Pencarian

Tangan Hitam Elang Perak 3

Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak Bagian 3


dan semak-semak
belukar. Tiba-tiba matanya yang jeli menangkap sesua-tu, maka....
"Wintara, awaaaaaaas....!" Ia melompat sambil mencabut pedang pendek dari
pinggangnya. Belasan
anak panah menghujani mereka, Wintara juga melom-
pat menghindar sembari melindungi Raden Sintoro
Tinggil. Tari Wening Asih memutar pedang pendeknya
berkelebat bagai lingkaran kilat. Belasan anak panah itu yang belum sampai
mengenai sasaran patah dua
semua. Teriakan gadis itu melengking tinggi menyam-
but hujan panah yang tidak pernah habis-habisnya.
Tubuhnya yang ramping melesat ke udara berjumpali-
tan. Pedangnya terus ber-putar mematah belah seran-
gan yang dilancarkan oleh pasukan pemanah. Lengan
kirinya sibuk menangkapi batang anak-anak panah
yang masih melesat. Setelah berjumpalitan beberapa
kali tubuhnya hinggap di atas tumpukan batu kali.
Lengan kirinya yang banyak menggenggam anak pa-
nah dilemparkan ke arah asalnya, maka terdengar be-
berapa jeritan disertai dengan jatuhnya beberapa tubuh dari atas pohon, Satu,
dua, tiga, empat... enam, tujuh.... Semuanya tujuh orang. Mereka tewas seketika
oleh lemparan Tari Wening Asih.
Di halaman gubuk yang luas itu banyak ditum-
buhi pepohonan besar berdaun lebat. Pasukan pema-
nah memilih medannya di atas pohon sana, bersem-
bunyi di balik dedaunan. Bisa juga di balik rimbunnya semak-semak.
Raden Sintoro Tinggil di belakang Wintara sam-
bil memegangi dengan tangan gemetar. Beberapa anak
panah mulai menyerang. Kali ini dari sebelah kanan dari balik semak-semak. Lima
batang anak panah tidak berhasil mengenainya. Karena sabetan tangan
Wintara begitu cepat membuat kelima batang anak
panah itu mencelat menancap pada tiang kayu. Lima
orang ke luar dari semak-semak siap mengarahkan
anak panahnya lagi. Wintara hanya menunggu. Ia ti-
dak dapat berbuat banyak selain melindungi Raden
Sintoro Tinggil. Anak panah itu belum sempat melesat.
Tari Wening Asih yang melihat Wintara terdesak lang-
sung menendangi tumpukan batu yang diinjaknya.
Lima tendangan berturut-turut tepat mengenai empat
orang itu sekaligus. Yang seorang lagi berhasil menghindar... dan berusaha
meloncat ke atas hinggap pada cabang pohon didekatnya. Gadis itu menendang
sekali lagi. "Weess...! Buug...!" Batu itu menghantam keras dada orang itu. Lalu
jatuh dengan kepala lebih dulu menyentuh tanah. Tari Wening Asih menoleh Wintara
melemparkan senyum.
"Jangan marah. Nanti aku yang membereskan-
nya kembali." katanya. Wintara nyengir.
"Raden.... sebaiknya sembunyi dalam gubuk.
Biar mereka cepat ku atasi...." usul Wintara. Raden Sintoro Tinggil cepat
beranjak masuk ke dalam gubuk.
Dua batang anak panah melesat ke arah tubuh lelaki
gemuk itu. Wintara dapat melihat, maka cepat ia me-
nepakan tangannya. Dua anak panah itu menancap di
atas tanah. Merasa tidak ada yang perlu dilindungi, Wintara melompat. Sekali
hentakan saja, tubuhnya
sudah melesat cepat hinggap di atas pohon. Astaga...!
Pantas anak panah mereka tidak pernah habis. Di atas pohon itu ia menemukan
kurang lebih sepuluh orang
pemanah dengan perlengkapan yang sangat banyak.
Dalam keadaan yang dipenuhi dengan dedaunan, ma-
na sempat mereka dapat melihat kedatangan Wintara
yang sangat cepat itu. Dengan begitu Wintara mudah
menghajar mereka. Sekali hantamannya menjatuhkan
dua orang. Lalu seorang lagi.... Diam-diam Tari Wening Asih kagum akan tindakan
Wintara yang cukup meng-gelikan. Perkelahian di atas pohon itu akhirnya dapat
diketahui oleh para pemanah yang berada di situ. Menyadari adanya penyerang
gelap. Tujuh orang yang
masih tersisa berbalik mengarahkan anak panahnya.
Sebelum anak panah itu meluncur, Wintara melesat
berpindah tempat ke cabang lain sambil tangannya
menyambar seorang pemanah yang paling dekat.
"Beeg.... Twing... Twing...!" Di atas sana pengelana sakti bergelut menumbangkan
lawan-lawannya dari cabang ke cabang....
Di atas tumpukan batu Tari Wening Asih masih
sibuk menghadapi belasan anak panah dari pohon
yang lain. Pedang pendeknya berputar lebih cepat menangkis melindungi tubuhnya
dari hujan panah. Di
bawah kakinya telah bertumpuk puluhan anak panah
berserakan. Banyak juga yang patah dua akibat baba-
tan pedang pendek Tari Wening Asih....
* * * 8 Berdiri terus di atas tumpukan batu-batu tidak
lagi leluasa menghindari serangan-serangan para pe-
manah. Tari Wening Asih melompat ke samping. Ber-
gulingan menyusup ke dalam gubuk. Dia masih sem-
pat melirik pada beberapa pohon besar yang tumbuh
berderet di hadapan gubuk. Sudah pasti di atas tiap-tiap pohon itu bersarang
puluhan pemanah. Melihat
gadis itu bersembunyi dalam gubuk serangan panah
berhenti. Serombongan orang turun dengan meme-
gang busur. Semuanya berjumlah sebelas orang. Se-
lain busur, orang-orang itu bersenjatakan sebilah pedang yang nampak terselip di
pinggang mereka mas-
ing-masing. Sebagian malah sudah ada yang mulai
mencabut. Dengan mengendap-endap kesebelas orang
itu mendekati gubuk. Tari Wening Asih yang mengintip akan adanya bahaya bersiap-
siap. Langkah-langkah
mereka terdengar kasar. Kira-kira jarak mereka tinggal dua langkah lagi, gadis
itu mendobrak pintu gu-
buk. Mendorong ke depan melabrak kesebelas penye-
rangnya yang masih dicekam rasa kaget. Tiga orang jatuh. Namun masih dapat
bangun dengan cepat. Tapi
babatan pedang pendek membuat mereka jatuh lagi
sekaligus tewas, rata-rata tenggorokan mereka robek.
Yang lain membalas menyerang. Babatan-babatan pe-
dang berkelebat ke sana ke mari mencecar Tari Wening Asih. Gadis itu merunduk
sambil melancarkan tendangan. "Beeeg...!" Tendangan itu tak bisa dihindari.
Penyerang itu terpental berikut pedangnya. Tari Wening Asih mengangkat pedang
pendeknya menyilang di
atas kepala menangkis babatan pedang yang hampir
saja membelah batok kepalanya.
Wintara baru saja memukul jatuh semua la-
wan-lawannya di atas pohon. Ia meluncur ke bawah
sambil melancarkan hantaman pada salah seorang
pengeroyok Tari Wening Asih. Mendapat bantuan dari
Wintara, gadis itu maju menyerang makin berseman-
gat. Tendangan disertai babatan pedang pendek men-
jatuh bangunkan lawan-lawannya. Begitu pula Winta-
ra. Meskipun tanpa senjata ia sanggup menghajar
pengeroyok itu sampai remuk ke tulang-tulangnya. Ti-ba-tiba....
