Pencarian

Duel Di Puncak Lawu 2

Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu Bagian 2


yang datangnya cepat itu. Dengan memutar cepat tubuhnya,
Dewi Pandagu berusaha mengelakkan serangan lawan.
Kakinya menendang ke dagu lawan, disusul oleh sabe-
tan selendangnya.
Ctar! Lecutan selendang Dewi Pandagu begitu keras,
laksana terbuat dari logam. Ledakannya menggelegar, hingga menimbulkan percikan
bunga api. "Uhhh...!"
Prabasangka tersentak kaget. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke atas untuk mengelakkan seran-
gan selendang lawan. Kemudian dengan cepat dibalas-
nya dengan tendangan menyamping.
"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah.
Tubuhnya segera diputar disertai tendangan ke arah
dagu lawan, disusul sabetan selendangnya....
Ctar! "Uhhh...!" Prabasangka tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas,
mengelak dari se-
rangan selendang lawan.
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-
nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul ke dada lawan.
Ctar! "Heat..!"
Prabasangka yang tidak ingin kakinya buntung
oleh lecutan selendang Dewi Pandagu, segera menarik kakinya. Sedangkan tangan
kanannya kembali bergerak untuk menangkap tangan lawan.
Sementara, tangan kirinya hendak mencengke-
ram ke arah buah dada Dewi Pandagu.
"Uts...!"
Dewi Pandagu menarik tangan kirinya, lalu di-
putarnya ke depan untuk memapak tangan lawan yang
hendak menjangkau buah dadanya. Tubuhnya dimi-
ringkan ke kanan. Kemudian tangan kanannya yang
memegang selendang, disentakkan dari bawah ke wa-
jah lawan. Ctar! Prabasangka membuang kepalanya ke samping
kanan dengan tubuh agak miring. Kemudian tubuhnya
diputar hingga menunduk ke depan. Lalu tangan ka-
nannya dengan nakal bergerak ke arah selangkangan
Dewi Pandagu. Ketua Perguruan Bintang Emas tersentak kaget
mendapat serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya
berusaha mundur agar tangan pemuda cabul itu tak
mengenai selangkangannya. Namun begitu, ujung jari
pemuda itu sempat menyentuh juga.
"Auh...! Iblis cabul! Kubunuh kau...!"
Setelah melompat mundur, Dewi Pandagu yang
semakin marah kembali menyerang dengan selendang
dan pukulan. Kali ini kakinya agak merapat. Hal itu membuat gerakan-gerakannya
agak kaku, dan seran-
gannya pun tidak segarang dan seganas tadi.
Prabasangka yang melihat keadaan Dewi Pan-
dagu, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Se-
gera dilancarkannya jurus-jurus cabulnya. Kedua tangannya bergerak ke atas dan
ke bawah. Tangan kanan
ke arah buah dada Dewi Pandagu, sedangkan tangan
kiri ke arah selangkangan wanita cantik itu.
Menyaksikan jurus lawan kini mengarah ke
tempat-tempat terlarang, Dewi Pandagu semakin
mempercepat sabetan selendangnya. Setiap kali tangan Prabasangka hendak
menyerang, dengan cepat Dewi
Pandagu mengebutkan selendang untuk memapa-
kinya. Ctar! *** Dewi Pandagu terus menyerang lawan, dengan
harapan lawan tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang dengan jurus-jurus
cabulnya. Rupanya
perhitungannya keliru. Lawan bukanlah pemuda sem-
barangan, meski usia mereka tidak terpaut jauh. La-
wan yang tengah dihadapi adalah anak tunggal Catrik Ireng. Salah seorang tokoh
rimba persilatan yang di masanya dulu merupakan salah satu dari dua pendekar
muda tanpa tanding.
Dewi Pandagu yang tidak tahu siapa pemuda
berbaju kuning yang usianya sekitar tiga tahun di
atasnya itu terus mencecar lawan dengan lecutan se-
lendangnya. "Heaaat..!"
Ctar! Prabasangka terus berkelit dan sesekali mem-
balas serangan. Tangannya senantiasa mengarah ke
arah buah dada lawan. Suatu saat tubuhnya bergerak
ke samping, mengelakkan sabetan selendang lawan.
Kemudian dengan cepat, tangan kanannya menangkap
selendang itu. Tap! Selendang lawan tertangkap. Membuat mata
Dewi Pandagu melotot kaget bercampur marah. Tan-
gan kanannya disentakkan dengan kuat, dengan hara-
pan selendangnya terlepas. Namun pegangan tangan
Prabasangka rupanya sangat kuat
"He he he...!" Prabasangka terkekeh. Senyumnya mengembang di bibir. "Akhirnya
kau kudapat juga, Manis...."
Pucat seketika wajah cantik yang mengenakan
pakaian wanita India berwarna putih itu. Matanya melotot penuh amarah. Kemudian
dengan nekat tangan-
nya menghantam ke dada lawan.
"Hiaaat..!"
Prabasangka tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau wanita cantik itu akan menyerang. Beruntung
dia segera membawa tubuhnya ke samping hingga pu-
kulan sakti yang dilontarkan Dewi Pandagu meleset di sampingnya.
"Rupanya kau benar-benar ganas, Manis!
Yeaaat..!"
Setelah luput dari hantaman pukulan sakti
yang dilontarkan Dewi Pandagu, Prabasangka meng-
hentak kedua kakinya. Tubuh meluncur ke atas den-
gan tangan masih memegangi selendang lawan. Kemu-
dian dengan cepat tubuhnya menukik. Tangannya ber-
gerak ke arah buah dada lawan
Melihat lawan menyerang Dewi Pandagu segera
memukulkan telapak tangannya ke arah lawan. Ka-
kinya menendang pula.
"Yeaaat..!"
Prabasangka yang sudah menduga kalau Dewi
Pandagu akan memapaki serangannya dengan balas
menyerang, seketika menarik kembali serangannya.
Tubuhnya melenting, dan tiba di belakang Dewi Pan-
dagu. Dengan cepat tangannya menotok punggung
wanita cantik itu.
Tuk! "Hugkh...!"
Dewi Pandagu terkesiap. Dia berusaha memba-
likkan tubuh untuk memapaki serangan lawan. Na-
mun seluruh otot tubuhnya mengejang setelah jalan
darahnya ditotok lawan. Tubuhnya seketika kaku.
Prabasangka tertawa tergelak-gelak karena me-
rasa telah menang. Dihampirinya tubuh Dewi Pandagu
yang kini berdiri mematung tanpa dapat berbuat apa-
apa. "Akhirnya kau akan menikmatinya, Manis...."
"Cuh! Lepaskan aku...! Pengecut lepaskan aku!"
bentak Dewi Pandagu penuh amarah. Tak segan-segan
diludahinya kembali wajah Prabasangka.
Prabasangka menyeka ludah Dewi Pandagu di
wajahnya dengan jari, kemudian dijilatinya ludah itu.
"Orangnya cantik ludahnya pun terasa manis."
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-
nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul ke dada lawan.
Ctar! Pengecut lepaskan totokanmu! Kita bertarung
sampai salah satu di antara kita mati!" dengus Dewi Pandagu kian marah.
Prabasangka tak menggubris tantangan itu.
Dengan cepat tangannya bergerak untuk membopong
tubuh Dewi Pandagu. Kemudian kakinya melangkah,
hendak membawa tubuh Dewi Pandagu ke dalam ban-
gunan utama Perguruan Bintang Emas.
"Lepaskan, Pengecut! Lepaskan...!"
Dewi Pandagu berteriak-teriak, memaksa agar
Prabasangka melepaskan totokannya. Namun pemuda
berbaju kuning itu tak menggubrisnya. Kakinya terus melangkah, membawa tubuh
Dewi Pandagu menapaki
halaman bangunan.
Ketika kakinya berada di depan pintu bangu-
nan itu, tiba-tiba terdengar jeritan susul-menyusul da-ri anak buahnya.
