Pencarian

Pusaka Warisan Iblis 2

Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis Bagian 2


hala Memindah Gunung'. Pukulan ini dikenal se-
bagai sebuah pengerahan tenaga sakti yang telah
begitu banyak memakan korban yang terdiri dari
orang-orang sesat. Gendera Maut sendiri sudah
jelas mengetahui kehebatan pukulan yang akan
dilepaskan oleh lawannya. Sebab dia sendiripun
dulu pernah melihatnya ketika Nyai Pamekasan
terlibat pertempuran dengan salah seorang tokoh
sesat dari Pulau Angsa. Itulah sebabnya begitu
melihat tangan Nyai Pamekasan telah berubah
menjadi kekuning-kuningan. Maka Gendera Maut
lipat gandakan tenaganya. Tak pelak lagi, mereka inipun melepaskan pukulan
'Gendera Memburu
Mangsa'. Pada saat Nyai Pamekasan melepas pu-
kulan 'Dewi Berhala Memindah Gunung', maka
dua orang lawanpun tak kalah cepatnya mele-
paskan pukulan sakti pula
"Wuuuus...! Wuuuueess...!"
Dua pukulan sakti sama-sama melesat se-
demikian pesatnya. Udara di sekitar tempat itu
sontak berubah dingin luar biasa.
"Dueer...!"
Terdengar dua ledakan berturut-turut, saat
mana dua pukulan itu saling bertubrukan di uda-
ra. Dua tubuh lawan terpental secara ber-
samaan, namun Nyai Pamekasan juga mengalami
akibat yang tidak begitu jauh berbeda. Tubuh pe-
rempuan berusia lanjut itupun terhuyung-
huyung. Dadanya terasa sesak bukan alang kepa-
lang. Sementara dari bagian hidungnya mengalir
darah segar. "Hoeeghk...!"
Dalam kegelapan itu terdengar suara ter-
batuk beberapa kali. Kiranya pihak lawannya saat itu juga kehilangan banyak
darah. Sungguhpun
demikian nampaknya mereka merupakan dua
orang lawan yang mempunyai prinsip pantang
menyerah. Terbukti sungguhpun dengan tubuh
gemetaran dan langkah terhuyung-huyung mere-
ka segera bangkit kembali dan berusaha mele-
paskan serangan balasan. Tetapi pada saat-saat
yang menegangkan seperti itu, Buang Sengketa
yang sejak tadi terus mengawasi jalannya pertem-
puran sudah keluar dari tempat persembunyian.
Dengan sekali lompat, maka tubuhnya melayang
setinggi dua tombak, kemudian mendarat persis
di tengah-tengah arena pertempuran.
"Malam-malam begini membuat kekacauan
di tempat kediaman orang lain! Sungguh hanya
orang yang sudah bosan hidup saja yang telah be-
rani melakukannya...?" kata Buang Sengketa secara tiba-tiba. Dua orang lawan
Nyai Pamekasan sudah tentu menjadi terperanjat dengan kata-
kata yang bernada teguran ini. Apalagi mereka
dapat merasakan betapa pemuda yang berdiri tak
jauh di depan mereka, memiliki kepandaian ting-
gi. Begitupun mereka ini tiada perduli lagi.
"Bocah! Siapakah engkau ini" Apakah ke-
datanganmu dengan membawa maksud ingin
mencampuri urusanku...?" bentak si gemuk pendek yang tiada berjenggot maupun
berkumis. Dengan sikap acuh, dalam keremangan suasana
yang hampir mulai fajar itu, Buang Sengketa
menjawab lugas.
"Kedatanganku kemari dengan maksud in-
gin menjumpai sahabatku, Nyai Pamekasan. Na-
mun siapa kira, dua ekor kunyuk gemuk dan pa-
ra kunyuk kurus telah membuat tempat ini berge-
limang darah. Syukur sahabatku sampai saat ini
kulihat tidak kekurangan sesuatu apa. Andai saja salah satu anggota tubuhnya ada
yang rusak, le-cet apalagi copot. Maka kepala kalianpun akan
kubuat menggelinding...!"
"Ah... engkau datang juga akhirnya, Kela-
na...!" gumam Nyai Pamekasan, seraya tanpa
menghiraukan dua orang lawannya, nampak
langsung melangkah menghampiri pemuda itu.
Lalu menjabat tangan si pemuda, bagai seorang
sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu.
"Aku datang memenuhi janjiku. Tapi maaf,
hingga sampai saat ini aku masih belum berhasil
memperoleh keterangan sebagaimana yang anda
harapkan...!" kata si pemuda menyampaikan un-eg-unegnya.
"Aku tahu, dan seharusnya waktu itu aku
memberimu kabar bahwa Geluk Emas telah di-
larikan oleh Tiga Hantu Lembah Neraka. Tapi ka-
rena saat itu engkau dalam keadaan tergesa-gesa.
Maka akupun sampai lupa mengatakan hal itu
padamu...!" kata Nyai Pamekasan sambil menepuk-nepuk bahu Buang Sengketa.
"Hal itu bisa kita bicarakan nanti. Tapi bagaimana halnya dengan dua ekor monyet
gemuk yang menamakan dirinya Gendera Maut ini.
Bangsat itu telah membuat hancur gubukku, pula
mereka telah mencuri dengar pembicaraan ki-
ta...!" ujar perempuan berusia lanjut ini, kemudian melirik pada dua orang
lawannya kilasan sa-
ja. Yang dilirik malah pelototkan matanya. Salah seorang diantaranya maju satu
langkah. Dengan
kemarahan yang tiada tertahankan si gemuk
pendek berkumis lebat langsung mengayunkan
senjatanya dengan maksud mengarah pada ba-
gian wajah Buang Sengketa. Menghadapi seran-
gan yang datangnya begitu tiba-tiba, pemuda dari Negeri Bunian ini melompat ke
samping kiri. Otomatis senjata yang dihantamkan oleh lawan-
nya mencapai sasaran kosong. Karena dalam
mempergunakan senjata itu disertai dengan pen-
gerahan tenaga dalam yang begitu kuat. Maka be-
gitu senjata itu menghantam sebuah batu, batu
yang dilanda kebutan ditangan Gendera Maut
itupun hancur berkeping-keping.
"Bangsat...!" maki laki-laki itu. Kemudian menyerang lagi dengan kekuatan
berlipat ganda.
Sambil bergerak menghindari terjangan senjata di tangan lawannya, Buang Sengketa
berseru mem-peringatkan:
"Lebih baik kalian enyah dari hadapanku!
Kalau tidak, kalian akan menyesal seumur hi-
dup...!" "Jangan membual! Kau juga termasuk
orang yang harus kami bunuh, karena telah begi-
tu berani mencampuri segala urusan kami den-
gan perempuan bangkotan itu!" teriak kawannya.
Tak terelakkan lagi, pertempuran sengit antara
Buang Sengketa melawan Gendera Maut terjadi-
lah. Sementara itu Nyai Pamekasan hanya berdiri
dengan sikap menonton. Memang sesungguhnya
selama ini Nyai Pamekasan memang belum per-
nah mengetahui sampai di mana kehebatan yang
dimiliki oleh pemuda itu. Kalaupun satu purnama
yang lalu dia bertemu dengan Pendekar Hina Ke-
lana kemudian menjadi begitu akrab, hal itu se-
mata-mata berdasarkan wangsit yang diteri-
manya. Dalam wangsit itu, Nyai Pamekasan mem-
peroleh penjelasan akan datang padanya seorang
pemuda pengelana, berpakaian merah dan ku-
muh. Sedangkan pemuda itu selalu membawa-
bawa periuk kemanapun dia pergi. Hanya itu, se-
lebihnya tentang asal usul si pemuda diapun ti-
dak tahu banyak. Kini pemuda itu datang lagi un-
tuk memberi laporan tentang Geluk Emas yang
telah dilarikan oleh Tiga Hantu Lembah Neraka.
Kebetulan sekali saat itu dia bertarung melawan
Gendera Maut. "Sebuah waktu yang sangat cocok!
Apakah benar wangsit yang kuterima benar-benar
bermutu." gumam Nyai Pamekasan sambil terus memperhatikan mereka yang sedang
terlibat baku hantam. "Huaaaa...!" teriak Buang Sengketa, tubuhnya melenting ke udara setinggi dua
tombak. Ke- mudian dengan mempergunakan jurus Mem-
bendung Gelombang Menimba Samudra pemuda
ini bergerak lincah menghindari sabetan lawan
yang dapat melemas dan menjadi kaku secara ti-
ba-tiba. Namun kelihatannya, sungguhpun Gen-
dera Maut telah mengalami luka dalam yang cu-
kup serius. Pada kenyataanya masih mampu ber-
gerak cepat, bahkan hampir setiap serangannya
mencapai sasaran yang mematikan. Lima jurus di
muka Buang Sengketa nampak kerepotan juga.
Barulah setelah mempergunakan jurus Si Gila
Mengamuk, serangan-serangan gencar lawannya
berhasil dikandaskan sebelum mencapai sasa-
rannya. Menghadapi kenyataan seperti ini gusar-
nya Sepasang Gendera Maut ini. Mulanya mereka
sudah dapat membayangkan hanya dalam waktu
beberapa gebrakan di depan pemuda berpakaian
gembel itu pastilah dapat dia jatuhkan.
"Kakang brewok! Terus cecar bagian anu-
nya, biar aku yang akan menghajar bagian ke-
palanya...!" teriak si gemuk yang berkepala setengah botak.
"Sialan! Tikus-tikus gemuk sepertimu jan-
gan coba-coba bergurau denganku. Salah-salah
anumu yang akan kubikin pensiun. Kau tak per-
caya ini buktinya...!" kata Buang Sengketa. Lalu dengan gerakan cepat dan tiada
terduga-duga ke
arah mana tujuannya, pemuda ini kirimkan satu
tendangan sedangkan tangan kanannya meng-
hantam ke bagian wajah lawan.
"Haiiit...!"
