Pencarian

Genta Perebutan Kekuasaan 2

Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan Bagian 2


sunyi senyap. Angin bertiup semilir.
Mayat-mayat dari kedua keraton itu bergeletakan mengerikan. Beberapa orang Desa
Pareden setelah keadaan sepi, baru berani keluar. Dan semua menghela nafas
masygul. Sadar, kalau perang sudah di ambang mata.
Tak bisa dielakkan lagi!
Sementara itu matahari sudah
semakin tinggi. Menyelimuti seluruh isi di Bukit Sanggabuana. Pasukan Keraton
Selatan yang mundur telah sampai ke sana.
Dan segera bersiap menyambut pasukan Keraton Utara.
Suasana di Bukit Sanggabuana yang tadi sepi kini menjadi ramai. Mpu Daga tiba-
tiba mempunyai pikiran yang
membingungkannya sendiri, begitu
melihat pasukan Keraton Selatan bersiap menyambutnya di lapangan yang luas.
Mengapa mereka sengaja berdiri di tempat
terbuka" Ada apa ini" Mengapa mereka tidak bersembunyi" Apakah... yah...
mereka telah terjebak. Di tempat ini pasti ada puluhan pasukan Keraton Selatan
yang siap menelan mereka
hidup-hidup. "Berhenti!!" serunya keras, menggema di seluruh Bukit Sanggabuana.
Pasukan itu segera berhenti. Mereka menunggu perintah Mpu Daga. Ki Sima Ireng
sendiri segera bergegas menghampiri.
"Ada apa, Mpu" Pasukan mereka tinggal sedikit. Kita hantam habis!"
"Sabar, Sima... aku heran, kenapa mereka berdiri di tempat terbuka" Apakah
mereka sengaja menunggu maut, ataukah...
ada pasukan lain yang bersembunyi?"
"Ah... Mpu hanya memakai perasaan saja. Tidak ada pasukan yang datang membantu.
Tempat ini sudah kita kuasai.
Ayo mpu, kita ganyang mereka!!" Ki Sima Ireng amat bernafsu.
Mpu Daga terdiam. Lalu kelihatan dia manggut-manggut. Benar, jalan masuk ke
bukit ini sudah mereka kuasai. Tapi apakah... Mpu Daga tidak sempat berpikir
lagi, karena Ki Sima Ireng sudah
memerintahkan pasukannya untuk segera menyerang.
Dengan penuh teriakan yang
melengking, pasukan berkuda dan jalan kaki itu, bergerak
dengan cepat. Beberapa orang melontarkan panahnya.
Kembali di tempat terbuka itu terjadi pertempuran yang dahsyat
Ki Sima Ireng sendiri kembali
bertempur dengan Kyai Rebo Panunggul.
Melihat hal itu, kembali Pandu dan Mpu Daga bergerak membantu.
Pertempuran berjalan hampir satu
jam. Dan terlihat kalau pasukan Keraton Selatan terdesak hebat. Tapi tak sedikit
prajurit Keraton Utara yang gugur.
Dan begitu matahari tepat di atas kepala, dari balik pohon, batu, semak
bermunculan puluhan prajurit Keraton Selatan yang dipimpin oleh Tunggul Dewa
dengan pekikan keras.
Tentu saja pasukan Keraton Utara
yang tinggal sedikit itu menjadi
terkejut. Terutama Mpu Daga. Dia
mendesah panjang pendek. Dia pun
mengeluh. Firasatnya benar. Tetapi mau apa lagi, mereka sudah terjebak ke sarang
buaya. Kedatangan teman-temannya itu, membuat pasukan Keraton Selatan yang tadi
lemah kembali menjadi bersemangat.
Sudah tentu hal ini membawa semangat bagi mereka.
Pasukan Keraton Utara terdesak. Dan dipukul hebat. Semua prajuritnya
dibantai habis. Hanya dalam waktu singkat saja, tinggal sepuluh prajurit yang
masih bertahan.
Dengan Ki Sima Ireng, Pandu dan Mpu Daga. Ketiga tokoh sakti dari Kediri itu pun
sudah agak terdesak menghadapi
puluhan prajurit dengan tenaga dan semangat baru. Belum lagi menghadapi
gempuran-gempuran Tunggul Dewa dan Kyai Rebo Panunggul yang melayang-melayang
menyerbu bak burung elang menyambar mangsa, siap menerkamnya!
Tak lama kemudian, sepuluh orang
prajurit Keraton Utara itu pun habis dibantai dengan tubuh
direjam! Mengerikan! Amat mengerikan!
* * * 6 Kini tinggal ketiga pentolan
Keraton Utara saja, yang bersiap dengan mata awas menghadapi orang-orang Keraton
Selatan. Keadaan begitu jelek sekali.
Tidak menguntungkan. Dan terlihat betapa sulitnya untuk meloloskan diri.
Dalam hatinya Ki Sima Ireng menyesal sekali tidak mau menuruti kata-kata Mpu
Daga. Kini dia sadar, kata-kata orang tua itu kadang berpetuah. Tetapi mau apa,
sekarang mereka harus bisa menghindari serangan. orang-orangitu, demi selembar
nyawa yang harus mereka pertahankan.
"Tangkap dan bunuh mereka!!"
membentak Kyai Rebo Panunggul.
Serentak para prajuritnya kembali menggempur dari segala penjuru dengan
hebat. Senjata yang ada di tangan mereka, kini bagaikan malaikat pencabut nyawa.Karena jumlah yang tak tertahankan banyaknya, membuat ketiganya terdesak hebat.
Kaki kanan Ki Sima Ireng sudah terluka terkena sabetan golok seorang prajurit
Keraton Selatan. Dia masih berusaha untuk mempertahankan
keseimbangannya.
Melihat darah yang mengalir dari kaki Ki Sima Ireng, pasukan Keraton Selatan
semakin menjadi buas. Mereka seakan ingin menghisap darah Ki Sima Ireng mentah-
mentah. "Bunuh!!"
"Ganyang!!"
"Hajar!!"
Seruan-seruan itu membahana keras.
Dan puluhan senjata kembali menyerang.
Ki Sima Ireng merasakan letih yang amat luar biasa. Tetapi dia terus mencoba
mempertahankan diri. Keringat sudah mengalir di se-kujur tubuhnya.
Melihat hal itu, Kyai Rebo Panunggul terbahak.
"Hahaha... lebih baik kalian menyerahkan diri saja, dari pada
membuang nyawa dengan per cum a!!"
"Hhh! Tak sedikit pun kami mempunyai niatan untuk menjadi tawanan Keraton
Selatan!!" seru Ki Sima Ireng geram dan menghalau beberapa senjata yang
mendekati tubuhnya.
"Hahaha... dalam keadaan seperti ini kau masih banyak bacot saja, Sima!!"
"Buktikan dulu bila kalian
benar-benar bisa menangkap dan
mengalahkan kami!!"
Mendengar kata-kata itu wajah Kyai Rebo Panunggul memerah. Lalu sambil menggeram
marah dia berseru, "Bunuh manusia itu!!"
Dan kembali puluhan prajurit
menerjang ke arah Ki Sima Ireng.
Sementara Mpu Daga dan Pandu pun
mengalami hal yang sama keduanya sudah terdesak hebat pula.
"Hati-hati, Pandu!" seru Mpu Daga yang bersalto ke sana ke mari. Dan kali ini
dia tidak menyesali menurunkan tangan telengasnya. Memang tak ada jalan lain
lagi bila masih ingin nyawanya menyatu dengan jasadnya.
"Ya, Mpu!" sahut Pandu yang terns bergerak dengan jurus Patuk Gagak Rimang.
Namun karena jumlah prajurit yang sedemikian banyak, membuat ruang lingkup
gerakan mereka menjadi amat sempit.
Barisan itu seakan hendak menerobos masuk satu benteng pertahanan.
Pandu sendiri sudah kerepotan
sekali. Mendadak dia mendesah panjang.
Inikah saat yang tepat menggunakan ilmu Cakar Gagak Rimang"
Memang tak ada jalan lain lagi.
Lalu Pandu pun mulai merapal. Dan kala menyerang dia mendesis dalam hati,
"Maafkan aku eyang...."
Dan tubuhnya pun bergerak dengan cepat. Dengan kedua tangan yang telah dialiri
ilmu Cakar Gagak Rimang. Dengan sekali sentuh saja yang disentuh
langsung kelojotan dan mati dengan tubuh hancur.
Gerakan dan ilmu yang diperlihatkan membuat orang-orang Keraton Selatan menjadi
ngeri dengannya. Mereka satu persatu tak ada lagi yang berani
mendekat. Selain kecepatan yang
diperlihatkan pemuda itu sungguh cepat, juga ilmunya yang amat mengerikan.
Benar-benar satu ilmu yang amat
langka dan hebat sekali. Kyai Rebo Panunggul sampai terkejut dibuatnya.
Dan tanpa sadar dia memekik, "Tangan Malaikat!"
