Pencarian

Gerhana Di Malam Jahanam 2

Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam Bagian 2


tenda. Biksu Beng Ju menyambut kehadiran me-
reka dengan sesungging senyum ramah. Laki-laki
berusia lima puluhan itu nampak mengelus-elus
kepalanya yang botak plontos sebelum mempersi-
lahkan tamu-tamunya duduk pada tempatnya
masing-masing. "Ha... ha... ha...! Ternyata kalian datang
menepati janji. Hih aku paling suka pada orang
yang selalu menepati janjinya...!"
"Kami empat bersaudara Macan Bromo ti-
dak pernah mengingkari janji manapun yang per-
nah kami buat...!" yang berkata adalah seorang la-ki-laki bertubuh kurus muka
kuning kayak kunyit.
"Apalagi janji itu menyangkut masalah uang
emas seperti yang anda janjikan. Ah... tak seo-
rangpun yang menolak rejeki. Terkecuali orang itu benar-benar sudah tidak waras,
ya saudara-saudara...!" kata laki-laki yang berada di sebelahnya. Perlu di
ketahui kalangan persilatan mengen-
al laki-laki muka pucat itu sebagai manusia yang
paling sadis diantara tiga orang saudara lainnya.
Ucapan laki-laki itu langsung disambut dengan de-
rai tawa kawan-kawannya. Tetapi Biksu Beng Ju
langsung memberi isyarat dengan menempelkan
jari telunjuknya di depan bibir. "Sstt. Jangan keras-keras, jika koko sampai
terjaga semua rencana kita bisa berantakan...!"
Empat bersaudara Macan Gunung Bromo
langsung hentikan tawanya ketika melihat isyarat itu. "Sudah kukatakan sejak
semula, bila sedang berada di lingkungan sini kalian harus hati-
hati kalau bicara. Kokoku sama sekali tidak men-
getahui rencana yang telah kukatakan pada kalian
itu." kata Biksu Beng Ju setengah berbisik.
"Apakah dia tidak setuju dengan rencana
anda?" "Bukan apa, koko orangnya terlalu penya-bar. Kematian adik seperguruan
kami, baginya hanya merupakan sebuah takdir yang telah diga-
riskan oleh Sang Hyang Widi. Aku mana bisa teri-
ma begitu saja. Apalagi aku secara pribadi masih
belum dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang
telah melakukan pembunuhan ini...!"
"Bagaimana mungkin kami bisa menda-
patkannya. Sedangkan siapa yang membunuh
adik seperguruan anda itu kami tidak tabu secara
pasti...!" tanya si muka hitam, kemudian mengga-ruk kepalanya yang tidak gatal
dan berambut ja-
rang. Beng Ju nampak tercenung dan cengenge-
san begitu mendengar pertanyaan si muka hitam.
Tetapi ketika ia teringat pada pemuda berkuncir
itu, tiba-tiba mulutnya menyeringai. Timbul pula
dugaannya mungkin saja pemuda berilmu tinggi
itulah yang telah membunuh Asoka. Hanya saja
mereka tidak memiliki bukti-bukti yang kuat un-
tuk menuduh secara langsung bahwa pemuda itu-
lah yang telah membunuh dan membakar peru-
mahan darurat yang telah dibuat Asoka untuk pa-
ra muridnya. Perasaan penasaran yang disulut
oleh api kemarahan karena ternyata tidak mudah
mencari jejak siapakah yang telah membunuh
Asoka, di tompang lagi atas rasa kecewanya ketika melawan pemuda itu, telah
benar-benar membuat
Beng Ju sampai pada kesimpulan bahwa pemuda
berpakaian kumuh itulah yang telah membunuh
adik seperguruannya. Tidak salah jika kemudian
ia berucap; "Sebenarnya saya sudah dapat menduga bahkan pernah bertemu dengan
orang yang te- lah membunuh adik seperguruan kami itu. Namun
saat itu kami, terutama saya tidak berani men-
gambil tindakan begitu saja berhubung kami ha-
rus mengurus mayat saudara kami itu...!"
"Siapakah dia...?" tanya Macan Gunung
Bromo secara serentak.
"Saya tidak mengenal namanya, tetapi saya,
ingat ciri-cirinya...!" kata Beng Ju dengan sesungging senyum licik.
"Coba tolong sebutkan ciri-ciri orang yang
telah membunuh saudara seperguruan anda itu.
Jangan khawatir, kami pasti mampu menyeret
orang itu ke hadapan anda, bila perlu kami akan
memenggal kepalanya sebagai imbalan atas upah
yang telah anda janjikan kepada kami...!"
"Heek... he... he...! Aku percaya atas ke-
sanggupan saudara-saudara sekalian. Mengenai
upah itu sebagian akan diberikan sekarang, se-
dangkan sebagian lagi akan aku berikan setelah
anda sekalian berhasil membunuh pemuda ber-
kuncir itu " kata Biksu Beng Ju. Tak lama setelah secara singkat laki-laki itu
menceritakan ciri-ciri Pendekar Hina Kelana secara lengkap.
Sebelum empat bersaudara Macan Gunung
Bromo meninggalkan tenda dan menghilang di ke-
gelapan malam, Biksu Beng Ju memberikan sepu-
luh keping uang emas sebagai pembayaran awal
buat para pembunuh bayaran dari gunung Bromo.
Di luar sepengetahuan orang-orang yang
berada di dalam tenda maupun empat laki-laki ja-
go bayaran itu. Kiranya ada sepasang mata sejak
tadi ikut mendengarkan pembicaraan mereka.
Orang yang mengintai dari balik semak-semak be-
lukar itu merasa sangat geram sekali mendengar
ucapan Beng Ju. Apalagi hal itu menyangkut na-
ma baiknya. Namun sejauh itu ia tidak ingin ber-
tindak secara gegabah. Walau bagaimanapun ma-
sih ada tugas penting yang harus dikerjakannya.
Tidak perduli apakah keselamatan dirinya sedang
dalam keadaan terancam.
7 Sambil terus mengayunkan langkahnya
pemuda berkuncir dan memiliki wajah sangat
tampan itu berusaha mengingat kembali tentang
pertemuannya dengan Cempaka. Yaitu si perem-
puan berkerudung anak tunggal Ki Langu kepala
desa Jati Sari. Gadis berkulit kuning langsat itu ternyata sedang melakukan
penyelidikan tentang
lenyapnya penduduk desa yang rata-rata berumur
muda. Bahkan setelah berada di tengah-tengah ke-
luarga kepala desa itu, Buang mendapat berbagai
keterangan yang sangat perlu guna mencari biang
keladi penyebar serbuk Pemberontakam Jiwa yang
sangat berbahaya itu.
Hanya satu hari saja Buang Sengketa bera-
da di rumah Ki Langu, selanjutnya ia meneruskan
perjalanannya kembali seorang diri. Sebenarnya
gadis yang bernama Cempaka itu juga ingin turut
menyertainya. Karena secara diam-diam ia mulai
merasa tertarik pada Buang Sengketa. Si pemuda
tahu betul hal itu. Namun ia menolak keinginan
Cempaka dengan sebuah alasan yang sangat tepat.
Namun siapa sangka secara diam-diam rupanya
Cempaka terus mengikuti si pemuda dari jarak
yang cukup jauh. Sementara itu sekarang Buang
telah sampai di daerah bukit Gentar. Yaitu sebuah tempat yang berbatasan dengan
bukit Api Abadi
tempat bersemayamnya manusia dedemit yang
sering disebut-sebut sebagai Kanjeng Guru oleh
para pengikutnya. Namun karena perjalanannya
tanpa petunjuk dan tujuan maka sasaran yang
hendak ditujunya masih bersifat untung-
untungan. Belum lama menelusuri jalan yang tidak se-
berapa lebar, Buang mendengar adanya derap
langkah kuda yang dipacu cepat ke arahnya. Sedi-
kit banyaknya tentu ia merasa curiga dengan ke-
hadiran orang berkuda di tempat yang sepi itu.
Tak ayal pemuda keturunan raja dari Negeri Alam
Gaib inipun langsung melompat ke tengah semak-
semak mencari tempat untuk bersembunyi. Lalu
dan kejauhan sana nampak seorang laki-laki ber-
telanjang dada sedang memacu kudanya dengan
kecepatan penuh. Buang tidak mengenal sama se-
kali siapa sebenarnya laki-laki yang duduk terguncang-guncang di atas kuda putih
itu. Namun un- tuk menarik perhatian akhirnya ia menampakkan
diri dari persembunyiannya. Bagai tak pernah ter-
jadi sesuatu apapun dengannya Pendekar Hina Ke-
lana kembali melangkah dengan sikap tenang.
Sementara penunggang kuda itu telah begitu dekat
sekali dengan si pemuda.
"Hei... berhenti...!" hardik si penunggang kuda yang tak lain Gending Sora
adanya. Mendapat perintah seperti itu, Buang Sengketa langsung
hentikan langkahnya, kemudian menoleh dengan
sikap seolah-olah bagai orang tolol. Pada saat itu penunggang kuda yang tadi
membentaknya, sekarang juga telah pula menghentikan laju kudanya.
Seraya memandang tajam pada pemuda ini, ketika
sesaat setelahnya pertanyaannya pun menggele-
dek. "Hei bocah berpakaian dekil. Apakah kau melihat seorang pemuda berpakaian
kuning yang dipunggungnya membawa sebuah topi. Maksudku
topi baja...?" ujar laki-laki bertelanjang dada itu merasa kesukaran untuk
mengatakan ciri-ciri si
Topi Terbang. "Ah maaf kisanak. Sama sekali aku tidak
melihat ciri-ciri orang yang anda sebutkan...!" kata si pemuda tenang.
"Ah masak kau tidak melihat orang yang
seperti saya sebutkan tadi?" sentak si laki-laki bertelanjang dada yang tak lain
Gending Sora adanya.
"Aku benar-benar tidak melihat orang yang
anda sebut itu kisanak. Kalaupun ada paling me-
reka yang baru pulang dari ladang, pedagang
sayur dan barusan ada juga pedagang tempe. Apa-
kah pemuda berpakaian kuning yang kisanak
maksud adalah seorang pedagang terasi dan ikan
asin?" pancing Buang Sengketa. Nampaknya pan-cingan pemuda itu memang mengena.
