-
mar gurunya, murid-murid Perguruan Bajing
Ireng berdatangan hendak membantu sang Guru.
Namun baru saja mereka sampai di pintu, tiba-
tiba... "Awas...!" seru Ki Galingga mengingatkan.
"Hih...!"
Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat
wanita berpakaian kuning itu melemparkan tusuk
konde beracun ke arah murid-murid Ki Galingga.
Swing! Swing...!
Jlep! Jlep...! "Aaakh...!"
Tiga orang murid yang berada di depan
langsung roboh. Dada mereka tertancap tusuk
konde beracun. Darah seketika muncrat dari da-
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
da membasahi pakaian.
"Bedebah! Sebelum kukirim ke neraka, ka-
takan siapa dirimu!" bentak Ki Galingga semakin marah menyaksikan murid-muridnya
menjadi korban keganasan tusuk konde beracun.
"Jangan banyak bicara, Bajing Keparat! Pi-
kirkanlah nanti di alam sana, siapa aku! Hiaaa...!"
Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius
itu langsung melemparkan tusuk konde beracun
ke arah Ki Galingga yang tersentak kaget
Swing! Swing...!
"Hop! Heaa...!"
Tubuh Ki Galingga melenting ke atas, ke-
mudian melesat ke samping kanan untuk menge-
lakkan serangan lawan, dengan jurus 'Lompatan
Bajing Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa...!"
Wanita berpakaian kuning itu tak mem-
biarkan lawannya bergerak lebih jauh. Dengan
cepat pedangnya yang bersinar keperakan dica-
but. Mata Ki Galingga silau oleh sinar yang keluar dari pedang lawan.
"Pedang Perak! Hei! Ada hubungan apa kau
dengan Dewi Ratu Maksiat"! Siapa kau..."!"
"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Bajing
Busuk! Kini terimalah ajalmu! Hiaat..!"
Wanita bertopeng kain kuning yang memi-
liki Pedang Perak milik Dewi Ratu Maksiat itu tak mau membuang waktu lagi.
Segera diserangnya
Ki Galingga dengan tebasan dan babatan Pedang
Perak yang mengandung racun ganas. Kali ini, di-
keluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'.
Wut! Wuutt! "Uhh...!" Ki Galingga terpekik kaget Napasnya terasa sesak oleh racun yang
ditebarkan pe- dang di tangan lawan. Dalam keadaan terdesak
hebat, Ki Galingga masih bertanya-tanya siapa
wanita misterius itu. Kalau dia Dewi Ratu Mak-
siat, rasanya tak mungkin.
Karena Wanita Iblis dari Andalas itu telah
tiada sejak puluhan tahun alam.
Ki Galingga benar-benar kaget melihat pe-
dang di tangan lawannya. Hatinya belum yakin
kalau wanita muda itu Dewi Ratu Maksiat. Na-
mun jurus-jurus pedangnya, sama dengan yang
dimiliki Dewi Ratu Maksiat. Begitu pula dengan
senjata-senjata rahasia tadi.
Dewi Ratu Maksiat merupakan tokoh sesat
di Kadipaten Galih Marta. Selama hidupnya per-
nah membuat heboh kalangan persilatan, teruta-
ma di kadipaten itu. Dewi Ratu Maksiat banyak
membunuh pendekar golongan putih karena me-
rasa dendam pada para pendekar yang telah
membunuh ayah dan ibunya, atas perintah Adi-
pati Seragon. Namun sepak terjang Dewi Ratu
Maksiat dapat dihentikan. Dia dikalahkan oleh
Adipati Seragon, Ki Durpala, Ki Galingga, Ki Ka-
pusala. Mungkin dia Dewi Ratu Maksiat" Tapi...,
Dewi Ratu Maksiat mengenakan pakaian berwar-
na merah serta senjata berupa bunga Anggrek Hi-
tam. Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian
kuning seperti senjata yang dipergunakannya. Ki
Galingga terus bertanya dalam hati sambil menge-
lakkan sabetan-sabetan senjata lawan. Dadanya
semakin terasa sesak oleh racun pedang lawan.
"Heaaa!"
Wut! Wut! Wut..!
Pedang di tangan wanita misterius itu terus
bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan
dan babatan ke tubuh lawan. Sinar putih kepera-
kan yang keluar dari Pedang Perak itu membuat
napas Ki Galingga laksana tersumbat
"Uhuk... uhuk...!"
Ki Galingga terbatuk-batuk. Tangan kirinya
memegangi dada yang terasa sakit karena terlalu
banyak mengisap racun yang ditebarkan wanita
bertutup muka kuning itu.
"Tamatlah riwayatmu, Bajing Busuk!
Hiaaa...!"
Wanita misterius itu mengayunkan pe-
dangnya. Kemudian dengan cepat, menebaskan
ke leher Ki Galingga yang tak mampu lagi menge-
lakkan serangan lawan. Maka...,
Cras! Bruk! Kepala Ki Galingga menggelinding ke ta-
nah. Tubuhnya yang berlumuran darah menge-
jang sesaat, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius yang tubuhnya tertutup
kain kuning segera melesat meninggalkan tempat
itu. Gerakannya begitu cepat, hingga dalam seke-
jap telah hilang di kegelapan malam.
Seketika suasana di rumah Ki Galingga
ramai. Murid-muridnya hanya mampu mencaci-
maki pembunuh keji yang telah membunuh guru
mereka. Malam itu Perguruan Bajing Ireng berka-
bung atas kematian Ki Galingga.
*** Dua orang prajurit Kadipaten Galih Marta
tampak memacu kudanya menuju Perguruan Baj-
ing Ireng untuk menyampaikan undangan dari
Adipati Seragon. Namun seketika mereka mem-
perlambat lari kudanya karena melihat bendera
hitam terpasang di kanan kiri jalan masuk tak
jauh dari perguruan.
"Galu, kau lihat bendera itu?" tanya prajurit yang memegang sebuah gulungan daun
lontar. "Ya," sahut prajurit yang dipanggil Galu.
"Sepertinya ada kematian."
"Hei, lihat! Ada keramaian di Perguruan
Bajing Ireng," ujar prajurit pertama yang bernama
Warigi "Benar. Ada apa di sana" Nampaknya banyak sekali orang berdatangan,"
desis Galu. "Ayo, kita percepat..!"
Kedua prajurit Kadipaten Galuh Marta itu
segera mendekat Perguruan Bajing Ireng tampak
dipenuhi orang-orang peralatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada apakah"!" tanya Galu pada pemuda berbaju rompi kulit ular yang
tengah menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berambut gondrong yang baru saja
keluar dari bangunan perguruan itu mendongak-
kan kepala, memandang kedua prajurit yang me-
negurnya. "Ah, dunia ini semakin tua semakin ber-
tambah saja kejahatannya," gumam pemuda itu.
Mendengar gumaman pemuda tampan be-
rambut gondrong itu, Galu dan Warigi menge-
rutkan kening dan saling pandang. Kemudian ma-
ta keduanya memandang lekat wajah pemuda itu,
yang tampak cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. "Anak Muda. Kami bertanya padamu, men-
gapa engkau bergumam sendiri?" tanya Galu
hampir tertawa menyaksikan tingkah laku pemu-
da yang konyol dan lucu itu. Mirip orang gila.
Terkadang raut wajahnya sedih, kemudian beru-
bah riang dengan senyum lucu. Bahkan yang le-
bih konyol, pemuda itu suka menggaruk-garuk
kepala dengan tangan kiri. Sedangkan tangan ka-
nannya asyik mengorek telinga dengan bulu bu-
rung. "Hi hi hi...!" pemuda tampan yang Sena
Manggala atau Pendekar Gila itu tertawa geli.
Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu
membendung tawa mereka.
"Pemuda Gila...," gumam Galu. "Ayo kita ke sana!" "Hi hi hi...! Eh, tunggu!"
Sena menghentikan mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti
dan menengok ke arahnya.
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya
Galu. "Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?"
tanya Sena seraya menggaruk-garuk kepala.
"Ya!" sahut keduanya.
"Aha! Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena sambil mengorek telinganya
dengan bulu burung. "Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak beritahu, ke arah
mana aku harus pergi?" Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, mendengar pertanyaan pemuda
bertingkah laku aneh itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pe-
muda Edan?" tanya Warigi.
"Bukankah di kadipaten ada pesta" Tentu
banyak makanan di sana. Itu sebabnya aku hen-
dak ke sana. Aku diundang kanjeng adipati," tutur Pendekar Gila.
Galu tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Menurutnya, pemuda berting-
kah laku gila itu hanya bercanda. "Mana mungkin Adipati Seragon mengundang
pemuda gila seperti
ini?" pikir Galu seraya tersenyum.
"Pemuda Gila.... Ah, kanjeng adipati tidak
mengundang pemuda gila sepertimu. Sebenarnya
kanjeng adipati mengundang para pendekar. Tak
ada pesta di sana," tutur Galu.
"Sudahlah, Galu. Mengapa kita harus me-
ladeni pemuda gila ini?" rungut Warigi mengajak temannya meneruskan perjalanan.
"Tunggu!" kembali Sena memanggil mere-
ka. Warigi menghela napas. Kesal juga hatinya
melihat tingkat laku pemuda itu.
"Pemuda gila! Apa sebenarnya yang kau in-
ginkan, heh"!"
Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha! Kalian ini tolol. Bukankah sudah ku-
katakan, bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan
menuju kadipaten"!" Sena tak kalah keras membentaknya.
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Warigi.
Pendekar Gila tersenyum. Diambilnya gu-
lungan daun lontar yang diberikan dua prajurit
kadipaten padanya. Galu segera menerima dan
cepat membuka gulungan itu. Seketika mata ke-
duanya membelalak setelah membaca tulisan
daun lontar itu.
"Pendekar Gila...!" seru mereka bersamaan.
"Oh... ampuni kebodohan kami, Tuan Pen-
dekar! Sungguh kami tak tahu kalau Tuan adalah
Pendekar Gila," ujar Galu sambil turun dari kudanya dan menjura memberi hormat
"Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan meng-
hendaki, hukumlah kelancangan kami ini," tambah Warigi.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak me-
nyaksikan kedua prajurit itu menyembahnya.
"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf.
Sekarang katakan, ke arah mana aku harus ber-
jalan?" tanya Sena, masih dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar! Kalau diperke-
nankan, biarlah kami nanti bersama Tuan," pinta Galu. "Oho! Sangat menyesal, aku
harus segera sampai di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki Galingga
telah tewas di tangan seorang yang bersenjatakan tusuk konde beracun," tutur
Pendekar Gila. Untuk kedua kalinya, Galu dan Warigi
membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Ga-
lingga yang hendak didatangi telah tewas. Tapi,
yang membuat mereka sangat kaget adalah cara
kematian Ki Galingga sama dengan kematian istri
Adipati Seragon dan empat orang teman mereka.
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena.
"Oh! Bencana apakah yang tengah melanda
Kadipaten Galih Marta?" keluh Galu.
"Hm..., apa maksudmu?" tanya Sena masih belum mengerti.
"Lima korban telah dibantainya. Pertama,
istri kanjeng adipati dan empat orang teman kami
yang tengah berjaga. Kini Ki Galingga sama den-
gan kematian istrinya kanjeng adipati," gumam Galu setengah mengeluh. "Semuanya
sama, mati oleh tusuk konde beracun."
"Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu tercengang di-
am. Mata mereka memandang ke arah Perguruan
Bajing Ireng yang tengah berkabung.
"Siapakah pelakunya?" tanya Galu, seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Ayolah, kita harus segera ke sana, menuju
ke kadipaten," ajak Sena yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya
menempuh perjalanan
menuju Kadipaten Galih Marta.
Sementara itu di Perguruan Bajing Ireng
masih banyak orang yang berdatangan untuk me-
lihat Ki Galingga dan anak buahnya serta istri
mudanya yang tewas secara mengerikan oleh wa-
nita misterius.
Sena dan kedua prajurit kadipaten telah
jauh meninggalkan tempat Perguruan Bajing
Ireng yang sedang dilanda duka itu.
7 Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipa-
ten Galih Marta menyusuri jalan setapak di ten-
gah hutan belantara. Malam telah larut. Udara
dingin terasa menggigit. Namun ketiganya tetap
terus melangkah. Kegelapan di hutan dan suara-
suara binatang menambah suasana kian mence-
kam. "Aha! Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini, Kisanak," kata
Sena sambil meng-
hentikan langkahnya.
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja,"
jawab kedua prajurit hampir bersamaan.
"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat
api dulu."
Pendekar Gila melompat ke atas pohon
mencari ranting-ranting kering. Gerakannya yang
cepat tak terlihat oleh kedua prajurit Terdengar suara ranting-ranting patah.
Tidak lama berse-lang, Pendekar Gila turun dengan membawa rant-
ing-ranting kering.
"Buatlah api!" pinta Sena. Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tak tahu harus
bagaimana membuat api. Biasanya mereka mengguna-
kan batu api. Namun, bagaimana mungkin mere-
ka mencari batu api dalam keadaan gelap gulita.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Rupanya
mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua pra-
jurit itu. Sejenak matanya menyapu ke segenap
arah, kemudian berkelebat pergi. Tak lama berse-
lang, telah kembali dengan membawa dua buah
batu api. "Ini batu api yang kalian butuhkan."
Kemudian, batu api itu disodorkan pada
kedua prajurit. Dengan menggosok-gosokkan ke-
dua batu itu, tak lama kemudian api menyala-
nyala. Ketiganya segera mengelilingi api unggun
yang cukup memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan
kucarikan ayam hutan di daerah ini. Tunggulah
di sini," ujar Sena, lalu dengan cepat berkelebat menembus kerimbunan pepohonan.
Dua prajurit kadipaten menunggu keda-
tangan Pendekar Gila dengan perasaan tercekam.
Mereka takut berada di tengah hutan lebat dan
gelap seperti itu. Selama ini keduanya tidak per-
nah berada di dalam hutan, bertugas di kadipaten
yang ramai dan terang.
"Galu, kita harus waspada," kata Warigi mengingatkan.
"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama."
Kedua prajurit itu menarik pedang, siap
menghadapi apa pun yang akan terjadi selama
Pendekar Gila pergi. Mata mereka mengawasi ke
sekeliling tempat itu dengan tajam. Baru saja ke-
duanya mempersiapkan diri, tiba-tiba terdengar
suara mendering senjata rahasia.
"Awas, ada yang menyerang!' seru Galu,
mengingatkan temannya sekaligus mengundang
Pendekar Gila agar segera datang ke tempat itu.
Swing! Swing...!
Entah dari mana datangnya dua benda me-
lesat ke arah dua orang prajurit itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat
"Celaka! Tusuk konde!" pekik Warigi kaget Hidungnya mencium bau wangi bunga.
Mata lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya me-
remang. Saat itu, sebuah tusuk konde melesat ke
arahnya. Tanpa dapat dielakkan, senjata beracun
itu menghunjam dadanya.
Jlep! "Ukh!" Warigi terpekik. Tubuhnya sesaat mengejang dengan mata melotot, lalu
ambruk tanpa nyawa. Jlep! "Aaakh!"
Tusuk konde yang lainnya menancap ke
dada Galu yang juga tak sempat mengelak. Seper-
ti Warigi, Galu pun memekik kesakitan. Dan te-
was setelah tubuhnya mengejang dengan mata
melotot Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila da-
tang dengan membawa tiga ekor ayam hutan. Se-
na tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit
kadipaten itu telah tewas. Matanya menyapu ke
sekeliling. Di dalam kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa buah tusuk konde
beracun ke arahnya.
Swing! Swing...!
"Kurang ajar! Siapa kau...!" bentak Sena selagi bergerak menghindar. Tubuhnya
berjumpalitan di udara sambil menebaskan tangan dengan
jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Deru angin yang
keluar dari tangan Pendekar Gila mampu menja-
tuhkan beberapa buah tusuk konde yang menye-
rangnya. Baru saja Pendekar Gila berhasil meron-
tokkan tusuk konde itu, serangan berikutnya da-
tang. Beberapa buah tusuk konde kembali mele-
sat menyerangnya.
"Edan! Rupanya ada orang yang mengin-
ginkan nyawaku!" dengus Sena sambil terus berjumpalitan mengelakkan serangan
yang bertubi- tubi itu. Dicabutnya Suling Naga Sakti, kemudian
dengan cepat digerakkan untuk membabat tusuk
konde itu. "Heaaa...!"
Prak! Prak! Pluk! Pluk! Beberapa buah tusuk konde yang terkena
sambaran Suling Naga Sakti berpentalan jatuh ke
tanah. "Pengecut! Tunjukkan dirimu!" bentak Pendekar Gila sambil menghantamkan
pukulan ke tempat asal tusuk konde itu. Karena tak ada sa-
hutan, Sena semakin bertambah geram, merasa
dipermainkan lawan.
"Edan! Rupanya ada orang yang mengin-
ginkan nyawaku!" dengus Pendekar Gila sambil mengelak.
"Kurang ajar! Rupanya, mau main petak
umpet denganku. Baik! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila menge-
rahkan ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya me-
lesat laksana angin, memutari wilayah itu. La-
rinya yang begitu cepat membuat tubuhnya bagai
menghilang. Yang tampak hanya bayangan berke-
lebat. Beberapa kali Pendekar Gila memutari tem-
pat itu, namun tak ditemukannya seorang pun di
sana. "Hh...! Aneh. Tak ada seorang pun di sini.
Lalu siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar Gila. Tangannya menggaruk-garuk
kepala dengan mulut nyengir kuda.
Pendekar Gila kembali ke tempat perapian.
Dipandanginya kedua prajurit kadipaten. Di dada
keduanya tertancap tusuk konde beracun.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera berjongkok memperhatikan tusuk
konde yang menancap di dada Galu dan Warigi. Matanya
terbelalak menyaksikan sesuatu yang aneh.
"Ah, rupanya tusuk konde ini bukan tusuk
konde beracun biasa. Tusuk konde beracun pen-
gisap darah," gumam Sena lirih.
Pendekar Gila menggosok-gosok mata, se-
perti tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Ada sesuatu yang aneh, tubuh kedua
mayat itu men-gempis. Mata pecah dan kepala retak-retak. "Oh!
Apa yang terjadi?"
Sena semakin penasaran menyaksikan ke-
jadian aneh itu. Dengan perasaan ingin tahu, di-
cabutnya tusuk konde beracun itu.
Crab! "Hah!"
Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu
kuduknya merinding. Tusuk konde beracun itu
ternyata memiliki akar panjang sampai ke batok
kepala korban. "Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak.
Benar-benar tusuk konde iblis!" gumam Sena
sambil membuang tusuk konde itu jauh-jauh.
"Hhh...!" Sena mendesah, "Bencana apa la-gi yang akan melanda kadipaten ini?"
Malam semakin larut. Pendekar Gila mele-
sat meninggalkan hutan itu setelah mematikan
api unggun. Ditembusnya kegelapan malam den-
gan menggunakan ilmu larinya yang melebihi ke-
cepatan angin. Lari 'Sapta Bayu'.
*** Pagi telah hadir menerangi persada. Seo-
rang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular
nampak menggeliat bangun dari tidurnya.
"Huah...!" pemuda yang tak lain Sena itu menguap. Tangannya mengucek-ngucek
mata. Sekali lompat tubuhnya melayang turun dari po-
hon di Hutan Wanacala.
Tubuhnya dilemaskan dengan menggeliat
untuk menarik otot-ototnya yang kaku. Seketika
matanya tertumbuk pada sesosok bayangan ber-
kelebat tak jauh dari tempatnya. Terdengar suara
tawa dari sosok bayangan itu. Pendekar Gila
mengerutkan kening, merasa pernah mengenal
tawa itu. "Hah..."! Suara tawa itu seperti aku kenal.
Siapa...?" Sena berpikir sejenak sambil menggaruk-garuk kepala. "Itu persis
suara tawa Mei Lie!
Apakah tadi Mei Lie..."!"
Sena bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Lalu matanya mencari-cari, kemudian melesat
mengejar suara yang terus terdengar di kejauhan.
