Pencarian

Iblis Pemburu Wanita 2

Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita Bagian 2


pertarungan kalian dengan Penguasa Lembah Hantu."
Selir Pamujan segera ingat peristi-
wa itu. Bayangan pemuda tampan yang kala itu berada di belakang Resi Murang
Sarak, kini muncul lagi dalam ingatan Selir Pamujan. Ia mengakui, memang pemuda
itu yang ada di belakang Resi Murang Sarak.
"Hmmm... ya, aku ingat peristiwa itu. Kala itu gurumu telah membantu pertarungan
kami melawan Penguasa Lembah Hantu, sehingga Penguasa Lembah Hantu melarikan
diri." "Syukur kalau kau masih ingat peristiwa tiga tahun yang lalu itu," ujar Bima
Sura dengan sunggingkan senyum makin menggoda. Tapi senyuman itu justru memua-
kkan bagi Selir Pamujan, karena hati gadis itu masih terpaut pada kenangan manis
bersama Soka Pura.
"Lalu apa maumu menemuiku di perja-
lanan ini"!" tanya Selir Pamujan masih bernada ketus.
Bima Sura kian melebarkan senyum.
Pandangan matanya semakin tampak kurang ajar, ia melangkah lebih dekat lagi
hingga jaraknya dengan Selir Pamujan hanya dua langkah.
"Aku Ingin menagih upah pertolongan guruku waktu itu."
"Upah apa"! Tak ada upah yang di-janjikan oleh mendiang guruku kala itu!"
tegas Selir Pamujan semakin menangkap ge-lagat tak beres dalam hati pemuda itu.
"Hanya sebuah kecupan, barangkali sudah cukup sebagai upah menyelamatkan nyawamu
kala itu!"
"Lancang sekali mulutmu!" geram Selir Pamujan. Lalu tiba-tiba tangannya
berkelebat menampar wajah Bima Sura.
Teeb...! Tangan itu langsung di tangkap oleh Bima Sura sambil sunggingkan senyum
makin menjengkelkan.
Selir Pamujan heran melihat kecepatan tamparan tangannya berhasil ditangkap oleh
Bima Sura. Padahal semestinya kecepatan tangan itu tidak bisa dilihat dengan
mata telanjang, karena ia menggunakan jurus 'Tamparan Petir' yang selain cepat
juga dapat menghanguskan wajah orang yang di tampar.
"Kau tak akan berhasil menamparku, walau aku tahu kau telah kuasai jurus
'Petir' yang merupakan jurus langganan gurumu jika hadapi la wan pertama
kalinya," ujar Bima Sura.
Selir Pamujan tidak tanggapi ucapan itu. Namun tiba-tiba tangan yang satu
menotok dada kekar Bima Sura dengan kecepatan gerak yang sukar dilihat lawan.
Wuuutt. baahk...!
"Auuhk...!" Bima Sura terpental mundur dan terhuyung-huyung, akhirnya jatuh juga
walau dengan satu kaki berlutut.
"Kau kira mudah mendapatkan satu kecupan dariku"! Kecuplah telapak kakiku ini!
Heaaah...!"
Selir Pamujan melompat dan kakinya
menendang kepala Bima Sura yang masih berlutut satu kaki itu. Wuutt...! Kepala
Bima Sura cepat merunduk nyaris menyambar tanah, lalu tiba-tiba dua jari
tangannya menotok betis Selir Pamujan. Desss...!
"Aauh...!" Selir Pamujan memekik.
Sebelum menarik diri untuk mundur, totokan Bima Sura kembali melesat, kenai paha
gadis itu. Selir Pamujan tersentak mundur dan
bersandar pada pohon. Ia nyaris jatuh ji-ka tak berpegangan pada pohon tersebut.
Tapi ia masih bisa memandang Bima Sura dengan mata tajamnya, anggota tubuhnya
juga masih bisa digerakkan. Hanya saja, ia tidak menyerang lagi. Bima Sura
sendiri tampak merasa lega karena suatu hal.
Senyumnya melebar, dan tatapan mata semakin nakal. Dengan kalem gadis itu diham-
pirinya. "Cukup lumayan jurusmu tadi."
Sindiran itu tak dibalas oleh Selir Pamujan, ia
hanya merasa aneh terhadap hatinya
yang menjadi berdebar-debar indah. Ia tak tahu keindahan apa yang membuatnya
berdebar-debar. Hanya saja, saat itu tiba-tiba hatinya diliputi rasa senang,
gembira dan berdesir-desir indah. Hasrat ingin sunggingkan senyum tak bisa
ditahan, sehingga bibir sensual itu pun terpaksa tersenyum dengan mata memandang
Bima Sura. "Apakah kau punya jurus lain yang menghadirkan sejuta kenikmatan?" tanya Bima
Sura sambil mulai berani menyentuh rambut Selir Pamujan yang jatuh di pundak.
"Aneh. Kenapa aku tak marah?" Selir Pamujan bertanya dalam hatinya. Bima Sura
mendengar pertanyaan batin itu, sehingga ia pun menimpali dengan kata-katanya
yang bernada lembut merayu.
"Mengapa harus marah" Bukankah hal yang lebih baik jika kita saling berdamai dan
menukar keindahan?"
"Kurasa... kurasa memang lebih baik menukar keindahan," jawab Selir Pamujan.
Seakan mulutnya bicara sendiri. Tapi dalam hatinya pun ia merasa senang bisa
berkata demikian. Hanya saja, hati kecilnya masih diliputi kebingungan, mengapa
kemarahannya menjadi sirna dan ia mulai merasa digelitik oleh sentuhan-sentuhan
jemari Bima Sura yang merayapi rahangnya.
Sentuhan itu hanya sederhana, namun dapat menghadirkan debaran yang bergemuruh
di dalam dada. Debaran itu tak lain adalah tuntutan gairahnya untuk memperoleh
kenikmatan dalam pelukan seorang lelaki. Bahkan mata Selir Pamujan seakan tak
mau menatap tempat lain kecuali hanya wajah Bima Sura dan tubuhnya yang kekar
itu. "Jantan sekali dia," ujarnya dalam hati. "Ooh... alangkah hangatnya jika aku
berada dalam pelukannya. Begitu indahnya jika bibirnya itu menempel di bibirku
dan melumatnya dengan tangan merayap ke mana-mana. Oouh... ingin sekali aku
diperlakukan se mesra itu olehnya."
Selir Pamujan tak sadar bahwa urat
nafsunya, telah ditotok oleh Bima Sura.
Totokan itu membuka saraf kenikmatan hingga bekerja cepat menaburkan perasaan
senang dari gembira. Gairah yang semula terpendam menjadi bergolak seperti air
mendidih setelah mendapat totokan di bagian paha tadi.
Karenanya, Selir Pamujan mulai
berkhayal tentang cumbuan dan berandai-andai tentang kenikmatan seorang pemuda
bertubuh kekar itu. Hati kecilnya ingin menolak sentuhan tangan Bima Sura yang
merayap di dagunya, tapi kenyataannya ia tak mampu melakukan penolakan tersebut.
Justru ia memandang dengan mata semakin sayu pertanda gairahnya semakin terbakar
dan meletup-letup menuntut kemesraan.
"Boleh aku menciummu, Selir Pamujan?"
"Kenapa tidak?" Jawab Selir Pamujan yang sudah semakin berdebar-debar itu.
Maka ketika ciuman Bima Sura menda-
rat di pipinya, Selir Pamujan segera pejamkan mata. Tangannya pun tak mau diajak
diam. Tangan gadis itu mulai merayap di pinggang Bima Sura, masuk ke balik baju
yang tidak dikancingkan itu.
Dengan suara mendesah lirih, Selir
Pamujan meliukkan kepalanya supaya bibirnya menyentuh bibir Bima Sura. Ketika
bibir itu saling sentuh, Selir Pamujan sudah semakin dibakar oleh gairah,
sehingga ia melumat bibir itu dengan bersemangat sekali.
Tangan Bima Sura tak tinggal diam.
Tangan itu menyusuri lekuk tubuh sekal Selir Pamujan. Sesekali meremas di bagian
pinggul, sesekali pula mengusap tempat tertentu yang mendatangkan kenikmatan ba-
gi Selir Pamujan.
"Oouh, Bima... Bima, pagutilah aku dengan mesra, Sayang...," pinta Selir Pa-
mujan dengan suara mengerang lirih. Jiwanya bagai terbang dan tak memiliki
kesadaran jati dirinya lagi.
Lebih-lebih setelah Bima Sura mem-
permainkan lidahnya di leher sang gadis, hasrat untuk melepaskan diri sama
sekali tak ada. Gadis itu semakin mengeluh panjang dan membiarkan lehernya
dipagut oleh mulut Bima Sura. Pagutan itu makin lama semakin bergerak turun, dan
ingatan Selir Pamujan tentang dirinya itu telah lenyap dan yang ada hanya
khayalan tentang bercumbu mesra. Ia justru mendesak kepala Bima Sura agar lebih
ke bawah lagi sambil tangan kirinya melepaskan penutup dada.
"Oouh... oooh... jangan permainkan aku, Bima. Oouh... pagutilah sekarang ju-ga.
Lekas, Bima...," rengeknya dalam buaian keindahan.
Bima Sura pun memagutnya. Pucuk bu-
kit kembar di dadanya menjadi ajang per-mainan lidah Bima Sura. Seribu keindahan
hadir serentak melingkupi hati Selir Pamujan, karena tangan Bima Sura pun sudah
mencapai tempat terpeka di bagian bawah, Selir Pamujan memberikan kesempatan
bagi tangan itu agar leluasa bergerak dengan lincah memamerkan kenakalannya.
Karena pada saat itu, tangan Selir Pamujan sendiri juga telah berhasil menemukan
seben-tuk kehangatan yang dimiliki oleh Bima Sura.