Prabasangka tersentak kaget. Tu-
buhnya langsung berbalik ingin melihat apa yang terjadi. Matanya membelalak
ketika melihat seorang pe-
muda berbaju rompi kulit ular tengah menghajar anak buahnya.
"Pendekar Gila....!" desis Prabasangka kaget.
Diturunkannya tubuh Dewi Pandagu. Kemudian tanpa
banyak kata, tubuhnya melesat meninggalkan Pergu-
ruan Bintang Emas.
Sosok pemuda berpakaian kulit ular yang me-
mang Pendekar Gila itu, nampak terus berkelebat.
Tangan kanannya menghantam ke arah puluhan lelaki
berjubah hitam. Tangan kirinya yang menggenggam
Suling Naga Sakti, tak mau diam. Senjata pusaka itu terus dipukulkan ke kepala
lawan. "Yeaaa...!"
Plak! Bugkh! Sena Manggala bagaikan orang gila yang men-
gamuk. Kakinya menendang ke semua penjuru dengan
cepat. Tangannya memukul dan menyabetkan Suling
Naga Sakti ke kepala lawan. Dan suling pusaka itulah rupanya yang mampu
menjatuhkan Laskar Setan!
"He he he...! Rupanya Laskar Setan ini hanya
bisa dikalahkan oleh sulingku! Yeaaa...!"
Setelah tahu kalau Laskar Setan hanya dapat
dikalahkan oleh Suling Naga Sakti, Pendekar Gila
mempercepat serangannya. Gerakannya yang seperti
orang gila mengamuk seketika membuat tubuhnya
laksana menghilang. Tahu-tahu terdengar suara bera-
dunya Suling Naga Sakti dengan batok kepala dan tu-
buh lawan. Plak! Bugkh! Satu persatu Laskar Setan yang tadi nyaris
memenangkan pertempuran jatuh tak bangun lagi.
Jumlah mereka semakin lama semakin menipis. Na-
mun Pendekar Gila tak puas sampai di situ, tubuhnya terus bergerak cepat seraya
memukulkan sulingnya.
Semakin cepat gerakan Pendekar Gila, semakin
banyak Laskar Setan yang tewas. Sementara itu semua murid Perguruan Bintang Emas
hanya dapat menon-ton amukan Pendekar Gila.
"Yeaaat..!"
Wuttt! Plak! Jumlah Laskar Setan yang semula puluhan,
kini tinggal lima orang. Pendekar Gila kembali mence-lat ke atas, kemudian
menukik ke bawah sambil
menggerakkan tangan kirinya yang menggenggam Sul-
ing Naga Sakti ke kepala empat orang Laskar Setan.
Sedangkan tangan kanannya, menotok salah seorang
dari mereka. Pletak! Pletak...!
Suara beradunya Suling Naga Sakti dengan
empat kepala Laskar Setan terdengar susul-menyusul.
Diikuti oleh jatuhnya keempat lelaki itu
5 Sena menggaruk-garuk kepala setelah menyele-
saikan lawan-lawannya. Kemudian dengan tersenyum-
senyum sambil menggaruk-garuk kepala, kakinya me-
langkah ke arah satu orang Laskar Setan yang sengaja dibiarkan hidup.
"Katakan, siapa pemimpinmu?"
Anggota Laskar Setan itu tak menjawab. Hanya
matanya saja yang membara penuh amarah pada Sena
yang semakin tergelak-gelak menyaksikan kemara-
hannya. Tiba-tiba Sena mengerutkan kening, tawanya
terhenti seketika. Matanya memandang tajam pada ta-
wanannya. "Weh weh weh.... Rupanya ada yang tidak beres
dengan manusia ini. Keji...! Sungguh keji orang yang telah melakukan semuanya.
Hm, tapi baiklah. Aku
akan berusaha menolongmu, Sobat," gumamnya sambil mengangguk-angguk. Kakinya
melangkah, memuta-
ri tubuh tawanannya. Tampak dia tengah mengamati
sesuatu pada tubuh orang itu.
"Tuan, tolonglah bukakan totokanku...!" seru Dewi Pandagu, menyentakkan Sena.
Seketika Sena mengurungkan usahanya untuk
mencari rahasia yang menyebabkan lelaki itu tak bisa berbicara, bahkan bagai tak
memiliki perasaan.
Sena menengok ke arah pemilik suara yang
merdu itu. Mulutnya tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala, menyaksikan gadis cantik jelita berpakaian putih seperti
orang India berdiri mematung tanpa daya.
"Ah! Kenapa kau...?" tanya Sena.
"Tolong, bukakan totokan ini," pinta Dewi Pan-
dagu Kemudian sambil tersenyum-senyum, Sena me-
langkah mendekati Dewi Pandagu. Kemudian dengan
gerakan yang sulit diikuti mata, dibukanya totokan di tubuh Dewi Pandagu.
Tuk! Setelah membuka totokan Dewi Pandagu, Sena
termenung. Sepertinya dia tengah memikirkan orang
yang telah menotok gadis cantik Ketua Perguruan Bintang Emas itu.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Untung Tuan


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, entah bagaimana nasibku dan
murid-muridku...," keluh Dewi Pandagu.
Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya
masih cengengesan.
"Aneh sekali, bagaimana murid tunggal Dewi
Lintang Wangi dapat diperdaya?" gumamnya. "Hm, tentunya pemimpin Laskar Setan
itu bukan orang
sembarangan."
Dewi Pandagu tertunduk. Dia merasa malu
mendengar ucapan Pendekar Gila yang menyebut na-
ma gurunya. Dewi Lintang Wangi bukan tokoh wanita
sembarangan. Ilmunya cukup tinggi. Tapi Dewi Panda-
gu yang menjadi pewaris ilmunya, ternyata tak berdaya menghadapi pemuda berbaju
kuning yang jurus-jurusnya cabul.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.
"Dewi, siapakah pemimpin Laskar Setan itu?"
tanya Sena. "Seorang pemuda berbaju kuning," jawab Dewi Pandagu.
"Apakah ikat kepalanya kuning juga?"
"Benar! Apakah Tuan kenal...?" Rata Dewi Pan-
dagu balik bertanya.
Pendekar Gila menghela napas sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian matanya memandang le-
laki anggota Laskar Setan yang masih tertotok.
"Benar-benar keji," gumam Sena.
"Kenapa...?"
"Kau tahu Laskar Setan itu?" tanya Sena sambil menunjuk ke arah tawanannya.
"Ya," sahut Dewi Pandagu. "Mengapa tidak dibunuh sekalian?"
Sena menggelengkan kepala.
"Hm, sesuatu telah terjadi padanya. Jalan da-
rah yang menuju otaknya telah ditotok dengan totokan yang bukan sembarangan.
Untuk melepaskannya, di-perlukan tenaga dalam yang kuat. Aku akan berusaha
membuka totokan itu."
Mata Dewi Pandagu seketika terbelalak men-
dengar penuturan Sena.
"Untuk apa..." Bukankah dia berbahaya?"
tanya Dewi Pandagu.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya kemba-
li menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan kepala
menggeleng-geleng maksudnya segera dijelaskan.
"Kurasa, dia berbahaya karena keadaan pikiran
dan perasaannya tak berfungsi. Tetapi, jika keadaan pikiran dan perasaannya
berfungsi, dia akan menyadari siapa dirinya."
"Jadi menurutmu, orang itu dalam keadaan tak
sadar?" "Ya," sahut Sena. "Kau mau membantuku, De-wi?" Dewi Pandagu tersenyum.
Matanya yang lentik dan indah mengerling.
"Kenapa tidak" Untuk Tuan, aku selalu siap."
Sena tertawa tergelak-gelak. Kembali tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, jangan panggil aku tuan. Aku bukan
tuanmu. Lagi pula, hubungan antara gurumu dengan
guruku cukup baik. Tak sepantasnya seorang sahabat
memanggil tuan pada sahabatnya...," tutur Sena, merendah. Dewi Pandagu tersipu.