Pendekar Gila memasang indera keenam-
nya untuk menangkap suara itu. Kemudian tu-
buhnya kembali melesat dengan menggunakan
ilmu lari 'Sapta Bayu', mengejar suara itu.
"Mei Lie..."!" seru Sena ketika melihat sesosok wanita berpakaian serba kuning,
dengan rambut dibiarkan terurai.
Wanita itu membelakangi Pendekar Gila.
Tak terdengar suara jawaban bahkan menoleh
pun tidak. Hal itu membuat Pendekar Gila pena-
saran. Dengan sekali lompat, Pendekar Gila sudah
berada di dekat wanita itu. Namun, ketika Sena
menyentuh pundaknya, gadis itu cepat melesat
pergi. Sena jadi heran.
"Mei Lie...! Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena sambil mengejar gadis yang memang
mirip Mei Lie itu. Namun gadis itu telah lenyap dari pandangan.
Seperti hantu saja.
"Aneh" Begitu cepat dia menghilang. Be-
narkah dia Mei Lie...?" tanya Sena dalam hati.
Belum habis Sena berpikir, tiba-tiba ter-
dengar lagi tawa wanita itu. Bahkan kali ini me-
manggil Sena. "Kakang Sena..., kemarilah! Ayo, kejar aku!
Hi hi hi, he he he...!"
"Mei Lie...! Tunggu...!"
Pendekar Gila cepat melesat mengejar gadis
itu. Kali ini ilmu 'Sapta Bayu'-nya tetap dikerahkan. "Mei Lie.... Kenapa kau"
Sikapmu...."
"Mengapa aku?" sahut gadis mirip Mei Lie itu dengan mengulurkan kedua tangannya
ke leher Pendekar Gila.
Melihat keanehan sikap Mei Lie, kekasih-
nya, Sena merasa risih. Hatinya keheranan kare-
na tak pernah Mei Lie berbuat seperti itu. Mei Lie yang dikenal sukar dijamah,
kini malah merang-kulnya. Itulah yang membuat Pendekar Gila mu-
lai curiga. Dengan halus dia melepas rangkulan
wanita yang mirip dengan Mei Lie itu. Lalu mena-
tapnya sambil menggaruk-garuk kepala dan cen-
gengesan. "Kenapa, Kakang" Adakah yang aneh dari-
ku..."!" tanya wanita itu sambil terus berusaha merayu Sena. Kini wanita itu
lebih berani. Dibiarkan pakaian atas yang menutupi dadanya terbu-
ka lebar. Hingga buah dadanya yang kuning lang-
sat terlihat jelas, tersembul menantang. Apalagi
ketika wanita itu membungkuk, mengambil tusuk
kondenya yang jatuh. Sena yang melihat tusuk
konde itu, mengerutkan kening. Dia mulai terin-
gat sesuatu. "Tusuk konde..." Pasti wanita ini ada hu-
bungannya dengan wanita misterius yang menye-
rangku semalam," ujar Sena di dalam hati. Namun dia kembali ragu ketika melihat
wajah wani- ta yang ada di depannya benar-benar Mei Lie.
"Kenapa kau merasa jijik denganku, Ka-
kang Sena...?" tanya wanita yang mirip Mei Lie itu, dengan sedih.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Pe-
muda itu malah cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. Sifat Sena paling tidak bisa jika melihat wanita yang bersedih.
Apalagi bila yang di-
hadapan Mei Lie, kekasihnya.
"Aku harus berbuat sesuatu, agar semua
yang kuhadapi saat ini jelas. Benarkah dia Mei
Lie" Di mana pedang bidadarinya" Mungkin Mei
Lie mengalami gangguan jiwa, atau...."
Sebelum selesai Sena menebak dalam hati,
tiba-tiba wanita itu menyerangnya. Sebuah ten-
dangan keras mendarat ke dada Sena yang sem-
pat lengah. Degk! "Hukh...!"
Sena terpekik. Dan belum sempat dia me-
mulihkan tenaganya, tiba-tiba wanita itu mengge-
ram. Dari mulutnya pun keluar puluhan jarum,
ketika menyembur ke arah Pendekar Gila.
Jub! Jub! Jub! "Aaakh...!"
Sena menjerit, ketika jarum-jarum berbisa
menghunjam ke dadanya. Tidak sampai di situ,
wanita itu tampak mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Kedua tangannya diangkat ke atas,
dengan jari-jari tangan membentuk cakar seperti
hendak mencengkeram. Lalu sambil memekik
wanita itu hendak melancarkan serangan maut-
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya dengan pukulan.
Wesss! Degk! Namun belum sempat wanita itu menghun-
jamkan serangannya lagi, tiba-tiba muncul seso-
sok bayangan berkelebat. Dengan cepat disam-
barnya tubuh Sena yang sudah tak sadarkan diri,
sambil menghantam wanita itu dengan tendan-
gan. "Aaauuuw...!"
Wanita itu memekik panjang dan bergulin-
gan di tanah. "Kurang ajar...! Aaakh!" geram wanita itu sambil memegangi kakinya yang
dirasakan seperti
patah. Tak bisa untuk berdiri.
Sementara bayangan itu sudah hilang dari
pandangannya. "Siapa yang menyelamatkan Pendekar Gi-
la...?" gumam wanita yang mirip Mei Lie itu. Wajahnya mendadak pucat dengan
bibir bergetar.
Sesaat kemudian, muncul Dewi Ratu Mak-
siat secara tiba-tiba bagai makhluk halus. Dite-
mani empat lelaki pemuas nafsunya.
"Tuan Putri...!" seru wanita yang mirip Mei Lie ketakutan.
"Hi hi hi...! Bodoh! Kau terlalu ceroboh dan bernafsu pada lelaki. Sebagai
hukuman orang tolol yang bernafsu berlebihan, kini kau harus me-
layani ke empat budakku ini secara bergantian.
Ha ha ha...!"
Selesai berkata begitu, Dewi Ratu Maksiat
memberi isyarat pada keempat budaknya untuk
segera menggilir wanita samaran Mei Lie.
"Oooh... jangan! Ampun, Tuan Putri...,"
pinta wanita itu sambil menangis.
Namun keempat budak nafsu itu sudah
merenggut tubuh wanita itu. Mereka menelanjan-
gi wanita mirip Mei Lie. Dewi Ratu Maksiat me-
nontonnya sambil tertawa-tawa. Sampai akhirnya
wanita itu tak tahan dan mati secara menyedih-
kan. Darah mengalir dari selangkangannya. Wa-
jahnya pun seketika berubah ke aslinya, pucat
pasi, dengan mata melotot
Dewi Ratu Maksiat dan keempat budaknya
meninggalkan begitu saja wanita malang itu sam-
bil tertawa terbahak-bahak.
8 Siang itu langit nampak mendung. Mentari
sama sekali tak menampakkan diri, karena tertu-
tup awan hitam yang bergulung di langit.
Lereng Gunung Merapi pun diselimuti
mendung dan hawa dingin, serta kabut tebal me-
nutupi puncaknya. Sesekali suara guntur meng-
gelegar, membuat suasana kian mencekam.
Di dalam sebuah rumah gubuk seorang le-
laki tua berambut putih tengah duduk. Lelaki
berjenggot panjang sampai ke dada itu mengena-
kan jubah mirip pendeta Budha berwarna putih.
Jubah itu diselempangkan begitu saja di tubuh-
nya. Tempat duduknya terbuat dari potongan ba-
tang pohon kayu besar yang sengaja dibuat se-
demikian rupa sebagai tempat duduknya.
Di depannya, terbujur lemas sesosok tubuh
pemuda tampan, berambut gondrong. Tubuhnya
yang mengenakan pakaian rompi dari kulit ular,
terkulai di atas dipan. Mungkin pemuda itu su-
dah mati" Tak bergerak sedikit pun.
Lelaki tua yang dikenal dengan nama Ki
Kinasih itu nampak membaca sebuah kitab suci.
Kedua tangannya direntangkan ke atas dengan
mulut berkomat-kamit. Sesekali dengan kedua te-
lapak tangannya dia mengusap tubuh pemuda
itu, dari wajah sampai kaki. Hal itu dilakukannya berulang-ulang. Sampai
akhirnya, Ki Kinasih bergumam. "Oooh... Hyang Widhi.... Berikan kuasa-Mu!
Sembuhkan pemuda ini! Beri dia kekuatan
baru. Jangan kau bawa dia pada kematian. Se-
bab, dia harus meneruskan hidupnya untuk me-
numpas kedurjanaan manusia... Hyang Widhi...
berilah mukjizatmu melalui telapak tanganku ini!
Tolonglah hambaMu ini...! Oooh... yai, yaii,
yaiii...!"
Tubuh Ki Kinasih tiba-tiba bergetar. Lalu
bagai menyala, sekujur tubuhnya nampak terang.
Saat itu kekuatan Dewata telah menyusup ke tu-
buh Ki Kinasih. Kejadian berlangsung tak begitu
lama, tampaknya mukjizat itu telah turun atas di-
ri lelaki tua itu.
Cahaya putih bersih keperakan menjalar
ke telapak tangan Ki Kinasih. Kemudian perlahan
telapak tangannya seperti ada yang menggerak-
kan, mengusap wajah pemuda di depannya seba-
nyak tiga kali. Kemudian dilanjutkan mengusap
seluruh tubuh pemuda itu tiga kali pula. Seketika cahaya berupa membias dari
sosok tubuh pemuda itu. Cahaya kehidupan bagi manusia yang
berbudi luhur dan kuat.
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya putih
tadi, Ki Kinasih memekik, "Yeaaa...!"
Plarr! Cahaya itu kembali merambat ke sekujur
tubuh pemuda yang terbaring itu. Namun kemu-
dian perlahan-lahan hilang. Suasana kembali te-
nang. Ki Kinasih nampak menarik napas panjang.
Keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Pemuda yang tadi berbaring di dipan, tam-
pak mulai bisa menggerak-gerakkan jari tangan-
nya, lalu seluruh anggota tubuhnya. Matanya per-
lahan dibukanya, bagai orang baru terjaga dari tidur. Pemuda berpakaian rompi
kulit ular itu menggosok-gosok matanya. Dan setelah pandan-
gan matanya mulai jelas, pemuda itu perlahan
menggeliat bangun. Matanya terpicing ketika me-
lihat lelaki tua duduk bersila di atas batang po-
hon tengah menatap wajahnya.
"Oooh..., di mana aku" Siapa kau, Kek...?"
tanya pemuda itu sambil memegangi, kepalanya,
lalu menggaruk-garuknya. "Apakah aku bermim-
pi?" "Hm...," gumam Ki Kinasih pendek, "Kau tidak bermimpi, Cucuku. Saat ini kau
berada di pondokku. Aku tahu, kau mirip Singo Edan, adik
seperguruanku itu...," ujar lelaki tua itu dengan suara menggema.
"Hah" Bagaimana Kakek tahu..." Dan siapa
nama, Kakek?" tanya pemuda tampan yang tak
lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
"Panjang ceritanya, Sena. Yang jelas aku
dengan Singo Edan selalu berhubungan melalui
batin. Dan kini bukan waktunya untuk bercerita
padamu. Kau dalam keadaan hampir mati, ketika
jarum-jarum beracun itu menusuk dadamu. Se-
mua ini perbuatan Dewi Ratu Maksiat yang ingin
membunuhmu dan menguasai rimba persilatan.
Selain itu, anak angkatnya yang bernama Datuk
Tambureh telah menyekap si Bidadari Pencabut
Nyawa, kekasihmu itu...," tutur Ki Kinasih.
"Hah"! Mei Lie..." Di mana aku dapat me-
nemukannya...?" tanya Sena mendesak.
"Hm...," Ki Kinasih memejamkan mata se-
jenak. Lalu perlahan membukanya kembali sam-
bil menatap Sena tajam. "Kau harus dapat membunuh Dewi Ratu Maksiat dahulu, jika
ingin ber- temu dengan gadis itu. Dan nanti kau akan me-
nemukan tempatnya. Namun itu tak mudah ba-
gimu, Sena. Kau harus lebih berhati-hati meng-
hadapi wanita iblis itu. Sedikit kau lengah, nya-wamu melayang...! Tapi, kau
harus yakin dapat
mengalahkannya. Jangan sampai terpengaruh
kecantikannya! Dia sangat berbisa, Sena. Juga
jangan kau tatap matanya jika berhadapan den-
gan dia! Itu saja pesanku. Aku percaya dengan
Suling Naga Sakti, dan beberapa ilmu yang di-
ajarkan Singo Edan, kau akan mampu menak-
lukkan Wanita Iblis dari Andalas dan Datuk Tam-
bureh, yang menculik kekasihmu. Sekarang cepat
kau pergi! Aku akan melihatmu dari kejauhan,"
tutur Ki Kinasih.
"Sebelum aku pergi, boleh aku tahu nama
Kakek?" tanya Sena sambil menjura hormat Ki
Kinasih tersenyum. Dia meletakkan telapak tan-
gannya di kepala Pendekar Gila.
"Apa artinya sebuah nama. Yang penting,
jika kau kelak bertemu dengan gurumu, katakan,
kakek berjenggot panjang dari Lereng Merapi ki-
rim salam. Itu saja. Dan sekali lagi pesanku, jangan tatap mata lawanmu," kata
Ki Kinasih memberikan wejangan pada Sena.
"Terima kasih, Kek.. eh Eyang. Saya mohon
diri...!" Setelah menjura, Sena melesat pergi keluar dari pondok itu.
Ki Kinasih memandangi dengan senyum,
sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang
sampai dada. *** Pendekar Gila yang sudah sangat marah
akan tindakan dan sepak terjang Dewi Ratu Mak-
siat dan Datuk Tambureh, terus melesat dengan
menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu' menuju ba-
rat. "Aku yakin, jalan ini akan mempertemukan ku dengan perempuan keparat itu,"
kata Sena dalam hati.
Pendekar Gila terus melesat bagai angin.
Sehingga tiba di suatu tempat yang sepi dan
sunyi. Di sekitar tempat itu pepohonan tampak
kering meranggas, bagikan dilanda musim kema-
rau yang sangat panjang. Padahal daerah itu me-
rupakan pegunungan yang mestinya subur.
"Aneh, tempat apa ini" Aku baru lihat tem-
pat yang semua pohon dan tanamannya kering
seperti ini...," gumam Sena dalam hati. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil
mengedar- kan pandangan mengitari sekitar tempat itu.
Namun Pendekar Gila kembali melesat me-
ninggalkan tempat yang sunyi dan sepi itu. Tanpa
sepengetahuannya, ada sepasang mata jalang
mengawasi gerak-gerik Sena sejak tadi.
"Oooh... Mei Lie, di mana kau..." Hyang
Widhi, temukan aku dengan dia! Beri aku petun-
juk jalan untuk menemukan Mei Lie...!" keluh Se-na sambil terus berlari menuruti
nalurinya. Bagai terbang pemuda itu melintasi segala
macam tempat. Melompati tebing, menyeberangi
sungai. Dan terakhir dia memasuki sebuah hutan
yang kelihatannya masih perawan. Hutan Gom-
bong. Hutan itu ditumbuhi pepohonan besar.
Namun tampak di sana-sini banyak yang bertum-
bangan, menghalangi jalan.
Pendekar Gila memutuskan untuk berhenti
di mulut hutan itu.
9 Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar
matahari yang baru saja terbit di ufuk timur. De-
sau angin lembut, senandung burung, dan kokok
ayam jantan, menyatu dalam satu irama kehidu-
pan. Dari kejauhan di dalam Hutan Gombong
terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu
diselingi tiupan suling yang mendayu, seperti me-
nikmati indahnya pagi.
Samar-samar dari kejauhan, tampak seo-
rang pemuda tampan dengan suling emas berke-
pala naga di tangannya, tengah melangkah sambil
bernyanyi. Pemuda tampan yang tengah berjalan
sambil bernyanyi-nyanyi itu tak lain Sena Mang-
gala atau Pendekar Gila. Didengar dari syair la-
gunya, tampaknya Sena sedang merasakan ke-
rinduan pada seorang gadis yang dicintainya. Dan
gadis itu tentunya Mei Lie.
"O, permata hatiku ke mana langkah harus
menuju. Masihkah kau menikmati pagi yang in-
dah ini. Iri rasanya hatiku, memandang alam
yang damai ini. Sementara, jiwaku telah mencari
tempat tambatan hati yang pergi belum kemba-
li...." Setelah menumpahkan isi hatinya, Sena pun duduk di atas sebatang pohon
yang tumbang. Suling Naga Sakti diselipkan di ikat ping-
gangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa, kepa-
lanya digaruk sambil memandang burung yang
bernyanyi riang.
"Hi hi hi...! Burung, aku iri kegembiraan-
mu...! Aha, kau meledekku. Tak apa. Kuakui me-
mang aku sedang bingung...," kata Sena bicara seorang diri. "Aha! Kau yang bisa
terbang, di ma-na kini Mei Lie berada?"
"Cit, Cuit"
Sena melompat-lompat sambil tertawa-
tawa mendengar kicau burung mencericit.
"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Bu-
rung Cantik?"
"Cuit, cuit..!"
Sena mengangguk-angguk sambil cen-
gengesan. Lalu dengan tetap tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala, Sena bangkit dari
duduknya. Wajahnya menengadah ke langit keti-
ka burung-burung pemakan bangkai berterban-
gan dengan pekikan yang keras.
"Oh, ada apa dengan burung-burung itu"
Bukankah mereka burung pemakan bangkai?"
gumam Sena dengan kening berkerut.
Sena masih belum sadar, kalau gerak-
geriknya diintai oleh sepasang mata, yang ber-
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sembunyi di balik pepohonan rindang. Lalu ber-
kelebat sosok bayangan hijau. Gerakannya begitu
ringan, hingga tak terdengar sedikit pun langkah
kakinya. Tentunya sosok yang mengikuti Pende-
kar Gila itu memiliki ilmu meringankan tubuh
cukup handal. Dengan mulut masih cengengesan Sena
kembali duduk. Matanya beredar ke sekeliling
tempat yang ditumbuhi pepohonan hijau meng-
gapai cakrawala.
Kresek! Bibir Sena tersenyum ketika telinganya
menangkap suara kaki menginjak daun kering.
Kemudian sambil cengengesan, dia duduk bersila.
Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang
merenung. "Hi hi hi...! Rupanya ada juga tikus yang
bersembunyi," ucap Sena tenang. Matanya me-
mandang redup dan mulutnya masih cengenge-
san. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk
paha. Swing! Swing...!
Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat
ke arah Sena yang masih duduk bersila.
"Aha, ada juga tikus yang pandai bercan-
da!" seru Sena sambil berjumpalitan di udara.
Bersamaan dengan itu, segera dihantamkan pu-
kulan 'Inti Bayu' untuk menangkis senjata raha-
sia yang meluncur ke arahnya. "Hi hi hi...! Permainan kalian kukembalikan!
Hih...!" Wuss! Swing! Swing...!
Crab! Crab! "Aaakh...!"
Dari balik semak-semak yang jaraknya se-
kitar lima belas tombak terdengar jeritan kema-
tian. Kemudian tampak lima orang dengan wajah
ditutupi kain hitam meregang. Leher mereka ter-
tancap senjata rahasia yang tentu milik mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk dan tewas.
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Lucu...!" seru Se-na sambil berjingkrak-jingkrak
seperti kera kegi-
rangan. "Kurang ajar! Serang dia...!"
Dari balik semak-semak, terdengar perin-
tah seseorang untuk menyerang. Bersamaan den-
gan itu, muncul puluhan orang dengan wajah ter-
tutup kain hitam dan bertelanjang dada. Mereka
langsung mengurung Pendekar Gila yang masih
tertawa terbahak, sambil melompat-lompat seperti
kera. "Ha ha ha...! Monyet-monyet hitam! Ha ha ha...!" "Bedebah! Bunuh dia...!"
seru pemimpin orang-orang yang berpakaian serba hitam.
"Hiaaat...!"
