Pencarian

Duel Di Puncak Lawu 1

Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu Bagian 1


DUEL DI PUNCAK LAWU oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Duel Di Puncak Lawu
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Gunung Lawu menjulang tinggi. Dari kejauhan
kelihatan hanya warna biru, dengan kabut putih me-
nutupi sebagian puncaknya. Asri sekali kelihatannya.
Seakan dipenuhi oleh kedamaian.
Selama ini, belum ada seorang pun yang datang
ke puncak Gunung Lawu. Entah karena orang berpikir
percuma ke puncak gunung itu. Atau memang ada se-
suatu di balik keasrian dan kedamaiannya.
Seorang lelaki berjubah hitam tengah berlari-
lari menuju Gunung Lawu. Alisnya yang putih, me-
manjang hingga menutupi sebagian mata. Dan sekujur
dagunya ditutupi jenggot putih yang panjang. Sesekali lelaki itu menengok ke
belakang, seperti tengah meyakinkan dirinya kalau tak ada seorang pun yang
melihat Lelaki tua itu menghentikan langkahnya dan
kembali memandang ke belakang. Rambut putihnya
yang panjang dengan gelungan di atas kepala, teriap ditiup angin.
Dilihat dari taut wajahnya, sepertinya dia me-
nyimpan penderitaan batin yang dalam.
"Rupanya apa yang kudengar selama ini me-
mang benar," gumam lelaki tua bertubuh kurus tinggi yang bernama Catrik Ireng
itu. Dihelanya napas panjang-panjang. "Ah, benarkah dia Singo Edan?"
Ki Catrik Ireng masih berdiri mematung. Mata
kelabunya memandang Gunung Lawu yang memben-
tang dari timur ke barat. Puncaknya menjulang tinggi, berwarna biru sebagian
tertutup kabut.
Ki Catrik Ireng tercenung. Ingatannya melayang
ke masa puluhan tahun silam, ketika usianya sekitar dua puluh lima tahun.
"Ah, mengapa aku harus melamun di tempat
ini" Aku harus segera menolong muridku," gumam Ki Catrik Ireng, tersadar dari
lamunannya. Kemudian
dengan sekali lompat, tubuhnya berkelebat cepat me-
ninggalkan tempat itu.
Lari orang tua berjubah hitam itu sangat cepat.
Dalam sekejap tubuhnya telah berada di lereng Gu-
nung Lawu. Langkahnya telah dihentikan. Lalu kepa-
lanya menengok ke bawah. Kembali orang tua berusia
sekitar tujuh puluh lima tahun itu mengamati sekelilingnya, meyakinkan dirinya
kalau-kalau ada yang
menguntit tanpa diketahui.
Setelah yakin tak ada seorang pun yang men-
guntitnya, Ki Catrik Ireng kembali berlari dengan cepat untuk mendaki puncak
Gunung Lawu yang tinggi.
Tubuhnya serta pemuda di pundaknya menghi-
lang di balik batu cadas yang tinggi. Sepertinya, ada sesuatu yang tersembunyi
di balik batu cadas itu. Jika dilihat begitu saja, memang tak akan nampak sama
sekali. Kecuali batu-batu cadas belaka. Tapi jika di-amati dengan seksama, di
balik batu cadas yang men-
julang tinggi itu terdapat sebuah goa.
Memang sulit untuk dapat melihat goa itu. Di
kanan dan kirinya terdapat batu cadas yang menutupi.
Di atas dan bawahnya pun begitu. Hanya ada lubang
kecil yang dapat dimasuki oleh seekor tikus.
Ki Catrik Ireng berdiri di depan lubang kecil itu.
Setelah memandang ke sekelilingnya sekali lagi, tangan kirinya menjulur ke
lubang dan menggerakkan batu
cadas yang ada di atasnya.
Krek...! Keanehan terjadi. Batu-batu cadas di samping
dan atas lubang kecil itu tiba-tiba bergerak. Semakin melebar dan akhirnya
nampaklah lubang besar yang
dapat dimasuki oleh dua orang.
Ki Catrik Ireng melangkah ke dalam lubang itu.
Kemudian tangannya kembali memutar batu cadas
yang menonjol di dalam. Kejadian aneh kembali teru-
lang. Batu-batu cadas di sisi dan di atas lubang bergerak menyempit. Kini hanya
lubang sebesar tubuh tikus saja yang ada. Lubang itu digunakan untuk keluar
masuknya udara.
Pintar sekali Ki Catrik Ireng membuat tempat
tinggalnya. Maka tak heran, jika selama itu belum ada seorang pun yang
melihatnya. Terlebih dengan tempatnya yang begitu tinggi. Sulit bagi orang
persilatan biasa untuk sampai di goa aneh itu.
Ki Catrik Ireng dengan masih memanggul tu-
buh pemuda berbaju kuning, melangkah menyelusuri
lorong goa yang menurun. Semakin ke dalam, lorong
itu semakin ke bawah.
Ki Catrik Ireng terus melangkah, menuruni lo-
rong yang memang telah dibuat undak-undakan tang-
ga. Kemudian dia masuk ke sebuah ruangan di samp-
ing kanan lorong. Ternyata di dalam goa itu terdapat banyak sekali ruangan.
Sepertinya di tempat itu banyak sekali penghuninya.
Benar juga. Dari ruangan-ruangan yang tertu-
tup, muncullah orang-orang berjubah hitam. Tatapan
mata mereka begitu kosong. Kaki mereka melangkah
kaku. Mereka bagai manusia yang tidak memiliki perasaan. Tanpa sedikit pun tegur
sapa, atau sekadar tersenyum.
"Kalian rawatlah dia," kata Ki Catrik Ireng, memerintah pada orang-orang aneh
itu. Nampaknya me-
reka menurut pada Ki Catrik Ireng. Buktinya, mereka segera melaksanakan apa yang
diperintahkan lelaki
tua itu. Ki Catrik Ireng kemudian mendekati sebuah ba-
tu besar yang permukaannya rata. Kemudian duduk di
atasnya untuk melakukan semadi. Dibiarkannya para
pengikutnya bekerja untuk memulihkan luka dalam
pemuda yang dibawanya. Mereka bergerak cepat. Satu
mengambil obat-obatan. Satu mengambil air. Dan lima orang yang lain menguruti
tubuh pemuda tersebut
Mereka bekerja bagai tak mengenal lelah. Sete-
lah membuka baju pemuda itu, salah seorang dari me-
reka menempelkan kedua telapak tangan ke dada si
pemuda. Beberapa saat kemudian, nampak asap men-
gepul dari dada pemuda tampan yang tergeletak itu.
"Aaakh...!"
Pemuda itu tiba-tiba memekik. Tubuhnya
menggeliat-geliat bagai terbakar. Keringat tampak ber-cucuran membasahi
tubuhnya. Orang berjubah hitam yang berkumis tipis tak
menghiraukan jeritan pemuda itu. Dia dan keempat
rekannya terus bekerja. Tangannya yang menempel di
dada pemuda itu, laksana melekat. Sementara ma-
tanya melotot merah.
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu bersi-
nar, laksana diselimuti api yang membara. Cahaya merah itu mengalir dari tubuh
orang berjubah hitam berkumis tipis, yang wajahnya kini membara pula.
"Aaakh...!"
Orang berjubah hitam tiba-tiba memekik keras.
Matanya melotot membara, dan tubuhnya tergetar he-
bat. Kemudian terkulai jatuh.
Rupanya itulah cara pengobatan yang dite-
rapkan oleh Ki Catrik Ireng. Dan orang-orang berjubah hitam itu sepertinya
memang khusus ditugaskan untuk mengobati. Kalau sudah tak berarti, mereka harus
menerima kematian.
Mengerikan sekali keadaan lelaki berjubah hi-
tam berkumis tipis itu. Tubuhnya gosong, bagai dibakar api yang membara.
Sementara, Ki Catrik Ireng yang tengah mela-
kukan semadi, tampak membuka matanya. Ditatapnya
para pengikutnya yang tengah memulihkan pemuda
tampan itu. "Hm.... Rupanya dia telah kembali hadir. Tan-
tanganku dulu, rupanya ditanggapi olehnya," gumam Ki Catrik Ireng sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian kenangan pahit masa lima puluh tahun
yang silam kembali terkuak dalam benaknya.