Dalam melakukan tendangan itu, tubuh si
pemuda berputar setengah lingkaran. Namun
tendangan cepat itu disambut dengan deru kebu-
tan di tangan lawannya, secara praktis menarik
balik kakinya, tangan kanannya yang telah me-
luncur dan siap menghantam bagian muka. Seca-
ra tiba-tiba membelok ke arah selangkangan la-
wannya. "Jrooot...!"
"Wuiih... apa ini lembek-lembek...!" ucap-nya sambil tergelak-gelak. Si gemuk
langsung terbanting di atas tanah berbatu, tubuhnya mengge-
liat-geliat. Sementara kedua tangannya terus
memegangi bagian pusaka keramat yang berhasil
dipukul oleh si pemuda. Laki-laki berkumis me-
lintang yang sepintas lalu memberi kesan lucu ini merasakan perutnya mual luar
biasa, bahkan la-ma-kelamaan rasa sakit itu naik sampai ke ulu
hati. "Keparaat kau gembel busuk! Aku tak akan pernah puas sebelum menghirup
darahmu...!"
maki laki-laki itu. Kemudian dengan berjingkrak-
jingkrak dia bangkit kembali.
"Lakukanlah! Kini aku telah benar-benar
dalam keadaan siap melayani kalian sampai
mampus...!" desis Buang Sengketa sinis.
"Hiaat...!" teriak dua orang laki-laki gemuk pendek ini tanpa menghiraukan
ucapan lawan- nya. Lalu secara bersama-sama mereka lepaskan
pukulan 'Gendera Memburu Mangsa' tingkat pa-
mungkas. "Melihat lawan-lawannya melepaskan pukulan yang sangat berbahaya. Maka
Buang Sengketa dengan mempergunakan sebagian tena-
ga dalamnya hantamkan kedua tangannya ke
arah dua orang lawannya. Tak ayal lagi saat itu
selarik gelombang sinar berhawa sangat panas
luar biasa menderu memapaki serangan ganas
yang dilepas oleh lawan-lawannya.
"Blaaam...! Blaaam...!"
Dua ledakan keras terjadi secara berturut-
turut. Tidak sampai di situ saja, pukulan tingkat tinggi yang sudah tak asing
lagi, yaitu pukulan Si Hina Kelana Merana yang dilepas oleh si pemuda
terus menderu menghantam dua orang lawannya.
Jelas sekali bahwa dalam hal adu tenaga dalam,
Gendera Maut kalah beberapa tingkat di bawah si
pemuda. Dalam keadaan tubuh hangus dan tiada
berbentuk lagi tubuh kedua orang itu terpelanting roboh. Selanjutnya tubuh
mereka terdiam untuk
selama-lamanya.
"Ploook...! Ploook...!" Nyai Pamekasan ber-tepuk tangan, lalu terdengar pula
seruan sua- ranya memuji "Bagus! Pendekar muda yang tangguh, se-
buah wangsit yang tepat... Ah... aku kagum meli-
hat kehebatanmu, sahabatku...!' kata perempuan
penghuni Puncak Gunung Berhala itu sambil me-
langkah mendekati Buang Sengketa. Memerah
paras si pemuda demi mendengar pujian yang ti-
dak mengenakkan hatinya itu. Kemudian dengan
suara merendah diapun berucap: "Nyai Pamekasan! Aku bukanlah apa-apa, jangan
anda sanjung diriku setinggi langit. Aku kurang suka menden-
garnya...!" Tetapi kelihatannya Nyai Pamekasan tiada menghiraukan semua itu,
bahkan lebih lanjut dia bertanya, pada si pemuda.
"Aha... siapakah gurumu, Kelana...?" semakin kesal saja hati Buang Sengketa demi
men- dengar pertanyaan seperti itu. Selama ini dia telah berjanji untuk tidak
membawa-bawa nama
gurunya, terlebih-lebih saat sekarang gurunya si manusia aneh Bangkotan Koreng
Seribu sudah meninggal dunia sejak beberapa tahun yang si-
lam. "Nyai Pamekasan!" ujarnya, lalu memandang lurus pada perempuan itu. "Kalau
Nyai masih juga menanyakan tentang siapa aku dan gu-


Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruku, maka lebih baik aku tak usah memban-
tumu...!" katanya dengan sikap merajuk.
"Weeeii... bocah edan. Mana bisa begitu...!"
"Itu makanya, jangan tanya ini dan itu ten-
tang diriku. Perlu anda ketahui sampai sekarang
ini aku belum mendapatkan keterangan tentang
Geluk itu!" Nyai Pamekasan angguk-anggukkan kepalanya. Seperti pada dirinya
sendiri tak lama kemudian dia berucap.
"Maaf... sesungguhnya aku telah tahu sia-
pa sebenarnya yang telah melarikan Geluk itu.
Tapi karena waktu itu engkau terlalu tergesa-
gesa, maka aku tak sempat mengatakan padamu
pada siapa seharusnya kau mencari benda itu.
Tapi sekarang ini ada baiknya kalau kita secara
bersama-sama pergi ke sana...! Semoga benda itu
belum berpindah ke tangan orang lain...!"
"Ke sana mana...?" tanya si pemuda tiada mengerti.
"Ikut sajalah, jangan banyak rewel...!" ser-gah si perempuan, acuh.
"Tapi bagaimana dengan mayat-mayat me-
reka...?" tanya si pemuda ragu-ragu. Nyai Pamekasan geleng-gelengkan kepalanya.
"Biarkan saja, sebentar lagi mereka pasti segera terkubur di perut binatang buas
yang berkeliaran di tempat
ini...!" Tak lama kemudian tanpa berkata apa-apa.
Buang Sengketa dan Nyai Pamekasan sudah mu-
lai berlari-lari menuruni Gunung Berhala. Ketika mereka sampai di lereng gunung,
saat itu mata-hari sudah mulai memancarkan sinarnya yang
kuning keemasan.
7 Masing-masing mata nampak berbinar-bi-
nar ketika mereka membuka bungkusan Geluk
Emas yang mereka sembunyikan beberapa wak-
tu setelah mereka merampasnya dari tangan Ja-
tayu. "Hemm...! Benda ini bentuknya mirip dengan sebuah kelapa yang sering
dipergunakan oleh
penduduk desa untuk menyimpan garam...! Tapi
benda ini menimbulkan rebawa aneh bagai ada
satu kekuatan gaib yang menyelimutinya...!" kata salah seorang laki-laki
berpakaian kuning itu
tanpa mengalihkan perhatiannya dari benda ter-
sebut. "Tiga Hantu Lembah Neraka memang me-
rupakan orang-orang yang bernasib mujur! Den-
gan Geluk Emas di tangan kita, Tiga Hantu Lem-
bah Neraka pasti mampu meramu racun ganas
yang bagaimanapun bentuknya...!" ujar yang
lainnya menimpali.
"Dengan adanya Geluk ini, kita akan men-
jadi tiga tokoh yang tiada tertandingi oleh siapapun. Tiga Hantu Lembah Neraka
akan menjadi kaum yang tiada tertandingi di kolong jagat ini.
Ya... ha... ha... ha...! Kitalah yang akan merajai dunia persilatan...!"
"Tapi kakang Gompal Pringgan! Walau ba-
gaimanapun benda ini ada pemiliknya yang sah,
bagaimana andai suatu saat orang itu datang
mencari kita...?"
"Aku tak pernah takut! Nyai Pamekasan
memang orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Tapi Tiga Hantu Lembah Neraka juga bukanlah
orang-orang yang lemah. Kita bertiga pasti mam-
pu menghadapi nenek-nenek yang sudah hampir
masuk ke liang kubur itu. Apa yang kita ta-
kutkan...?" selak Gompal Pringgan merasa begitu yakin dengan kemampuan yang
dimilikinya. "Tetapi dengan adanya Geluk Emas di tan-
gan kita, tentu orang-orang persilatan akan ber-
datangan kemari...!"
"Mengapa harus takut, adi Pramesta....!"
"Tapi kewaspadaan itu bagi kita sangat
penting sekali, kakang Gompal" Bukan tidak
mungkin di luaran sana terdapat tokoh-tokoh
persilatan yang memiliki kepandaian tinggi di luar perhitungan kita...!" sela Ki
Lawuh yang sedari tadi hanya diam saja.
"Ha...ha...ha...! Tak seorangpun di dalam
rimba persilatan yang kutakuti. Aku tak pernah
merasa ragu dengan segala apa yang telah kita
lakukan...! Tapi yang membuat aku heran justru,
kalian secara tiba-tiba berubah sepengecut ini..,?"
sentak Gompal Pringgan merasa tersinggung.
"Maaf, kakang...! Sama sekali kami tak per-
nah berpikir sampai sejauh itu. Tapi menjaga se-
gala kemungkinan menurutku justru lebih ba-
ik...!" kata Ki Luwuh dan Pramesta secara hampir bersamaan. Gompal Pringgan
akhirnya hanya tersenyum-senyum demi mendengar alasan adik-
adiknya. "Kalau itu yang menjadi alasan kalian, su-
dah tentu aku setuju saja! Lagipula gua ini ter-
letak jauh dari keramaian. Kita pasti aman berada di tempat ini...!" kata Gompal
Pringgan me-yakinkan dua orang saudaranya.
"Kalau kakang sudah berkata begitu maka
kami hanya mampu menurut...!" ujar Ki Luwuh.
"Tapi menurutku, alangkah lebih baik lagi
kalau mulai dari sekarang kita atur penjagaan di luaran sana."
"Maksud kakang bagaimana...?" tanya dua orang lainnya tiada mengerti.
"Maksudku...! Sementara aku ingin mem-
buktikan kehebatan Geluk Emas di dalam gua ini.
Adi Ki Luwuh berjaga-jaga di depan gua, sedang-
kan Adi Pramesta berjaga-jaga di bagian jalan setapak menuju tempat ini...!"
"Baiklah... kalau itu sudah merupakan ke-
inginan kakang Gompal Pringgan, maka kami
akan melakukannya..!" ujar Ki Luwuh dan Pramesta.
