Gadis Penyebar Cinta 1
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta Bagian 1
1 DALAM kerimbunan hutan berpohon liar, di an-
tara tebing-tebing berdinding curam, terdapat genan-
gan air yang mengalir dengan deras. Genangan air
mengalir itu ternyata adalah sungai dangkal berbatu-
batu besar dan tinggi. Di sungai itulah terdapat apa
yang dinamakan 'Gerojogan Sewu'.
Gerojogan adalah curah air yang tentu saja dari
atas turun ke bawah. Bukan dari bawah naik ke atas.
Gerojogan bisa diartikan 'air terjun'. Sedangkan sewu
artinya seribu. Jadi Gerojogan Sewu, adalah air terjun seribu. Bukan berarti air
terjunnya ada seribu buah,
tapi curah air yang turun ke sungai itu banyaknya se-
perti seribu air terjun. Karena itu suara gemuruhnya
seperti gemuruh magma di dalam kerak bumi.
Kedua pemuda berwajah sama alias Pendekar
Kembar datang ke tempat itu untuk menjalankan pe-
rintah guru mereka. Beberapa hari yang lalu, ayah
angkat Raka Pura dan Soka Pura yang dikenal dengan
nama Pawang Badai itu berkata kepada mereka ber-
dua, "Mendiang Eyang Guru menemuiku di dalam
mimpi." Soka Pura menyela dengan kekonyolannya,
"Apakah semalam Ayah tidur?"
Raka menyahut dengan dongkol, "Tentu saja
Ayah tidur, Tolol. Kalau tidak tidur bagaimana bisa
bermimpi?"
"Bisa saja," sahut Soka dengan bersungut-
sungut. "Buktinya ketika kubilang bahwa aku ingin bi-sa terbang ke bulan, kau
mengatakan padaku: 'Kalau
punya keinginan yang wajar saja. Jangan bermimpi!'.
Padahal waktu itu kau tahu kalau aku tidak sedang ti-
dur, toh kau mengatakan aku bermimpi"!"
Raka Pura makin kesal. Ia cemberut dan tak
mau bicara kepada adik kembarnya itu. Ia bahkan ber-
tanya kepada ayah angkatnya, "Jadi mimpi itu sebenarnya apa, Ayah" Sesuatu yang
hadir di dalam tidur
atau di dalam tidak tidur"! Sebab...."
"Tunggu sebentar...," sergah Pawang Badai
dengan kalem sambil menahan kejengkelan. "Yang ingin kubicarakan bukan soal arti
kata mimpi, tapi isi
dan makna dari mimpi ku itu! Mengapa kalian meri-
butkan soal arti kata mimpi" Karena mimpi sendiri se-
benarnya adalah...."
"Lho, sekarang Ayah yang melantur, mau men-
jelaskan arti kata mimpi!" potong Soka Pura sambil nyengir geli. Sang Ayah tidak
jadi bicara, hanya menarik napas, itu pun dilakukan dengan pelan-pelan, se-
bab kalau nafasnya ditarik kuat-kuat takut putus di
tengah jalan. "Eyang Guru Mangkuranda alias Dewa Kencan
sengaja menemuiku di alam mimpi dan menyampaikan
amanat yang harus kusampaikan kepada kalian," Pa-
wang Badai mulai serius lagi.
"Apa isi amanat itu, Ayah?" tanya Raka Pura
bagai tak sabar menunggu.
Soka Pura menyahut, "Pasti isinya perintah un-
tuk ku agar segera menikah atau mencari kekasih se-
banyak mungkin."
"Dasar mata keranjang!" gertak kakaknya.
"Keranjang matanya segini besar buat ngeran-
jangi kepalamu itu, ya"!" geram Soka Pura. Sang kakak merasa semakin kesal dan
ingin memukul adiknya.
"Kutampar mulutmu bicara begitu lagi padaku!"
"Kututup mulutku pakai batu besar. Kau mau
menampar dari mana, hah?"
"Eh, melawan kau"! Berani kau"!"
Pawang Badai geleng-geleng kepala. "Kalau mau
tampar-tamparan jangan di sini. Nanti ibumu tahu.
Sana, di luar sana!"
"Maaf, Ayah...."
"Ampun, Ayah...." Keduanya duduk bersila
kembali dengan sikap patuh dan hormat. Kini mereka
diliputi suasana hening karena saling membungkam
mulutnya sendiri-sendiri. Beberapa saat kemudian,
Pawang Badai mulai perdengarkan suaranya lagi yang
bernada tegas, namun punya kebijakan tersendiri se-
bagai seorang ayah angkat yang sabar dan penuh ka-
sih sayang kepada mereka.
"Amanat yang harus kusampaikan kepada ka-
lian adalah tugas yang harus segera kalian kerjakan.
Pendekar Kembar harus mencari Gerojogan Sewu dan
bersemadi di sana, di bawah gerojogan itu, untuk da-
patkan sebuah ilmu baru yang dinamakan ilmu'
Waskita Indera', yang dulu dimiliki oleh ayahnya
Eyang Guru Dewa Kencan, yaitu...."
"Eyang Buyut Suralaya...!" sahut mereka ber-
dua. Pawang Badai hanya menggumam pendek dan
manggut-manggut tanda membenarkan jawaban terse-
but. "Apa kehebatan ilmu 'Waskita indera' itu,
Ayah?" tanya Soka Pura.
"Seseorang yang memiliki ilmu 'Waskita Indera'
dapat mengetahui apa yang akan dialami dalam waktu
beberapa hari nanti. Dengan memiliki ilmu 'Waskita
indera' kalian dapat mengetahui esok akan dihadang
lawan berilmu tinggi, atau akan mendapat suguhan
dari seorang teman atau yang lainnya."
"Asyik! Kalau begitu jika aku mempunyai ilmu
itu, maka aku dapat mengetahui siapa gadis yang akan
ku kenal esok hari dan secantik apakah dia. Begitu-
kah, Ayah?" tanya Soka dengan girang.
"Ya. Begitulah kira-kira kegunaan ilmu 'Waskita
indera' itu."
Raka Pura menggerutu, "Perempuan terus yang
ada dalam otakmu itu!"
"Ya, biarlah! Kita toh lahir dari seorang perem-
puan, mengapa tak boleh memikirkan tentang perem-
puan"!" "Boleh saja!" bentak Raka Pura. "Tapi tidak setiap saat, setiap kata,
selalu dihubungkan dengan pe-
rempuan!" "Itu tandanya kita selalu ingat kepada ibu kita!"
"Ingat kepada ibu bukan begitu caranya!" bantah Raka. "Yang ada dalam otakmu
bukan perempuan
sebagai seorang ibu, tapi perempuan sebagai teman
berkencan! Hmm..., dasar otak ngeres!" Lalu ia berkata kepada Pawang Badai,
"Apakah perempuan itu hanya layak sebagai
teman kencan saja, Ayah?"
Tidak hanya itu. Perempuan adalah teman hi-
dup kita, bukan urusan kencan-mengencan saja."
"Apakah di sekitar puncak Gunung Merana ini
tak ada perempuan yang bidangnya menjadi teman hi-
dup ku, Ayah?"
Soka Pura menyahut dengan keras, "Naaaah...
akhirnya tanya soal perempuan juga, kan"! Huhhh...!"
"Lho, aku bertanya soal teman hidup. Bukan
semata-mata bertanya perempuan untuk Kencan. Ke-
cuali kalau aku...."
"Ssst...!" potong Pawang Badai, lalu berkata dalam bisikan, "Di sini tidak ada
perempuan lain kecuali ibu mu; Rara Padmi itu."
Nyi Padmi, istri Pawang Badai, yang kebetulan
lewat di belakang kedua anak kembar itu segera me-
nyahut dengan berpura-pura ketus.
"Jangan bicara soal perempuan. Aku tersing-
gung!" "Kenapa ibu tersinggung?" tanya Soka Pura
sambil setengah nyengir.
"Karena memang hanya akulah perempuan di
puncak gunung ini. Aku tak mau dibicarakan dan di-
bahas oleh kalian bertiga! Sebaiknya, cepatlah pindah
ke dalam rumah, makanan untuk kalian telah terse-
dia." "Sebentar, Bu," kata Pawang Badai tetap dengan sabar. "Kami sedang
membicarakan tentang ilmu
'Waskita Indera' yang...." -
"Aaah... ilmu 'Waskita indera' dulu yang harus
kalian kerjakan. Aku sudah capek-capek siapkan hi-
dangan untuk kalian, kalau kalian tak mau segera
menyantapnya, nasi itu akan ku tanam kembali biar
menjadi padi lagi, dan panggang ayam hutan itu akan
kulepas lagi biar terbang ke mana-mana!"
Pendekar Kembar tertawa bersama senyum Pa-
wang Badai yang bijaksana. Akhirnya percakapan itu
mereka teruskan dalam acara santap siang bersama.
Acara santap siang itu adalah acara istimewa, karena
sudah beberapa waktu lamanya tak pernah mereka la-
kukan. Bukan karena mereka tak punya persediaan
beras atau lauk, tapi karena mereka jarang berkumpul
seperti saat itu. Sejak Raka dan Soka menyandang ge-
lar Pendekar Kembar, mereka jarang pulang ke puncak
Gunung Merana, sedangkan Pawang Badai lebih sering
menghabiskan waktunya untuk berpuasa, memperta-
jam kendali batin, agar lebih mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta. Menurut Pawang Badai, memiliki Ilmu 'Waskita
Indera' bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal
yang sulit. Pawang Badai sendiri mengakui kebodo-
hannya dalam hal itu, karena sampai sekarang ia be-
lum memiliki ilmu tersebut. Ia pernah mencobanya be-
rulang kali tapi selalu gagal.
Sebenarnya dalam semadi nanti kalian akan
mengalami godaan atau gangguan yang tidak terlalu
berat, namun justru sulit kalian hindari. Kalau hati,
jiwa, dan sukma tidak menyatu, maka kalian akan
gagal mendapatkan ilmu itu karena godaan ringan
yang sebenarnya justru membuat kalian terbuai, lalu
gagal dalam semadi kalian. Oleh sebab itu, hati-hatilah sekali terhadap gangguan
atau godaan sekecil apa
pun. Karena hai itu dapat menjadikan duri dalam se-
madi kalian nanti."
"Ah, kalau aku tak mungkin gagal," ujar Soka agak sombong, sengaja membesarkan
hati di depan kakaknya. Sebab dalam hati kecilnya ia mengakui,
bahwa sang kakak memang lebih tekun dibandingkan
dirinya dalam hal menuntut ilmu atau mempelajari
suatu jurus. Tapi ia selalu tak mau kalah dengan sang
kakak. Karenanya ia menyambung ucapannya dengan
mencibir sombong,
"Jangankan bersemadi di bawah air terjun, ber-
semadi di atas air terjun pun aku sanggup lakukan
sampai berbulan-bulan."
"Tentu saja. Sebab itu lebih mudah daripada
bersemadi di bawah curahan air terjun!" sahut Raka.
"Jangankan bersemadi tanpa makan berhari-
hari, sedangkan bersemadi pakai acara makan setiap
hari, pun aku sanggup lakukan berbulan-bulan!"
"Dasar konyol!" geram kakaknya.
Akhirnya mereka pun berangkat menuju Gero-
jogan Sewu. Sesuai dengan petunjuk Pawang Badai,
mereka harus duduk di bawah curahan air terjun be-
sar itu. Mereka harus bisa menahan rasa dingin akibat
guyuran air terjun. Mereka juga harus duduk di atas
batu dan beradu punggung, tak boleh saling berhada-
pan. "Lagi pula kalau aku harus duduk berhadap-
hadapan denganmu sampai berhari-hari bisa pingsan!"
ujar Soka Pura.
"Memangnya kenapa kok pingsan?"
"Lapar! Berhari-hari memandang mu tanpa
makan apa tak lapar"!"
Raka Pura tertawa geli, ia menonjok lengan
adiknya sambil melangkah menuju tempat yang di-
maksud. Sebenarnya sang kakak sangat sayang kepa-
da adiknya, demikian pula sang adik. Tapi kasih
sayang itu saling tak mau ditonjolkan, sehingga secara sepintas mereka tampak
sering bertengkar mulut atau
beradu debat. Pertengkaran dan adu debat adalah hal
yang wajar bagi sepasang kakak-beradik, terlebih ka-
kak-beradik kembar. Oleh karenanya, Pawang Badai
tak terlalu mencemaskan mereka berdua. Ia yakin me-
reka berdua dapat menjaga kerukunan dan kesatuan
sebagai Pendekar Kembar yang ilmunya cukup berba-
haya jika digabungkan menjadi satu.
Mereka menemukan batu yang bisa dipakai
duduk berdua saling beradu punggung. Batu itu tepat
berada di bawah guyuran air terjun yang tinggi dan cu-
rah airnya cukup lebat, Mungkin batu itulah yang di-
maksud oleh Pawang Badai saat menjelaskan kepada
mereka, "Ada batu datar berbentuk seperti ranjang reot tepat di bawah curahan
air terjun itu...."
Melihat batu tersebut, Soka Pura segera berka-
ta, "Tunggu sebentar aku mau mencari daun pisang
dulu." "Untuk apa mencari daun pisang?" "Untuk payungan, biar badan kita tidak
basah diguyur air se-begitu derasnya itu!"
"Bagaimana kalau kita bangun rumah dan ke-
dai nasi sekalian di atas batu itu," ujar Raka semakin konyol, lalu kedua sama-
sama tertawa. Dua pemuda kembar itu mulai menyiapkan diri
mengawali semadinya. Mereka tidak melepaskan baju
putihnya yang tanpa lengan itu, mereka juga tidak me-
lepaskan celananya yang putih pula itu, bahkan mere-
ka tidak melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat
dari kain merah itu. Namun mereka saling melepaskan
pedang kristal dari pinggang mereka. Pedang Tangan
Malaikat diletakkan di atas pangkuan mereka. Dengan
duduk bersila dan saling beradu pandang, mereka bi-
arkan curah air terjun itu mengguyur tubuh mereka,
membasahi rambut mereka yang panjang sebahu tan-
pa ikat kepala. Dalam guyuran air sederas itu, wajah
mereka tetap tampak tampan, tubuh mereka tetap
tampak tegar, gagah, dan tegap, tanpa menggigil sedi-
kit pun. Sampai dua hari, mereka masih tetap tegak
bagaikan patung bernyawa.
Tetapi pada hari ketiga, mereka tiba-tiba men-
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar suara jeritan seorang gadis yang melengking
panjang. Raka Pura masih tetap pejamkan mata, tapi
Soka segera membuka mata karena kaget mendengar
suara jeritan seorang gadis yang didengarnya secara
samar-samar karena gemuruh air itu. Semula ia ingin
pejamkan mata kembali. Tapi jeritan itu terdengar se-
makin jelas dan mengiba hati.
"Aaaow...! Tolooong...! Tolooong...! Aaaa...!"
"Seorang gadis dalam bahaya!" pikir Soka. Sebagai pemuda berjiwa romantis, ia
tak tega mendengar
suara gadis meratap dalam jeritan seperti itu. Maka,
tanpa memberitahukan kakaknya, Soka segera lompat
ke daratan. Wuuut...! Dalam keadaan basah kuyup, ia
pun berlari menuju arah datangnya suara jeritan tadi.
Pedang pusakanya ditenteng dengan tangan kanan
agar sewaktu-waktu datang bahaya bisa segera dicabut
menggunakan tangan kiri, karena ia adalah pemuda
kidal, yang banyak menggunakan tangan kirinya ke-
timbang tangan kanannya. Berbeda dengan Raka yang
selalu bertindak dengan menggunakan tangan kanan-
nya. Dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai', Soka
mampu bergerak cepat menyamai kecepatan hembu-
san badai yang paling cepat. Wuuuzzz...! Dalam seke-
jap saja ia sudah tiba di sebuah gugusan tanah cadas
dan melihat sesuatu yang terjadi di bawah gugusan
cadas yang menyerupai bukit itu.
Rupanya di sana sedang terjadi kejar-kejaran
antara seorang gadis dengan seorang pemuda yang di
perkirakan berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ga-
dis itu sendiri berusia sekitar dua puluh tahun.
Sang gadis yang berpakaian hijau muda dengan
jubah lengan panjangnya berwarna merah tua itu be-
rusaha menghindari tangkapan tangan seorang pemu-
da berpakaian serba biru. Agaknya si gadis punya ilmu
sedikit, setidaknya mampu bergerak dengan lincah dan
cepat. Namun si pemuda bersenjata pedang di pung-
gungnya itu juga mempunyai gerakan yang tak kalah
lincah dengan si gadis. Sayangnya, si gadis yang ber-
wajah cantik jelita itu terlalu licin untuk ditangkap, ia bagaikan belut yang
selalu lolos dari genggaman lawannya. Sedangkan pemuda yang berambut pendek
mengenakan ikat kepala merah itu sempat dibuat
jengkel dengan kegagalannya itu. Akhirnya si pemuda
gunakan ilmu peringan tubuh yang dapat melambung
di udara dalam gerakan bersalto hanya dengan satu
kali sentakkan kaki ke tanah.
Des, wuuuk ..! Jleeg...!
Sang gadis yang ingin melarikan diri itu terha-
dang kembali, sehingga langkahnya terhenti sambil
menjerit ketakutan. Tapi pemuda berbaju biru dengan
wajah lumayan tampan itu memandang tajam kepada
si gadis, seakan memancarkan kemarahannya yang
tak terbendung lagi. Soka Pura masih membiarkan
adegan itu, karena ia ingin mengetahui persoalannya
lebih dulu. "Rara Wulan! Sekali lagi ku ingatkan padamu,
kau hanya punya dua pilihan: pasrah kepadaku atau
mati di ujung pedangku"!" bentak si pemuda.
Gadis yang rupanya bernama Rara Wulan itu
terengah-engah dengan wajah tegang, namun ia tidak
mencucurkan air mata. Ia hanya tampak dicekam rasa
takut dan kebingungan sekali.
Si pemuda berkata lagi, "Sekarang kau sendi-
rian, Wulan! Pelayanmu telah pergi dan tak berani
menghadapiku lagi. Kau tak punya pelindung siapa-
siapa di sini. Jika kau tak mau menuruti kemauanku,
maka aku akan segera mengirimmu ke neraka!"
