Pencarian

Gadis Penyebar Cinta 2

Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta Bagian 2


"Aakkhg...!" Lodayu terlempar ke belakang, jatuh berjungkir balik dengan kapak
tersangkut-sangkut
akar pohon dan semak belukar. Gusrak, bruuus...!
"Bagus, Soka! Terus...! Hajar terus seperti tadi!
Yaa, terus...!"
"Cerewet amat burung betet yang satu itu!" geram hati Soka Pura. Namun ia segera
tidak pedulikan
seruan gadis itu, karena Lodayu tampak sudah mau
bangkit lagi. "Sebaiknya ku terjang dengan jurus 'Jalur Ba-
dai' saja!" ujar Soka dalam hatinya. Maka jurus yang mampu membuatnya berkelebat
bagaikan hembusan
badai paling cepat itu dipergunakan tanpa ragu-ragu
lagi. Wuuuzzz...!
Breeess...! "Aaaoh...!" Lodayu terlempar keras diterjang Soka. Ia merasa seperti diterjang
badai sangat kuat.
Baru saja berusaha bangkit lagi, Soka telah menerjang
dengan jurus 'Jalur Badai'-nya. Wuuuz...! Breesss...!
Proook...! Wajah Lodayu membentur pohon
sangat keras. Mulut Lodayu mulai berdarah. Pelipisnya
juga mengucurkan darah. Namun ia masih berusaha
untuk bangkit dan ingin memutarkan kapaknya lagi.
Namun tiba-tiba ia merasa seperti diterjang badai lagi, wuuzz...! Brrruuusss...!
"Aaaakh...!"
Wuuuuzzz...! Brrruuk...! Wuuzz...! Brrruuuss..!
Wuuuz...! Brrruk...!
"Aaakh.. !" Soka memekik sendiri, karena terjangan yang terakhir itu membuatnya
membentur po- hon. Sebab pada waktu ia hendak menerjang lagi, Lo-
dayu sudah jatuh terkulai dengan lemas, tapi Soka su-
dah telanjur melesat bagaikan angin badai. Akibatnya,
jatuhnya Lodayu membuat terjangan itu tak mengenai
sasaran lawan, melainkan mengenai sebatang pohon.
"Aaaaouh, bodoh! Lawan sudah jatuh masih di-
terjang saja. Yang kau terjang itu pohon, Soka! Pohon!
Aduuuh, kok jadi bodoh amat kau ini, Soka"!"
Celoteh Rara Wulan dengan cerewetnya.
Celotehan itu tak dihiraukan Soka sebab hi-
dung Soka menjadi berdarah. Mimisan. Soka sibuk
mengusap darah di sekitar hidungnya dengan dedau-
nan. Namun ia masih mampu berdiri dalam keadaan
sedikit sempoyongan. Sedangkan Lodayu terkapar
mengerang-erang dengan wajah penuh darah, kepala
bocor dua tiga tempat.
"Oouh, aaaah... aaah... ouuhk...!" Lodayu tak bisa bangkit. Soka Pura akhirnya
mendekati lawannya,
lalu menarik tangan pemuda itu agar bisa berdiri.
"Cukup, cuuu... kup...! Jangan serang aku la-
gi!" ujar Lodayu sambil terengah-engah dan mulutnya megap-megap seperti ikan
mujair kekurangan air tawar. Ia menyangka Soka ingin menghantamnya dengan
kuat. Padahal Soka bermaksud membantunya berdiri
tanpa rasa dendam sedikit pun.
"Ak... aku mengaku kalah. Kau... kau unggul!
Ooh, tinggalkan aku! Bawalah gadis itu menghadap
orang tuanya! Tinggalkan aku, pergilah sana!"
"Kau terluka banyak. Kubantu mengobati lu-
kamu. Kawan!"
"Tid... tidak perlu! Kau sudah menang, aku ka-
lah. Jangan bikin aku semakin kalah dengan pengoba-
tan mu! Pergilah sana sebelum kesabaranku habis!"
Rara Wulan segera menarik tangan Soka.
"Tinggalkan saja dia! Dia sudah mengaku ka-
lah, malah mau mengancam lagi. Untuk apa ditolong!"
"Tapi dia terluka parah, Wulan. Dia perlu...."
"Tidak!" seru Lodayu dengan sisa suaranya
yang ngos-ngosan. "Pergilah kalian! Aku bisa mengobati lukaku sendiri."
"Kau yakin tak akan cedera terlalu lama"!"
"Ya, aku mampu pulihkan keadaanku! Bawalah
gadis itu, dan... selamat berbahagia! Selamat...!" Lodayu mengangkat tangan,
melambaikan sebagai tanda
ucapan selamatnya dan mengaku kekalahannya secara
jantan. Soka Pura yang masih sedikit terhuyung-
huyung sambil dituntun Rara Wulan itu juga men-
gangkat tangan sambil menoleh ke belakang.
"Sampai ketemu lagi, Lodayu,..!"
"Ya, ya...! Beres...!" sambil Lodayu acungkan jempol tangannya.
Berdirinya limbung ke kiri-kanan, akhirnya ja-
tuh dengan lemas kembali setelah Soka Pura dan Rara
Wulan tak kelihatan.
Bruuuuk...! "Aduh biyuuung...! Jurus apa yang dipakai
menghajar ku tadi..."!" keluhnya lirih di sela erangan rasa sakitnya.
* * * 3 MALAM hadir bersama sang rembulan. Walau-
pun tak bersinar penuh, namun cahayanya cukup
membuat bumi terasa damai, tenang, dan romantis.
Cahaya rembulan itu berkemilau melalui pantulan air
laut nan biru. Laut menjadi biru kehijauan bagai ge-
nangan limau. Sebuah desa nelayan menjadi tempat persing-
gahan Rara Wulan dan Pendekar Kembar bungsu. Di
desa nelayan itu ada sebuah kedai, di kedai itu ada
kamar sewaan, di kamar sewaan itu ada Rara Wulan
dan Soka, di dalam Rara Wulan dan Soka ada getar-
getar cinta yang semakin lama semakin terasa me-
rayap menyentuh jiwa muda, menyalakan api gairah
dalam kemesraan.
"Tempat tidur hanya ada satu," ujar Soka.
"Ya, aku tahu. Apa maksudmu berkata begitu?"
"Di mana aku harus tidur nanti?"
"O, tentu saja di lantai."
"Di lantai"!" Soka bernada kecewa.
Rara Wulan melangkah dekati sudut ruangan.
Ia mengambil gulungan tikar 'lampit' dari pelepah
daun bakau. Tikar itu segera dijatuhkan di depan kaki
Soka Pura. "Apa gunanya tikar ini?" ujar Rara Wulan sambil tersenyum.
"Bisa juga untuk bungkus mayat," jawab Soka
menahan rasa dongkol.
"Selain itu juga bisa untuk alas tidur, bukan?"
sera ya Rara Wulan lebarkan senyum dengan tawa ge-
linya. Soka Pura menarik napas, tampak sedang me-
nahan kedongkolan hati.
"Kau keberatan jika harus tidur di tikar?"
"Tidak," jawab Soka datar dan tawar, tanpa senyum seulas pun.
"Kalau kau keberatan, biarkan kau tidur di ran-
jang itu dan aku tidur di tikar ini. Aku ingin merasa-
kan bagaimana gatalnya tidur di tikar."
"O, tidak. Itu lebih parah lagi," ujar Soka dan segera dekati gadis itu.
Ditatapnya wajah cantik jelita bermata bundar bening dan berbibir mungil ranum
menggemaskan itu. Sesaat setelah rasakan desiran in-
dah melintasi hatinya, Soka Pura segera ucapkan kata
dengan nada lembut.
"Kau tidak boleh tidur di tikar. Kau harus tidur
di ranjang berkasur itu. Biarlah aku yang tidur di ti-
kar." "Kau benar-benar bersedia" Tidak kecewa tidur di tikar?"
"Tidak," tegas Soka. "Tikarnya akan ku gelar di atas ranjang berkasur itu."
"Hah..."! Sama saja kau dan aku tidur seran-
jang itu, Soka" Ah, kau...!" Rara Wulan tertawa geli ketika tahu kalimat itu
hanya sebagai canda belaka. Ia
memukul pelan dada Soka Pura, lalu tangannya di-
tangkap oleh Soka dan digenggam dengan lembut. Jika
gadis itu ingin menarik tangannya, bisa saja. Tapi ternyata si gadis tak mau
menarik tangannya dan merasa
senang berada dalam genggaman si pemuda tampan
bermata teduh itu.
"Apakah kau keberatan jika kita tidur seran-
jang?" tanya Soka memancing.
"Keberatan," jawab Rara Wulan tegas.
"Mengapa keberatan?"
"Maksudku... maksudku... ranjangnya yang ke-
beratan menerima tubuh kita berdua. Lihat saja, kaki
ranjang kayu itu sudah rapuh sebelah kiri. Apa jadinya jika kita tidur di
atasnya bersama-sama?"
"Tentu saja kita tak akan sempat tidur nye-
nyak, mungkin sampai pagi akan melek dan saling...
saling..."
"Saling apa maksudmu"!" sergah Rara Wulan.
