Pencarian

Iblis Lengan Tunggal 2

Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal Bagian 2


Wintara melesat ke atas... Sewaktu tubuhnya berada di udara.... "Bug....! Bug!
Bug!" Kakinya bergerak cepat menyambar. Hanya tiga orang yang terkena tendangan
itu, Wintara hinggap di tanah berumput. Dari arah belakang kilatan senjata
berkelebat... Akuwu Mambang
melompat, tinjunya menghantam keras penyerang ge-
lap itu. Mendengar jeritan di belakangnya, Wintara membalikkan tubuhnya...
Seseorang telah ambruk terkena hantaman Akuwu Mambang. Wintara tersenyum.
Serangan mereka makin gencar. Pedang maupun golok
berputar-putar bagai kilatan sinar putih merencah
Wintara dan Akuwu Mambang. Ketika sebuah babatan
pedang melayang ke samping kiri, Wintara cepat ber-
geser bahkan dua hantamannya menyilang bersarang
telak pada wajah serta lengan yang masih memegang
gagang pedang. Begitu juga dengan Akuwu Mambang, dua orang
maju membabatkan senjata. Cepat Akuwu Mambang
berlompat ke atas. Setelah tubuhnya berputar di uda-ra, tahu-tahu kedua
penyerang itu jatuh bergulingan sambil memekik. Ternyata Akuwu Mambang
melancarkan tendangan terlebih dahulu. Dari arah samping kanan, tujuh orang maju
serempak. Akuwu Mambang
cepat menendang salah seorang yang tadi bergulingan.
Tubuh itu melesat menubruk ketujuh penyerangnya.
Lalu Akuwu Mambang meraih sebilah pedang yang ter-
geletak di tanah.
"Tunggu dulu...! Mau apa kalian sebenarnya..."
Mau merampok..." Aku tidak membawa harta...!" kata Akuwu Mambang sambil melirik
ke arah Wintara yang
masih bertempur, dan saat itu ia berhasil memukul
roboh satu orang lawannya.
"Chis...! Buat apa segala macam harta...! Dan
jangan anggap kami ini semua rampok... Kami tidak
butuh harta apa pun...! Yang kami butuhkan adalah
nyawa kalian... Hreaaaaa!"
Ketujuh orang yang sudah bangkit maju, kali ini
terjangannya begitu semangat. Akuwu Mambang yang
sudah mendapatkan senjata tenang-tenang saja meng-
hadapi mereka... Senjata mereka teracung mengkilat mengerikan... Dan ketika
mereka mendekat, pedang di tangan Akuwu Mambang berkelebat menyerupai segu-
lungan sinar putih. Sedangkan tubuhnya cepat bergu-
lir ke samping, karena tidak mungkin Akuwu Mam-
bang dapat menghadapi mereka sekaligus. Iapun dapat melihat akibat babatan
pedangnya... Dua orang terkapar tanpa nyawa dengan perut robek selebar jengkal.
Lima orang lagi masih terus menyerang, mereka men-
gejar ke manapun Akuwu Mambang bergeser.
Wintara mengangkat tangannya ke atas melan-
carkan pukulan.... "Dees!" Satu orang terlempar membentur batang pohon. Wintara
sendiri mundur ke belakang setelah melancarkan serangan tadi. Ia pun
menghadap sama banyaknya dengan orang-orang yang
menyerang Akuwu Mambang. Cuma bedanya Wintara
tidak menggunakan senjata... Meskipun dengan tan-
gan kosong, ia sanggup membuat lawannya lumpuh
hanya dengan sekali hantam.
Pemuda yang mengenakan baju kulit binatang ini
tidak berani mendekat, manakala semua penyerangnya
membabatkan pedangnya, malah sampai beberapa kali
ia harus terpaksa mundur. Salah seorang dari penye-
rangnya melemparkan pedang.... Pedang itu melesat
seperti anak panah.... Wintara bergeser setengah puta-ran maka pedang itu hanya
menyerempet baju bulu di
bagian dada. Berbarengan dengan itu lima orang pe-
nyerangnya, membabatkan pedang pada arah-arah
yang sama. Sebelum pedang-pedang itu merencahnya,
Wintara melesat ke atas. Lalu hinggap dengan cepat di belakang mereka....
Belum sempat mereka berbalik, Wintara melan-
carkan dua pukulan pada dua orang di hadapannya,
maka dua orang itupun langsung tersungkur dengan
masing-masing tulang leher mereka patah. Untuk ber-
teriak saja mereka tidak bisa mengeluarkan suara....
Dan mereka tidak ingat apa-apa lagi setelah tubuh mereka ambruk. Ketiga orang
ini terbelalak melihat dua orang temannya ambruk dengan seketika. Malah mereka
melihat Wintara telah bersiap-siap melancarkan serangan lagi. Sebelum tendangan
Wintara bergerak,
salah seorang dari mereka membabatkan pedangnya
ke arah kaki yang cepat ditarik mundur. Di luar dugaan, tinju Wintara menerobos
menghantam muka....
"Des!" Dan di saat orang itu memekik, tendangan Wintara berputar menghantam
lambung.... "Buuug!" Kontan orang itu kelojotan di tanah.
Pedang dalam genggaman Akuwu Mambang ber-
kelebat menyilang membentuk segoresan sinar putih....
"Traaang!" Senjata mereka beradu nyaring. Dari arah belakang angin berdesir
kencang mengarah.... Akuwu
Mambang menyilangkan pedang di atas kepala, ma-
ka.... "Traaang!" Seseorang gagal melancarkan babatan pedangnya.... Menyadari
orang itu masih berada di belakangnya Akuwu Mambang berjumpalitan salto, tela-
pak kakinya menghantam keras batok kepala si pem-
bokong sampai remuk.
Ada sesuatu yang mendesak ke luar dari dalam
perut Akuwu Mambang. Ia berusaha menahannya.
Dadanya mulai terasa sakit., Dengan bantuan sebilah pedang Akuwu Mambang
bertahan berdiri.... Tapi....
Tiba-tiba saja ia mengejang.... Dari mulutnya menyembur darah, kemudian berganti
dengan gumpalan-
gumpalan darah hitam...
Para penyerangnya yang bersenjata datang
menghambur dengan teriakan-teriakan lantang. Aku-
wu Mambang tidak sempat lagi melihat, karena pan-
dangannya sudah tertutup dengan keringat yang men-
gucur dari keningnya. Dan di saat para penyerang itu hampir membenamkan senjata
mereka di tubuh Akuwu Mambang. Sosok tubuh melesat cepat. Tahu-tahu
sudah berdiri di depan Akuwu Mambang. Sosok tubuh
yang mengenakan baju dari kulit binatang itu lang-
sung melancarkan tendangan yang menghantam ketiga
penyerang Akuwu Mambang.... Mendapat tendangan
yang sangat keras, ketiganya bergulingan sekaligus.
Ternyata Wintara telah selesai membereskan la-
wan-lawannya. Sekarang ia datang membantu kesuli-
tan Akuwu Mambang. Kalau saja tadi Wintara terlam-
bat, mungkin tubuh Akuwu Mambang sudah menjadi
sate. Akuwu Mambang sendiri bukan tidak mengetahui
kehadiran Wintara. Sambil menahan sakit, tiga orang itu bangkit lagi..... Tapi
Wintara tidak memberi kesempatan barang sekejap pun.... Kedua telapak tangannya
menghantam satu demi satu sampai mereka berpenta-lan menyembur darah.... Pedang-
pedang mereka terle-
pas semua berdenting di tanah, Mereka tidak tewas, tapi cukup membuat mereka tak
dapat berdiri. Tiba-tiba beberapa benda tajam sebesar ibu jari
berdesing.... Beberapa saat kemudian ketiga orang itu memekik hebat. Pada kepala
mereka rata-rata menancap sebuah benda kecil, namun mematikan.... Wintara cepat
menoleh ke arah dari mana asal senjata rahasia tersebut. Dalam pada itu ia
melihat sosok gemerlapan melompat berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon
lain. Menjauh semakin jauh. Wintara berlari, kemu-
dian melompat ke atas cabang pohon mengikutinya.
Namun.... "Tidak usah kau kejar, Wintara...! Tidak mungkin kau dapat menyusulnya!" kata
Akuwu Mambang setengah berteriak. Wintara yang melesat cepat masih
dapat menangkap suara itu. Maka ia berhenti pada salah satu cabang pohon.
Pandangannya menoleh pada
Akuwu Mambang. Keadaan tubuh Akuwu Mambang
lebih penting dibanding pengejaran terhadap sosok
gemerlapan itu. Sekalipun ia mengejarnya dengan sekuat tenaga belum tentu
Wintara dapat menyusul! Be-
tul! Semua yang diucapkan Akuwu Mambang memang
betul. Andaikata Wintara masih nekad menyusul, ba-
gaimana dengan Akuwu Mambang yang tertinggal sen-
diri.." Tentunya akan lebih berbahaya. Apalagi Akuwu Mambang dalam keadaan
seperti ini parahnya.
"Orang itu bermaksud ingin membunuh kita...
Siapa dia kira-kira...?" kata Wintara setelah mendekati Akuwu Mambang.
"Ia begitu jauh... Aku tidak dapat mengenalinya, tapi dari bentuk tubuhnya...
Aku seperti pernah kenal..." Jawab Akuwu Mambang. Ia sudah dapat berdiri, tapi
untuk bergerak sangat sukar sekali... Wintara yang memapah tubuh Akuwu Mambang.
langkahnya berjalan menuju pada seekor kuda putih yang me-
nunggunya di kejauhan. Akhirnya kuda putih itu sen-
diri yang datang menghampiri mereka. Wintara me-
naikkan tubuh Akuwu Mambang lebih dahulu. Setelah
Akuwu Mambang menunggangi dengan betul, barulah
Wintara menyusul naik. Wintara sengaja mengendali-
kan kuda itu berjalan perlahan, agar tubuh Akuwu
Mambang tidak terguncang. Saat itu matahari telah
tenggelam, suasana hutan itu makin gelap. Binatang malam mulai membisingkan
telinga. Suara burung
hantu menimbulkan suara yang amat menyeramkan.
Mereka baru ke luar dari hutan saat bulan purnama
menerangi sekitar danau. Mereka dapat mendengar
pula suara derasnya air terjun.
* * * * Seluruh ruangan pondok Tabib Sakti Nayan Gun-
ta diterangi oleh beberapa pelita yang memancarkan sinar terang. Arum Kemuning
duduk tegak pada sebuah kursi, sosok tua Nayan Gunta berdiri menghada-
pi gadis itu. Rupanya Tabib Sakti Nayan Gunta tengah mengganti ramuan daun pada
rongga mata Arum Kemuning.
"Dari tadi aku tidak mendengar suara Kakang Se-ta Wungu... Di mana dia?" tanya
Arum Kemuning memecah kesunyian.
"Dia bilang akan pergi ke Joglo Alun untuk menemui sahabatnya Somarengga. Apa
dia tidak bilang sebelumnya padamu...?" Nayan Gunta balik bertanya.
"Tidak. Dia tidak bilang apa-apa... Tapi yaaah...
Tidak jadi masalah... Oh, ya... apa tadi kau bilang, kek..." Seta Wungu ingin
menemui Somarengga, betul-kah itu..?" Wajah Arum Kemuning berseri.