"Percuma saja aku menuruti kemauanmu, sete-
lah kau memperoleh apa yang kau inginkan, aku pun
akan kau bunuh! Aku tahu, tugasmu adalah membu-
nuhku, Dirgayana! Kau akan memanfaatkan tubuhku
untuk melampiaskan nafsumu lebih dulu sebelum aku
kau bunuh! Jadi untuk apa aku harus menuruti kein-
ginanmu itu, Keparat!"
"Kalau begitu kau ingin agar aku segera mem-
bunuhmu, Gadis Tolol"! Baiklah kalau itu kemaua-
nmu. Akan aku lakukan sekarang juga!"
Sriling...! Dirgayana mencabut pedangnya.
"Aaaa...!" Rara Wulan menjerit ketakutan dan semakin tegang. Ia melangkah mundur
sampai tak sadar membentur sebatang pohon besar. Kakinya ter-
sandung akar pohon dan ia pun jatuh dengan pekikan
memanjang lagi. Saat itu, Dirgayana segera mene-
baskan pedangnya bagai ingin membelah dada Rara
Wulan. Weeees...! Traaaang...!
Pedang itu tersentak kuat hingga pemegangnya
ikut terpelanting ke kiri. Rupanya sebelum pedang itu
menyentuh kepala Rara Wulan, sebongkah batu satu
genggaman telah melayang cepat dan menghantam pe-
dang tersebut. Batu itu tidak dilemparkan begitu saja, namun mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang
mampu membuat Dirgayana ikut tersentak dan terpe-
lanting ke samping. Ia hampir saja jatuh kalau saja
pedangnya tidak segera dipakai sebagai tongkat pe-
nyangga tubuhnya.
Wuuut...! Jleeeg...!
Soka Pura tiba di depan Dirgayana, memung-
gungi Rara Wulan. Seakan ia tampil sebagai perisai si
gadis bertahi lalat kecil di tepian bibir bawahnya itu.
Sikapnya tenang dan kalem, pandangan matanya tak
terlalu tajam. Berbeda dengan Dirgayana yang me-
mandang tajam dengan sikap bermusuhan.
"Jahanam kau! Apa maksudmu mencampuri
urusanku, hah?" bentak Dirgayana. "Ini urusan suami-istri, kau tak perlu ikut
campur dalam rumah tangga
kami!" "Bohong! Bohong! Aku bukan istrinya!" sahut Rara Wulan yang berambut
kepang dua dengan tiap
kepang diberi pita merah. Gadis itu cepat-cepat bang-
kit dan mendekati Soka Pura.
Tolonglah aku! Aku mau dibunuhnya kalau tak
mau melayani nafsu setannya itu! Dia bukan suamiku.
Aku masih gadis, belum pernah menikah. Sumpah!
Berani di cucup ubun-ubun ku oleh setan penunggu
hutan ini kalau aku berbohong padamu, Pangeran!"
"Diam kau!" bentak Dirgayana. "Kau memang seorang istri yang tak patut dipuji.
Kerjamu hanya berselingkuh dengan lelaki lain berganti-gantian!"
"Bohong, bohong; bohong...!" Rara Wulan
mengguncang-guncang lengan Soka. "Aku tak pernah
berselingkuh. Sekalipun aku berselingkuh, toh itu
hakku, dia tak punya hak apa-apa karena dia bukan
suamiku, bukan apa-apa ku! Tapi aku memang tak
pernah berselingkuh kok, Pangeran! Sumpah seribu
kali!" Soka hanya berkata pelan dan pendek, "Aku bukan pangeran."
"Ah, masa' tampan-tampan begini bukan pan-
geran" Aku tak percaya!"
"Terserah," kata Soka dengan kalem sekali, suaranya dibuat lembut agar lebih
berkesan di hati gadis itu. "Sejujurnya kukatakan padamu, Cantik... aku bukan
pangeran. Hanya seorang pengembara yang tanpa
atap tanpa wisma."
"Cuih!" Dirgayana meludah dengan benci. "Kuhabisi nyawamu kalau tak mau
menyingkir dari de-
panku Kecoa Busuk!"
"Jangan mau! Jangan mau!" Rara Wulan yang
masih pegangi lengan kanan Soka dengan kedua tan-
gan itu mengguncang-guncang tubuh pemuda itu,
"Jangan mau menyingkir! Lawan saja si tikus
lumbung itu. Dia bukan suamiku kok! Kalau kau me-
nyingkir, aku ikut!"
"Hmmm, hmm, hmm..! Soka tertawa kalem,
berkesan wibawa dan tampak gagah sekali. Pandangan
matanya memancarkan kelembutan yang berbisa. La-
wan maju selangkah, bisa buntung kepalanya ditebas
dengan pedang yang terbuat dari kaca kristal itu.
Dirgayana semakin marah melihat Rara Wulan
bermanja kepada pemuda yang belum dikenalnya itu.
Ia segera berseru dengan wajah merah.
"Wulan, menyingkirlah dari kecoa busuk itu!
Percuma saja kau mengandalkan pemuda itu. Belum-
belum ia sudah ketakutan menghadapiku. Lihat saja,
tubuhnya sampai berkeringat begitu!"
"Ini bukan keringat, ini karena guyuran air ter-
jun, Goblok!" ujar Soka kehilangan wibawanya sesaat, tampak konyolnya sedikit.
"Iya. Ini bukan keringat," timpal Rara Wulan.
"Tak mungkin pemuda segagah ini belum-belum sudah berkeringat. Dia cuma
mengeluarkan peluh terlalu banyak karena...."
"Itu sama saja berkeringat!" bisik Soka tak setuju. "Maksudku, kau pasti
menderita lemah jantung sehingga sering keluarkan peluh tanpa disebabkan ra-sa
takut atau kerja keras."
"Ini air, bukan keringat!" Soka mulai ngotot Dirgayana membentak, "Persetan air
atau keringat, yang penting kau harus segera menyingkir dan
jangan dekati istriku lagi!"
Soka Pura selipkan pedangnya di pinggang ka-
nan. Sleeep...! Lalu ia berbisik kepada Rara Wulan,
"Lepaskan genggaman mu, biar aku bebas bergerak!"
"Ya, ya... tapi... tapi lindungi aku, ya?"
"Tentu. Aku akan melindungi gadis cantik se-
pertimu selama kau membutuhkan perlindungan ku.
Jangankan hanya lelaki macam dia, lelaki yang tak
macam-macam pun aku berani menghadapinya!"
"Kalau lelaki tak macam-macam untuk apa di-
hadapi, berarti dia tak bersalah!" gerutu Rara Wulan dengan wajah masih
dibayangi ketegangan.
Setelah genggaman kedua tangan si gadis dile-
paskan, Soka Pura pun maju satu langkah dan me-
nuding Dirgayana yang masih memegangi pedangnya
dan siap ditebaskan ke arah lawan.
"Hei, beruang dikebiri... jangan mengaku-aku
sebagai suami gadis ini! Aku dengar sendiri dari atas
sana, kau minta dilayani gadis ini, jika tidak kau akan membunuhnya! Apakah itu
sikap seorang suami"
Hmm, tidak! itu sikap seorang pemerkosa licik!"
"Itu urusanku. Apa hakmu ikut campur uru-
sanku"!" sentak Dirgayana.
"Sungguh tak seimbang, pemuda gagah bertu-
buh kekar sepertimu hendak melawan gadis cantik
yang imut-imut seperti ini! Jika kau merasa mampu
membunuh dengan pedangmu, lawanlah aku!"
"Ya, betul! Kalau berani lawan pemuda tampan
ini!" timpal Rara Wulan dengan lagak menantang,
membanggakan Soka Pura. Hai itu membuat Dirgaya-
na semakin berang, hatinya bagai dibakar memakai
delapan puluh obor. Panas sekali.
Dirgayana pun menggeram, "Bangsat tengik
kau! Terimalah pedang pencabut nyawaku ini!
Hiaaaah...!"
Dirgayana menebaskan pedangnya ke samping,
tapi pedang itu segera meliuk dan jadi menghujam ke
dada Soka Pura. Suuut...! Soka Pura melompat miring,
pedang itu lolos dari sasaran. Kaki Soka segera me-
nendang siku-lengan yang memegangi pedang itu. Bet!
Plook...! "Aaaow...!" Dirgayana memekik kesakitan. Tendangan berisi tenaga dalam
telah kenai sikunya, tulang siku bagaikan remuk seketika. Tak heran jika
genggaman tangan pun menjadi kendor dan pedang itu jatuh
ke tanah setelah mencelat ke udara dan melayang-
layang sesaat. Menyadari tangannya sudah tidak memegang
pedang lagi, Dirgayana segera memutar tubuhnya dan
melayangkan tendangan kipasnya dengan cepat.
Wees...! Plak...! Tangan Soka menahan tendangan itu,
kemudian tangan yang satu segera menghantam ke
ulu hati Dirgayana dengan gerakan sangat cepat. Bet!
Dirgayana berusaha mengelak tapi justru terhantam
tulang rusuknya. Praaak!
"Ouhk...!" Tulang rusuk itu terasa remuk juga.
Sakitnya terasa dari kepala sampai ujung kaki. Dir-
gayana sempat terbungkuk sesaat kala menahan rasa
sakit. Kesempatan itu digunakan oleh Soka untuk so-
dokkan lututnya ke atas sambil menjambak rambut
Dirgayana dan menyentakkan kepala itu ke bawah
dengan kuat. Cproot...!
"Ouuuhff...!" Dirgayana meraung lagi. Kini mulutnya berdarah karena diadu dengan
lutut Soka Pura.
Bibirnya pecah membentur gigi. Dirgayana limbung, la-
lu dengan melompat pendek, kaki Soka menendang ke
atas. Bet! Duhk!
"Aakh...!" Dirgayana memekik lagi karena da-
gunya menjadi sasaran kaki Soka cukup keras, aki-
batnya darah makin membanjir dari mulut Dirgayana.
Pemuda itu pun jatuh terbanting tepat di depan pe-
dangnya. "Bagus. Hajar lagi!" seru Rara Wulan dengan
tangannya ikut memukul-mukul penuh kebencian.
"Awas, dia mau ambil pedangnya! Gencet punggung-
nya. Hajar terus! Hajar sampai sekarat!"
Soka Pura melangkah pelan dekati Dirgayana
saat Dirgayana sudah berhasil menyambar pedangnya.
Tiba-tiba ia berbalik arah sambil berlutut satu kaki, la-lu pedangnya di
sambetkan ke arah kaki Soka. Wees...!
Wuuut! Soka Pura lompat ke atas. Pedang itu tak kenai
sasaran lagi. "Bagus! Awas turunnya!" seru Rara Wulan
memberikan semangat.
Dirgayana segera bangkit berdiri sambil menu-
sukkan pedangnya ke atas, sasarannya adalah tubuh
Soka Pura yang sedang bergerak turun. Suuuut...! Tapi
ujung pedang itu justru digunakan sebagai tempat pi-
jakan sekejap bagi kaki Soka Pura. Dengan bantuan
ilmu peringan tubuhnya, kaki itu tak terluka saat me-
nyentuh ujung pedang. Dees...! Lalu tubuh Soka Pura
bersalto di udara dan segera mendarat di samping Ra-
ra Wulan. Jleeg...!
"Hebat, hebat! Teruskan perjuangan mu!" Rara Wulan memberi semangat sambil
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menepuk-nepuk punggung Soka dan lakukan lonjakan-lonjakan kecil
sebagai ungkapan kegeramannya.
"Habis riwayatmu, Kecoa Busuk! Heeeah...!"
Dirgayana berteriak keras-keras. Tangan kirinya me-
nyentak ke depan dan seberkas sinar kuning panjang
melesat dari telapak tangan itu. Claaap...!
"Awas, petir kuning!" seru Rara Wulan sambil berlari ke pohon.
Soka Pura tidak bergeser dari tempatnya na-
mun justru sentakkan tangannya dan seberkas sinar
merah bagaikan piring berputar memercikkan bunga
api segera keluar dan menghantam sinar kuning terse-
but. Claap...! Blaaarrr...! Jurus 'Mata Bumi' digunakan Soka untuk le-
dakkan sinar kuning itu. Ternyata gelombang leda-
kannya sangat kuat, lebih banyak menyentak ke arah
Dirgayana karena jarak ledakan itu lebih dekat ke Dir-
gayana daripada ke Soka Pura. Akibatnya, Dirgayana
terlempar kuat-kuat bagaikan terbang dihembus ba-
dai. Tubuhnya membentur pohon keras-keras.
Brrukkkk. "Akhh...!"
Dirgayana memekik pendek dalam keadaan
terkapar di bawah pohon. Sekujur tubuhnya terasa
sakit dan panas. Kulit tubuhnya yang coklat tampak
matang, berwarna merah seperti kepiting rebus. Ge-
lombang ledakan itu menebarkan hawa panas yang
menerpa tubuh Dirgayana. Seakan tubuh itu tersiram
air panas yang baru saja mendidih. ia mengerang ke-
sakitan sambil berusaha untuk berdiri dengan mem-
pertahankan pedangnya di tangan kanan.
"Biadab kau, Kecoa Setan!" geram Dirgayana
sambil terhuyung-huyung. Nafasnya ngos-ngosan den-
gan wajah menyeringai menyedihkan.
"Sekarang aku memang bisa kau perlakukan
sekejam ini. Tapi ingat... suatu saat pasti kita akan
bertemu lagi dan mengadu nyawa setuntas mungkin.
Kau atau aku yang mati lebih dulu!"
"Kau saja...!" sahut Rara Wulan. Wajahnya
pancarkan kebencian yang dalam.
"Ingat, kalian berdua akan mati! Sebentar lagi
kalian berdua mati!" setelah berseru demikian, Dirgayana segera melarikan diri
dalam gerakan limbung,
bahkan sempat tersentak nyaris jatuh tersungkur ka-
rena kakinya terantuk gundukan tanah seperti batu
itu. "Hei, dia melarikan diri! Lihat, dia melarikan di-ri! Ayo, kejar...! Kejar dia,
jangan takut! Ayooo,..!" cecar Rara Wulan sambil mendorong punggung Soka,
membuat pemuda itu tersentak-sentak.
"Kejar dia! Jangan biarkan dia lari, nanti akan
da tang lagi dan bikin penyakit lagi! Ayo, kejaaar...!"
"Brisik!" bentak Soka melepas kekesalan ha-
tinya Gadis itu diam seketika, bahkan tampak murung
pan takut. Soka Pura cepat-cepat turunkan emosinya,
mulai bersikap lembut kembali.
"Maaf, aku tak bermaksud membentak mu. Aku
sengaja mengeraskan suaraku agar didengar olehnya
dan membuatnya kaget, lalu berlari semakin ngibrit."
"Tapi... tapi mengapa kau tidak mengejar-
nya"!"ujar Rara Wulan bernada manja dengan wajah
sengaja cemberut.
"Dia sudah melarikan diri, itu pertanda dia su-
dah kalah. Kita tak boleh menekan orang yang sudah
mengaku kalah, walau di luarnya masih berkoar men-
gumbar ancaman. Tapi sikapnya yang melarikan diri
sudah merupakan pengakuan tak langsung bahwa dia
tak mampu mengungguli ku."
"Tapi kalau dia datang lagi dan ingin memper-
kosaku, bagaimana?"
"Tidak mungkin," jawab Soka sambil sungging-
kan senyum menawan.
"Mungkin saja. Tujuan dia sebenarnya ingin
membunuhku. Sebelum aku dibunuhnya, lebih dulu
akan dinikmati sebagai pemuas gairahnya. Aku tahu,
Dirgayana itu manusia licik dan memuakkan. Kalau
aku sedang makan, lalu melihat dia, pasti aku muntah
seketika itu juga. Aku benci sama dia. Aku muak seka-
li! Aku merasa lebih baik melihat bangkai kodok dari-
pada melihat tampangnya! Sumpah."
Soka Pura tertawa kalem walau hatinya geli
mendengar gadis itu nyerocos dengan lagak manjanya.
Bibirnya yang mungil dan ranum itu tampak semakin
indah dan menggemaskan jika dipakai untuk nyerocos
seperti tadi. Hati Soka ingin sekali menggigit bibir itu dengan gemasnya.
"Sebenarnya, mengapa Dirgayana ingin mem-
bunuhmu, Rara Wulan?"
"Lho, kok situ tahu namaku?" Rara Wulan ter-
perangah, tapi hatinya menyimpan debar-debar indah
dan ingin melonjak manakala namanya disebutkan
oleh pemuda tampan bertubuh basah kuyup itu. "Tadi saat Dirgayana ingin
menangkapmu, kudengar ia me-manggilmu dengan nama Rara Wulan. Bukankah itu
namamu?" "Memang. Tapi... tapi aku belum tahu nama-
mu" sambil gadis itu sunggingkan senyum malu-malu
kucing, walaupun ia tampak sangat lebih cantik dari-
pada seekor kucing yang tersenyum.
"Namaku... Soka Pura," ujar Pendekar Kembar
bungsu. "Ih, nama kok Soka-Pura-pura... berarti suka
bohong, ya?"
"Puranya hanya satu. Soka-Pura. Titik."
"Ooo... Soka Pura. Hmmm... bagus sekali na-
mamu itu, ya" Sama dengan orangnya," puji si gadis berkepang dua sambil
tundukkan kepala dan sunggingkan senyum malu-malu macan. Bukan malu-malu
kucing lagi. Pemuda itu kian berdebar-debar melihat se-
nyum bertahi lalat kecil di bibir bawahnya itu. Rasa
kagum terhadap kecantikan Rara Wulan kian men-
gembang, menimbulkan rasa gemas dan ingin mencu-
bit bibir itu. Namun Soka Pura berlagak tetap kalem-
kalem saja, karena ia yakin gadis itu juga merasakan
hal yang sama dengan apa yang ada dalam hatinya.
Berbunga-bunga.
"Rara Wulan, kau belum menjawab perta-
nyaanku yang tadi."
"Hmmm... yang mana, ya?"
"Mengapa kau mau dibunuh oleh Dirgayana?"