"Wadauw! Mengapa ganas sekali"!" seru
Sena, sambil memegang kepalanya. Tubuhnya
bergerak meliuk-liuk, mengelakkan serangan la-
wan. "Pecah kepalamu, Pemuda Edan!" bentak pemimpin para penyerang sambil
menebaskan goloknya ke kepala Sena.
"Wadauw, aku tak mau!" teriak Sena sam-
bil meliukkan tubuhnya dengan kaki agak meren-
tang. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat', Sena mementahkan serangan yang datang ke
arahnya. Tubuhnya meliuk-liuk laksana penari,
dan sesekali tangannya bergerak seperti mene-
puk. "Hi hi hi...! Rasakan kue apemku! Nih...!"
Tangan Sena menepuk ke dada seorang la-
wan yang menyerangnya. Tubuhnya masih me-
liuk-liuk, dengan sedikit membungkuk
Blukk! "Wuaa...!"
Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila
seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke
belakang, melayang laksana terbang. Tubuh
orang itu terhenti, ketika menabrak sebatang po-
hon besar. Brak! "Aaakh!"
Orang itu menjerit. Kain penutup kepa-
lanya bersimbah darah, Ternyata kepala orang itu
pecah akibat benturan keras dengan pohon besar
tadi. Hutan yang semula tenang dan asri, seke-
tika terpecah oleh suara hiruk-pikuk. Banyak po-
hon yang tumbang terhantam serangan mereka.
Rerumputan yang semula segar, morat-marit dan
rusak karena terinjak-injak. Binatang-binatang
pun berlarian karena ketakutan.
"Hi hi hi...! Siapa lagi yang mau kue
apem...?" tanya Sena sambil bergerak seperti see-
kor kera dengan tangan kiri menepuk-nepuk pan-
tat. Tubuhnya masih meliuk-liuk laksana menari
mengelakkan serangan lawan.
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" seru pimpinan gerombolan berpakaian serba hitam
yang ternyata dari Gerombolan Macan Kumbang. Tubuh pe-
mimpin gerombolan itu tidak terlalu besar. Sua-
ranya juga bukan suara lelaki, melainkan seorang
wanita. "Cincang dia!" sambut anak buahnya. "Serang...!"
Serentak mereka kembali menyerang den-
gan membabatkan golok di tangan masing-
masing. Namun dengan cepat Sena kembali ber-
gerak mengelak. Kedua kakinya digeser dengan
cepat seraya membungkukkan badan.
"Wah! Ganas sekali tikus betina ini?" tukas Sena sambil terus bergerak mengelak.
Pantatnya sengaja ditunggingkan ke arah lawan-lawannya,
hingga membuat wanita dari Gerombolan Macan
Kumbang itu marah.
"Haiiit..!"
Wanita itu membabatkan goloknya ke pan-
tat Sena. "Wadauw! Jangan, Nyi! Pantatku bisulan!
Hi hi hi...!"
Sambil berkata begitu. Sera mengelak ce-
pat. Kembali tangannya menepuk dua orang yang
berada di depan dan sampingnya.
Plakk! "Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Dua orang korban sasaran pukulan Pende-
kar Gila memekik. Tubuh mereka terpental deras
ke belakang seperti dua batang ranting kering.
Lalu menghantam pohon disertai pekikan kema-
tian. Tubuh keduanya ambruk dengan napas pu-
tus. "Bangsat! Minggir...! Biar kuhadapi dia!"
seru wanita itu kalap. Pemuda itu terlalu berba-
haya untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis
satu persatu anak buahnya di tangan pemuda
tampan yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur, dengan ce-
pat wanita itu melabrak maju. Matanya yang
nampak dari lubang kain penutup wajahnya, me-
lotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!"
bentak wanita itu.
"Hi hi hi...! Dari mana kau tahu, Tikus Be-
tina! Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak dengan tubuh berjingkrakan
seperti kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Namamu cukup kondang, Pendekar Gila!
Hm, aku datang untuk menantangmu!"
Sena kembali tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali! Lucu sekali omonganmu, Ti-
kus Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya
Sena masih bergerak-gerak seperti kera.
"Karena kau penghalang kami!"
"Oh, kalau kalian bermaksud baik, aku tak
akan menghalanginya. Ah ah ah...! Tentu maksud
kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi
hi...! Atau kalian tak punya hidung"!" ledek Sena
yang membuat wanita itu semakin membelalak
garang. "Bedebah! Apa pun yang akan kami laku-
kan, itu urusan kami! Kau memang harus dising-
kirkan, karena kau penghalang utama. Nah, ber-
siaplah!" bentak wanita itu sengit
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mu-
lut cengengesan.
"Aha, kalau itu maumu, baiklah. Aku akan
melayanimu."
"Hiaaat..!"
Wanita itu segera melompat dengan terka-
man tangan yang membentuk cakaran dalam ju-
rus 'Burung Gagak Menangkap Mangsa'. Tangan-
nya bergerak menyilang, lalu mencengkeram lu-
rus ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali gerakanmu."
Pendekar Gila segera menundukkan kepa-
la, lalu dengan cepat tubuhnya bergerak menge-
lak sambil berguling. Kakinya menendang ke atas,
ketika tubuh wanita itu melompat
"Hi hi hi...! Ini tendangan kuda binal!"
Wanita itu tersentak kaget mendapatkan
serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangan-
nya ditarik, tapi tubuhnya yang sudah melayang
sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang. Se-
hingga... Degk! "Hukh!"
Tubuh wanita itu terlontar ke depan, lalu
tersuruk mencium tanah.
"Ha ha ha...! Mengapa kau mencium tanah,
Nyi?" ejek Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Tangannya menepuk-nepuk pantat dan mengga-
ruk-garuk kepala sambil melompat-lompat kegi-
rangan. Hal itu membuat lawannya semakin ma-
rah. "Kurang ajar! Bunuh monyet gila itu!" perintah wanita itu. Gerombolan Macan
Kumbang langsung bergerak mengurung Pendekar Gila
yang masih melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya!" seru wanita itu bertambah murka, menyaksikan tingkah laku
Pen- dekar Gila yang kian menjengkelkan.
"Hiaaa...!"
"Yeaaa...!"
Gerombolan itu langsung menyerbu den-
gan babatan dan tusukan golok ke tubuh lawan.
Mereka nampaknya bernafsu sekali untuk segera
menghabisi Pendekar Gila.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pende-
kar Gila bukannya takut, malah tingkahnya kian
menggila. Dengan berjingkrak-jingkrak seperti ke-
ra, Sena mengelakkan serangan orang-orang ber-
pakaian serba hitam itu. Tampak tubuhnya me-
liuk-liuk bagai menari. Kemudian tangannya ber-
gerak ke beberapa jurusan, menghantam dengan
pukulan-pukulan yang kelihatannya pelan dan
tak bertenaga. "Hea...!"
Plak! "Wuaaa...!"
Satu orang lagi terkena pukulan telapak
tangan Pendekar Gila. Seperti tiga temannya, tu-
buh orang ini pun terlontar jauh ke belakang.
Dan baru berhenti ketika membentur pohon hing-
ga kepalanya pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu kalau me-
reka para bajingan, kini tak mau diam dan mem-
biarkan mereka lolos. Tubuhnya bergerak cepat,
meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat' disusul dengan jurus yang sema-
kin membuat lawan-lawannya bertambah kalang-
kabut. Wuss...!
Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila
keluar angin deras menghantam ke arah lawan.
Para pengeroyoknya seketika terdorong ke bela-
kang. Bahkan pakaian wanita itu terlepas. Tu-
buhnya kini tak tertutup sehelai benang pun.
Ternyata dia seorang wanita yang cantik dengan
rambut terurai lepas. Hidungnya bangir dan bi-
birnya tipis, menggairahkan. Hal itu membuat
Sena mengerutkan kening sesaat. Wanita itu tak
lain Dewi Ratu Maksiat. Sejenak Sena terkesima.
Mata Dewi Ratu Maksiat bagai mengandung daya
tarik yang luar biasa. Hatinya hampir saja terlena oleh kecantikan dan keindahan
tubuh wanita itu.
Yang kini dalam keadaan tanpa pakaian!
"Hah..."!" gumam Pendekar Gila, meman-
dang wanita yang ada di depannya tanpa pakaian.
"Dia pasti Dewi Ratu Maksiat itu. Rupanya dia sejak tadi mengikuti. Aku harus
hati-hati...," batin Sena. Rupanya setelah wanita yang dia ciptakan
mirip Mei Lie itu gagal menaklukkan Pendekar Gi-
la, Dewi Ratu Maksiat penasaran. Dia terus men-
cari di mana Pendekar Gila berada, dan dengan
indera keenamnya akhirnya Dewi Ratu Maksiat
dapat menemukan jejak Pendekar Gila. Jika dia
dapat melumpuhkan, menaklukkan iman Pende-
kar Gila, maka dia akan sangat bahagia. Karena
dapat hidup seribu tahun lagi. Menurutnya den-
gan bersetubuh dengan Pendekar Gila umurnya
semakin panjang. Dan bertambah sakti!
Dewi Ratu Maksiat berpura-pura malu, dia
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menutupi auratnya dengan kedua tangan. Lalu
tersenyum genit dan menggigit bibirnya sendiri.
Sena tertegun sesaat, menatapi tubuh yang
begitu indah dan dada yang masih terlihat keras.
"Oooh...," Dewi Ratu Maksiat mendesah lirih. "Sebaiknya kita tak usah bertarung
Pendekar Gila. Aku mengaku kalah. Sekarang lebih baik ki-ta menjadi teman.
Peluklah aku, oooh... ssstt...."
Pendekar Gila seperti kena hipnotis, entah
kenapa jadi tak berkutik. Kakinya melangkah
mendekati Dewi Ratu Maksiat yang tanpa pakaian
itu. Wanita cantik itu telentang di tanah, yang ditumbuhi sedikit rerumputan.
Semakin dekat Sena dengan wanita iblis
itu. Dan ketika tinggal satu tombak jaraknya, Se-
na tiba-tiba memegang keningnya, dia mendengar
suara mengiang-ngiang di telinganya. "Jangan sekali-kali kau menatap mata wanita
itu, Sena..., jangan menatap matanya!"
Pendekar Gila tersentak, seperti orang baru
bangun dari tidurnya. Pemuda itu cepat mema-
lingkan muka dan tetap siap waspada akan tipu
muslihat wanita itu. Hatinya telah sadar, setelah mendengar pesan Ki Kinasih.
"Perempuan iblis!" gumam Sena lirih.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat usahanya
gagal, segera menyeringai. Matanya membelalak
lebar. Dan sambil mengerang bagai macan kum-
bang betina, Dewi Ratu Maksiat menggapai pa-
kaiannya yang terlepas tadi. Dililitkan pakaiannya di bagian pinggang. Lalu
menyerang Pendekar Gi-la, yang membelakanginya.
"Yeaaa.... grrr...!"
Dewi Ratu Maksiat melesat menerkam
Pendekar Gila. Namun Pendekar Gila sudah siap
dengan segala kemungkinan. Dirundukkan kepa-
lanya ke samping, lalu disusul melancarkan se-
rangan balik, dengan pukulan tangan kanan ke
dada lawan yang masih ngambang di udara.
Pluk! Bukk! "Aaakh...!" Dewi Ratu Maksiat memekik
panjang. Dadanya seketika terasa sesak. Tubuh-
nya langsung roboh tertelungkup ke tanah. Dewi
Ratu Maksiat yang sebenarnya memang tak me-
miliki ilmu sejati mulai berkurang tenaganya.
Wanita Iblis dari Andalas itu hanya memiliki ilmu sihir yang dapat meluluhkan
setiap lelaki. Namun
untuk Pendekar Gila ilmu itu tak mempan.
Sena yang sudah merasa sangat jijik dan
marah, mulai mengeluarkan jurus-jurus mautnya
untuk cepat membunuh wanita itu. Pemuda itu
tampak mulai menyatukan telapak tangannya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, tangannya
dengan pelan membuka ke samping. Ditariknya
ke belakang membentuk aku. Lalu dengan tela-
pak tangan terbuka, bergantian menghantam. Da-
ri pukulannya itu mengeluarkan kekuatan yang
sanggup melebur gunung karang! Itulah jurus 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat itu mem-
belalak. Matanya bagai mau keluar, merasa su-
dah tak sanggup melawan Pendekar Gila.
"Jangan, ampuni aku, Pendekar Gila! Apa-
kah kau tega membunuh perempuan semacam
aku, dalam keadaan terluka dalam" Seorang pen-
dekar sejati sepertimu tak akan melakukan hal
itu, bukan..."!" ucap Dewi Ratu Maksiat dengan suara sedih, air matanya mulai
menetes ke pipi.
Sejenak Pendekar Gila terkesima. Tangannya
yang ingin dihentakkan ke arah perempuan itu
diurungkan. Matanya memandang Dewi Ratu
Maksiat. Namun cepat-cepat Sena memalingkan
muka, menghindari tatapan mata perempuan itu.
"Kalau kau tak ingin mati, cepat pergi! Se-
belum aku membah pikiran...!" perintah Sena
dengan lantang. Tanpa memandang Dewi Ratu
Maksiat Perempuan itu melotot. Mukanya yang can-
tik kini nampak galak. Dan menyeringai, tangan
kirinya masih memegangi dadanya yang terasa
sakit "Hhh! Siasatku gagal. Kepalang basah! Aku harus bisa menaklukkan pendekar
tampan ini, Aku ingin merasakan pelukan dan kejantanan-
nya. Biar aku menjadi wanita yang terus awet
muda...!" gumam Dewi Ratu Maksiat. Selesai bergumam, dengan sisa-sisa kekuatan,
tubuhnya melompat ingin menerkam Sena yang membela-
kangi dia. "Grrr...! Hiaaa...!"
Wut! Wut! Blarrr! "Aaauwww...!"
Dewi Ratu Maksiat menjerit tinggi melengk-
ing. Dari mulutnya keluar darah kental, namun
warnanya kuning bercampur kehijau-hijauan.
Tubuh wanita itu menggelepar-gelepar di tanah,
dalam keadaan telanjang. Perlahan-lahan terjadi
perubahan di wajahnya. Wajah yang cantik jelita
dan penuh daya tarik luar biasa, kini kembali
menjadi wajah yang menyeramkan, keriput seper-
ti nenek-nenek. Rambutnya putih dan bertubuh
kurus bagai tengkorak. Sena kaget melihat hal
itu. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu ber-
gumam, "Ternyata dia seorang nenek-nenek keriput Edan! Jagad Dewa Batara...! Kau
telah men- dapat ganjaran yang setimpal, Nyi...."
Selesai bicara begitu, Sena segera melesat
meninggalkan tempat itu.
"Aku harus menemukan Mei Lie secepat-
nya. Tapi di mana?" kata Sena dalam hati sambil terus berlari ke barat.
*** Sementara itu di kaki Gunung Kelud, tem-
pat kediaman Datuk Tambureh nampak sepi.
Hanya dalam salah satu ruangan terdengar suara
jeritan dan tawa seorang lelaki.
"Ha ha ha... mau ke mana kau, Manis..."
Sudah saatnya kini kau menjadi istriku. Ayolah..., malam ini kita akan saling
memberi cinta... he he he, ha ha ha... ayo...!" Datuk Tambureh sudah telanjang
dada, hanya memakai celana panjang.
Mencoba memburu Mei Lie yang pakaiannya su-
dah robek-robek oleh tangan Datuk Tambureh
yang sudah kemasukan setan itu.
"Jangan dekati aku...! Aku akan bunuh di-
ri...!" bentak Mei Lie yang nampak marah. Sambil menghindar, dan memukul muka
Datuk Tambureh dengan sekuat tenaga. Namun tanpa Pedang
Bidadari Pencabut Nyawa, Mei Lie tak bisa ber-
buat banyak. Apalagi tenaga dalamnya belum pu-
lih sepenuhnya. Gadis itu mencoba untuk tidak
terkena totokan lelaki keparat. itu. Untuk itu dia selalu berusaha menjauhi dan
melawan jika Datuk Tambureh mendekat, ingin menerkamnya.
"Jangan sampai hilang kesabaranku! Kau
akan menyesal nanti. Ayolah...!" ancam Datuk Tambureh. Lalu cepat menerkam Mei
Lie. Gadis itu melompat ke samping, lalu menyerang dengan
tendangan kaki kanannya ke dada Datuk Tambu-
reh. Degk! "Ukh...!" Datuk Tambureh yang sudah bernafsu itu, sempat kurang waspada. Hingga
ten- dangan kaki kanan Mei Lie mengenai dadanya.
"Kurang ajar! Kau tak bisa dibiarkan. Hem!
Heaaa...!"
Datuk Tambureh menyerang dengan ganas.
Mei Lie terbelalak melihat gerakan tangan datuk
yang begitu cepat. Dan tanpa diduga, tiba-tiba
Datuk Tambureh sudah dapat menangkap lengan
kiri Mei Lie. Mei Lie berusaha melepaskan cekalan tan-
gan kanan Datuk Tambureh. Namun sia-sia saja.
Lelaki tua itu lebih kuat, sedangkan keadaan te-
naga dalam Mei Lie belum pulih benar.
Dengan cepat Datuk Tambureh, yang tak
mau membuang-buang waktu lagi, segera meno-
tok ke arah dada Mei Lie. Namun si Bidadari Pen-
cabut Nyawa bisa menangkis dengan tangan ka-
nannya, meskipun hal itu tak cukup untuk
menggagalkan niat Datuk Tambureh. Dengan ce-
pat pula tangan lelaki berjubah merah itu kembali menotok dada Mei Lie.
Tuk! Tuk! Mei Lie seketika terkulai lemas. Datuk
Tambureh yang sudah lama ingin menikmati tu-
buh Mei Lie yang menggiurkan, dan ingin menja-
dikan istrinya segera menggotong tubuh gadis itu
ke tempat pembaringan
Datuk segera merobek penutup dada Mei
Lie. Tersembul di depan matanya, dada yang pu-
tih bersih, keras, dan kenyal menantang. Menam-
bah birahi Datuk Tambureh semakin tinggi. Dan
ketika Datuk Tambureh mulai menindih dan ingin
mengisap buah dada Mei Lie. Tiba-tiba...
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Tubuh Datuk Tambureh terpental, jatuh
dari tempat tidurnya. Bersamaan itu, bayangan
yang berkelebat menjebol pintu kamar itu, dengan
cepat menyambar tubuh Mei Lie. Dan menghilang
dari kamar. Datuk Tambureh murka. Dia cepat mema-
kai jubah dan menyelipkan kapak terbuat dari
kuningan asli ke pinggangnya.
Para penghuni tempat itu, berhamburan
keluar, ketika mendengar teriakan Datuk Tambu-
reh yang marah itu.
"Hai...! Kalian, cepat kejar maling itu...!
Bodoh!" perintah Datuk Tambureh. Setelah itu dia sendiri melesat meninggalkan
tempat itu. Sementara itu sosok bayangan yang mem-
bawa Mei Lie telah jauh dari kediaman Datuk
Tambureh. Siapa sebenarnya yang membawa Mei
Lie itu belum jelas. Namun di belakang orang itu
ada seorang lelaki lain yang mengikutinya.
"He he he, ha ha ha...!" lelaki berjubah hitam itu tertawa-tawa riang sambil
terus berlari. Diikuti kawannya yang kini semakin dekat
Sesampainya di suatu tempat yang diang-
gap aman, mereka berhenti. Lalu mencari tempat
yang sedikit terlindung di bawah pohon beringin
besar dan rindang. Di sekelilingnya semak-semak
dan pepohonan rendah.
"Kini kita akan bersenang-senang, Bulus,"
ujar lelaki bercakar hitam yang ternyata Barong
Culla. Matanya terus menatap tubuh Mei Lie yang
masih belum sadarkan diri. Karena tertotok oleh
Datuk Tambureh tadi.
Barong Culla maupun Bulus Wulung sen-
gaja tak ingin melepas totokan itu, agar lebih le-luasa untuk memperkosa gadis
itu. "Apakah kita tak cepat-cepat memulai saja"
Aku sudah tak tahan," kata Bulus Wulung yang air liurnya meleleh dari mulutnya.
