Pencarian

Durjana Pemenggal Kepala 2

Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala Bagian 2


mulut! Aku sudah tidak heran lagi! Hreaaaaa...!" Babatan kali ini disertai
tenaga penuh. Amarsa Rawut me-
nangkis dengan sekuat tenaga. Tak urung malah ia
ikut terlempar bersama pedangnya.
Terpaksa pula Amarsa Rawut bergulingan
menghindari serangan-serangan Durjana Pemenggal
Kepala yang berusaha mencecar dan tidak memberi
kesempatan lawannya bangkit.
Wintara menghentakkan kedua telapak tan-
gannya ke depan... "Hreaaa!" Menghantam telak dua orang penghadang sampai
mencelat beberapa meter ke
belakang. Entah sudah berapa orang yang ambruk tak
berkutik oleh amukan Wintara. Sebenarnya pula ia ti-
dak sampai hati membunuh mereka. Setiap hantaman
Wintara cukup membuat mereka semaput.
Dalam keadaan bergulingan Amarsa Rawut te-
rus mementang mata. Pandangannya tidak lepas dari
dua golok besar yang mengarah ke tubuhnya. Namun
hanya dengan sekali sentakan, tubuh Amarsa Rawut
sudah melesat ke atas. Sambaran golok Durjana Pe-
menggal Kepala luput, kecuali mengenai batang pohon
besar. Wintara merasa lega melihat Amarsa Rawut da-
pat mengatasi serangan lawannya. Dia sendiri sudah
tidak perlu repot menghadapi lawannya yang tinggal
empat orang. Dan nampaknya pula Wintara tidak memberi
hati. Dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan
mata, Pendekar Kelana Sakti ini menerjang kedua len-
gannya berputar menimbulkan suara angin yang ber-
gemuruh. Babatan-babatan senjata lawannya sama
sekali tidak ada yang masuk. Saat itu Wintara mele-
paskan tendangan serta pukulan bagai geledek.
"Splaaak...! Des...! Des...!" Dua orang langsung ambruk celentang, dua orang
lagi mencelat menabrak
masuk ke dalam gubug. Setelah itu dipandanginya be-
lasan orang bergelimpangan tak sadarkan diri. Di su-
dut sana Amarsa Rawut masih sibuk menghadapi se-
rangan-serangan Durjana Pemenggal Kepala.
"Sobat Amarsa Rawut! Boleh aku datang mem-
bantu?" teriak Wintara, tangannya sudah gatal ingin menguji kebolehan manusia
berjuluk Durjana Pemenggal Kepala.
"Tidak perlu, Sobat Wintara. Kerbau dungu ini
bukan apa-apa bagiku! Kau boleh berdiri di situ ba-
gaimana aku mencabut nyawa babi gembrot ini!" jawab Amarsa Rawut.
"Kau boleh dapat menghabiskan semua anak
buahku. Tapi terhadap Durjana Pemenggal kepala jan-
gan harap bisa!" tukas manusia gemuk botak beringas.
Babatan" dua golok besarnya gencar mematikan.
Amarsa Rawut cepat melompat mundur.
"Setan keparat yang membunuh ayahku kukira
berilmu tinggi, ternyata sepak terjangnya melebihi
bencong! Bagaimana mungkin ia bisa membunuh Ki
Raka Banjaran?" Sambil berkata begitu Amarsa Rawut melepaskan tendangan. Begitu
terkejut manusia botak
melihat sebelah senjatanya mental terkena sambaran
tendangan. Durjana Pemenggal Kepala mendengus
sengit. "Kalau tahu kematian Ki Raka Banjaran, maka akan terulang lagi terhadap
diri kalian." Dengan sebelah goloknya lagi ia lancarkan ke bagian muka.
"Bweeet...!" Amarsa Rawut keburu nunduk. Dalam keadaan merunduk itu ia
melepaskan dua tinjunya sekaligus.... "Deeeer! Tepat menghantam tenggorokan.
Durjana Pemenggal Kepala memekik.
Mendapat hantaman seperti itu, manusia ge-
muk hanya terdorong dua langkah ke belakang. Amar-
sa Rawut sendiri merasakan kedua tinjunya menghan-
tam benda yang sangat keras. Nampak manusia ge-
muk itu menyusun kekuatannya lagi dengan mengatur
nafas. Amarsa Rawut yang sudah kepalang tanggung
melancarkan serangan, tidak memberi kesempatan la-
gi. Saat Durjana Pemenggal Kepala menyilangkan ke-
dua lengannya di atas dada. Amarsa Rawut menerjang
dengan sebuah tendangan dahsyat.... "Hraaaat....
Deeeer!" Tubuh Durjana Pemenggal Kepala jatuh berdegum menyemburkan darah.
Begitu juga dengan
Amarsa Rawut. Tubuh gemuk itu menggapai-gapai seperti ingin
menyampaikan sesuatu lewat mulutnya. Tapi sua-
ranya tidak keluar. Kecuali darah terus menyembur.
Dalam pada itu Amarsa Rawut meraih golok besar
yang tergeletak di tanah.
Wintara yang menyaksikan pertarungan itu su-
dah dapat menduga apa yang akan dilakukan Amarsa
Rawut. Maka saat Amarsa Rawut mengangkat golok itu
ke atas mengarah ke batang leher manusia gemuk,
Wintara memejamkan matanya.
"Craaak...!" Terdengar suara golok besar itu menghantam sesuatu dengan keras.
Wintara membuka
matanya lagi. Ia melihat tubuh gemuk tanpa kepala ke-
lojotan. Dari tenggorokannya yang kutung menyembur
darah bagai air mancur. Kutungan kepala itu sudah
berada di bawah kaki Amarsa Rawut. Laki-laki itu ter-
senyum memandang Wintara.
"Hutang darah ini sudah lunas, Sobat Wintara.
Aku puas pembunuh ayahku dapat tewas oleh tangan-
ku...." Suara Amarsa Rawut parau penuh semangat.
Wintara balas tersenyum.
"Dengan tewasnya setan Durjana Pemenggal
Kepala, baik setiap perguruan maupun para pendu-
duk kampung tidak akan resah lagi. Kau hebat, Sobat
Amarsa Rawut." Wintara memuji. Ia bergidik saat melihat Amarsa Rawut memungut
kutungan kepala itu,
kemudian membungkusnya dengan selembar kain
yang diperoleh dari seorang anak buah Durjana Pe-
menggal Kepala.
"Kutungan kepala ini untuk kujadikan peringa-
tan bagi setiap tokoh sesat yang merecoki dunia persilatan." kata Amarsa Rawut
selesai membungkus.
"Ada baiknya juga!" jawab Wintara.
* * * Hujan deras bukan halangan bagi Basu Dewa
maupun Ambali Songka yang menelusuri jalan berba-
tu. Tubuhnya sudah basah kuyub. Sorot mata mereka
jalang memandang lurus ke arah sebuah bangunan
yang dikelilingi pagar bambu setinggi tiga meter.
Saat mereka mendekati bangunan itu, mereka
menarik kapak dari pinggangnya. Langkahnya diperce-
pat. Maka dengan sebentar saja mereka sudah berdiri
di depan pintu gerbang. Di atas pintu itu tergantung
selembar papan yang bertuliskan "Perguruan Penjuru Angin'. Setelah membaca
tulisan itu Basu Dewa membuang ludah.
Seperti biasa Basu Dewa selalu membuka pintu
dengan hantaman kapak mautnya. Sekali sabet pintu
gerbang terbelah dua menjadi lebar. Maka keduanya
dapat masuk dengan langkah-langkah yang menapak
pada tanah becek. Hujan bertambah deras saat mereka
mendekati bangunan yang nampak sunyi.
Ambali Songka maupun Basu Dewa membela-
lakkan mata. Di depan teras bangunan telah bergelim-
pangan mayat-mayat hampir membusuk. Keadaan se-
kitar situ tidak ubahnya seperti medan pertempuran.
Jendela serta pintu telah hancur berserakan.
Keduanya melangkah masuk. Kapak mereka
bergerak menyibakkan puing-puing berserakan yang
menghalangi langkah mereka. Ruangan itu pun telah
penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan. Bau bu-
suk sangat santer di sekitar tempat itu. Namun mereka seakan tidak perduli.
Langkah-langkah mereka semakin masuk ke dalam.
Di sudut ruangan yang agak rapi mereka me-
nemukan sosok tubuh tanpa kepala menggeletak ter-
lentang. Kira-kira jarak dua meter kutungan kepala
yang telah membiru tergeletak pula. Pada dinding
ruangan itu tertera tulisan berwarna merah darah...
"Durjana Pemenggal Kepala...." Seketika itu juga Basu Dewa mengamuk. Ia
menendangi apa saja yang ada di
ruangan itu. Kapaknya juga berkelebat menghancur-
kan perabotan hingga hancur berkeping-keping. Amba-
li Songka repot mengatasi amukan kakaknya ini.
"Siapa yang berani mengaku dirinya Durjana
Pemenggal Kepala! Siapa...!" Kapak Basu Dewa terus menghancurkan.
"Kakang... tahan. Tidak guna mengamuk seper-
ti itu...!" Ambali Songka menghantamkan kapaknya.
Benturan itu sangat dahsyat. Sampai menimbulkan
suara yang membledar. Ketika itu pula Basu Dewa ter-
sadar dengan nafas yang kian memburu....
"Kita telah kehilangan sasaran, Ambali Songka!
Seseorang sudah mendahului kita!" kata Basu Dewa setengah membentak.
"Perjanjian kita tinggal dua hari lagi terhadap Eyang Tumbal Segara. Kau pun
tahu akibatnya bila kita sampai terlambat me-
nyerahkan sebuah kepala untuknya." kata Basu Dewa lagi. "Kenapa mesti grabak
grubuk begini. Kita bisa mencari korban lainnya. Kita cari saja si Amarsa Rawut
keparat!" Ambali Songka mengeluarkan pendapat.
"Soal korban mudah kita cari. Siapa pun kita
dapat mencarinya hari ini. Yang tak habis pikir adanya seseorang menggunakan
nama Durjana Pemenggal Kepala. Siapa dia sebenarnya" Apakah dia juga orang
persekutuan Eyang Tumbal Segara." jawab Basu Dewa.
Matanya tetap jalang penuh kekesalan.
"Hal itu mudah kita tanyakan nanti pada Eyang
Tumbal Segara. Mengingat waktu perjanjian kita yang
sudah mendesak ini, sebaiknya kita datangi Perguruan
"Guci Perak". Serahkan saja kepala Amarsa Rawut pa-da Eyang Tumbal Segara. Maka
semuanya akan berja-
lan lancar." Ambali Songka menenangkan hati Basu Dewa.