"O, itu pasti pekerjaan si Bintari Ayu. Pasti dia di suruh oleh Bintari Ayu
dengan upah besar, sehingga
ia tega membunuhku."
"Siapa Bintari Ayu itu"!"
"Perempuan liar!" jawab Rara Wulan dengan ketus dan memancarkan perasaan
bencinya kepada Bin-
tari Ayu. Agaknya gadis itu tak mau jelaskan secara
lengkap siapa Bintari Ayu karena ada rasa benci dan
permusuhan dalam hatinya. Bahkan mengucapkan
nama Bintari Ayu tampaknya muak sekali dan tak in-
gin berulang-ulang. Karena itu, Soka Pura pun segera
menyingkirkan rasa ingin tahunya tentang Bintari Ayu.
"Mengapa kau berada di hutan sendirian begini,
Rara Wulan?" Soka alihkan pembicaraan agar Rara
Wulan tak cemberut terus.
"Aku ingin pergi ke rumah bibiku. Aku mau
menetap di sana."
"Di mana rumah bibimu itu?"
"Di Desa Teganya. Bibi angkatku tinggal di sa-
na." Soka Pura kerutkan dahi, ia pernah melewati
desa itu dalam perjalanan mencari Pedang Tangan Ma-
laikat itu, dan ia tahu letak desa itu sangat jauh dari tempatnya sekarang
berada, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Gua Mulut Naga"). Terasa janggal bagi seorang gadis
jelita berpakaian indah dengan perhiasan lengkap pergi sendirian ke Desa Te-
ganya yang jauh itu.
"Aku tahu di mana Desa Teganya berada, dan
itu sangat jauh, Wulan. Mengapa kau pergi sendirian
ke sana?" "Aku dengan pelayanku, tapi dia melarikan diri
setelah dihajar oleh Dirgayana. Entah lari karena takut atau mencari bantuan,
dia tak pamit padaku. Tapi sekalipun nantinya tanpa dia, aku tetap akan ke Desa
Teganya." "Tak baik kau pergi sendirian. Bagaimana jika
ku antarkan?"
Rara Wulan menatap dengan pandangan berbi-
nar-binar. Hatinya kian bertaburan bunga indah saat
mendengar tawaran Soka Pura. Pemuda itu ditatapnya
tanpa berkedip dengan senyum manis menggemaskan
hati setiap lelaki. Namun dalam hati Soka masih ber-
tanya-tanya, siapa gadis itu sebenarnya.
* * * 2 KECANTIKAN Rara Wulan membuat Soka lupa
akan tugasnya; semadi di Gerojogan Sewu. Ia menjadi
tertarik untuk mengantarkan Rara Wulan ke Desa Te-
ganya yang seluruh penduduknya mempunyai kelebi-
han pada anggota tubuh; jari tangan sebelas, lubang
hidung satu, alis mata empat dan sebagainya.
"Ilmu 'Waskita Indera' bisa kudapatkan di lain
waktu, toh tidak bisa dicuri orang. Tapi tentang gadis ini, ooh... kesempatan
emas ini tak boleh ku sia-siakan. Salah-salah Rara Wulan bisa disambar pemu-
da lain, tahu-tahu aku dapat jandanya, kan perih ka-
lau begitu"!" pikirnya sambil melangkah mendampingi gadis berkepang dua itu.
Rara Wulan sendiri tidak pedulikan lagi tentang
pelayannya yang kabur setelah babak belur dihajar
Dirgayana. Pikirnya, "Sekarang aku sudah mendapat pendamping yang tangguh,
pengawal yang gagah per-kasa, dan mendebarkan hatiku senantiasa. Untuk apa
aku takut lagi pergi ke Desa Teganya" Bersama Soka
Pura hatiku merasa aman dan perjalanan menjadi in-
dah. Hmm...! Pemuda kok gantengnya bukan main"!
Moga-moga jangan diserobot gadis lain!"
Sambil melangkah, Soka sempatkan diri men-
gadakan pendekatan secara pribadi, di antaranya me-
nanyakan tentang asal-usul si gadis berkepang dua
itu. "Aku berasal dari tempat yang jauh," jawab Ra-ra Wulan seakan masih belum mau
terbuka secara blak-blakan, karena ia pun ingin mengetahui siapa
Soka sebenarnya.
Lanjut Rara Wulan lagi, "Aku sudah melakukan
perjalanan selama satu bulan lebih beberapa hari."
"Oh, lama sekali?"
"Lihat saja, perhiasan ku sampai menipis kare-
na...." "Dirampok orang di perjalanan?"
"Karena kujual buat makan saban harinya!"
ceplos Rara Wulan tanpa malu-malu. Ia pun tak me-
nampakkan rasa sesalnya. Justru memperlihatkan ke-
sungguhannya dalam bepergian menuju Desa Teganya
sampai dibela-belain jual perhiasan satu-persatu.
"Mengapa kau meninggalkan keluargamu, Rara
Wulan. Sebab dugaanku kau bukan dari keluarga
miskin. Setidaknya kau anak seorang saudagar kaya."
"Memang. Orang tuaku orang kaya. Tapi aku
tak betah berada di lingkungan keluarga yang kaya."
"Apa alasannya"!"
"Aku bosan jadi anak orang kaya. Aku ingin
merasakan hidup miskin itu seperti apa rasanya. Me-
nahan lapar itu bagaimana sedihnya. Tak punya teman
itu bagaimana rasanya. Tidur di hutan itu bagaimana
menderitanya. Dan semua itu aku yakin akan membu-
atku mengerti apa makna hidup dan kehidupan."
"Hebat sekali cara berpikir mu," ujar Soka Pura dengan rasa kagum setulus hati.
"Jarang sekali anak orang kaya punya pemikiran seperti itu. Kau satu satunya
gadis kaya yang mau ikut menderita dengan ke-
hidupan para kaum hina papa, para pengemis, dan...
aku yakin itu akan membuatmu semakin cepat dewa-
sa. Dan kalau sudah cepat dewasa tentunya akan ce-
pat menikah. Kalau sudah menikah kau akan cepat
punya anak. Kalau sudah punya anak...."
Langkah gadis itu sengaja dihentikan sambil
tangannya mencekal lengan Soka Pura. Tindakan itu
membuat Soka Pura menatap nanap dengan dahi sedi-
kit berkerut tanda tak mengerti maksud Rara Wulan.
"Jangan bicara soal pernikahan," ujar Rara Wu-
lan lirih sekali.
"Mengapa kau tak mau bicara soal pernika-
han?" "Menyakitkan," sambil gadis itu lemparkan pandangan matanya ke arah lain.
"Pernikahan atau
perkawinan sesuatu yang membuatku muak dan me-
nyakitkan. Aku tak mau mendengarnya. Aku ingin kita
bicara tentang keindahan saja supaya perjalanan kita
tak terasa melelahkan."
Soka Pura hanya membatin, "O, sekarang aku
tahu! Dia pasti gadis yang patah hati karena rencana
perkawinannya gagal. Lalu ia pergi dari rumahnya un-
tuk melupakan luka di hatinya itu. Hmmm... baiklah,
aku tak akan bicara tentang hal-hal yang membuatnya
sedih." Rara Wulan sengaja hentikan langkah agak la-ma, karena pemandangan di
sekitarnya cukup indah
dan nyaman. Pepohonan yang tumbuh tak terlalu ra-
pat, namun mempunyai dedaunan yang rindang den-
gan dahan-dahan besar yang meliuk bagai mempunyai
seni keindahan tersendiri. Angin semilir yang berhem-
bus membuat hati Rara Wulan bagai semakin dibuai
oleh kebahagiaan yang sejak tadi menaburkan bunga-
bunga indah, terutama jika sedang memandang se-
nyuman Soka. Gadis itu sengaja duduk dl atas sebuah batu
setinggi pinggul yang ada di bawah pohon rindang. So-
ka Pura tak berani memaksa gadis itu untuk lanjutkan
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkah. Ia bahkan bersikap memanjakan si gadis
dengan kesabaran yang dipaksakan. Sebab Soka tahu,
gadis itu bukan hanya gadis yang cantik dan bermata
bundar bening menyejukkan hati, namun termasuk
juga seorang gadis yang manja dan selalu menuntut
perhatian lembut.
"Kau tidak marah kalau aku beristirahat di sini
beberapa saat?"
Soka Pura menggeleng. "Hanya orang-orang bo-
doh yang mau marah kepadamu."
"Untung kau orang pintar, ya?" ujar si gadis sambil tersenyum-senyum. Dalam
senyumnya selalu
menghadirkan lesung pipit yang sangat disenangi oleh
Soka Pura. Karenanya, Soka tak bosan-bosannya me-
mandang gadis berjubah merah mengkilap dengan un-
taian kalung emas berbatuan intan di lehernya.
"Kau sering menikmati suasana indah dan
nyaman seperti ini, Soka?"
"Baru sekali ini," jawab Soka. "Biasanya yang ku nikmati adalah pemandangan
berkabut dan udara
dingin, bukan teduh seperti saat ini. Maklum, aku di-
besarkan di puncak gunung."
"O, ya" Gunung apa itu namanya?"
"Gunung Merana."
"Aduh, kasihan. Kau pasti pemuda yang hidup-
nya merana."
"Memang. Ayah dan ibuku sudah meninggal
beberapa waktu yang lalu."
"Oh, kasihan kau, Soka. Duduklah sin!... tak
perlu takut padaku. Kau kuizinkan duduk di dekat ku,
asal jangan pemuda lain."
Soka Pura sunggingkan senyum indah lagi
sambil duduk di samping si gadis berhidung bangir. Si
gadis mengusap lengan Soka dengan lembut sambil
berkata dalam nada suara lirih.
"Hatimu pasti selalu merana sepanjang hari."
"Benar. Kau pandai merasakan hati seseorang
rupanya." "Tentu, karena hidupku pun selalu merana se-
panjang hari."
"Bukankah kau punya seorang kekasih?" panc-
ing Soka. "Dulu memang punya, tapi... putus di tengah
jalan. Karena yang ku punyai ternyata bukan seorang
kekasih, melainkan seorang pengkhianat! Aku benci
sekali dengan pemuda itu! Aku muntah kalau mem-
bayangkan wajahnya. Sekarang pun perutku merasa
mual karena membayangkan wajahnya!"
"Kalau begitu bayangkan saja wajahku."
Rara Wulan memandangi lekat-lekat, lalu sung-
gingkan senyum ceria.
"Rasa muntah ku sudah hilang."
"Kenapa secepat itu?"
"Karena aku sudah memandang wajahmu."
"Kalau begitu... wajahku adalah obat anti mun-
tah, ya?" ujar Soka dengan hati dongkol. Rara Wulan tertawa cekikikan sambil
mencubit lengan Soka.
"Jangan marah, aku hanya bercanda kok!"
"Tidak. Aku tidak marah. Bukankah tadi sudah
ku katakan, hanya orang bodoh yang mau marah ke-
pada gadis secantik dirimu, Wulan."
"Benarkah aku cantik?"
"Biar buntung lidah ku kalau aku bohong pa-
damu. Kau memang cantik bagiku!"
"Kau suka dengan kecantikanku?" tanyanya
bernada manja. "Suka sekali. Sangat suka sekali!" Soka meyakinkan pengakuannya.
"Kalau kau suka...," matanya melirik manja."...
tentunya kau tidak keberatan jika memanjat pohon ke-
lapa yang ada di sebelah sana itu, bukan?"
"Lho, apa hubungannya antara kecantikan
dengan memanjat pohon kelapa?"
Rara Wulan merengek sambil bergelendot di
pundak Soka, "Aku haus, Soka...."
"Ooo... kau haus" Butuh minum?"
"He, eh...! Aku mau minum air kelapa muda,"
rengeknya lagi.
"Baik, aku akan memetikkan beberapa buah
kelapa muda untukmu!"
"Aduh senangnya hatiku!" Rara Wulan melon-
jak girang. "Petiklah yang banyak buat bekal di perjalanan nanti, ya?"
"Baik, baik...! Akan ku petikkan sebanyak yang
kau butuhkan."
"Iya, ya... cepat gih!" Rara Wulan tak sabar walau tetap kegirangan.
Tiba-tiba mereka mendengar suara lain menya-
hut, "Tak perlu repot-repot memanjat. Biar aku yang memetikkan buah kelapa
untukmu, Rara Wulan!"
Tentu saja mereka terkejut, tapi tak sampai
pingsan. Mereka segera berpaling dan menemukan se-
raut wajah muda berusia sekitar dua puluh lima ta-
hun. Seraut wajah muda berkumis lebat namun berhi-
dung mancung itu milik seorang pemuda yang menge-
nakan rompi kuning dan celana kuning pula. Pemuda
itu mempunyai rambut panjang yang diikat ke bela-
kang seperti ekor kuda. Badannya gagah, kekar, tegap,
berdada bidang. Di pinggangnya melingkar sabuk hi-
tam. Di sabuk hitam itu terselip sebilah kapak berga-
gang coklat. Soka dan Rara Wulan memandang Dengan pe-
rasaan heran. Mereka agaknya belum saling kenal.
Masih merasa asing dengan wajah pemuda berkulit hi-
tam namun berwajah ganteng itu.
"Siapa kau" Aku tak mengenai dirimu!" ucap
Rara Wulan dengan ketus.
"Aku bernama Lodayu, dari Perguruan Gagak
Putih!" "Dasar bodoh! Gagak kok putih"! Gagak itu berwarna hitam. Kau pasti
belum pernah melihat burung gagak, atau mungkin kau buta warna"!" ketus
Rara Wulan dengan berani, sebab ia merasa ada dang
pembela di sampingnya.
"Hah, hah, hah, hah...! itu nama perguruan,
Rara Wulan. Jangan dipersoalkan lagi. Yang penting,
kau ingin minum air kelapa muda, bukan" Nah, akan
ku petikkan beberapa buah kelapa muda untukmu.
Lihat caraku memetikkan buah kelapa itu...." Lodayu menuding pohon kelapa yang
berada dalam jarak sepuluh langkah dari tempat Soka dan Rara Wulan be-
rada. Lodayu segera bergegas dekati pohon kelapa ber-
buah banyak itu. Ia memandang beberapa saat seper-
tinya sedang memilih mana yang muda dari sekian ba-
nyak buah kelapa itu. Beberapa saat kemudian, Lo-
dayu tempelkan telinganya ke batang pohon kelapa.
"Sedang apa dia"!" bisik Soka kepada Rara Wulan.
"Entah. Mungkin sedang mendengarkan suara
tembang yang dinyanyikan oleh pohon kelapa itu," Ra-ra Wulan balas berbisik.
"Jangan-jangan telinganya gatal dan digaruk-
nya pakai batang kelapa begitu"! Hmm... malah seperti
kambing sedang kudisan. Menggaruknya pakai batang
pohon kelapa atau benda lainnya," Soka Pura tertawa dalam gumam yang pelan
sambil matanya masih
memperhatikan tingkah aneh si Lodayu.
Beberapa saat kemudian, Lodayu mundur satu
langkah. Kedua tangannya bergerak ke samping, lalu
ke atas, setelah di atas kepala, tangan kanannya turun ke bawah sampai di dada,
matanya terpejam sesaat.
Kedua tangan itu mengeras hingga tampak bergetar.
Lalu tiba-tiba tangan kanannya menghantamkan tela-
paknya ke batang pohon kelapa itu. Buuuhk...! Sua-
ranya mantap. Kemudian ia segera mundur, menjauhi
pohon kelapa itu.
Soka Pura dan Rara Wulan masih memandang
heran ke arah pohon kelapa dan Lodayu secara ber-
ganti-gantian. Mereka tak mengerti apa maksud Lo-
dayu bertingkah seperti itu, sehingga Rara Wulan ak-
hirnya bersuara dengan ketus juga.
"Apa maksudmu bertingkah begitu" Mau me-
nunjukkan padaku bahwa kau gila?".
Lodayu memandang dalam senyum yang mem-
buat kesal hati Soka Pura, Namun sebelum Soka Pura
sempat berkata, tiba-tiba sebuah kelapa jatuh dari
atas pohon itu. Bluuuk...! Menyusui kemudian empat
buah kelapa jatuh sendiri dari atas pohon tersebut.
Bluk, bluk, bluk, bluk...!
Soka Pura dan Rara Wulan terbengong. Belum
selesai mereka terbengong, Lodayu sudah memungut
satu buah kelapa, kemudian bagian atas buah kelapa
itu dipangkas memakai kapaknya. Crasss...!
"Silakan meminumnya, Permaisuri ku!" ujarnya dengan berani sambil sodorkan
kelapa yang telah ter-kupas bagian atasnya. Ternyata kelapa itu memang ke-
lapa yang muda dan airnya tampak menyegarkan.
"Hanya ada lima kelapa yang muda dari sekian
banyak buah kelapa di atas sana, Rara Wulan. Sean-
dainya ada sepuluh yang muda dan bagus, akan ku
ambilkan kesepuluh kelapa itu," tambah Lodayu.
Rupanya Lodayu, murid Perguruan Gagak Pu-
tih itu, unjuk kebolehan di depan Rara Wulan untuk
menyaingi Soka Pura. Rara Wulan menelan ludah begi-
tu melihat air kelapa muda yang menyejukkan itu. Lo-
dayu menawarkan lagi kepada Rara Wulan dengan se-
makin dekat, jaraknya hanya satu jangkauan.
"Silakan minum, biar dahaga mu hilang,
Sayangku!"
Rara Wulan ingin meraih buah kelapa dari tan-
gan Lodayu, tetapi Soka segera menahan tangan Rara
Wulan, mencegah sambil berkata terang-terangan.
"Jangan diminum! Siapa tahu mata kapaknya
yang dipakai memangkas kelapa itu menaburkan ra-
cun di dalam air kelapa tersebut!"
Lodayu mulai tampak tersinggung. Tapi ia sem-
bunyikan rasa dongkolnya itu dengan senyum sinis
dalam kata selanjutnya.
"Rara Wulan, sayang sekali kau bersama orang
bodoh yang tak bisa membedakan mana minuman be-
racun dan mana yang tidak beracun. Bahkan ia tak
mungkin bisa memetikkan buah kelapa muda untuk-
mu tanpa harus memanjatnya"!"