"Hentikann,..!" terdengar suara bentakan seseorang. Dari atas pohon yang
rindang, melompat seorang pemuda berambut gondrong dengan ikat kepala warna
merah. Paras pemuda itu cukup ganteng. Tangannya
yang menggenggam busur panah teracung.
"Hebat.... Tidak kosong nama besar Pengelana
Sakti. Pantas dapat merebut pusaka Elang dari tangan orang-Orang Elang
Perak...." kata pemuda berambut gondrong dengan pandangan terarah pada kalung
hitam yang melingkar di leher Wintara.
"Kalau begitu pusaka ini milik orang-orang
Elang Perak! Lalu apakah maksudnya saudara pema-
nah ulung ingin merebut pusaka ini dari tanganku"
Aku saja berniat ingin mengembalikan pusaka yang selalu membawa malapetaka...."
jawab Wintara. Tari Wening Asih berdiri menantang menatap pemuda gondrong di
hadapannya. "Serahkan saja padaku, maka kau bersama ga-
dismu tak akan terkena bencana...." kata pemuda itu tidak main-main. Bersamaan
dengan itu orang-orang
yang berada di atas pohon berlompatan ke bawah, se-
hingga seluruh halaman itu dikelilingi oleh pasukan-pasukan pemanah. Belum lagi
dari balik semak-
semak. Jumlah mereka semua hampir mencapai empat
puluh orang.... Gila! Wintara dan Tari Wening Asih benar-benar telah terkurung.
"Tidak bisa! Tidak bisa! Jangan serahkan pusa-
ka Elang pada mereka,..! Jangan serahkan...!" Tiba-tiba saja Raden Sintoro
Tinggil berlari ke luar mendekati Wintara dan Tari Wening Asih. Wintara begitu
terkejut. Kenapa ia harus keluar. Bukankah ber-
sembunyi dalam gubuk lebih aman" Kenapa ia yang
penakut tiba-tiba saja berani keluar dalam keadaan
seperti ini. Untuk menyelamatkan diri saja belum ten-tu Wintara bisa.... Ahhh...
Keadaan jadi semakin kacau. Di luar dugaan tangan Raden Sintoro Tinggil bergerak
cepat ke arah leher Wintara dan menarik putus kalung hitam berliontin kepala
burung Elang. Untuk
menepak tangan itu saja Wintara tidak keburu. Gera-
kan Raden Sintoro Tinggil begitu cepat. Tiba-tiba saja
tubuh gemuk itu berputar di udara dan hinggap di
atas atap jerami. Jemari tangannya menggenggam pu-
saka itu. Lalu....
"Ha... ha... ha... ha... ha... Bubar...! Bubar semua. Pusaka ini telah menjadi
milikku. Hua.... Ha...
ha.... ha...!" Tawanya lepas. Belum pernah Wintara mendengar suara tawa Raden
Sintoro Tinggil selepas
itu. Ternyata selama Raden Sintoro Tinggil berada dekat dengan Wintara ia
berperan sebagai orang yang
dungu tulen. Wintara betul-betul terkecoh. Ia mengu-tuki dirinya. Rona muka itu
jelas terlihat oleh Tari Wening Asih. Karena dirinya sendiri pun telah dibo-
hongi. "Kalian semua cecoro-cecoro kerdil yang tiada artinya bagiku. Hah...!
Masih mau merebut pusaka ini dari tangan Raden Sintoro Tinggil..." Ayo maju saja
kalau mau cepat-cepat kukirim ke akherat...!" katanya sadis. Tubuh gemuk itu
masih berdiri di atas atap jerami. Pemuda berambut gondrong merasa terhina
mendengar perkataan seperti itu. Maka ia memberi
aba-aba kepada seluruh anak buahnya. Mereka semua
mengangkat busur dengan anak panah yang siap di-
lancarkan. Sesaat kemudian.
"Sreeeengggg....!" Puluhan anak panah menghujani lelaki bertubuh gemuk yang
berdiri di atas atap.
Raden Sintoro Tinggil tetap berdiri di situ. Ketika puluhan anak panah hampir
mengenainya. Tubuh gemuk
itu berputar lurus dalam keadaan berdiri laksana gasing. Maka batang-batang anak
panah itu berpentalan.
Sungguh luar biasa. Wintara tidak menyangka sama
sekali akan kehebatan Raden Sintoro Tinggil. Rasa kagum itu sirna dengan
seketika. Wintara menatap ge-
ram. Mentah-mentah ia telah diperalat oleh Raden keparat itu.
"Hajar terus...! Hujani bangsat itu dengan pa-
nah-panah kalian. Ayo terus...." Pemuda gondrong itu berteriak memerintahkan
seluruh anak buahnya. Tubuh gemuk itu terus berputar, dan anak-anak panah
berpentalan. Tidak satu anak panah pun yang berhasil melukai apalagi
menyentuhnya. Yang terdengar hanya
suara gelak tawa terbahak-bahak.
"Ayo hujani terus. Hujani dengan anak panah
kalian...!" Teriak pemuda berambut gondrong itu.
"Maaf, Pameang.... Persediaan anak panah
hampir habis...." kata salah seorang anak buahnya.
Pemuda itu menggeram. Secepat kilat ia melesat ke
atas. Tubuh gemuk itu masih berputar selagi puluhan anak panah menghujaninya. Ia
melancarkan sebuah
pukulan dahsyat yang tidak kepalang tanggung kearah tubuh yang berputar laksana
gasing... Deeees...! Keduanya jatuh bergulingan. Raden Sintoro Tinggil tidak
mengira akan mendapatkan serangan yang membuatnya jatuh.
Tapi benturan itu mengakibatkan pemuda gon-
drong itu harus mengeluarkan darah merah dari rong-
ga mulutnya. Ia cepat bangkit menyeka ceceran darah di kedua sudut bibirnya.
"Seraaaang....!" Pemuda itu selalu berteriak memerintahkan anak buahnya. Raden
Sintoro Tinggil
yang telah berdiri lebih dulu tidak mundur selangkah pun, ia malah menyambut
serangan yang terdiri dari puluhan orang banyaknya. Tinjunya yang mengepal
pusaka Elang menjatuhkan sekaligus tiga orang. Seka-li saja ia menerjang, dua
orang bergelimpangan tanpa nyawa. "Serang teruuuuuus...." perintah pemuda
berambut gondrong itu. Seluruh pasukan pemanah yang
kini bersenjatakan sebilah pedang merangsak menye-
rang Raden Sintoro Tinggil. Betul-betul ingin mencincang habis. Seketika Raden
Sintoro Tinggil tertawa keras. Hua... ha.... ha., ha., ha...." Disertai tenaga
dalam yang hebat suara tawa itu menggelegar hebat. Siapa
yang sangka tawa yang hebat itu disertai tenaga dalam yang mampu memecahkan
gendang telinga orang-orang yang berada di sekitarnya. Kontan saja semua
pasukan pemanah berjatuhan dengan gendang telinga
yang pecah. Hampir semuanya para pasukan pemanah
itu mengeluarkan darah dari liang telinganya. Sementara suara tawa Raden Sintoro
Tinggil masih berku-
mandang keras. Pemuda gondrong itu pun terduduk
jatuh sambil menutupi kedua telinganya. Begitu juga dengan Wintara dan Tari
Wening Asih, keduanya menutup telinga. Sekalipun mereka menutup telinga, ta-wa
yang disertai tenaga dalam itu nyaris saja menulikan pendengaran mereka.