Matanya masih mengerling penuh arti. Senyumnya terlihat, seirama dengan
kerlingan matanya yang indah.
"O, mengapa malam-malam begini kita harus di
luar" Bukankah sebaiknya kita di dalam?" ajak Dewi Pandagu.
"Terima kasih, aku harus ke Gunung Lawu,"
kata Sena, berusaha menolak.
"Mengapa malam-malam begini" Bukankah le-
bih baik besok pagi?"
Dewi Pandagu semakin manja. Matanya kian
mengerling penuh arti. Senyumnya yang merekah, se-
pertinya mengundang.
"Ayolah...," desak Dewi Pandagu.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulut-
nya cengengesan.
Dewi Pandagu semakin tak sabar. Tangannya
kini memegangi tangan Sena. Matanya mengerling
manja. Senyumnya menggoda. Sungguh tak ada cacat
celanya kecantikan gadis itu. Setiap lelaki, pasti akan terpesona melihat
kecantikannya yang sempurna.
"Baiklah, Dewi. Tapi aku harus menolong dia.
Adakah sebuah kamar untuknya?" tanya Sena seraya menunjuk ke arah tawanannya.
"Mengapa kau pedulikan dia?"
"Aku, kau ataupun dia, sama-sama manusia.
Sama dicipta oleh Hyang Widhi, Dewi. Kalau Hyang
Widhi mau mengasihi dan mengampuni kita, mengapa
kita tidak bisa mengasihi sesamanya?" tanya Sena setengah berfilsafat.
"Baiklah...," kata Dewi Pandagu setelah terdiam beberapa saat
"Terima kasih. Kau telah turut membantuku."
"Ah, kaulah yang telah menolongku," balik Dewi Pandagu dengan nada riang nan
manja. Senyumnya
yang menggoda, masih mengembang di bibirnya yang
menawan. "Jadi kau ada kamar untuk kami?" tanya Sena.
Dewi Pandagu mengerutkan kening. Matanya
memandang penuh harap pada Sena, membuat pemu-
da itu menggaruk-garuk kepala dipandang begitu rupa.
Apalagi yang memandang seorang wanita cantik jelita.
"Mengapa untuk kalian" Untuk anggota Laskar
Setan itu saja. Untukmu, aku akan memberikan ka-
mar lain."
Tangan Sena semakin keras menggaruk-garuk
kepala. Wajahnya kini menengadah, memandang langit
yang gelap menghitam diselimuti malam. Mulutnya
cengengesan, membuat Dewi Pandagu tersenyum
sambil memandangi tingkah laku pemuda tampan itu.
"Ayolah.... Bawa anggota Laskar Setan itu,"
ajaknya. "Baik"
Kaki Sena melangkah ke arah tawanannya.
Dengan ringan dipanggulnya tubuh lelaki itu. Sena la-lu mengikuti Dewi Pandagu
yang masuk ke dalam
bangunan perguruan.
Banyak sekali kamar di dalam bangunan utama
itu. Tentunya kamar-kamar itu berpenghuni. Sudah
pasti murid Perguruan Bintang Emas-lah yang me-
nempati. Mereka terus melangkah ke belakang. Sampai
di kamar paling ujung, Dewi Pandagu berhenti.
"Kamar ini untuk anggota Laskar Setan yang
kau bawa.."
"Hm, lumayan."
Tangan Sena mendorong pintu kamar itu. Di-
ikuti oleh Dewi Pandagu, tubuh Sena masuk Di dalam
kamar itu ada sebuah dipan yang cukup untuk satu
orang. Ditaruhnya tubuh tawanannya itu di atas di-
pan. "Biarkan dia di sini dulu," bisik Dewi Pandagu.
Tangannya menempel di pundak Sena. Menopang ke-
palanya yang juga rebah di pundak Sena. Dan ketika
pemuda tampan itu menengok, mereka beradu pan-
dang. Dewi Pandagu tersenyum penuh arti. Matanya
dipejamkan perlahan. Bibirnya merekah, menunggu
sesuatu. Hal itu membuat Sena blingsatan kebingun-
gan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Dewi...," desisnya berusaha menyadarkan gadis cantik itu.
Dewi Pandagu tersenyum, lalu membuka mata
kembali. Kemudian dengan manja tangannya membe-
lai rambut pemuda di depannya. Matanya memandang
redup, mengharap sesuatu.
"Dewi, sadarlah...!" kata Sena, berusaha mengingatkan.
"Aku sadar," desis Dewi Pandagu. "Aku sadar kalau dari dulu aku memang jatuh
hari padamu."
Sena meringis sambil menggaruk-garuk kepala.
Dia kelihatan kebingungan menghadapi gadis cantik
yang kini semakin manja padanya.
"Dewi, di manakah kamar untukku?" tanya Se-na berusaha menghindar.
"Ayo kutunjukkan," ajak Dewi Pandagu. Kemudian digandengnya tangan Sena. Mereka
keluar dari kamar itu, meninggalkan seorang lelaki berjubah hi-
tam yang tergolek tanpa daya.
*** Dewi Pandagu mengajak Sena ke sebuah kamar
yang letaknya agak jauh dengan kamar tadi. Dibu-
kanya pintu kamar itu. Di dalam kamar itu tampak sebuah ranjang berhias kelambu
putih dengan bunga-
bunga di sudut-sudutnya. Tak beda dengan ranjang
pengantin. Sena tertegun. Keningnya berkerut sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ah, mengapa kamar sebagus ini untukku"
Kamar siapa ini, Dewi?"
Dewi Pandagu tersenyum tanpa berkata, di-
ajaknya Sena masuk. Ditutupnya pintu kamar, mem-
buat pemuda itu semakin mengerutkan keningnya.
"Dewi...!"
Belum habis ucapan Sena, Dewi Pandagu telah
memeluk tubuhnya. Kemudian tangan gadis itu mem-
belai-belai dadanya. Membuat Sena semakin kebin-
gungan. Seumur-umur, baru kali ini dadanya dibelai-
belai oleh gadis cantik. Kepala Sena menengok ke sana kemari, kebingungan tak
tahu harus berbuat apa.
"Sena, aku mencintaimu...," desis Dewi Pandagu sambil mendongakkan kepala.
Matanya perlahan-
lahan terpejam dengan bibir merekah.
Sena benar-benar kebingungan. Selama ini, be-
lum pernah dia melakukan hal-hal seperti itu. Berdua di dalam kamar dengan
seorang wanita cantik
Dewi Pandagu terus membelai dada Sena den-
gan lembut Matanya memandang penuh harap ke wa-
jah pemuda tampan itu. Kemudian diajaknya Sena me-
langkah ke tempat tidur.
"Sena, apakah kau tidak suka padaku?" tanya Dewi Pandagu manja.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Dia ti-
dak tahu harus berkata apa. Wajahnya yang tadi me-
nengadah ke atas, kini memandang dengan kening
berkerut ke wajah Dewi Pandagu. Di wajah gadis itu, tampak seulas senyum merekah
indah, dengan mata
sayu menatap penuh arti.
"Suka..?" tanya Sena bergumam.
"Ya. Apakah kau tak suka padaku, Sayang?"
"Aku suka, Dewi.... Tapi, haruskah kita mela-
kukannya?"
Dewi Pandagu tersenyum.
"Untukmu, kuserahkan segalanya, Sayang....
Aku rela," bisik Dewi Pandagu dengan senyum masih mengembang di bibirnya.
Kemudian kepalanya dire-bahkan di dada pemuda itu. Sedangkan tangannya
masih membelai dada bidang Pendekar Gila.
Bayang-bayang seorang gadis Cina, seketika
menyeruak dalam pikiran Sena. Entah mengapa, jika
dia mengingat Mei Lie yang kini tak tahu di mana, hatinya seketika terenyuh.
Kerinduan untuk bertemu,
kembali muncul mengisi hatinya.
