Pencarian

Gerhana Di Malam Jahanam 1

Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam Bagian 1


GERHANA DI MALAM
JAHANAM Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Gerhana Di Malam Jahanam
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Di sinikah tempatnya?" si penanya adalah
seorang penunggang kuda berbadan tinggi tegap,
berkumis jambang serta bawuk. Muka berminyak
dan berpakaian serba hitam gombrang.
"Bukan. Bukan di sini!" jawab penunggang kuda yang berada di sebelahnya dengan
suara gemetar dan muka berubah pucat.
"Menjauhlah kau...!" perintah laki-laki berpakaian hitam gombrang itu pada
pemuda berpa- kaian kuning yang di bagian punggungnya mem-
bekal sebuah topi besi bergerigi mirip gergaji. Kalangan persilatan mengenal
pemuda berpakaian
serba kuning ini sebagai si Topi Terbang. Kata-
kata yang sangat pendek itu sudah cukup bagi si
Topi Terbang sebagai awal dari keganasan laki-laki berpakaian serba hitam ini.
Kuda tunggangan me-ringkik keras saat laki-laki berwajah angker mulai
mengerahkan kesaktian yang dimilikinya.
"Whuuuu...!"
Lidah api menyembur dari mulut laki-laki
itu, tak dapat dicegah lagi langsung menyambar
rumah gubuk berbentuk bulat yang jumlahnya
mencapai puluhan buah. Terdengar pekik dan jerit
kematian disertai dengan berhamburannya bebe-
rapa sosok tubuh berkepala botak berpakaian ser-
ba putih. Mereka yang keluar dari dalam gubuk
beratap ilalang begitu mengetahui penyebab dari
kejadian yang ada. Langsung saja mengepung dua
orang penunggang kuda sambil keluarkan kata-
kata yang tidak dimengerti oleh laki-laki berpa-
kaian serba hitam dan si Topi Terbang. Walaupun
keduanya tidak dapat menangkap arti pembica-
raan mereka. Namun si laki-laki berpakaian gom-
brang itu menyadari puluhan pemuda berpakaian
putih serta berkepala botak itu sedang di landa
kemarahan. Sambil tertawa tergelak-gelak, laki-
laki bertampang sadis itu memberi perintah pada
si Topi Terbang
"Topi mautmu mungkin masih cukup berar-
ti untuk mencopoti kepala demit putih yang tiada
berambut itu!"
"Maha Diraja Setan Bumi hendak ke ma-
na?" tanya si Topi Terbang dengan sesungging senyum kecut.
"Rumah-rumah tiada guna itu hanya bikin
rusak pemandangan saja. Lebih baik kalau ku-
bakar semuanya." berkata sambil tertawa-tawa seperti itu. Laki-laki berpakaian
serba hitam itu
langsung menggebrak kudanya. Beberapa orang
pemuda berkepala serba gundul yang coba-coba
menghalanginya langsung di terjang dengan sem-
buran-semburan lidah api yang keluar lewat mu-
lutnya. Mereka langsung terbakar, beberapa orang
memadamkan api yang membakar tubuhnya. Laki-
laki berpakaian serba hitam yang memiliki julukan Maha Diraja Setan Bumi terus
menggebrak kudanya melaju ke arah rumah-rumah yang masih
tersisa. Begitu sampai di gang-gang Raja Diraja Setan Bumi kembali semburkan api
dari mulutnya. Dalam waktu singkat, gubuk-gubuk darurat itu te-
lah berobah menjadi lautan api.
Sementara itu di bagian lain, si Topi Ter-
bang dengan tawa bergelak-gelak mulai melem-
parkan senjatanya yang berupa topi bergerigi ta-
jam ke arah belasan pemuda berkepala gundul
yang melakukan pengeroyokan atas dirinya.
Jeritan-jeritan kematianpun mulai terden-
gar di mana-mana. Anehnya topi yang terbuat dari
baja pilihan itu dapat dikendalikan sebagaimana
mestinya. Lebih jelasnya lagi setelah, membabat
putus bagian tubuh lawan-lawannya, topi itu da-
pat ditarik kembali ke arah pemiliknya. Padahal
pada topi tersebut tidak terdapat adanya tali pen-gikat atau sejenis itu. Sebuah
kejadian langka
yang menandakan pemiliknya pastilah memiliki
kepandaian yang sangat tinggi. Dalam kesibukan-
nya membasmi para lawan-lawannya, tiba-tiba
terdengar suara bentakan yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam.
"Hentikan...!"
Si Topi Terbang langsung hentikan sepak
terjangnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan
Maha Diraja Setan Bumi. Dengan keangkuhannya
dan semburan-semburan api yang keluar lewat
mulutnya. Laki-laki berpakaian serba hitam itu terus melakukan pembakaran hingga
rumah-rumah yang dibangun secara darurat itu tiada bersisa la-gi. Setelah merasa puas dengan
pekerjaannya, la-
ki-laki itu kembali menggebrak kudanya. Hanya
dalam waktu sesaat ia telah kembali bergabung
dengan si Topi Terbang.
"Siapa kunyuk yang menghentikanmu, Topi
Terbang...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi dengan
suara berwibawa.
Si Topi Terbang menunjuk ke satu tempat
yang tidak begitu jauh di belakangnya. Laki-laki
berpakaian hitam gombrang ini mengekor dengan
sudut matanya. Lalu nampak olehnya seorang la-
ki-laki tua berpakaian serba putih berkepala gun-
dul. Sedangkan di tangannya memegang sebuah
tasbih dan sebuah tongkat yang sewaktu-waktu
dapat dipergunakannya sebagai senjata yang am-
puh. "Botak. Kaukah yang telah melarang pengikutku mencopoti kepala mereka?"
bentak Maha Diraja Setan Bumi dengan mata melotot wajah, ke-
lam membesi. Melihat penampilannya pastilah la-
ki-laki berbadan kekar berpakaian serba putih dan berkepala gundul ini merupakan
pimpinan dari semua mereka yang terbunuh.
"Amitaba. Baru di daratan Jawa Dipa ini
semua pengikutku mendapat perlakuan sekeji ini.
Batara yang agung pasti akan mengutuk kalian
berdua." cetus laki-laki bertasbih ini tanpa ekpresi.
"Kurang ajar. Kau orang asing di sini, tak
perlu berkotbah padaku. Cepat jawab pertanyaan-
ku...?" bentak Maha Diraja Setan Bumi semakin bertambah marah.
Laki-laki bertasbih ini rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Dari sorot matanya yang
penuh welas asih. Jelaslah kalau ia merupakan
seorang pemuka agama yang memiliki kesabaran
luar biasa. "Aku melarang tindakan kawanmu itu. Ka-
rena orang-orang yang dibunuh oleh pemuda ber-
baju kuning merupakan para pengikutku yang ti-
dak pernah kuajarkan ilmu silat sama sekali. Me-
reka adalah orang-orang yang kudidik ke jalan lu-
rus, yang kelak di kemudian hari akan membawa
satu umat pada kehidupan yang tenteram dan
damai." "Kurang ajar. Kedatanganmu ke tanah le-
luhur kami, dan memasuki daerah kekuasaanku.
Kiranya hanya ingin mempengaruhi mereka den-
gan sesuatu yang tidak kami mengerti. Tahukah
kau bahwa mereka semua tunduk dan patuh di
bawah perintahku. Kuperingatkan padamu untuk
segera meninggalkan tempat ini." perintah Maha Diraja Setan Bumi.
Namun laki-laki berkepala gundul ini ge-
lengkan kepalanya berulang-ulang.
"Amitaba. Aku hanya seorang Biksu, tak se-
orangpun yang dapat menghalangi semua ren-
cana baikku. Sungguhpun dia seorang Maha Dira-
ja Setan Bumi sekalipun." kata laki-laki berkepala gundul yang memiliki nama
pribumi Asoka itu tegas. Semakin bertambah gusarlah Maha Diraja Se-
tan Bumi demi mendengar ke-tegasan laki-laki itu.
"Ha... ha... ha...! kalau kau telah mengeta-
hui gelar namaku. Mengapa tidak cepat-cepat
menjatuhkan diri menyembah?"
"Anda bukan seorang Dewa yang patut di
sembah. Kalaupun aku menyebut nama itu, se-
muanya hanyalah secara kebetulan belaka. Nah
kukira sudah cukup bagi kalian untuk tidak
menghalangi semua langkah yang telah kupu-
tuskan!" "Keparat. Kedatanganmu ke tanah leluhur
kami hanya mengantar nyawa secara sia-sia." kata Maha Diraja Setan Bumi.
"Dari pada kelak di kemudian hari menjadi
bibit penyakit. Lebih baik sekarang saja kita bina-sakan manusia gundul yang
satu ini." si Topi Terbang yang sedari tadi hanya menjadi pendengar
dalam pembicaraan itu. Kini mulai ikut bicara.
"Menurutmu apakah dia pantas menjadi la-
wanku?" tanya Maha Diraja Setan Bumi pada si Topi Terbang.
Dengan cepat sekali laki-laki berpakaian
serba kuning menyahut:
"Tikus gundul bukan lawan yang pantas
bagi yang mulia. Dia lebih pantas berhadapan
dengan diriku."
"Kalau begitu hajar dia. Sementara aku
sendiri akan berangkat ke Utara menemui Kanjeng
Guru." "Jangan khawatir. Saya pasti segera melaksanakan tugas dengan baik..."
kata laki-laki berpakaian serba kuning menyanggupi.
Tanpa menoleh lagi Maha Diraja Setan Bu-
mi menggebrak kudanya. Beberapa saat kemudian
kuda dan penunggangnya sudah tidak terlihat lagi
dari pandangan si Topi Terbang dan Biksu Asoka.
Kini setelah kepergian Maha Diraja Setan
Bumi kedua laki-laki itu saling berpandangan.
"Kau selalu merasa yakin dengan kekuatan
yang kau miliki?" tanya Asoka seolah meragukan kemampuan yang dimiliki oleh
lawannya. "Hia... ha... ha...! Si Topi Terbang tak per-
nah merasa ragu menghadapi lawan yang bagai-
manapun hebatnya." cetus laki-laki muda berpakaian serba kuning itu jumawa.
"Sayang. Sebagai penyebar kebaikan aku
tak perlu melayanimu!" ujar Asoka secara tiba-tiba memberi keputusan.
"Huh, membunuh seorang asing sepertimu
tak perlu kau harus melayani atau tidak. Bagiku
yang paling penting kau harus mati." teriak si Topi Terbang.