*** Lima puluh tahun silam, di kalangan persilatan
ada dua pemuda gagah yang tingkat kepandaiannya
tinggi. Seorang di antaranya pemuda berwatak dan
bertingkah laku persis orang gila. Pemuda itu bernama Singo Edan dari Goa Setan.
Yang kemudian terkenal
dengan sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan. Meski
nama sebenarnya adalah Singo Arya Yuda.
Seorang lagi bernama Catrik Sandangkara. Ka-
rena perbuatannya yang sangat aneh dengan ilmu-
ilmu tinggi, akhirnya orang lebih mengenalnya dengan sebutan Catrik Aneh. Karena
Catrik Aneh itu selalu
memakai jubah hitam, dia kemudian disebut juga se-
bagai Catrik Ireng.
Kalau Catrik Ireng selalu melanglang rimba
persilatan untuk mencari dan menundukkan lawan,
sebaliknya Singo Edan lebih suka membantu yang le-
mah. Sebenarnya Catrik Ireng dalam melakukan tin-
dakan tidak terlalu telengas. Dia hanya mau bertarung dengan para pendekar untuk
mengalahkan atau dika-
lahkan. Namun akibat tindakannya yang selalu me-
nantang setiap pendekar, dunia persilatan menjadi
gempar. Ki Ranu Baya yang memimpin dunia persilatan
waktu itu segera mengumpulkan para pendekar untuk
membahas masalah sepak terjang Catrik Ireng.
"Bagaimana kalau Singo Edan yang mewakili
kita untuk menghentikan sepak terjang Catrik
Ireng...?" usul Ki Ranu Baya, yang akhirnya disepakati oleh para pendekar
lainnya. Karena diberi amanat untuk menghentikan se-
pak terjang Catrik Ireng, Singo Edan pun melaksana-
kan tugasnya. Dia berkelana untuk mencari Catrik
Ireng. Selama itu dia terus menolong orang lemah.
Sampai akhirnya Singo Edan pun termasyhur dengan
sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan.
Rupanya kemasyhuran nama Pendekar Gila da-
ri Goa Setan, menarik perhatian Catrik Ireng yang
memang bermaksud mencari pendekar sejati yang bisa
menandinginya. Selama itu, pendekar yang ditemuinya dapat dikalahkan hanya dalam
beberapa gebrakan sa-ja.
"Katakan pada Pendekar Gila jika kalian berte-
mu, bersiap-siaplah untuk menghadapi Catrik Ireng!"
kata Catrik Ireng setiap kali bertemu dengan orang-orang persilatan yang dapat
dikalahkannya. Akhirnya mereka pun bertemu di puncak Gu-
nung Lawu. Tempat itu menjadi penentu bagi kedua-
nya untuk memastikan siapa si antara mereka yang
ilmunya lebih tinggi.
"Catrik Ireng, aku datang untuk memintamu
agar tidak meneruskan tindakanmu yang ugal-ugalan,"
ujar Singo Edan sambil menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya cengengesan, persis orang gila.
"Pendekar Gila, aku akan menundukkanmu!
Atau aku akan mengundurkan diri dari rimba persila-
tan, jika kau dapat mengalahkanku!" tantang Catrik Ireng. Singo Edan tertawa
tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, mengapa kita harus bertarung" Apa-
lah artinya ilmu kita, yang belum seberapa dibandingkan ilmu yang dimiliki Hyang
Widhi," tutur Singo Edan. "Pengecut! Ternyata nama besar Pendekar Gila dari Goa
Setan hanya omong kosong!"
"Terserah kau, Catrik. Kurasa tak ada artinya
kita bertarung untuk memperebutkan pepesan ko-
song.,.." "Phuih...! Rupanya kau berusaha lari dari se-
mua tanggung jawabmu! Huh! Tak pantas seorang
pendekar bersikap sepertimu."
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Catrik.
Terpaksa aku melayanimu...."
Pertarungan kedua tokoh muda rimba persila-
tan yang ilmunya saat itu belum ada yang menandingi tak dapat dielakkan.
Keduanya bertarung tiada henti.
Dari sore hari, sampai pagi datang. Keduanya sama-
sama memiliki kesaktian yang tinggi. Sangat sulit untuk menentukan siapa di
antara mereka yang akan ka-
lah dan menang. Keduanya tetap sama-sama gesit dan
lincah, walau bertempur semalaman.
Keduanya kini telah mengeluarkan senjata
masing-masing. Catrik Ireng mengeluarkan senjata
berbentuk bumerang kembar. Sedangkan Singo Edan
mengeluarkan Suling Naga Sakti.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Bumerang kembar melesat ke tubuh Singo
Edan, yang dengan cepat melemparkan Suling Naga
Saktinya ke arah bumerang kembar itu.
Trang! Dua senjata itu beradu di udara, memercikkan
api. Kemudian kedua senjata itu kembali pada tuan-
nya. Suling Naga Sakti utuh tak ada cacat sedikit pun.
Sedangkan mata Catrik Ireng membelalak, menyaksi-
kan salah satu senjatanya patah menjadi dua bagian.
"Pendekar Gila, saat ini kaulah yang menang.
Tapi, kutunggu kau di Puncak Lawu ini! Lima puluh
tahun lagi, aku akan datang...."
Usai berkata begitu, Catrik Ireng berkelebat
meninggalkan tempat itu. Sejak saat itulah Catrik
Ireng tak terdengar kabar beritanya lagi, menghilang dari dunia persilatan bagai
ditelan bumi. Dia terus menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diciptakan-nya.
Sampai akhirnya dia muncul kembali!


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Ki Catrik Ireng tersenyum-senyum setelah
mengingat semua kejadian lima puluh tahun yang si-
lam. Kejadian yang sangat berkesan di hatinya. Kejadian itu tak akan pernah
dilupakannya. Dan mung-
kinkah kejadian itu akan terulang lagi" Ya, akan terjadi lagi! Namun kini akan
lain dengan lima puluh tahun yang silam. Tekad hati Ki Catrik Ireng dengan bibir
tersenyum. "Pendekar Gila, rupanya kita akan bertemu
kembali untuk menentukan siapa di antara kita yang
benar-benar tinggi ilmunya! Ha ha ha...! Kali ini kau akan kalah, Pendekar Gila!
Kau akan menerima balasan ku!" ujar Ki Catrik Ireng seraya tertawa terbahak-
bahak. Ki Catrik Ireng bangun dari duduknya. Kakinya melangkah meninggalkan
tempat itu dengan langkah
perlahan, menuju ke tempat di mana muridnya bera-
da. Nampak pemuda berbaju kuning kini terbaring
dikelilingi oleh orang-orang berjubah hitam. Kelihatannya luka dalam pemuda itu
telah dapat disembuhkan.
Di samping tempat tidur pemuda itu, tergeletak seo-
rang lelaki berjubah hitam dengan keadaan gosong.
Tentunya lelaki itu telah menunaikan tugasnya.
"Bawa dia ke tempat penggodokan!" perintah Ki Catrik Ireng.
Enam orang berjubah hitam lainnya segera
mengangkat tubuh rekannya, lalu membawanya pergi
dari tempat itu. Mereka benar-benar menurut sekali
dengan Ki Catrik Ireng.
"Ha ha ha...! Laskar Setan ku rupanya telah
siap untuk menyambut pertarungan akbar. Hm, aku
akan menjadi pemimpin tertinggi rimba persilatan! Tak akan ada yang dapat
mengalahkanku...!"
Ki Catrik Ireng tertawa terbahak-bahak mem-
bayangkan bagaimana dia dengan Laskar Setannya
akan menjadi sebuah kekuatan yang sulit ditandingi.
Anak buahnya benar-benar patuh pada semua perin-
tahnya. Mereka tak berani menolak atau menentang,
meski nyawa mereka sebagai taruhannya.
Ki Catrik Ireng melangkah ke arah pemuda
berpakaian kuning yang sedang tertidur lelap. Dipan-danginya wajah pemuda itu,
dan dihelanya napas pan-
jang-panjang. "Memang kau bukan tandingannya, Anakku.