Mulut Sena mendesah lemah. Dia memang su-
ka pada Dewi Pandagu. Namun mungkin hanya seba-
tas suka saja. Sedangkan pada Mei Lie, entah mengapa dia menemukan rasa suka
lebih daripada Dewi Pandagu. Dia merasakan bahwa perasaannya pada Mei Lie,
merupakan perasaan cinta kasih yang tumbuh dengan
sendirinya. Perasaan itu dulu memang belum seberapa. Te-
tapi setelah lama berpisah, perasaan cinta kasih itu semakin terasa. Terlebih
setelah banyak gadis-gadis dan wanita yang pernah dikenalnya. Bahkan kini dia
bagai diuji oleh cinta kasih itu.
Mei Lie, di manakah kau kini berada" Hatinya
bertanya-tanya. Kini aku baru menyadari, sesungguh-
nya aku pun merindukan mu. Entah kapan kita bisa
bertemu, Mei Lie..." Kuharap kau tidak akan melupa-
kan ku. Sebagaimana aku, yang tak pernah melupa-
kanmu. Bayangan Mei Lie, makin menyeruak kedala-
man hatinya. Membuat Sena tanpa sadar membelai
rambut Dewi Pandagu. Dianggapnya Dewi Pandagu
adalah Mei Hie, orang yang dirindukannya. Orang yang tanpa disadari, telah
menawan hatinya.
Dewi Pandagu tersenyum senang. Memang itu-
lah yang diharapkannya. Dibiarkannya tangan Sena
membelai-belai rambutnya dengan mesra. Bahkan kini
Dewi Pandagu membimbing Pendekar Gila menuju ke
tempat tidur. "Sena...," desisnya lirih.
Keduanya rebah di tempat tidur.
Dewi Pandagu menutup kelambu. Kemudian
keduanya tampak saling berpelukan, berciuman den-
gan penuh kemesraan.
*** "Sena...! Sena, bangunlah...!"
Sena tersentak kaget dari tidurnya ketika telin-
ganya mendengar suara gurunya, Singo Edan. Ma-
tanya memandang ke atas, seakan melihat sosok gu-
runya. "Guru, apa yang telah terjadi?" tanyanya seten-
gah mengeluh. "Kau telah kalah oleh bujukan iblis, Anakku."
Kepala Sena tertunduk. Dari matanya meleleh
air mata. Dia menangis, merasakan kekalahan yang
sangat menyiksa. Betapa dia telah kalah melawan iblis yang menggoda.
"Guru, aku telah berdosa. Hukumlah aku!"
"Tidak, Anakku.... Semua memang telah terga-
riskan. Bukan hanya kau, aku atau siapa pun. Dewa
pun takkan mampu melawan suratan. Cepatlah ban-
gun. Masih banyak yang harus kau lakukan. Ingat
baik-baik kesalahanmu itu.... Jadikanlah kesalahanmu itu sebagai cambuk. Maka,
kau akan senantiasa berusaha tidak melupakannya dan akan berusaha berbuat
baik. Pergilah...."
"Baik Guru."
Dengan hati-hati dan pelan, Sena segera men-
genakan pakaiannya. Kemudian perlahan-lahan tu-
buhnya turun untuk pergi, dengan harapan Dewi Pan-
dagu tidak terbangun.
Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis itu. Hatinya
menangis. Bagaimanapun juga, dia yang telah mereng-


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gut kegadisan Dewi Pandagu. Haruskah dia lepas tan-
gan begitu saja" Ah, lelaki macam apakah aku" Keluh Sena dalam hati.
Pendekar Gila tak tega meninggalkan Dewi
Pandagu begitu saja. Dengan lembut dibelainya ram-
but gadis cantik itu, lalu mengecup keningnya.
"Maafkan aku, Dewi.... Aku harus pergi dulu.
Aku berjanji, kelak aku akan datang untuk bertang-
gung jawab," bisik Sena lirih.
Kemudian, Sena menulis beberapa baris tulisan
pada pintu kamar itu. Lalu, tubuhnya berkelebat ke
arah kamar di mana seorang dari Laskar Setan berada.
Diambilnya lelaki itu, lalu dengan memanggul tubuh-
nya, Pendekar Gila meninggalkan tempat itu.
*** 6 Setelah Laskar Setan gagal menghancurkan
Perguruan Bintang Emas, perbuatan mereka semakin
menjadi-jadi. Nampaknya ada maksud tersembunyi
dari Ki Catrik Ireng dengan mengerahkan Laskar Se-
tannya itu. Mereka sengaja diumpankan untuk me-
mancing Pendekar Gila. Dengan begitu, Pendekar Gila akan bertambah marah.
Seperti malam itu, puluhan Laskar Setan kem-
bali bergerak. Kali ini mereka tidak dipimpin oleh Prabasangka. Mereka menyerbu
ke Perguruan Teratai Pe-
rak yang dipimpin oleh Dewi Teratai Perak. Tujuan dari penyerbuan itu, tiada
lain untuk menundukkan perguruan itu.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Perguruan Teratai Perak yang semula sepi, se-
ketika menjadi ajang pertarungan yang seru. Dengan
dipimpin oleh ketuanya, murid-murid Perguruan Tera-
tai Perak berusaha membendung serbuan Laskar Se-
tan. "Serang terus...!" perintah Dewi Teratai Perak Pertarungan berlangsung seru.
Satu persatu korban
bergelimpangan dari pihak Perguruan Teratai Perak.
Para penyerbu memang terlalu ganas untuk dapat di-
lumpuhkan. Serangan mereka sebuas serbuan sege-
rombolan makhluk liar tak berperasaan. Membunuh
dengan pancaran mata haus darah. Perlawanan mu-
rid-murid Perguruan Teratai Perak ibarat kapas di atas arus sungai deras. Tak
berarti apa-apa.
"Celaka! Mereka bukan manusia...!" seru Dewi Teratai Perak kaget. Meski begitu,
tubuhnya terus berkelebat sambil melemparkan senjata andalannya ke
arah Laskar Setan.
Zwing, zwing, zwing...!
Puluhan bunga teratai menyambar cepat ke
arah Laskar Setan yang semakin ganas.
Jlep! Jlep! Jlep!
"Hgrrr...!"
Pemimpin Laskar Setan menggeram murka.
Dengan penuh amarah, tubuhnya melesat ke arah De-
wi Teratai Perak. Serangannya sangat ganas, keras,
dan mematikan. Sepertinya, Ki Catrik Ireng sengaja
menciptakan pemimpin Laskar Setan dengan ilmu ke-
pandaian yang lebih tinggi dari lawan yang bakal dihadapi. "Uts...!" Dewi
Teratai Perak tersentak. Tubuhnya segera berkelit. Kemudian dengan cepat
tangannya melemparkan bunga-bunga teratai.
Mata Dewi Teratai Perak membelalak, menyak-
sikan bunga-bunganya tak mempan pada tubuh pe-
mimpin Laskar Setan. Bahkan dengan sekali remas,
bunga-bunga yang terbuat dari baja itu hancur berantakan. "Hah"! Dia tak mempan
dengan teratai ku?"
"Hgrrr!"
Pemimpin Laskar Setan kembali menyerang.
Tangannya bergerak menyambar Dewi Teratai Perak.
Membuat wanita berpakaian putih perak itu terkejut
Cepat-cepat Dewi Teratai Perak melompat ke
samping, berusaha mengelakkan serangan lawan yang
keras. Wuttt! "Uts! Dia benar-benar bukan manusia!" pekik Dewi Teratai Perak kaget Tubuhnya
bersalto di udara, untuk terus mengelakkan serangan-serangan lawan.
Di pihak lain, murid-murid Perguruan Teratai
Perak semakin terdesak. Mereka semakin banyak di-
bantai Laskar Setan yang buas.
Setiap murid Perguruan Teratai Perak menga-
lami kegundahan yang berbaur dengan ketakutan, ke-
putusasaan dan kemarahan. Bagaimana mungkin me-
reka bisa menghindari perasaan-perasaan itu, kalau
musuh yang dihadapi bagaikan sepasukan iblis dari
neraka" Padahal kekacauan perasaan itu sangat me-
rugikan mereka dalam pertempuran
"Serang terus...!"