"Dia memang bilang begitu.... Kenapa nampaknya kau senang kalau Seta Wungu
bersahabat dengan Somarengga...." kata Tabib Sakti Nayan Gunta selesai mengganti
ramuan daun. "Kakek tidak tahu kalau Somarengga, siapa..."
Somarengga adalah orang kepercayaan kepatihan Jog-
lo Alun. Namun yang nasibnya kurang beruntung...
Teman-teman sederajatnya malah lebih maju diband-
ing dengan Somarengga..."
"Ohhh... Ternyata kau lebih tahu perihal Somarengga..." kata Nayan Gunta
menimpali. Nayan Gunta menyerahkan gelas bambu pada telapak tangan gadis
itu. Arum Kemuning yang menerimanya langsung me-
reguk habis isi gelas bambu itu.
"Aku tidak lebih dari seorang pengamen, kek...!
Tapi yang jelas, orang-orang kepatihan banyak yang
menyukai suaraku... Sehingga tidak jarang aku meng-
hibur mereka..." tutur Arum Kemuning. Sebenarnya Nayan Gunta ingin menyampaikan
sesuatu, tetapi gadis itu melanjutkan pembicaraan...
"Tapi aku cukup senang setelah berkenalan den-
gan Kakang Seta Wungu... Ternyata ia memiliki per-
gaulan yang demikian luasnya... Pantas kakang Seta
Wungu sampai mengenal akrab dengan Somarengga...
Kakang Seta Wungu itu pandai memainkan pedang...
Akupun sempat diajarkan dasar ilmu pedang oleh-
nya..." "Seta Wungu mengajarkan ilmu pedang dalam
waktu yang sesingkat ini...?" Tabib Sakti Nayan Gunta seakan tak percaya. Arum
Kemuning menganggukkan
kepala. "Kalau Seta Wungu telah memberi pelajaran da-
sar ilmu pedang, bagaimana kau bisa menjaga diri..."
Sebilah pedangpun kau tidak memiliki..." kata Tabib Sakti Nayan Gunta. Arum
Kemuning diam, terdengar
langkah Nayan Gunta menjauh. Sebentar terdengar la-
gi langkah yang datang mendekati...
"Peganglah ini... Memang bukan sebilah pedang!
Hanya sebatang rotan... Tapi kau bisa menggunakan-
nya sebagai sebilah pedang..." kata Nayan Gunta sambil menyerahkan sebatang
rotan pada kedua telapak
tangan Arum Kemuning. Secara langsung gadis itu da-
pat menggenggamnya. Nayan Gunta belum beranjak
dari sisi Arum Kemuning...
"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu,
Arum..." "Apakah itu...?" tanya Arum Kemuning penasaran.
"Sebelumnya kau harus berjanji akan merahasia-
kannya..." jawab Nayan Gunta.
"Begitu pentingkah...?" Arum Kemuning berde-bar... Tabib Sakti Nayan Gunta
berjalan mendekati
Arum Kemuning. Ia membisikkan sesuatu pada gadis
itu... Sesaat kemudian gadis itu bangkit kegirangan...
"Benarkah apa yang kau katakan kakek Nayan
Gunta... Benarkah...?" kata Arum Kemuning penuh semangat... Jari telunjuk Nayan
Gunta menutup bibir mungil gadis itu, lalu...
"Sekalipun pada Seta Wungu, kau harus meraha-
siakan hal ini, Arum... Bisakah...?" Arum Kemuning mengangguk. Sebelah lengannya
memeluk pinggang
Tabib Sakti Nayan Gunta.
Derap kaki kuda terdengar jelas, Nayan Gunta
mempertajam penglihatannya. Dalam keremangan itu,
ia dapat melihat seekor kuda putih dengan dua orang penunggangnya... Kuda itu
memasuki halaman pondok
Tabib Sakti Nayan Gunta.
"Aku mendengar derap kaki kuda seperti menuju
ke sini... Apakah itu kakang Seta Wungu bersama sa-
habatnya...?" kata Arum Kemuning sambil menoleh ke arah suara derap kaki kuda.
* * * * 7 Di halaman pondok Tabib Sakti Nayan Gunta,
Wintara menghentikan kudanya. Ia memandangi pon-
dok yang diterangi dengan beberapa pelita. Dalam re-mangnya sinar rembulan,
Wintara melihat sosok
bungkuk keluar dari pondok dan menuruni tangga ba-
tu. Sosok bungkuk itu tak lain si Tabib Sakti Nayan Gunta.
"Apa yang bisa aku bantu sobat....?" Nayan Gun-
ta datang menyambut. Ia melihat seseorang duduk di depan seorang anak muda
dengan kepayahan. Kuda
putih nampak diam berdiri tenang.... Wintara turun dari kuda, tapi sebelah
tangannya memegang tubuh


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akuwu Mambang. "Orang ini membutuhkan pertolongan., Apakah
kau Tabib Sakti Nayan Gunta?" tanya Wintara sopan.
Kakek bungkuk tersenyum jenggotnya bergerak tertiup angin.
"Dia memang Tabib Sakti Nayan Gunta," kata Akuwu Mambang dari atas kuda. Ia
memang mengenali sosok itu meskipun dalam keadaan remang.
"Oh, kebetulan sekali.. Maafkan aku yang muda ini, kurang berpengalaman dalam
mengenal orang-orang terkemuka seperti kakek..." Wintara memberi hormat. Setelah
itu Wintara menuruni Akuwu Mambang. Orang itu betul-betul sudah tidak dapat
berjalan. Wintara membantunya berdiri... Tabib Sakti Nayan Gunta tidak hanya
diam, iapun ikut membantu memapah tubuh Akuwu Mambang. Secara tidak langsung
kakek bungkuk itu menuntun masuk ke dalam pon-
dok. "Demikian parahnya orang ini... Rebahkan dulu
orang ini di balai, biar kulihat luka-lukanya..." kata Nayan Gunta setelah
berada dalam ruangan. Wintara
menuruti perintah itu.
Sambil duduk di samping Akuwu Mambang yang
terbaring, Tabib Sakti Nayan Gunta membuka baju
ningrat yang dikenakan orang itu.... Ia meraba seluruh tubuh yang penuh dengan
luka-luka memar. Akuwu
Mambang meringis menahan sakit.
"Pantas ia tidak dapat berjalan.... Tulang pinggang serta dua tulang rusuknya
patah.... Siapa yang melakukan ini, Anak Muda?" tanya Nayan Gunta sambil menoleh
ke arah Wintara. Belum dapat Wintara
menjelaskan, Akuwu Mambang memotong...
"Seorang pembunuh berlengan tunggal...! Ilmu
pedangnya sangat luar biasa...!" Wajah kakek bungkuk Nayan Gunta berubah. Ia
tahu siapa yang dimaksudkan pembunuh berlengan tunggal. Kalau begitu orang
yang terbaring ini tentunya memiliki ilmu yang tidak rendah... Karena ia bisa
selamat dari seorang pembunuh yang ahli dalam ilmu pedang.
"Tunggulah sebentar di sini, aku akan ke bela-
kang mengambil ramuan obat..." Nayan Gunta bangkit, lalu ia beranjak
meninggalkan mereka, Sebelumnya ia berpesan...
"Biarkan saja bajunya terbuka.... Sebentar aku akan kembali lagi ke sini...."
Setelah itu Nayan Gunta hilang menyelinap melalui pintu.
Dentingan kecapi mengalun merdu, iramanya be-
gitu tenang seakan menghanyutkan perasaan bagi
orang yang mendengarnya. Dentingan itu jelas terdengar dari balik ruangan di
mana Akuwu Mambang ter-
baring. Ia berusaha bangkit, tapi luka-lukanya yang masih terasa sakit membuat
tubuhnya ambruk lagi
terlentang... "Ada apa...?" tanya Wintara yang duduk di sebelahnya. Dada Akuwu Mambang nampak
naik turun. Kepalanya menoleh ke samping dinding kayu. Dentin-
gan senar semakin merdu terdengar, Akuwu Mambang
mengetuk-ngetuk dinding pembatas ruangan itu.
Saat itu Tabib Sakti Nayan Gunta sudah kembali
ke ruangan itu dengan membawa gelas bambu dan
bungkusan yang berisi peralatan. Nayan Gunta mem-
berikan gelas bambu itu pada Wintara.
"Beri dia minum ini... Mudah-mudahan rasa sa-
kitnya berkurang...." kata kakek itu. Wintara memban-gunkan setengah duduk tubuh
Akuwu Mambang. Lalu
menyodorkan ramuan obat dalam gelas bambu ke mu-
lutnya. Akuwu Mambang menenggak habis ramuan
itu... "Nayan Gunta... Aku mendengar seseorang me-
mainkan kecapi di sebelah ruangan ini..." kata Akuwu Mambang yang masih setengah
duduk bersandar pada
Wintara. Tabib Sakti Nayan Gunta sibuk menumbuk
ramuan obat-obat pada sebuah lumpang kecil dari ba-
tu. Ia sendiri duduk bersila di lantai.
"Permainannya begitu halus.... Mengingatkan aku pada seseorang gadis pemetik
kecapi, sampai sekarang gadis itu menghilang entah ke mana..." Pandangan
Akuwu Mambang masih menghadap pada dinding
kayu di sebelahnya.
"Di sini memang ada seorang gadis yang sedang memerlukan perawatan... Ia pun
pandai memainkan
kecapi. Namanya Arum Kemuning..." kata Tabib Sakti Nayan Gunta yang telah
selesai menumbuk obat. Ia
berdiri melangkah setelah meletakkan bubur obat pada dua lembar daun waru yang
telah kering. Akuwu Mambang seakan tidak percaya pada
ucapan kakek bungkuk yang melangkah mendeka-
tinya... "Arum Kemuning ada di sini..." Gadis itulah yang kumaksudkan...!" Akuwu Mambang
nampak duduk tegak di atas balai. Wintara membiarkannya.
"Bisakah kau bawa gadis itu ke mari..." Agar aku yakin bahwa gadis itu benar-benar
ada di sini..." katanya lagi... Tabib Sakti Nayan Gunta tersenyum menatap, lalu...
"Arum Kemuning...!" Nayan Gunta memanggil dengan nada suara keras. Dentingan
kecapi di ruangan sebelah berhenti.
"Ada apa, Kakek Nayan Gunta...." terdengar pula jawaban dari sana.
"Kemarilah... Kau bisa berjalan ke mari bu-
kan...?" "Bisa...! Tunggu saja..." Akuwu Mambang berde-bar-debar menunggu kedatangan
gadis itu. Sementara
Tabib Sakti Nayan Gunta tengah memborehi semua
luka-luka dengan bubur obat-obatan. Mula-mula me-
mang terasa sakit, apalagi ketika tabib itu membung-kusnya dengan daun-daun
waru. Dan ia sempat me-
mekik saat Nayan Gunta membalut tubuhnya dengan
sobekan kain panjang.
Wintara memberikan baju ningratnya, membantu
Akuwu Mambang mengenakan. Mata Akuwu Mambang
terbelalak lebar, ketika ia melihat seorang gadis berjalan merambat pada
dinding. Gadis itu berjalan dengan bantuan sebatang tongkat. Kedua rongga
matanya tertutup dua lembar daun ramuan. Ia nampak berjalan memasuki ruangan.