"Oouh... indah sekali, Bima.... Lakukan yang lebih indah dari semua ini,
Bima...." Tunjukkan dulu jurus-jurus asmara-
mu, Selir Pamujan," pinta Bima Sura. Ma-ka, Selir Pamujan pun menciumi leher
Bima Sura. Memagut-magut dan menggigit kecil dada berbulu halus itu. Selir
Pamujan akhirnya merayapkan lidahnya dari dada terus ke bawah dan terus ke bawah
lagi, sehingga apa yang diinginkan Bima Sura pun terpenuhi.
"Bima, aku tak tahan lagi...," rintih Selir Pamujan, sehingga Bima Sura pun
segera memberikan apa yang diinginkan gadis itu. Sebuah pelayaran ke samudera
cinta dilakukan oleh mereka berdua. Selir Pamujan memekik-mekik dengan suara
mengerang terputus-putus. Napasnya pun terengah-engah ketika Bima Sura mengayuh
pera-hu cintanya menuju ke puncak keindahan.
Puncak kayuhan itu dicapai oleh Se-
lir Pamujan yang membuisinya semakin brutal dan liar. Bima Sura dibalikkan, kini
Selir Pamujan menguasai pelayaran dan menjadi pendayung yang bersemangat tinggi.
Pada saat itulah, Soka Pura dan
Bandar Getih muncul mengintip mereka. So-ka Pura sendiri menjadi salah tingkah
dan tak mengerti harus berbuat apa pada saat itu. Keringat dinginnya sempat
bercucu- ran, namun jantungnya berdetak-detak dengan sentakan cukup keras. Bukan saja
sentakan jantung yang dibakar kemarahan sa-ja, namun juga sentakan jantung yang
dibakar oleh hasrat bercumbu menggebu-gebu.
Soka Pura akhirnya tundukkan kepala dengan tetap jongkok di samping Bandar
Getih. Ia tak berani menyaksikan adegan tersebut sampai selesai. Sedangkan
Bandar Getih diam tanpa kata, masih memandang adegan itu tak berkedip, namun
napasnya ngos-ngosan seperti saat dikejar-kejar penduduk desa waktu itu.
"Kita pergi saja, Paman," bisik So-ka Pura. Tapi telinga Bandar Getih seperti
tersumbat almari. Ia diam saja tanpa reaksi.
"Paman Bandar Getih, kita pergi sa-ja dari sini!" kali ini Bantar Getih
berpaling ke arah Soka karena punggungnya dicolek.
"Per... pergi ke mana" Aku... aku tidak bisa berdiri lagi. Kakiku pergi, eeh...
kakiku gemetar. See... sebaiknya kita tunggu sampai mereka gemetar... eh,
maksudku, kita tunggu sampai mereka selesai gemetar, eh... hmmm... apa, ya?"
Bandar Getih yang penggugup itu bingung sendiri.
"Aku tidak kuat melihat adegan itu.
Hatiku panas, ingin melabrak mereka! Tapi aku sudah tidak ada urusan dengan
perem- puan itu. Maka lebih baik kutinggalkan saja tempat ini, Paman."
"Nanti dulu! Mereka belum melabrak kita... eeh... maksudku, mereka belum
selesai. Kalau mereka sudah selesai barulah kita gemetar, eeh... maksudku,
barulah kita labrak, aaduh... salah lagi! Pokok-nya diam saja dulu. Kalau kau
tak mau melihat, pejamkan matamu! Ini tontonan gra-tis yang dilabrak, eeh...
yang mendebar-kan."
Akhirnya Pendekar Kembar bungsu itu duduk di rerumputan dalam semak dengan wajah
tertunduk. Mau tak mau ia menunggu Bandar Getih yang masih ingin menyaksikan
adegan panas itu sampai selesai. Gemuruh dalam Soka terpaksa ditahan mati-
matian. "Aku ingin lagi, Bima. Aku ingin lagi. Ooh... jangan berhenti dulu, Bima.
Aku masih ingin kau cumbu, Sayang. Ayo, cumbulah aku lagi, Bima...," pinta Selir
Pamujan ketika Bima Sura menghentikan pe-layarannya karena sudah mencapai puncak
keindahan. Kata-kata itu terdengar sampai di
telinga Soka Pura, sehingga dahi Soka berkerut karena merasa heran.
"Ia masih saja bergairah" Padahal ia sudah mencapai puncaknya berkali-kali.
Ah... aku jadi curiga. Tak mungkin gairah Selir Pamujan sebesar itu. Bahkan
perempuan mana pun tak ada yang bergairah se-
besar itu" Gila! la menjadi perempuan yang selalu kehausan"! Mengapa bisa
begitu"!"
Agaknya Bima Sura tak mau lakukan
lagi pelayaran mesra itu. Ia sudah mengenakan pakaian, berkemas untuk pergi.
Tapi Selir Pamujan masih merayu-rayu ingin dicumbu lagi. Bahkan gadis itu
seperti gadis yang tak tahu malu lagi, merengek dengan memeluk kaki Bima Sura,
memohon agar cumbuan tadi diulangi lagi. .
Hal itu semakin membuat hati Soka
Pura antara panas dan heran. Setahunya, Selir Pamujan tak akan merengek sampai
seperti itu. Ia perempuan yang tegas dan mampu menjaga harga dirinya di depan
seorang lelaki. Jika Selir Pamujan sampai merengek-rengek bahkan menangis karena
minta dicumbu lagi, berarti ada sesuatu yang tak beres dalam diri gadis itu.
Kesimpulan tersebut semakin kuat setelah Soka Pura melihat sendiri Selir Pamujan
memburu Bima Sura sambil meratap-ratap minta dicumbu.
"Aku tidak punya waktu lagi untuk-mu; Selir Pamujan! Masih banyak perempuan lain
yang membutuhkan cumbuanku!"
"Bimaaa..., sekali lagi saja, Bima.
Sekaliii... lagi!" pinta Selir Pamujan dengan sikap memalukan sekali.
"Cari lelaki lain yang sanggup me-muaskan gairahmu. Aku harus mencari pe-
rempuan lain. Tak mungkin kulakukan dua kali untuk satu perempuan!"
"Tolonglah, Bima. Tolonglah... aku tersiksa sekali jika tidak kau layani, Bima!
Kau sangat perkasa dan luar biasa jantannya. Aku butuh yang sepertimu, Bi-ma.
Tolonglah ulangi sekali lagi,
Sayang...."
Plaaakk...! Bima Sura menampar Selir Pamujan.
Gadis itu hanya memekik dan menangis terisak-isak tanpa ada perlawanan sedikit
pun. "Sekali lagi, Bima... sekali la-giii...," ucapnya di sela tangis. Jelas tangis
itu bukan tangis sewajarnya. Jelas keinginan itu keinginan yang tidak sepan-
tasnya dimiliki gadis setegar Selir Pamujan.
"Jangan ikuti aku!" bentak Bima Su-ra. "Kubunuh kau jika masih mengejarku!"
"Bunuhlah aku! Bunuhlah...!" seru Selir Pamujan dalam tangisnya. "Lebih baik
mati daripada tak kau layani sekali lagi!"
Soka Pura berbisik kepada Bandar
Getih. "Paman, aku harus bertindak! Ada sesuatu yang tak beres pada diri Selir Pamujan,
Mungkin dia terkena ilmu pelet atau sejenisnya! Aku harus hentikan pengaruh
iblis yang membuatnya menjadi gila
cumbuan seperti itu!"
"Jangan ikut campur, itu urusan mereka. Sebaiknya kita cumbu saja, eeh...
sebaiknya kita merengek, aduh... maksudku, sebaiknya kita lihat saja apa yang
akan terjadi selanjutnya."
Soka Pura diliputi kebimbangan yang amat meresahkan. Detak jantungnya bukan
cepat lagi, tapi bergemuruh menggetarkan seluruh tubuhnya. Sementara itu, suara
Selir Pamujan yang masih meratap-ratap memalukan itu semakin terasa merobekkan
hati dan mendidihkan darah Soka Pura.
* * * 6 SELIR Pamujan berlari-lari kecil
mengejar Bima Sura. Suaranya meratap dalam tangis bagai perempuan yang tak punya
harga diri lagi. "Cumbulah aku, Bima...!
Jangan pergi dulu! Cumbulah aku sekali lagi...!"
Bima Sura tetap melangkah cepat,
seakan tak pedulikan rengekan Selir Pamujan. Sementara itu di balik semak Soka
Pura dan Bandar Getih mulai berdiri dengan tetap pandangi Selir Pamujan dan Bima
Sura. Melihat keadaan Selir Pamujan begitu menyedihkan, sekaligus memalukan,
Soka Pura bergegas keluar dari semak. Tapi langkahnya segera terhenti. Langkah yang
terhenti itu membuat Bandar Getih yang mengikutinya terpaksa berhenti mendadak.
Akhirnya ia menabrak punggung Soka Pura.
Bruukk...! "Aduh! Lain kali kalau mau berhenti ngomong dulu, Soka!"
Soka Pura tak hiraukan ucapan Ban-
dar Getih, karena pandangan matanya segera tertuju pada sekelebat bayangan yang


Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba menyerang Bima Sura. Terjangan itu sempat membuat Bima Sura tersentak
ke samping dan terhuyung-huyung karena pundaknya terkena tendangan orang berompi
kuning dan bercelana kuning itu.
Saka Pura sempat terperanjat meli-
hat pemuda berambut panjang yang diikat ke belakang seperti ekor kuda itu.
Pemuda berkulit hitam manis dengan wajah tampan dan perawakan gagah itu tak lain
adalah Lodayu, orang yang pernah bersaing dengan Soka memperebutkan Rara Wulan,
{Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Gadis Penyebar Cinta").