Ziiing...! Serta merta senjata maut di tangannya me-
lesat ke udara. Asoka si pendeta Asing itu menya-
dari betapa hebat senjata yang dimiliki oleh la-
wannya. Ia tak ingin bertindak gegabah. Itu ma-
kanya begitu merasakan adanya sambaran angin
kencang berhawa panas ke arah dirinya. Tak ayal
lagi Asoka lemparkan tubuhnya ke samping kiri.
Tiada buang-buang waktu ia terus bergulingan
menghindari terjangan Topi Baja yang bergerigi tajam di bagian sisi-sisinya.
"Weees...!"
Senjata itu kembali menyambar ke arah la-
ki-laki berkepala gundul ini. Padahal waktu itu posisinya masih dalam keadaan
menelentang di atas
tanah. Ia sudah dapat memperhitungkan andai ia
terus bertahan dalam keadaan seperti itu sudah
pasti tubuhnya akan menjadi makanan empuk
senjata yang dilemparkan oleh si Topi Terbang.
Berpikir sampai ke situ, Biksu Asoka per-
gunakan toyanya untuk memapak datangnya sen-
jata yang terus memperdengarkan bunyi menden-
gung itu. Craang! Terdengar suara benturan yang amat keras
manakala dua senjata yang sama-sama dialiri te-
naga dalam itu saling bertemu. Anehnya meskipun
begitu, senjata topi baja milik pemuda berpakaian kuning itu terus melesat dan
kembali kepada pemiliknya.
Creep! Masing-masing lawan sama-sama tertegun.
Mereka menyadari dalam benturan senjata tadi
ternyata tenaga dalam yang mereka miliki tidak
terpaut jauh. "Kuperingatkan sekali lagi padamu jangan-
lah terlalu memaksakan diri!" kata Asoka. Si Topi Terbang meludah ke tanah
beberapa kali. "Jangan coba-coba menggertak si Topi Ter-
bang, Biksu gundul! Sekali saja aku mengatakan
kesanggupanku untuk membunuhmu, dengan ca-
ra apapun kau harus mampus." maki pemuda
berpakaian serba kuning ini, lalu memutar-mutar
topi mautnya. Dengan nada merendahkan diri, Asoka be-
rucap: "Amitaba. Kiranya anda bukanlah pendekar bijak. Ketahuilah tuan, bukan
aku bermaksud menakut-nakuti dirimu." sekejap laki-laki berkepala gundul ini
hentikan ucapannya. Sekejab diperhatikannya si Topi Terbang dengan tatapan penuh
welas asih. "Namun andaipun anda berhasil mem-bunuhku, orang-orang sealiran
denganku yang memiliki kepandaian sangat tinggi pasti akan me-
nuntutmu. Menurut hematku, alangkah lebih baik
lagi andai saudara mengurungkan niat yang san-


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gat keji itu." sambungnya kemudian.
"Jahanam." si Topi Terbang bentakan ka-
kinya di atas tanah. Karena pada saat melakukan
gerakan seperti itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Maka seketika itu
juga daerah di sekitarnya terasa bagai dilanda selaksa gempa. Biksu Asoka hanya
tersenyum saja melihat si Topi Terbang unjuk gigi di depannya.
"Pendeta gadungan. Bersiap-siaplah untuk
menghadapi ketajaman topiku yang telah mem-
buat putus ratusan kepala ini."
"Amitaba, bicaramu benar-benar terlalu
sembrono saudara." ujar Biksu Asoka dengan kedua mata terbelalak. Saat itu
senjata di tangan
pemuda berpakaian serba kuning telah melesat
sedemikian cepatnya. Hingga tahu-tahu jaraknya
hanya tinggal satu tombak saja dari Asoka. Laki-
laki berusia lima puluh enam tahun melentingkan
tubuhnya ke udara. Senjata itu terus meluncur de-
ras dan menghantam sasaran kosong di belakang-
nya. Sebagaimana pertama tadi, kali inipun sete-
lah menghantam sebuah batu cadas di belakang
Asoka tadi. Kali ini kembali meluncur kembali ke
pemiliknya. Ketika senjata itu sampai di tangan
pemiliknya, pada saat yang sama Asoka juga men-
jejakkan kakinya di atas tanah.
"Hebat. Kau benar-benar memiliki kepan-
daian yang mengagumkan. Sayangnya kau bukan-
lah pendekar berhati lurus. Sungguhpun aku tidak
mempunyai persoalan apapun denganmu. Tetapi
karena kau terlalu memaksaku, kurasa tidak ada
salahnya kalau aku membela diri" kata Asoka.
"Hua... ha... ha...! Perlawanan darimu, itu-
lah yang kuharapkan sejak dari tadi manusia ber-
kepala gundul!" bentak si Topi Terbang di antara gelak tawanya.
Dalam saat-saat selanjutnya Asoka mulai
membuka jurus-jurus silatnya yang memiliki va-
riasi begitu banyak. Dengan mempergunakan toya
sebagai senjata andalan. Di dukung oleh permai-
nan tasbih yang mengagumkan. Sementara itu
dengan tujuan ingin mengetahui kehebatan yang
dimiliki oleh lawannya, si Topi Terbang mencabut
sebilah pedang pendek yang juga bergerigi di ba-
gian sisi-sisinya. Dengan senjata ini ia membuka
serangan-serangan gencar yang tak kalah berba-
hayanya dengan senjata andalannya 'Topi Terbang'
"Heaaat. Caiiit!"
"Huaaa ambrol perutmu." teriak si Topi Terbang menusukkan pedangnya mengarah
pada ba- gian perut. Dengan mudah Asoka masih mampu
mengelit serangan yang datangnya begitu cepat.
Begitu serangan luput, pemuda berpakaian kuning
ini lakukan satu babatan ke bagian kaki. Asoka
memang tak menduga dengan datangnya serangan
beruntun ini. Ia menjadi gugup namun dengan se-
penuh tenaganya ia putar toyanya untuk melin-
dungi bagian kaki.
Traang...! Terdengar suara pekikan tertahan di sertai
dengan berkelebatnya senjata bergerigi yang ter-
buat dari baja pilihan milik si pemuda.
Nguuuung Terdengar suara mengaung keras saat topi
itu melayang cepat ke arah sasarannya. Asoka kali ini benar-benar mati kutu.
Dalam pertarungan jarak dekat seperti itu sama sekali ia tiada menduga kalau
lawannya melepaskan topi maut yang telah
merenggut banyak korban itu. Sambil berjumpali-
tan Asoka hantamkan tasbihnya.
"Craak. Plaaar..."
Tasbih ditangannya hancur berkeping-
keping. Sebelum ia sempat mendaratkan kakinya
di atas tanah, pada saat itu si Topi Terbang kem-
bali melemparkan senjata mautnya.
Nguuung. Craaas...!
Tangan Asoka terkutung sebatas siku. Toya
di tangannya mental ke udara bersama-sama ku-
tungan tangannya yang menghamburkan begitu
banyak darah. "Amitaba...!" jerit Asoka. Tubuhnya tergetar, lebih dari itu darah cepat sekali
merembas dari ku-tungan tangannya. Lebih cepat dia menotok jalan
darahnya untuk mencegah agar darah tidak ba-
nyak yang keluar. Pada saat itu pemuda berpa-
kaian serba kuning tertawa-tawa. Kesempatan
yang hanya beberapa saat itu dipergunakan Asoka
untuk melarikan diri.
"Hei! Kurang ajar." maki si Topi Terbang begitu melihat lawannya tiba-tiba saja
telah lenyap dari hadapannya. "Ha... ha... ha...! Senjata mautku mengandung
racun yang sangat ganas. Kau tak
mungkin terlepas dari belenggu maut." kata si Topi Terbang. Baginya tiada
keinginan melakukan pen-
gejaran. Terkecuali meneruskan perjalanan untuk
memberi laporan pada Maha Diraja Setan Bumi.
2 Kegelapan baru saja menyelimuti kaki lan-
git. Matahari hanya tinggal semburat merah yang
kian samar. Suasana kehidupan mulai berganti
rupa, dan binatang-binatang malam satu demi sa-
tu keluar dari persembunyiannya. Kelelawar, bu-
rung hantu mulai berkeliaran mencari makan. Se-
sekali terdengar lolongan anjing hutan di kejauhan sana. Dalam kegelapan itu
mendadak sesosok
bayangan berkelebat. Gerakannya saat melewati
semak-semak yang tumbuh meranggas ringan se-
kali. Bahkan tak lama setelah kemunculannya tu-
buh telanjang dada yang mengkilat-kilat bermi-
nyak itu terus melewati hutan rotan yang sangat
lebat dan tumbuh rapat di sekitar hutan tersebut.
Anehnya tubuh orang itu bagai tidak merasakan
sakit akibat tergores duri-duri rotan yang meranggas tajam.
Beberapa saat setelah melewati hutan rotan
yang luas, sosok berkulit hitam legam ini sudah
mulai nampak berjalan melenggang. Langkahnya
begitu mantap menuju ke sebuah tempat yang te-
rus-menerus menyemburkan sinar merah mem-
bubung tinggi ke angkasa. Sesekali dipandanginya
arah yang hendak di tujunya itu. Matanya lang-
sung berbinar begitu melihat semburan lidah api
di kejauhan sana nampak menjulur ke arahnya.
"Kehidupan walau bagaimanapun ujudnya
selalu berakhir dengan kematian. Begitu banyak
orang yang melupakan kematian. Sangat banyak
orang yang selalu mendewa-dewakan kehidupan
dan seisi dunia. Seolah andai suatu saat mati apa yang dimiliki dan
dibanggakannya akan dibawa
serta. Tapi aku lebih menyukai orang yang terakhir ini. Mereka pasti tidak
mengetahui siapa adanya
aku, asal-usulku bahkan semua pekerjaan yang
kulakukan di kolong langit ini." sosok bertubuh hitam legam ini menutup kata-
katanya dengan se-
buah tawa yang sangat panjang.
"Wuuees...!"
Tiba-tiba saja tubuh orang itu berkelebat
lenyap bersamaan dengan berhembusnya angin
kencang yang begitu hebat.
