Pencarian

Dua Pendekar Buntung 1

Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide
hanya kebetulan belaka
DUA PENDEKAR BUNTUNG
Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69
H. Samanhudi No.l4, Jakarta-Pusat
Cover oleh: David G.
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit Dilarang mengutip atau
mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Sepagi ini sudah terdengar suara-suara teria-
kan yang menggelegar. Dibarengi dengan suara gera-
kan yang menimbulkan deru angin yang bergulung-
gulung. Jelas suara angin yang menderu-deru itu di-
timbulkan oleh seseorang yang tengah melancarkan
beberapa hantaman. Pukulan-pukulan yang sengaja
diarahkan pada tempat kosong itu justru mengelua-
rkan benturan yang sangat dahsyat.
Setiap kali orang itu menggerakkan kedua tan-
gannya, seperti keluar serat-serat halus siap menjerat.
Gerakan-gerakan dari jurus itu kelihatan sangat hebat.
Dan yang aneh lagi, pendekar yang tengah mementang
jurus ini tidak memiliki telapak tangan. Pergelangan tangannya kutung. Namun
dari situlah serat-serat
yang dinamakan 'Gelugut Sutra' keluar.
Sedangkan tidak jauh dari situ, berdiri puluhan
tonggak setinggi dua meter. Di atasnya tidak kalah
seorang sedang beraksi mengeluarkan jurus-jurusnya.
Orang ini memiliki cacat yang lain. Dengan kedua kaki yang buntung dan
menggunakan dua buah tongkat
masih dapat memamerkan kepandaiannya.
Bahkan ia sanggup berdiri dengan sebuah
tongkat. Dan sebelah tongkatnya lain digunakan seba-
gai senjata. Sambaran-sambaran tongkatnya yang ber-
gerak bergantian tidak ubahnya bagai jurus-jurus pe-
dang. Lompatan-lompatannya yang selalu berpindah-
pindah dari tonggak ke tonggak tidak pernah meleset.
Gerakannya yang lincah membuat semua orang mem-
perhatikan berdecak kagum.
Meskipun cacat tanpa kedua kaki, putra tung-
gal mantan guru besar Perguruan 'Guci Perak' ini se-
karang telah menguasai penuh jurus-jurus pedang
yang sangat ampuh.
Pagi itu semua murid Perguruan 'Guci Perak'
yang berjumlah dua puluh orang berkumpul menyak-
sikan kehebatan dua orang yang tengah beraksi. Sela-
ma ini pula mereka merasa kagum.
Di depan teras perguruan, Wintara bersama
seorang gadis bernama Nalantili turut menyaksikan
juga. Telah dua bulan lewat Pendekar Kelana Sakti ini berkecimpung dalam
lingkungan Perguruan 'Guci Perak'. Berkat pendekar ini pula kedua manusia cacat
ini menempa hidupnya menjadi manusia-manusia tangguh tanpa putus asa.
Sekarang Wintara sudah dapat melihat, dari
kegigihan yang disertai semangat, maka jadilah mereka Dua Pendekar Buntung.
"Paman Gelugut Sutra. Mari kita bermain-main
barang beberapa jurus. Aku ingin tahu sampai di ma-
na kemajuan paman." ujar Amarsa Rawut sambil mementang jurus pedang dengan
tongkatnya. "Sudah jelas kau lebih tangguh dariku, Amarsa
Rawut. Aku yang tua ini sudah tidak bertenaga lagi,
mana bisa mengalahkan mu!" jawab Pendekar Gelugut Sutra. Iapun tidak kalah gesit
memamerkan ilmu andalannya. Sekali lengannya bergerak memutar. Maka
keluarlah serat-serat dari ujung pergelangan tangan-
nya yang buntung.
"Ha-ha-ha-ha... Paman menyerangku lebih du-
lu. Baik. Jagalah ini 'Pedang Seribu Halilintar'...." Tubuh Amarsa Rawut melesat
ke atas meninggalkan
tonggak-tonggak yang berdiri bersusun-susun. Begitu
Amarsa Rawut menginjakkan tongkatnya ke tanah, se-
belah lengannya lagi yang menyandang tongkat berpu-
tar merobek. Pendekar Gelugut Sutra beringsut nun-
duk. "Astaga.... Amarsa Rawut! Kau hampir saja
memenggal kepalaku. Kau tidak main-main rupanya!"
hardik lelaki tangan buntu
"Makanya paman harus sungguh-sungguh. Ayo
tunjukkan kebolehan paman!" Amarsa Rawut terus
memanas-manasi pendekar yang cukup berpengala-
man ini. Saat Pendekar Gelugut Sutra membalas dengan
mengeluarkan jurus Menjaring Bayangan, pendekar
muda berkaki buntung seperti digeluti oleh ribuan serat. Diapun tidak kalah
gesit menyapu hantaman itu
dengan babatan tongkatnya yang laksana pedang.
"Bweeeet...!" Ribuan serat yang semula menjaring di tubuh Amarsa Rawut
berpencaran. Sebenarnya
hantaman Pendekar Gelugut Sutra itu hanyalah meru-
pakan sebuah bayangan. Serat-serat yang dikeluarkan
dari kedua pergelangan tangannya yang buntung tidak
lebih dari hawa tenaga dalam yang sempurna. Bisa ju-
ga dikatakan pukulan jarak jauh. Hanya saja hawa
pukulan itu berbentuk laksana serat halus.
Maka sebelum hantaman itu mengenai tubuh
pendekar tanpa kaki ini, Amarsa Rawut selekasnya
membalas dengan Pedang Menyapu Geledek. Ilmu pe-
dang tingkat tinggi ini sengaja dikeluarkan untuk
menghadapi Pendekar Gelugut Sutra. Agar supaya
pendekar setengah umur ini tidak segan-segan men-
gimbangi dengan jurus-jurus andalannya pula.
"Mau pamer di hadapan Pendekar Kelana Sak-
ti" Boleh! Keluarkan semua ilmu pedang tingkat tinggi mu!" Pendekar Gelugut
Sutra mulai memancing emosi.
"Dalam latihan kita harus bersungguh-
sungguh, Paman. Kau boleh membunuhku kalau per-
lu!" sahut Amarsa Rawut.
Pendekar Gelugut Sutra makin gusar. Kegusa-
rannya ini masih nampak dibuat-buat. Tapi serangan-
serangan yang ia lancarkan benar-benar membawa
maut. Setiap melepaskan hantaman tanpa wujud yang
berupa serat-serat halus, Amarsa Rawut seperti keteter.
Yang paling sukar dihindarkan adalah tendan-
gannya. Berkali-kali Amarsa Rawut mundur kelaba-
kan. Desiran anginnya meskipun pelan, tapi mampu
mengenai sasaran. Rupanya gerakan-gerakan itu sen-
gaja untuk mengelabui lawan.
Tak terduga saat Amarsa Rawut menghindar ke
belakang, sebuah hantaman dapat masuk menggedor
dadanya. Untung saja Amarsa Rawut telah memiliki
ilmu keseimbangan yang hampir sempurna.
Wintara bersama Nalantili yang sengaja mem-
biarkan mereka unjuk kebolehan, sempat tercengang
pula. Dalam keadaan terhuyung Amarsa Rawut dapat
melentingkan tubuhnya setengah memutar. Detik itu
juga ujung tongkatnya menusuk cepat. Pendekar Ge-
lugut Sutra yang merasa tidak mungkin lagi dapat
menghindari tusukan di kepalanya, memejamkan ma-
ta. Ia dapat membayangkan bagaimana sakitnya bila
ujung tongkat Amarsa Rawut menghantam.
Teriakan Amarsa Rawut berhenti. Pendekar Ge-
lugut Sutra membuka matanya. Pendekar kaki bun-
tung ini seperti tersenyum.
"Mana berani aku menghajar kepala paman. Je-
lek-jelek aku masih punya rasa hormat terhadap orang yang paling tua. Sekarang
sudah terbukti. Pamanlah
yang lebih hebat dariku." ujar Amarsa Rawut seraya memberi hormat. Pendekar
Gelugut Sutra tidak menjawab. Malah di saat-saat Amarsa Rawut lengah, ia
mengibaskan dua lengannya sekaligus. Maka pendekar
berkaki tongkat ini mencelat tanpa membalas. Hanta-
man itu tidak bermaksud melukai. Amarsa Rawut sen-
diri merasa tubuhnya seperti diangkat oleh tenaga dalam. Dan tahu-tahu saja ia
sudah hinggap di hadapan
Wintara dan Nalantili. "Sebaiknya memang begitu jika sudah menjadi seorang
pendekar. Merendah dan percaya diri. Kau sudah menguasai penuh jurus-jurus pe-
dang 'Guci Perak'. Jurus Gelugut
Sutra milikku tidak ada artinya sama sekali."
kata Pendekar Gelugut Sutra melangkah menghampiri
mereka. "Paman serta sobat Amarsa Rawut sangat he-
bat. Kalau kalian berdua bergabung, maka akan ter-
cipta jurus gabungan yang sukar di tandingi." Wintara menyambut.
"Apakah luka di kedua kakimu sudah sembuh
betul, Kakang Amarsa Rawut!" Nalantili ikut nimbrung.
"Jangan khawatir! Aku sembuh total." jawab Amarsa Rawut cepat.
"Ah.... Kau selalu memperhatikan dia, Nalantili.
Mentang-mentang aku sudah keriput tidak pernah ada
perhatiannya pada ku!" gurau Pendekar Gelugut Sutra.
Wajah Nalantili memerah. Amarsa Rawut juga jadi sa-
lah tingkah. "Aku yakin di antara kalian ada 'Udang di balik Batu'. Ha-ha-ha-ha...!" Pendekar
tangan buntung itu mengumbar tawa.
Murid-murid 'Guci Perak' yang menyaksikan
pertunjukan luar biasa tadi segera bubar. Mereka
langsung menempatkan posisi masing-masing. Seba-
gian lagi ada yang mengikuti gerakan-gerakan Amarsa
Rawut. Melihat itupun Amarsa Rawut sesumbar.
"Kelak kalian akan kuajarkan semua jurus-
jurus yang kumiliki. Kalian memang harus menguasai
semua jurus-jurus Perguruan 'Guci Perak'. Dari seka-
rang perkuat kembali jurus-jurus dasar yang selama
ini kalian pelajari.... Itulah satu-satunya kunci ilmu
'Guci Perak'...."