Meski ilmumu tinggi, namun bukan apa-apa jika di-
bandingkan Pendekar Gila."
Ki Catrik Ireng tak puas-puasnya memandangi
pemuda itu. Wajah pemuda itu sama persis dengan
wajahnya waktu muda dulu. Rupanya pemuda berpa-
kaian kuning yang ternyata anak tunggalnya itu me-
warisi wajah dan perawakan Ki Catrik Ireng.
'Prabasangka, seharusnya kau tidak menderita,
Nak. Ibumu memang wanita lacur! Kau ditinggal sejak kecil, sejak masih bayi.
Entah di mana kini ibumu berada," gumam Ki Catrik Ireng dengan wajah murung.
Prabasangka menggeliat. Dia terbangun setelah
tidur cukup lama. Matanya mengerjap-ngerjap sesaat
lalu memandang ke sekelilingnya.
"Ayah...," desisnya, memanggil Ki Catrik Ireng.
Ki Catrik Ireng tersenyum.
"Hampir saja kau tak tertolong, Anakku.... Un-
tung Ayah lewat di tempat itu."
"Benarkah dia Pendekar Gila yang lima puluh
tahun lalu bertarung dengan Ayah...?" tanya Prabasangka. "Mengapa dia masih muda
belia" Bahkan lebih muda dariku?"
Ki Catrik Ireng tak langsung menjawab. Dihe-
lanya napas panjang-panjang. Tangannya bersidekap.
Dan matanya memandang lepas ke depan.
"Ya, itulah yang Ayah tidak mengerti. Tapi se-
mua tingkah laku dan Suling Naga Saktinya memang
miliknya. Dan itu adalah bukti bahwa dia memang
Pendekar Gila."
"Mungkin anaknya, Ayah?"
Ki Catrik Ireng menggelengkan kepala. Di bibir-
nya tersungging senyuman.
"Pendekar Gila tidak pernah menikah. Bagai-
mana mungkin dia punya anak" Meski Ayah bersem-
bunyi, tapi Ayah sering keluar untuk menyelidik. Dan dia tak pernah menikah.
Mungkin ilmunya menjadikan
dia awet muda," jelas Ki Catrik Ireng. "Dua purnama lagi duel itu akan terulang.
Ayah berharap selama itu kau mempersiapkan diri. Jika Ayah kalah, kaulah yang
akan menjadi pemimpin Laskar Setan."
"Baik, Ayah."
"Aku ingin, kau seperti Ayah dulu. Taklukkan
semua perguruan atau perkumpulan. Bawalah Laskar
Setan bersamamu."
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng tertawa ter-
bahak-bahak. Kemudian dengan masih tertawa, Ki Ca-
trik Ireng meninggalkan putranya yang masih terdu-
duk. *** 2 Matahari tepat berada di ubun-ubun, dengan
panasnya yang terasa menyengat Seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular sanca tampak tengah me-
nyelusuri perbukitan. Bibirnya meringis karena didera panas terik yang
memanggang tubuhnya. Sesekali kepalanya digaruk, kemudian menyeka keringat yang
membasahi pelipisnya.
"Uhhh...! Panas sekali hari ini," keluh pemuda tampan itu yang tidak lain Sena
Manggala atau Pendekar Gila dari Goa Setan
Saat itu Sena tengah melakukan perjalanan,
berkelana mengikuti kata hatinya. Sekaligus berusaha mencari paman dan bibinya.
Hanya mereka yang dapat
dijadikan tempat bertanya dan berbagi duka. Namun
entah di mana mereka, tak jelas hutan rimbanya.
Sena terus melangkah, membawa kakinya un-
tuk menyelusuri kehidupan. Tingkah lakunya yang se-
perti orang gila, semakin bertambah lucu dengan keadaan yang panas menyengat
seperti itu. Sesekali kepalanya digaruk-garuk, kemudian mulutnya meringis bo-
doh. "Anak muda, tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita,
memerintah Sena untuk menghentikan langkahnya.
Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya
langsung berbalik untuk melihat orang yang menyu-
ruhnya berhenti. Keningnya berkerut dan mulutnya
nyengir, melihat seorang wanita tua yang bungkuk melangkah ke arahnya. Wanita
tua itu mengenakan pa-
kaian serba hitam. Rambutnya terurai lepas, dengan
ikat kepala berwarna hitam pula.
Dilihat dari wajahnya, tentu semasa mudanya
wanita itu cantik jelita. Wajahnya bulat telur dengan hidung bangir. Sedangkan
matanya diperindah oleh
alis tipis serta bulu mata yang lentik.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Mulutnya cengar-cengir. Tingkahnya persis seekor monyet yang kepanasan
dipanggang matahari
"Kenapa kau menyuruhku berhenti, Nek?"
tanya Sena masih dengan bertingkah seperti monyet
kepanasan. "Hik hik hik..! Pucuk dicinta ulam tiba," ucap nenek yang ternyata Nyi Kendil,
guru Bidadari Cadar Merah (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila
dalam episode "Dendam Bidadari Cadar Merah").
Sena mengerutkan kening mendengar ucapan
Nyi Kendil. Kemudian tawanya meledak. Sambil meng-
garuk-garuk kepala mulutnya mengoceh,
"Hi hi hi.... Mengapa Nenek mencintai pucuk"
Lucu sekali.,.. Lagi pula, beruntung sekali kalau dapat
ulam, Nek. Wah, mengapa kau tidak bagi-bagi aku?"
Alis putih milik Nyi Kendil terangkat saat men-
dengar ucapan pemuda itu.
"Tak salah... tak salah lagi...," gumamnya seraya mengangguk-angguk.
"Apanya yang tak salah, Nek" Ah, sudahlah.
Aku harus segera pergi lagi. Ada apa, Nek..?" tanya Se-na masih bertingkah laku
aneh. "Anak muda, jawablah pertanyaanku. Benarkah
kau yang berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan yang tersohor itu..."!" tanya Nyi
Kendil dengan suara lan-tang, setengah membentak.
Pendekar Gila tersentak. Sampai-sampai me-
nyurutkan dadanya ke belakang. Matanya menyipit,
dan keningnya berlipat-lipat. Kemudian tingkahnya
kembali seperti semula, cengengesan sambil mengga-
ruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, terlalu berlebihan jika disebut tersohor untuk pemuda sebodoh aku,
Nek. Memang kena-
pa...?" balik Sena setelah menjawab pertanyaan Nyi Kendil. "Jadi kau pendekar
itu" He he he.... Bagus...,"
gumam Nyi Kendil sambil terkekeh-kekeh. "Namamu yang besar sering kudengar.
Menggugah hatiku untuk
membuktikannya. Itu sebabnya aku keluar dari sa-
rangku." Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir. Kemudian sambil tersenyum-senyum kepa-
lanya digelengkan.
"Ah, mengapa begitu, Nek" Aku bukan manusia
aneh. Aku tetap manusia biasa yang memiliki kelema-
han. Bukan dewa yang harus dicari-cari. Apa gunanya Nenek berusaha mencariku"
Bahkan hendak mencoba
ilmuku?" "Hik hik hik...!" Nyi Kendil tertawa-tawa, membuat tubuhnya turut terguncang-
guncang. "Weleh, mendengar kata-katamu yang luhur, aku semakin pe-nasaran saja.
Nah, Pendekar Gila, kuharap kau sudi
memberi beberapa pelajaran untukku yang tua bangka
ini. Bersiaplah...!"
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala
dengan mulut masih cengengesan. Namun ketika Nyi
Kendil hendak menyerang dengan cepat Sena berse-
ru.... "Tunggu...!"
Nyi Kendil mengerutkan kening. Ditatapnya
pemuda itu dengan sinar mata tak mengerti.
"Ada apa lagi, Pendekar Gila?" tanyanya masih dengan mata memandang tajam serta
kening berkerut
"Nyi, kalau kau menantangku hanya untuk
menjajal ilmuku, lebih baik aku mengalah. Kaulah
yang menang. Nah, permisi."