"Saling mendongeng tentang Kancil nyolong ke-
timun," sambil Soka lebarkan senyum candanya. Si
gadis terkikik pelan.
"Sekarang Kancil sudah tidak mau nyolong ke-
timun lagi."
"Lalu nyolong apa?"
"Nyolong hati," jawab Rara Wulan sambil menatap dalam kelembutan.
"Hati siapa yang dicolong?"
"Hatiku...," suara gadis itu makin pelan, ia me-nunduk.
"Kalau begitu kau menganggapku sebagai see-
kor kancil?"
Rara Wulan menggeleng. "Kau bukan kancil,
tapi calon kambing bandot!"
Tawa mereka pecah berderai. Si gadis tak kebe-
ratan dipeluk Soka pada saat tawa mereka berhambu-
ran. Ia bahkan merebahkan kepala di dada Soka yang
bidang dan berotot itu. Mereka saling meresapi kehan-
gatan yang merayap di sekujur tubuh, walau mulut
mereka seolah-olah hamburkan canda yang tak berpe-
rasaan dalam. Mereka masih saling merasa malu men-
gakui keindahan yang bertaburan di hati masing-
masing. "Aku ingin ke pantai. Kau mau ikut?" ajak So-ka.
"Bukankah tadi kau bilang ingin beristirahat
karena lelah berjalan?"
"Aku tak bisa beristirahat jika hatiku bergemu-
ruh." "Apa yang membuat hatimu bergemuruh, So-
ka"!" "Lebih enak jika ku jelaskan sambil memandang ombak lautan dan riak
pantai. Bukankah ma-
lam ini cahaya rembulan sedang menaburkan keinda-
han di atas permukaan bumi?"
"Ya, memang begitu. Tapi... aku lelah sekali.
Aku ingin segera berbaring setelah merasa badanku
segar sekali sehabis mandi tadi."
"Kalau begitu, berbaringlah sana. Aku akan
menikmati suasana malam separuh purnama di pan-
tai." "Baiklah. Tapi hati-hati, jangan sampai diculik
perawan desa ini!"
Soka Pura hanya tersenyum lebar, kemudian
melangkah keluar dari kamar sewaan itu. Rara Wulan
menutup pintu kamar setelah Soka menuruni tangga
lantai bawah. Pemuda itu tak tahu kalau hati si gadis
menyimpan kekecewaan yang ditutupnya rapat-rapat
dengan senyum ceria. Pendekar Kembar bungsu hanya
bisa berkecamuk dalam hatinya sambil melangkah
menyusuri pantai dan berhenti di tempat sepi, tak se-
berapa jauh dari deretan perahu-perahu nelayan yang
sedang tidak berlayar itu.
"Aneh. Terhadap gadis yang satu ini hatiku me-
rasa terpikat sekali. Padahal dengan gadis lain yang
ada hanya keindahan semata, tanpa merasa ingin me-
miliki. Tapi terhadap Wulan, hatiku merasa ingin seka-
li memilikinya. Padahal aku belum tahu persis siapa
dia sebenarnya" Mengapa ingin dibunuh oleh Dirgaya-
na" Mengapa ingin dibawa pulang oleh Lodayu" Men-
gapa ingin menikmati hidup sederhana di Desa Te-
ganya" Dan... mengapa ia begitu manja kepadaku?"
Di pantai itu ada sebongkah batu bersusun
dua, besarnya separuh badan sapi. Batu hitam yang
sebagian tenggelam di pasir pantai itu kini dijadikan
tempat duduk Soka Pura dengan santainya. Matanya
memandang pantulan cahaya rembulan di permukaan
laut yang bergelombang sedang. Sedang buih-buih
ombak yang berwarna putih menjadi pusat perhatian
matanya yang menerawang pada seraut wajah cantik
jelita milik Rara Wulan.
"Tak heran kalau pemuda seperti Lodayu ingin
memperistri Rara Wulan, sebab gadis itu memang
mempunyai daya tarik yang mampu menggetarkan hati
setiap lelaki. Sayang ia cerewet, agak bandel, maunya
menang sendiri. Tapi hal itu bisa ku atasi kalau dia
sudah menjadi istriku."
Tiba-tiba Soka sadar dengan ucapan batinnya
tadi. "Hei, apa benar aku ingin memperistrinya" Ah, kurasa ini hanya luapan
perasaanku saja. Aku belum
siap mempunyai seorang istri. Lebih-lebih istri manja seperti dia, oh... bisa
kurus badanku memendam kejengkelan, menghadapi kemanjaannya. Kurasa ia perlu
dididik dulu beberapa waktu agar bisa menjadi seorang
istri yang bijaksana dan tidak menjengkelkan suami.
Jika benar aku ingin memperistrinya, ia harus ku ki-
rim ke puncak Gunung Merana, biar dididik oleh Ibu
supaya menjadi seorang istri yang baik seperti Ibu,"
sambil benak Soka membayangkan wajah ibu angkat-
nya; Nyi Padmi, yang selama ini menjadi sosok seorang
istri dan seorang ibu yang dikagumi oleh suami dan
anak-anaknya. Soka sendiri mengidamkan seorang is-
tri seperti Nyi Padmi, tak banyak cemburu, tak manja,
dan tak banyak mengecam suami.
Renungan di atas batu bersusun dua itu tiba-
tiba terhenti, lalu buyar seketika, karena tiba-tiba gadis dalam lamunannya
muncul dari balik perahu bo-
cor. Rara Wulan mendekati Soka dengan mata me-
mandang ke arah permukaan air laut, seakan ikut me-
nikmati keindahan panorama malam yang bertabur
kesan damai di hati tiap manusia itu.
"Mengapa kau ikut kemari" Bukankah kau me-
rasa lelah dan ingin berbaring?" pancing Soka, walau hatinya mulai dapat menduga
bahwa si gadis tak


Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin betah tinggal di kamar tanpa dirinya.
"Aku takut di kamar sendirian," ujarnya sambil bernada manja. Gadis itu langsung
duduk di samping
Soka. "Apa yang membuatmu takut?"
"Takut ada setan," jawabnya seperti anak kecil merengek.
"Justru kalau kita berduaan, setan makin men-
gerumuni kita."
"Ah, kau ini bikin aku semakin ketakutan saja,"
seraya Rara Wulan bergeser lebih merapat ke tubuh
Soka. Angin malam hembuskan udara dingin, tapi se-
paruh bagian tubuh Soka merasa hangat karena ber-
sentuhan dengan tubuh gadis berkepang dua itu.
"Mengapa kau duduk di sini sendirian" Ada
yang kau tunggu?" tanya Rara Wulan mulai menam-
pakkan bias-bias kecemburuan. Soka Pura hanya ter-
senyum. Lalu tawanya terdengar seperti gumam.
"Siapa yang kutunggu" Tak ada orang lain ke-
cuali kau."
"Hmm...!" gadis itu mencibir tak percaya, tapi sebenarnya berbunga indah di
dalam hatinya. "Aku menyukai pemandangan seperti ini, Wu-
lan. Hatiku terasa damai jika berada dalam suasana
seperti saat ini."
"Maksudmu dalam suasana memandang lautan
yang memantulkan cahaya rembulan, begitu?"
"Maksudku dalam suasana remang dan duduk
bersamamu seperti saat ini."
"Hmm...! Di kamar pun bisa bersuasana re-
mang kalau lampu minyaknya kita kecilkan."
"Tapi udaranya tak se-segar di sini."
"Jendela kamar bisa kita buka biar dapat udara
segar." "Kalau ada pencuri masuk bagaimana?"
"Biarlah pencuri masuk, asal jangan kau yang
dicuri," ujar si gadis sambil bersungut-sungut dan membuat Soka Pura lepaskan
tawa lirihnya. Tangan
Soka merangkul pundak gadis itu, sang gadis diam,
tak mengelak. "Wulan, ada yang ingin kutanyakan padamu
tentang Lodayu."
"Jangan bertanya padaku, karena aku tak tahu
apa-apa tentang Lodayu. Berani sumpah digigit kuda,
aku tak tahu-menahu tentang pemuda itu."
"Tapi mengapa dia tampak bernafsu sekali ingin
membawamu pulang menghadap orang tuamu dan
menikahi mu"!"
"Mana ku tahu" Bisa saja itu ulahnya yang
aneh-aneh dan... mungkin saja dia orang gila karena
kebanyakan ilmu atau tak kuat menerima ilmu dari
gurunya." "Begitu" Hmm...," Soka Pura menggumam pe-
lan dan manggut-manggut. Tapi dalam hatinya masih
menyimpan kejanggalan, karena ketika ia ingin ting-
galkan Lodayu, pemuda itu seakan yakin betul bahwa
Rara Wulan akan dibawa pulang dan dikawinkan den-
gan Soka. "Sudahlah, jangan banyak bicara tentang
orang-orang aneh. Aku jadi ikut pusing sendiri. Se-
baiknya kita ke kamar saja, yuk?" bujuknya dengan manja. "Aku belum mengantuk,
Wulan." "Aku capek, Soka," rengek gadis itu.
"Istirahatlah sendiri sana," pancing Soka.
"Aaah, kalau tidak denganmu aku tak berani di
kamar itu sendirian. Ayo temani aku dulu, Soka. Aku
capek, ingin dipijat kakiku."
"Pijat..."!"
