Pencarian

Menumpas Angkara Murka 1

Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka Bagian 1


MENUMPAS ANGKARA MURKA oleh Fredy S. Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa
izin tertulis dari penerbit
Fredy S. Serial Pendekar Gagak Rimang
Dalam episode :
Menumpas Angkara Murka
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Desa Babakan Hijau sebenarnya
adalah sebuah desa yang indah dan
permai. Para penduduknya sebagian
besar bertani, juga tak sedikit yang berniaga. Semua penduduk saling tolong
menolong dan bantu membantu.
Kehidupan di Desa Babakan Hijau
penuh kedamaian dan keikhlasan satu sama lain. Mereka saling kasih
mengasihi. Penuh rasa cinta yang
mendalam sebagai sesama umat manusia.
Namun akhir-akhir ini desa yang
semula permai dan damai itu, kini
begitu mencekam. Karena di desa itu telah berdatangan orang-orang dari
gerombolan yang kejam. Mereka
menamakan diri Gerombolan Golok Hitam!
Dan secara lambat laun,
gerombolan itu pun menguasai seisi desa. Namun untungnya, mereka hanya sekali-
sekali saja datang kesana.
Menurut kabar, gerombolan itu bermukim di Bukit Siguntang yang terletak cukup
jauh dari Desa Babakan Hijau. Tetapi meskipun demikian, orang-orang di Desa
Babakan Hijau tak sepenuhnya bisa
tenang. Karena sekali-sekali orang-orang
kejam itu bermunculan. Dan
setiap kali mereka muncul, pasti ada saja keributan yang mereka perbuat.
Orang-orang dari gerombolan itu
terdiri dari orang-orang yang kejam.
Mereka masing-masing memiliki ilmu silat yang rata-rata cukup tinggi.
Hingga saat ini para penduduk di Desa Babakan Hijau tak ada yang berani
mengusik mereka bila mereka datang.
Begitu pula dengan Ki Lurah Sen
Kawung yang hampir setiap malam
membahas masalah Gerombolan Golok
Hitam di balai desa. Namun rata-rata mereka mengalami jalan buntu karena tak ada
yang berani mencoba untuk
menghalau atau pun mengusir orang-
orang kejam itu.
Pernah Ki Lurah Sen Kawung sekali
waktu nekad untuk mengusir orang-orang itu dengan mengerahkan penduduk yang
mempunyai sedikit mental, namun mereka tak berdaya apa-apa ketika orang-orang
Gerombolan Golok Hitam itu mengamuk.
Malah banyak warganya yang meninggal atau pun luka parah.
Itulah sebabnya hingga saat ini,
Ki Lurah Sen Kawung tak lagi mencoba untuk menentang sepak terjang mereka.
Malah seakan dia memberikan kebebasan pada orang-orang Golok Hitam. Tak ada
jalan lain lagi, daripada mereka semua mati dibantai oleh orang-orang kejam itu.
Yang penting, orang-orang itu
tidak setiap hari berdatangan ke Desa Babakan Hijau. Ini masih memberikan mereka
sedikit bisa bernafas lega.
Tetapi bila orang-orang itu berda-
tangan, kesunyian yang mencekam akan terasa menggigit setiap jantung
penduduk. Dan Ki Lurah Sen Kawung hanya
bisa mendesah panjang saja bila
melihat keonaran itu terjadi. Dia
sudah tidak kuasa lagi untuk menentang gerakan orang-orang.
Dan pagi ini lima orang dari
anggota gerombolan perampok Golok
Hitam sedang berjalan ke sebuah rumah makan yang cukup ramai. Di Desa
Babakan Hijau, tepatnya di tengah desa sebenarnya cukup banyak terdapat rumah
makan yang lebih besar dan mewah.
Namun sebagian besar laki-laki
nampaknya lebih senang untuk makan di warung yang terletak di sudut jalan itu.
Semua itu disebabkan oleh Roro
Dewi, putri sang pemilik warung yang berwajah cantik jelita.
Kulitnya kekuningan, menandakan hawa gunung yang kerapkali menerpanya telah akrab dengan
kulitnya. Usianya kira-kira baru 17 tahun. Dia memiliki sepasang mata yang hitam
dan jernih. Alisnya pun hitam bak semut
beriring. Bibirnya yang mungil memerah dengan
hidung bangir di atasnya,
menambah kesempurnaan dari sosok tubuh Roro Dewi. Tubuhnya pun sedang mekar-
mekarnya. Dengan sepasang buah dada
yang gempal seakan ingin menampakkan kemekarannya. Dia adalah bunga Desa Babakan
Hijau, sekaligus bunga rumah makan milik ayahnya.
Sekali-sekali Roro Dewi suka pula
melayani para pengunjung rumah makan milik ayahnya itu, dan inilah yang membuat
para pengunjung menjadi senang dan kerapkali menyempatkan diri untuk berkunjung
di sana. Bagi mereka, bukan makanannya
yang menjadi sasaran utama, tetapi melihat kecantikan wajah dan keelokan tubuh
Roro Dewilah yang menjadi tujuan utama mereka. Di samping memang
hidangan yang ada di sana cukup lezat.
Dan setiap kali anggota
Gerombolan Golok Hitam berkunjung ke sana, Roro Dewi diharuskan berada di sana
dan melayani mereka. Sudah tentu ini sebenarnya merupakan satu siksaan bagi Roro
Dewi, karena dia tidak
pernah menyukai orang-orang yang kejam itu. Di samping itu pula, tangan-tangan
mereka suka amat jahil sekali hinggap pada bagian-bagian tubuhnya yang sensitif.
Terasa amat menyiksa sekali. Namun mau tidak mau dia memang harus melakukannya.
Karena kuatir orang-orang itu marah. Dan rumah makan milik ayahnya bisa dibuat porak
poranda. Berani menentang keinginan Gerombolan Golok Hitam, maka mautlah
taruhannya! Dan semua itu dilakukan dengan
pasrah saja oleh Roro Dewi. Kepasrahan yang sebenarnya amat dibencinya,
karena dia ingin sekali-sekali
berontak dari kungkungan orang-orang biadab dan kejam itu!
Kelima orang anggota Gerombolan
Golok Hitam itu kini nampak berdiri di muka halaman rumah makan itu. Membuat
orang-orang yang sedang makan menjadi melirik dengan cukup kecut. Apalagi ketika
kelimanya dengan masih terbahak mereka memasuki rumah makan itu dengan sikap
angkuh dan sombong.
Dan tertawa-tawa menduduki tempat
yang nampaknya sejak tadi tidak pernah diduduki oleh pengunjung yang lain.
Terlihat jelas kalau tempat itu
sepertinya memang disediakan khusus untuk orang-orang Golok Hitam.
Salah seorang dari sekian banyak
orang yang sedang menikmati makan pagi di rumah makan itu, terlihat satu
sosok tubuh bercaping sedang asyik pula menikmati makannya. Sosok itu berpakaian
putih-putih yang ringkas.
Dan di punggungnya terdapat sebuah golok yang sarungnya nampak terbuat dari
batang kayu yang berlapiskan timah kuning.
Wajah yang sebagian tertutup oleh caping itu hanya mendengus saja
melihat kesombongan lima orang laki-laki bertubuh besar yang baru datang
itu. "Hmm... siapa mereka?" desisnya dalam hati. Tetapi kemudian orang yang
mengenakan caping itu mengambil sikap tidak perduli. Santai saja dia
menikmati makannya.
Dia tak lain adalah Pandu atau
Pendekar Gagak Rimang yang sedang
singgah di Desa Babakan Hijau. Murid tunggal Eyang Ringkih Ireng dari
Gunung Kidul hanya sekilas memperhatikan sikap kelima orang itu, yang langsung
tidak berkenan di hati-nya.
Tetapi dia pun tidak perduli, buat apa memperdulikan mereka, toh aku tidak punya
silang sengketa dengan mereka.
Namun sikap tak acuh dan santai
yang diperlihatkan oleh murid Eyang Ringkih Ireng itu, lain halnya dengan para
pengunjung lainnya. Mereka
mendadak saja terlihat tidak bisa
bersikap santai seperti tadi. Malah kini mereka terlihat amat terburu-buru
dengan sekali-sekali melirik orang-orang itu dengan wajah ketakutan.
Lalu terlihat pula perlahan-lahan
satu per satu meninggalkan tempat itu.
Bahkan ada yang belum sempat
menghabiskan hidangannya sudah meninggalkan tempat. Dan bergegas pula
membayar. Semua itu disebabkan karena mereka tahu siapa orang-orang Golok Hitam
itu yang seringkali membuat
onar. "Hei... mengapa jadi terburu-buru cara mereka makan?" tanya Pandu dalam hati
yang melihat orang-orang di sana berkeliaran meninggalkan tempat itu.
Kini pandangan di rumah makan itu memang tidak terlihat seperti tadi.
Hanya tinggal beberapa orang saja yang berani nekad meneruskan makannya.
Termasuk Pandu yang kemudian tidak acuh kembali. Menikmati terus
hidangannya dengan nikmat dan tak
perduli. Tiba-tiba salah seorang dari
kelima orang itu yang masing-masing di pinggang mereka terdapat sebilah golok
tebal dengan sarung yang terbuat dari kulit berwarna hitam, berseru-seru sambil
menggebrak-gebrak meja.
Perbuatannya nampak kasar sekali.
Tetapi tak seorang pun yang berani menghalanginya, bahkan meliriknya.