Apalagi ketika melihat lebih dekat dada Mei Lie yang sedikit tersembul dari
balik pakaiannya yang sobek. Juga
pahanya yang mulus membuat Bulus Wulung tak
dapat menahan gejolak birahinya, segera dia me-
remas dada Mei Lie. Namun Barong Culla, cepat
menepis dan menampar Bulus Wulung sebelum
tangannya menyentuh dada Mei Lie.
"Sabar! Orang sabar itu subur... he he
he...! Atau kita bertarung saja, siapa yang menang boleh lebih dulu menikmati
tubuh gadis ini. Setuju?" tantang Barong Culla.
Bulus Wulung hanya tersenyum, sambil
memegangi perutnya. Matanya tak berkedip terus
memandangi dada Mei Lie dan paha mulus yang
menantang itu. Karena tak ada jawaban dari Bulus Wu-
lung, Barong Culla mengetahui temannya sudah
merelakan dia meniduri Mei Lie lebih dulu. Maka,
Barong Culla segera membungkuk, ingin menin-
dih tubuh Mei Lie yang sudah telentang.
"He he he...! Hari ini aku mendapat duren
jatuh... he he he...!" kata Barong Culla sambil membuka ikat celananya. Namun
tiba-tiba..., Cras! Cras! Crab!
"Ukkh...!"
Bulus Wulung rupanya mempunyai siasat
keji. Dia tega membunuh kawan seperjuangan-
nya, hanya karena ingin menguasai tubuh Mei
Lie. Dengan goloknya dia menebas kepala dan
menusuk tubuh Barong Culla. Tanpa ampun
nyawa Barong Culla langsung melayang!
"Ha ha ha...! Kini akulah yang paling baha-
gia. He he he... hari ini aku akan menikmati tu-
buh gadis cantik ini sepuas hatiku. He he he...!"
Selesai berkata begitu Bulus Wulung sege-
ra membungkuk ingin menindih tubuh Mei Lie
yang masih belum sadar. Tangan Bulus Wulung
gemetaran ketika hendak menjamah dada Mei Lie.
Tanda nafsu birahinya benar-benar sudah me-
muncak. Bugk! Bugk! "Aaa...!"
Bulus Wulung tiba-tiba menjerit dan tu-
buhnya tertelungkup di tanah.
Orang yang tiba-tiba muncul itu tak sam-
pai di situ menghajarnya. Belum sempat Bulus
Wulung melihat jelas siapa orang yang mengga-
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
galkan niatnya, datang tendangan keras ke dada
dan kepalanya secara bertubi-tubi. Hingga lelaki
berjubah biru kehitaman itu tak bisa bangun.
Orang yang menghajarnya mengakhiri dengan
tendangan kaki kanannya yang keras ke ulu hati
Bulus Wulung. Seketika Bulus Wulung mati.
"Mei Lie... Mei Lie! Oooh... maafkan aku...!"
pemuda yang ternyata Pendekar Gila memeluk
dan mengusap rambut kekasihnya. Lalu segera
melepas totokan yang membelenggu Mei Lie.
Seketika Mei Lie sadar. Perlahan matanya
membuka dan kaget melihat Sena ada di depan-
nya, lalu menangis. Sena memeluknya erat-erat
"Semuanya sudah berakhir, Mei Lie...," ka-ta Sena perlahan.
"Belum berakhir!"
Terdengar suara seseorang lelaki dari arah
belakang Pendekar Gila. Sena tersentak kaget, ju-
ga Mei Lie. Segera mereka menoleh ke arah da-
tangnya suara. Dan Sena cepat berdiri mengha-
dap orang itu. Diikuti Mei Lie, yang telah menge-
nai orang itu. "Bajingan! Kau rupanya...!" bentak Mei Lie tiba-tiba setelah tahu yang muncul
tak lain Datuk Tambureh.
"Siapa dia..."!" tanya Sena geram. Matanya terus menatap tajam Datuk Tambureh.
"Dialah yang menculikku, dan ingin meno-
daiku, Kakang...," kata Mei Lie tegas sambil menatap tajam lelaki tua di
depannya. "Keparat! Kau harus menerima ini...!
Heaaa...!"
Karena marah, Pendekar Gila langsung
menggebrak dengan jurus-jurus mautnya. Jurus
'Si Gila Membelah Mega' dicampur dengan jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Wuss! Glarr...! Ledakan hebat akibat serangan Pendekar
Gila yang tak menemui sasaran. Pohon dan beba-
tuan yang ada di sana. Hancur lebur dan tum-
bang. Karena ternyata Datuk Tambureh telah le-
bih dulu melesat cepat mengelakkan serangan
dahsyat itu. Mei Lie coba membantu dengan serangan
semampunya. "Mei Lie, minggir. Biar aku cincang manu-
sia keparat itu...."
Selesai berkata begitu, Pendekar Gila sege-
ra melancarkan serangannya. Kali ini tubuhnya
melenting ke udara mengejar Datuk Tambureh
yang hendak menerkam Mei Lie. Pertarungan di
udara terjadi, saling pukul dan tangkis, antara
kedua orang berilmu tinggi itu. Lalu keduanya
meluncur ke bawah, dan sama-sama berdiri tegak
berhadapan, berjarak lima tombak. Sementara
Mei Lie juga tetap siap dan waspada. Namun tiba-
tiba Mei Lie tak tampak di mata Datuk Tambureh
yang jelalatan mencarinya. Saat itulah Pendekar
Gila, menghunjamkan pukulan jarak jauhnya ke
arah Datuk Tambureh.
"Heaa!"
Wutt! Brret! "Aukkh...!"
Datuk Tambureh memekik tertahan seraya
memegangi dadanya. Namun dengan cepat dia
menggerakkan kedua tangannya, lalu mengi-
baskan tangan kanan ke depan. Angin keras se-
ketika menderu memburu Pendekar Gila. Tubuh
Pendekar Gila seakan tersedot angin itu, mende-
kat ke arah lawan. Pendekar Gila cepat tanggap.
"Celaka! Ilmu apa ini..."!" gumam Pendekar Gila sesaat. Dia cepat mengeluarkan
ajian 'Inti Salju'. Dengan kekuatan tenaga dalam, kedua
tangannya diangkat ke atas dengan cepat, lalu
menghentakkan ke arah lawan. Maka seketika
tubuh Datuk Tambureh membeku, tertutup salju.
Datuk Tambureh tersentak kaget. Tubuhnya
menggigil kedinginan dan matanya terbelalak he-
ran. Pendekar Gila tak mau buang waktu lagi, se-
gera dikerahkan ajian 'Tamparan Sukma'. Gera-
kannya lambat, tapi hasilnya sangat dahsyat Si-
luman apa pun jika terkena pukulan ini pasti
hancur lebur. Namun anehnya Datuk Tambureh
tak mati, bahkan tubuhnya tetap utuh. Hanya
terluka di bagian kening dan dadanya hangus.
"He he haaa... ayo, Pendekar Gila! Kelua-
rkan kesakitanmu! Kau akan mati sekarang den-
gan senjata pusakaku ini...," ujar Datuk Tambureh sambil mencabut kapak yang
terbuat dari ku-
ningan asli. Memancarkan sinar emas, menyilau-
kan mata Pendekar Gila.
"Hah"!" gumam Pendekar Gila sambil
memperhatikan senjata yang digenggam tangan
kanan lawannya.
Segera Pendekar Gila mencabut Suling Na-
ga Saktinya. Diangkatnya ke atas, lalu diturun-
kan perlahan, dan kemudian dihentakkan ke de-
pan bersama dengan kakinya merenggang, mem-
buka kuda-kuda dan jurus.
"Heaaa...!"
"Yaaat..!"
Kedua tokoh sakti itu melompat ke udara,
dan saling menyerang dengan senjata masing-
masing. Pertarungan di udara terjadi lagi dengan
sem. Senjata mereka beradu.
Trang! Trang! Trang!
Glaarrr...! Ledakan menggelegar disertai cahaya perak
dan keemasan menerangi tempat itu, akibat bera-
dunya dua senjata pusaka. Lalu keduanya turun
dengan mulus. Datuk Tambureh yang semakin
murka dan penasaran, langsung menyerang den-
gan penuh amarah. Serangannya tak terkendali
hingga banyak yang tak menemui sasaran. Pen-
dekar Gila dengan lincah menangkis dan melaku-
kan serangan balik yang cepat ke arah wajah dan
perut Datuk Tambureh.
Wess! Wess! Sing! Sing! Datuk Tambureh membalas serangan den-
gan menyodok, membabatkan kapaknya ke kepa-
la Pendekar Gila. Namun pemuda itu dengan ce-
pat menangkis dengan sulingnya. Kembali sinar
perak dan keemasan terlihat. Lalu Pendekar Gila
melenting ke udara sambil salto, melewati kepala
Datuk Tambureh yang menghadap ke lain arah.
Saat itu dengan cepat Pendekar Gila yang masih
ngambang di udara, melancarkan tebasan ke arah
kepala Datuk Tambureh.
Brak! Brak! "Aaauw...!"
Datuk Tambureh memekik panjang, kepa-
lanya terkena pukulan Suling Naga Sakti. Tubuh-
nya melintir, lalu roboh sambil memegangi kepa-
lanya. Datuk Tambureh berusaha menahan rasa
sakit dan pening, serta panas yang mendera di
kepalanya, akibat hantaman Suling Naga Sakti.
Biasanya orang akan mati dalam beberapa saat
kemudian. Namun Datuk Tambureh rupanya memiliki
kesaktian yang hebat. Lelaki tua berjubah merah
itu masih bisa bertahan, walaupun pandangan-
nya kini mulai kabur karena pening.
Pendekar Gila sedikit heran. Namun dia
cepat melesat ke arah Datuk Tambureh yang ma-
sih sempoyongan.
"Heaaa...!"
Prak! Prak! Glarrr...! Pendekar Gila yang sudah memuncak ama-
rahnya, tak mampu lagi mengendalikan diri. Di-
hantamkan Suling Naga Sakti-nya kembali ke ke-
pala dan tubuh Datuk Tambureh yang seketika
menjerit Lalu tak bersuara lagi. Nyawanya me-
layang! Tubuhnya membiru dan kemudian terba-
kar, karena Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
Pendekar Gila merasa puas. Dia menghela
napas panjang dan kemudian bergumam.
"Kau telah mendapat pembalasan Datuk
Tambureh...! Terima kasih Hyang Widhi! Dengan
bantuanmu, aku bisa menemukan Mei Lie dan
melenyapkan manusia-manusia terkutuk itu...."
Pada saat itu Mei Lie telah muncul kembali
dengan menggenggam Pedang Bidadari-nya.
"Mei Lie...! Dari mana kau tadi...?" tanya Sena keheranan melihat kekasihnya
yang sempat menghilang beberapa saat.
"Mana dia datuk keparat itu, Kakang Se-
na..."!" tanya Mei Lie menunjukkan kemarahannya.
"Sudah mati. Dia sudah membayar semua
dosa dan kejahatannya. Kita sekarang benar-
benar telah melewati hari-hari yang sangat me-
nyesakkan...," kata Sena lalu memeluk Mei Lie.
Gadis itu merebahkan kepala di dada Pendekar
Gila yang mengusap rambutnya dengan penuh
kasih sayang. "Aku merasa ingin mati saja, ketika sadar,
bahwa aku dalam cengkeraman datuk keparat
itu. Kakang..., aku pun selalu merindukanmu,"
ujar Mei Lie lemah lembut
"Aku pun demikian, Mei Lie...," jawab Sena kemudian.
"Hai, Anak Muda. Jangan kau terbawa
keadaan, nanti kau terlena, lawan akan mudah
meringkusmu...!"
Tiba-tiba terdengar suara serak seorang le-
laki dari satu arah. Sena dan Mei Lie terkejut, dan cepat berbalik mencari-cari
orang yang berkata
tadi. Belum sempat kedua muda-mudi itu me-
nemukan, muncul seorang lelaki tua berambut
putih, dengan jenggot panjang sampai dada. Den-
gan pakaian seperti pendeta Budha, warna putih
bersih diselempangkan ke badan. Lelaki tua itu
melangkah mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kek..." Eeh, Eyang...!" seru Sena dengan wajah ceria. Lalu menarik lengan Mei
Lie. Menga-jaknya menyongsong lelaki itu. Lalu keduanya
menjura. "Hm... he he he.... Aku merasa puas dan
bangga melihat murid Singo Edan yang gagah
perkasa. Bagus Sena, ternyata gadis itu memang
pantas menjadi pendampingmu...," kata Ki Kinasih dengan tersenyum.
Lalu memegang kedua muda-mudi itu.
"Eyang terlalu menyanjungku. Tapi saya
tak bisa melupakan jasa Eyang Jenggot..," kata Sena sedikit berseloroh.
"He he he...! Aku lupa nama gadis ini, siapa namamu, Nak...?" tanya Ki Kinasih
seraya wajahnya menatap pada Mei Lie.
"Nama saya Mei Lie, Eyang...," jawab Mei Lie lemah lembut
"Nama yang bagus, dan cocok sama orang-
nya.... Mei Lie, aku kakak seperguruan Singo
Edan, guru Sena. Jadi kapan saja kau memerlu-
kan apa saja, jika dalam kesulitan di daerah ini, datanglah ke pondok eyang, di
Lereng Gunung Merapi sana!" tutur Ki Kinasih yang lalu merangkul Mei Lie dan Sena.
"Terima kasih, Eyang...," kata Mei Lie sambil mengangguk.
"Ayo, sekarang hari sudah menjelang ma-
lam. Sebaiknya kalian berdua beristirahat di pon-
dok eyang malam ini, bagaimana...?" kata Ki Kinasih dengan sabar.
"Ooo... dengan senang hati, Eyang," sahut Sena dengan senang.
Lalu mereka berjalan bertiga, Ki Kinasih di
tengah, di kanan kirinya Pendekar Gila dan Mei
Lie, saling bergandeng tangan.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak bahagia
dan puas, karena semua cobaan dan malapetaka
yang mereka hadapi kini telah berakhir. Semua
dapat diatasi dengan penuh ketabahan, keyaki-
nan, dan akal. Sementara itu mentari sudah se-
makin menyusup di kaki langit sebelah barat dan
hari pun segera akan berganti malam....
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 2 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Pendekar Sakti Suling Pualam 3
jawab Datuk Tambureh menggeragap.
"Aku tunggu sebelum matahari tenggelam!"
ucap harimau itu, sebelum menghilang mening-
galkan datuk yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan
mengucapkan mantera, Datuk Tambureh mela-
kukan perubahan wujud, seketika wujud sang
Datuk berubah menjadi harimau hitam legam.
Tanpa menunggu-nunggu lagi harimau hitam itu
mengaum lalu berkelebat tinggalkan ruang sema-
di lewat lubang di belakang.
*** Harimau siluman itu terus menyusup ke
pekarangan sebuah rumah di Desa Ngantap. Hi-
dungnya digerak-gerakkan, sepertinya harimau
siluman itu tengah mencari-cari bau darah pera-
wan. Kemudian melompat dengan tak mengelua-
rkan suara sedikit pun.
Di dalam sebuah rumah bilik tampak lam-
punya belum dimatikan, meskipun hari sudah la-
rut malam dan sepi. Terdengar dari dalam rumah
itu suara tawa genit dari seorang gadis dan suara seorang pemuda.
"Ayolah Srini, kakang sudah tak tahan un-
tuk menunggu lebih lama lagi...!" ucap seorang pemuda yang nampak menahan
birahinya. Napasnya terdengar mendesah-desah.
"Hi hi hi...! Sabar dulu, Kang Pujo. Kan
tinggal lima hari lagi," sahut Srini dengan manja lalu menggigit bibirnya
sendiri. "Kakang tahu, Sri. Tapi kakang tak tahan
lagi. Ayolah sekali saja, ya...!" rayu Pujo. Lalu pemuda itu mencium pipi Srini.
Dan tangan kanan-
nya mengusap-usap paha gadis yang masih pera-
wan itu. Sedangkan tangan kirinya merangkul
dengan erat "Kang.... Jangan, Kang! Nanti ketahuan
bapak. Sabar, Kang!" pinta Srini tersendat-sendat.
Karena Pujo yang sudah dirasuki nafsu birahinya
terus menyusupkan kepalanya ke dada Srini yang
montok, mulus, dan putih itu. Tak dipedulikan
ucapan Srini. Sampai akhirnya gadis itu pun terangsang.
Hingga dia pun membalas memeluk dan mencium
Pujo dengan desah napas mulai memburu.
Pujo, cepat merebahkan tubuh Srini yang
calon istrinya di ranjang beralaskan tikar. Ditin-dihnya tubuh gadis itu sambil
terus mencium le-
hernya. "Hooh.... Aaih... sss...!"
Srini merintih dan mendesah. Pujo mulai
melepas pakaian kekasihnya.
Kini Srini yang masih perawan itu sudah
tanpa pakaian. Tak sehelai benang pun yang me-
nutupi tubuhnya yang mulus dan padat itu. Buah
dadanya yang sebesar mangga, keras, dan me-
nantang. Membuat Pujo tak bisa lagi menahan
lama-lama. Namun baru saja Pujo selesai mem-
buka celananya, tiba-tiba...
"Grrr...!"
Terdengar suara menggereng menggetar-
kan. Pujo terkejut kaget menoleh ke sana kemari
mencari datangnya suara. Belum sempat pemuda
itu mengetahui, seekor harimau kumbang mene-
robos masuk, langsung menerkam tubuhnya dan
menggigit sampai mati.
Srini menjerit, namun suaranya tak ada.
Mata harimau siluman itu mengeluarkan sinar hi-
jau menatap mata Srini. Seketika gadis itu terku-
lai pingsan. Sesaat kemudian harimau siluman
berubah menjadi sosok manusia. Kemudian cepat
membawa Srini keluar dengan menembus dinding
rumah itu. Ayah dan ibu Srini yang terbangun dan da-
tang ke kamar anaknya sempat melihat sosok
manusia membawa Srini pergi. Kedua orang tua
itu kaget dan makin kaget ketika melihat calon
menantunya dengan mengerikan.
"Tolong...! Ada rampok!"
"Tolong...!" teriak ibu Srini sambil lari keluar. Ki Rambi, ayah Srini masih
berdiri kaku menatap mayat Pujo yang lehernya hampir putus.
Tak lama kemudian para penduduk Desa
Ngantap berdatangan ke rumah Ki Rambi, karena
mendengar jeritan ibu Srini yang histeris tadi.
"Bagaimana kejadiannya, Ki Rambi"!" tanya Ki Lurah Kirjo Mulyo.
Ki Rambi hanya menggelengkan kepala
perlahan, lalu menarik napas dalam-dalam. Wa-
jahnya nampak sedih karena memikirkan nasib
anak gadisnya yang lima hari lagi akan dinikah-
kan. Kini telah hilang diculik manusia aneh.
"Ini pasti perbuatan mayat-mayat hidup
yang pernah melanda Desa Tumpang beberapa
hari yang lalu, Ki Lurah...!" kata seorang lelaki berbadan tinggi besar dan
berkumis tebal geram.
"Aku rasa bukan, sebab hal ini yang diba-
wa lari Srini, gadis yang masih perawan. Sedang-
kan kejadian di Desa Tumpang, para perjaka yang
dibawa oleh mayat-mayat hidup itu," tutur Ki Lurah menjelaskan pada lelaki
berbadan tinggi besar yang bernama Diman.
"Jadi, kalau begitu siapa pelakunya, Ki"!"
tanya seorang lelaki berambut putih dengan ikat
kepala hitam. Ki Kirjo Mulyo tak langsung menjawab. Dia
nampak berpikir sejenak. Sementara itu Nyi
Rambi masih menangis ditemani para ibu-ibu lain
yang merasa iba.
"Kita sebaiknya cepat menguburkan mayat
Pujo. Nanti kita bicarakan lagi soal ini," kata Ki Lurah Kirjo Mulyo kemudian.
Lalu orang-orang cepat menggotong mayat
Pujo untuk dikuburkan.