Kyai Rebo Panunggul tahu kalau ilmu Cakar Gagak Rimang adalah satu bentuk ilmu
yang amat langka. Dan hingga sekarang dia tidak tahu siapa yang memilikinya
lagi. Dan tiba-tiba saja seorang pemuda yang nampaknya membela Keraton Utara
muncul dengan ilmu yang amat dahsyat itu.
Hanya seingat Kyai Rebo Panunggul, di puncak Gunung Kidul atau tepatnya di Bukit
Paringin, tinggalah seorang pertapa sakti yang bernama Eyang Ringkih Ireng.
Pertapa yang berusia sudah amat
lanjut. Hanya dia seoranglah yang memiliki ilmu Cakar Gagak Rimang.
Lalu sekarang dilihatnya pemuda
gagah bercaping ini yang memilikinya.
Ada hubungan apa dia dengan pertapa sakti yang mengasingkan diri di Gunung
Kidul" "Anak muda... siapakah kau sebenarnya?" Tak urung terlontar juga pertanyaan itu
dari mulutnya. Karena dia sesungguhnya amat penasaran untuk mengetahui siapa
adanya pemuda itu.
Sambil menghantamkan pukulannya,
Pandu menyahut, "Namaku, Pandu... Orang Gagah!!"
"Ada hubungan apa kau dengan Eyang Ringkih Ireng, hah"!"
"Dia guruku!!" sahut Pandu sambil berjumpalitan. Dan sekali melompat itu
posisinya sudah agak menjauh dari para prajurit Keraton Selatan yang menjadi
jeri untuk mendekatinya. Dengan sekali berkelebat, puluhan nyawa temannya putus
seketika. Kyai Rebo Panunggul tidak takut
karenanya. Dia membentak, "Pandu! Bila kau seorang dan murid dari pertapa sakti
itu... mengapa kau malah membantu orang-orang yang menyebarkan fitnah, hah"!"
"Aku bukannya membantu, Orang Gagah! Tetapi aku hendak mencari posisi yang
tepat!" "Tetapi secara pasti kau telah berpihak pada Keraton Utara!!"
"Orang Gagah... tidak bisakah kita hentikan dulu pertarungan ini"!"
"Cih!" wajah Kyai Rebo Panunggul sengak. "Kau mau mengulur waktu agar kau bisa
bebas dari kungkungan kami,
bukan"!"
"Aku bukanlah orang picik yang seperti kau kira! Aku ingin membicarakan masalah
ini secara pasti! Tidakkah kau lihat... betapa banyaknya darah yang bertumpahan.
Betapa banyaknya nyawa yang terbuang percuma!
Apakah semua ini akan kita biarkan saja" Pikirkanlah hal itu, Orang Gagah."
"Menurutmu tadi... kalian hanyalah kena fitnah belaka. Tetapi orang-orang
Keraton Utara tidak merasa sedang memfitnah! Nah... yang mana yang benar"
Yang mana yang dusta belaka"!"
"Sudah tentu apa yang dilontarkan oleh orang-orang Keraton Utara!"
"Kau yakin sekali nampaknya. Orang Gagah?"
"Sudah tentu aku yakin sekali, pemuda bercaping. Karena kami,
orang-orang Keraton Selatan sama sekali tidak merasa telah mengambil Pusaka
Patung Pualam milik tanah leluhur Keraton Utara!
Memang, kami dulu pernah mengadakan penyerbuan ke Keraton Utara! Tetapi semuanya
telah pulih secara damai!
Hubungan antara Keraton Selatan dan Keraton Utara sudah berjalan seperti
sedia kala. Dan tiba-tiba saja, tuduhan itu jatuh ke Keraton Selatan. Yang
dikatakan telah mencuri Pusaka Patung Pualam. Bukankah ini merupakan satu
penghinaan yang amat sakit sekali" Dan yang kupikir, secara jelas Prabu Keraton
Utara ingin membuat malu Keraton Selatan di mata dunia!"
"Orang Gagah... tidakkah sebaiknya kita hentikan dulu pertempuran ini" Dan kita
bicarakan secara baik-baik.
Bagaimana?"
Suara yang bernada lembut dan tidak mengandung satu nada kecurangan, membuat
Kyai Rebo Panunggul menjadi seakan terpengaruh. Dari tatapannya, dia nampak
yakin kalau pemuda itu tidak akan memperdayainya.
Tiba-tiba saja dia berseru, keras dan mengejutkan, "Hentikan!!"
* * * 7 Seketika pasukan yang tengah
menggempur itu menghentikan serangannya yang mereka tujukan pada Mpu Daga dan Ki
Sima Ireng. Mereka langsung menyusun barisan. Dan menghadap rapi pada Kyai Rebo
Panunggul meskipun keheranan menyelimuti hati mereka. Juga Tunggul Dewa yang
hanya menurut saja,
Kyai Rebo Panunggul menyuruh pasukannya untuk diam saja. Sementara Mpu Daga dan
Ki Sima Ireng sendiri tak kalah herannya mengapa tiba-tiba saja Kyai Rebo
Panunggul menyuruh pasukannya menghentikan serangan pada mereka.
Tetapi kedua pentolan Keraton Utara itu segera berjumpalitan dan berdiri di sisi
kanan kiri Pandu yang tengah berhadapan dengan Kyai Rebo Panunggul.
Sementara di sekililing mereka,
bertebaran mayat-mayat yang
bergeletakan. Sebagian besar mayat pasukan Keraton Utara yang kadang terlihat
amat mengerikan akibat luka senjata yang amat tajam dan banyak sekali.
Kyai Rebo Panunggul menatap Pandu.
"Nah... Pendekar, katakanlah apa maumu". Pandu tersenyum.
"Orang Gagah... agaknya perlu
keperkenalkan dulu siapa aku. Aku bukanlah orang Keraton Utara dan juga bukan
orang Keraton Selatan. Aku adalah seorang pengembara dari Gunung Kidul.
Dan secara tidak sengaja bergabung dengan pasukan Keraton Utara. Tentunya kau
bertanya mengapa, bukan" Baiklah, dengarkanlah penjelasanku. Dari Mpu Daga,
orang kepercayaan prabu Keraton Utara, dia menjelaskan tentang hilangnya Pusaka
Patung Pualam, pusaka lambang kejayaan Keraton Utara. Namun Mpu Daga sendiri
menyangsikan bila Keraton
Selatan yang mengambil semua itu. Dan dia yakin sekali, kalau ada musuh dalam
selimut pada Keraton Utara...."
"Hmm... lalu mengapa Prabu Keraton Utara mengirim dua orang utusannya yang
lantas membuat onar di kediaman
orang-orang Keraton Selatan"!" kata Kyai Rebo Panunggul dengan suara keras.
"Kalau masalah itu, biarlah nanti Mpu Daga yang menjawabnya, Orang Gagah,"
kata Pandu. "Tetapi perlu kau ketahui...
ketika aku hendak mengintai pasukanmu, secara tidak sengaja aku melihat lima
orang laki-laki tengah berunding di sebuah hutan kecil. Salah seorang dari
mereka mengenakan kedok berwarna hitam, dan agaknya yang empat orang lainnya
menaruh hormat padanya."
"Siapa mereka?" tanya Kyai Rebo Panunggul mulai tertarik. Matanya serius menatap
Pandu. "Bila kau bertanya siapa adanya orang yang mengenakan kedok berwarna hitam itu,
secara terus terang aku tidak bisa menjelaskannya. Karena aku memang tidak tahu
siapa dia adanya. Tetapi bila kau bertanya mengenai empat orang lainnya, aku
bisa menjelaskan nama mereka. Hanya nama belaka, karena baru kali ini aku
melihat mereka." '
"Hmm... siapa empat lainnya?" tanya Kyai Rebo Panunggul.kemudian.
"Nama mereka Kawung Ronggo, Bujang Kroto dan Setan Kembar dari Bukit Iblis
yang bernama Renggoto dan Ranggoto.
Hanya itu yang kuketahui!"
Namun bagi Kyai Rebo Panunggul,
nama-nama yang disebutkan oleh Pandu tadi bukanlah nama yang asing bagi
telinganya. Orang-orang itu amat sering dikenal sebagai tukang membuat onar. Dan
tokoh-tokoh jahat dari golongan hitam.
"Hmm... apa yang mereka
rencanakan?"
"Mereka hendak menggulingkan Keraton Utara. Agaknya si Kedok Hitam adalah orang
dalam sendiri. Orang yang nampaknya mengenai seluk beluk istana.


Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia tengah menyusun satu rencana dengan jumlah pasukan yang kuat untuk menyerbu
ke Keraton Utara. Ini memang amat membahayakan. Yang lebih lagi,
menurutku, tentunya dia adalah orang dekat dari Keraton Utara!"
"Pandu!" seru Mpu Daga terkejut.
"Apa maksudmu"!"
"Mpu... nampaknya ini hanya
gudaanku belaka."
"Berkata apa si Kedok Hitam itu?"
"Dia bilang, bila saatnya tepat...
maka mereka akan segera bergerak untuk menggulingkan Keraton Utara. Dia pun
bilang, saat ini di Keraton Utara ada Panglima Angling seorang yang tak begitu
sulit di hadapi...."