Terbukti wajah laki-laki berumur empat puluh delapan ta-
hun itu berubah merah padam. Pipi menggelem-
bung tan-da bahwa laki-laki ini sedang berusaha
menahan kemarahannya.
"Kau benar-benar keterlaluan, bocah. Ta-
hukah kau bahwa orang yang kucari-cari itu me-
rupakan manusia yang dapat mencopot kepalamu
hanya dalam waktu sekedipan mata. Maka hati-
hatilah kalau kau ingin bicara. Salah-salah nya-
wamu yang melayang." kata Gending Sora tanpa maksud mengancam.
"Oh kalau begitu dia merupakan tukang
jagal yang harus pula di jagal. Kurang ajar. Apa-
kah kawanmu itukah yang telah menjagal anjing
dan babi-babi orang kampung itu...?" tanya si pemuda dengan maksud tersembunyi.
"Keparat. Berhati-hatilah kau bicara, salah-
salah akupun tidak akan mengampunimu...! Seka-
rang menyingkirlah kau... aku tak punya banyak
waktu untuk melayani manusia gembel sema-
cammu...!" sentak Gending Sora. Saat itu ia sudah bermaksud membedal kudanya.
Tetapi Buang Sengketa malah melompat dan menghadang di
tengah-tengah jalan.
"Sebaliknya kaulah yang harus beri kete-
rangan padaku, sobat...! Atau aku akan mengha-
diahkan sesuatu yang terbaik untukmu...!"
"Kurang ajar. Berani sekali kau menghalan-
gi langkahku. Sesungguhnya siapakah engkau
ini...?" Gending Sora balik bertanya.
"Hanya merupakan orang yang kebetulan
lewat di jalan ini. Tetapi jelas aku ingin mengetahui siapakah sebenarnya yang
menjadi biang kela-
di penyebar racun Pemberontakan Jiwa...!"
Gending Sora terkesiap mendengar ucapan
si pemuda, sama sekali ia tiada menduga bahwa
pemuda berperiuk itu kiranya manusia yang pan-
tas dicurigai dan dapat membahayakan kelang-
sungan pembangunan Kerajaan iblis. Merupakan
suatu kehormatan baginya di hadapan Maha Dira-
ja Setan Bumi andai dapat menangkap pemuda itu
hidup ataupun mati. Tidak salah kalau beberapa
saat setelah itu iapun membentak garang:
"Bocah! Siapapun adanya engkau ini, aku
pantas mencurigaimu. Lebih baik menyerahlah
kau pada utusan pembesar Kerajaan...!"
Sebuah harapan baru untuk mengetahui
siapa sebenarnya laki-laki penunggang kuda itu
muncul dibenaknya.
"Hemm. Kiranya anda merupakan utusan
dan seorang pembesar Kerajaan iblis...!"
"Hua... ha... ha...! Pandai betul kau mene-
bak. Aku memang utusan dari Kerajaan iblis. Nah
setelah engkau mengetahuinya cepat-cepatlah me-
nyerah...!"
Buang Sengketa yang mulanya hanya mere-
ka-reka, tidak pernah menyangka bahwa apa yang
dikatakannya itu ternyata memiliki kebenaran.
Akhirnya iapun tertawa ganda.
"Kalau benar kau merupakan utusan Kera-
jaan Iblis. Maka sangat keliru jika kau menyuruh
bapak moyangnya raja iblis menyerah pada cu-
cunya...!" teriak si pemuda setengah bergurau.
Semua itu kiranya hanya membuat Gending Sora
menjadi marah luar biasa. Dengan cepat Gending
Sora melompat dari punggung kudanya, sambil
melompat laki-laki ini hantamkan tangan kanan-
nya mengarah pada bagian wajah si pemuda. Ti-
dak usah merasakan pemuda itu dapat menduga
bahwa pukulan yang dilakukan oleh lawannya
pastilah mengandung tenaga dalam yang kuat.


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terbukti terasa adanya sambaran angin yang begi-
tu deras menyertai datangnya pukulan yang dile-
paskan oleh laki-laki bertelanjang dada ini. Sebelum pukulan yang dilepaskan
Gending Sora meng-
hantam bagian rahang Buang Sengketa. Pemuda
itu telah doyongkan tubuhnya ke samping kiri se-
lanjutnya melakukan salto beberapa kali.
Wueees...! Pukulan yang dilepaskan oleh Gending Sora
luput dari sasarannya. Melihat kemampuan yang
dimiliki oleh si pemuda tentu saja Gending Sora
terkejut di samping bercampur heran. Selama ini
belum pernah seorang lawan manapun yang
mampu mengelakkan pukulan mautnya yang ter-
kenal dengan sebutan pukulan Inti Halilintar.
Ataukah karena melepaskan pukulan tadi ia bersi-
fat ayal-ayalan hingga pukulan itu dengan mudah
dapat dielakkan oleh lawannya" Rasanya tidak
mungkin, sebab sejak melakukan pukulan tadi
Gending Sora telah melakukannya dengan gerakan
yang amat cepat. Mustahil pemuda itu dapat men-
gelakkannya begitu mudah jika ia tidak memiliki
kepandaian silat yang hebat.
Gending Sora nampaknya sudah tidak me-
mikirkan apakah lawan yang dihadapinya itu he-
bat atau tidak. Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah bagaimana caranya ia
dapat menjatuhkan
lawan dalam waktu yang sangat singkat. Itu se-
babnya begitu pukulan pertamanya luput maka
iapun kembali merangsak.
"Chaaaaa... Heiiiit...!"
Buang Sengketa akhirnya tidak dapat lagi
bersikap setengah-setengah. Dengan mempergu-
nakan jurus Membendung Gelombang Menimba
Samudra dan juga jurus si Gila Mengamuk pende-
kar ini dengan lincah terus berkelit menghindari pukulan-pukulan lawannya yang
selalu mendatangkan hawa panas luar biasa. Tanpa terasa da-
lam waktu sekejap pertarungan telah berlangsung
dua puluh jurus. Saat itu padahal Gending Sora
telah menguras sebagian dari kemampuan yang
dimilikinya. "Bocah kuharap kau jangan hanya sekedar
mengelak dan menangkis. Kalau kau merasa
punya kemampuan yang diandalkan. Cepat-cepat-
lah tunjukkan sebelum segala-galanya benar-
benar terlambat...!" bentak Gending Sora. Saat itu ia telah rangkapkan kedua
tangannya. Mungkin
tak lama lagi ia akan melepaskan pukulan yang
sangat diandalkannya. Buang Sengketa pun nam-
pak terkesiap ketika melihat tangan Gending Sora
sekarang telah berubah putih kehitam-hitaman.
"Hiaat...!"
Pendekar titisan Raja Ular Piton Utara ini
melompat tiga tombak ke belakang. Kemudian ke-
dua tangannya ia angkat tinggi di atas kepala.
Dengan mempergunakan setengah dari tenaga da-
lam yang dimilikinya pemuda ini bersiap-siap me-
lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan itu.
"Hiaaat...!"
Gending Sora merangsak mendahului, se-
mentara Buang Sengketa tetap pada posisinya ber-
tahan. Wuuuus...!
Bet. Deb... deb...!
Selarik Sinar Hitam yang menebarkan bau
menusuk melesat cepat dari bagian tangan Gend-
ing Sora. Sebaliknya serangkum gelombang sinar
Ultra Violet menderu pula dari telapak tangan
Buang Sengketa. Terdengar suara bergemuruh
saat dua pukulan bertenaga sakti itu saling ber-
lomba mendahului, hingga akhirnya saling berben-
turan dan terasa bagai meruntuhkan tebing-tebing
di sisi jalan itu.
Blaaamm...! Buang Sengketa nampak tergetar tubuhnya,
bagian dada terasa sesak dan sangat sulit untuk
bernafas. Namun manakala ia melihat ke arah la-
wannya, maka kelihatan lah Gending Sora sempat
terlempar dua tombak, dari celah-celah bibir laki-laki itu mengalir darah
kental. Namun sungguh
hebat daya tahan yang dimiliki oleh Gending Sora, sungguhpun ia telah terluka
dalam. Namun cepat-cepat bangkit kembali. Dengan pandangan nanar
diperhatikannya Buang Sengketa dari ujung ram-
but hingga ke ujung kaki.
"Kau memang hebat bocah. Siapakah eng-
kau ini...?" tanyanya dengan suara tergetar. Si pemuda hanya tersenyum sinis.
"Nama bukanlah sesuatu yang pantas di
agul-agulkan, sobat. Namun jika kau masih mera-
sa penasaran juga, orang-orang menyebutku den-
gan si Hina Kelana...!"
"Jadi engkaulah yang berjuluk pendekar
Golok Buntung itu...?" sentak Gending Sora dengan mata berbinar-binar.
"Kalau tak salah begitulah orang-orang per-
silatan memanggilku...!"
Entah apa yang menyebabkannya, tahu-
tahu Gending Sora tergelak-gelak. Hal itu berlangsung lama sekali sehingga
membuat suara Gend-
ing Sora menjadi serak.
"Barangkali orang ini telah menjadi gila...!'
gumam Buang Sengketa di dalam hati.
"Kau tentunya muridnya si Bangkotan Ko-
reng Seribu" Sudah sangat lama sekali seluruh ke-
luargaku mendendam pada kakek pikun itu. Na-
mun kabar yang kudengar orang tua itu sudah ke-
buru mampus. Selain itu sebagai muridnya kau ti-
dak lebih gila dari gurumu sendiri. Bahkan kau telah berhutang nyawa padaku...!"
kata laki-laki itu dalam kegusarannya. "Dan kau lebih berhutang nyawa pada Maha
Diraja Setan Bumi...!"
"Aha... kau jangan coba-coba bercanda so-
bat. Bertemu denganmu saja baru kali ini. Bagai-
mana mungkin aku berhutang nyawa padamu dan
juga pada orang yang kau sebut-sebut sebagai
Maha Diraja Setan Bumi?" tanya Buang Sengketa di liputi ketidak mengertian.