"Hua... ha... ha... ha...." Tawa maut itu terus berkumandang. Dua ekor kuda yang
tertambat di samping gubuk meringkik-ringkik mendengar gelak
tawa yang disertai tenaga dalam penuh. Kelentingan
yang tergantung di leher kedua kuda itu bergerak-
gerak menimbulkan bunyi. Ada satu keanehan. Begitu
terdengar suara kelentingan, suara tawa yang disertai tenaga dalam seakan
mengendur. Wintara berjumpalitan ke samping gubuk menuju di mana kedua kuda itu
tertambat. Kedua telapak tangannya masih menutupi
kedua telinganya. Secepat kilat Wintara menarik dua lonceng kecil yang melingkar
di kedua leher kuda tersebut. Lalu ia berjalan dengan tenang. Membunyikan
lonceng kecil itu. Ketika ia berjalan di halaman gubuk itu, Wintara mengguncang-
guncangkan kedua lonceng
kuda itu. "Tinggg... Tinggg.... Tinggggg....!" Terus menerus
dibunyikan kelentingan itu. Suara tawa dahsyat yang mampu memecahkan gendang
telinga itu tidak ber-fungsi lagi. Raden Sintoro Tinggil pun terkejut kare-
nanya. Ia menambah tenaga dalamnya. Teriakannya
makin dahsyat. Pasukan pemanah sudah banyak yang
bergulingan tak berkutik kehilangan pendengarannya.
Wintara makin kencang menggoyang-goyangkan kelen-
tingan kuda itu. Makin kencang pula suara tawa itu
terdengar. Tari Wening Asih bergulingan dengan kedua telapak tangannya erat
menutup kedua telinganya. Begitu juga pemuda berambut gondrong. Setengah berlu-


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tut ia menghadapi suara tawa yang maha dahsyat itu.
Wintara terus mengguncangkan kedua kelentingan itu
sambil merangsak menyerang Raden Sintoro Tinggi.
"Tingg... Tinggg... Ting....!" Raden Sintoro Tinggi melompat menjauh dari
serangan Wintara, Wintara
mengikuti terus ke mana melesatnya tubuh Raden Sin-
toro Tinggil. Kelentingannya masih terus berbunyi
mematahkan suara tawa yang maha dahsyat itu.
Raden Sintoro Tinggil menghentikan tawanya,
geram sekali ia menyerang Wintara. Pukulan telapak
tangannya yang dahsyat beradu dengan hantaman
Wintara. "Blaarrr!" Keduanya terpental. Wintara terguling menabrak tumpukan batu. Raden
Sintoro Ting- gil mundur terhuyung. Pemuda berambut gondrong
menyerang melancarkan tendangan ke arah Raden
Sintoro Tinggil yang masih terhuyung bersandar pada batang pohon. Cepat Raden
Sintoro menghindar. Tendangan itu mengenai batang pohon. Tari Wening Asih
merangsak dengan sodokan pedang pendek.
"Weeees...!" Kembali Raden Sintoro Tinggil berjumpalitan. Sambaran pedang pendek
meleset. Pasukan pemanah telah bergulingan. Ada juga
yang coba-coba berusaha bangkit. Namun mereka tak
ada yang berlangsung lama. Mereka jatuh lagi. Mereka bergelimpangan bukan karena
terkena pukulan maupun hantaman, tapi karena mendengar suara tawa
yang maha dahsyat tadi. Telinga mereka rata-rata
mengeluarkan darah. Dan sudah tentu rasa sakit itu
teramat nyeri. Serombongan pasukan kuda memasuki desa
terpencil. Ki Randaka memimpin paling depan me-
nunggangi kuda putih memacu kencang. Di belakang-
nya bersusulan empat ekor kuda yang ditunggangi
oleh orang-orang berewok. Bahruna dan Wikalpa men-
gikuti dengan cepat pula. Debu-debu membumbung
bagaikan asap kuning mengepul bersama derap-derap
beberapa pasang sepatu kuda. Tujuan mereka adalah
gubuk itu, di mana telah terjadi satu pertempuran.
Ki Randaka tidak langsung turun ketika tiba di
sana. Malah keempat manusia berewok yang turun da-
ri masing-masing kuda-nya. Langkah-langkahnya yang
beringas melalui orang-orang yang bergelimpangan.
Terkadang pula Dawuk menendangi orang-orang yang
menghalangi langkahnya. Mereka melangkah terus
mendekati pertarungan itu.
Raden Sintoro Tinggil bergerak setengah memu-
tar menghindari serangan berupa tendangan keras dari Wintara. Cepat lelaki gemuk
itu membalas menghantam, tapi Tari Wening Asih menghalanginya dengan
babatan pedang. Maka gagallah hantaman yang akan
dilancarkan oleh Raden Sintoro Tinggil. Ia menarik
lengannya kemudian melesat ke arah pemuda beram-
but gondrong. Tangannya yang menggenggam pusaka
Elang maju menghantam. Mendapat serangan menda-
dak, si gondrong ini cepat merunduk menghindari hantaman itu. Tapi tendangan
Raden Sintoro Tinggil tidak
dapat dielakkan.
"Dueees...!" Pemuda itu mencelat ke belakang dengan darah menyembur deras. Ia
masih mampu bangkit meski dengan tubuh yang sempoyongan. Em-
pat manusia berewok yang menamakan dirinya Begal
Singa Kali Progo sudah berada di situ. Dawuk menen-
dang lagi tubuh gondrong itu, sehingga tubuhnya
mencelat kembali menyambar Raden Sintoro Tinggil.
"Baaaag...!" Dua telapak tangan Raden Sintoro Tinggil menghantam tubuh yang
terlempar. Pemuda
gondrong mencelat ke atas tinggi sekali. Kemudian jatuh di atas atap jerami.
Atap jerami yang kurang begitu kuat ambruk.
Tari Wening Asih tersentak begitu melihat ke-
lompok Singa Kali Progo. Rasa kagetnya membuat di-
rinya nyaris terhantam oleh pukulan Raden Sintoro
Tinggil. Untung Wintara cepat memotongnya dengan
sebuah tendangan. Raden Sintoro Tinggil melompat ke samping ke tempat yang lebih
leluasa. Menatap tajam keempat orang berewok yang baru datang.
"Heh....! Ternyata begal-begal Singa Kali Progo pun menginginkan pusaka ini...
He... he.... he.... Jangan mimpi. Kalau benda ini sudah berada dalam geng-
gaman tangan ku. Kalian atau siapa pun tak akan ada yang dapat merebutnya. He...
he.... he.... he...." Randen Sintoro Tinggil tertawa terkekeh-kekeh.
"Raden Sintoro Tinggil...!" Terdengar suara bentakan parau. Semuanya menoleh ke
arah suara itu.
Terutama Raden Sintoro Tinggil. Ia kenal betul dengan orang yang barusan
memanggilnya. Ki Randaka....
"Kembalikan pusaka itu pada kami, karena
benda itu milik perguruan Elang Perak...." kata Ki Randaka melotot. Bahruna dan
Wikalpa bersiap-siap
menyerang. Tari Wening Asih menatap nanar ke arah
Ki Randaka. Kedua bola matanya tidak berkedip. Ki
Randaka salah seorang yang akan menghadiri perte-
muan di Gerongsewu. Mungkinkah dia yang memiliki
pukulan Telapak Tangan Hitam" Yang telah membu-
nuh Lungo Paksi, ayah Tari Wening Asih....." Kalau iya, Pedang pendek ini akan
bicara, pikirnya....
Wintara masih mengawasi gerak gerik Raden
Sintoro Tinggil. Dawuk terheran-heran melihat pusaka Elang berada di tangan
seorang lelaki gemuk. Kemarin ia melihat pusaka itu melingkar di leher seorang
pemuda berbaju kulit binatang. Sekarang... Pemuda yang mengenakan pakaian kulit
binatang itu ada di sini pu-la.... "Cepat Raden.....! Serahkan pusaka milik ka-
mi...!" Ki Randaka menahan amarah.