"Akupun sekaligus akan mengangkat kalian
semua menjadi muridku. Kelak akan tumbuh ratusan
Pendekar Gelugut Sutra!" kata lelaki setengah tua yang tak memiliki dua telapak
tangan penuh semangat. Itu berarti Pendekar Gelugut Sutra setuju akan usul
Wintara. Mereka berniat akan menggabungkan jurus yang
sangat berbeda. Namun memiliki kehebatan yang sama
dahsyatnya. Mulai saat itu Perguruan 'Guci Perak' seperti hidup kembali. Sisa
murid yang tinggal dua pu-
luh orang itu giat berlatih mengulang jurus-jurus dasar. Mereka baru merasakan.
Betapa banyak keku-
rangan-kekurangan mereka.
Apalagi ditambah dengan jurus-jurus dasar
Pendekar Gelugut Sutra. Mereka betul-betul seperti
yang buta ilmu. Dalam hal ini pula, baik Amarsa Ra-
wut maupun Pendekar Gelugut Sutra setiap malam
bertukar pikiran. Pada ruangan khusus mereka berdua
berlatih menggabungkan jurus-jurus mereka. Ten-
tunya di bawah pengawasan Pendekar Kelana Sakti.
Terhadap Wintara yang selalu mendampingi,
mereka sangat segan. Mereka bukannya tidak tahu
akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti ini. Bisa saja
kedua pendekar Buntung meminta beberapa jurus dari
Pendekar Kelana Sakti. Namun sudah tentu mereka ti-
dak akan sanggup.
Mereka begitu yakin kalau ilmu yang dimiliki
oleh Wintara, tergolong ilmu kelas tinggi. Diam-diam pula Pendekar Gelugut Sutra
yang telah banyak memakan asam garam dunia persilatan merasa kagum.
Kekurangan-kekurangan dalam memperdalam ilmunya
dapat diawasi. Murid untung-untungan Eyang Buana Penang-
sang ini memang tidak pernah menawarkan untuk
memberi pelajaran terhadap Amarsa Rawut maupun
Pendekar Gelugut Sutra. Wintara tahu betul. Untuk
mempelajari jurus-jurus warisan Eyang Buana Pe-
nangsang tidaklah mudah. Akan berakibat fatal dan
menjurus ke arah kematian bila tidak cocok. Wintara
sendiri sampai sekarang tidak bisa memecahkan mis-
teri itu. Hari-hari berikutnya Amarsa Rawut maupun
Pendekar Gelugut Sutra melatih murid-muridnya seca-
ra bergantian. Dalam beberapa hari ini mulai nampak
kemajuan mereka. Selain nampak gigih dan penuh
semangat, mereka betul-betul ingin mengangkat nama
besar Perguruan 'Guci Perak'.
Begitu juga dengan gadis Nalantili. Gadis ini le-
bih bersemangat dalam memperdalam ilmu pedangnya.
Untuk Nalantili ada satu kekurangan. Ia tidak bisa
mendapat pelajaran ilmu gabungan. Jurus-jurus am-
puh Pendekar Gelugut Sutra hanya dapat diterima oleh kaum lelaki. Makanya dalam
mempelajari ilmu pedang
ia begitu penuh Melihat situasi yang bertambah maju, timbul hasrat Wintara untuk
segera meninggalkan mereka. Selama dua bulan lebih ia hampir melupakan tu-
gasnya sebagai pengembara yang siap akan menggu-
lingkan kejahatan. Khususnya dalam rimba persilatan.
Masih banyak orang-orang yang butuh pertolongan-
nya. Masih banyak orang-orang persilatan yang perlu
ditegakkan. Masih banyak pula tokoh-tokoh sesat yang perlu ditumbangkan.
* ** 2 Untuk itulah Wintara tidak bisa membendung
hasratnya lagi. Dengan perasaan berat Amarsa Rawut
maupun semuanya melepaskan kepergian Pendekar
Kelana Sakti itu.
"Bukan aku tidak kerasan menetap di sini, So-
bat Amarsa Rawut. Aku dapat melihat kalian sudah
dapat berdiri sendiri. Aku bertambah yakin perguruan ini akan bertambah maju
kalau kalian berdua terus
membimbing."
"Apa yang telah kau ajarkan baik nasehat mau-
pun pendapat tetap akan kami pegang teguh. Kami
memang harus berdiri sendiri. Sayangnya kami akan
kesepian tanpa kau." jawab Amarsa Rawut.


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itulah kehidupan. Ada pertemuan ada juga
perpisahan. Baik buruknya, kemajuan
Perguruan 'Guci Perak' dapat berdiri kembali
berkat adanya kau, Wintara." ujar Pendekar Gelugut Sutra. "Kalau sekarang kita
harus berpisah mau dibi-lang apa" Tidak baik menahan-nahan orang yang ma-
sih mengemban tugas." kata Amarsa Rawut mengakhi-ri ucapan perpisahan.
Nalantili datang menghampiri mereka menun-
tun seekor kuda Cukup kuat dan gagah. Semuanya
berdiri di muka pintu gerbang.
"Tidak ada yang dapat kami bekali kecuali ini,
Sobat Wintara. Bisa diandalkan kalau menempuh per-
jalanan jauh." ujarnya saat Nalantili berada di antara mereka. Nalantili
menyerahkan tali kekang pada Wintara. "Ah. Terima kasih..... Ini sudah lebih
dari cukup." jawab Wintara, ia langsung menungganginya.
"Selamat jalan, Wintara. Semoga saja kita dapat bertemu kembali." Wintara hanya
tersenyum. Tanpa bicara apa-apa Pendekar Kelana Sakti ini menghela
kudanya. Ketiga orang pentolan Perguruan 'Guci Perak'
terus berdiri di depan pintu gerbang memandang ke-
pergian Wintara. Derap kaki kuda perlahan semakin
menjauh. Mereka belum juga beranjak dari tempat itu
sampai Wintara betul-betul hilang dari pandangan ma-
ta. Pendekar Gelugut Sutra nampak menghela nafas.
Murid-murid Perguruan 'Guci Perak' masih
berdiri di belakang pintu gerbang. Mereka turut juga menyaksikan kepergian
seorang pendekar. Bagaima-napun mereka masih ingat saat kehancuran pergu-
ruannya dari tangan Durjana Pemenggal Kepala. Tan-
pa Pendekar Kelana Sakti, belum tentu perguruan
'Guci Perak' tetap utuh.
Amarsa Rawut masih menatap jauh, meskipun
sosok Wintara sudah lenyap. Pendekar Gelugut Sutra
menepuk punggungnya dengan pergelangan tangan.
Tak urung pendekar tanpa kaki ini jadi terkesiap.
"Apa lagi yang kau pikirkan" Kepergian pende-
kar muda itu bukanlah apa-apa. Tanpa dia justru kita harus lebih bersemangat."
"Ah, aku tidak memikirkan apa-apa. Seman-
gatku tetap ada. Hanya aku teringat betapa hebatnya
Pendekar Wintara ketika menghadapi Durjana Pe-
menggal Kepala maupun Eyang Tumbal Segara."
"Paman, aku melihat seseorang datang ke ma-
ri...." sela Nalantili. Ia mempertajam penglihatannya.
Dua Pendekar Buntung ini kompak mengikuti pandan-
gan Nalantili. "Siapa dia" Nampaknya menunggangi kuda ju-
ga. Barangkali Wintara balik lagi!" Amarsa Rawut men-gernyitkan alis.
"Bukan, bukan Wintara. Tapi jelas tujuannya
ke mari." Penglihatan Pendekar Gelugut Sutra lebih tajam. Ketiganya berdiri
sambil melepas pandangan
yang mengarah pada seseorang menunggangi kuda.
Orang itu kian lama mendekat. Dalam jarak tiga puluh meter barulah mereka tahu
siapa orang itu.
"Rupanya seorang utusan dari Partai 'Dewa
Tenggara'. Kenapa baru sekarang mereka mengirimkan
utusan?" Amarsa Rawut bisa mengenali orang itu dari pakaian serta pelana kuda
yang menjadi ciri khas mereka. Masih dalam jarak cukup jauh si penunggang
kuda memberi salam dengan lambaikan tangannya.
Ketiga orang yang berdiri berderet di pintu gerbang
membalas dengan lambaian tangan pula.
Setelah agak dekat, orang itu menghentikan
kudanya. Lalu turun menuntun mendekati mereka. Di
tangannya ia menggenggam beberapa gulungan kertas.
"Aku utusan dari Partai 'Dewa Tenggara' me-
nyampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Karena
sampai saat ini pimpinan kami Kuncoro Sona tidak
dapat menjenguk atas musibah yang terjadi di 'Guci
Perak'." "Tidak apa-apa. Kami bisa memaklumi atas kerepotan-kerepotan orang-
orang Tenggara. Mari silah-
kan masuk." sambut Amarsa Rawut. Orang itu tersenyum ramah.
"Maaf. Selain menyampaikan salam, aku ditu-
gaskan untuk menyebarkan undangan Kuncoro Sona."
Orang itu mengambil segulungan kertas dari gengga-
mannya. Lalu ia menyerahkan pada Amarsa Rawut.
"Kenapa harus terburu-buru, bukankah Ki Sa-
nak perlu istirahat sebentar?" ujar Pendekar Gelugut Sutra. Nalantili menggeser
dirinya agar kuda itu dapat masuk. "Sekali lagi aku mohon maaf dan pamit. masih
ada tiga undangan lagi yang harus ku sampaikan pada
perguruan-perguruan lain. Setelah itu aku ditugaskan agar cepat kembali ke
Tenggara."
"Tak apalah kalau begitu." jawab Amarsa Ra-
wut. "Permisi...." Orang itu kembali menunggangi kudanya lalu berlalu. Amarsa
Rawut membuka gulungan kertas itu.
Dalam waktu dekat ini kami sengaja mengun-
dang beberapa perguruan yang menjadi andalan Tanah Guring Kencana. Guna
mempererat sesama perguruan.
Juga sekaligus untuk menangani satu masalah yang cukup besar.
Kuncoro Sona Begitulah isi surat itu. Selesai membaca Amar-
sa Rawut menyerahkannya pada Pendekar Gelugut Su-
tra. "Masalah apa yang telah terjadi sampai Partai
'Dewa Tenggara' mengundang kita ke sana?" tanya Pendekar Gelugut Sutra begitu
selesai membaca isi surat.