"Sebentar saja, Soka! Hanya untuk hilangkan
pegal-pegal di telapak kaki. Kau mau, kan" Mau, ya?"
manjanya kian menjadi. Hati Soka kian luluh melihat
kemanjaan itu walau punya kejengkelan di sisi hati
lain nya. Mau tak mau Soka akhirnya menuruti gadis
itu. "Ingat, aku hanya minta dipijat bagian yang
pegal saja lho!" ujar Rara Wulan ketika ia ingin berbaring di atas ranjang.
"Jangan nakal tanganmu. Aku tak suka punya sahabat yang tangannya nakal!"
Soka Pura tertawa pelan. "Bukankah tangan
yang nakal lebih berkesan daripada tangan yang ke-
jam"!" "Aku tak mau kalau kau sudah punya niat nakal!" sentaknya tak jadi
berbaring. Ia cemberut, sewot. Soka Pura buru-buru menenangkan.
"Iya. iya... aku tak akan nakal!"
"Awas kalau kau nakal, aku akan berteriak se-
keras-kerasnya!" ancam si gadis, lalu ia berbaring dengan santai setelah
melepaskan jubah merahnya.
"Kok berbaring" Bukannya tengkurap lebih
enak?" kata Soka.
"Kalau berbaring begini aku bisa mengawasi
tanganmu! Sudah, jangan banyak bicara. Pijat saja ba-
gian telapak kakiku sampai betis."
"Hmmm... baru sekarang jadi pendekar dapat
borongan memijat," gerutu Soka Pura pelan sekali, sehingga Rara Wulan
mendengarnya tak jelas.
"Apa katamu?"
"Aku tak berkata apa-apa kok!" sangkal Soka
sambil mulai memijat telapak kaki gadis itu.
"Aow...!" pekik Rara Wulan seraya menarik kakinya yang terasa sakit karena
pijatan Soka terlalu keras.
"Jangan keras-keras! Sakit!"
"Tidak keras. Aku memijatnya tidak pakai tena-
ga." "Tapi itu tadi terlalu keras. Kurangi tekanan-
nya!" "Iya. Iya... cerewet!" ucap Soka pelan, lalu memijat kaki gadis itu lagi
dengan tekanan lebih pelan.
"Nan, begitu. Enak kalau segitu," kata Rara
Wulan, Soka tak memberi komentar karena menahan
rasa kesal di hatinya.
Pedang diletakkan di meja dekat ranjang. Soka
Pura naik ke atas ranjang, duduk dengan kaki
melonjor" di samping tubuh Rara Wulan yang berbaring. Jari-jari tangannya
memijat dengan lembut, mem-
buat gadis itu setengah terpejam merasakan nikmat-
nya pijatan di kaki.
"Jangan telapak kaki terus, naik sedikit, Soka!"
pinta gadis itu. "Betis ku juga pegal sampai sebatas lutut." Soka melakukan apa
yang diinginkan gadis itu.
Rara Wulan semakin meresapi setiap sentuhan tangan
Soka yang mirip orang mengusap dalam kelembutan.
Pemuda tampan itu pun semakin berdebar-debar. Ber-
tambah tinggi bagian yang dipijat bertambah berdebar
hati Soka Pura. Bahkan hembusan nafasnya mulai te-
rasa tersendat-sendat tak beraturan. Hambatan per-
napasan itu terjadi karena gairah Pendekar Kembar
bungsu mulai dibakar oleh rasa hangat dari sentuhan
tangan di sekitar betis Rara Wulan.
Mata si gadis setengah terpejam. Sesekali meli-
rik Soka sesekali memandang ke langit-langit kamar
meresapi sentuhan nikmat. Rupanya gadis itu pun di-
guncang oleh debar-debar gairah yang menggelitik, se-
hingga sesekali ia terpaksa menggigit bibirnya sendiri.
Gigitan bibir yang disertai mata terbeliak itu membuat gemuruh di dalam dada
Soka Pura semakin menghadirkan hawa panas, sehingga keringat pun mulai
membersit di kening pemuda itu.
Sesekali mata Soka melirik ke wajah Rara Wu-
lan, namun cepat-cepat dipindahkan ke arah lain. Ka-
rena wajah gadis itu seakan mengundang ajakan un-
tuk bercumbu. Sekalipun Soka berusaha menghindar
toh pada akhirnya ia merasa semakin terpancing oleh
gigitan bibir Rara Wulan. Apalagi gadis itu mendesah
kecil dan disertai erangan atau desisan samar-samar,
hal itu seolah-olah merupakan api yang kian memba-
kar hasrat Soka Pura. Akibat menahan debaran ha-
srat, akhirnya Soka hanya bisa mengunci mulutnya,
tak punya gagasan untuk mengatakan sesuatu atau
menanyakan apa pun. Sementara si gadis sendiri juga
hanya bisa sibuk dengan desis dan desahnya.
Semakin tangan Soka memijat bagian lutut,
semakin hawa hangat yang mengalir dan dirasakan
membakar seluruh darahnya. Tangan Soka sempat
gemetar ketika memijat bagian lutut dan belakang lu-
tut, karena tak jauh lagi dari tempat itu ia akan me-
nyentuh bagian yang amat mendebarkan. Namun ia
tak berani lakukan, takut kalau-kalau gadis itu berang dan ia dianggap pemuda
kurang ajar. Tetapi tiba-tiba gadis itu bicara dengan mata
masih terpejam samar-samar. Suaranya pun terdengar
sayup-sayup, membuat Soka sempat sangsi dengan
pendengarannya sendiri.
"Ke atas lagi...."
Soka masih diam dan tak mau melakukannya.
"Siapa tahu aku salah dengar," ujarnya dalam hati.
Namun si gadis mengulanginya dengan lebih jelas.
"Ke atas lagi...," kali ini ucapan itu bernada merengek. Mau tak mau Soka Pura
pun merayapkan tan-
gannya ke atas. Padahal tangan itu berada dl balik
kain gaun penutup bagian bawah Rara Wulan. Tentu
saja yang diraba adalah sebentuk kehangatan di atas
kulit paha yang mulus tanpa luka. Tangan Soka pun
akhirnya bukan memijat tapi mengelus dengan lembut.
Dan elusan itu diresapi betul oleh Rara Wulan, sehing-
ga tangan gadis itu melakukan remasan di atas seprai
ranjang. "Sakit...?" tanya Soka dengan suara bergetar.
"Hmm... tidak," jawab Rara Wulan dalam suara mirip orang berbisik. Kepalanya
tergolek ke kiri, bibirnya digigit lagi dalam keadaan mata terpejam. Soka
Pura semakin mempermainkan usapan tangannya,
merayap lebih ke dalam lagi. Si gadis tidak menolak,
bahkan secara tak sadar kakinya mulai sedikit me-
renggang. "Sial! Aku justru merasa seperti orang tersiksa
sendiri," gerutu Soka. "Kalau ku lanjutkan sampai menyentuh pusatnya, bagaimana
ya" Marah atau tidak"
Oh, jangan dulu! Tunggu permintaannya saja," lanjut gerutuan hati Soka Pura yang
semakin mengucurkan
keringat dingin.
Tiba-tiba gadis itu bangkit dan terduduk. Ma-
tanya menjadi sayu, wajahnya merah jambu seperti
menahan malu. Tapi sebenarnya menahan gejolak ke-
mesraan yang dituntut oleh batinnya. Hanya saja ia
tak mau menampakkan sikap kasmarannya karena
masih ingin menjaga nama baiknya.
"Sudah kubilang, jangan nakal. Mengapa kau
tetap nakal, Soka"!" ucapnya dengan suara datar dan napas memburu.
"Kau yang menyuruh tanganku lebih ke atas
lagi, bukan?"
"Tapi tak kusuruh menyentuh tempat tertentu!"
"Maaf, aku tak sengaja. Kalau begitu, kita cu-
kupkan sampai di sini saja!"
Soka Pura menarik tangannya agar keluar dari
dalam gaun. Tapi tiba-tiba tangan itu tertahan, karena kedua paha Rara Wulan
sengaja menjepitnya. Gadis
itu memandangi Soka dengan sorot pandangan mata
bertambah sayu. Sementara itu, Soka menatap dengan
salah tingkah. "Kita... kita tidur saja, ya" Aku lelah," bujuk Soka. "Sudah telanjur. Kau
telanjur menyiksa batin ku." "Jadi bagaimana selanjutnya?"
"Ter... terserah...," jawab gadis itu mendesah.
"Tapi... tapi aku tak mau kau permainkan, Soka!"
"Aku tak akan mempermainkan dirimu, Rara
Wulan," ucap Soka seperti berbisik. Wajahnya pun semakin mendekati wajah gadis
cantik itu. Si gadis tak
berani memandang Soka karena debaran asmara se-
makin menggunjang jiwanya. Mata indah itu terpejam
dengan pelan-pelan Bibir ranum itu merekah sedikit,
seakan siap menerima kehadiran bibir Soka Pura.