"Apa..." Enak saja Ambillah olehmu sendiri...!"
ejek Raden Sintoro Tinggil. Ki Randaka langsung mencengkram leher Dawuk. Dawuk
gelagapan. "Siapa orang yang kau maksudkan ...itu, Da-
wuk....! Kau bilang seorang yang sadis dan kejam..., Apakah Raden Sintoro yang
kau maksudkan....?" kata Ki Randaka. Suara itu hanya terdengar oleh Dawuk.....
"Be-be-betul, Ki.... Betul.... Kau lihat pusaka Elang sudah berada di tangannya.
Apakah itu bukan
suatu bukti yang cukup" Dan berhati-hatilah terhadap pemuda dan gadis itu.
Mungkin mereka temannya. Sekarang mereka bentrok, sudah pasti berebutan pusa-
ka...." bisik Dawuk. Ki Randaka menatap kedua muda mudi yang nampak berdiri
tenang. Tanpa diperintah lagi Bahruna dan Wikalpa
maju menyerang Raden Sintoro Tinggil dengan jurus-
jurus cakar Elang. Ki Randaka mendorong tubuh Da-
wuk, maksudnya agar membantu Bahruna dan Wikal-
pa. Maka serempak keempat manusia berewok jadi
ikut maju menyerang. Sebelum menghadapi mereka,
Raden Sintoro Tinggil menyusupkan pusaka Elang ke
dalam bajunya. Lalu ia melompat maju dengan kiba-
san-kibasan dua lengan sekaligus. Bahruna mencecar
bagian atas. Sedangkan Wikalpa berusaha mencabik-
cabik ke arah perut. Keempat begal Singa Kali Progo mengelilingi. Sekali-sekali
pukulan mereka melayang.
Cakaran Bahruna ditepak begitu saja. Cabikan-
cabikan Wikalpa disambut dengan tendangan memu-
tar. Lalu sekali Raden Sintoro Tinggil mengibaskan lengannya dua orang murid Ki
Randaka terhuyung ke
belakang. Empat manusia berewok susah payah
menggempur, namun akhirnya mereka pun dibuat
bergulingan ke tanah. Raden Sintoro Tinggil melompat tendangan terbangnya
terarah deras pada Bahruna.
Tapi cepat Wintara datang membantu dengan serangan
pukulan ke arah perut.
"Buuug...!" Raden Sintoro Tinggil jatuh berdiri tegak ke tanah bagai tonggak.
Wikalpa merangsak menyerang, ia mengira Raden Sintoro Tinggil tengah mengambil
nafas karena menahan sakit. Tapi di luar du-
gaan kedua kaki Raden Sintoro Tinggil tersentak ke
atas. Cepat sekali kedua telapak kaki itu menghantam dada Wikalpa. Darah
menyembur dari mulut Wikalpa
yang nampak berusaha bangkit kembali. Dawuk dan
Sempor menghantam dari belakang, cepat memutar
tubuh Raden Sintoro Tinggil sambil mengibaskan len-
gannya. "Plaaak! Plak!" Keduanya terdorong mundur.
Kuwusura menendang keras. Namun lelaki gemuk itu
bersalto gesit menghindar, malah dalam keadaan se-
perti itu Raden Sintoro Tinggil sempat melayangkan
lengan kanannya. "Bee-eeg!" Kuwusura tumbang dengan tulang rusuk patah remuk.
Wintara membiarkan keempat manusia bere-
wok menghadapi Raden Sintoro Tinggil. Ia menjaga
dua orang murid dari perguruan Elang Perak. Karena
nyawa kedua orang itu lebih berharga. Tapi Bahruna
dan Wikalpa malah salah tanggap. Mereka menyerang.
Susah sekali Wintara memberi penjelasan, karena me-
reka berdua menyerang bergantian berturut-turut.
Dan tak mau perduli sergapan Wintara. Untuk memba-
las serangan sangat tidak mungkin, pikirnya. Seha-
rusnya mereka membutuhkan pertolongan untuk
mendapatkan pusaka miliknya kembali.
Tari Wening Asih berjalan mendekati Ki Randa-
ka. Ki Randaka sendiri telah siap siaga kalau-kalau gadis itu menyerang secara
mendadak. "Kenapa tidak engkau sendiri yang menghada-
pinya, Ki Randaka" Apa kau pikir kedua muridmu itu
akan sanggup mengalahkan Raden Sintoro Tinggil
yang ilmunya setinggi langit...?" kata Tari Wening Asih berjalan memutari Ki
Randaka. Lalu katanya lagi...
"Apakah sengaja, kau akan membunuh kedua
muridmu melalui tangan orang lain. Hebat! Hebat!
Pantas nama Elang Perak semakin ditakuti. Karena
mereka telah bergabung dengan kelompok begal Singa
Kali Progo!"
"Tutup mulutmu! Kau pun gundiknya lelaki ke-
parat itu yang sama-sama akan ku hancurkan nan-
ti...." Amarah Ki Randaka meluap.
"Dengan apa kau akan menghancurkan kami,
he..! Dengan Telapak Tangan Hitam?"
"Lancang mulutmu. Jangan sebut-sebut nama
itu di hadapanku. Hreaaaaaaaaaa...!" Ki Randaka menghantam. Gadis itu cepat
mundur. "Wesss...!" Angin pukulannya begitu deras. Tari Wening Asih mem-
balas dengan sabetan pedang pendek yang memutar
menyilang ke wajah Ki Randaka. Secepat kilat Ki Randaka mengangkat tangannya.
"Plaaak!" Cakar Elang menjurus ke perut gadis itu. Dengan kaki kanan cakaran itu
dapat diatasi. Tari Wening Asih mundur berputar. Lalu tubuhnya melompat ke atas
tumpukan batu- batu kali. Ki Randaka maju menyerang. Tapi ia harus menghadapi batu-batu, yang
terlempar akibat tendangan-tendangan Tari Wening Asih.
"Duar... Duar... Duar...!" Batu-batu yang me-landanya hancur oleh empat kali
cakaran Ki Randaka.
"Kita akan mengadu jiwa, pembunuh laknat...!"
teriak gadis itu meluncur dengan pedang pendek ter-
genggam kedua tangannya. Hampir saja tusukan pe-
dang itu menembus di lambung kiri Ki Randaka. Se-
waktu pedang Tari Wening Asih menjurus. Sesosok tu-
buh menabrak mereka berdua. Sosok tubuh Sempor.
Rupanya ia terlempar nyasar terkena pukulan Raden
Sintoro Tinggil. Ki Randaka mau pun Tari Wening Asih terdiam sesaat. Di dada
Sempor yang sudah tak bernyawa itu mengepul asap. Di situ tergambar sebuah
telapak tangan berwarna hitam. Itulah Pukulan Telapak Tangan Hitam. Mata Ki
Randaka merah padam.
Bangsat...! Baru sekarang ketahuan biang ke-
ladinya. Ternyata yang membunuh sahabatku Lungo
Paksi, adalah kau..... Raden Sintoro Tinggil...," kata Ki Randaka dengan nada
marah. "Kau pun akan segera menyusulnya, tua bang-
ka dungu!" Teriak Raden Sintoro Tinggil sambil menghajar kepala Dawuk. Untung
saja hanya menyerempet.
Ia hanya merasa sedikit pening dan cepat-cepat mun-
dur. Ki Randaka melesat meninggalkan Tari Wening
Asih yang tidak percaya dengan pembicaraan itu. Bu-
kan main rasa malunya. Ia telah berbuat kurang ajar terhadap Ki Randaka.
sekarang apa yang harus ia la-
kukan" Pembunuh ayahnya ternyata Raden Sintoro
Tinggil. Bukan orang-orang yang akan mengikuti per-
temuan di Gerongsewu.