Mpu Daga jadi terdiam. Dia kuatir dengan nasib Prabu. Dan hal itu pun
dikemukakan pada Pandu.
"Pandu... Baginda Prabu?"
"Tenanglah, Mpu. Aku pun baru saja memikirkan hal itu. Dan maksudku...
setelah penjelasan ini... aku akan segera pergi ke Keraton Utara," kata Pandu.
Lalu matanya menatap kembali orang-orang di sana, "Yang lebih hebat lagi,
ternyata benda yang berharga sedang disembunyikan oleh si Kedok Hitam."
"Hei... apa benda yang kau maksud ini pusaka milik Keraton Utara" Kau tahu di
mana pusaka itu berada?" tanya Ki Sima Ireng cepat.
"Ya, katakanlah, Pendekar... di mana pusaka itu berada," sambung Kyai Rebo
Panunggul. "Gara-gara pusaka itulah maka Keraton Selatan menjadi sasaran fitnah
orang-orang keji itu! Katakanlah, Pandu...."
Pandu menatap kembali orang-orang yang berada di sana. Yah... semua ini hasil
kerja tangan jahat musuh dalam selimut yang membuatnya menjadi kacau balau
begini. "Hmm... pusaka atau benda lain, aku tak jelas. Tapi benda itu dibenamkan di
sebuah danau yang bernama Danau Siluman.
Menurut Kedok Hitam, letak danau itu di sebelah Tenggara dari Keraton Utara...."
Ki Sima Ireng menggeram.
"Bangsat! Benar-benar luar biasa musuh dalam selimut itu! Hhh! Aku jadi
menyesali perintah dari Prabu kita yang
nampak tergesa-gesa. Kau benar, Mpu...
ternyata ada orang lain yang ingin berbuat jahat dan keji pada kita...."
Mpu Daga hanya mengangguk. Dan dia menatap Kyai Rebo Panunggul yang juga sedang
menatapnya. Nampak jelas di mata kedua jago itu sedikit penyesalan mengapa
mereka tidak berunding sejak tadi, sebelum nyawa-nyawa yang tak berdosa
berguguran tak bersalah.
Mpu Daga berkata, "Panunggul...
percayakah kau pada kata-katanya itu?"
Kyai Rebo Panunggul hanya
menganggukkan kepalanya.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara
bentakan Tunggul Dewa yang sejak tadi terdiam, "Hhh! Pemuda Gagah! Diberi apa
hingga kau berkata seperti itu, hah"!
Rupanya kau jeri melihat keadaan kalian sudah kalah, bukan" Lalu kau buatlah
sebuah cerita karanganmu belaka tentang beberapa orang yang sedang menyusun
rencana untuk menggulingkan Keraton Utara! Tetapi aku tidaklah bodoh, Anak muda!
Hhh! Katakanlah bahwa kau
bohong!!" Pandu hanya tersenyum saja.
"Tidak, Orang Gagah... aku
berbicara apa adanya. Dan aku bukanlah orang Keraton Utara. Aku hanya
pengembara yang baru saja turun dari Gunung Kidul!!"
Tunggul Dewa terbahak.
"Hahaha... anak muda... anak muda... Bila kau benar murid tunggal dari pertapa
sakti yang bernama Eyang Ringkih Ireng, tentunya kau pun memiliki
ilmu-ilmu yang amat ampuh bukan! Tadi memang sempat kulihat ilmu Cakar Gagak
Rimang itu! Tetapi aku tidak yakin, apakah benar itu ilmu Cakar Gagak Rimang
milik si pertapa sakti"!" suara Tunggul Dewa terdengar sengak, membuat Pandu
menjadi jengkel.
"Hmm... lalu apa maumu, Orang Gagah?"
"Buktikanlah bila ilmumu itu memang ilmu Cakar Gagak Rimang yang amat hebat!!"
"Bagaimana cara aku untuk membukti-kannya, Orang Gagah?" tanya Pandu sembari
menekan rasa jengkelnya.
"Hahaha... mudah saja. Kau lihat deretan pohon-pohon besar itu. Nah, kau
coleklah dengan sekali berkelebat. Dan harus sepuluh batang pohon yang mestinya
hangus bila benar kau menggunakan ilmu itu."
Kali ini Pandu tersenyum.
"Apakah hanya itu, Orang Gagah?"
"Ya! Bisakah kau melakukannya?"
"Bila aku bisa melakukannya...
apakah kau percaya bahwa aku berkata apa adanya?"
"Masih ada satu lagi yang kuminta bukti darimu"! Nah, cepatlah kau
kerjakan dulu yang kuperintahkan!"
"Baiklah..." kata Pandu. Lalu dia berbalik ke arah batang-batang pohon yang
banyak tumbuh di sana. Tiba-tiba dia teriak dan tubuhnya berkelebat cepat.
Sungguh fantastis, gerakan itu tak bisa dilihat oleh mata. Cepat sekali. Dan
mendadak saja Pandu sudah kembali berada di tempatnya semula, kali ini
berhadapan lagi dengan Tunggul Dewa.
Orang-orang yang ada di sana, merasa mereka belum sempat mengedipkan mata.
Bahkan nafas pun seakan baru ditarik keluar. Dan tiba-tiba saja pemuda itu sudah
kembali di hadapan mereka. Kapan pemuda itu berkelebat"
Belum lagi keheranan mereka menemui jawabnya, tiba-tiba terdengar suara berderak
keras dan terlihatlah beberapa pohon yang ada di sana rubuh patah dengan
beberapa bagian batangnya hangus.
Orang-orang itu terkejut.
Suara berdebam itu rubuh secara
bersamaan. Ki Sima Ireng hingga melompat karena terkejut melihat kehebatan yang
diperlihatkan pemuda itu. Debu-debu pun berkepul. Dan beberapa pohon lainnya
bergetar tercerabut akarnya karena getaran yang cukup kuat dari pepohonan yang
tumbang! Pandu hanya tersenyum.
"Orang Gagah... silahkan diperiksa jumlah pohon yang tumbang itu! Dan
katakanlah, kalau mereka tumbang karena
pukulan Cakar Gagak Rimang!" kata Pandu pada Tunggul Dewa.
Tunggul Dewa cukup tercekat juga
hatinya menyaksikan hal itu. Tetapi dia menguatkan juga dan bertindak seperti
masih tidak yakin kalau yang
dihadapannya ini adalah murid dari pertapa sakti Eyang Ringkih Ireng.
Dia pun segera melangkahkan kakinya untuk menghitung jumlah pohon yang tumbang.
Tepat sepuluh buah! Dan dari pengamatannya, jelas-jelas kalau pohon itu tumbang
oleh pukulan Cakar Gagak Rimang. Pukulan maha sakti yang kini hadir kembali di
rimba persilatan.
Namun Tunggul Dewa masih
menyangsikan hal itu. Dia kembali menjumpai Pandu.
"Anak muda... masih ada lagi yang perlu kutanyakan padamu. Dan harus
memperlihatkan bukti yang menyatakan bahwa kau adalah murid dari Eyang Ringkih
Ireng." "Silahkan, Orang Gagah."
"Kulihat di punggungmu ada sebilah golok. Dan tentunya itu bukan golok
sembarangan, bukan?"
"Entahlah ini golok sembarangan atau bukan. Yang pasti, guru
memberikannya padaku!"
"Seingatku, sebelum orang sakti itu mengasingkan diri di Gunung Kidul, dia
memiliki golok sakti yang bernama Golok Cindarbuana. Bila benar kau diberikan
golok oleh pertapa sakti itu, sudah tentu golok yang berada di punggungmu itu
adalah Golok Cindarbuana. Bisakah kau memperlihatkan golokmu itu"!"
"Sudah tentu bisa kulakukan, Orang Gagah. Tetapi bila ini bukan Golok
Cindarbuana, apakah kau masih meragukan bahwa aku murid tunggal dari Eyang
Ringkih Ireng" Bukan orang Keraton Utara yang mencoba bersandiwara karena sudah
terjebak dalam posisi yang sulit?"
"Yah... mungkin aku bisa
menerimanya."
"Silahkan, orang gagah..." kata Pandu seraya meloloskan golok di
punggungnya. Lalu diserahkannya golok itu pada Tunggul Dewa.
Golok yang sarungnya terbuat dari batang kayu yang berlapis timah kuning itu
diterima oleh Tunggul Dewa. Lalu pentolan Keraton Selatan itu pun dengan hati-
hati menarik ke luar tangkai golok dari sarungnya.
Terlihatlah sebuah golok yang amat indah berkemilau kekuningan. Amat tipis dan
yakin sekali kalau itu amat tajam.
Tunggul Dewa sendiri kelihatan terkejut melihat golok itu yang nampak bersinar.
"Golok Cindarbuana!!" desisnya tanpa sadar. Lalu dengan cepat
dimasukkannya kembali golok itu ke sarungnya. Ditatapnya Pandu dengan tatapan
tajam. "Anak muda...ya, ya... kini aku yakin... engkaulah murid dari Eyang Ringkin
Ireng... Bukan orang Keraton Utara yang bermain sandiwara karena posisinya dalam
keadaan terjepit...."