"Arum....!" kata Akuwu Mambang tersentak.
Arum Kemuning sendiri terkejut mendengar suara
yang lain memanggilnya.
"Kakek Nayan Gunta, siapa orang yang menyebut
namaku tadi..." Rasanya...."
"Aku Akuwu Mambang, Arum.... Masakah kau
tak mengenaliku... Dan kenapa dengan matamu itu,
Arum...?" Akuwu Mambang beringsut bangun. Tapi...
Akh! Lukanya menimbulkan rasa nyeri. Gadis itu di-
tuntun oleh kakek bungkuk Nayan Gunta mendekati
Akuwu Mambang. "Anda, Tuan Akuwu Mambang...." Nampaknya
tuan tengah terluka parah..." Arum Kemuning sambil meraba-raba arah suara lelaki
itu. Akhirnya ia dapat
menyentuh tubuh yang telah dibalut.
"Ya... Aku terluka, Arum... Lalu... bagaimana kau bisa ada di sini?"
"Seseorang membawa ke sini untuk mengobati
kedua mataku... Pembunuh buntung itu telah melukai
kedua mataku... Juga dia telah membunuh Sadewo
Mangli..," tutur Arum Kemuning.
"Kita telah dilukai oleh orang yang sama, Arum....
Parahkah kedua mata itu...?"
"Entahlah... Ada kemungkinan aku akan buta..."
jawab Arum Kemuning.
"Kau beruntung ada orang yang menyela-
matkanmu pada malam petaka di Joglo Alun.... Siapa-
kah si penyelamat yang hebat itu....?" Wintara ikut bertanya. Gadis itu menoleh
ke arah Wintara yang berdiri di samping balai dekat Akuwu Mambang duduk.
"Dia pun seorang ahli pedang... Namanya Seta
Wungu!" Gadis itu menjawab. Lalu ia meneruskan ka-ta-katanya...
"Sekarang ia sedang pergi menemui sahabatnya
Somarengga..."
"Kapan ia akan dapat ke mari lagi....?" tanya Akuwu Mambang.
"Tidak dapat dipastikan... Datang dan perginya kakang Seta Wungu bagaikan
angin.... Tapi yang jelas ia akan datang ke sini selama aku masih dalam
perawatan..."
Tabib Sakti Nayan Gunta membereskan semua
peralatannya ke dalam sebuah kantong kain. Lalu ia
mendekati mereka. Wajahnya yang keriput halus me-
mancarkan keramahan.
"Hari sudah larut malam, sebaiknya kalian beristirahat saja dahulu... Untuk
Akuwu Mambang jangan
terlalu banyak bergerak, mungkin besok bubur obat
itu mesti diganti..."
"Aku akan menjaganya, Kek...." kata Wintara sambil merebahkan tubuh Akuwu
Mambang. "Ayo, Arum... Kau harus kembali ke kamarmu..."
Kakek bungkuk Nayan Gunta menuntun gadis itu ber-
jalan dengan bantuan sebatang tongkat dari rotan. Mereka menuju kamar sebelah.
Lengan kanan Arum Ke-
muning yang menggenggam tongkat terjulur ke depan
mengetuk-ngetuk lantai. Sepeninggal mereka, Wintara mengambil selimut yang sudah
tersedia di sudut balai!
langsung menyelimuti tubuh Akuwu Mambang yang
belum memejamkan matanya.
* * * * Irama senar berdentingan membuat Wintara
terjaga dari tidurnya. Sinar panas menyorot ke arah mata. Wintara memicingkan
matanya. Sinar matahari
pagi masuk menerobos dari celah-celah dinding kayu.
Ternyata hawa dingin semalam membuat tidur mereka
begitu pulas dan nyenyak. Ia bangkit menggeliat.
Akuwu Mambang masih pulas tertidur. Nafasnya
nampak perlahan naik turun dengkurnya pun masih
terdengar. Wintara membetulkan selimut yang hampir
terlepas dari tubuh yang terbaring pulas. Setelah itu ia melangkah ke arah
jendela. Kedua telapak tangannya mendorong membuka daun jendela. Maka
terlihatlah pemandangan yang begitu indah. Hamparan bunga
yang bertebaran di bawah batu karang... Air danau
yang beriak-riak oleh benturan air tepian yang masih tertutup oleh kabut putih.
Dentingan senar kecapi
mengalun mengisi suasana pagi.
Musik kecapi berhenti, Wintara melihat kakek
Nayan Gunta berdiri di hadapan Arum Kemuning. Ia
nampak seperti mengganti daun ramuan di mata gadis
itu. Wintara tersenyum sambil melangkah ke luar.
Dengan bergegas ia menuruni anak tangga batu. Men-
dengar langkah itu Tabib Sakti Nayan Gunta meno-
leh... "Bagaimana dengan Akuwu Mambang apakah ia
sudah bangun...?" tanya Nayan Gunta.
"Belum, ia masih tertidur pulas..." Wintara mendekat.
"Ah... Aku mesti mengganti bubur obat di tubuhnya... Biarlah kita tunggu saja
sampai ia bangun...!"
Nayan Gunta selesai mengganti daun ramuan pada
mata Arum Kemuning. Wintara melihat alat musik da-
lam pelukan gadis itu. Maka ia teringat pada beberapa hari yang telah lalu,
ketika sebuah peristiwa pembunuhan sadis terjadi di Joglo Alun. Kecapi itu masih
bernoda darah yang telah menghitam... Dan ia ingat
pula ketika menolong tubuh Akuwu Mambang dari ja-
tuh... Sewaktu bersembunyi Wintara melihat jelas
pembunuh berlengan tunggal membawa benda terse-
but... Wintara tidak habis pikir.
"Kalian boleh menikmati pemandangan pagi ini, aku hendak menyiapkan obat untuk
Akuwu Mambang..." Setelah berkata begitu, Tabib Sakti Nayan Gunta berlalu, tapi
kembali ia menoleh ke belakang...
"Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kalian...
Nanti kita sarapan bersama, ya.."!" Kemudian Nayan Gunta berjalan tidak balik-
balik lagi. Tubuhnya yang bungkuk menaiki anak tangga batu. Dalam pada waktu
itu, ia sempat melihat sosok tubuh gemerlapan melesat cepat ke arah ruangan di
mana Akuwu Mambang
berada. Adanya kecurigaan itu, Tabib Nayan Gunta tidak kalah cepat melesat
menyusul... Tubuh bungkuk
itu menerobos cepat melalui jendela..! "Des"! Langsung menggagalkan serangan
tubuh gemerlapan itu yang
nyaris melancarkan hantaman ke arah Akuwu Mam-
bang yang tertidur pulas. Tubuh gemerlapan mundur,
pandangannya menatap garang. Nayan Gunta lompat
ke samping balai melindungi tubuh yang terbaring.
"Memalukan.... Perbuatan apa itu! Membunuh
orang yang tengah tertidur pulas..." kata Tabib Nayan Gunta. Sudah tentu orang
yang berpakaian gemerlapan itu menjadi gusar. Ia tidak menjawab, malah ia
menyerang dengan beringas... Hantamannya hampir
saja mengenai kepala Tabib Sakti Nayan Gunta. Ia dapat merunduk, sebelah
lengannya menangkis hanta-
man itu.... "Plaaak!" Nayan Gunta tidak bergeser sedikit pun, tiba-tiba lengannya yang lain
menerobos ke depan
menghantam perut... "Deees!" Orang itu mundur beberapa langkah.
Mendengar suara berisik, Akuwu Mambang terja-
ga dari tidurnya. Ia melihat langsung perkelahian di ruangan itu. Jantungnya
terkesiap ketika melihat sosok tubuh gemerlapan...
"Somarengga...! Apa-apaan kau....!"
Akuwu Mambang menghardik. Ia bangkit dari ti-
dur... Rasa sakitnya sedikit berkurang. Bahkan ia dapat berdiri... Sebenarnya ia
bergerak dalam keadaan refleks. Saat luka-luka berdenyut ia teringat akan
tulang-tulangnya yang remuk.
Sosok gemerlapan yang ternyata adalah Soma-
rengga tidak perduli hardikan Akuwu Mambang. Ia
semakin gencar melakukan serangan balasan pada
kakek bungkuk Nayan Gunta. Sambil menepis seran-
gan-serangan itu, ia berteriak...
"Akuwu Mambang.... Menyingkirlah dari sini! Keparat busuk ini bermaksud
membunuhmu... Cepat
menyingkir..." Tubuh bungkuk Nayan Gunta bergerak-gerak lincah. Sekali waktu
pukulan Somarengga berhasil menghantam punggung bungkuk Nayan Gunta.
Kakek itupun tersungkur ke lantai. Begitu tubuhnya jatuh ia langsung bergulingan
menghindari serangan-serangan berikutnya.
"Biar aku yang menghabiskan nyawa anjingnya...
Heaaaa!" Akuwu Mambang maju menerjang. Tinjunya melayang ke depan. Somarengga
yang tengah melancarkan serangan terhadap kakek Nayan Gunta menda-
dak berbalik mundur. Serangan Akuwu Mambang
memang sukar untuk dielakkan. Karena meskipun ia
dalam keadaan terluka parah, Akuwu Mambang masih
mampu mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya. Hanya
saja tiap-tiap gerakannya sekarang nampak lambat.
Untuk membalas serangan balik pada Akuwu
Mambang, Somarengga tidak dapat melaksanakannya.
Karena serangan-serangan Akuwu Mambang nampak


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian gencar... Somarengga hanya dapat menang-
kis atau menghindar. Namun bagaimana hebatnya
Akuwu Mambang yang tengah terluka itu, keadaan tu-
buhnya makin menurun. Melihat itu Tabib Sakti Nayan Gunta melesat menerjang....
Tendangannya berhasil
menghantam dada... Bersamaan itu pula Somarengga
sempat melancarkan sebuah pukulan yang bersarang
telak di tenggorokan Akuwu Mambang. Somarengga
maupun Akuwu Mambang bergulingan.
Nayan Gunta cepat membantu Akuwu Mambang
berdiri. Namun Somarengga yang sudah kalap lalu da-
tang lagi menerjang... Tendangannya yang keras
menghantam mereka sekaligus. Akuwu Mambang ter-
pelanting... Kakek bungkuk Nayan Gunta sempoyon-
gan mundur. Pandangannya masih terus mengawasi
Somarengga, takut kalau-kalau ia melancarkan seran-
gan kepada Akuwu Mambang...
Kekhawatiran Nayan Gunta ternyata benar. So-
marengga menghentakkan kedua kakinya, maka tu-
buhnya melesat dengan pukulan yang siap menghan-
tam ke arah Akuwu Mambang.... Tentu saja Tabib Sak-
ti Nayan Gunta tidak tinggal diam. Ia pun berusaha
menyelamatkan Akuwu Mambang dari maut. Soma-
rengga yang mengetahui terjangan Tabib Sakti Nayan
Gunta, memutar sebelah lengannya... "Bwaaak!" Hantaman itu membuat Nayan Gunta
terpelanting. Tubuh
Somarengga yang masih melesat tetap menjurus den-
gan tendangan yang sangat keras.... "Deeeees!" Akuwu Mambang tidak sempat
menghindar, tubuhnya terlempar keras menerobos jendela kayu yang terbuka le-
bar... * * * 8 Wintara maupun Arum Kemuning tersentak, ma-
nakala terdengar suara derak dari arah ruangan pondok. Sosok tubuh terlempar ke
luar menerobos jendela.
