Pencarian

Perawan Bukit Jalang 1

Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang Bagian 1


1 KABUT yang biasa melapisi puncak Gunung
Merana tidak segelap biasanya. Pertengahan lereng
gunung justru dilapisi kabut tebal. Tapi puncaknya tidak. Entah mengapa kabut
tak mau bergumul sampai
puncak. Yang jelas keadaan itu membuat puncak Gu-
nung Merana berhasil diterobos oleh sinar matahari.
Sang surya yang lakukan terobosan ke puncak
gunung itu menyusup lewat celah-celah dedaunan.
Keadaan itu membuat puncak Gunung Merana menja-
di cerah. Kecerahan tersebut mempengaruhi hati dua
insan yang sedang berjalan-jalan di sekitar sebuah
makam tua. Makam itulah yang selama ini dijaga oleh
mereka hingga mereka hidup berpasangan dengan me-
sra di puncak Gunung Merana.
Makam itu tidak lain adalah makam tokoh du-
nia persilatan masa lalu yang dikenal dengan julukan
si Dewa Kencan alias Eyang Mangkuranda. Kesetiaan
seorang murid membuat makam itu dijaganya sepan-
jang hari, sekalian sang murid mengasingkan diri dari rimba persilatan ke puncak
Gunung Merana itu. Murid
tersebut kini sedang berduaan dengan lawan jenisnya,
Dua sosok yang sedang berjalan dengan mesra
itu tak lain adalah si Pawang Badai bersama istrinya; Nyi Padmi. Sekalipun
Pawang Badai sudah berusia sekitar enam puluh tahun, dan Nyi Padmi sudah berusia
sekitar lima puluh tahun, namun cinta kasih mereka
masih terjalin dengan harmonis, hangat namun tidak
seronok. Sekalipun mereka sampai setua itu belum dika-
runiai keturunan, namun mereka sudah merasa cukup
bahagia dengan memiliki dua anak angkat yang kini
telah tumbuh dewasa dan menjadi sepasang pendekar
yang dikenal dengan nama Pendekar Kembar.
"Sudah empat purnama si Kembar tidak me-
nengok kita. Aku rindu sekali dengan mereka," ujar Nyi Padmi dengan membiarkan
tangan suaminya merang-kul dari samping kanan.
"Aku pun merindukan mereka. Tapi percayalah,
mereka pasti pulang dalam beberapa waktu lagi. Mere-
ka tentu merindukan kita juga," ujar si Pawang Badai dengan nada menghibur.
"Aku takut Raka dan Soka lupa kepada kita."
"Itu tidak mungkin, karena kita tahu persis wa-
tak mereka yang tak mudah melupakan orang-orang
yang pernah berjasa kepada mereka berdua. Jangan
punya pikiran seperti itu, nanti hatimu semakin ter-
siksa oleh kecemasanmu sendiri."
"Haruskah aku berpikir tentang dirimu terus?"
"Apakah diriku sudah membosankan untuk
menjadi buah pikiranmu?"
Nyi Padmi tertawa kecil. Pawang Badai meman-
dang dengan senyum seperti masa mudanya, yaitu se-
nyum yang selalu menggetarkan hati si gadis putri seorang Tumenggung yang
bernama Rara Padmi itu.
Nyi Padmi mencubit lengan suaminya yang su-
dah berkeriput itu. Tawa kecilnya berkepanjangan,
menandakan hatinya sedang ceria. Hanya saja, sayang
sekali keceriaan itu harus segera berakhir karena tiba-tiba mereka sama-sama
melihat sekelebat bayangan
melesat tak jauh dari samping kiri mereka.
Weees...! Pawang Badai segera melompat ke depan bersi-
kap melindungi istrinya. Kedua matanya segera men-
gikuti kelebatan bayangan yang melintas serong menu-
ju ke hutan depan. Tapi tangan si Pawang Badai sudah
siap melepaskan pukulan jarak jauh jika sampai
bayangan itu menyerang mereka.
"Cepat masuk ke pondok!" perintah Pawang
Badai kepada istrinya.
Rupanya bayangan itu berkelebat menjauhi
mereka, sepertinya sedang menghindar sebuah keja-
ran. Hanya saja, ketika Nyi Padmi sedang bergegas
masuk ke pondoknya, ia tak tahu kalau dari arah
samping muncul seberkas sinar kuning emas yang me-
lesat cepat dalam bentuk seperti bintang berekor.
Claaap...! Dees...!
"Aahk...!" Nyi Padmi terpekik, pinggangnya terkena sinar kuning emas itu.
"Hahh..."!" Pawang Badai terperanjat melihat istrinya limbung memutar dan
akhirnya jatuh terkapar.
Brruk...! "Padmii...!" sentak Pawang Badai dengan mata membelalak tegang. Ia segera
menghampiri istrinya
yang sudah hampir mencapai halaman pondok mereka
itu. Sang istri pun terkapar dengan suara mengerang
sebentar, kemudian diam tak bergerak dan tak bersua-
ra lagi. Wees, wees...!
Pawang Badai yang nyaris meluapkan mur-
kanya itu sempat menahan diri karena melihat bayan-
gan lain yang melintas di sela-sela pepohonan. Bayan-
gan itu berkelebat ke arah kepergian bayangan yang
pertama. "Berhenti kau, Keparat!" sentak Pawang Badai, kemudian dengan cepat tangan
kanannya mengibas
bagai melemparkan pisau. Wuuut...! Kejap berikut an-
gin besar datang dan berhembus dengan cepat.
Wuurrss...! Glegaaar...! Hembusan angin kencang itu dibarengi kilatan
cahaya terang bagaikan petir dilemparkan. Tanah
menjadi bergetar, sebagian ada yang longsor. Pohon-
pohon tumbang karena dihempas angin besar yang ke-
luar dari jurus kibasan tangan si Pawang Badai. Bebe-
rapa pohon yang tumbang itu ada yang terpental ter-
cabut dari akarnya dan menerjang tanaman lainnya.
Puncak Gunung Merana bagian barat bagai dilanda
kiamat. Dua bayangan yang tadi melesat dan segera tak terlihat itu tak diketahui
nasibnya. Hanya saja, si Pawang Badai sempat melihat bayangan yang terakhir
melesat tak jauh darinya itu terlempar oleh hembusan
angin membadai setelah berada di kejauhan sana.
Melihat keadaan istrinya membuka mata dan
mengangakan mulut tanpa bergerak, Pawang Badai
sempat ragu-ragu dalam bertindak. Ia ingin mengejar
bayangan terakhir yang menurutnya telah melepaskan
jurus maut dan mengenai istrinya itu. Namun ketika
denyut nadi sang istri terasa masih ada, maka ia ba-
talkan niat untuk mengejar bayangan tersebut. Ia
mengutamakan lakukan pertolongan demi selamatkan
nyawa sang istri. Karena keadaan tubuh sang istri kala itu sudah mulai membiru
dengan wajah sepucat
mayat. Pawang Badai segera membawa istrinya masuk
ke pondok. Sementara itu, badai yang dilemparkan tadi te-
lah mulai reda. Tinggal gema gemuruhnya yang masih
terdengar bagai menerjang sampai ke kaki Gunung
Merana itu. Setelah diperiksa, ternyata keadaan luka Nyi
Padmi sangat berbahaya. Tubuhnya bukan saja men-
jadi biru memar, namun disertai dengan bintik-bintik merah. Bintik-bintik merah
itu adalah darah yang mulai keluar dari pori-pori kulit perempuan tua itu.
"Keparat! Ini pukulan racun 'Sengat Peri'. Siapa pemiliknya, aku pun tahu! Tapi
mengapa ia menyerang
istriku"!" pikir Pawang Badai sambil memandangi kea-
daan tubuh istrinya yang memprihatinkan itu.
"Inti darahnya mulai menghangus. Harus sege-
ra ku padamkan dengan 'Hawa Badai Salju' yang ada
padaku jika aku tak ingin kehilangan istri tercinta! Walaupun 'Hawa Badai Salju'
tidak mungkin bisa mema-
damkan seluruh inti darah yang terbakar, setidaknya
dapat menghambat keganasan racun 'Sengat Peri' itu!"
Tokoh tua yang sebenarnya sudah tak ingin
ikut campur di rimba persilatan lagi itu termenung
berkepanjangan memikirkan nasib istrinya. Ia tak bisa menghilangkan racun
'Sengat Peri'. Ia hanya bisa
memperlambat cara kerja racun itu saja. Tetapi tidak
mungkin selamanya Nyi Padmi hanya akan menerima
'Hawa Badai Salju' saja.
Di ujung renungannya itu, tiba-tiba Pawang
Badai mendengar suara rintihan di tempat yang cukup
jauh. Suara rintihan itu terdengar samar-samar tim-
bul tenggelam, seakan bisa terdengar jika angin ber-
tiup ke arah pondok.
Nalurinya yang mengatakan ada seseorang
yang dalam bahaya dan sangat menderita, segera
menggerakkan hatinya untuk segera mencari orang
terse but. Suara rintihan itu dilacaknya, semakin lama semakin jelas jenisnya.
"Perempuan mana yang merintih di sebelah sa-
na itu"!" pikir Pawang Badai sambil melangkah mele-wati hutan yang telah hancur
akibat sapuan angin ba-
dai tadi. Tokoh tua berambut abu-abu sepanjang
punggung dengan jenggot dan kumis abu-abunya pula
itu segera hentikan langkah setelah jelas betul dari mana datangnya suara
rintihan itu. Mata yang memancarkan wibawa itu akhirnya
menemukan seorang gadis yang separo tubuhnya ter-
timpa pohon besar dan dalam keadaan banyak luka di
tubuhnya. Si jubah putih bertongkat hitam itu segera dekati gadis yang malang.
"Diakah yang memiliki pukulan racun 'Sengat
Perl' itu"! Oh, sepertinya hati kecilku tak mempercayai dugaanku sendiri. Kurasa
bukan gadis ini. Tapi mengapa ia ada di sini"!" pikir Pawang Badai.
Seorang gadis cantik bertubuh langsing me-
nampakkan wajah derita. Agaknya ia ikut terhempas
badai dan membentur ke sana-sini, hingga akhirnya
tumbang tak berkutik karena sebatang pohon menim-
pa bagian perutnya. Batang pohon yang tumbang itu
cukup besar. Pawang Badai memperkirakan, jika see-
kor buaya yang tertimpa pohon itu, pasti buaya terse-
but akan mati. Tetapi gadis itu tidak. Ia masih hidup.