Tiba-tiba terdengar seruan seorang lelaki, me-
nyulut semangat seluruh murid Perguruan Teratai Pe-
rak untuk terus menyerang. Bersamaan dengan itu,
dari luar pagar berkelebat pemuda berpakaian rompi
kulit ular. Di tangannya tergenggam suling berkepala naga yang terbuat dari
emas. Suling itu, tiada lain Suling Naga Sakti. Dan tentunya, pemuda berbaju
rompi kulit ular itu tiada lain Sena Manggala, atau Pendekar Gila dari Goa Setan.
Tubuh Pendekar Gila melesat laksana terbang,
menuju Dewi Teratai Perak yang kerepotan menghada-
pi pemimpin Laskar Setan.
"Bantulah anak buahmu, Nyi! Biar aku yang
menghadapi setan ini," seru Sena.
Dewi Teratai Perak menurut meskipun belum
tahu siapa sebenarnya pemuda itu Segera tubuhnya
melesat meninggalkan pemimpin Laskar Setan, mem-
biarkan Pendekar Gila yang menghadapinya. Sedang-
kan dia kini membantu anak buahnya.
"Jangan mundur! Seraaang...!" seru Dewi Teratai Perak memberi semangat pada anak
buahnya un- tuk terus menyerang Laskar Setan
Melihat pemimpinnya membantu, murid-murid
Perguruan Teratai Perak yang semula telah ciut nya-
linya, kembali bersemangat. Mereka dengan berani
kembali menyerang.
"Hiaaat..!"
Jlep! Pendekar Gila yang menghadapi pemimpin
Laskar Setan, telah memulai pertarungan. Keduanya
saling menggebrak dengan jurus-jurus yang sangat keras.
"Ayo, keluarkan semua kekuatan setanmu!"
tantang Sena. Dia tahu kalau lawan hanya dapat di-
lumpuhkan oleh Suling Naga Sakti. Tubuhnya melom-
pat ke atas, kemudian dengan cepat menghantamkan
Suling Naga Sakti ke kepala lawan.
Wuttt! "Hgrrr...!"
Lawan rupanya mengerti kalau Pendekar Gila
menyerang dari atas. Segera tubuhnya dirundukkan,
kemudian meliuk ke samping. Kemudian dengan pe-
nuh amarah, pemimpin Laskar Setan itu balas menye-
rang. "Hgr...!"
Tangan pemimpin Laskar Setan bergerak cepat
mencakar dan mencengkeram ke arah lawan. Gera-
kannya begitu cepat. Jari-jari tangannya laksana baja yang mampu menembus
karang. Wuttt "Uts! Hebat juga kau, Setan! Tapi otakmu yang
telah diatur oleh seseorang, membuat gerakanmu ka-
ku. Nah, ini untukmu...!"
Dengan tertawa tergelak-gelak dan tangan
menggaruk-garuk kepala, Sena menghantamkan Sul-
ing Naga Sakti ke tubuh lawan.
Bugk! "Ngk..! Uhk..!"
Pemimpin Laskar Setan itu mengeluh pendek.
Kepalanya menoleh kian kemari, kebingungan dengan
keadaan sekelilingnya.
"Di mana aku?" tanyanya, diusik kebingungan yang datang tiba-tiba. Tampaknya dia
telah tersadar dari pengaruh totokan Ki Catrik Ireng yang membuat-nya seperti
boneka suruhan.
*** Pendekar Gila yang semula hendak memukul
dengan Suling Naga Sakti kembali, seketika mengu-
rungkan serangannya. Keningnya berkerut. Dan ma-
tanya memandang heran pada lelaki berjubah hitam
itu. "Tuan, kenapa denganku?" tanya lelaki itu dengan sinar wajah heran
"Hei, dia sadar. Aha, rupanya aku telah mene-
mukan cara yang baik untuk menolong mereka!" gumam Pendekar Gila.
Kemudian, dihampirinya pemimpin Laskar Se-
tan yang telah sadar dari pengaruh totokan.
"Kisanak apakah kau tidak ingat apa-apa?"
tanya Sena. "Tidak" sahut lelaki berjubah hitam itu.
"Hm...," Sena menggumam. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat semuanya?"
Tanpa diminta, lelaki berjubah hitam itu men-
ceritakan apa yang telah dialaminya. Diceritakannya ketika dia lewat di Gunung
Lawu, tiba-tiba seseorang menyergapnya. Kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
"Hanya itu yang kuingat..," kata lelaki berjubah hitam itu, menutup ceritanya.
"Jadi teman-temanmu pun tidak sadar kalau
mereka kini tengah bertarung?" tanya Sena.
"Mungkin. Karena aku sendiri seperti yang ter-
tidur." "Celaka!" seru Sena. "Ayo kita bantu menyadarkan mereka."
Sena dan lelaki berjubah hitam yang ternyata
bernama Trana Jaya itu segera berkelebat ke kancah
pertarungan antara Dewi Teratai Perak dan seluruh
muridnya yang menghadapi Laskar Setan.
"Hentikan..!" sergah Trana Jaya yang berusaha menghentikan rekan-rekannya. Namun
tindakannya itu sia-sia belaka. Malah dia dan Pendekar Gila kini diserang pula.
Wuttt! "Edan!" maki Sena. "Mereka benar-benar tidak kenal dengan pemimpinnya!"
"Ya! Mereka seperti sedang bermimpi, Tuan,"
sahut Trana Jaya sambil mengelakkan serangan-
serangan bekas anak buahnya yang masih dalam pen-
garuh totokan Ki Catrik Ireng.
"Terpaksa...!" dengus Sena sambil melompat ke atas, lalu dengan cepat
menghantamkan Suling Naga
Sakti ke tubuh lawan-lawannya.
Bukkk! Bukkk..!
Satu persatu anggota Laskar Setan itu berjatu-
han, terhantam Suling Naga Sakti. Sementara Dewi Teratai Perak dan murid-
muridnya terus berusaha mem-
bendung serangan lawan. Dibantu oleh Trana Jaya.
"Heaaat..!"
Dengan bantuan Pendekar Gila dan Trana
Jaya, Laskar Setan dapat dilumpuhkan satu persatu.
Sampai akhirnya habis tak tersisa.
"Wah...! Rasanya semua bagai mimpi," gumam Sena setelah menyelesaikan tugasnya.
"Manusia-manusia aneh...!"
"Benar, Tuan," sahut Trana Jaya. "Aku pun merasa seperti bermimpi. Tak pernah
kubayangkan, ka-
lau akhirnya aku akan tersadar kembali. Ah, aku ha-
rus kembali ke perguruanku!"
"Di manakah perguruanmu, Kisanak?" tanya
Dewi Teratai Perak yang telah mendengar penuturan
bekas pemimpin Laskar Setan itu.
"Aku dari Perguruan Tirta Sakti," jawab Trana Jaya. "O, tidak kusangka aku bisa
bertemu dengan murid Ki Tirta Buana," desis Dewi Teratai Perak. "Bagaimana kabar
gurumu sekarang?"
"Entahlah. Sudah lama aku tidak menemuinya.
Mungkin hampir setahun," sahut Trana Jaya.
"Eh, di mana pemuda itu"!" tiba-tiba Dewi Teratai Perak berseru kaget, ketika
matanya tidak mendapatkan Pendekar Gila di tempatnya semula.
"Ha ha ha...! Aku di sini! Kuharap kalian bisa saling membantu...!" seru Sena
dari kejauhan. "Aku yakin, kalian adalah pasangan yang serasi!"
Trana Jaya dan Dewi Teratai Perak saling pan-
dang. Kemudian tersipu malu.
"Siapakah pemuda sakti itu?" tanya Dewi Teratai Perak entah ditujukan pada
siapa. "Entahlah," jawab Trana Jaya. "Mungkin dia yang menjadi musuh besar Ketua Laskar
Setan." "Siapa Ketua Laskar Setan?"
"Ki Catrik Ireng," jawab Trana Jaya.