"Kau jangan berdusta. Bukankah engkaulah
kunyuk yang telah membunuh Padri Mata Elang
dan puluhan manusia tidak berdosa lainnya di
Sindang Darah?" tanya Gending Sora dengan sua-ra ketus.
Buang Sengketa merasa kaget bukan alang
kepalang. Lalu secara perlahan teringatlah olehnya
peristiwa beberapa tahun yang lalu. Pembantaian
di Sindang Darah bukanlah sesuatu yang tidak
memiliki alasan-alasan yang kuat. Bahkan saat itu justru pemuda itulah yang
melerai peperangan
massal dan menyelamatkan mereka dari amukan
buaya-buaya jejadian yang menghuni sindang itu.
Mereka yang terbunuh dan saling bunuh itu sema-
ta-mata hanya karena ingin memperebutkan kitab
yang berisi dua belas jurus aneh peninggalan Padri Agung Pengayom Jagad.
Sedangkan kematian Padri Buta Mata Elang, semuanya semata-mata ka-
rena keserakahannya sendiri ingin merampas pe-
ninggalan gurunya. Padahal jelas nyata Padri Mata Elang merupakan murid tersesat
jauh dari kebenaran. Kalau itulah yang dipertanyakan oleh
Gending Sora, sudah jelas baginya bahwa orang
yang sekarang berdiri tegak di hadapannya itu tak lebih dari orang yang telah
dibunuhnya beberapa
tahun yang silam.
"Jangan kau kira mereka yang telah mam-
pus di Sindang Darah itu bukanlah manusia-
manusia yang tiada berdosa. Selamanya aku tak
pernah berani turun tangan secara gegabah jika
tidak mempunyai alasan yang kuat untuk melaku-
kannya...!"
"Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi
mana aku mau percaya begitu saja...!" sentak Gending Sora dengan wajah merah
padam. "Kalau kau tidak mau percaya juga. Nah se-
karang kau bisa berbuat apa?" tanya Buang Sengketa dalam kedongkolannya.
"Aku akan menangkapmu hidup atau ma-
ti...!" "Kalau kau merasa punya kemampuan. Ku-persilahkan melakukannya...!"
"Jahanam, kau benar-benar manusia kepa-
rat, Hiaaat...!"
Dalam kemarahannya itu, terlebih-lebih se-
telah mengetahui siapa sebenarnya pemuda yang
dihadapinya, Gending Sora tidak ingin bertindak
setengah-setengah. Sekali menerjang laki-laki bertelanjang dada ini telah
mengerahkan segenap ke-
mampuan yang dimilikinya. Namun si pemuda le-
bih sadar lagi siapa sebenarnya orang yang diha-
dapinya. Dengan mempergunakan ilmu silat tan-
gan kosong yang diberi nama Si Jadah Terbuang.
Pendekar Hina Kelana langsung memapaki atau
mengelakkan setiap serangan gencar yang dilaku-
kan oleh lawannya. Di tempat yang sunyi itu per-
tarungan kembali berlangsung. Masing-masing la-
wan mengerahkan segenap kemampuan yang di-
milikinya. Gending Sora dengan mengandalkan si-
lat tangan kosong dan pukulan-pukulan gencar
mengarah pada bagian-bagian yang mematikan.
Bahkan berulang kali ia melepaskan pukulan Inti
Halilintar, tetapi Buang Sengketa tidak mau men-
galah begitu saja. Dengan mempergunakan puku-
lan Si Hina Merana. Buang memapaki serangan
gencar lawannya. Tak ayal ledakan-ledakan keras
yang disertai dengan hawa panas yang tiada terpe-
rikan memenuhi sekitar pertempuran. Masing-
masing lawan nampaknya sudah mengalami luka
dalam yang cukup berarti.
Menghadapi kenyataan ini Buang Sengketa
akhirnya mengambil keputusan untuk menyudahi
pertarungan secepat mungkin. Maka ketika Gend-
ing Sora menyerangnya dengan jarak yang begitu
dekat. Tak ayal lagi pemuda keturunan Raja Ular
Piton Utara inipun mencabut Golok Buntung yang
terselip di bagian pinggangnya.
Sriiing...!"
Terlihat kilauan cahaya merah menyala saat
senjata maut itu tercabut dari sarungnya. Udara di sekitar tempat itu mendadak
berubah menjadi
dingin luar biasa. Hanya sesaat saja Gending Sora terperangah dengan kedua mata
membelalak bagai
hendak melompat ke luar. Namun detik selanjut-
nya ia harus menghindari terjangan senjata pusa-
ka di tangan si pemuda yang selain menimbulkan
udara dingin juga mengeluarkan suara gaung ba-
gai puluhan harimau terluka. Sekali dua samba-
ran senjata itu dapat dielakannya. Namun ketika
untuk yang kesekian kalinya senjata itu berkele-
bat. "Nguuung... Jraas...!"
"Arrrghk...!"
Gending Sora keluarkan jeritan tinggi me-
nyayat. Bagian tangannya terbabat sampai sebatas
pangkal lengan. Cepat-cepat laki-laki itu menotok jalan darahnya, tiba-tiba saja
ia merasa gentar
menghadapi pemuda itu. Lalu ia langsung melem-
parkan sesuatu ke depan si pemuda.
"Buuummm!"
Suasana menjadi gelap gulita. Buang me-
maki dalam hati karena musuhnya telah berbuat
licik. Kemudian lebih cepat lagi dia melompat
menghindari kungkungan asap tebal yang menye-
limutinya. Namun ketika ia terbebas dari kung-
kungan asap hitam itu. Ia sudah tidak melihat lagi lawannya berada di sekitar
situ. Tak ayal lagi pemuda inipun langsung melakukan pengejaran.
8 Murid-murid padepokan gunung Ungkur
masih terlelap dalam kantuk ketika salah seorang
dari mereka yang melakukan tugas jaga di depan
padepokan dengan tergopoh-gopoh membangun-
kan mereka yang sedang tertidur. Pramesta yang
dipercayakan oleh Eyang Guru dalam memimpin
mereka saat itu tidur di kamar bagian belakang.
Mendengar suara ribut-ribut pemuda inipun seba-
gaimana yang lain-lainnya ikut pula terjaga, langsung berlari keluar menyongsong
kedatangan adik-
adik seperguruannya.
"Ada apa...?" tanyanya pada adik seperguruan yang kebetulan tugas jaga malam
itu. "Cel... celana, eeh celaka, kakang...! Si Topi Terbang melarikan diri dari
penjara...!" lapor orang itu dengan wajah pucat pasi. Siapapun yang berada di
padepokan itu menyadari Pramesta adalah
orang yang sangat disegani di kalangan padepo-
kan, selain ia berotak cerdas, tetapi juga sangat ja-rang sekali berbicara pada
siapapun terkecuali dianggap perlu sekali.
Tanpa berkata-kata lagi kemudian Pramesta
menyeruak diantara kerumunan sekian banyak
orang yang berada di depannya. Dengan diikuti
oleh yang lain-lainnya, pemuda itupun berlari ce-
pat menuju ke arah penjara. Sesampainya di sana
ia terlongong-longong, pintu penjara nampak di je-bol secara paksa. Ini sebuah
kemungkinan yang
sangat sulit ia percaya, bagaimanapun si Topi Terbang dalam keadaan terikat dan
tanpa senjata, bagaimana mungkin ia dapat melakukannya tanpa
bantuan orang lain. Mungkinkah diantara adik-
adik seperguruanku ada yang berhianat" Kalau
pun memang benar apa yang menjadi dugaanku,
tapi siapakah yang melakukannya" Agaknya aku
perlu meneliti mereka satu persatu. Batin Prames-
ta. Kemudian dipandanginya adik-adik sepergu-
ruan yang jumlahnya tak lebih dari sebelas orang
termasuk dua orang adik seperguruan perempuan.


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun di antara mereka tidak terlihat kehadiran
Asih Angraeni. "Adik Kurnia Dewi..." Tidak kulihat Asih
Angraeni diantara kalian. Coba kalian lihat di dalam kamarnya...!" perintahnya
curiga. "Baik kakang...!"
Kurnia Dewi dengan ditemani dua orang
saudara perguruan langsung bergegas menuju ke
bagian kamar Asih Angraeni. Namun mereka jadi
terperanjat manakala melihat kamar kakak seper-
guruannya kosong.
"Celaka. Kak Asih tidak ada di tempat-
nya...!" seru Kurnia Dewi, lalu memandang pada dua orang lainnya.
"Sebaiknya kita laporkan saja pada kakang
Pramesta...!" usul salah seorang dari mereka. Ke-
mudian tanpa membuang-buang waktu lagi mere-
ka segera bergegas keluar.
"Bagaimana" Apakah Asih Angraeni ada di
dalam kamarnya...?" sambut Pramesta merasa tak sabaran lagi.
"Dia tidak ada di tempat, kakang...!" lapor gadis itu dengan wajah ketakutan.
Pramesta bukan main geram. Sebagaimana
ia ketahui Asih Angraeni selama ini punya hubun-
gan asmara dengan si Topi Terbang. Kemungkinan
bagi Asih Angraeni untuk menyelamatkan si Topi
Terbang besar sekali.
"Tidak kusangka pada akhirnya ia rela
mengkhianati kita hanya demi kepentingan manu-
sia sesat seperti si Topi Terbang. Siapapun maji-
kan si Topi Terbang, yang jelas suatu saat dia pasti datang kemari untuk
mengadakan pembalasan.
Entah bagaimana aku harus bertanggung jawab
pada Eyang Guru. Tetapi menunggu kedatangan-
nya merupakan sebuah penantian yang sangat
membosankan. Ada baiknya kalau aku dan Kurnia
Dewi melakukan pengejaran sebelum si Topi Ter-
bang memberi laporan pada majikannya...!" kata Pramesta memutuskan.
"Kami harus ikut, kakang...!" ujar yang lain-lainnya secara serentak. Namun
Pramesta cepat-
cepat gelengkan kepalanya.
"Kalau kalian semua mau ikut, lalu siapa
yang menunggui padepokan ini...?"
"Tapi kang, haruskah kami bertahan di sini
selamanya. Kami juga ingin mengetahui perkem-
bangan dunia luar...!"
Pramesta kembali gelengkan kepalanya.