Murid perguruan Gagak Putih itu
mencecarkan tendangan mautnya ke arah Bi-ma Sura. Tendangan itu keluarkan tenaga
dalam, berupa hawa padat yang dapat me-numbangkan sebatang pohon. Tetapi Bima
Sura tampaknya masih mampu hadapi tendangan tersebut dengan tangkisan telapak
tangannya yang selalu mengepulkan asap jika terkena tendangan.
Plak, plak, plak, plak...!
Bima Sura segera berputar cepat dan kakinya melayang bagaikan sapuan angin.
Wuuuss...! Plook...!
"Uuhg. .!" Lodayu terpelanting ke samping, tubuhnya sempat melambung miring dan
jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Brrukk...! Mulut pemuda berusia
dua puluh lima tahun itu keluarkan darah.
Ujung bibirnya robek. Namun ia cepat bangkit dan memandang Bima Sura dengan
angker. "Siapa orang itu, Soka" Sepertinya aku pernah melihatnya?" tanya Bandar Getih.
"Dia yang bernama Lodayu, Paman.
Aku pernah berhadapan dengannya, tapi dia seorang lawan yang baik, yang tidak
menimbulkan dendam dan permusuhan dalam ha-tiku! Dia mengakui kelebihanku dan...
oh, tunggu! Aku akan menyambar Selir Pamujan yang masih mengejar-ngejar Bima
Sura itu! Salah-salah dia terkena pukulan mereka berdua!"
Soka Pura segera berkelebat. Dalam
waktu singkat tubuh Selir Pamujan berhasil di sambarnya bagai hembusan badai
yang melintas di belakang Bima Sura.
Wuuuss...! Sesaat kemudian, Selir Pamujan sudah berada di bawah pohon tempat di
ma- na Bandar Getih berdiri dengan mata tak berkedip karena kagum melihat kecepatan
gerak Pendekar Kembar bungsu itu.
"Ooh, kau..."! Ooh, peluklah aku, peluklah...!"
Begitu tahu dirinya dibawa lari
oleh Soka Pura. gadis itu langsung berhasrat untuk dicumbu oleh Soka. Bahkan
gairahnya yang meledak-ledak itu di curahkan kepada Soka Pura dalam bentuk
ciuman yang mengganas.
"Hei, hei...! Selir Pamujan, sadar-lah kau! Sadar...!" Soka Pura kebingungan
hindari serangan gairah Selir Pamujan.
Bandar Getih tersenyum-senyum ter-
kekeh sendirian,
"Sikat sajalah, daripada bikin pusing! Aku tak akan bilang pada siapa pun, Soka.
Kecuali kepada Rara Wulan dan Kan-jeng Adipati," ujar Bandar Getih sambil
terkekeh-kekeh.
Soka Pura tak mendengar ucapan itu, karena telinganya dibuat berisik oleh suara
erangan dan desahan napas Selir Pamujan. Gadis itu menciumi Soka sambil menarik-
narik baju Soka dengan kasar. Celoteh nya berhamburan sambil berusaha memancing
gairah Soka. Sementara itu, Soka Pura sendiri berusaha hindari rangsangan
tersebut, karena ia tahu keadaan Selir Pamujan tidak wajar.
Karena Selir Pamujan menyerang te-
rus dengan ciuman dan jamahan tangan yang kelewat nakal. Soka Pura sempat
terdorong dan jatuh tertimpa tubuh Selir Pamujan.
Keadaan itu membuat Selir Pamujan
merasa lebih beruntung dan semakin ganas menggumuli Soka Pura, seakan ingin
memperkosa pemuda itu. Namun Soka Pura berusaha melepaskan diri tanpa
menimbulkan kekasaran yang berlebihan.
"Hei, ingat kau ini siapa, Selir Pamujan! ingat! Sadarlah...!"
"Oouh, aaah... cumbu aku, Soka.
Ayo, ayo lekas... cumbu aku! Oouh...!"'
"Hei, jangan dibetot sembarangan!
Wah, kacau sekali kau ini!" geram Soka.
Jengkel-jengkel gadis itu ditampar-
nya beberapa kali sekadar untuk memulih-kan ingatannya. Plak, plak, plak,
plak...! Tapi agaknya tamparan itu tidak bisa membuat Selir Pamujan sadar. Ia
masih menyerang Soka dengan ciuman dan jamahan tangan,
pinggulnya menggeliat-
geliat seakan memburu sesuatu yang ingin dicapainya.
Merasa hampir kewalahan, Soka Pura
segera menotok leher Selir Pamujan dengan jari tengahnya yang mengeras. Dess...!
Saat itu juga Selir Pamujan memekik ter-tahan dengan tubuh mengejang, kepala
mendongak ke atas.
"Aaah...!"
Jurus 'Totok Pikun' yang dapat mem-
buat seseorang menjadi lupa ingatan, lupa pada lingkungannya dan bahkan lupa
pada dirinya sendiri, ternyata justru menyadarkan keadaan Selir Pamujan. Totokan
Bi-ma Sura yang tadi membangkitkan gairah bercumbu besar sekali itu menjadi
sirna setelah Selir Pamujan terkena Totokan Pikun' Soka Pura.
Tetapi ingatan Selir Pamujan masih
normal, ia tidak menjadi pikun dan lin-glung seperti orang-orang yang pernah
terkena 'Totokan Pikun'-nya Soka Pura.
Justru ia terkejut melihat wajah Soka Pu-ra ada di bawahnya. Ia semakin
terbelalak lebar-lebar setelah sadari dirinya sedang menindih Soka Pura.
"Ooh..."! Apa yang terjadi"! Apa yang kulakukah ini"!" sentak suara Selir
Pamujan, Ia buru-buru menyingkir dari atas tubuh Soka Pura. Ia juga buru-buru
merapikan pakaiannya dengan rasa malu yang tidak ketulungan lagi. Dengan terge-
sa-gesa ia menyelinap di balik pohon dan terengah-engah di sana.
"Dia sudah sadar!" ujar Bandar Getih. "Rupanya totokanmu tadi mengembali-kan
ingatan jati dirinya, sehingga ia sekarang merasa mual, eeh... malu!"
Di seberang sana. Bima Sura masih
bertarung melawan Lodayu. Soka memperhatikan, namun segera bergegas temui Selir
Pamujan. "Pergi! Jangan dekati diriku!" bentak Selir Pamujan dengan terengah-engah.
"Aku tak sudi bercumbu lagi denganmu! Kau tak perlu berusaha memperkosaku, Soka!
Aku muak pada pemuda buaya kampung sepertimu! Jangan lagi mencoba memperkosaku
kalau kau tak ingin aku bertindak lebih berbahaya lagi!"
"Hei, kebalik, Non! Bukan aku yang memperkosamu, tapi kau yang mau
memperkosaku!"
"Dusta!" bentak Selir Pamujan. "Ma-na mungkin aku ingin memperkosamu! Aku sudah
tidak berselera dengan pemuda yang punya hati selembek kotoran kerbau sepertimu
itu!" Soka Pura justru tertawa cekikikan
walau hatinya menahan rasa kesal dituduh sebagai pemerkosa. Tapi ia bisa
memaklu-minya. "Bukan aku yang memperkosamu, tapi pemuda itu!" Soka menuding ke arah
pertarungan Bima Sura dengan Lodayu.
"Ooh..."!" Selir Pamujan menggumam dengan nada heran. Ia diam tanpa suara dengan
mata tertuju ke arah Bima Sura.
Bayangan peristiwa sebelum ia terkena totokan itu mulai muncul dalam ingatannya.
ia pun kini bicara pelan kepada Soka Pu-ra, seperti orang bicara pada dirinya
sendiri. "Ya, aku ingat sedikit tentang dia... Bima Sura adalah murid Resi Murang Sarak
dari Teluk Serong. Aku dihadang olehnya, dia ingin menciumku, aku melawan, lalu
aku kena totokan di bagian pa-ha, dan... dan... setelah itu aku tak ingat lagi
apa yang kulakukan."
"Kau bercumbu gila-gilaan dengannya," sahut Soka Pura.
"Keparat! Kalau begitu dia telah menotok urat birahiku sehingga aku bergairah
melayaninya! Kubunuh orang itu!"
"Tahan dulu!" sergah Soka Pura sambil mencekal lengan Selir Pamujan.
"Dia telah memperkosaku dengan cara halus!"
"Mungkin memang begitu. Tapi biarkan dulu Lodayu menyelesaikan urusannya dengan
pemuda itu! Agaknya Lodayu punya masalah sendiri dengan orang yang telah
membuatmu gila cumbu tadi!"
Selir Pamujan memancarkan pandangan mata penuh dendam dan kemarahan. Napasnya
terengah-engah pertanda sedang menahan luapan murkanya dengan susah payah.
Bandar Getih bicara dalam posisi
memandang pertarungan dari samping Soka Pura.
"Kelihatannya
dia cukup tangguh.
Pemuda berompi kuning itu sejak tadi terkena ciuman, eeh... pukulan. Kurasa
sebentar lagi dia akan bercumbu, eeh...
maksudku sebentar lagi dia akan tumbang."
Hati kecil Soka Pura juga mengata-
kan demikian. Karena saat itu, Lodayu terlempar
beberapa kali akibat pukulan tangan ko-song Bima Sura yang menyentak ke depan
keduanya dalam posisi tubuh miring. Pukulan itu mengeluarkan hawa padat dari
tenaga dalamnya yang cukup besar dan Lodayu tak berhasil menahannya.
Bima Sura bermaksud tidak memberi
kesempatan lagi kepada Lodayu, maka ia segera mengejar Lodayu yang jatuh
terbanting dalam jarak sepuluh langkah itu.