Maka kesempatan itu tak mungkin disia-siakan
lagi oleh Soka Pura. Bibir ranum itu segera di kecup-
nya pelan-pelan. Cup...! Gerakan lidah menyapu bibir
atau mulut yang mengulum bibir ranum itu dilakukan
dengan sangat lembut. Seakan setiap sentuhan dan
pagutan meresap sampai ke dasar hati, membuat tu-
buh gadis itu pun merinding dengan hati berdesir-
desir. Soka Pura melumat bibir itu tanpa ada kekasa-
ran sedikit pun, sehingga nyawa si gadis merasa seper-
ti ingin lolos dari raganya.
Dengan sengaja Soka hentikan kecupan bibir-
nya, menarik wajah dan memandang Rara Wulan. Ga-
dis itu membuka matanya yang bertambah sayu itu.
Lalu Soka ajukan tanya lirih sekali.
"Kau suka...?" Gadis itu tak bisa menjawab untuk sesaat. Ia hanya anggukkan
kepala, senyumnya ti-
pis sekali, karena agaknya si gadis sudah dikuasai oleh perasaan indah yang
melayang-layang.
"Mau lagi?" Soka berlagak menawarkan diri,
padahal tak perlu menawarkan ia akan melahap kem-
bali bibir itu. Tapi karena mendapat tawaran seperti
itu, si gadis pun anggukkan kepala dan mulai pejam-
kan mata ketika Soka mendekatkan mulutnya ke bibir
si gadis. "Hhmm...," si gadis mendesah dalam keadaan
bibirnya di lumat Soka. ia pun kini memberi lumatan
balasan. Lidahnya menelusup di antara kedua bibir
Soka Pura. Ujung lidah itu pun segera dipagut lembut
oleh Soka sambil tangan Soka bekerja kembali seperti
semula, bahkan lebih berani lagi. Si gadis tak bisa menolak, namun juga tidak
semata-mata menerima begi-
tu saja. Ia masih belum berani melebarkan jarak ka-
kinya. Hanya saja, karena tangan Soka semakin nakal,
mau tak mau ia melebarkan jarak kakinya, sehingga
tangan Soka menemukan apa yang dicari dan si gadis
mendapatkan apa yang diinginkan. Tangan si gadis
pun akhirnya memeluk Soka dengan remasan mena-
han kenikmatan di bagian punggung Soka Pura.


Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Soka, Soka...," desahnya lirih sekali ketika So-ka Pura menjalarkan lidahnya ke
bagian leher. Si gadis justru menengadah memberi kesempatan kepada lidah
Soka yang nakalnya mirip lidah ular itu.
"Uuuh!... Soka, nikmat sekali. Nikmat sekali,
Sayang... oouh...," Ia pun merengek manja. Rengekan manja menambah daya rangsang
Soka dan akhirnya si
gadis tak kuasa menolak hadirnya mulut Soka di per-
mukaan dadanya yang tak terlalu montok namun sek-
al dan berbentuk indah. Keranuman ujung bukit men-
jadi santapan hangat mulut Soka, sehingga si gadis
akhirnya memekik ditikam seribu kenikmatan.
"Aoouh... Sokaaa...!"
Tangannya meremas rambut kepala Soka den-
gan gemetar, karena pada saat itu si gadis merasa di-
lambungkan Soka ke langit tingkat tujuh dan me-
layang layang di ketinggian puncak keindahan malam
itu. * * * 4 MERASA hati semakin terjerat, Soka Pura pun
akhirnya ajukan tanya kepada gadis berkepang dua
yang semalam menangis karena rasa gembiranya terla-
lu berlebihan. Pertanyaan itu diajukan Soka pada saat
mereka meninggalkan desa nelayan untuk lanjutkan
ke Desa Teganya.
"Sebenarnya kau anak siapa, Rara Wulan" Apa
alasanmu yang pasti, sehingga kau meninggalkan ke-
luargamu sudah sebulan lebih ini?"
"Mengapa kau tanyakan lagi hal itu" Bukankah
kemarin aku sudah katakan bahwa siapa diriku itu tak
penting, Soka. Yang penting adalah kesanggupan mu
membawaku sampai ke Desa Teganya dan mendam-
pingiku selama di sana."
"Aku terpaksa harus mengetahui siapa dirimu
sebenarnya, karena... karena batin ku menuntut un-
tuk lebih dekat lagi denganmu Rara Wulan."
Rara Wulan diam saja, seperti sedang memper-
timbangkan jawabannya. Tapi Soka Pura tak sabar se-
hingga memancing dengan pertanyaan lagi.
"Tidakkah kau ingin kita berdampingan sela-
manya, Wulan?"
"Aku sangat ingin sekali bisa selalu bersamamu
sampai akhir hidupku. Tapi aku sangsi pada dirimu."
"Apa yang kau sangsikan?"
"Jangan-jangan kau hanya ingin mempermain-
kan diriku saja," ujarnya sambil bernada sewot. Soka Pura justru tertawa. Gadis
itu didekap dalam pelukannya. Mereka tetap melangkah bagai sepasang sejoli
yang menjadi pemilik seluruh permukaan bumi ini.
"Kau tak perlu punya anggapan seperti itu, Wu-
lan. Sekalipun masa perkenalan kita masih terlalu
muda, namun hatiku sudah cepat menjadi tua untuk
meresapi kebahagiaan berada dl sampingmu."
"Betulkah begitu" Jangan-jangan kau hanya
menggombal saja, Soka."
"Jangan samakan diriku dengan bekas keka-
sihmu: Pramudya, yang kau ceritakan semalam itu.
Pramudya boleh saja menjadi seekor kumbang; setelah
menghisap sari madu mu, ia pergi meninggalkan diri-
mu, Tapi aku bukan kumbang, Wulan."
"Lalu, kau apa kalau bukan kumbang?"
"Tawon!" jawab Soka sambil tertawa. Rara Wu-
lan tertawa juga tapi sambil merengek manja. Pelu-
kannya dipererat, jalannya semakin menggelendot.
"Aku hanya takut kau adalah Pramudya ke-
dua," ujar Rara Wulan, setelah semalam ia menceritakan ke mana hilangnya sang
mahkota kesuciannya itu,
yang tak lain adalah direnggut oleh pemuda bernama
Pramudya, mantan kekasihnya.
"Jika kau punya anggapan begitu, maka kau
akan tersiksa sendiri oleh anggapan mu. Setiap pemu-
da kau samakan dengan Pramudya, padahal...."
"Aaaakh...!"
Soka Pura tersentak kaget mendengar gadis da-
lam pelukannya terpekik dengan suara pendek. Wajah
pemuda itu pun menjadi tegang manakala mengetahui
gadis di sampingnya membelalakkan mata dengan mu-
lut ternganga, kemudian wajahnya menjadi pucat pasi
dan jatuh terkulai dengan lemasnya. Kalau tak segera
di tangkap Soka, gadis itu akan terkulai di tanah tanpa daya dan tanpa kesadaran
lagi. "Wulan..."! Wulan..."!" sentak Soka sambil
mengguncang-guncang tubuh gadis itu. Guncangan-
nya di hentikan setelah ia melihat noda merah kecil
sebesar kancing baju membekas di leher kanan Rara
Wulan. Noda merah itu kian lama kelihatan jelas war-
nanya dan sedikit lebih lebar dari saat dilihat pertama kalinya. Soka Pura
menjadi gusar dan hatinya menggeram berang.
"Jahanam! Ada orang yang telah menyerang-
nya!" Mata si bungsu Pendekar Kembar itu segera
menatap sekeliling dengan liar. Tepat ia memandang
ke arah belakang, tepat muncul seberkas sinar pan-
jang warna merah sebesar lidi. Claaap...! Sinar itu
mengarah ke kepalanya. Soka Pura cepat-cepat sen-
takkan tangannya dan melepaskan tubuh Rara Wulan.
Claaap...! Blaaarrr..!
Sinar merah panjang itu meledak dan hancur
ketika bertabrakan dengan sinar putih perak berben-
tuk pisau runcing yang keluar dari telapak tangan So-
ka. Itulah jurus 'Cakar Matahari' yang cukup dahsyat
milik Pendekar Kembar.
Soka Pura tak sempat mengobati Rara Wulan,
karena setelah terjadinya ledakan tadi, ia hanya sem-
pat memindahkan tubuh Rara Wulan ke rerumputan
yang teduh. Baru saja ia ingin pergunakan jurus Sam-
bung Nyawa' untuk penyembuhan, tiba-tiba sekelebat
bayangan melintas dari samping dan menyambar di-
rinya. Weees...! Plaak...! Brruus...!
Tangan Soka sempat menghadang sambaran
tersebut. Namun tenaga penahanannya kalah kuat
dengan tenaga terjangan itu, sehingga ia pun terpental dan berguling-guling tiga
langkah dari tempat Rara
Wulan dibaringkan.
Seraut wajah bertulang dengan dagu runcing
dan kumis melengkung ke bawah tampak jelas di de-
pan mata Soka Pura. Rupanya orang berambut pan-
jang tapi kucai tipis itulah yang melepaskan pukulan
bersinar merah. Sinar merah itu tadi hampir mengenai
Soka Pura, hanya sayangnya Soka bisa menangkis si-
nar yang menyerangnya, namun tak sempat menang-
kis sinar yang mengenai leher kanan Rara Wulan.