"Kalau begitu, mungkin pemuda itu adalah
Pendekar Gila! Oh, sungguh aku tak menyangka. Dan,
bukankah tangannya tadi memegang suling berkepala
naga?" "Ya, benar."
"Tidak salah lagi. Dia memang Pendekar Gi-
la...," desis Dewi Teratai Perak.
Mata Trana Jaya membelalak kaget. Tidak dis-
angkanya kalau Pendekar Gila yang namanya pernah
terdengar puluhan tahun silam ternyata masih muda.
Hening sesaat. Kemudian dengan malu-malu,
Dewi Teratai Perak mengajak Trana Jaya masuk ke da-
lam perguruannya,
*** 7 Waktu yang dinanti-nantikan oleh para pende-
kar rimba persilatan tiba. Dua bulan purnama telah
berlalu. Kini, tibalah saat yang dijanjikan Ki Catrik Ireng untuk melakukan duel
dengan pendekar muda
yang namanya tengah menjadi buah bibir.
Sesungguhnya niat Ki Catrik Ireng bukan se-
mata-mata melakukan duel ulang dengan Pendekar Gi-
la yang pernah mengalahkannya lima puluh tahun si-
lam. Tujuan sebenarnya adalah menunjukkan pada
para pendekar, bahwa dialah yang pantas menduduki
jabatan orang nomor satu di rimba persilatan
Dari setiap penjuru tanah Jawa Dwipa, berda-
tangan para pendekar rimba persilatan. Pada umum-
nya mereka ingin menyaksikan duel dua pendekar itu,
setelah mereka mendapat undangan dari Ki Catrik
Ireng. Dari arah barat, sekelompok orang melangkah dengan gagah. Seorang lelaki
tua dengan pakaian resi berwarna putih berjalan paling depan. Di tangannya
tergenggam tasbih. Dialah Resi Sarameskari.


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anggota Kuil Wisma Dewa berjalan di bela-
kangnya. Mereka berkepala botak dan berpakaian resi.
Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tongkat panjang terbuat dari kayu
cendana. Itulah senjata mereka. Berbeda dengan Resi Sarameskari yang beram-
but panjang digelung ke atas serta jenggot yang panjang dan putih, wajah
anggotanya nampak bersih. Tak ada jenggot atau kumis.
"Guru, mungkinkah Ki Catrik Ireng tidak ber-
maksud memperdayai para pendekar?" tanya salah seorang resi muda yang berjalan
di belakang Resi Sarameskari,
"Entahlah...," sahut Resi Sarameskari. "Tokoh yang satu ini memang terkenal
aneh. Lima puluh tahun menghilang dari rimba persilatan, tapi kini muncul
kembali. Mungkin dia muncul setelah mendengar
kemunculan Pendekar Gila."
"Ada hubungan apa antara Ki Catrik Ireng den-
gan Pendekar Gila itu. Guru?" kali ini yang bertanya resi muda lain yang juga
berjalan di belakang Resi Sarameskari.
"Baiklah, sambil berjalan akan kuceritakan pa-
da kalian hubungan antara dua orang sakti itu."
Resi Sarameskari kemudian menceritakan pada
murid-muridnya tentang kedua tokoh sakti rimba per-
silatan itu. Dikatakannya bahwa dua tokoh persilatan itu dulu pernah bertarung.
Juga dikatakan bahwa Ki
Catrik Ireng senantiasa tidak puas jika belum menga-
lahkan semua pendekar rimba persilatan. Hampir se-
mua pendekar telah dihadapinya. Hanya Pendekar Gila dari Goa Setan saja yang
belum dikalahkan.
Keduanya saling mencari. Ki Catrik Ireng men-
cari Pendekar Gila dengan tujuan menantang duel. Sedangkan Pendekar Gila mencari
Ki Catrik Ireng untuk menyadarkan tindakan orang itu.
"Lalu bagaimana selanjutnya, Guru?" tanya Re-si Bragaskita, salah seorang resi
muda yang berjalan di belakang Resi Sarameskari.
"Mereka pun bertemu."
"Bertarung, Guru?" tanya resi lainnya yang bernama Resi Bramaweda.
"Ya. Mereka bertarung sehari semalam. Sampai
akhirnya mereka mengeluarkan senjata masing-
masing. Pendekar Gila bersenjata Suling Naga Sakti.
Suling sakti berkepala naga yang terbuat dari emas
murni. Sedangkan Catrik Ireng bersenjatakan bume-
rang kembar."
"Lalu, siapa yang menang, Guru?" tanya Resi Bramaweda semakin ingin tahu.
Resi Sarameskari tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Nafasnya ditarik panjang-
panjang sebelum menjawab pertanyaan muridnya itu.
"Tak ada yang menang dan kalah. Hanya senja-
ta Catrik Ireng saja yang terpotong."
"Apakah itu bukan pertanda kalah?" tanya Resi Bragaskita.
"Buktinya sekarang dia menantangnya lagi.
Mungkin kekalahan bagi Ki Catrik Ireng hanyalah ke-
matiannya," gumam Resi Sarameskari.
Mereka pun terus melangkah menuju Gunung
Lawu yang terlihat menjulang dengan warna biru. Se-
bagian puncaknya tampak diselimuti kabut tebal.
Sementara itu, dari arah utara serombongan
orang melangkah juga menuju arah selatan di mana
Gunung Lawu berada.
Seorang nenek bertubuh bungkuk berjalan pal-
ing depan. Dia adalah Nyi Kendil. Dan di sampingnya tampak seorang wanita
bercadar merah yang tak lain
adalah Wulandari atau yang lebih dikenal berjuluk Bidadari Cadar Merah.
Wajah guru dan murid itu kelihatan tegang.
Mereka tahu siapa yang akan bertarung untuk menen-
tukan keunggulan sebagai pendekar nomor wahid di
rimba persilatan.
Wajah Wulandari kelihatan agak gelisah. Seper-
tinya dia tengah memikirkan sesuatu. Mungkin be-
naknya tengah menimbang-nimbang niat Nyi Kendil
untuk menjodohkan dia dengan Prabasangka. Padahal
hari Wulandari telah terpaut pada Pendekar Gila. Namun sebagai seorang murid,
dia harus patuh pada gu-
runya. Di belakang mereka, menyusul kelompok dari
perguruan aliran putih yang dipimpin seorang lelaki berjubah putih. Tampak di
dada sebelah kirinya terdapat gambar teratai. Tangan kirinya menggenggam sen-
jata berupa tombak bermata dua sepanjang lengan.
Dialah Ki Tunggul Manik. Ketua Perguruan Teratai Putih. Sementara itu seorang
gadis berbaju hijau berjalan di sampingnya. Gadis itu adalah Suciati (Untuk
mengetahui tentang mereka, silakan baca serial Pendekar Gi-la dalam episode
"Kumbang Hitam dari Neraka").
Dari arah timur, muncul Dewi Pandagu dan se-
luruh muridnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik.
Mereka pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan
untuk dapat menyaksikan pertarungan penentu. Se-
mua pendekar dari bermacam perguruan, saat itu be-
nar-benar hadir. Mereka ingin menyaksikan jalannya
duel antara dua tokoh sakti itu.
Yang tidak terlihat di situ hanyalah Nyi Bangil
dengan Mei Lie. Entah ke mana mereka. Sejak kejadian di markas Segoro Wedi,
mereka menghilang bagai ditelan bumi (Mengenai mereka, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode perdana "Suling Naga Sakti").
Mentari bersinar redup di sebelah barat. Nam-
paknya sebentar lagi akan beranjak ke peraduan.
Para pendekar kini telah sampai di tempat yang
dituju. Mereka berdiri mengelilingi sebuah panggung besar yang telah dibuat oleh
pasukan Ki Catrik Ireng, Laskar Setan!