Dalam keadaan babak belur, ternyata Lodayu masih sanggup berdiri dengan cepat
dan keluarkan kapaknya. Sett...! Kapak bergagang coklat itu dikibaskan dalam
ayunan kuat. Wess, crakk...! Mata kapak melayang sendiri. Ternyata mata kapak
itu mempunyai rantai yang dihubungkan dengan gagangnya.
Bima Sura segera hentikan gerakan
dan berguling ke tanah begitu mata kapak itu menyambarnya dari samping kiri ke
samping kanan. Wess...! Hampir saja kepala Bima Sura pecah karena sambaran mata
kapak tersebut.
Lodayu masih memutar-mutarkan kapak berantai itu, membuat Bima Sura tak berani
mendekat dulu. Ia mencari kesempatan untuk menyerang, tapi putaran kapak san-
gat cepat sehingga Lodayu bagaikan diben-tengi baling-baling tajam yang dapat
me-menggal leher dalam sekali tebas.
"Majulah, Keparat! Ku siapkan kesempatan ini untuk mencabut nyawamu sebagai upah
kebiadabanmu yang telah memperkosa adikku!" teriak Lodayu, membuat So-ka, Selir
Pamujan dan Bandar Getih mengetahui persoalan sebenarnya.
Bima Sura tidak keluarkan bantahan.
Ia justru melepaskan pukulan bersinar hijau yang berbentuk seperti cakram
terbang itu. Slappp...! Tapi putaran kapak itu segera menghantam sinar hijau
tersebut. Bleegarrr...! Rupanya mata kapak itu juga mengan-
dung kekuatan tenaga dalam, sehingga ketika menghantam sinar hijau, sinar itu
pecah bersama suara ledakan yang cukup dahsyat. Tanah di sekitar tempat itu
sempat bergetar sesaat, namun segera menjadi tenang kembali. Bima Sura masih
belum berani mendekat dan berjalan berkeliling mencari peluang.
Kejap berikutnya, Bima Sura sengaja melepaskan pukulan bersinar hijau lagi.
Slapp...! Sinar itu bagaikan dikejar oleh mata kapak yang melayang memutari
Lodayu. Pada saat mata kapak memburu Sinar hijau itu, Bima Sura segera mencabut
bumerang-nya. Senjata berbentuk pipih dan lengkung itu dilemparkan dalam gerakan
cepat. Wusss...! Bumerang itu memancarkan sinar me-
rah bagai besi membara. Gerakannya yang melingkar sukar dihindari oleh Lodayu.
Blegarrr...! Tanah kembali bergetar karena ben-
turan sinar hijau dengan kapak. Pada saat itulah, bumerang itu menyambar kepala
Lodayu dari arah belakang, setelah benda itu melayang lewat samping dan kembali
ke arah semula. Crass...!
"Aaahk...!" pekik Lodayu yang cepat rundukkan kepala. Bumerang itu akhirnya
kenai punggung Lodayu. Luka lebar dan panjang diderita Lodayu dari punggung
sampai pundak. Luka itu mempunyai kekuatan membakar, sehingga mengepulkan asap
dan menghanguskan kulit yang koyak.
Lodayu akhirnya jatuh tersungkur
sambil menahan sakit luar biasa. Kapaknya terlepas dan melayang sendiri nyaris
kenai kepala Bima Sura yang sedang menangkap kembali gerakan bumerang ke
arahnya. Tebb...! Wess...!
Begitu bumerang sudah di tangan Bi-ma Sura, cahaya merah membara padam. Senjata
itu, segera diselipkan ke pinggang kirinya.
Bima Sura pandangi lawannya seben-
tar dengan tersenyum sinis, ia serukan kata yang terdengar sampai di tempat Soka
berdiri. "Selamat jalan ke neraka! Racun
'Peluh Jenazah' dari senjataku ini, tak akan bisa selamatkan nyawamu, karena tak
ada penangkalnya! Sampai jumpa lagi di neraka! Tunggulah aku di sana jika kau
belum puas dengan pertarungan ini!"
Bima Sura segera pergi tanpa pedu-
likan keadaan luka lawannya lagi dan tanpa menghiraukan keadaan Selir Pamujan.
Blass...! Ia melesat dengan cepat menerabas kerimbunan hutan.
Selir Pamujan berseru, "Jangan lari dulu kau, Jahanam...!!"
"Hei, tunggu...!" sergah Soka Pura kepada Selir Pamujan. Tapi gadis itu tetap
berkelebat mengejar Bima Sura, semen-tara Soka menjadi bingung karena ia tak
tega melihat Lodayu sekarat di sisi lain.
Pemuda itu meraung-raung bagai tersiksa sekujur tubuhnya. Suara raungan itu
sangat mengiris hati, sehingga Soka Pura menjadi tegang, memandang kepergian
Selir Pamujan dan keadaan Lodayu secara bergantian.
Bandar Getih pun ikut tegang dan
sangat gugup, sehingga ia terengah-engah di tempatnya berdiri.
"Paman, ikuti Selir Pamujan, cegah dia jangan melawan pemuda itu. Ilmunya cukup
tinggi, Selir Pamujan dapat celaka jika melawannya!"
"Iya... iya... aku akan celaka,
eeh... aku akan mengikutinya supaya celaka, eeh... anu... hmmm...!"
"Cepat berangkat, aku nanti menyu-sul. Aku harus menolong Lodayu lebih dulu
sebelum racun itu menghabisi nyawanya!"
"Baa... baik! Aku akan menghabiskan nyawa, eeh... akan pergi! Ya, akan pergi...
tapi... tapi aku harus pergi ke ma-na, Soka"!" serunya ketika Soka sedang
bergerak ke arah Lodayu.
"Ikuti Selir Pamujan...!! seru Soka Pura dengan jengkel.
Bandar Getih semakin gugup. "Baa...
baik! Aku akan mengikuti Selir Pamujan.
Hmmm... eeh, ke mana larinya gadis ta-di"!"
"Hei, kenapa kau lari ke timur"!
Dia mengejar pemuda itu ke selatan, Paman!"
"O, iya! Ke selatan... aduh, tolol amat aku ini!" gerutunya sambil berlari ke
arah selatan. Soka lanjutkan dekati Lodayu yang merintih-rintih.
"Tahan sebentar, Lodayu!" ujar Soka Pura! Tapi Lodayu tidak menyadari siapa yang
datang padanya dan menempelkan telapak tangan ke lengannya.
Telapak tangan Soka memancarkan ca-
haya ungu berpendar-pendar. Jurus
'Sambung Nyawa' yang biasa dipakai untuk pengobatan itu sedang di lakukan untuk
menyelamatkan luka parah Lodayu. Luka
koyak itu makin melebar dan memanjang.
Dagingnya berwarna hitam hangus. Sungguh mengerikan dan tentunya juga sangat me-
nyiksa. Tetapi cahaya ungu dari telapak
tangan kiri Soka yang menempel di kulit lengan Lodayu itu lama-lama bagaikan me-
rasuk ke dalam tubuh Lodayu. Tubuh itu mulai memancarkan cahaya ungu pendar-
pendar. Walaupun Soka sudah mengangkat telapak tangannya, dan nyala ungu itu
telah hilang dari telapak tangan itu, namun tubuh Lodayu semakin memancarkan
cahaya ungu. Kulit tubuh dan dagingnya seakan berubah menjadi kaca tembus
cahaya, dan di dalam lapisan kulit serta daging itu sepertinya ada lampu ungu
yang menyala semakin terang.
Rintihan Lodayu mulai berkurang.
Gerakannya yang kelojotan pun mulai tenang. Cahaya ungu semakin membungkus tubuh
Lodayu. Kini pemuda itu dalam keadaan tengkurap bagaikan tidur. Suaranya...


Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyaris tak terdengar lagi!
Luka koyak melebar mengalami peru-
bahan setelah mengepulkan asap tipis warna ungu pula. Luka itu semakin
menyempit. Dagingnya yang berwarna hitam hangus itu mulai memucat sedangkan darah yang
mengu-cur dari luka-luka itu menguap bagai ter-serap udara.
Makin lama luka itu semakin menyem-
pit. Soka Pura menarik napas lega. Ternyata racun 'Peluh Jenazah' masih mampu
dikalahkan dengan Jurus 'Sambung Nyawa'-
nya yang merupakan perpaduan hawa murni dan kekuatan inti gaib yang dimiliki
tiap manusia. Namun tidak setiap manusia dapat mengendalikan hawa murni dan
kekuatan in-ti gaib yang letaknya ada di pusar itu.
Beberapa saat kemudian, Lodayu sem-
buh total. Tubuhnya menjadi segar, kekuatannya pulih seperti sediakala. sedangkan lu-kanya
lenyap tanpa bekas sedikit pun. Lodayu segera menyadari bahwa ia telah dis-
elamatkan oleh bekas saingannya dalam perkara memperebutkan Rara Wulan.
"Oh, rupanya kau yang menyelamatkan nyawaku dari luka jahanam itu!" ujar Lodayu
sambil berdiri dan membersihkan tanah yang melumuri tubuhnya.
"Syukurilah jika kau masih mengena-liku, Lodayu!"
"Tentu saja masih, karena namamu dan kehebatan ilmu mu kucatat dalam otak-ku.
Soka Pura!" Lodayu sunggingkan senyum tawar, karena masih di pengaruhi oleh
murkanya terhadap Bima Sura.
"Ke mana larinya bajingan tengik itu"!"
"Dia ke selatan!" jawab Soka Pura.
"Aku tadi tak berani mencampuri pertarun-ganmu tadi, karena aku tak tahu
masalah- nya" "Adikku diperkosa oleh si Iblis Pemburu Wanita itu!" tegas Lodayu. "Kesucian
adikku direnggut hanya untuk memper-kuat ilmunya! Aku kenal dia sebagai murid
Resi Murang Sarak yang membutuhkan percumbuan dengan perempuan yang berbeda-
beda, semakin dahsyat dan tangguh ilmu yang ada padanya!"