Dua hantaman sekaligus dilancarkan oleh Ki
Randaka. Raden Sintoro Tinggil menyambut serangan
itu dengan sabetan lengannya yang memutar ke atas.
"Ayo keluarkan pukulan Telapak Tangan Hitammu...!
Hayo.....!" Ki Randaka menyerang dengan puku-
lan-pukulan mematikan. Sudah tentu Raden Sintoro
Tinggil tidak akan mampu menghadapinya. Ia hanya
mundur terbang ke belakang. Lalu tubuhnya yang ge-
muk berputar ke atas membalas serangan. Sambil
berputar demikian, sebelah kakinya melayang menju-
rus ke bagian kepala Ki Randaka. Cepat Ki Randaka
merunduk sambil mendorong dua kepalan tangan yang
terarah di bagian perut.
"Dueer....!" Raden Sintoro Tinggil mencelat ke belakang menabrak sebatang pohon
besar. "Kembalikan pusaka itu, Raden.... Maka kau
akan kuampuni..." Ki Randaka memberi kesempatan.
"Hayo... Tunggu apa lagi" Apa perlu kucabut nyawa-mu...." kata Ki Randaka tidak
sabaran. Raden Sintoro Tinggil tidak menjawab. Pandan-
gannya menjurus tajam. Lalu kedua telapak tangannya terangkat ke atas nampak
seperti menyanggah. Kemudian telapak-telapak tangan itu menyatu. Turun Ke
bawah.... Sampai sebatas dada. Kedua kakinya me-
renggang ke samping kanan dan kiri. Membuat tubuh-
nya semakin pendek.
Ki Randaka memandang aneh. Inikah jurus-
jurus pembuka pukulan Telapak Tangan Hitam" Hawa
dingin tenaga dalamnya saja sudah terasa.... Hebat....
Pantas pendekar sakti sahabatnya Lungo Paksi tewas
di tangannya. Tiba-tiba Raden Sintoro Tinggil meng-
hantamkan kedua telapak tangannya ke depan dengan
hentakan yang sangat keras. Tentu saja di arahkan
kepada Ki Randaka yang sedari tadi memperhatikan-
nya. Ia sudah menduga kalau Raden Sintoro Tinggil telah menghimpun tenaga dalam,
begitu angin kencang
menghembusnya ia melesat ke atas sambil bersalto.
Pukulan tenaga dalam itu melesat mengenai sasaran


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain kepada tumpukan batu-batu kali.
"Blaaaarrrr...!" Batu-batu itu berpentalan tak tentu arah memenuhi pelataran.
* * * 9 Wintara masih menghadapi Bahruna dan Wi-
kalpa. Serangan-serangan mereka begitu gencar. Kalau kurang-kurang mengimbangi
tentunya Wintara akan
terdesak juga. Sebenarnya kepandaian mereka jauh di-bandingkan dengan Wintara
yang berjuluk Pengelana
Sakti. Karena Wintara tahu kedua orang yang dihada-
pinya murid-murid pilihan perguruan Elang Perak. Mereka tidak menyadari kalau
dirinya tengah terancam.
Sengaja Wintara menghalangi mereka walau dengan
cara seperti ini. Menghadapi Wintara lebih baik, daripada mereka harus
berhadapan dengan Raden Sintoro
Tinggil. Tentunya akan membuang nyawa dengan sia-
sia. Bahruna melancarkan tendangan, cakaran-
cakaran Wikalpa siap mencabik-cabik punggung Win-
tara. Sungguh tidak bisa dianggap main-main lagi.
Wintara merasa sudah membuang-buang waktu serta
tenaga dengan percuma. Mereka belum juga mengerti.
Selama menghadapi, Wintara tidak pernah membalas.
Apalagi berniat menyerang. Setidak-tidaknya mereka
merasakan keganjilan itu. Sampai sejauh ini mereka
malah berniat memojokkan Wintara. Mana bisa"
Wintara menghentakkan kakinya menghindari
serangan kedua orang itu. Tubuhnya melesat ke atas, kedua orang itu berbalik
hendak menyerang lagi. Tapi dua totokan sekaligus mengenai tepat mengenai punggung kedua orang itu Bahruna maupun Wikalpa diam
tak bergerak. Kemudian tubuh mereka ambruk ping-
san. Mendapat kesempatan luang, kelompok Begal
Singa Kali Progo yang tinggal Dawuk dan Dungkil. Mereka berniat melarikan diri.
Keduanya berlari menerobos semak-semak. Kali ini Dawuk tertinggal oleh
Dungkil. Tanpa menoleh mereka berdua lari kencang
bagai dikejar hantu. "Dungkil keparat...! Tunggu aku setaaaan!" Teriakannya
kesal. Kalau saja kakinya tidak terasa sakit, Dawuk sudah dapat menyusul
Dungkil. Bahkan dapat mendahului seperti biasanya. Mana
mau Dungkil berhenti mengingat situasi sudah begitu gawat! Biar saja Dawuk
tertinggal. Toh tidak ada yang mengejarnya. Siapa bilang! Langkah Dungkil
terhenti mendadak..... Ia tidak dapat meneruskan langkahnya.
Karena di hadapannya telah berdiri sosok tubuh ramping berpakaian serba biru.
Mata Dungkil melotot tak percaya. Dawuk melihat Dungkil berhenti, ia mengira
Dungkil menungguinya.... Tapi sesampainya ia di
samping Dungkil jantungnya tersentak setengah ma-
ti.... "Mau ke mana" Kita masih punya urusan bu-
kan...." Aku masih ingat.... Sekarang aku sudah berdi-
ri di hadapan kalian. Mengapa kalian tidak tergiur untuk memperkosa diriku...?"
kata Tari Wening Asih tenang. Pedang pendeknya teracung mengancam. Mula-
mula ke arah Dawuk lalu bergerak perlahan ke arah
Dungkil. "Berapa banyak wanita-wanita muda yang telah
menjadi korbanmu Singa Kali Progo" katakan.... Satu orang, dua orang, tiga....
atau lebih dari lima!" Ayo katakan.... Aku akan mengikuti hitungan kalian dengan
babatan-babatan pedangku...." Mata Tari Wening Asih nampak jalang. Mereka berdua
terdiam bukan karena
rasa takut menghadapi gadis cantik itu. Tapi merasa kepergiannya tertunda. Mau
tidak mau mereka harus
menyingkirkannya lebih dulu. Dawuk berteriak keras.
"Waaaaaaaaa!" Pandangan Tari Wening Asih te-ralih kepada Dawuk. Maka pada
kesempatan itu Dungkil menepis lengan gadis itu yang menggenggam
pedang pendek. Ternyata teriakan Dawuk hanya se-
buah siasat. Agar Dungkil dapat bergerak cepat di saat gadis itu lengah. Namun
Dungkil hanya melakukan te-pisan tangan. Tari Wening Asih membalas dengan
membabatkan pedangnya menyilang lalu disertai ten-
dangan ke depan mengarah muka. Dungkil tidak
mundur. Hanya badannya saja bergeser miring ke kiri.
Sebelah tangannya yang kekar menahan tendangan
itu. Dawuk maju dengan sodokan telapak tangan me-
nyerempet pinggang Tari Wening Asih.
"Kurang Ajar...!" Bentaknya sambil memutar pedang pendek ke belakang.
"Wesssss...! Beberapa lembar rambut kasar Dawuk rontok terbabat pedang
itu. Saking cepat ia merunduk, Dawuk sampai terjatuh duduk. Melihat itu Dungkil
langsung menyerang lagi, jangan sampai gadis itu menghajar Dawuk yang sudah
hilang keseimbangan tubuh. Gerakannya begitu cepat,
lengan-lengannya yang kekar menghantam berkali-kali tendangan Tari Wening Asih.