"Tunggu...!" seru Nyi Kendil, ketika melihat Se-na hendak berlalu.
Sena tak menghiraukan seruan itu. Kakinya te-
rus melangkah, meninggalkan wanita tua yang menan-
tangnya. Hal itu membuat Nyi Kendil marah. Dia me-
rasa telah diremehkan oleh pendekar itu.
"Kurang ajar! Rupanya kau menyangka begitu
mudah lari dariku, Anak Muda! Heaaa...!"
Tubuh wanita tua itu melenting ke atas, kemu-
dian melesat cepat untuk mengejar Pendekar Gila. Gerakannya begitu ringan,
menandakan kalau ilmunya
bukan ilmu pasaran. Dengan usia setua itu, tentu ke-matangan ilmunya amat luar
biasa. Jleg! Nyi Kendil menghentakkan kakinya ke tanah
sejauh dua tombak di depan Pendekar Gila yang seke-
tika menghentikan langkahnya.
"Ha ha ha.... Kau benar-benar aneh, Nek. Men-
gapa kau masih saja tak puas" Bukankah telah kuka-
takan bahwa kaulah yang menang?" kata Sena sambil tertawa dan menggaruk-garuk
kepala, membuat Nyi
Kendil berungut kesal.
"Kurang ajar! Apakah dengan begitu aku akan
membiarkan mu pergi! Aku jauh-jauh mencarimu un-
tuk menjajaki ilmumu yang termashur. Tak akan ku-
biarkan orang yang kucari pergi begitu saja. Bersiaplah! Yeaaat..!"
Kedua tangan Nyi Kendil bergerak merentang
lalu mencakar ke depan. Sepasang tangannya bagai-
kan sebuah sayap. Merentang lurus, kemudian diang-
kat ke atas. Lalu diarahkan ke depan, membentuk pu-
kulan dan sabetan. Sementara kedua kakinya bergerak laksana kaki-kaki seekor
binatang yang tengah meng-hisap madu pada bunga. Itulah jurus 'Kupu-kupu
Menghisap Bunga'.
Menyaksikan jurus yang dikeluarkan wanita
tua itu, kening Pendekar Gila berkerut. Seingatnya, dia pernah melihat jurus itu
digunakan untuk menyerangnya.
Ketika Sena masih berusaha mengingat-ingat
siapa orang yang pernah menyerangnya dengan jurus
itu, serangan Nyi Kendil semakin dekat ke arahnya.
Siap menghantam dada dan kemaluan.
Wuttt! "Uts...!"
Sena tersentak kaget. Dengan cepat tubuhnya
melompat mundur, kemudian meliuk-liuk laksana me-
nari dengan gemulai. Dielakkannya setiap serangan
yang dilancarkan wanita tua itu.
Nyi Kendil yang merasa serangan pertamanya
gagal, kembali melancarkan serangan susulan. Malah
daya serangnya kini semakin hebat. Tangan kanannya
menghantam ke dada lawan. Sedangkan tangan ki-
rinya mencengkeram ke selangkangan.
Pendekar Gila yang diserang begitu rupa, cepat-
cepat menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat'. Gerakannya kelihatan lemah dan lamban. Tubuh-
nya bergerak meliuk-liuk laksana menari, dengan se-
sekali tangannya menepuk ke dada lawan.
Sambil terus mengelakkan serangan yang di-
lancarkan oleh Nyi Kendil, Pendekar Gila berusaha
mengingat-ingat siapa orang yang pernah mengguna-
kan jurus keji dan ganas itu. Jurus yang selalu mengarah ke titik kematian, ke
arah kemaluan lawan.
"Heaaa...!"
"Uts! He he he...! Mengapa kau sudah tua ma-
sih cabul, Nek?" seloroh Sena sambil bergerak meliuk-liukkan tubuhnya,
mengelakkan serangan.
"Tutup mulutmu, Gila! Heaaat..!"
Nyi Kendil semakin beringas. Tangan kanannya
laksana seribu, mencecar gencar ke dada lawan. Se-
dangkan tangan kirinya yang mencengkeram ke arah
selangkangan pun tak kalah keras. Membuat Pendekar


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gila harus mengerahkan tenaga dalam untuk memen-
tahkannya. "Wah wah wah, mengapa kau sadis, Nek"
Aduh...! Celaka kalau wanita setua mu masih cabul.
Bisa-bisa tak ada gadis yang laku...."
Kembali Sena berseloroh. Tubuhnya masih me-
liuk-liuk, berusaha mengelakkan serangan-serangan
Nyi Kendil yang mengarah pada tempat-tempat mema-
tikan. Nyi Kendil yang diledek begitu rupa, semakin bertambah geram. Dengan
dengusan penuh amarah,
wanita tua itu semakin mempergencar serangannya.
Tangannya yang memukul dan mencengkeram bagai
tak pernah berhenti. Kakinya pun tak mau diam, me-
nendang dan menyapu kaki lawan.
"Yeaaat..!"
Serangan Nyi Kendil semakin beringas dan ga-
nas, Membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Tapi sebagai orang yang sudah sering
menghadapi hal-hal seperti itu, Pendekar Gila tak kebingungan. Bahkan masih
dengan gaya seekor monyet, diimbangi terus serangan-serangan yang dilancarkan
Nyi Kendil. "Jangan hanya mengelak saja, Gila! Tunjukkan
ilmumu yang kesohor itu...!" bentak Nyi Kendil berusaha memancing amarah
pendekar muda itu. "Kalau kau tidak juga mau menunjukkan ilmumu, jangan sa-
lahkan kalau aku membunuhmu! Yeaaat..!"
Pendekar Gila yang tahu kalau wanita tua itu
tengah mencoba memancing amarahnya, tertawa riuh.
Seakan-akan tidak terpengaruh oleh tantangan itu.
Tubuhnya meliuk-liuk, mengelakkan setiap serangan
yang dilancarkan wanita tua itu.
Merasa usahanya untuk memancing kemara-
han Pendekar Gila tak berhasil, Nyi Kendil bertambah marah. Kekuatan tenaga
dalamnya ditambah, dan serangannya semakin buas dan ganas. Kedua tangannya
bergerak kian liar.
"Awas, Nek...!"
"Uts...!"
Nyi Kendil tersentak kaget ketika tiba-tiba Pen-
dekar Gila melepaskan serangan tanpa diduga sebe-
lumnya. Tangannya bergerak memukul ke wajah Nyi
Kendil. Membuat wanita tua itu kaget bukan kepalang.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa seraya menarik serangannya.
Nyi Kendil melompat dua tindak ke belakang.
Matanya memandang tajam ke arah Pendekar Gila. Na-
fasnya memburu, karena dilanda amarah yang bergo-
lak di dadanya.
*** Pendekar Gila kian tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya membuat wanita
tua itu semakin sengit
"Pendekar Gila, jangan kau senang dulu! Aku
belum kalah olehmu! Yeaaat..!"
Nyi Kendil kembali melesat Kedua tangannya
merentang, kemudian bersama-sama menghantam ke
depan. Disambung dengan lentingan tubuhnya ke
atas, dengan kaki-kaki yang menghentak
Melihat serangan yang dilancarkan lawannya,
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening. Benak-
nya terus berusaha mengingat-ingat kembali siapa sebenarnya orang yang pernah
menyerangnya dengan ju-
rus-jurus yang kini diperagakan oleh nenek itu.
"Wet hampir saja...!" pekik Sena sambil memi-ringkan tubuhnya ke samping.
Kemudian tubuhnya diliukkan, mengelakkan
serangan cepat yang dilancarkan Nyi Kendil. Lalu dengan cepat Pendekar Gila
balas menyerang.
"Jaga dadamu, Nek! Yeaaa...!"
Tangan kanan Pendekar Gila dengan telapak
tangan terbuka, menghantam ke dada Nyi Kendil. Wa-
nita tua itu tersentak kaget, hampir tak percaya menyaksikan jurus lawannya.