"Siapa bilang aku tak bisa memetik buah kela-
pa tanpa harus memanjat"!" geram Soka Pura mulai
tampakkan kejengkelannya.
"O, jadi kau merasa bisa" Kalau begitu, cobalah
lakukan! Petiklah buah kelapa muda di pohon yang
sebelah sana itu tanpa harus memanjatnya," kata Lodayu seakan menantang adu
kesaktian dengan Soka
Pura. "Siapa bilang dia tak bisa"! Pasti bisa!" ujar Ra-ra Wulan.
Soka sendiri sebenarnya bingung, tak tahu ca-
ranya memetik buah kelapa tanpa harus memanjat-
nya. Tapi berhubung Rara Wulan sudah telanjur ber-
kata begitu, seakan yakin betul bahwa Soka pun bisa
lakukan seperti Lodayu. mau tak mau Soka segera
mendekati pohon kelapa yang satunya.
Empat langkah sebelum dekat dengan pohon
kelapa itu, tiba-tiba kedua kaki Soka merendah, kedua
tangannya disodokkan ke depan dalam keadaan meng-
genggam. Jurus 'Tangan Batu' dilepaskan oleh Soka
Pura. Jurus itu mengeluarkan tenaga dalam besar, se-
perti sebongkah batu sebesar kerbau melesat dan
menghantam pohon kelapa tersebut. Wuuut, praaak...!
Brrrrukk...! "Ooh..."!" Rara Wulan terpekik kaget melihat pohon kelapa itu tumbang. Buah
kelapa yang ada di
atas pohon tersebut berhamburan ke mana-mana, ada
pula yang mental ke samping Soka, ada juga yang
menggelinding ke depan Rara Wulan. Sedangkan Lo-
dayu hanya diam sambil geleng-geleng kepala.
Soka tak peduli pemuda berompi kuning itu ge-
leng-geleng kepala. Ia segera memilih buah kelapa yang muda dengan diangkat
satu-persatu dan dikocok-kocokkan di dekat telinganya. Dalam beberapa waktu
terpilih enam kelapa muda yang layak untuk diminum
airnya. Keenam buah kelapa itu ditaruh dl depan Rara
Wulan yang berjarak tiga langkah di samping kiri Lo-
dayu. Brrruk...!
"Ada enam yang muda dan airnya segar jika
diminum!" kata Soka kepada Rara Wulan dengan ter-
senyum menyindir Lodayu. "Apakah kau tadi meli-
hatku memanjat pohon kelapa, Rara Wulan."
"Tid... tidak... tidak melihatnya!" jawab Rara Wulan dengan menggeragap karena
menyangka Soka marah dan ia takut melihat kemarahan Soka yang bisa
menumbangkan pohon secara mengerikan itu.
Soka pun memandang Lodayu sambil terse-
nyum sinis. "Tanpa memanjat pohon-nya, bukan?" kata So-
ka. "Iya. Tapi itu namanya merusak alam. Pria se-
macam kau kelak jika beristri akan merusak istri dan
anak-anaknya untuk mencari nama di depan para ke-
rabatnya!" ujar Lodayu mengecam tindakan Soka.
"Lalu apa maksudmu sebenarnya"!" tanya Soka
dengan nada menantang.
"Aku hanya ingin tunjukkan kepada Rara Wu-
lan bahwa kau bukan lelaki yang pantas menjadi sua-
minya. Satu-satunya lelaki yang pantas menjadi sua-
minya adalah aku!"
Rara Wulan segera menyahut, "Aku tak sudi!"
"Jangan bilang tak sudi dulu, Wulan. Kau be-
lum tahu siapa aku. Kau merasa bangga di samping
pemuda yang mirip kacang panjang ini, karena kau be-
lum tahu bahwa ada pemuda yang lebih pantas kau
banggakan selain dia. Pemuda itu tak lain adalah aku!
Kare nanya, ikutlah aku pulang ke orang tuamu, Kita
akan menikah dan hidup sebagai suami-istri yang pe-
nuh kebahagiaan dan berlimpah kebanggaan."
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mencibir ketus Rara Wulan menyahut,
"Apa yang dibanggakan dari pemuda berkulit hitam
mirip pantat kendil begitu?"
Soka segera menyahut, "Jangan menghina begi-
tu. Wulan. Pantat kendil tak mungkin sebesar ini. Tapi kalau pantat gajah,
mungkin sebesar ini!"
Lodayu terkesiap, wajahnya mulai semburat
merah menahan malu karena hinaan Soka yang lebih
parah dari hinaan Rara Wulan. Akhirnya Lodayu
hanya berkata dengan nada tetap kalem dan tenang.
"Barangkali kulitku memang hitam, tapi hatiku
putih bersih. Daripada lelaki berkulit putih tapi ha-
tinya busuk seperti kotoran kera" Apa enaknya?"
Soka merasa dikatakan hatinya busuk seperti
kotoran kera. Ia pun menarik napas menahan kema-
rahannya. sementara Lodayu melangkah cuek me-
mainkan sebutir kelapa dengan kakinya. Kelapa itu di-
lemparkan ke atas memakai kakinya.
Wuuutt...! Kelapa muda melayang ke atas, begi-
tu turun disambut dengan Kedua jarinya. Jruub...! Ke-
dua jari itu menembus masuk ke dalam batok kelapa
yang masih bersabut, airnya mengucur ke lengan, lalu
kelapa itu dibuang dengan satu kibasan tangan cepat.
Wees...! Bruuss...! Kelapa itu jatuh di semak-semak.
Setelah itu, Lodayu berkata kepada Rara Wulan.
"Susah payah aku mencarimu, sesuai dengan
ciri-ciri yang diberikan padaku oleh orang tuamu. Ter nyata kau bersama
penggembala kambing yang tak patut kau andalkan sebagai pelindung dirimu, Wulan.
Kuharap kau cepat sadar, siapa yang patut memba-
wamu pulang saat ini."
"Aku tak mengerti kau bicara apa, Lodayu!"
sentak Rara Wulan. "Pergilah dan jangan ganggu kedamaian kami berdua!"
Soka Pura tertawa seperti orang menggumam
sambil melangkah dekati sebutir kelapa yang tergele-
tak di dekat pohon lain, ia berkata dengan suara lan-
tang agar didengar oleh Lodayu.
"Memang sulit memahami bicaranya seekor ba-
bi hutan. Kau harus belajar tentang bahasa hewan du-
lu, baru mengerti apa yang dikatakan oleh seekor babi
hutan, Wulan!"
"Kau mengatakan aku babi hutan"!" Lodayu
mulai mempertinggi nada bicaranya.
Soka cuek saja. Ia juga memainkan sebutir ke-
lapa muda dengan kakinya. Dalam satu hentakan kaki
ke tanah, kelapa muda itu tiba-tiba melesat naik ke
atas melewati batas kepalanya. Duukh, wuuut...! Begi-
tu kelapa itu bergerak turun, kedua jari tangan Soka
disentakkan ke atas dan berhasil menembus ke dalam
batok kelapa yang masih bersabut. Jrrub, bluuus ..!
Air kelapa mengalir ke lengan seperti yang dilakukan
Lodayu tadi. Mata Pendekar Kembar bungsu segera menatap
Rara Wulan sambil sunggingkan senyum sinis yang di-
tujukan untuk Lodayu. Tiba-tiba tangan yang menu-
suk kelapa muda itu dikibaskan ke samping. Wuuus...!
Kelapa itu melayang dan membentur sebatang pohon
di balik semak-semak.
Duaaarr...! Rara Wulan terlonjak kaget dan berlari mundur
begitu mendengar suara ledakan akibat benturan ke-
lapa dengan pohon. Kelapa itu pecah dan pohon itu
somplak separuh bagian. Rupanya tenaga dalam yang
di salurkan Soka ke jarinya ditambah lagi saat melem-
parkan buah kelapa itu, sehingga di dalam tempurung
Kelapa itu tersimpan segumpal tenaga dalam yang siap
meledak jika tersentuh benda apa pun.
Lodayu tertegun walau berlagak tetap kalem.
Soka sunggingkan senyum kemenangan yang mem-
buat dada Lodayu bergemuruh dibakar kemarahan.
Sementara itu, setelah Soka berada di samping Rara
Wulan lagi, gadis itu berkata kepada Lodayu dengan
nyeplos, tak peduli menyinggung perasaan atau tidak.
"Kau kalah hebat, Lodayu! Kelapa mu hanya bi-
sa jatuh di semak-semak dan mematikan ulat-ulat
yang ada di sana. Tapi kelapanya Soka bisa meledak
dan hampir saja menumbangkan pohon sebesar itu!
Hmm...!" Rara Wulan mencibir.
Ia berkata lagi sambil melengos ke arah Soka,
"Apa yang bisa diandalkan dari pemuda yang hanya
bisa menusuk kelapa dengan kedua jarinya" Paling-
paling masa depanmu kelak menjadi penjual sate!"
Soka berlagak menghardik gadis itu, "Husy! Tak
boleh bilang begitu, Wulan! Dia bisa tersinggung kalau tidak kau jelaskan, sate
yang dijualnya adalah sate
keong sawah, bukan sate kambing!"
"O, iya... maaf, maksudku tadi," masa depanmu hanya akan menjadi penjual sate
keong sawah, Lodayu, yang jualannya menunggu kalau ada orang
punya gawe dan nanggap wayang kulit. Hih, hih, hih
hih...!" Dalam dada Lodayu seperti genderang perang
berbunyi. Dar, dur, dar, dur! Seakan dada ingin mele-
dak karena menahan marah mati-matian. Hinaan itu
membuatnya ingin segera mencabut senjata dan mem-
belah kepala Soka dengan kapaknya itu. Tapi rupanya
ia masih berusaha untuk tidak menunjukkan kekasa-
rannya di depan Rara Wulan. Ia hanya menarik napas
panjang-panjang dan menahannya kuat-kuat di dada.
Rara Wulan berkata kepada Soka, "Kita te-
ruskan perjalanan kita, Soka! Aku jadi tak haus lagi
melihat orang berilmu rendah pamer kesaktian. Apa-
kah kau masih ingin mencari sumbangan untuk pe-
main kuda lumping itu, Soka"!"
"Tidak. Aku sendiri butuh sumbangan. Mak-
sudku, sumbangan cinta dan kemesraan darimu, Rara
Wulan...."
"Ah, kau bikin hatiku girang saja, Soka! Hih,
hih, hih, hih...!" Rara Wulan segera melangkah dengan tangan merangkul pinggang
Soka, kepalanya disan-darkan di pundak Soka Pura.
Lodayu semakin tak bisa menahan kemarahan.
Ia segera melompat dan melintasi kepala Soka dan Ra-
ra Wulan. Wuuut...! Kejap berikutnya ia sudah meng-
hadang di depan langkah mereka berdua. Jleeg...!
Langkah Soka dan Rara Wulan pun terhenti. Gadis itu
berbisik kepada Soka sambil melepas rangkulannya.
"Dia mulai marah. Hati-hati, Soka... agaknya
ilmunya lebih tinggi dari si Dirgayana!"
"Berdoalah supaya dia lupa jurus-jurusnya!" bisik Soka pula sambil mulai siap
menghadapi amukan
Lodayu. Kini Soka Pura yang tampak tenang sekali dan
wajahnya tak segusar Lodayu.
"Kau tak bisa menghinaku begitu saja, Bekicot
pikun!" geram Lodayu. Pandangan matanya mulai
tampak tajam dan bernafsu untuk menumbangkan
Soka. "Lalu, apa maumu sekarang, Lodayu"!"
"Kita bertarung ilmu! Kalau kau menang, kau
boleh membawa Rara Wulan pulang menghadap orang
tuanya. Tapi kalau aku yang unggul, maka kau harus
rela lepaskan Rara Wulan padaku dan akan kubawa
menghadap kepada orang tuanya!"
Rara Wulan yang geram juga segera memberi
semangat sambil mundur ke salah satu sisi, di bawah
pohon. "Hajar saja dia, biar tak banyak mulut, Soka!
Masa' kau tak mampu menumbangkan murid pergu-
ruan burung perkutut putih"! Tunjukkan kehebatan-
mu, Soka. Biar gurunya belajar padamu!"
Semangat Soka terpompa mendengar ucapan
itu, sebaliknya, hati Lodayu semakin terasa seperti
disayat-sayat oleh ejekan tersebut. Namun ia belum
mau bergerak, karena Soka Pura masih menatapnya
tak berkedip seakan ingin mengadu kekuatan batin
melalui pandangan mata. Namun ternyata beberapa
saat kemudian suara Soka terdengar menyambut tan-
tangan Lodayu tadi.
"Kau ingin menjajal ku berapa jurus, Kawan?"
"Sekuat mu! Berapa jurus kau mampu berta-
han melawanku, akan kulayani!" jawabnya dengan suara keras, menunjukkan rasa
dongkolnya yang sudah
sangat besar dan menyesak di dada itu.
"Baik. Kulayani pula tantanganmu. Tapi jangan
salahkan diriku jika kau sampai cedera! Berhati-
hatilah, Kawan!"
"Jaga nyawamu agar jangan melayang di ujung
kapakku, Banci Keropos!"
Lodayu membuka jurus pertama, kuda-kuda
dengan kaki rendah yang kiri ditarik ke belakang dan
yang kanan semakin rendah. Kedua tangannya men-
gembang bagai sayap seekor burung gagak raksasa
yang ingin menerjang lawan Sedangkan Soka Pura
hanya melangkah kalem mengitarinya tanpa posisi
berkuda-kuda atau siap serang seperti lawannya.
Namun baru mendapat tiga langkah ke samp-
ing, Soka Pura sudah diterjang lebih dulu oleh Lodayu
dengan gerakan benar-benar mirip seekor burung ga-
gak menyambar mangsanya. Wees...! Soka Pura hanya
melompat ke atas dan berkelebat memutar tubuh den-
gan kaki mengibas cepat. Wuuut...! Plak, plak...! Satu pukulan Lodayu berhasil
ditangkis Soka. Satu tendangan Soka berhasil ditangkis Lodayu. Tak ada yang ter-
kena serangan lawannya.
"Tampar dengan kakimu lagi, Sora! Hajar terus
dia! Jangan beri kesempatan untuk menyerangmu! Iya,
habisi dia! Habisi tenaganya! Sisakan sedikit buat dia pulang kampung nanti!"
seru Rara Wulan memberi
semangat Soka. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika melihat ten-
dangan kaki Lodayu mengenai dada Soka Pura.
Wuuut, duuhk...!
"Heeekh...!" Soka terhuyung-huyung ke bela-
kang dengan dada terasa mau jebol akibat tendangan
bertenaga dalam. Ia dikejar Lodayu yang sepertinya tak ingin memberi kesempatan
pada Soka untuk balas
menyerang. Tendangan Lodayu datang secara berun-
tun. Wut, wut, plaaak...! Wut, ptok, plak, wuuut...!
Soka Pura sempat terdesak karena tendangan
beruntun yang datang begitu cepat dan sukar di hin-
dari. Beberapa tangkisan Soka Pura melesat, sehingga
iganya sempat terkena tendangan satu kali. Tendangan
itu membuatnya jatuh berlutut namun segera mena-
han napas kuat-kuat mengendalikan rasa sakitnya.
Ketika Lodayu melompat dengan kapak telah di
tangan, Rara Wulan berteriak kepada Soka keras-
keras. "Awaaas... kapaaak...! Kapaaaak...! Kapaaak...!"
Teriakannya masih terdengar terus-menerus,
padahal Soka Pura sudah berguling ke samping dan
kapak yang dihantamkan ke kepalanya itu tidak kenai
sasaran sedikit pun. Wuuus...! Kaki Soka segera me-
nyampar dengan kuat. Bet!
Plaaak...! Samparan kaki kenai betis Lodayu.
Karena samparan itu cukup kuat, maka Lodayu sem-
pat terpelanting nyaris jatuh. Soka Pura segera sen-
takkan badan dan dalam sekejap sudah berdiri tegak
menghadang lawan. Jleg!
"Serang terus! Desak dia, Soka! Desak terus!
Jangan biarkan dia melukaimu dengan kapak itu! Ayo,
maju ..! Majuuu...!"
Baru saja Soka Pura ingin maju, tiba-tiba ka-
pak itu bagaikan terbang setelah disabetkan ke arah-
nya. Weeers...! Craaak...! Rupanya mata kapak itu
mempunyai rantai panjang yang berhubungan dengan
gagangnya. Jika gagang disentakkan dengan sentakan
tertentu, maka mata kapak akan melesat sendiri na-
mun tetap terikat dengan rantai ke gagangnya.
Mata kapak itu segera melintas di depan hi-
dung Soka. Wuuut...!
Rara Wulan menjerit ngeri, "Awas, aaaaah ..!
Sejengkal lagi Soka kehilangan hidungnya yang
bangir itu. Untung ia segera menarik diri ke belakang
dengan tubuh agak melengkung. Namun dapat segera
tegak lagi. Hanya saja ia tak dapat menyerang maju
karena kapak itu sekarang diputar-putar oleh Lodayu
dan memagari tubuh pemuda berkulit hitam itu.
Wung, wung, wung, wung, wung...!
Soka Pura terdesak mundur terus, sementara
Lodayu maju dengan cepat. Soka Pura sempat berkata
dalam hatinya, "Kalau kugunakan Pedang Tangan Ma-
laikat sepertinya sia-sia! Masa' melawan orang seperti Lodayu saja harus memakai
pedang pusaka. Tapi permainan jurus kapak terbangnya cukup berbahaya dan
sukar ku tembus. Hmm...! Sebaiknya kugunakan saja
jurus 'Tangan Batu' lagi!"
Wuuut...! Kedua tangan Soka menyentak ke
depan dalam keadaan menggenggam. Tenaga dalam
tanpa sinar pun melesat dalam keadaan sangat kuat
dan besar. Wuuus...! Karena keadaan Soka pada wak-
tu itu berlutut satu kaki, maka tenaga dalam itu tidak terkena kapak terbang
melainkan langsung kenai perut Lodayu dengan telak sekali. Bhaahk...!