Mereka seolah tidak merasa terganggu oleh suara berisik yang ditimbulkan akibat
meja yang dipukul-pukul.
Hanya Pandulah yang mengerutkan
keningnya, karena merasa makannya
menjadi terganggu.
"Siapa sebenarnya mereka ini"
Nampak sekali kalau orang-orang di sini takut pada mereka" Hmm... baiknya
kulihat saja apa yang akan dilakukan oleh mereka di sini."
Orang itu masih berseru-seru.
"Hei, Wayan Tua! Wayan Tua!!"
Keras. sambil menggebrak meja.
"Mengapa kau bersembunyi saja, hah"!
Cepat keluar!! Hidangkan makanan yang terlezat untuk tamu-tamumu yang
terhormat ini!! Wayan Tua! Ke mana kau sembunyikan batang hidungmu, hah"!
Keluar cepat!!"
Suara itu menggelegar dengan
keras. Pandu mendesis dalam hati.
"Sombong! Aku jadi penasaran siapa sebenarnya mereka ini?"
"Wayan Tua!! Keluar cepat!!"
Suara itu kembali menggelegar.
Pemilik rumah makan yang bernama Wayan Tua, terburu-buru ke luar sambil
membungkuk-bungkuk.
Jelas sekali kalau dia begitu
hormat dan ketakutan menghadapi para tamunya ini.
"Selamat datang, Tuan... selamat datang.,.." sapanya dengan nada takut-takut dan
rasa hormat yang luar biasa.
Bungkukannya seolah dia membungkuk pada seorang raja. "Maaf... maafkan saya,
Tuan... baru bisa keluar
sekarang.... Saya... saya... ah, saya sibuk, Tuan...."
Pandu bergumam kepada diri
sendiri. Hmm... rasanya aku menangkap gelagat tidak baik yang sedang terjadi di
desa ini. Ada apa gerangan" Baiknya aku lihat saja apa yang terjadi
kemudian... Benar-benar membuatku
penasaran...."
Orang-orang itu tertawa melihat
rasa hormat dan ketakutan yang
diperlihatkan Wayan Tua. Yang
berteriak tadi berkata lagi. Dia
bernama Penggekrawung. Wajah seram.
Penuh bintik-bintik kecil seperti
jerawat. "Cepat kau hidangkan untuk kami makanan yang termahal dan terlezat!
Dan jangan lupa... berapa kendi arak yang terlezat!"
"Baik, baik.... Tuan...."
Wayan Tua akan berbalik lagi ke
dapur, tetapi tangan Penggekrawung dengan cepat meraih tangannya.
"Hei, mau kemana kau"!"
bentaknya. "Ke... ke belakang, Tuan...."
kata Wayan Tua sambil tetap
membungkuk. "Mau apa"!"
"Meng... menghidangkan makanan untuk tuan-tuan sekalian. Bukankah begitu, Tuan?"
Penggekrawung tertawa ngakak.
"Ha ha ha... kau pikir kami mau menikmati pelayananmu, Wayan Tua"! Ha ha ha...
tidak, kami tidak ingin
dilayani olehmu, Wayan Tua...."
Wayan Tua terburu-buru berkata,
"Iya... iya... maafkan saya, Tuan...
pelayan saya yang akan melayani tuan-tuan...."
Tiba-tiba Penggekrawung mengeram.
"Kau sudah lupa dengan segala
kebiasaan kami, Wayan Tua! Kau sudah lupa"!"
"Saya... saya...."
"Hhh! Mana putrimu si Roro Dewi"
Kenapa dia tidak keluar untuk
menyambut kedatangan kami, hah" Mana dia" Suruh cepat ke luar! Atau... kami
obrak-abrik rumah makan ini" Cepat, Wayan Tua!!"
. "Ma... maafkan saya, Tuan.
Putri saya Roro Dewi belum pulang dari belajar menari...."
"Hei, sejak kapan dia belajar menari, hah"! Kau jangan coba-coba menipu kami,
Wayan Tua"!"
"Sungguh, Tuan... sungguh... baru seminggu lamanya dia belajar menari."
Penggekrawung terbahak.
"Aduh, Dewiku... rupanya kau
belajar menari, ya" Hhh! Di mana dia belajar, hah"!"
"Di Padepokan Melati Putih milik Nyai Ratih Alas Kembang, Tuan..."
sahut Wayan Tua hormat. Penggekrawung terbahak.
"Ha ha ha... Nyai Ratih Alas
Kembang... bagus, bagus... kalau


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu aku tidak marah. Ya, ya...
mudah-mudahan dari hasil belajar
menarinya tubuhnya semakin indah untuk dipandang. Hhh! Wayan Tua... cepat
hidangkan masakan yang telah kami
pesan." Wayan Tua terburu-buru masuk ke
dalam. Kelima orang itu tertawa keras, merasa lucu karena orang itu nampak
begitu ketakutan. Gemetar dan pucat wajahnya.
"Ha ha ha... tidak seorang pun rupanya yang berani menghalangi semua perbuatan
kita!" terbahak Penggekrawung.
"Benar, Gerombolan Golok Hitam akan terus menjadi momok di Desa
Babakan Hijau!!"
Orang-orang itu terbahak.
Mendadak muncul seorang pengemis
tua ke rumah makan itu. Tepat ketika hidangan yang dipesan kelimanya
datang. Sudah tentu kelima orang itu menjadi gusar, karena pakaian dari pengemis
gembel itu mengeluarkan bau busuk. Bisa membuat selera makan
menjadi hilang seketika.
Salah seorang dari kelimanya
berdiri. "Wayan Tua!!" geramnya keras.
Dari dalam kembali Wayan Tua
muncul dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa, Tuan" Ada apa"!"
serunya takut-takut, kuatir hidangan yang mereka sediakan tidak mengundang
selera bagi kelima orang itu.
"Usir pengemis itu, cepat!!"
Wayan Tua melihat ke ambang
pintu. "Oh, baik, Tuan... baik.,.."
Wayan Tua adalah seorang laki-
laki setengah baya yang baik hati.
Pengemis itu memang setiap hari datang ke rumah makannya. Memang dia sendiri
yang menyuruhnya datang untuk dibagi sisa makanan.
Dan keduanya telah menjalin
persahabatan yang akrab.
Tetapi kali ini si pengemis
muncul di saat kelima orang Gerombolan Golok Hitam datang. Dan tepat di saat
mereka hendak makan.
Ini sangat gawat!!
Maka dengan berat hati Wayan Tua
mengusir pengemis itu yang tentu saja menjadi keheranan.
"Apakah saudara telah berubah, Wayan Tua?" tanyanya dengan suara tersendat.
Matanya menatap heran. Dan penuh bertanya-tanya.
Wayan Tua mendesah panjang.
Sebenarnya dia tidak enak melakukan hal ini, namun dia pun tak mau orang-orang
Golok Hitam menjadi marah dan mengobrak-abrik rumah makannya.
Lalu katanya dengan suara pelan,
"Maafkan aku, Saudara... ada baiknya kau pergi saja dari tempat ini
dulu...." "Kalau aku tidak lapar, sudah tentu aku tidak ke mari, Wayan
Tua...." "Aku mengerti, Saudara... aku
mengerti... Bahkan aku sendiri yang mengundangmu...."
"Lalu mengapa kau melakukan hal ini padaku, Wayan Tua?"
"Aku...."
"Usir jembel itu, Wayan Tua!!"
Terdengar seruan keras dari dalam.
Wayan Tua semakin gugup. Wajahnya
berkeringat. Mau tak mau dia harus mengusirnya.
Harus. Maka dengan
bengisnya walau kelihatan gugup dan gemetar, dia mengusir pengemis itu.
Hatinya pilu sekali melakukan satu perbuatan yang tidak sesuai dengan hatinya.
Tetapi pengemis itu hanya berdiri
saja mematung dengan tatapan heran.
Tak beranjak setapak pun.
"Wayan Tua...." desisnya pelan.
"Maafkan aku, Saudara... aku
terpaksa melakukannya...."
"Kau sampai sekejam itu, Wayan Tua...."
"Maaf... maafkan aku, Saudara...
pergilah... pergilah dari sini...."
desis Wayan Tua serba salah.
"Perutku lapar, Wayan Tua...."
"Ya, ya... aku mengerti...."
"Kau tidak kasihan padaku, Wayan Tua?"
"Saudara... kau... kau nanti saja kembali lagi ke sini...."
"Kau lebih mementingkan rumah makanmu daripada indahnya sebuah
persahabatan, Wayan Tua...."
Mendengar kata-kata itu hati
Wayan Tua menjadi pilu sekali. Apa yang bisa diperbuatnya sekarang"
"Bukan... bukan itu maksudku...
aku hanya meminta pengertianmu...."
kata Wayan Tua bagai desahan belaka.
Dia melirik ke dalam dan melihat
Penggekrawung melotot dingin.
"Saudara... mengertilah akan posisiku sekarang ini... pergilah... pergilah dari
sini...." "Persahabatan yang telah kita jalin dengan indahnya ini, harus
terputus begitu saja... Wayan Tua...
aku sebenarnya kemari bukan karena lapar dan ingin meminta makan...
tetapi sebagai sahabat yang selalu rindu akan sahabatnya. Kau mengerti, Wayan
Tua?" "Saudaraku... mengertilah...
kalau aku tidak menuruti perintah
orang-orang itu... mereka akan
mengganggu putriku yang bernama Roro Dewi. Aku tak mau hal itu sampai
terjadi. Aku sangat mencintainya,
Saudaraku.... Kuminta pengertianmu dalam hal ini...."