* * * 8 Sejak kepergian Amarsa Rawut, gadis Nalantili
jadi kelimpungan sendiri di perguruan. Ia merasa kha-
watir sekali akan sesuatu yang terjadi pada diri Amar-sa Rawut. Murid-murid yang
lain jarang melakukan
kegiatan latihan. Mereka hanya berjaga-jaga melin-
dungi perguruan dari tangan jahil. Kalau saja Amarsa
Rawut tidak berpesan agar Nalantili mengurus pergu-
ruan, mungkin gadis itu sudah nekad menyusul.
Selama peristiwa itu pula banyak guru-guru
besar dari perguruan lain menyambangi. Juga untuk
mendengar berita terjadinya peristiwa yang melanda
Perguruan 'Guci Perak'. Seperti halnya dari Partai
'Gunung Kembar' dan Pendekar 'Gelugut Sutra'. Mere-
ka sengaja menetap di situ guna menyelidiki kejadian
tersebut. Dalam hal ini Nalantili mendapat dampratan
yang tidak dapat dielakkan. Mereka menyalahkan ga-
dis itu membiarkan Amarsa Rawut pergi sendiri.
"Amarsa Rawut adalah pewaris tunggal Pergu-
ruan 'Guci Perak'. Dia hanya mengantarkan nyawa bila
nekad bertemu dengan si Durjana itu. Ki Raka Banja-
ran dan Liung Sanca saja tidak mampu mempertahan-
kan selembar nyawanya. Seharusnya kau menahannya
waktu anak tolol itu pergi." kata Pendekar Gelugut Sutra. Nalantili yang duduk
di hadapan dua pendekar itu tidak menjawab.
"Tidak tahukah kau, selain Guci Perak dan Bu-
kit Sampar, Perguruan 'Pedang Penjuru Angin' di Sela-
tan sana sudah hancur pula. Entah siapa lagi yang
akan dihancurkannya." sambut Pendekar dari Gunung Kembar.
"Kalau sudah begini, ke mana harus kita cari
anak tolol itu" Menunggunya pulang" Paling-paling ki-
ta akan menemuinya nanti setelah berada di neraka."
kata Pendekar Gelugut Sutra sengit.
"Paman... aku sudah berusaha menahannya.
Tapi Kakang Amarsa Rawut sukar dibendung. Mati hi-
dupnya untuk mencari Durjana Pemenggal Kepala."
Nalantili membela diri.
Jawaban Nalantili tepat. Dia hanya seorang
murid seperti yang lainnya. Mana berani ia memban-
tah keinginan Amarsa Rawut. Apalagi dalam keadaan
seperti pada waktu itu. Pendekar dari Gunung Kembar
dan Pendekar Gelugut Sutra tidak bisa menyalahkan-
nya terus. "Dengan adanya paman berdua di sini, tidak
akan menyelesaikan persoalan. Kenapa paman berdua
tidak mencari durjana itu saja. Toh dia pula yang se-
benarnya yang menjadi masalah."
"Dengar, Nalantili. Kami berdua tidak memiliki
perguruan apa pun. Tidak ada yang perlu kami jaga
selain diri kami. Kalau kami berdua berada di sini, bukan berarti kami
bersembunyi dari ancaman Durjana
Pemenggal Kepala. Tapi justru akan menjaga keutuhan
perguruan ini."
"Terima kasih atas budi baik paman selama ini.
Menurut hematku, kita memang tidak perlu berdiam
diri. Sekarang kita sudah bergabung. Alangkah baik-
nya jika kita bersama-sama mencari Amarsa Rawut.
Mustahil jika mati hidupnya tidak kita temukan."
"Kau benar, Nalantili. Kita-kita memang sudah
sepantasnya memikul tugas ini, Amarsa Rawut perlu
kita cari. Sukur-sukur kalau dalam pencarian kita bertemu dengan Durjana
Pemenggal Kepala. Kita bisa
membuat perhitungan." kata Pendekar Gunung Kem-
bar penuh semangat.
"Suruh semua murid-murid Perguruan 'Guci
Perak' bersiap-siap. Kita akan berangkat hari ini juga, karena...." ucapan
Pendekar Gelugut Sutra terputus.
"Duaaar...!" Mendadak pintu gerbang di dobrak
orang. Ketiga orang ini segera menoleh ke arah suara
keributan itu. Mereka melihat orang-orang Perguruan
Guci Perak' berlarian menuju pintu gerbang yang su-
dah terbuka lebar.
Mata Nalantili membelalak lebar. Sosok Basu


Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa dan Ambali Songka berdiri angkuh di tengah-
tengah pintu. Murid-murid Perguruan 'Guci Perak'
yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang itu
menghadang. Lebih terkejut lagi saat dua kakak bera-
dik itu langsung mengamuk menggunakan kapak-
kapaknya. Leretan-leretan sinar biru membersit menghan-
tami setiap tubuh orang-orang 'Guci Perak'. Saat itu
pula Nalantili berlari ke luar disusul oleh Pendekar
'Gunung Kembar' dan Pendekar Gelugut Sutra. Ketika
mereka sudah berada di luar. Murid-murid Perguruan
Guci Perak banyak yang bergelimpangan bersimbah
darah. "Suruh keluar tuan muda kalian si Amarsa Rawut! Jangan bersembunyi macam
anjing tumang!" teriak Ambali Songka, sabetan kapaknya tidak pernah
berhenti. Melihat kemunculan Basu Dewa dan Ambali
Songka di depan mata Nalantili, gadis itu merasa ter-
bakar oleh api yang paling panas. Serta merta ia menarik gagang pedangnya. Dua
pendekar yang berdiri di
sampingnya tidak bisa menahan.
Hanya dengan sekali lesatan ia sudah berhada-
pan dengan kedua orang yang pernah menyakitinya.
Bahkan tanpa banyak bicara lagi pedangnya berkele-
bat menyambar tanpa ampun.
"Kalian minggir semua. Keparat-keparat ini biar
mampus menembus di pedang ku!" perintah itu ditujukan para orang-orang Guci
Perak. Sambaran pedang
Nalantili ditepis dengan hantaman kapak Basu Dewa...
"Traanng...!" Tubuh Nalantili terhuyung, seperti ada getaran tenaga dalam
mendorongnya. "Perempuan laknat! Kami sudah tidak tertarik
lagi dengan tubuh molekmu, Nalantili. Aku hanya ter-
tarik dengan kepalamu! bentak Basu Dewa mele-
paskan babatan kapak tanpa ampun ke arah Nalantili.
Kalau ia tidak cepat berguling di tanah, kepalanya sudah copot.
"Tapi kami ke mari hanya untuk memenggal
kepala Amarsa Rawut!" Babatan kapaknya kali ini lebih dahsyat, sampai
menimbulkan suara angin yang
menderu. Nalantili jatuh bangun menghindarinya.
Melihat itu pun pendekar dari Gunung Kembar
dan Pendekar Gelugut Sutra tidak tinggal diam. Kedu-
anya serempak menerjang menghalangi serangan Basu
Dewa. Mendapat bantuan dari dua pendekar ini, Na-
lantili mendapat kesempatan untuk segera bangkit
kembali. Hantaman kedua pendekar itu bergulung-
gulung mematahkan serangan Basu Dewa. Manusia
persekutuan Eyang Tumbal Segara ini tidak kalah ge-
sit. Basu Dewa menyambut serangan-serangan mereka
dengan babatan kapak... "Bweet!" Maka sinar kebiruan membersit. Dua pendekar
sakti ini sampai blingsatan
melompat mundur. Nalantili menerjang lagi dengan
pedangnya. "Kalau Kakang Amarsa Rawut tahu, kalian tak-
kan diberi ampun!" bentak Nalantili mendorong pedangnya ke depan.
"Suruh dia ke luar!" jawab Basu Dewa, kapaknya menangkis tusukan pedang. Kembali
Nalantili ter- huyung. Sementara itu Ambali Songka gencar mele-
paskan serangan. Orang-orang Perguruan 'Guci Perak'
tidak ada yang sanggup menahan, apalagi membalas
serangan. Sebagian mereka sudah bergelimpangan
tanpa nyawa. Keadaan mereka sangat mengerikan. Pe-
rut dan tenggorokan mereka robek mengucurkan da-
rah. Ada juga yang kepalanya terbelah dua.
Nalantili dan dua pendekar ini menjadi serba
salah. Mereka bertiga saja hampir tidak sanggup
menghadapi Basu Dewa. Niat mereka malah ingin
membantu murid-murid "Guci Perak". Sudah tentu murid-murid dari Perguruan 'Guci
Perak' tidak akan
mampu menghadapi amukan Ambali Songka. Akhirnya
ketiga jago ini serempak melesat meninggalkan Basu
Dewa. Mereka langsung menggempur Ambali Songka.
Tanpa gentar pula Ambali Songka menghadap mereka.
"Kalian menyingkir dari sini. Biar dua cecunguk
ini menjadi urusan kami!" perintah Pendekar Gunung Kembar. Maka murid-murid
'Guci Perak' segera menyingkir dari pertempuran. Terjadi pertarungan dua
lawan tiga. Pukulan Pendekar Gelugut Sutra bergulung-
gulung mencecar. Dari hantaman-hantaman itu seperti
keluar serat-serat keputihan menjerat. Namun meng-
hadapi babatan-babatan kapak Ambali Songka, serat-
serat itu sama sekali tiada artinya. Malah... "Craas!
Wuuaaaa...!" Pendekar Gelugut Sutra menjerit keras.
Babatan kapak Ambali Songka menyambar putus ke-
dua lengannya. Tubuh Pendekar Gelugut Sutra meng-
gelepar-gelepar di tanah.
Pendekar Gunung Kembar dan Nalantili masih
mempertahankan serangannya. Basu Dewa tertawa
menggelak-gelak melihat mereka keteter. Entah sudah
berapa jurus yang dikeluarkan Nalantili maupun Pen-
dekar Gunung Kembar. Hal itu membuat gadis Nalan-
tili menjadi bingung. Kemampuan Basu Dewa dan Am-
bali Songka sungguh berbeda dengan dulu.
Pendekar Gunung Kembar yang terkenal
tangguh merasa tak berkutik. Serangan-
serangan kapak Basu Dewa gencar bagaikan kitiran
angin. Nalantili sendiri repot menghadapi Ambali
Songka. Gadis itu merasa di permainkan.