"Untuk mengetahuinya kita harus cepat segera
ke sana." jawab Amarsa Rawut. Nalantili sudah tahu maksud isi surat itu meskipun
ia tidak ikut memba-canya. Amarsa Rawut melangkah masuk diikuti den-
gan Pendekar Gelugut Sutra serta Nalantili. Murid-
murid Perguruan 'Guci Perak' nampak tengah latihan.
"Tentunya kalian akan pergi lagi meninggalkan
kami di sini." sergah Nalantili menyusul langkah-langkah Amarsa Rawut.
"Tidak baik kalau kita tidak menghadiri undan-
gan Kuncoro Sona. Beliau pernah baik terhadap ayah-
ku. Lagi pula undangan ini bersifat sementara. Aku ki-ra kepergian kami nanti
tidak akan lama." jawab Amarsa Rawut,
"Untuk apa menghadiri undangan segala pepe-
san kosong, Kakang. Mana kesetiaan mereka di saat-
saat kita mengalami musibah"
Mana" Apakah mereka mau menengok kita?"
Nalantili membarengi langkah Amarsa Rawut. Lelaki
berkaki buntung ini mengumbar senyum.
"Justru kalau kita ke sana, mereka akan berhu-
tang budi."
"Aku rasa kalian tidak perlu ke sana. Biar saja.
Toh masalah itu urusan orang-orang Tenggara. Untuk
apa?" Pendekar Gelugut Sutra mendengus. "Untuk menunjukkan bahwa nama besar
Perguruan 'Guci Perak' masih ada. Dan mereka harus tahu, tanpa Ki Raka Banjaran
kita masih mampu membantu mereka."
ujarnya. Nalantili tidak bisa berkata apa-apa. Sampai di sebuah ruangan Amarsa
Rawut menduduki sebuah
kursi besar yang menghadap ke pelataran gedung di
mana semua murid jelas kelihatan sedang berlatih.
"Situasi sekarang sudah aman. Aku berharap
kau bisa menjaga mereka, Nalantili." kata Pendekar Gelugut Sutra. Matanya
mengarah ke pelataran gedung. Sebentar kemudian ia melirik pada gadis Nalan-
tili. Nampak kecut wajah gadis itu. Pendekar Gelugut Sutra tidak bisa menahan
tawanya. "Aku tahu apa yang sebenarnya kau pikirkan,
Nalantili. Aku sudah dapat menerka sikapmu selama
ini. Percayalah dalam waktu kurang lebih satu minggu kami akan kembali. Aku juga
tidak akan membiarkan
Amarsa Rawut kecantol gadis lain." goda lelaki setengah tua ini.
"Paman...." sela Nalantili. Amarsa Rawut hanya menunduk.
"Sudahlah, besok kami berangkat. Suruh pe-
layan mempersiapkan bekal serta kuda. Dan kau jan-
gan berpikiran macam-macam." pesan Pendekar Gelugut Sutra. Setengah berlari
Nalantili menuju ke belakang. Entah seperti apa rupa gadis itu setelah men-
dengar ucapan Pendekar Gelugut Sutra. Ke belakang-
pun ia tidak punya maksud apa-apa. Selain menyem-
bunyikan perasaan malu bercampur girang.
*** Terik matahari mencorot masuk menerobos le-
batnya hutan Kumbarawa. Siapapun tahu kalau hutan
tersebut sangatlah rawan dan menakutkan. Pohon-
pohon besar yang malang melintang sekitar hutan ba-
gaikan sekumpulan raksasa. Alang-alang yang hampir
setinggi manusia menghampar di sekitar hutan.
Jalan yang cuma satu-satunya menghubung-
kan ke sebuah desa nampak lengang. Tidak segelintir
orangpun yang berani melintasinya. Kalaupun ada
penduduk hutan terpencil nampak tengah mencari
kayu bakar, mereka tidak berani sampai sejauh itu.
Tapi siang itu suasana hutan itu tidak sepi se-
perti biasanya. Serombongan orang berjalan menye-
ruak lebatnya alang-alang. Lalu mereka menyusuri ja-
lan tanah. Dua orang yang berjalan paling depan
membabatkan golok-golok mereka menebas alang-
alang membuat jalan.
Di belakangnya lima ekor kuda berjalan berba-
ris. Dilihat dari cara berpakaian mereka, sudah pasti kelima penunggang kuda itu
orang-orang rimba persilatan. Apalagi masing-masing di pinggang mereka ter-
selip senjata. Selama dalam perjalanan itu pula orang yang menunggangi kuda
paling depan selalu mengawasi jalan yang mereka lalui.
Sebenarnya pula rombongan ini tidak lain dari
Perguruan 'Angin Manik'. Tujuan mereka bukan lain
untuk memenuhi undangan Kuncoro Sona. Dalam hal
ini semua pentolan 'Angin Manik' yang berjumlah lima orang itu, turun semua.
Nama besar Perguruan 'Angin Manik' yang ber-
cokol di daerah Utara sangatlah ditakuti oleh golongan sesat. Di samping itu
guru besar mereka, Ki Geri Mojang memang paling telengas terhadap tokoh-tokoh
aliran sesat. Meskipun usianya hampir mencapai tiga pe-
rempat abad masih nampak gagah dan tegar. Rambut
serta janggut yang memutih sebatas dada menambah
angker sosok Ki Geri Mojang.
Saat itu ia berjalan paling depan menunggangi
kudanya. Keempat muridnya yang paling tangguh
mengikuti. Mereka tahu untuk mencapai Partai 'Dewa
Tenggara' akan memakan waktu yang sangat lama. Ka-
lau mereka sekarang berusaha menembus hutan
Kumbarawa, itu berarti mereka baru melakukan sepa-
ruh perjalanannya.
"Guru, kita telah menembus alang-alang mem-
bosankan ini. Sebaiknya kita beristirahat saja di sini.
Apakah guru tidak haus atau lapar?" kata salah seorang muridnya yang bernama
Ageng Sura. Kuda tung-
gangannya membawa beban lebih banyak.
"Baiklah! Kita memang telah seharian penuh
belum mengisi perut. Sebaiknya di sana saja. Pohon
rindang itu cukup untuk kita berteduh." jawab Ki Geri Mojang. Ia membawa kudanya
mengarah pada seba-tang pohon. Sebelum Ki Geri Mojang sampai, dua
orang masih memegang golok membersihkan tempat
itu. "Satu harian lagipun kita belum tentu sampai.
Buat apa terburu-buru." ujar Tirta Amoksa yang mulai berjalan bareng dengan
Ageng Sura. * * * 3 Lima orang pentolan Perguruan 'Angin Manik'
ini duduk berderet setengah melingkar. Ki Geri Mojang paling tengah. Mereka
melepaskan haus dan lapar di
situ. Dua orang yang bersenjatakan golok merupa-
kan penunjuk jalan. Juga ikut bersantap. Saat itu matahari hampir condong ke
Barat. Langit di atas keme-
rahan. Suara binatang malam mulai berderik nyaring.
Ki Geri Mojang nampak heran melihat dua
orang penunjuk jalannya cepat-cepat menghabiskan
makannya. Apalagi ketika kedua orang itu mengemasi
barang-barang serta menyiapkan lagi kuda-kuda me-
reka. "Ada apa, Sambang?" tanya Ki Geri Mojang tak habis pikir.
"Kita tidak bisa bermalam di sini, Tuan. Hutan
ini sangat rawan. Kami sering mendengar di sini sering muncul setan perempuan
jahil. Sudah banyak orang-orang yang menjadi korbannya."
"Setan perempuan?" ulang Ageng Sura. Ia telah selesai makan.
"Betul, Den. Sebentar lagi hari akan gelap. Le-
bih baik kita beristirahat di desa sana saja. Dari sini dua jam perjalanan."
kata salah seorang penunjuk jalan sewaan.
Ki Geri Mojang berpikir sejenak. Empat orang
muridnya memandang ke arah yang ditunjuk oleh dua
orang sewaan. Di sana memang ada sebuah desa. Ti-
dak ramai karena terpencil. Mereka bisa melihatnya
meski tertutup kabut. Ki Geri Mojang bangkit berdiri.
"Kalau begitu cepat kemasi semua barang-
barang. Tempat ini memang kurang baik." ujar Ki Geri Mojang. Empat muridnya
menurut. Tirta Amoksa nye-
letuk. "Aku tidak percaya dengan segala setan perempuan, Guru. Paling-paling
mereka cuma sekelompok
perampok. Kenapa kita tidak tunggu saja mereka seka-
lian di sini. Kita bisa menumpas mereka agar hutan ini menjadi aman."
"Betul, Guru. Apa yang dikatakan Tirta Amoksa
adalah benar. Bukankah guru paling pantang melihat
seorang tokoh sesat?" Murid paling bungsu mengeluarkan pendapat.
"Murid-muridku.... Kita tidak punya waktu un-
tuk menghadapi mereka. Undangan Kuncoro Sona le-
bih penting. Menghadapi setan-setan hutan Kumba
Rawa hanya membuang tenaga percuma. Mari berang-
kat." Ki Geri Mojang melompat ke atas pelana. Dua orang penunjuk jalan itu
menuntun kudanya.
Kembali rombongan itu melanjutkan perjala-
nan. Tapi baru saja mereka membawa kudanya bebe-
rapa langkah.... "Hik-hik-hik-hik-hik...!" Terdengar ta-wa yang mengerikan.
Jelas tawa itu mengambang di
atas rerimbunan daun. Tawa itu berpindah-pindah
seakan-akan memutari mereka. Ki Geri Mojang beru-
saha tetap tenang. Empat orang muridnya bersiap-siap menarik pedang. Sedangkan
dua orang sewaannya sebagai penunjuk jalan gemetar menahan takut.
"Orang-orang 'Angin Manik' tak tahu penyakit.
Berani-beraninya memasuki wilayah kekuasaan orang.
Apa kalian sudah punya nyawa cadangan?" Suara
yang melengking itu seperti menusuk telinga.
"Tunjukkan rupa mu, Perempuan Iblis! Jangan
cuma berkoar dan menakut-nakuti orang!" bentak Ki Geri Mojang.


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hik-hik-hik-hik.... Buat apa menunjukkan diri.
Tanpa berhadapan pun aku bisa membunuh kalian sa-
tu persatu!"