Walaupun pedangnya
berkelebat menyambar, Dungkil masih dapat menang-
kis bahkan sempat melancarkan sebuah pukulan ke
arah punggung gadis itu. Bersamaan dengan itu pula
pedang pendek menyambar cepat. Keduanya bergulin-
gan. Tari Wening Asih masih merasakan sakit pada
punggungnya. Dungkil berusaha bangkit. Tubuhnya
kaku.... Sepuluh jari tangannya meregang. Dari teng-gorokannya mengalir cairan
merah kental yang mulai
membanjiri dadanya. Sesat kemudian Dungkil ambruk
ke depan mencium tanah dengan nafas terputus.
"Sekarang giliranmu. Ayo bangkit...! Dan per-
cuma mengemis meminta ampun...." kata Tari Wening Asih menatap jalan ke arah
Dawuk. Ia menoleh ke
arah Dungkil yang telah menjadi mayat. Darah merah
masih terus keluar dari tenggorokkannya.
"Baik baik! Aku satu-satunya Singa Kali Progo yang masih hidup akan
mempertahankan nama besar
itu...." Dawuk bangkit perlahan. Tapi sebelum ia berdiri tendangan keras
menghantam tulang lehernya.
"Duee-esssss!" Tubuh Dawuk terguling. Kedua tangannya memegangi tenggorokkannya
dengan mata mendelik menahan sakit. Lalu sebuah tendangan lagi
membuatnya jatuh terlentang terbanting demikian ke-
ras. "Untuk manusia macam kau tidak perlu diberi
hati. Dengan cara apa pun kau memang lebih baik ma-
ti...." kata Tari Wening Asih sinis. Dawuk tidak bangun-bangun lagi. Gadis itu
melangkah pergi mening-
galkan kedua mayat itu. Tapi....
"Hreaaaaaaaaa...!" Sebuah teriakan menerjang dari arah belakang. Cepat Tari
Wening Asih merunduk sambil membabatkan pedang pendek ke belakang....
"Breeeeet.....! Arghhhhhhh!" Terdengar rintihan panjang yang keluar dari mulut
Dawuk. Ia terduduk me-
megangi perutnya yang tergenang oleh cairan kental
berwarna merah kehitaman. Luka di perutnya meman-
jang sekitar dua jengkal. Ia masih tetap terduduk dengan wajah tertunduk kaku.
Gadis itu mendekatinya....
Telapak kakinya mendorong tubuh itu.... Perlahan tubuh yang terduduk itu
menggelosoh ambruk.
"Heaaaaa...! Wuus! Wuus!" Angin pukulan tenaga dalam bergulung-gulung menghantam
ke arah Ki Randaka. Wintara yang berada di situ tidak luput menjadi sasaran. Keduanya baik
Wintara maupun Ki Ran-
daka melompat-lompat menghindar.
"Bledaa-arrrr! Bledaaaaar! Dua batang pohon
hancur terkena sasaran pukulan itu. Wintara berlari ke depan menyerang Raden
Sintoro Tinggil... Larinya begitu cepat. Kedua kakinya hampir tidak menyentuh
tanah. Sehingga tubuh Wintara nampak seperti ter-
bang. Sebuah tinjunya siap melayang.....
Kembali tubuh Raden Sintoro Tinggil berputar
tegak lurus. Ketika hantaman Wintara dilancarkan,
Raden Sintoro Tinggil menyambut dengan pukulan Te-
lapak Tangan Hitam... Hingga tinju itu beradu dengan telapak tangan yang
membara.... "Deesss!" Jari-jari tangan Wintara serasa menghantam besi panas.... Ki Randaka
mengeluarkan jurus 'Sayap Menghempas Karang.' Begitu lengannya
mengibas tubuh Raden Sintoro Tinggil terdorong beberapa langkah. Terkejut sekali
ia merasakan hawa pu-
kulan itu. Tapi mana mau Raden Sintoro Tinggil ber-
diam diri. Ia pun membalas serangan tadi.... Belum
sempat ia menyerang Wintara sudah memotong gera-
kan itu. "Anak muda siapa sebenarnya kau...." teriak Ki
Randaka. Bersamaan dengan itu Wintara berhasil
mengenai muka Raden Sintoro Tinggil dengan sebuah
jotosan. Pukulan Telapak Tangan Hitam bergerak maju ke dada Wintara. Cepat ia
menangkis dengan kedua
tangannya yang dikibaskan menyilang. Lalu lengan kirinya memutar menghantam
perut Raden Sintoro Ting-
gil. Melihat anak muda itu begitu bersemangat menyerang Raden Sintoro Tinggil,
Ki Rantaka melompat
membantu dengan melancarkan cakaran-cakaran... Di
serang dengan jarak dekat Raden Sintoro Tinggi mera-sa kewalahan... Ia bergerak
menghindar menjauh. Tapi dengan gerakan yang sangat ringan Wintara melesat
mengikutinya.... Begitu juga dengan. Ki Randaka.... Ia tidak kalah gesit melesat
dengan kedua tangan meren-tang bagai sayap-sayap elang.
Tari Wening Asih yang sudah berada di situ
langsung mencari posisi. Tendangannya berkelebat di hadapan Raden Sintoro
Tinggil. Langkahnya terhalang oleh tendangan itu. Lelaki gemuk membalasnya....
Gadis itu cepat bergeser. "Deeerrr!" Pukulan Telapak Tangan Hitam menghantam
batang pohon sampai berbe-
kas sebuah telapak menghitam juga mengepul asap hi-
tam. "Mati di tangan pembunuh Ayahku.... Aku tidak penasaran!" teriak Tari
Wening Asih. Pedang pendeknya menyambar.... "Wuuuss...!"
"Tari.... Awas...!" teriak Wintara.
Hampir saja Tari Wening Asih terkena pukulan
maut itu. Untunglah ia cepat melompat jauh.... Raden Sintoro Tinggil berdiri
menghadapi tiga orang lawannya. Kedua tangannya nampak membara kembali. lalu
memutar perlahan siap menghantam. Wintara menarik
nafas. Matanya mengikuti gerak gerik putaran tangan Raden Sintoro Tinggil.
Sekali lelaki gemuk itu maju
menyerang, Wintara membarengi dengan menjatuhkan
diri sambil kakinya menyambar langkah-langkah Ra-
den Sintoro Tinggil. Lalu Ki Randaka menyambut ja-
tuhnya tubuh itu dengan sebuah tendangan. Sayang
lolos. Sewaktu Raden Sindoro Tinggil jatuh ia sudah tahu apa yang bakal terjadi.
Maka ia cepat melintir, sehingga tendangan itu nyasar. Benar-benar hebat....
Dalam keadaan yang demikian pun Raden Sintoro
Tinggil sempat menendang Wintara...
"Deess!" Wintara terdorong ke belakang. Tari Wening Asih yang sudah menemukan
pembunuh orang tuanya maju membabatkan pedang pendek.
Sungguh tidak disangka babatan pedang yang cepat
dapat ditangkap oleh Raden Sintoro Tinggil. Bahkan
sewaktu gadis itu menariknya, pedang itu masih terus melekat dalam genggaman
Raden Sintoro Tinggil. Tari Wening Asih seperti tidak percaya melihat pedang
pendeknya melekat dalam genggamannya. Rasa panas me-
rambat cepat, ia melepaskan gagang pedang itu. Tapi gadis itu tidak gentar
menghadapi ilmu yang cukup
mengherankan. Apapun yang terjadi ia harus mengha-
dapi orang yang telah membunuh ayahnya. Mati hidup
ia harus berhadapan dengannya. Ki Randaka berbalik
ngeri melihat serangan-serangan gadis itu. Dan hampir tidak mengerti siapa
sebenarnya jago-jago muda ini.