*** Gerakan tubuhnya yang begitu lincah dan
gesit merupakan suatu tanda bahwa orang yang
sedang berlari cepat itu memiliki dasar-dasar ilmu silat yang sangat baik. Tiada
tanda-tanda keleti-han membayang di wajahnya yang tertutup to-
peng, padahal perempuan itu sudah hampir dua
malam melakukan perjalanan dengan cara seperti
itu. Hanya sesekali saja, sepasang matanya yang
indah itu mengerjab dalam basah. Entah geran-
gan apa yang membuat dirinya menjadi seperti
itu. Kini untuk yang kesekian kalinya, perem-
puan bertopeng biru ini secara tiba-tiba memper-
lambat kecepatan larinya. Bahkan beberapa saat
setelahnya berhenti sama sekali. Pabila dia ter-
ingat sesuatu, maka kelopak matanyapun kemba-
li menjadi hangat. Ketua Perguruan Topeng Biru
ini menundukkan kepalanya. Namun se-pasang
kakinya tetap melangkah. Gontai.
"Aku tak melihat tanda-tanda kehadiran-
nya di sini. Mungkinkah dia memang benar-benar
tak dapat mengenali suaraku lagi. Paman Kela-
na...! Apakah paman tak pernah merasakan se-
perti apa yang sedang kurasakan. Hampir se-
panjang usia remajaku hingga kini, hatiku selalu tersiksa. Aku sedetikpun tak
pernah berhasil melupakanmu. Bahkan tak pernah ada yang lain di
hatiku ini selain dirimu. Tapi engkau selalu da-
tang dan pergi bagai hembusan angin...! Aku ta-
hu, mungkin hanya diriku yang bodoh ini saja
yang begitu tergila-gila padamu, sedangkan eng-
kau tidak! Bahkan engkau tetap menganggapku
hanya sebagai bocah yang tidak tahu banyak ten-
tang cinta. Bahkan kau masih tetap mengang-
gapku masih belum saatnya membicarakan soal
itu. Ah, betapa kau selalu berkata begitu, kau sesungguhnya cukup mengetahui
bagaimana pera-
saanku padamu. Tapi kau selalu bersikap seba-
liknya. Melihat sikapmu terkadang aku sering me-
rasa kecewa sekali. Bahkan aku sering berusaha
menguburkan namamu, atau membuangnya
jauh-jauh. Namun aku selalu gagal melakukan-
nya. Hal ini hanya semakin membuat hatiku ter-
siksa...!" gumam perempuan itu, lalu menyusut air matanya. Sesaat setelah itu,
perempuan bertopeng biru ini membuang pandangannya jauh-
jauh ke depan sana. Namun sejauh- jauhnya ma-
ta memandang, yang terlihat hanyalah rumput-
rumput menghijau, lembah dan bukit yang me-
rentang, seolah tiada berbatas.
"Terkadang aku merasa putus asa, benar
kuakui dia memberikan sesuatu yang terbaik un-
tuk bekal hidupku. Tapi kasih sayang dan cinta
tak pernah dia berikan padaku. Ataukah mungkin
dia sudah punya seorang kekasih" Andai benar
apa yang kuduga, ah betapa bahagianya perem-
puan itu. Karena paman Kelana merupakan pri-
badi yang sangat baik, wajahnya sangat tampan
tanpa cela. Tentu setiap gadis akan menyu-
kainya...!" desahnya. Sesaat begitu tersadar tentang apa yang diangankannya,
maka wajah pe- rempuan itu memerah. Tersipu malu.
"Mengapa aku jadi setolol ini! Bukankah
lebih baik kalau kucari ke arah sana?"
"Haiiiiit...!" perempuan bertopeng biru itu pun langsung mengempos tubuhnya.
Dalam waktu yang sangat singkat tubuh perempuan itupun
telah lenyap dari pandangan mata
Namun tak sampai sepemakan sirih, dari
arah yang dituju oleh perempuan itu. Terdengar-
lah suara bentakan-bentakan keras yang disusul
dengan suara benturan beradunya senjata tajam.
Dan pabila kita ingin melihat lebih dekat lagi, tidak begitu jauh dari lembah
dan pada pinggiran
tebing. Saat itu nampaklah gadis bertopeng biru
itu sedang bertarung melawan seorang laki-laki
berpakaian kuning. Dalam pertarungan sengit ini, berulang kali gadis bertopeng
memberi penjelasan pada lawannya. Tapi nampaknya yang menjadi
lawannya tiada menghiraukan kata-kata si gadis
bertopeng. "Sudah kukatakan siapapun yang berani
memasuki wilayah kekuasaan Tiga Hantu Lembah
Neraka, mereka harus meninggalkan kepalanya di
tempat ini...!" bentak laki-laki berpakaian kuning yang bernama Pramesta ini
dengan sesungging
senyum mencemooh. Lama-kelamaan menjadi hi-
langlah kesabaran gadis bertopeng, bahkan di-
apun mulai mencurigai keberadaan laki-laki ber-
pakaian kuning itu.
"Sejak tadi aku sudah katakan pada kisa-
nak! Kehadiranku di tempat ini adalah untuk
mencari salah seorang sahabatku, tapi kisanak
malah mencurigaiku! Jangan-jangan di tempat ini
ada sesuatu yang kisanak rahasiakan...!" pancing si gadis bertopeng sambil
memandang lurus pada
lawan bicaranya.
"Kurang ajar...! Kau sepatutnya mendapat
ganjaran yang setimpal atas sikapmu yang men-
curigakan itu. Kini kau bermaksud ingin menge-
tahui lebih banyak lagi tentang isi lembah mau-
pun gua yang kami diami..!"
"Jangan banyak membual, sobat...! Mu-
lanya aku hanya secara kebetulan saja melewati
daerah ini. Tapi karena kisanak terlalu mencuri-
gaiku, maka semakin kuatlah dugaanku anda
pastilah merupakan salah seorang dari Tiga Han-
tu Lembah Neraka...?"
"Kalau betul kau bisa apa...?" sentak. Pramesta dengan suara tergetar.
"Kalau begitu pastilah kalian yang telah
membunuh Jatayu, dan melarikan Geluk Emas
milik Nyai Pamekasan...! Hik...hi...hi...! Sungguh memalukan sekali...!" ledek
si gadis bertopeng.
Pramesta nnembelalakkan matanya lebar-lebar.
Sesungguhnya dia bukan merasa kecut dengan
apa yang diketahui oleh perempuan bertopeng.
Tetapi dalam waktu-waktu sebelumnya sama se-
kali dia tak pernah melihat siapa sesungguhnya
orang itu. "Matamu begitu jeli. Kau tahu Geluk Emas
berada pada kami, tapi nampaknya engkau, me-
rupakan orang yang baru turun gunung"
"Itu bukan urusanmu, yang jelas kalian
harus menyerahkan Geluk Emas padaku. Jika ti-
dak, hari ini juga nama Tiga Hantu Lembah Nera-
ka benar-benar akan segera kukirim ke akhi-
rat...!" ancam si gadis bertopeng.
"Kurang ajar! Siapapun adanya engkau ini,
aku tak perduli. Tapi karena kau telah melakukan dua pelanggaran secara sengaja,
maka hidup atau
mati kau akan kuringkus...!"
"Enak betul! kalau kau mampu lakukan-
lah...!" cibir si gadis bertopeng dengan sikap me-nantang. Tingkah laku
perempuan itu benar-
benar membuat Pramesta menjadi gelap mata, la-
lu tanpa basa basi lagi, diapun mulai melancar-
kan serangannya dengan mempergunakan jurus-
jurus tangan kosong. Karena mengira, lawannya
hanya memiliki kepandaian yang tidak seberapa,
pada saat melakukan gebrakan demi gebrakan.
Laki-laki berusia setengah baya dan bertubuh
gempal inipun menyerang si gadis bertopeng den-
gan sikap ayal-ayalan.
"Desss...!" satu tendangan telak menghajar bagian iga Pramesta. Laki-laki
bertubuh gempal ini menggerung sambil memegangi bagian dadanya yang terasa
nyeri. Salah seorang dari Tiga Hantu Lembah Neraka meludah dengan sikap penuh
kebencian. "Jangan membuang-buang waktu percuma,
manusia hantu...! Kalau kau tidak cepat-cepat keluarkan senjata andalanmu,
sebentar lagi ke-
palamu pasti akan kubuat menggelinding...!" bentak si gadis bertopeng sambil
berkacak pinggang.
"Jangan sombong dulu, kunyuk betina ber-
topeng. Lihat serangan...!"
"Shaa...!"


Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiaaat...!"
Begitu Pramesta menerjang ke arah gadis
bertopeng dengan satu jotosan yang kuat, nam-
paknya perempuan itu tidak berusaha mengelak.
Dengan jemari terkembang membentuk cakar di
sambutnya serangan lawannya.
"Deees...!"
"Creep...!"
Benturan yang sangat keras terjadi, tubuh
keduanya sama-sama terguncang. Pramesta me-
rasakan dadanya menjadi sakit dan sulit untuk
bernapas. Tetapi rasa keterkejutannya men-jadi-
jadi, saat mana dia menarik tangannya. Ternyata
tangan itu saling melekat erat dengan tangan la-
wannya. "Kurang ajar...!" rutuk Pramesta, merasa kena di kerjai. Tapi diapun tak
kehabisan akal,
satu tendangan telak dilakukannya.
"Huees...! Akal bulus...!" seru si gadis bertopeng, sambil berusaha mengkelit
serangan la- wannya. Serangan kedua inipun ternyata menga-
lami kegagalan. Geram bukan main hati Pramesta
di buatnya. Lama kelamaan diapun merogoh saku
celananya, dengan gerakan cepat bersamaan den-
gan berkelebatnya tubuh laki-laki berbadan gem-
pal ini, maka tangannyapun dia hantamkan ke
arah lawannya. Beberapa benda berwarna putih
menderu mengarah tujuh jalan kematian di tubuh
si gadis bertopeng. Namun kiranya gadis itu me-
nyadari datangnya bahaya yang mengancam ji-
wanya. Dengan mempergunakan berbagai puku-
lan sakti yang dipelajarinya dari beberapa orang gurunya. Maka diapun kibarkan
tangannya dua kali berturut-turut.