Tubuh itu tak lain Akuwu Mambang. Saat ia terlempar tubuhnya berputar,
berjumpalitan. Lalu hinggap di
atas tanah tanpa bersuara.
Selain Akuwu Mambang, tubuh Tabib Sakti
Nayan Gunta bersama Somarengga ke luar pula mene-
robos jendela. Keduanya berlompatan saling susul.
Lama sekali tubuh mereka berjumpalitan di udara. Selama itupun mereka saling
hantam menyerang. Akuwu
Mambang melesat lagi ke atas, ke arah mereka.... Teriakannya menggelegar
disertai dengan tendangan
mengarah deras ke tubuh Somarengga.... "Dues!" Somarengga memekik, tubuhnya
ambruk ke tanah.
Bersamaan dengan itu, Tabib Sakti Nayan Gunta
menukik ke bawah... "Deeeeer" Tinjunya menghantam deras ke dada Somarengga yang
masih bergulingan.
Akuwu Mambang maju lagi menyerang, tapi mendadak
langkahnya terhenti. Rasa sakit di luka-luka itu menyerang tubuhnya. Sesaat ia
kejang... Wintara sudah berada di situ, Ia langsung memegangi tubuh Akuwu
Mambang. Lelaki itu memuntahkan cairan kental kehi-
taman. "Wintara, jaga Akuwu Mambang....!" teriak kakek bongkok Nayan Gunta. Lengannya
berkelebat menyambar... Kalau Somarengga tidak bergeser, hanta-
man itu pasti mengenai mukanya.
Di luar dugaan, Somarengga yang bergerak ke
samping tidak kalah cepat menyambar hantaman itu...
"Plaak!" Kedua lengan mereka berdenyut. Somarengga melancarkan serangannya lagi.
Kali ini dengan tendangan setengah memutar.... "Bwwwet" Dengan merunduk, kakek
bungkuk Nayan Gunta menghindar, tu-
buhnya hampir merebah ke tanah.... Tanpa sepengeta-
huan Somarengga, Nayan Gunta melancarkan sabetan
kaki... Membuat tubuh Somarengga terjungkal.
Diam-diam Wintara merasa kagum akan keheba-
tan Tabib Sakti Nayan Gunta. Ia tidak menyangka sa-
ma sekali kalau kakek bungkuk itu memiliki ilmu yang hebat pula. Pelukannya erat
memapah tubuh Akuwu
Mambang yang nampak pucat mengucurkan keringat.
Arum Kemuning berjalan dengan rotannya, Sebelah
tangannya menggapai-gapai seperti mencari sesuatu.
"Wintara.... Kakek Nayan Gunta...! Di mana ka-
lian...?" Suara gadis itu halus memanggil-manggil.
Langkahnya menuju ke arah perkelahian. Sambil me-
mapah Akuwu Mambang, Wintara berjalan mendekati
Arum Kemuning. "Diam saja di situ, Arum.... Aku akan ke sana....!"
kata Wintara. Sebelum Wintara mendekati gadis itu, ia melihat
sosok serba hitam berlengan tunggal melesat ke arah Arum Kemuning. Pandangan
gadis itu yang gelap mengira kedatangan sosok hitam itu Wintara...
"Wintara...." tegur Arum Kemuning, "tapi..."
"Bukan! Aku Seta Wungu..." Sosok hitam berlengan tunggal mengaku.
"Ah... Kakang Seta Wungu.... Ada apa di sana,
aku mendengar suara ribut-ribut..."
"Tidak ada apa-apa, Arum.... Sebaiknya kita pergi dari sini...!" kata Seta Wungu
menarik perlahan-lahan Arum Kemuning.
"Bagaimana dengan kakek Nayan Gunta..."
Masakah kita pergi begitu saja...?" Gadis itu belum mau beranjak. Kehadirannya
yang diketahui oleh Wintara dan Akuwu Mambang membuat Seta Wungu le-
paskan lengan gadis itu.
Wintara tidak mengeluarkan suara. Begitu juga
Akuwu Mambang. Dua orang itu menatap tajam Seta
Wungu. Permainan macam apa ini... Bagaimana sosok
berlengan tunggal bisa ada di sini... Apa hubungannya dengan Arum Kemuning..."
Apakah Arum Kemuning
tidak tahu kalau lelaki berlengan tunggal itu seorang pembunuh sadis yang pernah
meneror Joglo Alun
maupun di tempat kediaman Akuwu Mambang..." Win-
tara juga pernah melihat lelaki itu membawa sebuah kecapi dari rumah bertingkat
itu... Seta Wungu perlahan menarik gagang pedang da-
ri punggungnya. Hampir tidak bersuara. Wintara tetap diam tidak bergeming.
Matanya mengawasi genggaman
pedang. Pedang itu sudah terhunus, begitu mengkilatnya.... Sambil melangkah maju
Seta Wungu siap mem-
babatkan pedangnya... Begitu pedang itu berkelebat
menyambar, Wintara melesat ke atas bersama tubuh
lemas Akuwu Mambang.... Tahu-tahu mereka hinggap
di belakang Arum Kemuning. Seta Wungu membalik-
kan tubuh dan dia menatap geram...
"Bangsat...! Jangan dekati gadis itu...!" suara Se-ta Wungu terdengar keras.
Arum Kemuning merasakan
ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Perlahan Wintara berbisik...
"Tenang, Arum... Aku Wintara bersama Akuwu
Mambang... Temanmu itu bermaksud ingin membu-
nuh kami... Aku khawatir dia pun akan berlaku sama
terhadap diriku..."
"Arum Kemuning menyingkirlah dari sini....!"
Sambil berteriak, Seta Wungu maju menerjang... Pedangnya yang berkilat nampak
menyilaukan terkena
sinar matahari. Suara terjangan itu dapat didengar
Arum Kemuning.... Seperti apa yang diajarkan Seta
Wungu dalam permainan pedang, gadis itu memba-
batkan tongkat rotan ke arah desiran terjangan Seta Wungu.... Sebelum
membabatkan pedangnya Seta
Wungu mundur menghindari sambaran tongkat rotan.
"Aku tidak percaya dengan tingkah lakumu itu,
Kakang Seta Wungu.... Wintara dan Akuwu Mambang
bukan orang jahat, mengapa sampai hati kau ingin
membunuh mereka...?" Arum Kemuning menuding-
kan tongkat itu.
"Kau tidak mengerti, Arum... Menyingkir saja dari situ... Aku tidak ingin
menyakiti dirimu lagi..." kata Se-ta Wungu.
"Tidak ingin menyakiti diriku lagi..."!" Arum Kemuning tersentak. Seta Wungu
berdiri tegak tidak
menjawab... Sebelah telapak tangan gadis itu mele-
paskan daun-daun yang menutupi kedua matanya....
Ia ingin membuktikan apa yang pernah dibisikkan Ta-
bib Sakti Nayan Gunta. Kelopak matanya terbuka le-
bar... Bola matanya nampak suram, begitu juga den-
gan penglihatannya! Meskipun semua nampak suram,
ia masih dapat melihat sosok hitam berdiri di hadapannya... Sebelah lengan kanan
sosok hitam itu bergerak-gerak tertiup angin.
"Kaukah Seta Wungu..." Aku berharap kau men-
gatakannya 'tidak'..." Suara gadis itu dingin.
"Akulah Seta Wungu yang selama ini kau ken-
al..." jawab Seta Wungu jujur. Bagai disambar petir Arum Kemuning mendengar
jawaban itu. Ia maju melangkah dengan genggaman tongkat yang gemetar...
"Kalau begitu, kaulah pembunuh Sadewo Man-
gli... dan kau juga yang telah membuat cacat kedua
mataku... Kau harus menebusnya, laki-laki terku-
tuk....!" Arum Kemuning membabatkan tongkat rotan ke arah kepala Seta Wungu...
Seta Wungu sengaja tidak mengelak. Ia membiarkan hantaman rotan itu
menghantamnya berkali-kali di kepala.
"Arum.... Apapun yang kau lakukan kepadaku,
aku pasrah... Tapi berikan dulu kesempatan padaku
untuk membunuh anjing-anjing itu..." kata Seta Wungu tenang. darah membanjir di
wajahnya. "Tidak ada, Seta Wungu...! Tidak ada kesempatan lagi untukmu...!" Suara Arum
Kemuning parau. Ia menghantamkan lagi tongkatnya ke tubuh Seta Wungu. Tetap saja
Seta Wungu tidak mengelak... Hanta-
man-hantaman tongkat itu mendera tubuh berlengan
tunggal. Entah pada hantaman keberapa kali, tubuh
Seta Wungu melesat ke atas... Wintara yang masih berada di situ cepat menyingkir
menghadapi lesatan tubuh Seta Wungu yang langsung menerjang dengan ba-
batan pedang. Sinar pedang bergulung-gulung mence-
car Wintara. "Hadapi dia, Wintara... Lepaskan aku..." kata Akuwu. Mambang dalam lindungan
Wintara.... Benar
juga, kalau dia masih memapah Akuwu Mambang ke-
selamatan mereka berdua malah tidak terjamin. Ma-
nakala pedang itu masih terus berputar bagai kilatan-kilatan yang menyilaukan!
Dengan sekali hentakan tubuh Wintara yang
memapah Akuwu Mambang melesat arah Arum Ke-
muning. la langsung merebahkan tubuh Akuwu Mam-
bang dibawah kaki gadis itu. "Arum.... Akuwu Mambang ada di dekatmu.... Aku
mohon lindungi dia! Aku yakin ia akan aman bersamamu..." kata Wintara, wajahnya
menoleh ke belakang melihat Seta Wungu da-
tang bagai setan kelaparan... Begitu Seta Wungu membabatkan pedangnya... Wintara
melesat ke atas ka-
kinya dapat menendang lengan Seta Wungu....
"Deees!" Hampir saja pedang itu terlepas, Mendapat serangan yang begitu
mendadak, Seta Wungu ter-
kesiap... Wintara sudah hinggap di tanah dan ia cepat merunduk saat pedang
menyambar melewati kepalanya... "Weees!" Lengan kekar Wintara memutar menghantam
perut Seta Wungu....
Menghadapi seorang pemuda yang begitu tang-
guh, Seta Wungu makin geram. Babatan-babatan pe-
dangnya berputar lagi... Kali ini kecepatannya luar biasa. Kalau saja pedang itu
bukan benda tajam, Winta-ra berani menangkis atau menyambut dengan puku-
lan-pukulannya. Tapi siapa yang berani menghadapi
babatan-babatan pedang itu dengan lengan telanjang.
Tidak ada cara lain untuk menghindarinya. Kecuali
Wintara harus mundur beberapa langkah sambil men-
cari titik kelemahannya.
Arum Kemuning menyaksikan pertarungan itu
meskipun dengan pandangan yang suram. Ia dapat
melihat betapa Wintara kewalahan menghadapi Seta
Wungu yang menyerang membabi buta...