Laskar Setan yang terdiri dari orang-orang yang
tidak memiliki perasaan, telah berjaga-jaga dengan ke-tat. Mereka sengaja
dipersiapkan Ki Catrik Ireng untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
*** Mentari semakin tenggelam di kaki langit sebe-
lah barat. Menjadikan suasana di Puncak Lawu terasa agak dingin. Angin bertiup
kencang, seakan-akan hendak menyapu orang-orang yang kini berdiri memutari
panggung besar.
Panggung itu masih sepi. Tak ada seorang pun
yang naik ke atas. Semuanya menunggu kehadiran
orang yang mengundang mereka. Sekaligus menunggu
kedatangan Pendekar Gila.
Dari balik cadas yang menjulang, berkelebat
sosok bayangan hitam dengan cepat. Kemudian sosok
itu berdiri di atas panggung dengan mata memandang
ke sekeliling. Dia tak lain Ki Catrik Ireng, yang mengundang para pendekar untuk
datang ke tempat itu.
Orang-orang persilatan yang mengelilingi pang-
gung saling berbisik-bisik, menanggapi kedatangan lelaki tua berjubah hitam itu.
"Saudara-saudara pendekar. Sengaja saya
mengundang kalian ke sini. Tentunya kalian telah tahu apa yang akan terjadi di
tempat ini, bukan..?" ucap Ki Catrik Ireng, mencoba bersikap ramah.
"Ya...!" sahut para pendekar.
"Perlu saya beritahukan pada kalian. Sesung-
guhnya ini bukan hanya duel ulang antara saya mela-
wan Pendekar Gila saja, melainkan ada yang lebih
penting. Yaitu mencari siapa yang paling pantas menjadi Ketua Rimba
Persilatan...!"
Semua tersentak dengan mata membelalak
mendengar penuturan Ki Catrik Ireng. Kemudian me-
reka saling pandang, bagai tak mengerti maksud lelaki tua itu sebenarnya.
"Nah, untuk menunggu Pendekar Gila, bagai-
mana kalau kita adakan pembukaan!" kata Ki Catrik Ireng. Kembali semua mata
terbelalak mendengar penuturan Ki Catrik Ireng. Mereka benar-benar dibuat
kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Ki
Catrik Ireng. Karena mereka datang ke Puncak Lawu
bukan untuk bertarung satu sama lain, melainkan un-
tuk melihat pertarungan antara Ki Catrik Ireng melawan Pendekar Gila.
"Ha ha ha...!"
Saat mereka tengah dalam keadaan kebingun-
gan, tiba-tiba terdengar gelak tawa yang menggelegar.
Membuat semua mata seketika memandang ke arah
datangnya suara itu.
Dari arah timur, berkelebat seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular.
"Pendekar Gila...!" seru para pendekar serem-pak, setelah tahu siapa yang datang
Pemuda bertingkah laku gila itu masih tertawa
tergelak-gelak. Tubuhnya tegak menghadapi Ki Catrik Ireng yang mengerutkan
keningnya setelah melihat ru-pa pemuda itu.
"Kaukah Pendekar Gila itu"!" tanya Ki Catrik Ireng setengah membentak
"Benar!" sahut Sena tegas.
"Aku tidak percaya! Tentunya kau bukan Pen-
dekar Gila. Kau hanya pemuda gila yang sombong!"
dengus Ki Catrik Ireng
Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-
garuk kepala. "Terserah mu saja, Ki. Kau mau percaya atau
tidak itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu, apa mak-
sudmu mengundangku ke sini...?" tanya Sena masih dengan tingkah lakunya yang
aneh. "Hm...." gumam Ki Catrik Ireng perlahan
Mata lelaki tua itu memandang tajam ke arah
Sena yang tetap bertingkah laku konyol.
"Baik! Katakan, ada hubungan apa antara kau
dan Singo Edan?"
"Aku muridnya," sahut Sena tenang.
"Bagus! Meski kau bukan Pendekar Gila yang
lima puluh tahun lalu mengalahkanku, namun kurasa
kau dapat mewakili gurumu! Sengaja aku mengun-
dangmu kemari, untuk menentukan siapa di antara
aku dan Pendekar Gila yang ilmunya lebih tinggi. Mulanya yang kuharapkan adalah
gurumu. Tapi tak men-
gapa, kau pun boleh menggantikannya," kata Ki Catrik Ireng "Kalau itu tujuanmu,
lebih baik aku mengalah.
Tak ada gunanya bertarung kalau hanya mempere-
butkan pepesan kosong...."
"Pengecut!" maki Ki Catrik Ireng "Begitukah sikap seorang pendekar yang sering
disebut sebagai
pendekar tanpa tanding"! Lihat..! Kalian telah melihat sendiri, bagaimana
pendekar yang kalian agung-agungkan ternyata hanya kecoa busuk!"
Kata-kata pedas dan tajam dari mulut Ki Catrik
Ireng yang merendahkan dirinya, tidak membuat Sena
marah. "Ah, kalau aku ini kecoa, tentunya kau kutu busuk Ki!" balik Sena dengan
niat mengejek Mata Ki Catrik Ireng membelalak penuh ama-
rah. "Kurang ajar! Siapa pun kau, aku harus me-nyingkirkan mu!"
"Aha, terserah saja, Ki!" tantang Sena.
"Bagus! Kalau lima puluh tahun silam aku ka-
lah oleh gurumu, maka hari ini kau sebagai wakilnya akan menerima pembalasanku!
Bersiaplah...!".
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera me-
langkah mundur tiga tindak. Tangannya diangkat ting-gi-tinggi, dengan jari
mengepal. Kemudian sepasang
tangan itu digerakkan ke muka. Tangan kanan ditekuk dengan tinju ke atas,
sedangkan tangan kin dibuka
dengan jari-jari lurus.
"Hhh...!"
Ki Catrik Ireng memutar tangan kiri ke dalam
lalu menyentakkan ke depan lagi. Tangan kanannya
ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari terbuka. Disusul hentakan
telapak tangan lurus ke
depan. Jurus itu merupakan jurus pembuka yang di-
beri nama 'Sampar Cobra'.
Menyaksikan lawan telah membuka jurus, Pen-
dekar Gila malah tersenyum sambil menggaruk-garuk
kepala. "Bersiaplah, Pendekar Gila!" dengus Ki Catrik Ireng yang semakin sewot
menyaksikan tingkah konyol Pendekar Gila. Membuat hatinya panas meletup-letup.
"Sejak tadi aku sudah siap, Ki," jawab Sena tenang. Semua pendekar yang
menyaksikan tingkah la-
ku Pendekar Gila, seketika tegang. Hati mereka ber-
tanya-tanya, mengapa Pendekar Gila seakan menga-
cuhkan lawan" Padahal lawan yang dihadapinya bu-
kan orang sembarangan. Orang yang pernah bertarung
dengan gurunya.
Kecemasan seketika menyelimuti hati semua
pendekar. Tapi sesungguhnya, tingkah Sena yang se-
perti kera itu tak lain sebuah jurus pembuka bernama
'Monyet Gila Siap Menerkam'.
'Oh, mengapa dia sepertinya belum siap...?"
tanya Dewi Pandagu mengeluh. Hatinya cemas me-
nyaksikan lelaki pujaannya. Dia begitu takut, kalau-kalau pemuda itu akan
mendapat celaka karena belum
siap menghadapi Ki Catrik Ireng yang berilmu tinggi.
"Kurasa memang tingkahnya begitu, Dewi,"
ucap rekannya dari Perguruan Teratai Perak, berusaha menenangkan.
"Tenanglah...."
"Kuharap juga begitu," desis Dewi Pandagu.
"Lihat! Dia telah membuka jurus!" seru Dewi Teratai Perak membuat mata semua
pendekar terpusat
penuh ke arah panggung.
*** Benar juga, Pendekar Gila kini menyurut dua
langkah ke belakang. Dengan tertawa-tawa, dimu-
lainya jurus pembuka yang merupakan jurus awal.
Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Tangannya ber-
gerak lemah gemulai dan lincah.