Soka Pura manggut-manggut. "Apakah itu berarti ilmu yang dimiliki perempuan
tersebut menjadi berkurang?"
"Tidak! Tapi kekuatan ilmu yang di miliki Iblis Pemburu Wanita itu semakin besar
jika memperoleh kepuasan dari berbagai wanita. Setiap satu wanita hanya bisa
menguatkan ilmu itu satu kali. Oleh karenanya, Iblis Pemburu Wanita tak mau
lakukan percumbuan dua kali dari satu wanita!"
"Ilmu yang aneh!" gumam Soka Pura.
"Ya, memang ilmu orang Teluk Serong itu aneh-aneh serta berbau mesum. Ilmu
seperti itu harus di musnahkan, jika perlu bersama pemiliknya!"
"Aku sependapat denganmu, Lodayu!
Tapi agaknya pemuda itu lebih tangguh da-rimu." "itu pasti lantaran ia harus
menambah kekuatan ilmunya dari tubuh seorang perempuan yang habis kencan
dengannya."
"Hmmm... kurasa memang begitu,"
ujar Soka yang kemudian teringat tentang cumbuan Selir Pamujan dengan Bima Sura.
"Aku harus mengejarnya! Ia harus mati sebagai tebusan hilangnya kesucian adikku
yang bernama Linduwati!"
"Kurasa kita sama-sama harus segera ke selatan! Selir Pamujan dalam bahaya jika
melawan pemuda itu tanpa bantuan siapa pun! Aku tak bisa mengharapkan bantuan
Paman Bandar Getih, selain ilmunya terlalu rendah untuk melawan Iblis Pemburu
Wanita!" Lodayu segera mengambil kapaknya.
Kemudian mereka berdua bergegas ke selatan mengejar Iblis Pemburu Wanita. Lodayu
sempat bertanya tentang Raka Wulan.
"Bagaimana kabarnya tentang putri tunggal sang adipati itu?"
"Dia minggat lagi dari Istana, dan aku sedang mencarinya!"
"Akan kubantu mencarinya jika Bima Sura sudah tak bernyawa lagi!"
"Terima kasih. Aku pun akan membantumu melumpuhkan iblis ganteng itu!" ujar Soka
Pura dengan mantap, membuat Lodayu semakin tak punya rasa takut sedikitpun
kepada Iblis Pemburu Wanita itu.
* ** 7 IBLIS Pemburu Wanita termasuk manu-
sia selicin belut. Sehari semalam Selir Pamujan mengejar pemuda itu, tapi tak
berhasil menemukannya. Ia justru bertemu dengan Bandar Getih yang muncul dari
arah lain. Hampir saja Bandar Getih salah arah jika tidak segera bertemu dengan
Selir Pamujan pada kegelapan malam.
Fajar yang menyingsing menaburkan
kecerahan udara pagi, merupakan awal langkah Estigina mencari Pendekar Kembar
setelah dua hari ia beristirahat di rumah Ki Darmala. Padahal orang yang
mendampin-ginya adalah salah satu dari Pendekar Kembar yang dikenal dengan nama
Raka Pu-ra. Konyolnya, Raka Pura tetap belum mau mengaku sebagai Pendekar
Kembar. "Belum tentu dia percaya kalau aku adalah Pendekar Kembar," pikir Raka.
Namun hati Raka sempat berbunga-
bunga ketika Estigina, anak seorang Ketua Perguruan Merak Yudha itu, menyanjung-
nyanjung nama Pendekar Kembar. Rupanya gadis itu sering mendengar orang membica-
rakan Pendekar Kembar, tapi belum pernah beradu muka dengan Pendekar Kembar.
Sedangkan Bujang Bodo yang mengikuti mereka juga ikut-ikutan menyanjung Pendekar
Kembar, karena ia sering mendengarkan percakapan kakeknya dengan para sahabat
yang singgah di rumahnya.
"Pemuda kembar dari Gunung Merana itu kabarnya punya jurus penyembuh yang luar
biasa saktinya," ujar Estigina kepada Raka. Yang diajak bicara hanya senyum-
senyum saja dan berlagak bodoh.
"Jurus penyembuh nya itu dapat dipakai untuk mengobati luka beracun sehe-bat apa
pun racun tersebut," tambah Estigina. "Kabarnya jurus-jurus mereka jika
digabungkan menjadi jurus yang dahsyat dan tiada tandingnya. Bayangkan saja, Ra-
tu sesat itu yang bernama Cumbu Laras sa-ja berhasil dibunuh oleh Pendekar
Kembar. Padahal, Ratu Cumbu Laras itu dibantu dengan kekuatan iblis yang bernama Dewa
Seribu Laknat!"
Bujang Bodo menimpali, "Memang laknat Pendekar Kembar itu. Eh... maksudku,
memang sakti Pendekar Kembar itu. Kurasa ia juga mampu menghancurkan Iblis
Pemburu Wanita jika si iblis tidak melawan!"
"Siapa tahu kalau lawannya diam sa-ja juga akan menang, Tolol!" sentak Estigina.
Lalu, gadis itu ajukan tanya kepada Raka Pura, "Apakah selama ini kau belum
pernah bertemu dengan salah satu dari Pendekar Kembar itu?"
"Belum," Jawab Raka Pura sambil tersenyum geli. Tapi senyum geli itu tidak
menimbulkan kecurigaan pada hati Es-
tigina. Bahkan gadis itu berkata dengan gayanya yang ketus.
"Banyak orang bilang, kedua Pendekar Kembar itu berwajah tampan, gagah, perkasa
dan menggetarkan hati setiap wanita. Tapi aku belum yakin sepenuhnya."
"Mengapa kau belum yakin sepenuhnya?"
"Aku yakin tak semenarik dirimu!"
jawab Estigina asal ceplos saja.
"Tampan mana dengan wajahku, Esti?"
tanya Bujang Bodo.
"Tampan wajahmu, jika yang memandang orang buta yang sudah mau mati!" jawab
Estigina membuat Bujang Bodo cembe-rut. Estigina tampak malas bicara dengan
Bujang Bodo. Ia lebih suka bicara dengan pemuda tampan yang mengiringi
langkahnya di sebelah kanan itu.
"Biarpun nanti kita bertemu dengan Pendekar Kembar, tapi aku tak akan mudah
tertarik oleh ketampanannya. Aku hanya ingin bersahabat dengan mereka."
"Mengapa kau tidak tertarik" Kau belum lihat sendiri seperti apa ketampanan
Pendekar. Bagaimana mungkin kau bisa yakin kalau tak akan tertarik oleh
ketampanan mereka?"
"Hmmm... yah, mungkin jika aku belum bertemu denganmu, aku akan tertarik dengan
salah satu dari kedua Pendekar Kembar itu. Tapi karena aku sudah bertemu
denganmu, tentu saja aku tak tertarik pa-da mereka!"
Jawaban itu sangat diplomatis dan
Raka Pura memahami maksud kata-kata tersebut. Namun hatinya tetap tenang karena
merasa tak perlu terlalu menanggapi ucapan Estigina itu. Sekalipun Raka Pura ta-
hu, bahwa Estigina tertarik padanya, tetapi hati Raka belum bisa menerima
perasaan itu. Ia tidak memiliki rasa tertarik kepada Estigina secara pribadi,
kecuali hanya sekadar rasa ingin bersahabat dan menjadi pasangan yang akan
melumpuhkan Iblis Pemburu Wanita. Karenanya, kata-kata Estigina selalu
ditanggapi dengan senyum keramahan yang memancarkan daya pikat tersendiri di
mata Estigina. Langkah mereka tiba-tiba terhenti
setelah Bujang Bodo tiba-tiba menjerit kaget dan berlari menyilang langkah Raka
dan Estigina. "Hiaaahh...!"
"Heei, apa-apaan kau"! Bikin kaget jantungku saja!" bentak Estigina dengan
berang. "Ada... ada... ada mayat di balik pohon itu! Mayat... mayat berdarah...!"
sambil Bujang Bodo menuding pohon yang dimaksud. Mata mereka pun tertuju ke
tempat tersebut.
"Ooh..."!" Estigina pun kaget dan menjadi tegang. Raka Pura terkesiap, pan-
dangi mayat itu dengan mata menyipit dan dahi berkerut.
Sesosok mayat terbujur di balik po-
hon. Keadaannya sangat mengerikan. Luka lebar yang menghunus terdapat di
pinggang kanan sampai ke pundak kiri. Luka itu terkuak lebar dan darahnya
mengering. Ta-pi ceceran darah di sekitar perutnya masih tampak membasah,
pertanda kematiannya terjadi belum lama.
"Aku mengenali orang ini," ujar Ra-ka Pura bagai bicara sendiri.
"Siapa lelaki ini, Raka?"
"Dia murid dari Perguruan Cakar Petir yang kala itu ikut muncul di kadipaten."
"Oh, Perguruan Cakar Petir"!
Hmmm... ya, ya... aku pernah dengar nama ketuanya yang kalau tak salah berjuluk
si Jenggot Bajang?"
"Benar!" Raka anggukkan kepala sambil memandang Estigina, kemudian matanya
menatap ke arah mayat berjubah hitam, berdagu panjang, dan berwajah angker.
"Kalau tak salah ingatanku, orang ini yang bernama Raksa Braja, kakak per-
guruannya si Bintari Ayu," tutur Raka Pu-ra sambil mengenang sebentar masa
pertarungan di kadipaten Wilujaga itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode: "Gadis Penyebar Cinta")
Estigina manggut-manggut, "Aku per-
nah mendengar nama Bintari Ayu. Kalau tak salah ia seorang perempuan yang gemar
mengenakan jubah Jingga, dan punya senjata kipas merah."