Dengan berwibawa kemudian ia berucap: "Kalau kalian bersikeras juga ingin tetap
pergi. Maka kalian boleh melakukannya. Sementara biar aku seo-
rang diri tetap tinggal di padepokan ini...!"
"Kalau kakang yang memilih tinggal di pa-
depokan maka kami membatalkan niat untuk
mencari si Topi Terbang dan adik Asih Angraeni.
Siapa sih diantara kami yang sanggup mengalah-
kan kakang Topi Terbang terkecuali kakang Pra-
mesta seorang." tukas salah seorang dari mereka dengan nada kecewa.
"Itulah sebabnya kalian harus mengikuti
semua petunjukku. Sebab bukan si Topi Terbang
dan Asih Angraeni saja yang akan kucari, tetapi
juga aku ingin mengetahui untuk siapa si Topi
Terbang bekerja."
"Baiklah kakang. Kalau semua itu sudah
menjadi kehendak kakang. Kami hanya menu-
rutinya saja." jawab yang lain-lainnya serentak.
Tidak begitu lama setelah itu berangkatlah
Pramesta beserta Kurnia Dewi. Beberapa orang
murid lainnya hanya mengantar kepergian mereka
sampai di pinggiran kaki gunung Ungkur. Karena
dalam melakukan perjalanan itu baik Pramesta
maupun Kurnia Dewi mempergunakan ilmu lari
cepat. Maka dalam waktu sebentar saja mereka te-
lah begitu jauh meninggalkan gunung Ungkur.
* * * Di sebuah pohon yang rindang, empat orang
laki-laki bertampang kasar itu nampak mele-
paskan lelah. Wajah mereka membayangkan rasa
letih yang teramat sangat. Tidak mengherankan
karena sudah hampir delapan hari lebih mereka
melakukan perjalanan tanpa beristirahat barang
sebentar. Sebagai jago-jago bayaran sudah barang
tentu mereka merasa penasaran karena orang
yang dicari-carinya masih belum juga bertemu
hingga sekarang. Sambil menyantap bekal yang
mereka beli dari warung siang tadi. Salah seorang dari mereka berucap: "Sekarang
entah berada di mana, kita-kita ini. Batang hidung orang yang kita caripun
hingga kini kita belum melihatnya. Mu-lutku sudah capek bertanya pada setiap
orang yang lewat. Namun tetap saja mereka gelengkan
kepala. Atau mungkinkah orang yang kita cari-cari itu merupakan pendatang
asing?" "Asing atau bukan Empat Macan Gunung
Bromo tidak perduli. Yang paling penting kita ha-
rus dapat menangkapnya cepat atau lambat...!"
sahut laki-laki kurus muka kunyit menimpali.
"Wuaah...!" laki-laki yang sejak tadi sende-ran di batang pohon menguap berkali-
kali. Nam- paknya ia tidak begitu perduli dengan pembica-
raan yang sedang berlangsung.
"Langit di atas sana nampak mendung.
Mendung tebal lagi, sebentar lagi hujan segera turun. Hujan juga pasti akan
deras. Ah, para iblis itu rupanya tahu bahwa aku memang belum mandi
sudah lebih dari lima belas hari. Orang-orang di
langit memang selamanya bersikap baik kepadaku.
Semoga cepat-cepatlah hujan turun. Badanku ra-
sanya sudah bau terasi. Panas begini nggak bisa
ngimpi...!"
"Kau memang selalu menjengkelkan adi...!
Setiap habis makan otakmu memang paling su-
sah diajak mikir...!" sentak laki-laki lainnya dengan wajah memberengut.
"Walaupun aku tidak ikut bicara apa-apa.
Tetapi aku selalu mendengar apa yang kalian ka-
takan...! Kalau mau bicara silakan, tokh aku
hanya ingin tidur, walau pun cuma sebentar...!"
kata si muka pucat sambil tersenyum mencibir.
"Heh... Macan Gunung Bromo dalam seja-
rahnya belum pernah gagal dalam memburu
mangsa. He... he... he... para Biksu itu mengupah kita sudah barang tentu karena
telah mengetahui
kehebatan kita. Setidak-tidaknya berita tentang
kehebatan Macan Gunung Bromo telah mereka
dengar dari orang lain." kata si muka kunyit kembali pada persoalan semula.
"Hina Kelana, begitu yang kudengar julukan
pemuda berkuncir itu. Kurasa tidak begitu sulit
untuk menangkapnya. Tetapi andai jejaknya saja
kita terlalu sulit untuk melacaknya. Bagaimana
mungkin kita dapat berbuat banyak...!"
"Jangan terlalu mudah putus asa. Kalau dia
bukan bangsanya memedi ataupun siluman. Ke-
sempatan untuk menjumpainya besar sekali." de-sah si wajah hitam legam di sela-
sela tidurnya. Tiga orang kawan langsung menoleh pada si
muka hitam. Lalu mereka pun saling berpandan-
gan. "Heran. Dalam keadaan mata terpicingpun
ia masih mendengar apa yang kita bicarakan..."
kata si muka kunyit.
"Yang terpicing itu mata, yang namanya
kuping tetap aja mendengar. Kalau kalian merasa
penasaran sebenarnya yang namanya si Hina Ke-
lana itu berada di sekitar sini...!"
"Haaa...!" seru tiga orang lainnya dengan mata membelalak tak percaya. Sekali
lagi mereka menoleh ke arah si muka hitam yang sedang terti-
dur lelap. "Kau bicara apa adi" Kau bilang pemuda
berkuncir itu berada di sekitar kita?" tanya si mu-ka pucat keheranan.
Namun tiada jawaban yang keluar dari mu-
lut si muka hitam.
"Ketahuan orang lagi tidur. Tapi masih juga
kau ajak bicara...!" cetus si muka kunyit. Sekali lagi kembali berpandangan.
"Mata kalian nggak pernah mau melihat le-
bih teliti. Sudah kukatakan yang namanya si Hina
Kelana itu yang di sini ini." Kali ini terdengar sebuah suara yang agak lain
dari suara si muka hi-
tam. Salah seorang dari mereka langsung melom-
pat dan mengguncangkan tubuh adiknya. Tetapi
orang itu diam tiada bergeming.
"Sial dangkal, sebenarnya dia sedang tidur.
Bagaimana mungkin dia dapat mendengar apa
yang kita bicarakan...?" tanya si muka kunyit.
Pada saat mereka diliputi perasaan bingung
seperti itulah tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dari atas pohon.
"Sejak kemarin orang tidur memang tidak
mungkin mendengar orang yang sedang bicara.
Kalaupun bisa paling tidak hantunya. Ha... ha...
ha...! Katanya kalian akan menangkapku karena
mendapat upah yang lumayan besar dari Biksu
dungu itu. Mengapa harus bersusah payah menca-
riku jauh-jauh. Tokh sekarang aku telah berada di sini...!" Karena suara itu
bersumber dari atas pohon, maka secara serentak mereka mendongakkan
kepalanya ke arah pohon itu.
Namun tak seorangpun terlihat di sana. Ka-
lau bukannya jenis memedi, mana mungkin orang
yang berkata-kata itu terlihat sama sekali. Padahal pohon itu tidak begitu
rindang. Siapapun yang
bersembunyi di sana setidak-tidaknya diantara
kami pasti ada yang melihatnya. Gumam si muka
kunyit sambil hentakkan kakinya.
"Orang di atas pohon. Kami harap mau me-
nampakkan diri, jika tidak pohon ini kami roboh-
kan..!" ancam si muka pucat.
"Kalau kau punya kemampuan. Mengapa
tidak segera kau lakukan muka mayat?"
Mendapat tantangan seperti itu, muka
mayat tidak pikir panjang lagi. Cepat-cepat dia ke-rahkan tiga seperempat tenaga
dalamnya. Seben-
tar saja kedua tangan yang telah teraliri tenaga dalam itu telah berubah menjadi
kebiru-biruan. Tiba-tiba dia melompat ke depan disertai te-
riakan melengking.
"Heaaah...!"
"Hei tunggu...!" seru si muka kunyit secara mendadak. Praktis gerakan si muka
pucat lang- sung terhenti. Dalam keadaan marah dia menoleh.
"Ada apa, kakang...!" sentaknya dengan perasaan tidak senang.
"Apakah kau hendak membunuh adi hitam
yang sedang tertidur...?"
"Sialan. Kambing dungu ini memang selalu
membuat pekerjaanku jadi tertunda. Singkirkan
dia!" perintah si muka pucat merasa tidak sabaran. Begitu salah seorang
menyambar tubuh si
muka hitam. Tak ayal lagi terdengar sebuah se-
ruan panjang. "Hantaaaaam...!" teriak muka kunyit memberi aba-aba.
"Hiaaat...!"
Deer Kraaak...! Tak ayal lagi pohon besar itupun tumbang
dengan menimbulkan suara berdebum. Namun
mereka yang menyaksikan robohnya pohon itu ti-
dak melihat berkelebatnya seseorang dari kerim-
bunan pohon yang berhasil dirobohkan oleh si
muka pucat. "Ah... hanya orang gila saja yang mau mela-
kukan pekerjaan sia-sia. Pohon tidak memiliki sa-
lah apa-apa. Hemm. Sungguh kalian merupakan
kuli-kuli penebang pohon yang pantas diacungi
jempol...!" kata sebuah suara yang pemiliknya tak lain Buang Sengketa adanya.
"Keparat. Orang itu benar-benar memiliki
kepandaian yang luar biasa...!" geram si muka hitam yang baru saja terjaga dari
tidurnya. Sebenarnya apakah yang terjadi" Padahal Empat Macan
Gunung Bromo sudah merasa yakin kalau orang
yang mereka buru berada di atas pohon itu. Ter-
nyata di luar sepengetahuan mereka Pendekar Hi-
na Kelana begitu mengetahui si muka mayat hen-
dak merobohkan pohon, dengan mempergunakan
Ajian Sapu Angin dan ilmu meringankan tubuh
yang sudah sangat sempurna Buang menggenjot
tubuhnya dan berpindah ke tempat lainnya. Begitu
pohon roboh jelas saja pemuda yang mereka cari-
cari sudah tidak berada di tempatnya lagi. Seka-
rang setelah berada di atas pohon lainnya, dengan suara lantang pemuda itu
berkata: "Kusadari kalian hanya mencari persoalan
denganku. Sedangkan aku sendiri tidak pernah
menanam permusuhan, meskipun dengan bapak
moyangmu. Kukatakan lebih tegas lagi pada kalian
bahwa sebenarnya Biksu itu hanya salah sangka.