Itu menandakan bahwa gadis berjubah coklat
muda itu bukan sembarang gadis. Setidaknya ia mem-
punyai ilmu tenaga dalam yang mampu menahan tu-
buhnya dari gencetan pohon besar tersebut. Hanya sa-
ja tenaga dalamnya itu tak mampu mendorong batang
pohon itu, mungkin karena yang ia miliki hanya sisa
dari tenaga dalam yang nyaris habis itu.
"Too... long... aku, Pak Tua...," ucapnya dengan wajah cantik yang menyeringai.
Kulit wajahnya yang
sebenarnya kuning langsat itu kini telah menjadi me-
rah kebiru-biruan karena saluran darahnya tergencet
pohon besar tersebut.
Pawang Badai segera mengganjal pohon itu
dengan tongkatnya. Tenaga dalamnya dikerahkan den-
gan tak kentara, karena urat-uratnya tak kelihatan
menegang. Tongkat yang disodokkan ke sisi kanan tubuh
si gadis itu segera diangkat dengan gerakan pelan-
pelan dan pandangan matanya tertuju pada tongkat
tersebut. Ternyata tongkat sebesar pergelangan tan-
gannya itu mampu menopang batang pohon yang be-
sar. Batang pohon itu terangkat pelan-pelan dengan
tongkat digenggam satu tangan.
Setelah tongkat itu mampu menopang pohon
besar dalam ketinggian sebatas perut, kaki Pawang
Badai segera menendang pelan betis si gadis. Duuhk...!
Tapi tenaga yang keluar dari kaki itu cukup besar, sehingga si gadis terdorong
dan berguling-guling bebera-pa kali. "Aaahk...!"
Pawang Badai tak hiraukan pekikan si gadis.
Yang ia tahu, si gadis sudah berhasil disingkirkan dari bawah batang pohon
tersebut. Maka tongkatnya segera
ditarik dan batang pohon itu jatuh ke tanah kembali.
Brruuk...! Tanah di sekitarnya bergetar sedikit, namun tak ada dahan pohon yang
menimpa tubuh si gadis.
Gadis itu mengerang sebentar, kemudian terku-
lai lemas dalam keadaan tengkurap. Rupanya sang ga-
dis telah kehabisan tenaga, untung belum kehabisan
nafas, sehingga Pawang Badai segera membawa ke
pondoknya dalam keadaan si gadis masih pingsan.
Gadis berjubah coklat muda dengan celana
panjang dan pinjung penutup dadanya yang sekal
berwarna ungu itu segera diobati oleh Pawang Badai.
Tindakan itu bukan semata-mata dilakukan karena
rasa manusiawi semata, namun juga untuk mengeta-
hui siapa gadis itu dan mengapa sampai berada di
puncak Gunung Merana. Hawa murni yang disalurkan
ke tubuh si gadis dengan cara menempelkan dua te-
lunjuk ke leher si gadis, membuat gadis itu makin la-
ma bukan saja menjadi siuman, namun juga semakin
merasa sehat. Sekalipun ia belum bisa bangkit, namun
sudah bisa bicara dan melihat siapa orang yang meno-
longnya. "Siapa kau sebenarnya"!" tanya si Pawang Badai dengan nada tegas dan berwibawa.
"Aku... aku adalah Anggani, murid mendiang
Nyai Pundilamis dari Bukit Jalang."
"Pundilamis..."!" gumam Pawang Badai dengan kerutkan dahi. sepertinya ia
mengenal nama itu. "Kau tadi bilang 'mendiang' Nyai Pundilamis"! Apakah
Pundilamis sudah tewas"!"
"Benar, Pak Tua! Apakah kau mengenal men-
diang guruku itu"!"
"Ya, aku kenal dengan beliau. Tapi baru seka-
rang kudengar si Pundilamis meninggal."
"Karena memang baru tiga hari yang lalu beliau
tewas, Pak Tua!" ujar Anggani dengan wajah tampak bersedih.
"Perguruan kami diserang oleh orang-orang
Rawa Geni. Pada mulanya kami bisa bertahan, dua
kali serang orang-orang Rawa Geni berhasil kami sapu
habis. Sampai ketuanya sendiri; si Warok Koncer tewas di tangan guruku," tutur
Anggani dengan kata-kata yang belum selancar biasanya.
Pawang Badai menyimak sambil sesekali meli-
rik keadaan istrinya yang terbaring di balai-balai bam-bu tak jauh darinya. Hati
Pawang Badai selalu teriris pedih manakala ia melirik istrinya dan menyadari
sang istri bagaikan patung bernyawa yang tak mampu gerakkan apa-apa.
"Tetapi perguruanku menjadi hancur, rata den-


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan tanah, dan tak ada yang hidup satu pun kecuali
diriku, setelah kakaknya Warok Koncer muncul laku-
kan balas dendam kepada pihak kami."
"Siapa kakaknya Warok Koncer itu"!"
"Si Wajah Malaikat!"
Pawang Badai terperanjat, pandangan matanya
terkesip, seolah-olah nama Wajah Malaikat membuat
bulu kuduknya merinding seketika. Rupanya Pawang
Badai cukup kenal dengan nama tersebut, sehingga
detak jantung bertambah cepat diburu oleh dendam
yang tersembunyi di balik relung hatinya.
"Ternyata dugaanku benar! Dia masih hidup!"
gumam Pawang Badai dengan mata memandang ham-
pa. "Apakah kau juga kenal dengan si Wajah Ma-
laikat, Pak Tua"!"
"Aku sangat mengenalnya, Nak," jawab Pawang Badai, suaranya cukup pelan dan
datar. "Dia itulah orang yang mengejarku, Pak Tua!
Dia tak ingin orang Bukit Jalang ada yang hidup. Se-
dangkan satu-satunya orang yang masih hidup adalah
diriku. Maka ia mengejarku dan aku berlari terus sam-
pai ke sini...."
"Tentu saja kau tidak akan mampu menandingi
ilmunya si Wajah Malaikat!"
"Aku menyadari hal itu, Pak Tua! Sekalipun
aku berhasil lolos dari pukulan mautnya yang bersinar kuning emas itu, tapi aku
tetap merasa bahwa ia bukan tandinganku. Karena aku lari dan lari terus tanpa
arah yang pasti."
Pawang Badai tarik napas. Ia baru menyadari
bahwa bayangan pertama yang tadi dilihatnya berkele-
bat itu adalah bayangan si Anggani yang dikejar oleh
Wajah Malaikat. Pawang Badai tak merasa sangsi sedi-
kit pun dengan pengakuan Anggani, sebab pengakuan
itu sangat masuk akal. Jika si Wajah Malaikat sudah
menggunakan ilmu pukulan jarak jauh yang mengan-
dung racun 'Sengat Peri', maka jarang sekali ada la-
wannya yang masih bisa menyelamatkan diri.
Jika sampai Anggani berhasil lolos dari puku-
lan beracun itu, berarti Anggani punya ilmu yang cu-
kup lumayan. Setidaknya punya kelincahan gerak
yang patut dipuji. Atau karena gadis itu memang se-
dang bernasib mujur.
"Aku kenal dengan si Wajah Malaikat. Semula
aku sangsi melihat istriku terkena pukulan beracun
'Sengat Peri'. Aku tahu pukulan seperti itu hanya dimiliki oleh si Wajah
Malaikat. Tapi, kusangka si Wajah
Malaikat sudah tewas beberapa tahun yang lalu dalam
peristiwa penyerangan orang Pulau Demit ke Muara
Bangke, tempat si Wajah Malaikat berkuasa. Tapi ter-
nyata dia masih hidup."
Pawang Badai menatap istrinya sebentar, hati
berdesir sedih pedih lagi. Saat itu, Anggani mencoba
bangkit dan ia berhasil duduk di tempat dengan kaki
melonjor. Matanya ikut memandang Nyi Padmi yang
ada di balai-balai bambu seberang.
"Berarti pukulan racun 'Sengat Peri' itu sebe-
narnya ditujukan untukmu, Anggani. Namun ternyata
meleset dan mengenai istriku. Padahal racun itu tak
bisa ditawarkan kecuali dengan menggunakan 'Daun
Astagina'," sambung Pawang Badai. "Sedangkan yang namanya 'Daun Astagina' hanya
ada di Taman Astamarta. Taman itu sendiri sekarang sudah rata dengan
tanah." "Maaf, Pak Tua...," potong Anggani. "Taman Astamarta itu di mana?"
"Di Keraton Kencana Windu. Sedangkan Kera-
ton Kencana Windu sudah dihancurkan oleh prajurit
dari Laut Berantai. Keraton dan tamannya sudah dira-
takan dengan tanah."
"Jadi sekarang sudah tak ada?"
"Aku tak tahu dengan pasti; apakah pohon As-
tagina itu masih ada di sana atau ikut rata dengan tanah," jawab Pawang Badai
tampak bimbang.
"Kasihan istrimu itu, Pak Tua...," ujar Anggani.
"Gara-gara aku melarikan diri ke sini, beliau menjadi korban pukulan ganas si
Wajah Malaikat! Aku merasa
bersalah, Pak Tua."
Mendengar nada bicara Anggani yang penuh
sesal itu, Pawang Badai segera mengusap rambut pan-
jang gadis itu.
"Sebenarnya bukan salahmu, karena kau tak
sengaja membuat istriku celaka!"
"Tapi... tapi aku merasa sebagai penyebab ben-
cana yang dialami istrimu itu, Pak Tua. Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan
jika sudah begini keadaannya." "Yang jelas, si Wajah Malaikat pasti masih
hidup." "Dari mana kau tahu" Menurutku dia sudah tewas karena badai dahsyat yang
tiba-tiba muncul ta-di," ujar Anggani dengan polos, karena ia tidak tahu bahwa
badai itu datang dari tangan si Pak Tua yang
ada di depannya.
"Wajah Malaikat pasti masih hidup, karena ia
punya jurus peringan tubuh yang dinamakan 'Serat
Mayat', tubuhnya bisa tembus benda keras apa pun
dalam satu helaan napas yang tertahan."
"Agaknya kau sangat tahu tentang si Wajah
Malaikat itu, Pak Tua"!"
"Karena semasa mudaku, kami pernah bersa-
habat. Tapi sejak ku tahu dia ikut aliran hitam, aku memisahkan diri, dan sering
bentrok dengannya," jawab Pawang Badai.