Keempat murid Ki Geri Mojang serempak men-
cabut pedang. Tapi dua orang sewaannya malah lari
ketakutan. Dua orang ini tidak memperdulikan maji-
kannya lagi. Larinya tunggang langgang meninggalkan
orang-orang 'Angin Manik'.
"Kalian jangan pergi...!" teriak Ki Geri Mojang.
Saat itu bercuitan nyaring benda-benda kecil
meluncur deras. Oleh Ki Geri Mojang nampak jelas
benda-benda kecil itu merupakan beberapa gelintir
senjata rahasia. Majikan 'Angin Manik' ini menghela
nafas saat senjata-senjata rahasia itu mengenai kedua orang yang lari terbirit-
birit, mereka tewas. Dari kejauhan ia bisa melihat bekas-bekas lukanya seperti
terbakar serta masih mengeluarkan asap.
"Racun Kuku Wesi!" desis Ki Geri Mojang dengan mata melotot. Ageng Sura memimpin
saudara- saudara seperguruannya turun dari kuda. Keempatnya
mengawasi sekitar Hutan Kumba Rawa dengan pedang
terhunus. "Hik-hik-hik-hik-hik.... Cukup jeli juga mata
rentamu, Ki. Tidak percuma semua tokoh sesat berte-
kuk lutut di bawah kakimu. Kiranya di Utara banyak
bercokol pendekar-pendekar tangguh!"
"Turunlah, Nyi Awak Ceger! Belangmu sudah
ketahuan!" bentak Ki Geri Mojang.
"Baik! Tapi sebelumnya sambut dulu ini!
Hreaaaaa...." Kembali senjata-senjata rahasia bercuitan menghujam deras. Kali
ini senjata-senjata sebesar-besar biji jagung di keluarkan lebih banyak.
Setengah mati empat orang murid andalan Ki Geri Mojang menyambut dengan pedang.
Rupanya lemparan lemparan
itu disertai dengan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Benda-benda tajam itu banyak yang menancap di pe-
dang mereka. Ki Geri Mojang sendiri terus memutar kedua
lengannya. Iapun tidak kalah hebat mengeluarkan te-
naga dalam. Selama tangannya berputar suara angin
menderu-deru. Manakala senjata rahasia milik Nyi
Awak Ceger terus mencecar.
Senjata-senjata rahasia berpentalan saat mem-
bentur tenaga dalam putaran Ki Geri Mojang. Dua bu-
tir senjata rahasia sempat meleset. Untung cuma men-
genai lengan baju. Meskipun begitu Racun Kuku Wesi
dapat membakar.
Ki Geri Mojang tidak bisa menghadapi terus
menerus dengan cara seperti itu. Setelah ia mema-
damkan api yang membakar lengan baju. Kakek be-
rambut serta janggut memutih itu melesat tinggi dari atas kuda.
Saat tubuhnya melesat itu Ki Geri Mojang me-
lepaskan pukulan.. Tidak kepalang menghantam de-
ras. "Aahk!" Terdengar pekikan nyaring. Rerimbunan daun di atas gemeresek. Ki Geri
Mojang menam- bahkan satu pukulan lagi ke arah itu. Namun hanta-
man yang terakhir itu seperti mengenai tempat yang
kosong. Ia jadi tidak habis pikir ketika melihat para muridnya masih sibuk
mengatasi serbuan-serbuan
senjata beracun.
"Hati-hati! Nyi Awak Ceger sangat licik! Kerah-
kan terus jurus 'Membentang Pelangi'. Aku yakin kita telah terkepung oleh
manusia-manusia laknat!" teriak Ki Geri Mojang. Ia sendiri tidak sampai hati
melihat keempat muridnya setengah mati menghadapi serangan. Maka hanya dengan
sekali lompatan saja ia sudah berada di antara keempat muridnya itu.
"Hik-hik-hik-hik.... Kalian tidak bakal sampai
ke Tenggara! Kalian akan bergelimpangan menjadi
mayat di sini!" Suara Nyi Awak Ceger menggema lagi.
Saat itu pun ia berhenti melemparkan senjata-senjata
beracun. Di luar dugaan dari atas rerimbunan daun ber-
lompatan dua orang bertubuh kekar telanjang dada.
Keduanya bersenjatakan sebuah benda berduri. Lalu
menyusul lagi seorang perempuan cantik bertubuh
ramping. Ia hinggap di tanah tanpa mengeluarkan sua-
ra. Berpakaian sangat ketat menunjukkan bentuk tu-
buh yang padat berisi. Di wajahnya menggambarkan
seorang wanita yang sangat cantik. Meskipun nampak
kerut-kerut kulit yang menandakan telah termakan
usia. Mereka menyeringai menatap kelima orang dari
Perguruan 'Angin Manik' ini. Ki Geri Mojang balas menatap tajam.
"Benar kata muridku tadi. Biang kerok persila-
tan memang harus ditumpas!"
"Perkiraan ku juga demikian. Orang-orang
yang menghalangi partai sesat pun musti disingkir-
kan!" jawab Nyi Awak Ceger menunjukkan kerut alis yang memanjang bagai putri
Cina. "Guru, kita telah terjebak. Bagaimana mungkin
mereka bisa menghadang. Pastilah Kuncoro Sona telah
mengkhianati kita!" ujar Ageng Sura.
"Sebelum kita membinasakan mereka, mana ki-
ta tahu siapa biang keroknya. Kepung!" perintah Ki Ge-ri Mojang.
Nyi Awak Ceger bersama kedua orang penga-
walnya berdiri tenang. Ketiganya ini langsung berlompatan saat orang-orang
'Angin Manik' menyerang se-
rempak. Nyi Awak Ceger sengaja memilih lawan pada
Ki Geri Mojang. Sedang dua orang pengawalnya yang
bersenjatakan gada berduri menghadapi ke empat mu-
rid andalan Ki Geri Mojang.
Benturan-benturan senjata mereka berdentin-
gan saat beradu. Babatan-babatan pedang berkelebat
tanpa ampun. Namun dua orang telanjang dada ini
cukup tangguh untuk mengelakkannya. Malah kedua
gada berduri mereka membalas serangan-serangan itu.
Menghadapi Nyi Awak Ceger, majikan 'Angin
Manik' ini agak kurang sabaran. Sebentar-sebentar ia menghardik. Karena jurus-
jurus yang dikeluarkan perempuan tangguh ini bersifat sangat genit dan merayu.
Setiap hantaman Ki Geri Mojang selalu luput. Hanya
dielakkan begitu saja. Dan gerakan itu tidak lebih bagaikan seorang penari yang
meliuk-liuk. Terkadang pula majikan 'Angin Manik' ini ser-
ing merasa terpengaruh oleh bentuk tubuh Nyi Awak
Ceger yang menggiurkan itu. Tentu saja kemarahan Ki
Geri Mojang terpancing dengan sendirinya. Gerakan
yang sembrono itu membuat Nyi Awak Ceger lebih mu-
dah melancarkan serangan.
Seringkali cakar-cakar besinya yang sepanjang
sepuluh senti meter nyaris merobek muka lawannya.
Hal itu membuat Ki Geri Mojang jadi kelabakan. Ia ba-ru kali ini menghadapi
tokoh sesat macam Nyi Awak
Ceger. Kiranya perempuan cabul yang selama ini dita-
kuti oleh kalangan persilatan, bukanlah cerita bohong.
Sudah banyak orang-orang dari aliran lurus
tergiur dan jatuh ke dalam pelukannya untuk kemu-
dian menjadi korban. Dengan cara itulah biasanya pe-
rempuan setan ini melumpuhkan lawan-lawannya. Ta-
pi hari ini, Nyi Awak Ceger sengaja tidak mengeluarkan rayuan maut. Ia malah
langsung menyerang bagai
orang kesurupan. Dan yang lebih aneh lagi dia bertu-
juan menghalangi orang-orang 'Angin Manik'. Dari
mana setan perempuan ini berikut dua orang penga-
walnya tahu kalau mereka akan singgah memenuhi
undangan Partai 'Dewa Tenggara'. Kalau begitu un-
dangan rahasia itu telah tersebar luas, pikir Ki Geri Mojang. Ia tersentak kaget
saat Nyi Awak Ceger menjen-
tikkan kesepuluh jari besinya. Maka meletiklah tahi
kuku besi bagai pasir bara. Secepat itu pula majikan
'Angin Manik' gesit merunduk. Racun Kuku Wesi me-
mang luput, tapi tahi kuku besi yang merupakan sen-
jata rahasia Nyi Awak Ceger segera terus melesat mengenai sasaran lain.
Lebih terkejut lagi ketika mendengar teriakan
dari dua orang murid Ki Geri Mojang. Rupanya sasaran luput senjata beracun itu
mengenainya. Kontan kedua
orang itu berkelojotan tewas.
Demi melihat kedua muridnya tewas dengan
seketika, Ki Geri Mojang jadi kehilangan
kontrol. Hal itu memudahkan Nyi Awak Ceger
mudah melepaskan pukulan..., "Deees!" Jotosan itu nampak pelan, Tapi tak urung
tubuh majikan 'Angin
Manik' ini bergelintingan.
Disusul pula dengan ambruknya tubuh Ageng
Sura dan Tirta Amoksa. Kepala kedua murid Ki Geri
Mojang ini pecah dengan isi kepala berhamburan. Ten-
tu saja berkat hantaman kedua gada berduri. Kedua
pengikut Nyi Awak Ceger makin buas menghancur le-
burkan murid-murid yang sebenarnya sudah tewas
semua. Tentu saja hal ini membuat darah Ki Geri Mo-
jang tersirap. Ia hampir tidak percaya melihat keempat muridnya tewas
mengerikan. * * * 4 Serta merta Ki Geri Mojang melompat mener-
jang kedua laki-laki telanjang dada. Kekalapannya
membuat lupa diri. Ki Geri Mojang melancarkan bebe-
rapa hantaman. Tapi ternyata ia terjatuh lebih dahulu.
Dengan tarian mautnya, Nyi Awak Ceger me-
nyapu bagian bawah. Rupanya itu yang membuat Ki
Geri Mojang sampai terguling hebat. Bersamaan den-
gan itu pula dua orang pengikut iblis perempuan ini
geram menghantamkan gada berduri mereka.
"Bledar...! Bledaaaar...!" Ki Geri Mojang bergulingan terus menghindari
hantaman-hantaman itu.