Sama sekali aku tidak membunuh saudara seper-
guruannya. Pulanglah, nak... tidak ada gunanya
kalian memusuhiku. Karena semua usaha kalian
hanya akan sia-sia belaka...!" desis si pemuda tanpa maksud menakut-nakuti.
Namun Empat Macan
Gunung Bromo bukanlah para tokoh persilatan
yang dapat digertak dengan mudah. Pabila men-
dengar sumber suara, orang yang baru saja berka-
ta-kata tadi pastilah berada di pohon yang terletak si sebelahnya. Secara diam-
diam mereka mengerahkan setengah dari tenaga sakti yang mereka
miliki. Kemudian langsung menyalurkannya ke
arah kedua telapak tangan. Pendekar Hina Kelana
kiranya menyadari adanya gelagat yang tidak baik
ini. Tidak ingin menanggung akibat buruk yang
mungkin saja terjadi pemuda inipun bersiap-siap


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memapaki pukulan mereka dengan memperguna-
kan pukulan ampuh si Hina Kelana Merana. Keti-
ka pemuda itu rangkapkan kedua tangannya ke
udara dari bawah sana, dengan disertai teriakan
menggemuruh menderulah empat gelombang sinar
menyilaukan meluruk ke arah kerimbunan pohon
tempat di mana Buang Sengketa berada. Sesaat
pemuda ini terkesiap. Sama sekali ia tidak me-
nyangka empat tenaga gabungan itu menimbulkan
kekuatan yang sangat dahsyat. Lebih cepat lagi si pemuda hantamkan kedua
tangannya ke depan.
Wuuus...! Serangkum gelombang yang memancarkan
sinar merah menyala langsung melesat dari bagian
telapak tangan si pemuda. Sinar hitam pekat yang
disertai kabut langsung menghantam tenaga sakti
yang dilepaskan oleh Buang Sengketa.
"Blaaam...!"
Empat kali ledakan berturut-turut terasa
bagai mengguncangkan seisi bumi. Dahan yang
dipergunakan oleh si pemuda untuk berpijak pa-
tah di beberapa bagian. Tak ayal lagi tubuh pemu-
da itupun jatuh terhempas bersama dahan yang
dipijaknya. Sementara itu di pihak lawan hanya
tergetar saja. Setelah jatuh berdebum, Buang
nampak muntahkan darah segar. Pandangan ma-
tanya berkunang-kunang. Sedangkan kepala tera-
sa berdenyut dan menimbulkan rasa nyeri sekali.
Melihat keadaan pemuda itu, berderailah tawa me-
reka. "Cuma beginikah manusia yang mempunyai
julukan si Hina Kelana itu. Sungguh engkau tak
pantas memiliki julukan sehebat itu. Kehebatan-
mu ternyata tidak ada apa-apanya bila dibanding-
kan dengan Empat Macan Gunung Bromo. Untuk
itu hari ini juga kami akan menghapus nama seo-
rang gembel tiada guna semacammu...!" bentak si muka kunyit. Sebentar kemudian
mereka telah mengurung pemuda dengan jarak begitu dekat.
Buang Sengketa hanya menggeram mendengar
ejekan yang sangat meremehkan dirinya. Sebalik-
nya ia cepat menghimpun hawa murninya untuk
menghilangkan rasa sakit yang begitu menggigit
pada bagian rongga dadanya. Tak lama setelahnya
dengan langkah terhuyung-huyung ia telah bang-
kit berdiri. Dengan nada merendah iapun berucap:
"Kuakui kehebatan Empat Macan Gunung Bromo.
Si Hina Kelana memang tidak ada apa-apanya. Un-
tuk itu segeralah menyingkir. Karena aku tidak
memiliki banyak waktu untuk melayani tikus-tikus
macam kalian...!"
"Kurang ajar. Bagi kami kepalamu memba-
wa rejeki berpuluh-puluh keping uang emas. Kau
boleh pergi setelah meninggalkan kepalamu...!"
sentak si muka hitam, setelah berkata ia langsung melompat menghadang. Tetapi
Buang Sengketa hanya menanggapinya dengan sesungging senyum
sinis. Pelan saja tangannya bergerak.
Wusss...! "Gubraaak...!"
Si muka hitam yang tiada menyangka bah-
wa lawannya memiliki kesaktian tingkat tinggi
langsung jatuh tersungkur mencium tanah ketika
mendapat tamparan yang disertai dengan penge-
rahan tenaga dalam itu. Dengan kemarahan yang
meluap-luap si muka hitam berikut tiga orang
saudaranya kembali mengurung Buang Sengketa
dengan jarak lebih rapat lagi.
"Rupanya nyawamu masih alot juga bocah
gembel...!" teriak si muka hitam. Lalu seka darah yang mengalir di sela-sela
bibirnya. "Rupanya nyawaku memang tidak ada di
jual di tukang loak. Makanya dia masih setia ber-
semayam di dalam ragaku...!"
"Keparaat. Kalau begitu biarlah hari ini ka-
mi Empat Macan Gunung Bromo yang akan men-
cabutnya...!"
Berkata begitu empat orang laki-laki ber-
tampang kasar inipun langsung melakukan penge-
royokan dengan serangan-serangan gencar. Buang
Sengketa menyadari bahwa lawan-lawan yang di-
hadapinya rata-rata memiliki kepandaian tinggi
dan memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf sempurna pula. Dari bentrokan pukulan ja-
rak jauh tadi ia sudah dapat menarik kesimpulan
bahwa sekarang ia tak perlu sung-kan-sungkan
lagi dalam menghadapi musuhnya. Dengan mem-
pergunakan variasi jurus si Gila Mengamuk dan
jurus si Jadah Terbuang, pemuda ini berusaha
mengimbangi permainan silat lawannya dan men-
gelakkan pukulan-pukulan gencar yang datang da-
ri berbagai jurusan itu. Dalam kesempatan-
kesempatan tertentu Buang lancarkan tendangan
maupun pukulan bertenaga dalam tinggi menga-
rah pada lawan yang berada paling dekat dengan
dirinya. "Pergunakan jurus Macan Gunung Mem-
banting Tulang...!" teriak si muka kunyit pada tiga orang kawannya.
Serentak Bet... bet... zeeeb... zeeeb...!
Empat orang lawan berloncatan dengan po-
sisi berpencar. Dalam kesempatan itu masing-
masing lawan kini telah mencabut senjatanya yang
berupa sebuah clurit namun bergerigi pada tiap-
tiap sisinya. Melihat ketajaman senjata di tangan lawannya Buang Sengketa
langsung menyurut
langkah. Sepasang bola matanya berputar-putar
liar memperhatikan setiap gerak senjata yang be-
rada di dalam genggaman tangan lawan.
Ketika empat orang lawan melakukan se-
rangan secara bersamaan, Buang merasakan tiba-
tiba ruang geraknya menjadi sempit dan tak mam-
pu bertindak leluasa. Serangan senjata itu ternya-ta lebih ganas dan berbahaya
bila dibandingkan
dengan serangan-serangan yang mereka lakukan
pada tingkat awal. Empat Macan Gunung Bromo
memang pantas mendapat julukan sebagai jagoan
bayaran karena kehebatan mereka dalam me-
mainkan senjata. Terlepas dari semua itu, keadaan si pemuda semakin lama nampak
semakin terdesak. Pada satu kesempatan, si muka hitam yang
sudah dilanda kemarahan besar bergerak menda-
hului kawan-kawannya. Clurit di tangannya men-
deru mengarah pada bagian perut dan leher Buang
Sengketa. Wuuus... weeert...!
Berkelebatnya senjata lawan menimbulkan
angin keras dan mengibarkan anak-anak rambut
si pemuda. Namun dengan gerakan kilat pemuda
itu melentikkan tubuhnya ke udara. Si muka hi-
tam bermaksud melakukan gerakan yang sama
dengan tujuan membabatkan senjatanya pada saat
tubuh si pemuda masih berada di udara. Di luar
dugaan sewaktu tubuh si pemuda menukik kem-
bali ke bawah, Buang lepaskan pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Detik itu juga serangkum ge-
lombang Sinar Ultra Violet yang menimbulkan
udara panas tiada tertahankan menyerbu ke arah
lawan yang berada di bawahnya. Posisi ini me-
mang terasa tidak menguntungkan bagi si muka
hitam. Dalam kegugupannya itu ia babatkan sen-
jatanya membentuk perisai diri. Sementara tiga
orang lainnya nampaknya tidak mempunyai ke-
sempatan untuk menolong adik seperguruan me-
reka. Praaang...
Breeesss...! Begitu pukulan Empat Anasir Kehidupan
membentur pertahanan si muka hitam, tak ayal
tubuh si muka hitam langsung terpelanting roboh.
Senjata ditangannya terlepas dan entah terjatuh di mana. Sementara berulang kali
si muka hitam muntahkan darah kental kehitam-hitaman. Laki-
laki dari gunung Bromo itu meskipun telah terluka dalam cukup parah namun nampak
berusaha bangkit kembali. Usaha itu ternyata hanya sia-sia belaka. Karena sedetik
setelahnya si muka hitam
jatuh terjerembab dan tiada berkutik untuk sela-
ma-lamanya. Melihat kejadian yang dialami oleh saudara
seperguruannya, tiga orang lainnya semakin ber-
tambah beringas saja.
"Kau benar-benar orang yang paling celaka
hari ini. Heeaaa...!" belum lagi ucapan si muka pucat berakhir, secara
berbarengan mereka mener-
jang ke arah si pemuda. Serangan dari tiga arah
yang begitu cepat dan ganas membuat Buang
Sengketa cepat sekali terdesak. Hanya dengan
mengandalkan jurus si Jadah Terbuang ia masih
mampu menghindari terjangan yang datang, na-
mun sambaran senjata yang datang secara tiba-
tiba dari bagian belakang tidak berhasil dielak-
kannya. "Breeet...!"