"Kalau boleh ku tahu," kata Anggani setelah menggumam kecil dan manggut-
manggut."... siapa sebenarnya dirimu ini, Pak Tua?"
"Apakah mendiang gurumu; Nyai Pundilamis
tak pernah bercerita padamu tentang seseorang yang
bernama Pawang Badai?"
"O, ya! Mendiang Guru memang pernah berceri-
ta tentang pemuda yang ditaksirnya semasa beliau
masih muda. Namun pemuda itu jual mahal dan ak-
hirnya Guru membencinya. Pemuda itu adalah si Pa-
wang Badai."
"Tapi aku tidak membenci gurumu," ujar Pa-
wang Badai. Anggani menatap Pawang Badai dengan berke-
rut. Ia mulai curiga, dan akhirnya memastikan kecuri-
gaannya itu dengan sebuah kesimpulan.
"Kalau begitu, kaulah yang bernama Pawang
Badai itu"!"
"Kesimpulanmu tak salah, Anggani," jawab Pawang Badai dengan nada berwibawa
namun juga berkesan bijaksana.
Anggani terkesip, sedikit sentakkan tubuh
mundur. "Apakah kau ingin ikut membenci ku juga,
Nak?" Anggani diam sebentar, lalu menjawab pelan,
"Ku rasa itu tak perlu kulakukan. Kebencian Guru kepada mu karena urusan
pribadi, Ki Pawang Badai. Aku
tak perlu ikut campur. Apalagi kau telah menyela-
matkan nyawaku dari gencetan pohon tadi, tak ada
alasan bagiku untuk membenci mu. Justru aku ingin
membalas kebaikanmu. Tunjukkan padaku apa yang
harus kulakukan untuk menolong istrimu itu, Ki Pa-
wang Badai"!"
"Jika begitu maumu, carilah anak kembar ka-
mi." "Siapa namanya?"
"Raka Pura dan Soka Pura alias si Pendekar
Kembar!" "Ooh... jadi... jadi Pendekar Kembar itu anak-
mu, Ki?" Anggani semakin kaget, karena ia sering mendengar nama Pendekar Kembar
yang sedang jadi
bahan pembicaraan para tokoh di rimba persilatan itu.
"Ya, mereka adalah anak angkat kami. Carilah
mereka dan beri tahukan keadaan ibu mereka di sini.
Jika perlu, suruh mereka mencari Daun Astagina' se-
cepatnya!"
"Akan kulakukan, Ki. Tapi bagaimana jika aku
gagal menemukan mereka" Atau bagaimana jika mere-
ka gagal menemukan 'Daun Astagina' itu"!"
Pawang Badai diam, matanya memandang jauh
bagai menerawang. Namun wajah tuanya mulai tam-
pak cemas. Mungkin ia membayangkan, bagaimana ji-
ka Pendekar Kembar tak berhasil mencari 'Daun Asta-
gina' yang merupakan tanaman paling langka itu"
* * * 2 SEORANG pemuda berwajah tampan baru saja
memasuki kedai milik Ki Sawangan. Pemuda berbaju
buntung warna putih dengan celananya yang putih ju-
ga itu didampingi oleh seorang pemuda lain yang ber-
wajah tak begitu tampan, namun berkesan polos dan
lugu. Pemuda yang satu itu berambut pendek, tidak
sepanjang rambut si pemuda berbaju putih itu. Pemu-
da lugu itu berbaju coklat tua dengan celana biru dan berkalung ketapel.
Tubuhnya kurus, tidak sekekar dan
segagah pemuda yang menyelipkan pedang kristal di
pinggang kirinya.
Mereka tak lain adalah Raka Pura, si Pendekar
Kembar sulung bersama Bujang Bodo. Tentu saja yang
bernama Raka Pura adalah yang tampan, sedangkan
yang bernama Bujang Bodo adalah yang memiliki wa-
jah simpang siur itu. Mereka saling berkenalan ketika
si Bujang Bodo menemukan gadis Estigina alias si Pu-
tri Awan dalam keadaan bugil dan tak berdaya akibat
nyaris diperkosa oleh almarhum Bima Sura, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Iblis Pemburu Wanita"). Sejak itulah
Bujang Bodo selalu mengikuti Raka Pura, seakan menjadi pelayan si Pendekar
Kembar sulung itu.
Mereka baru saja pulang mengantar Estigina ke
Perguruan Merak Yudha, karena gadis cantik itu ada-
lah putri sang ketua perguruan tersebut. Sedangkan
Pendekar Kembar bungsu yang dikenal dengan nama
Soka Pura gadis bernama Rara Wulan, putri tunggal
Adipati Darmadikan yang hobi minggat dan nyaris
menjadi korban kebejatan si Bima Sura itu. Jika Raka
Pura pergi mengantar si Putri Awan dengan didampingi
Bujang Bodo, maka Soka Pura pergi mengantar Rara
Wulan dengan didampingi Bandar Getih, karena Ban-
dar Getih memang pelayannya Rara Wulan.
Di dalam kedai yang cukup besar untuk uku-
ran warung makan tingkat desa itu, beberapa pasang
mata memperhatikan kemunculan Raka Pura. Sosok
pemuda bertubuh tegap dan gagah itu membuat mere-
ka berkesimpulan bahwa pemuda tersebut pasti bukan
pemuda tanpa ilmu. Ada yang memandang kagum, ada
pula yang memandang dengan rasa iri, terutama bagi
mereka yang punya tubuh kurus dan wajah beranta-
kan. Tapi Raka tidak pedulikan pandangan mata
mereka. Dengan tenangnya ia duduk di bangku sudut
berhadapan dengan Bujang Bodo. Pedang kristalnya
diletakkan di bangku panjang sebelah kirinya.
"Mau makan apa?" tanya Raka Pura kepada
Bujang Bodo bernada menawari.
"Apa sajalah, tak perlu mewah-mewah. Pang-
gang ayam juga boleh."
"Itu namanya mewah!" sentak Raka Pura den-
gan nada pelan dan berkesan canda. Bujang Bodo tan-
pa senyum dan bahkan berkerut dahi. "O, jadi panggang ayam itu termasuk makanan
mewah" Bagaimana
kalau panggang semut?"
"Nah, itu baru makanan murah!" ujar Raka Pu-ra sambil perpanjang senyum dan tawa
yang mirip orang menggumam. Setelah memesan makanan dan
minuman yang mereka inginkan, Bujang Bodo segera
duduk merenung tak peduli diperhatikan oleh Raka
Pura. "Hei, jangan melamun. Nanti ayam mu mati."
"Ayam ku memang sudah mati sejak kakek ti-
dak punya uang buat beli lauk pauk," ujar Bujang Bo-do.
"Mengapa sejak pulang dari Perguruan Merak
Yudha kau kulihat sering melamun, Bujang Bodo" Apa
yang kau pikirkan sebenarnya?"
"Estigina," jawab Bujang Bodo dengan polos
tanpa ragu ataupun malu. Jawaban itu membuat Raka
Pura semakin lebarkan senyum, karena ia tahu si Bu-
jang Bodo tampaknya naksir dengan Estigina. Padahal
menurut Raka Pura, wajah Estigina dengan Bujang
Bodo seperti pinang dibelah pakai linggis. Estigina pinang yang utuh, Bujang
Bodo pinang yang hancur dan
bonyok. "Kurasa tak perlu terlalu berpikir tentang gadis itu, Bujang Bodo. Dunia
ini tidak selebar daun kelor."
"Iya. Kalau selebar daun kelor, lantas kalau aku mau cuci muka di mana?"
"Artinya, bukan hanya Estigina gadis yang ada
di dunia ini. Masih banyak yang lainnya. Kau masih
punya kesempatan memilih gadis yang lain untuk di-
jadikan kekasihmu."
Bujang Bodo memandang Raka Pura. "Kau
sangka aku ingin menjadi kekasihnya Estigina?" "Jadi mengapa kau melamunkan diri
gadis itu?"
"Kamu memang bodoh," ujar Bujang Bodo se-
perti orang menggerutu. Suaranya pelan namun jelas
didengar oleh Raka Pura.
"Mengapa gadis itu tak kau izinkan untuk ikut
berkelana bersamamu, Raka"! Padahal dia ingin sekali
selalu bersamamu ke mana saja kau pergi."
"Dia punya kaki dan bisa berkelana sendiri ke
mana dia mau."
"Dia maunya bersamamu! Dia itu sangat cinta
kepadamu, Raka. Tapi kau menolaknya secara tak
langsung dan mengecewakan hatinya."
Raka tersenyum kecil. "Itu hanya dugaanmu
saja. Lupakanlah!"
"Tidak, Raka! Itu bukan dugaanku, tapi penga-
kuan langsung dari Estigina sendiri. Dia bilang begitu padaku. Dia sampai bilang
padaku: Belahlah dadaku


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau kau tak percaya bahwa aku mencintai Raka, Bu-
jang Bodo...."
"Lalu sudah kau belah dadanya?"
"Boro-boro membelah dadanya, memegangnya
saja aku tak berani!" Bujang Bodo bersungut-sungut membuat Raka Pura tertawa
pelan. Mereka menikmati santapan yang dipesan
sambil membicarakan gadis putri adipati itu. Sebenar-
nya Raka tahu bahwa gadis itu menaruh hati padanya.
Tapi hati Raka belum bisa tergerak sehingga belum bi-
sa menerima cinta si gadis. Hanya saja, hal itu tidak pernah dikatakan kepada
Estigina karena Raka Pura
takut menyakiti hati gadis itu.
Agaknya Bujang Bodo sangat berharap Raka
Pura berjodohan dengan Estigina. Menurutnya, pasan-
gan itu Sangat cocok dan serasi, seperti sandal jepit ki-ri dan kanan. Cocok.
Tapi agaknya ia ikut kecewa ka-
rena Raka Pura tak mau menerima gadis itu dalam ha-
tinya. "Kalau aku punya wajah tampan sepertimu, ku sambar si Estigina itu!" ujar
Bujang Bodo. "Bukankah wajahmu sudah tampan?"
"Jangan menghina! Aku sadar wajahku morat-
marit tak karuan bentuknya, sampai-sampai aku sen-
diri sering bingung membedakan wajahku dengan
tengkuk ku!"