"Wintara.... Tangkap ini...!" Arum Kemuning melemparkan tongkat rotannya,
tongkat itu melayang di udara ke arah Wintara. Wintara yang melihat sebatang
tongkat melayang ke arahnya langsung melompat berniat meraih benda itu. Tapi
Seta Wungu pun melompat ke atas... Pedang tajamnya berkelebat mematah dua-kan
batang rotan.... Bersamaan dengan itu, Wintara
yang masih melesat di udara menendang tubuh Seta
Wungu sampai jatuh bergulingan.
Dadanya terasa sesak, ia melihat Wintara hing-
gap di tanah tanpa bersuara dengan mantap. Baru kali ini ia mendapatkan lawan
yang demikian tangguh.
Apalagi orang yang ia hadapi seorang anak muda yang jauh lebih muda dari
usianya. Dengan geram Seta
Wungu melemparkan pedangnya ke samping... Dan
menancap ditanah yang menghampar bunga-bunga
bermekaran. Wintara tidak mengerti mengapa Seta
Wungu membuang senjata andalannya. Dengan mata
yang nyalang Seta Wungu memperlihatkan jurus-jurus
aneh. Telapak tangannya menggenggam sesuatu yang
kosong... Bergerak-gerak seolah-olah tengah memainkan pedang...
Meskipun kelihatannya tidak begitu mematikan,
Wintara tidak memandang remeh. Ia pun mulai bersi-
kap hati-hati.... Kedua lengannya bergerak menyilang,
kemudian sebelah lengan kanannya naik ke atas kepa-
la... Yang sebelah lagi tetap menyilang bawah dada.
Dengan disertai teriakan, Seta Wungu menerjang...
Lengannya yang tunggal bergerak lebih dulu menyam-
bar... Wintara tidak mundur, ia malah maju sambil
melancarkan serangan... Tapi mendadak tubuhnya ter-
jungkal ke belakang. Seperti ada sesuatu yang menghantam pangkal lengannya...
Padahal ia tahu betul Se-ta Wungu tidak menyentuhnya... Ilmu apa ini" Tanpa
menyentuh, tapi tenaga dalam pukulan itu dapat men-jatuhkan lawannya!
Bekas hantaman itu terasa nyeri sekali. Wintara
merasakan seperti sambaran mata pedang. Kalau begi-
tu, untuk menghadapi Seta Wungu, ia harus pula
menghimpun tenaga inti penuh.
* * * * Sementara itu, Tabib Sakti Nayan Gunta tampak
mengangkat kedua tangannya ke atas. Rupanya ia me-
nyambut tendangan Somarengga. Dalam pada itu
Nayan Gunta berhasil mencengkeram kaki yang masih
berkelebat diatasnya. Sambil memegangi kaki Soma-
rengga... Kakek bongkok Nayan Gunta balas menen-
dang... Menghantam keras dari perut ke tenggorokan.
Maka tubuh Somarengga mencelat tidak tanggung-
tanggung. Dasar Somarengga seorang yang memiliki ilmu, ia
masih dapat mengimbangi tubuhnya ketika mencelat.


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia malah berjumpalitan salto di udara... Di luar dugaan, ia sempat melemparkan
beberapa senjata raha-
sia dari balik bajunya yang gemerlapan... Senjata-
senjata rahasia itu meluncur deras ke arah Tabib Sakti Nayan Gunta. Kalau saja
matanya yang ditumbuhi alis putih kurang awas, mungkin senjata-senjata rahasia
itu sudah bersarang di tubuhnya... Ketika senjata-senjata itu berdesingan, Nayan
Gunta berhasil me-
nyampok dengan kedua telapak tangannya... Bahkan
dua buah pisau kecil itu dapat ditangkap dengan jari telunjuk dan jari tengah.
Sekali lagi Somarengga melemparkan beberapa
senjata rahasia. Senjata rahasia itupun berdesingan...
Tabib Sakti Nayan Gunta melesat ke atas sambil me-
lemparkan kembali kedua pisau kecil yang terselip di kedua jarinya... "Aaaargh!"
Somarengga memekik! Ia tidak dapat menghindari senjata-senjata rahasianya
sendiri. Dua pisau kecil menancap pada bahu serta
lengannya... Dan sewaktu Nayan Gunta turun ke ta-
nah, tendangannya yang keras melemparkan tubuh
Somarengga... Tubuh itu mencelat tak terkendali... Jatuh di arena pertarungan
Wintara dengan Seta Wungu.
Semula Seta Wungu berniat melancarkan seran-
gan kepada Wintara, tapi setelah melihat Somarengga
yang jatuh di bawah kakinya, ia langsung menarik kerah baju gemerlapan
Somarengga. "Keparat kau Somarengga...! Kau telah
mengkhianati diriku...! Semua ini terbongkar akibat ulah dungumu yang rakus akan
kedudukan...! Kau tidak mungkin dapat menggantikan kedudukan Akuwu
Mambang, Anjing busuk...! Karena kau pun akan sama
mampusnya dengan mereka...!" kata Seta Wungu mencengkeram erat kerah baju
gemerlapan Somarengga.
"Tidak mungkin kau bisa membunuhku Seta
Wungu... Aku banyak uang! Kau boleh ambil semua
harta kekayaanku, asal..."
Perkataan Somarengga terputus, karena sebuah
hantaman menghantam telak pada batang lehernya.
Darah menyembur. Somarengga sudah tidak dapat ge-
rak. Tulang lehernya terasa patah.
"Setelah kau mampus, apa susahnya menguasai
hartamu...!" Wajah Seta Wungu nampak menyeram-
kan, seluruh wajahnya memerah dengan darah dari
luka-luka di kepalanya.
Semua orang yang berada di situ menatap ngeri
ke arah Seta Wungu. Bukan ngeri lantaran takut. Tapi ngeri melihat darah yang
membanjir dibagian muka
sosok berlengan tunggal.
"Kalian dengar...! Khususnya untuk Akuwu
Mambang! Anjing busuk inilah yang selalu mendalangi tiap-tiap pembunuhan orang-
orang kepercayaan kepa-
tihan...! Aku bicara yang sebenarnya...! Juga Untuk Arum Kemuning..." Seta Wungu
yang nampak mengerikan tidak melanjutkan kata-katanya... Karena ia
sendiri tengah memukul ambruk Somarengga ke ta-
nah. Tubuh itu kelojotan... Sesaat kemudian Soma-
rengga diam tak berkutik, nyawanya telah jauh terbang melayang, lalu...
"Arum Kemuning boleh mengatakan aku seorang
pembunuh... Tapi sebenarnya luka yang ada di kedua
matanya bukan unsur kesengajaan... Itulah sebabnya aku membawanya ke mari...
Mengurus serta menjaganya..."
Wintara, Akuwu Mambang juga Arum Kemuning
dan Tabib Sakti Nayan Gunta tidak bereaksi. Mereka malah bersyukur karena dengan
kematian Somarengga
berarti telah mengurangi kekuatan lawan mereka. Me-
reka hanya mendengarkan ocehan Seta Wungu...
"Untuk Nayan Gunta.... Terpaksa dalam, hal ini kau ku libatkan.... Kau pernah
mengatakan Arum Kemuning akan buta! Tapi nyatanya.... Sekarang gadis itu telah
tahu siapa diriku yang sebenarnya... Sama kau menipu, Nayan Gunta.... Sekali
lagi kuperingatkan padamu, Arum Kemuning Menyingkirlah dari tempat
ini...! Aku sudah bersumpah tidak ingin menyakitimu lagi...! Setelah aku
membunuh tiga orang keparat ini, kau boleh membunuhku, Arum..." Sambil berkata
begitu Seta Wungu menggerak-gerakkan sebelah tangan-
nya. Maka terlihat jurus-jurus aneh Seta Wungu. Telapak tangannya tergenggam
seperti memegang sebilah pedang.
* * * * 9 "Majulah kalian bertiga...." Seta Wungu menantang.
"Hati-hati, ia menggunakan jurus 'Pedang Tanpa Wujud'... Jurus itu lebih
berbahaya dari pedang sung-guhan..." bisik Tabib Sakti Nayan Gunta pelan. Arum
Kemuning maju menghadang Seta Wungu.
"Sebelum kau membunuh mereka, kau harus
membunuhku terlebih dahulu... Ayo kakang Seta
Wungu... Kenapa mesti ragu-ragu...!" Gadis itu menghalangi dengan kedua
tangannya. "Sudah kubilang, aku tak dapat menyakitimu,
Arum... Menyingkirlah..." Tiba-tiba saja tubuh bungkuk Nayan Gunta melesat ke
atas, lalu berputar di
udara... Sesaat kemudian dia hinggap dalam jarak beberapa tombak di belakang
Seta Wungu. "Manusia sombong...! Buktikan ocehanmu itu...!
Kau pikir kami seekor lalat yang mudah ditepuk dengan telapak tangan. Mari Seta
Wungu... Aku yang tua
ini belum pernah tahu kehebatan ilmu 'Pedang Tanpa
Wujud'..." Tabib Sakti Nayan Gunta telah bersiap menghadapi sosok lengan tunggal
Maka dengan gerakan yang sangat cepat, Seta Wungu berlari mendekati Tabib Sakti
Nayan Gunta. Arum Kemuning tidak dapat
menghalangi lagi...
"Kakang Seta Wungu... Jangan bunuh dia...!" Teriakan Arum Kemuning tidak
diperdulikan. Seta Wun-
gu terlanjur melancarkan serangan terhadap kakek
bungkuk itu. Sebelah lengannya bergerak... Lengan keriput Nayan Gunta menyambut.
Benturan dahsyat tak
terelakkan... Keduanya sama-sama melancarkan serangan.
Dari kejauhan perkelahian mereka nampak seperti dua sosok ringan yang
beterbangan saling bentur. Kurang lebih mereka sudah mengeluarkan sepuluh jurus.
Namun masih belum dapat dipastikan di antara mereka
siapa yang bakal jatuh. Baik Seta Wungu maupun ka-
kek bungkuk Nayan Gunta masih sama-sama kuat.
Jurus-jurus ampuh mereka makin gencar. Kalau Seta
Wungu melancarkan serangan maut, Tabib Nayan
Gunta pun tidak kalah hebat menyambut serangan
itu... dan saat hantaman mereka beradu, terdengar
suara yang amat nyaring. Seperti benturan dua bong-
kah batu. Wintara membantu Akuwu Mambang berdiri. Ra-
sa sakit di tubuhnya rada berkurang. Arum Kemuning
masih berdiri menyaksikan pertarungan itu. Ia merasa lega, karena kakek bungkuk
Nayan Gunta dapat mengimbangi serangan-serangan Seta Wungu. Ia berharap
tidak ada yang terluka di antara keduanya. Ia pun merasa menyesal karena telah
melukai kepala Seta Wun-
gu. Tidak seharusnya ia bertindak demikian.
"Arum, kemarilah... Akuwu Mambang perlu per-
tolongan. Kau bisa membawanya ke dalam pondok...?"
kata Wintara. Arum Kemuning menoleh ke arah Winta-
ra. Lalu tanpa menjawab ia melangkah mendekat. Da-
lam jarak yang sangat dekat, gadis itu dapat melihat Wintara dan Akuwu Mambang
dalam rangkulan. Wintara membiarkan Arum Kemuning menuntun Akuwu
Mambang berjalan lemah menuju pondok. Dalam pen-
glihatan gadis itu, pondok yang ada di hadapannya
nampak suram. Namun begitu ia masih bisa melihat
jalan yang menuju pondok dengan jelas.