Sementara itu di sebuah tempat yang ber-
nama bukit Api Abadi yang terus menyemburkan
lidah api menjulang ke angkasa nampak beberapa
orang yang terdiri laki-laki dan perempuan sedang duduk dengan khusuknya
menghadap ke arah
bukit itu. Seperti yang mereka yakini selama ini, bukit itu selalu mendatangkan
berkah bagi orang-orang tertentu yang percaya karena kekeramatan-
nya. Namun kekhusukan itu tidak berlangsung
lama, sesaat setelahnya bertiup angin kencang
yang disertai berterbangannya pasir dan batu keri-kil dari atas bukit sebelah
kiri. Kemudian disusul pula oleh gelak tawa yang terasa bagai hendak meruntuhkan
bukit dan memadamkan kobaran api
abadi yang terdapat di bukit itu. Semua orang
yang berada di bawah bukit, yang jumlahnya tak
kurang dari sepuluh orang, masing-masing menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk melindungi diri
dari pengaruh lengkingan suara tawa yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi. "Menghormatlah kalian semua pada Kan-
jeng Guru!" salah seorang laki-laki bertelanjang dada, berbadan tinggi tegap
dengan sikap membungkuk memberi perintah pada kawan-
kawannya. Tanpa sungkan-sungkan lagi sembilan
orang lainnya langsung menjatuhkan diri, berlutut dengan posisi bagian kening
menyentuh ke tanah.
"Kami semua siap mengabdi pada Kanjeng
Guru. Dan kami senantiasa patuh pada semua pe-
rintah yang mulia." secara serentak mengumandang suara mereka dalam kegelapan
yang hanya diterangi cahaya Api Bukit Abadi. Seiring dengan
terdengarnya suara puji-pujian yang mengagung-
kan nama orang yang di sebut Kanjeng Guru itu.
Maka suara gelak tawa yang membuat sakit gen-
dang-gendang telinga terhenti seketika. Gemuruh
angin topan kembali menyapu daerah sekitar bukit
api abadi itu. Sapuan angin yang begitu tiba-tiba membuat tubuh mereka laksana
terbang. Bahkan
beberapa orang perempuan yang terdiri dari gadis-
gadis berpakaian setengah telanjang langsung ter-
jengkang. Namun mereka segera bangkit dan
membentuk sikap seperti semula dengan posisi
menyembah. Sama seperti yang terjadi pada saat
pertama tadi, kali ini hembusan angin topan ter-
henti secara tiba-tiba pula.
Jleeek...! Tidak begitu jauh dari sumber api abadi me-
layang sesosok tubuh, kemudian menjejakkan ka-
kinya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Yang
membuat tercengang semua mata yang meman-
dangnya karena si pendatang bertelanjang dada
yang seluruh permukaan kulitnya berminyak dan
berwarna hitam legam itu berada tidak begitu jauh dari sumber api abadi. Padahal
dalam jarak seratus tombak saja mereka yang berada di bawah bu-
kit itu merasakan tubuhnya panas bagai terbakar.
Dalam beberapa hal seperti itulah mereka merasa
begitu yakin bahwa orang yang mereka sebut se-
bagai Kanjeng Guru itu sesungguhnya bukan ma-
nusia biasa. Paling tidak titisan Dewa. Maka tak
salah bila mereka rela melakukan apa saja demi
mendapat restu dengan diangkat menjadi murid,
"Gending Sora...! Sebagai pengikutku apa-
kah kau telah melaksanakan perintahku dengan
baik?" suara laki-laki yang disebut sebagai Kanjeng Guru terdengar memecah
keheningan. Se-
mentara perhatiannya sekarang tertuju pada seo-
rang laki-laki berbadan tegap berpakaian serba hitam yang tadi memberi aba-aba
pada laki-laki dan
perempuan yang kini masih berlutut menghadap
ke arah bukit. "Saya telah melakukan segala perintah yang
telah kanjeng berikan pada saya." jawab laki-laki yang bernama Gending Sora
dengan suara parau.
"Sembilan orang inikah orangnya?"
"Benar. Mereka semua terdiri dari perjaka
dan perawan tulen." kata Gending Sora dengan wajah memerah.
"Ha... ha... ha...!" kembali terdengar suara
tawa Kanjeng Guru tergelak-gelak. Kini seluruh
perhatiannya tertuju pada empat pemuda berte-
lanjang dada dan lima orang gadis yang juga ber-
pakaian sangat minim sekali. Mengherankan sekali
kesembilan orang itu sedikitpun tiada merasa ma-
lu diperhatikan oleh Kanjeng Guru seperti itu. Malah kini mereka mulai
memberanikan diri balas
memandang dengan sikap menantang. "Apakah
diantara kalian yang datang ke sini tidak akan
menyesal bergabung dengan kami?" sambung Kanjeng Guru setelah merasa puas dengan
hasil kerja Gending Sora. "Kami dengan sukarela siap mengabdi pada
Kanjeng Guru. Lebih dari sekedar itu kami juga telah siap melakukan apa saja
demi mendapat sim-
pati yang mulia." jawab mereka secara serentak.
Berbinar sepasang mata laki-laki berkulit
penuh minyak yang menebarkan bau wangi mu-
sang pandan itu.
"Keputusan kalian benar-benar membuat
hatiku lega. He... he... he... dalam waktu yang
singkat kalian akan kuberi pelajaran ilmu yang
sangat sakti. Kalian akan menjadi pengikut dan
merupakan manusia-manusia yang tak terkalah-
kan. Namun hal itu tak mungkin terjadi andai ka-
lian tidak bersedia menyerahkan milik kalian seca-ra sukarela." ujar Kanjeng
Guru penuh maksud cabul. "Apakah itu yang mulia?" tanya mereka secara serentak.
"Sebagai seorang gadis dan perjaka tentu
kalian menjaga sesuatu yang tersembunyi selama
ini. Agar diri kalian tetap suci."
Kesembilan orang yang terdiri dari pemuda
dan gadis nampak saling pandang sesamanya. Wa-
jah mereka berubah pucat, namun mereka juga
tak mungkin membantah. Sejak meninggalkan
daerahnya masing-masing dan bertemu di suatu
tempat yang kemudian mendapat bimbingan dari
Gending Sora, mereka telah memutuskan untuk
menjadi pengikut Kanjeng Guru yang akhir-akhir
ini namanya menggemparkan dunia persilatan.
Kalaulah memang apa yang dikatakan oleh Kan-
jeng Guru barusan merupakan satu-satunya sya-


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rat agar dapat diangkat menjadi seorang murid.
Maka mereka beranggapan tidak ada salahnya an-
dai mereka mematuhinya.
"Kami menyanggupi syarat yang Kanjeng
ajukan itu." ujar mereka dengan nada dengan tanpa beban.
"Hemm. Bagus sekali. Kalian benar-benar
orang yang berbakti." sekejap Kanjeng Guru hentikan ucapannya, laki-laki berusia
lima puluhan ini menoleh pada Gending Sora. "Bawa mereka ke
tempat biasa." perintahnya.
Gending Sora bagai seorang penjilat terus
berjalan membungkuk-bungkuk, kemudian men-
gajak orang-orang itu menuju ke suatu tempat
yang merupakan sebuah gua sangat luas namun
memiliki banyak kamar. Ke sanalah sembilan
orang yang terdiri dari gadis dan perjaka itu di gir-ing dan menempati setiap
ruangan. Sementara itu laki-laki yang disebut Kan-
jeng Guru masih tetap berdiri di tempatnya. Sorot
matanya memandang jauh ke depan sana. Me-
nembus kegelapan di mana seorang laki-laki lain
menunggang seekor kuda sedang bergerak cepat
menuju ke arahnya. Suara ringkikan kuda terden-
gar keras ketika orang itu sudah hampir mendeka-
ti bukit Abadi. Sesaat setelah sampai persis di depan bukit Api Abadi laki-laki
penunggang kuda
serta merta melompat dari punggung kudanya. Ia
menghaturkan sembah dengan hanya membung-
kukkan badannya. "Kanjeng Guru, muridmu da-
tang menghaturkan sembah serta membawa bebe-
rapa laporan penting."
Orang yang berada di atas bukit Api Abadi
itu hanya menggumam pelan.
"Bagaimana Maha Diraja Setan Bumi" Apa-
kah laporan tentang adanya pendatang dari tanah
seberang memang punya kebenaran?"
"Kenyataannya memang begitulah, Kanjeng!
Mereka terdiri dari orang-orang berpakaian putih
berkepala gundul yang menamakan dirinya seba-
gai Biksu. Saya telah mengobrak-abrik rumah-
rumah darurat yang mereka bangun. Sementara
ketika saya meneruskan perjalanan kemari seo-
rang tangan kananku si Topi Terbang sedang ber-
tarung melawan salah seorang diantara wakil Bik-
su itu." "Hemm." Kanjeng Guru menggumam tak jelas. "Kau merasa begitu yakin
orang kepercayaan-mu itu mampu mengatasi segalanya?"
"Saya selalu yakin dengan kemampuannya!"
jawab Maha Diraja Setan Bumi tegas.
"Sebenarnya apa tujuan mereka datang ke
tanah leluhur kita ini?" tanya Kanjeng Guru lebih jauh. "Mereka ingin
mempengaruhi penduduk
dengan menyebarkan suatu keyakinan yang tak
begitu jelas."
Kanjeng Guru kerutkan alisnya, sungguh ia
kurang mengerti akan maksud kata-kata murid
sulungnya yang memiliki kepandaian beraneka ra-
gam ini. Walaupun tidak tertutup kemungkinan
baginya bahwa dengan hadirnya orang-orang asing
itu merupakan suatu ancaman buat sebuah Kera-
jaan megah yang sedang di bangun oleh muridnya.
"Setan Bumi. Yang kuinginkan agar kau
mencari orang-orang itu dan mengusirnya dari ta-
nah leluhur ini. Kalau perlu dengan jalan kekera-
san!" "Perintah Kanjeng Guru akan saya laksanakan dengan baik." kata Maha Diraja
Setan Bumi. "Nah sekarang pergilah muridku. Kalau kau
ingin Kerajaan yang kau bangun sekarang ini tidak runtuh begitu saja. Kau
hancurkan para pendatang itu."
"Tapi bagaimana dengan para pekerja seper-
ti yang telah guru janjikan?" tanya Maha Diraja Setan Bumi setelah beranjak
berdiri. "Akhir purnama mereka akan segera kuki-
rim ke sana. Asal kau tau untuk membuat mereka
memiliki tenaga seperti siluman, aku perlu waktu
untuk meniduri mereka satu persatu. Setelah itu...
ha... ha... ha...! Mereka akan menjadi seorang pekerja yang sangat menurut dan
memiliki tenaga
luar biasa."
"Selamanya bantuan Kanjeng Guru sangat
saya harapkan."
"Aku selalu menyanggupinya, muridku. Se-
karang kembalilah ke tempat asalmu. Jangan lupa
taburkan serbuk 'Pemberontakan Jiwa' setiap
menjelang bulan purnama. Jika kau terus mela-
kukannya niscaya kau akan mendapat tenaga ker-
ja sukarela sepanjang yang kau inginkan." ujar Kanjeng Guru yang disertai
anggukan setuju oleh
Maha Diraja Setan Bumi.