Yang lebih celaka lagi, Pendekar Gunung Kem-
bar mulai jatuh bangun menghindari serangan Basu
Dewa. Lelaki cukup umur itu tidak menyangka akan
kehebatan pemuda-pemuda itu. Sampai-sampai ia
sendiri tidak berdaya menghindari sambaran kapak
menghantam perutnya... "Bresss!" Pendekar Gunung Kembar tewas seketika. Isi
perutnya menghambur ke
luar. Nalantili memekik, ia terjatuh kena sambaran
angin kapak Ambali Songka.
"Hua ha ha ha.... Apakah si Amarsa Rawut te-
lah menjadi seorang pengecut" Mana dia" Kenapa
hanya gundiknya dan orang-orang tolol ini yang harus
menghadapi kami si Durjana Pemenggal Kepala! Hua
ha ha ha...!" Ambali Songka berdiri mengangkang. Nalantili terlentang pasrah.
Tulang-tulangnya terasa remuk. "Kalau si keparat Amarsa Rawut tidak muncul,
penggal saja kepala perempuan sialan itu!" perintah Basu Dewa.
Baru tahulah sekarang Nalantili. Siapa sebe-
narnya Durjana Pemenggal Kepala. Kehebatan Basu
Dewa dan Ambali Songka tidak diragukan lagi. Terbuk-
ti mereka dapat mengalahkan Pendekar Gunung Kem-
bar dan Pendekar Gelugut Sutra. Dari mana dua ce-
cunguk itu mendapat ilmu yang demikian dahsyat.
Dan lagi kapak-kapaknya itu yang membuat mereka
tak berdaya sama sekali.
Basu Dewa mengangkat kapaknya, Nalantili
memejamkan mata. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ka-
pak putih berkilat itu mengarah menyilaukan pada
tenggorokan gadis yang terlentang di bawah kangkan-
gan Ambali Songka. Basu Dewa menyeringai menatap
dengan kedua sorot mata yang jalang.
"Basu Dewa...!" Terdengar bentakan yang
menggema. Suasana hening. Basu Dewa menghentikan
niatnya. Mereka serentak menoleh ke arah suara. Di
tengah-tengah pintu gerbang berdiri Amarsa Rawut
bersama Wintara. Lengan kekar Amarsa Rawut men-
jinjing bungkusan kain berlendir.
"Bagus akhirnya kau muncul juga, Amarsa Ra-
wut! Memang kaulah yang kami cari!" ujar Basu Dewa.
"Sudah memiliki kepandaian tinggi rupanya ka-
lian, sehingga berani datang mengusik ketenangan
Perguruan 'Guci Perak'." jawab Amarsa Rawut tak kalah lantangnya la dapat
melihat bagaimana Pendekar
Gunung Kembar tewas mengerikan dan Pendekar Ge-
lugut Sutra masih kelojotan kehilangan dua belah tan-
gannya. "Kepandaian kami sebenarnya tidak berubah, Amarsa Rawut. Cuma bedanya
sekarang kami telah
mendapat gelar dari kalangan rimba persilatan. Mereka sudah menyebut kami
sebagai Durjana Pemenggal Kepala!" jawab Basu Dewa. Mendengar itu Amarsa Rawut
melotot. "Kenapa" Takut mendengar julukan kami?" ujar Ambali Songka.
"Segala kutu busuk macam kalian apanya yang
perlu ditakuti" Juga berani-beranian kalian pasang
nama Durjana Pemenggal Kepala. Durjana itu sudah
pindah ke akherat! Kalian lihat ini!" Amarsa Rawut melemparkan bungkusan kain
berlendir ke hadapan Basu
Dewa dan Ambali Songka. Tanpa menyambutnya
bungkusan itu berhenti dan terbuka di hadapan kakak
beradik ini. Terlihatlah kutungan kepala botak menge-
rikan. "Hua ha ha ha...!" Basu Dewa malah tertawa ngakak, lalu...
"Kalau tikus botak ini mengaku Durjana Pe-
menggal Kepala, kalian boleh menyebut kami biang
Durjana Pemenggal Kepala." Basu Dewa menggedor-
gedor dadanya sendiri dengan kapak.
* * * 9 "Si botak ini hanya perampok picisan! Kepan-
daiannya hanya mampu untuk menakut-nakuti
orang-orang kampung. Mana mungkin dia bisa mene-
waskan Ki Raka Banjaran maupun Liung Sanca?"
sumbar Ambali Songka.
"Kalau begitu...." Amarsa Rawut menarik ga-
gang pedang. Wintara yang berdiri di sebelahnya me-
nahan. "Sobat Amarsa Rawut, kendalikan emosi mu.
Mereka bukan orang-orang sembarangan." bisik Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini
sudah dapat melihat ge-
lagat. Amarsa Rawut sendiri menatap kedua kakak be-
radik ini penuh rasa keheranan. Bagaimana tidak" Ia
masih ingat betul ketika ia menghajar Basu Dewa dan
Ambali Songka di hadapan Liung Sanca dan ayahnya.
Ambali Songka telah kehilangan sebelah telinga dan
bibir yang hampir sapat. Juga
Basu Dewa. Sebelah kelopak matanya hampir
pecah. Tapi yang dilihatnya sekarang, benar-benar
mustahil. Tiada bekas-bekas mereka cacad.
"Sekarang sudah jelas persoalannya. Aku me-
mang telah terkecoh dengan si botak ini. Tapi paling
tidak aku sudah menumpas seorang tokoh sesat yang
merugikan masyarakat. Sekarang giliran kalian yang
mesti dibumihanguskan!" gertak Amarsa Rawut. Ia tidak perduli lagi dengan
Wintara. Gerakannya cepat
maju ke depan dengan babatan pedangnya.
"Tolol. Justru kami datang ke sini untuk men-
gambil kepalamu!" tukas Basu Dewa. Serta merta ia melemparkan kapaknya. Kapak
itu menyambari ke
arah Amarsa Rawut juga Wintara. Dua pendekar ini
blingsatan menghadapi sambaran kapak.
Dapat kembali pula kapak itu ke dalam geng-
gaman Basu Dewa. Hal itu bagaikan pertunjukan yang
sangat luar biasa bagi Wintara. Amarsa Rawut tidak
tahu kapan datangnya kapak Basu Dewa datang. Ta-
hu-tahu saja kapak Basu Dewa menyambar lagi ke
arah mukanya. Gesit Amarsa Rawut menangkis dengan baba-
tan pedang... "Traaang...! Pletaaak!" Benturan itu membuat Amarsa Rawut
terhuyung ke belakang dengan pedang yang patah. Saat itu datang pula Ambali
Songka melepaskan sambaran kapak yang tidak kepa-
lang.... "Breeet!" Dalam keadaan yang terhuyung begitu lengan Amarsa Rawut
tergores. Melihat itu pun Wintara langsung melompat
menyambar tubuh Amarsa Rawut. Gerakannya bagai-
kan rajawali menyambar mangsa. Dua babatan kapak
menyusul deras. Namun tetap nihil. Wintara dapat
membawa jauh tubuh Amarsa Rawut. Pada kesempa-
tan itu Nalantili dapat berlari menghindar. Basu Dewa dan Ambali Songka menatap
sengit. M "Pendekar Gembel! Rupanya kau ingin cepat-
cepat mampus berani menghalangi kami!" Dua kakak beradik ini menyerang serempak.
Babatan-babatan
kapak bergulung-gulung menghantam. Sinar-sinar bi-
ru membersit kian ke mari. Sebelum Wintara mengha-
dapi serangan-serangan itu. Terlebih dahulu ia melancarkan pukulan ringan. Dan
sengaja pula diarah-
kan pada Amarsa Rawut. Hal itu bertujuan agar Amar-
sa Rawut dan Nalantili segera menjauh.
Menghadapi sendirian begitu, Wintara agak ter-
sentak. Dua sambaran kapak hampir saja menebas
kepala serta merobek perutnya. Selama mundur itu
pula Basu Dewa gencar melepaskan babatan kapak.
Sinar kebiruan terus bergulung mencecar. Ambali
Songka lebih sengit lagi, terkadang ia harus melompat-lompat menyambar kepala.
Wintara baru menyadari
kedahsyatan serangan-serangan mereka.
Melihat Wintara keteter macam itu, Amarsa
Rawut datang membantu. Terjangannya bagai orang
yang kesetanan. Ia tidak memikirkan resiko yang san-
gat besar. "Sobat Wintara...! Cecunguk-cecunguk ini ba-
gianku!" Nekad pula Amarsa Rawut menyerang tanpa senjata. "Akulah lawanmu,
Amarsa Rawut! Kau memang harus menyusul ayahmu!" bentak Ambali Songka. Ia
bergeser menghadapi Amarsa Rawut. Belum apa-apa
Amarsa Rawut sudah jatuh ke banting.
Wintara cepat menepis sambaran kapak Basu
Dewa. Pemuda itu bergetar tatkala hantaman Wintara
mengenai pergelangan tangannya. Wintara mundur ti-
ga langkah lalu menggabung kedua telapak tangannya.
Dengan teriakan yang lantang ia melancarkan pukulan
'Tinju Bayu Delapan Penjuru'. Hantaman itu diarahkan
pada Ambali Songka yang gencar mengarah tenggoro-
kan Amarsa Rawut..... "Daarr...!" Mendadak tubuh Ambali Songka terbanting
ambruk. Namun hanya dengan sekali sentakan ia dapat bangkit lagi. Dengan ge-


Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ram ia membalas serangan itu pada Wintara.
Kembali Wintara menghadapi dua kakak bera-
dik. Keduanya beringas mencecar. Leretan-leretan si-
nar biru yang berasal dari kapak-kapak mereka me-
nyelubungi tubuh Wintara. Amarsa Rawut sudah
membayangkan perasaan ngeri. Wintara terus berke-
lit. Sungguh dahsyat! Babatan-babatan kapak yang
mengganas sama sekali tidak dapat mengenai saat
Wintara berkelit.
Malah dalam kesempatan itu Wintara sempat
melepaskan hantaman 'Bayu Menghempas Gelom-
bang'. Tak urung kedua kakak beradik itu terhuyung
oleh suatu tenaga dalam paling dahsyat.
Belum pernah dua kakak beradik ini menda-
patkan lawan yang dapat menggoyang diri mereka.
Maka dengan kemurkaan yang tak terbendung, kedu-
anya serempak melemparkan kapak-kapak mereka.
Senjata-senjata yang berputar bagai bumerang. Winta-
ra melesat ke atas.