Keduanya begitu berani menghadapi Raden Sintoro
Tinggil. Tanpa pedang gadis itu berusaha melancarkan serangan. Ki Randaka
melihat keteledoran yang membawa maut. Gerakannya yang cepat laksana burung
Elang menyambar tubuh gemuk itu.....
"Deeess!" Hantaman yang tidak seberapa keras, namun cukup menyelamatkan gadis
itu dari pukulan
Telapak Tangan Hitam. Tari Wening Asih senyum ke
arah Ki Randaka. Ki Randaka sendiri tidak mengerti
apa arti senyuman itu.
Raden Sintoro Tinggil menatap geram ketiga
orang lawannya.... Tiba-tiba saja mereka tersentak oleh sebuah teriakan.. "Hhre-
aaaa...!" Teriakan itu berasal dari dalam sebuah gubuk... "Brak...! Kraaaak...!"
Sesosok tubuh melesat ke atas menembus keluar dari atap jerami yang telah lapuk.
Sesosok tubuh tegap berambut gondrong dengan tubuh berlumuran darah serta
merta ia hinggap menginjak tanah tanpa bersuara.
"Mana pusaka itu...! Mana....! Serahkan pada-
ku...!" Pemuda gondrong itu terus berlari menjurus melancarkan pukulan dahsyat.
Raden Sintoro Tinggil
seakan tidak percaya melihat pemuda gondrong itu
masih tetap hidup. Keterpanaannya itu membuat pu-
kulan-pukulan pemuda gondrong itu bersarang di da-
danya berkali-kali. Namun tidak sedikit pun tubuh
Raden Sintoro Tinggil bergeser. Malah kedua telapak tangannya menghantam keras
ke dada pemuda berambut gondrong itu membuatnya pula terlempar jauh
dengan dada mengepul asap hitam. Pemuda itu berke-
lojotan... Dan berusaha bangkit meskipun di dadanya telah tertera bekas hantaman
tadi.... Telapak Tangan Hitam yang masih mengeluarkan asap hitam. Pemuda
itu mengerang. Tapi ia masih sanggup berdiri menge-
luarkan jurus-jurus yang sukar dimengerti. Wintara
maupun Tari Wening Asih berjaga-jaga. Apalagi Ki
Randaka.... Pemuda berambut gondrong itu melesat
menerjang Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro Tinggil bermaksud menghabiskan
nyawa pemuda itu sekalian.
Tapi Ki Randaka menghalangi dengan cakaran-cakaran
Elang. Pemuda gondrong itu gagal melancarkan seran-
gan. Begitu pula Raden Sintoro Tinggil ia gagal melu-matkan pemuda itu. Tentu
saja pemuda itu tidak akan merasa senang mendapat perlakuan seperti itu. Meski-
pun dalam keadaan terluka parah, pemuda berambut
gondrong masih sempat melompat ke arah Raden Sin-
toro Tinggil.... Melancarkan serangan-serangan. Tapi dalam keadaan lemah seperti
itu bagaimana bisa ia
menyentuh tubuh Raden Sintoro Tinggil. Malah men-
guntungkan bagi Raden Sintoro Tinggil. Sekali ia bergerak....
"Deee-esss!" Jurus Telapak Tangan Hitam
menghantam dada pemuda itu. Tidak pelak lagi pemu-
da berambut gondrong itu terlempar jauh dengan na-
fasnya yang terhenti. Raden Sintoro Tinggil menoleh pada Wintara. Pandangannya
begitu menyeramkan.
Sebelum Raden Sintoro Tinggil mengerahkan serangan, Ki Randaka maju dengan
mengeluarkan jurus 'Elang
Terbang Mencari Mangsa.' Raden Sintoro yang ber-
maksud melancarkan serangan dengan mengandalkan
pukulan Telapak Tangan Hitam terhalang. Karena
cengkeraman Ki Randaka berhasil menangkap perge-
langan tangan Raden Sintoro Tinggil. Tapi yang berhasil dicengkeramnya hanya
sebelah lengan. Lengan yang lainnya menghantam tubuh Ki Randaka.... Ki Randaka
terguling mendapat hantaman yang begitu dahsyat.


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dadanya mengepul asap hitam. Darah hitam keluar
dari mulutnya. * * * 10 Sambil menahan nafas Ki Randaka bangkit. Ta-
ri Wening Asih memapah Ki Randaka. Wintara berjaga-
jaga... Matanya terus mengawasi gerak gerik Raden
Sintoro Tinggil yang bersiap-siap melancarkan pukulan Telapak Tangan Hitam ke
arah mereka... "Ting...! Ting...! Ting...!" Lonceng kecil ber-denting-denting di pergelangan
tangan Wintara. Lon-
ceng kecil itu pula yang mematahkan pekikan dahsyat Raden Sintoro Tinggil.
Sesaat Raden Sintoro Tinggil mendorong kedua
telapak tangannya yang membara. Wintara bergeser
sambil tangannya menjurus menghantam kedua len-
gan Raden Sintoro Tinggil. "Plak!" Tubuh lelaki gemuk itu bergoyang. Wintara
memberinya lagi sebuah tendangan memutar. Cepat Raden Sintoro Tinggil melom-
pat membalas tendangan itu dengan tendangan yang
tidak kalah kerasnya. Lalu telapak tangannya me-
nyambar ke bawah. Sebelum pukulan Telapak Tangan
Hitam mengenai tubuhnya, Wintara bergulingan.
"Deeeerrrr!" Hantaman itu mengenai tanah. Telapak tangan itu melesak ke dalam
tanah sekitar lima senti meter. Raden Sintoro Tinggil mencecar terus tubuh
Wintara yang bergulingan menghindari serangan-
serangan itu. Tidak ada kesempatan bagi Wintara un-
tuk bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan, sosok tubuh ramping melesat
dengan sebuah tendangan
yang tepat menghantam pinggang Raden Sintoro Ting-
gil... "Beeeegg!" Lalu tubuh ramping itu berputar di udara membentuk bulatan
biru. Menukik lagi dengan
sebuah jotosan. "Plak!" Raden Sintoro Tinggil menam-par hantaman itu. "Des!
Tubuh ramping yang tak lain adalah Tari Wening Asih mencelat membentur tiang
gubuk. Dengan terjangan yang cepat Raden Sintoro
Tinggil menyerang Tari Wening Asih. Wintara tersen-
tak. Sudah pasti gadis itu tidak bisa menghindari hantaman yang akan dilancarkan
oleh Raden Sintoro
Tinggil. Maka cepat Wintara menarik dua lonceng kecil dari pergelangan
tangannya. Melempar secepat kilat
bagai senjata rahasia.... Sedetik saja terlambat nyawa Tari Wening Asih
melayang...."Creep! Crep! Dua lonceng kecil menancap tepat di kedua bola mata
Raden Sintoro.... "Wuaaarrk...!" Raden Sintoro Tinggil mengerang hebat. Dari kedua
rongga matanya mengalir cai-
ran yang menjijikkan. Cairan itu menetes di tubuh Tari Wening Asih yang
terlentang di bawahnya. Raden Sintoro Tinggil berdiri mengangkangi sambil
menjerit-jerit.
Dalam keadaan seperti itu Tari Wening Asih menen-
dang dengan sekuat tenaga.