"Aku memang tidak menyesali semua ini... dan maafkan aku bila
kedatanganku ini hanya menyusahkan mu...."
"Saudara! Bukan, bukan itu
maksudku... tetapi...."
"Bangsaaaaattt." Terdengar bentakan yang keras dari dalam hingga Wayan Tua
merasakan jantungnya berhenti
berdetak sesaat. Teman Penggekrawung yang bernama Rembaga, sudah berdiri di
samping Wayan Tua. Matanya melotot marah kepada pengemis itu.
Tetapi si pengemis hanya berdiri
dengan tenangnya. Sedikit pun tidak kelihatan ketakutan seperti yang
dialami Wayan Tua. Di kursinya, Pandu yang berpura-pura
masih menikmati
hidangannya, melirik. Sejak tadi
sebenarnya dia sudah tidak menyukai sepak terjang orang-orang itu. Dan sekarang
dia menduga, sesuatu akan segera terjadi di sini.
Makanya, bila sampai si pengemis
mengalami hal-hal yang tidak
mengenakan, Pandu akan siap untuk
membantu! Dia sendiri tidak bersimpati
terhadap orang-orang kasar itu.
Didengarnya bentakan Rembaga.
"Jembel hina! Tidak tahu diri!
Mengapa kau masih berada di sini,
hah"!"
Tetapi pengemis itu tetap ter-
diam. Wayan Tua menjadi semakin
kebingungan. Dia kuatir terjadi hal yang mengenakan terhadap si pengemis yang
menjadi sahabatnya. Wayan Tua pun menyesali mengapa si pengemis datang di saat
orang-orang Gerombolan Golok
Hitam hendak makan.
Melihat sikap diam yang
diperlihatkan si pengemis, membuat Rembaga menjadi naik pitam.
"Jembel busuk! Cepat pergi dari sini sebelum kemarahanku memuncak!!"
Tetapi si pengemis tetap diam
saja. Hanya menatap Rembaga dengan tatapannya yang menua dan sendu. Hal ini
membuat Rembaga semakin naik
darah. Ia seakan diledek dengan tatapan
seorang jembel hina macam pengemis itu. Dan dia merasa, semua itu harus dibayar
dengan kekerasan atau... nyawa sebagai taruhannya!!
"Jembel busuk!! Cepat pergi dari sini... atau... kubunuh kau!!"
Tetapi si pengemis tetap saja
berdiri di hadapannya. Hal itu membuat Wayan Tua menjadi ketakutan. Dan dia
tidak tahu apa yang akan diperbutnya.
Sementara Pandu semakin ber-
waspada. Dan melihat sikap si pengemis
yang nampak keras kepala membuat
Rembaga tidak kuasa lagi untuk menahan amarahnya.
"Bangsat!!"
Dan dengan tiba-tiba saja
tangannya sudah bergerak.
"Des!!"
Dengan keras kepalan itu mengenai
wajah si pengemis yang langsung
terhuyung dengan bibir berdarah.
Tetapi sedikit pun tak keluar keluhan atau jeritan kesakitannya.
Hal ini makin membuat Rembaga
naik pitam. "Bangsat kau, Jembel hina!!"
Kembali dia menggerakkan
tangannya! Wajahnya murka memerah. Keme-
rahannya sudah naik keubun-ubun
melihat si pengemis itu. Dan dia
merasa tak ada ampun lagi bagi si
pengemis untuk bisa menghindari
dirinya. Tangannya pun siap untuk
menghajar kembali!
"Des!"
Kembali pukulannya menghantam
wajah si pengemis. Bibir itu semakin berdarah, namun tak sepatah kata
mengaduh pun yang ke luar dari bibir yang berdarah itu.
Wayan Tua mendesah pilu. Dia
bermaksud hendak menolong, tetapi
kuatir dengan Rembaga yang akan
berbalik marah padanya. Dia hanya
berdiri dengan sikap serba salah.
Dia hanya memekik menahan pilu
melihat dengan telengasnya Rembaga menjatuhkan tangan dingin pada
pengemis itu, yang menerima tanpa
mampu membalas. Dan hanya menahan rasa sakitnya tanpa mengeluarkan seruan
kesakitan sedikit pun.
Sudah tentu Rembaga yang sedang
naik pitam itu menjadikan si pengemis bulan-bulanannya. Tinju dan
tendangannya pun berulangkali mengenai bagian-bagian tubuh si pengemis.
Yang jatuh bangun dibuatnya.
Wayan Tua sendiri sudah tidak
tahan melihat perlakuan Rembaga pada sahabatnya itu. Dia buru-buru berlari ke
dalam dan bersembunyi di kamarnya dengan perasaan bersalah yang amat sangat.
Mengapa dia tidak berani
membantu" Mengapa dia harus mengusir sahabatnya" Mengapa
dia membiarkan sahabatnya dijadikan bulan-bulanan seperti itu"
Ah, semua ini gara-gara orang-
orang kejam itu. Orang-orang yang sepak terjangnya melebihi binatang!
Bila saja dia tidak mempunyai putri seperti Roro Dewi, tentunya dia tidak akan
pernah mengalami hal susah
seperti ini. Wayan Tua akan menyayangi
putrinya. Dan dia tidak mau putrinya diganggu orang-orang itu.
Ah, persahabatan yang indah itu
pun terputus gara-gara orang-orang kejam itu! Wayan Tua amat menyesali semua
yang terjadi. Diluar, si pengemis masih
dijadikan bulan-bulanan oleh Rembaga.
Teman-teman Rembaga pun ikut
mempermainkan si pengemis. Mereka
tertawa-tawa seperti tengah memainkan satu permainan yang mengasyikan. Si
pengemis benar-benar dijadikan bola oleh mereka.
Dia dihajar ke sana ke mari
hingga terhuyung-huyung.
"Ha ha ha... lebih baik kau
mampus saja, Jembel busuk!!" bentak Rembaga sambil menendang si pengemis.
Tubuh tua itu pun terhuyung dan salah seorang temannya siap menyambut tubuh itu
dengan satu tendangan.
Namun mendadak saja dia merasakan
tubuhnya kaku. Dan ambruk seperti
pohon pisang. Sudah tentu teman-temannya
terkejut melihat hal itu.
Penggekrawung bergegas memeriksa tubuh temannya. Dia menemukan sebuah totokan di
salah satu urat belakang kawannya.
Sebuah totokan yang sangat hebat.
Dilakukan dari jarak jauh. Dan
hanya seorang yang mempunyai tenaga dalam yang tinggi saja yang mampu
melakukan hal itu.
Penggekrawung lebih lebih
terkejut lagi setelah menemukan sebuah tusuk gigi di dekat tubuh kawannya yang
ambruk kaku itu.
Luar biasa! Hanya dengan tusuk
gigi temannya ditotok dari jarak jauh!
Penggekrawung menggeram marah.
"Bangsat! Siapa yang melakukan
hal ini"!"
Teman-temannya pun kaget. Mereka
mengerumuni tubuh kawannya yang kaku itu. Mereka seakan melupakan si
pengemis yang tadi dijadikan bulan-bulanan.
"Bukan main! Yang melakukannya hebat sekali!"
"Pasti berilmu tinggi!"
"Dan hanya dengan tusuk gigi dia dapat melakukannya!!"
Seruan-seruan itu terdengar dari
mulut mereka yang mau tak mau menjadi kagum pula. Satu pameran tenaga dalam yang
hebat diperlihatkan seseorang yang menotok dari jarak jauh itu.
Penggekrawung menggeram jengkel.
Dia segera membebaskan temannya dari totokan itu.


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua disangkanya demikian mudah.
Namun setelah berkali-kali dia
melakukannya, temannya itu belum juga terbebas dari totokan itu.
"Bangsat!!" makinya dan berusaha kembali. Wajahnya mendadak keluar
keringat. Dia pun berusaha sekuat tenaga.
Setelah dia mengeluarkan tenaga
dalamnya hampir semua yang dimili-
kinya, barulah totokan itu berhasil dibebaskan.
"Anjing buduk! Siapa yang mau jual tampang padaku seperti ini"!"
makinya geram. Dia mengalirkan sedikit
tenaga dalamnya pada temannya itu, yang langsung merasakan kaku di
tubuhnya sebagian menghilang.
Setelah itu dia bergegas masuk ke
dalam, menduga-duga siapa kiranya yang telah melakukan totokan itu.
Ada empat orang laki-laki di
rumah makan itu. Dan kesemuanya sudah selesai menikmati hidangan.
Salah seorang dengan santainya
bangkit hendak membayar namun tiba-tiba Penggekrawung mencabut golok dari
pinggangnya dan meloncat ke hadapan orang itu. Mengacungkannya di wajah orang
itu dengan tatapan garang.
"Jawab yang jujur! Kepandaian apa yang kau gunakan untuk menotok
temanku!" Sudah tentu orang itu menjadi
ketakutan. Dia yang tidak tahu apa-apa menjadi sasaran.
"Katakan cepat!"
"Apa... apa yang telah saya
lakukan," desisnya ketakutan dengan wajah pucat.
"Jangan pura-pura! Nanti kutebas lehermu!"
"Saya... saya...."