Lengan Tunggal Seta Wungu berkelebat memutar.
Nampak lingkaran hitam bergulung-gulung bagai kiti-
ran angin. Menghantam keras ke segala arah titik kelemahan kakek bungkuk Nayan
Gunta yang kewalahan
menghindari serangan-serangan itu. Sekali ia meng-
hentakkan kakinya ke atas, dalam sekejap tubuh
bungkuk itu sudah berada di udara... Lengannya ber-
gerak cepat menghantam punggung Seta Wungu...
"Des!" Dalam pada itu pun Seta Wungu tidak kalah cepat memutar lengan tunggalnya
ke atas ke arah Nayan
Gunta yang nampak masih berjumpalitan di udara...
Jelas sekali hantaman itu tidak mengena, tapi...
"Deeees!" Entah karena apa Nayan Gunta memekik hebat, tubuhnyapun terbanting
jatuh menggelinding ke
tanah. Sekali lagi Seta Wungu menerjang deras. Lengan
tunggalnya siap melancarkan pukulan 'Pedang Tanpa
Wujud'... Manakala Tabib Sakti belum sempat bangkit dan ma sih mengerang menahan
sakit... Saat itu sosok Wintara berkelebat sambil menghantam. Lengan Tunggal
Seta Wungu yang tadi hampir menghantam kepa-
la... Tiba-tiba saja bergeser melenceng terkena pukulan Wintara yang datang
begitu keras. Diam-diam Wintara merasakan tinjunya berdenyut.
"Bagus... Anak muda. Kalian boleh mengeroyok-
ku sekaligus! Mana Akuwu Mambang..." Kenapa ia ti-
dak menunjukkan diri..?" Lengan Tunggal Seta Wungu menyilang di hadapan mukanya.
Kemudian terjangan
yang bagaikan setan tahu-tahu hantamannya menju-
rus ke muka Wintara... Desiran anginnya begitu ken-
cang terasa menghantam samping muka. Secepatnya
kedua telapak tangan Wintara maju mendorong tubuh
berlengan tunggal itu. Dalam pada itupun Seta Wungu sempat melancarkan tendangan
ke perut. Maka kedua
tubuh itu mencelat... Tapi keduanya sama-sama memi-
liki keseimbangan tubuh yang hebat.
Saat mereka mencelat, mereka dapat mengenda-
likan diri... Keduanya berjumpalitan di udara... Kemudian sebelum hinggap di
tanah keduanya saling maju
menerjang Bagai dua ekor rajawali yang berebut mang-sa...
"Blaaaaar!" Hantaman mereka saling beradu. Kali ini betul-betul berakibat fatal.
Tubuh Wintara ambruk bergulingan di tanah, Seta Wungu mencelat terlempar ke arah
batu karang. Sebelum tubuhnya membentur
batu karang... Kedua kaki Seta Wungu menjejak batu
itu, sehingga tubuhnya memantul kembali... Menga-
rah deras menubruk Wintara yang baru berusaha
bangkit. Melihat situasi seperti itu, Tabib Sakti Nayan
Gunta maju melancarkan serangan....
"Deees!"
Seta Wungu memekik sambil bergulingan. Ia ti-
dak menyangka mendapat serangan mendadak dari
kakek bungkuk Nayan Gunta.
Tabib Sakti Nayan Gunta sendiri nampak berdiri
terhuyung. Tendangannya memang keras menghantam
Seta Wungu, membuat seluruh tenaganya terkuras
habis. Namun tindakannya itu tidak percuma. Dalam
hati Wintara berterima kasih sekali terhadap Tabib
Sakti Nayan Gunta. Kalau saja kakek bungkuk itu ti-
dak melancarkan tendangan memotong serangan Seta
Wungu. Barangkali pukulan 'Pedang Tanpa Wujud'
melumpuhkan tubuh kekar Wintara.
Seta Wungu bangkit menggeram. Mukanya lebih
seram lagi... Karena darah yang mengalir dari kepa-
lanya mengucur deras membasahi raut wajah si Len-
gan Tung gal. Teriakannya begitu menggelegar saat ia menerjang mengumbar maut.
Melihat keadaan yang
demikian, Wintara melompat arah kakek bungkuk
Nayan Gunta. Ia khawatir, kalau-kalau Nayan Gunta
akan menjadi sasaran utamanya. Maka ketika Wintara
berada di hadapan kakek bungkuk, ia sudah beran-
cang-ancang menyambut serangan yang bakal datang.
Apa yang dikhawatirkan oleh Wintara, ternyata
benar...! Seta Wungu membabatkan lengan tunggalnya
kuat-kuat. Wintara menyambut dengan tendangan-
nya... "Plaaak!" Lalu tinju Wintara maju menerobos, Seta Wungu menghindar
lincah. Tubuhnya bergeser.
Cepat lengan tunggalnya menepis jotosan itu...
Perkelahian dua manusia sakti ini berlangsung
sengit. Dua sosok itu gencar melancarkan serangan-
serangan. Tabib Sakti Nayan Gunta dapat melihat ke-
hebatan anak muda yang mengenakan baju dari kulit
binatang. Belum pernah ia melihat jurus-jurus yang
begitu dahsyat, seperti yang dilancarkan Wintara. Tubuhnya yang nampak begitu
ringan berpindah-pindah
mengelakkan serangan Seta Wungu.
Seta Wungu pun demikian, dengan gerakan yang
ringan ia mencecar anak muda itu. Keduanya nampak
bergerak-gerak tanpa menyentuh tanah. Itu bertanda
bahwa Keduanya memiliki ilmu peringan tubuh yang
sempurna. Walaupun mereka menginjak tanah, itupun
hanya sekejap! Sedetik kemudian mereka beterbangan
lagi bertempur di udara.
Dua belas jurus telah berlalu. Keduanya sama-
sama belum dapat melancarkan serangan. Mereka sa-
ma-sama tidak dapat menyentuh. Kecuali benturan-
benturan hantaman yang terdengar. Tabib Sakti mem-
belalakkan matanya, ketika melihat Wintara berhasil menghantam dada Seta Wungu
sampai terdorong ke
belakang. Seta Wungu mengikuti dorongan pukulan
itu... Mendadak ia berhenti berdiri di atas semak-
semak yang rimbun.
Hebat! Tabib Sakti Nayan Gunta merasa kagum.
Dirinya sendiri belum tentu bisa melakukan seperti
itu. Dia pernah mempelajari berdiri di atas semak, tapi ia tidak dapat bertahan
lama seperti yang dilakukan Seta Wungu sekarang. Di atas semak itu Seta Wungu
nampak mengeluarkan jurus-jurusnya lagi. Gerakan-
nya seolah-olah menantang... Wintara menatap tajam, sambil berdiri di tempat ia
mengangkat kedua tangannya.... Sekali ia menggerak-gerakkannya nampaklah
sepasang tangan Wintara menjadi demikian banyak.
Bayangan-bayangan lengan itu jelas sekali dapat dihitung. Semuanya berjumlah
lima pasang... Sukar untuk
menentukan sepasang lengan yang asli.
Dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan
mata, Wintara melesat dengan lima pasang lengan-
nya.... Dia tidak langsung menyerang Seta Wungu,
Wintara masuk menerobos dalam rimbunnya semak...
Seta Wungu yang berdiri di atasnya tersentak kaget.
Saat tubuh Wintara tahu-tahu menyembul ke atas se-
mak... Kemunculan Wintara yang mendadak disambut
dengan babatan lengan tunggal Seta Wungu... Wintara telah menghantam lebih dulu
dengan lima pasang lengannya... Maka keduanya sama-sama terbanting lebih
dulu bukan karena kena hantaman... Tapi akibat ben-


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turan tenaga dalam mereka sendiri... Darah menetes
dari sela-sela bibir Wintara... Seta Wungu tidak terluka sedikit pun. Apalagi
mengeluarkan darah.... Ia hanya merasakan nyeri pada sendi-sendi tulangnya...
Wintara belum bangkit, Seta Wungu berdiri dengan tubuh
sempoyongan... Wajahnya yang berlumur darah makin
menyeramkan. "Kakang Seta Wungu, hentikan...!" Arum Kemuning berlari ke arah mereka.
"Tuan Akuwu Mambang akan mengampuni bila
kau kembali ke jalan yang benar... Itu tawaran yang menarik, kakang Seta
Wungu...! Kau akan hidup bebas...!" kata gadis itu lagi... Langkahnya makin
dekat. Seta Wungu menyeringai.
"Aku yang tidak mengampuni mereka, Arum...
Bukan dia! Karena hukum tidak berlaku bagiku..." jawab Seta Wungu lantang.
"Sadarlah, kakang... Tinggalkan kehidupan yang bergelimang darah itu...!"
"Demi kau semua akan ku tinggalkan... Tapi nan-
ti setelah anjing-anjing ini mampus semua... Aku tidak suka dengan tindakan yang
setengah-setengah... Sekarang sudah kepalang basah... Menyingkirlah, Arum...
Aku tidak melibatkan dirimu..." Seta Wungu maju.
Wintara bersiap-siap melindungi Arum Kemuning.
"Seekor anjing masih punya perasaan... Dibanding dengan dirimu, kau tidak lebih
dari bangkai hi-
dup...!" Tabib Sakti Nayan Gunta menimpali ucapan Seta Wungu. Sesaat Seta Wungu
menoleh ke arah kakek bungkuk itu, lalu.... Dengan lesatan yang sangat cepat
Seta Wungu bergerak melancarkan serangan...
Bersamaan dengan itu tubuh Arum Kemuning ikut
berlari mengikuti arah Seta Wungu... Sebelumnya ia
meraih pedang Seta Wungu yang tertancap di tanah...
Bagaimana pun gadis itu tidak dapat menyamai kece-
patan Seta Wungu!
"Kau ingin mampus lebih dahulu, kakek kepa-
rat...!" Terjangannya sangat cepat. Lengan tunggalnya bergerak sangat
mengerikan, Tabib Sakti Nayan Gunta sudah bersiap menyambut... Wintara tidak
tinggal di-am... Selama Seta Wungu melesat... Wintara pun ber-
lari dengan kecepatan penuh.
Hal ini bukan berarti Seta Wungu tidak tahu. Se-
belum Seta Wungu menghantam kakek itu, lengan
tunggalnya berputar ke samping menyambar tubuh
Wintara. Dengan gelagapan Wintara menangkis seran-
gan itu, tapi hantaman yang begitu keras membuatnya terbanting. Tabib Sakti
Nayan Gunta langsung melancarkan tinjunya. Seta Wungu yang sudah berniat ingin
menghabiskan nyawa renta itu, membabatkan lengan
tunggalnya tidak tanggung-tanggung ke arah jotosan
itu... "Praaaaak!" Kedua lengan mereka beradu keras!
Tabib Sakti Nayan Gunta memekik hebat... Sebelah tulang lengannya remuk. Nayan
Gunta bergulingan sam-
bil memegangi lengannya yang patah.