Namun kedua kapak yang masih mencari
mangsa itu terus meluncur menyilang. Tak terduga pu-
la oleh Amarsa Rawut. Tiba-tiba senjata-senjata itu
mengarah padanya. Maka ia pun mundur sambil me-
lompat, tapi... "Aaaaaargt!" Salah satu kapak itu menghantam putus kedua kaki
Amarsa Rawut. Wintara membelalak. Saat kapak-kapak itu mengarah lagi
menghantam tenggorokan Amarsa Rawut. Pendekar
Kelana Sakti ini bergerak bagai angin. Kakinya menen-
dang keras salah satu kapak itu.
"Bweeett...!" Amarsa Rawut selamat. Kapak itu berbalik sangat cepat pada Ambali
Songka.... "Jbreeeet!" Saking cepatnya Ambali Songka tidak dapat menangkap
Kapak miliknya terus meluncur menghantam
putus kepalanya sendiri. Tubuh itu pun langsung kelo-
jotan bagai ayam disembelih.
Kutungan kepalanya menggelinding di bawah
kaki Basu Dewa. Laki-laki ini menatap dengan mata
yang membelalak. Ia tidak percaya melihat kutungan
kepala adiknya berada di bawah kakinya....
"Kakang Basu Dewa.... Toloooong...." Kutungan kepala Ambali Songka masih bisa
mengeluarkan suara
meskipun pelan.
Saat itu Wintara memapah tubuh Amarsa Ra-
wut. Putra tunggal majikan Perguruan 'Guci Perak' itu mengerang-erang menahan
sakit. Tubuhnya banjir
dengan keringat. Selama Pendekar Kelana Sakti ini me-
langkah, kedua matanya tidak lepas mengawasi Basu
Dewa yang seperti bergetar menahan marah.
"Kakang... aduuuuh sakitnya...." kutungan kepala Ambali Songka merintih-rintih.
"Hraaaaa...!" Tiba-tiba saja Basu Dewa berteriak melengking. Tangannya menyambar
kapak bersimbah
darah. Dengan kedua kapak itu Basu Dewa menerjang.
Tahu gelagat begitu Wintara menghentakkan kedua
kakinya melesat mundur.
"Pemuda hebat! Kau boleh menebus nyawa
adikku dengan kepalamu!" Dua kapak Basu Dewa bergerak menyilang. Sambil memapah
tubuh Amarsa Ra-
wut, Wintara sedikit kewalahan menghadapi serangan
itu. Ia tidak bisa membalas kecuali bergeser ke sana ke
mari. "Craasss...!" Sambaran kapak Basu Dewa me-rontokkan beberapa lembar rambut
Wintara yang me-
runduk. Saat itu pun sebelah kaki Wintara mele-
paskan tendangan..... "Deeer!" Telak menghantam perut Basu Dewa mencelat ke
belakang. Menyemburkan
darah. Namun ia masih tetap berdiri menggenggam
erat kedua kapak.
Merasa akan mendapat serangan lagi, terpaksa
Wintara membaringkan tubuh Amarsa Rawut di teras
bangunan. Ketika ia membalik. Basu Dewa sudah me-
nerjang lagi. Kali ini disertai teriakan yang menggelegar.
Wintara sudah bersiap menyambut dengan
hantaman 'Tinju Bayu Delapan Penjuru'.
"Blaaarr...!" Tak ampun tubuh Basu Dewa mencelat ambruk. Tubuhnya bergulingan
menyemburkan darah. Berhenti tepat menghadap kutungan kepala
Ambali Songka. "Kakang.....Aduuuuh.... Aduuuuuh....
"Bruuush..... Mendadak dari kutungan kepala
Ambali Songka mengepul asap hitam. Asap itu bergu-
lung-gulung bagai kabut. Terlintas dalam benak Basu
Dewa untuk melarikan diri.
Wintara dan yang lainnya tidak dapat melihat
dengan jelas. Asap hitam demikian tebal menutupi
pandangan mereka. Namun mereka tetap berhati-hati.
Nalantili menjaga
Amarsa Rawut. Wintara pentang mata. Di sebe-
lah sana Pendekar Gelugut Sutra sudah tidak sadar-
kan diri. Perlahan-lahan asap hitam kian menipis. Pan-
dangan mereka berangsur-angsur mulai jelas. Wintara
mengernyitkan alisnya. Pandangannya dipertajam. Ke-
tika asap hitam benar-benar lenyap. Sosok Basu Dewa
sudah tidak ada lagi di situ. Begitu juga dengan ku-
tungan kepala Ambali Songka. Keduanya raib menghi-
lang entah ke mana. Kecuali tubuh tanpa kepala Am-
bali Songka. "Basu Dewa melarikan diri...! Keparat, aku ti-
dak tahu ke mana perginya!" sergah Wintara. Dia sendiri kurang yakin. Makanya ia
segera berlari ke luar.
Basu Dewa benar-benar telah lenyap.
"Bangsat itu hampir saja membantai kita. He-
bat. Baru kali ini aku melihat anak muda yang memili-
ki ilmu setinggi gunung. Sepak terjangnya bagai iblis haus membunuh!" Wintara
masuk lagi ke dalam. Ia
melihat Nalantili memapah tubuh Amarsa Rawut.
Orang-orang Guci Perak sudah membawa masuk Pen-
dekar Gelugut Sutra yang tidak sadarkan diri.
Pendekar Kelana Sakti ini melangkah lesu me-
masuki perguruan. Nalantili repot menyediakan obat-
obatan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Wintara.
Amarsa Rawut kehilangan kedua kakinya sampai seba-
tas lutut. Juga Pendekar Gelugut Sutra, entah bagai-
mana kalau ia sudah sembuh dalam keadaan tanpa
kedua lengan. Kalau cuma luka-luka dalam Wintara bisa
membantu. Itulah sebabnya Amarsa Rawut bisa berta-
han dari rasa sakitnya. Dan sekarang Wintara berusa-
ha menyadarkan Pendekar Gelugut Sutra.
* * * Langkah Basu Dewa semakin cepat tatkala ia
hampir mencapai puncak bukit. Tujuannya sebuah
bangunan rusak. Kedua tangannya erat menggenggam
dua buah kapak. Matanya memandang beringas. Tidak
bisa dibayangkan kemarahannya itu. Ilmu yang dida-
pati dari Eyang Tumbal Segara ternyata masih juga
ada yang mengalahkannya. Bahkan Ambali Songka ki-
ni telah tewas.
Masih membayangkan pula saat kutungan ke-
pala adiknya mengepul mengeluarkan asap hitam. Ia
tidak percaya saat asap mengepul, kepala adiknya hi-
lang. Merasa tidak akan sanggup mengatasi Pendekar
Kelana Sakti, Basu Dewa sengaja melarikan diri. Tu-
juannya langsung menemukan Eyang Tumbal Segara.
Sekarang Basu Dewa tengah menjajaki anak
tangga batu yang menyusur ke atas sampai pada ban-
gunan. Di kedua sisi tangga batu itu masih banyak
tonggak-tonggak kayu tanpa kutungan kepala. Namun
lebih banyak kutungan-kutungan kepala mengisi pada
tonggak-tonggak yang berderet memanjang sampai ke
pintu bangunan.
Bau busuk menyengat hidung. Basu Dewa ti-
dak perduli. Ia sudah terbiasa dengan aroma yang de-
mikian. Maka langkahnya terus menuju ke atas. Dila-
luinya kutungan-kutungan kepala menjijikkan. Pintu
bangunan menganga lebar. Di sekitarnya tetap berse-
rakan puing-puing. Beberapa meter lagi Basu Dewa
mencapai bangunan tersebut, mendadak saja....
"Kakang Basu Dewa.... Kakang....." Basu Dewa mendengar suara rintihan. Jelas
sekali kalau itu suara Ambali Songka, adiknya. Maka sebelum ia memasuki
bangunan, pandangannya berputar mencari-cari
sumber rintihan adiknya.
"Ambali Songka.... Di mana kau!" Basu Dewa
tidak menemukan siapa-siapa. Matanya terus berkelil-
ing. "Kakang.... Aku di sini...." Rintihan itu bercam-
pur dengan desiran angin. Basu Dewa makin panik
mencari. * * * 10 Mata Basu Dewa membelalak. Yang menjadi
perhatiannya sebuah kutungan kepala yang menancap
pada tonggak paling ujung. Setengah berlari ia kembali turun. Kutungan kepala
itu bergerak-gerak seperti
menyambut kedatangan Basu Dewa.
"Ambali Songka.... Astaga!" Basu Dewa meme-
kik. Ia tidak percaya kutungan kepala adiknya sudah
menancap mengisi tonggak yang kosong.
"Siapa yang membawamu ke mari, Ambali
Songka! Siapa...!"
"Eyang Tumbal Segara.... Beliau yang memba-
waku,... Aduh kakang.... Aku tidak tahan sakitnya...."
Melihat itu Basu Dewa melangkah mundur. Kedua ma-
tanya tertuju pada bangunan lagi.
"Kakang...." Kutungan kepala Ambali Songka
menatap kepergian Basu Dewa memasuki bangunan.
Ruangan dalam bangunan itu tidak pernah be-
rubah. Air kolam dalam bangunan itu tetap hitam ke-
ruh. Saat Basu Dewa memasuki bangunan itu air ko-
lam langsung bergolak membuih. Itu bertanda Eyang
Tumbal Segara sudah mengetahui kedatangan Basu
Dewa. "Eyang, ternyata selama kami bersekutu denganmu hanya sia-sia belaka. Ilmu
yang eyang turun-
kan hanya mencelakakan diri sendiri...." kata Basu
Dewa ia seperti menatap geram pada air kolam yang
bergolak. "Huak hak hak hak...." Terdengar suara yang parau. Air kolam menyembur ke atas
bagai air mancur.
"Kenapa musti aku yang kau salahkan" Justru
kau yang mengulur-ulur waktu. Niatmu selama ini in-
gin membunuh Amarsa Rawut selalu kalian tunda. Pa-
dahal kalau kalian melaksanakan niat itu, tentunya
kalian sudah sempurna mewarisi ilmu dariku." Suara Eyang Tumbal Segara menggema.
"Apa maksud eyang...?" tanya Basu Dewa.
"Hak hak hak hak hak.... Ilmu yang kau miliki
sekarang baru separuh dari ilmu yang kumiliki. Pantas saja kalian masih bisa di
kalahkan oleh seorang pendekar muda itu. Kepadanyalah kalau kau ingin men-
gumbar kemarahan. Bukankah adikmu tewas di tan-
gannya?" "Kenapa Eyang Tumbal Segara setengah-
setengah menurunkan ilmu pada kami. Bukankah
kami sudah bertekad akan mengantarkan sebuah ke-
pala setiap tujuh hari sekali?" tukas Basu Dewa.