"Bangsat hina!!" Penggekrawung mengangkat tangannya, dan mengibaskan goloknya
dengan kejam. Tetapi mendadak sebuah sendok
melayang dan menghalangi laju kibasan golok itu. Lemparan yang penuh dengan
sentakan tenaga, dan hanya bisa
dilakukan oleh seseorang yang ahli, karena lemparan itu begitu tepat di tepi
tajamnya golok Penggekrawung.
"Trang!"
Penggekrawung sendiri terkejut,
karena golok yang dipegangnya sampai bergetar.
Teman-temannya yang sudah masuk
pun terkejut melihat hal itu. Dan yang mengherankan, mereka tak melihat siapa
yang telah melemparkan sendok itu!
Sementara itu si orang tadi yang
nasibnya sudah di ambang maut, segera melarikan diri
ketika mendapat
kesempatan. Begitu pula dengan yang lain. Satu persatu dengan hati-hati mereka
meninggalkan tempat itu dengan bergegas.
Dan tinggal Pandu yang juga
sedang bersiap-siap.
Di dekatnya, kelima anggota gerombolan itu saling pandang. Hanya seorang yang berani masih
bertahan di sini. Dan tanpa
dikomando serentak mereka mendekati Pandu.
Dan mengurungnya dengan sikap
angker. Pandu masih tenang saja, tak
sedikit pun nampak kepanikan di
wajahnya yang ganteng. Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum kepada orang-orang
itu. Penggekrawung menggeram, di
sangkanya pemuda ini akan langsung tunduk.
"Hhh!" dengusnya marah.
Pandu masih tetap tersenyum.
"Maaf, Tuan-tuan yang perkasa.
Saya hendak pergi dari sini," katanya hormat.
"Bangsat! Siapa kau orang muda"!
Begitu lancang kau terhadap kami! Kau belum tahu rupanya nama Gerombolan Golok
Hitam!" Pandu masih tetap tenang.
"Yah... saya baru mengetahuinya sekarang. Maafkan saya, Ki Sanak. Saya hendak
membayar apa yang telah saya makan."
"Bangggsaaat!!" Tanpa banyak cakap lagi, Penggekrawung menyabetkan goloknya ke
arah leher Pandu. Gerakannya sangat cepat dan bertenaga.
Tetapi dengan mudah saja Pandu
bersalto menghindari serangan itu. Dan tanpa membalikkan tubuhnya melemparkan
dua keping uang yang tepat masuk ke tempat penyimpanan uang di kasir itu.
Orang-orang itu terkejut.
"Kakang Penggekrawung!" seru Rembaga setelah pulih dari keter-kejutannya.
"Pemuda lancang itu yang telah membuat ulah!"
Penggekrawung sendiri juga
tanggap. Dia cepat berkelebat
mengurung Pandu yang sudah berada di halaman depan rumah makan itu. Teman-
temannya pun mencabut golok mereka masing-masing.
Pandu memperhatikan dengan
tatapan tenang.
"Ada apalagi ini, Ki Sanak"
Apakah kalian belum puas menghajar pengemis itu!" seru Pandu sambil menunjuk
si pengemis yang masih
tergeletak di tanah dengan tubuh penuh luka dan darah.
"Aku tak suka banyak cakap, Anak muda" Siapa kau sebenarnya, heh?"
"Namaku Pandu...."
"Hhh! Kau sudah berani lancang terhadap kami! Kau mengganggu
kesenangan kami! Bersiaplah untuk
mampus sekarang juga!"
Penggekrawung benar-benar seorang
yang pemarah. Dia langsung bergerak dengan sabetan goloknya. Kembali Pandu
menghindari serangan itu. Kali ini hanya memiringkan tubuhnya. Melihat serangan
kakangnya luput, yang lain pun segera mengibaskan senjata mereka masing-masing.
Namun kembali Pandu memperlihatkan kelincahannya dalam berkelit.
Dia telah mengeluarkan jurus
berkelitnya yang ampuh, Kijang Kumala.
Serangan-serangan golok itu berkali-kali tidak mencapai sasaran. Bahkan terasa
kalau orang-orang itu hanya membuang-buang tenaga saja. Pandu
hendak membuat orang-orang sombong itu
kapok. Makanya dia pun mulai
mengeluarkan jurus-jurus silatnya
dalam tahap rendah. Pukulan Patuk
Gagaknya yang sangat ampuh. Dalam
gerakan yang pelan itu, lawannya saja sulit untuk melumpuhkannya, apalagi kalau
sudah pada tingkat tinggi. Jurus Patuk Gagak Rimangnya bisa berkelebat dengan
cepat. Pandu hanya mengandalkan jurus berkelitnya saja yang bagai
seekor kijang menghindari sergapan pemburu. Begitu tangkas dan lincahnya.
"Ha ha ha.
inikah anggota Gerombolan Golok Hitam yang ditakuti itu?" ejek Pandu sambil menghindari
sambaran golok lawan-lawannya.
Orang-orang itu semakin geram,
terutama Penggekrawung. Wajahnya merah padam karena marahnya sudah membludak.
Ingin dicincang saja pemuda bangsat ini.
Tetapi sampai sekian jurus,
keadaan belum berubah. Pandu masih mempermainkan lawan-lawannya.
Namun ketika dilihatnya matahari
sudah mulai menukik, barulah dia
memberikan sedikit hajaran pada lawan-lawannya.
"Des! Des!"
Dua orang ambruk terkena
pukulannya. Dan dengan cepat dia menghajar
yang lain. Orang-orang itu bingung
melihat gerakan Pandu yang berubah menjadi sangat cepat.
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Yang lain pun terhuyung dengan
dada terasa seakan mau pecah. Begitu pula dengan Penggekrawung. Tetapi daya
tahannya lumayan besar.
Dia cepat bangkit dan menerjang
dengan pekikkan keras. Namun Pandu hanya perlu bersalto sekali dan
menendang memutar hingga Penggekrawung tersuruk ke depan termakan tenaganya
sendiri. Tubuhnya ambruk ke tanah
dengan keras. Dan tidak bangun lagi.
Orang bengis itu pingsan. Pandu
mendengus. "Hhh! Manusia-manusia durjana!
Seenaknya saja berbuat dosa! Manusia-manusia yang tak pernah mengetahui
tingginya langit dan dalamnya bumi!"
Setelah itu Pandu cepat-cepat
menolong si pengemis yang sekarang kelihatan tersenyum lega. Dia merasa
bersyukur karena ada yang berani
menolongnya. Kini dia tertawa kecil melihat
orang-orang yang menghajarnya tadi sudah lumpuh semua.
Wayan Tua yang mengintip dari
dalam, buru-buru ke luar. Dia terkejut melihat orang-orang Golok Hitam yang
bergeletakan di halaman depan rumah
makannya. Ini kiamat namanya!
Berbahaya sekali.
Amat berbahaya.
Dia berpaling pada Pandu dan
berkata gugup. "Oh, anak muda... lekas, lekas kau tinggalkan tempat ini... sebelum teman-teman
mereka datang...."
Pandu hanya tersenyum. "Bapak...
tenanglah...."
"Bukan begitu, Anak muda. Kau belum tahu siapa mereka...."
"Saya tahu, Bapak... mereka
orang-orang Golok Hitam yang sering buat onar."
"Nah, mengapa kau tidak juga
pergi dari tempat ini setelah kau
melakukan semuanya...?"
"Baiklah, Bapak... semua ini jadi urusan saya...."
"Cepat Anak muda... cepat...."
Pandu tidak ingin membuat Wayan
Tua menjadi gugup dan kebingungan.
Lalu dia menolong si pengemis itu
bangkit dan membantunya naik ke
kudanya. Lalu dia sendiri segera
melompat dan duduk di belakang si
pengemis. Sebelum menggebrak lari kudanya
dia berkata pada Wayan Tua yang
menjadi ketakutan karena peristiwa itu.
"Bapak... bila ada apa-apa, nanti
saya yang akan bertanggung jawab...."
"Iya, iya... pergilah dari sini, Anak muda...."
Pandu menggebrak lari kudanya.
Dia merasa kasihan melihat Wayan Tua menjadi gugup begitu. Tetapi Pandu tidak
bisa menahan diri lagi bila
melihat kekerasan dan kejahatan di depan matanya.
Kalau begitu siapa yang hendak
disalahkan. Dia harus menggebrak kudanya
membawa si pengemis yang
menelungkupkan tubuhnya di dada kuda itu.
Sementara itu ketika Pandu dan si
pengemis sudah menjauh, Wayan Tua terburu-buru masuk ke dalam dan
menutup warungnya saat itu juga.
Dia tidak mau terjadi apa-apa.
Dibiarkannya saja lima orang anggota Golok Hitam tergeletak di tanah.
Namun Wayan Tua tahu, semua ini
pasti ada kelanjutannya. Dan dia cuma bisa mendesah panjang ketika ingat apa
kelanjutan dari peristiwa ini.
Begitu menakutkan untuk
dibayangkan! Wayan Tua hanya bisa berdoa, agar peristiwa ini hanya sampai di sini.
Tetapi mungkinkah doanya itu terkabul, sementara dia tahu siapa orang-orang
Golok Hitam itu"
Tetapi dia tetap terus berdoa.