Gerakan tangan lawan ke-
lihatan lemah dan pelan, namun kenyataannya sung-
guh di luar dugaannya. Kalau saja tadi tidak melompat mundur, tentu dadanya akan
jebol. "Edan! Benar-benar ilmu edan!" maki Nyi Kendil bersungut-sungut. Sedangkan
Pendekar Gila kembali
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nek kurasa sudah cukup permainan kita. Aku
kira, tak ada perlunya kita ngotot," kata Sena dengan tingkah lakunya yang
persis orang tolol. "Kuharap kau mau mengerti. Tak baik mencari musuh. Lagi
pula, antara kita tak ada silang sengketa...."
"Tutup mulutmu!" bentak Nyi Kendil, membuat mata Sena melotot kaget "Enak benar
kau berkata di antara kita tak ada silang sengketa...!"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan
kening masih berkerut Nafasnya mendesah pelan, dan
kepalanya menggeleng-geleng.
"Nek, kau dan aku belum pernah bertemu. Ba-
gaimana mungkin antara kita ada silang sengketa?"
"Diam! Kau kira karena kita baru bertemu ma-
ka antara kita tak ada silang sengketa"!" dengus Nyi Kendil masih dengan suara
membentak. Matanya masih melotot marah. "Pendekar cabul! Sungguh sangat
disayangkan kalau seorang pendekar yang namanya
diagung-agungkan ternyata cabul! Suka memperkosa
gadis dan istri orang!"
Pendekar Gila tersentak mendengar tuduhan
yang dilontarkan nenek itu. Namun amarahnya beru-
saha ditahan. Dia yakin kalau semua itu hanya fitnah.
Atau mungkin masalah pemuda bertopeng yang men-
gaku-aku dirinya.
"Nek, kau menuduhku cabul. Apakah kau
punya bukti?" tanyanya masih berusaha tenang.
"Ya!" dengus Nyi Kendil.
"Hm, katakanlah bukti apa?"
Nyi Kendil tidak langsung menjawab. Matanya
bertambah tajam memandang pemuda di hadapannya.
"Muridku buktinya!"
Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian
tertawa tergelak-gelak setelah ingat dengan semuanya.
Dia pun ingat kalau jurus yang diperagakan oleh nenek itu sama dengan jurus
Wulandari atau Bidadari
Cadar Merah. Kemudian tangannya menggaruk-garuk
kepala sambil tersenyum.
"Ah ah ah.... Kalau aku tidak salah, bukankah
muridmu yang bernama Wulandari atau Bidadari Ca-
dar Merah?" tanya Sena.
Mata Nyi Kendil semakin berkilat penuh ama-
rah. Wanita tua itu menyangka kalau Sena-lah yang
telah memperkosa muridnya. Wajar saja kalau dia ta-
hu nama muridnya.
"Ya! Bukankah kau yang memperkosanya"!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Suaranya lepas di udara, lalu terbawa oleh
angin. Kemudian dengan
tingkah anehnya, Sena kembali berkata....
"Rupanya itu yang menjadi silang sengketa an-
tara kau dan aku, Nek" Hm, kau boleh tanya pada mu-
ridmu. Apakah benar aku yang telah memperko-
sanya...?" tegas Sena. "Nah, aku mohon pamit."
Usai berkata begitu, Sena segera menjura hor-
mat dan hendak melangkah pergi. Namun Nyi Kendil
kembali berseru menghentikan langkahnya.
"Tunggu...!"
Pendekar Gila tak menghiraukan. Kakinya te-
rus melangkah. Namun baru beberapa langkah, nam-
pak olehnya seorang wanita bercadar merah lari ke
arahnya. Seketika itu pula Nyi Kendil berseru, menyebut nama wanita bercadar
merah itu. "Wulandari...!"
"Tuan Pendekar, tunggu...!" panggil Wulandari.
Tubuhnya terus melaju ke arah Pendekar Gila yang
menghentikan langkahnya. "Biar ku jelaskan pada guru." Wulandari segera mengajak
Sena ke tempat gurunya berdiri. Kemudian wanita yang berjuluk Bidadari Cadar
Merah itu menjura hormat, membuat Nyi Kendil
mengangguk-anggukkan kepala.
"Wulan..., bukankah pemuda itu yang telah me-
renggut kehormatanmu?" tanya Nyi Kendil kemudian.
"Bukan, Guru. Malah dialah yang telah meno-
longku. Kalau saja dia tak ada, mungkin pemuda ber-
topeng itu telah kembali memperkosaku," tutur Wulandari dengan mata mengerling
sungkan pada Sena
yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nah! Kau telah dengar sendiri, Nek. Masihkah
kau akan menuduhku cabul" Bukankah jurusmu yang
sebenarnya cabul?" sindir Sena, membuat mata Nyi Kendil langsung melotot.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
tertawa tergelak-gelak. Sementara Wulandari yang menyaksikan gurunya melotot,
hanya tersenyum. Kemu-
dian dia berusaha menenangkan suasana yang tidak
enak itu. "Tuan Pendekar, ternyata duel penentuan anta-
ra orang tua itu dengan tuan telah tersebar. Semua
orang persilatan telah mendapatkan undangannya."
"Hah..."!" Sena bengong.
*** 3 Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan
tangan kanannya. Kepalanya digeleng-gelengkan sam-
bil tersenyum-senyum.
"Duel..." Apakah aku tak salah dengar, Nyi?"
"Tidak, Tuan. Lelaki tua yang telah menyela-
matkan si keparat yang menodai ku dulu telah menye-
bar pengumuman, ini buktinya...."
Wulandari mengambil lipatan daun lontar di
ikat pinggangnya. Kemudian, diserahkannya pada Se-
na yang segera membacanya.
Bagi semua pendekar rimba persilatan!
Kami mengundang Anda pada dua bulan pur-
nama yang akan datang di Puncak Lawu, untuk me-
nyaksikan penentuan siapa yang pantas menjadi orang nomor satu di rimba
persilatan. Duel penentu ini, sekaligus duel ulang yang pernah kami lakukan lima puluh tahun
yang silam. Semoga Pendekar Gila masih memiliki jiwa besar! Catrik Ireng.
"Edan! Apa maksudnya?" gerutu Sena sambil melipat daun lontar kembali. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Wajahnya kini menengadah ke langit, di mana matahari
kini agak condong ke arah barat.
"Catrik Ireng mengatakan bahwa duel itu ada-
lah ulangan dari kejadian lima puluh tahun yang si-
lam. Apa maksudnya?" tanya Wulandari tak mengerti
"Catrik Ireng..."!" seru Nyi Kendil kaget dengan mata membelalak. Membuat
Wulandari dan Sena memandang wanita tua itu dengan wajah bertanya-tanya.
"Ada apa, Guru" Apakah Guru mengenalnya?"
tanya Wulandari.
"Ya! Dia lelaki bajingan! Dialah yang telah
membuatku harus kehilangan harapan! Kehilangan
masa depan!" dengus Nyi Kendil, semakin membuat
Wulandari dan Sena terheran-heran.
Mereka terus memperhatikan bagaimana wajah
nenek itu berubah merah. Tampak Nyi Kendil marah,
setelah mendengar nama Catrik Ireng tadi. Mulailah
ingatannya melayang pada kejadian puluhan tahun
yang silam. "Guru, kalau boleh ku tahu, apakah yang terja-
di antara Guru dengan Catrik Ireng?" tanya Wulandari setelah menyaksikan gurunya
diam saja. "Hm, aku pun menaruh dendam padanya,"
dengus Nyi Kendil.
"Dendam apa, Guru?" desak Wulandari ingin tahu. "Nanti kuceritakan. Sekarang
kita pergi dari si-ni," ajak Nyi Kendil pada muridnya.
"Bagaimana dengan Tuan Pendekar?"
"Ah, aku pun harus pergi. Terima kasih atas
pemberitahuan yang telah kau berikan padaku, Nyi.
Aku mohon pamit"
Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat
pergi meninggalkan guru dan murid yang hanya bisa
memandang terpana. Dari mulut mereka terdengar de-
cak kagum. "Ck ck ck.... Sungguh luar biasa," puji Wulandari. Kekaguman yang tergambar pada
rona wajahnya begitu dalam. "Ya! Tadi aku pun telah menjajalnya. Ternyata
ilmunya memang hebat. Semuda itu telah memiliki il-
mu yang tinggi," sambut Nyi Kendil.