"Weeer...!"
"Wueess...!"
"Breees...!"
Sungguh mengagumkan sekali, selain sen-
jata rahasia yang disambitkan lawannya rontok,
juga pukulan 'Kabut Badai' yang dilepaskan oleh
si gadis bertopeng terus menderu menghantam
Pramesta. Dalam saat-saat menegangkan itu,
Pramesta hantamkan pula sebuah pukulan yang
tak kalah hebatnya.
"Dwweeer...!"
"Wuaah...!" jerit Pramesta dengan tubuh terguling-guling. Sementara yang menjadi
lawannya masih tetap tegak bagaikan arca.
"Ternyata Tiga Hantu Lembah Neraka apa-
bila dalam keadaan terpecah belah menjadi tidak
memiliki arti sama sekali. Hemm... mudah-
mudahan aku mampu menggusurmu sampai ke
liang kubur...!" geram si gadis bertopeng sambil memandangi lawannya yang sedang
berusaha bangkit kembali.
"Gerrr...! kalau aku berhasil menangkapmu
hidup atau mati, akan kutelanjangi tubuhmu, in-
gin kulihat apakah engkau seorang gadis cantik,
atau cuma nenek-nenek keriputan yang sudah
bau tanah." geram Pramesta, tak begitu lama setelahnya diapun mencabut senjata
andalannya yang terbuat dari gading gajah, namun mengan-
dung racun yang sangat ganas.
"Mungkin kehebatan Tiga Hantu Iblis ter-
letak pada senjatanya yang runcing itu, aku tidak boleh bersikap sembrono
menghadapi senjata
itu." gumam si gadis bertopeng.
"Sreet...sreet...!" gadis bertopeng inipun langsung melepas setagen yang melilit
di bagian pinggangnya. "Hak...ha...ha...! dengan senjata di tangan-ku, kau tak bakalan unggul dalam
menghadapi aku!" "Aku tak percaya dengan bualanmu kunyuk gemuk...!" kata si gadis bertopeng
memanasi. "Kau lihatlah! Betapa sebentar lagi dadamu
akan kubuat berlubang...!"
"Banyak mulut! Heaaaa...!" pada gebrakan-gebrakan berikutnya, pertarunganpun
berlang- sung semakin seru. Apalagi mengingat, saat itu
masing-masing lawan mempunyai ambisi untuk
menjatuhkan secepat mungkin. Dengan senjata
andalannya Pramesta segera mencecar lawannya
tanpa kenal kompromi. Gerakan-gerakan tubuh-
nya begitu lincah, sementara senjata di tangan
terkadang bergerak menusuk pada bagian lam-
bung dan dilain kesempatan berputar sedemikian
kuat sehingga berubah menjadi sebuah perisai
pertahanan yang sangat sulit untuk dicari titik
lemahnya. Namun di pihak lawan, gadis berto-
peng ini juga bukanlah orang yang bodoh. Pada
saat Pramesta melakukan serangan cepat dan be-
rusaha mendesak dirinya dengan jarak yang begi-
tu dekat, si gadis bertopeng me-lompat mundur.
Sekali dua senjatanya yang be-rupa Selendang
yang dapat menegang bagaikan plat baja namun
dilain saat dapat melemas bagaikan kain sutera.
Dia lecutkan ke arah lawannya, lecutan-lecutan
cambuk inilah yang membuat lawan tidak bisa
bertindak leluasa dalam menghadapi serangan
yang dilakukan oleh si gadis bertopeng.
"Weeer...!"
Sekali lagi Pramesta menyambitkan senja-
tanya yang terbuat dari serpihan gading gajah.
"Ctar...! Ctaar...!"
Selendang di tangan si gadis bertopeng me-
nyambut datangnya serangan senjata rahasia
yang disambitkan oleh lawannya. Sebagian senja-
ta rahasia itu dapat diruntuhkan oleh selendang
di tangan si gadis bertopeng. Tetapi sebagian
lainnya terus meluncur mencari sasaran.
"Kurang ajar...!" maki si gadis bertopeng, lalu dengan sangat tergesa-gesa
hantamkan tangannya. Tak ayal menderulah segelombang angin
pukulan yang mengandung hawa dingin dan ha-
wa panas ke arah lawannya. Luncuran senjata
rahasia itupun bersambut.
"Breess...!"
"Ahhhk...!"
Pramesta membanting tubuhnya ke sam-
ping kanan, terus berguling-guling menghindari
terjangan senjatanya sendiri yang membalik.
8 Kurang ajar! Ternyata perempuan itu me-
miliki ilmu kepandaian yang sangat hebat. Aku
tak mungkin ungkulan menghadapinya tanpa dua
orang saudaraku...!" batin Pramesta.
"Kucing kurap, mengapa kau hanya diam
saja! Bukankah kau tadi bermaksud ingin me-
nangkapku dan bermaksud kurang ajar pula! Nah
sekarang lakukanlah, sebab salah-salah aku ma-
lah segera mencopot kepalamu...!" kata gadis bertopeng biru ketus. Ternyata
perempuan itu tidak
hanya sekedar membual, beberapa saat setelah
itu, perempuan inipun mencabut sebilah pedang
tipis yang selama ini belum pernah dipergunakan
untuk bertarung melawan siapapun.
"Beruntunglah andai engkau mampu
menghindari ketajaman pedang ditanganku ini.
Ciaaat...!"
Segera saja setelah pedang itu tercabut dari
balik jubah si topeng biru, laksana kilat diapun menerjang musuhnya. Pramesta
menjadi ter-gagap saat mana senjata itu menderu ke arah-
hya. Apalagi ketika melihat permainan pedang la-
wan yang begitu sebat, tentu saja salah seorang
dari Tiga Hantu Lembah Neraka ini dalam bebe-
rapa jurus di depan telah pula terdesak hebat.
Nyatalah sudah, ternyata dalam berbagai hal
Pramesta berada jauh beberapa tingkat di bawah
lawannya. "Nguuung...! Ctar... ctaaar...!"
Pedang di tangan kanan menderu, sedang-
kan selendang di tangan kiri melecut mengarah
bagian wajah Pramesta. Dengan nekad laki-laki
berpakaian kuning itu memapaki sambaran pe-
dang di tangan lawannya.
"Traaak...!
Akibat benturan senjata itu, tubuh Prames-
ta terhuyung-huyung. Jemari tangan sampai ke-
pangkal lengan terasa nyeri luar biasa. Tapi sungguhpun si gadis bertopeng
mengalami akibat ti-
dak separah lawannya, tetap saja dia merasakan
bagian dadanya terasa kesemutan. Tanpa meng-
hiraukan rasa sakit yang mendera, perempuan itu
hantamkan selendangnya kembali.
Lawan yang sedang dalam keadaan ter-
huyung-huyung itu nampaknya tidak sempat lagi
menghalau serangan beruntun tersebut.
"Jdaaaar...!"
"Auhggk...!"
Pramesta langsung mendekap wajahnya
yang hancur dilanda lecutan selendang yang tera-
liri sebagian tenaga dalam itu. Darah segera me-
rembas melalui selah-selah tangannya. Memper-
gunakan kelengahan lawannya, dengan sekali
lompatan gadis bertopeng inipun membabatkan
pedangnya mengarah bagian perut Pramesta.
"Jrooos...! Kraaaak...!"
"Arrrggkh...!"
Laki-laki berpakaian kuning itu melolong
setinggi langit, kedua tangannya yang tadinya
mendekap bagian muka, kini beralih ke bagian
perut. Darah terus mengalir tanpa henti. Tubuh
Pramesta sekejap setelahnya langsung ambruk,
lalu terdiam buat selama-lamanya.
"Hemmm. Akhirnya kau mampus juga di
tanganku. Hih... aku yakin dua orang lainnya
pastilah ada di dalam gua...!" kata gadis bertopeng seorang diri. Sejenak gadis
itu mengitarkan pandangan matanya ke arah lembah yang terdapat di bawah jurang
itu. "Ada baiknya kalau aku cepat-cepat ke sa-
na...!" Sebentar kemudian dengan sangat berhati-hati, gadis bertopeng inipun
mulai menu- runi lereng lembah. Dengan mempergunakan su-
lut tumbuhan merambat yang menjuntai sampai
ke dasar lembah neraka. Tak sampai sepeminum
teh, gadis bertopeng inipun telah menjejakkan
kakinya di lembah itu. Namun baru beberapa tin-
dak dia melangkahkan kakinya, dari arah depan
terasa adanya sambaran angin yang begitu deras
ke arahnya. Gadis ini cepat-cepat melompat
menghindari terjangan senjata rahasia yang telah disambitkan oleh orang yang
tidak dikenalnya da-ri suatu tempat.
"Creeep...!"
Luput mencapai sasarannya, senjata-
senjata itu menancap pada batang pohon yang
berada tak jauh di belakang si gadis bertopeng.
Dari atas pohon si gadis memperhatikan senjata-
senjata itu. "Yang menyambitkan senjata itu pastilah
dua diantara Tiga Hantu Lembah Neraka. Aku ha-
rus berhati-hati, bukan tak mungkin tempat ini di pasang berbagai perangkap yang
mematikan...!"
"Weeer! Praaas...!"
Satu pukulan jarak jauh dilepas oleh la-
wannya yang bersembunyi tidak begitu jauh dari
tempat si gadis bertopeng berada. Dahan yang
merupakan tempat si gadis berpijak berderak pa-
tah saat mana pukulan itu menghantamnya den-
gan telak. Dengan wajah sedikit memucat, tubuh
gadis itu melayang turun mendahului runtuhnya
dahan pohon itu.