Bueees...! Sekali berkelebat laki-laki yang disebut se-
bagai Kanjeng Guru itupun lenyap dari hadapan
Maha Diraja Setan Bumi. Sementara laki-laki itu-
pun tanpa membuang-buang waktu lagi segera
melompat ke punggung kudanya kemudian berge-
rak cepat menembus kegelapan malam.
Kemudian adalah sunyi dan nyala bukit api
abadi yang sepanjang sejarahnya sangat dikera-
matkan oleh banyak orang.
3 Dengan langkah terhuyung-huyung laki-laki
berkepala gundul itu terus berlari. Pakaiannya
yang berwarna putih kini telah berubah merah
bersimbah darah. Bagian tangannya yang terus
mengalirkan darah sekarang telah berubah warna
kebiru-biruan. Sementara bagian siku yang terku-
tung itu menimbulkan rasa nyeri yang tiada terta-
hankan. Dalam keadaan berlari-lari itu beberapa
kali tubuhnya hampir terbanting. Pandangan ma-
tanya berkunang-kunang karena telah begitu ba-
nyak kehilangan darah. Yang lebih celaka lagi
sampai sejauh itu setiap totokkannya pada urat
tertentu untuk menghentikan darah tidak pernah
mendatangkan hasil.
"Celaka seandainya aku tak bisa sampai ke
markas besar. Koko Beng Lie dan Koko Beng Ju
pasti tidak pernah mengetahui apa yang terjadi
pada diriku." menggumam laki-laki berkepala gundul itu sambil terus berlari.
Pada hakekatnya ak-
hirnya laki-laki yang bernama Asoka itu harus
mengakui adanya keterbatasan. Ia kehilangan te-
naga karena begitu banyaknya darah yang keluar
di samping akibat pengaruh racun ganas yang mu-
lai menyebar ke seluruh tubuhnya. Ucapan si Topi
Terbang ternyata bukan bualan belaka. Hal itu
akhirnya ia akui setelah empat tombak kemudian
tubuhnya tersungkur ke tanah. Lemah tiada ber-
daya. Hanya erangan-erangan lirih yang keluar da-
ri mulutnya. Sementara pada jalan yang sama dari ke-
jauhan sana nampak sesosok tubuh berpakaian
kumal warna merah sedang berjalan melenggang
menelusuri jalan setapak yang dilalui oleh Biksu
Asoka. Sesekali ia menyomot dendeng ikan lumba-
lumba dari dalam periuk berjelaga yang mengge-
lantung di bagian pinggangnya. Sambil menguyah
ikan dendeng yang lezat itu, sesekali terdengar pu-la celotehnya.
"Wei, nasib orang kecil itu nggak ubahnya
seperti seekor semut. Tinggal di dalam lubang yang
sangat kecil saja masih dikorek-korek trenggiling.
Hidup nggak bebas selalu tercekam perasaan ta-
kut. Sebodoh. Mendingan menjadi gajah, karena
besar ia ditakuti dan berkuasa. Bertindak semau-
maunya karena kekuatan dan kekuasaannya. Se-
bodoh. Semut yatim tak ubahnya seperti diriku ini.
He... he... he...! Manusia hina seperti ujudku ini.
Sebodoh. Ha... ha... ha... sebodoh...!" kata si pemuda berulang-ulang disertai
dengan tawanya berkepanjangan.
Pemuda yang sudah tak asing lagi bagi kita
ini terus mengayunkan langkahnya menelusuri ja-
lan itu. Namun mendadak ia hentikan gerakan ka-
kinya manakala di depan sana ia melihat seseo-
rang dalam keadaan menelungkup di tengah jalan
yang akan dilaluinya. "Siapakah dia, nampaknya ia membutuhkan pertolongan."
gumam Buang Sengketa kemudian bergegas menghampirinya. Se-
telah sampai di depan orang itu, tahulah ia bahwa laki-laki berkepala gundul itu
sedang mendapat
luka dan dalam keadaan yang sangat payah.
Buang Sengketa membalik orang itu, wajah laki-
laki berkepala gundul itu nampak sangat pucat
dan berwarna biru. "Racun yang sangat keji." desis pemuda itu. Melihat
keadaannya diapun sadar
sangat tipis kemungkinan bagi laki-laki itu untuk dapat di tolong. Sungguhpun
begitu Buang Sengketa berusaha mencegah keluarnya darah dari be-
kas luka itu. "Celaka. Baru kali ini aku melihat sebuah luka yang tidak dapat
dihentikan. Pantasan
saja orang asing ini tidak dapat berbuat banyak.
"Eergk...!" terdengar tangan yang sangat le-
mah. "Apa yang terjadi denganmu, kisanak...?"
tanya Pendekar Hina Kelana sambil mendekatkan
telinganya pada bibir laki-laki berpakaian serba
putih itu. "Se... seseorang telah menyerangku. Amita-
ba... me... mereka telah membunuhi sekian ba-
nyak orang-orang yang hendak menuju ke jalan
Sang Hyang Widi. Ami... ta... ba.!" dan kepala laki-laki berkepala gundul itupun
terkulai lemah. Mati.
"Melihat pakaian dan kepalanya yang di bo-
tak, pastilah orang asing ini merupakan penganut
agama yang taat. Aku tak tahu bagaimana ru-
panya manusia yang telah menyebabkan dirinya
mengalami luka sampai sedemikian ini." batin pemuda itu. Ia kemudian bangkit
berdiri. Namun be-
lum lagi siap pada posisi yang diharapkannya, sa-
tu tendangan yang sangat telak membuat tubuh-
nya terpelanting roboh. Karena serangan bokongan
yang datangnya secara tiba-tiba itu dilakukan
dengan menggunakan tenaga dalam tinggi. Tak pe-
lak lagi darah langsung menyembur dari mulut-
nya. Buang Sengketa merasakan punggungnya ba-
gai remuk, pernafasan terasa sesak dan tersendat.
Namun rasanya ia tidak dapat membiarkan hal itu
terjadi berlarut-larut. Naluri kependekarannya
mengisyaratkan adanya bahaya yang sedang men-
gancam. Setelah menarik nafas dalam-dalam dan
menghimpun hawa murni pemuda itu cepat-cepat
bangkit. Nanar pandangan matanya memperhati-
kan ke arah bagian belakang. Lalu nampak oleh-
nya dua orang laki-laki berpakaian biksu telah
berdiri tidak begitu jauh dari pemuda itu.
"Amitaba." begitu berucap dua orang laki-laki berpakaian serba putih itupun
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Anda telah
membunuh adik seperguruan kami. Sungguh te-
lenggas sekali tindakanmu, saudara?" kata salah seorang diantaranya dengan
tatapan berwibawa.
Buang menyadari dua orang Biksu itu pasti-
lah salah pengertian. Bagaimanapun keadaan
akan semakin runyam andai ia membiarkan hal
itu terus berlarut-larut. Tanpa merasa sungkan
pendekar dari Negeri Bunian itu berucap:
"Tuan-tuan. Anda semua telah salah ala-
mat. Ketika saya lewat kemari adik seperguruan
anda ini memang sudah terluka parah. Saya hanya
ingin menolongnya, tidak lebih dari itu."
"Kami melihat dengan kepala sendiri apa
yang kau lakukan pada adik kami. Masih jugakah
kau memungkirinya?" tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi dengan
muka merah. "Mengapa harus berbasa basi, Koko Beng
Lie" Jauh-jauh dari daratan Tiongkok sana keda-
tangan kita dengan membawa maksud yang baik.
Tapi karena mereka, terutama orang ini. Dia harus menerima pembalasan setimpal
dari kita."
"Sabar Beng Ju...! Kita harus menanyai le-
bih dulu orang ini." ucapnya dengan nada berwibawa. Meskipun Beng Ju sudah
merasa tak sabar
lagi menghadapi kenyataan yang terjadi di hada-
pannya. Namun nampaknya ia merasa sungkan
kepada laki-laki setengah tua yang bernama Beng
Lie itu. Sesaat suasana berubah hening, dua pa-
sang mata sekarang tertuju pada Buang Sengketa
sepenuhnya. Pemuda itu merasakan adanya keku-
atan yang sangat besar terpancar lewat tatapan
mata itu. "Kau mengatakan dirimu tidak membunuh
adik kami Asoka" Padahal tadi kami sempat meli-
hat kau mendekatinya...?" ujar Beng Lie, dingin.
Buang Sengketa tersenyum. "Aku mendeka-
tinya karena kulihat ia memang benar-benar me-
merlukam bantuan. Tetapi karena luka-luka yang
dideritanya terlalu parah, aku merasa tak sanggup menolongnya."
"Hemm. Bicaramu begitu serius bocah. Te-
tapi dapatkah kami mempercayainya?" tanya Beng Lie seolah pada dirinya sendiri.
"Mulutnya tidak bisa dipercaya Koko. Siapa
mau percaya kata-kata manusia berpakaian gem-
bel seperti dia?" kata Beng Ju semakin hilang ke-sabarannya.
Ucapan laki-laki tinggi besar tentu saja
membuat Buang menjadi tersinggung. Tetapi ia ju-
ga tidak ingin bertindak gegabah. Apalagi ia me-


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyadari dua orang Biksu yang berdiri empat tom-
bak di depannya itu merupakan tokoh tingkat
tinggi yang belum dikenalnya sama sekali.
"Saudara. Sebagai orang yang mengagung-
kan nama yang Maha Pencipta, adalah sangat ti-
dak terpuji sekali bila anda menuduhku telah
membunuh adik seperguruan anda." selak Buang Sengketa dengan nada melunak.
"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah me-
lakukannya?" tanya Beng Ju dengan nada ber-api-
api. "Dia hanya menyebutkan kata 'Mereka' sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir."
jelas si pemuda lebih lanjut. Dalam kenyataannya
mungkin hanya Beng Lie saja yang memiliki pan-
dangan luas dapat menerima kenyataan itu, na-
mun tidak demikian halnya dengan Beng Ju. Pelan
namun cukup pasti tubuh jangkung itu melang-
kah mendekati Buang Sengketa. Pemuda ini me-
nyadari adanya gelagat yang kurang baik secara
diam-diam mulai bersikap waspada.
"Kokoku bisa saja percaya dengan segala
bualanmu. Namun jangan harap aku mau men-
dengarkannya." dengan mata merah dan pandan-
gan jelalatan. Beng Lie kebutkan jubahnya yang
menjela panjang. Serangkum gelombang angin
yang menimbulkan hawa panas menerpa wajah
dan sekujur tubuh Buang Sengketa. Sungguhpun
pemuda ini telah membentengi tubuhnya dengan
jalan mengerahkan tenaga dalam tinggi. Namun te-
tap saja tubuhnya terdorong beberapa tindak.