"Terima kasih, Orang Gagah," sahut Pandu sambil menerima kembali golok yang
dikeluarkan oleh Tunggul Dewa. "Hmm...
apakah setelah ini kau yakin dengan ceritaku" Bahwa aku melihat lima orang laki-
laki dan seorang berkedok hitam tengah mengatur rencana untuk
menggulingkan Keraton Utara?"
"Aku yakin, Anak muda... Hmm...
tentunya... kau bergelar Pendekar Gagak Rimang, bukan?" kata Tunggul Dewa
kemudian, artinya sebuah gelar yang amat bagus dan membuat kita seakan seorang
yang sakti, bila tindak tanduk kita mirip binatang belaka" Bukankah hanya sia-
sia gelar itu, bukan"
"Nah, bila kita semua sudah bersatu seperti ini, maafkan aku... bila aku
memerintah dalam hal ini...." kata Pandu.
"Katakanlah apa rencanamu,
Pendekar?" tanya Kyai Rebo Panunggul.
"Malam ini pula aku hendak pergi ke Keraton Utara. Karena aku masih gelisah dan
penasaran dengan orang-orang yang sambil berbisik merencanakan sesuatu.
Aku tidak tahu apa rencana mereka. Tetapi yang jelas, sudah tentu menyangkut
masalah Keraton Utara. Mengingat dia
bilang hanya Panglima Angling yang berada di sana. Dan kuminta... kalian semua
pergi ke Danau Siiuman untuk mencari Pusaka Patung Pualam. Sementara beberapa
pasukan Keraton Selatan biarkan berada di sini dan bila bertemu dengan pasukan
atau orang Keraton Utara, tolong jelaskan masalah yang sebenarnya
terjadi. Kalian setuju dengan usul ini"
Orang-orang di sana menatapnya.
Sudah tentu mereka setuju. Pandu memang masih penasaran dengan apa yang
direncanakan orang-orang itu sambil berbisik. Namun dugaannya tetap satu, yakni
keselamatan Prabu Keraton Utara sedang terancam!
"Bila kalian semua sudah setuju, lebih baik jalankan rencana itu
sekarang! Bagaimana?"
"Kau harus berhati-hati, Pandu...."
kata Mpu Daga yang semakin mengagumi anak muda itu.
"Aku akan berhati-hati, Mpu! Sampai berjumpa!" Lalu tubuh itu pun melesat dengan
cepat. Saking cepatnya tak lagi terlihat sedikit bayangan atau
gerakannya, membuat orang-orang yang berada di sana semakin terlongo-longo.
"Bukan main... untunglah kita belum saling bunuh kembali," kata Kyai Rebo
Panunggul. "Tak kusangka... kalau kita semua akan diselamatkan oleh anak muda
bernama Pandu itu. Aku yakin, untuk di masa mendatang... dia akan menjadi
pendekar pembasmi kejahatan nomor wahid!
Dan kesaktiannya akan sukar sekali ditandingi!"
Mpu Daga, Ki Sima Ireng dan Tunggul Dewa pun yakin akan hal itu. Lalu mereka
segera berangkat menuju Danau Siiuman untuk mencari Pusaka Patung Pualam setelah
Kyai Rebo Panunggul
memerintahkan beberapa pasukan Keraton Selatan menjaga di tempat itu.
Sementara Pandu atau Pendekar Gagak Rimang semakin terus berlari. Malam ini dia
banyak sekali berlari namun nampak pula kalau dia tidak kelelahan.
Malah nampak dia lebih bersemangat.
"Eyang... tolonglah beri aku kekuatan untuk menghadapi segala yang menjadi
tanggung jawabku..." desisnya sambil terus berlari. Menerobos
kepekatan malam.
* * * 8 Bulan di langit renta, sepotong dan seakan enggan untuk bersinar. Sinarnya redup
terasa, tidak membangkitkan gairah bagi orang-orang untuk ke luar malam.
Udara malam begitu dingin sekali, seakan menembus hingga ke tulang sumsum.
Malam ini entah kenapa angin berhembus lebih dingin dari biasanya. Lain dengan
hari-hari yang lalu. Udara dingin ini
seakan memberikan satu tanda. Entah tanda apa, tetapi terasa amat
menakutkan. Udara yang amat dingin menyebabkan penduduk di tanah Keraton Utara merasa lebih
enak berada di dalam rumah. Tetapi para penjaga istana tidak perduli dengan rasa
dingin biar seperti es sekalipun.
Mereka tetap menjaga dan berpatroli dengan setia. Menjaga suasana yang mulai
genting. Memang, penjagaan di Keraton Utara semakin diperketat. Mengingat keadaan yang
semakin gawat. Prabu Sri Jayarasa sendiri malam ini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia nampak
gelisah di pembaringannya.
Tubuhnya bolak balik ke kiri ke kanan.
Banyak pikiran yang adai di benaknya, dan menyiksanya dengan satu kegelisahan
yang panjang. Dan tiba-tiba dia terbangun. Udara yang amat dingin itu dirasakan Prabu amat
panas. Tubuhnya berkeringat. Ia duduk di ranjangnya.
"Ah, mengapa malam ini perasaanku tidak enak?" desisnya pelan.
Lalu dengan hati-hati dia bangkit, berjalan ke tepi jendela. Disibaknya tirai
jendela sedikit matanya nyalang menerobos malam. Sinar lampu di halaman keraton
terang benderang. Itu pun penambahan karena keadaan yang
benar-benar semakin gawat.
Prabu menutup tirai jendela itu
lagi. Lalu dia mendesah panjang. Dia sendiri merasa heran, mengapa malam ini dia
tidak dapat tidur.
Di luar sana, para penjaga tetap
berdiri dengan tegak, walau sebenarnya dalam hati mereka lebih suka tidur
daripada menjaga di udara yang dingin menusuk ini.
Sungguh-sungguh keterlaluan!
Salah seorang yang merasa jengkel itu bernama Mandini. Dia seorang
prajurit yang sudah setengah baya.
Berulangkali terdengar gerutuan dari mulutnya. Dan tangannya sekali-sekali
menepuk lengannya karena nyamuk yang asyik berpesta dengan darahnya.
Dia mendengus sebal.
"Sialan! Udara dingin banget!!
Mendingan aku tidur di rumah istri mudaku malam ini!!" dengusnya jengkel. "Hhh,
lebih enak di sana! Hangat sambil memeluk tubuhnya yang montok. Tapi sial, dasar
sial, bekerja di udara dingin begini!
Mana banyak nyamuk lagi! Hhh! Mampus kau nyamuk sialan! Enak-enaknya kau
menghisap darahku." makinya sambil menepuk lengannya.
Dia masih menggerutu panjang
pendek. Tiba-tiba dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ada pikiran curang untuk
meninggalkan pos penjagaannya. Dia masih tetap memikirkan kemontokan tubuh istri
mudanya, yang selalu menggelinjang gelinjang membuatnya keenakan.
"Hehehe... biar aku kabur saja. Toh tidak ada kejadian apa-apa. Lagi salah
sendiri, kenapa mau repot-repot
mengadakan perang dengan Keraton
Selatan. Yah, akhirnya begini ini! Huh, dasar raja yang sok!
Tapi... ah, penjagaan sudah
sedemikian ketatnya. Kayaknya juga tidak akan terjadi apa-apa! Masa bodoh ah,
bila terjadi apa-apa juga!"
Lalu laki-laki yang berhati culas itu ke luar dari pos penjagaannya yang berada
di samping istana. Tinggal menyeberang ke luar dan lolos dari pintu samping, dia
sudah berhasil meninggalkan tempat itu.
"Hehehe... kenapa tidak sejak tadi kulakukan hal ini. Dan sejak tadi pula aku
sudah mendekap tubuh montok istri mudaku... hehehe..." tawanya ketika dia


Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil berada di luar batas keraton.
Besok pagi-pagi sekali dia akan
datang kembali. Karena bila ada
pemeriksaan, dia sudah berada di pos penjagaannya.
Diam-diam Mandini tertawa sendiri dan memuji-muji dirinya.
"Hehehe... Mandini memang pintar, memang pintar... Kalian yang menjaga sekarang
adalah orang-orang yang bodoh, yang mau menjaga sesuatu yang tidak ada dengan
ditemani angin dingin menusuk dan
nyamuk-nyamuk liar yang busuk!
Hehehe...! Hanya Mandini yang punya pikiran cerdik seperti ini! Hanya Mandini...
hehehe!" Dan dia pun melakukannya dengan
hati-hati. Kini langkahnya sudah berada di jalan setapak. Terus ke kanan, dia
sudah semakin jauh dari istana.
Mandini terkekeh dan bergegas. Di ujung jalan itu istri mudanya tinggal.
Tempat yang sepi dan cocok istri mudanya tinggal. Terbayang sudah nanti betapa
enaknya dia menggeluti tubuh istrinya yang montok. Wanita itu baru seminggu
dinikahinya. Masih sedang
panas-panasnya. Membayangkan hal itu membuat Mandini mempercepat larinya.