"Duessssss!" Kontan tubuh gemuk itu mental ke belakang beberapa meter. Wintara
datang menghajar dengan dua pukulan karate di tulang leher Raden Sintoro
Tinggil... Tari Wening Asih tidak memberi ampun. Dendamnya yang selama ini
terpendam ia lam-
piaskan sekarang juga. Ia melompat berjumpalitan di udara lalu kedua kakinya
menginjak dengan keras di
dada lelaki yang sudah sekarat itu. Tidak sedikit darah yang menyembur. Dan
tubuh itu mengejang kaku dengan mata melotot, Wintara menarik nafas panjang.
Tari Wening Asih menoleh ke arahnya. Ki Randaka menatap kagum, pikirannya masih
bertanya-tanya.... Siapakah mereka ini....
"Ugh!" Ki Randaka terbatuk. Pukulan Telapak Tangan Hitam membekas di dadanya.
Susah sekali ia
berusaha bangkit.
Wintara berjalan mendekati tubuh Bahruna
dan Wikalpa yang saling tindih. Ia menatap tubuh kedua murid dari perguruan
Elang Perak. Lalu ia meno-
tok kembali. Perlahan keduanya mulai siuman sekali-
pun pandangan mereka masih nampak kabur.... Sa-
mar-samar ia melihat seorang pemuda berpakaian ku-
lit binatang berjalan menjauh. Hanya bagian belakang saja yang mereka lihat....
Tari Wening Asih masih berdiri di samping mayat Raden Sintoro Tinggil. Meman-
dang penuh kebencian pada wajah lelaki gemuk yang
melotot tak berkutik. Setelah Wintara mendekatinya
barulah ia mundur selangkah.... Wintara merogoh ke
balik baju Raden Sintoro Tinggil. Dikeluarkannya sua-tu benda berupa kalung
hitam berliontin kepala bu-
rung Elang sebesar telapak tangan. Benda kekuning-
kuningan itu diberikan pada gadis yang masih berdiri di situ. Ki Randaka
memandang tegang. Benda itu diperhatikan oleh Tari Wening Asih. Lalu matanya
tertu-ju pada Ki Randaka, sebentar kemudian ia melangkah
mendekati.... Ki Randaka yang merasa didatangi gadis itu segera bersiap-siap
mengeluarkan jurus-jurus
Elang ... Gadis itu malah tersenyum....
"Maafkan aku, Ki.... Aku telah berlaku kurang
ajar." Sambil menyerahkan benda itu, Tari Wening Asih berlutut menyembah Ki
Randaka. Ki Randaka jadi tak mengerti.
"Tidak seharusnya aku menuduh Ki Randaka
memiliki pukulan Telapak Tangan Hitam.... Sungguh
di luar dugaan semua prasangka buruk yang selama
ini mendekam di jantungku, cuma pikiran yang terlalu ceroboh.... Tidak
semestinya aku menuduh Ki Randaka...." kata gadis itu lagi.
"Menuduhku...?" Ki Randaka makin heran.
"Ya.... Karena aku putri tunggal Lungo Paksi...!"
"Astaga.... Sudah sebesar inikah putri tunggal Lungo Paksi?"
Ki Randaka hampir tidak percaya. Tari Wening
Asih mengangkat wajahnya, terlihat wajah yang begitu cantik mempesona.
"Wajar saja kalau putri seorang pendekar me-
nuntut kematian Ayahnya.... Aku tidak salahkan eng-
kau...." kata Ki Randaka sabar. "Tapi sekarang sudah cukup jelas bukan...
Yaaaah. Kematian Ayahmu memang sangat disesalkan." kata Ki Randaka lagi. Lalu ia
mulai menuturkan sebuah cerita...
"Tiga tahun yang lalu saat kami mengadakan
pertemuan di Gerongsewu, kami telah kehilangan satu peserta yang tidak lain
adalah Lungo Paksi, Ayahmu....
Meskipun kurang satu orang pertemuan terus dilang-
sungkan.....Meskipun terasa ada kekurangan atau rasa tidak enak.... Sepulang
dari Gerongsewu, kami menemukan jasad Lungo Paksi dalam keadaan tak bernya-
wa, di dadanya membekas pukulan Telapak Tangan
Hitam. Semula kami saling curiga terhadap sesama
teman. Tapi ternyata tidak satu pun di antara kami
yang memiliki pukulan dahsyat seperti itu. Kami coba menghimpun untuk memecahkan
ilmu itu dan berusaha menyelidiki siapa pelakunya. Dan ternyata...." Ki Randaka
tidak meneruskan kata-kata-nya, pandangannya keluar mengarah pada sosok tubuh
gemuk yang tergeletak bergelimang darah. Lalu lengannya
yang menggenggam pusaka Elang menunjuk....
"Dia adalah kakak kandung Lungo Paksi...." katanya. Gadis itu tersentak kaget.
Pandangannya cepat menoleh ke arah tubuh Raden Sintoro Tinggil.
"Apakah semasa hidup Ayahmu tidak pernah
menceritakan tentang kakak kandungnya di Banta-
ran...?" tanya Ki Randaka. Gadis itu menggeleng. Lalu ia bangkit.
"Kenapa mesti disesalkan" Orang semacam itu
memang tidak pantas dibiarkan hidup...! Siapapun dia tanpa kecuali harus di
musnahkan dari muka bumi.
Apa jadinya bila ia tetap hidup....!" Tiba-tiba saja gadis itu berkata penuh
semangat. Lalu Tari Wening Asih
membantu Ki Randaka bangkit. Bahruna dan Wikalpa
nampak telah pulih kembali. Mereka nampak geram
ketika melihat Wintara masih berdiri di situ. Maka
dengan serempak mereka menyerang.... Wintara tidak
mau membuang-buang tenaga lagi. Ia cepat melesat
menjauh meninggalkan mereka. Tahu-tahu tubuhnya
telah duduk di atas cabang sebuah pohon...
"Keparat... Turun kau.... Mari kita teruskan lagi pertarungan kita...!" bentak
Wikalpa. Tari Wening Asih yang memapah Ki Randaka tersenyum geli.
"Siapakah pemuda itu, Nona.... Pasanganmu-
kah...?" tanya Ki Randaka.
"Bu-bukan... Dia hanya seorang pengelana. Ka-
lau tidak ada dia, mungkin kita semua tewas di tangan Raden Sintoro Tinggil."
jelas Tari Wening Asih. Bahruna menggantikan gadis itu memapah Ki Randaka.
"Seorang pengelana...." Aku pernah mendengar
nama besar seorang pemuda yang berjuluk Pengelana
Sakti. Benarkah dia orangnya...?" Ki Randaka berpikir.
Bahruna mendengar ucapan gurunya. Cukup kaget ju-
ga ia mendengar julukan itu. Kalau benar pemuda itu si Pendekar Kelana Sakti....
Betapa malunya Bahruna.
Wikalpa masih memaki-maki pemuda yang duduk di
atas cabang sebuah pohon. Wintara cuma nyengir, lalu tubuhnya melesat lagi pergi
menjauh dari tempat itu.
Hanya Ki Randaka dan Tari Wening Asih yang tahu ke
mana perginya pemuda itu.
Wintara berjalan menyusuri jalanan berbatu,
pikirannya telah jernih.... Itu karena pusaka Elang sudah tidak berada di
tangannya. Langkahnya pun sea-
kan bebas. Tidak ada lagi orang-orang dari rimba persilatan yang datang
menghadang dengan alasan men-
cari benda pusaka. Tidak akan ada lagi.
Tubuh Wintara nampak kecil dari kejauhan
menyusuri daerah perbukitan yang menghijau. Berge-
rak sedikit demi sedikit menjauh semakin menghi-
lang.... Di belakangnya menyusul sosok tubuh kecil.
Dari kejauhan berwarna biru seperti langit di atas sa-na. Sosok biru itu
mengikuti ke mana Wintara melangkah.... T A M A T
E-Book by Abu Keisel
Pendekar Pengejar Nyawa 8 Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 29
^