6 Malam datang menyelimuti bumi, membuat
suasana gelap dan dingin mencekam. Suara angin
yang menerpa dedaunan, serta suara binatang
malam, seperti mengalunkan tembang-tembang
aneh yang membuat tubuh merinding. Mereka
seakan membawakan syair-syair bagi jiwa-jiwa
yang tengah dilanda ketakutan. Bulan sabit pun
mengintip di balik awan, seolah-olah enggan me-
nampakkan wujudnya.
Malam itu, Perguruan Bajing Ireng nampak
sunyi. Di luar perguruan itu nampak empat orang
murid perguruan sedang berjaga-jaga. Karena
mereka sudah mendengar adanya sepak terjang
Datuk Tambureh dan Dewi Ratu Maksiat yang in-
gin menculik dan membunuh semua tokoh persi-
latan baik aliran putih maupun hitam. Dan tiba-
tiba.... Swing...!
Jlep! "Aaa...!"
Seorang murid Perguruan Bajing Ireng
yang sedang berjaga di pintu gerbang memekik
keras. Sebuah senjata rahasia berupa tusuk
konde beracun menghunjam di dada pemuda itu.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba senjata ra-
hasia itu melesat dan menghunjam tubuhnya.
Mendengar temannya menjerit, tiga orang
murid lainnya yang juga tengah berjaga-jaga ter-
sentak. Betapa terkejut mereka melihat temannya
terkapar tewas.
"Pembunuhan! Tusuk konde beracun...!"
seru ketiga murid itu berusaha mengundang per-
hatian orang-orang perguruan agar terbangun da-
ri tidurnya. Namun tiba-tiba...,
"Akh...!"
Belum juga habis ucapannya, orang itu su-
dah memekik keras. Dadanya tertancap sekun-
tum tusuk konde beracun yang menembus ke da-
lam. Tubuhnya seketika mengejang lalu ambruk
tanpa nyawa, kemudian membiru.
Jlep! Jlep! "Aaakh...!"
Dua orang lainnya kontan memekik keras,
ketika beberapa tusuk konde menghunjam dada.
Mata mereka melotot menyaksikan sebuah
bayangan berkelebat cepat keluar dari kegelapan.
Bayangan kuning itu laksana angin yang berhem-
bus. Sesaat keduanya kelojotan kemudian tewas.
Bayangan kuning itu terus melesat menuju
kamar Ketua Perguruan Bajing Ireng, yang ber-
nama Ki Galingga.
Brak! "Heh"!" Ki Galingga tersentak
Swing! Swing! Dua tusuk konde beracun melesat cepat ke
arah tubuh Ki Galingga. Beruntung lelaki tua itu
cepat membuang tubuhnya dan berguling ke
samping. Namun tak urung, istri mudanya men-
jadi sasarannya tusuk konde beracun.
Jlep! Jlep! Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang
usianya berbeda jauh dengan Ki Galingga itu te-
was. Dada den wajahnya tertancap tusuk konde
beracun. Ki Galingga geram menyaksikan istrinya
mati di tangan seorang wanita berbaju serba kun-
ing. Lelaki berparas seperti bajing berpakaian
abu-abu dengan rambut tergerai kaku serta ikat
kepala berwarna biru itu mendengus. Tangannya
dengan cepat menyambar senjata dari logam yang
berbentuk jari bajing.
"Siapa kau?" tanya Ki Galingga dengan suara membentak sambil menuding
senjatanya. "Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" sahut wanita yang sekujur tubuhnya ditutupi kain
kurung. Termasuk wajahnya.
"Bangsat! Ditanya malah balik bertanya!
Katakan, siapa kau sebenarnya"!" bentak Ki Galingga gusar.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti,
kau dan kelima temanmu termasuk adipati kepa-
rat itu harus mampus di tanganku! Hiaa!"
Ki Galingga tersentak kaget diserang begitu
cepat dan tiba-tiba. Segera kakinya melompat ke
belakang, kemudian berkelit ke samping.
"Hop! Heaaa...!"
Ki Galingga berusaha merangsek maju
dengan cakaran kedua tangannya yang menggu-
nakan jurus 'Bajing Mengambil Buah'. Namun ge-
rakan lawan begitu cepat Ki Galingga hampir ter-
kena sambaran tangan lawan. Tapi, orang tua
berwajah seperti bajing dengan pakaian abu-abu
ini memiliki ketajaman tinggi. Kalau tidak, tu-
buhnya sudah menjadi sasaran empuk pukulan
lawan. "Hari ini bagianmu, Bajing Busuk! Yeaat..!"
Wanita berpakaian serba kuning itu terus me-
rangsek maju menyerang Ki Galingga. Serangan-
serangannya sungguh dahsyat dan mengarah pa-
da bagian tubuh yang mematikan.
Ki Galingga yang tak mau menjadi korban
wanita misterius itu segera berkelit ke samping.
Lalu dengan gerakan cepat, balas menyerang la-
wan. Kali ini menggunakan jurus 'Bajing Mener-
kam Mangsa'. Tangannya bergerak cepat merang-
sek ke tubuh lawan.
Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus
kain kuning itu terus menyerang dengan gabun-
gan jurus 'Sembilan Tapak Tangan Darah' dan ju-
rus 'Tusuk Konde Pencari Sukma'. Sesekali tan-
gannya melemparkan sebuah tusuk konde bera-
cun. Meskipun nampaknya tak berarti, tangan
wanita itu sangat berbahaya. Tusuk konde bera-
cun itu mampu membunuh lawan dalam sekejap.
Swing! Swing! "Aits! Tusuk Setan!" maki Ki Galingga seraya mengelakkan tusuk konde yang telah
mem- bunuh istrinya. Tubuh Ki Galingga bergerak ke
sana kemari, terkadang berputar di udara untuk
mengelakkan serangan yang berbahaya itu.
"Hiaaa!"
"Hop! Hats!"
Lawan benar-benar tak memberi kesempa-
tan pada Ketua Perguruan Bajing Ireng itu untuk
balas menyerang. Serangan-serangannya begitu
cepat, disusul lemparan-lemparan tusuk konde
beracun yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di dalam ka-
mar gurunya, murid-murid Perguruan Bajing
Ireng berdatangan hendak membantu sang Guru.
Namun baru saja mereka sampai di pintu, tiba-
tiba... "Awas...!" seru Ki Galingga mengingatkan.
"Hih...!"
Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat
wanita berpakaian kuning itu melemparkan tusuk
konde beracun ke arah murid-murid Ki Galingga.
Swing! Swing...!
Jlep! Jlep...! "Aaakh...!"
Tiga orang murid yang berada di depan
langsung roboh. Dada mereka tertancap tusuk
konde beracun. Darah seketika muncrat dari da-
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
da membasahi pakaian.
"Bedebah! Sebelum kukirim ke neraka, ka-
takan siapa dirimu!" bentak Ki Galingga semakin marah menyaksikan murid-muridnya
menjadi korban keganasan tusuk konde beracun.
"Jangan banyak bicara, Bajing Keparat! Pi-
kirkanlah nanti di alam sana, siapa aku! Hiaaa...!"
Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius
itu langsung melemparkan tusuk konde beracun
ke arah Ki Galingga yang tersentak kaget
Swing! Swing...!
"Hop! Heaa...!"
Tubuh Ki Galingga melenting ke atas, ke-
mudian melesat ke samping kanan untuk menge-
lakkan serangan lawan, dengan jurus 'Lompatan
Bajing Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa...!"
Wanita berpakaian kuning itu tak mem-
biarkan lawannya bergerak lebih jauh. Dengan
cepat pedangnya yang bersinar keperakan dica-
but. Mata Ki Galingga silau oleh sinar yang keluar dari pedang lawan.
"Pedang Perak! Hei! Ada hubungan apa kau
dengan Dewi Ratu Maksiat"! Siapa kau..."!"
"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Bajing
Busuk! Kini terimalah ajalmu! Hiaat..!"
Wanita bertopeng kain kuning yang memi-
liki Pedang Perak milik Dewi Ratu Maksiat itu tak mau membuang waktu lagi.
Segera diserangnya
Ki Galingga dengan tebasan dan babatan Pedang
Perak yang mengandung racun ganas. Kali ini, di-
keluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'.
Wut! Wuutt! "Uhh...!" Ki Galingga terpekik kaget Napasnya terasa sesak oleh racun yang
ditebarkan pe- dang di tangan lawan. Dalam keadaan terdesak
hebat, Ki Galingga masih bertanya-tanya siapa
wanita misterius itu. Kalau dia Dewi Ratu Mak-
siat, rasanya tak mungkin.
Karena Wanita Iblis dari Andalas itu telah
tiada sejak puluhan tahun alam.
Ki Galingga benar-benar kaget melihat pe-
dang di tangan lawannya. Hatinya belum yakin
kalau wanita muda itu Dewi Ratu Maksiat. Na-
mun jurus-jurus pedangnya, sama dengan yang
dimiliki Dewi Ratu Maksiat. Begitu pula dengan
senjata-senjata rahasia tadi.
Dewi Ratu Maksiat merupakan tokoh sesat
di Kadipaten Galih Marta. Selama hidupnya per-
nah membuat heboh kalangan persilatan, teruta-
ma di kadipaten itu. Dewi Ratu Maksiat banyak
membunuh pendekar golongan putih karena me-
rasa dendam pada para pendekar yang telah
membunuh ayah dan ibunya, atas perintah Adi-
pati Seragon. Namun sepak terjang Dewi Ratu
Maksiat dapat dihentikan. Dia dikalahkan oleh
Adipati Seragon, Ki Durpala, Ki Galingga, Ki Ka-
pusala. Mungkin dia Dewi Ratu Maksiat" Tapi...,
Dewi Ratu Maksiat mengenakan pakaian berwar-
na merah serta senjata berupa bunga Anggrek Hi-
tam. Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian
kuning seperti senjata yang dipergunakannya. Ki
Galingga terus bertanya dalam hati sambil menge-
lakkan sabetan-sabetan senjata lawan. Dadanya
semakin terasa sesak oleh racun pedang lawan.
"Heaaa!"
Wut! Wut! Wut..!
Pedang di tangan wanita misterius itu terus
bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan
dan babatan ke tubuh lawan. Sinar putih kepera-
kan yang keluar dari Pedang Perak itu membuat
napas Ki Galingga laksana tersumbat
"Uhuk... uhuk...!"
Ki Galingga terbatuk-batuk. Tangan kirinya
memegangi dada yang terasa sakit karena terlalu
banyak mengisap racun yang ditebarkan wanita
bertutup muka kuning itu.
"Tamatlah riwayatmu, Bajing Busuk!
Hiaaa...!"
Wanita misterius itu mengayunkan pe-
dangnya. Kemudian dengan cepat, menebaskan
ke leher Ki Galingga yang tak mampu lagi menge-
lakkan serangan lawan. Maka...,
Cras! Bruk! Kepala Ki Galingga menggelinding ke ta-
nah. Tubuhnya yang berlumuran darah menge-
jang sesaat, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius yang tubuhnya tertutup
kain kuning segera melesat meninggalkan tempat
itu. Gerakannya begitu cepat, hingga dalam seke-
jap telah hilang di kegelapan malam.
Seketika suasana di rumah Ki Galingga
ramai. Murid-muridnya hanya mampu mencaci-
maki pembunuh keji yang telah membunuh guru
mereka. Malam itu Perguruan Bajing Ireng berka-
bung atas kematian Ki Galingga.
*** Dua orang prajurit Kadipaten Galih Marta
tampak memacu kudanya menuju Perguruan Baj-
ing Ireng untuk menyampaikan undangan dari
Adipati Seragon. Namun seketika mereka mem-
perlambat lari kudanya karena melihat bendera
hitam terpasang di kanan kiri jalan masuk tak
jauh dari perguruan.
"Galu, kau lihat bendera itu?" tanya prajurit yang memegang sebuah gulungan daun
lontar. "Ya," sahut prajurit yang dipanggil Galu.
"Sepertinya ada kematian."
"Hei, lihat! Ada keramaian di Perguruan
Bajing Ireng," ujar prajurit pertama yang bernama
Warigi "Benar. Ada apa di sana" Nampaknya banyak sekali orang berdatangan,"
desis Galu. "Ayo, kita percepat..!"
Kedua prajurit Kadipaten Galuh Marta itu
segera mendekat Perguruan Bajing Ireng tampak
dipenuhi orang-orang peralatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada apakah"!" tanya Galu pada pemuda berbaju rompi kulit ular yang
tengah menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berambut gondrong yang baru saja
keluar dari bangunan perguruan itu mendongak-
kan kepala, memandang kedua prajurit yang me-
negurnya. "Ah, dunia ini semakin tua semakin ber-
tambah saja kejahatannya," gumam pemuda itu.
Mendengar gumaman pemuda tampan be-
rambut gondrong itu, Galu dan Warigi menge-
rutkan kening dan saling pandang. Kemudian ma-
ta keduanya memandang lekat wajah pemuda itu,
yang tampak cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. "Anak Muda. Kami bertanya padamu, men-
gapa engkau bergumam sendiri?" tanya Galu
hampir tertawa menyaksikan tingkah laku pemu-
da yang konyol dan lucu itu. Mirip orang gila.
Terkadang raut wajahnya sedih, kemudian beru-
bah riang dengan senyum lucu. Bahkan yang le-
bih konyol, pemuda itu suka menggaruk-garuk
kepala dengan tangan kiri. Sedangkan tangan ka-
nannya asyik mengorek telinga dengan bulu bu-
rung. "Hi hi hi...!" pemuda tampan yang Sena
Manggala atau Pendekar Gila itu tertawa geli.
Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu
membendung tawa mereka.
"Pemuda Gila...," gumam Galu. "Ayo kita ke sana!" "Hi hi hi...! Eh, tunggu!"
Sena menghentikan mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti
dan menengok ke arahnya.
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya
Galu. "Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?"
tanya Sena seraya menggaruk-garuk kepala.
"Ya!" sahut keduanya.
"Aha! Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena sambil mengorek telinganya
dengan bulu burung. "Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak beritahu, ke arah
mana aku harus pergi?" Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, mendengar pertanyaan pemuda
bertingkah laku aneh itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pe-
muda Edan?" tanya Warigi.
"Bukankah di kadipaten ada pesta" Tentu
banyak makanan di sana. Itu sebabnya aku hen-
dak ke sana. Aku diundang kanjeng adipati," tutur Pendekar Gila.
Galu tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Menurutnya, pemuda berting-
kah laku gila itu hanya bercanda. "Mana mungkin Adipati Seragon mengundang
pemuda gila seperti
ini?" pikir Galu seraya tersenyum.
"Pemuda Gila.... Ah, kanjeng adipati tidak
mengundang pemuda gila sepertimu. Sebenarnya
kanjeng adipati mengundang para pendekar. Tak
ada pesta di sana," tutur Galu.
"Sudahlah, Galu. Mengapa kita harus me-
ladeni pemuda gila ini?" rungut Warigi mengajak temannya meneruskan perjalanan.
"Tunggu!" kembali Sena memanggil mere-
ka. Warigi menghela napas. Kesal juga hatinya
melihat tingkat laku pemuda itu.
"Pemuda gila! Apa sebenarnya yang kau in-
ginkan, heh"!"
Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha! Kalian ini tolol. Bukankah sudah ku-
katakan, bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan
menuju kadipaten"!" Sena tak kalah keras membentaknya.
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Warigi.
Pendekar Gila tersenyum. Diambilnya gu-
lungan daun lontar yang diberikan dua prajurit
kadipaten padanya. Galu segera menerima dan
cepat membuka gulungan itu. Seketika mata ke-
duanya membelalak setelah membaca tulisan
daun lontar itu.
"Pendekar Gila...!" seru mereka bersamaan.
"Oh... ampuni kebodohan kami, Tuan Pen-
dekar! Sungguh kami tak tahu kalau Tuan adalah
Pendekar Gila," ujar Galu sambil turun dari kudanya dan menjura memberi hormat
"Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan meng-
hendaki, hukumlah kelancangan kami ini," tambah Warigi.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak me-
nyaksikan kedua prajurit itu menyembahnya.
"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf.
Sekarang katakan, ke arah mana aku harus ber-
jalan?" tanya Sena, masih dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar! Kalau diperke-
nankan, biarlah kami nanti bersama Tuan," pinta Galu. "Oho! Sangat menyesal, aku
harus segera sampai di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki Galingga
telah tewas di tangan seorang yang bersenjatakan tusuk konde beracun," tutur
Pendekar Gila. Untuk kedua kalinya, Galu dan Warigi
membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Ga-
lingga yang hendak didatangi telah tewas. Tapi,
yang membuat mereka sangat kaget adalah cara
kematian Ki Galingga sama dengan kematian istri
Adipati Seragon dan empat orang teman mereka.
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena.
"Oh! Bencana apakah yang tengah melanda
Kadipaten Galih Marta?" keluh Galu.
"Hm..., apa maksudmu?" tanya Sena masih belum mengerti.
"Lima korban telah dibantainya. Pertama,
istri kanjeng adipati dan empat orang teman kami
yang tengah berjaga. Kini Ki Galingga sama den-
gan kematian istrinya kanjeng adipati," gumam Galu setengah mengeluh. "Semuanya
sama, mati oleh tusuk konde beracun."
"Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu tercengang di-
am. Mata mereka memandang ke arah Perguruan
Bajing Ireng yang tengah berkabung.
"Siapakah pelakunya?" tanya Galu, seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Ayolah, kita harus segera ke sana, menuju
ke kadipaten," ajak Sena yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya
menempuh perjalanan
menuju Kadipaten Galih Marta.
Sementara itu di Perguruan Bajing Ireng
masih banyak orang yang berdatangan untuk me-
lihat Ki Galingga dan anak buahnya serta istri
mudanya yang tewas secara mengerikan oleh wa-
nita misterius.
Sena dan kedua prajurit kadipaten telah
jauh meninggalkan tempat Perguruan Bajing
Ireng yang sedang dilanda duka itu.
7 Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipa-
ten Galih Marta menyusuri jalan setapak di ten-
gah hutan belantara. Malam telah larut. Udara
dingin terasa menggigit. Namun ketiganya tetap
terus melangkah. Kegelapan di hutan dan suara-
suara binatang menambah suasana kian mence-
kam. "Aha! Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini, Kisanak," kata
Sena sambil meng-
hentikan langkahnya.
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja,"
jawab kedua prajurit hampir bersamaan.
"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat
api dulu."
Pendekar Gila melompat ke atas pohon
mencari ranting-ranting kering. Gerakannya yang
cepat tak terlihat oleh kedua prajurit Terdengar suara ranting-ranting patah.
Tidak lama berse-lang, Pendekar Gila turun dengan membawa rant-
ing-ranting kering.
"Buatlah api!" pinta Sena. Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tak tahu harus
bagaimana membuat api. Biasanya mereka mengguna-
kan batu api. Namun, bagaimana mungkin mere-
ka mencari batu api dalam keadaan gelap gulita.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Rupanya
mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua pra-
jurit itu. Sejenak matanya menyapu ke segenap
arah, kemudian berkelebat pergi. Tak lama berse-
lang, telah kembali dengan membawa dua buah
batu api. "Ini batu api yang kalian butuhkan."
Kemudian, batu api itu disodorkan pada
kedua prajurit. Dengan menggosok-gosokkan ke-
dua batu itu, tak lama kemudian api menyala-
nyala. Ketiganya segera mengelilingi api unggun
yang cukup memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan
kucarikan ayam hutan di daerah ini. Tunggulah
di sini," ujar Sena, lalu dengan cepat berkelebat menembus kerimbunan pepohonan.
Dua prajurit kadipaten menunggu keda-
tangan Pendekar Gila dengan perasaan tercekam.
Mereka takut berada di tengah hutan lebat dan
gelap seperti itu. Selama ini keduanya tidak per-
nah berada di dalam hutan, bertugas di kadipaten
yang ramai dan terang.
"Galu, kita harus waspada," kata Warigi mengingatkan.
"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama."
Kedua prajurit itu menarik pedang, siap
menghadapi apa pun yang akan terjadi selama
Pendekar Gila pergi. Mata mereka mengawasi ke
sekeliling tempat itu dengan tajam. Baru saja ke-
duanya mempersiapkan diri, tiba-tiba terdengar
suara mendering senjata rahasia.