Pendekar keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib ini lipat gandakan tenaga
dalamnya. Kemudian kedua
belah tangannya didorongkan ke arah depan.
Bledeeer...! Terjadi ledakan yang amat keras saat mana
dua tenaga dalam saling bertemu. Baik Buang
Sengketa maupun Beng Ju dan Beng Lie sama-
sama terkejut. Dua orang Biksu itu sama sekali
tiada menyangka kalau pemuda berpakaian lecek
itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tinggi.
Melihat gerakan tubuh adik seperguruannya yang
tergetar tubuhnya sadarlah ia bahwa saat itu me-
reka sedang berhadapan dengan seorang tokoh
muda yang memiliki kepandaian luar biasa.
"Bocah. Siapakah engkau ini, melihat tena-
ga dalammu yang tinggi rasanya cukup alasan ba-
giku untuk menuduhmu sebagai orang yang telah
membunuh adik kami Asoka yang hanya memiliki
kepandaian tidak seberapa." sengat Beng Ju tiba-tiba. "Aku hanya seorang
pengelana biasa. Aku bersumpah sungguhpun bumi sampai terbelah tujuh aku tak
pernah membunuh adik seperguruan
kalian." kata Buang Sengketa, tegas.
Melihat kesungguhan Pendekar Hina Kela-
na, nampaknya Beng Ju mulai menyadari tentang
keseriusan pemuda itu. Beng Ju sebentar menoleh
pada kakak seperguruannya. Beng Lie hanya men-
ganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Untuk mencurigai seseorang se-
lamanya memerlukan pembuktian yang kuat. Tapi
awas jika suatu saat nanti tuduhan kami terbukti, maka kami akan mencarimu
sampai ke ujung dunia sekalipun." kata Beng Lie.
"Selalu kutunggu basil penyelidikanmu itu,
Sobat...!" jawab si pemuda dengan sikap tenang.
Dua orang Biksu itu tidak menimpali kata-
kata si pemuda. Setelah menghampiri mayat adik
seperguruannya, merekapun berkelebat pergi. Hal
yang samapun dilakukan oleh Buang Sengketa.
4 Padepokan gunung Ungkur merupakan se-
buah padepokan yang sangat besar terletak di le-
reng gunung yang sangat sulit dicapai oleh kalan-
gan manapun terkecuali memiliki kepandaian
tinggi dan ilmu meringankan tubuh yang sudah
sangat sempurna. Murid-murid padepokan yang
jumlahnya hanya belasan orang itu rata-rata me-
rupakan murid-murid yang terlatih dan menguasai
berbagai jurus-jurus silat yang sangat langka.
Hampir setiap ada pertandingan silat persahaba-
tan, Eyang Basudewa yaitu pemimpin dan pemilik
padepokan itu mengirimkan utusannya. Kemenan-
gan demi kemenangan diraih oleh murid-murid
padepokan gunung Ungkur itu. Hal inilah rupanya
yang membuat perguruan silat gunung Ungkur
sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Lebih dari itu Eyang Basudewa sebenarnya
tokoh angkatan tua yang sangat misterius dan su-
lit untuk ditemui. Bahkan murid-murid padepokan
sendiri hanya dapat bertemu dengan Ketua pade-
pokan ini paling hanya setahun sekali. Itupun
hanya sebatas mendengar suaranya saja. Ujud
Eyang Basudewa yang sesungguhnya tak seorang-
pun yang mengetahuinya. Tokh murid-murid pa-
depokan gunung Ungkur dapat belajar silat den-
gan baik. Hal ini semata-mata karena Eyang Ba-
sudewa senantiasa memberi petunjuk dan pesan-
pesan yang selalu ditinggalkannya pada dinding-
dinding batu gunung yang terdapat di kanan kiri
padepokan itu. Melalui tulisan-tulisan yang ditinggalkannya itulah murid-
muridnya dapat belajar
dan melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan.
Pagi itu sebagaimana biasanya gunung Un-
gkur berselimut kabut. Udara dingin terasa me-
nusuk sampai kesungsum tulang. Murid-murid
padepokan kelihatan sibuk dengan tugasnya mas-
ing-masing. Diantaranya ada yang menggarap ke-
bun, membersihkan halaman. Dua orang murid
perempuan sedang mempersiapkan sarapan di ba-
gian belakang rumah. Sementara itu lima orang
lainnya sedang berlatih silat nun jauh di lereng-
lereng berbatu tajam. Suara teriakan-teriakan se-
sekali terasa memecah kesunyian pagi. Begitulah
setidak-tidaknya anggapan beberapa orang murid
lainnya yang berada di sekitar padepokan. Tetapi
apakah sesungguhnya yang sedang terjadi atas diri mereka ini" Apabila dilihat
lebih dekat lagi sesungguhnya tidak begitu jauh dari padepokan itu se-
dang terjadi pertarungan antara lima orang murid
padepokan gunung Ungkur melawan seorang pe-
muda berpakaian serba kuning. Melihat kenyataan
yang terjadi nampaknya pertarungan yang telah
berlangsung belasan jurus itu murid-murid pade-
pokan memang sedang berada di atas angin. Da-
lam berbagai serangan bahkan merekapun memi-
liki persamaan, baik dalam bentuk serangan mau-
pun variasi jurus-jurus silatnya.
"Hentikan!" lagi-lagi pemuda berpakaian serba kuning itu mengeluarkan bentakan
nyaring. "Kami tidak akan pernah menghentikan se-
rangan kami jika kakang Sakapala tidak mau me-
nerangkan maksud kedatangan kakang di padepo-
kan ini." kata salah seorang dari para pengeroyok itu sambil melakukan serangan
gencar. Sementara
empat orang lainnya sekarang hanya bersiaga
menjaga setiap kemungkinan.
"Aku hanya merasa rindu pada padepokan.
Salahkah aku jika sesekali datang kemari...?"
tanya pemuda berpakaian serba kuning yang tak
lain si Topi Terbang adanya.
"Menyambangi perguruan bukan merupa-
kan pantangan bagi siapapun. Tetapi salah jika
kedatanganmu membawa maksud-maksud terten-
tu." "Pramesta!' hardik si Topi Terbang dalam kegusarannya "Sebagai adik
seperguruan semes-tinya engkau menghormat kepadaku. Tetapi malah
sebaliknya yang terjadi pada dirimu, begitu aku
datang kau langsung menyerangku."
Pemuda tinggi jangkung yang bernama
Pramesta itu hanya mendengus. Kemudian di si-
langkannya kedua tangan di depan dada
"Kau pergi begitu saja, kakang Sakapala.
Kau tak pernah memberikan alasan yang kuat ka-
rena kepergianmu. Setiap kali hal itu kutanyakan
padamu, kau selalu beralasan ingin mencari pen-
galaman di luaran sana. Semua adik sepergu-
ruanmu yang berada di padepokan ini mungkin
saja mempercayai bualanmu. Namun tidak demi-
kian halnya dengan aku. Suatu malam aku memu-
tuskan untuk membuntutimu dan ternyata kau te-
lah bersekutu dengan iblis yang menamakan di-
rinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi. Bersa-
manya kau menebarkan serbuk 'Pemberontakan
Jiwa', dengannya kau mengumpulkan banyak pe-
muda dan gadis-gadis untuk membangun sebuah
istana iblis secara sukarela. Kejahatanmu sudah
melampaui batas, kakang Sakapala. Guru pasti ti-
dak akan membiarkan semua tindakanmu itu.
Maaf demi tegaknya sebuah kebenaran aku ter-
paksa dengan lancang harus meringkusmu." kata Pramesta.
Begitu Pramesta selesai bicara, Sakapala
langsung tergelak-gelak. Dipandanginya Pramesta
dan empat orang lainnya secara silih berganti. Setelah mengeluarkan gumaman tak
begitu jelas, kemudian iapun berucap: "Pramesta. Aku adalah saudara seperguruanmu yang paling
tua. Walau bagaimanapun engkau tak bakal ungkulan meng-
hadapi aku. Lebih baik kau urungkan niatmu...!"
Sakapala mencoba mengingatkan.
Namun pemuda yang bernama Pramesta itu
hanya tersenyum saja.
"Sakapala. Guru memang telah memberikan
segala sesuatu yang baik untukmu. Asal kau tahu
saja, aku selalu ingin menjawab setiap kelebihan
dan kekurangan yang kau miliki dengan sesuatu
yang tak pernah diperoleh oleh siapapun di pade-
pokan ini." kata Pramesta dengan sikap waspada.
Sementara itu empat orang lainnya telah pula me-
lakukan pengepungan secara ketat.
Pada hakekatnya si Topi Terbang datang ke
bekas perguruannya memang membawa maksud
kurang baik. Yaitu ingin membujuk adik-adik se-
perguruannya ikut bergabung dengannya dalam
satu tujuan yaitu menyumbangkan tenaga secara
sukarela dalam mendirikan istana Maha Diraja Se-
tan Bumi. Kalaupun tidak dapat dibujuk dengan
cara halus maka iapun telah pula memutuskan
akan melakukannya dengan cara kekerasan. Satu
hal yang tidak pernah disangka dan di luar perhi-
tungan Sakapala. Bahwa sebenarnya Pramesta
merupakan adik seperguruan yang berpikiran cer-
das. Selama belasan tahun menjadi murid pade-
pokan gunung Ungkur ia telah melakukan penye-
lidikan terhadap semua tingkah pola saudara-
saudara seperguruan, maupun keberadaan Eyang
Gurunya yang sangat misterius. Bahkan secara di-
am-diam ia telah pula berhasil menciptakan jurus-
jurus handal yang sangat aneh. Semua itu berhasil dikuasainya dalam beberapa
tahun terakhir, juga
tanpa diketahui oleh siapapun. Ia menyadari beta-
pa hebat kepandaian yang dimiliki oleh Sakapala.
Bahkan gerak-gerik Sakapala yang mencurigakan
telah lama tercium olehnya. Tidak salah kalau se-
karanglah merupakan saat yang tepat untuk men-
jajal ilmu hasil ciptaannya itu dalam usahanya
menangkap Sakapala.
"Kakang Sakapala. Bersiap-siaplah...!" Pramesta akhirnya memberi peringatan
setelah me- nunggu sekian lama, namun Sakapala hanya diam
saja. "Hiaat...!"