"Sudah kukatakan! Seharusnya kau memberesi
Amarsa Rawut dahulu!" jawab Eyang Tumbal Segara
cepat. Kali ini ia menampakkan diri. Sedikit demi sedikit sosok Eyang Tumbal
Segara yang mengenakan ju-
bah hitam muncul dari permukaan air.
"Ada lagi yang akan kutanyakan, Eyang Tumbal
Segara." "Silahkan, Cucuku...." Sosok Eyang Tumbal Segara berdiri mengambang di permukaan
air. " "Adakah orang lain yang bersekutu dengan
Eyang selain diriku" Sebab aku menemukan orang lain
yang mengaku sebagai Durjana Pemenggal Kepala."
"Hak hak hak hak...." Eyang Tumbal Segara ter-
tawa ngakak. Lalu....
"Saat sekarang ini hanya kalian berdua yang
setia bersekutu denganku. Kalaupun ada orang lain
yang mengaku dirinya sebagai Durjana Pemenggal Ke-
pala. Orang itu, hanya menggunakan kesempatan. Ta-
pi tak mengapa. Toh, dia sudah mendapat ganjaran!"
Basu Dewa terdiam. Basu Dewa terdiam. Terin-
gat akan kutungan kepala botak yang ditunjukkan
oleh Amarsa Rawut. Mungkin si botak itu pula yang
menghabisi seluruh Perguruan 'Pedang Penjuru Angin'.
Sehingga ia telah kedahuluan. Pastilah itu perbuatan
si botak dengan mengambinghitamkan nama angker
Durjana Pemenggal Kepala.
"Jangan khawatir, Cucuku. Untuk mencapai
kesuksesan sudah semestinya memerlukan pengorba-
nan. Bagiku pengorbanan Ambali Songka sudah lebih
dari cukup. Aku akan menggenapi seluruh ilmu yang
kumiliki. Dengan demikian kau bisa membalaskan
dendam terhadap pendekar muda itu. Namun hanya
satu pesanku yang selalu kau ingat!"
"Aku akan selalu patuh, Eyang.... Tonggak-
tonggak kayu itu akan kupenuhi dengan kutungan-
kutungan kepala!" jawab Basu Dewa mantap.
"Nah bersiaplah untuk menerima ilmu ku. Se-
lain kau menguasai penuh, kau juga dapat memang-
gilku bila menemui kesulitan. Bukalah bajumu dan
bersila menghadap kolam." Wajah Eyang Tumbal Sega-ra yang gelap tertutup jubah
seolah-olah menatap pe-
muda yang menuruti perintahnya. Kembali ruangan
itu jadi hening. Asap kebiruan keluar dari permukaan
kolam. Peristiwa itu terjadi lagi sama seperti ketika ia bersama adiknya Ambali
Songka datang pertama kali.
Bedanya pikiran Basu Dewa sekarang kalut bercampur
dendam.

Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang.... Akhiri saja persekutuan dengan
Eyang Tumbal Segara.... Kau pun akan mengalami na-
sib yang sama dengan ku...." Sayup-sayup terdengar suara rintihan Ambali Songka.
Basu Dewa sebenarnya
dapat mendengar. Tapi ia tetap acuh.
"Kakang, kau, kau akan menyesal!" Suara itu seakan membisik di telinga Basu
Dewa. Saat itu sinar
kebiruan seperti kabut telah menyelubungi tubuh te-
lanjang bersila. Tawa Eyang Tumbal Segara terus men-
gumandang menggetarkan mengoyak seluruh isi ruan-
gan. * * * "Aaaaaarrrght.... Aaaah.... Aah... Hhh...!" Pendekar Gelugut Sutra menjerit-
jerit saat melihat dua
lengannya sebatas sikut buntung terbalut. Wintara
dan gadis Nalantili berusaha menenangkannya. Dari
rontaan-rontaan itu, lukanya mengeluarkan darah lagi.
"Paman Gelugut Sutra tenanglah.... Jangan ter-
lalu banyak bergerak." Amarsa Rawut juga ikut menyadarkan. Meskipun kini
tubuhnya hanya bersandar
di atas pembaringan. Sakit di kedua kakinya yang
buntung agak berkurang. Namun masih tetap nampak
membengkak. "Tanganku...! Tanganku...!" Pendekar Gelugut Sutra menjerit-jerit. Ia menatap
kedua tangannya sendiri. Darah merembes ke luar.
"Paman lihatlah aku. Kedua kakiku pun bun-
tung. Berterima kasihlah pada sobat Wintara yang te-
lah menyelamatkan kita. Entah bagaimana kalau tidak
ada dia di sini." ujar Amarsa Rawut.
Pendekar Gelugut Sutra memandang ke arah
dua muda mudi yang memegangi tubuhnya. Nalantili
tersenyum, Wintara juga. Pastilah pemuda ini yang
dimaksud Amarsa Rawut, pikir Pendekar Gelugut Su-
tra. "Lebih baik mati daripada terhina macam ini!"
tukas Pendekar Gelugut Sutra.
"Pikiran paman terlalu pendek. Tidak pernah-
kah terpikir oleh paman, bahwa kita semua dituntut
agar melenyapkan Durjana Pemenggal Kepala?" Nalantili memberikan nasehat.
"Benar, Paman. Ini semua sudah takdir. Tanpa
kedua telapak tangan pun, paman bisa melatih ilmu
Gelugut Sutra." Wintara memberikan semangat. Pendekar Kelana Sakti ini seolah-
olah mengetahui keheba-
tan Pendekar Gelugut Sutra.
"Jangan putus asa. Aku pun akan belajar berja-
lan setelah kedua kakiku sembuh. Seorang pendekar
pantang berkecil hati dan putus harapan!" Amarsa Rawut mengeluarkan pendapat.
Pendekar Gelugut Sutra nampak dapat tenang
setelah mendengar ucapan-ucapan mereka. Sebentar
kemudian ia nyengir.
"Sebelum luka-luka kita sembuh, Durjana Pe-
menggal Kepala sudah membantai kita. Dia pasti akan
datang lagi." Pendekar Gelugut Sutra menatap Wintara.
"Soal Durjana Pemenggal Kepala, kita serahkan
saja pada sobat Wintara. Aku dapat melihatnya sendiri bagaimana pendekar muda
ini menghadapi Basu De-wa. Aku yakin hanya sobat Wintara yang dapat menga-
tasinya. Bukankah begitu Kakang Amarsa Rawut?" ka-ta Nalantili.
"Hm, aku sudah menduga sebelumnya, kalau
sobat Wintara adalah seorang pendekar sakti." Amarsa
Rawut memuji. "Sayang aku keburu pingsan waktu itu, sehing-
ga tidak dapat menyaksikan bagaimana hebatnya di-
rimu, Wintara." sela Pendekar Gelugut Sutra. Ia mulai hanyut dalam pembicaraan.
"Ah, kalian terlalu berlebihan." tukas Wintara, lalu dia melanjutkan ucapannya.
"Sepertinya kalian sudah mengenal dua durja-
na itu sebelumnya."
"Memang. Bukankah aku sudah menceritakan-
nya ketika kita pertama kali bertemu" Pasti kau masih ingat." jawab Amarsa
Rawut. "Tapi kau tidak menceritakan akan kehebatan
dua kakak beradik itu. Aku sendiri hampir tewas. Ilmu mereka sangat tinggi. Juga
kedua senjata kapak mereka sangat dahsyat."
"Sebelumnya tidak demikian, Sobat Wintara.
Mereka bukan apa-apa dibanding dengan Kakang
Amarsa Rawut. Mereka pernah dihajar habis-habisan."
Wintara dan Pendekar Gelugut Sutra mendengar penu-
turan gadis Nalantili.
"Aku sendiri tidak habis pikir. Bagaimana
mungkin telinga serta mulut Ambali Songka bisa utuh
kembali. Dan juga masih terlihat jelas olehku, Basu
Dewa menghilang bersama kutungan kepala saat asap
hitam bergulung-gulung menyelubungi mereka."
Amarsa Rawut meneruskan kata-kata Nalantili. Pende-
kar Gelugut Sutra seperti tersentak.
"Benarkah apa yang kalian ceritakan ini?" Pendekar Gelugut Sutra balik bertanya.
Amarsa Rawut te-
nang menjawab....
"Semua orang pun mengetahuinya. Keadaan ki-
ta berdua yang telah begini merupakan suatu bukti
akan kehebatan mereka. Bagaimana pendapat paman."
"Mereka telah bersekutu dengan penganut se-
tan!" Cepat pula Pendekar Gelugut Sutra menjawab.
Ketiganya jadi diam. Kata-kata yang diucapkan pende-
kar itu sangat mengejutkan.
"Tentu saja kalian tidak mengerti. Banyak
orang mencapai keberhasilan dengan jalan sesat. Begi-
tu juga dengan dua durjana itu. Untuk melampiaskan
dendamnya, mereka menjerumuskan diri pada aliran
ilmu setan."
"Maksud paman, mereka memuja ilmu kedig-
jayaan?" tanya Wintara.
"Tepat. Mana mungkin telinga serta mulut Am-
bali Songka dapat utuh kembali, kalau bukan mereka
bersekutu dengan setan! Dalam waktu yang sangat
singkat mereka memiliki ilmu yang sangat dahsyat.
Dan mereka membayar dengan kepala-kepala korban-
nya. Kepala-kepala itu diserahkan pada yang dipu-
janya seperti kita membayar upeti." tutur Pendekar Gelugut Sutra.
"Tapi nyatanya mereka masih dapat di kalah-
kan oleh sobat Wintara. Mereka belum bisa dikatakan
tak terkalahkan." kata Nalantili.
"Mungkin ada yang kurang beres di antara me-
reka." jawab Pendekar Gelugut Sutra.
"Dalam hal ini, kita semua berharap agar sobat
Wintara bersedia membantu kami." tukas Amarsa Rawut. "Apakah paman tahu di mana
tempat pemujaan itu?" tanya Wintara. Pendekar* Gelugut Sutra nampak mengkerutkan
alis. "Sayang sekali aku tidak tahu. Jelasnya kita
semua harus tetap waspada. Juga untuk Wintara, aku
berharap seperti Amarsa Rawut. Tinggallah di sini
sampai kami sembuh betul."
Wintara tidak menjawab. Ia hanya mengumbar
senyum. Setelah menatap Pendekar Gelugut Sutra,
pandangannya beralih ke luar. Orang-orang Perguruan
'Guci Perak' sibuk membetulkan pintu gerbang yang
rusak. Ceceran-ceceran darah di sekitar halaman telah bersih. Tempat itu tetap
rapi seperti semula.