"Keparat kau...!" geram Soka sambil bangkit
dengan gagahnya. Orang berdagu runcing itu dipan-
danginya dengan sorot pandangan mata penuh kema-
rahan. Tetapi orang berjubah hitam itu tenang-tenang
saja. Raut wajahnya yang berusia sekitar lima puluh
tahun itu tampak dingin dengan mata kecilnya yang
berwarna kemerah-merahan.
"Tinggalkan gadis itu atau kau kehilangan nya-
wa hari ini juga"!" ujar lelaki bertubuh kurus dengan nada mengancam.
"Persetan dengan ancamanmu! Aku tak kenal
siapa dirimu, mengapa kau menyerangku, Kepompong
borok"!" hardik Soka menampakkan keberangannya.
"Rupanya kau ingin mengenaiku lebih dulu se-
belum menentukan pilihan mu"! Hmm... baik! Perke-
nalkan, aku yang bernama Raksa Braja, kakak seper-
guruannya Bintari Ayu! Kurasa gadis terkutuk itu
mengenal siapa diriku!"
Soka Pura menggumam dalam hati, "Bintari
Ayu..."! Wulan memang pernah sebutkan nama Bintari
Ayu, tapi ia tak jelaskan siapa sebenarnya Bintari Ayu itu. Yang ku tahu,
Dirgayana adalah orangnya Bintari
Ayu. Jika si Raksa Braja ini mengaku kakak perguruan
Bintari Ayu, berarti tujuannya juga akan membunuh
Rara Wulan, bukan ingin mengawini seperti Lodayu
kemarin!" "Anak muda, kusarankan tinggalkan gadis itu
agar kau tak terkena kekuatan kutukan yang ada da-
lam dirinya!"
"Kau yang harus meninggalkan kami! Untuk
apa kau mengganggu kedamaian kami berdua, Raksa
Braja"!" "Rupanya kau belum tahu siapa gadis itu! Kau hanya terpengaruh oleh
kecantikannya, namun tak
mengetahui bahwa ia adalah sumber malapetaka di
negerinya. Dia adalah gadis terkutuk. Siapa pun yang
ada bersamanya akan selalu menemui ajal lebih cepat
dari takdirnya. Karenanya, gadis itu diusir dari nege-
rinya agar tak menimbulkan bencana dan wabah pe-
nyakit bagi rakyat negeri itu. Tak ada orang yang mau
berdekatan dengannya, karena tak ada orang yang
mau mati sebelum ajal kematiannya tiba. Untuk
menghindari terjadinya bencana di mana-mana, maka
gadis itu harus dibunuh secepatnya!"
Soka Pura sempat tertegun mendengar penjela-
san itu. Tengkuk kepalanya sempat merinding men-
dengar kata-kata Raksa Braja. Hatinya terbelah men-
jadi dua antara percaya dan tidak. Sekalipun Soka da-
lam kebimbangan, tetapi pandangan matanya tak le-
pas dari sosok kurus si jubah hitam itu.
"Jika kau tak percaya dengan ucapanku tadi,"
kata Raksa Braja, "Maka kau dapat membuktikannya
sendiri, bahwa sebentar lagi kau akan mati di tangan-
ku! Untuk itu, sebaiknya tinggalkan gadis itu dan bi-
arkan aku yang menghabisi nyawanya!"
"Bagaimana jika nyawamu kuhabisi lebih dulu,
Raksa Braja!" sindir Soka Pura dengan sikap siap tempur. Raksa Braja menggeram
mendengar ucapan
Soka Pura. Bola matanya kian mengecil karena me-
mancarkan kebencian cukup dalam. Wajah kaku yang
semakin dingin itu semakin menampakkan kekejian-
nya saat berkata dengan nada geram.
"Lancang sekali mulutmu, Bocah Dungu! Ru-
panya kau tak ingin hidup lebih lama lagi! Jika me-
mang begitu, sambutlah kedatangan ajalmu, Bangsat!"
Kedua tangan Raksa Braja segera mengembang
ke belakang dan depan, kedua kakinya merendah, ma-
tanya memandang semakin tajam lagi. Ia mengawali
jurus pertamanya dengan suara geram seperti seekor
singa sakit gigi. Sementara itu, Soka Pura masih tam-
pak kalem namun penuh kejelian. Ia melangkah me-
nyamping sambil menunggu kelengahan Raksa Braja.
Kedua tangan Soka telah menggenggam, sewak-
tu-waktu siap lepaskan pukulan telaknya ke arah la-
wan. Ia sengaja tak mau menyerang dulu, karena ingin
melihat kemampuan lawan dalam menyerangnya.
Raksa Braja akhirnya memutar tubuh dan me-
layangkan tendangannya ke rahang Soka Pura. Wuuut,
plaak...! Soka Pura menangkisnya dengan tangan ka-
nan, lalu tangan kirinya menghantam ke depan. Bet!
Plaak...! Tangan itu tertangkap telapak tangan Raksa
Braja. Lelaki itu ingin meremas genggaman tangan So-
ka. Tetapi lebih dulu Soka sentakkan telapak tangan-
nya ke dagu panjang itu.
"Hiaaah...!"
Duuukh...! "Aaakh...!" Raksa Braja terdongak seketika
sambil memekik dengan suara tertahan. Langkahnya
mundur beberapa tindak dengan terhuyung mau ja-
tuh. Soka Pura segera melompat dan mengibaskan
tendangan putarnya satu kali.
Weeees...! Ploook...!
Wajah Raksa Braja seperti ditampar dengan ba-
tako. Tulang pipinya menjadi semburat biru memar
akibat tendangan kaki Soka Pura. Namun orang terse-
but masih mampu menahan rasa sakit dan segera
bangkit dari jatuhnya tadi, jurus berikutnya pun dis-
iapkan untuk membalas serangan Soka Pura.
"Aku tak ingin bermusuhan dengan siapa pun!"
ujar Soka Pura. "Jadi sebaiknya tinggalkan kami dan jangan mengganggu kami
lagi!" "Bocah dungu! Gadis itu harus dibunuh agar
tak menyebarkan wabah penyakit dan bencana lain-
nya!" "Aku yang akan mengatasi kutukan itu jika benar dia gadis terkutuk!"
"Tidak bisa! Aku yang harus membunuhnya se-
cepat mungkin! Jika kau tetap ingin melindunginya,
terimalah jurus 'Elang Hantu ini! Haaah. .!".
Raksa Braja segera melepaskan pukulan bertu-
bi- tubi dengan kecepatan tinggi. Tiap pukulan
mempunyai hawa panas yang menyambar-nyambar ke
tubuh Soka Pura, bahkan wajah Soka pun sering me-
rasa bagai di siram air mendidih, sehingga kepalanya
sering tersentak ke belakang.
Bet, bet, bet, bet...! Wuus, wus...! Plak, plak,
bet, buukh...! Soka Pura terdesak mundur beberapa kali
sambil berusaha menangkis dan menghindari pukulan
beruntun yang menyebarkan gelombang hawa panas
itu. Sekalipun terdesak, namun tak satu pun pukulan
cepat itu ada yang berhasil kenai tubuhnya. Namun di
luar dugaan, Raksa Braja putar tubuhnya dan sentak-
kan kaki menendang perut Soka dengan telak.
Buuukh...! Tubuh si bungsu Pendekar Kembar itu sampai
melayang ke belakang dalam keadaan melengkung ke
depan karena tendangan kaki Raksa Braja tadi berte-
naga dalam cukup besar. Soka Pura jatuh terpuruk
membentur pohon. Perutnya terasa panas sekali dan
mual, seolah-olah isi perutnya ingin keluar dari dua
lubang; atas dan bawah.


Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Celaka! Tendangannya tadi melukai lambung-
ku. Uukh...! Jangan-jangan lambungku jebol dan,
uuuuh... rasa pahit apa ini"! Hoooek ..!"
Soka Pura tak sempat terkejut melihat mulut-
nya memuntahkan darah kental berwarna merah kehi-
tam-hitaman. Darah itu terasa pahit sekali, pertanda
bagian dalam tubuh Soka ada yang menjadi busuk da-
lam waktu sekejap.
Raksa Braja segera mencabut goloknya,
sraang...! Ia ingin menghabisi nyawa si bungsu Pende-
kar Kembar itu. Tetapi baru saja goloknya diangkat
dan ia ingin lakukan lompatan menerjang, tiba-tiba
Soka Pura kerahkan tenaganya dan lepaskan pukulan
'Tangan Batu'-nya. Wuut, bhaaahk...!
"Aaahk...!" Raksa Braja terlempar bagaikan telah diterjang batu sebesar kerbau
yang menghantam
dengan kuat dan cepat sekali. Tubuh itu jatuh terbant-
ing dalam jarak delapan langkah dari tempatnya berdi-
ri semula. "Edan! Pukulan apa tadi yang menerjang ku!"
pikir Raksa Braja dengan mengerang menahan rasa
sakit. "Bocah itu ternyata alot juga! Agaknya aku tak bisa mengandaikan senjata
tajam ku. Aku harus
menghancurkan anak muda itu dengan jurus-jurus
maut ku!" Raksa Braja menyeringai kuat-kuat. Sekujur
tubuhnya kini menjadi biru memar akibat pukulan
'Tangan Batu'-nya Pendekar Kembar bungsu itu. Lalu
kedua jari tangannya disentakkan ke depan dengan
tangan kiri menyangga tangan kanannya. Claap...! Dari
ujung kedua jari itu melesat sinar kuning lurus bera-
sap samar-samar. Pendekar Kembar bungsu bersalto
plik-plak beberapa kali dengan menggunakan kaki dan
tangan sebagai pemutar tubuhnya yang mendekati
Raksa Braja. Plak, plak, plak, plak...! Sinar kuning berhasil
lolos darinya. Soka Pura pun segera menerjangkan ke-
dua kakinya ke wajah Raksa Braja dalam keadaan ber-
jungkir balik terus bagaikan menggelinding dengan ce-
pat. Bruuus...!