Sakapala membuka serangannya dengan
sebuah jurus Sinar Pelangi yang diketahui oleh
Pramesta sebagai jurus silat yang sangat berba-
haya. Tak ayal lagi Pramesta mengimbanginya
dengan jurus yang sama. Pertarungan dua ber-
saudara perguruan itu berlangsung sengit dan
menegangkan. Apalagi nampaknya di pihak si Topi
Terbang punya niat untuk mengakhiri pertempu-
ran secepat mungkin. Maka jurus-jurus silat anda-
lanpun segera ia gelar. Bahkan pertempuran itu
mencapai lima belas jurus. Sakapala sudah pula
mempergunakan senjata mautnya yang berupa se-
buah topi yang terbuat dari baja dan bergerigi di sisi kanan kirinya.
"Kakang Pramesta. Berhati-hatilah, senja-
tanya bisa mencelakakanmu!" teriak saudara seperguruan lainnya.
Sebenarnya Pramesta juga memiliki senjata
yang sama yang sewaktu-waktu dapat dipergu-
nakan untuk mengimbangi senjata Sakapala. Na-
mun dalam hal ini sengaja ia mempergunakan se-
buah kayu panjang yang sangat mirip dengan toya.
Dengan mempergunakan toya itu ia berusaha
menghindari serangan senjata maut yang disam-
bitkan oleh Sakapala.
"Nguuung...!"
Seeeeng...! Sedemikian cepat topi maut itu
melesat. Dengan sikap tenang Pramesta menyam-
but datangnya senjata Sakapala dengan cara me-
mutar toya di tangannya secepat mungkin.
"Praak... traal... traal...!"
"Haiiiit...!"
Pramesta lentingkan tubuhnya ke udara,
ternyata senjatanya yang telah dialiri tenaga dalam itu masih juga hancur
berantakan di landa topi
bergerigi milik si Topi Terbang
"Kau tak mungkin ungkulan menghadapi-


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku, Pramesta! Alangkah lebih baik kalau kau
memberi izin padaku untuk membawa adik-adik
seperguruan kita membangun istana iblis." bentak Sakapala dengan disertai suara
tawa tergelak-gelak Namun Pramesta menyambutnya dengan
suara dingin. "Kau baru boleh melakukannya apabila ka-
mu mampu melangkahi mayatku!"
"Sombong! Dalam dua jurus di depan jika
aku tak berhasil mencopot kepalamu, jangan sebut
aku si Topi Terbang." sentak Sakapala dengan kemarahan meluap-luap.
Pramesta diam tiada menyahut. Sebaliknya
ia mulai mengerahkan ilmu silat hasil ciptaannya
sendiri. Perubahan jurus-jurus silat yang dimain-
kan oleh Pramesta sudah barang tentu membuat
mereka yang hadir di tempat itu menjadi terbelalak matanya. Jurus silat yang
dimainkan benar-benar
aneh bahkan tak satupun dari jurus itu memiliki
persamaan dengan yang mereka pelajari dari
Eyang Guru. Sampai kemudian pada:
"Heaaaah... bet... zeb... zeb...!"
Bersamaan dengan suara teriakan Pramesta
yang tinggi melengking. Maka tubuhnya melesat
mendekati sebatang pohon pisang. Begitu tersen-
tuh langsung dicabutnya. Lalu dengan mempergu-
nakan batang pisang itu iapun melakukan seran-
gan ganas ke arah Sakapala. Si Topi Terbang tidak mengetahui untuk apa
sebenarnya Pramesta
mempergunakan batang pisang itu untuk menye-
rang dirinya. Yang jelas dengan disertai tawa berkepanjangan Sakapala juga
langsung memapaki
serangan Pramesta dengan jurus-jurus silat yang
sudah di ketahui kelemahannya oleh laki-laki ber-
tubuh jangkung ini.
"Shaaa...!" dengan mempergunakan kaki
kanannya Sakapala bermaksud melancarkan satu
tendangan yang disertai dengan tenaga dalam pe-
nuh mengarah pada bagian perut Pramesta. Na-
mun Pramesta malah hantamkan batang pisang di
tangannya ke bagian kaki Sakapala yang sudah te-
rulur. "Uuut... weeees...!"
Satu sambaran angin yang sangat keras
menerpa bagian kaki si Topi Terbang. Saat itu juga ia merasakan bagian kakinya
terasa ngilu. "Gila, ia memiliki kekuatan dahsyat yang tiada disangka-sangka.
Bagaimana dia bisa memperoleh kepan-
daian yang sangat langka itu" Atau mungkinkah
Eyang Guru telah menurunkan ilmu baru yang ti-
dak pernah diturunkannya padaku?" menggumam
Sakapala dengan perasaan kecewa.
Bleees...! Dalam keadaan menegangkan itu rupanya
Sakapala menarik balik serangannya. Di luar du-
gaan begitu merasa gagal memukul lawan dengan
batang pisang Pramesta malah hantamkan ka-
kinya mengarah pada bagian selangkangan Saka-
pala. Jrooot...!
"Wuaaagkh... keparaat...! Berani sekali kau
memukul anuku..."
"Anumu memang pantas diberi pelajaran.
Aku yakin kau tak pernah becus mengajar anumu
terkecuali memanjakannya...!"
"Sial dangkalan. Kubunuh kau...!"
Belum habis ucapan Sakapala, tiba-tiba
pemuda berpakaian serba kuning itu menyambit-
kan senjatanya yang berupa topi bergerigi itu ke
arah Pramesta. Siiiiing...! Cepat sekali senjata itu meluncur.
Dengan mempergunakan batang pisang itu juga ia
tidak mau kalah.
Berwrrrrrt...! Jrooos...! Pramesta langsung menyambutnya dengan
sebuah tawa panjang begitu melihat senjata anda-
lan milik lawannya sekarang telah menancap di
bagian batang pisang itu.
"Kalau kukembalikan topi terkutuk ini ke-
padamu, aku merasa yakin kau tak bakal mampu
menerimanya. Dari pada kau mati percuma, lebih
baik kakang menyerah saja untuk mendapat hu-
kuman dari Eyang Guru...!" kata Pramesta sambil melepaskan senjata maut itu dari
batang pisang yang tadinya ia pergunakan bagai perisai.
"Jangan mimpi...!' cibir Sakapala, kemu-
dian meludah beberapa kali
"Kakang Pramesta mengapa banyak basa-
basi lebih baik kita ringkus saja dia!" kata yang lain-lainnya merasa sudah
tidak sabar lagi. Bahkan dua diantaranya mulai melepas senjata yang
sama untuk menghadapi Sakapala
"Jangan bertindak! Biarkan aku sendiri
yang akan meringkusnya...!"
Setelah bicara begitu, entah bagaimana ru-
panya Pramesta memanfaatkan kelengahan Saka-
pala yang hanya beberapa saat itu. Sedetik tubuh-
nya berkelebat, ketika Sakapala menyadari apa se-
sungguhnya yang akan dilakukan oleh Pramesta,
semuanya terasa sudah terlambat.
"Tuuk... tuuuk...!"
Tak dapat dicegah lagi tubuh Sakapala
langsung terjerembat jatuh. Urat geraknya tertotok kaku hingga membuatnya tak
mampu berbuat banyak. "Keparat kau Pramesta. Kiranya kau benar-benar seorang
pengecut...!" maki Sakapala sambil meronta-ronta.
Pramesta meskipun merasa tidak sampai
hati, namun demi keamanan mereka semua, ter-
masuk juga adik seperguruannya, akhirnya mem-
beri perintah. "Periksa seluruh pakaiannya, dan ikat
dia...!" perintahnya pada empat orang lainnya.
"Tapi kakang bukankah dia juga masih me-
rupakan anggota...!"
"Kerjakan perintahku. Kalian tidak tahu ke-
licikan manusia yang satu ini...!" bentak Pramesta ketika salah seorang diantara
mereka ada yang co-ba-coba membantah.
"Kakang kami menemukan buntalan ini...!"
seru salah seorang dari mereka memberi laporan.
Pramesta menerimanya, kemudian setelah bebera-
pa saat iapun berucap.
"Apa kubilang" Coba kalau kita tidak teliti,
cepat atau lambat kita pasti akan menjadi budak-
nya." Pramesta lalu menyimpan bungkusan yang berupa serbuk Pemberontakan Jiwa
itu ke dalam saku bajunya. Tak lama kemudian merekapun se-
gera menggotong tubuh Sakapala menuju padepo-
kan gunung Ungkur yang terletak hanya ratusan
meter saja jaraknya dari tempat mereka.
5 Hemm. Daerah ini begini sunyi, padahal
rumah-rumah penduduk sedemikian rapatnya.
Aku merasakan udara begini lain bila dibanding-
kan dengan ketika aku berada jauh dari sini, siang tadi. Dalam situasi begini
rasanya aku pantas curiga. Mungkin ada sesuatu yang tak beres sedang
berlangsung. Heh... di depan sana ada sebuah wa-
rung" Lebih baik aku ke sana sekalian mengisi pe-
rutku yang sudah keroncongan sejak tadi siang...!"
berkata begitu pemuda berkuncir ini segera berge-
gas mendapatkan warung yang letaknya tidak be-
gitu jauh lagi di depannya. Sesampainya di depan
pintu warung, langkah pemuda itu jadi tertegun.
Beberapa orang bertampang kasar yang berada di
dalam warung itu memperhatikan dirinya dengan
tatapan kosong namun curiga.
Namun akhirnya Buang Sengketa memu-
tuskan untuk memasuki warung itu. Langkahnya
tenang menghampiri sebuah meja kosong yang ter-
letak di tengah-tengah ruangan. Hanya sekejap sa-
ja ia mengitarkan pandangan matanya ke segenap
penjuru warung. Kemudian ia memanggil pemilik
warung itu yang sudah sangat tua sekali. Mungkin
umurnya sekitar enam puluh dua tahun. Dengan
sikap enggan pemilik yang merangkap sebagai pe-
layan warung itu datang menghampiri.
"Tuan mau pesan apa...!" tanyanya dengan nada tidak bersahabat. Tercekat juga si
pemuda begitu mendengar ucapan pemilik warung yang te-
rasa kaku bahkan nada bicaranya berkesan sangat
dipaksakan. "Nasi putih, sayur berikut air Nira yang ma-
sih baru...!" kata si pemuda dengan suara lirih sekali. Pelayan itu kemudian
meninggalkan Buang
Sengketa setelah menganggukkan kepalanya pe-
lan. Si pemuda hanya memperhatikan kepergian
laki-laki tua itu dengan pandangan tiada mengerti.
Tidak begitu lama Buang menunggu pelayan itu te-
lah kembali lagi dengan membawakan makanan
yang dipesannya. Namun kali ini si pemuda sem-
pat melihat tangan dan kaki pelayan itu nampak
gemetar. Melihat kenyataan ini membuat pendekar
dari Negeri Bunian ini semakin bertambah curiga.