"Dugaanmu benar!"
"Kau pernah bertemu dengannya?"
"Melihatnya saja. Kala itu aku sedang bertarung
dengan adikku melawan
Jenggot Bajang di depan istana Kadipaten Wilujaga."
"Oh, kau punya adik rupanya?"
"Punya," jawab Raka singkat, lalu segera ingat bahwa kata-katanya bisa membuat
Estigina berkesimpulan tentang dirinya sebagai Pendekar Kembar. Tetapi agaknya
Estigina terlalu yakin bahwa Pendekar Kembar itu ada di puncak Gunung Merana,
sehingga ia tidak berkesimpulan apa-apa tentang adik Raka Pura itu. Raka sendiri
tidak melanjutkan percakapan ke arah itu, melainkan mengalihkannya ke persoalan
mayat tersebut "Lalu, siapa yang membunuh Raksa Braja ini sebenarnya"!"
Estigina pandangi mayat tersebut.
"Kurasa orang yang membunuhnya mempunyai jurus pedang cukup hebat. Lukanya itu
tampak sebagai luka sabetan pedang yang beracun ganas!"
Bujang Bodo ajukan usul, "Sebaiknya tanyakan saja kepada si korban, siapa yang
membunuhnya!"
"Usul bodoh!" sentak Estigina. "Ma-na mungkin bisa bertanya pada si korban kalau
dia sudah tidak bernyawa"!"
"Bisa ku bangunkan sebentar!" kata Bujang Bodo.
Raka Pura tertawa kecil seperti
orang menggumam. Estigina bersungut-sungut jengkel sambil lontarkan gerutuan
kecil. "Kau kira dia kakekmu yang sedang tertidur"!"
"Kalau kalian mengizinkan, ku bangunkan mayat ini!" Bujang Bodo ngotot.
Estigina juga ikut ngotot.
"Kau sendiri kalau tidur susah bangkunya, pakai berlagak mau membangunkan mayat
segala!" Raka Pura perpanjang tawanya. Meli-
hat mereka berdua saling ngotot, Raka merasa mendapat hiburan yang segar dan
menggelikan hati.
Tapi tiba-tiba Bujang Bodo bersiul
panjang dan meliuk-liuk sambil mundur beberapa langkah, memandangi mayat dengan
mata melebar. "Suiit, suuiiit, suuu, suuu,
suuuiiit...!"
Kaki mayat Raksa Braja bergerak-
gerak. Disusul kemudian jari tangannya bagai ada yang menyentak-nyentak ke atas.
Pemandangan itu membuat Estigina terbelalak lebar dan sangat tegang. Ia
melangkah mundur sampai menyentuh lengan Raka Pura.
Sementara itu, Raka Pura sendiri menjadi tegang dan tak berkedip melihat tangan
mayat bergerak-gerak.
Siulan dari mulut Bujang Bodo masih terdengar mengalun meliuk-liuk bagai ira-ma
seruling. Rupanya siulan itu mempunyai getaran aneh yang dapat bangkitkan
sesosok mayat selama siulan itu masih ber-bunyi.
"Gila! Dia benar-benar bisa bangkitkan mayat"!" gumam Estigina dengan tegang
kepada Raka. "Kemarin malam kakeknya pernah bilang padaku, bahwa Bujang Bodo adalah bocah
beruntung, karena mendapat ilmu titisan dari neneknya yang dulu dikenal sebagai
Nyai Peri itu. Tapi aku tak tahu seperti apa ilmu titisan itu. Mungkin siulan
inilah yang dimaksud ilmu titisan Nyai Peri."
"Suuiii, uuuiii, uuuiiitt....".
Mayat Raksa Braja pun bangkit dan
duduk dengan mata terpejam, namun Raka dan Estigina mendengar suara menggeram
dari mayat tersebut. Bujang Bodo memberi isyarat dengan tangannya agar Raka
ajukan pertanyaan kepada mayat tersebut, semen-tara ia masih perdengarkan suara
siulannya. "Dia menyuruh kita menanyakan siapa orang yang membunuh mayat itu!" bisik Ra-
ka. "Kau saja yang menanyakannya. Aku ngeri!" balas Estigina dalam berbisik ju-ga.
Akhirnya Raka Pura maju dua langkah dan bertanya kepada mayat yang duduk
melonjor itu. "Siapa yang membunuhmu, Raksa Braja"!"
Bibir mayat itu mulai bergerak-
gerak pelan. Beberapa saat kemudian suara serak terdengar menyebut sebuah nama.
"Bimm... maa... Suuu... rraa...!"
"Oh, maksudmu... Iblis Pemburu Wanita!"
"Beee... daak, eeh... Bee...
narrr!" jawab mayat itu.
Brruk...! Tiba-tiba mayat itu rubuh kembali tanpa gerakan apa-apa. Raka Pura dan
Estigina memandang ke arah Bujang Bo-do. Pemuda berkalung ketapel itu terengah-
engah. "Bersiul lagi!" perintah Estigina.
"Napasku... napasku hampir ha-
bis...," jawab Bujang Bodo sambil ngos-ngosan. Raka Pura sempat sunggingkan
senyum geli melihat Bujang Bodo ngos-
ngosan. Rupanya ia bersiul dalam satu ta-rikan napas dan tak boleh putus. Sekali
putus, kekuatan pembangkit mayat itu pun hilang, dan mayat tersebut tak berkutik
lagi. Raka Pura saling pandang dengan Es-
tigina. "Bima Sura yang membunuhnya!"
"Berarti dia ada di sekitar tempat ini. Setidak nya belum jauh dari sini!"


Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujar Estigina sambil membetulkan letak pedangnya yang terselip di pinggang.
Wajah gadis itu memancarkan dendam, seakan tak sabar ingin melampiaskan nya
kembali. "Kita cari dia di sekitar sini!"
"Lebih baik kita segera ke Gunung Merana saja! Masih jauhkah dari sini?"
tanya Estigina.
"Masih jauh sekali, Estigina!"
"Kalau begitu kita cari iblis itu tanpa Pendekar Kembar dulu!" usul Bujang Bodo.
"Mau cari mampus kau"!" sentak Estigina.
"Kurasa usul Bujang Bodo ada baiknya!" kata Raka Pura. "Aku akan melawan Iblis
Pemburu Wanita, sekaligus menjajagi setinggi apa ilmunya!"
"Jangan! Aku tak setuju! Kau nanti mati di tangannya, aku yang rugi!" tegas
Estigina tanpa nada lembut sedikit pun.
Raka Pura sunggingkan senyum lagi. Hari ini Raka seperti perjaka yang murah
senyum, membuat ketampanan yang mempesona itu bertaburan ke mana-mana.
"Estigina, percayalah aku tak akan terluka jika melawannya. Kalau aku merasa
terdesak, aku bisa melarikan diri secepat mungkin asai kau tidak menertawakan
dan melecehkan pelarian ku!"
Gadis itu setengah tertawa sambil
berkata, "Kau pikir Bima Sura tidak bisa berlari cepat" Aku yakin dengan ilmunya
yang tinggi ia mampu mengejarmu ke mana pun kau melarikan diri! Jadi sebaiknya
tak perlu mencari Bima Sura dulu! Cepat bawa aku ke Gunung Merana!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara ledakan yang menggelegar dari arah timur. Ledakan itu cukup keras,
sehingga menggema memenuhi hutan tersebut, menggetarkan tanah yang dipijak
mereka. "Jangan-jangan itu suara pertarungan Bima Sura dengan seseorang"!" ujar Raka
Pura. "Yang jelas bukan aku lawannya!"
timpal Bujang Bodo yang tak mendapat sam-butan dari siapa pun.
"Aku ingin melihatnya!"
"Jangan, Raka!" seru Estigina sambil memburu Raka yang sudah lebih dulu bergerak
ke arah timur. "Aku hanya ingin melihatnya dari kejauhan!"
"Aku ikut...!" seru Estigina lagi.
"Aku bagaimana" Ikut atau menunggu mayat itu?" tanya Bujang Bodo dengan bingung.
"Kau ikut tidur bersama mayat itu saja!" seru Estigina membuat Bujang Bodo
bersungut-sungut dan menganggap perintah itu perintah serius.
"Tak sudi aku tidur dengan mayat!
Lebih baik tidur dengan perawan cantik, daripada tidur dengan mayat!" gerutunya
sambi ikut berlari ke arah timur.
* ** 8 RAKA Pura sempat terperanjat meman-
dang ke arah pertarungan. Ternyata seorang perempuan berambut pirang disanggul
sisanya seperti seekor kuda, sedang menyerang Bima Surya dengan kipas merahnya.
Perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu bertubuh sexy dan montok.
Ia mengenakan jubah jingga yang berkelebat seperti sayap seekor burung betina
pada saat lakukan lompatan ke arah Bima Sura.
"Bintari Ayu..."!" gumam Raka Pura ketika Estigina tiba di samping kirinya.
"Keparat busuk itu ada di sana! Aku harus segera menghabisi nyawanya!"
"Tahan dulu!" cegah Raka sambil mencekal lengan Estigina yang sudah tak
sabar ingin melampiaskan dendamnya kepada pemuda yang telah merenggut
kesuciannya itu.
"Nah, itu dia orang yang memperkosamu!" ujar Bujang Bodo yang berdiri di balik
semak di samping Estigina.
Raka Pura berkata, "Perhatikan dulu jurus-jurusnya, supaya kita bisa melum-
puhkannya jika jurus itu dipakai menyerang kita nanti!"
Estigina menahan hasrat membunuhnya yang telah menyesakkan pernapasan, meng-
gumpal di dalam dadanya. Dada terasa ingin meledak menahan kobaran api dendam
itu. Wuuut, baahk...!