"Aoowff...!" Raksa Braja memekik sambil tum-
bang ke belakang. Bruuuk...! Dalam keadaan jatuh
terkapar dan mengerang itu, tiba-tiba telapak tangan-
nya memukul tanah di sampingnya. Bluuk...!
Duuurr...! Tanah pun bergetar bagai dilanda
gempa bumi dengan cepat. Tanah itu kepulkan asap ke
mana-mana. Asap itu adalah asap beracun yang segera
membuat dedaunan menjadi layu, kejap kemudian
mengering. Melihat keadaan daun seperti itu; Soka Pura
segera menahan nafasnya di dada. Ia pun bergegas
menyingkir sambil menyambar tubuh Rara Wulan
yang masih dalam keadaan pingsan itu. Wees,
wuuut...! Soka Pura membawa pergi Rara Wulan tanpa
mempedulikan Raksa Braja semakin parah, lukanya
bertambah melumpuhkan seluruh urat-urat tubuhnya.
Walau dengan susah payah, Raksa Braja masih beru-
saha untuk kejar pemuda itu, tapi ternyata tiga kali ia mencoba untuk bangkit,
tiga kali pula tubuhnya ter-
kapar kembali di atas tanah berumput jarang.
"Jahanam laknat anak itu! Aku dibuatnya tak
berdaya begini"! Uuhf... asap beracun ku tak bisa
mengenai anak muda itu. Untung aku sudah mema-
kan anti dari racun itu. Jika tidak, aku bisa mati ter-cekik dengan sendirinya
karena jurus 'Tepuk Makam'-
ku tadi." Sementara Soka Pura sibuk larikan Rara Wu-
lan, Raksa Braja mencoba kerahkan hawa murninya
untuk obati luka dalamnya. Padahal di tempat jauh di
balik bukit cadas, Soka Pura sendiri sudah dalam kea-
daan parah. Ia mencoba mengobati lukanya lebih da-
lam, sebab jika tidak ia tak akan dapat gerakkan tan-
gan dan kakinya dalam waktu beberapa hari lamanya.
Setelah lukanya teratasi, tubuhnya menjadi se-
gar karena pengobatan jurus 'Sambung Nyawa'-nya
itu. Kini tiba saatnya Soka Pura mengobati gadis ber-
kepang dua itu dengan jurus dan kekuatan yang sama
dengannya. Tangan Soka ditempelkan di leher Rara Wulan.
Soka sempat terkejut melihat noda merah di leher Rara
Wulan ternyata telah berubah menjadi lebih besar lagi.
Nyaris separuh lehernya menjadi merah kebiru-biruan
dan mengeluarkan cairan hitam yang baunya tak se-
dap. "Aku harus segera lakukan pengobatan sebe-
lum seluruh tubuh Rara Wulan menjadi merah kebiru-
biruan semua...."
Namun, tiba-tiba Soka Pura dikejutkan oleh da-
tangnya suara orang tak dikenal di belakangnya.
"Percuma saja, Anak Muda! Hmm, maksudku,
sia-sia saja."
Soka buru-buru berpaling ke belakang dan se-
gera berkerut dahi melihat seraut wajah yang belum
dikenalnya. Seraut wajah itu berkulit gelap dalam usia
sekitar empat puluh tahun lewat sedikit. Ia adalah seorang lelaki bertubuh
sedang, tak terlalu gemuk tak terlalu tinggi. Mempunyai kumis hanya di bagian
ujung- ujung kanan-kirinya saja, sedangkan bagian tengah
bawah hidung kosong tanpa selembar rambut kumis
pun. Lelaki itu berkepala botak tengah, namun bagian
lainnya berambut pendek.
Saat dipandang oleh Soka Pura, lelaki itu justru
tersenyum sambil mendekatinya. Senyumannya itu le-
bih tepat dikatakan sebagai seringai kegugupan, kare-
na dilihat dari gerakan matanya ia tampak sedang
mengalami ketegangan.
"Anak muda, hmmm... kau akan sembuhkan
gadis ini" Maksudku, kau akan menjadi tabib" Eh,
hmm... mau mengobatinya, begitu?"
"Siapa kau sebenarnya, Paman?" Soka Pura Ju-
stru bertanya. "Aku anu... hmmm... maksudnya namaku" Oh,
ya... namaku Bandar Dadu, eh... bukan, bukan.
Hmm... namaku adalah Bandar Getih. Ya, Bandar Ge-
tih." "Bandar Getih"!" gumam Soka pelan.
"Hmm, iya... benar. Itu memang namaku. Apa-
kah namamu juga Bandar Getih" Eh... maksudku,
namamu sendiri siapa, Anak Muda?" tanya Bandar Getih dengan gugup dan cengar-
cengir lucu, sesekali ge-
rakannya tampak salah tingkah karena merasa takut
dan malu. Rasa takut dan malu itulah yang tampak je-
las di wajahnya hingga ia terkesan gugup sekali.
"Namaku Soka Pura, Paman," jawab Soka den-
gan kalem. Ia tak merasa sedang berhadapan dengan
lawan yang berbahaya. Ia justru merasa berhadapan
dengan orang aneh yang memancing rasa ingin ta-
hunya. "Hmm... racun 'Kala Tungging' tak bisa disem-
buhkan dengan apa pun, kecuali dengan Daun Sirih
Buntu, Anak Muda. Eh... Soka Pura!"
"Kau bicara tentang apa, Paman?"
Bandar Getih semakin nyengir, garuk-garuk
kepala, seperti kebingungan mengatakan sesuatu yang
ingin disampaikan. Soka Pura memandanginya dengan
dahi berkerut. "Jadi... jadi memang begitulah racun "Kala
Tungging' itu, Tuan. Eh, Soka!"
"Apanya yang begitu" Siapa yang nungging?"
"Si Kala itu. Eh, racun itu yang nungging. Eh.
hmm... maksudku, racun 'Kala Tungging' hanya bisa
disembuhkan dengan Daun Sirih Buntu."
"Mengapa buntu?" tanya Soka semakin mem-
bingungkan Bandar Getih.
"Yang buntu ya... daun sirih itu. Eh, maksud-
ku... daun itu menjadi buntu karena nungging. Eh,
bukan..,!" Lalu ia bicara pelan pada dirinya sendiri.
"Aduh, bagaimana cara menyampaikannya,
ya?" "Bicaralah dengan tenang, Paman. Jangan terburu-buru," ujar Soka dengan
kalem untuk mempen-
garuhi Bandar Getih agar bisa bersikap kalem juga.
"Gadis ini terkena 'nungging', eeh... terkena ra-
cun 'Kala Tungging', yaitu racun yang...."
"Yang nungging, begitu maksudmu?"
"Iya. Eh, bukan.... Racun 'Kala Tungging' itu
merupakan pukulan tenaga dalam, yang berubah men-
jadi racun apabila bercampur darah. Dan racun itu ti-
dak bisa disembuhkan dengan hawa murni sesakti apa
pun, kecuali...."
"Kecuali dengan nungging?"
"Nah, begitu. Eh, bukaaan...!" Bandar Getih
merasa jengkel sendiri, hal itu membuat Soka Pura in-
gin tertawa geli tapi ditahannya.
"Ya, ya... aku mengerti maksudmu, Paman
Bandar Getih. Rara Wulan terkena pukulan beracun
yang bernama racun 'Kala Tungging". Racun itu hanya bisa di sembuhkan
menggunakan Daun Sirih Buntu."
"Tepat sekali. Tepat sekali, Soka Pura!" Bandar Getih tampak kegirangan karena
maksudnya dimen-gerti oleh pemuda tampan itu.
"Tapi bagaimana kau bisa yakin kalau hawa
murni ku tak akan bisa menangkal racun tersebut, se-
dang kan kau belum mengetahui jurus Sambung Nya-
wa' yang kumiliki ini, Paman?"
"Soalnya... aku pernah melihat seorang petapa
sembuhkan temanku yang terkena racun 'Kala Tungg-
ing' itu. Tapi petapa itu nungging sendiri, eh... petapa itu bingung sendiri
karena hawa saktinya tak bisa melumpuhkan kekuatan racun tersebut. Lalu, ia
meng- gunakan daun buntu, eh... maksudku Daun Sirih
Buntu. Ternyata daun itu dapat menghentikan kerja
racun tersebut."
"Apakah kau yakin betul kalau Wulan terkena
racun 'Kala Tungging'?"
"Pasti. Sebab hanya orang Perguruan Cakar Pe-
tir yang mempunyai racun seperti itu. Padahal aku tadi melihatmu bertarung
dengan Raksa Braja. Sedangkan
Raksa Braja adalah orang Perguruan Cakar Tungging,
eh... Cakar Petir."