Namun ketika tinggal tiga rumah dari tempat tinggal istri mudanya, tiba-tiba
berkelebat bayangan hitam dan berdiri di hadapannya. Sikapnya seperti
menghadang. Gugup dia berhenti dan mengacungkan tombaknya.
"Siapa kau"!"
"Aku adalah aku," sahut bayangan hitam itu. Suaranya angker.
"Aku siapa"!" bentak Mandini pula sambil memegang tombaknya.
"Aku mau tanya kepadamu, orang busuk. Ada berapa orang penjaga di keraton?"
"Kau mau apa?" Mandini segera mencium sesuatu yang tidak enak.
"Jangan banyak tanya. Jawab, kalau tidak ingin kepalamu pecah."
"Bangsat!! Kau pikir mudah
mengalahkan aku, heh?"
"Semudah membalikkan telapak tangan. Jawab pertanyaanku," kata orang itu dingin.
"Hhh! Aku tidak suka dipaksa!"
"Dan aku akan tetap memaksa!"
"Lakukan kalau kau bisa!!"
Orang itu tersenyum. Mandini tidak bisa melihat senyumnya yang sinis dan dingin.
Dia menyiapkan tombaknya untuk menyambut serangan orang itu.
"Jawab pertanyaanku," orang itu masih menyuruhnya. Kali ini suaranya mengandung
kegeraman. "Tak semudah itu."
"Kau memaksaku, orang busuk. Baik!"
Sehabis berkata begitu, dia berkelebat dengan cepat. Dan tanpa tahu kapan dan
bagaimana orang itu bergerak, tiba-tiba saja tombak Mandini sudah pindah ke
tangannya. "Hhh! Aku bisa saja kalau mau mencopot kepalamu! Jawab
pertanyaanku!!"
"Tidak! Kau... kau... siapa"!"
"Aku adalah aku! Jangan membuatku marah, orang busuk!"
Mandini mundur takut-takut. Suara orang itu mengandung ancaman yang mematikan.
"Jawab!!"
Seruan itu semakin membuat Mandini mati langkah. Tubuhnya gemetar.
"Jawab!" bentakan itu terdengar lagi.
"Kau,.. kau... Iblis!!"
"Setan! Kau membosankan, orang busuk!" geram orang itu dan mendadak dia
berkelebat. Tahu-tahu terdengar
jeritan Mandini keras dan jeritannya terputus bersama putusnya kepalanya dari
lehernya. Kepala yang buntung dan leher yang menyemburkan darah segera jatuh ke
bumi. Dan orang kejam itu menendang kepala yang buntung itu hingga terpental
cukup jauh. "Orang tak berguna". desisnya tak mengenai ampun.
Lalu dia memperhatikan
sekelilingnya. Dan orang berkedok hitam itu melesat ke depan. Larinya menandakan
dia menuju ke arah Keraton Utara. Dia memang mempunyai niat busuk untuk membunuh
Prabu Sri Jayarasa. Yah, orang yang tak lain si Kedok Hitam yang pernah dilihat
di hutan bersama empat orang sekutunya terus berkelebat. Dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya, dia sudah hinggap di tembok keraton yang cukup tinggi.
Matanya di balik kedok hitamnya memperhatikan lagi
sekelilingnya. Lalu dia berjumpalitan dengan gerakan yang amat ringan. Dan
hinggap di bumi tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dia langsung berlari ke dalam
keraton. Dari gerak geriknya nampak dia tahu seluk beluk Keraton Utara. Karena
dia masuk melalui pintu rahasia yang hanya orang-orang kepercayaan prabu saja
yang mengetahui pintu itu. Dan tanpa banyak kesulitan yang berarti dia sudah
menemukan tempat di mana beristirahatnya sang prabu.
Hanya tiga orang yang berjaga di
depan kamar sang prabu. "Hmm...
pekerjaan yang mudah," desis si Kedok hitam sambil tersenyum.
Dan tanpa kesulitan pula dia
berhasil melumpuhkan ketiga penjaga itu.
"Des! Des! Des!"
Tiga penjaga itu jatuh menggelosor tanpa sempat berteriak. Begitu berhasil
melumpuhkan ketiga penjaga itu, si Kedok Hitam segera merapatkan tubuhnya di
tembok. Pekerjaannya amat rapi, tidak menimbulkan suara sedikit pun.
"Hmm... sebentar lagi kau akan mampus, Prabu... Dan akulah yang akan menjabat
sebagai kepala negara di Keraton Utara ini!!" desisnya pelan sambil mendengus.
Di kamarnya, sang Prabu masih tidak bisa memejamkan matanya. Dia tetap mondar
mandir dengan gelisah. Pikirannya teramat ruwet sekali. Dan tak satupun pikiran
itu yang berhasil
dituntaskannya. Banyak sekali, saling
bertumpuk. Sikapnya benar-benar resah dan tidak tenang.
Entah kenapa dia mendapat firasat yang tidak enak.
"Ah, mengapa aku jadi begini?"
desisnya. Dan kakinya terus melangkah mengelilingi kamar itu. "Ada apa
sebenarnya denganku ini?"
Suasana pun dirasakannya amat
mencekam. Firasatnya terus berbicara kalau akan ada sesuatu yang tidak
dinginkannya. Namun dia tidak tahu apa itu. Apakah mungkin pasukan Keraton
Selatan menyerang ke sini" Tanyanya dalam hati.
Tetapi dia tak perlu lama-lama lagi memikirkan hal apa yang
menggelisahkannya. Karena tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka secara paksa.
Jebol engsel-engselnya. Pintu yang terbuat dari kayu yang besar dan keras itu
pun hancur dihantam.
Terhentak sang prabu menoleh. Dan satu sosok tubuh berpakaian hitam dan berkedok
hitam meloncat dengan gagah.
"Siapa kau, heh"!" bentak prabu dan entah mengapa dia nampak bersiaga. "Dan mau
apa kau"!"
Wajah di balik kedok hitam itu
menyeringai. Senang dia melihat sang prabu nampak ketakutan.
"Hmm... apa kabar, Gusti?"
"Siapa kau, hah" Katakan...."
"Mengapa gusti nampak tegang, hah"
Tenang... kedatanganku memang ada maksud padamu...."
"Katakan!!"
"Hahaha... kedatanganku hanya satu, Gusti... ingin mencabut nyawamu!"
Wajah sang prabu kelihatan pias.
Namun dia berusaha tenang.
"Apa kau bilang, Kedok Hitam"!"
"Mencabut nyawamu!" kata si Kedok Hitam kejam. "Kau belum tuli bukan, Prabu?"
Sang prabu menampakkan senyumnya, seolah dia tidak cemas dengan ancaman itu.
"Hhh! Kau pikir mudah melakukannya"
Kau keliru, Kedok Hitam...."
"Hahaha... kau berani sesumbar juga, Prabu. Untuk membunuhmu... lebih sulit
membunuh semut di pelupuk mata dari pada menghabisi nyawa busukmu, Prabu!
Hmm... sebenarnya aku salut pada
ketegaranmu, Prabu! Kau memang pantas menjadi seorang Prabu sebuah negara!
Tapi... nyawamu tak lama lagi hinggap di jasadmu! Ajalmu sudah dekat, Prabu!!"
seru si Kedok Hitam dengan suara yang buas dan kejam.
"Setan!"
"Sekarang bersiaplah, Prabu! Aku tak ingin banyak cakap lagi!"
Sehabis berkata begitu si Kedok
Hitam memasang jurus yang nampak sangat diandalkannya. Dia tidak ingin membuang
waktu. Dia ingin segera menyelesaikan tugas. Jurus akan merenggut nyawa sang
prabu! Prabu sendiri adalah orang yang
pengalaman. Dia pun memiliki ilmu bela diri yang lumayan. Dia tidak gentar
sedikit pun menghadapi si Kedok Hitam itu. Dia juga membuka jurusnya.
Si Kedok Hitam terbahak.
"Orang seperti kau tak layak untuk melawanku. Lebih baik serahkan saja kepalamu
untuk kupenggal."
"Hhh! Orang busuk, kau tidak tahu dengan siapa berhadapan. Aku Rajamu, orang
yang harus kau hormati. Dan kau pun tahu bukan, ratusan prajurit menunggumu di
luar." "Perduli setan dengan semua itu!
Jaga seranganku, Prabu!"
Sehabis berkata demikian, si Kedok Hitam segera bergerak. Gerakannya cepat dan
tangguh. Pukulan kedua tangannya mirip patuk ular dan meliuk-liuk. Dan tenaga
yang dimilikinya pun hampir sama dengan seekor banteng luka.
Prabu sendiri terkejut menerima
serangan itu. Dia tidak berani untuk memapaki. Sebisanya dia berusaha
menghindar. Kamar yang lumayan besar itu seketika menjadi tempat pertempuran.
Prabu benar-benar harus menguras seluruh tenaganya untuk bisa mempertahankan
selembar nyawanya. Dia tidak ingin mampus begitu saja.