Raka Pura hampir tersedak karena ingin terta-
wa mendadak mendengar ucapan Bujang Bodo yang
seakan diucapkan secara serius itu. Pada saat Bujang
Bodo ingin bicara lagi, tiba-tiba niatnya diurungkan
karena pandangan matanya mengarah kepada seseo-
rang yang baru saja muncul di kedai itu. Raka Pura
tak melihatnya karena ia memunggungi arah pintu
masuk kedai. Orang yang baru saja datang itu berseru den-
gan suara lantang.
"Saudara-saudara... lihatlah kemari!"
Beberapa pengunjung kedai memandang ke
arah lelaki berpakaian serba hitam dan berbadan be-
sar itu. Kumisnya yang lebat menjadi pusat perhatian
mereka, karena kumis itu mempunyai dua warna; pu-
tih dan hitam. "Lihat, aku membawa sekantong uang...," ia
menunjukkan kantong putih kusam yang digenggam
dengan tangan kanannya.
"Kantong ini berisi uang sejumlah... hitung
sendiri saja nanti!" ujarnya lagi dengan wajah ceria.
"Uang ini akan menjadi milik kalian, apabila
kalian berhasil menangkap si Perawan Bukit Jalang!"
"Perawan Bukit Jalang"!" gumam mereka saling pandang dan saling bersahutan.
"Siapa pun yang bisa menangkap Perawan Bu-
kit Jalang, dan membawanya ke Muara Bangke untuk
di serahkan kepada ketuaku, maka ia akan menda-
patkan uang ini!"
Cring, cring, cring...! Kantong berisi uang itu
sengaja diayun-ayunkan agar terdengar suaranya dan
menarik perhatian mereka. Salah seorang dari mereka
berkata kepada temannya.
"Wah, banyak sekali. Bisa buat makan selama
tujuh turunan."
"Apalagi kalau tidak dipakai-pakai, bisa awet
sampai tujuh puluh turunan."
Bujang Bodo menendang kaki Raka memberi
isyarat agar Raka memandang ke arahnya. Kemudian
dengan suara berbisik, Bujang Bodo berkata, "Bisa bikin kita kaya, Raka."
"Apanya?" Raka berlagak bodoh.
"Uang itu!" sentak Bujang Bodo dalam bisikan.
"Kita cari si Perawan Bukit Jalang dan tangkaplah orang itu, maka kau akan
mendapatkan hadiah sebanyak itu, Raka! Kau bisa kaya, dan aku bisa numpang
kaya juga."
"Kita belum tahu apa kesalahan si Perawan
Bukit Jalang sampai nyawanya disayembarakan oleh
pihak Muara Bangke. Aku sendiri belum tahu siapa
penguasa Muara Bangke itu."
"Kalau tak salah ingatanku, penguasa Muara
Bangke itu adalah si Wajah Malaikat. Tapi sebaiknya
akan ku coba menanyakannya kepada orang itu."
"Sst...! Tak usah! Kita tak perlu ikut campur
hal-hai seperti itu, Bujang."
"Aah, kau ini...!" Bujang Bodo bersungut-
sungut tampak kecewa. Tapi sebentar kemudian ada
seorang pengunjung kedai yang ajukan tanya kepada
si pembawa sekantong uang itu.
"Sobat!" kata orang itu sambil berdiri. "Kalau
tak salah kau adalah orangnya si Wajah Malaikat, pen-
guasa Muara Bangke itu"!"
"Benar! Tepat sekali dugaanmu, Saudara! Hah,
hah, hah...!"
"Kalau boleh ku tahu, mengapa Perawan Bukit
Jalang harus ditangkap dan diserahkan kepada ketua
mu"!" "Perawan Bukit Jalang adalah gadis yang licin seperti belut. Ia sukar
ditangkap, tapi mudah dibunuh jika kalian sudah berhadapan dengannya. Ilmunya
tak seberapa tinggi. Cuma licin saja gadis itu."
"Yang kutanyakan, alasannya! Apa alasannya
sehingga Perawan Bukit Jalang harus ditangkap"!"
"O, begini...," orang berpakaian serba putih itu maju beberapa langkah mendekati
orang yang bertanya. "Beberapa waktu yang lalu, Perawan Bukit Jalang bertamu ke
Muara Bangke. Ketuaku menerimanya
dengan baik-baik. Tapi pada malam hari, ia mencari
mangsa dan bercinta dengan salah seorang pengawal
benteng Muara Bangke. Pagi harinya, pengawal itu
menggelepar-gelepar di depan ketua kami. Setelah di-
periksa, ternyata darahnya telah bercampur dengan
racun yang tidak bisa ditangkal dengan apa pun. Ra-
cun itu membusukkan darah dalam waktu singkat, la-
lu menewaskan pengawal kami itu. Sedangkan si Pe-
rawan Bukit Jalang telah hilang lenyap entah pergi ke mana." "Dari mana asal
racun itu?"
"Dari mana lagi kalau bukan dari keringatnya si
Perawan Bukit Jalang. Jadi jelasnya, Perawan Bukit
Jalang harus dibunuh karena ia adalah perempuan
yang punya penyakit amat berbahaya. Jika tidak dibu-
nuh, maka pria mana pun yang bersentuhan dengan-
nya akan ketularan penyakitnya dan akan segera mati
terserang racun dalam tubuh si Perawan Bukit Ja-
lang!" "Mengapa gadis itu tidak mati" Padahal justru dia yang punya penyakit.
Mestinya dia mati."
"Menurut ketuaku, racun itu hanya bisa beker-
ja dalam tubuh seorang lelaki, tapi tidak mematikan ji-ka berada dalam tubuh
seorang perempuan. Penyakit
itulah yang dinamakan penyakit 'Hantu Lanang'. Ka-
barnya, sampai sekarang penyakit 'Hantu Lanang' be-
lum ada obatnya. Sedangkan si Perawan Bukit Jalang
'itu pasti akan menyebarkan penyakit itu dengan ber-
ganti-ganti pasangan kencannya dengan jalan berpelu-
kan. Dapat kalian bayangkan, jika ia berbuat begitu di sana-sini maka cepat atau
lambat kaum lelaki di dunia ini akan habis binasa terbunuh oleh penyakit
tersebut." "Ooo...," mereka menggumam dan manggut-manggut, lalu masing-masing
saling berkasak-kusuk
sesama teman sendiri. Yang tidak membawa teman
menjadi punya teman karena ikut nimbrung dalam
percakapan mereka.
"Sebarkan pula sayembara ini kepada yang
lain!" ujar si lelaki berkumis dua warna itu. "Bahkan jika ada yang memberi
tahu... hanya memberi tahu sa-ja... di mana si Perawan Bukit Jalang itu
bersembunyi, maka ia pun akan mendapatkan hadiah dari ketua
kami. Tentunya tidak sebanyak ini, karena hanya
modal congor saja, tidak mengerahkan tenaga untuk
menangkapnya. Kalian bisa datang langsung ke Muara
Bangke, atau menghubungi ku. O, ya... namaku Bran-
dal Komeng! Jika kalian melihat si Perawan Bukit Ja-
lang dan tak berani menangkapnya sendiri, jangan
sungkan-sungkan menghubungi ku. Kita dapat me-
nangkapnya secara ramai-ramai, lalu hadiahnya dapat
kita bagi bersama!"
Brandal Komeng segera pergi mencari tempat
berkumpul orang yang lainnya. Rupanya si Brandal
Komeng memang ditugaskan untuk menyebarkan ka-
bar tersebut dengan membawa sekantong uang sebagai
pemancing semangat mereka.
Salah seorang yang terpancing semangatnya
adalah Bujang Bodo.
"Kalau kau tak mau menangkapnya," katanya
kepada Raka Pura. "Aku sendiri yang akan menangkap si Perawan Bukit Jalang itu."
"Kau pikir yang bernama Perawan Bukit Jalang
bukan orang berilmu"! Belum sempat mendekat kau
bisa-bisa sudah tak bernyawa lagi!"
"Yah, setidaknya aku bisa menjadi mata-mata
untuk memberitahukan kepada si Brandal Komeng itu
di mana Perawan Bukit Jalang berada. Toh begitu saja
aku bisa mendapat hadiah."
Raka Pura tersenyum kecil. Ia meneguk minu-
mannya. "Kita harus segera bertindak, Raka. Jangan ter-
lalu lama di kedai ini!"
"Ku ingatkan padamu, jangan gegabah, Bujang
Bodo! Jangan terpancing oleh maut yang menganga di
depanmu. Kalau kau mati, lalu siapa lagi yang akan
menjadi bodoh" Tak ada. Jadi menurutku, kau tak
perlu ikut campur urusan itu supaya jangan mati dan
supaya tetap ada yang bodoh."
"Ah, kau mengecilkan kemampuanku, Raka!"
Bujang Bodo bersungut-sungut. "Aku punya jurus siulan maut! Aku bisa membuat
Perawan Bukit Jalang
itu tunduk padaku dan mau kuserahkan kepada si
Wajah Malaikat!"
Raka manggut-manggut. "Memang, kau me-
mang punya jurus atau ilmu siulan, dan memang
hanya ilmu warisan nenekmu itulah yang kau punyai.
Selebihnya tak ada. Tapi bagaimana jika ternyata si
Perawan Bukit Jalang itu adalah perempuan budek"!"
"Budek..."!" Bujang Bodo berkerut dahi. "Wah, kalau perempuan itu tuli, repot
juga. Siulanku tak
akan di dengarnya!" ujarnya, lalu si Bujang Bodo itu termenung memikirkan hal
itu dengan serius sekali.
"Apakah kau sudah tahu yang bernama Pera-
wan Bukit Jalang?"
"Aku belum pernah bertemu, tapi sepertinya
aku pernah mendengar namanya dibicarakan orang."
"Apalagi kau belum pernah tahu seperti apa
orangnya, mana mungkin kau bisa menangkap si Pe-
rawan Bukit Jalang itu"!"
"Tapi kalau tidak segera ditangkap, nanti dia
juga membunuhku, Raka. Sebab aku adalah seorang
lelaki!" "Asal kau tidak tidur dengannya, mana mungkin dia bisa membunuhmu
dengan penyakitnya itu"
Kalau ada lelaki yang terbunuh karena penyakitnya,
itu adalah kesalahan si lelaki itu sendiri. Karena itulah, jangan tidur dengan
sembarang perempuan biar
tak terkena penyakit terkutuk itu!"
"Tapi... bagaimana kalau ternyata Perawan Bu-
kit Jalang berhasil merayu Soka; adikmu?"