"Jadi...."
"Ya! Mulanya aku menyangka dialah yang telah
memperkosa mu. Kami pun bertarung. Sungguh luar
biasa. Kalau dia mau, sudah dari tadi aku menjadi
mayat!" Wulandari semakin kagum mendengar keteran-
gan yang disampaikan gurunya tentang pemuda tam-
pan itu. Perlahan hari Bidadari Cadar Merah itu dijala-ri perasaan yang aneh.
Wulandari tak yakin kalau itu hanya perasaan suka. Dia lebih suka mengatakan
kalau perasaan itu adalah cinta yang mulai membentuk
di kedalaman hatinya. Tapi, mungkinkah dia mau me-
nerima cintaku" Dia masih perjaka asli. Sedangkan
aku.... Oh, aku sudah tak suci lagi. Keluh hatinya.
Nyi Kendil menyaksikan muridnya nampak mu-
rung dengan mata memandang ke arah kepergian Pen-
dekar Gila. Sambil tersenyum, kakinya melangkah
mendekati muridnya.
"Kau mencintainya, Wulan?" tanya Nyi Kendil hati-hati.
Wulandari tersipu malu. Pipinya yang tertutup
cadar tentunya merah merona. Matanya mengerjap-
ngerjap laksana mata seekor kelinci. Membuat gu-
runya semakin tersenyum lebar.
"Mungkinkah itu, Guru?" tanya Wulandari, ma-lu-malu
"Mengapa tidak" Dia lelaki dan kau wanita."
"Maksudku, aku sudah tak suci lagi, Gum. Se-
dangkan dia masih perjaka...," desah Wulandari lirih, kemudian kepalanya
menunduk. Nyi Kendil memegangi pundak muridnya perla-
han. Bibirnya masih menyunggingkan senyum penuh
kasih sayang. "Wulan, cinta tidak selalu menyatu. Kalau kau
memang mencintainya, tunjukkanlah padanya ketulu-


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san cinta mu. Sedapatnya kau mengabdi tanpa harus
berpikir untuk memiliki. Bila perlu, kau harus rela berkorban," kata Nyi Kendil
pelan, memberi petuah pada muridnya yang semakin tertunduk sendu.
"Aku akan berusaha, Guru."
"Sekarang kita pulang. Bukankah kau ingin ta-
hu tentang aku dan lelaki busuk yang menantang pe-
muda itu" Lagi pula, aku pun ingin mendengar bagai-
mana hasil petualanganmu"
"Baik, Guru."
"Ayo kita pulang."
Kemudian keduanya segera melesat meninggal-
kan tempat itu, berlari menuju selatan. Tak lama kemudian, tubuh mereka
menghilang di dalam kerimbu-
nan hutan. *** Nyi Kendil bersama Wulandari duduk di atas ti-
kar pandan. Di hadapan mereka tersedia singkong re-
bus dan gula merah di piring yang terbuat dari tanah liat
Dua buah cangkir yang juga terbuat dari tanah
liat ada di dekat kaki mereka.
Keduanya mengambil singkong rebus dan gula
merah. Kemudian menyantapnya dengan penuh ke-
nikmatan. Setelah itu mereka meneguk air putih dari cangkir tanah liat
"Bagaimana pengalamanmu, Wulan" Dan ba-
gaimana pula sampai kau mengenal pendekar muda
itu?" tanya Nyi Kendil memulai percakapan dengan senyum terulas di bibir. Mata
muridnya mengerjap-
ngerjap risih saat nama pendekar muda itu disebut.
Tentu saja yang dimaksud Nyi Kendil adalah Sena
Manggala alias Pendekar Gila dari Goa Setan.
Wulandari terlihat semakin cantik, setelah ca-
dar merah yang menutupi wajahnya dibuka. Kulit wa-
jahnya yang kuning langsat, bertambah mempesona
dengan seulas senyum tersipu-sipu.
"Kenapa, Wulan" Kau ingat dia lagi...?" seloroh Nyi Kendil, membuat Wulandari
semakin tersipu-sipu.
Pipinya kian merona merah.
"Ah, Guru...."
"Sudahlah, aku pun tahu. Aku juga pernah
muda. Nah, katakanlah...."
Wulandari menghela napas sesaat. Rona merah
masih menghias kedua pipinya. Dengan menundukkan
kepala perlahan, Wulandari menceritakan semua pen-
galamannya selama berkelana. Sampai akhirnya dia
bertemu dengan Pendekar Gila, yang perlahan meno-
reh hatinya dengan bilur-bilur cinta, sejak pertama kali mereka bertemu di hutan
setelah ia mengalahkan Tiga Barka Kembar (Untuk jelasnya, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar Merah").
"Begitulah ceritanya, Guru," kata Wulandari, mengakhiri ceritanya.
Nyi Kendil mengangguk-anggukkan kepala. Di-
helanya napas panjang-panjang. Ditatapnya wajah
Wulandari dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang
tengah diperhatikan pada wajah muridnya.
"Anakku...," tiba-tiba dari mulut Nyi Kendil terdengar suara desahan cukup
keras, yang entah ditu-
jukan pada siapa. Hal itu membuat Wulandari menge-
rutkan kening. Namun dia tidak berani bertanya.
Hanya matanya menatap lekat ke wajah Nyi Kendil, tak mengerti akan desah gurunya
tadi. Wajah Nyi Kendil nampak muram. Matanya
menatap penuh kasih ke arah Wulandari, yang juga
menatap dengan penuh ketidakmengertian akan se-
muanya. "Wulan, sungguh malang benar nasib kita. Se-
pertinya semua telah disuratkan oleh Hyang Widhi.
Kau dan aku sama-sama mendapatkan celaka. Sama-
sama ditimpa bencana yang sebenarnya tidak kita in-
ginkan." Hati Wulandari terenyuh seketika mendengar
penuturan gurunya. Mulutnya terbungkam. Perlahan-
lahan kepalanya kembali menunduk dalam-dalam. Ti-
dak terasa, air matanya mengalir perlahan membasahi kedua pipinya.
Nyi Kendil kembali menghela napas. Matanya
nampak berkaca-kaca. Ditatapnya Wulandari yang
masih menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tahu
apa yang sebenarnya tengah berkecamuk dalam jiwa
muridnya. Dia juga seorang wanita dan pernah muda
seperti Wulandari. Juga mendapat nasib yang hampir
sama dengan apa yang dialami Wulandari.
"Aku tahu perasaanmu, Wulan. Ya... mungkin
kita memang telah digariskan oleh Hyang Widhi untuk bertemu. Berbagi suka dan
duka yang telah kita alami.
Nah, kini kau dengarlah cerita ku. Agar kau tahu siapa aku sebenarnya...."
Wulandari menganggukkan kepala dengan ma-
sih menunduk. Tangannya menyapu air mata yang
membasahi pipinya yang halus.
Didahului helaan napas panjang, Nyi Kendil
mulai menceritakan dirinya dan Ki Catrik Ireng.
Suatu hari nampak seorang gadis kecil berusia
sekitar lima belas tahun tengah bermain-main dengan teman-temannya. Bersuka ria
di sebuah lapangan di
pinggir desa. Gadis cantik yang baru menginjak dewa-sa itu bernama Roro Kendari.
Di antara teman-
temannya, gadis itu yang terlihat paling cantik. Begitu pula dengan pakaian yang
dikenakannya. Paling bagus di antara gadis yang lain.
Gadis itu tiada lain anak Ki Lurah Manujaya.
Meski anak seorang lurah, namun kepribadiannya
baik. Senang bergaul dan tidak sombong. Itu sebabnya dia banyak disenangi oleh
teman-temannya.
Tengah gadis-gadis tanggung itu bermain-main,
muncul Catrik Ireng yang kebetulan lewat di desa itu.
Melihat kecantikan Roro Kendari, Catrik Ireng menjadi tertarik. Dengan bibir
tersenyum, didekatinya gadis itu. Kemudian dengan nakal, tangannya membelai da-
gu Roro Kendari.
"Cah ayu, siapa namamu...?" tanya Catrik Ireng masih tersenyum.