Tiga Maha Besar 17 Pendekar Aneh Dari Kanglam Karya Sin Liong Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 14
1 DALAM kerimbunan hutan berpohon liar, di an-
tara tebing-tebing berdinding curam, terdapat genan-
gan air yang mengalir dengan deras. Genangan air
mengalir itu ternyata adalah sungai dangkal berbatu-
batu besar dan tinggi. Di sungai itulah terdapat apa
yang dinamakan 'Gerojogan Sewu'.
Gerojogan adalah curah air yang tentu saja dari
atas turun ke bawah. Bukan dari bawah naik ke atas.
Gerojogan bisa diartikan 'air terjun'. Sedangkan sewu
artinya seribu. Jadi Gerojogan Sewu, adalah air terjun seribu. Bukan berarti air
terjunnya ada seribu buah,
tapi curah air yang turun ke sungai itu banyaknya se-
perti seribu air terjun. Karena itu suara gemuruhnya
seperti gemuruh magma di dalam kerak bumi.
Kedua pemuda berwajah sama alias Pendekar
Kembar datang ke tempat itu untuk menjalankan pe-
rintah guru mereka. Beberapa hari yang lalu, ayah
angkat Raka Pura dan Soka Pura yang dikenal dengan
nama Pawang Badai itu berkata kepada mereka ber-
dua, "Mendiang Eyang Guru menemuiku di dalam
mimpi." Soka Pura menyela dengan kekonyolannya,
"Apakah semalam Ayah tidur?"
Raka menyahut dengan dongkol, "Tentu saja
Ayah tidur, Tolol. Kalau tidak tidur bagaimana bisa
bermimpi?"
"Bisa saja," sahut Soka dengan bersungut-
sungut. "Buktinya ketika kubilang bahwa aku ingin bi-sa terbang ke bulan, kau
mengatakan padaku: 'Kalau
punya keinginan yang wajar saja. Jangan bermimpi!'.
Padahal waktu itu kau tahu kalau aku tidak sedang ti-
dur, toh kau mengatakan aku bermimpi"!"
Raka Pura makin kesal. Ia cemberut dan tak
mau bicara kepada adik kembarnya itu. Ia bahkan ber-
tanya kepada ayah angkatnya, "Jadi mimpi itu sebenarnya apa, Ayah" Sesuatu yang
hadir di dalam tidur
atau di dalam tidak tidur"! Sebab...."
"Tunggu sebentar...," sergah Pawang Badai
dengan kalem sambil menahan kejengkelan. "Yang ingin kubicarakan bukan soal arti
kata mimpi, tapi isi
dan makna dari mimpi ku itu! Mengapa kalian meri-
butkan soal arti kata mimpi" Karena mimpi sendiri se-
benarnya adalah...."
"Lho, sekarang Ayah yang melantur, mau men-
jelaskan arti kata mimpi!" potong Soka Pura sambil nyengir geli. Sang Ayah tidak
jadi bicara, hanya menarik napas, itu pun dilakukan dengan pelan-pelan, se-
bab kalau nafasnya ditarik kuat-kuat takut putus di
tengah jalan. "Eyang Guru Mangkuranda alias Dewa Kencan
sengaja menemuiku di alam mimpi dan menyampaikan
amanat yang harus kusampaikan kepada kalian," Pa-
wang Badai mulai serius lagi.
"Apa isi amanat itu, Ayah?" tanya Raka Pura
bagai tak sabar menunggu.
Soka Pura menyahut, "Pasti isinya perintah un-
tuk ku agar segera menikah atau mencari kekasih se-
banyak mungkin."
"Dasar mata keranjang!" gertak kakaknya.
"Keranjang matanya segini besar buat ngeran-
jangi kepalamu itu, ya"!" geram Soka Pura. Sang kakak merasa semakin kesal dan
ingin memukul adiknya.
"Kutampar mulutmu bicara begitu lagi padaku!"
"Kututup mulutku pakai batu besar. Kau mau
menampar dari mana, hah?"
"Eh, melawan kau"! Berani kau"!"
Pawang Badai geleng-geleng kepala. "Kalau mau
tampar-tamparan jangan di sini. Nanti ibumu tahu.
Sana, di luar sana!"
"Maaf, Ayah...."
"Ampun, Ayah...." Keduanya duduk bersila
kembali dengan sikap patuh dan hormat. Kini mereka
diliputi suasana hening karena saling membungkam
mulutnya sendiri-sendiri. Beberapa saat kemudian,
Pawang Badai mulai perdengarkan suaranya lagi yang
bernada tegas, namun punya kebijakan tersendiri se-
bagai seorang ayah angkat yang sabar dan penuh ka-
sih sayang kepada mereka.
"Amanat yang harus kusampaikan kepada ka-
lian adalah tugas yang harus segera kalian kerjakan.
Pendekar Kembar harus mencari Gerojogan Sewu dan
bersemadi di sana, di bawah gerojogan itu, untuk da-
patkan sebuah ilmu baru yang dinamakan ilmu'
Waskita Indera', yang dulu dimiliki oleh ayahnya
Eyang Guru Dewa Kencan, yaitu...."
"Eyang Buyut Suralaya...!" sahut mereka ber-
dua. Pawang Badai hanya menggumam pendek dan
manggut-manggut tanda membenarkan jawaban terse-
but. "Apa kehebatan ilmu 'Waskita indera' itu,
Ayah?" tanya Soka Pura.
"Seseorang yang memiliki ilmu 'Waskita Indera'
dapat mengetahui apa yang akan dialami dalam waktu
beberapa hari nanti. Dengan memiliki ilmu 'Waskita
indera' kalian dapat mengetahui esok akan dihadang
lawan berilmu tinggi, atau akan mendapat suguhan
dari seorang teman atau yang lainnya."
"Asyik! Kalau begitu jika aku mempunyai ilmu
itu, maka aku dapat mengetahui siapa gadis yang akan
ku kenal esok hari dan secantik apakah dia. Begitu-
kah, Ayah?" tanya Soka dengan girang.
"Ya. Begitulah kira-kira kegunaan ilmu 'Waskita
indera' itu."
Raka Pura menggerutu, "Perempuan terus yang
ada dalam otakmu itu!"
"Ya, biarlah! Kita toh lahir dari seorang perem-
puan, mengapa tak boleh memikirkan tentang perem-
puan"!" "Boleh saja!" bentak Raka Pura. "Tapi tidak setiap saat, setiap kata,
selalu dihubungkan dengan pe-
rempuan!" "Itu tandanya kita selalu ingat kepada ibu kita!"
"Ingat kepada ibu bukan begitu caranya!" bantah Raka. "Yang ada dalam otakmu
bukan perempuan
sebagai seorang ibu, tapi perempuan sebagai teman
berkencan! Hmm..., dasar otak ngeres!" Lalu ia berkata kepada Pawang Badai,
"Apakah perempuan itu hanya layak sebagai
teman kencan saja, Ayah?"
Tidak hanya itu. Perempuan adalah teman hi-
dup kita, bukan urusan kencan-mengencan saja."
"Apakah di sekitar puncak Gunung Merana ini
tak ada perempuan yang bidangnya menjadi teman hi-
dup ku, Ayah?"
Soka Pura menyahut dengan keras, "Naaaah...
akhirnya tanya soal perempuan juga, kan"! Huhhh...!"
"Lho, aku bertanya soal teman hidup. Bukan
semata-mata bertanya perempuan untuk Kencan. Ke-
cuali kalau aku...."
"Ssst...!" potong Pawang Badai, lalu berkata dalam bisikan, "Di sini tidak ada
perempuan lain kecuali ibu mu; Rara Padmi itu."
Nyi Padmi, istri Pawang Badai, yang kebetulan
lewat di belakang kedua anak kembar itu segera me-
nyahut dengan berpura-pura ketus.
"Jangan bicara soal perempuan. Aku tersing-
gung!" "Kenapa ibu tersinggung?" tanya Soka Pura
sambil setengah nyengir.
"Karena memang hanya akulah perempuan di
puncak gunung ini. Aku tak mau dibicarakan dan di-
bahas oleh kalian bertiga! Sebaiknya, cepatlah pindah
ke dalam rumah, makanan untuk kalian telah terse-
dia." "Sebentar, Bu," kata Pawang Badai tetap dengan sabar. "Kami sedang
membicarakan tentang ilmu
'Waskita Indera' yang...." -
"Aaah... ilmu 'Waskita indera' dulu yang harus
kalian kerjakan. Aku sudah capek-capek siapkan hi-
dangan untuk kalian, kalau kalian tak mau segera
menyantapnya, nasi itu akan ku tanam kembali biar
menjadi padi lagi, dan panggang ayam hutan itu akan
kulepas lagi biar terbang ke mana-mana!"
Pendekar Kembar tertawa bersama senyum Pa-
wang Badai yang bijaksana. Akhirnya percakapan itu
mereka teruskan dalam acara santap siang bersama.
Acara santap siang itu adalah acara istimewa, karena
sudah beberapa waktu lamanya tak pernah mereka la-
kukan. Bukan karena mereka tak punya persediaan
beras atau lauk, tapi karena mereka jarang berkumpul
seperti saat itu. Sejak Raka dan Soka menyandang ge-
lar Pendekar Kembar, mereka jarang pulang ke puncak
Gunung Merana, sedangkan Pawang Badai lebih sering
menghabiskan waktunya untuk berpuasa, memperta-
jam kendali batin, agar lebih mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta. Menurut Pawang Badai, memiliki Ilmu 'Waskita
Indera' bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal
yang sulit. Pawang Badai sendiri mengakui kebodo-
hannya dalam hal itu, karena sampai sekarang ia be-
lum memiliki ilmu tersebut. Ia pernah mencobanya be-
rulang kali tapi selalu gagal.
Sebenarnya dalam semadi nanti kalian akan
mengalami godaan atau gangguan yang tidak terlalu
berat, namun justru sulit kalian hindari. Kalau hati,
jiwa, dan sukma tidak menyatu, maka kalian akan
gagal mendapatkan ilmu itu karena godaan ringan
yang sebenarnya justru membuat kalian terbuai, lalu
gagal dalam semadi kalian. Oleh sebab itu, hati-hatilah sekali terhadap gangguan
atau godaan sekecil apa
pun. Karena hai itu dapat menjadikan duri dalam se-
madi kalian nanti."
"Ah, kalau aku tak mungkin gagal," ujar Soka agak sombong, sengaja membesarkan
hati di depan kakaknya. Sebab dalam hati kecilnya ia mengakui,
bahwa sang kakak memang lebih tekun dibandingkan
dirinya dalam hal menuntut ilmu atau mempelajari
suatu jurus. Tapi ia selalu tak mau kalah dengan sang
kakak. Karenanya ia menyambung ucapannya dengan
mencibir sombong,
"Jangankan bersemadi di bawah air terjun, ber-
semadi di atas air terjun pun aku sanggup lakukan
sampai berbulan-bulan."
"Tentu saja. Sebab itu lebih mudah daripada
bersemadi di bawah curahan air terjun!" sahut Raka.
"Jangankan bersemadi tanpa makan berhari-
hari, sedangkan bersemadi pakai acara makan setiap
hari, pun aku sanggup lakukan berbulan-bulan!"
"Dasar konyol!" geram kakaknya.
Akhirnya mereka pun berangkat menuju Gero-
jogan Sewu. Sesuai dengan petunjuk Pawang Badai,
mereka harus duduk di bawah curahan air terjun be-
sar itu. Mereka harus bisa menahan rasa dingin akibat
guyuran air terjun. Mereka juga harus duduk di atas
batu dan beradu punggung, tak boleh saling berhada-
pan. "Lagi pula kalau aku harus duduk berhadap-
hadapan denganmu sampai berhari-hari bisa pingsan!"
ujar Soka Pura.
"Memangnya kenapa kok pingsan?"
"Lapar! Berhari-hari memandang mu tanpa
makan apa tak lapar"!"
Raka Pura tertawa geli, ia menonjok lengan
adiknya sambil melangkah menuju tempat yang di-
maksud. Sebenarnya sang kakak sangat sayang kepa-
da adiknya, demikian pula sang adik. Tapi kasih
sayang itu saling tak mau ditonjolkan, sehingga secara sepintas mereka tampak
sering bertengkar mulut atau
beradu debat. Pertengkaran dan adu debat adalah hal
yang wajar bagi sepasang kakak-beradik, terlebih ka-
kak-beradik kembar. Oleh karenanya, Pawang Badai
tak terlalu mencemaskan mereka berdua. Ia yakin me-
reka berdua dapat menjaga kerukunan dan kesatuan
sebagai Pendekar Kembar yang ilmunya cukup berba-
haya jika digabungkan menjadi satu.
Mereka menemukan batu yang bisa dipakai
duduk berdua saling beradu punggung. Batu itu tepat
berada di bawah guyuran air terjun yang tinggi dan cu-
rah airnya cukup lebat, Mungkin batu itulah yang di-
maksud oleh Pawang Badai saat menjelaskan kepada
mereka, "Ada batu datar berbentuk seperti ranjang reot tepat di bawah curahan
air terjun itu...."
Melihat batu tersebut, Soka Pura segera berka-
ta, "Tunggu sebentar aku mau mencari daun pisang
dulu." "Untuk apa mencari daun pisang?" "Untuk payungan, biar badan kita tidak
basah diguyur air se-begitu derasnya itu!"
"Bagaimana kalau kita bangun rumah dan ke-
dai nasi sekalian di atas batu itu," ujar Raka semakin konyol, lalu kedua sama-
sama tertawa. Dua pemuda kembar itu mulai menyiapkan diri
mengawali semadinya. Mereka tidak melepaskan baju
putihnya yang tanpa lengan itu, mereka juga tidak me-
lepaskan celananya yang putih pula itu, bahkan mere-
ka tidak melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat
dari kain merah itu. Namun mereka saling melepaskan
pedang kristal dari pinggang mereka. Pedang Tangan
Malaikat diletakkan di atas pangkuan mereka. Dengan
duduk bersila dan saling beradu pandang, mereka bi-
arkan curah air terjun itu mengguyur tubuh mereka,
membasahi rambut mereka yang panjang sebahu tan-
pa ikat kepala. Dalam guyuran air sederas itu, wajah
mereka tetap tampak tampan, tubuh mereka tetap
tampak tegar, gagah, dan tegap, tanpa menggigil sedi-
kit pun. Sampai dua hari, mereka masih tetap tegak
bagaikan patung bernyawa.
Tetapi pada hari ketiga, mereka tiba-tiba men-
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar suara jeritan seorang gadis yang melengking
panjang. Raka Pura masih tetap pejamkan mata, tapi
Soka segera membuka mata karena kaget mendengar
suara jeritan seorang gadis yang didengarnya secara
samar-samar karena gemuruh air itu. Semula ia ingin
pejamkan mata kembali. Tapi jeritan itu terdengar se-
makin jelas dan mengiba hati.
"Aaaow...! Tolooong...! Tolooong...! Aaaa...!"
"Seorang gadis dalam bahaya!" pikir Soka. Sebagai pemuda berjiwa romantis, ia
tak tega mendengar
suara gadis meratap dalam jeritan seperti itu. Maka,
tanpa memberitahukan kakaknya, Soka segera lompat
ke daratan. Wuuut...! Dalam keadaan basah kuyup, ia
pun berlari menuju arah datangnya suara jeritan tadi.
Pedang pusakanya ditenteng dengan tangan kanan
agar sewaktu-waktu datang bahaya bisa segera dicabut
menggunakan tangan kiri, karena ia adalah pemuda
kidal, yang banyak menggunakan tangan kirinya ke-
timbang tangan kanannya. Berbeda dengan Raka yang
selalu bertindak dengan menggunakan tangan kanan-
nya. Dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai', Soka
mampu bergerak cepat menyamai kecepatan hembu-
san badai yang paling cepat. Wuuuzzz...! Dalam seke-
jap saja ia sudah tiba di sebuah gugusan tanah cadas
dan melihat sesuatu yang terjadi di bawah gugusan
cadas yang menyerupai bukit itu.
Rupanya di sana sedang terjadi kejar-kejaran
antara seorang gadis dengan seorang pemuda yang di
perkirakan berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ga-
dis itu sendiri berusia sekitar dua puluh tahun.
Sang gadis yang berpakaian hijau muda dengan
jubah lengan panjangnya berwarna merah tua itu be-
rusaha menghindari tangkapan tangan seorang pemu-
da berpakaian serba biru. Agaknya si gadis punya ilmu
sedikit, setidaknya mampu bergerak dengan lincah dan
cepat. Namun si pemuda bersenjata pedang di pung-
gungnya itu juga mempunyai gerakan yang tak kalah
lincah dengan si gadis. Sayangnya, si gadis yang ber-
wajah cantik jelita itu terlalu licin untuk ditangkap, ia bagaikan belut yang
selalu lolos dari genggaman lawannya. Sedangkan pemuda yang berambut pendek
mengenakan ikat kepala merah itu sempat dibuat
jengkel dengan kegagalannya itu. Akhirnya si pemuda
gunakan ilmu peringan tubuh yang dapat melambung
di udara dalam gerakan bersalto hanya dengan satu
kali sentakkan kaki ke tanah.
Des, wuuuk ..! Jleeg...!
Sang gadis yang ingin melarikan diri itu terha-
dang kembali, sehingga langkahnya terhenti sambil
menjerit ketakutan. Tapi pemuda berbaju biru dengan
wajah lumayan tampan itu memandang tajam kepada
si gadis, seakan memancarkan kemarahannya yang
tak terbendung lagi. Soka Pura masih membiarkan
adegan itu, karena ia ingin mengetahui persoalannya
lebih dulu. "Rara Wulan! Sekali lagi ku ingatkan padamu,
kau hanya punya dua pilihan: pasrah kepadaku atau
mati di ujung pedangku"!" bentak si pemuda.
Gadis yang rupanya bernama Rara Wulan itu
terengah-engah dengan wajah tegang, namun ia tidak
mencucurkan air mata. Ia hanya tampak dicekam rasa
takut dan kebingungan sekali.
Si pemuda berkata lagi, "Sekarang kau sendi-
rian, Wulan! Pelayanmu telah pergi dan tak berani
menghadapiku lagi. Kau tak punya pelindung siapa-
siapa di sini. Jika kau tak mau menuruti kemauanku,
maka aku akan segera mengirimmu ke neraka!"