Kedua orang ini seperti tidak memberi kesempatan ma-
jikan 'Angin Manik' untuk bangkit. Apalagi Nyi Awak
Ceger tidak pernah berhenti menjentik-jentikkan kesepuluh jari besinya membuat
tahi-tahi kuku besi meng-
hujam tanpa bisa dihindari.
"Wuaaaaaa...!" Seluruh pakaian Ki Geri Mojang terbakar. Nyi Awak Ceger sengaja
menyiksanya dengan
cara itu. Tubuh renta itu terbakar bergulingan oleh api yang meletup-letup.
"Perempuan setan! Kenapa tidak kau bunuh sa-
ja aku.... Wuaaa...!" teriak Ki Geri Mojang.
"Kau ingin cepat-cepat mampus" Baik!" Nyi
Awak Ceger memberi kerlingan mata genit pada dua
pengikutnya. Maka dengan langkah-langkah yang ge-
gap kedua orang itu mendekati tubuh renta yang ma-
sih terus bergulingan.
Mendadak saja kedua orang itu menghantam
kedua kaki Ki Geri Mojang dengan gada berduri mere-
ka.... "Deeer!" Hantaman itu serempak.... "Wuaaaaaa!"
Ditambah lagi dengan hantaman yang menghancurkan
kedua lengannya.
Paling terakhir Ki Geri Mojang tidak sempat
berteriak lagi. Karena dua hantaman gada berduri se-
kaligus meremukkan kepalanya. Darah berceceran di
sekitar permukaan tanah. Dua orang pengikut Nyi
Awak Ceger nampak puas, begitu juga dengan maji-
kannya. Tawanya yang mengikik terus mengalun.
"Kalian cepat ke Tenggara. Katakan padanya
kalau kita telah membereskan tua bangkotan ini." perintah Nyi Awak Ceger. Maka
tanpa berani membantah
keduanya langsung melesat meninggalkan Nyi Awak
Ceger tengah menghitung korban.
"Jangan lupa setelah itu kalian harus mene-
muiku kembali untuk menjalankan tugas yang sama!"
pesannya tak ketinggalan. Sehabis bicara begitu Nyi
Awak Ceger melangkah. Gayanya bagai gadis remaja.
Selama melangkah ia terus tertawa cekikikan.
*** Wintara bersama kudanya melangkah mema-
suki sebuah desa. Tujuannya sebuah kedai sekaligus
penginapan yang cukup ramai. Tapi ia tidak jadi ber-
henti di situ ketika dilihatnya seorang tua tengah mabuk berat menghadapi
belasan pundi arak. Tidak sa-
tupun tamu-tamu yang lain berani mendekat.
Semuanya memilih tempat yang agak jauh. Me-
reka diam-diam menahan tawa melihat kakek pema-
buk itu mengoceh. Wintara sendiri hanya tersenyum
merasa ditatap ketika melewatinya di muka kedai.
"Wei. Anak muda!" Jelas teguran itu di arahkan pada Wintara.
"Ke marilah! Temani aku minum. Buat apa me-
lakukan perjalanan panjang tanpa menghibur diri. Le-
bih baik kita bersenang-senang dulu di sini!" Nada suara kakek itu mengambang.
Sesekali pula ia sesenggu-
kan. Wintara diam memperhatikan kakek itu mengha-
biskan pundi arak yang keempat belas.
"Kenapa semua orang tidak mau menemani aku
minum" Hah" Kenapa" Aku memiliki uang yang sangat
banyak! Kalian tidak perlu takut! Aku bukan bajingan!
Bukan orang jahat! Juga bukan perampok! Melainkan
si tua keropos yang hampir mampus. Ayo minum! Jan-
gan ragu-ragu, anak muda." Nada suaranya makin meliuk-liuk.
Merasa mendapat kesempatan untuk beristira-
hat. Wintara terpaksa menambatkan kudanya di muka
kedai. Seorang pelayan mendekati untuk menyambut.
Saat itu pula pelayan penginapan berbisik....
"Tuan, sebaiknya jangan mengikuti ajakannya.
Kakek tua itu terkenal dengan sebutan 'Siluman Arak
Sakti'. Dia selalu minum habis-habisan di sini kalau hendak menghadapi satu
urusan dengan orang orang
persilatan." Wintara sudah terlanjur melangkah. Tidak mungkin ia mundur kembali.
"Duduklah di sini, Anak muda. Hhhhmmm.
Siapa namamu?" Kakek itu bertanya dengan mata me-nyipit. Wintara menggeser kursi
kayu yang berhada-
pan. "Terimakasih, Kek. Namaku Wintara. Memang aku telah menempuh perjalanan
yang sangat jauh."
jawab Wintara. Iapun duduk berhadapan. Kakek yang
disebut 'Siluman Arak Sakti' ini langsung menyodor-
kan sepundi arak.
"Minum.... Minum...." Kakek itu berusaha ramah, namun dalam keadaan mabuk


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti ini tingkah
lakunya jadi sangat lucu. Wintara memandang berke-
liling. Semua tamu yang berada di meja-meja lain
nampak menertawakannya.
"Tidak bolehkah kalau aku hanya menemani
kakek di sini?" ujar Wintara menolak secara halus.
"Heh-heh-heh-hik! Tak apa... tak jadi soal. Baru kali ini aku merasa ditemani di
saat minum arak. Siapa namamu tadi" Oh ya Wintara...! Hik! Yah Wintara!
Aku masih ingat betul. Hik! Kenapa kau tidak mau mi-
num" Hik!"
"Dulu beberapa tahun yang lalu, aku gemar se-
kali minum arak. Hampir setiap malam ku habiskan
waktuku dengan minum ark. Tapi sekarang entah ke-
napa aku mulai tidak menyukai arak." jawab Wintara sopan dan agaknya kakek
'Siluman Arak Sakti' ini tidak tersinggung. Malah...
"Hak-hak-hak-hak...." Kakek ini tertawa nga-kak. Ujung hidungnya nampak merah.
Tak tertahan pula ingusnya meleleh dari lubang hidung. Cepat pula ia berusaha menyeka.
Lalu... "Aku malah terbalik. Dulu. Hik!... Aku paling
anti dengan yang namanya arak. Di pesantren paling
fanatik. Tapi justru sekarang tidak boleh ketinggalan arak! Itu berarti kita
memiliki kehidupan yang berbeda.
Hik! Seperti api dengan air."
"Belum terlanjur untuk merobah semua ini,
Kek." Wintara ketelepasan bicara. Ia sadar kalau uca-pannya kurang pantas untuk
orang setua ini.
"Apa kau tidak mendengar apa yang diucapkan
oleh pelayan itu" Aku sendiri kurang suka orang-orang persilatan menyebut diriku
'Siluman Arak Sakti'. Hik!
Tapi lama kelamaan kerasan juga aku menyandang ge-
lar itu. Hik! Arak pun seperti sebagian nyawaku." Agak tersentak Wintara
mendengar ucapan kakek pemabuk
ini. Bagaimana tidak" Pelayan tadi hanya berbicara
dengan Wintara. itupun secara berbisik yang tidak
mungkin orang lain dengar. Tapi dalam jarak sejauh
itu kakek pemabuk ini dapat mendengar apa yang di
ucapkan pelayan itu. Pastilah kakek 'Siluman Arak
Sakti' ini benar-benar seorang berilmu tinggi.
Wintara masih terheran-heran bercampur ka-
gum. Kakek itu mengeluarkan sesuatu dari tas kan-
tong di pinggangnya. Segulungan kertas. Di hadapan
Wintara ia membuka gulungan kertas itu.
"Kalau aku sampai mabuk sedemikian rupa,
undangan Kuncoro Sona inilah penyebabnya. Jangan
heran, Anak muda. Semua orang sudah tahu perangai
ku.... Hik!"
"Tidak masuk akal. Hanya karena kertas un-
dangan, kenapa harus serius sekali?" bisik Wintara dalam hati.
"Perjalanan ke Tenggara sangatlah jauh. Orang-
orang yang buta sekalipun tahu kalau menempuh per-
jalanan ke sana tidak mudah. Sebagai 'Siluman Arak
Sakti' tanpa mabuk seperti ini tidak mungkin bisa
menjaga diri." jelas kakek ini. Nada suaranya sangat pelan. Wintara mengerutkan
alis demi mendengar penjelasan itu.
Pada saat yang sama, dua orang telanjang dada
jalan beriringan memasuki desa. Masing-masing kedua
lengan mereka menggenggam senjata gada berduri.
Kehadiran mereka sama sekali tidak menjadi perhatian orang-orang yang berlalu
lalang. Sudah menjadi kebia-saan bagi orang-orang persilatan selalu membawa sen-
jata. Dan setiap orang yang berlalu lalang di situ memang membawa senjata. Jadi
tidak ada yang perlu di-
herankan. Keduanya melangkah terus, tujuannya pada
sebuah kedai yang sangat ramai. Tapi sebelum mereka
mencapai kedai itu, keduanya menghentikan langkah.
Pandangan mereka mengarah pada Wintara
yang duduk berhadapan dengan Kakek 'Siluman Arak
Sakti'. Sebenarnya yang membuat mereka berhenti me-
langkah tidak lain karena segulungan kertas berada
dalam tangan kakek itu.
"Pitu Langsa, kakek peyot itu juga memiliki un-
dangan Kuncoro Sona." Salah seorang telanjang dada itu menyikut temannya.
"Menurut penglihatanku, dialah 'Siluman Arak
Sakti'. Tapi terhadap seorang pemuda yang minum
bersamanya aku tidak tahu." jawab temannya yang tidak lain bernama Pitu Langsa.
"Mumpung ada di depan mata. Kita habisi saja
sekalian dua-duanya. Daripada nantinya akan mere-
potkan." "Tanpa Nyi Awak Ceger mana bisa bertindak
sembarangan. Lagi pula kehebatan 'Siluman Arak Sak-
ti' bukan nama kosong!" ujar Pitu Langsa.
"Dia dalam keadaan mabuk, Pitu Langsa. Ini
kesempatan kita. Sekarang atau nanti nasibnya akan
sama. Mereka pasti mampus."
Baik Wintara maupun Kakek 'Siluman Arak
Sakti' masih terlibat dalam suatu percakapan. Wintara tidak bosan-bosan menjawab
atau meladeni pembicaraan yang nglantur. Malah kakek yang sudah berjalan
sempoyongan ini terus memesan beberapa pundi arak
lagi. Melihat kakek ini kembali membawa dua buah
pundi arak, Wintara menggeleng-gelengkan kepala.