"Siapapun adanya orang yang bersembunyi
di balik semak-semak di depan sana. Cepatlah
tunjukkan diri...!" meskipun bergetar, namun suara si gadis bertopeng terdengar
begitu ber- wibawa. "Kau telah begitu berani memasuki Lembah
Neraka. Pernahkah terlintas dalam pikiranmu,
bahwa tak seorangpun yang telah memasuki lem-
bah ini dapat keluar hidup-hidup...?" bentak satu suara, penuh teguran.
"Karena aku tak pernah membayangkan
akibatnya maka aku berani memasuki daerah
ini...!" "Aha...! Mendengar suaramu, meskipun engkau memakai seribu topeng.
Pastilah kau masih begitu muda. Suaramu merdu, menandakan
kau seorang gadis yang sangat cantik. Sayang se-
kali andai orang seusiamu mati dengan cara yang
amat menyedihkan. Kuperintahkan padamu sege-
ra meninggalkan tempat ini, sebelum kakang
Gompal Pringgan mengetahui kehadiranmu...!"
"Hemm. Agaknya engkau ini sebangsanya
hantu yang baik hati. Tadi di atas tebing jurang sana kulihat sesosok hantu yang
tidak ramah. Bahkan kami sempat bentrok, tapi tidak begitu
lama. Karena setelahnya diapun benar-benar te-
lah kukirim ke neraka.!" kata gadis itu dengan sikap begitu tenang. Entah apa
yang dirasakan oleh orang yang bersembunyi di semak-semak itu,
yang jelas begitu si gadis bertopeng selesai dengan ucapannya. Mendadak sesosok
tubuh berpa- kaian kuning nampak menyeruak dari balik se-
mak-semak. Begitu dekat dia langsung hantam-
kan satu pukulan yang begitu dahsyat. Si gadis
bertopeng yang sudah bersiap siaga sejak semula


Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera menghindari terjangan pukulan lawan
yang menimbulkan rebawa dingin teramat sangat.
Pukulan spontan itupun luput mencapai sasa-
rannya. Geram bukan main laki-laki yang berna-
ma Ki Luwuh ini. Siapapun adanya orang yang te-
lah dibunuh oleh perempuan bertopeng yang ber-
diri tegak di hadapannya. Pastilah saudaranya
yang bernama Pramesta. Bagaimana mungkin pe-
rempuan bertopeng itu mampu mengalahkan
saudaranya yang dia ketahui memiliki kepan-
daian sangat tinggi.
"Kau jangan coba-coba mengelabuiku!
Adikku Pramesta bukan orang yang begitu mudah
dijatuhkan oleh siapapun. Apalagi hanya manusia
topeng monyet sepertimu mengaku telah menga-
lahkan Pramesta saudaraku. Huh.., tidak mung-
kin! Tak masuk di akal...!"
"Kau boleh percaya atau tidak! Tapi masa
engkau tak mengenal warna pakaian seperti
ini...!" si gadis bertopeng menunjukkan robekan kain berwarna kuning kemerah-
merahan bekas noda darah. "Tidak jugakah kau mengenal pakaian yang
sama dengan warna pakaianmu...!"
Bergetar tubuh Ki Luwuh demi melihat ke-
nyataan ini. Sama sekali dia tiada menduga kalau saudaranya Pramesta telah tewas
di tangan perempuan itu. Hal ini merupakan satu kesalahan
bagi si gadis bertopeng yang mungkin tak akan
dapat diampuni oleh Ki Luwuh.
"Kau telah melakukan kesalahan yang san-
gat besar di sarang macan. Bahkan jiwamu sendi-
ri rasanya tidak cukup untuk membayar hutang
nyawa saudaraku...!" kata Ki Luwuh dengan suara gemetaran.
"Hi...hi...hi...! Segala macan ompong mau
bertingkah di depanku. Tunggu apalagi maju-
lah...!" tantang si gadis bertopeng.
"Karena engkau hendak mampus, maka
kuberi kesempatan padamu untuk menyerangku
terlebih dahulu...!" tukas laki-laki itu dengan sesungging senyum licik.
"Huh. Kau pikir aku dapat dikelabui begitu
saja! Di depanmu kuketahui terdapat sebuah je-
bakan yang dapat memanggang tubuhku hidup-
hidup. Orang lain mungkin bisa kalian kelabui
dengan perangkap babi hutan yang kalian pa-
sang, tetapi tidak demikian halnya dengan aku...!
Kalau kau punya keberanian, majulah...!"
"Keparaat...!" maki laki-laki itu merasa ma-lu hati. "Rupanya kau seekor kunyuk
betina yang begitu cerdik. Heaaaa...!"
Dengan disertai sebuah jeritan tinggi me-
lengking yang terasa menggetarkan buluh darah.
Tubuh Ki Luwuh melesat mendekati si gadis ber-
topeng. Saat itu juga dia kembali menyambitkan
senjata rahasianya. Tapi tak kalah gesitnya tubuh si gadis melentik ke udara
setinggi tiga tombak.
Serangan senjata rahasia yang dilakukan oleh Ki
Luwuh kembali menemui sasaran kosong. Tapi
laki-laki berpakaian kuning yang sudah di bakar
hawa amarah ini, tidak diam sampai di situ saja.
Sekali lagi dia sambitkan senjata rahasianya.
Dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu
meringankan tubuh gadis bertopeng inipun masih
mampu menghindari serangan ganas yang da-
tangnya bertubi-tubi.
"Habiskan senjata rahasia yang berada di
dalam kantongmu itu, kunyuk kuning. Tiga Han-
tu Lembah Neraka jika maju satu persatu tidak
ada apa-apanya...!" ejek gadis itu nampak pula mulai mendekati lawannya.
Pertarungan jarak
dekatpun dalam waktu dua jurus selanjutnya se-
gera terjadi. Kali ini si gadis bertopeng sudah pula mencabut pedang tipis dari
balik jubahnya. Pedang itu langsung menderu dan timbulkan suara
bercuitan manakala si gadis bertopeng mengge-
rakkan ke segala penjuru dengan kecepatan yang
sangat luar biasa. Sinar pedang yang putih meng-
kilat nampak bergulung-gulung mendesak ke
arah lawannya. Sebagai tokoh sesat yang sudah
berpengalaman, sudah tentu Ki Luwuh tidak
menjadi gugup karenanya. Dengan cepat pula dia
mencabut senjatanya yang berupa gading gajah
berujung runcing dan mengandung racun ganas.
Segera setelah senjata andalan tokoh sesat itu berada di tangannya, maka tak
kalah hebatnya. Ki
Luwuh langsung mencecar lawannya dengan
mempergunakan jurus silatnya yang dipenuhi
dengan tipu-tipu dan kelicikan.
Weeer....! Traaak...! Pedang dan gading gajah di tangan Ki Lu-
wuh beradu, dua-duanya nampak terhuyung-
huyung. Tapi nampaknya Ki Luwuh tiada menghi-
raukan rasa nyeri yang menyerang bagian tangan
dan dadanya. Bagai dirasuki setan gila, orang kedua dari Tiga Hantu Lembah
Neraka itupun kem-
bali melakukan serangan yang lebih gencar lagi.
Melihat kenekatan lawannya, sejenak si Gadis
Bertopeng nampak terperangah. "Gila orang yang satu ini benar-benar memiliki
kepandaian dan tenaga dalam yang tangguh. Padahal aku tadi telah
mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang
kumiliki. Kalau aku tidak cepat-cepat mempergu-
nakan akal untuk melumpuhkannya, cepat atau
lambat, jangan-jangan aku sendiri yang akan di
jatuhkannya." gumam si Gadis Bertopeng. Berpikir sampai sejauh itu, perempuan
ini kemudian melepaskan selendang yang melilit di pinggang-
nya. Dengan bantuan senjata ini, jurus demi ju-
rus si Gadis Bertopeng nampak mulai menguasai
keadaan. Sekali dua selendang di tangan kirinya me-
lecut ke arah bagian kaki, perut, dada serta ba-
gian kepala lawannya. Saat mana selendang di
tangannya berhasil dihalau oleh lawan, pada saat itu pedang tipis di tangan
kanannya meluncur deras menusuk kebagian perut Ki Luwuh. Tentu sa-
ja laki-laki setengah baya ini semakin lama semakin keteter. Sangat jarang
sekali dia mampu
membalas serangan-serangan gencar lawannya,
selain bertahan dan menghindari setiap serangan
yang datang. "Manusia yang berjuluk Tiga Hantu Lem-
bah Neraka, kulihat cuma kau seorang saja yang
menghadapi aku, ahk... cepatlah kau panggil ka-
wanmu! Andai tidak dalam waktu sekejap lagi
engkau benar-benar sendirian berangkat ke nera-
ka...!" teriak si Gadis Bertopeng.
"Jangan banyak bacot! Aku akan mengadu
jiwa denganmu...!" geram Ki Luwuh.
Akhirnya tanpa menghiraukan keselama-
tan dirinya lagi. Orang inipun menerjang si Gadis Bertopeng dengan sabetkan
senjatanya dan hantamkan satu pukulan di bagian dada lawannya.
"Wuees...!"
"Eiiit...!"
Sabetan senjata berhasil dielakkan dengan
manis oleh si Gadis Bertopeng. Namun pukulan
ganas yang mengarah pada bagian dada tidak da-
pat dihindarkan lagi.
"Deeeess...!"
"Gusraaak...!"
Tubuh si gadis tersungkur mencium tanah.
Perempuan itu merasakan dadanya terasa me-
nyesak dan sulit untuk bernafas, tetapi bukan itu sesungguhnya yang membuat
wajahnya menjadi
merah padam. Dia menjadi sangat marah karena
salah satu bukit kembarnya kena dipukul oleh
lawan 9 Baginya hal itu merupakan satu penghi-
naan yang sangat sulit untuk diampuni. Laki-laki berpakaian kuning walau dengan
cara bagaimanapun harus dibunuh. Hanya itulah yang ada di
dalam hatinya. Sementara yang menjadi lawannya
nampak tergelak-gelak.