Tetapi si Kedok Hitam terus
melakukan tekanan-tekanan yang
berbahaya. Jurus-jurusnya aneh. Dan satu pukulan telak tak berhasil dihindari
oleh prabu Keraton Utara. Dadanya tergedor pukulan itu hingga terhuyung deras
dan muntah darah.
"Ha-ha-ha... sudah kukatakan, kau tak berguna untuk menandingiku, Prabu!"
"Bangsat keji!" geram prabu sambil menahan rasa sakit yang luarbiasa.
"Siapa kau sebenarnya!"
"Sudah kukatakan, aku adalah malaikat pencabut nyawa! Dan malam ini, nyawamu
akan kurenggut dengan paksa!
Bersiaplah, Prabu!"
"Manusia keparat!"
Manusia itu segera menerjang lagi.
Desisannya mirip seekor ular berbisa yang ganas dan mengundang kematian.
Gerakannya cepat dan mengerikan.
Tetapi Sri Jayarasa tidak mau mati begitu saja. Dia masih berusaha
memberikan perlawanan. Dia merasa harus mampu mempertahankan diri.
Di ruangan yang sempit itu terasa sangat menyulitkan dirinya untuk
bergerak, belum lagi serangan yang dilakukan Kedok Hitam begitu dashyat.
Dan kadang Sri jayarasa benar-benar merasa ajalnya sudah tiba, bila serangan
Kedok Hitam datang bertubi-tubi. Namun tiba-tiba dia melompat ke kiri. Sambil
menghindar serangan Kedok Hitam, dia
menyambar pedang yang terpampang di dinding.
Sri Jayarasa segera menghadapi si Kedok Hitam dengan pedang itu. Tapi Kedok
Hitam malah tertawa. Menertawakan!
"Lakukan apa yang hendak kau lakukan,
Prabu! Berbuatlah yang
menyenangkan hatimu, tapi jaga selembar nyawamu itu!"
Setelah berkata begitu Kedok Hitam kembali menerjang. Kali ini gerakannya lebih
cepat dan mematikan. Pedang yang digunakan oleh Prabu Sri Jayarasa tidak begitu
banyak membantu, malah terasa agak menyulitkan untuk bergerak secara leluasa.
Yang lebih mencengangkan dan
mengherankan bagi prabu itu adalah sabetan pedangnya yang sia-sia.
Berkali-kali dia membabat, membacok dan menusuk ke arah tubuh lawannya, tapi
lawannya tidak terluka sedikitpun.
Bahkan lawannya malah menertawakan.
Sial! Benar-benar sial! Maki prabu itu makin penasaran terus saja menyerang
dengan pedangnya.
"Huaha... ha... ha... ha lakukan, Gusti Prabu. Lakukan! Tusuk, sabet! Kali ini
aku tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan ini! Untuk itu, kau harus bersiap diri!" ancam lawannya sembari
tertawa mengejek.
Kembali si Kedok Hitam menyerang.
Gusti prabu terus berusaha bertahan.
Namun sekuat apa pun usaha Gusti Prabu, akhirnya tenaganya terkuras habis.
Konsentrasinya jadi berkurang. Pada saat itu sebuah pukulan si Kedok Hitam
menghantam dengan telak ke dadanya.
Tanpa ampun lagi gusti prabu
terhuyung-huyung. Dadanya terasa sesak bernapas. Lalu menahan rasa sakit yang
teramat hebat, dari mulut Gusti Prabu muntah darah segar.
Si Kedok Hitam terbahak melihat
keadaan sang prabu benar-benar dalam titik penghabisan. Dia berhasil mendesak
dengan hebat, hingga Prabu Sri Jayarasa terpojok dan kewalahan menunggu ajal.
"Hahaha... malam ini ajal akan menjemputmu, Prabu... Hahaha...
bersiaplah untuk mampus menghadap Hyang Widi!"
Meskipun sudah terpojok, sang prabu mendengus.
"Hhh! Bila Hyang Widi menghendakiku mati di tanganmu, maka aku akan mati!
Tetapi bila tidak, sampai kapan pun aku tidak akan pernah mati di tanganmu,
Manusia busuk! Hhh! Baiknya kau katakan siapa kau sebenarnya! Bukalah kedok
hitam yang menyelubungi wajahmu itu bila kau memang jantan adanya!"
Kata-kata sang prabu hanya disambut oleh tawa oleh si Kedok Hitam.
"Hahaha... prabu... untuk apa kau mengetahui wajahku, hah"!"
"Pengecut!!"
"Hahaha... maafkan aku, Prabu...
permintaanmu itu tak akan pernah
kupenuhi. Tapi yang perlu kau ketahui...
bahwa semua kejadian ini adalah hasil buah tanganku. Kau paham maksudku"!"
"Kau"!" Wajah pias sang prabu berubah menjadi kemarahan. Dia
menggeram. Dan bersuara bersama
dengusnya yang keras, "Bangsat!
Jadi....."
"Hahaha... ya, ya... dugaanmu tak salah, Prabu! Akulah yang telah mencuri Pusaka
Patung Pualam! Bukankah dengan memiliki pusaka itu bertanda akulah yang berhak
menduduki singgasana di Keraton Utara ini" Bukan kau orangnya, Prabu! Dan yang
perlu lagi kau ingat, sementara orang-orangmu sedang sibuk menyerbu Keraton
Selatan karena perintahmu yang tolol itu, aku dan pasukanku telah siap untuk
menggulingkan kedudukanmu
prabu!!" "Keji!" geram prabu. "Siapa kau sebenarnya, hah"!"
"Itu tak perlu kau ketahui, Prabu!"
"Anjing buduk! Pemberontak keji!"
"Berteriaklah, Prabu! Berteriaklah dengan keras! Aku mau lihat siapa yang akan
bisa menolongmu!" seru si Kedok Hitam dengan suara yang terdengar keji dan
mengancam. "Hh! Kini ajalmu telah tiba, Prabu!"
"Bangsat...!!"
"Hmm... kita buktikan... apakah Hyang Widi memang menginginkan kau mati di
tanganku atau tidak. Hahaha...
sepertinya ha-apanmu gagal total, Prabu...."
Kini nampaknya si Kedok Hitam tidak mau berbuat tanggung lagi. Dia merangkum dua
buah tenaga besar di kepalanya. Akan dihancurkannya sang prabu sekarang juga.
"Bersiaplah, Prabu!
Heeeiiittttt!!" Pekikan keras merenggut nyawa sang prabu. Tubuhnya pun melesat
menyerbu. Sang prabu hanya terkulai dengan mulut masih mengeluarkan darah.
Tak kuasa lagi untuk menahan serangan itu.
Maut! Maut! Sudah terpampang jelas di hadapannya. Sudah tiba dan akan
menjemputnya sekarang.
"Mampuslah kau, Prabu!!"


Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prabu hanya pasrah saja. Tak ada
lagi kesempatan untuk meloloskan diri.
Matanya pun perlahan-lahan terpejam.
Namun terjadi keajaiban di luar
dugaan siapa pun. Karena mendadak saja selarik sinar putih muncul dan
berkelebat di ha-dapan prabu. Membuat si Kedok Hitam terpekik dan segera
berjumpalitan untuk menghindari sinar putih itu. Serangannya terputus.
"Baammmm!!"
Sinar putih itu menghantam dinding peraduan prabu hingga berantakan.
"Bangsat!!" Si Kedok Hitam membentak sementara dia telah berdiri tegak. Matanya
memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Sedangkan prabu yang telah membuka matanya
berulangkali menghela nafas lega, tetapi juga heran siapa yang telah
menolongnya. Si Kedok Hitam kembali membentak.
"Hh! Siapa kau, hah"! Beraninya jangan bersembunyi! Ayo keluar!!"
Si Kedok Hitam tak perlu berteriak untuk kedua kalinya. Karena mendadak sesosok
tubuh muncul dari jendela dengan cara berjumpalitan dan langsung berdiri gagah
di depannya. Dia seorang pemuda gagah. Berwajah tampan. Dia mengenakan baju putih-putih.
Dia memiliki sebuah golok tipis
bersarungkan batang kayu yang berlapis timah kuning. Dia mengenakan caping yang
menutupi sebagian wajahnya. Dia
tersenyum mengejek pada si Kedok Hitam.
Dia... Pandu!! Sementara si Kedok Hitam menjadi
gusar. Namun hatinya bertanya, siapa adanya pemuda bercaping ini"
Tatapannya menatap gusar.
"Siapa kau"!"
Pandu hanya tersenyum. Semakin membuat gusar si Kedok Hitam. Matanya semakin
melotot geram. Pandu pun membalas dengan tatapan waspada. Ah, bila dia terlambat sedikit saja,
maka habislah riwayat Prabu.
Rupanya rencana keji inilah yang
dibicarakan si Kedok Hitam dan
teman-temannya secara berbisik.
Sementara Prabu Sri Jayarasa mendesah lega karena ada yang menyelamat-kannya.
Dia pun berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang membahayakan keselamatannya dan
diri pemuda yang telah menolongnya.
Si Kedok Hitam menggeram murka.
"Siapa kau adanya, hah" Katakan cepat, sebelum nyawamu kucabut!!"