Raka Pura menjadi sedikit tegang. Hatinya me-
nyimpan kecemasan, karena ia tahu bahwa Soka,
adiknya, sangat mudah terbujuk oleh rayuan seorang
gadis. Bahkan sang adik yang bandel itu mudah ha-
nyut dalam cumbuan mesra seorang perempuan.
Raka mulai mengkhawatirkan keselamatan
adiknya. Jika Soka bertemu dengan Perawan Bukit Ja-
lang dan mereka akhirnya bercinta, maka penyakit itu
akan menular ke tubuh Soka dan bisa jadi Soka akan
kehilangan nyawa seperti cerita si Brandal Komeng
tentang pengawal benteng Muara Bangke itu.
"Kalau begitu, kita cari si Perawan Bukit Jalang itu sekarang juga, Bujang! Aku
tak ingin adikku menjadi korban penyakit terkutuk itu!" ujar Raka Pura dengan
penuh semangat, dan Bujang Bodo menjadi
kegirangan. * * * 3 SIANG berganti malam, malam berganti pagi,
dan pagi pun mulai merayap menuju slang kembali.
Sang matahari bukan saja menyinari dedaunan dan
batu-batu di kaki bukit, tapi juga menyinari dua sosok yang sedang bertarung
dengan sengitnya di tanah tak
bertuan. Dua sosok yang bertarung itu semula hanya
mengandalkan ketangkasan dan kekuatan tenaga da-
lamnya tanpa senjata. Namun ketika pertarungan se-
makin sengit, dua sosok yang bertarung itu mulai
menggunakan senjata masing-masing. Yang satu ber-
senjata pedang, yang satunya lagi bersenjata kipas ba-ja. Ujung-ujung kipas itu
membentuk keruncingan
yang mampu merobek dada lawannya.
Mereka yang bertarung saling mempertahankan
nyawa itu adalah dua orang perempuan yang punya
usia sedikit berbeda. Yang bersenjata pedang tampak
lebih muda lima tahun dari lawannya yang berusia se-
kitar dua puluh delapan tahun itu. Kecepatan gerak
mereka nyaris seimbang, tinggal tergantung kelenga-
han masing-masing. Dan agaknya si perempuan yang
bersenjata kipas baja berwarna putih mengkilap itu
sedikit lengah pada saat ia melepaskan tendangan
memutar, sehingga lawannya yang segera berguling ke
depan itu berhasil lepaskan tendangan ke atas dan te-
pat kenai pinggul lawan. Duuhk...!
Brruk...! Si jubah hijau dan bawahan merah
terjungkal, keseimbangan tubuhnya tak berhasil diper-
tahankan. Namun ia segera berguling dan dengan


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan tangan kirinya yang menyentak di ta-
nah, tubuhnya berhasil melayang naik dengan kipas
dibentangkan di depan dada. Wees...! Jleeg...!
Begitu kakinya menapak di tanah, lawannya
datang menyerang dengan pedang ditusukkan ke de-
pan beberapa kali, namun berhasil ditangkis dengan
kipas bajanya. Suut, trang, suut, trang, wees...! Trak...!
Weer...! Si pemegang kipas yang berjubah hijau itu melompat ke sisi lain, jauhi
lawannya yang ingin mene-
baskan pedangnya kembali. Sang lawan yang berjubah
coklat berpinjung penutup dada warna ungu itu tak
jadi menebaskan pedangnya. Namun ia berdiri dengan
kuda-kuda kokoh yang siap serang atau siap diserang.
Pedangnya terangkat lurus ke depan di samping kepa-
lanya. "Majulah kalau kau ingin mati di tanganku, Sirih Duda!"
"Jangan merasa bangga dulu dengan dirimu.
Jangan panggil aku Sirih Duda kalau tak bisa melum-
puhkan dirimu, Perawan Bukit Jalang! Hiaaat...!"
Perempuan berjubah hijau itu melayang bagai-
kan terbang setinggi kepala lawannya. Sang lawan pun
tak mau diam saja. Ia segera sentakkan kakinya ke ta-
nah dan tubuhnya pun melesat tinggi menerjang si ju-
bah hijau. Wuuss...! Pedangnya ditebaskan ke arah
kepala si jubah hijau.
Bet, bet...! Trang, trang...!
Blaaarrr...! Jubah hijau hantamkan telapak tangan kirinya
ke dada lawannya ketika kipasnya berhasil menangkis
pedang lawan. Tapi telapak tangan itu ternyata segera disambut oleh genggaman
tangan lawan yang juga bertenaga dalam cukup besar, sehingga dua tenaga dalam
itu saling berbenturan dan timbulkan suara ledakan
yang cukup menggelegar. Keduanya sama-sama ter-
pental ke belakang, tubuh mereka melayang-layang
tanpa keseimbangan badan.
Brruuk...! Breeek...!
Keduanya sama-sama jatuh terbanting yang
membuat sepasang mata buru-buru memejamkan ma-
ta karena merasa kasihan kepada kedua perempuan
itu. Sepasang mata yang memperhatikan dari balik po-
hon itu adalah milik seorang pemuda berwajah tam-
pan, gagah dan kekar. Rambutnya yang putih dililit
sabuk kain warna merah. Sabuk kain itu dipakai me-
nyelipkan sebuah pedang yang tampak mewah dan ke-
ren, yaitu pedang yang terbuat dari semacam kaca, se-
jak dari gagang pedang, sampai pada mata pedang dan
sarung pedangnya juga terbuat dari kaca berukir.
Senjata itulah yang dinamakan Pedang Tangan
Malaikat alias Pedang Kristal. Hanya Pendekar Kembar
yang memiliki sepasang Pedang Tangan Malaikat. Jika
pedang itu diselipkan di pinggang kiri, berarti peme-
gang pedang itu adalah si Pendekar Kembar sulung
alias si Raka Pura, sang kakak. Tapi pedang tersebut
ternyata ada di pinggang kanan, menandakan akan di-
cabut sewaktu-waktu dengan gunakan tangan kiri. Je-
las pemegangnya adalah pemuda bertangan kidal. Sia-
pa lagi pemuda tampan bertangan kidal selain si Soka
Pura, Pendekar Kembar bungsu, adik kembar Raka
Pura. Tentu saja wajahnya sama persis dengan kakak-
nya. Pakaian dan penampilannya juga sama persis.
Yang membuat beda adalah letak pedang mereka itu.
Rupanya Soka Pura sudah sejak tadi berada di
balik pohon itu mengintip pertarungan kedua perem-
puan tersebut. Namun ia belum tahu apa masalah
yang membuat kedua perempuan itu saling beradu ke-
saktian, karena ketika la tiba di balik pohon itu, pertarungan sudah dimulai
dengan cukup seru.
"O, rupanya yang berjubah hijau itu bernama
Sirih Duda, dan yang berjubah coklat dengan penutup
dada dan celana panjangnya berwarna ungu itu berju-
luk Perawan Bukit Jalang"! Hmmm... baru sekarang
aku melihat wajah-wajah mereka yang menurutku
cantik-cantik itu. Hanya saja, Sirih Duda punya kecantikan yang lebih matang dan
sepertinya lebih pengala-
man dalam menghadapi seorang lelaki ketimbang si
Perawan Bukit Jalang," ujar Soka Pura dalam hatinya.
Ia masih belum mau turut campur urusan ke-
dua wajah cantik itu sebelum tahu persis persoalan
yang dipertarungkan. Karenanya ia hanya bisa me-
mandang dengan mata sesekali mengecil tanda ngeri
melihat salah satu akan terkena senjata-senjata ber-
bahaya itu. Bahkan kali ini Soka Pura sempat memejamkan
mata dan melengos ke samping ketika Sirih Duda ter-
jungkal ke depan ketika punggungnya berhasil disam-
bar oleh tendangan kaki lawan yang berputar cepat itu.
Brruus...! Sirih Duda terbanting menyedihkan sekali.
Seandainya si Perawan Bukit Jalang benar-
benar ingin membunuh Sirih Duda, saat itulah ia
punya kesempatan menancapkan pedangnya ke pung-
gung Sirih Duda yang berusaha bangkit lagi dengan
merangkak pelan-pelan. Tapi agaknya Perawan Bukit
Jalang tak benar-benar berniat mengakhiri riwayat hi-
dup Sirih Duda, sehingga gadis itu hanya diam dalam
posisi pasang kuda-kuda kokoh penuh waspada.
"Jika masih kurang puas, cepat bangkit dan
hadapi aku lagi, Sirih Duda," seru Perawan Bukit Jalang dari jarak lima langkah.
"Seharusnya Sirih Duda menyerah saja," ujar hati Soka. "Sejak tadi ia terkena
serangan lawannya.
Tampaknya ia tak bisa ungguli Ilmu si Perawan Bukit
Jalang itu. Tapi kenapa Sirih Duda masih ngotot saja"!
Padahal secara tak langsung ia sudah diberi kesempa-
tan untuk perpanjang umur oleh Perawan Bukit Ja-
lang. Bodoh amat Sirih Duda itu. Bandel!"
Sirih Duda tegak kembali. Nafasnya yang ter-
engah-engah sedikit berkurang setelah ia dibiarkan
berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang dan
hanya dipandangi oleh Perawan Bukit Jalang yang su-
dah mengendurkan kuda-kudanya, namun pedangnya
masih digenggam kuat-kuat. Kapan saja dapat diguna-
kan untuk menangkis serangan lawan.
"Sirih Duda, kuberi kesempatan sekali lagi; ce-
pat pergi dan tak perlu menggangguku lagi!"
"Tak semudah itu kau menyuruhku pergi!"
Sirih Duda bicara dengan ketus dan sungging-
kan senyum sinis. Ia melangkah ke samping, sambil
matanya masih tetap memandang lawannya dengan ta-
jam. Agaknya ia sedang menunggu kelengahan sang
lawan untuk lepaskan serangan yang dapat melum-
puhkan gadis berjubah coklat muda itu.
"Mengapa kau jadi sangat membenci ku, Sirih
Duda! Bukankah kita sebelumnya adalah sahabat
yang tak punya masalah apa-apa"! Bukankah kau ta-
hu siapa diriku sebenarnya?"