"Bersiaplah.... Aku akan mulai! Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng memekik keras untuk membuka
serangan. Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan
menyambar cepat. Tangan kanannya membentuk siku
dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kirinya diputar, lalu dihentakkan ke
dada lawan. Melihat lawan melakukan serangan, dengan ce-
pat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan-
nya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan saling berhadapan. Kaki kanan
diangkat sampai ke lutut lalu direntang ke kanan. Diikuti oleh gerakan membuka
kedua tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan menari. Tangan kanan masih di
atas, sedangkan tangan
kiri lurus ke bawah.
"Yeaaat..!"
Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gi-
la Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, lalu dengan cepat tubuhnya
melesat ke depan. Tangan kanannya yang semula di atas, kini menyibak ke depan.
Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas dan
diteruskan memukul ke arah lawan.
"Yeaaa...!"
"Heaaat..!"


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang berilmu tinggi itu kini telah sama-
sama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan
kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan tubuh. Tangan mereka
bergantian melakukan serangan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki mereka
saling menyapu ke kaki lawan.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau akan mampus, Pen-
dekar Gila. Yeaaa..."
Dengan ucapan sombong, Ki Catrik Ireng segera
berkelebat menyerang. Tangan kanannya memukul ke
dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-
bentuk pertahanan.
"Uts...!"
Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samp-
ing, menarik kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke depan. Diikuti oleh
pukulan tangannya.
"Edan..!" maki Ki Catrik Ireng kaget. Segera di-tariknya pukulan tangan
kanannya, lalu diganti den-
gan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya digerakkan menendang.
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu
memaksa Ki Catrik Ireng menarik serangan dengan ce-
pat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus
Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu me-
mang pernah dihadapinya lima puluh tahun yang si-
lam, tetapi kini lebih hebat!
"Rupanya selama lima puluh tahun menghi-
lang, gurumu berusaha menyempurnakan jurus-jurus
miliknya...!" seloroh Ki Catrik Ireng seraya melangkah ke belakang mengelakkan
cengkeraman yang dilakukan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat Ki Catrik
Ireng menyodorkan pukulan tangan kanannya ke tu-
lang rusuk lawan.
"Weit...!"
Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya
dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan
lawan meleset di depannya. Kemudian dengan cepat
Pendekar Gila melontarkan serangan tangan kirinya ke samping.
Semua mata orang persilatan memandang pe-
nuh kagum. Mata mereka tak berkedip, seakan akan
tidak ingin melewatkan sekedip saja pertarungan itu.
Mulut mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum.
"Ck ck ck..!"
"Ini baru duel seru!"
*** 8 Pendekar Gila masih terus menyerang. Gera-
kannya yang seperti monyet, terlihat lucu dan lamban.
Namun kenyataannya, serangan yang dilancarkannya
sangat cepat. Tangannya yang menepak dan menca-
kar, susul-menyusul tiada henti.
"Edan! Benar-benar jurus gila!" maki Ki Catrik Ireng tersentak kaget mendapatkan
serangan yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar
muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat berkelit tentunya cakaran dan
tepukan tangan Pendekar Gila
akan menghajar tubuhnya.
"Heaaat..!"
"Uts...!"
Ki Catrik Ireng lebih terkejut lagi ketika mera-
sakan gerakan lambat itu mampu mengeluarkan angin
pukulan yang menderu keras. Seakan topan besar me-
nerpa tubuhnya.
Ki Catrik Ireng cepat-cepat memutar tubuhnya.
Kemudian dengan gerakan cepat pula, orang tua ber-
jubah hitam yang telah banyak makam asam garam di
rimba persilatan itu melontarkan pukulan telapak tangan ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng rupanya kini tahu gelagat. Dia
yang semula memandang rendah Pendekar Gila, kini
tidak bisa lagi meremehkannya. Serangannya yang
menggunakan jurus-jurus ular pun dipergencar susul-
menyusul. Tangannya mematuk-matuk, atau menam-
par ke dada dan muka lawan.
Pendekar Gila dengan cepat berkelit. Tubuhnya
meliuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke
wajahnya. Lalu tubuhnya dimiringkan ke belakang ke-
tika tangan lawan menampar dengan kibasan tangan-
nya ke dada. Kakinya bergerak lincah, menjejak ber-
ganti-ganti. Sedangkan tangannya berusaha mengha-
lau dan menyambar ke kaki lawan yang turut menye-
rang. "Ck ck ck..! Hebat..!" puji Resi Sarameskari dis-elingi decakan kagum,
menyaksikan gerakan yang di-
lakukan Pendekar Gila. Walau usianya masih muda,
namun tampaknya dia mampu menghadapi tokoh tua
yang namanya pernah menjadi buah bibir para pende-
kar. Bahkan pernah menundukkan banyak pendekar
tangguh pada zamannya.
"Diakah Singo Edan itu, Guru...?" tanya Resi Bragas Wita, ingin lebih jelas
tentang Pendekar Gila.
"Kurasa bukan. Mungkin dia muridnya," jawab Resi Sarameskari.
"Muridnya, Guru" Dari mana pemuda itu bisa
tahu tempat persembunyian Singo Edan...?" tanya Resi Bramaweda.
"Entahlah, mungkin Singo Edan yang wataknya
aneh itu telah mengambilnya. Kalau pemuda itu yang
mencari, kurasa tidak mungkin...," jelas Resi Sarameskari.
"Mengapa begitu, Guru?" sambung Resi Bra-
maweda. "Jangankan anak kemarin sore. Aku saja atau
pendekar lain yang sebaya denganku, tak ada yang ta-
hu. Ah, sudahlah jangan bertanya dulu. Kita saksikan saja dulu pertarungan itu,"
tukas Resi Sarameskari.
Kedua murid utamanya itu menurut Mereka di-
am dan kembali memperhatikan pertarungan antara
Pendekar Gila melawan Ki Catrik Ireng.
Keduanya kini sudah tidak di panggung lagi.
Panggung itu sendiri telah hancur lebur akibat serangan-serangan yang
dilancarkan keduanya. Kini mereka berada di alam bebas, membuat gerakan mereka
semakin leluasa.
Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang den-
gan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya
menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke de-
pan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya me-
nyapu dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
"Uts...! Heaaat..!"
Ki Catrik Ireng segera melejit ke samping. Ke-
mudian dengan gerakan membentuk setengah puta-
ran, tangannya mematuk ke wajah lawan. Lalu, setelah melihat Pendekar Gila
menggeser kaki ke samping, Ki Catrik Ireng menyusulkan tamparan tangan kiri ke
da-da Pendekar Gila.
Wuttt! Tangan kiri Ki Catrik Ireng menderu cepat
mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila
yang tidak menyangka lawan akan kembali menyerang
dengan cepat langsung tersentak kaget. Matanya
membelalak. Langkahnya mati. Mendapati hal itu,
dengan cepat Pendekar Gila menyapukan tangan ka-
nan untuk memapak tamparan lawan Gerakan tan-
gannya seperti membelah dengan cepat
"Heaaat..!"
Ki Catrik Ireng menarik tamparan tangan ki-
rinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan ka-
ki kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan tangan
kanannya, kini kembali mematuk ke wajah Pendekar
Gila. Mendapat serangan cepat Pendekar Gila segera bersalto ke belakang. Dengan
tubuh di udara, kakinya menjejak cepat ke batu cadas. Kemudian dengan tubuh
membalik Pendekar Gila menyatukan pukulan
tangannya lalu menyerang ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
Dengan tubuh meluncur cepat Pendekar Gila
kini balik menyerang. Tangannya mencecar Ki Catrik
Ireng, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan
yang dilancarkannya.
"Heaaa...!"
Tangan mereka kini bergantian memukul dan
menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus me-
rangsek lawan dengan tubuh mengapung di udara. Se-
dangkan tubuh Ki Catrik Ireng terus mundur dengan
menangkis serangan lawan sambil balas menyerang.
Semua mata membelalak Tak ada kata-kata
yang keluar dari mulut para pendekar yang menyaksi-
Pisau Terbang Li 14 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Hong Lui Bun 4
^