Pandu tersenyum.
"Aku adalah orang yang menggagalkan niat busukmu itu, manusia laknat!!"
"Bangsat! Kau jual lagak rupanya!"
"Hmm... bukankah tadi sudah
kubuktikan, kalau aku tidak menjual lagak!"
"Anjing buduk!"
"Apakah tidak terbalik" Kaulah anjing buduk yang secara pengecut hendak membunuh
Prabu yang tak berdaya. Juga hendak berbuat makar terhadap Keraton Utara ini!"
"Itu urusanku!"
"Hahaha... sekarng menjadi
urusanku! Bukankah aku telah terlibat dalam hal ini"!"
"Kubunuh kau, Keparaaaatttt!!"
"Hahaha... mampukah kau membuktikan ucapanmu itu" Lebih baik kau pergi dari
sini!" "Setttann!!"
"Cepat pergi dari sini!!"
"Kau yang pergi, pemuda busuk!!"
Tiba-tiba Pandu terbahak.
"Hahaha... rupanya kau terkena juga dengan pancinganku! Baik, kau tak akan
pernah bisa pergi dari sini! Dan akan kuperlihatkan pada Prabu, wajah siapa yang
ada di balik kedok busukmu itu!!"
seru Pandu dan tubuhnya sudah melesat menerjang dengan tangan lurus ke arah
muka, mencoba menjambret kedok yang menutupi wajah orang itu.
Sudah tentu si Kedok Hitam tidak mau ditelanjangi begitu saja. Dia berkelit dan
tangan kanannya menepak lalu
membalas dengan sodokan pada telapak tangannya.
Pandu menurunkan sikunya untuk
menangkis. Lalu kembali meneruskan
serangannya ke muka dengan ayunan siku yang sama Terlihat si Kedok Hitam cepat
menarik kepalanya ke belakang. Saat itulah Pandu bergerak cepat. Tangannya yang
membentuk siku tadi bergerak cepat ke arah wajah si Kedok Hitam, hendak
menyambar kedoknya.
Namun sungguh cepat pula gerakan
yang diperlihatkan si Kedok Hitam. Dia menghindar dengan jalan merunduk. Lalu
memberikan satu sepakan pada kaki Pandu.
Semua serangan itu dilakukan dengan cepat dan hebat. Penuh tenaga dan kehebatan
yang penuh. Pertarungan itu terus berjalan lagi benda-benda yang
hancur karena terkena hantaman atau tendangan keduanya.
Sungguh pertarungan yang amat hebat dan cepat.
Tiba-tiba si Kedok Hitam bersalto dan berbalik ke belakang. Nampak dia membuka
jurusnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya mendesis mirip ular.
"Jurus Ratu Cobra Merah!!"
Terdengar seruan Prabu Sri Jayarasa terkejut.
"Hati-hati anak muda! Ilmu itu amat berbahaya!"
Si Kedok Hitam yang tadi sudah
kewalahan menghadapi Pandu, segera mengeluarkan jurus andalannya. Namun dia lupa
kalau nampaknya Prabu mengenali jurusnya. Langsung saja dia melemparkan senjata
rahasianya yang berupa jarum berbisa. Untungnya Prabu masih bisa mengelakkan
meskipun tubuhnya terasa sakit saat digerakkan.
"Bangsat!!" Pandu menggeram. Dia menerjang. Namun si Kedok Hitam segera
memburunya memapaki. Pandu merasakan angin panas menerpanya kala si Kedok Hitam
mendekat. Kontan
dia berjumpalitan. Jelas sekali kalau jurus Ratu Cobra Merah itu amat berbahaya. Sekali kena, bisa
mati seketika. Karena di ujung jari si Kedok Hitam seperti mengeluarkan bisa
cobra yang amat mematikan!
"Hahaha... mampuslah kau, anak muda!" geram si Kedok Hitam dan terus mencecar.
Pandu meningkat jurus
berkelitnya. Tetapi dia belum berani menahan atau membalas, karena dia yakin
jurus itu amat berbahaya.
Tiba-tiba Pandu melepaskan Pukulan Sinar Putihnya, mampu membuat si Kedok Hitam
menjaga jarak. Namun si Kedok Hitam seolah tidak kuatir dengan jurus itu. Dia
malah terus mendekat, hingga Pandu yang kewalahan. Tiba-tiba pemuda itu bersalto
dan saat hinggap di tangannya sudah terpegang sebuah golok yang memancarkan
sinar terang. "Golok Cindarbuana!" seru si Kedok Hitam. "Hhh! Cepat kau serahkan golok itu
padaku, Keparat!!"
"Rupanya kau tertarik juga dengan golokku ini, Kedok Hitam. Rebutlah kalau kau
mampu, aku baru mau memberikannya dengan ikhlas."
"Setan" geram si Kedok Hitam sambil menerjang kembali. Dengan golok
Cindarbuana di tangan, Pandu baru berani memapakinya dengan kibasan-kibasan
berbahaya ke arah leher, dada dan kemaluan. Ini membuat si Kedok Hitam jadi
membatasi gerakannya.
Namun Kedok Hitam itu seorang yang luar biasa. Tiba-tiba saja dia
mengibaskan tangannya ke depan. Delapan buah senjata rahasia berbentuk jarum
kecil melesat dengan cepat. Mata Pandu
yang telah sekian tahun terlatih melihat dalam gelap, segera menangkap desingan
halus itu. Dengan jurus golok Kibasan Golok
Membelah Bumi. Jurus yang diciptakan oleh gurunya
untuk bertahan, dia
menghalau jarum-jarum maut itu.
"Ting! Ting!"
Enam buah jarum itu berhasil
dihalaunya dan dua buah lagi nancap di dinding setelah berhasil dihindarinya.
Orang di balik kedok hitam itu
terkejut melihat ketangguhan ilmu golok yang diperlihatkan oleh Pandu.
Namun dia malah semakin penasaran.
Dengan ganasnya dia menerjang terus.
Kembali keduanya memperlihatkan
kehebatan, ketangguhan dan kelihaian mereka dalam berkelahi.
Dan biar pun Pandu memakai golok
itu, namun dia sendiri pun belum berhasil mengenai sasarannya.
Setelah bertempur lebih dari lima puluh jurus, barulah dia mampu memberi
kenangan sedikit di bahu si Kedok Hitam yang sedikit terhuyung.
Pandu bukan orang yang kejam,
padahal selagi si Kedok Hitam terhuyung demikian, dia mampu melumpuhkannya
dengan sekali gebrak. Namun dia
membiarkan saja si Kedok Hitam menekap lukanya dan melotot dengan gusar.
"Bangsat kau!" geramnya marah.
"Suatu saat, aku akan datang lagi dan mencabut nyawamu!"
Setelah berkata demikian, si Kedok Hitam bersalto ke arah jendela dan
menghilang. "Hei!" Pandu mengejar dan masih terlihat bayangan tubuh yang melesat cepat itu.
Tiba-tiba dia melontarkan Pukulan Sinar Putihnya ke arah bayangan itu.
"Sing!"
Selarik sinar putih itu melesat
dengan cepat. Mengarah tepat pada sasarannya. Namun si Kedok Hitam sudah cepat
bersalto lebih dulu dan sinar putih itu luput dari sasarannya, menghantam sebuah
pohon yang langsung hangus dan tumbang.
Sementara si Kedok Hitam sudah
menghilang dalam kegelapan malam.
Lagi-lagi pemuda itu yang mengha-langinya. Siapa sebenarnya dia" Suatu saat, dia
harus bisa membunuh pemuda itu.
Pohon yang tumbang itu, menarik
perhatian para penjaga yang segera melihat. Mereka heran, terkena apa pohon ini
bisa hangus dan tumbang. Dan mendadak mereka teringat akan keselamatan prabu.
Mereka segera masuk ke tempat
peraduan baginda. Di sana baginda sedang menghela nafas dan Pandu berdiri di
sampingnya. Melihat ada orang asing yang berdiri di dekat baginda, para penjaga itu segera
menyerang Pandu. Serangan itu lemah namun mengagetkan Pandu.
"Heit!" Dengan manisnya dia berkelit dan bersalto.
Ketika para penjaga itu akan
menyerang lagi, baginda membentak.
"Tahan! Dia orang kita!"
Seketika mereka menahan
serangannya. Namun masih menjaga-jaga segala kemungkinan. Baginda segera
menerangkan apa yang barusan terjadi, barulah para penjaga itu mengerti dan
minta maaf pada Pandu.
Sementara di luar, malam sudah
enggan untuk lebih lama menemani dunia, dia pun segera kembali ke peraduannya
dan menyuruh sang fajar menggantikan
kedudukannya. Alam pun mulai hidup lagi, segar kembali. Di kejauhan, sang surya sudah mulai
memancarkan sinamya yang keemasan.
Suara kokok ayam dan kicau burung, menandakan suasana yang damai. Namun
binatang-binatang itu tidak tahu apa yang tengah melanda Kerajaan Kediri.
Juga para rakyatnya. Mereka sudah kembali bekerja seperti biasa. Ada yang
sebagai petani, pedagang dan lainnya.