"Ya, aku tahu kau murid unggulan dari pergu-
ruan mu. Tapi perguruanmu sekarang sudah hancur,
tak ada salahnya jika ku manfaatkan dirimu untuk
kepentingan pribadiku! Sebaiknya kau menyerah saja,
Perawan Bukit Jalang. Aku sendiri tak tega jika harus membunuhmu. Lebih baik kau
kuserahkan kepada si
Wajah Malaikat dan nasibmu tergantung di tangan si
Penguasa Muara Bangke itu. Aku hanya membutuh-
kan uang hadiah yang dijanjikannya bagi siapa pun
yang bisa menangkap dan menyerahkan dirimu kepa-
danya! Sekali lagi ku tegaskan, aku butuh uang itu untuk suatu keperluan!"
"Hanya karena uang kau rela mengorbankan
persahabatan kita, Sirih Duda"!"
"Karena aku sudah bosan hidup miskin! Aku
ingin kaya dan bisa membeli pria mana saja yang
kuinginkan!" jawab Sirih Duda dengan senyum sinis, tanpa malu-malu lagi, seakan
justru merasa bangga ji-ka rencananya diketahui oleh sahabatnya itu.
"Jika tekadmu sudah seperti itu, terpaksa ku
tegaskan hatiku untuk menyelesaikan pertarungan ini.
Jangan salahkan diriku jika kau harus kehilangan
nyawa hari ini, Sirih Duda!"
"Itu tak mudah, Perawan Bukit Jalang! Kau bo-
leh bangga di antara saudara perguruanmu, karena
kau memang paling unggul dan diandalkan sebagai
benteng perguruan oleh gurumu! Tapi di depanku kau
tak bisa lagi berbangga diri seperti itu!"
"Bersiaplah ke neraka, Teman Serakah!" geram Perawan Bukit Jalang. Kaki kirinya
ditarik ke belakang sedikit, kuda-kuda siap serang dipasang. pedang pun
mulai diangkat kembali dengan genggaman makin
kencang. Sirih Duda diam sejenak, tangan kirinya ber-
sandar pada sebatang pohon. Sepertinya ia sedang
mempertimbangkan sesuatu hingga perlu merenung
sesaat. Tiba-tiba suaranya terdengar lantang, "Kalau aku mau melepaskan dirimu,
apa yang akan kau per-
buat dari kebaikanku nanti, Perawan Bukit Jalang"!"
Gadis berambut panjang lepaskan posisi kuda-
kudanya. Nafasnya terhempas panjang, karena merasa
sahabatnya sudah mulai akan sadar atas kekeliruan
langkahnya itu.
"Sirih Duda, kau adalah sahabatku sejak dulu.
Sudah lama kita saling bersahabat dan hidup dengan
damai. Tentu saja aku ingin menjaga perdamaian di
antara kita berdua dan saling membantu jika kita
punya kesulitan! Aku tak mungkin bisa melupakan di-
rimu, Sirih Duda."
"Tapi nyawamu terancam oleh si Wajah Malai-
kat! Sebentar lagi kau pasti akan pergi meninggalkan
diriku, dan aku tak punya sahabat lagi. Karenanya,
sebelum kau pergi, kau akan ku manfaatkan untuk
memburu kepentingan pribadiku. Toh walaupun aku
mundur dan tetap bersahabat denganmu, kau tetap
akan ditangkap oleh orang-orang yang memburu ha-
diah besar dari si Wajah Malaikat itu!"
"Tak dapatkah kau membantuku menghalau
mereka"!"
"Apakah kau butuh bantuanku"!" "Mengapa tidak"! Sekarang aku sendirian, tanpa
perguruan lagi,
sementara adikku masih belum berhasil kutemukan di
mana dia berada. Kaulah satu-satunya saudaraku, Si-
rih Duda."
Setelah diam lagi beberapa saat, Sirih Duda
akhirnya merentangkan kedua tangannya sambil me-
langkah maju. "Maafkan aku, Perawan Bukit Jalang...."
Si gadis bertubuh langsing itu akhirnya me-
nyambut pelukan Sirih Duda dengan segenap hati
memaafkan kesalahan Sirih Duda. Hanya saja, ketika
Perawan Bukit Jalang Ingin menyambut pelukan itu,
tiba-tiba kipas Sirih Duda menyentak ke depan dalam
keadaan terkatup dan sekeping mata pisau berujung
runcing keluar dari kipas tersebut. Craak...! Wuuut!
Jrrub...! "Aaahk...!" Perawan Bukit Jalang terpekik dengan suara tertahan. Matanya melebar
dan mulutnya ternganga. Mata pisau itu menghujam ke ulu hatinya,
menembus pinjung penutup dadanya yang ungu itu.
Sedangkan Sirih Duda melompat mundur dengan ce-
pat sambil mencabut pisau di ujung kipasnya dari ulu
hati Perawan Bukit Jalang.
"Haah, hah, hah, hah, hah...! Akhirnya kau
berhasil kulumpuhkan juga, Gadis Tolol!" seru Sirih Duda dengan tertawa
kegirangan tanpa rasa sesal sedikit pun.
"Kau tak akan mampu menahan racun dari pi-
sauku ini, Gadis Tolol!"
Sirih Duda sengaja makin menjauh, menunggu
jatuhnya si Perawan Bukit Jalang yang terhuyung-
huyung mempertahankan kekuatannya. Namun agak-
nya racun dari pisau itu telah menyerang sekujur tu-
buhnya dan melumpuhkannya, hingga Perawan Bukit
Jalang akhirnya jatuh berlutut sambil mendekap lu-
kanya dengan tangan kiri yang berlumur darah.
"Licik!" geram Soka Pura dari persembunyiannya. "Sirih Duda tidak pantas
dijadikan seorang sahabat, karena dia berjiwa pengkhianat!"
Terdengar suara Sirih Duda berseru di sela ta-
wa kegembiraannya.
"Hidup atau mati sama saja bagi si Wajah Ma-
laikat. Siapa pun yang bisa serahkan dirimu dalam
keadaan hidup atau mati tetap akan dapatkan hadiah
besar dari si Wajah Malaikat! Sebab itulah akhirnya
aku harus membuang nyawamu dulu daripada repot-
repot menangkapmu, Perawan Bukit Jalang!"
"Kejam sekali kau!" tiba-tiba Soka Pura berseru
sambil keluar dari persembunyiannya. Ia melangkah
cepat ke arah Perawan Bukit Jalang, namun pandan-
gan matanya ditujukan kepada Sirih Duda.
"Baru sekarang kulihat orang yang begitu ke-
jamnya terhadap sahabatnya sendiri!"
"Hei, siapa kau, Bocah Tampan"!" Sirih Duda justru menyapa dengan senyum
berbinar-binar, karena ketampanan dan kegagahan Soka Pura membuat
hatinya mulai berdebar indah.
Perawan Bukit Jalang jatuh terpuruk dengan
suara rintihan kecil yang memanjang. Hati Soka Pura
tak tega, ia segera berlutut di samping gadis itu.
"Bertahanlah, Nona! Aku akan sembuhkan lu-
kamu itu dan setelah itu hajarlah sahabatmu yang
layak sebagai seorang pengkhianat itu!"
"Hei, jangan sentuh gadis berpenyakit berba-
haya itu! Kau akan mati tertular penyakitnya, Bocah
Ganteng!" Tapi Soka Pura tetap meraih tubuh Perawan
Bukit Jalang. Sekalipun belum tahu kehebatan Soka,
tapi Sirih Duda merasa cemas dan takut kalau pemuda
tampan itu benar-benar bisa sembuhkan lukanya Pe-
rawan Bukit Jalang. Maka serta-merta ia menerjang
Soka Pura dengan satu lompatan cepat.


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar bandel kau! Hiaaah...!"
Wuuuss...! Soka Pura cepat sentakkan lengannya ke atas
sambil berdiri. Plak...! Kaki perempuan berjubah hijau itu berhasil ditangkis
dengan lengan yang melintang.
Sentakan lengan itu cukup kuat, sehingga kaki Sirih
Duda bagai terlempar ke atas dan membuat tubuhnya
berjungkir balik. Wuuuk...!
Tapi kaki Soka Pura segera menendangnya dan
kena telak di punggung Sirih Duda. Buuhk...!
Wweeerr...! Tubuh si jubah hijau terpental jauh
dan membentur pohon dengan kuat. Bruus...!
"Aaow...!" Sirih Duda pun memekik kesakitan.
"Kau benar-benar manusia tanpa perasaan se-
dikit pun!"
Sirih Duda menjadi berang. Ia cepat bangkit
dan sodokkan kipasnya dalam keadaan terkatup. So-
dokan kipas itu melepaskan sinar putih perak yang
mengarah ke dada Soka Pura. Claap...!
Tapi si Pendekar Kembar bungsu tidak mau ka-
lah sigap. Ia segera sentakkan telapak tangannya ke
depan dan seberkas sinar merah seperti cakram berge-
rigi melesat dengan cepat, memercikkan bunga api di
sekelilingnya. Claap...! Sinar merah itu akhirnya berta-brakan dengan sinar
putih lurus dari tangan Sirih Du-
da. Jegaaarrr...! Ledakan yang terjadi sangat dahsyat. Soka Pu-
ra sempat tersentak mundur tiga langkah, hampir saja
jatuh karena sentakan gelombang ledakan tadi. Na-
mun ia segera tegak kembali dan mampu menjaga ke-
seimbangan tubuhnya.
Tetapi Sirih Duda mengalami nasib yang men-
genaskan. Ia jatuh terkapar karena gelombang ledakan
itu dan tubuhnya terdorong ke belakang sejauh dela-
pan langkah. Sreeettt...! Proook...!
"Aaahk...!" Sirih Duda memekik keras ketika kepalanya membentur batu sebesar
kepala kerbau. Tubuhnya terasa sakit semua karena menjadi memar.
Rupanya gelombang ledakan yang membawa udara
panas tadi lebih banyak menghempas ke arah Sirih
Duda, sehingga perempuan itu merasa seperti dihem-
bus udara panas yang menyengat sekujur tubuhnya.
Ketika Sirih Duda merintih kesakitan sambil
menggeliat lemas, Soka Pura segera mengangkat tubuh
Perawan Bukit Jalang yang telah pucat pasi dan dingin
itu. Pedang si gadis pun dibawanya pula, kemudian
Soka membawa lari gadis itu, mencari tempat aman
untuk sembuhkan luka si gadis malang itu.
Wuuuzz...! Gerakan cepat dari jurus 'Jalur Ba-
dai' membuat Sirih Duda tidak mengetahui ke mana
arah kepergian si pemuda tampan. Yang ia ketahui
hanyalah tempat kosong dan sisa darah dari lawannya.