Karena hanya itu yang bisa
dilakukannya. Dia pun tidak tau harus melakukan apalagi! Ah, Gusti Allah...
lindungilah kami semua dari
cengkeraman orang-orang kejam itu"
* * * 2 Kuda yang digebrak Pandu terus
berlari dengan cepat. Sementara tubuh si pengemis tua itu tergolek lemah di
depannya. Pandu memacu kudanya
sedemikian cepat, dia harus segera mengobati luka-luka yang diderita si pengemis
tua ini. Lalu diarahkannya kudanya ke luar
dari Desa Babakan Hijau, menuju ke sebuah hutan kecil. Di sana Pandu
menghentikan kudanya. Lalu melompat turun sambil membopong tubuh yang nampak
lemah. Di atas rerumputan, dia mengobati
luka-luka si pengemis dan menca-
rikannya buah-buahan yang banyak
terdapat di hutan itu untuk mengisi perut.
Si pengemis itu makan dengan
lahapnya, nampak jelas kalau dia lapar sekali.
Pandu yang masih mengenakan
capingnya, tersenyum. Senang dia
melihat pengemis itu makan dengan
lahapnya. Tiba-tiba pengemis itu
menghentikan makannya, dia menatap Pandu. "Kau tidak makan, Anak muda?"
Pandu membuka capingnya dan
membiarkannya tergantung di lehernya dan tersampir di punggungnya.
"Aku sudah, Paman... habisilah buah-buahan itu... kau nampaknya lapar
sekali...."
"Aku memang lapar sekali, Anak muda...."
"Kau habisilah, Paman...."


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si pengemis itu kembali menikmati
buah-buahan yang diambil Pandu tadi di hutan. Dan setelah menghabisi sisa buah
yang terakhir dia berucap sambil mengusapkan mulutnya dengan punggung tangannya.
"Terima kasih, Anak muda...."
Pandu tersenyum.
"Maafkan saya, Paman... siapakah paman ini sebenarnya?" ,
"Saya hanya seorang pengemis, Anak muda...."
"Maksud saya... mengapa paman tidak pergi saja daripada disiksa oleh orang-orang
itu?" Pengemis itu tersenyum. Sungguh,
Pandu melihat sorot mata yang begitu arif dan bijaksana dari mata yang
nampak sudah menua itu.
Dan entah mengapa hati Pandu
bergetar melihatnya. Mengingatkannya
pada seseorang, seorang kakek yang hampir sepuluh tahun mendidik dan
menggemblengnya ilmu kanuragan.
Pertapa sakti yang bermukim di Gunung Kidul, Eyang Ringkih Ireng. Guru yang amat
dihormatinya. Guru yang
memberinya segudang nasehat tentang hakekat hidup yang sesungguhnya. "Aku rindu
padamu, Eyang...." desahnya dalam hati.
Didengarnya suara si pengemis
menjawab pertanyaannya.
"Anak muda... apalah yang dapat kuperbuat untuk menghadapi orang-orang bengis
seperti mereka?" katanya masih tetap tersenyum.
"Anak muda... bagi orang seperti aku, biasanya hanya mandah saja
diperlakukan macam apa pun oleh orang-orang seperti itu. Karena aku tak
punya kebisaan apa-apa. Tetapi yang perlu kau ingat, Anak muda... bila Gusti
Allah belum menghendaki nyawa tuaku ini, hingga kapan pun aku tak akan pernah
mati. Nyawaku akan tetap bersatu di jasadku. Yah... sekali pun orang-orang tadi
berbuat kejam padaku.
Tetapi bila Gusti Allah menghendaki nyawaku, tanpa perlakuan orang-orang itu pun
aku bisa mati. Bahkan... saat tidur pun bila Dia menghendaki
nyawaku, aku tak akan pernah bangun kembali...."
Pandu menatap dalam kedua mata
tua itu. Dilihatnya lagi bibir itu bergerak dan bersuara lagi.
"Mereka memang orang-orang yang kejam, Anak muda. Tetapi... memang sudah takdir
mereka seperti itu. Hanya yang disayangkan... mereka tidak mau mengubah takdir.
Bukankah kau tahu, Gusti Allah tidak akan pernah merubah nasib seseorang atau
pun suatu kaum, bila dia atau mereka tidak pernah mau merubahnya.... Kau paham
itu" Kau tentunya amat paham sekali, Anak
muda...." Pandu tercenung. Dia seakan tidak percaya kata-kata itu keluar dari
mulut pengemis ini. Hmm... siapakah pengemis ini sebenarnya"
Yang membuatnya semakin heran
saat dia mengobati pengemis tadi. Dia sadar kalau sesungguhnya pengemis ini
bukanlah pengemis sembarangan. Tadi pun ketika dia mengobati luka-luka pengemis
itu, dia menjadi heran karena pengemis itu nampak tidak apa-apa.
Seolah luka-luka akibat perlakuan
orang-orang kejam itu lenyap dengan sendirinya.
Jadi dia sebenarnya bukan
mengobati, malah membersihkan tubuh si pengemis dari debu dan kotoran. Dan baru
sekaranglah Pandu tanggap kalau pengemis ini bukan pengemis
sembarangan adanya.
Jadi siapa sebenarnya si pengemis
ini" Tentunya dia adalah seorang sakti yang tengah menyamar. Ah, ini semakin
membuat Pandu insyaf, kalau masih
banyaknya orang sakti yang berlagak dan tidak memamerkan keberadaan mereka yang
sesungguhnya. Pandu hendak bertanya siapa
pengemis ini sebenarnya, tetapi seolah tahu apa yang hendak ditanyakannya,
pengemis itu sudah lebih dulu berkata:
"Kau tidak perlu mengetahui
diriku yang sebenarnya saat ini, Anak Muda. Yang kau perlu tahu, akulah yang
sekarang ini. Yah... suatu saat nanti kau pasti akan tahu siapa aku ini,
Pandu...."
Tercengang Pandu segera berkata:
"Maafkan aku, Paman... sebenarnya aku sungguh-sungguh amat penasaran.
Tetapi...yah, aku jadi maklum
sekarang."
Pengemis itu tersenyum.
"Hmmm... aku kagum denganmu, Anak muda. Siapakah sebenarnya namamu...?"
"Namaku, Pandu, Paman...."
"Hmm... Pandu, tingkah lakumu mencerminkan satu bentuk kepribadian yang hakiki.
Satu bentuk kepribadian yang welas asih dan penuh kewibawaan."
"Paman terlalu memujiku...."
"Jarang aku menjumpai anak muda seperti kau ini, Pandu. Dan sungguh-sungguh
kukatakan, kalau aku amat
kagum terhadapmu...."
"Ah, aku biasa saja, Paman.
Bahkan mungkin aku tidak seperti yang paman duga...."
Pengemis itu terbahak. "Ha ha ha... kata-katamu yang merendah itu sudah
membuktikan bahwa kau
sesungguhnya adalah pemuda yang sopan dan bijaksana. Ya, ya... aku
menyukaimu, Pandu...."
"Terima kasih, Paman. Aku pun menyukai orang seperti kau ini,
Paman...."
Pengemis itu manggut-manggut.
Matanya lekat menatap Pandu, seolah hendak menembus caping yang menutupi
wajahnya. Menyadari hal itu, Pandu pun
segera membuka capingnya.
"Pandu... ada yang hendak ingin kutanyakan padamu tentang satu hal."
"Apakah itu, Paman?"
"Kau tidak marah, karena kupikir ini tentunya menyangkut dirimu?"
"Aku belum bisa mengatakan aku akan marah atau tidak, kalau aku belum tahu apa
yang hendak paman tanyakan itu...."
"Baiklah... kulihat di punggungmu ada sebilah golok yang nampaknya aku kenal."
"Oh!"
"Kau tidak perlu terkejut,
Pandu...."
"Paman... bukankah aku belum
memperlihatkan golok yang ada di
punggungku ini padamu. Lalu bagaimana kau bisa yakin sekali kalau kau amat
mengenai golok ini?"
"Ya, aku yakin hal itu. Yakin sekali. Aku yakin mengenai golok yang ada di
punggungmu!"
"Sungguhkah, Paman?"
"Ya, aku mengenalnya."
Pandu hanya terdiam.
"Boleh aku melihat golok itu, Pandu?"
Kali ini kelihatan jelas kalau
Pandu sepertinya
kebingungan untuk
menjawab. Golok yang ada di
punggungnya adalah golok
pemberian gurunya, Eyang Ringkih Ireng yang
berdiam di Bukit Paringin, atau bagian dari Gunung Kidul.
Terus terang sebenarnya Pandu
tidak mengerti tentang senjata yang diberikan dari gurunya. Karena hampir setiap
orang merasa mengenal golok itu. Padahal dia sendiri tidak tahu ada apa
sebenarnya dengan golok itu.
Ada apa di balik rahasianya. Hal
itulah yang membuat Pandu menjadi
berhati-hati pada siapa pun, karena dia yakin, nampaknya banyak orang yang
berminat untuk merebut golok ini dari tangannya.
Pandu bukanlah tidak mempercayai
pengemis yang telah membuatnya
tertarik untuk mengetahui siapa
sesungguhnya pengemis ini. Tetapi dia tidak ingin terjadi kesulitan gara-gara
Golok Cindarbuana ini.
Sebenarnya hingga saat ini Pandu
belum mengerti dan tahu ada rahasia apa sesungguhnya di balik Golok
Cindarbuananya ini. Ada rahasia apa"
Mengapa banyak yang tertarik
terhadap goloknya" Pengemis itu
tersenyum. Dan lagi-lagi seperti tahu apa jalan pikiran yang ada di benak Pandu,
pengemis itu berkata:
"Kalau kau ragu-ragu untuk
memperlihatkannya padaku... tidak apa-apa, Pandu. Aku sudah cukup puas
melihatnya dari sini. Dan keyakinanku semakin bertambah, karena aku benar-benar
yakin kalau golok itu amat
kukenal...."