"Uuhk...!" Bintari Ayu terlempar ke belakang dan jatuh berguling-guling setelah
dihantam dengan telapak tangan dari jarak lima langkah. Telapak tangan yang
keluarkan hawa padat itu bagai batu besar yang menerjang tubuh Bintari Ayu.
Setelah menyeringai sesaat, Bintari Ayu bangkit lagi dan mulai membuka kipas
merahnya. Braakk...!
"Jangan melawanku, Cantik! Sebaiknya kita berburu cinta dalam pelukan daripada
cari penyakit seperti ini!"
"Persetan dengan bujuk rayumu! Aku tahu kau hanya ingin memperkokoh ilmumu,
menambah kekuatanmu dengan menggunakan kehangatanku! Aku tak sudi menjadi budak
gairahmu, Iblis Pemburu Wanita!" lontar Bintari Ayu dengan keras dan kasar. Ia
tampak masih berani hadapi pemuda itu, dan segera lakukan serangan dengan sebuah
lompatan berkecepatan tinggi.
Wesss...! Bima Sura berguling maju di atas
rerumputan. Wuuuttt...! Tendangan kaki Bintari Ayu melayang di atas kepala Bima
Sura. Wess...! Dengan cepat Bima Sura sentakkan tangannya ke atas, dua jarinya
yang mengeras berhasil kenai paha Bintari Ayu.
Tess...! Totokan yang membuat gai-
rah terbuka dan berkobar-kobar itu telah berhasil kenai sasarannya.
Jlegg...! Bintari Ayu mendaratkan
kakinya ketanah dengan tegak. Ia hanya merasakan sentakan sakit sekejap pada
saat terkena totokan itu, tapi selanjutnya ia tidak merasakan apa-apa lagi. Ki-
pasnya dibentangkan di depan mulut. Matanya memandang jalang ke arah pemuda yang
telah berdiri tegap di depannya.
"Percayalah, kau akan merasa ku terbangkan sampai ke surga dan tak ingin lepas
dari pelukanku jika kita mulai men-gawalnya, Bintari Ayu!"
Perempuan itu tak punya jawaban apa pun. Seakan lidahnya kelu dan jantungnya
mulai berdetak-detak. Debar-debar keindahan mulai mengguyur api amarah yang mem-
bakar jiwa. "Aneh sekali! Mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk meremas dadanya yang bidang
itu"!" pikir Bintari Ayu dalam ke-bingungannya.
Bima Sura mulai tersenyum lebar,
karena ia mendengar kata hati Bintari Ayu. Kipas yang menutup sebatas hidung
Bintari Ayu itu mulai bergerak turun me-nyambut kehadiran Bima Sura. Pandangan
mata Bintari Ayu mulai sayu, seakan hatinya kian menggebu-gebu mengharapkan
kemesraan si pemuda bercambang tipis itu.
Bahkan ketika kedua tangan Bima Sura mulai meraba pipi Bintari Ayu, perempuan
itu pun dikatupkan sambil matanya memandang tak berkedip ke wajah Bima Sura.
"Rupanya dia menggunakan ilmu sihir untuk membuat Bintari Ayu bergairah!"
ujar Estigina yang tak mengetahui adanya jurus totokan di bagian paha tadi.
"Jahanam itu harus mati sekarang Juga!" Blass...!
"Hei, tunggu...!" sentak Raka Pura, tetapi Estigina sudah lebih dulu melesat
sambil mencabut pedangnya.
"Wah, rupanya Estigina minta dicium lagi oleh pemuda itu, Raka!"
"Dia ingin membunuh pemuda itu, Tolol!" ujar Raka agak jengkel mendengar kata-
kata Bujang Bodo yang diucapkan dengan polos dan lugu itu.
Saat itu, Bima Sura segera melihat
kehadiran Estigina yang sudah menghunus pedang dan melayang ke arahnya.
"Hei, rupanya kau ketagihan cumbuanku, kau past! kecewa karena kesucian mu belum
kurenggut, Nona cantik" Tapi sekarang terimalah cumbuanku yang kedua,
heeahh...!"
Bima Sura sentakkan kedua tangannya ke samping dalam keadaan kedua kaki me-
renggang rendah. Suuut...! Tenaga dalam yang keluar dari kedua telapak tangan
itu menghantam tubuh Estigina. Brruss...!
"Aaow...!" Estigina memekik dalam keadaan tubuhnya bagai diterjang badai besar,
melayang-layang dan jatuh setelah membentur pohon. Brrukk...!
"Ooh...! Matilah dia, Raka! Pasti dia mati!" ujar Bujang Bodo sambil menutup
matanya, merasa tak tega melihat Estigina terbanting sekeras itu.
"Bima Sura, dekaplah aku...! Jangan hiraukan gadis itu! Dekaplah aku, Bima
Sura..." pinta Bintari Ayu yang gairahnya sudah telanjur berkobar-kobar dan
menuntut cumbuan sedalam mungkin. Tubuh Bintari Ayu didorong Bima Sura dengan
sentakan keras. Perempuan itu jatuh terduduk dengan menyedihkan. Bima Sura
lakukan hal itu karena Estigina lemparkan pedangnya dari tempatnya jatuh. Pedang
itu menye-barkan sinar merah bagai ingin menyergap
Bima Sura. Srraaabz...!
Bima Sura terpaksa menghadapinya
dengan melepaskan sinar biru dari kedua telapak tangannya yang kedua jempolnya
dilipat. Kedua telapak tangan itu diputar balik dan menyentak maju. Suut...!
Clappp...! Sinar biru lebar pun keluar dari kedua tangan tersebut. Sinar biru
itu ditabrak dengan sinar merah lebar da-ri ujung pedang Estigina.
Blarrr...! Ledakan kuat menggema ke mana-mana.
Tanah di sekitar tempat itu bergetar bagai dilanda gempa kecil. Tetapi pedang
itu tetap meluncur ke arah Bima Sura.
Dengan cepat Bima Sura berpindah tempat bagaikan menghilang. Slabb...! Tahu-tahu
ia sudah berada di samping Estigina, se-mentara pedang itu meluncur terus dan
menancap di bawah pundak Bintari Ayu.
Jrrub...! "Aaah...!" Bintari Ayu memekik dan jatuh terkapar. Ia berusaha mencabut pedang
itu, namun kekuatannya bagai meni-pis, sehingga pedang itu hanya dibiarkan
menancap di bawah pundaknya, di dada kanan. Ia merintih kesakitan tanpa ada yang
menghiraukan. Karena pada saat itu, Raka Pura se-
gera perhatikan serangan Iblis Pemburu Wanita ke arah Estigina. Serangan itu
berupa tendangan yang datang secara berun-
tun dan sukar dihindari Estigina karena kecepatannya yang luar biasa itu.
"Aaow...!" Estigina memekik satu kali, setelah itu tak memekik lagi karena jatuh
pingsan pada tendangan ketujuh.
Seketika itu pula, Bima Sura men-
gangkat tangannya. Tangan yang menyala merah bara itu ingin dihantamkan ke dada
Estigina yang sudah terkapar di tanah.
Tetapi tiba-tiba tubuh Bima Sura diterjang sesuatu yang membuatnya terlempar ke
belakang membentur pohon dengan kerasnya.
Brruus...! Krrraak...!
Brrruuuk..! Pohon tersebut tumbang
seketika karena benturan dengan tubuh Bi-ma Sura.
"Setan alas! Siapa orang itu"! Ter-jangannya membuat tulang-tulangku terasa
remuk! Untung ku lapisi dengan tenaga in-ti! Edan! Pohon itu sampai tumbang
karena benturan dengan tubuhku. Ooh... berarti benturanku tadi keras sekali,
ya"!" pikir Bima Sura, lalu segera bangkit memandang pemuda tampan berbaju tanpa
lengan warna putih dan berambut lepas sepundak. Mata Bima Sura menatap ke arah.
pedang kristal yang ada di pinggang pemuda dari Gunung Merana, yang tak lain
adalah Pendekar Kembar sulung; Raka Pura.
"Tindakanmu sudah mencapai tingkat kecemasan penghuni dunia ini, Iblis Pemburu
Wanita! Aku merasa berhak menghenti-
kannya!" "Siapa kau sebenarnya"! Kuakui ter-jangan mu tadi cukup hebat, tapi jangan
bangga dulu, karena sebentar lagi aku akan mengirimmu ke tengah neraka! Untuk
itu, perkenalkan lebih dulu dirimu agar namamu bisa ku ukir dalam batu nisan mu
nanti!" Raka Pura sunggingkan senyum tipis.
Kini kedua pemuda sama-sama tampan dan sama-sama bertubuh kekar itu saling
pandang beberapa saat.
"Aku yang bernama Raka Pura; si sulung dari Pendekar Kembar!" jawab Raka Pura
sampai ditelinga Bujang Bodo. Cucu Ki Darmala itu mencibir dan menahan tawa geli
sambil hatinya berkata,
"Boleh juga tipuan mu, Raka! Pasti lawanmu ciut nyali lebih dulu mendengar
pengakuan palsumu itu!"
Tetapi pendapat Bima Sura berbeda
dengan anggapan Bujang Bodo. Melihat sosok penampilan yang meyakinkan dengan
pedang kristal yang megah itu, Bima Sura percaya dengan pengakuan tersebut. Tapi
ia hanya sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan nama Pendekar Kembar.
"Kudengar namamu menjadi bahan pembicaraan para tokoh di rimba persilatan!
Tapi jangan harap nama itu akan dibicarakan lagi kecuali kau bersujud dl kakiku
dan meminta ampun atas kelancanganmu
menggagalkan niatku membunuh gadis itu!"
"Aku tak keberatan bersujud di ka-kimu, setelah kau menjilat telapak kakiku
lebih dulu!"