Arum Kemuning berlari ke arah kakek bungkuk
Nayan Gunta. Ia langsung menghalangi Seta Wungu
yang siap melancarkan serangannya lagi. Gadis itu
langsung mengacungkan pedangnya menghadang...
"Jangan, kakang... Sudahi pertumpahan darah
ini..." kata Arum Kemuning memohon.
"Tidak, Arum.... Kau menyingkirlah....!"
Sambil berkata begitu Seta Wungu melesat me-
mutar ke samping, hantamannya siap dilancarkan...
Tapi Arum Kemuning membabatkan pedangnya meng-
halangi... Tiba-tiba saja Seta Wungu berteriak panjang seperti menahan sakit!
Tubuhnya kelojotan di tanah.
Lengan tunggalnya memegangi kedua matanya yang
berlumuran darah. Rupanya ketika Arum Kemuning
membabatkan pedangnya, tanpa sengaja mata pedang
itu menyambar kedua kelopak mata Seta Wungu... Pe-
kik kesakitan Seta Wungu menggelegar!
Padahal sambaran pedang itu tidak sengaja di
arahkan ke bagian mata. Mana mungkin Arum Ke-
muning dapat berbuat seperti itu... Penglihatannya sa-ja suram, lagi pula
gerakan Seta Wungu sewaktu me-
lancarkan serangan kepada Tabib Sakti Nayan Gunta
begitu cepat melesat. Nayan Gunta maupun Wintara
seakan tak percaya dengan apa yang dilakukan Arum
Kemuning. "Kakang...! Aku tidak sengaja. Aku..." Arum Kemuning ketakutan. Seta Wungu tidak
menjerit lagi. Sambil menggeram ia bangkit. Dua rongga matanya
hancur! Lengan tunggalnya bergetar hebat seperti menahan amarah yang sangat luar
biasa. Dilihat dari lu-ka di kedua rongga matanya yang begitu parah, pastilah
Seta Wungu buta total! Bagaimana tidak, kedua
bola matanya nampak hancur dan hampir copot.
"Arum... Sekali lagi kuperingatkan menyingkirlah dari tempat ini... Aku tidak
ingin kau celaka... Cepat Arum menyingkirlah..." Suara Seta Wungu parau
bergetar. Arum Kemuning berjalan perlahan. Tabib Sakti Nayan Gunta berusaha diam
tidak mengeluarkan suara... Wintara sudah berdiri tegang....
"Hreaaaaaaaaaaaaaaa!" Mendadak Seta Wungu mengerahkan segenap suaranya.
Teriakannya sangat
lantang membisingkan tempat itu... Yang ia dengar
hanya langkah Arum Kemuning. Tiba-tiba saja ia mele-
sat ke arah Arum Kemuning.... Gerakannya seperti
hendak melancarkan serangan...
Sudah tentu Wintara tidak akan membiarkan Se-
ta Wungu menghantam gadis itu. Maka Wintara me-
lompat bermaksud melindungi Arum Kemuning... Di
luar dugaan Seta Wungu membalikkan serangan ke
arah Wintara.... "Bug!" Tendangan Seta Wungu masuk menghantam perut. Ternyata
ketika ia melesat ke arah Arum Kemuning, itu hanyalah suatu tipu muslihat.
Dengan begitu sudah pasti salah seorang dari mereka pasti datang untuk
menggagalkan serangannya....
Sewaktu Wintara melompat, Seta Wungu dapat men-
dengar desiran angin.. Dari situlah Seta Wungu mem-
balikkan serangan... Hebat.
Seta Wungu sudah dapat memastikan mana Win-
tara berada... Sewaktu Wintara jatuh akibat tendangan tadi, Seta Wungu dapat
mendengar suara di mana mu-suhnya terjatuh. Maka setelah ia mendengar suara ge-
debuk di tanah, Seta Wungu langsung mengarahkan
serangan-serangan ke arah suara itu... Sebenarnya
Wintara bisa mengelakkan serangan-serangan itu. Tapi lantaran serangan gencar
itu tidak pernah putus Wintara kewalahan juga menghadapinya.
Hebatnya Seta Wungu adalah dapat mendengar
setiap gerakan Wintara...! Sekalipun Wintara melan-
carkan serangan, Seta Wungu tetap menyambut den-
gan lengan tunggalnya. Mungkin karena dasar-dasar
ilmu pedang membuat Seta Wungu dapat membeda-
kan suara sehalus apapun... Tapi Wintara tetap memiliki keyakinan... Sesuatu
melintas dalam benaknya.
* * * * 10 Sedetik kemudian Wintara mengarahkan tendan-
gannya ke samping. Tabib Sakti Nayan Gunta heran
melihat tingkah Wintara. Mengapa ia harus menen-
dang ke tempat yang kosong" Kenapa tidak langsung
saja diarahkan pada Seta Wungu..."
Tendangan Wintara yang begitu keras menimbul-
kan suara angin yang menjadi pusat pendengaran Seta Wungu... Maka setelah
mendengar desingan itu, Seta
Wungu mengira Wintara bergeser... Ia pun bermaksudmelangkah ke arah desiran angin, tahu-tahu....
"Deeees!" Wintara yang masih tetap di situ dengan mudah dapat melancarkan
serangan. Seta Wungu
sendiri betul-betul merasa terkecoh... Sekarang tu-
buhnya mental jauh! Hantaman telapak tangan Winta-
ra yang berisi tenaga dalam itu membuat Seta Wungu
menyemburkan darahnya dari mulut.
Sosok hitam lengan tunggal bergulingan, mulut-
nya menyemburkan darah berkali-kali. Baru kali ini ia mendapat hantaman yang
demikian hebatnya. Dan sekarang harus mengakui akan kehebatan anak muda
itu. Wintara telah membayar tunai kelicikan Seta
Wungu. Seta Wungu sempoyongan, sebentar-sebentar tu-
buhnya melayang ambruk. Meskipun pandangannya
gelap, kepalanya tetap terasa seperti berkunang-
kunang dan berputar. Wintara membiarkan tubuh Se-
ta Wungu jatuh bangun, ia sudah menghentikan se-
rangan-serangannya. Tabib Sakti Nayan Gunta diban-
tu berdiri oleh Arum Kemuning. Mereka semua mena-
tap Seta Wungu. Betapa sukarnya ia bangkit berdiri.
Ada rasa iba dalam hati mereka...
"Arum.... Arum Kemuning, Ahhhh....!" rintih Seta.
Wungu sambil merangkak di atas tanah. Ia masih be-
lum dapat berdiri..
"Kau sudah lihat, Arum... Aku hampir mati... Puaskah kau..." Puaskah..." Mana
anak muda itu... Suruh ke mari... Kenapa ia tidak membunuhku seka-
lian... Ahhhh! nama besar Pendekar Kelana Sakti memang bukan sekedar nama
kosong....!"
Pendekar Kelana Sakti.." Siapa yang dimaksud-
kan dengan si Pendekar Kelana Sakti" Arum Kemuning
maupun Tabib Sakti Nayan Gunta keheranan menden-
gar ucapan Seta Wungu. Belum habis rasa heran me-
reka, Wintara berjalan mendekat ke arah Seta Wungu.
Langkahnya perlahan penuh hati-hati....
"Seta Wungu... Sebenarnya kau seorang yang be-
rilmu tinggi.. Sayang kau berada pada jalan yang tidak benar... Kalau sekarang
kau mau merobah segala tata cara kehidupanmu, aku rasa Akuwu Mambang akan
mengampunimu... Peristiwa ini tidak akan sampai ke
kepatihan... Beliau akan menganggapnya selesai..." ka-ta Wintara.
"Baru kali ini Pendekar Kelana Sakti mengenal
kompromi.... Padahal aku sudah banyak mendengar
semua sepak terjang mu dalam dunia persilatan.... Kenapa sekarang kau
menginginkan aku tetap hidup..."
Tidak seperti musuh-musuhmu yang lain... Lakukan-
lah.. seperti kau membantai musuh-musuhmu..."
"Aku membantai musuh-musuh dari golongan hi-
tam menurut caraku....! Dengan cara sadis ataupun
wajar, itupun menurut caraku... Seperti mereka yang telah membantai kedua orang
tuaku... Mereka pun
punya cara tersendiri...! Masing-masing mempunyai
cara...! Untukmu, Seta Wungu... Aku tidak perlu membunuhmu..."
"Kenapa..! Kau lebih senang melihat aku tersiksa begini...?" Seta Wungu berusaha
bangkit, tapi percuma sesaat kemudian tubuhnya ambruk lagi.
"Kau tak akan tersiksa, Seta Wungu! Tabib Sakti Nayan Gunta mau mengobatimu.
Asalkan kau kembali
pada jalan yang benar...." kata Wintara tegas....
"Aneh seorang pembunuh macam aku masih mau
diselamatkan...."
"Kau memang seorang pembunuh....! Tapi kau
masih punya perasaan....!"
"Aku tidak pernah memiliki perasaan...!" bentak Seta Wungu, kali ini ia dapat
bangkit, tapi bukan berdiri. Melainkan duduk berlutut.
"Kalau kau tidak punya perasaan, kenapa kau tidak membunuh Arum Kemuning di saat
menghantam memecahkan kepala sekaligus juga membutakan ke-
dua Matamu.... Hah!"
"Karena aku sudah berjanji tidak akan menyakiti untuk kedua kalinya setelah
melukai kedua matanya
ketika peristiwa di Joglo Alun....!" Seta Wungu mene-rangkan.
"Aku rasa bukan lantaran sumpah janjimu, Seta
Wungu.... Aku dapat melihat gerak-gerik di saat kau berhadapan dengan Arum
Kemuning... Kau tak dapat
membohongi dirimu... Benarkah kau mencintai Arum
Kemuning..."
Seta Wungu tidak menjawab. Pertanyaan Wintara
bagaikan cambuk berduri yang menjerat lehernya. Su-
kar sekali Seta Wungu mencari jawaban yang tepat.
"Seperti yang telah kau katakan, bahwa selama
ini pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang
kepercayaan kepatihan didalangi oleh Somarengga...
Selain terhadap orang-orang itu kau tidak pernah me-
lakukan pembunuhan apapun...!"
"Pendekar hebat, dari mana kau tahu hal itu....?"
Seta Wungu keheranan.
"Karena tidak mungkin Somarengga menyuruh
kau membunuh orang-orang yang tidak menurut ren-
cananya... Iya, kan....?" Seta Wungu diam lagi. Kar-tunya benar-benar
terbongkar! Ia tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan
'Pendekar Kelana Sakti' yang seakan-akan menelan-
jangi dirinya. Entah kekuatan dari mana tahu-tahu sa-ja Seta Wungu menghentakkan
tubuhnya... Dalam se-
kejap Seta Wungu dapat berdiri tegak. Di luar du-
gaan.... "Semua yang kau ucapkan memang benar, Pen-
dekar... Aku memang mencintai Arum Kemuning... Te-
lah kukumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk
meminang gadis itu... Tapi sekarang pikiranku telah berobah! Biarlah uang itu
tetap akan kuberikan pada Arum Kemuning. Sekarang yang ku pinta... Bunuhlah
aku!" "Tidak, Seta Wungu... Sebelumnya kita memang
tidak pernah punya urusan..."
"Kalau begitu, akupun mempunyai cara tersendi-
ri..." Seta Wungu bergerak. Nampak ia mengeluarkan jurus-jurus seperti tadi yang
pernah diperlihatkan.