"Ahhkg...!" Buang Sengketa mengeluh pan-
jang, namun cepat-cepat membanting diri ke
samping kiri dengan tujuan menghindari terjangan
senjata berikutnya. Pemuda ini nampaknya tidak
memperdulikan lagi rasa perih dan darah yang
mengalir di bagian punggungnya. Sementara tiga
orang lawan terus memburunya.
Mempergunakan kesempatan yang sangat
sempit itu: Jraass...! Dengan berkelebatnya sinar merah menya-
la. Satu jeritan melengking tinggi disertai dengan ambruknya tubuh si muka
pucat. Darah langsung
menyembur membasahi sekujur tubuh si muka
kunyit, sementara Buang Sengketa sekarang telah
bangkit berdiri. Kiranya dalam keadaan terdesak
tadi si pemuda telah mencabut senjatanya dan
langsung membabatkannya ke bagian perut si
muka kunyit. Tiada kata yang terucap, tubuh si
muka kunyit berkelojotan beberapa saat lamanya,
selanjutnya tiada bergerak-gerak lagi. Mati.
Melihat gelagat yang tak baik ini, sambil
menyambar mayat dua saudaranya. Si muka pu-
cat dan muka merah dengan terbirit-birit langsung melarikan diri.
"Suatu saat kelak kami akan datang pada-
mu, bocah. Hutang nyawa ini harus kau pertang-
gung jawabkan di kemudian hari...!" terdengar na-da ancaman dari si muka pucat
yang kini telah
menghilang dari hadapan Buang Sengketa. Pemu-
da itu hanya tersenyum sinis, kemudian dengan
langkah lesu ia melanjutkan perjalanannya kem-
bali. 9 Manusia setengah iblis yang mereka sebut-
sebut sebagai Kanjeng Guru itu sebenarnya tokoh
yang paling misterius bila dibandingkan dengan
Maha Diraja Setan Bumi, maupun gurunya Pra-
mesta murid padepokan gunung Ungkur yang juga
dalam menurunkan ilmu-ilmunya dikenal sebagai
sangat aneh dan tidak pernah menampakkan diri
sama sekali. Meskipun itu hanya setahun sekali.
Siapapun adanya orang-orang misterius itu yang
jelas. Sebagaimana biasanya setiap kali datang bu-
lan purnama penuh, orang yang berjuluk Kanjeng
Guru itu pastilah datang ke puncak bukit Api Ab-
adi. Tujuannya sudah jelas, yaitu ingin membantu
Maha Diraja Setan Bumi dalam membangun se-
buah Kerajaan Iblis yang sangat besar. Semua itu
hanya dapat terlaksana hanya dengan cara menca-
ri tenaga kerja sukarela sebanyak-banyaknya. Me-
lalui tangan Kanjeng Guru tenaga kerja itu yang
kebanyakan terdiri dari kaum perempuan disulap
menjadi manusia-manusia setengah siluman den-
gan syarat mereka sebelum di terjunkan menjadi
tenaga pekerja harus tidur selama beberapa ma-
lam dengan laki-laki itu. Dalam mewujudkan cita-
cita itu sudah barang tentu serbuk Pemberontakan
Jiwa yang mempunyai peran yang tidak sedikit un-
tuk mewujudkan segala rencana yang ada.
Ketika malam itu Kanjeng Guru sampai di
bukit Api Abadi, suasana di sekitarnya benar-
benar berada dalam keadaan hening sepi. Tidak
sebagaimana biasanya, kali ini tidak terlihat Gending Sora yang pada saat biasa
selalu hadir dengan perempuan-perempuan yang akan mereka pergunakan sebagai
pekerja sukarela. Ketidak hadiran
Gending Sora mengundang berbagai pertanyaan di
hati Kanjeng Guru. Namun laki-laki berumur ratu-
san tahun ini yang masih kelihatan bagai berusia
tujuh puluhan ini bukanlah manusia sembaran-
gan. Dengan mempergunakan kekuatan batinnya,
laki-laki ini dalam waktu sebentar sudah dapat
melihat apa yang terjadi pada Gending Sora.
"Kurang ajar. Gending Sora mengalami luka
di bagian tangannya. Dan pemuda berkuncir itu
rasanya baru kali ini aku melihatnya. Ah mengapa
Gending Sora kulihat begitu membencinya" Batin-
ku mengatakan bahwa pemuda itu bukanlah ma-
nusia sembarangan. Tenaga gaibku berisyarat pe-
muda itu masih keturunan siluman. Dia bukan


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keturunan siluman biasa. Kulihat darah siluman
lebih kuat mengalir di dalam tubuhnya. Kurang
ajar. Kehadirannya sewaktu-waktu tentu dapat
membongkar seluruh rencana yang telah kubuat
bersama muridku Maha Diraja Setan Bumi." ge-
ram Kanjeng Guru. Mendadak wajah Kanjeng
Guru yang hanya diterangi cahaya api abadi nam-
pak berubah kelam membesi. Ketika jemari telun-
juknya dia arahkan ke sebuah batang pohon yang
sudah kering. Selarik sinar berwarna merah ke-
kuning-kuningan melesat dari ujung jemari telun-
juknya. Sinar itu selanjutnya menyambar ke ba-
tang pohon dan tanpa ampun pohon itupun me-
nyala. Hingga membuat suasana bertambah te-
rang benderang. Hal yang samapun dilakukannya
terhadap beberapa batang pohon lainnya.
Jeeest... jeeestt...!
Melihat usahanya, Kanjeng Guru tertawa
dingin, bahkan kedua belah rahangnya yang ko-
koh nampak menegang.
"Walaupun engkau keturunan setan iblis
sekalipun. Sekali saja engkau mencoba mencam-
puri segala urusan kami. Jangan harap kami akan
memberimu hidup. Sebelum aku membakarmu,
Maha Diraja Setan Bumi akan melakukannya, dan
kau tidak mungkin menang dalam menghada-
pinya...!" gumam Kanjeng Guru dengan kemara-
han yang tertahan. Kanjeng Guru nampaknya ti-
dak ingin berlama-lama di bukit Api Abadi. Bagai-
kan hembusan angin kemudian tubuhnya lenyap
dalam kegelapan malam.
* * * Ketika Sakapala dan Asih Angraeni sampai
melintasi daerah Karang Jati. Mereka melihat
adanya pertempuran antara seorang laki-laki ber-
pakaian serba putih berkepala gundul dengan dua
orang laki-laki bertampang sangar, muka pucat
dan muka merah. Melihat pertempuran seru yang
sedang terjadi dan berlangsung sengit sudah ba-
rang tentu Sakapala alias si Topi Terbang dan Asih Angraeni menjadi tertarik dan
ingin mengetahui
apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka. Da-
lam waktu sebentar mereka telah menyusup ke
semak-semak pada sebuah tempat yang tersem-
bunyi. Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat persembunyian mereka,
pertarungan masih terus
berlanjut. Masih belum kelihatan tanda-tanda sia-
pa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam per-
tarungan itu. Dalam menghadapi keroyokan dua
laki-laki bertampang sangar itu, secara tiba-tiba laki-laki berkepala gundul
lentikkan tubuhnya ke
udara. Senjata mereka yang berupa dua buah clu-
rit bergerigi otomatis menghantam sasaran kosong.
Sebaliknya dalam keadaan bersalto Biksu berkepa-
la gundul itu hantamkan toyanya ke arah dua pen-
juru mata angin. Terasa adanya sambaran angin
yang sangat keras dan begitu dingin saat senjata
itu menerpa pada bagian kepala si muka pucat
dan muka merah. Kedua laki-laki itu keluarkan
seruan tertahan, kemudian cepat-cepat membuang
dirinya ke samping kiri dan kanan.
Setelah merasa terlepas dari ancaman toya
di tangan si kepala gundul, maka hampir bersa-
maan mereka bangkit. Serangan-serangan baru-
pun mereka lancarkan kembali. Kali ini dengan
mempergunakan jurus Macan Bromo Goyangkan
Pinggul. Mereka melakukan penyerangan dari dua
arah. Seyogyanya jurus yang mereka mainkan itu
akan semakin berbahaya jika mereka berjumlah
empat orang. Akan tetapi seperti yang telah sama-
sama kita ketahui dua orang diantaranya tewas di
tangan Pendekar Hina Kelana. Meskipun sekarang
mereka hanya berdua saja dalam memainkan ju-
rus itu, namun juga tak kalah hebatnya bila di-
bandingkan jika mereka mempergunakan secara
berempat. Begitu pun yang menjadi lawan mereka
untuk kali ini bukan merupakan laki-laki semba-
rangan yang dapat dijatuhkan dengan mudah.
Biksu Beng Ju dulunya merupakan tokoh sesat
yang di daerahnya sana dikenal sebagai Hantu Ma-
lam, meskipun sekarang ia telah bertobat dan
menjadi seorang tokoh bergolongan lurus, walau
bagaimanapun sifat ilmu sesat yang dimilikinya tidak hilang sama sekali. Dalam
mempergunakan jurus-jurus toyanya bahkan ia cenderung men-
campur adukkan antara aliran sesat dan lurus.
Itulah sebabnya sungguhpun pertarungan
telah mencapai lebih dari tiga puluh lima jurus,
namun masih belum juga mengalami perobahan
yang berarti dan bahkan masih belum diperoleh
kepastian siapa yang tertekan di antara mereka.
Menghadapi pertarungan yang serba monoton itu,
lama-kelamaan Biksu Beng Ju yang di daerah le-
luhurnya sama juga mempunyai julukan lain se-
bagai Singa Gurun itu kelihatan mulai merobah
teknik dan gerakan-gerakan silatnya. Sekarang la-
ki-laki berkepala gundul itu telah pula mempergu-
nakan jurus Hantu Malam Bergentayangan. Den-
gan mempergunakan jurus ini, dalam gebrakan
berikutnya tubuh Biksu Beng Ju bergerak lebih
cepat lagi, bahkan semakin lama semakin bertam-
bah cepat. Hingga pada akhirnya tubuh Beng Ju
hanya tinggal merupakan bayang-bayang belaka.