"Ha...ha...ha...! Ternyata kau bukan nenek-
nenek! Aku yakin kau masih perawan tulen...!"
kemarilah bocah manis, lebih baik kita bermesra-
mesraan saja. Tak perlu saling bunuh dan saling
menyakiti! Tahukah kau sorga dunia itu indah
sekali...!" kata Ki Luwuh, menggoda. Semakin berkobarlah amarah di hati.
"Keparaat! Tua bangka tak tahu adat, kau
benar-benar akan menyesal...!"
"Hihh...!"
Dalam puncak kemarahannya, gadis berto-
peng ini seolah telah berubah menjadi seorang
dewi pembunuh yang menakutkan. Tenaganya
berlipat ganda, sedangkan setiap serangannya
mengandung hawa membunuh yang tiada terpe-
rikan. Sekali lagi, Ki Luwuh kerepotan sete-ngah tiada berdaya membendung laju
serangan lawannya yang semakin menggila. Begitupun dia masih
tetap berusaha menghindari serangan si Gadis
Bertopeng. "Huh..!"
Perempuan itu lecutkan selendang maut-
nya. Serangan kilat itu masih dapat di tangkis
oleh lawannya. Namun tidak demikian halnya
dengan tusukan pedang yang datang menyusul.
"Jroooss...!'
Pedang tipis yang dapat berubah kaku lak-
sana plat baja itu menembus bagian perut Ki Lu-
wuh sampai ke bagian punggung. Tidak sampai di
situ saja, dengan cepat si Gadis Bertopeng cepat-cepat mencabut pedang yang
menancap di bagian
perut lawannya. Selanjutnya pedang yang berlu-
muran darah itu diayunkannya ke arah bagian
leher lawannya.
"Craaak...!"
Kepala Ki Luwuh jatuh menggelinding di
atas tanah berumput hijau. Darah menyembur
dari bekas tebasan senjata milik si Gadis Berto-
peng. Tak dapat di cegah lagi tubuh yang sudah
tiada berkepala itupun ambruk dengan menim-
bulkan suara berdebum.
"Ah... mengapa sekarang aku menjadi ma-
nusia sekeji ini" Biarlah. Tokh mereka merupa-
kan biang penyakit yang dapat menimbulkan ke-
sulitan kelak di kemudian hari...!" desah gadis itu. Sejenak setelah
menyarungkan senjata pada
tempatnya, Gadis Bertopeng mengitarkan pan-
dangan matanya ke sekelilingnya.
"Hemm. Mungkin di sanalah gua tempat
bersembunyinya pimpinan Tiga Hantu Lembah
Neraka. Aku harus mencari tahu apa yang di per-
buat oleh dedengkot Tiga Hantu Lembah Neraka
di tempat itu." batin perempuan itu. Saat-saat selanjutnya sambil menghindari
jebakan-jebakan
yang ada si Gadis Bertopeng inipun melangkah-
kan kakinya mendekati gua yang dia perkirakan
sebagai tempat bersembunyinya pentolan peng-
huni Lembah Neraka.
Tak sampai sepemakan sirih, gadis itupun
telah sampai di mulut gua. Suasana di luar mau-
pun di dalam gua itu teras sepi dan lengang. Si
Gadis Bertopeng menunggu beberapa saat la-
manya. Tiada tanda-tanda sesuatu apapun yang
mencurigakan. Namun dia tetap mengintip situasi
di dalam gua. Seisi ruangan gua nampak terang
benderang. Namun dia tak melihat siapapun di
dalam ruangan gua yang berhawa lembab.
"Mungkin pentolan Tiga Hantu Lembah Ne-
raka berada di ruangan lain di dalam gua ini. Ada baiknya aku mulai meneliti
keadaan di dalam sa-na...!" batin si Gadis Bertopeng. Lalu dengan cara merangkak
diapun mulai menelusuri lorong gua
yang sangat panjang ini. Ketika sampai di tengah-tengah ruangan, si Gadis
Bertopeng masih belum
melihat adanya tanda-tanda orang lain berada di
tempat itu. Gadis ini lalu merangkak lebih jauh
lagi ke dalam. Barulah di ujung lorong, dia melihat sesosok tubuh tergeletak
diatas sebongkah
batu. Melihat keadaan dan pakaian yang dikena-
kannya, si Gadis Bertopeng dapat memastikan la-
ki-laki berpakaian kuning itu pastilah dedengkot Tiga Hantu Lembah Neraka.
Tetapi mengapa laki-laki itu dalam keadaan terkapar seolah tanpa
nyawa itulah yang tidak dimengerti olehnya. Me-
rasa penasaran si Gadis Bertopeng segera mende-
kati tokoh sesaat yang tergeletak di atas batu.
Ketika sampai di dekat tubuh si laki-laki
berpakaian kuning, memucatlah wajahnya demi
melihat tubuh yang dalam keadaan terkapar itu
sudah tiada bernyawa lagi. "Apa yang membuat laki-laki ini binasa, secara pasti
aku belum me-ngetahuinya. Tapi, eee...Geluk Emas yang ter-
campak di bawah batu itu mengeluarkan uap
berwarna putih...! Pastilah benda itu mengan-
dung racun yang sangat ganas. Heh persetan
dengan mayat orang ini, aku harus cepat-cepat
menyelamatkan benda ini dan menyerahkannya
pada yang berhak...!" kata si Gadis Bertopeng.
Beberapa saat kemudian setelah menutup per-
napasannya. Maka si Gadis Bertopeng yang telah
begitu mengenal berbagai benda beracun dari gu-
runya. Segera pula mengambil benda itu, lalu
membungkusnya dengan selembar kain yang ter-
geletak di depan mayat tokoh Tiga Hantu Lembah
Neraka. "Geluk Emas ini benar-benar sangat ber-
bahaya bagi setiap orang yang tidak tahu banyak


Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang seluk beluk berbagai macam racun." Akhirnya dengan membawa Geluk Emas
dalam bungkusan yang telah diaturnya sedemikian ru-
pa, maka si Gadis Bertopeng segera keluar me-
ninggalkan gua yang berhawa lembab. Secara per-
lahan namun cukup pasti gadis ini mulai menuju
jalan yang di telusurinya tadi.
**** Menelusuri jalan setapak, Buang Sengketa
maupun Nyai Pamekasan sama-sama saling diam.
Nampaknya mereka sama-sama tenggelam dalam
pikiran masing-masing. Mungkin mereka menya-
dari, mencari jejak Tiga Hantu Lembah Neraka
ternyata merupakan pekerjaan yang sulit dan ti-
dak setiap orang bersedia menunjukkan tempat
kediaman tiga tokoh misterius tersebut. Dalam
udara kemarau yang membuat tubuh serasa ba-
gai di bakar itu, secara mendadak, pendekar dari Negeri Bunian ini berkata pada
Nyai Pamekasan tanpa menoleh sedikitpun juga.
"Sahabat tua! Sampai kapan kita saling
membisu dan menelusuri jalan yang tiada beru-
jung ini...!"
"Apakah kau sudah merasa bosan berjalan
dengan seorang nenek sepertiku?" tiada terduga, Nyai Pamekasan balik bertanya.
Mendapat pertanyaan seperti itu, si pemuda membuang pandan-
gan matanya ke arah lain.
"Coba kau jawab pertanyaanku, sahabat
muda...!" Tiba-tiba si pemuda tergelak-gelak, lalu ga-
ruk-garuk kepalanya yang tiada bertopi.
"Engkau terlalu berperasangka yang bu-
kan-bukan, kawan...! Yang menjadi beban piki-
ranku saat ini bukanlah tentang seorang nenek-
nenek berjalan denganku, aku tak perduli dengan
semua itu. Asalkan engkau tidak minta gendong
denganku, itu saja telah membuatku lega. Tapi
yang kupikirkan selama beberapa hari ini adalah
tentang geluk milikmu yang telah dilarikan oleh
Tiga Hantu Lembah Neraka...!"
"Huh, mengapa harus pusing memikirkan
segala persoalan yang belum kita ketahui ujung-
nya. Yang terpenting pencarian itu harus kita lakukan terus, sampai kita
mendapatkannya kem-
bali...!" "Mencari sesuatu yang tidak mempunyai tujuan yang pasti, lama-lama
kita bisa semakin
tua dalam perjalanan...!" dengus Buang Sengketa merasa kesal melihat ulah Nyai
Pamekasan yang tidak pernah bersungguh-sungguh dalam setiap
kali diajak berbicara.
"Kurang asem! Kau malah menyindirku...!"
"Menyindir apa...?" tanya Buang Sengketa tiada mengerti.
"Aku memang sudah tua bangka, tapi tidak
nantinya aku merengek minta kau gendong. Pula
cepat atau lambat Geluk Emas pasti segera kem-
bali pada yang berhak, yaitu aku. Ya... aku-lah
pemiliknya yang sah, bukan kau...!" cibir Nyai Pamekasan salah terima.
"Kau pikir aku mau mengangkangi milik
orang lain, seandainya kau berikan geluk itu pa-
daku. Akupun pasti tak mau menerimanya...!"
"Akupun tak akan memberikannya pada-
mu! Kau bisa berbuat apa...?"
"Bicara sama orang sinting, memang tak
pernah menyenangkan. Mungkinkah karena ke-
matian murid tunggalnya itu, sekarang dia beru-
bah" Padahal waktu aku berjumpa dengannya
pada beberapa purnama yang lalu, sikapnya tak
seburuk ini. Mungkin malah lebih baik lagi kalau aku tak bicara apa-apa
padanya...!" lagi-lagi pemuda itu membatin.
"Hei... mengapa kau secara mendadak
hanya diam saja" Apakah sekarang ini otakmu
sedang mencari jalan untuk mengakaliku..." Ti-
dak bisa... tidak bisa...! Aku mana mungkin dapat kau akali." cibir Nyai
Pamekasan dengan sikap konyol. "Sssst...! Diamlah... aku merasakan seperti ada
orang lain yang terus menguntit kita...!" kata si pemuda begitu lirih.