Wajah Bima Sura menjadi merah men-
dengar ucapan Raka yang membalas hinaannya. Gemetar tangan Bima Sura karena
merasa sangat direndahkan oleh Pendekar Kembar. Maka ia pun perdengarkan suara
geramnya dengan gigi menggeletak kuat-kuat.
"Kurasa kau tak pantas berhadapan denganku terlalu lama! Pergilah ke neraka
sekarang juga! Heeehh...!"
Bima Sura putarkan tubuh dengan ce-
pat, kakinya melesat ke wajah Raka.
Wees...! Raka segera ayunkan badan ke bawah, sehingga tendangan itu lolos dari
sasaran. Pada saat Raka terduduk, kaki Bima
Sura sudah melayang lagi ke wajah dengan cepat. Beett...!
Dess...! Tangan kanan Raka segera
menangkis tendangan kaki itu. Tangan kiri menekan di tanah dan kedua kaki Raka
menendang cepat secara beruntun bergantian.
Bet, bet, bet, bet, bet...! Tendangan itu kenai tulang kering Bima Sura, lalu ke
lutut, terus naik sampai ke perut, sehingga tubuh Raka bergeser maju bagai
terseret oleh kekuatan tenaga dalamnya sendiri yang disalurkan ke telapak ka-
kinya. Baaahk...! Raka Pura meloncat sambil menjejak-
kan kedua kaki secara bersamaan. Jejakan itu kenai dada Bima Sura. Lalu tubuh
Raka jatuh ke tanah dengan kedua tangan siap menapak di tanah. Begitu kedua
tangan sampai di tanah, ia mengayun dalam satu sentakan, maka tubuh itu pun
melayang dalam gerakan jungkir balik satu kali di udara. Wuukkk...!
Jlegg...! Ia berhasil berdiri den-
gan tegak dan gagah.
"Puih...!" Bima Sura meludah. Yang diludahkan ternyata darah kental akibat
tendangan beruntun dari Raka tadi. Wajah pemuda bercambang tipis itu semakin
ganas. "Tak ada waktu lagi untuk bermain-main denganmu, Jahanam! Terima saja ajal-mu
sekarang juga!"
Wutt,..., werrrss...!
Bumerang dicabut dan dilemparkan ke arah Raka. Bumerang itu terbang mengelilingi
Raka dengan memancarkan cahaya merah bara. Raka Pura segera mencabut pedangnya.
Begitu pedang ditarik lepas dari sarungnya, bumerang itu menerjang ke arah dahi.
Maka pedang itulah yang menjadi pe-nangkisnya.
Wuuttt, duarrr...!
Ledakan cukup keras terjadi karena
benturan pedang yang menyala ungu dengan bumerang yang memancarkan cahaya merah
bara. Bumerang itu terpental dan terbang
mengelilingi Raka lagi seakan ingin menerjang dari sisi lain,
Raka Pura kebingungan menghadapi
gerakan bumerang tersebut. Pedang Tangan Malaikat menebas ke berbagai arah.
Wuuttt, wuuttt, wuuttt...!
Angin kibasannya menebarkan gelom-
bang ketajaman pedang yang membuat tim-bulnya ledakan, jika angin ketajaman itu
menyentuh bumerang.
Duarr, duarrr, duarrr...!
Sementara itu, Bima Sura segera me-
lepaskah sinar hijaunya. Dalam keadaan bingung menghadapi bumerang itu, Raka
pasti tak siap hadapi sinar hijau tersebut. Slappp...!
Tapi tiba-tiba sinar hijau itu di-
hantam oleh seberkas sinar putih perak yang menyerupai pisau runcing itu.
Clapp...! Blegarrr...!
Bima Sura terkejut melihat ada si-
nar putih yang menghancurkan sinar hijaunya. Ia segera berpaling ke samping,
ternyata rombongan Soka Pura sudah muncul di sana. Soka hadir bersama Selir


Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pamujan yang berhasil berjumpa dengannya di perjalanan. Selain Soka dan Selir
Pamujan, juga Bandar Getih dan Lodayu ada bersama
mereka. Lodayu masih hidup dan dalam kea-
daan segar, Bima Sura menjadi terkejut dan mulai tampak benar-benar tegang.
Matanya berpindah-pindah antara Lodayu dan Soka yang serupa betul dengan Raka
Pura. Melihat si Iblis Pemburu Wanita dalam keadaan bingung, Raka Pura segera
menerjangnya dari samping meninggalkan serangan bumerang yang melayang-layang
itu. Wuttt..! Brresss...!
Pedang Tangan Malaikat berkelebat
cepat ke dada Bima Sura, Crass...! Bima Sura tersentak mundur beberapa langkah.
Ia masih bisa bertahan agar tak jatuh.
Sementara itu, bumerang yang berputar-putar itu dihajar oleh Soka menggunakan
sinar putih mirip pisau runcing yang dinamakan jurus 'Cakar Matahari' itu.
Blegarrr...! Bumerang itu pecah berhamburan. Pa-
da saat bumerang itu pecah, dari arah lain muncul Eyang Rangkasewa dengan Nini
Sawandupa. Nenek tua itu segera melesat menerjang Bima Sura dengan kobaran api
dendamnya. "Modar kau sekarang, Iblis busuk!
Hiaaah...!"
Wuuut...! Tahu-tahu tubuh Nini Sa-
wandupa telah disambar Eyang Rangkasewa lagi. Ia tak jadi menerjang Bima Sura.
"Lepaskan aku! Iblis busuk itu ha-
rus kuhancurkan sebelum ia menghancurkan kalian yang ada di sini!" teriak Nini
Sawandupa. "Tenang! Lihat saja iblismu itu"!"
ujar Eyang Rangkasewa sambil menuding ke arah Bima Sura yang hanya berdiri diam
dengan senyum tipis di bibirnya.
Saat itu pula, Estigina siuman. Ia
segera ditolong oleh Bujang Bodo.
"Raka sedang berhadapan dengan Iblis Pemburu Wanita! Jangan ke mana-mana dulu,
lihat siapa yang unggul. Iblis itu atau aku!"
"Kau..."!"
"Raka mewakili diriku," ujar Bujang Bodo.
Melihat Bima Sura berdiri tegak ba-
gaikan sedang beradu pandangan mata dengan Raka, Estigina segera menerjangnya.
Tubuh gadis itu segera disambar
oleh Raka Pura. Si gadis berontak dengan kasar.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Dia telah menjamah seluruh tubuhku! Dia harus kubu-nuh
sekarang juga!"
"Dia sudah tak bernyawa!" ujar Raka dengan tegas, matanya memandang tajam kepada
Estigina. Gadis itu hentikan gerakan merontanya. Ia pun segera menatap Bima
Sura. Belum ada satu helaan napas, tubuh
Bima Sura tumbang ke belakang dalam kea-
daan tetap tersenyum dan membuka mata.
Mereka yang memandangnya sejak tadi sama-sama terperangah kaget melihat
kenyataan itu. Dada si Iblis Pemburu Wanita tampak terluka lebar setelah ia
tumbang. Luka itu tidak timbulkan darah kecuali hanya warna ungu samar-samar.
Nini Sawandupa pun tak jadi meronta dari genggaman tangan Eyang Rangkasewa.
Ia memandang dengan tertegun, napasnya yang memburu mulai mereda.
"Ooh... dia benar-benar sudah tak bernyawa"!" ujar Bandar Getih yang memeriksa
dari jarak dekat.
Semua tertegun memandang Raka yang
masih menggenggam pedang di tangan kanan dan menggenggam lengan Estigina di
tangan kiri. Soka Pura segera mendekatinya sam-
bil tersenyum-senyum jenaka kepada sang kakak. Kala itu Estigina terkejut
melihat Raka Pura ada dua.
"Kaa... kalian kembar"!"
Eyang Rangkasewa segera berkata,
"Pendekar Kembar, terima kasih atas bantuanmu! Kalian telah melenyapkan durjana
ini yang berarti pula membebaskan kaum wanita dari ancaman keiblisannya!"
"Siapa kau, Pak Tua"!" tanya Raka.
Nini Sawandupa menjelaskan, "Dia yang menolongku dan menolong Rara Wulan dari
ancaman laknat Iblis Pemburu Wani-
ta!" "Rara Wulan..."!" Soka terperanjat.
"Di mana dia sekarang, Nini?"
"Ada di pondokku! Jemputlah ia, Nak. Karena ia hanya mau pulang ke kadipaten
jika diantar oleh Soka Pura; si bungsu dari Pendekar Kembar!"
"Oh, gila betul gadis itu!" gumam Soka sambil tersenyum dan geleng-gelengkan
kepala. Selir Pamujan merasa sakit hati
mendengar ucapan itu, ia segera pergi tanpa pamit dan tak hiraukan seruan Soka
lagi. Sementara itu Estigina masih tak sadar pandangi Soka Pura dengan terkagum-
kagum, karena ternyata sejak kemarin ia bersama Pendekar Kembar yang dibangga-
banggakan itu. Namun dalam hati Estigina pun mempunyai kebanggaan lain untuk
Raka, yaitu kesuciannya yang belum sempat direnggut oleh siapa-siapa.
Soka melirik kakaknya dan berbisik,
"Tumben kau menggandeng seorang gadis!
Sudah berubah pendirian"!"
Raka Pura buru-buru lepaskan geng-
gaman tangannya pada lengan Estigina. Ia malu kepada ejekan adiknya itu. Ia pun
bersungut-sungut sambil menggerutu lirih.
"Hanya menggandeng apa tak bo-
leh..."!"
Soka Pura tertawa. kemudian mengi-
kuti langkah Eyang Rangkasewa untuk men-
jemput Rara Wulan.
SELESAI Segera terbit!!!
PERAWAN BUKIT JAGAL
E-Book by Abu Keisel - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Pedang Dan Kitab Suci 18 Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Kedele Maut 20
^