Nalantili segera mengganti balutan pada perge-
langan tangan Pendekar Gelugut Sutra. Setelah itu
pun ia melayani Amarsa Rawut menuangkan ramuan
obat. Hati-hati sekali gadis itu merawat putra tunggal Ki Raka Banjaran.
Nalantili merasa berkewajiban mengurusi Amarsa Rawut. Mungkin dikarenakan ia
pernah diperhatikan oleh Amarsa Rawut saat ia terluka.
Tapi saat ini ketulusan gadis ini benar-benar
terasa oleh Amarsa Rawut. Lewat sentuhan tangannya
yang lentik, juga bagaimana Nalantili merawatnya pe-
nuh kasih. Hal itu dapat terlihat pula oleh Wintara
maupun Pendekar Gelugut Sutra.
Untuk menutupi perasaannya. Ia menyamara-
takan dalam merawat dua orang yang terluka itu. Na-
lantili selalu berada di antara mereka.
* * * 11 Ketika hari merambat gelap seluruh murid-
murid Perguruan 'Guci Perak' berjaga-jaga. Dari pintu gerbang sampai ke depan
teras selalu dijaga ketat. Tidak seperti biasanya halaman perguruan malam itu
te- rang benderang. Hampir sekeliling pelataran di terangi dengan lampu pelita.
Di teras yang menghadap kebun, beberapa
orang nampak terlibat dengan pembicaraan yang se-
rius. Mereka adalah Wintara dan Nalantili yang mene-
mani Amarsa Rawut serta Pendekar Gelugut Sutra.
Mereka sengaja membawa kedua orang yang terluka
itu ke luar. Selama beberapa hari ini mereka selalu
mendekam di dalam kamar. Tentu saja mereka tidak
akan kerasan. Tapi setelah berada di teras itu mereka betul-
betul merasa nyaman. Apalagi Amarsa Rawut. Gadis
Nalantili selalu berada di sampingnya. Setia merawatnya. "Kakang Amarsa Rawut,
apakah tidak sebaik-
nya kalau hal ini kita bicarakan pada perguruan-
perguruan lain" Mereka belum mendapat kabar dari
kita." kata Nalantili, kata-kata itu sebenarnya ditujukan pada siapa saja yang
berada di situ, maka Pende-
kar Gelugut Sutra langsung menjawab....
"Sebaiknya jangan dulu, sebelum persoalan
menjadi jernih kita tidak perlu mengabarkan pada me-
reka. Aku khawatir mereka akan bertambah resah!"
"Apa yang dikatakan Pendekar Gelugut Sutra
adalah benar. Kalau semua perguruan tahu kemuncu-
lan durjana itu mereka pasti akan berdatangan ke sini.
Dan durjana itu tentunya tidak menampakkan diri. Ki-
ta tidak bisa lagi membuat perhitungan." ujar Wintara.
"Dalam keadaan seperti ini, mudah-mudahan
saja Durjana Pemenggal Kepala tidak datang ke sini.
Pasti Basu Dewa tengah terluka juga setelah terkena
hantaman-hantaman sobat Wintara." Amarsa Rawut
ikut bicara. "Aku rasa tidak. Hantaman-hantaman ku tidak
ada artinya bagi Basu Dewa. Kalau waktu itu Basu
Dewa melarikan diri, itu karena ia telah kehilangan
adiknya." jawab Wintara.
"Paman.... minumlah, teh ini telah menjadi din-
gin." Nalantili menyulangi gelas berisi air hangat pada Pendekar Gelugut Sutra.
"Bukan melarikan diri, tapi Basu Dewa merasa
terpanggil untuk kembali ke tempat pemujaannya." ka-ta Pendekar Gelugut Sutra
sambil menerima gelas dari
gadis Nalantili.
"Mungkin juga ia akan datang kembali dengan
ilmu yang lebih dahsyat. Yaaah.... Pokoknya kita harus tetap waspada saja." kata
pendekar itu lagi.
"Semoga saja sobat Wintara mampu mengha-
dapi bila durjana itu datang... Nalantili, kau pun rupanya harus istirahat.
Tidakkah kau merasa lelah se-
tiap hari mengurusi kami. Biarlah kami di sini bersa-
ma Wintara. Dan juga suruh murid-murid jaga bergan-
tian. Tidak perlu mereka semua pentang mata. Situasi
sekarang ini cukup aman." kata Amarsa Rawut. Gadis itu pun tidak membantah. Ia
segera meninggalkan mereka. Menemui murid-murid Perguruan 'Guci Perak'
untuk menyampaikan perintah.
"Kalian pun mestinya sudah beristirahat. Angin
di luar kurang baik." Wintara menyelimuti Pendekar Gelugut Sutra. Amarsa Rawut
dapat menyelimuti tubuhnya sendiri.
"Aku belum bisa tidur, Wintara. Malam ini pe-
rasaanku agak lain. Biarlah aku di sini sendirian,
mungkin Amarsa Rawut yang semestinya beristirahat."
tukas Pendekar Gelugut Sutra.
"Ah, Paman hanya terbawa perasaan saja. Ba-
gaimana dengan Amarsa Rawut" Apakah sudah lelah
betul?" tanya Wintara.
"Ngantuk sih belum. Tapi aku ingin berbaring."
Wintara tidak menunggu lagi. Ia langsung me-
mapah tubuh Amarsa Rawut. Membawanya masuk ke
dalam perguruan. Kaki Amarsa Rawut belum kering
betul. Makanya saat Wintara mengangkat tubuhnya ia
hampir menjerit.
Ruang kamar Amarsa Rawut telah rapi. Juga
tercium aroma yang sedap. Pastilah Nalantili yang
memberesi semua ini. Wintara melangkah menuju
pembaringan. Diletakkannya hati-hati tubuh Amarsa
Rawut. Tubuh tanpa kaki itu terhenyak di atas kasur
empuk. Wintara menutupi semua jendela kamar yang
terbuka. Dari situ dapat terlihat Pendekar Gelugut Sutra duduk menyendiri.
Sebagian murid-murid Pergu-
ruan 'Guci Perak' siap berjaga-jaga. Wintara menghela nafas saat semua jendela
tertutup rapat.
Tapi melalui jendela itu pula Wintara mendadak
tersentak kaget. Dari situ dapat terlihat dua buah sinar kebiruan melayang-
layang di udara. Jelas sekali
kedua sinar itu menuju ke arah perguruan.
"Astaga!" Wintara memekik. "Ada apa, Sobat Wintara?" tanya Amarsa Rawut
keheranan. "Entahlah.... kau diam saja di sini." tukas Wintara seraya ia berlari ke luar.
Kedua sinar itu masih melayang-layang di udara. Bukan hanya Wintara saja
yang dapat melihat. Pendekar Gelugut Sutra pun su-
dah berdiri di pelataran menyaksikan benda-benda
terbang itu. Saat kedua sinar kebiruan itu mendekati per-
guruan, semua murid-murid Perguruan 'Guci Perak'
berlari mundur. Wintara menemui Pendekar Gelugut
Sutra berdiri keheranan.
"Paman, benda apa itu yang menjurus ke mari"
Nampaknya seperti Braja." Pandangannya terus mengawasi kedua benda bersinar
menjurus turun. ,
"Ini pasti perbuatan Basu Dewa. Sudah kuka-
takan dia pasti datang ke mari lagi. Caranya saja se-
perti cara iblis." jawab Pendekar Gelugut Sutra. Lalu keduanya diam. Kedua benda


Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersinar itu lenyap.
"Hati-hati, Paman. Dia sudah menyelinap ke
mari." Mendadak.... "Bruaaak!" Pintu gerbang yang tertutup rapat berderak hancur
berkeping-keping. Dari si-tu muncul lagi dua buah sinar kebiruan. Sinar-sinar
itu langsung menjurus ke arah Wintara dan Pendekar
Gelugut Sutra. Wintara yang tetap waspada segera me-
lindungi Pendekar Gelugut Sutra. Gerakannya yang
sangat cepat melesat jauh menghindari serangan itu.
Kedua sinar itu menghantam tanah. Menimbulkan su-
ara ledakan yang nyaring.
Barulah kedua pendekar itu tahu. Dua buah
sinar itu sebenarnya dua buah kapak yang tajam ber-
kilat. Melihat itu pun Wintara terus membawa tubuh
Pendekar Gelugut Sutra menjauh dari tempat ledakan.
"Paman berlindung saja. Akan ku coba sekali
lagi menghadapi Basu Dewa." sergah Wintara.
"Tidak Wintara. Aku masih bisa menggunakan
kedua kakiku." jawab pendekar tua itu. Wintara tidak bisa menolak.
Tanpa terduga pula kedua kapak itu bagai ter-
kendali menerjang deras. Berdesing nyaring mengarah.
Wintara sudah menyadari kalau dirinya kini
menjadi sasaran. Maka saat kapak-kapak itu mendera
Wintara melesat mundur. Dalam pada itu pun ia mele-
paskan hantaman. 'Bayu Menghantam Gelombang'....
"Hreaaaaa...! Bledaaar!" Hantaman itu tepat mengenai kedua kapak hingga
mencelat. Kapak-kapak
itu terus berputar-putar di udara. Wintara bersiap-siap lagi dengan hantaman
seperti tadi. Namun kapak-kapak itu seakan mundur teratur. Kedua senjata itu
menjauh. Di atas pintu gerbang Basu Dewa sudah me-
nanti kedua kapaknya kembali. Tangkas pula ia me-
nangkapi satu demi satu kedua senjata itu. Lalu ia turun dengan berjumpalitan.
"Kau boleh unjuk gigi di hadapanku, Pendekar!
Nah sambutlah ini.... "Hiaaaa...!" Basu Dewa melemparkan kapaknya lagi.
Sedangkan ia sendiri menerjang
ke arah Wintara. Melihat itu pun Pendekar Gelugut
Sutra langsung mundur.
Menghadapi sambaran kapak yang terbang
sendiri saja Wintara merasa kewalahan. Apalagi Basu
Dewa menyerang dengan babatan-babatan kapak.
Pendekar Kelana Sakti ini betul-betul harus berkelit
mati-matian. Tidak jarang ia melancarkan pukulan
'Bayu Menghempas Gelombang', namun ternyata han-
taman-hantaman itu seperti tidak berarti bagi Basu
Dewa. Ia malah makin gencar melancarkan babatan
kapak. Yang lebih dahsyat lagi kapak yang terbang
dengan sendirinya. Wintara lebih sulit menghadapinya
daripada menghindari serangan-serangan Basu Dewa,
sekarang Wintara merasa betul-betul hampir tidak
mampu menghadapi serangan-serangan itu.