Nyai Pamekasan sebaliknya malah terge-
lak-gelak. Tubuhnya yang kurus kerempeng itu
bahkan sampai terguncang-guncang. Beberapa
saat setelah hentikan tawanya.
"Kau pikir hanya engkau saja yang tahu,
bahwa kita sejak tadi di kuntit oleh sepasang tikus geblek. Cuma aku memang
sengaja diam sa-
ja, agar mereka tahu apa yang kita bicarakan...!"
kata perempuan berusia lanjut ini dengan suara
sengaja dikeraskan.
"Sekarang mereka telah mendengar semua-
nya! Lebih baik kita tangkap mereka, siapa tahu
tikus-tikus yang bersembunyi itu termasuk orang
yang kita curigai." Kata si pemuda. Lalu dengan mempergunakan pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Pemuda ini hantamkan tangannya ke arah
semak-semak. Tak ayal lagi serangkum gelom-
bang Sinar Ultra Violet menderu ke arah sasaran-
nya. "Breeees...! Gusraaak..,!" Sebelum pukulan jarak jauh itu mencapai
sasarannya, maka nampak dua sosok tubuh berlompatan dari tempat
persembunyiannya. Orang itu terdiri dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Yang laki-laki
berusia beberapa tahun lebih muda dari perem-
puan yang ada di sebelahnya. Buang Sengketa
nampaknya memang tidak mengenali siapa
adanya dua orang ini. Tapi tidak begitu nampak-
nya dengan Nyai Pamekasan. Begitu melihat ke-
hadiran orang-orang ini, Nyai Pamekasan lang-
sung berubah sinis.
"Hik...hi,..hi...! Selamat bertemu lagi, musuh yang pernah menjadi
pecundangku....!"
"Huh. Kali ini kau kan segera mampus di
tanganku, sobat...! Aku harus membayar kekala-
hanku di masa lalu...?" dengus perempuan berpakaian merah darah yang tak lain
dan tak bukan Sumbadra dan saudara seperguruannya yang
bernama Wicak Sono.
"Kudengar empat orang saudara lima datuk
sesat Bukit Bontang telah tewas di tangan Tiga
Hantu Lembah Neraka karena berebut Geluk
Emas yang sesungguhnya merupakan milikku.
Apakah itu benar, manusia cacingan dari Pulau
Angsa...?" ejek Nyai Pamekasan sengaja me-
manas-manasi lawannya. "Bukan tidak mungkin kali ini kalian datang lagi hanya
ingin memperoleh Geluk Emas yang dilarikan oleh Tiga Han-
tu Lembah Neraka. Aha... memalukan sekali, seo-
rang pecundang masih punya muka berhadapan
dengan Nyai Pamekasan...!"
Gusar bukan main hati Wicak Sono mau-
pun Sumbadra, menghadapi tuduhan Nyai Pame-
kasan mereka tak ubahnya bagai dua ekor mo-
nyet yang ditunjuk hidung. Bagaimana tidak! Nyai Pamekasan tanpa mereka duga
telah mengetahui
tujuan mereka yang sesungguhnya Padahal saat
meninggalkan Pulau Angsa mereka berharap su-
paya dapat memperoleh Geluk Emas itu, baru
kemudian mencari Nyai Pamekasan yang pernah
membuatnya menjadi pecundang. Tapi apa boleh
buat, sungguhpun mereka masih belum menda-
patkan Geluk Emas itu. Kini dengan sangat ter-
paksa mereka harus berhadapan dengan musuh
besarnya. "Kau benar-benar telah menghinaku, tikus
busuk...! Bicaramu setinggi langit. Seolah di dunia ini hanya engkau saja yang
memiliki kepan-
daian tiada terkalahkan!"
"Kenyataannya dulu kau pernah menjadi
pecundangku, bukan...?" ejek Nyai Pamekasan.
Sejenak dia melirik kearah Buang Sengketa yang
sejak tadi hanya diam saja. Namun setelah itu dia kembali pada Sumbadra dan
Wicak Sono. 10 "Kali ini kedatanganmu ke dunia ramai tak
lain pastilah ingin mendapatkan Geluk Emas
yang sesungguhnya bukan milikmu...!" kata Nyi Pamekasan lebih jauh. Mendapat
sindiran secara
terus menerus, membuat Sumbadra maupun Wi-
cak Sono menjadi panas hatinya.
"Keparat! Beberapa tahun yang lalu engkau
memang boleh unjuk gigi di depanku. Tetapi tidak untuk saat ini. Kau benar-benar
harus membayar hutang lama dulu, Nyai Pamekasan...!" geram Sumbadra.
"Orang itu bicaranya kacau sahabat tua...!
Mungkin orang sinting sedang mabok berat. Apa-
kah mereka ini merupakan musuh-musuhmu...?"
tanya Buang Sengketa yang sedari tadi hanya di-
am saja. "Tak salah, cacing betina yang kurus ker-
ing itu memang musuh bebuyutanku, sedangkan
kunyuk satunya, pastilah merupakan kambratnya
si cacing kurus"
Sebentar Buang Sengketa memperhatikan
Sumbadra dan Wicak Sono silih berganti.
"Sebaiknya kita pergi saja, kita tak perlu
melayani orang-orang sinting seperti mereka...!"
ujar si pemuda dengan suara dikeraskan.
"Bocah gembel! Kalau kau takut berurusan
dengan kami, sebaiknya cepat-cepatlah menying-
kir. Nyai Pamekasan punya hutang yang harus di-
lunasinya hari ini juga...!" bentak Sumbadra semakin bertambah gusar.
"Oh begitu...! Seberapa banyakkah kawan-
ku mempunyai sangkut paut hutang denganmu?"
"Bangsat! Kawanmu punya hutang den-
ganku sebanyak darah yang mengalir di tubuhnya
dan tubuhmu...!"
"Kalau begitu akupun akan membantu me-
lunasi hutang-hutangnya...!" geram Buang Sengketa. "Adik Wicak Sono! Bunuh pemuda
itu...!" perintah Sumbadra. Dia sendiri akhirnya segera
menyerang Nyai Pamekasan dengan jurus-jurus
silat yang baru saja diciptakannya. Tak pelak lagi pertempuran sengitpun segera
terjadi antara dua
musuh bebuyutan yang sama-sama memiliki wa-
tak yang sangat aneh.
Sementara itu, Pendekar Hina Kelana
nampaknya tak memberi hati pada Wicak Sono
yang menyerang dirinya dengan jurus-jurus pe-
dang andalan. Begitu sebat senjata di tangan
sang lawan berkelebat. Mata pedang yang sangat
tajam itu mengincar setiap bagian tubuh si pe-
muda. Dengan mempergunakan jurus Memben-
dung Gelombang Menimba Samudra dan jurus si
Gila Mengamuk. Sejauh itu Buang masih mampu
menghindari setiap sabetan maupun tusukan
senjata di tangan lawannya. Namun nampaknya
semakin lama Wicak Sono semakin meningkatkan
daya serangnya. Dengan tenaga yang sengaja dili-
pat gandakan, lawan berusaha terus mendesak si
pemuda. Begitu banyak variasi jurus pedang yang
dimiliki oleh Wicak Sono. Hingga terkadang mem-
buat lawannya jadi tertipu dalam menghindari da-
tangnya serangan.
"Hiaaat..."
Satu tendangan telak dilakukan oleh Wicak
Sono, tubuh Buang Sengketa melompat setinggi
setengah tombak ke udara. Namun pada saat itu,
pedang di tangan lawannya menderu ke arah ba-
gian pahanya. Dalam keadaan mengambang se-
perti itu sudah dapat diduga pemuda ini menga-
lami kesulitan untuk menghindar lebih jauh lagi.
Akibatnya... "Creees! Breebet...!"
"Auuughh...!"
Pangkal paha si pemuda mendapat luka
yang cukup dalam akibat sambaran pedang di
tangan lawannya. Begitu dia menjejakkan kakinya
di atas permukaan tanah, tubuhnya langsung
terhuyung-huyung. Darah semakin banyak yang
mengalir dari luka memanjang di bagian kakinya
ini. Tapi lawannya yang sudah merasa mendapat
angin nampaknya tak ingin bertindak setengah-
setengah. Wicak Sono kembali mendesak si pe-
muda dengan tusukan maupun babatan senja-
tanya. "Hiiiiik...!"
Dalam keadaan terdesak seperti itu, tiba-
tiba Buang Sengketa mengeluarkan lengkingan
ilmu Pemenggal Roh. Tanah tempat mereka ber-
pijak tergetar hebat. Gendang-gendang telinga
seakan-akan terkoyak bahkan mereka yang bera-
da di sekitar tempat itu merasakan dadanya men-
jadi sesak dan nyeri. Andai saja mereka yang terlibat dalam pertarungan itu
tidak memiliki tenaga dalam yang kuat. Dapat diduga sejak tadi pastilah
mereka terkapar dengan jiwa melayang. Sung-
guhpun begitu, baik Nyai Pamekasan maupun
Sumbadra dan Wicak Sono nampak terperangah
untuk sesaat lamanya. Sama sekali mereka tiada
menyangka kalau pemuda yang mereka anggap
hanya memiliki ilmu kepandaian biasa-biasa saja
ternyata punya kepandaian yang sulit untuk di-
ukur. ''Sobat! Pedangmu mengandung racun yang
sangat keji sekali. Hah... andai aku tak kebal
dengan berbagai jenis racun, mungkin aku telah
mampus sejak tadi...! Atas kekejian racun pada
senjatamu itu, terimalah ini...!"
Wuuuuus...! Selarik sinar berwarna merah menyala dan


Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimbulkan rebawa panas tiada tertahankan
nampak melesat dari telapak tangan Buang Seng-
keta. Tak salah lagi, saat itu kiranya si pemuda telah melepaskan pukulan si
Hina Kelana Merana. Melibat datangnya pukulan yang begitu cepat, Wicak Sono
nampak terperangah. Tapi dia tak
mungkin menunggu lebih lama lagi. Lalu laki-laki bertubuh gemuk inipun memutar
pedangnya membentuk pertahanan diri.