Sirih Duda akhirnya berteriak keras-keras mengetahui
lawannya telah lenyap tak diketahui arah kepergian-
nya. "Jahanaaaaammmmm...!!"
Teriakan itu adalah teriakan kejengkelan atas
kegagalannya menangkap si Perawan Bukit Jalang.
Namun dalam hatinya ia bersumpah untuk mencari
Perawan Bukit Jalang ke setiap jengkal tanah di per-
mukaan bumi ini. Ia tak tahu bahwa Perawan Bukit
Jalang sudah berada bersama Pendekar Kembar bung-
su. "Akan kubunuh keduanya! Kuhancurkan mere-
ka berdua tanpa peduli lagi dengan hadiah dari si Wa-
jah Malaikat! Ini sudah merupakan dendam pribadiku
yang amat kecewa dengan tindakan si tolol bermuka
tampan itu! Puih...!" geram Sirih Duda sambil berjalan terhuyung-huyung karena
harus menahan rasa sakit
di sekujur tubuhnya.
* * * 4 SEBENARNYA Soka tak ingin melepaskan jurus
'Mata Bumi'-nya kepada lawan yang tak seberapa
tangguh. Tapi karena serangan sinar putih dari Sirih
Duda tadi sangat membahayakan dan Soka butuh
waktu secepatnya untuk menolong Perawan Bukit Ja-
lang itu, maka jurus 'Mata Bumi' terpaksa dilepaskan-
nya. Jika Soka terlambat melakukan pengobatan ter-
hadap gadis itu dengan menggunakan jurus pengoba-
tan 'Sambung Nyawa' itu, maka nyawa si gadis benar-
benar tak bisa tersambung lagi, alias mati.
Jurus pengobatan 'Sambung Nyawa' membu-
tuhkan sentuhan langsung antara kulit dengan kulit,
yaitu telapak tangan Soka harus menyentuh kulit tu-
buh si Perawan Bukit Jalang tanpa ada penyekat se-
lembar benang pun. Kala itu telapak tangan Soka sen-
gaja ditempelkan di dada si gadis, di atas pinjung penutup dada. Sedikit
gumpalan dada yang tersembul
mulus itu sempat dirasakan menghangat di telapak
tangan Soka. Namun pikiran Soka segera dialihkan kepada
kekuatan Inti gaibnya yang dipadu dengan hawa murni
dari pernapasannya.
Telapak tangan itu segera memancarkan ca-
haya ungu. Cahaya ungu itu bagai meresap ke dalam
tubuh Perawan Bukit Jalang. Maka tubuh gadis itu
pun mulai memancarkan cahaya ungu pula. Sekujur
tubuh menjadi kemilau warna ungu. Telapak tangan
Soka segera diangkat dan tidak memancarkan cahaya
ungu lagi, tapi tubuh si gadis masih memancarkan ca-
haya ungu. Sayang si gadis kala itu masih belum siuman,
sehingga ia tak mengetahui perubahan yang terjadi
pada tubuhnya. Cahaya ungu itu bagaikan mengering-
kan luka dengan cepat, bahkan mengembalikan kulit
dan daging yang rusak karena tikaman pisau beracun
milik Sirih Duda tadi. Luka di ulu hati menjadi rapat kembali. Lenyap tanpa
bekas. Hal itu diketahui oleh
Soka, karena pemuda itu sengaja mengintipnya den-
gan menyingkapkan pinjung penutup dada ketika ca-
haya ungu itu telah pudar dari tubuh si gadis.
Kini keadaan Perawan Bukit Jalang telah nor-
mal kembali. Utuh seperti sediakala, seperti tak pernah tergores benda apa pun.
Tapi kain penutup dadanya
masih tetap bolong sebagai tanda bekas luka di tempat tersebut. Soka pun buru-
buru merapikan pinjung penutup dada itu agar tak diketahui oleh si gadis bahwa
pinjungnya pernah disingkapkan oleh Soka.
"Mulus dan montok juga gadis ini," pikir Soka dengan usil. "Tak terlalu besar,
namun agaknya cukup kencang dan iih... gemes aku jadinya. Kalau kuremas
sekarang, jangan-jangan dia segera siuman. Malu se-
kali kalau sampai ketahuan," sambil mata Soka yang nakal itu menatap ke arah
gumpalan bukit di dada si
gadis. Benar juga kekhawatiran Soka Pura tadi. Kare-
na beberapa saat kemudian, gadis itu segera siuman
dan terkejut mendapatkan dirinya sudah berada di da-
lam sebuah gua yang tak punya lorong tembus. Gua
itu penuh dengan batu-batu setinggi perut orang de-
wasa. Namun ada beberapa tempat yang kering dan
datar. Di tempat yang kering dan datar itulah, Soka
membaringkan si gadis. Cahaya matahari masuk mela-
lui beberapa lubang yang ada di langit-langit gua yang cukup tinggi itu,
sehingga keadaan di dalam gua tersebut cukup terang.
Si gadis segera pandangi Soka dengan dahi
berkerut dan duduknya mundur hingga bersandar pa-
da sebongkah batu. Soka Pura hanya tersenyum-
senyum ketika beradu pandang selama tiga helaan na-
pas. Si gadis sempat merenungi keadaan dirinya se-
bentar yang sudah merasa segar dan tak punya luka
sedikit pun itu.
"Kurasa dialah penolongku," pikir Perawan Bu-
kit Jalang. "Tapi mengapa lukaku hilang sama sekali"!
Apakah pemuda itu juga yang menghilangkan luka-
ku"!" Si gadis pandangi tangannya yang masih berlumur darah dari lukanya yang
tadi. Pada saat itu So-
ka Pura segera perdengarkan suaranya untuk menga-
wali suatu percakapan.
"Tak jauh dari gua ini ada sungai kecil. Kau bi-
sa mencuci tanganmu di sungai kecil itu. Kalau kau
mau, akan kuantar sekarang juga."
"Siapa kau sebenarnya?" tanya si gadis dengan pandangan mata berkesan penuh
curiga. "Kau tak perlu curiga padaku. Aku telah mem-
bawamu kemari agar Sirih Duda tidak mengganggu
masa pengobatan yang kulakukan pada lukamu tadi."
"Yang kutanyakan, siapa kau"!" si gadis sedikit menghardik.
"Namaku Soka Pura. Kau bisa memanggilku
Soka saja, atau ditambah kata 'sayang' di belakangnya juga tak jadi masalah
bagiku." Perawan Bukit Jalang terkesip. Semakin tajam
sorot matanya dalam pandangi si Pendekar Kembar
bungsu itu. Lalu mata itu melirik ke arah pedang di
pinggang Soka. "Hmrnm.... Pedang Tangan Malaikat"!" gumam
si gadis membuat Soka Pura terperanjat.
"Hei, kau mengetahui nama pedangku ini ru-
panya?" "Di mana kakakmu; si Raka Pura itu?" tanya Perawan Bukit Jalang sambil
berdiri dan menyarung-kan pedangnya.
"Kau... kau juga kenal dengan kakakku; Raka
Pura itu"! Oh, tak kusangka kau mengenalnya"!"
"Lebih dari itu," ujar Perawan Bukit Jalang. Kali ini nadanya tak seketus tadi.
Hanya mempunyai ak-
sen-aksen ketegasan dalam tiap ucapannya.
"Aku juga kenal dengan orangtua angkat ka-
lian; Ki Pawang Badai dan Nyi Padmi!"
"Ooh..."!" Soka semakin terkejut, kali ini justru tak ada senyum di bibirnya,
karena ia merasa benar-benar heran terhadap gadis yang baru kali itu dijum-
painya. Bahkan nama Perawan Bukit Jalang pun baru
sekarang didengarnya.
"Siapa kau sebenarnya"!" Soka ganti bertanya.
"Aku adalah Perawan Bukit Jalang. Nama asli-
ku Anggani...."
"Siapa"! Anggiri"!"
"Anggani!" tegas gadis itu. "Anggiri adalah nama adikku!"
"Oh, jadi Anggiri alias si Perawan Hutan itu
adik mu"!"
"Benar! Rupanya kau kenal dengan adikku
itu"!" "Ya, tentu saja aku kenal dengan Perawan Hutan, karena kami bertiga
pernah bersama-sama menu-
ju ke sebuah tempat yang kami anggap keramat. Aku
dan Raka mendapatkan pusaka Pedang Tangan Malai-
kat ini sedangkan Perawan Hutan itu si Anggiri men-
dapatkan Bunga Ratu Jagat," sambil benak Soka
membayangkan seraut wajah cantik yang menurutnya
memang punya kemiripan dengan si Perawan Bukit Ja-
lang itu. Hanya bedanya, si Perawan Hutan mempu-
nyai dagu yang dekik, sedangkan Perawan Bukit Ja-
lang tidak, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Goa Mulut Naga").
"Bunga apa"!"
"Bunga Ratu Jagat!" ulang Soka. Kemudian So-ka jelaskan khasiat keramat Bunga
Ratu Jagat itu,
yang akan membuat si Perawan Hutan akan menjadi
seorang ratu. Pemilik bunga keramat itu akan dihor-
mati, disegani dan dikagumi setiap orang, di samping
menjadi seorang ratu seumur hidup.
"Sekarang di mana adikku itu"!" tanya Perawan Bukit Jalang.
"Aku tak tahu di mana dia sekarang. Dan...
sungguh tak kusangka kalau kau adalah kakaknya si
Perawan Hutan! Dia tak pernah bilang padaku kalau
punya adik secantik dirimu, Anggani."
Gadis itu tersipu malu dan menutupnya den-
gan cara buang muka, melangkah ke pintu gua dan
menatap ke arah luar sebentar. Dari sana ia perden-
garkan suaranya yang bening dan enak didengar itu.
"Sejak kecil, aku dan Anggiri memang selalu
bertengkar. Ketika remaja kami saling bermusuhan
dan saling tak mengakui punya saudara kandung."
"Mengapa sampai terjadi permusuhan seperti
itu?" "Ah, kurasa itu karena jiwa kanak-kanak kami saja," jawab Anggani dengan
nada kesal. "Kami berpisah sejak kedua orangtua kami tiada. Kami saling
mencari Guru untuk dapatkan ilmu, dan ilmu itu akan
kami gunakan untuk saling menyerang jika sewaktu-
waktu kami jumpa. Tapi setelah semakin dewasa se-
makin terbuka pikiran dan hatiku untuk tidak mem-
biarkan permusuhan ini berkelanjutan. Masa kanak-
kanak biarlah berlalu, tidak sewajarnya jika kami saling mendendam hanya karena
masa kanak-kanak. Se-
karang aku merasa mempunyai seorang adik dan ingin
bertemu dengannya. Namun... bencana itu terjadi se-
belum aku berhasil temukan si Anggiri."