Dan pabila Buang mengendus bau makanan yang
telah terhidang di atas meja, maka aroma maka-
nan itu tidak sebagaimana bau aroma makanan
sebagaimana lazimnya.
"Kisanak. Kulihat orang-orang di sini semu-
anya serba mencurigakan. Apakah yang telah ter-
jadi?" tanyanya setengah berbisik. Menyadari adanya gelagat yang tidak baik ini
pelayan itu be-
rubah pucat wajahnya.
"Ee... tid... tidak...! Di sini tidak pernah terjadi apa-apa...!" jawab pemilik
warung sekaligus merangkap pelayan itu dengan suara terbata-bata.
"Kalau begitu coba kisanak cicipi makanan
yang telah kisanak sediakan ini!" perintah Buang Sengketa, tegas.
"Mana mungkin. Makanan itu khusus dis-
ediakan untuk tuan...!"
"Hemm. Masih juga kau mau membohongi-
ku, kisanak...!" ujar Buang. Kemudian sekali saja tangannya bergerak, maka
bagian kemeja laki-laki
berusia enam puluhan itupun telah dicengkeram-
nya sedemikian erat.
"Ee... apa-apaan ini. Mengapa tuan mem-
perlakukan diriku sedemikian rupa...!" kata laki-laki tua itu dengan tubuh
menggigil dan suara ge-
metaran. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara te-
guran yang begitu halus dari bagian belakang wa-
rung; "Kalau dia datang ke sini dengan tujuan mau makan. Yang jelas dia tidak
akan bertingkah seperti itu, namun jika dia mau merampok. Maka
seperti yang kalian lihat itulah kejadiannya."
Buang merasa terperanjat, ia merasa uca-
pan itu ditujukan kepadanya. Tak ayal lagi pemu-
da inipun langsung melepaskan cekalannya.
"Kepada orang yang bicara tadi, coba nam-
pakkan diri...!" perintah si pemuda begitu lugas.
"Boleh. Tetapi tidak di sini karena kehadi-
ranku hanya membuat orang-orang di dalam wa-
rung ini bisa memusuhimu...!"
"Kurang ajar. Kau jangan coba-coba menge-
cohku...!" bentak si pemuda. Tetapi tiada terdengar jawaban. Buang Sengketa
mengitarkan pandangan
matanya ke segenap isi warung.
"Astaga. Ada belasan orang di dalam warung
itu, namun sorot matanya kosong tanpa ekspresi.
Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mere-
ka?" batin si pemuda dalam hati. Agaknya ia sudah tidak dapat memikirkan keadaan
orang-orang itu lebih lama lagi. Perasaan penasaran telah me-
nyeret langkahnya menuju bagian belakang wa-
rung. Syeet dah. Di bagian belakang warung itu-
pun ia tidak melihat siapapun di sana. Namun ke-
tika telinganya mendengar suara lamat-lamat yang
sudah agak menjauh dari warung itu, maka tanpa
membuang-buang waktu lebih lama lagi, pemuda
itupun melakukan pengejaran.
"Hi... hi... hii...! Kami memang membutuh-
kan manusia perkasa sepertimu, bocah berpa-
kaian butut. Kemarilah...!"
"Sialan, dia sengaja memancingku dan me-
nyeretku menjauhi desa ini. Tapi tidak mengapa.
Akan kukejar dia, siapa tahu orang ini mempunyai
hubungan yang erat dengan keanehan-keanehan
yang terjadi di sini."
"Hei mengapa harus berdiri bengong di situ,
kesinilah...!"
"Kurang ajar. Kau benar-benar kuntilanak
bangsanya memedi yang patut di curigai."
Seusai dengan ucapannya itu Buang Seng-
keta kembali melakukan pengejaran. Namun lang-
kahnya jadi tertahan ketika ia melihat berkelebat-
nya selarik sinar ungu menuju ke arahnya. Sebe-
lum pukulan yang tiada disangka-sangka itu
menghantam tubuhnya, maka lebih cepat lagi tu-
buhnya melompat ke udara.
Dweeer...! "Sialan, hampir saja...!"
Luput dari serangan bokongan itu, Buang
kembali melakukan pengejaran. Namun orang
yang berlari di depannya itu ternyata memiliki il-mu meringankan tubuh serta
ilmu lari secepat ki-
jang. Dalam keadaan berlari biasa si pemuda sela-
lu ketinggalan jauh di belakang. Sampai kemudian
terdengar suara yang bernada mengejek:
"Sampai esok pagi sekalipun kau tak bakal
mampu mengejarku, pemuda gembel."


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar suara sayup-sayup di sana.
Buang Sengketa pada akhirnya merasa kesal juga
dengan tingkah perempuan yang berlari cepat di
depannya. Tak ayal lagi hanya dalam beberapa de-
tik setelah itu, pemuda inipun segera mengerah-
kan ilmu lari cepatnya. Ajian Sapu Angin. Begitu ia mengerahkan ilmu yang sangat
diandalkannya itu,
detik kemudian tubuhnya telah melesat laksana
terbang. "Hua... haha... ha... ha...! Kau hendak ke
mana perempuan kuntilanak." begitu tertawa
Buang Sengketa sekarang telah berada di depan
perempuan itu. Kenyataan yang tiada diduga-duga
itu memang benar-benar membuat perempuan
yang tidak dikenalnya menjadi terkejut sekali. Karena merasa pemuda itu telah
berhasil mengha-
dang dirinya, maka begitu berhadapan. Perem-
puan itu telah hantamkan telapak tangannya ke
arah si pemuda.
"Weeert...!"
Buang Sengketa ternyata telah bersiaga se-
jak dari tadi dalam menghadapi perempuan yang
dicurigainya itu, maka begitu perempuan yang di
sekujur tubuhnya diselimuti kerudung itu menye-
rangnya. Buang Sengketa dengan mempergunakan
setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya lang-
sung pula hantamkan tangannya memapaki se-
rangan itu. "Deees...!"
Terdengar benturan keras manakala dua
tenaga sakti bertemu. Perempuan berkerudung itu
memekik kaget. "Hh. Rupanya kau mempunyai kebisaan ju-
ga gembel berperiuk...!" maki perempuan itu. Padahal hatinya berdetak keras
begitu melihat ke-
tampanan pemuda yang berada tiga tombak di de-
pannya itu. Buang Sengketa mendengus. Dalam kegela-
pan itu sorot matanya berkilat-kilat menatap tajam pada perempuan berkerudung
yang saat itu telah
bersiap-siap melepaskan pukulan andalannya.
"Kaukah yang telah membuat mereka men-
jadi manusia pikun...?" tanya si pemuda tanpa menghiraukan ucapan si perempuan.
Bahkan si-kapnyapun terlihat begitu tenang.
"Justru aku malah bercuriga kepadamu.
Atau bahkan engkaulah yang telah membuat me-
reka menjadi manusia sinting tanpa kemauan apa-
apa...!" tuduh si perempuan berkerudung.
Memerah wajah Buang Sengketa seketika
itu juga mendengar tuduhan yang tidak beralasan
"Kau jangan sembarangan bicara. Sama se-
kali aku tidak tahu menahu dalam masalah ini..."
cetus si pemuda dengan nada tertekan.
"Siapa yang mau percaya dengan ocehan-
mu. Hiaat...!" perempuan berkerudung ini menutup ucapannya dengan satu terjangan
ganas men- garah pada bagian kepala Buang Sengketa. Pemu-
da ini dengan cepat-cepat menghindar dengan ja-
lan bersalto ke belakang beberapa kali. Namun pe-
rempuan itu nampaknya tidak mau berhenti sam-
pai di situ saya. Ia kembali melakukan serangan
ganas, kali ini pukulan-pukulan gencar yang disertai pengerahan tenaga dalam
yang kuat dilaku-
kannya. Namun Buang Sengketa bukanlah tokoh
muda sembarangan, selama bertahun-tahun ia
melakukan pengembaraan telah begitu banyak
pengalaman yang diperolehnya. Ketika ia menge-
tahui adanya serangan yang bertubi-tubi itu, maka dengan mempergunakan jurus
tangan kosong Membendung Gelombang Menimba Samudra, den-
gan gesit ia mengelak dari serangan yang dilaku-
kan oleh perempuan itu. Semakin panas hati pe-
rempuan itu melihat setiap pukulannya selalu da-
pat dielakan oleh lawannya. Hingga pada akhirnya
tiada tertahankan lagi iapun mencabut senjatanya
yang berupa sebilah pedang yang terselip di bagian punggungnya.
Sraaak...! Wuuut...! Beet... beeet...!
Dengan pedang ditangannya perempuan
berkerudung itu memburu lawannya. Pedang terus
berkelebat menyambar mengarah pada bagian per-
tahanan si pemuda yang rawan. Sedikit demi sedi-
kit Buang Sengketa merasakan adanya tekanan
yang diakibatkan oleh gempuran senjata di tangan
perempuan itu. Buang juga tidak mau mengambil
resiko yang dapat membahayakan keselamatan
pribadinya. Dengan cepat ia mempergunakan ju-
rus si Gila Mengamuk untuk mengatasi serangan
gencar lawannya. Dengan mempergunakan jurus
ini tubuh si pemuda terhuyung-huyung bagai seo-
rang pemabukan. Permainannya berubah secara
total, perubahan yang sangat tiba-tiba ini mem-
buat lawannya selalu merasa tertipu dalam setiap
melakukan serangan. Beberapa kali serangan pe-
rempuan berkerudung mencapai sasaran kosong.
Kenyataan ini membuat perempuan berkerudung
itu semakin bertambah nekad. Menghadapi kenya-
taan dan gerak silat perempuan berkerudung ini
sebenarnya Buang Sengketa sudah dapat menang-
kap bahwa sebenarnya perempuan itu mungkin
saja merupakan kaum persilatan golongan lurus.
Sekarang ia telah sampai pada kesimpulan untuk
menjatuhkan perempuan itu tanpa melukainya.
"Heiiikgh...!"
Buang kembali berkelit menghindari keta-
jaman pedang di tangan si perempuan berkeru-
dung. Begitu ia mampu menghindari serangan
yang sangat membahayakan itu, satu gerakan
yang tiada terduga-dugapun ia lakukan.
"Tuuk... tuuuk...!
"Akh, kau curang. Lepaskan... lepaskan...!"
"Huaaa... ha... ha...! Sekarang kau bisa apa"
Bukankah kalau aku bermaksud tidak baik, aku
dapat berbuat sesukaku...?" kata Buang dengan nada mengejek.
Pucat wajah perempuan berkerudung itu
begitu melihat Buang Sengketa melangkah mende-
katinya. "Siapakah kau ini, saudara?" tanyanya dengan nada berubah ramah.