Hati-hati sekali kakek itu meletakkan pundi-
pundi arak di atas meja mereka. Wajahnya yang lucu
mengangguk-angguk seperti menghitung pundi-pundi
yang kosong berserakan. Tapi mendadak saja...
"Braaaak...! Praaaaaang!" Dua buah pundi arak yang baru saja diambilnya hancur.
Tahu-tahu saja sebuah
gada berduri menghantam meja mereka.
Para tamu yang berada di meja lain tersentak
kaget. Hampir semuanya serempak bangkit ketakutan!
Karena mereka melihat dua orang telanjang dada men-
gurung kakek serta pemuda yang sejak tadi menjadi
perhatian mereka.
"Dua lalat telah mengusik kita, Anak muda.
Mereka betul-betul tidak tahu penyakit." ujar Kakek
'Siluman Arak Sakti' tenang. Wintara sendiri seolah-
olah tidak perduli dengan kemunculan dua orang te-
lanjang dada itu.
"Kakek bonyok! Sebenarnya kami tak akan
mengusik kalau saja kalian tidak memenuhi undangan
Kuncoro Sona. Bertemu Kami, sama saja menghantar-
kan nyawa!" gertak Pitu Langsa. Sebelah lengannya siap menghantam gada berduri.
Di luar dugaan kakek ini menyentakkan tan-
gannya ke samping. "Beg...!" Pitu Langsa memekik terhuyung. Dalam posisi duduk
begitu ia melepaskan
tendangan. Tubuh Pitu Langsa yang tadi hanya ter-
huyung, sekarang malah mencelat sampai ke luar ke-
dai. Sudah tentu seorang temannya lagi tidak tinggal diam. Dengan teriakan yang
menakutkan. Diarahkan
gada berdurinya menghantam kepala.
Tapi cepat Kakek 'Siluman Arak Sakti' men-
gangkat meja sehingga hantaman itu luput. Dibarengi
pula dengan sebuah hantaman yang menembus per-
mukaan meja. Tak urung tinju kakek pemabuk ini
nyeplos menghantam perut. Pemilik kedai nampak be-
lingsatan. Ia merasa akan mendapat kerugian yang
sangat besar. * * * 5 Situasi meja sudah berantakan, Wintara tetap
tenang menyaksikan kakek itu memamerkan kebole-
hannya. Pemilik kedai sudah pucat pasi.
"Tenang, Ki.... Semua kerusakan ini akan ku-
ganti. Kau tahu bukan" Aku tidak pernah cacad!"
Sambil berkata begitu, Kakek 'Siluman Arak Sakti' berjumpalitan ke luar.
Menyusul kedua orang telanjang
dada. Dua orang ini malah menyambut dengan baba-
tan-babatan gada berduri.
Meskipun nampak seloyongan hantaman-
hantaman itu dapat dielakkan. Gerakan-gerakan yang
sangat licin bagai belut dan sangat aneh membuat
Wintara semakin kagum. Mungkin itu yang dinamakan
'Jurus Pemabuk Meminum Arak'. Semua gerakannya
nampak lemah dan gerakannya dapat terlihat mudah.
Namun semua itu hanyalah pancingan belaka. Justru
dari gerakan-gerakan yang lemah itu dua orang yang
tak lain para pengikut Nyi Awak Ceger tidak menyang-
ka, kalau setiap gerakannya selalu disertai tenaga dalam yang sangat tinggi.
Sehingga dua orang lawannya
ini begitu kewalahan menghadapinya.
Diam-diam Wintara bangkit dari kursi kayu.
Dihampiri pemilik kedai. Pendekar Kelana Sakti yang
mendekati ini membuat pemilik kedai semakin ketaku-
tan. "Ki, berikan beberapa pundi arak lagi. Jangan
khawatir. Kakek itu akan membayar semuanya." pinta Wintara,
"Tapi tuan, persediaan arak tinggal dua pundi
lagi." jawab pemilik kedai gemetaran. "Tak apa. Berikan pundi-pundi arak itu!"
Setelah mendapatkan dua buah pundi arak, Wintara melangkah ke luar. Pertarungan
Kakek 'Siluman Arak Sakti' belum berakhir.
Kedua pengikut Nyi Awak Ceger nampak gigih memberi
hantaman-hantaman gada berduri yang mengarah
tanpa ampun. Semua orang nampak ngeri menyaksi-
kan pertarungan itu. Tak urung tempat halaman kedai
itu jadi penuh sesak.
"Kakek busuk! Kau tidak pantas menghadiri
undangan Kuncoro Sona. Sebaiknya mampus saja!" Pi-tu Langsa memberi hantaman
yang mengarah ke pe-
rut. "Apa urusanmu, cecurut-cecurut bengek!" Ka-
kek 'Siluman Arak Sakti' mundur ke belakang. Dari
arah belakang itu pula mengarah satu hantaman gada
berduri. Tapi tanpa melihat lagi kakek ini melepaskan tendangan ke belakang....
"Deeer!" Pembokong itu ambruk berguling. Melihat itu pun Wintara yang sudah
berdiri di depan kedai berteriak....
"Kakek...! Apakah kau tidak merasa kehausan"
Terima ini!" Wintara melemparkan sebuah pundi. Kakek pemabuk ini melesat
menyambar pundi arak yang
melayang di udara.
"Bagus, Wintara. Nampaknya kau mulai mema-
hami jiwaku!" Kakek ini hinggap di tanah dan langsung dalam posisi menenggak
arak. Kedua orang bersenjata ini bersiap-siap menye-
rang lagi. Dengan serempak mereka maju menerjang,
namun.... "Pruuuuuuts...!" Kakek 'Siluman Arak Sakti'
menyemburkan arak dari mulutnya. Terasa sekali ha-
wa panas menyengat pergelangan tangan Pitu Langsa
saat arak menyiram lengannya. Gada berduri sampai
terlepas dari genggamannya.
Belum habis rasa panas itu hilang. Kakek pe-
mabuk melesat ke atas seraya ia melepaskan tendan-
gan memutar di udara.
"Bug...! Bug!" Tak urung dua lawannya bergulingan lagi.
Siluman Arak Sakti sendiri membiarkan dirinya
terjatuh di tanah. Kedua lawannya nampak geram me-
lihat sikap kakek pemabuk seperti berbaring meneng-
gak arak. Pitu Langsa menerjang tanpa senjatanya.
Sahabatnya mengikuti dengan hantaman gada berduri
lebih dahsyat. Tenang sekali kakek pemabuk salto me-
nyambut. Dua jotosannya diarahkan kuat-kuat.
"Jdeeer!" Keduanya mencelat tak kepalang. Mulut mereka menyembur darah. Ketika
Pitu Langsa bangkit bermaksud menyerang lagi, sahabatnya mena-
rik. "Tidak perlu. Kakek sialan ini bukan lawan kita!
Cepat merat."
"Tapi senjataku terjatuh di tanah!" jawab Pitu Langsa. "Tanpa senjatapun tak
jadi soal! Daripada harus mampus di tangan kakek kunyuk itu."
Tanpa membuang waktu keduanya berlari men-
jauh. Mereka menerobos kerumunan orang yang me-
nyaksikan pertarungan tadi. Kakek 'Siluman Arak Sak-
ti' memandang dengan tubuh yang seloyongan dan
masih mementang jurus.
"Hooooy.... Pada mau lari ke mana!"
teriak si kakek. Matanya mengarah pada senja-
ta gada berduri tergeletak di tanah.
"Senjata butut kalian tertinggal! Ambil saja
buat pengusir lalat!" bentaknya sambil mengibaskan sebelah kakinya menendang
senjata itu. Gada berduri
melayang menyusul kedua orang pengikut Nyi Awak
Ceger. Dan sungguh kebetulan pula senjata itu meng-
hantam pantat Pitu Langsa.... "Waadooooo!"
Kakek 'Siluman Arak Sakti' tidak perduli orang-
orang ramai mengerumuni tempat itu. Ia melangkah
sempoyongan menghampiri Wintara. Sementara itu Pi-
tu Langsa telah memungut kembali senjatanya dengan
pantat yang bercucuran darah. Entah ke mana mereka
lari. Kakek pemabuk ini sengaja tidak mengejarnya.
"Siapa mereka itu, Kek. Kenapa mereka tidak
suka kakek memenuhi undangan Kuncoro Sona."
tanya Wintara sambil mengikuti kakek pemabuk me-
masuki kedai kembali.
"Sulit untuk mengenali siapa mereka. Tokoh-
tokoh sesat begitu banyak dalam rimba persilatan. Mereka tahu kalau undangan
Kuncoro Sona bermaksud
mengundang para pendekar dari segala penjuru." jawab si kakek. Langkahnya
tertatih-tatih menuju pada
pemilik kedai. "Untuk apa Kuncoro Sona mengundang semua
pendekar itu, Kek."
"Aku sendiri kurang jelas. Isi surat dalam un-
dangan itu tidak disebutkan." jawab si kakek sambil merogoh tas kantong. bentar
saja ia sudah mengeluarkan beberapa keping uang logam. Lalu ia menyerah-
kan kepada pemilik kedai yang langsung menghitung
uang tersebut. "Apa masih kurang?" tanya si kakek sambil merogoh lagi tas kantongnya.
"Ti-tidak, Kek.... Sudah lebih dari cukup. He-


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

he-he-he... terima kasih." jawab si pemilik kedai kegi-rangan mendapat bayaran
dua kali lipat. Wintara me-
nyerahkan satu pundi arak lagi pada Kakek Siluman
Arak Sakti. "Gelagatnya sudah tidak beres. Aku harus ce-
pat-cepat ke Tenggara untuk memenuhi undangan
Kuncoro Sona." ujar si kakek sambil mengikat dua buah pundi arak yang tadi
diserahkan Wintara.
"Kau boleh ikut menemaniku, Wintara. Di sana
kau akan bertemu dengan pendekar-pendekar tang-
guh." ajak kakek pemabuk. Sebelum menjawab Winta-ra tersenyum...
"Kebetulan sekali. Aku ingin tahu dunia ramai
persilatan di Tenggara. Sebaiknya kita berangkat sekarang. Sejak tadi kita sudah
menjadi perhatian orang-
orang sini." ujar Wintara.