"Percuma saja aku menuruti kemauanmu, sete-
lah kau memperoleh apa yang kau inginkan, aku pun
akan kau bunuh! Aku tahu, tugasmu adalah membu-
nuhku, Dirgayana! Kau akan memanfaatkan tubuhku
untuk melampiaskan nafsumu lebih dulu sebelum aku
kau bunuh! Jadi untuk apa aku harus menuruti kein-
ginanmu itu, Keparat!"
"Kalau begitu kau ingin agar aku segera mem-
bunuhmu, Gadis Tolol"! Baiklah kalau itu kemaua-
nmu. Akan aku lakukan sekarang juga!"
Sriling...! Dirgayana mencabut pedangnya.
"Aaaa...!" Rara Wulan menjerit ketakutan dan semakin tegang. Ia melangkah mundur
sampai tak sadar membentur sebatang pohon besar. Kakinya ter-
sandung akar pohon dan ia pun jatuh dengan pekikan
memanjang lagi. Saat itu, Dirgayana segera mene-
baskan pedangnya bagai ingin membelah dada Rara
Wulan. Weeees...! Traaaang...!
Pedang itu tersentak kuat hingga pemegangnya
ikut terpelanting ke kiri. Rupanya sebelum pedang itu
menyentuh kepala Rara Wulan, sebongkah batu satu
genggaman telah melayang cepat dan menghantam pe-
dang tersebut. Batu itu tidak dilemparkan begitu saja, namun mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang
mampu membuat Dirgayana ikut tersentak dan terpe-
lanting ke samping. Ia hampir saja jatuh kalau saja
pedangnya tidak segera dipakai sebagai tongkat pe-
nyangga tubuhnya.
Wuuut...! Jleeeg...!
Soka Pura tiba di depan Dirgayana, memung-
gungi Rara Wulan. Seakan ia tampil sebagai perisai si
gadis bertahi lalat kecil di tepian bibir bawahnya itu.
Sikapnya tenang dan kalem, pandangan matanya tak
terlalu tajam. Berbeda dengan Dirgayana yang me-
mandang tajam dengan sikap bermusuhan.
"Jahanam kau! Apa maksudmu mencampuri
urusanku, hah?" bentak Dirgayana. "Ini urusan suami-istri, kau tak perlu ikut
campur dalam rumah tangga
kami!" "Bohong! Bohong! Aku bukan istrinya!" sahut Rara Wulan yang berambut
kepang dua dengan tiap
kepang diberi pita merah. Gadis itu cepat-cepat bang-
kit dan mendekati Soka Pura.
Tolonglah aku! Aku mau dibunuhnya kalau tak
mau melayani nafsu setannya itu! Dia bukan suamiku.
Aku masih gadis, belum pernah menikah. Sumpah!
Berani di cucup ubun-ubun ku oleh setan penunggu
hutan ini kalau aku berbohong padamu, Pangeran!"
"Diam kau!" bentak Dirgayana. "Kau memang seorang istri yang tak patut dipuji.
Kerjamu hanya berselingkuh dengan lelaki lain berganti-gantian!"
"Bohong, bohong; bohong...!" Rara Wulan
mengguncang-guncang lengan Soka. "Aku tak pernah
berselingkuh. Sekalipun aku berselingkuh, toh itu
hakku, dia tak punya hak apa-apa karena dia bukan
suamiku, bukan apa-apa ku! Tapi aku memang tak
pernah berselingkuh kok, Pangeran! Sumpah seribu
kali!" Soka hanya berkata pelan dan pendek, "Aku bukan pangeran."
"Ah, masa' tampan-tampan begini bukan pan-
geran" Aku tak percaya!"
"Terserah," kata Soka dengan kalem sekali, suaranya dibuat lembut agar lebih
berkesan di hati gadis itu. "Sejujurnya kukatakan padamu, Cantik... aku bukan
pangeran. Hanya seorang pengembara yang tanpa
atap tanpa wisma."
"Cuih!" Dirgayana meludah dengan benci. "Kuhabisi nyawamu kalau tak mau
menyingkir dari de-
panku Kecoa Busuk!"
"Jangan mau! Jangan mau!" Rara Wulan yang
masih pegangi lengan kanan Soka dengan kedua tan-
gan itu mengguncang-guncang tubuh pemuda itu,
"Jangan mau menyingkir! Lawan saja si tikus
lumbung itu. Dia bukan suamiku kok! Kalau kau me-
nyingkir, aku ikut!"
"Hmmm, hmm, hmm..! Soka tertawa kalem,
berkesan wibawa dan tampak gagah sekali. Pandangan
matanya memancarkan kelembutan yang berbisa. La-
wan maju selangkah, bisa buntung kepalanya ditebas
dengan pedang yang terbuat dari kaca kristal itu.
Dirgayana semakin marah melihat Rara Wulan
bermanja kepada pemuda yang belum dikenalnya itu.
Ia segera berseru dengan wajah merah.
"Wulan, menyingkirlah dari kecoa busuk itu!
Percuma saja kau mengandalkan pemuda itu. Belum-
belum ia sudah ketakutan menghadapiku. Lihat saja,
tubuhnya sampai berkeringat begitu!"
"Ini bukan keringat, ini karena guyuran air ter-
jun, Goblok!" ujar Soka kehilangan wibawanya sesaat, tampak konyolnya sedikit.
"Iya. Ini bukan keringat," timpal Rara Wulan.
"Tak mungkin pemuda segagah ini belum-belum sudah berkeringat. Dia cuma
mengeluarkan peluh terlalu banyak karena...."
"Itu sama saja berkeringat!" bisik Soka tak setuju. "Maksudku, kau pasti
menderita lemah jantung sehingga sering keluarkan peluh tanpa disebabkan ra-sa
takut atau kerja keras."
"Ini air, bukan keringat!" Soka mulai ngotot Dirgayana membentak, "Persetan air
atau keringat, yang penting kau harus segera menyingkir dan
jangan dekati istriku lagi!"
Soka Pura selipkan pedangnya di pinggang ka-
nan. Sleeep...! Lalu ia berbisik kepada Rara Wulan,
"Lepaskan genggaman mu, biar aku bebas bergerak!"
"Ya, ya... tapi... tapi lindungi aku, ya?"
"Tentu. Aku akan melindungi gadis cantik se-
pertimu selama kau membutuhkan perlindungan ku.
Jangankan hanya lelaki macam dia, lelaki yang tak
macam-macam pun aku berani menghadapinya!"
"Kalau lelaki tak macam-macam untuk apa di-
hadapi, berarti dia tak bersalah!" gerutu Rara Wulan dengan wajah masih
dibayangi ketegangan.
Setelah genggaman kedua tangan si gadis dile-
paskan, Soka Pura pun maju satu langkah dan me-
nuding Dirgayana yang masih memegangi pedangnya
dan siap ditebaskan ke arah lawan.
"Hei, beruang dikebiri... jangan mengaku-aku
sebagai suami gadis ini! Aku dengar sendiri dari atas
sana, kau minta dilayani gadis ini, jika tidak kau akan membunuhnya! Apakah itu
sikap seorang suami"
Hmm, tidak! itu sikap seorang pemerkosa licik!"
"Itu urusanku. Apa hakmu ikut campur uru-
sanku"!" sentak Dirgayana.
"Sungguh tak seimbang, pemuda gagah bertu-
buh kekar sepertimu hendak melawan gadis cantik
yang imut-imut seperti ini! Jika kau merasa mampu
membunuh dengan pedangmu, lawanlah aku!"
"Ya, betul! Kalau berani lawan pemuda tampan
ini!" timpal Rara Wulan dengan lagak menantang,
membanggakan Soka Pura. Hai itu membuat Dirgaya-
na semakin berang, hatinya bagai dibakar memakai
delapan puluh obor. Panas sekali.
Dirgayana pun menggeram, "Bangsat tengik
kau! Terimalah pedang pencabut nyawaku ini!
Hiaaaah...!"
Dirgayana menebaskan pedangnya ke samping,
tapi pedang itu segera meliuk dan jadi menghujam ke
dada Soka Pura. Suuut...! Soka Pura melompat miring,
pedang itu lolos dari sasaran. Kaki Soka segera me-
nendang siku-lengan yang memegangi pedang itu. Bet!
Plook...! "Aaaow...!" Dirgayana memekik kesakitan. Tendangan berisi tenaga dalam
telah kenai sikunya, tulang siku bagaikan remuk seketika. Tak heran jika
genggaman tangan pun menjadi kendor dan pedang itu jatuh
ke tanah setelah mencelat ke udara dan melayang-
layang sesaat. Menyadari tangannya sudah tidak memegang
pedang lagi, Dirgayana segera memutar tubuhnya dan
melayangkan tendangan kipasnya dengan cepat.
Wees...! Plak...! Tangan Soka menahan tendangan itu,
kemudian tangan yang satu segera menghantam ke
ulu hati Dirgayana dengan gerakan sangat cepat. Bet!
Dirgayana berusaha mengelak tapi justru terhantam
tulang rusuknya. Praaak!
"Ouhk...!" Tulang rusuk itu terasa remuk juga.
Sakitnya terasa dari kepala sampai ujung kaki. Dir-
gayana sempat terbungkuk sesaat kala menahan rasa
sakit. Kesempatan itu digunakan oleh Soka untuk so-
dokkan lututnya ke atas sambil menjambak rambut
Dirgayana dan menyentakkan kepala itu ke bawah
dengan kuat. Cproot...!
"Ouuuhff...!" Dirgayana meraung lagi. Kini mulutnya berdarah karena diadu dengan
lutut Soka Pura.
Bibirnya pecah membentur gigi. Dirgayana limbung, la-
lu dengan melompat pendek, kaki Soka menendang ke
atas. Bet! Duhk!
"Aakh...!" Dirgayana memekik lagi karena da-
gunya menjadi sasaran kaki Soka cukup keras, aki-
batnya darah makin membanjir dari mulut Dirgayana.
Pemuda itu pun jatuh terbanting tepat di depan pe-
dangnya. "Bagus. Hajar lagi!" seru Rara Wulan dengan
tangannya ikut memukul-mukul penuh kebencian.
"Awas, dia mau ambil pedangnya! Gencet punggung-
nya. Hajar terus! Hajar sampai sekarat!"
Soka Pura melangkah pelan dekati Dirgayana
saat Dirgayana sudah berhasil menyambar pedangnya.
Tiba-tiba ia berbalik arah sambil berlutut satu kaki, la-lu pedangnya di
sambetkan ke arah kaki Soka. Wees...!
Wuuut! Soka Pura lompat ke atas. Pedang itu tak kenai
sasaran lagi. "Bagus! Awas turunnya!" seru Rara Wulan
memberikan semangat.
Dirgayana segera bangkit berdiri sambil menu-
sukkan pedangnya ke atas, sasarannya adalah tubuh
Soka Pura yang sedang bergerak turun. Suuuut...! Tapi
ujung pedang itu justru digunakan sebagai tempat pi-
jakan sekejap bagi kaki Soka Pura. Dengan bantuan
ilmu peringan tubuhnya, kaki itu tak terluka saat me-
nyentuh ujung pedang. Dees...! Lalu tubuh Soka Pura
bersalto di udara dan segera mendarat di samping Ra-
ra Wulan. Jleeg...!
"Hebat, hebat! Teruskan perjuangan mu!" Rara Wulan memberi semangat sambil
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menepuk-nepuk punggung Soka dan lakukan lonjakan-lonjakan kecil
sebagai ungkapan kegeramannya.
"Habis riwayatmu, Kecoa Busuk! Heeeah...!"
Dirgayana berteriak keras-keras. Tangan kirinya me-
nyentak ke depan dan seberkas sinar kuning panjang
melesat dari telapak tangan itu. Claaap...!
"Awas, petir kuning!" seru Rara Wulan sambil berlari ke pohon.
Soka Pura tidak bergeser dari tempatnya na-
mun justru sentakkan tangannya dan seberkas sinar
merah bagaikan piring berputar memercikkan bunga
api segera keluar dan menghantam sinar kuning terse-
but. Claap...! Blaaarrr...! Jurus 'Mata Bumi' digunakan Soka untuk le-
dakkan sinar kuning itu. Ternyata gelombang leda-
kannya sangat kuat, lebih banyak menyentak ke arah
Dirgayana karena jarak ledakan itu lebih dekat ke Dir-
gayana daripada ke Soka Pura. Akibatnya, Dirgayana
terlempar kuat-kuat bagaikan terbang dihembus ba-
dai. Tubuhnya membentur pohon keras-keras.
Brrukkkk. "Akhh...!"
Dirgayana memekik pendek dalam keadaan
terkapar di bawah pohon. Sekujur tubuhnya terasa
sakit dan panas. Kulit tubuhnya yang coklat tampak
matang, berwarna merah seperti kepiting rebus. Ge-
lombang ledakan itu menebarkan hawa panas yang
menerpa tubuh Dirgayana. Seakan tubuh itu tersiram
air panas yang baru saja mendidih. ia mengerang ke-
sakitan sambil berusaha untuk berdiri dengan mem-
pertahankan pedangnya di tangan kanan.
"Biadab kau, Kecoa Setan!" geram Dirgayana
sambil terhuyung-huyung. Nafasnya ngos-ngosan den-
gan wajah menyeringai menyedihkan.
"Sekarang aku memang bisa kau perlakukan
sekejam ini. Tapi ingat... suatu saat pasti kita akan
bertemu lagi dan mengadu nyawa setuntas mungkin.
Kau atau aku yang mati lebih dulu!"
"Kau saja...!" sahut Rara Wulan. Wajahnya
pancarkan kebencian yang dalam.
"Ingat, kalian berdua akan mati! Sebentar lagi
kalian berdua mati!" setelah berseru demikian, Dirgayana segera melarikan diri
dalam gerakan limbung,
bahkan sempat tersentak nyaris jatuh tersungkur ka-
rena kakinya terantuk gundukan tanah seperti batu
itu. "Hei, dia melarikan diri! Lihat, dia melarikan di-ri! Ayo, kejar...! Kejar dia,
jangan takut! Ayooo,..!" cecar Rara Wulan sambil mendorong punggung Soka,
membuat pemuda itu tersentak-sentak.
"Kejar dia! Jangan biarkan dia lari, nanti akan
da tang lagi dan bikin penyakit lagi! Ayo, kejaaar...!"
"Brisik!" bentak Soka melepas kekesalan ha-
tinya Gadis itu diam seketika, bahkan tampak murung
pan takut. Soka Pura cepat-cepat turunkan emosinya,
mulai bersikap lembut kembali.
"Maaf, aku tak bermaksud membentak mu. Aku
sengaja mengeraskan suaraku agar didengar olehnya
dan membuatnya kaget, lalu berlari semakin ngibrit."
"Tapi... tapi mengapa kau tidak mengejar-
nya"!"ujar Rara Wulan bernada manja dengan wajah
sengaja cemberut.
"Dia sudah melarikan diri, itu pertanda dia su-
dah kalah. Kita tak boleh menekan orang yang sudah
mengaku kalah, walau di luarnya masih berkoar men-
gumbar ancaman. Tapi sikapnya yang melarikan diri
sudah merupakan pengakuan tak langsung bahwa dia
tak mampu mengungguli ku."
"Tapi kalau dia datang lagi dan ingin memper-
kosaku, bagaimana?"
"Tidak mungkin," jawab Soka sambil sungging-
kan senyum menawan.
"Mungkin saja. Tujuan dia sebenarnya ingin
membunuhku. Sebelum aku dibunuhnya, lebih dulu
akan dinikmati sebagai pemuas gairahnya. Aku tahu,
Dirgayana itu manusia licik dan memuakkan. Kalau
aku sedang makan, lalu melihat dia, pasti aku muntah
seketika itu juga. Aku benci sama dia. Aku muak seka-
li! Aku merasa lebih baik melihat bangkai kodok dari-
pada melihat tampangnya! Sumpah."
Soka Pura tertawa kalem walau hatinya geli
mendengar gadis itu nyerocos dengan lagak manjanya.
Bibirnya yang mungil dan ranum itu tampak semakin
indah dan menggemaskan jika dipakai untuk nyerocos
seperti tadi. Hati Soka ingin sekali menggigit bibir itu dengan gemasnya.
"Sebenarnya, mengapa Dirgayana ingin mem-
bunuhmu, Rara Wulan?"
"Lho, kok situ tahu namaku?" Rara Wulan ter-
perangah, tapi hatinya menyimpan debar-debar indah
dan ingin melonjak manakala namanya disebutkan
oleh pemuda tampan bertubuh basah kuyup itu. "Tadi saat Dirgayana ingin
menangkapmu, kudengar ia me-manggilmu dengan nama Rara Wulan. Bukankah itu
namamu?" "Memang. Tapi... tapi aku belum tahu nama-
mu" sambil gadis itu sunggingkan senyum malu-malu
kucing, walaupun ia tampak sangat lebih cantik dari-
pada seekor kucing yang tersenyum.
"Namaku... Soka Pura," ujar Pendekar Kembar
bungsu. "Ih, nama kok Soka-Pura-pura... berarti suka
bohong, ya?"
"Puranya hanya satu. Soka-Pura. Titik."
"Ooo... Soka Pura. Hmmm... bagus sekali na-
mamu itu, ya" Sama dengan orangnya," puji si gadis berkepang dua sambil
tundukkan kepala dan sunggingkan senyum malu-malu macan. Bukan malu-malu
kucing lagi. Pemuda itu kian berdebar-debar melihat se-
nyum bertahi lalat kecil di bibir bawahnya itu. Rasa
kagum terhadap kecantikan Rara Wulan kian men-
gembang, menimbulkan rasa gemas dan ingin mencu-
bit bibir itu. Namun Soka Pura berlagak tetap kalem-
kalem saja, karena ia yakin gadis itu juga merasakan
hal yang sama dengan apa yang ada dalam hatinya.
Berbunga-bunga.
"Rara Wulan, kau belum menjawab perta-
nyaanku yang tadi."
"Hmmm... yang mana, ya?"
"Mengapa kau mau dibunuh oleh Dirgayana?"