"Kali ini semua orang-orang persilatan akan
bergelimpangan tanpa kepala!" Basu Dewa sengit melancarkan babatan kapak. Saat
itu sebelah kapaknya
yang terbang sendiri telah kembali.
"Boleh saja. Asalkan kau memenggal kepalaku
lebih dulu." jawab Wintara. Ia cepat menunduk. Kedua tangannya siap menghantam.
Namun saat Wintara melancarkan hantamannya lagi, gagal. Dengan gesit Basu
Dewa bisa menghindarinya. Malah sekarang
kedua kapaknya bergulung-gulung mengeluarkan si-
nar kebiruan. Berkelebat ke sana ke mari.
Amarsa Rawut bisa melihat dari atas pembarin-
gan melalui jendela. Betapa ia merasa ngeri melihat
sambaran-sambaran kapak nyaris menghantam putus
leher Wintara. Kalau saja kakinya masih utuh seperti
dulu, mungkin ia sudah datang membantu.
Mendengar suara-suara ribut Nalantili bergegas
ke luar. Dia pun tidak tinggal diam melihat Wintara di-gempur macam itu. Maka
tubuh ramping itu melesat
dengan pedang terhunus.
Wintara sendiri terkejut tahu-tahu gadis Nalan-
tili sudah berada di situ melancarkan serangan. Baba-
tan-babatan pedangnya dapat mengurangi serangan
Basu Dewa. Bukan main marahnya Basu Dewa ini.
Sekali ia menghentakkan kapaknya sinar kebiruan
membersit berdesing. Nalantili gesit menangkis. Na-
mun sambaran angin yang keluar dari kapak itu mem-
buat gadis Nalantili terhuyung ke belakang.
"Perempuan sial! Kau pun bakal mampus!" Ba-
su Dewa melemparkan kapaknya. Kembali kapak Basu
Dewa terbang menyambar. Tentu saja Wintara tidak
membiarkan kapak itu menghantam Nalantili. Kecepa-
tan larinya melebihi kecepatan angin. Tangkas pula
Wintara menghantamkan kapak itu dengan pukulan
'Tinju Bayu Delapan Penjuru'...."Bledaar!" Benturan itu sangat nyaring
menghantam kapak Basu Dewa. Saat
itu pun Nalantili menyampok dengan pedangnya.
Kapak tajam berkilat berbalik menyerang Basu
Dewa. Durjana Pemenggal Kepala ini tidak sempat
menghindar. Tapi ia masih tetap waspada. Dengan se-
gala kekuatannya ia menangkis dengan sebelah ka-
paknya lagi. Maka....
"Jledaaar!" Terjadi ledakan yang paling dahsyat.
Dari ledakan itu mengeluarkan sinar yang amat te-
rang. Lengan Basu Dewa, berdenyut hebat. Ia betul-
betul terperanjat saat melihat kedua kapaknya hancur
menjadi kepingan-kepingan logam di tangannya.
"Kalian keparat semua! Kalian telah menghan-
curkan dua senjata mautku! Kalian akan rasakan aki-
batnya..... "Hraaaat!"
Basu Dewa murka. Ia menerjang Wintara den-
gan telapak tangan yang membara.
"Nalantili, munduuuur...!" bentak Wintara. Ia sudah mengira kalau serangan Basu
Dewa sekarang bakal repot untuk dihadapi. Maka Wintara tidak se-
gan-segan melancarkan pukulan 'Bayu Menghempas
Gelombang'. "Duaaar!" Saat itu pun Basu Dewa melancarkan hantamannya. Bahkan
tepat mengenai dada.
Maka Wintara jatuh bergulingan dengan mulut me-
nyembur darah. Basu Dewa tetap berdiri meskipun
sudah terkena hantaman dari Wintara.
Pendekar Kelana Sakti ini cepat bangkit, na-
mun baru saja ia dapat berdiri Basu Dewa sudah me-
lancarkan sebuah hantaman mengenai kepala....
"Deeer!" Kembali tubuh Wintara bergulingan. Basu Dewa menatap menyeringai, Kedua
lengannya siap menghantam lagi.
Gadis Nalantili menghalangi dengan babatan
pedang. Basu Dewa menyambut dengan kibasan tan-
gannya.... "Bweeeet! Plaaaak!" Tak ampun Nalantili mencelat dan hampir menimpa
tubuh Pendekar Gelugut Sutra, dengan gesit pula pendekar setengah umur
ini dapat menangkap tubuh ramping Nalantili. Ia dapat menjaganya meskipun tanpa
kedua telapak tangan.
Di luar dugaan tubuh Basu Dewa membara.
Sekujur tubuhnya mengeluarkan hawa panas. Saat itu
Wintara duduk bersila menghimpun tenaga inti bayu.
* * * 12 "Kau memang lawanku, Sobat Pendekar. Hada-
pilah jurus terakhir dariku ini. Mati pun aku merasa
puas bila kau benar-benar sanggup menahannya." Ba-su Dewa pentang jurus. Kedua
tangannya yang mem-
bara bergerak-gerak sangat cepat. Bahkan berputar-
bagai kitiran angin sampai mengeluarkan percikan-
percikan api. Wintara tidak punya pilihan. Ia harus terpaksa
pula mengeluarkan jurus yang paling dahsyat. Jurus
'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'. Sebenarnya pantang se-
kali bagi Wintara menggunakan jurus tersebut. Kalau
tidak terpaksa sekali. Karena untuk melepaskan han-
taman itu ia harus menguras habis tenaga intinya. Ka-
lau saja lawannya masih bisa bertahan, maka ia sendi-
ri akan celaka.
"Kita memang harus mati bersama, Basu Dewa.
Biarlah aku mengorbankan nyawa demi kebenaran."
kata Wintara tenang yang diam-diam siap menyambut.
Maka pada detik itu juga...
"Hreaaaa...!"
"Hraaaaat...!"
Keduanya sama-sama melesat ke atas.... Sama-
sama melancarkan hantaman terakhir.
"Bledaaar...!" Baik Wintara maupun Basu Dewa mencelat bergulingan. Sesaat
kemudian Wintara masih
bisa duduk bersila kembali. Basu Dewa bangkit berdi-
ri, tapi ketika ia hendak melangkah. Sekujur tubuhnya mendadak kaku. Tubuhnya
yang merah membara
lambat laun berubah hitam. Bersamaan dengan itu pu-
la Basu Dewa menjerit-jerit...
"Waaaarght! .... Waaaaarght...!" Tubuh hitam kaku Basu Dewa berderak retak.
Pembuluh-pembuluh
darah menonjol ke luar seakan hendak copot dari da-
gingnya. Mendadak saja kepala Basu Dewa mengge-
linding ke tanah. Darah mengucur deras bagai air
mancur dari kutungan kepala di lehernya.
Nalantili bersama Pendekar Gelugut Sutra da-
pat melihat kengerian itu. Wintara nampak duduk ber-
sila kehabisan tenaga. Ia juga menyaksikan kejadian
itu. Amarsa Rawut yang berada di kamarnya ingin ber-
teriak kegirangan melihat menggelinding hangus di ta-
nah. Pendekar Gelugut Sutra berlari mendekati Win-
tara, Nalantili mengikuti dari belakang. Ketika mereka berada di samping
Wintara. Semuanya terbelalak. Mereka hampir tidak percaya menyaksikan tubuh Basu
Dewa yang tetap berdiri mengeluarkan asap hitam ber-
gulung-gulung. Asap itu keluar melalui kutungan leher yang
masih mengucurkan darah. Mereka tidak percaya pula
saat asap hitam itu mulai membentuk sosok tubuh.
Setelah sosok itu benar-benar tampak. Barulah tubuh
Basu Dewa ambruk ke tanah.
Sosok berjubah hitam itu makin jelas terlihat.
Wajahnya yang gelap tertutup jubah seakan menatap
mereka penuh kemarahan.
"Manusia-manusia hebat! Kalian boleh bangga
atas kemenangan terhadap orang-orang persekutuan
ku. Akulah Eyang Tumbal Segara yang tidak bakal
mengampuni kalian! Huak hak hak hak hak...!" Jel-maan asap hitam yang tak lain
sosok Eyang Tumbal
Segara tertawa mengakak.
Tawanya yang mengerikan dapat mengguncang
sekitar tempat itu. Suara tawa yang parau menggema.
Nalantili dan Pendekar Gelugut Sutra tidak sabaran
melihat kemunculan Eyang Tumbal Segara yang ba-
nyak tingkah itu, maka keduanya serempak mener-
jang. Nalantili sigap membabatkan pedangnya berka-
li-kali. Pendekar Gelugut Sutra nekad mengeluarkan
jurus mautnya. Ia lupa kalau kedua telapak tangannya
telah buntung. Namun tanpa disadarinya pula dari ku-
tungan pergelangan tangannya masih dapat mengelua-
rkan serat-serat sutra yang bergulung-gulung merejam
ke arah Eyang Tumbal Segara.
Pendekar Gelugut Sutra ini semakin yakin ka-
lau dirinya masih mampu mengeluarkan jurus-jurus
ampuhnya. Nalantili gencar membabati setiap bagian
tubuh Eyang Tumbal Segara, namun....
"Huak hak hak hak hak...! Ayo kerahkan semua
tenaga kalian sampai ludes! Hayo keluarkan jurus-
jurus ampuh kalian!" Dengan lapang Eyang Tumbal
Segara menerima serangan-serangan itu. Setiap baba-
tan pedang Nalantili dan hantaman Pendekar Gelugut
Sutra seperti menembus di tubuh Eyang Tumbal Sega-
ra. Sosok hitam itu sukar untuk disentuh. Tubuhnya
bagaikan sebuah bayangan.
Namun saat Eyang Tumbal Segara membalas
serangan mereka dengan hempasan kedua tangan.
Dua orang ini mencelat tidak kepalang tanggung. Ke-
duanya menyemburkan darah dan tidak dapat bangkit
lagi. "Huak hak hak hak hak...! Kalian cuma cacing-cacing busuk penghuni tanah!
Mampus saja kalian!"
Eyang Tumbal Segara berniat melancarkan serangan
lagi terhadap mereka yang tergeletak pingsan.
Saat itu pun Wintara berusaha sekuat tenaga
menghalangi. Serangannya lemah bagai tak bertenaga.
Ia terkejut sekali saat tinjunya menembus mengenai
angin. Padahal jelas-jelas hantamannya itu masuk
mengenai dada Eyang Tumbal Segara.
"Huak hak hak hak hak...! Sebenarnya kaulah
yang mesti kulumatkan, Pendekar ingusan! Kau yang
selalu merintangi dua orang persekutuanku....