"Aku membawa kuda. Kita bisa menunggangi
bersama." ajak Wintara.
"Bagus.... Bagus.... Kita akan lebih cepat sam-
pai ke Tenggara." jawab si kakek sambil melangkah ke luar. Wintara melepaskan
tali hambatan. Setelah itu
pun ia langsung naik ke atas pelana. Si kakek menyu-
sul. Hanya dengan sekali lompatan saja ia sudah du-
duk di belakang Wintara.
Beberapa pelayan membereskan meja dan kursi
yang berantakan. Para tamu kembali tenang. Halaman
kedai tidak lagi ramai seperti tadi. Semuanya kembali seperti semula.
Perkelahian antar pendekar sering terjadi di si-
tu. Penduduk desa sudah tidak merasa aneh lagi. Win-
tara dan Kakek Siluman Arak Sakti dapat pergi begitu saja. Semudah ia melangkah
membawa kudanya. Tanpa halangan apapun.
*** Amarsa Rawut menenggak persediaan airnya.
Ia duduk di atas kuda. Di sebelahnya Pendekar Gelu-
gut Sutra duduk pula menunggangi kuda. Kedua kuda
mereka melangkah tenang menyusuri hutan lebat. Me-
reka melewati jalan setapak. Di mana kedua sisi jalan itu ditumbuhi oleh alang-
alang setinggi kuda mereka.
Dua pendekar buntung ini berusaha menembus
hutan Kumba Rawa. Kedua mata mereka tidak henti-
hentinya mengawasi sekitar jalan yang dilaluinya. Uda-ranya cukup sejuk. Tapi
angin yang berdesir semilir
membawa aroma yang kurang sedap. Sejak tadi Pen-
dekar Gelugut Sutra mendengus-denguskan penci-
umannya. "Bau bangkai." ujar Pendekar Gelugut Sutra.
Amarsa Rawut selesai mengikat kantong airnya.
"Di sekitar hutan ini masih banyak berkeliaran
binatang-binatang buas. Paling-paling bangkai kamb-
ing atau apa. Tapi tak lama lagi kita akan mencapai
sebuah desa. Kita bisa beristirahat di sana." jawab Amarsa Rawut. Kudanya
mengangguk-angguk menggi-
giti alang-alang hijau yang menghalangi langkahnya.
Begitu juga dengan kuda Pendekar Gelugut Sutra. Me-
reka membiarkan kuda-kuda mereka mengunyah
alang-alang di sepanjang jalan. Sehingga tidak perlu re pot-repot memberi mereka
makan. "Perjalanan ke Tenggara sangat memakan wak-
tu lama. Paling tidak kita masih harus menempuh dua
hari perjalanan lagi," kata Amarsa Rawut.
"Yang jelas kita harus segera meninggalkan hu-
tan busuk ini. Hidungku seperti mau meledak dijejali dengan bau busuk seperti
ini." tukas Pendekar Gelugut Sutra. Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak
yang ada cuma satu-satunya dalam hutan Kumba Ra-
wa. Tak lama mereka pun sudah menerobos dari ham-
paran alang-alang. Dan bukan main mereka terkejut
ketika pandangan mereka langsung membentur pada
tumpukan-tumpukan mayat mengerikan.
Amarsa Rawut membawa kudanya agak cepat
ke tempat itu. Pendekar Gelugut Sutra hanya menung-
gu. Bau busuk bertambah santer. Karena dari tumpu-
kan mayat itulah sumbernya. Pendekar dari 'Guci Pe-
rak' ini membolak balikkan tumpukan mayat dengan
tongkatnya. Ia tetap duduk di atas pelana sambil
memperhatikan wajah mayat-mayat itu satu persatu.
"Mereka adalah para pendekar dari Perguruan
'Angin Manik', Paman. Mereka telah tewas mengerikan.
Siapa yang telah berbuat sekeji ini?"
Mendengar ucapan Amarsa Rawut, Pendekar
Gelugut Sutra seperti tidak percaya. Ia terpaksa turun dari kudanya mendekati
arah Amarsa Rawut, meskipun ia paling tidak suka dengan bau busuk. Sambil
menutup kedua lobang hidungnya ia ikut memperhati-
kan raut-raut wajah yang masih di kenalinya.
"Astaga... Ki Geri Mojang bersama empat orang
murid andalannya. Mereka penguasa daerah Utara
yang paling ditakuti. Mengapa sampai tewas mengeri-
kan di sini?"
Amarsa Rawut tidak langsung menjawab. Di-
perhatikannya tiga orang mayat termasuk Ki Geri Mo-
jang dengan kepala remuk serta isi kepala mengham-
bur dan hampir kering dikerubungi lalat. Dua orang
lagi seperti terbakar hangus. Di tubuh mereka masih
membekas luka-luka berlubang.
"Tidak salah lagi. Pasti mereka akan menghadiri undangan Kuncoro Sona. Seseorang
telah mencegat dan membantai mereka. Kita pun harus hati-hati, Pa-
man." * * * 6 Pintu gerbang serta pelataran sebuah gedung
telah dipasang umbul-umbul. Hal itu sengaja dipasang untuk menandakan adanya
suatu pertemuan bagi
orang-orang persilatan. Tiap-tiap umbul-umbul itu di-kibarkan pula bendera-
bendera kebesaran bagi Partai
'Dewa Tenggara'.
Selain di depan pintu gerbang, di sekeliling ge-
dung berderet para penjaga bersenjata lengkap. Mere-
ka sengaja ditugaskannya untuk menyambut para un-
dangan yang akan menghadiri pertemuan.
Di sebuah ruangan yang menghadap ke hala-
man gedung, Kuncoro Sona berkumpul bersama
orang-orang kepercayaannya. Laki-laki berumur ham-
pir lima puluh tahun itu memijit-mijit keningnya. Seperti tengah memikirkan
sesuatu. Beberapa orang kepercayaannya duduk berke-
liling berjumlah enam orang sejak tadi memperhati-
kannya. Mereka semua sebenarnya merasa risih sejak
tadi berdiam diri.
Kuncoro Sona sebentar-sebentar bangkit dari
tempat duduknya memandang ke luar. Dan selalu saja
disertai dengan desahan nafas yang panjang.
"Kenapa sampai hari ini mereka belum juga
berdatangan" Tidak tahukah dalam dua hari ini kita
harus segera berkumpul." desah Kuncoro Sona.
"Urusan ini berada dalam tangan Nara Subala
sebagai penyebar undangan. Apakah kau sudah betul-
betul menyerahkan undangan pertemuan?" kata seseorang yang duduk di sebelah
Kuncoro Sona. Ucapan itu ditujukan pada seorang yang duduk
di tengah deretan mereka. Dia adalah Nara Subala
yang ditugaskan untuk menyebar undangan. Dia pula
yang pernah datang ke Perguruan 'Guci Perak'. Juga
menyebarkan pada perguruan-perguruan atau pende-
kar-pendekar lain.
"Semua undangan sudah ku sebar seperti apa
yang ditugaskan oleh Kuncoro Sona. Semuanya ku-
rang lebih lima belas tokoh aliran lurus. Kalau hari ini mereka belum satupun
yang muncul mungkin saja
mereka masih dalam perjalanan. Mungkin ada juga
yang halangan." jawab Nara Subala.
"Apa yang dikatakan Nara Subala adalah benar,
Kakang Kuncoro Sona. Perjalanan ke mari sangatlah
jauh dan juga sangat sulit. Paling tidak mereka harus beristirahat selama dua
kali di desa-desa terpencil."
yang lain ikut menimpali.
"Jangan khawatir, semua perguruan dari partai
manapun cukup menghormati kita. Tidak mungkin ka-
lau mereka tidak datang. Toh pertemuan nanti guna
membicarakan persekutuan aliran lurus yang selama
ini mulai terancam." sela lainnya.
"Bukan apa-apa. Aku khawatir dari Perguruan
'Guci Perak' tidak menghadiri pertemuan nanti, karena saat mereka tertimpa
musibah kita tidak bisa menjenguk mereka. Karena kita sendiri di sini
sesungguhnya merasa kerepotan menghadapi seorang tokoh sesat
yang mulai mengacak-ngacak partai 'Dewa Tenggara'.
Kita sudah sungsang sumbel menghadapi perempuan
setan macam Nyai Awak Ceger. Sampai mampus pun
kita tidak bakal sanggup membasmi gerombolan mere-
ka." tutur Kuncoro Sona.
"Sebenarnya kita masih sanggup menghadapi
perempuan cabul itu, Kakang Kuncoro Sona. Hanya
saja Nyi Awak Ceger licin bagai belut. Tidak mudah ki-ta bisa menemukan mereka."
"Apakah kita tidak merasa malu" hanya meng-
hadapi seorang iblis betina saja harus mengundang
semua orang persilatan"! kata orang-orang aliran sesat nanti" Di kiranya kita
main keroyokan." ujar Nara Subala. "Bukan main keroyokan, Nara Subala. Kau salah
berfikir. Dalam pertemuan nanti aku pun ingin ta-hu. Sampai di mana sepak
terjang Nyi Awak Ceger.
Aku tahu betul sifat rusuh betina cabul itu." kata Kuncoro Sona. Lalu ia
meneruskan lagi kata-katanya...
"Selain itu kita akan memperlihatkan sebuah
pusaka pada mereka."
"Apakah Kakang Kuncoro Sona tidak salah bi-
cara. Untuk apa Pusaka 'Dewa Tenggara' diperli-
hatkan" Hal itu akan mengundang kerusuhan saja.
Bisa-bisa Nyi Awak Ceger akan merecoki pertemuan
nanti." Mendengar kata-kata itu Kuncoro tersenyum. Ia menggelengkan kepala.
Tatapannya terarah pada orang
yang bicara tadi.
"Sukur-sukur kalau betina cabul itu dapat
mencium maksudku. Kalau dalam pertemuan nanti
dia muncul. Kita semakin mudah meringkusnya." ja-wabnya tegas. Barulah mereka
tahu maksud undan-
gan pertemuan Kuncoro Sona.
"Tidak kusangka pikiran Kakang Kuncoro Sona
begitu jernih. Kenapa tidak dari dulu saja kalau punya rencana seperti itu."
Mereka sudah membayangkan seandainya Nyi
Awak Ceger benar-benar terpancing dengan rencana
Kuncoro Sona. Perempuan yang sudah malang melin-
tang merecoki dunia persilatan bagian Tenggara, su-
dah tentu Akan mengalami nasib sial.