"Maafkan aku, Paman...."
"Aku mengerti. Dan kalau boleh, aku akan menebak saja golok itu.
Yah... aku makin bertambah yakin
sekarang, golok yang ada di punggungmu itu adalah Golok Cindarbuana. Benarkah
dugaanku, Pandu?"
"Yah... begitulah, Paman.... Kau tidak salah menebak golok apa yang ada di
punggungku ini...."
"Oh, Tuhan... golok itu ternyata masih ada di dunia ini. Golok
legendaris yang abadi sampai kapan pun juga," kata pengemis itu seperti mendesah
lega. "Kau amat beruntung
memilikinya, Pandu...."
"Terima kasih, Paman...."
Dan seperti ingat akan sesuatu,
pengemis itu berkata:
"Maaf, Pandu... ada hubungan apa kau dengan Eyang Ringkih Ireng majikan Gunung
Kidul?" "Paman!" seru Pandu terkejut.
Pengemis itu pun mengenal gurunya.
Keyakinannya tentang siapa pengemis ini semakin bertambah besar. Tentunya
pengemis ini bukan pengemis sembarangan adanya.
"Maafkan aku, Pandu... bila
pertanyaanku itu membuatmu terkejut."
"Tadi aku memang terkejut,
Paman.... Tetapi sekarang tidak.
Karena aku yakin, kau tentunya adalah seorang sakti yang tengah
menyamar...."
Pengemis itu terbahak.
"Ha ha ha... kau salah besar, Pandu... aku hanya seorang pengemis, yang kerjanya
hanya meminta-minta...."
Pandu tersenyum.
"Baiklah, Paman... kujawab
pertanyaanmu itu. Yah, Eyang Ringkih Ireng adalah guruku...."
"Ha ha ha... pantas, pantas kau memiliki golok sakti itu. Ha ha ha...
Ringkih.... Ringkih... ternyata kau masih hidup. Di usia kita yang sama-sama
senja ini kita tak pernah lagi saling menyambangi satu sama lain....
Bagaimana kabar si Ringkih itu
sekarang, Pandu?"
"Setahu saya.... Guru dalam
keadaan baik-baik saja, Paman. Paman mengenalnya?"
"Ya, tentu saja aku mengenalnya.
Ah, sudahlah... kau amat beruntung dapat mewarisi Golok Cindarbuana,
Pandu...."
Lagi-lagi Golok Cindarbuana. Ah,
golok itu berarti benar-benar
menyimpan satu misteri dan membuat Pandu semakin penasaran untuk
menyingkap misteri itu. Ada apa
sesungguhnya di balik Golok
Cindarbuana ini" Karena banyak tokoh-tokoh aneh yang mengenai golok ini.
Termasuk pengemis aneh ini!
Tetapi mengapa gurunya tidak
menceritakan tentang sesuatu yang
menjadi rahasia golok itu" Mengapa"
"Ha ha ha... kau tak perlu
memikirkan golok ini, Pandu. Biarkan dia bersamamu. Biarkan dia menemanimu.
Kau pasti akan merasa bersyukur karena golok itu ada yang menemani."
Pandu menelan ludahnya.
"Ya, Paman..."
"Nah, bila kau hendak melanjutkan perjalananmu. lanjutkanlah. Tinggalkan saja
aku di sini."
Memang masih jauh pengembaraan
Pandu. Namun dia hendak kembali ke Desa Babakan Hijau. Karena dia yakin,
kejahatan sedang berlangsung di sana.
"Kalau begitu. baiklah, Paman....
Nampaknya kita memang harus berpisah sekarang...."
"Silahkan, Pandu. Tentunya kau tahu apa yang harus kau kerjakan
selanjutnya...."
Pandu sebenarnya hendak bertanya
maksud dari kalimat yang baru saja diucapkan pengemis itu. Namun belum lagi
mulutnya terbuka, sosok pengemis itu telah lenyap dari pandangannya.
Membuat Pandu tercengang.
Tak sadar mulutnya terbuka.
Siapa sebenarnya pengemis itu"
Siapa dia"
Menyadari mulutnya masih
menganga, Pandu mendengus.
"Hus! Tutup mulutmu, nanti
kemasukan lalat bagaimana"!"
Lalu dia segera melompat dari
kudanya. Dia akan menyelidiki kejadian apa yang sesungguhnya terjadi di Desa
Babakan Hijau. Lalu dia pun memacu kudanya. Dua pertanyaan dan keheranan muncul
di benaknya. Siapa sebenarnya pengemis itu"
Dia pastilah bukan orang sembarangan.
Sikapnya sungguh-sungguh arif dan
bijaksana. Dan kata-kata yang
diucapkannya tadi masih melekat di benaknya. begitu sahdu dan penuh
makna. Dan melihat dari sikapnya,
tentulah dia bukan pengemis sembarangan. Satu lagi, rahasia apa yang
sesungguhnya ada di balik Golok
Cindarbuana ini" Kalau memang ada
rahasianya, mengapa gurunya tidak
memberitahukannya"
Atau... gurunya menghendaki agar
dia mencari sendiri jawabannya.
"Iya, Eyang... suatu saat, aku pasti akan menemukan jawabannya...."
desisnya pelan.
Kudanya pun terus dipacu.
* * * 3 "Bangsat!!" geram Gondeng sambil menggebrak meja hingga isinya
berloncatan ke luar. "Siapa pemuda itu sebenarnya "!"
Takut takut Penggekrawung


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyembah. "Maafkan kami, Ketua. Kami...
kami tidak mengenal siapa dia....
Dia... yah, kami baru pertama ini
melihatnya....".
"Lalu kalian gagal menyuruh Roro Dewi kesini, heh?"
"Saat itu... kami sedang menunggu Nimas Roro Dewi yang sedang belajar menari."
"Belajar menari?"
"Ya, Ketua."
"Hmmm... di mana dia belajar?"
"Di Padepokan Melati Putih
pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang,
Ketua." Tiba-tiba Gondeng tertawa lebar.
Dia seorang laki-laki yang berwajah seram. Berberewok tebal dan berperut besar.
Bisa ditebak, dialah ketua
gerombolan Golok Hitam yang bermarkas di sebuah hutan kecil yang sulit untuk
dimasuki. Karena untuk masuk ke sana, harus bisa melalui sebuah sungai kecil
yang banyak buayanya dan juga banyak pengawal Gondeng yang menjaga.
Itulah dulu ketika Ki Runding
Alam hendak menghancurkan Gerombolan Golok Hitam, mereka lebih dulu masuk
kehutan itu. Dari menghilang dari
sergapan Ki Runding Alam.
Sekarang Gerombolan Golok Hitam
kembali berdiri dan mulai
mengembangkan sayap kekuasaannya.
"Bagus, bagus... biarkan bungaku itu belajar menari. Nanti setelah dia pandai
suruh dia setiap saat
menghiburku menari di sini. Kau,
Penggekrawung. Saat ini juga kuminta padamu, cari dan tangkap pemuda yang
membuatmu babak belur begitu! Jangan kembali sebelum berhasil menangkapnya!
Ingat, aku tidak suka kegagalan!"
"Ketua...."
"Kau boleh membawa teman-temanmu
yang lain seberapa kau suka."
Penggekrawung tersenyum.
"Baiklah, Ketua. Sekarang juga saya akan berangkat."
"Lebih cepat lebih baik, karena aku sudah tidak tahan untuk melihat wajah si
pemuda itu."
Sekali lagi Penggekrawung meng-
angguk. Gondeng bangkit dari tempat
duduknya. Dia berjalan menuju ke
kamarnya. Di mana seorang wanita muda tengah menunggu dengan tidak sabar.
Dia tersenyum begitu melihat
Gondeng. Dan menyingkapkan selimut yang menyelimuti tubuhnya yang tidak
berpakaian apa-apa, hingga telanjang bulat sekarang.
"Lama sekali" Ada apa?" tanyanya bagaikan desahan belaka. Matanya
bersinar penuh gairah. Bibirnya
mengundang birahi yang berkepanjangan.
Mata Gondeng pun nanar. Tubuh itu bukan main indahnya. Dan kini bayi dewasa
telah lahir dihadapannya. Siapa yang tidak akan mabuk melihat tubuh yang indah
bertelanjang bulat itu"
Tubuh itu padat dan kulitnya putih mulus.
"Ha ha ha... manis, manis... ada urusan sedikit...."
"Sedikit kok lama sekali?"
"Ha ha ha... bukankah aku sudah muncul sekarang?"
"Kenapa tidak segera berbuat?"
desah wanita itu dengan suara seperti malu-malu.
Gondeng terbahak. "Oh, Manis...
aku sudah tidak tahan," desisnya dengan suara tenggorokan. Lalu
terburu-buru dia membuka pakaiannya.
Dan langsung menubruk menggeluti tubuh yang telanjang bulat itu.
Wanita itu memekik lirih dan
tertawa kayak kuntilanak, membuat
Gondeng semakin beringas dan bernafsu.
Mereka adalah orang-orang yang
mempertuhankan nafsu. Nafsu bila sudah membelenggu akan sukar untuk
dikalahkan. Bahkan perang yang paling besar adalah perang melawan hawa
nafsu. Bila manusia dapat mengalahkan nafsunya, maka dia akan menjadi
manusia yang arif dan bijaksana.