"Awas, ada yang menyerang!' seru Galu,
mengingatkan temannya sekaligus mengundang
Pendekar Gila agar segera datang ke tempat itu.
Swing! Swing...!
Entah dari mana datangnya dua benda me-
lesat ke arah dua orang prajurit itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat
"Celaka! Tusuk konde!" pekik Warigi kaget Hidungnya mencium bau wangi bunga.
Mata lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya me-
remang. Saat itu, sebuah tusuk konde melesat ke
arahnya. Tanpa dapat dielakkan, senjata beracun
itu menghunjam dadanya.
Jlep! "Ukh!" Warigi terpekik. Tubuhnya sesaat mengejang dengan mata melotot, lalu
ambruk tanpa nyawa. Jlep! "Aaakh!"
Tusuk konde yang lainnya menancap ke
dada Galu yang juga tak sempat mengelak. Seper-
ti Warigi, Galu pun memekik kesakitan. Dan te-
was setelah tubuhnya mengejang dengan mata
melotot Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila da-
tang dengan membawa tiga ekor ayam hutan. Se-
na tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit
kadipaten itu telah tewas. Matanya menyapu ke
sekeliling. Di dalam kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa buah tusuk konde
beracun ke arahnya.
Swing! Swing...!
"Kurang ajar! Siapa kau...!" bentak Sena selagi bergerak menghindar. Tubuhnya
berjumpalitan di udara sambil menebaskan tangan dengan
jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Deru angin yang
keluar dari tangan Pendekar Gila mampu menja-
tuhkan beberapa buah tusuk konde yang menye-
rangnya. Baru saja Pendekar Gila berhasil meron-
tokkan tusuk konde itu, serangan berikutnya da-
tang. Beberapa buah tusuk konde kembali mele-
sat menyerangnya.
"Edan! Rupanya ada orang yang mengin-
ginkan nyawaku!" dengus Sena sambil terus berjumpalitan mengelakkan serangan
yang bertubi- tubi itu. Dicabutnya Suling Naga Sakti, kemudian
dengan cepat digerakkan untuk membabat tusuk
konde itu. "Heaaa...!"
Prak! Prak! Pluk! Pluk! Beberapa buah tusuk konde yang terkena
sambaran Suling Naga Sakti berpentalan jatuh ke
tanah. "Pengecut! Tunjukkan dirimu!" bentak Pendekar Gila sambil menghantamkan
pukulan ke tempat asal tusuk konde itu. Karena tak ada sa-
hutan, Sena semakin bertambah geram, merasa
dipermainkan lawan.
"Edan! Rupanya ada orang yang mengin-
ginkan nyawaku!" dengus Pendekar Gila sambil mengelak.
"Kurang ajar! Rupanya, mau main petak
umpet denganku. Baik! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila menge-
rahkan ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya me-
lesat laksana angin, memutari wilayah itu. La-
rinya yang begitu cepat membuat tubuhnya bagai
menghilang. Yang tampak hanya bayangan berke-
lebat. Beberapa kali Pendekar Gila memutari tem-
pat itu, namun tak ditemukannya seorang pun di
sana. "Hh...! Aneh. Tak ada seorang pun di sini.
Lalu siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar Gila. Tangannya menggaruk-garuk
kepala dengan mulut nyengir kuda.
Pendekar Gila kembali ke tempat perapian.
Dipandanginya kedua prajurit kadipaten. Di dada
keduanya tertancap tusuk konde beracun.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera berjongkok memperhatikan tusuk
konde yang menancap di dada Galu dan Warigi. Matanya
terbelalak menyaksikan sesuatu yang aneh.
"Ah, rupanya tusuk konde ini bukan tusuk
konde beracun biasa. Tusuk konde beracun pen-
gisap darah," gumam Sena lirih.
Pendekar Gila menggosok-gosok mata, se-
perti tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Ada sesuatu yang aneh, tubuh kedua
mayat itu men-gempis. Mata pecah dan kepala retak-retak. "Oh!
Apa yang terjadi?"
Sena semakin penasaran menyaksikan ke-
jadian aneh itu. Dengan perasaan ingin tahu, di-
cabutnya tusuk konde beracun itu.
Crab! "Hah!"
Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu
kuduknya merinding. Tusuk konde beracun itu
ternyata memiliki akar panjang sampai ke batok
kepala korban. "Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak.
Benar-benar tusuk konde iblis!" gumam Sena
sambil membuang tusuk konde itu jauh-jauh.
"Hhh...!" Sena mendesah, "Bencana apa la-gi yang akan melanda kadipaten ini?"
Malam semakin larut. Pendekar Gila mele-
sat meninggalkan hutan itu setelah mematikan
api unggun. Ditembusnya kegelapan malam den-
gan menggunakan ilmu larinya yang melebihi ke-
cepatan angin. Lari 'Sapta Bayu'.
*** Pagi telah hadir menerangi persada. Seo-
rang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular
nampak menggeliat bangun dari tidurnya.
"Huah...!" pemuda yang tak lain Sena itu menguap. Tangannya mengucek-ngucek
mata. Sekali lompat tubuhnya melayang turun dari po-
hon di Hutan Wanacala.
Tubuhnya dilemaskan dengan menggeliat
untuk menarik otot-ototnya yang kaku. Seketika
matanya tertumbuk pada sesosok bayangan ber-
kelebat tak jauh dari tempatnya. Terdengar suara
tawa dari sosok bayangan itu. Pendekar Gila
mengerutkan kening, merasa pernah mengenal
tawa itu. "Hah..."! Suara tawa itu seperti aku kenal.
Siapa...?" Sena berpikir sejenak sambil menggaruk-garuk kepala. "Itu persis
suara tawa Mei Lie!
Apakah tadi Mei Lie..."!"
Sena bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Lalu matanya mencari-cari, kemudian melesat
mengejar suara yang terus terdengar di kejauhan.
Pendekar Gila memasang indera keenam-
nya untuk menangkap suara itu. Kemudian tu-
buhnya kembali melesat dengan menggunakan
ilmu lari 'Sapta Bayu', mengejar suara itu.
"Mei Lie..."!" seru Sena ketika melihat sesosok wanita berpakaian serba kuning,
dengan rambut dibiarkan terurai.
Wanita itu membelakangi Pendekar Gila.
Tak terdengar suara jawaban bahkan menoleh
pun tidak. Hal itu membuat Pendekar Gila pena-
saran. Dengan sekali lompat, Pendekar Gila sudah
berada di dekat wanita itu. Namun, ketika Sena
menyentuh pundaknya, gadis itu cepat melesat
pergi. Sena jadi heran.
"Mei Lie...! Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena sambil mengejar gadis yang memang
mirip Mei Lie itu. Namun gadis itu telah lenyap dari pandangan.
Seperti hantu saja.
"Aneh" Begitu cepat dia menghilang. Be-
narkah dia Mei Lie...?" tanya Sena dalam hati.
Belum habis Sena berpikir, tiba-tiba ter-
dengar lagi tawa wanita itu. Bahkan kali ini me-
manggil Sena. "Kakang Sena..., kemarilah! Ayo, kejar aku!
Hi hi hi, he he he...!"
"Mei Lie...! Tunggu...!"
Pendekar Gila cepat melesat mengejar gadis
itu. Kali ini ilmu 'Sapta Bayu'-nya tetap dikerahkan. "Mei Lie.... Kenapa kau"
Sikapmu...."
"Mengapa aku?" sahut gadis mirip Mei Lie itu dengan mengulurkan kedua tangannya
ke leher Pendekar Gila.
Melihat keanehan sikap Mei Lie, kekasih-
nya, Sena merasa risih. Hatinya keheranan kare-
na tak pernah Mei Lie berbuat seperti itu. Mei Lie yang dikenal sukar dijamah,
kini malah merang-kulnya. Itulah yang membuat Pendekar Gila mu-
lai curiga. Dengan halus dia melepas rangkulan
wanita yang mirip dengan Mei Lie itu. Lalu mena-
tapnya sambil menggaruk-garuk kepala dan cen-
gengesan. "Kenapa, Kakang" Adakah yang aneh dari-
ku..."!" tanya wanita itu sambil terus berusaha merayu Sena. Kini wanita itu
lebih berani. Dibiarkan pakaian atas yang menutupi dadanya terbu-
ka lebar. Hingga buah dadanya yang kuning lang-
sat terlihat jelas, tersembul menantang. Apalagi
ketika wanita itu membungkuk, mengambil tusuk
kondenya yang jatuh. Sena yang melihat tusuk
konde itu, mengerutkan kening. Dia mulai terin-
gat sesuatu. "Tusuk konde..." Pasti wanita ini ada hu-
bungannya dengan wanita misterius yang menye-
rangku semalam," ujar Sena di dalam hati. Namun dia kembali ragu ketika melihat
wajah wani- ta yang ada di depannya benar-benar Mei Lie.
"Kenapa kau merasa jijik denganku, Ka-
kang Sena...?" tanya wanita yang mirip Mei Lie itu, dengan sedih.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Pe-
muda itu malah cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. Sifat Sena paling tidak bisa jika melihat wanita yang bersedih.
Apalagi bila yang di-
hadapan Mei Lie, kekasihnya.
"Aku harus berbuat sesuatu, agar semua
yang kuhadapi saat ini jelas. Benarkah dia Mei
Lie" Di mana pedang bidadarinya" Mungkin Mei
Lie mengalami gangguan jiwa, atau...."
Sebelum selesai Sena menebak dalam hati,
tiba-tiba wanita itu menyerangnya. Sebuah ten-
dangan keras mendarat ke dada Sena yang sem-
pat lengah. Degk! "Hukh...!"
Sena terpekik. Dan belum sempat dia me-
mulihkan tenaganya, tiba-tiba wanita itu mengge-
ram. Dari mulutnya pun keluar puluhan jarum,
ketika menyembur ke arah Pendekar Gila.
Jub! Jub! Jub! "Aaakh...!"
Sena menjerit, ketika jarum-jarum berbisa
menghunjam ke dadanya. Tidak sampai di situ,
wanita itu tampak mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Kedua tangannya diangkat ke atas,
dengan jari-jari tangan membentuk cakar seperti
hendak mencengkeram. Lalu sambil memekik
wanita itu hendak melancarkan serangan maut-
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya dengan pukulan.
Wesss! Degk! Namun belum sempat wanita itu menghun-
jamkan serangannya lagi, tiba-tiba muncul seso-
sok bayangan berkelebat. Dengan cepat disam-
barnya tubuh Sena yang sudah tak sadarkan diri,
sambil menghantam wanita itu dengan tendan-
gan. "Aaauuuw...!"
Wanita itu memekik panjang dan bergulin-
gan di tanah. "Kurang ajar...! Aaakh!" geram wanita itu sambil memegangi kakinya yang
dirasakan seperti
patah. Tak bisa untuk berdiri.
Sementara bayangan itu sudah hilang dari
pandangannya. "Siapa yang menyelamatkan Pendekar Gi-
la...?" gumam wanita yang mirip Mei Lie itu. Wajahnya mendadak pucat dengan
bibir bergetar.
Sesaat kemudian, muncul Dewi Ratu Mak-
siat secara tiba-tiba bagai makhluk halus. Dite-
mani empat lelaki pemuas nafsunya.
"Tuan Putri...!" seru wanita yang mirip Mei Lie ketakutan.
"Hi hi hi...! Bodoh! Kau terlalu ceroboh dan bernafsu pada lelaki. Sebagai
hukuman orang tolol yang bernafsu berlebihan, kini kau harus me-
layani ke empat budakku ini secara bergantian.
Ha ha ha...!"
Selesai berkata begitu, Dewi Ratu Maksiat
memberi isyarat pada keempat budaknya untuk
segera menggilir wanita samaran Mei Lie.
"Oooh... jangan! Ampun, Tuan Putri...,"
pinta wanita itu sambil menangis.
Namun keempat budak nafsu itu sudah
merenggut tubuh wanita itu. Mereka menelanjan-
gi wanita mirip Mei Lie. Dewi Ratu Maksiat me-
nontonnya sambil tertawa-tawa. Sampai akhirnya
wanita itu tak tahan dan mati secara menyedih-
kan. Darah mengalir dari selangkangannya. Wa-
jahnya pun seketika berubah ke aslinya, pucat
pasi, dengan mata melotot
Dewi Ratu Maksiat dan keempat budaknya
meninggalkan begitu saja wanita malang itu sam-
bil tertawa terbahak-bahak.
8 Siang itu langit nampak mendung. Mentari
sama sekali tak menampakkan diri, karena tertu-
tup awan hitam yang bergulung di langit.
Lereng Gunung Merapi pun diselimuti
mendung dan hawa dingin, serta kabut tebal me-
nutupi puncaknya. Sesekali suara guntur meng-
gelegar, membuat suasana kian mencekam.
Di dalam sebuah rumah gubuk seorang le-
laki tua berambut putih tengah duduk. Lelaki
berjenggot panjang sampai ke dada itu mengena-
kan jubah mirip pendeta Budha berwarna putih.
Jubah itu diselempangkan begitu saja di tubuh-
nya. Tempat duduknya terbuat dari potongan ba-
tang pohon kayu besar yang sengaja dibuat se-
demikian rupa sebagai tempat duduknya.
Di depannya, terbujur lemas sesosok tubuh
pemuda tampan, berambut gondrong. Tubuhnya
yang mengenakan pakaian rompi dari kulit ular,
terkulai di atas dipan. Mungkin pemuda itu su-
dah mati" Tak bergerak sedikit pun.
Lelaki tua yang dikenal dengan nama Ki
Kinasih itu nampak membaca sebuah kitab suci.
Kedua tangannya direntangkan ke atas dengan
mulut berkomat-kamit. Sesekali dengan kedua te-
lapak tangannya dia mengusap tubuh pemuda
itu, dari wajah sampai kaki. Hal itu dilakukannya berulang-ulang. Sampai
akhirnya, Ki Kinasih bergumam. "Oooh... Hyang Widhi.... Berikan kuasa-Mu!
Sembuhkan pemuda ini! Beri dia kekuatan
baru. Jangan kau bawa dia pada kematian. Se-
bab, dia harus meneruskan hidupnya untuk me-
numpas kedurjanaan manusia... Hyang Widhi...
berilah mukjizatmu melalui telapak tanganku ini!
Tolonglah hambaMu ini...! Oooh... yai, yaii,
yaiii...!"
Tubuh Ki Kinasih tiba-tiba bergetar. Lalu
bagai menyala, sekujur tubuhnya nampak terang.
Saat itu kekuatan Dewata telah menyusup ke tu-
buh Ki Kinasih. Kejadian berlangsung tak begitu
lama, tampaknya mukjizat itu telah turun atas di-
ri lelaki tua itu.
Cahaya putih bersih keperakan menjalar
ke telapak tangan Ki Kinasih. Kemudian perlahan
telapak tangannya seperti ada yang menggerak-
kan, mengusap wajah pemuda di depannya seba-
nyak tiga kali. Kemudian dilanjutkan mengusap
seluruh tubuh pemuda itu tiga kali pula. Seketika cahaya berupa membias dari
sosok tubuh pemuda itu. Cahaya kehidupan bagi manusia yang
berbudi luhur dan kuat.
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya putih
tadi, Ki Kinasih memekik, "Yeaaa...!"
Plarr! Cahaya itu kembali merambat ke sekujur
tubuh pemuda yang terbaring itu. Namun kemu-
dian perlahan-lahan hilang. Suasana kembali te-
nang. Ki Kinasih nampak menarik napas panjang.
Keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Pemuda yang tadi berbaring di dipan, tam-
pak mulai bisa menggerak-gerakkan jari tangan-
nya, lalu seluruh anggota tubuhnya. Matanya per-
lahan dibukanya, bagai orang baru terjaga dari tidur. Pemuda berpakaian rompi
kulit ular itu menggosok-gosok matanya. Dan setelah pandan-
gan matanya mulai jelas, pemuda itu perlahan
menggeliat bangun. Matanya terpicing ketika me-
lihat lelaki tua duduk bersila di atas batang po-
hon tengah menatap wajahnya.
"Oooh..., di mana aku" Siapa kau, Kek...?"
tanya pemuda itu sambil memegangi, kepalanya,
lalu menggaruk-garuknya. "Apakah aku bermim-
pi?" "Hm...," gumam Ki Kinasih pendek, "Kau tidak bermimpi, Cucuku. Saat ini kau
berada di pondokku. Aku tahu, kau mirip Singo Edan, adik
seperguruanku itu...," ujar lelaki tua itu dengan suara menggema.
"Hah" Bagaimana Kakek tahu..." Dan siapa
nama, Kakek?" tanya pemuda tampan yang tak
lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
"Panjang ceritanya, Sena. Yang jelas aku
dengan Singo Edan selalu berhubungan melalui
batin. Dan kini bukan waktunya untuk bercerita
padamu. Kau dalam keadaan hampir mati, ketika
jarum-jarum beracun itu menusuk dadamu. Se-
mua ini perbuatan Dewi Ratu Maksiat yang ingin
membunuhmu dan menguasai rimba persilatan.
Selain itu, anak angkatnya yang bernama Datuk
Tambureh telah menyekap si Bidadari Pencabut
Nyawa, kekasihmu itu...," tutur Ki Kinasih.
"Hah"! Mei Lie..." Di mana aku dapat me-
nemukannya...?" tanya Sena mendesak.
"Hm...," Ki Kinasih memejamkan mata se-
jenak. Lalu perlahan membukanya kembali sam-
bil menatap Sena tajam. "Kau harus dapat membunuh Dewi Ratu Maksiat dahulu, jika
ingin ber- temu dengan gadis itu. Dan nanti kau akan me-
nemukan tempatnya. Namun itu tak mudah ba-
gimu, Sena. Kau harus lebih berhati-hati meng-
hadapi wanita iblis itu. Sedikit kau lengah, nya-wamu melayang...! Tapi, kau
harus yakin dapat
mengalahkannya. Jangan sampai terpengaruh
kecantikannya! Dia sangat berbisa, Sena. Juga
jangan kau tatap matanya jika berhadapan den-
gan dia! Itu saja pesanku. Aku percaya dengan
Suling Naga Sakti, dan beberapa ilmu yang di-
ajarkan Singo Edan, kau akan mampu menak-
lukkan Wanita Iblis dari Andalas dan Datuk Tam-
bureh, yang menculik kekasihmu. Sekarang cepat
kau pergi! Aku akan melihatmu dari kejauhan,"
tutur Ki Kinasih.
"Sebelum aku pergi, boleh aku tahu nama
Kakek?" tanya Sena sambil menjura hormat Ki
Kinasih tersenyum. Dia meletakkan telapak tan-
gannya di kepala Pendekar Gila.
"Apa artinya sebuah nama. Yang penting,
jika kau kelak bertemu dengan gurumu, katakan,
kakek berjenggot panjang dari Lereng Merapi ki-
rim salam. Itu saja. Dan sekali lagi pesanku, jangan tatap mata lawanmu," kata
Ki Kinasih memberikan wejangan pada Sena.
"Terima kasih, Kek.. eh Eyang. Saya mohon
diri...!" Setelah menjura, Sena melesat pergi keluar dari pondok itu.
Ki Kinasih memandangi dengan senyum,
sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang
sampai dada. *** Pendekar Gila yang sudah sangat marah
akan tindakan dan sepak terjang Dewi Ratu Mak-
siat dan Datuk Tambureh, terus melesat dengan
menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu' menuju ba-
rat. "Aku yakin, jalan ini akan mempertemukan ku dengan perempuan keparat itu,"
kata Sena dalam hati.
Pendekar Gila terus melesat bagai angin.
Sehingga tiba di suatu tempat yang sepi dan
sunyi. Di sekitar tempat itu pepohonan tampak
kering meranggas, bagikan dilanda musim kema-
rau yang sangat panjang. Padahal daerah itu me-
rupakan pegunungan yang mestinya subur.