Mereka berharap pula agar semua orang-orang
persilatan dapat semua hadir. Namun di balik itu se-
mua tanpa diketahui oleh mereka, Nyi Awak Ceger le-
bih cerdik. Sebenarnya perempuan itu sendiri tidak ta-hu maksud tujuan orang-
orang 'Dewa Tenggara'. Kalau
dia bersama dua orang anak buahnya selalu menjegal
bahkan membunuhi setiap orang-orang aliran lurus
yang akan menghadiri undangan Kuncoro Sona, itu-
pun atas dasar suruhan seseorang yang bermaksud
menggagalkan pertemuan nanti.
Sayangnya, dalang semua ini belum dapat di-
pastikan siapa orangnya. Kuncoro Sona sudah merasa
curiga terhadap orang-orang kepercayaannya sendiri.
Selama ini majikan 'Dewa Tenggara' hanya menyelidiki secara diam-diam. Bahkan
sekarang ia mengatakan
bahwa dalam pertemuan nanti akan menunjukkan ba-
rang pusaka milik Partai 'Dewa Tenggara'.
*** Dua Pendekar Buntung semakin menerobos ke
luar dari hutan. Dari situ mereka sudah dapat melihat
sebuah desa terpencil. Jaraknya masih sangat jauh.
Rumah-rumah penduduk nampak bagai titik-titik yang
berwarna warni. Dibatasi dengan sederetan pohon
yang menghijau.
Demi melihat korban-korban dari Perguruan
'Angin Manik' mereka sengaja tidak berniat untuk me-
neduh di perbatasan hutan. Meskipun demikian, me-
reka selalu tetap waspada. Karena mereka yakin sekali para pembantai itu setiap
saat akan muncul.
Kekhawatiran itu pun rupanya masih mengge-
luti mereka. Setelah menembus perbatasan hutan, bau
busuk menyengat lagi Mereka bukannya tidak melihat
kalau di hadapannya telah bergelimpangan belasan
mayat. Hampir rata-rata keadaan mereka begitu men-
gerikan. Tubuh mereka penuh lubang. Dan masih
mengeluarkan darah segar. Pastilah pertempuran itu
belum lama berlangsung.
Yang lebih terkejut lagi saat mereka melihat
seorang perempuan cantik duduk di atas batu yang
menonjol. Pandangan perempuan itu tidak lepas mena-
tap kedua Pendekar Buntung. Sebelah kakinya men-
ginjak seonggok mayat penuh luka.
"Pendekar-pendekar gagah. Kalau tidak salah
lihat, kalian pastilah dari Perguruan 'Guci Perak'." kata perempuan cantik yang
tidak lain adalah Nyi Awak
Ceger. Amarsa Rawut maupun Pendekar Gelugut Sutra
balas menatap...
"Siapapun anda. Tentunya anda juga seorang
yang gagah berani, Nyi. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan orang-orang
"teratai Kencana'." tanya Gelugut Sutra.
"Kenapa harus bertanya kepadaku" Tanya saja
pada mereka." jawab Nyi Awak Ceger segan sambil menjentik-jentikkan kukunya yang
runcing. Tentu saja kedua Pendekar Buntung ini jadi saling pandang.
"Mereka telah jadi mayat. Apa maksud mu ber-
kata begitu, Nyi?"
"Hik-hik-hik-hik.... Pakai pura-pura tanya sega-la. Mana ada manusia berbicara
pada mayat. Kecuali
kalian telah menjadi mayat!" Nyi Awak Ceger menendang satu mayat yang tadi
diinjaknya. Kemudian ia


Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkit dengan lenggak-lenggok yang genit.
"Huh! Rupanya iblis betina yang menghalangi
orang-orang undangan Kuncoro Sona. Biadab!" hardik Pendekar Gelugut Sutra.
"Tepatnya memang begitu. Dan kau sendiri, ke-
napa berlindung di bawah Perguruan 'Guci Perak'"
Apakah merasa takut karena kedua telapak tanganmu
buntung?" Ucapan pedas itu ditujukan pada Pendekar Gelugut Sutra. Sudah tentu
lelaki setengah tua ini jadi naik darah.
"Selama ini aku belum pernah mengenal seo-
rang tokoh sesat perempuan jalang macam kau. Berani
pula ngaku perbuatan sendiri." Pendekar Gelugut Sutra melompat turun dari
pelana. "Kenapa harus takut menyimpan perbuatan
sendiri" Toh kalian juga bakal mampus sekarang!" ka-ta Nyi Awak Ceger mementang
jurus. Gerak-geriknya
bagaikan seorang penari. Jelas setiap gerakannya
membuat Pendekar Gelugut Sutra maupun Amarsa
Rawut sangat terpesona. Apalagi lekuk-lekuk tubuh
Nyi Awak Ceger begitu mempesona dan memikat. Se-
bagai laki-laki sempurna, mereka betul-betul menga-
gumi tubuh ramping Nyi Awak Ceger.
"Perempuan cabul! Jangan coba-coba menggo-
da kami! Cepat minta ampun dan menyerahkan diri!"
bentak Amarsa Rawut. Ia telah sadar dari bius asmara yang diam-diam dilancarkan
oleh Nyi Awak Ceger. Tubuh tanpa kaki itu melesat dari atas kuda.
"Laki-laki goblok! Tidak tahukah kalau Pende-
kar Gelugut Sutra sangat tertarik padaku?" Nyi Awak Ceger mundur. Tubuh Amarsa
Rawut berjumpalitan
hinggap di tanah. Lalu ia berdiri dengan kedua tong-
katnya. "Paman! Hati-hati terhadap perempuan ini!" teriak Amarsa Rawut sambil
lancarkan babatan tongkat-
nya. Bagai terkesiap Pendekar Gelugut Sutra tahu-
tahu sudah melihat Amarsa Rawut menggempur Nyi
Awak Ceger. Ia pun segera datang melompat memban-
tu Amarsa Rawut.
"Bangsat! Rupanya ilmumu tidak cetek, pemu-
da ganteng. Pantas kau diundang oleh Kuncoro Sona."
tukas perempuan itu. Mendadak ia menjentikkan jari-
jarinya. Maka seperti yang sudah-sudah, tahi kuku-
tahi kuku mengandung 'Racun Kuku Wesi' menghujani
mereka. Tidak kalah sigap Amarsa Rawut melindungi di-
ri. Tongkatnya berputar menderu-deru. Tahi kuku
yang merupakan senjata andalan Nyi Awak Ceger ber-
pentalan. Begitu juga dengan Pendekar Gelugut Sutra.
Tanpa basa-basi ia melancarkan jurus 'Jaring Meren-
cah Kutu'. Dengan begitu semua senjata rahasia Nyi
Awak Ceger dapat dikendalikan seperti orang menjala
ikan. Bukan main terkejutnya perempuan itu. Ia tidak menyangka akan kehebatan
dua Pendekar Buntung.
Terlebih-lebih terhadap Pendekar Gelugut Sutra.
Meskipun kedua telapak tangannya telah buntung,
pendekar itu masih bisa mengeluarkan jurus-jurus
simpanan. Bahkan lebih sempurna dari sebelumnya.
Menghadapi dua orang cacat itu, Nyi Awak Ceg-
er bagai menghadapi sepasukan orang berilmu tinggi.
Bagaimana tidak" Serangannya yang selama ini selalu
mematikan bagi musuh-musuhnya, kini seakan tiada
berarti apa-apa.
Amarsa Rawut gencar memainkan tongkat pe-
dangnya. Ia tidak segan-segan mengeluarkan jurus
'Pedang Seribu Halilintar'. Jurus tersebut sangatlah dahsyat. Dapat memapaki
setiap gerakan-gerakan Nyi
Awak Ceger. Sudah tentu ia menjadi kelabakan. Apala-
gi Pendekar Gelugut Sutra tidak henti-hentinya dengan serangkaian pukulan '
Tinju Kepompong' yang selalu
mengena. Menghadapi serangan dari dua jurusan, Nyi
Awak Ceger sangatlah terdesak. Ujung tongkat Amarsa
Rawut dapat masuk menghantam kepalanya.
* * * 7 "Bledar...!" Batok kepala Nyi Awak Ceger men-gucurkan darah. Ujung tongkat
Amarsa Rawut berpu-
tar lagi. Tapi pada hantaman ini Nyi Awak Ceger dapat menghindar cepat. Tubuhnya
melesat jauh-jauh. Ia
meringis menahan sakit. Dalam pada itu datang pula
serentetan hantaman dari Pendekar Gelugut Sutra....
"Plakk!... Plak!... Des!" Pukulan 'Ulat Menggempur Lobang' mengena telak
menghantam punggung. Nyi Awak
Ceger tersungkur menyembur darah.
Tubuh ramping bergulingan. Namun secepat ki-
lat Nyi Awak Ceger bangkit. Mulutnya menyeringai
menyeramkan. Mulutnya tadi menyemburkan darah,
telah penuh dengan lumuran darah mengotori. "Hik-hik-hik-hik.... Hebat, hebat!
Pendekar Gelugut Sutra maupun pendekar dari 'Guci Perak' memang bukan
nama kosong. Tidak mungkin aku yang berilmu ren-
dah ini dapat mengalahkan kalian." Meskipun masih terasa sakit, Nyi Awak Ceger
masih dapat mengumbar
tawa. "Sudah tahu begitu, kenapa tidak cepat bunuh diri di hadapan kami! Ayo
lakukan perempuan cabul.
Hitung-hitung menebus dosa." ujar Amarsa Rawut.
"Sekarang pun rasanya seperti hampir mati.
Kenapa tidak kalian saja yang membunuhku?" Suara Nyi Awak Ceger menggoda. "Kami
tidak ingin mengotori tangan kami dengan darah cabulmu!" bentak Pendekar Gelugut
Sutra. "Hik-hik-hik-hik...! Pendekar-pendekar muna-
fik! Aku khawatir kalian akan memperkosa diriku setelah aku mati!"
"Bangsat! Kepalamu memang harus di hancur-
kan!" Pendekar Gelugut Sutra mendidih. Ia menerjang siap melancarkan hantaman.
Tapi.... "Tunggu dulu.... Tunggu dulu...." Nyi Awak Ceger mundur sambil mendorong dengan
Lembah Nirmala 23 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Gadis Penunggu Jenazah 3
^