Menghadapi kenyataan yang tidak menguntung-
kan ini, si muka pucat dan muka merah tentu saja
tidak mau tinggal diam begitu saja, dengan gera-
kan hampir bersamaan dua laki-laki bertampang
sangar ini segera mempergunakan jurus Macan
Bromo Unjuk Gigi. Praktis permainan silat mereka
tertumpu pada gerakan menendang dan memba-
bat. Gerakan mereka sangat sebat bahkan sangat
berbahaya sekali.
"Hiaaat...! Mampus sajalah kau manusia
berkepala gundul...!" teriak si muka pucat sambil menghantamkan senjatanya
secara bertubi-tubi.
Sementara dari bagian belakang si muka merah
sibuk mencecar pertahanan Biksu Beng Ju pada
bagian kaki. Toya di tangan laki-laki berkepala
gundul itu terus menderu melindungi bagian-
bagian tubuhnya yang nyaris saja terbabat senjata berbentuk bulan sabit itu.
"Berhenti...!" teriak Beng Ju ketika tubuhnya telah melompat menjauh dari arena
pertarun- gan. "Kau hendak mengulur waktu, orang seberang...?" bentak si muka merah dengan
perasaan geram. "Setelah kau tidak mau membayar sebagian upah yang telah kau
janjikan. Apakah sekarang
kau merasa keberatan bila kuminta nyawamu un-
tuk mengganti nyawa saudara kami yang tewas di
tangan pemuda itu?" tukas si muka pucat ikut menimpali kata-kata saudara
seperguruannya.
Beng Ju nampak tersenyum-senyum. Da-
lam hati ia merasa geli sendiri, sebab sebagaimana janji yang telah diucapkannya
kepada jago-jago
bayaran itu. Ia baru akan membayar kekurangan
upah yang telah ia janjikan itu setelah Empat Ma-
can Gunung Bromo berhasil menangkap atau seti-
dak-tidaknya membawa kepala pemuda yang dicu-
rigainya itu ke hadapannya. Tetapi kenyataannya
kini, dua orang Macan Gunung Bromo telah kem-
bali menagih janji padahal mereka tidak membawa
tawanan yang dia duga telah membunuh saudara
seperguruannya. Pekerjaan seperti itu mana bisa
dianggap selesai, meskipun karenanya dua orang
dari Empat Macan Gunung Bromo telah gugur di
tangan pemuda berpakaian kumal itu.
"Apa yang anda lakukan itu merupakan se-
buah resiko yang tidak ada kaitannya denganku.
Aku telah membayar kalian dengan harga yang
mahal dalam mencari orang yang telah membunuh
adik seperguruan kami Asoka. Kenyataannya
hingga sampai saat sekarang ini kalian masih be-
lum mampu menangkap orang itu...!"
Sementara dari tempat persembunyiannya
hati si Topi Terbang terasa berdetak keras. Sama
sekali ia tiada menduga bahwa orang yang sedang
melakukan pertempuran sengit itu ternyata berti-
tik tolak karena kematian Asoka yang telah ia bu-
nuh beberapa waktu yang lalu. "Ternyata si kepala gundul itu tidak bicara
kosong. Biksu itu sudah
mengetahui segala-galanya. Kurasa ia memiliki il-
mu yang lumayan tinggi. Semuanya sudah kepa-
lang basah. Jalan yang paling baik adalah me-
nunggu sampai diantara mereka ada yang keluar
sebagai pemenang. Setelah itu dengan di bantu
Asih Angraeni kekasihku semuanya pasti berjalan
lancar...!"
"Kakang...!" panggil gadis yang berada tidak begitu jauh dari si Topi Terbang
dengan suara lirih. "Hemm. Ada apa...!" tanya Sakapala tanpa mengalihkan
perhatiannya. "Mengapa kita harus menunggu orang lain
menyelesaikan pertarungannya. Bukankah kalau
hanya ingin lewat saja kita dapat menempuh jalan
lain...?" tanya gadis itu merasa terheran-heran.
"Diamlah. Persoalan yang mereka perde-
batkan nampaknya ada sangkut pautnya dengan
diriku. Kita harus menanti perkembangan selan-
jutnya...!" kata pemuda itu dengan suara hampir berbisik.
Dalam pada itu masing-masing lawan yang
tadi terlibat pertempuran sengit, sekarang saling
tarik urat leher.
"Orang asing. Jadi engkau benar-benar ti-
dak mau memenuhi tuntutan kami...?" tanya si muka pucat berapi-api.
"Selama anda berdua tidak dapat membawa
orang itu ke hadapanku untuk diadili. Maka sela-
ma itu pula kami tidak dapat memenuhi ke-
inginan kalian...!"
"Kalau begitu persoalan ini hanya dapat kita selesaikan di ujung senjata!"
teriak si muka merah merasa tidak sabar lagi.
"Silakan. Kalau memang itulah yang anda
kehendaki...!" tukas Biksu Bang Ju dengan sikap menantang.
Rupanya dua jago bayaran dari gunung
Bromo ini merasa sangat tersinggung sekali men-
dapat tantangan seperti itu. Lalu dengan gerakan
yang cukup sigap keduanya kembali melakukan
serangan yang lebih hebat bila dibandingkan den-
gan serangan-serangan terdahulu. Sekali dua me-
reka tak segan-segan lagi melancarkan pukulan-
pukulan jarak jauh yang sangat keji. Sementara
dengan mengandalkan toya saktinya serta diim-
bangi gerakan ilmu meringankan tubuh yang cu-
kup lihai. Biksu Beng Ju s-lalu berhasil mematah-
kan serangan yang baru dibangun oleh lawannya.
Karena menyadari serangan-serangan mautnya
dapat dihalau dengan baik oleh lawannya maka
sekarang mereka kembali mempergunakan clurit-
nya untuk merangsak Beng Ju. Ancaman dua sen-
jata maut yang sangat tajam itu mana bisa diang-
gap sepele oleh laki-laki berkepala gundul ini. Ti-
dak boleh tidak iapun kembali mempergunakan
toyanya untuk membendung laju serangan yang
dilakukan oleh lawan. Dalam pertempuran jarak
dekat itu sekali waktu dalam saat yang bersamaan
si muka pucat dan muka merah membabatkan
senjatanya mengarah pada bagian kepala dan pe-
rut lawannya. Tetapi Biksu Beng Ju juga tak kalah cepatnya memutar toyanya
hingga membentuk perisai diri yang sangat kokoh. Akibatnya benturan
yang sangat keras pun terjadi.
"Traang... traaang...!"
Karena dalam memutar senjatanya tadi
Beng Ju mengerahkan segenap tenaga sakti yang
dimilikinya tak heran kalau saat itu tubuhnya
hanya tergetar saja. Sedangkan lawannya, masing-
masing langsung terjengkang. Clurit di tangan me-
reka rompal di beberapa bagian. Jelaslah sudah
ternyata toya di tangan lawannya merupakan sen-
jata yang sangat handal dan terlalu kuat dalam
menerima benturan senjata milik lawan. Dengan
langkah terhuyung-huyung mereka segera bangkit
kembali. Setelah meludah beberapa kali, salah
seorang di antara mereka kembali menyelak.
"Kamu benar-benar membuat kami menjadi
frustasi, orang asing. Untuk itu kami akan menga-
du jiwa denganmu... Heaaat...!"
Biksu Beng Ju sebaliknya tanpa kata, juga
melakukan gerakan yang sama.
"Haiiit... chat... chaaat...!"
"Weees...!"
"Nguung...!"
Rupanya dalam keadaan sama-sama me-
nerjang ini, Beng Ju ternyata memiliki gerakan cepat tak terduga. Akibatnya
begitu ia menghantam-
kan toyanya ke dua arah. Tidak terelakkan lagi
toya di tangannyapun dengan telak menghantam
batok kepala mereka.
Praaaak! Prooook...!
Si muka pucat dan muka merah melolong
setinggi langit. Darah dan cairan otaknya berserakan bersamaan dengan
menyemburnya darah dari
bagian luka yang menganga. Sekejap tubuh mere-
ka berkelojotan bagai ayam yang disembelih selan-
jutnya diam untuk selama-lamanya. Bagai manu-


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sia yang telah dirasuki iblis, Biksu Beng Ju tergelak-gelak. Nampaknya kematian
Macan Gunung Bromo benar-benar membuat hatinya puas, di ma-
tanya Empat Macan Gunung Bromo tak ubahnya
bagai musuh besar yang sangat dibencinya.
Sementara itu di tempat persembunyiannya
Sakapala nampak tersenyum sinis. Sebentar-
sebentar ia melirik ke arah Biksu Beng Ju, namun
di lain saat ia memandang ke arah Asih Angraeni
kekasihnya. Sudah barang tentu sang gadis tidak
mengetahui apa sesungguhnya yang sedang terjadi
atas diri Sakapala. Sebab walau bagaimanapun
Asih Angraeni sama sekali tak tahu apa yang telah dilakukan oleh kekasihnya di
luaran sana. "Adik Rani." panggil Sakapala memecah keheningan. Yang dipanggil menoleh.
"Ada apa, kakang...?"
"Engkau tunggulah di sini. Biar kubereskan
musuh besarku itu...!" ujar Sakapala penuh kebo-hongan. Karena memang pada
dasarnya Asih An-
graeni sama sekali tidak tahu menahu mengenai
duduk persoalannya, maka tak banyak yang dapat
dilakukannya kecuali menganggukkan kepala. Be-
gitu mendapat persetujuan dari kekasihnya, tanpa
membuang waktu lagi pemuda itupun melompat
dari persembunyiannya. Manakala Sakapala men-
jejakkan kakinya tiga tombak di hadapan Biksu
Beng Ju, laki-laki berkepala gundul yang masih terus tergelak-gelak itu
kelihatan sangat terkejut sekali. Seketika suara tawanya pun terhenti. Dengan
tatapan penuh curiga dipandanginya si Topi Terbang mulai dari ujung rambut
hingga ke ujung ka-
ki. "Siapakah anda yang sebenarnya, kisa-
nak...?" "Ha... ha...ha...! Akulah sebangsanya tukang basmi manusia asing yang suka
membunuh se-mena-mena. Apalagi mengingat anda merupakan
orang asing di tanah leluhur kami...!"