Hreaaat!" Dengan telengas Eyang Tumbal Segara melepaskan hantaman. Maka
akibatnya sangat fatal. Kea-
daan Wintara yang sangat lemas tak bertenaga itu
mencelat membentur pagar. Hantaman Eyang Tumbal
Segara membuat nafasnya sesak. Ia baru menyadari
kalau lawannya itu hanyalah sebuah mahkluk halus.
Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin Wintara bisa
melepaskan hantaman-hantaman yang merupakan
andalan dari Eyang Buana Penangsang, gurunya.
Maka terlintas ingatannya ketika ia pernah ber-
jumpa dengan seorang perempuan sakti yang mena-
makan dirinya: Nyi Dayang Kunti Naga. (baca: Pemikat
Nyi Sekar Dayang Kunti). Perempuan itu tergolong
makhluk halus pula. Dia pernah berjanji akan mem-
bantu bila Wintara dalam keadaan kesulitan. Mung-
kin sekaranglah saatnya Wintara meminta pertolongan
pada Nyi Dayang Kunti Naga.
Pandangan Wintara nanar menatap Eyang
Tumbal Segara yang datang perlahan tanpa melang-
kah. Sosok berjubah hitam itu seakan terbang di atas
permukaan tanah mendekati Wintara.
"Nyi Dayang Kunti Naga.... Kalau kau memang


Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu menyertai dalam pengembaraanku, datanglah ke
sini. Aku butuh pertolonganmu... Nyi Dayang Kunti...
Nyi Dayang Kunti Naga.... Nyi Dayang Kunti Naga...."
Wintara seperti berbisik. Pikirannya terpusat pada satu
titik. Serta kedua matanya terpejam.
Eyang Tumbal Segara tidak jadi melepaskan
hantaman. Karena dengan tiba-tiba saja angin bertiup
kencang. Di langit yang gelap itu muncul sinar terang berwarna kekuningan
menyilaukan mata.
Sinar kuning itu turun langsung yang ternyata
seorang perempuan cantik bertubuh molek. Namun
masih jelas kelihatan buah dada serta auratnya yang
merangsang. Perempuan itu langsung turun mengin-
jakkan kakinya ke tanah...
"Siapa yang berani mengusik cucuku ini, hah"
Sampai-sampai aku harus turun tangan!" Suara parau Nyi Dayang Kunti Naga meraung
bagai serentetan hali-lintar. Pandangannya menatap tajam ke arah Eyang
Tumbal Segara. "Perempuan jalang apa hakmu mencampuri
urusanku!" bentak Eyang Tumbal Segara.
"Kau tidak berhak untuk melukai cucuku, Apa-
lagi sampai membunuhnya. Maka sebelum kau menu-
runi tangan jahatmu, hadapi dulu aku!" sahut Nyi Dayang Kunti Naga.
"Kalau begitu kita boleh bertarung. Siapa yang
kalah akan menempati neraka paling dasar!" jawab Eyang Tumbal Segara.
"Huh. Apa susahnya menghadapi setan yang
haus akan kepala! Biarlah cucuku sendiri yang akan
menghadapimu!" Setelah berkata begitu tubuh molek Nyi Dayang Kunti Naga raib. Ia
menjelma menjadi sinar kuning lagi. Sinar itu terbang berputar-putar di
udara. Wintara dapat melihat meski dengan pandan-
gan yang suram. Ia tetap diam saat sinar kuning itu
menjurus ke arahnya. Tidak dapat dielakkan lagi saat
sinar kuning itu masuk ke dalam mulut Wintara.
Saat itu pun Wintara tersentak bangun. Kedua
matanya tetap terpejam. Tubuh Pendekar Kelana Sakti
ini berdiri tegap seperti telah mendapatkan tenaga ba-ru.
"Mari tua bangka! Aku ingin tahu siapa yang
bakal mendekam dalam kerak neraka." Jelas suara itu keluar dari mulut Wintara,
tapi yang terdengar suara
perempuan. "Perempuan jalang sok alim! Aku tidak segan-
segan lagi padamu!" Eyang Tumbal Segara menyapu
dengan kedua tangannya.... "Wuuuus!" Wintara cepat menyilangkan kedua lengannya
di dada. Jelas sekali
hembusan angin menghempas. Tubuh pingsan
Nalantili dan Pendekar Gelugut Sutra beterban-
gan bagai segumpal kapas yang terhembus angin.
Kecuali Wintara yang masih bertahan. Dengan
mata yang tetap terpejam Wintara menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan, maka...
"Wuuuus.... Bledaaar!" Eyang Tumbal Segara
terjerembab ke belakang. Wintara terseret mundur oleh hantaman yang sangat
dahsyat itu. Tapak kaki Wintara sampai menggores pada
permukaan tanah. Dalam pada itu pun Wintara tidak
berhenti melepaskan serangan. Kali ini pukulan jarak
jauhnya, "Weesss...! Deeeeerrr...!" Dua kali berturut-turut Eyang Tumbal Segara
mendapat hantaman. Dua
kali pula tubuh berjubah hitam itu jumpalitan.
"Hi hi hi hi hi.... Terhadap cucuku saja kau ti-
dak mampu menghadapinya. Bagaimana bisa mengua-
sai alam fana ini?" ejek Nyi Dayang Kunti Naga. Eyang Tumbal Segara
menggeram.... "Keluar kau dari raga anak muda itu, Perem-
puan jalang!" Serta merta ia melepaskan hantaman.
Entah pukulan apa. Dari hantaman-hantaman itu
membersit dua buah sinar menjurus ke arah Wintara.
Tenang Nyi Dayang Kunti Naga mengendalikan
tubuh Wintara bergeser ke samping. Di luar dugaan
tubuh Wintara melesat ke atas. Eyang Tumbal Segara
menyambuti dengan lesatan tubuhnya pula. Keduanya
saling mendera melepaskan hantaman-hantaman.
Berkali-kali hantaman Eyang Tumbal Segara melanda
tubuh Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini seperti tidak merasakannya. Padahal
darah menyembur ke luar dari
mulutnya. "Tua bangka keparat! Kau hampir membuat cu-
cuku mati! Rasakan ini.... Hreaaa!" Saat itu tubuh Wintara melintir bagai
gasing. Tendangannya mencuat
berturut-turut.
"Des...! Des...! Des...!" Eyang Tumbal Segara memekik. Tubuhnya jatuh
terbanting. Saat itu pun
Wintara menukik ke bawah.... mengarah pada Eyang
Tumbal Segara. "Hadapi pukulan 'Tujuh Warna' ku ini....
Hiaaaa...!" Selama Wintara menukik ke bawah membias sinar sebanyak tujuh warna
bagai pelangi. Eyang
Tumbal Segara sangat terperangah. Ia tidak dapat me-
lihat serangan itu. Karena tujuh warna telah melapisi tubuh Wintara. Tahu-tahu
saja hantaman itu sudah
mendera di tubuh Eyang Tumbal Segara....
"Waaaarrght!" Tak pelak lagi Eyang Tumbal Segara bergelintingan menjerit-jerit.
"Tobaaatt...! Tobaaaat...!" Tubuh Eyang| Tumbal Segara mengkerut bagai lilin.
Menyebarkan bau
yang sangat busuk. Jeritannya makin lama makin hi-
lang bersamaan dengan mencairnya tubuh Eyang
Tumbal Segara. Wintara berdiri mementang jurus yang sangat
aneh. Kedua matanya tertutup rapat. Saat itu pun tu-
buhnya tergetar hebat. Keringat sebesar-besar butir ja-gung mengalir di sekujur
tubuh. Tiba-tiba saja mulutnya menganga lebar. Dari
situ keluar lagi seberkas sinar kuning. Sinar itu men-gapung di atas cairan
berbau busuk. "Iblis yang tidak pernah tobat, beginilah akhir
hidupmu! Rasakan! Tinggallah bersama kerak neraka!"
Sinar kuning itu menjelma lagi menjadi sosok molek
Nyi Dayang Kunti Naga. Perempuan itu mengibaskan
tangannya.... "Weeees...!" Maka cairan busuk itu seperti lenyap tanpa bekas.
Perempuan itu melangkah ter-
senyum ke arah Wintara.
"Wintara.... Sekali lagi aku ikut bersamamu da-
lam menumpas kesesatan iblis. Lain kali jika kau me-
merlukan bantuanku, aku tidak segan-segan datang
membantu."
Wintara perlahan membuka matanya. Tubuh-
nya mulai terhuyung. Lalu jatuh lagi dalam keadaan
berlutut. "Terima kasih, Nyi... Tanpa bantuanmu, entah
apa jadinya." Suara asli Wintara bergetar.
"Justru melalui tanganmu itu aku bisa bertin-
dak. Tanpa kau semua ilmu yang ku miliki tiada ar-
tinya." sahut Nyi Dayang Kunti Naga.
Wintara sudah tidak mendengar lagi. Ia betul-
betul telah menguras tenaganya. Ia hanya dapat meli-
hat bagaimana tubuh Nyi Dayang Kunti Naga perlahan
sirna meninggalkannya.
"Selamat jalan, Wintara. Semoga kita akan ber-
satu lagi...." Sosok itu berubah lagi menjadi sinar kuning, lalu terbang
menembus langit gelap.
Angin berdesir semilir menerpa permukaan ta-
nah pelataran Perguruan 'Guci Perak'. Wintara duduk
seakan tidak dapat bangkit. Matanya memandang ber-
keliling menatapi tubuh-tubuh bergelimpangan.
Nalantili bersama Pendekar Gelugut Sutra be-
lum juga sadarkan diri. Di sebelah sana terlentang tubuh hangus tanpa kepala
Basu Dewa. Amarsa Rawut
yang sejak tadi menyaksikan peristiwa itu di balik jendela berteriak-teriak....
"Sobat Wintara...! Kau tidak apa-apa...?"
"Aku tidak kurang satu apa pun, Amarsa Ra-
wut. Hanya saja sekarang kedua kakiku seperti lum-
puh. Tapi tak mengapa sebentar lagi juga membaik!"
jawab Wintara sambil tidak kalah berteriak.
Ketika suasana telah tenang kembali, barulah
orang-orang 'Guci Perak' berdatangan. Mereka saling
berbicara kagum akan peristiwa yang mereka lihat ta-
di. Mereka memapah tubuh pingsan Nalantili dan
Pendekar Gelugut Sutra. Wintara pun harus dibantu
untuk berdiri. Tapi ia masih bisa melangkah masuk ke
dalam perguruan sambil melemparkan senyum ke arah
orang yang berdiri di balik jendela.
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Ilmu Ulat Sutera 11 Setan Harpa Karya Khu Lung Pedang Ular Merah 9
^