"Bencana apa maksudmu?" desak Soka Pura
semakin ingin tahu.
Kemudian, Anggani menceritakan peristiwa
pembantaian di perguruannya yang dilakukan oleh si
Wajah Malaikat. Soka Pura cepat dapat menyimpulkan
apa sebab Sirih Duda bernafsu sekali untuk menang-
kap si Perawan Bukit Jalang.
Cerita gadis itu sampai pada pelariannya ke
puncak Gunung Merana dan tak lupa menceritakan
pertemuannya dengan si Pawang Badai. Maka, Soka
Pura pun menjadi terkejut seketika begitu mendengar
ibu angkatnya terluka oleh pukulan beracun 'Sengat
Peri' dari si Wajah Malaikat.
"Aku ditugaskan oleh Ki Pawang Badai untuk
mencari kalian berdua. Kalian ditugaskan mencari
'Daun Astagina' untuk mengobati racun dalam tubuh
Nyi Padmi!"
"Keparat si Wajah Malaikat!" geram Soka Pura dengan kedua tangan menggenggam


Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuat-kuat menahan kemarahannya mendengar ibu angkatnya dilukai.
"Akan kubalas tindakan si Wajah Malaikat!"
"Bukan pembalasan yang diperintahkan oleh
ayah angkat kalian, tapi mencari 'Daun Astagina'. Itu tugas kalian yang paling
utama!" tegas Anggani mewakili perintah dari Pawang Badai.
"Di mana kakakmu sekarang?" tanya Anggani.
"Tak tahu," jawab Soka sedikit kaku karena
masih dipengaruhi kemarahan dalam hatinya. "Aku
akan mencari Raka dan memberitahukan hal ini!"
"Boleh aku mendampingimu"!"
"Apakah ayahku mengutus mu untuk men-
dampingi ku?"
"Memang tidak! Tapi aku merasa bersalah, ka-
rena melarikan diri ke puncak Gunung Menara, se-
hingga akibatnya ibumu yang menjadi menderita begi-
tu. Aku ingin menebus rasa bersalah ku dengan ikut
mencarikan 'Daun Astagina' ke bekas petilasan Taman
Astamarta!"
Soka Pura hanya memandang dengan mata
masih dibayang-bayangi kemarahan terhadap si Wajah
Malaikat. Tetapi sorot pandangan mata Anggani mem-
buat api kemarahan yang membayang di mata Soka
menjadi padam sedikit demi sedikit. Hati Soka pun tak bisa bersikap keras kepala
kemauan Perawan Bukit
Jalang. Akhirnya, ia hanya angkat pundak ketika Ang-
gani ingin ikut mencari Daun Astagina' yang menurut
penjelasan si Pawang Badai itu berbentuk segi delapan itu.
"Sirih Duda adalah murid dari Perguruan Mata
Sewu," ujar Perawan Bukit Jalang ketika Soka Pura menanyakan tentang Sirih Duda.
"Perguruan itu menjalin hubungan baik dengan
perguruanku. Tapi ketika perguruanku diserang oleh si Wajah Malaikat, mereka tak
ada yang ikut campur
membela kami."
"Apa sebabnya?" tanya Soka Pura sambil me-
langkah tinggalkan gua tersebut.
"Karena mereka takut dengan murka si Wajah
Malaikat. Barangkali jika kami berurusan dengan per-
guruan lain, Perguruan Mata Sewu bisa membantu pi-
hak kami. Tapi dalam berurusan dengan si Wajah Ma-
laikat, pihak Perguruan Mata Sewu tak mau ikut terli-
bat. Mereka tahu bahwa kekuatan mereka tak mung-
kin dapat kalahkan kekuatan si Wajah Malaikat!"
"Ooo... begitu," gumam Soka sambil manggut-
manggut. "Yang ku herankan, mengapa Sirih Duda sampai tega memutuskan
persahabatan denganmu
hanya karena mengejar uang hadiah dari si Wajah Ma-
laikat"!"
"Sirih Duda perempuan yang selalu gatal den-
gan sentuhan tangan lelaki. Cita-citanya pernah diutarakan padaku."
"Apa cita-citanya"!"
"Menjadi orang kaya dan bisa membeli semua
lelaki yang ada di muka bumi ini! Terutama yang su-
dah menjadi duda."
"O, ya"!" sambil Soka setengah tertawa. "Mengapa dia menyukai lelaki yang sudah
duda?" "Menurutnya, pengalaman lelaki yang sudah
duda lebih banyak daripada yang masih perjaka."
"Pengalaman dalam hal apa?" desak Soka sam-
bil memancing hasrat Anggani. Tapi gadis itu segera
merasa dipancing, sehingga ia tak mau menjawab per-
tanyaan tersebut.
"Bagaimana jika tidak bisa temukan kakakmu?"
Anggani alihkan pembicaraan dengan ganti bertanya.
Soka Pura yang menyadari hal itu hanya tersenyum,
namun tetap memberikan jawaban dengan suara pe-
lan. "Aku akan mencari daun itu sendiri. Jika hari
ini kita tidak menemukan Raka, esok kita akan be-
rangkat menuju reruntuhan Keraton Kencana Windu."
"Aku setuju, sebab...," kata-kata itu terhenti secara mendadak. Perawan Bukit
Jalang melompat sam-
bil berseru, "Awass...!"
Wuut...! Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah ada di
atas pohon, berdiri di sebatang dahan besar dengan
mata memandang lebar ke arah Soka Pura.
Rupanya ada seberkas sinar yang melesat dari
arah kanan Anggani. Sinar merah itu berbentuk seper-
ti bintang dan besarnya seukuran buah duku. Pada
saat Anggani melompat naik ke atas pohon, Soka Pura
segera miringkan badannya sampai hampir berbalik
arah secara total. Wees...! Sinar merah itu meluncur
cepat di depan hidung Soka Pura.
Blaaar...! Sebatang pohon menjadi sasaran si-
nar merah tersebut. Pohon itu pun tumbang dengan
timbulkan bunyi gemuruh dan mengepulkan asap sa-
mar-samar. Bagian yang terkena sinar merah tidak
hancur, melainkan menjadi berlubang dan hangus be-
rasap. Slaap...! Soka Pura segera berkelebat ke balik pohon yang satunya. Ia
berlindung di sana, sementara
Anggani memandang ke arah datangnya sinar merah
tadi. "Hiaaah...!" teriak Anggani sambil sentakkan kedua jarinya. Dari kedua
jari itu melesat sinar biru lurus ke arah semak-semak.
Jegaaar...! Ledakan terjadi ketika sinar itu
menghantam semak-semak berbatu. Namun orang
yang diincarnya sudah melesat lebih dulu dengan satu
lompatan melayang tinggi dan bersalto dua kali dengan cepat. Wuk, wuk...!
Jleeg...! Orang itu daratkan kakinya dengan si-
gap dan kokoh, ia berdiri tepat berhadapan dengan
Soka Pura. Wajah pemuda tampan itu menjadi tegang
dengan mata terbelalak lebar.
"Dewi Binal..."!" sapa Pendekar Kembar bungsu dengan nada terheran-heran.
Gadis berwajah cantik yang mengenakan jubah
tanpa lengan warna biru itu hanya mendesis ketus dan
sinis. Soka Pura keluar dari balik pohon, karena ia
kenal betul dengan gadis yang rambut panjangnya di-
ikat ke belakang itu. Dewi Binal bukan orang asing lagi bagi Soka, karena mereka
pernah saling menukar kemesraan dengan cucunya Tabib Kubur dari Bukit
Gamping itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Setan Cabul").
Wuut, wrrr... jleeg!
Melihat Soka Pura mengenal gadis itu dan ia
sendiri juga mengenalinya. Maka Anggani segera turun
dari atas pohon. Kedua gadis berusia hampir sebaya
itu segera beradu pandangan mata dengan tajam. Pe-
rawan Bukit Jalang melangkah pelan, arahnya mende-
kati Soka Pura.
"Mengapa kau menyerangku, Dewi Binal"!"
tanya Perawan Bukit Jalang dengan suara menyentak
menandakan kemarahannya. Dewi Binal menatap den-
gan mata mengecil bagai memancarkan kebencian. Ia
tidak menjawab pertanyaan Anggani, melainkan justru
bicara kepada Soka Pura.
"Ternyata serendah itu pergaulan mu, Soka!
Sama sekali tak kusangka kalau kau masih doyan
dengan gadis berpenyakit menular macam dia!" sambil tangannya menuding Anggani.
"Jaga mulutmu, Dewi Binal!" sentak Anggani.
Soka Pura bingung, pandangannya berganti-
gantian arah; kepada Anggani, lalu kepada Dewi Binal.
"Apa maksudmu, Dewi Binal"!"
"Apakah kau masih belum mengetahui bahwa
gadis itu punya penyakit yang dapat membusukkan
darahmu jika kau lakukan kencan dengannya"! Semua
orang kini telah tahu, bahwa Perawan Bukit Jalang itu mengidap penyakit 'Hantu
Lanang' yang dapat membunuh kaum lelaki dalam waktu singkat melalui ken-
cannya!" "Dusta!" teriak Perawan Bukit Jalang. "Mulutmu memang layak ditumbuk sampai
hancur, Dewi Bi-
nal! Hiaaah...!"
Wees...! Perawan Bukit Jalang menerjang Dewi
Binal dengan pukulan tangan kanannya. Namun pu-
kulan tersebut berhasil ditangkis oleh Dewi Binal dengan menghadangkan telapak
tangan kirinya. Plaak...!
Tangan Dewi Binal menggenggam, bagai ingin
meremas tangan lawannya, namun tangan itu segera
berkelebat memutar dengan cepat dan Anggani terpe-
lanting, lalu jatuh terbanting. Wuut...! Brruk...!
"Heeaah...!" Dewi Binal bermaksud menginjak leher Anggani yang jatuh terkapar.
Tapi kakinya yang
sudah mengandung tenaga dalam itu tiba-tiba ditang-
Geger Dunia Persilatan 19 Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung Pendekar Panji Sakti 26
^