Mata Roro Kendari melotot marah pada Catrik
Ireng. Ia menganggap perbuatan Catrik Ireng kurang
ajar. "Lelaki kurang ajar!" makinya marah.
Keempat teman gadisnya menyurut ke belakang
tubuh Roro Kendari. Mara mereka pun memandang
penuh rasa tidak suka terhadap lelaki muda yang telah lancang berani membelai
dagu Roro Kendari.
"Hei, mengapa kau marah, Cah Ayu?" tanya Catrik Ireng dengan kening berkerut
"Apakah salah jika nama mu ku tanya?"
"Huh, mengapa kau berani membelai dagu ku"!
Bukankah itu kurang ajar"!" ketus dan keras suara Roro Kendari. Matanya masih
melotot sepertinya tidak merasa takut sedikit pun terhadap lelaki muda berjubah
hitam di hadapannya.
"O, itu karena kau cantik, Cah Ayu."
"Lancang mulutmu!" bentak Roro Kendari.
"Apakah kau tidak pernah diajar adat"!"
Catrik Ireng tersentak kaget melihat keberanian
gadis itu. Wajahnya langsung memerah, merasa malu
dibentak begitu rupa di depan orang banyak.
"Gadis edan! Kuhajar mulutmu!" dengus Catrik Ireng. "Hajar kalau memang berani!"
tantang Roro Kendari seraya menyodorkan wajahnya ke arah Catrik
Ireng. Cup! "Auw...!"
Roro Kendari memekik kaget. Sedangkan te-
man-temannya berlarian meninggalkan tempat itu,
merasa takut pada lelaki muda berjubah hitam.
"Bagaimana, Cah Ayu...?" tanya Catrik Ireng masih tersenyum.
Roro Kendari bertambah marah. Tidak didu-
ganya sama sekali kalau lelaki muda itu malah men-
ciumnya, bukan menampar. Matanya melotot garang.
Pipinya merona merah karena malu.
"Kurang ajar! Kau benar-benar lelaki bajingan!"
Dibentak begitu rupa, tidak membuat lelaki
muda berjubah hitam itu marah. Catrik Ireng malah
memeluk tubuh Roro Kendari diiringi gelak tawanya.
Kemudian dengan gemas, diciuminya pipi Roro Kenda-
ri. "Kurang ajar! Lepaskan..!" bentak Roro Kendari sambil memukul dada Catrik Ireng,
dengan harapan pemuda berjubah hitam itu akan menghentikan ci-
umannya. Tapi Catrik Ireng tak juga melepaskan pelukannya. Semakin Roro Kendari
berontak, semakin
kencang pelukannya. Dan semakin buas pemuda itu
mencium pipinya.
"Tak akan kulepaskan, sebelum kau bersedia
menjadi istriku!"
"Cuh! Tak sudi! Kau lelaki bajingan...!"
Roro Kendari menyemburkan ludah ke wajah
Catrik Ireng, membuat pemuda itu semakin beringas
menciumi wajahnya, Malah kini merambat ke leher
jenjang Roro Kendari.
"Bajingan! Lepaskan...!" pekik Roro Kendari sambil terus meronta, berusaha
melepaskan pelukan
pemuda itu. Namun Catrik Ireng benar-benar tak pe-
duli. Pelukan dan ciumannya semakin menjadi-jadi.
Saat pemuda berjubah hitam itu menciumi leh-
er Roro Kendari, tiba-tiba sebuah pukulan keras
menghantam punggungnya.
Bugk! Catrik Ireng tersentak. Pelukannya terlepas. Hal
itu tidak disia-siakan oleh Roro Kendari yang segera berlari ke arah ayah dan
ibunya. "Ayah, pemuda itu jahat! Bajingan...!"
Catrik Ireng tersenyum sinis, setelah tahu siapa
yang telah memukulnya.
"Hm, rupanya kau"! Seharusnya kau berterima
kasih, karena putri mu telah mendapat kehormatan
untuk ku cium. Apakah kau tak tahu siapa aku, heh"!"
ujar Catrik Ireng, sombong.
"Huh, siapa pun kau, aku tak peduli! Kau bu-
kan orang baik-baik! Kau harus ditangkap...!" jawab Ki Lurah Manujaya.
Mendengar kata-kata itu, Catrik Ireng seketika
tertawa tergelak-gelak
"Lancang sekali mulutmu, Orang Tua! Apakah
kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, heh"!
Pantang bagi Catrik Ireng membiarkan keinginannya
berlalu! Serahkan anakmu padaku, untuk kujadikan
istri!" "Sombong! Biar namamu menjulang sampai ke langit, aku tak takut. Demi
kebenaran dan kebaikan, aku rela mati!" sengit Ki Lurah Manujaya.
"Kurang ajar! Rupanya kau menantangku!
Yeaaat..!"
"Heaaat..!"
Keduanya pun bertarung. Rupanya, pemuda
berjubah hitam itu jauh lebih tinggi ilmunya dibanding Ki Lurah Manujaya. Dalam
beberapa gebrakan saja, Ki Lurah Manujaya dapat dibunuh.
Menyaksikan suaminya tewas, istri Ki Lurah
Manujaya seketika menjerit lalu menubruk tubuh su-
aminya. "Kang Mas...!" ratap istri Ki Lurah Manujaya.
"Bajingan! Kubunuh kau...!"
Dengan tangan menggenggam keris milik sua-
minya, istri Ki Lurah Manujaya menerjang Catrik
Ireng. Ditusukkannya keris ke arah lawan. Namun
dengan cepat pemuda berjubah hitam itu mengelak-
kannya, lalu tanpa diduga tangannya menekan tangan
wanita itu. Bles! "Akh...!" jerit istri Ki Lurah Manujaya. Keris di tangannya tepat menusuk
perutnya sendiri.
"Ibu...!" jerit Roro Kendari
Mata Roro Kendari memandang pemuda berju-
bah hitam itu penuh kebencian. Kemudian Roro Ken-
dari lari meninggalkan tempat itu. Gadis itu tahu, pasti pemuda berjubah hitam
itu hendak bermaksud jahat
padanya. Sungguh tak sudi jika dia menjadi istri pembunuh ayah dan ibunya.
Catrik Ireng yang sudah terpikat oleh kecanti-
kan Roro Kendari, tak mau membiarkan gadis itu per-
gi. Dia segera mengejar untuk mencari gadis itu. Setiap penduduk ditanya, di
mana Roro Kendari bersembunyi. Banyak penduduk yang dibunuh jika tidak mau
memberi tahu tempat Roro Kendari bersembunyi.
Akhirnya pemuda berjubah hitam itu menemu-
kan tempat persembunyian Roro Kendari. Di sebuah
rumah yang belum dihuni, milik kedua orang tuanya.
"Hm, akhirnya kau kutemukan juga, Cah Ayu.
Ke mana pun kau lari, aku akan mengejarmu."
Roro Kendari ketakutan. Dia berusaha mela-
wan. Tapi sia-sia saja karena dia tidak memiliki ilmu silat. Jangankan dia,
ayahnya yang memiliki ilmu silat saja dapat dikalahkan hanya dalam beberapa
gebrakan. Nafsu pemuda berjubah hitam itu rupanya tak
terbendung lagi. Tangannya segera merenggut pakaian yang dikenakan Roro Kendari.
Breeet...! "Auh, tidak...!"
Roro Kendari berusaha meronta. Tetapi tena-
ganya tak cukup untuk menghempas tubuh Catrik
Ireng. Bahkan untuk sekadar lepas dari sergapannya.
Pemuda itu lalu mempreteli pakaiannya dengan mata
berkilat-kilat penuh nafsu. Terlebih setelah tubuh gadis itu tanpa sehelai
benang pun. Tanpa ada perlawanan, dengan leluasa pemuda
itu melampiaskan nafsunya. Kemudian dibawanya Ro-
ro Kendari pergi dari desa itu. Sampai akhirnya Roro Kendari melahirkan seorang
bocah lelaki yang diberi nama Prabasangka.
"Begitulah ceritanya, Wulan. Ah, aku tidak me-
nyangka kalau Prabasangka akan menuruni sifat
ayahnya. Dan kau menjadi korbannya," keluh Nyi Kendil atau Roro Kendari.