"Mengapa tidak sejak tadi kau tanyakan hal
itu. Wajahmu yang tertutup kerudung itu mem-
buat aku menjadi curiga padamu. Tidak salah ka-
lau aku akan menangkapmu."
Maka menggigillah tubuh perempuan berke-
rudung itu demi mendengar ancaman pemuda ini.
"Ja... jangan...! Jangan kau gagalkan renca-
naku, kumohon lepaskan aku...!" rintih si perempuan bertopeng dengan nada
memelas. "Baik. Walau begitu aku tetap akan mena-
hanmu." "Oh jangan, kedua orang tuaku pasti akan
mencari." Buang tersenyum kecut. Ia menduga mung-
kin saja perempuan berkerudung itu merupakan
seorang gadis. "Siapakah orang tuamu...?"
"Mereka adalah kepala desa yang tinggal ti-
dak begitu jauh dari sini. Kalau situ tidak memba-wa maksud-maksud tertentu.
Maka sebagai priba-
di saya mengundangmu untuk datang ke ru-
mah...!" kata perempuan berkerudung itu polos.
Anehnya Buang Sengketa tidak memiliki ke-
curigaan apapun. Ia menganggukkan kepalanya.
Kemudian setelah memandang sekian lamanya
pemuda inipun berucap.
"Aku akan mengikutimu, tapi ingat jika ter-
nyata nantinya kau berbohong. Kepalamu akan
kujadikan sebagai taruhannya...!"
"Kau tak perlu khawatir, saudara. Tapi le-
paskan dulu totokanku...!"
Tanpa berkata-kata lagi, pemuda inipun
melepaskan totokannya. Selanjutnya mereka ber-
iringan menelusuri jalan setapak.
6 Dengan tidak kembalinya si Topi Terbang ke
Istana Kerajaan Iblis yang sedang dibangun oleh
Maha Diraja Setan Bumi. Laki-laki berpakaian
serba hitam ini merasa pusing dibuatnya. Bagai-
mana tidak, si Topi Terbang adalah satu-satunya
tangan kanan Maha Diraja Setan Bumi yang san-
gat dipercaya. Bahkan dalam mendirikan istana ib-
lis, si Topi Terbang memiliki andil yang tidak sedikit. Baik dalam penyumbangan
tenaga, pengum-
pulan tenaga kerja maupun hal-hal lain yang tak
kalah pentingnya dalam mewujudkan sebuah
singgasana yang sangat besar itu. Hanya satu yang membuat Maha Diraja Setan Bumi
merasa heran adalah mengenai kebiasaan si Topi Terbang dalam
berpergian selalu tidak pernah memberitahukan ke
mana arah tujuannya. Hal inilah yang membuat
Maha Diraja Setan Bumi merasa kesulitan untuk
melacaknya. Mungkinkah si Topi Terbang telah
bentrok dengan seorang lawan yang tangguh"
Ataukah pemuda itu telah mengalami sesuatu
yang tidak diingininya" Tetapi ke mana Maha Dira-
ja Setan Bumi hendak melacak" Seandainya arah
tujuan kepergian si Topi Terbang tidak diketa-
huinya sama sekali.
Siang itu di dalam singgasananya di ling-
kungan istana iblis yang belum jadi. Maha Diraja
Setan Bumi kelihatan duduk termenung. Makanan
yang disediakan oleh para pelayan sukarela yang
selama ini menjadi para abdi yang paling setia sedikitpun tidak disentuhnya.
"Hmm. Topi Terbang.
Andai ada seseorang yang telah membuatmu cela-
ka. Orang itu pasti tidak akan kubiarkan hidup.
Bagaimanapun si Topi Terbang merupakan segala-
galanya bagiku." gumam Maha Diraja Setan Bumi dengan tangan terkepal menahan
kegeraman hati.
"Pelayan...!" bentak Maha Diraja Setan Bu-mi memanggil salah seorang pelayannya
yang be- rusia masih begitu muda. Pelayan berwajah manis
itu datang menghampiri dengan sikap tergopoh-
gopoh. "Hamba yang mulia, Diraja...!" kata pelayan itu sambil menghaturkan
sembah. "Coba kau panggil Gending Sora...!" perintah Maha Diraja Setan Bumi dengan suara
tegas. "Baik. Perintah Maha Diraja Setan Bumi se-
gera hamba laksanakan." kata pelayan itu. Kemudian tanpa berkata-kata lagi,
setelah menghatur-
kan sembah pelayan itu segera menuju bangunan
istana di bagian belakang. Sebagaimana tugas
yang diberikan oleh Maha Diraja Setan Bumi. Se-
lama ini Gending Sora bertugas sebagai Kepala
Mandor bangunan istana itu. Tidak terlalu sulit
menjumpai laki-laki bertelanjang dada ini bagi pelayan itu. Karena Gending Sora
merupakan orang
yang sangat dikenal oleh semua orang yang berada
di dalam lingkungan istana iblis.
"Paman Gending Sora...!" seru pelayan itu setelah merasa dekat dengan Mandor
Kepala bangunan istana itu. Yang dipanggil menoleh dan
hampir saja berang jika pelayan itu tidak cepat-
cepat menyampaikan maksud kedatangannya.
"Yang mulia Maha Diraja Setan Bumi me-
merintahkan agar paman menghadap segera."
ucapnya sambil menganggukkan kepala.
"Hem. Pekerjaan ini memerlukan pengawa-
san yang ketat, namun Maha Diraja Setan Bumi
memanggilku. Lebih baik kupenuhi saja permin-
taannya...!" berkata begitu, tanpa menghiraukan itu, Gending Sora pun melangkah pergi.
Sebagaimana kebiasaan yang terjadi, sekarang setelah
Gending Sora pergi maka pelayan itu mengganti-
kan kedudukannya sebagai mandor bangunan is-
tana. Sementara itu di depan singgasana Maha
Diraja Setan Bumi, Gending Sora nampak duduk
bersimpuh. Perhatiannya kini sepenuhnya tertuju
pada sang pimpinan yang memiliki kesaktian
Mandraguna. "Paman Gending Sora...!" ujar Maha Diraja Setan Bumi memecah kebisuan yang
menyergap. "Hamba yang mulia...!" sahut Gending Sora dengan sikap penuh hormat.
"Aku bermaksud mengutus paman untuk
mengetahui keberadaan si Topi Terbang yang be-
lum juga kembali sampai saat ini. Aku takut telah terjadi sesuatu dengannya.
Karena sudah hampir
dua pekan pemuda itu tidak juga kembali. Semes-
tinya ia telah pulang dengan membawa tenaga ker-
ja sukarela yang sangat kita butuhkan." kata laki-laki itu dengan perasaan was-
was. "Tetapi kemanakah akan hamba cari si Topi
Terbang, jika hamba maupun yang mulia sendiri
tidak pernah mengetahui kemana tujuan si Topi
Terbang dalam mencari para tenaga kerja itu?"
"Itulah yang paling sulit buat kita. Sejak du-lu si Topi Terbang tidak pernah
mengatakan ke mana tujuannya dalam melakukan tugas apapun
yang kuberikan. Hal ini membuat kita merasa ke-
sulitan untuk melacaknya..." keluh Maha Diraja Setan Bumi dengan suara tergetar.
"Apakah tidak lebih baik bila kita menanya-
kannya pada Kanjeng Guru?" tanya Gending Sora mengajukan pendapat. Tetapi Maha


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diraja Setan Bumi gelengkan kepalanya keras-keras.
"Kita sudah terlalu sering membuat repot
Kanjeng Guru. Aku tak ingin persoalan ini disam-
paikan kepadanya."
"Lalu bagaimana yang mulia?" tanya Gending Sora penuh minat.
"Si Topi Terbang bagiku secara pribadi me-
rupakan manusia misterius. Tetapi aku menyukai
cara kerjanya yang sangat baik. Yang pasti aku in-
gin agar paman melakukan penyelidikan ke berba-
gai tempat, atau tanyalah pada setiap orang yang
paman temui barangkali mereka melihat kemana
perginya si Topi Terbang."
"Menurut yang mulia, mungkinkah mereka
mau mengatakannya pada hamba, sedangkan me-
reka juga mengenal siapa hamba dan juga si Topi
Terbang...?"
"Hua... ha... ha...! Kalau mereka tidak mau
mengatakan atau memberi keterangan pada pa-
man. Apa susahnya kalau paman bunuh saja me-
reka...!" ujar Maha Diraja Setan Bumi seolah di dunia ini dialah yang paling
berkuasa dalam segala-galanya.
"Hemm. Sebuah gagasan yang paling sangat
hamba senangi. Semoga hamba dapat menjalan-
kannya dengan baik...!" kata Gending Sora menyanggupi.
Maha Diraja Setan Bumi mengangguk-
anggukkan kepalanya tanda setuju.
"Aku merasa bangga sekali andai paman
benar-benar dapat menjalankan semua yang saya
perintahkan dengan baik...!"
"Oh ya kapan saya harus berangkat, yang
mulia?" "Lebih cepat justru malah lebih baik...!" kata Maha Diraja Setan Bumi berwibawa.
"Kalau begitu hamba mohon diri, yang mu-
lia...!" Gending Sora kemudian membungkukkan tubuhnya dalam-dalam, setelah itu
laki-laki bertelanjang dada inipun sudah melangkah pergi me-
ninggalkan ruangan singgasana raja yang sangat
mewah itu. * * * Kematian Asoka kiranya menimbulkan den-
dam kesumat bagi Beng Ju. Diam-diam di luar se-
pengetahuan Beng Lie yaitu kakak seperguruan-
nya ia mulai menghubungi beberapa orang tokoh
silat beraliran hitam. Biksu berangasan yang du-
lunya ketika berada di negeri leluhurnya merupa-
kan bekas tokoh sesat yang kemudian bersumpah
melakukan tobat ini secara diam-diam hendak me-
lakukan balas dendam dengan cara menyewa jago-
jago bayaran yang memiliki kepandaian tinggi.
Malam itu ketika kakak seperguruannya se-
dang terlelap dalam tidurnya. Di sebuah tenda lain yang terletak tidak begitu
jauh dari tenda yang di-tempati Beng Lie. Beberapa orang berpakaian ser-
ba hitam nampak bermunculan dari kegelapan.
Mereka terdiri dari empat laki-laki yang kesemua-
nya bersenjata lengkap. Tidak begitu lama setelah kemunculannya dari bawah
lereng bukit itu, maka
keempatnya pun segera pula menyusup ke dalam
Pendekar Bayangan Malaikat 11 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Hamukti Palapa 10
^