"O, itu pasti pekerjaan si Bintari Ayu. Pasti dia di suruh oleh Bintari Ayu
dengan upah besar, sehingga
ia tega membunuhku."
"Siapa Bintari Ayu itu"!"
"Perempuan liar!" jawab Rara Wulan dengan ketus dan memancarkan perasaan
bencinya kepada Bin-
tari Ayu. Agaknya gadis itu tak mau jelaskan secara
lengkap siapa Bintari Ayu karena ada rasa benci dan
permusuhan dalam hatinya. Bahkan mengucapkan
nama Bintari Ayu tampaknya muak sekali dan tak in-
gin berulang-ulang. Karena itu, Soka Pura pun segera
menyingkirkan rasa ingin tahunya tentang Bintari Ayu.
"Mengapa kau berada di hutan sendirian begini,
Rara Wulan?" Soka alihkan pembicaraan agar Rara
Wulan tak cemberut terus.
"Aku ingin pergi ke rumah bibiku. Aku mau
menetap di sana."
"Di mana rumah bibimu itu?"
"Di Desa Teganya. Bibi angkatku tinggal di sa-
na." Soka Pura kerutkan dahi, ia pernah melewati
desa itu dalam perjalanan mencari Pedang Tangan Ma-
laikat itu, dan ia tahu letak desa itu sangat jauh dari tempatnya sekarang
berada, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Gua Mulut Naga"). Terasa janggal bagi seorang gadis
jelita berpakaian indah dengan perhiasan lengkap pergi sendirian ke Desa Te-
ganya yang jauh itu.
"Aku tahu di mana Desa Teganya berada, dan
itu sangat jauh, Wulan. Mengapa kau pergi sendirian
ke sana?" "Aku dengan pelayanku, tapi dia melarikan diri
setelah dihajar oleh Dirgayana. Entah lari karena takut atau mencari bantuan,
dia tak pamit padaku. Tapi sekalipun nantinya tanpa dia, aku tetap akan ke Desa
Teganya." "Tak baik kau pergi sendirian. Bagaimana jika
ku antarkan?"
Rara Wulan menatap dengan pandangan berbi-
nar-binar. Hatinya kian bertaburan bunga indah saat
mendengar tawaran Soka Pura. Pemuda itu ditatapnya
tanpa berkedip dengan senyum manis menggemaskan
hati setiap lelaki. Namun dalam hati Soka masih ber-
tanya-tanya, siapa gadis itu sebenarnya.
* * * 2 KECANTIKAN Rara Wulan membuat Soka lupa
akan tugasnya; semadi di Gerojogan Sewu. Ia menjadi
tertarik untuk mengantarkan Rara Wulan ke Desa Te-
ganya yang seluruh penduduknya mempunyai kelebi-
han pada anggota tubuh; jari tangan sebelas, lubang
hidung satu, alis mata empat dan sebagainya.
"Ilmu 'Waskita Indera' bisa kudapatkan di lain
waktu, toh tidak bisa dicuri orang. Tapi tentang gadis ini, ooh... kesempatan
emas ini tak boleh ku sia-siakan. Salah-salah Rara Wulan bisa disambar pemu-
da lain, tahu-tahu aku dapat jandanya, kan perih ka-
lau begitu"!" pikirnya sambil melangkah mendampingi gadis berkepang dua itu.
Rara Wulan sendiri tidak pedulikan lagi tentang
pelayannya yang kabur setelah babak belur dihajar
Dirgayana. Pikirnya, "Sekarang aku sudah mendapat pendamping yang tangguh,
pengawal yang gagah per-kasa, dan mendebarkan hatiku senantiasa. Untuk apa
aku takut lagi pergi ke Desa Teganya" Bersama Soka
Pura hatiku merasa aman dan perjalanan menjadi in-
dah. Hmm...! Pemuda kok gantengnya bukan main"!
Moga-moga jangan diserobot gadis lain!"
Sambil melangkah, Soka sempatkan diri men-
gadakan pendekatan secara pribadi, di antaranya me-
nanyakan tentang asal-usul si gadis berkepang dua
itu. "Aku berasal dari tempat yang jauh," jawab Ra-ra Wulan seakan masih belum mau
terbuka secara blak-blakan, karena ia pun ingin mengetahui siapa
Soka sebenarnya.
Lanjut Rara Wulan lagi, "Aku sudah melakukan
perjalanan selama satu bulan lebih beberapa hari."
"Oh, lama sekali?"
"Lihat saja, perhiasan ku sampai menipis kare-
na...." "Dirampok orang di perjalanan?"
"Karena kujual buat makan saban harinya!"
ceplos Rara Wulan tanpa malu-malu. Ia pun tak me-
nampakkan rasa sesalnya. Justru memperlihatkan ke-
sungguhannya dalam bepergian menuju Desa Teganya
sampai dibela-belain jual perhiasan satu-persatu.
"Mengapa kau meninggalkan keluargamu, Rara
Wulan. Sebab dugaanku kau bukan dari keluarga
miskin. Setidaknya kau anak seorang saudagar kaya."
"Memang. Orang tuaku orang kaya. Tapi aku
tak betah berada di lingkungan keluarga yang kaya."
"Apa alasannya"!"
"Aku bosan jadi anak orang kaya. Aku ingin
merasakan hidup miskin itu seperti apa rasanya. Me-
nahan lapar itu bagaimana sedihnya. Tak punya teman
itu bagaimana rasanya. Tidur di hutan itu bagaimana
menderitanya. Dan semua itu aku yakin akan membu-
atku mengerti apa makna hidup dan kehidupan."
"Hebat sekali cara berpikir mu," ujar Soka Pura dengan rasa kagum setulus hati.
"Jarang sekali anak orang kaya punya pemikiran seperti itu. Kau satu satunya
gadis kaya yang mau ikut menderita dengan ke-
hidupan para kaum hina papa, para pengemis, dan...
aku yakin itu akan membuatmu semakin cepat dewa-
sa. Dan kalau sudah cepat dewasa tentunya akan ce-
pat menikah. Kalau sudah menikah kau akan cepat
punya anak. Kalau sudah punya anak...."
Langkah gadis itu sengaja dihentikan sambil
tangannya mencekal lengan Soka Pura. Tindakan itu
membuat Soka Pura menatap nanap dengan dahi sedi-
kit berkerut tanda tak mengerti maksud Rara Wulan.
"Jangan bicara soal pernikahan," ujar Rara Wu-
lan lirih sekali.
"Mengapa kau tak mau bicara soal pernika-
han?" "Menyakitkan," sambil gadis itu lemparkan pandangan matanya ke arah lain.
"Pernikahan atau
perkawinan sesuatu yang membuatku muak dan me-
nyakitkan. Aku tak mau mendengarnya. Aku ingin kita
bicara tentang keindahan saja supaya perjalanan kita
tak terasa melelahkan."
Soka Pura hanya membatin, "O, sekarang aku
tahu! Dia pasti gadis yang patah hati karena rencana
perkawinannya gagal. Lalu ia pergi dari rumahnya un-
tuk melupakan luka di hatinya itu. Hmmm... baiklah,
aku tak akan bicara tentang hal-hal yang membuatnya
sedih." Rara Wulan sengaja hentikan langkah agak la-ma, karena pemandangan di
sekitarnya cukup indah
dan nyaman. Pepohonan yang tumbuh tak terlalu ra-
pat, namun mempunyai dedaunan yang rindang den-
gan dahan-dahan besar yang meliuk bagai mempunyai
seni keindahan tersendiri. Angin semilir yang berhem-
bus membuat hati Rara Wulan bagai semakin dibuai
oleh kebahagiaan yang sejak tadi menaburkan bunga-
bunga indah, terutama jika sedang memandang se-
nyuman Soka. Gadis itu sengaja duduk dl atas sebuah batu
setinggi pinggul yang ada di bawah pohon rindang. So-
ka Pura tak berani memaksa gadis itu untuk lanjutkan
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkah. Ia bahkan bersikap memanjakan si gadis
dengan kesabaran yang dipaksakan. Sebab Soka tahu,
gadis itu bukan hanya gadis yang cantik dan bermata
bundar bening menyejukkan hati, namun termasuk
juga seorang gadis yang manja dan selalu menuntut
perhatian lembut.
"Kau tidak marah kalau aku beristirahat di sini
beberapa saat?"
Soka Pura menggeleng. "Hanya orang-orang bo-
doh yang mau marah kepadamu."
"Untung kau orang pintar, ya?" ujar si gadis sambil tersenyum-senyum. Dalam
senyumnya selalu
menghadirkan lesung pipit yang sangat disenangi oleh
Soka Pura. Karenanya, Soka tak bosan-bosannya me-
mandang gadis berjubah merah mengkilap dengan un-
taian kalung emas berbatuan intan di lehernya.
"Kau sering menikmati suasana indah dan
nyaman seperti ini, Soka?"
"Baru sekali ini," jawab Soka. "Biasanya yang ku nikmati adalah pemandangan
berkabut dan udara
dingin, bukan teduh seperti saat ini. Maklum, aku di-
besarkan di puncak gunung."
"O, ya" Gunung apa itu namanya?"
"Gunung Merana."
"Aduh, kasihan. Kau pasti pemuda yang hidup-
nya merana."
"Memang. Ayah dan ibuku sudah meninggal
beberapa waktu yang lalu."
"Oh, kasihan kau, Soka. Duduklah sin!... tak
perlu takut padaku. Kau kuizinkan duduk di dekat ku,
asal jangan pemuda lain."
Soka Pura sunggingkan senyum indah lagi
sambil duduk di samping si gadis berhidung bangir. Si
gadis mengusap lengan Soka dengan lembut sambil
berkata dalam nada suara lirih.
"Hatimu pasti selalu merana sepanjang hari."
"Benar. Kau pandai merasakan hati seseorang
rupanya." "Tentu, karena hidupku pun selalu merana se-
panjang hari."
"Bukankah kau punya seorang kekasih?" panc-
ing Soka. "Dulu memang punya, tapi... putus di tengah
jalan. Karena yang ku punyai ternyata bukan seorang
kekasih, melainkan seorang pengkhianat! Aku benci
sekali dengan pemuda itu! Aku muntah kalau mem-
bayangkan wajahnya. Sekarang pun perutku merasa
mual karena membayangkan wajahnya!"
"Kalau begitu bayangkan saja wajahku."
Rara Wulan memandangi lekat-lekat, lalu sung-
gingkan senyum ceria.
"Rasa muntah ku sudah hilang."
"Kenapa secepat itu?"
"Karena aku sudah memandang wajahmu."
"Kalau begitu... wajahku adalah obat anti mun-
tah, ya?" ujar Soka dengan hati dongkol. Rara Wulan tertawa cekikikan sambil
mencubit lengan Soka.
"Jangan marah, aku hanya bercanda kok!"
"Tidak. Aku tidak marah. Bukankah tadi sudah
ku katakan, hanya orang bodoh yang mau marah ke-
pada gadis secantik dirimu, Wulan."
"Benarkah aku cantik?"
"Biar buntung lidah ku kalau aku bohong pa-
damu. Kau memang cantik bagiku!"
"Kau suka dengan kecantikanku?" tanyanya
bernada manja. "Suka sekali. Sangat suka sekali!" Soka meyakinkan pengakuannya.
"Kalau kau suka...," matanya melirik manja."...
tentunya kau tidak keberatan jika memanjat pohon ke-
lapa yang ada di sebelah sana itu, bukan?"
"Lho, apa hubungannya antara kecantikan
dengan memanjat pohon kelapa?"
Rara Wulan merengek sambil bergelendot di
pundak Soka, "Aku haus, Soka...."
"Ooo... kau haus" Butuh minum?"
"He, eh...! Aku mau minum air kelapa muda,"
rengeknya lagi.
"Baik, aku akan memetikkan beberapa buah
kelapa muda untukmu!"
"Aduh senangnya hatiku!" Rara Wulan melon-
jak girang. "Petiklah yang banyak buat bekal di perjalanan nanti, ya?"
"Baik, baik...! Akan ku petikkan sebanyak yang
kau butuhkan."
"Iya, ya... cepat gih!" Rara Wulan tak sabar walau tetap kegirangan.
Tiba-tiba mereka mendengar suara lain menya-
hut, "Tak perlu repot-repot memanjat. Biar aku yang memetikkan buah kelapa
untukmu, Rara Wulan!"
Tentu saja mereka terkejut, tapi tak sampai
pingsan. Mereka segera berpaling dan menemukan se-
raut wajah muda berusia sekitar dua puluh lima ta-
hun. Seraut wajah muda berkumis lebat namun berhi-
dung mancung itu milik seorang pemuda yang menge-
nakan rompi kuning dan celana kuning pula. Pemuda
itu mempunyai rambut panjang yang diikat ke bela-
kang seperti ekor kuda. Badannya gagah, kekar, tegap,
berdada bidang. Di pinggangnya melingkar sabuk hi-
tam. Di sabuk hitam itu terselip sebilah kapak berga-
gang coklat. Soka dan Rara Wulan memandang Dengan pe-
rasaan heran. Mereka agaknya belum saling kenal.
Masih merasa asing dengan wajah pemuda berkulit hi-
tam namun berwajah ganteng itu.
"Siapa kau" Aku tak mengenai dirimu!" ucap
Rara Wulan dengan ketus.
"Aku bernama Lodayu, dari Perguruan Gagak
Putih!" "Dasar bodoh! Gagak kok putih"! Gagak itu berwarna hitam. Kau pasti
belum pernah melihat burung gagak, atau mungkin kau buta warna"!" ketus
Rara Wulan dengan berani, sebab ia merasa ada dang
pembela di sampingnya.
"Hah, hah, hah, hah...! itu nama perguruan,
Rara Wulan. Jangan dipersoalkan lagi. Yang penting,
kau ingin minum air kelapa muda, bukan" Nah, akan
ku petikkan beberapa buah kelapa muda untukmu.
Lihat caraku memetikkan buah kelapa itu...." Lodayu menuding pohon kelapa yang
berada dalam jarak sepuluh langkah dari tempat Soka dan Rara Wulan be-
rada. Lodayu segera bergegas dekati pohon kelapa ber-
buah banyak itu. Ia memandang beberapa saat seper-
tinya sedang memilih mana yang muda dari sekian ba-
nyak buah kelapa itu. Beberapa saat kemudian, Lo-
dayu tempelkan telinganya ke batang pohon kelapa.
"Sedang apa dia"!" bisik Soka kepada Rara Wulan.
"Entah. Mungkin sedang mendengarkan suara
tembang yang dinyanyikan oleh pohon kelapa itu," Ra-ra Wulan balas berbisik.
"Jangan-jangan telinganya gatal dan digaruk-
nya pakai batang kelapa begitu"! Hmm... malah seperti
kambing sedang kudisan. Menggaruknya pakai batang
pohon kelapa atau benda lainnya," Soka Pura tertawa dalam gumam yang pelan
sambil matanya masih
memperhatikan tingkah aneh si Lodayu.
Beberapa saat kemudian, Lodayu mundur satu
langkah. Kedua tangannya bergerak ke samping, lalu
ke atas, setelah di atas kepala, tangan kanannya turun ke bawah sampai di dada,
matanya terpejam sesaat.
Kedua tangan itu mengeras hingga tampak bergetar.
Lalu tiba-tiba tangan kanannya menghantamkan tela-
paknya ke batang pohon kelapa itu. Buuuhk...! Sua-
ranya mantap. Kemudian ia segera mundur, menjauhi
pohon kelapa itu.
Soka Pura dan Rara Wulan masih memandang
heran ke arah pohon kelapa dan Lodayu secara ber-
ganti-gantian. Mereka tak mengerti apa maksud Lo-
dayu bertingkah seperti itu, sehingga Rara Wulan ak-
hirnya bersuara dengan ketus juga.
"Apa maksudmu bertingkah begitu" Mau me-
nunjukkan padaku bahwa kau gila?".
Lodayu memandang dalam senyum yang mem-
buat kesal hati Soka Pura, Namun sebelum Soka Pura
sempat berkata, tiba-tiba sebuah kelapa jatuh dari
atas pohon itu. Bluuuk...! Menyusui kemudian empat
buah kelapa jatuh sendiri dari atas pohon tersebut.
Bluk, bluk, bluk, bluk...!
Soka Pura dan Rara Wulan terbengong. Belum
selesai mereka terbengong, Lodayu sudah memungut
satu buah kelapa, kemudian bagian atas buah kelapa
itu dipangkas memakai kapaknya. Crasss...!
"Silakan meminumnya, Permaisuri ku!" ujarnya dengan berani sambil sodorkan
kelapa yang telah ter-kupas bagian atasnya. Ternyata kelapa itu memang ke-
lapa yang muda dan airnya tampak menyegarkan.
"Hanya ada lima kelapa yang muda dari sekian
banyak buah kelapa di atas sana, Rara Wulan. Sean-
dainya ada sepuluh yang muda dan bagus, akan ku
ambilkan kesepuluh kelapa itu," tambah Lodayu.
Rupanya Lodayu, murid Perguruan Gagak Pu-
tih itu, unjuk kebolehan di depan Rara Wulan untuk
menyaingi Soka Pura. Rara Wulan menelan ludah begi-
tu melihat air kelapa muda yang menyejukkan itu. Lo-
dayu menawarkan lagi kepada Rara Wulan dengan se-
makin dekat, jaraknya hanya satu jangkauan.
"Silakan minum, biar dahaga mu hilang,
Sayangku!"
Rara Wulan ingin meraih buah kelapa dari tan-
gan Lodayu, tetapi Soka segera menahan tangan Rara
Wulan, mencegah sambil berkata terang-terangan.
"Jangan diminum! Siapa tahu mata kapaknya
yang dipakai memangkas kelapa itu menaburkan ra-
cun di dalam air kelapa tersebut!"
Lodayu mulai tampak tersinggung. Tapi ia sem-
bunyikan rasa dongkolnya itu dengan senyum sinis
dalam kata selanjutnya.
"Rara Wulan, sayang sekali kau bersama orang
bodoh yang tak bisa membedakan mana minuman be-
racun dan mana yang tidak beracun. Bahkan ia tak
mungkin bisa memetikkan buah kelapa muda untuk-
mu tanpa harus memanjatnya"!"