Wintara bersiap-siap menyambut. Tapi Wintara yakin, serangan-serangan itu tidak
mungkin mematikan...
Begitu tubuh Seta Wungu melesat Wintara cepat ber-
geser... Ternyata Seta Wungu tidak melancarkan se-
rangan..! Tubuhnya meluncur deras ke arah bukit batu karang, membiarkan
kepalanya membentur keras...
"Praaaak!" Seta Wungu ambruk tanpa berkelojotan la-gi...
Tidak ada yang dapat menyelamatkannya. Winta-
ra yang mengira Seta Wungu yang melancarkan seran-
gan tidak sempat lagi meraih tubuh yang melesat ce-
pat. Mereka hanya bisa melihat kepala Seta Wungu
hancur berderak menghantam batu karang.
Arum Kemuning berlari ke arah tubuh Seta Wun-
gu yang terkapar di bawah bukit batu karang. Jeritannya menyayat ketika keadaan
sosok yang masih men-
geluarkan nafas tersendat-sendat...
"Kakang...! Pikiranmu buntu...! Kenapa harus
melakukan ini...?" Arum Kemuning menangis di samping tubuh berlengan tunggal
yang terkapar bersimbah darah.
"B-B-Benar apa... yang diucapkan olah.... Si Pen-Pendekar Ke-Kelana Sakti i...


Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu.. Ma-M-Manusia me-memang memiliki cara ter-tersendiri.... Ahhhhhh....! A-A-
Arummm Li-lihat sendi...ri caraku tadi..."
"Kakang Seta Wungu.... Kau tidak akan mati....!"
"U-uang itu....! Uang itu.... Ku-Ku-kusim.... pan di ku-kubu.... ran.... tua d-
d-di Jog... Jog.... Joglo....
al..." kata-kata Seta Wungu terputus. Ia telah meng-
hembuskan nafasnya yang terakhir....
"Kakaaaaaaaaang!" Arum Kemuning memekik.
Tangisnya membuat suasana haru. Dunia ini memang
aneh. Atau semua ini karena karunia Tuhan.... Seo-
rang pembunuh yang tewas mendapat iringan tangis
seorang gadis cantik jelita. Sementara tangisan Arum Kemuning belum berhenti....
"Seta Wungu telah menebus dosanya. Dia me-
mang seorang yang berjiwa kesatria." Suara Wintara menghentikan tangis Arum
Kemuning. "Benar... Seta Wungu menghendaki sendiri cara
kematiannya, siapa akan menyangka kalau dia akan
bertindak begini...." Tabib Sakti Nayan Gunta berjalan mendekati mereka.
Air terjun yang jatuh dari atas jeram meluncur
deras menghantam bebatuan yang menghampar di
bawahnya... Suara itu tidak pernah berhenti. Permukaan danau itupun terus
beriak. Dari kejauhan dianta-ra derunya suara derasnya air terjun, terdengar
suara derap kaki kuda dari balik hutan yang berderet di sekeliling danau.
Ketiganya tersentak dan menoleh ke arah suara
derap kuda. Mereka melihat kepulan debu beterbangan di permukaan tanah. Nampak
jelas belasan ekor kuda
keluar dari balik hutan... Teriakan para penunggangnya pun terdengar di saat
menghela kuda yang mereka tunggangi.
Belasan kuda-kuda itu makin lama makin dekat
menuju pondok yang berdiri tegak di atas bukit batu karang. Tapi setelah mereka
melihat ketiga orang yang masih berdiri di samping mayat Seta Wungu, belasan
kuda-kuda itu menghampiri mereka.
"Arum Kemuning ketakutan, ia menyelinap ke be-
lakang Wintara.
Nayan Gunta tenang-tenang mengawasi langkah-
langkah belasan kuda-kuda yang kian mendekat. Ku-
da-kuda itu berhenti tepat dihadapan mereka. Para penunggangnya menatap tajam.
"Akuwu Mambang menulis surat ke kepatihan,
bahwa ia terluka parah... Benarkah beliau berada di sini...?" tanya salah
seorang penunggang kuda paling depan. Penunggang kuda yang lain maju ke depan,
mendekati orang yang berbicara tadi.
"Anak muda itulah yang membawa Akuwu Mam-
bang mengantarkan surat ke kepatihan. Aku melihat-
nya sendiri..." bisiknya. Lalu ia membawa kudanya berjalan mendekati ketiga
orang yang masih berdiri.
"Jangan takut...! Kami utusan kepatihan yang
akan menjemput Akuwu Mambang! Benarkah kea-
daannya telah pulih...?" Orang itu memandang kakek bungkuk Nayan Gunta, lalu...
"Aku yakin kakek adalah Tabib Sakti Nayan Gun-
ta... Bagaimana keadaan beliau, kek?" tanya orang itu sambil turun dari kudanya.
Kakek bungkuk Nayan
Gunta menoleh ke arah pondok. Wintara berjalan
mendekat.... "Beliau memang ada di sini... Lukanya belum
sembuh betul! Beliau masih dalam perawatan Tabib
Sakti Nayan Gunta Wintara menjelaskan.
"Ah, syukurlah.... Kami merasa khawatir akan keselamatannya! Hanya Akuwu Mambang
yang masih tersisa dalam kepercayaan Kepatihan! Biarlah kami
akan menjaganya di sini sampai beliau sembuh betul, dan...." Orang itu tidak
meneruskan kata-katanya.
Pandangannya tertuju pada sosok tubuh tanpa lengan
tergeletak di bawah batu karang.
"Siapa dia..." Sosok yang serupa dengan tulisan yang tertera dalam surat Akuwu
Mambang... Pembunuh berlengan tunggal," katanya dengan nada keheranan.
"Heh...! Di sini ada juga sosok si pengkhianat Somarengga... Lihat itu...!"
teriak salah seorang penunggang kuda, lalu orang itu pun turun dari ku-
danya. Menuju ke sosok kaku Somarengga yang ber-
lumur darah. "Kalian akan segera tahu....!" Tiba-tiba terdengar suara dari arah pondok.
Serempak mereka semua
mengarahkan pandangannya ke sebuah pondok yang
berdiri kekar di atas bukit karang. Akuwu Mambang
berdiri menghadapi jendela. Tubuhnya yang telanjang dada nampak penuh dengan
balutan. "Kalian jangan bersikap seperti itu terhadap mereka... Turunlah dari kuda,
tunjukkan kesopanan ka-
lian di hadapan para pendekar sakti... Karena merekalah yang menyelamatkan
diriku..." katanya lagi dengan setengah berteriak. Kontan belasan penunggang
kuda itu turun dari kudanya masing-masing. Tabib Sakti
Nayan Gunta melangkah mendekati salah seorang be-
rada tidak jauh darinya.
"Silahkan.... Silahkan kalian ke pondok, kalian boleh menengok Akuwu Mambang."
Kata kakek bungkuk Nayan Gunta menyambut ramah. Orang-orang
kepatihan tidak menjawab, tapi langkah mereka berjalan mengikuti langkah si
Tabib Sakti Nayan Gunta
yang berjalan lebih dulu.... Akuwu Mambang terse-
nyum memandangi mereka dari jendela. Ia pun sempat
melihat Wintara bersama Arum Kemuning tetap berdiri di tempat itu. Mereka berdua
memang sengaja tidak
ikut memasuki pondok.
Arum Kemuning masih memandangi tubuh Seta
Wungu yang terkapar tanpa nyawa. Pandangan ma-
tanya yang suram mengalirkan air mata yang begitu
bening. Isak tangisnya hampir tidak kedengaran.
"Aku akan tetap di sini menjaga batu nisan kakang Seta Wungu, kalau perlu sambil
memainkan ke- capi... Agar setiap dentingan senar dapat menentramkan kehidupannya di sana. Aku
menyesal telah mem-
butakan matanya, sekalipun dia pernah melukai kedua
mataku." "Lebih baik kau kembali ke Joglo Alun, Arum....
Di sana akan lebih baik." kata Wintara yang berdiri di belakangnya.
"Tidak, Wintara... Biarlah aku menanam semua
kepahitan di sini...." jawabnya pelan.
"Kalau itu keputusanmu, aku rasa tidak jadi masalah..."
"Bagaimana dengan kau...?" Arum Kemuning balik bertanya.
"Aku selalu pergi setelah tugasku selesai..." Arum Kemuning tersenyum meskipun
air matanya masih
meleleh. "Benar apa yang dikatakan oleh kakang Seta
Wungu, kalau kau adalah 'Pendekar Kelana Sakti'...
Darimana kau mendapat ilmu yang setinggi langit itu"
Atau kalau perlu boleh ku tahu nama gurumu..."
"Aku tidak mengenali guruku sama sekali... Aku menganggap guruku adalah dari
pengalamanku sendiri, yaitu dari musuh-musuhku.. Aku dapat mempelaja-
rinya dari mereka...!"
Ruangan itu penuh dengan belasan orang-orang
kepatihan yang duduk bersila mengelilingi dinding.
Akuwu Mambang duduk di atas balai dekat jendela. Ia menceritakan semua yang
terjadi atas dirinya. Orang-orang itu begitu kagum begitu mendengar seorang to-
koh anak muda yang berjuluk 'Pendekar Kelana Sakti'
yang merupakan pokok cerita yang dibeberkan Akuwu
Mambang, Tabib Sakti Nayan Gunta menyuguhkan mereka
beberapa kendi air, seorang membantunya menua-
ngkan air dalam tiap-tiap gelas. Tubuh bungkuk itu kembali ke dapur untuk
mengambil beberapa gelas
bambu lagi. "Kita harus memberi hadiah besar kepada pende-
kar sakti itu, Tuan Akuwu Mambang...." kata salah seorang yang duduk menghadap
kepada Akuwu Mambang.
"Aku sudah memikirkan... Tapi hadiah apa yang
pantas kita berikan padanya?"
"Beri saja dia kedudukan di kepatihan... Aku rasa dia pasti setuju...!" kata
yang lain menimpali. Lalu seorang lagi angkat bicara...
"Dengan adanya pendekar sakti, Joglo Alun akan tentram....!"
Arum Kemuning memasuki ruangan itu. Ia tidak
langsung masuk, karena jalannya terhalang oleh beberapa orang yang duduk
bersila. Kehadiran gadis itu, mereka yang duduk menghalangi, langsung memberi
jalan... "Wintara sudah pergi... Ia titip salam untuk tuan Akuwu Mambang dan Tabib Sakti
Nayan Gunta...." ka-ta Gadis itu sambil melangkah memasuki ruangan.
Mendengar ucapan itu, Akuwu Mambang lang-
sung menoleh ke jendela yang terbuka lebar. Di luar sudah tidak nampak lagi
sosok tubuh Wintara. Akuwu Mambang bangkit menghadap ke luar. Nampak sosok
tubuh mengenakan baju kulit binatang berjalan sema-
kin kecil menyusuri pinggiran hutan. Mereka semua
kecewa ketika sosok yang semakin menjauh itu hilang menerobos ke dalam lebatnya
pepohonan. T A M A T http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/E-Bo k: Abu Keisel
Juru Edit: Kucing Listrik
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 4 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Kuda Kudaan Kumala 1
^