"Aneh, tempat apa ini" Aku baru lihat tem-
pat yang semua pohon dan tanamannya kering
seperti ini...," gumam Sena dalam hati. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil
mengedar- kan pandangan mengitari sekitar tempat itu.
Namun Pendekar Gila kembali melesat me-
ninggalkan tempat yang sunyi dan sepi itu. Tanpa
sepengetahuannya, ada sepasang mata jalang
mengawasi gerak-gerik Sena sejak tadi.
"Oooh... Mei Lie, di mana kau..." Hyang
Widhi, temukan aku dengan dia! Beri aku petun-
juk jalan untuk menemukan Mei Lie...!" keluh Se-na sambil terus berlari menuruti
nalurinya. Bagai terbang pemuda itu melintasi segala
macam tempat. Melompati tebing, menyeberangi
sungai. Dan terakhir dia memasuki sebuah hutan
yang kelihatannya masih perawan. Hutan Gom-
bong. Hutan itu ditumbuhi pepohonan besar.
Namun tampak di sana-sini banyak yang bertum-
bangan, menghalangi jalan.
Pendekar Gila memutuskan untuk berhenti
di mulut hutan itu.
9 Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar
matahari yang baru saja terbit di ufuk timur. De-
sau angin lembut, senandung burung, dan kokok
ayam jantan, menyatu dalam satu irama kehidu-
pan. Dari kejauhan di dalam Hutan Gombong
terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu
diselingi tiupan suling yang mendayu, seperti me-
nikmati indahnya pagi.
Samar-samar dari kejauhan, tampak seo-
rang pemuda tampan dengan suling emas berke-
pala naga di tangannya, tengah melangkah sambil
bernyanyi. Pemuda tampan yang tengah berjalan
sambil bernyanyi-nyanyi itu tak lain Sena Mang-
gala atau Pendekar Gila. Didengar dari syair la-
gunya, tampaknya Sena sedang merasakan ke-
rinduan pada seorang gadis yang dicintainya. Dan
gadis itu tentunya Mei Lie.
"O, permata hatiku ke mana langkah harus
menuju. Masihkah kau menikmati pagi yang in-
dah ini. Iri rasanya hatiku, memandang alam
yang damai ini. Sementara, jiwaku telah mencari
tempat tambatan hati yang pergi belum kemba-
li...." Setelah menumpahkan isi hatinya, Sena pun duduk di atas sebatang pohon
yang tumbang. Suling Naga Sakti diselipkan di ikat ping-
gangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa, kepa-
lanya digaruk sambil memandang burung yang
bernyanyi riang.
"Hi hi hi...! Burung, aku iri kegembiraan-
mu...! Aha, kau meledekku. Tak apa. Kuakui me-
mang aku sedang bingung...," kata Sena bicara seorang diri. "Aha! Kau yang bisa
terbang, di ma-na kini Mei Lie berada?"
"Cit, Cuit"
Sena melompat-lompat sambil tertawa-
tawa mendengar kicau burung mencericit.
"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Bu-
rung Cantik?"
"Cuit, cuit..!"
Sena mengangguk-angguk sambil cen-
gengesan. Lalu dengan tetap tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala, Sena bangkit dari
duduknya. Wajahnya menengadah ke langit keti-
ka burung-burung pemakan bangkai berterban-
gan dengan pekikan yang keras.
"Oh, ada apa dengan burung-burung itu"
Bukankah mereka burung pemakan bangkai?"
gumam Sena dengan kening berkerut.
Sena masih belum sadar, kalau gerak-
geriknya diintai oleh sepasang mata, yang ber-
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sembunyi di balik pepohonan rindang. Lalu ber-
kelebat sosok bayangan hijau. Gerakannya begitu
ringan, hingga tak terdengar sedikit pun langkah
kakinya. Tentunya sosok yang mengikuti Pende-
kar Gila itu memiliki ilmu meringankan tubuh
cukup handal. Dengan mulut masih cengengesan Sena
kembali duduk. Matanya beredar ke sekeliling
tempat yang ditumbuhi pepohonan hijau meng-
gapai cakrawala.
Kresek! Bibir Sena tersenyum ketika telinganya
menangkap suara kaki menginjak daun kering.
Kemudian sambil cengengesan, dia duduk bersila.
Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang
merenung. "Hi hi hi...! Rupanya ada juga tikus yang
bersembunyi," ucap Sena tenang. Matanya me-
mandang redup dan mulutnya masih cengenge-
san. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk
paha. Swing! Swing...!
Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat
ke arah Sena yang masih duduk bersila.
"Aha, ada juga tikus yang pandai bercan-
da!" seru Sena sambil berjumpalitan di udara.
Bersamaan dengan itu, segera dihantamkan pu-
kulan 'Inti Bayu' untuk menangkis senjata raha-
sia yang meluncur ke arahnya. "Hi hi hi...! Permainan kalian kukembalikan!
Hih...!" Wuss! Swing! Swing...!
Crab! Crab! "Aaakh...!"
Dari balik semak-semak yang jaraknya se-
kitar lima belas tombak terdengar jeritan kema-
tian. Kemudian tampak lima orang dengan wajah
ditutupi kain hitam meregang. Leher mereka ter-
tancap senjata rahasia yang tentu milik mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk dan tewas.
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Lucu...!" seru Se-na sambil berjingkrak-jingkrak
seperti kera kegi-
rangan. "Kurang ajar! Serang dia...!"
Dari balik semak-semak, terdengar perin-
tah seseorang untuk menyerang. Bersamaan den-
gan itu, muncul puluhan orang dengan wajah ter-
tutup kain hitam dan bertelanjang dada. Mereka
langsung mengurung Pendekar Gila yang masih
tertawa terbahak, sambil melompat-lompat seperti
kera. "Ha ha ha...! Monyet-monyet hitam! Ha ha ha...!" "Bedebah! Bunuh dia...!"
seru pemimpin orang-orang yang berpakaian serba hitam.
"Hiaaat...!"
"Wadauw! Mengapa ganas sekali"!" seru
Sena, sambil memegang kepalanya. Tubuhnya
bergerak meliuk-liuk, mengelakkan serangan la-
wan. "Pecah kepalamu, Pemuda Edan!" bentak pemimpin para penyerang sambil
menebaskan goloknya ke kepala Sena.
"Wadauw, aku tak mau!" teriak Sena sam-
bil meliukkan tubuhnya dengan kaki agak meren-
tang. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat', Sena mementahkan serangan yang datang ke
arahnya. Tubuhnya meliuk-liuk laksana penari,
dan sesekali tangannya bergerak seperti mene-
puk. "Hi hi hi...! Rasakan kue apemku! Nih...!"
Tangan Sena menepuk ke dada seorang la-
wan yang menyerangnya. Tubuhnya masih me-
liuk-liuk, dengan sedikit membungkuk
Blukk! "Wuaa...!"
Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila
seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke
belakang, melayang laksana terbang. Tubuh
orang itu terhenti, ketika menabrak sebatang po-
hon besar. Brak! "Aaakh!"
Orang itu menjerit. Kain penutup kepa-
lanya bersimbah darah, Ternyata kepala orang itu
pecah akibat benturan keras dengan pohon besar
tadi. Hutan yang semula tenang dan asri, seke-
tika terpecah oleh suara hiruk-pikuk. Banyak po-
hon yang tumbang terhantam serangan mereka.
Rerumputan yang semula segar, morat-marit dan
rusak karena terinjak-injak. Binatang-binatang
pun berlarian karena ketakutan.
"Hi hi hi...! Siapa lagi yang mau kue
apem...?" tanya Sena sambil bergerak seperti see-
kor kera dengan tangan kiri menepuk-nepuk pan-
tat. Tubuhnya masih meliuk-liuk laksana menari
mengelakkan serangan lawan.
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" seru pimpinan gerombolan berpakaian serba hitam
yang ternyata dari Gerombolan Macan Kumbang. Tubuh pe-
mimpin gerombolan itu tidak terlalu besar. Sua-
ranya juga bukan suara lelaki, melainkan seorang
wanita. "Cincang dia!" sambut anak buahnya. "Serang...!"
Serentak mereka kembali menyerang den-
gan membabatkan golok di tangan masing-
masing. Namun dengan cepat Sena kembali ber-
gerak mengelak. Kedua kakinya digeser dengan
cepat seraya membungkukkan badan.
"Wah! Ganas sekali tikus betina ini?" tukas Sena sambil terus bergerak mengelak.
Pantatnya sengaja ditunggingkan ke arah lawan-lawannya,
hingga membuat wanita dari Gerombolan Macan
Kumbang itu marah.
"Haiiit..!"
Wanita itu membabatkan goloknya ke pan-
tat Sena. "Wadauw! Jangan, Nyi! Pantatku bisulan!
Hi hi hi...!"
Sambil berkata begitu. Sera mengelak ce-
pat. Kembali tangannya menepuk dua orang yang
berada di depan dan sampingnya.
Plakk! "Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Dua orang korban sasaran pukulan Pende-
kar Gila memekik. Tubuh mereka terpental deras
ke belakang seperti dua batang ranting kering.
Lalu menghantam pohon disertai pekikan kema-
tian. Tubuh keduanya ambruk dengan napas pu-
tus. "Bangsat! Minggir...! Biar kuhadapi dia!"
seru wanita itu kalap. Pemuda itu terlalu berba-
haya untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis
satu persatu anak buahnya di tangan pemuda
tampan yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur, dengan ce-
pat wanita itu melabrak maju. Matanya yang
nampak dari lubang kain penutup wajahnya, me-
lotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!"
bentak wanita itu.
"Hi hi hi...! Dari mana kau tahu, Tikus Be-
tina! Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak dengan tubuh berjingkrakan
seperti kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Namamu cukup kondang, Pendekar Gila!
Hm, aku datang untuk menantangmu!"
Sena kembali tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali! Lucu sekali omonganmu, Ti-
kus Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya
Sena masih bergerak-gerak seperti kera.
"Karena kau penghalang kami!"
"Oh, kalau kalian bermaksud baik, aku tak
akan menghalanginya. Ah ah ah...! Tentu maksud
kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi
hi...! Atau kalian tak punya hidung"!" ledek Sena
yang membuat wanita itu semakin membelalak
garang. "Bedebah! Apa pun yang akan kami laku-
kan, itu urusan kami! Kau memang harus dising-
kirkan, karena kau penghalang utama. Nah, ber-
siaplah!" bentak wanita itu sengit
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mu-
lut cengengesan.
"Aha, kalau itu maumu, baiklah. Aku akan
melayanimu."
"Hiaaat..!"
Wanita itu segera melompat dengan terka-
man tangan yang membentuk cakaran dalam ju-
rus 'Burung Gagak Menangkap Mangsa'. Tangan-
nya bergerak menyilang, lalu mencengkeram lu-
rus ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali gerakanmu."
Pendekar Gila segera menundukkan kepa-
la, lalu dengan cepat tubuhnya bergerak menge-
lak sambil berguling. Kakinya menendang ke atas,
ketika tubuh wanita itu melompat
"Hi hi hi...! Ini tendangan kuda binal!"
Wanita itu tersentak kaget mendapatkan
serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangan-
nya ditarik, tapi tubuhnya yang sudah melayang
sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang. Se-
hingga... Degk! "Hukh!"
Tubuh wanita itu terlontar ke depan, lalu
tersuruk mencium tanah.
"Ha ha ha...! Mengapa kau mencium tanah,
Nyi?" ejek Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Tangannya menepuk-nepuk pantat dan mengga-
ruk-garuk kepala sambil melompat-lompat kegi-
rangan. Hal itu membuat lawannya semakin ma-
rah. "Kurang ajar! Bunuh monyet gila itu!" perintah wanita itu. Gerombolan Macan
Kumbang langsung bergerak mengurung Pendekar Gila
yang masih melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya!" seru wanita itu bertambah murka, menyaksikan tingkah laku
Pen- dekar Gila yang kian menjengkelkan.
"Hiaaa...!"
"Yeaaa...!"
Gerombolan itu langsung menyerbu den-
gan babatan dan tusukan golok ke tubuh lawan.
Mereka nampaknya bernafsu sekali untuk segera
menghabisi Pendekar Gila.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pende-
kar Gila bukannya takut, malah tingkahnya kian
menggila. Dengan berjingkrak-jingkrak seperti ke-
ra, Sena mengelakkan serangan orang-orang ber-
pakaian serba hitam itu. Tampak tubuhnya me-
liuk-liuk bagai menari. Kemudian tangannya ber-
gerak ke beberapa jurusan, menghantam dengan
pukulan-pukulan yang kelihatannya pelan dan
tak bertenaga. "Hea...!"
Plak! "Wuaaa...!"
Satu orang lagi terkena pukulan telapak
tangan Pendekar Gila. Seperti tiga temannya, tu-
buh orang ini pun terlontar jauh ke belakang.
Dan baru berhenti ketika membentur pohon hing-
ga kepalanya pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu kalau me-
reka para bajingan, kini tak mau diam dan mem-
biarkan mereka lolos. Tubuhnya bergerak cepat,
meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat' disusul dengan jurus yang sema-
kin membuat lawan-lawannya bertambah kalang-
kabut. Wuss...!
Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila
keluar angin deras menghantam ke arah lawan.
Para pengeroyoknya seketika terdorong ke bela-
kang. Bahkan pakaian wanita itu terlepas. Tu-
buhnya kini tak tertutup sehelai benang pun.
Ternyata dia seorang wanita yang cantik dengan
rambut terurai lepas. Hidungnya bangir dan bi-
birnya tipis, menggairahkan. Hal itu membuat
Sena mengerutkan kening sesaat. Wanita itu tak
lain Dewi Ratu Maksiat. Sejenak Sena terkesima.
Mata Dewi Ratu Maksiat bagai mengandung daya
tarik yang luar biasa. Hatinya hampir saja terlena oleh kecantikan dan keindahan
tubuh wanita itu.
Yang kini dalam keadaan tanpa pakaian!
"Hah..."!" gumam Pendekar Gila, meman-
dang wanita yang ada di depannya tanpa pakaian.
"Dia pasti Dewi Ratu Maksiat itu. Rupanya dia sejak tadi mengikuti. Aku harus
hati-hati...," batin Sena. Rupanya setelah wanita yang dia ciptakan
mirip Mei Lie itu gagal menaklukkan Pendekar Gi-
la, Dewi Ratu Maksiat penasaran. Dia terus men-
cari di mana Pendekar Gila berada, dan dengan
indera keenamnya akhirnya Dewi Ratu Maksiat
dapat menemukan jejak Pendekar Gila. Jika dia
dapat melumpuhkan, menaklukkan iman Pende-
kar Gila, maka dia akan sangat bahagia. Karena
dapat hidup seribu tahun lagi. Menurutnya den-
gan bersetubuh dengan Pendekar Gila umurnya
semakin panjang. Dan bertambah sakti!
Dewi Ratu Maksiat berpura-pura malu, dia
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menutupi auratnya dengan kedua tangan. Lalu
tersenyum genit dan menggigit bibirnya sendiri.
Sena tertegun sesaat, menatapi tubuh yang
begitu indah dan dada yang masih terlihat keras.
"Oooh...," Dewi Ratu Maksiat mendesah lirih. "Sebaiknya kita tak usah bertarung
Pendekar Gila. Aku mengaku kalah. Sekarang lebih baik ki-ta menjadi teman.
Peluklah aku, oooh... ssstt...."
Pendekar Gila seperti kena hipnotis, entah
kenapa jadi tak berkutik. Kakinya melangkah
mendekati Dewi Ratu Maksiat yang tanpa pakaian
itu. Wanita cantik itu telentang di tanah, yang ditumbuhi sedikit rerumputan.
Semakin dekat Sena dengan wanita iblis
itu. Dan ketika tinggal satu tombak jaraknya, Se-
na tiba-tiba memegang keningnya, dia mendengar
suara mengiang-ngiang di telinganya. "Jangan sekali-kali kau menatap mata wanita
itu, Sena..., jangan menatap matanya!"
Pendekar Gila tersentak, seperti orang baru
bangun dari tidurnya. Pemuda itu cepat mema-
lingkan muka dan tetap siap waspada akan tipu
muslihat wanita itu. Hatinya telah sadar, setelah mendengar pesan Ki Kinasih.
"Perempuan iblis!" gumam Sena lirih.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat usahanya
gagal, segera menyeringai. Matanya membelalak
lebar. Dan sambil mengerang bagai macan kum-
bang betina, Dewi Ratu Maksiat menggapai pa-
kaiannya yang terlepas tadi. Dililitkan pakaiannya di bagian pinggang. Lalu
menyerang Pendekar Gi-la, yang membelakanginya.
"Yeaaa.... grrr...!"
Dewi Ratu Maksiat melesat menerkam
Pendekar Gila. Namun Pendekar Gila sudah siap
dengan segala kemungkinan. Dirundukkan kepa-
lanya ke samping, lalu disusul melancarkan se-
rangan balik, dengan pukulan tangan kanan ke
dada lawan yang masih ngambang di udara.
Pluk! Bukk! "Aaakh...!" Dewi Ratu Maksiat memekik
panjang. Dadanya seketika terasa sesak. Tubuh-
nya langsung roboh tertelungkup ke tanah. Dewi
Ratu Maksiat yang sebenarnya memang tak me-
miliki ilmu sejati mulai berkurang tenaganya.
Wanita Iblis dari Andalas itu hanya memiliki ilmu sihir yang dapat meluluhkan
setiap lelaki. Namun
untuk Pendekar Gila ilmu itu tak mempan.
Sena yang sudah merasa sangat jijik dan
marah, mulai mengeluarkan jurus-jurus mautnya
untuk cepat membunuh wanita itu. Pemuda itu
tampak mulai menyatukan telapak tangannya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, tangannya
dengan pelan membuka ke samping. Ditariknya
ke belakang membentuk aku. Lalu dengan tela-
pak tangan terbuka, bergantian menghantam. Da-
ri pukulannya itu mengeluarkan kekuatan yang
sanggup melebur gunung karang! Itulah jurus 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat itu mem-
belalak. Matanya bagai mau keluar, merasa su-
dah tak sanggup melawan Pendekar Gila.
"Jangan, ampuni aku, Pendekar Gila! Apa-
kah kau tega membunuh perempuan semacam
aku, dalam keadaan terluka dalam" Seorang pen-
dekar sejati sepertimu tak akan melakukan hal
itu, bukan..."!" ucap Dewi Ratu Maksiat dengan suara sedih, air matanya mulai
menetes ke pipi.
Sejenak Pendekar Gila terkesima. Tangannya
yang ingin dihentakkan ke arah perempuan itu
diurungkan. Matanya memandang Dewi Ratu
Maksiat. Namun cepat-cepat Sena memalingkan
muka, menghindari tatapan mata perempuan itu.
"Kalau kau tak ingin mati, cepat pergi! Se-
belum aku membah pikiran...!" perintah Sena
dengan lantang. Tanpa memandang Dewi Ratu
Maksiat Perempuan itu melotot. Mukanya yang can-
tik kini nampak galak. Dan menyeringai, tangan
kirinya masih memegangi dadanya yang terasa
sakit "Hhh! Siasatku gagal. Kepalang basah! Aku harus bisa menaklukkan pendekar
tampan ini, Aku ingin merasakan pelukan dan kejantanan-
nya. Biar aku menjadi wanita yang terus awet
muda...!" gumam Dewi Ratu Maksiat. Selesai bergumam, dengan sisa-sisa kekuatan,
tubuhnya melompat ingin menerkam Sena yang membela-
kangi dia. "Grrr...! Hiaaa...!"
Wut! Wut! Blarrr! "Aaauwww...!"
Dewi Ratu Maksiat menjerit tinggi melengk-
ing. Dari mulutnya keluar darah kental, namun
warnanya kuning bercampur kehijau-hijauan.
Tubuh wanita itu menggelepar-gelepar di tanah,
dalam keadaan telanjang. Perlahan-lahan terjadi
perubahan di wajahnya. Wajah yang cantik jelita
dan penuh daya tarik luar biasa, kini kembali
menjadi wajah yang menyeramkan, keriput seper-
ti nenek-nenek. Rambutnya putih dan bertubuh
kurus bagai tengkorak. Sena kaget melihat hal
itu. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu ber-
gumam, "Ternyata dia seorang nenek-nenek keriput Edan! Jagad Dewa Batara...! Kau
telah men- dapat ganjaran yang setimpal, Nyi...."