Soka Pura manggut-manggut dengan gumam li-
rih. Ia memandangi leher Rara Wulan. Ternyata racun
itu telah bergerak sampai ke rahang. Rahang si gadis
berwarna merah kebiru-biruan. Bandar Getih pun
tampak semakin cemas dan ia bertambah gugup dalam
ucapannya. "Cepatlah cari daun itu, Soka Pura. Jika ter-
lambat, gadis ini akan mati dimakan daun. Eh, mak-
sudku... akan mati dimakan racun 'Raksa Nungging',
eeh... racun 'Kala Tungging'...!"
"Lalu... lalu di mana bisa kudapatkan Daun Si-
rih Buntu itu, Paman?" tanya Soka yang ikut-ikutan gelisah karena sangat
mencemaskan keselamatan jiwa
Rara Wulan. "Carilah daun itu di pinggir sungai sebelah sela-
tan sana. Tapi aku lewat sana, menyeberangi daun,
eh... menyeberangi sungai, dan aku melihat daun itu
tumbuh di pinggiran sungai. Daun itu berwarna hijau
seperti daun sirih biasa, tapi serat-serat tulangnya lurus menjadi satu tidak
bercabang-cabang seperti daun
sirih biasa."
"Jauhkah letak sungai itu, Paman?"
"Lumayan capeknya, eeh... lumayan jauhnya.
Tapi... dengan berlari cepat mungkin tak seberapa la-
ma tempat itu bisa kau capai. Sebaiknya pergilah se-
karang, aku akan menjaga gadis ini di sini."
Soka Pura semakin cemas setelah Bandar Getih
dekatkan wajah, pandangi luka racun lebih dekat lagi,
lalu berseru dengan nada bertambah gugup.
"Celaka! Sebentar lagi otaknya akan sampai ke
racun, eeh... racunnya akan semakin ke otak. Kalau...
kalau sudah begitu, gadis ini tidak akan bisa menolong lagi, eeh... maksudku
tidak bisa tertolong lagi. Lekas pergi mencari sungai dan bawa kemari. Eh,
maksud ku... mencari daun sirih di tepi sungai itu dan bawa
kemari. Akan kubantu menyembuhkan gadis ini den-
gan sungai itu. Aduh, salah lagi... maksudku kubantu
sembuhkan dengan daun itu!"
"Terima kasih sebelumnya, Paman. Aku akan
segera ke sungai itu. Tolong jaga dia sebentar!" Lalu dengan gunakan jurus'
Jalur Badai', Soka melesat ke
arah selatan mencari Daun Sirih Buntu.
* * * 5 RASA takut menggeluti hati Pendekar Kembar
bungsu. Baru sekarang ia merasakan takutnya diting-
gal mati seorang gadis. Padahal biasanya perasaan se-
perti itu tidak pernah mengganggu ketenangan ji-
wanya. Soka Pura sendiri bingung menghadapi kece-
masan yang dianggap berlebihan itu. Ia tak bisa men-
gurangi kecemasannya, sehingga rasa takut ditinggal
mati oleh Rara Wulan membayang-bayanginya terus.
"Tidak, aku tidak ingin ia tewas! Hatiku akan
sedih sekali jika Rara Wulan sampai tiada. Aku harus
bisa menyelamatkan jiwanya dengan cara bagaimana-
pun. Kalau sampai Wulan tewas, ku obrak-abrik Per-
guruan Cakar Petir tak peduli siapa gurunya dan bera-
pa jumlah muridnya!" geram Soka sambil masih berlari menuju sungai untuk
dapatkan Daun Sirih Buntu.
"Sepertinya hatiku benar-benar terpikat oleh-
nya. Gawat kalau sudah begini! Mestinya aku tak bo-
leh terpikat, hanya sekadar mengagumi dan menye-
nangi saja. Jangan sampai jatuh cinta seperti saat ini.
Eh... apa benar aku Jatuh cinta padanya" Wah, makin


Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kacau kalau sudah bicara soal cinta. Belum pernah ku
rasakan seperti apa rasanya orang jatuh cinta. Apakah
seperti saat ini; takut ditinggal mati, tak rela dia disakiti, menuruti apa
keinginannya dan tak mau marah
kepadanya" Beginikah rasanya jatuh cinta" Kenapa
amat berbeda dengan rasanya jatuh dari pohon, ya?"
Soka Pura berdebar-debar bukan karena dibuai
keindahan seperti kemarin malam, melainkan karena
sungai yang dimaksud Bandar Getih itu belum dite-
mukan juga walau sudah beberapa saat ia berlari ce-
pat. Rasa ingin buru-buru memperoleh Daun Sirih
Buntu memacu jantung Soka hingga berdetak lebih
cepat dari biasanya. Detak itulah yang membuatnya
resah dan gelisah.
"Kampret! Mana sungai yang dimaksud oleh
Paman Bandar Getih itu" Mengapa dari tadi aku belum
menjumpai sebuah sungai" Apakah aku salah arah"!"
Pendekar Kembar bungsu hentikan langkah se-
jenak, meyakinkan diri apakah arah yang ditempuh
sudah benar atau salah" Ia memandang ke sana-sini
sambil menyimak suara gemercik air. Tapi sampai se-
saat ia tak mendengar suara arus sungai sekalipun di
tempat yang jauh. Rasa penasaran membuatnya segera
lompat ke atas pohon dan memandang sekitar tempat
itu dari atas pohon. Ternyata tak ada sungai di sekitar tempat itu.
"Konyol! ternyata jauh sekali sungai yang di-
maksud Paman Bandar Getih itu. Kupikir tak seberapa
jauh. Ini pun aku sudah menggunakan gerak cepat ju-
rus 'Jalur Badai', apalagi jika tidak gunakan jurus itu, belum tentu sekarang
aku sudah sampai di sini!
Hmmm... sebaiknya kupercepat lagi langkahku biar
Paman Bandar Getih tak terlalu lama menungguku
dan Rara Wulan dapat segera terhindar dari racun
yang mengerikan itu."
Wuuut, jleeg...! Soka Pura turun dari atas po-
hon. Baru saja kakinya menapak di tanah, tiba-tiba
sekelebat bayangan menerjangnya dari samping ka-
nan. Wees...! Buuuss...!
"Aow...!" Soka Pura terpekik sambil terpelanting dan akhirnya berguling-guling.
Pelipisnya bagaikan di
sambar kaki burung raksasa. Terasa ingin pecah dan
timbulkan rasa sakit sampai di dada. Pandangan mata
Pendekar Kembar bungsu menjadi buram akibat ter
jangan yang kenai kepalanya, ia berusaha mengatasi
pandangan matanya dengan kepala mengibas beberapa
kali. Tapi pandangan mata masih buram juga.
"Celaka! Mataku bisa buta kalau begini ca-
ranya. Kepalaku terasa retak dan ingin meledak!
Uuhf...! Siapa orang yang menyerangku ini"!" ujar So-ka dalam hati sambil
pegangi gagang pedangnya. Tapi
sebelum ia mencabut gagang pedang, tiba-tiba tubuh-
nya terasa diterjang puluhan kuda liar yang membuat-
nya gegalapan lagi. Bruuus...!
"Monyet kurap!" maki Soka sambil terlempar ke semak-semak. Agaknya ia tak diberi
kesempatan oleh
penyerangnya untuk mengatasi rasa sakitnya sejenak.
Karena begitu ia berusaha bangkit, baru berlutut su-
dah ditendang lagi punggungnya dengan tendangan
kuat yang membuatnya jatuh tersungkur tanpa ampun
lagi. Bruuks ..!
"Ouuuuh...!" Soka Pura mengerang dengan tu-
buh bagai tak bertulang.
"Ini pembalasan dari muridku, Keparat!" geram sebuah suara tua yang tak
diketahui rupa pemiliknya.
Tapi dalam keadaan tengkurap menahan sakit, Soka
dapat kenali suara itu sebagai suara orang yang
usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan ia
adalah seorang lelaki yang berdiri dalam jarak sekitar lima langkah dari tempat
Soka tengkurap.
"Jika kau merasa jantan, bangun dan lawanlah
aku!" sentak suara tua itu membuat Soka Pura sedikit tenang, karena dengan
begitu ia memperoleh kesempatan untuk salurkan hawa murninya. Hawa murni yang
merupakan jurus pengobatan 'Sambung Nyawa' itu di-
lakukan hanya melalui tarikan napas tertentu. Dalam
beberapa kejap kemudian, Soka Pura mulai tidak ra-
sakan sakit lagi. Pandangan matanya pun semakin te-
rang, dan akhirnya jelas seperti biasanya. Sedangkan
luka di bagian dalam tubuhnya nyaris tak terasa sedi-
kit pun, setelah tubuhnya tadi memancarkan cahaya
ungu sekejap sebagai cahaya sakti dari jurus
'Sambung Nyawa'-nya.