Manusia yang sabar dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya
sayang, sebagian besar manusia malah menuruti hawa nafsunya belaka. Nafsu yang
merusak dan menghancurkan diri sendiri.
Di luar kamar itu, Penggekrawung
sudah selesai mengumpulkan teman-
temannya sebanyak sepuluh orang
termasuk dirinya. Mereka dipersiapkan secara matang.
Mereka segera menaiki kuda
masing-masing. Membawa sebilah golok lambang keperkasaan Gerombolan Golok
Hitam. Gerombolan perampok nomor satu di tanah Kediri!
"Kita jangan bertindak tanggung lagi! Kita bekuk pemuda lancang itu!!"
kata Penggekrawung dengan geram sambil menaiki kudanya.
"Jangan takut, Kakang. Biar
kuhajar habis orang itu!!" sahut salah seorang temannya yang berambut
panjang. "Hhh! macam mana orangnya"!"
Penggekrawung tersenyum. "Aku pun berharap kau bisa melakukannya,
Sembarita!"
Sembarita manggut-manggut dengan
senyum pongah. Lalu mereka pun
mengikuti laju kuda Penggekrawung yang sudah bergerak lebih dulu.
Dada Penggekrawung dipenuhi oleh
sejuta dendam akan kekalahannya. Dia bersumpah, akan menghancurkan dan
menelan hati pemuda itu mentah-mentah bila berhasil dikalahkannya.
Dia tidak terima diperlakukan
seperti itu. Apalagi di hadapan orang-orang banyak. Bukankah ini merupakan suatu
penghinaan bagi Partai Golok Hitam" Dia harus membunuh pemuda itu!
Harus! Makanya dia semakin menggebrak
dan mempercepat laju kudanya. Sepuluh ekor kuda dengan masing-masing
penunggangnya, berderap ramai di jalan setapak dan menimbulkan tanda tanya
bagi yang diam-diam melihatnya.
Namun melihat wajah para
penunggangnya yang seram dan murka, mereka dapat menduga kalau akan
terjadi sesuatu yang tidak meng-
gembirakan. Siapa yang belum mengenai sepak terjaring manusia-manusia ganas dari
Gerombolan Golok Hitam itu"
Yang bengis dan kejam!
Tidak pandang bulu dalam
menggarap mangsanya. Orang-orang yang melihat itu hanya bisa berdoa semoga tidak
terjadi sesuatu pada orang yang mereka kenal.
Penggekrawung bermaksud hendak ke
rumah makan Wayan Tua dulu. Mungkin dari sana dia bisa mendapatkan suatu
keterangan yang berguna mengenai si pemuda. Hhh! Bukan main geramnya bila dia
teringat akan kekalahannya. Lima orang dikalahkan satu orang" Bukan main, ini
suatu penghinaan!!
Tak berapa lama kemudian, mereka
tiba di sana. Rumah makan itu seperti biasanya ramai. Apalagi sekarang Roro Dewi
ikut pula melayani para
pengunjung. Duh! Betapa menggetarkan
kecantikan yang dimiliki oleh gadis belia itu. Benar-benar membiuskan.
Mengalahkan kecantikan para bidadari dari kahyangan dalam dongeng.
Siapa yang tidak bergetar
melihat. kecantikan yang dimiliki oleh
Roro Dewi" Siapa" Kulit gadis itu
putih dan halus. Gerakannya gemulai dan menggairahkan. Dia telah tumbuh menjadi
gadis remaja yang sopan dan manis. Semua orang menyenanginya.
Termasuk salah seorang pemuda yang berada di salah satu kursi rumah makan itu.
Tetapi pemuda itu mampu
menyembunyikan perasaannya meskipun rumahnya tak jauh dari rumah makan milik
ayahnya Roro Dewi.
Dia seorang pemuda putera petani.
Tubuhnya tegap. Kekar. Wajahnya tampan walau agak hitam, mungkin tersengat oleh
matahari kalau dia bekerja di sawah.
Dia bernama Joko Bara. Seorang
pemuda gagah yang diam-diam mencintai Roro Dewi namun sampai sekarang masih
dipendamnya karena dia tidak berani mengutarakannya kepada Roro Dewi,
lantaran Roro Dewi tidak pernah
berlaku manis atau berlebihan
kepadanya. Sikapnya tetap sama seperti dia menyambut para pengunjung yang lain.
Ini membuatnya merasa sangat
tersiksa. Setiap kali melihat Roro Dewi, hatinya selalu bergetar.
Batinnya menjerit, mencoba memanggil.
"Dewi.... Dewiku sayang...." Namun suara itu tak pernah ke luar sepatah pun.
Terpendam dengan rapat di
hatinya. Di luar terdengar derap kuda yang
berhenti dan ringkikannya. Sepuluh
orang Gerombolan Golok Hitam itu
segera masuk ke rumah makan itu.
Seketika orang-orang yang sedang
makan menjadi tidak enak. Gelisah. Dan merasakan masakan itu pun jadi tidak
enak. Biarpun dilayani oleh Roro Dewi, kedatangan orang-orang Golok Hitam tetap
menjadi momok. Wayan Tua yang sedang tersenyum
melihat kelincahan putrinya melayani pengunjung, menjadi ikutan gelisah begitu
orang-orang itu muncul.
"Ha-ha-ha!" Penggekrawung tertawa ngakak di ambang pintu. "Enak sekali
kelihatannya pengunjung di warung ini!
Dilayani oleh seorang putri jelita yang gemulai dengan senyum aduhai
menghidangkan hidangan.... Apa kabar, Nimas Roro Dewi?"
Roro Dewi menyambut dengan
senyum, walaupun dia sangat jengkel sekali.
"Kabar baik, Kakang. Silahkan duduk, Kakang."
Penggekrawung tertawa. Ia segera
mencari tempat duduk. Salah seorang temannya menendang ke luar dua orang pemuda
yang sedang makan dan hanya memandang dengan geram namun tak
berani berbuat apa-apa. Orang-orang itu segera menempati tempat duduk
mereka. Sembarita segera menarik lengan halus Roro Dewi yang mengikutinya dengan
terpaksa. Ia mencolek dagu Roro Dewi.
"He-he-he... sediakan hidangan yang enak, Roro.... Kakangmu ingin segera
makan...."
"Ba.. baik.... Kakang." Roro Dewi buru-buru masuk ke dalam sementara orang-orang
itu tertawa. Para
pengunjung yang lain hanya diam saja, tidak berani ikut campur. Namun ada salah
seorang yang teramat geram. Dia Joko Bara yang hanya menggeram pelan melihat
pujaannya dipermainkan
demikian. Wayan Tua buru-buru ke luar
menemui orang-orang itu. Ia
membungkuk-bungkuk dengan hormat.
"Oh.... Tuan-tuan sekalian. Apa kabar, Tuan-tuan?"
Orang-orang itu berhenti tertawa.
Penggekrawung berdiri menghampiri
Wayan Tua. "Hmm... anakmu cantik sekali, Wayan...."
"Ya, ya, Tuan...."
"Hmm... ketua kami, Yang Mulia Tuan Gondeng titip salam untuk
anakmu...."
"Iya, iya.. nanti saya
sampaikan."
"Hmm... begini, Wayan Tua.
Mengenai soal pemuda yang menghajar
kami dua hari yang lalu. Siapa
sebenarnya dia, Wayan Tua?"
"Oh, bukankah tuan-tuan sudah menanyakan hal itu.... Saya, saya
benar tidak tahu siapa dia...?"
"Kami tidak main-main, Wayan
Tua...." "Saya sungguhan, Tuan. Saya tidak tahu."
"Dan ke mana orang itu pergi?"
"Tuan, tuan sudah mendengar
jawabannya, bukan" Sepertinya...
pemuda itu pergi ke arah istana."
"Hmm... ini yang membuat kami tidak percaya" Ke istana. Mau apa dia kesana" Lalu
bagaimana dengan pengemis jembel itu?"
"Dia... dia pun pergi. Entah ke mana... sampai sekarang saya tidak melihatnya
lagi...." "Sekali lagi, Wayan Tua. Kau
benar-benar tidak tahu ke mana
perginya pemuda itu?"
"Sungguh, Tuan.... Sungguh saya tidak
tahu.... Mengenalnya pun
tidak...." kata Wayan Tua dengan sikap yang amat hormat luar biasa.
Penggekrawung menepuk-nepuk bahu
Wayan Tua yang semakin membungkuk.
Dadanya kebat kebit. Dia ngeri bila melihat laki-laki berwajah seram itu
mendadak marah.
"Aku yakin... kau tentunya tidak berbohong padaku, Wayan Tua...."
"Iya, Tuan...."
"Dan tentunya kau pun tahu akibat apa yang akan kau dapatkan bila kau ketahuan
berbohong padaku...."
"Iya, Tuan...."
"Bagus, Wayan Tua.... Bagus! Aku bangga padamu!!"
Wayan Tua semakin membungkuk,
karena tepukan tangan Penggekrawung di bahunya semakin keras terasa. Dia
kuatir bila laki-laki ini marah.
"Nah, Wayan Tua... bila kau
melihat pemuda itu, cepat kau beritahu kami. Kau mengerti?"
"Ya, iya... Tuan...."
Penggekrawung terbahak.