Selesai bicara begitu, Sena segera melesat
meninggalkan tempat itu.
"Aku harus menemukan Mei Lie secepat-
nya. Tapi di mana?" kata Sena dalam hati sambil terus berlari ke barat.
*** Sementara itu di kaki Gunung Kelud, tem-
pat kediaman Datuk Tambureh nampak sepi.
Hanya dalam salah satu ruangan terdengar suara
jeritan dan tawa seorang lelaki.
"Ha ha ha... mau ke mana kau, Manis..."
Sudah saatnya kini kau menjadi istriku. Ayolah..., malam ini kita akan saling
memberi cinta... he he he, ha ha ha... ayo...!" Datuk Tambureh sudah telanjang
dada, hanya memakai celana panjang.
Mencoba memburu Mei Lie yang pakaiannya su-
dah robek-robek oleh tangan Datuk Tambureh
yang sudah kemasukan setan itu.
"Jangan dekati aku...! Aku akan bunuh di-
ri...!" bentak Mei Lie yang nampak marah. Sambil menghindar, dan memukul muka
Datuk Tambureh dengan sekuat tenaga. Namun tanpa Pedang
Bidadari Pencabut Nyawa, Mei Lie tak bisa ber-
buat banyak. Apalagi tenaga dalamnya belum pu-
lih sepenuhnya. Gadis itu mencoba untuk tidak
terkena totokan lelaki keparat. itu. Untuk itu dia selalu berusaha menjauhi dan
melawan jika Datuk Tambureh mendekat, ingin menerkamnya.
"Jangan sampai hilang kesabaranku! Kau
akan menyesal nanti. Ayolah...!" ancam Datuk Tambureh. Lalu cepat menerkam Mei
Lie. Gadis itu melompat ke samping, lalu menyerang dengan
tendangan kaki kanannya ke dada Datuk Tambu-
reh. Degk! "Ukh...!" Datuk Tambureh yang sudah bernafsu itu, sempat kurang waspada. Hingga
ten- dangan kaki kanan Mei Lie mengenai dadanya.
"Kurang ajar! Kau tak bisa dibiarkan. Hem!
Heaaa...!"
Datuk Tambureh menyerang dengan ganas.
Mei Lie terbelalak melihat gerakan tangan datuk
yang begitu cepat. Dan tanpa diduga, tiba-tiba
Datuk Tambureh sudah dapat menangkap lengan
kiri Mei Lie. Mei Lie berusaha melepaskan cekalan tan-
gan kanan Datuk Tambureh. Namun sia-sia saja.
Lelaki tua itu lebih kuat, sedangkan keadaan te-
naga dalam Mei Lie belum pulih benar.
Dengan cepat Datuk Tambureh, yang tak
mau membuang-buang waktu lagi, segera meno-
tok ke arah dada Mei Lie. Namun si Bidadari Pen-
cabut Nyawa bisa menangkis dengan tangan ka-
nannya, meskipun hal itu tak cukup untuk
menggagalkan niat Datuk Tambureh. Dengan ce-
pat pula tangan lelaki berjubah merah itu kembali menotok dada Mei Lie.
Tuk! Tuk! Mei Lie seketika terkulai lemas. Datuk
Tambureh yang sudah lama ingin menikmati tu-
buh Mei Lie yang menggiurkan, dan ingin menja-
dikan istrinya segera menggotong tubuh gadis itu
ke tempat pembaringan
Datuk segera merobek penutup dada Mei
Lie. Tersembul di depan matanya, dada yang pu-
tih bersih, keras, dan kenyal menantang. Menam-
bah birahi Datuk Tambureh semakin tinggi. Dan
ketika Datuk Tambureh mulai menindih dan ingin
mengisap buah dada Mei Lie. Tiba-tiba...
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Tubuh Datuk Tambureh terpental, jatuh
dari tempat tidurnya. Bersamaan itu, bayangan
yang berkelebat menjebol pintu kamar itu, dengan
cepat menyambar tubuh Mei Lie. Dan menghilang
dari kamar. Datuk Tambureh murka. Dia cepat mema-
kai jubah dan menyelipkan kapak terbuat dari
kuningan asli ke pinggangnya.
Para penghuni tempat itu, berhamburan
keluar, ketika mendengar teriakan Datuk Tambu-
reh yang marah itu.
"Hai...! Kalian, cepat kejar maling itu...!
Bodoh!" perintah Datuk Tambureh. Setelah itu dia sendiri melesat meninggalkan
tempat itu. Sementara itu sosok bayangan yang mem-
bawa Mei Lie telah jauh dari kediaman Datuk
Tambureh. Siapa sebenarnya yang membawa Mei
Lie itu belum jelas. Namun di belakang orang itu
ada seorang lelaki lain yang mengikutinya.
"He he he, ha ha ha...!" lelaki berjubah hitam itu tertawa-tawa riang sambil
terus berlari. Diikuti kawannya yang kini semakin dekat
Sesampainya di suatu tempat yang diang-
gap aman, mereka berhenti. Lalu mencari tempat
yang sedikit terlindung di bawah pohon beringin
besar dan rindang. Di sekelilingnya semak-semak
dan pepohonan rendah.
"Kini kita akan bersenang-senang, Bulus,"
ujar lelaki bercakar hitam yang ternyata Barong
Culla. Matanya terus menatap tubuh Mei Lie yang
masih belum sadarkan diri. Karena tertotok oleh
Datuk Tambureh tadi.
Barong Culla maupun Bulus Wulung sen-
gaja tak ingin melepas totokan itu, agar lebih le-luasa untuk memperkosa gadis
itu. "Apakah kita tak cepat-cepat memulai saja"
Aku sudah tak tahan," kata Bulus Wulung yang air liurnya meleleh dari mulutnya.
Apalagi ketika melihat lebih dekat dada Mei Lie yang sedikit tersembul dari
balik pakaiannya yang sobek. Juga
pahanya yang mulus membuat Bulus Wulung tak
dapat menahan gejolak birahinya, segera dia me-
remas dada Mei Lie. Namun Barong Culla, cepat
menepis dan menampar Bulus Wulung sebelum
tangannya menyentuh dada Mei Lie.
"Sabar! Orang sabar itu subur... he he
he...! Atau kita bertarung saja, siapa yang menang boleh lebih dulu menikmati
tubuh gadis ini. Setuju?" tantang Barong Culla.
Bulus Wulung hanya tersenyum, sambil
memegangi perutnya. Matanya tak berkedip terus
memandangi dada Mei Lie dan paha mulus yang
menantang itu. Karena tak ada jawaban dari Bulus Wu-
lung, Barong Culla mengetahui temannya sudah
merelakan dia meniduri Mei Lie lebih dulu. Maka,
Barong Culla segera membungkuk, ingin menin-
dih tubuh Mei Lie yang sudah telentang.
"He he he...! Hari ini aku mendapat duren
jatuh... he he he...!" kata Barong Culla sambil membuka ikat celananya. Namun
tiba-tiba..., Cras! Cras! Crab!
"Ukkh...!"
Bulus Wulung rupanya mempunyai siasat
keji. Dia tega membunuh kawan seperjuangan-
nya, hanya karena ingin menguasai tubuh Mei
Lie. Dengan goloknya dia menebas kepala dan
menusuk tubuh Barong Culla. Tanpa ampun
nyawa Barong Culla langsung melayang!
"Ha ha ha...! Kini akulah yang paling baha-
gia. He he he... hari ini aku akan menikmati tu-
buh gadis cantik ini sepuas hatiku. He he he...!"
Selesai berkata begitu Bulus Wulung sege-
ra membungkuk ingin menindih tubuh Mei Lie
yang masih belum sadar. Tangan Bulus Wulung
gemetaran ketika hendak menjamah dada Mei Lie.
Tanda nafsu birahinya benar-benar sudah me-
muncak. Bugk! Bugk! "Aaa...!"
Bulus Wulung tiba-tiba menjerit dan tu-
buhnya tertelungkup di tanah.
Orang yang tiba-tiba muncul itu tak sam-
pai di situ menghajarnya. Belum sempat Bulus
Wulung melihat jelas siapa orang yang mengga-
Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
galkan niatnya, datang tendangan keras ke dada
dan kepalanya secara bertubi-tubi. Hingga lelaki
berjubah biru kehitaman itu tak bisa bangun.
Orang yang menghajarnya mengakhiri dengan
tendangan kaki kanannya yang keras ke ulu hati
Bulus Wulung. Seketika Bulus Wulung mati.
"Mei Lie... Mei Lie! Oooh... maafkan aku...!"
pemuda yang ternyata Pendekar Gila memeluk
dan mengusap rambut kekasihnya. Lalu segera
melepas totokan yang membelenggu Mei Lie.
Seketika Mei Lie sadar. Perlahan matanya
membuka dan kaget melihat Sena ada di depan-
nya, lalu menangis. Sena memeluknya erat-erat
"Semuanya sudah berakhir, Mei Lie...," ka-ta Sena perlahan.
"Belum berakhir!"
Terdengar suara seseorang lelaki dari arah
belakang Pendekar Gila. Sena tersentak kaget, ju-
ga Mei Lie. Segera mereka menoleh ke arah da-
tangnya suara. Dan Sena cepat berdiri mengha-
dap orang itu. Diikuti Mei Lie, yang telah menge-
nai orang itu. "Bajingan! Kau rupanya...!" bentak Mei Lie tiba-tiba setelah tahu yang muncul
tak lain Datuk Tambureh.
"Siapa dia..."!" tanya Sena geram. Matanya terus menatap tajam Datuk Tambureh.
"Dialah yang menculikku, dan ingin meno-
daiku, Kakang...," kata Mei Lie tegas sambil menatap tajam lelaki tua di
depannya. "Keparat! Kau harus menerima ini...!
Heaaa...!"
Karena marah, Pendekar Gila langsung
menggebrak dengan jurus-jurus mautnya. Jurus
'Si Gila Membelah Mega' dicampur dengan jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Wuss! Glarr...! Ledakan hebat akibat serangan Pendekar
Gila yang tak menemui sasaran. Pohon dan beba-
tuan yang ada di sana. Hancur lebur dan tum-
bang. Karena ternyata Datuk Tambureh telah le-
bih dulu melesat cepat mengelakkan serangan
dahsyat itu. Mei Lie coba membantu dengan serangan
semampunya. "Mei Lie, minggir. Biar aku cincang manu-
sia keparat itu...."
Selesai berkata begitu, Pendekar Gila sege-
ra melancarkan serangannya. Kali ini tubuhnya
melenting ke udara mengejar Datuk Tambureh
yang hendak menerkam Mei Lie. Pertarungan di
udara terjadi, saling pukul dan tangkis, antara
kedua orang berilmu tinggi itu. Lalu keduanya
meluncur ke bawah, dan sama-sama berdiri tegak
berhadapan, berjarak lima tombak. Sementara
Mei Lie juga tetap siap dan waspada. Namun tiba-
tiba Mei Lie tak tampak di mata Datuk Tambureh
yang jelalatan mencarinya. Saat itulah Pendekar
Gila, menghunjamkan pukulan jarak jauhnya ke
arah Datuk Tambureh.
"Heaa!"
Wutt! Brret! "Aukkh...!"
Datuk Tambureh memekik tertahan seraya
memegangi dadanya. Namun dengan cepat dia
menggerakkan kedua tangannya, lalu mengi-
baskan tangan kanan ke depan. Angin keras se-
ketika menderu memburu Pendekar Gila. Tubuh
Pendekar Gila seakan tersedot angin itu, mende-
kat ke arah lawan. Pendekar Gila cepat tanggap.
"Celaka! Ilmu apa ini..."!" gumam Pendekar Gila sesaat. Dia cepat mengeluarkan
ajian 'Inti Salju'. Dengan kekuatan tenaga dalam, kedua
tangannya diangkat ke atas dengan cepat, lalu
menghentakkan ke arah lawan. Maka seketika
tubuh Datuk Tambureh membeku, tertutup salju.
Datuk Tambureh tersentak kaget. Tubuhnya
menggigil kedinginan dan matanya terbelalak he-
ran. Pendekar Gila tak mau buang waktu lagi, se-
gera dikerahkan ajian 'Tamparan Sukma'. Gera-
kannya lambat, tapi hasilnya sangat dahsyat Si-
luman apa pun jika terkena pukulan ini pasti
hancur lebur. Namun anehnya Datuk Tambureh
tak mati, bahkan tubuhnya tetap utuh. Hanya
terluka di bagian kening dan dadanya hangus.
"He he haaa... ayo, Pendekar Gila! Kelua-
rkan kesakitanmu! Kau akan mati sekarang den-
gan senjata pusakaku ini...," ujar Datuk Tambureh sambil mencabut kapak yang
terbuat dari ku-
ningan asli. Memancarkan sinar emas, menyilau-
kan mata Pendekar Gila.
"Hah"!" gumam Pendekar Gila sambil
memperhatikan senjata yang digenggam tangan
kanan lawannya.
Segera Pendekar Gila mencabut Suling Na-
ga Saktinya. Diangkatnya ke atas, lalu diturun-
kan perlahan, dan kemudian dihentakkan ke de-
pan bersama dengan kakinya merenggang, mem-
buka kuda-kuda dan jurus.
"Heaaa...!"
"Yaaat..!"
Kedua tokoh sakti itu melompat ke udara,
dan saling menyerang dengan senjata masing-
masing. Pertarungan di udara terjadi lagi dengan
sem. Senjata mereka beradu.
Trang! Trang! Trang!
Glaarrr...! Ledakan menggelegar disertai cahaya perak
dan keemasan menerangi tempat itu, akibat bera-
dunya dua senjata pusaka. Lalu keduanya turun
dengan mulus. Datuk Tambureh yang semakin
murka dan penasaran, langsung menyerang den-
gan penuh amarah. Serangannya tak terkendali
hingga banyak yang tak menemui sasaran. Pen-
dekar Gila dengan lincah menangkis dan melaku-
kan serangan balik yang cepat ke arah wajah dan
perut Datuk Tambureh.
Wess! Wess! Sing! Sing! Datuk Tambureh membalas serangan den-
gan menyodok, membabatkan kapaknya ke kepa-
la Pendekar Gila. Namun pemuda itu dengan ce-
pat menangkis dengan sulingnya. Kembali sinar
perak dan keemasan terlihat. Lalu Pendekar Gila
melenting ke udara sambil salto, melewati kepala
Datuk Tambureh yang menghadap ke lain arah.
Saat itu dengan cepat Pendekar Gila yang masih
ngambang di udara, melancarkan tebasan ke arah
kepala Datuk Tambureh.
Brak! Brak! "Aaauw...!"
Datuk Tambureh memekik panjang, kepa-
lanya terkena pukulan Suling Naga Sakti. Tubuh-
nya melintir, lalu roboh sambil memegangi kepa-
lanya. Datuk Tambureh berusaha menahan rasa
sakit dan pening, serta panas yang mendera di
kepalanya, akibat hantaman Suling Naga Sakti.
Biasanya orang akan mati dalam beberapa saat
kemudian. Namun Datuk Tambureh rupanya memiliki
kesaktian yang hebat. Lelaki tua berjubah merah
itu masih bisa bertahan, walaupun pandangan-
nya kini mulai kabur karena pening.
Pendekar Gila sedikit heran. Namun dia
cepat melesat ke arah Datuk Tambureh yang ma-
sih sempoyongan.
"Heaaa...!"
Prak! Prak! Glarrr...! Pendekar Gila yang sudah memuncak ama-
rahnya, tak mampu lagi mengendalikan diri. Di-
hantamkan Suling Naga Sakti-nya kembali ke ke-
pala dan tubuh Datuk Tambureh yang seketika
menjerit Lalu tak bersuara lagi. Nyawanya me-
layang! Tubuhnya membiru dan kemudian terba-
kar, karena Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
Pendekar Gila merasa puas. Dia menghela
napas panjang dan kemudian bergumam.
"Kau telah mendapat pembalasan Datuk
Tambureh...! Terima kasih Hyang Widhi! Dengan
bantuanmu, aku bisa menemukan Mei Lie dan
melenyapkan manusia-manusia terkutuk itu...."
Pada saat itu Mei Lie telah muncul kembali
dengan menggenggam Pedang Bidadari-nya.
"Mei Lie...! Dari mana kau tadi...?" tanya Sena keheranan melihat kekasihnya
yang sempat menghilang beberapa saat.
"Mana dia datuk keparat itu, Kakang Se-
na..."!" tanya Mei Lie menunjukkan kemarahannya.
"Sudah mati. Dia sudah membayar semua
dosa dan kejahatannya. Kita sekarang benar-
benar telah melewati hari-hari yang sangat me-
nyesakkan...," kata Sena lalu memeluk Mei Lie.
Gadis itu merebahkan kepala di dada Pendekar
Gila yang mengusap rambutnya dengan penuh
kasih sayang. "Aku merasa ingin mati saja, ketika sadar,
bahwa aku dalam cengkeraman datuk keparat
itu. Kakang..., aku pun selalu merindukanmu,"
ujar Mei Lie lemah lembut
"Aku pun demikian, Mei Lie...," jawab Sena kemudian.
"Hai, Anak Muda. Jangan kau terbawa
keadaan, nanti kau terlena, lawan akan mudah
meringkusmu...!"
Tiba-tiba terdengar suara serak seorang le-
laki dari satu arah. Sena dan Mei Lie terkejut, dan cepat berbalik mencari-cari
orang yang berkata
tadi. Belum sempat kedua muda-mudi itu me-
nemukan, muncul seorang lelaki tua berambut
putih, dengan jenggot panjang sampai dada. Den-
gan pakaian seperti pendeta Budha, warna putih
bersih diselempangkan ke badan. Lelaki tua itu
melangkah mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kek..." Eeh, Eyang...!" seru Sena dengan wajah ceria. Lalu menarik lengan Mei
Lie. Menga-jaknya menyongsong lelaki itu. Lalu keduanya
menjura. "Hm... he he he.... Aku merasa puas dan
bangga melihat murid Singo Edan yang gagah
perkasa. Bagus Sena, ternyata gadis itu memang
pantas menjadi pendampingmu...," kata Ki Kinasih dengan tersenyum.
Lalu memegang kedua muda-mudi itu.
"Eyang terlalu menyanjungku. Tapi saya
tak bisa melupakan jasa Eyang Jenggot..," kata Sena sedikit berseloroh.
"He he he...! Aku lupa nama gadis ini, siapa namamu, Nak...?" tanya Ki Kinasih
seraya wajahnya menatap pada Mei Lie.
"Nama saya Mei Lie, Eyang...," jawab Mei Lie lemah lembut
"Nama yang bagus, dan cocok sama orang-
nya.... Mei Lie, aku kakak seperguruan Singo
Edan, guru Sena. Jadi kapan saja kau memerlu-
kan apa saja, jika dalam kesulitan di daerah ini, datanglah ke pondok eyang, di
Lereng Gunung Merapi sana!" tutur Ki Kinasih yang lalu merangkul Mei Lie dan Sena.
"Terima kasih, Eyang...," kata Mei Lie sambil mengangguk.
"Ayo, sekarang hari sudah menjelang ma-
lam. Sebaiknya kalian berdua beristirahat di pon-
dok eyang malam ini, bagaimana...?" kata Ki Kinasih dengan sabar.
"Ooo... dengan senang hati, Eyang," sahut Sena dengan senang.
Lalu mereka berjalan bertiga, Ki Kinasih di
tengah, di kanan kirinya Pendekar Gila dan Mei
Lie, saling bergandeng tangan.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak bahagia
dan puas, karena semua cobaan dan malapetaka
yang mereka hadapi kini telah berakhir. Semua
dapat diatasi dengan penuh ketabahan, keyaki-
nan, dan akal. Sementara itu mentari sudah se-
makin menyusup di kaki langit sebelah barat dan
hari pun segera akan berganti malam....
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 2 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Pendekar Sakti Suling Pualam 3