Walaupun kelihatan damai, mereka
sadar akan apa yang telah dan akan terjadi antara Keraton Utara dan Keraton
Selatan. Namun mereka tidak ada yang tahu
kalau semua ini disebabkan oleh musuh dalam selimut yang baru saja meloloskan
diri. Menjelang pagi, Pandu segera menemui Prabu dan menceritakan apa yang
terjadi. Prabu mendesah lega.
"Tapi... aku belum mengetahui kabarnya Ki Runding Alam dan Ki Manggala.
Ah, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Jelas ini adalah
kesalahanku yang terlalu emosi menuruti hawa nafsu!"
"Sudahlah, Prabu... yang sudah biarkanlah. Hmm... lebih baik, Prabu segera
membentuk barisan untuk
bersiaga."
"Apa maksudmu, Anak muda?"
"Karena menurut firasat hamba... si Kedok Hitam akan datang lagi dengan
pasukannya dan siap untuk menggulingkan Keraton Utara sekarang juga! Lakukanlah
cepat, Prabu!!"
Prabu Sri Jayarasa pun bertindak
cepat. Saat itulah dia baru ingat, kalau Panglima Angling tidak muncul saat
keributan itu terjadi.
* * * Apa yang diduga Pandu ternyata benar adanya. Ketika matahari sepenggalah, nampak
terlihat dari kejauhan debu-debu
yang mengepul tebal. Diiringi suara yang gegap gempita.
Pandu segera memerintahkan pasukan Keraton Utara untuk bersiap. Dan
debu-debu yang tebal itu, kala mendekat terlihat puluhan pasukan berkuda dengan
berpakaian hitam-hitam dan bermacam senjata di tangan.
Pandu melihat jelas, di depan
pasukan berkuda itu, nampak si Kedok Hitam dan empat orang sekutunya.
"Hmm... ini amat berbahaya sekali.
Tetapi mau tidak mau aku harus segera memimpin pasukan ini untuk menyerang
pula," desis Pandu.
Lalu dia pun memerintahkan untuk segera menghadang pasukan yang telah mendekat
itu. Seketika di depan halaman Keraton Utara terdengar suara hingar bingar yang
amat keras. Gegap gempita yang amat mengglegar.
Suara pedang dan senjata lainnya
yang beradu memekakkan telinga, diiringi dengan suara jerit kematian.
Karena jumlah pasukan lawan yang
demikian banyak, sebentar saja pasukan Keraton Utara terdesak mundur. Pandu
sendiri sudah berkelebat dengan Golok Cindarbuana dan jurus Cakar Gagak
Rimangriya. Namun karena lawannya amat banyak, dia pun menjadi kewalahan pula.
Belum lagi serangan-serangan yang dilakukan oleh Renggota dan Ranggota,
Bujang Kroto dan Kawung Rongo yang amat marah karena rencana digagalkan.
"Mundur!!" seru Pandu karena terlihat pasukan Keraton Utara terdesak.
"Pertahankan pintu gerbang!!" serunya.
Beberapa prajurit menahan pintu
gerbang dengan sekuat tenaga. Sementara di luar pasukan berpakaian hitam-hitam
itu berusaha untuk mendobrak pintu.
Belum lagi dengan senjata-senjata yang dilemparkan dari luar ke dalam, semakin
membuat suasana menjadi panik adanya. Namun tiba-tiba terdengar suara hingar
bingar di luar dan jerit kematian yang memilukan.
Apa yang terjadi"
Pandu segera naik ke tower yang
tinggi dan melihat pasukan Keraton Selatan yang dipimpin oleh Kyai Rebo
Panunggul dan Tunggul Dewa datang menghajar orang-orang itu. Di sana pun
terlihat Mpu Daga dan Ki Sima Ireng.
Merasa bantuan telah datang, Pandu segera memerintahkan untuk membuka pintu
gerbang. Lalu pasukan berpakaian
hitam-hitam yang kocar kacir dan
menerobos masuk, dihantam
habis-habisan. Pandu sendiri segera bergabung
kembali dalam pertempuran itu. Dia melihat si Kedok Hitam yang berusaha untuk
melarikan diri.


Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sekali berjumpalitan Pandu menghadangnya dan menyeringai.
"Hhh... kita bertemu lagi, Kedok Hitam! Tetapi saat ini, kau tak akan bisa lolos
dari tanganku!"
"Sombong!!" suara si Kedok Hitam terdengar panik, namun dia menyerbu dengan
garangnya. Kembali jurus Ratu Cobra Merah dikeluarkannya.
Sementara Kyai Rebo Panunggul
berhadapan dengan Renggota.
Ki Sima Ireng berhadapan dengan
Ranggota. Mpu Daga berhadapan dengan Bujang Kroto.
Sedangkan Tunggul Dewa berhadapan dengan Kawung Rongo.
Pertarungan berjalan seru.
Sementara pasukan berpakaian
hitam-hitam itu telah habis dibantai.
Kini hanya nampak lima pertarungan yang amat hebat.
Kelihatan masing-masing amat
berusaha ingin segera melumpuhkan lawannya. Dan terlihat pula satu persatu mulai
berjatuhan. Kyai Rebo Panunggul berhasil menjatuh Renggota, Begitu pula dengan
Ki Sima Ireng. Hal yang sama pun dialami Mpu Daga. Sedangkan Tunggul Dewa harus
terluka di bahu kanannya sebelum berhasil melumpuhkan Kawung Rongo.
Dan kini terlihat tinggal Pendekar Gagak Rimang yang tengah bertarung hebat
dengan si Kedok Hitam. Prabu Sri Jayarasa pun hadir di sana menyaksikan
pertarungan itu.
Sungguh suatu pertarungan yang amat hebat. Saling serang menyerang dengan hebat
dan cepat. Pandu sendiri sudah mengeluarkan pukulan Cakar Gagak
Rimangnya. Namun kala kedua tangan mereka saling berbenturan, keduanya sama-sama
terjengkang ke belakang.
Menandakan ilmu yang mereka miliki sama.
Namun Pandu tak mau berbuat setengah lagi. Dia segera mencabut goloknya. Dan
dengan golok itu dia menyerang si Kedok Hitam dengan hebat.
Kali ini nampak jelas si Kedok Hitam yang kewalahan, Dan satu ketika, Pandu
berjumpalitan dengan satu sodokan golok ke arah dada si Kedok Hitam yang menjadi
terkejut hingga menarik tubuhnya ke belakang. .
Saat itulah Pandu bergerak dengan cepat. Tangannya- menyambar kedok hitam yang
menutupi wajah orang itu. Dan serentak terdengar tiga seruan secara bersamaan.
"Panglima Angling!!"
Wajah di balik kedok hitam itu
ternyata memang Panglima Angling. Dialah musuh dalam selimut yang menginginkan
tahta singgasana Keraton Utara. Dia pun yang mencuri Pusaka Patung Pualam, kala
Prabu ke luar dari peraduannya.
Wajah itu pias. Namun sombong.
"Hhh! Ya... akulah orangnya! Kalian semua bisa membunuhku tetapi...
hahaha... kalian tak akan pernah
mendapatkan di mana Pusaka Patung Pualam berada!!" serunya terbahak.
Tetapi ketika didengarnya suara Mpu Daga, "Apa kau bilang, Panglima busuk"
Apakah di tanganku ini bukan Pusaka Patung Pualam"!"
Terbelalak mata Panglima Angling.
Dia merasa dirinya sudah kalah.
Tiba-tiba saja dia menggerakkan
tangannya hendak menghantam dadanya sendiri dengan jurus Ratu Cobra Merah.
Namun Pandu segera berkelebat, menotok tubuh itu hingga kaku.Dan dia
berjumpalitan kembali. Berhadapan dengan Prabu dan yang lainnya.
"Prabu dan orang gagah sekalian...
tugasku agaknya sudah selesai. Untuk itu aku mohon pamit!!"
Belum lagi ada yang bicara, Pandu sudah berkelebat dengan cepat hingga orang-
orang di sana hanya terlongo-longo saja.
Tak lama kemudian terlihat tiga
sosok tubuh mendekat. Yang seorang nampak lemah sekali. Dia adalah Ki Runding
Alam, Ki Manggala dan yang lemah adalah Sekar Perak. Yang amat terkejut melihat
pasukan Keraton Selatan berada di sana. Namun setelah dijelaskan oleh Mpu Daga
dia pun mengerti.
Dan tiba-tiba pula muncul Dasa
Samudra dan beberapa orang prajurit yang tengah mencari jejak ke mana Sekar
Perak selir kesayangan Gusti Prabu Keraton
Selatan diculik. Dia pun segera diberi penjelasan oleh Kyai Rebo Panunggul.
Udara berhembus dingin. Sementara Pandu sang Pendekar Gagak Rimang terus
melanjutkan pengembaraannya.
TAMAT Ikutilah serial Pendekar Gagak
Rimang Dalam Episode: "Menumpas Angkara Murka"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Darah Bunga Iblis 2 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Tengkorak Maut 16
^