"Siapa bilang aku tak bisa memetik buah kela-
pa tanpa harus memanjat"!" geram Soka Pura mulai
tampakkan kejengkelannya.
"O, jadi kau merasa bisa" Kalau begitu, cobalah
lakukan! Petiklah buah kelapa muda di pohon yang
sebelah sana itu tanpa harus memanjatnya," kata Lodayu seakan menantang adu
kesaktian dengan Soka
Pura. "Siapa bilang dia tak bisa"! Pasti bisa!" ujar Ra-ra Wulan.
Soka sendiri sebenarnya bingung, tak tahu ca-
ranya memetik buah kelapa tanpa harus memanjat-
nya. Tapi berhubung Rara Wulan sudah telanjur ber-
kata begitu, seakan yakin betul bahwa Soka pun bisa
lakukan seperti Lodayu. mau tak mau Soka segera
mendekati pohon kelapa yang satunya.
Empat langkah sebelum dekat dengan pohon
kelapa itu, tiba-tiba kedua kaki Soka merendah, kedua
tangannya disodokkan ke depan dalam keadaan meng-
genggam. Jurus 'Tangan Batu' dilepaskan oleh Soka
Pura. Jurus itu mengeluarkan tenaga dalam besar, se-
perti sebongkah batu sebesar kerbau melesat dan
menghantam pohon kelapa tersebut. Wuuut, praaak...!
Brrrrukk...! "Ooh..."!" Rara Wulan terpekik kaget melihat pohon kelapa itu tumbang. Buah
kelapa yang ada di
atas pohon tersebut berhamburan ke mana-mana, ada
pula yang mental ke samping Soka, ada juga yang
menggelinding ke depan Rara Wulan. Sedangkan Lo-
dayu hanya diam sambil geleng-geleng kepala.
Soka tak peduli pemuda berompi kuning itu ge-
leng-geleng kepala. Ia segera memilih buah kelapa yang muda dengan diangkat
satu-persatu dan dikocok-kocokkan di dekat telinganya. Dalam beberapa waktu
terpilih enam kelapa muda yang layak untuk diminum
airnya. Keenam buah kelapa itu ditaruh dl depan Rara
Wulan yang berjarak tiga langkah di samping kiri Lo-
dayu. Brrruk...!
"Ada enam yang muda dan airnya segar jika
diminum!" kata Soka kepada Rara Wulan dengan ter-
senyum menyindir Lodayu. "Apakah kau tadi meli-
hatku memanjat pohon kelapa, Rara Wulan."
"Tid... tidak... tidak melihatnya!" jawab Rara Wulan dengan menggeragap karena
menyangka Soka marah dan ia takut melihat kemarahan Soka yang bisa
menumbangkan pohon secara mengerikan itu.
Soka pun memandang Lodayu sambil terse-
nyum sinis. "Tanpa memanjat pohon-nya, bukan?" kata So-
ka. "Iya. Tapi itu namanya merusak alam. Pria se-
macam kau kelak jika beristri akan merusak istri dan
anak-anaknya untuk mencari nama di depan para ke-
rabatnya!" ujar Lodayu mengecam tindakan Soka.
"Lalu apa maksudmu sebenarnya"!" tanya Soka
dengan nada menantang.
"Aku hanya ingin tunjukkan kepada Rara Wu-
lan bahwa kau bukan lelaki yang pantas menjadi sua-
minya. Satu-satunya lelaki yang pantas menjadi sua-
minya adalah aku!"
Rara Wulan segera menyahut, "Aku tak sudi!"
"Jangan bilang tak sudi dulu, Wulan. Kau be-
lum tahu siapa aku. Kau merasa bangga di samping
pemuda yang mirip kacang panjang ini, karena kau be-
lum tahu bahwa ada pemuda yang lebih pantas kau
banggakan selain dia. Pemuda itu tak lain adalah aku!
Kare nanya, ikutlah aku pulang ke orang tuamu, Kita
akan menikah dan hidup sebagai suami-istri yang pe-
nuh kebahagiaan dan berlimpah kebanggaan."
Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mencibir ketus Rara Wulan menyahut,
"Apa yang dibanggakan dari pemuda berkulit hitam
mirip pantat kendil begitu?"
Soka segera menyahut, "Jangan menghina begi-
tu. Wulan. Pantat kendil tak mungkin sebesar ini. Tapi kalau pantat gajah,
mungkin sebesar ini!"
Lodayu terkesiap, wajahnya mulai semburat
merah menahan malu karena hinaan Soka yang lebih
parah dari hinaan Rara Wulan. Akhirnya Lodayu
hanya berkata dengan nada tetap kalem dan tenang.
"Barangkali kulitku memang hitam, tapi hatiku
putih bersih. Daripada lelaki berkulit putih tapi ha-
tinya busuk seperti kotoran kera" Apa enaknya?"
Soka merasa dikatakan hatinya busuk seperti
kotoran kera. Ia pun menarik napas menahan kema-
rahannya. sementara Lodayu melangkah cuek me-
mainkan sebutir kelapa dengan kakinya. Kelapa itu di-
lemparkan ke atas memakai kakinya.
Wuuutt...! Kelapa muda melayang ke atas, begi-
tu turun disambut dengan Kedua jarinya. Jruub...! Ke-
dua jari itu menembus masuk ke dalam batok kelapa
yang masih bersabut, airnya mengucur ke lengan, lalu
kelapa itu dibuang dengan satu kibasan tangan cepat.
Wees...! Bruuss...! Kelapa itu jatuh di semak-semak.
Setelah itu, Lodayu berkata kepada Rara Wulan.
"Susah payah aku mencarimu, sesuai dengan
ciri-ciri yang diberikan padaku oleh orang tuamu. Ter nyata kau bersama
penggembala kambing yang tak patut kau andalkan sebagai pelindung dirimu, Wulan.
Kuharap kau cepat sadar, siapa yang patut memba-
wamu pulang saat ini."
"Aku tak mengerti kau bicara apa, Lodayu!"
sentak Rara Wulan. "Pergilah dan jangan ganggu kedamaian kami berdua!"
Soka Pura tertawa seperti orang menggumam
sambil melangkah dekati sebutir kelapa yang tergele-
tak di dekat pohon lain, ia berkata dengan suara lan-
tang agar didengar oleh Lodayu.
"Memang sulit memahami bicaranya seekor ba-
bi hutan. Kau harus belajar tentang bahasa hewan du-
lu, baru mengerti apa yang dikatakan oleh seekor babi
hutan, Wulan!"
"Kau mengatakan aku babi hutan"!" Lodayu
mulai mempertinggi nada bicaranya.
Soka cuek saja. Ia juga memainkan sebutir ke-
lapa muda dengan kakinya. Dalam satu hentakan kaki
ke tanah, kelapa muda itu tiba-tiba melesat naik ke
atas melewati batas kepalanya. Duukh, wuuut...! Begi-
tu kelapa itu bergerak turun, kedua jari tangan Soka
disentakkan ke atas dan berhasil menembus ke dalam
batok kelapa yang masih bersabut. Jrrub, bluuus ..!
Air kelapa mengalir ke lengan seperti yang dilakukan
Lodayu tadi. Mata Pendekar Kembar bungsu segera menatap
Rara Wulan sambil sunggingkan senyum sinis yang di-
tujukan untuk Lodayu. Tiba-tiba tangan yang menu-
suk kelapa muda itu dikibaskan ke samping. Wuuus...!
Kelapa itu melayang dan membentur sebatang pohon
di balik semak-semak.
Duaaarr...! Rara Wulan terlonjak kaget dan berlari mundur
begitu mendengar suara ledakan akibat benturan ke-
lapa dengan pohon. Kelapa itu pecah dan pohon itu
somplak separuh bagian. Rupanya tenaga dalam yang
di salurkan Soka ke jarinya ditambah lagi saat melem-
parkan buah kelapa itu, sehingga di dalam tempurung
Kelapa itu tersimpan segumpal tenaga dalam yang siap
meledak jika tersentuh benda apa pun.
Lodayu tertegun walau berlagak tetap kalem.
Soka sunggingkan senyum kemenangan yang mem-
buat dada Lodayu bergemuruh dibakar kemarahan.
Sementara itu, setelah Soka berada di samping Rara
Wulan lagi, gadis itu berkata kepada Lodayu dengan
nyeplos, tak peduli menyinggung perasaan atau tidak.
"Kau kalah hebat, Lodayu! Kelapa mu hanya bi-
sa jatuh di semak-semak dan mematikan ulat-ulat
yang ada di sana. Tapi kelapanya Soka bisa meledak
dan hampir saja menumbangkan pohon sebesar itu!
Hmm...!" Rara Wulan mencibir.
Ia berkata lagi sambil melengos ke arah Soka,
"Apa yang bisa diandalkan dari pemuda yang hanya
bisa menusuk kelapa dengan kedua jarinya" Paling-
paling masa depanmu kelak menjadi penjual sate!"
Soka berlagak menghardik gadis itu, "Husy! Tak
boleh bilang begitu, Wulan! Dia bisa tersinggung kalau tidak kau jelaskan, sate
yang dijualnya adalah sate
keong sawah, bukan sate kambing!"
"O, iya... maaf, maksudku tadi," masa depanmu hanya akan menjadi penjual sate
keong sawah, Lodayu, yang jualannya menunggu kalau ada orang
punya gawe dan nanggap wayang kulit. Hih, hih, hih
hih...!" Dalam dada Lodayu seperti genderang perang
berbunyi. Dar, dur, dar, dur! Seakan dada ingin mele-
dak karena menahan marah mati-matian. Hinaan itu
membuatnya ingin segera mencabut senjata dan mem-
belah kepala Soka dengan kapaknya itu. Tapi rupanya
ia masih berusaha untuk tidak menunjukkan kekasa-
rannya di depan Rara Wulan. Ia hanya menarik napas
panjang-panjang dan menahannya kuat-kuat di dada.
Rara Wulan berkata kepada Soka, "Kita te-
ruskan perjalanan kita, Soka! Aku jadi tak haus lagi
melihat orang berilmu rendah pamer kesaktian. Apa-
kah kau masih ingin mencari sumbangan untuk pe-
main kuda lumping itu, Soka"!"
"Tidak. Aku sendiri butuh sumbangan. Mak-
sudku, sumbangan cinta dan kemesraan darimu, Rara
Wulan...."
"Ah, kau bikin hatiku girang saja, Soka! Hih,
hih, hih, hih...!" Rara Wulan segera melangkah dengan tangan merangkul pinggang
Soka, kepalanya disan-darkan di pundak Soka Pura.
Lodayu semakin tak bisa menahan kemarahan.
Ia segera melompat dan melintasi kepala Soka dan Ra-
ra Wulan. Wuuut...! Kejap berikutnya ia sudah meng-
hadang di depan langkah mereka berdua. Jleeg...!
Langkah Soka dan Rara Wulan pun terhenti. Gadis itu
berbisik kepada Soka sambil melepas rangkulannya.
"Dia mulai marah. Hati-hati, Soka... agaknya
ilmunya lebih tinggi dari si Dirgayana!"
"Berdoalah supaya dia lupa jurus-jurusnya!" bisik Soka pula sambil mulai siap
menghadapi amukan
Lodayu. Kini Soka Pura yang tampak tenang sekali dan
wajahnya tak segusar Lodayu.
"Kau tak bisa menghinaku begitu saja, Bekicot
pikun!" geram Lodayu. Pandangan matanya mulai
tampak tajam dan bernafsu untuk menumbangkan
Soka. "Lalu, apa maumu sekarang, Lodayu"!"
"Kita bertarung ilmu! Kalau kau menang, kau
boleh membawa Rara Wulan pulang menghadap orang
tuanya. Tapi kalau aku yang unggul, maka kau harus
rela lepaskan Rara Wulan padaku dan akan kubawa
menghadap kepada orang tuanya!"
Rara Wulan yang geram juga segera memberi
semangat sambil mundur ke salah satu sisi, di bawah
pohon. "Hajar saja dia, biar tak banyak mulut, Soka!
Masa' kau tak mampu menumbangkan murid pergu-
ruan burung perkutut putih"! Tunjukkan kehebatan-
mu, Soka. Biar gurunya belajar padamu!"
Semangat Soka terpompa mendengar ucapan
itu, sebaliknya, hati Lodayu semakin terasa seperti
disayat-sayat oleh ejekan tersebut. Namun ia belum
mau bergerak, karena Soka Pura masih menatapnya
tak berkedip seakan ingin mengadu kekuatan batin
melalui pandangan mata. Namun ternyata beberapa
saat kemudian suara Soka terdengar menyambut tan-
tangan Lodayu tadi.
"Kau ingin menjajal ku berapa jurus, Kawan?"
"Sekuat mu! Berapa jurus kau mampu berta-
han melawanku, akan kulayani!" jawabnya dengan suara keras, menunjukkan rasa
dongkolnya yang sudah
sangat besar dan menyesak di dada itu.
"Baik. Kulayani pula tantanganmu. Tapi jangan
salahkan diriku jika kau sampai cedera! Berhati-
hatilah, Kawan!"
"Jaga nyawamu agar jangan melayang di ujung
kapakku, Banci Keropos!"
Lodayu membuka jurus pertama, kuda-kuda
dengan kaki rendah yang kiri ditarik ke belakang dan
yang kanan semakin rendah. Kedua tangannya men-
gembang bagai sayap seekor burung gagak raksasa
yang ingin menerjang lawan Sedangkan Soka Pura
hanya melangkah kalem mengitarinya tanpa posisi
berkuda-kuda atau siap serang seperti lawannya.
Namun baru mendapat tiga langkah ke samp-
ing, Soka Pura sudah diterjang lebih dulu oleh Lodayu
dengan gerakan benar-benar mirip seekor burung ga-
gak menyambar mangsanya. Wees...! Soka Pura hanya
melompat ke atas dan berkelebat memutar tubuh den-
gan kaki mengibas cepat. Wuuut...! Plak, plak...! Satu pukulan Lodayu berhasil
ditangkis Soka. Satu tendangan Soka berhasil ditangkis Lodayu. Tak ada yang ter-
kena serangan lawannya.
"Tampar dengan kakimu lagi, Sora! Hajar terus
dia! Jangan beri kesempatan untuk menyerangmu! Iya,
habisi dia! Habisi tenaganya! Sisakan sedikit buat dia pulang kampung nanti!"
seru Rara Wulan memberi
semangat Soka. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika melihat ten-
dangan kaki Lodayu mengenai dada Soka Pura.
Wuuut, duuhk...!
"Heeekh...!" Soka terhuyung-huyung ke bela-
kang dengan dada terasa mau jebol akibat tendangan
bertenaga dalam. Ia dikejar Lodayu yang sepertinya tak ingin memberi kesempatan
pada Soka untuk balas
menyerang. Tendangan Lodayu datang secara berun-
tun. Wut, wut, plaaak...! Wut, ptok, plak, wuuut...!
Soka Pura sempat terdesak karena tendangan
beruntun yang datang begitu cepat dan sukar di hin-
dari. Beberapa tangkisan Soka Pura melesat, sehingga
iganya sempat terkena tendangan satu kali. Tendangan
itu membuatnya jatuh berlutut namun segera mena-
han napas kuat-kuat mengendalikan rasa sakitnya.
Ketika Lodayu melompat dengan kapak telah di
tangan, Rara Wulan berteriak kepada Soka keras-
keras. "Awaaas... kapaaak...! Kapaaaak...! Kapaaak...!"
Teriakannya masih terdengar terus-menerus,
padahal Soka Pura sudah berguling ke samping dan
kapak yang dihantamkan ke kepalanya itu tidak kenai
sasaran sedikit pun. Wuuus...! Kaki Soka segera me-
nyampar dengan kuat. Bet!
Plaaak...! Samparan kaki kenai betis Lodayu.
Karena samparan itu cukup kuat, maka Lodayu sem-
pat terpelanting nyaris jatuh. Soka Pura segera sen-
takkan badan dan dalam sekejap sudah berdiri tegak
menghadang lawan. Jleg!
"Serang terus! Desak dia, Soka! Desak terus!
Jangan biarkan dia melukaimu dengan kapak itu! Ayo,
maju ..! Majuuu...!"
Baru saja Soka Pura ingin maju, tiba-tiba ka-
pak itu bagaikan terbang setelah disabetkan ke arah-
nya. Weeers...! Craaak...! Rupanya mata kapak itu
mempunyai rantai panjang yang berhubungan dengan
gagangnya. Jika gagang disentakkan dengan sentakan
tertentu, maka mata kapak akan melesat sendiri na-
mun tetap terikat dengan rantai ke gagangnya.
Mata kapak itu segera melintas di depan hi-
dung Soka. Wuuut...!
Rara Wulan menjerit ngeri, "Awas, aaaaah ..!
Sejengkal lagi Soka kehilangan hidungnya yang
bangir itu. Untung ia segera menarik diri ke belakang
dengan tubuh agak melengkung. Namun dapat segera
tegak lagi. Hanya saja ia tak dapat menyerang maju
karena kapak itu sekarang diputar-putar oleh Lodayu
dan memagari tubuh pemuda berkulit hitam itu.
Wung, wung, wung, wung, wung...!
Soka Pura terdesak mundur terus, sementara
Lodayu maju dengan cepat. Soka Pura sempat berkata
dalam hatinya, "Kalau kugunakan Pedang Tangan Ma-
laikat sepertinya sia-sia! Masa' melawan orang seperti Lodayu saja harus memakai
pedang pusaka. Tapi permainan jurus kapak terbangnya cukup berbahaya dan
sukar ku tembus. Hmm...! Sebaiknya kugunakan saja
jurus 'Tangan Batu' lagi!"
Wuuut...! Kedua tangan Soka menyentak ke
depan dalam keadaan menggenggam. Tenaga dalam
tanpa sinar pun melesat dalam keadaan sangat kuat
dan besar. Wuuus...! Karena keadaan Soka pada wak-
tu itu berlutut satu kaki, maka tenaga dalam itu tidak terkena kapak terbang
melainkan langsung kenai perut Lodayu dengan telak sekali. Bhaahk...!
Tiga Maha Besar 17 Pendekar Aneh Dari Kanglam Karya Sin Liong Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 14