Si tokoh tua sedikit terkesiap kala melihat tu-
buh Soka pancarkan cahaya ungu sekejap tadi. Na-
mun si tokoh tua berjubah merah dengan motif corak
garis-garis hitam itu masih tetap tenang dengan wajah
dinginnya yang bermata cekung menyeramkan. Tokoh
berjubah hitam garis-garis merah menggenggam tong-
kat berkepala tengkorak. Entah tengkorak siapa yang
dipajang di ujung tongkatnya, tapi Soka yakin tengko-
rak itu jelas bukan tengkorak si pemilik tongkat tersebut. "Mengapa kau
menyerangku, Pak Tua"!" tegur Soka Pura dengan badan tegak dan tegap kembali.
Pak tua yang berambut panjang sepunggung dengan ikat
kepala merah dan beralis lebat warna abu-abu, seperti
warna rambut dan jenggotnya yang panjang itu, tidak
langsung berikan jawaban kepada Soka, melainkan
pandangi Soka, tanpa berkedip, seakan mempelajari
tubuh Soka yang menjadi sehat dan segar kembali.
Kejap berikutnya, Soka Pura ajukan tanya lagi,
karena pertanyaannya tadi merasa tak akan mendapat
jawaban. "Siapa kau sebenarnya, Pak Tua"!"
"Buka matamu lebar-lebar, pandanglah aku
tanpa berkedip. Akulah ketua Perguruan Cakar Petir
yang ingin menuntut balas atas tindakanmu terhadap
murid ku tadi; si Raksa Braja!"
"O, jadi Raksa Braja adalah muridmu" Dan kau
melihat pertarungan ku dengannya, Pak Tua?"
"Kulihat dari kejauhan, namun aku terlambat
tiba di tempat. Kau telah larikan diri membawa gadis
terkutuk itu!" ujar si tokoh tua berkulit keriput dan so-
rot pandangan mata penuh nafsu untuk membunuh.
"Kalau begitu kau juga gurunya Bintari Ayu"!"
"Jika kau sudah mengetahuinya, berarti kau
siap untuk menerima pembalasan dariku, Bocah Se-
tan!" "Kau salah duga, Pak Tua. Muridmu lebih dulu menyerangku, dan aku hanya
mempertahankan diri
agar tidak mati di tangan muridmu!"
"Murid si Jenggot Bajang tak boleh dilukai oleh
siapa pun! Dia hanya boleh melukai orang lain. Jika
sampai orang lain melukainya, maka orang itu harus
berhadapan denganku untuk menerima hukumannya!"
Kata-kata yang cenderung datar itu menam-
pakkan kesan egois sekali dari si jubah hitam yang
ternyata bernama Jenggot Bajang itu. Rupanya ia tak
suka muridnya dilukai orang, tapi membiarkan murid-
nya melukai orang lain. Soka Pura semakin tak mena-
ruh simpati kepada si Jenggot Bajang, karenanya ia
segera menghilangkan rasa hormat dan sopannya ke-
pada tokoh tua tersebut.
"Jenggot Bajang!" serunya. "Jika kau tak inginkan muridmu disakiti orang, suruh
muridmu jangan menyakiti orang juga!"
"Bocah ingusan mau kasih nasihat kepadaku,
Cingur sapi!"
"Jangan salahkan diriku jika kepalamu yang
akan terbelah menjadi tujuh keping, Cingur Bebek!"
ejek Soka Pura membalas hinaan si Jenggot Bajang.
Pak tua yang jenggotnya sepanjang ulu hati itu
menggeram dengan tangan meremat kuat tongkat yang
digenggamnya. Tongkat berkepala tengkorak itu men-
jadi berasap karena remasan tangan bertenaga dalam
tinggi itu. Pandangan matanya lebih dingin lagi, sea-
kan menembus sampai ke tulang belulang Soka.
"Kau memang patut dihajar sampai mati, Bocah
Setan!" geramnya menyeramkan.
Jenggot Bajang menyodokkan tongkatnya ke de
pan. Tengkorak yang ada di ujung tongkat itu terlepas
dengan sendirinya dan melayang menerjang Soka Pu-
ra. Dengan lincah Soka Pura berhasil hindari tengko-
rak yang mirip bola keropos itu. Lompatan ke arah kiri membuat tengkorak
tersebut mudah dihantam dengan
tangan kiri Pendekar Kembar bungsu. Wuuut...!
Duaar...! Pendekar Kembar bungsu terpental kuat kare-
na pukulan bertenaga dalam yang kenai tengkorak itu
ternyata memantul balik sambil lepaskan suara leda-
kan yang cukup keras. Rupanya apabila tengkorak itu
dipukul, maka pukulan orang tersebut akan berbalik
kenai dirinya sendiri. Demikian pula halnya dengan
Soka Pura, si Pendekar Kembar bungsu itu. Dadanya
menjadi sesak dan terasa sakit jika dipakai untuk ber-
napas akibat pukulan tenaga dalamnya kenai diri sen-
diri. Rupanya tengkorak itu dikendalikan dengan
kekuatan batin si Jenggot Bajang, sehingga saat Soka
Pura jatuh karena hempasan tadi, tengkorak itu me-
layang sendiri ke arah Soka Pura dengan giginya yang
gemeretak seperti makhluk ganas yang dengan buas-
nya ingin menelan Soka Pura.
Pendekar Kembar bungsu cepat-cepat bangkit.
Wuuut...! Tengkorak itu melayang cepat ke arah dada
Soka Pura, namun sekali lagi berhasil dihindari den-
gan menggunakan jurus 'Jalur Badai'-nya. Wuuuzz...!
Tahu-tahu Pendekar Kembar bungsu sudah berada di
seberang dan sempat membuat Jenggot Bajang keder
sesaat. Begitu mengetahui lawan mudanya ada di
samping kiri, Jenggot Bajang pun menyerang dengan
menghantamkan tongkatnya ke kepala Soka.
"Heeeah...!"
Wuuus...! Soka Pura tak berani menangkis
tongkat itu, karena tongkat tersebut dalam keadaan
berasap tipis, pasti mempunyai kekuatan tenaga dalam
yang cukup berbahaya. Karenanya, Soka hanya me-
rundukkan kepala hindari hantaman tongkat tersebut.
Sementara itu, bunyi ledakan cukup keras terdengar
lagi ketika tengkorak aneh itu menghantam pohon se-
bab tak kenai sasarannya. Duaaar...! Pohon itu hancur
sebagian, namun tak sampai tumbang. Serpihan
kayunya menyebar ke mana-mana dan mengerikan ji-
ka dibayangkan tubuh Soka yang terkena terjangan
tengkorak kepala berwarna kusam itu.
Soka Pura tak mau pedulikan tengkorak itu la-
gi, karena kaki si Jenggot Bajang segera menyentak ke
arah dadanya. Wuuut...! Jejakan kaki itu tidak sampai
kenai dada Pendekar Kembar bungsu. Namun dari te-
lapak kaki itu keluar tenaga dalam cukup besar yang
segera menghantam dada bidang Pendekar Kembar
bungsu. Baaakh...! "Heeekh...!" pekik Soka Pura sambil terlempar ke belakang. Dari arah belakang
tampak tengkorak itu
masih melayang-layang dan ingin menerjangnya. Ru-
panya kekuatan batin Jenggot Bajang dapat dibagi
menjadi dua, antara menyerang secara langsung dan
mengendalikan gerakan tengkorak tersebut.
Untung saat tengkorak itu ingin menabrak
Pendekar Kembar bungsu, pemuda itu sudah jatuh
terduduk lebih dulu, sehingga tengkorak tersebut me-
lesat cepat di atas kepala Soka Pura. Kini tengkorak itu hampir saja menerjang
tubuh Jenggot Bajang sendiri.
Namun kendali batin si tokoh tua segera memperlam-
bat gerakan tengkorak itu. Kini kepala orang yang te-
lah mati beberapa tahun yang lalu itu hinggap kembali
ke ujung tongkat hitam si Jenggot Bajang.
Kreeep...! Jenggot Bajang cepat-cepat melompat untuk
menghantamkan tongkat berujung tengkorak ke arah
Pendekar Kembar bungsu. Namun gerakannya lebih
cepat dari bangkitnya Pendekar Kembar bungsu yang
segera sentakkan kedua genggaman tangannya ke de-
pan. Wuuut...! Jurus 'Tangan Batu' digunakan Soka.
Tenaga dalam yang keluar dari kedua genggaman tan-
gan itu menghantam si Jenggot Bajang.
Buuuukh..! Anehnya si Jenggot Bajang hanya
tersentak mundur dua langkah dan tidak mengalami
luka memar seperti muridnya tadi: Raksa Braja. Meli-
hat keadaan lawannya masih utuh, Soka Pura segera
lepaskan pukulan 'Tangan Batu' beberapa kali sambil
mendesak maju. Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut...!
Jenggot Bajang hanya terdorong dalam senta-
kan berturut-turut, namun ia tak sampai jatuh atau-
pun mengalami luka memar. Soka Pura membatin he-
ran dalam hatinya.
"Gila! Kuat sekali orang tua ini"! Pukulan
'Tangan Batu' tak bisa menumbangkan dirinya"! Oh,
itu berarti aku tak boleh main-main dengannya!"
Berhentinya pukulan Soka membuat Jenggot
Bajang merasa punya kesempatan, sehingga ia segera
putarkan tongkatnya beberapa kali di atas kepala, ke-
Pedang Kayu Harum 9 Mas Rara Seri Arya Manggada 2 Karya S H Mintardja Dewi Penyebar Maut I X 1
^