"Hahaha... kau memang penurut sekali. Ya, ya... bagus, bagus itu...
aku menyukaimu, Wayan Tua...." Dia kembali terbahak. Disusul
dengan teman-temannya yang tertawa bersamaan, membuat hati Wayan Tua bertambah
kecut. Dari arah dalam muncul dua orang
pelayan yang membawa masakan untuk orang-orang itu. Namun kedatangan
mereka justru malah memancing
kemarahan orang-orang itu.
Sembarita menggebrak meja.
"Bangsat! Mau apa kalian, heh"!"
bentaknya dengan suara yang


Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelegar keras.
Kedua pelayan wanita itu menjadi
gugup. Wajah mereka pias. Jantung
mereka seakan mau copot dari
tempatnya. "Kami... kami...." sahut salah seorang dengan takut-takut, namun tak berhasil
menyelesaikan kalimatnya
karena sudah keburu dipotong
Sembarita. "Suruh keluar Roro Dewi! Bukan kalian yang melayani kami, tetapi dia!
Harus dia yang melayani kami! Kalian mengerti, Pelayan busuk"!"
Dengan sisa keberanian yang
tinggal setengah, salah seorang dari mereka menyahut dengan takut-takut.
"Den... Roro sedang mandi,
Tuan...." "Hhh! Katakan padanya, cepat!
Kami tidak sabar lagi untuk
menunggu!!" bentak Sembarita marah.
Lalu menoleh pada Wayan Tua yang
merasakan tubuhnya menjadi semakin kecil saja. Ngeri dengan tatapan yang membara
marah itu, "Wayan Tua... kami tidak main-main dalam hal ini! Kau mengerti"!!"
"Iya... iya, Tuan... nanti saya panggilkan agar dia segera cepat
menyelesaikan mandinya...." sahut Wayan Tua sambil menyuruh kedua
pelayannya masuk.
"Bagus!"
"Iya, Tuan...."
"Lalu mengapa kau masih berada di sini, hah" Kau menunggu kami marah,
Wayan Tua"!"
"Oh, iya... iya, Tuan! Iya...."
Tergopoh-gopoh Wayan Tua berlari ke belakang. Sepak terjang orang-orang itu amat
mengerikannya. Dia sungguh-sungguh takut yang
luar biasa. Dan sedikitnya dia
menyalahi pemuda yang pernah mengerjai orang-orang itu. Karena Wayan Tua
yakin, sesungguhnya orang-orang itu marah pada si pemuda.
Orang-orang itu terbahak. Senang
mereka bisa mempermainkan orang-orang yang takut pada mereka. Dan ini
merupakan satu bentuk kenikmatan
tersendiri. Di kursinya, wajah Joko Bara
memerah. Dia semakin membenci sikap dari orang-orang itu. Dan dia pun
sudah tidak bisa lagi menahan marah dan jengkelnya.
Dengan kaki dihentakkan lebih
dulu dan tangan terkepal erat, dia bangkit. Kaku kakinya dibawanya
mendekati orang-orang yang masih
tertawa itu. Kejengkelannya memuncak! Orang-
orang yang sedang tertawa itu jelas saja tidak memperdulikannya. Mereka masih
tertawa-tawa. Namun ketika Joko Bara masih berdiri di sana dan tidak kembali ke
tempatnya, memancing
perhatian Rembaga yang langsung
menghentikan tawanya dan menoleh.
"Hei... mau apa kau di sini,
hah"!"
Joko Bara hanya terdiam.
Tatapannya lah yang berbicara akan kejengkelannya.
"Settan!!" Rembaga menggeram.
"Cepat kembali ke tempatmu, hah" Di sini bukan tempatmu!!"
Tetap Joko Bara terdiam.
Terpancinglah amarah Rembaga.
"Bangsat! Mau apa kau
sebenarnya"!"
"Hmm... mauku"!"
"Katakan cepat, sebelum kulempar kau ke luar dari sini!!" bentak Rembaga.
"Hmm... aku adalah orang yang tidak suka dengan perbuatan kalian,"
sahut Joko Bara dengan suara angker.
"Dan mauku... kalianlah yang segera angkat kaki dari tempat ini!!"
"Bangsat!! Apa-apaan kau ini"!"
"Kau sudah mendengar kata-kataku barusan! Apakah kau mesti memakai alat
pendengar agar telingamu lebih terang untuk mendengar"!"
Rembaga menggebrak meja dengan
keras sambil berdiri. Tatapannya
nyalang, "Hhh! Siapa kau sebenarnya"!"
"Namaku Joko Bara...."
"Dan kau seorang jago rupanya!"
"Aku hanyalah seorang petani
biasa...."
"Petani mau coba-coba jadi
pahlawan!" potong Sembarita seraya berdiri dan tangannya bergerak
mengirimkan sebuah pukulan ke wajah Joko Bara. Sembarita orangnya memang
panasan, dan tidak suka bertele-tele.
Dia pikir, dengan sekali pukul
saja pemuda itu akan rubuh dan
menjerit-jerit minta ampun. Karena biasanya hanya lagak saja yang
ditampilkan. Namun dia sungguh terkejut ketika dengan tiba-tiba saja pemuda itu
menarik kepalanya ke samping dan
menangkap tangan Sembarita dan
menariknya ke depan hingga tersuruk menabrak kursi dan jatuh bergulingan.
"Brak!!"
"Anjing buduk!" geramnya.
Sudah tentu teman-teman Sembarita
menjadi marah. Serentak mereka bangkit dengan geram dan mengurung Joko Bara yang
menjadi waspada.
"Bangsat!! Pantas kau berani
berlagak" Rupanya punya kelebihan juga kau, ya"!" bentak Rembaga sambil
menggebrak meja yang diduduki Joko Bara.
Joko Bara mendengus. Perkelahian
ini memang tidak bisa dielakkan lagi.
Dia pun mengerti kalau
perkelahian bila terjadi di sini bisa merusak kursi dan meja, atau barang-barang
yang lainnya. Ini bisa
mengakibatkan kerugian pada Wayan Tua.
Makanya dia mendadak melesat ke
luar, ke halaman rumah makan itu.
Orang-orang yang mengurungnya
cukup kaget, karena gerakan yang tiba-tiba diperlihatkan oleh Joko Bara.
Dengan hati murka mereka serentak
berlari ke sana dan kembali
mengurungnya. Joko Bara memperhatikan mereka
dengan waspada. Namun sikapnya cukup tenang. Sikapnya itu membuktikan kalau dia
seorang yang gagah berani dan
perkasa. "Aku bukan seorang pahlawan,
tetapi aku paling tidak suka melihat kelakuan kalian! Kalian telah berbuat onar
terus menerus di Desa Babakan Hijau ini. Kalian telah menganggap diri kalian
sebagai dewa, sebagai
Tuhan yang berkehendak apa saja!"
"Jangan berkhotbah!!" bentak Penggekrawung.
"Aku bukan berkhotbah! Aku hanya memperingatkan kalian, betapa
banyaknya dosa yang telah kalian
perbuat"! Dosa yang telah kalian
lakukan dengan telengas! Tangan-tangan kalian telah penuh dosa yang sukar untuk
diampuni! Mungkin hanya Tuhanlah yang tahu berapa banyak dosa-dosa yang telah
kalian lakukan selama ini!
Kalian memang manusia-manusia
durjana!!"
"Petani buduk!! Kau berani
berkata begitu pada kami, orang-orang Gerombolan Golok Hitam"!"
"Untuk apa takut, bila aku berada di pihak yang benar!!" balas Joko Bara dengan
berani. "Bangsat! Berarti kau minta
mampus!!" "Semula tak terpikir di benakku untuk menghentikan sepak terjang
kalian! Namun semua yang kalian
lakukan hanyalah membuat onar semata!
Membuat kejahatan yang begitu kejam dan menyedihkan! Maafkan bila aku, Joko Bara
mencoba untuk menentang
sikap kalian yang durjana ini dan mencoba menghentikan sepak terjang kalian!!"
seru Joko Bara mantap. Dan dia sendiri pun merasa bahwa tak ada jalan lain
kecuali untuk bertarung.
"Hhh! Pemuda congek!! Mampuslah kau hari ini!!" geram Penggekrawung seraya
hendak menyerang.
Namun sebelum tubuhnya
berkelebat, terdengar seruan:
"Tunggu!!" Sembarita melayang dan orangnya sudah berdiri di samping
teman-temannya. Dengan geram dia
menuding Joko Bara, "Kau harus menghadapiku, Bangsat!!"
"Siapa pun akan kulayani!!"
"Jangan sok jago kau, Setan!"
"Hhh! Kenapa masih banyak bacot pula! Majulah bila kau benar-benar
ingin bertarung denganku!!" sahut Joko Bara dengan suara keras.
Wajah Sembarita memerah. "Anjing buduk!! Benar-benar minta mampus
kau!!" geramnya. Tiba-tiba dia memekik,
"Tahan serangan, Anjing buduk!!"
"Hhh! Majulah!!" sahut Joko Bara dengan tenangnya, karena dia sudah siap
menghadapi resiko apa pun. Yang penting baginya, berusaha untuk bisa mengusir
mereka. Karena sesungguhnya dia sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang
kejam ini terhadap warga Desa Babakan Hijau.
Memang tidak ada jalan lain
kecuali menghadapi mereka!
Dengan cepat Sembarita melesat
dengan melancarkan sebuah pukulan
lurus ke wajah Joko Bara. Joko Bara yang sejak tadi berwaspada cepat
berkelit. Dan membalas dengan satu tendangan ke perut.
Si Pemanah Gadis 2 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Pedang Asmara 11
^