Blaaam...! Terdengar satu dentuman keras saat mana
pukulan yang dilepaskan oleh Buang Sengketa
membentur pertahanan Wicak Sono. Tubuh laki-
laki setengah baya itu terbanting roboh. Sebagian tubuhnya langsung menghitam
akibat sambaran
pukulan yang begitu panas. Tapi sungguh luar
biasa daya tahan lawannya. Sungguhpun dia te-
lah terluka parah akibat benturan pukulan tadi.
Namun cepat-cepat dia bangkit kembali. Dengan
mengeram marah, Wicak Sono langsung mener-
jang. "Kau benar-benar nekad! Akupun tak akan segan mengirimmu ke neraka...!"
berkata begitu Buang Sengketa langsung mencabut senjata andalannya.
"Nguuuuung...!"
Terdengar suara mendengung bagai auman
harimau terluka saat senjata si pemuda tercabut
dari sarungnya. Udara di sekitar tempat itu men-
dadak berubah menjadi dingin luar biasa. Golok
di tangan si pemuda nampak memancarkan sinar
merah menyala. Terperangahlah mereka yang be-
rada di tempat itu, begitu melihat senjata yang
berada dalam genggaman si pemuda.
"Pendekar Golok Buntung...!" desis Wicak Sono dengan suara yang hampir-hampir
tak ke-dengaran.
"Adi Wicak Sono, berhati-hatilah kau
menghadapi pemuda itu! Dia lebih berbahaya dari
lawan manapun...!" teriak Sumbadra mempe-
ringati. "Segala-galanya sudah terlambat, sobat...!
Hiaaaaa...!"
Buang Sengketa langsung babatkan senja-
ta mautnya ke arah Wicak Sono. Sementara dari
sela-sela bibirnya keluar bunyi mendesis bagai
seekor raja piton yang sedang dilanda kemarahan.
Tubuh pemuda itu terus berkelebat lenyap, hanya
terasa sambaran angin yang begitu kencang, me-
nandakan bahwa pemuda itu sedang berusaha
mencari sela yang tepat untuk segera mengakhiri
pertempuran. "Ciaaat..."
Traaang...! Begitu senjata Wicak Sono membentur sen-
jata di tangan lawannya, maka senjata itu hancur berkeping-keping dilanda
sambaran golok di tangan Buang Sengketa. Semakin bertambah pucat
wajah laki-laki berusia setengah baya ini, tapi si pemuda nampaknya tak ingin
bertindak tanggung-tanggung lagi. Sekali lagi andalannya me-
nyambar ke arah bagian leher lawan.
Nguuung...! Craaas...!
Terdengar bagai suara kerbau disembelih,
saat mana senjata di tangan Buang Sengketa ber-
hasil mencapai sasaran. Darah nampak me-
nyembur dari luka yang menganga. Tubuh Wicak
Sono nampak limbung kemudian ambruk di atas
tanah berdebu. Kejadian itu kiranya tak terlepas dari perhatian Sumbadra, dia
nampak terkejut
sekali melihat kejadian yang begitu cepat. Diluar sepengetahuannya. Kelengahan
yang hanya sekejap itu dipergunakan oleh Nyai Pamekasan untuk
menyambitkan tongkatnya. Dengan sekuat tenaga
yang dimilikinya.
"Hihh...!"
Jroooot...! Tongkat yang berujung runcing itupun
langsung menembus tubuh Sumbadra.
"Keparaaat...! Kau manusia pengecut...!"
maki Sumbadra sambil mendekap perutnya yang
mengalirkan banyak darah.
"Hi...hi...hi...! Mestinya aku bersikap seperti seorang ksatria...! Tapi karena
dosa-dosamu terlalu besar. Maka terlalu sulit bagiku untuk me-ngampunimu, nih makanlah...!"
Tanpa perasaan Nyai Pamekasan lepaskan
satu pukulan jarak jauh. Serangkum sinar ber-
warna Biru menderu dan langsung menghajar tu-
buh Sumbadra. Perempuan bertubuh kurus itu
terjengkang roboh, berkelojotan sebentar, lalu di-am untuk selama-lamanya.
"Kau terlalu telengas, sobat tua...!" kata si pemuda datang menghampiri.
"Kuya! Mengapa kau perdulikan musuh be-
buyutanku, sudah selayaknya dia mati...!"
"Tapi sikapmu...!"
"Kau mau apa pendekar Golok Buntung...!
Hik...hik...hik...! Apakah kau masih ingin mera-
hasiakan tentang siapa dirimu yang sesung-
guhnya...?" bentak Nyai Pamekasan dengan mata melotot.
"Sama sekali tidak! Aku cuma tidak ingin
mengagul-agulkan nama, cuma itu saja" ujar si pemuda kaku.
"Baik! Nah sekarang kita harus kemana...?"
Sesaat Buang Sengketa terdiam, tapi begitu
teringat tentang Geluk Emas.
"Kita harus menemukan Geluk Emas itu
secepatnya...!"
"Tapi bagaimana dengan pengintip yang sa-
tunya lagi...!" kata Nyai Pamekasan lalu memandang ke satu arah. Belum lagi
sempat Buang Sengketa berkata apa-apa. Dari kerimbunan se-
mak-semak, muncul sesosok tubuh ramping ber-
topeng biru. Buang Sengketa nampak terkejut
bukan alang kepalang demi melihat kehadiran si
perempuan bertopeng. Entah mengapa tiba-tiba
hatinya bergetar.
"Kau hendak lari ke mana lagi, pendekar
Golok Buntung...?" tanyanya dengan suara bergetar. "Kalian tentu mencari Geluk
Emas yang telah banyak menimbulkan banyak korban itu...!"
"Kau lagi...!"
Tanpa menghiraukan ucapan si pemuda, si
gadis bertopeng mengambil buntalan yang berada
di pinggangnya.
"Geluk Emas! Hei... cepat serahkan...!" teriak Nyai Pamekasan begitu melihat
buntalan be- sar tergenggam di tangan si gadis bertopeng.
"Susah payah aku mengambilnya dari tan-
gan Tiga Hantu Lembah Neraka, semudah itukah
anda mau memintanya...!" kata si gadis penuh teguran. "Aku tidak perduli, cepat
serahkan benda itu...!" perintah Nyai Pamekasan.
"Kalau anda ingin mengambilnya, nih...!"
dengan mempergunakan sebagian tenaga da-
lamnya, si gadis bertopeng lemparkan bungkusan
di tangannya jauh-jauh.
"Sobat tua! Kejar benda itu jangan sampai
terjatuh ke tangan orang lain...!" kata Buang Sengketa.
"Si bangsat bertopeng ini benar-benar ingin mengerjaiku...!" maki Nyai Pamekasan
lalu me-ngejar Geluk Emas yang masih terus melayang
menjauh. Kini yang tinggal di tempat itu hanya
Buang Sengketa dan si gadis bertopeng saja. Me-
reka saling berhadap-hadapan.
"Sekian tahun aku mencari-carimu! Dan
kau seorang pembohong besar...!" kata si gadis bertopeng dengan suara lirih.
"Siapakah engkau! Aku tak pernah mem-
punyai persoalan denganmu! Cepatlah katakan,
tiada waktu bagiku untuk berlama-lama di si-
ni...!" ujar si pemuda dengan hati berdebar-debar. Dengan sendu dan suara
tersendat: "Aku punya hutang nyawa, budi dan segala
sesuatu yang tak mungkin dapat kubalas. Selama
ini hidupku terlalu menderita, yang ku mau ki-
ranya sudilah engkau membunuhku...!"
"Apakah kau sudah gila...?"
"Aku tak pernah gila, paman Kelana! Eng-
kaulah yang membuatku hampir gila...!" kata si gadis, lalu terisak-isak.
"Paman Kelana! Hemm. Hanya dia seorang
yang memanggilku begitu selama ini, mung-
kinkah dia...!" batin si pemuda dengan bibir bergetar. Tanpa berkata apa-apa
lagi, gadis itu membuka topengnya. Begitu Buang Sengketa melihat
wajah di balik topeng itu, sepasang matanya
membelalak. "Wanti...!" seru pemuda itu. Selanjutnya Buang Sengketapun langsung memeluk
gadis yang selama ini selalu membayangi pikirannya.
"Kau masih mengenalku...!" kata si gadis bertopeng yang tak lain Wanti Sarati
adanya. "Ah...ak...! Aku bahkan tak mampu melu-
pakanmu! Itu sebabnya aku tak pernah datang ke
kediaman Satria Penggali Kubur, gurumu... kare-
na... karena...!"
"Karena apa...?" tanya gadis berwajah cantik dan keibuan itu terus mempererat
pelukan- nya. "Karena aku mengira bahwa kau telah
menjadi milik orang lain..,!"
"Paman pikir aku mampu melupakanmu
begitu saja, tahukah paman selama ini aku sering merindukan kehadiranmu...!"
"Akupun begitu...!"
"Sayangkah paman kepadaku...!" tanya
Wanti Sarati. "Rasanya itu tak kujawab...!"
"Paman...!"
Desah si gadis dengan wajah menengadah,
Buang Sengketa tetap diam. Tetapi wajahnya se-
makin lama semakin menunduk, mendekat ke
wajah Wanti Sarati. Cinta terkadang memang tak
bermula. Hanya mereka saja yang dapat merasa-
kan gejolak apa yang sedang terjadi di dalam diri masing-masing. Beberapa saat
bibir merekapun
saling bersentuhan, begitu mesra pendekar dari
Negeri Bunian ini menciumi wajah Wanti Sarati.
Gadis berwajah cantik itupun merintih manja.
Tapi begitu tersadar merekapun sama-sama me-
lepaskan pelukannya.
"Mari kita pergi, kekasih...!" desah si pemuda, lalu tersenyum cerah.
Tamat Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Kaki Tiga Menjangan 35 Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Rahasia Kampung Garuda 8
^