"Amitaba. Mulutmu terlalu berbisa sekali,
kisanak. Apakah anda tidak tahu bahwa aku
hanya membela diri dari pengeroyokan mereka?"
sentak Biksu Beng Ju masih dalam keadaan emo-
si. '"Kau tak lebih dari setan gundul yang ber-
nama Asoka itu, orang asing...!" ujar si Topi Terbang. Tanpa sadar menyebut-
nyebut nama adik
seperguruan orang dari dataran Mongolia ini. Hal
ini benar-benar di luar dugaan laki-laki berkepala gundul itu. Dalam hati ia
bertanya-tanya, bagaimana mungkin pemuda berpakaian serba kuning
ini dapat mengenali orang yang paling sangat dis-
ayanginya itu. Bukan tidak mungkin pemuda itu-
lah yang telah membunuh adik seperguruannya.
Lalu dengan suara bergetar iapun bertanya: "Kisanak. Kau mengenal adik
seperguruan kami...?"
"Tentu saja...!"
"Apakah kisanak tahu bahwa beliau telah
tewas bersama murid-muridnya?"
"Aku juga tahu mengenai kejadian itu...!"
ujar Sakapala tanpa ekspresi.
Sepasang mata Biksu Beng Ju nampak
membelalak lebar-lebar.
"Kalau demikian halnya apakah kisanak ju-
ga mengetahui siapakah yang telah membunuh-
nya...?" tanya laki-laki berkepala gundul itu dengan hati berdebar.
10 "Ha... ha... ha...!" Sakapala kembali tergelak-gelak
"Tentu saja aku mengetahui siapa orangnya
yang telah membunuh Asoka...!"
"Siapakah orangnya kisanak. Tolong tun-
jukkan padaku...!' kata laki-laki berkepala gundul itu dengan hati diliputi rasa
penasaran. "Apakah jika kukatakan padamu, kemudian
anda mau membayar upah padaku. Sebagaimana
yang diperoleh oleh kedua orang ini...!" ujar Sakapala sambil menunjuk ke arah
mayat-mayat yang
bergelimpangan tidak begitu jauh dihadapannya.
Beng Ju terdiam. Sakapala tersenyum mencibir.
Lalu dengan nada mencemooh, pemuda inipun be-
rucap: "Apakah anda keberatan untuk membayar ku...?" "Tentu saja aku tidak
merasa keberatan as-al saja keteranganmu benar-benar dapat diper-
caya...!" "Bagus. Kalau engkau ingin tahu juga bah-
wa orang yang telah membunuh Asoka berjuluk si
Topi Terbang...!"
"Si Topi Terbang. Siapakah dia...?" tanya Biksu Beng Ju benar tidak mengerti.
"Ha... ha... ha...! Si Topi Terbang adalah
orang kepercayaan Maha Diraja Setan Bumi. Bah-
kan dengan senjatanya, ia mampu mencopot ber-
puluh-puluh kepala gundul sepertimu... tidak per-
caya, coba lihatlah ini...!" berkata begitu Sakapala mengambil senjatanya yang
berupa topi bergerigi.
Selanjutnya melemparkannya ke arah Biksu Beng
Ju. Senjata itu melesat cepat sambil keluarkan suara mendesing. Beng Ju merasa
sangat terkejut
demi mendapat serangan yang tiada di duga-duga
ini. Namun sebagai seorang tokoh yang pernah
malang melintang di rimba persilatan golongan hi-
tam. Ia tidak menjadi gugup begitu mendapat se-
rangan kilat tersebut. Sekali ia gerakkan toyanya mengarah senjata yang terus
meluncur ke arahnya
itu. Tidak dapat disangkal benturan yang sangat
hebatpun terjadi.
Traaaang... breeeeng...!
Uhhkg...! Beng Ju terdorong tubuhnya beberapa tin-
dak, tangan terasa kesemutan dan menimbulkan
rasa nyeri sekali. Sebaliknya senjata milik Sakapa-la malah berbalik dengan
kecepatan dua kali ke-
kuatan semula. Biksu Beng Ju terkejut sekali, sa-
ma sekali ia tidak menyangka lawannya mampu
mengembalikan senjatanya bahkan dengan kekua-
tan berlipat ganda. Begitu menyadari adanya ba-
haya yang sedang mengancam keselamatannya,
maka tak ayal lagi Biksu Beng Ju lentikkan tu-
buhnya ke udara. Senjata milik Sakapala akhirnya
terhenti setelah menancap pada sebatang pohon
yang berada jauh di belakangnya.
Jreeep...! "Hebat...! Permainan yang sangat bagus ba-
ru saja kau gelar dihadapanku, manusia berkepala
tuyul. Agaknya baru engkaulah yang merupakan
seorang lawan paling berarti dalam hidupku. Teta-
pi jangan jumawa dulu, permainan kita masih be-
lum selesai. Bahkan jika kau sanggup, aku akan
melayanimu sampai seribu jurus."
"Bangsat sombong. Kau telah membunuh
saudara seperguruan kami. Amitaba... aku ber-
sumpah akan membunuhmu...!" teriak Biksu Beng Ju dengan kemarahan berkobar-
kobar. Nampaknya laki-laki dari dataran Mongolia tidak ingin
mengulur-ulur waktu lagi. Dengan cepat tubuhnya
berkelebat mendekati lawannya. Si Topi Terbang
alias Sakapala hanya sesaat saja nampak tercen-
gang, detik selanjutnya iapun telah mencabut sen-
jata lainnya yang berupa sebilah pedang bermata
ganda. Dengan mempergunakan senjata itu Saka-
pala berusaha mengimbangi serangan toya yang
datangnya bertubi-tubi. Namun sejauh apapun ia
berusaha menembus pertahanan laki-laki berkepa-
la gundul ini, tetap saja serangan-serangannya selalu kandas di tengah-tengah
jalan. "Kau memang harus mampus ditanganku,
manusia rendah...!" geram Beng Ju. Belum lagi selesai ia bicara kali ini toya
ditangannya mencecar ke arah bagian tubuh Sakapala yang terbuka. Sakapala
merasakan benar adanya tekanan ini, lebih
cepat lagi ia putar pedangnya hingga membentuk
perisai yang sangat kokoh. Biksu Beng Ju tertawa
ganda, lalu. Wuuuut...! "Brebeeet...!"
"Akhggh...!"
Tubuh Sakapala nampak terhuyung-
huyung begitu senjata lawannya menyambar pada
bagian bahunya. Mengetahui lawannya sudah da-
lam keadaan terluka, laki-laki berkepala gundul ini tiada menyia-nyiakan
kesempatan lagi. Ia kembali
memburu dengan serangan-serangan yang lebih
agresip. Namun dalam keadaan seperti itu dari arah
belakang senjata lainnya yang berupa Topi Ter-
bang mengancam keselamatan Biksu Beng Ju.
"Aku membantumu, kakang ..!" teriak Asih Angraeni sambil melompat ke dalam
pertempuran. "Jreeess...!"
Senjata yang disambitkan oleh Asih An-
graeni dengan tepat berhasil merobek bagian
punggung Beng Ju. Laki-laki itu langsung terlem-
par begitu mendapat bokongan yang tiada dia du-
ga sama sekali. Cepat sekali senjata berbisa itu
kembali ke tangan Asih Angraeni. Mendapat pem-
belaan dari kekasihnya, Sakapala nampak senang
sekali. Tetapi sebelum ia mampu bertindak lebih
jauh, secara tiada disangka-sangka Biksu Beng Ju
yang sudah terluka parah itu sambitkan toyanya.
"Awas kakang...!" teriak Asih Angraeni
memberi peringatan. Masih untung Sakapala me-
rupakan orang yang memiliki naluri tajam dalam
menghadapi saat-saat yang tidak terduga-duga ini.
Replek pemuda itu lemparkan tubuhnya ke samp-
ing, tetapi tetap saja bagian bahunya masih terse-rempet senjata andalan milik
Beng Ju. Senjata itu menancap persis dekat pangkal lengan si Topi Terbang.
Sungguhpun Asih Angraeni mengetahui luka
yang dialami oleh kekasihnya tidak begitu parah,
namun tetap saja ia meluruk ke arah Beng Ju
yang sudah kehabisan darah. Laki-laki itu menge-
rang lemah ketika melihat kehadirannya. Ketika
Asih Angraeni ingin babatkan pedangnya, ia men-
jadi urung karena melihat lawan sama sekali su-
dah tiada berdaya.
"Kau...kau... mer... rupakan manusia
penge... cuuuut...!" usai berkata begitu kepala Beng Ju pun terkulai. Melihat
kematian lawannya,
Asih Anggraeni hanya mendengus saja. Sebaliknya
setengah berlari ia menghampiri Sakapala.
"Kakang... apakah kau tidak apa-apa?" tanyanya begitu cemas.
"Si keparat itu hampir saja membuatku ce-
laka...! Tetapi kukira aku masih mampu bertahan
hidup beberapa hari lagi. Senjata si gundul itu ternyata mengandung racun yang
ganas. Lebih baik
cepat kita tinggalkan tempat ini untuk menjumpai Maha Diraja Setan Bumi. Mungkin
ia mampu me-nyembuhkan luka beracun ini...!" ujar Sakapala dengan bibir
menyeringai menahan sakit. Dengan
dipapah oleh Asih Angraeni, berangkatlah kedua
muda mudi itu, menuju Kerajaan Iblis milik jun-
jungannya. Lalu siapakah sesungguhnya laki-laki beru-
sia seratus tahun yang di sebut Sebagai Kanjeng
Guru itu. Apa hubungannya dengan Eyang Guru
misterius Ketua padepokan gunung Ungkur. Usa-
ha Maha Diraja Setan Bumi untuk mendirikan Ke-
rajaan Iblis kiranya telah membuat malapetaka
yang sangat besar, bahkan Pendekar Hina Kelana
sendiri akhirnya sampai terseret menjadi tawanan
ketika ia bermaksud menghancurkan istana yang
belum selesai itu. Bagaimana nasib Buang Sengke-
ta ketika menghadapi siksaan tokoh iblis yang
memiliki ilmu kesaktian setara dengan mendiang
gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu. Kisah ini
berlanjut pada PEMBALASAN MAHA DURJANA.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 20 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 7
^