Wulandari terdiam menundukkan kepala.
"Apakah jika Praba lepas dari ayahnya kau mau
memaafkannya, Wulan" Maukah kau menjadi istrinya
jika dia telah sadar nanti?"
Wulandari tak menjawab. Sulit baginya untuk
menjawab pertanyaan gurunya. Benih cinta itu tum-
buh untuk Pendekar Gila, bukan untuk Prabasangka
yang telah memperkosa dan menghancurkan masa de-
pannya. Karena tak kuat menahan kesedihannya, Wu-
landari lari meninggalkan tempat itu.
"Wulan, tunggu...!" seru Nyi Kendil sambil berlari mengejar muridnya.


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** 4 Malam datang membawa kegelapan yang dis-
elimuti halimun. Binatang malam berdendang riang,
seakan tengah berpesta dalam satu upacara ganjil.
Menjadikan suasana malam semakin mencekam. Apa-
lagi kala suara burung hantu dan lolongan anjing hutan menimpali.
Di sebuah perguruan yang terletak di kaki Bu-
kit Jagalan Batu, suasana malam itu nampak lengang.
Hanya empat orang wanita yang masih hilir mudik me-
ronda. Perguruan Bintang Emas dengan ketuanya seo-
rang wanita bernama Dewi Pandagu merupakan pergu-
ruan yang cukup besar. Perguruan itu juga merupakan perguruan pertama yang semua
anggotanya terdiri dari kaum wanita. Meski begitu, nama Perguruan Bintang
Emas cukup disegani di rimba persilatan
Malam semakin bertambah mencekam, ketika
dari hutan yang mengelilingi perguruan itu terdengar suara-suara aneh. Suara-
suara yang mampu mendiri-kan bulu kuduk
"Huuu...!"
"Kakkk kakkk..!"
"Nguiiik..!"
Keempat wanita yang tengah melakukan tugas
jaga, seketika saling pandang mendengar suara-suara aneh itu. Bulu kuduk mereka
meremang tiba-tiba.
"Pari, kau dengar suara itu?" tanya Bintang Sa-si
"Ya! Suara itu menyeramkan sekali. Sampai-
sampai bulu kudukku meremang," sahut Bintang Pari Tanpa mereka sadari, saat itu
puluhan pasang mata memandang keempat wanita yang tengah berja-
ga-jaga itu. Dari kilatannya, terlihat bagaimana buasnya pemilik mata itu.
"Nguiiik...!"
Suara itu sangat keras, sepertinya sebuah isya-
rat untuk menyerang. Keempat gadis yang tengah ber-
jaga tersentak. Mata mereka membelalak, ketika me-
nyaksikan puluhan lelaki berjubah hitam dengan tatapan mata buas berkelebat ke
arah mereka. "Celaka, kita diserang...!" seru Bintang Kanti.
"Cepat bunyikan kentongan!" perintah Bintang Sasi pada temannya, Bintang Murai.
Bintang Murai segera lari ke arah kentongan.
Kemudian dipukulnya kentongan sebanyak tiga kali,
pertanda keadaan dalam bahaya.
Sementara, puluhan lelaki berjubah hitam itu
dengan buas menyerbu ke arah perguruan. Melihat hal itu, tubuh keempat gadis itu
menegang, siap untuk
menghadapi segala kemungkinan. Keempatnya segera
berusaha menghalau para penyerang yang ganas.
Pertarungan seru pun terjadi. Keempat murid
Perguruan Bintang Emas dengan gigih berusaha
menghalau. Namun karena jumlah mereka tak seim-
bang, dalam sekejap saja mereka dapat dilumpuhkan.
Tubuh mereka kaku, tertotok oleh lawan.
"Nguik nguiiik..!"
Para penyerang berjubah hitam itu terus me-
nyerbu ke dalam perguruan. Mulut mereka tidak men-
geluarkan suara. Mereka terus merangsek masuk den-
gan membongkar pintu gerbang.
"Kita diserang musuh...!" seru salah seorang murid Perguruan Bintang Emas yang
terbangun lebih
dahulu setelah mendengar suara kentongan. Yang
lainnya turut terbangun, termasuk ketua mereka Dewi Pandagu.
"Hadang mereka...!" perintah Dewi Pandagu, seorang wanita cantik jelita
berpakaian seperti orang India. Hidungnya mancung. Rambutnya yang disasak,
menggambarkan sifat keibuan.
"Heaaat..!"
Murid-murid Perguruan Bintang Emas yang
semuanya wanita itu dengan berani segera mengha-
dang para penyerang yang berusaha merangsek. Perta-
rungan di tengah malam pun seketika berkobar.
"Laskar Setan...!" pekik Dewi Pandagu, setelah melihat simbol yang ada di dada
sebelah kiri pada setiap jubah lelaki yang menyerbu ke perguruannya.
Dewi Pandagu berkelebat cepat, membantu mu-
rid-muridnya menghadang lawan Setiap jejakan kaki
dan pukulan tangannya, selalu mengenai sasaran.
Namun sungguh aneh. Mereka yang terkena pukulan-
nya bagaikan tak mengalami apa-apa. Tubuh mereka
hanya tersurut dua tindak ke belakang. Kemudian
kembali menyerang. Bahkan serangannya semakin ga-
nas. Dewi Pandagu tersentak menyaksikan kejadian
itu. Dia kembali menyerang. Kali ini pukulan yang dilontarkan bukan pukulan
biasa, melainkan pukulan
sakti. "Hiaaat..!"
Dewi Pandagu kembali melejit ke atas. Kemu-
dian dengan gerakan yang cepat, dikirimkannya puku-
lan sakti 'Lintang Sakal' ke arah lawan. Dari tangan wanita secantik Dewi Sinta
itu, keluar sinar merah
membara berbentuk bintang-bintang yang menderu ke
arah lawan-lawannya.
Bintang-bintang yang keluar tiada henti itu
langsung menghantam tubuh lawan-lawannya. Tapi
jumlah Laskar Setan tidak juga berkurang. Hal itu
membuat Dewi Pandagu berpikir keras untuk terus
mengumbar pukulan saktinya. Terlebih saat matanya
melihat lelaki muda berbaju kuning yang sepak ter-
jangnya jauh berbahaya di banding Laskar Setan.
Dewi Pandagu kebingungan. Kalau pemuda
berbaju kuning itu tidak dihentikan, tentunya korban akan bertambah banyak
"Hiaaat..!"
Setelah melontarkan pukulan saktinya, Dewi
Pandagu segera berkelebat ke arah pemuda berbaju
kuning yang jurus-jurusnya cabul. Tangannya yang
bergerak senantiasa mengarah ke arah buah dada mu-
rid-muridnya. "Uhhh...!"
Salah seorang murid terkena cengkeraman tan-
gan pemuda berbaju kuning itu. Setelah menggelepar
dengan mata membelalak, wanita itu langsung tewas.
"Celaka...! Pemuda itu benar-benar berbahaya!
Aku harus segera menghentikannya! Yeaaat..!"
Dewi Pandagu segera melesat untuk menyerang
pemuda berbaju kuning yang tiada lain Prabasangka.
Melihat serangan datang, Prabasangka dengan
cepat berkelit Kemudian tangannya bergerak menye-
rang dengan nakal. Arah serangannya ke buah dada
Dewi Pandagu. Dewi Pandagu menggerakkan tangan kanan un-
tuk menepis, sedangkan tangan kirinya balas menye-
rang. Kedua kakinya menendang ke arah dada dan wa-
jah lawan bergantian.
"Uts...! Rupanya kau ketuanya, Manis!"
Prabasangka mengelak ke samping. Kemudian
dengan terkekeh dia membalas menyerang lawan. Tan-
gan kanannya berusaha menangkap tangan kiri Dewi
Pandagu. Sedangkan tangan kirinya yang tadi menye-
rang, ditarik kembali dan dengan cepat menyerang lagi ke buah dada Dewi Pandagu.
"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah bercampur kaget, mendapatkan serangan
Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 2 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Misteri Pulau Neraka 1
^