Pencarian

Iblis Pemburu Wanita 1

Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita Bagian 1


1 BURUNG berkicau bukan saja karena
fajar menyingsing atau senja tenggelam.
Bisa juga burung berkicau karena mendengar suara orang bersiul. Orang bersiul
bukan saja karena memanggil burung, bukan saja karena hati riang dan bukan saja
karena masuk angin. Ada juga yang bersiul karena cari penyakit, seperti yang
dilakukan oleh pemuda rambut pendek berwajah polos.
Pemuda kurus berbaju coklat dan
bercelana biru itu bersiul dua kali ketika melihat seorang gadis lewat di
depannya. Pemuda itu serukan siulannya sambil duduk di atas batu bawah pohon
teduh, kakinya melonjor satu, punggungnya bersandar pohon, kedua tangannya
ditaruh di belakang kepala.
"Suiit, suuuiiit...!"
Gadis cantik berambut lurus sepun-
gung hentikan langkahnya. Wajah cantiknya yang mungil itu di palingkan memandang
pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu. Si pemuda sunggingkan senyum
menggoda. Si gadis menghampirinya.
"Hai...!" sapa si pemuda.
Ploook! Balas si gadis. Pemuda itu
menggeragap dan langsung turun dari batu karena tamparan keras si gadis yang tak
disangka-sangka itu.
"Kau pikir aku burung kepodang"!"
gertak gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu. Matanya menatap tajam dan
berkesan galak. Si pemuda menjadi takut, bahkan tak bisa bicara.
"Awas, kalau sekali lagi menggoda ku dengan siulan mu! Kurobek mulutmu!"
ancam si gadis bertubuh langsing itu. Kemudian ia lanjutkan langkahnya.
Rambutnya yang lurus panjang sepunggung dan lemas itu melimbak-limbak indah saat
dipakai untuk berjalan. Si pemuda berkalung ketapel di lehernya hanya bisa
memandang dengan hati penuh gerutu.
"Sombong! Mentang-mentang cantik, ada orang bersiul tidak boleh! Hmmm...!
Siul pakai mulut sendiri kok dilarang"!
Gadis macam apa itu?"
Pemuda kurus berkulit sawo matang
itu nekat bersiul lagi.
"Suiit, suuuiitt...!"
Tapi kali ini ia sambil memandang
ke atas, sambil menggenggam ketapelnya, seakan mencari seekor burung untuk dibi-
diknya. Sang gadis yang belum jauh darinya segera hentikan langkah. Pemuda itu
melirik sekilas, lalu memandang ke atas lagi.
"Suitt, suiiit....!"
Siulan itu terdengar pada saat si
gadis ingin melangkah lagi. Tentu saja si gadis menjadi dongkol dan yakin bahwa
ia sedang digoda dengan siulan. Langkahnya terhenti sebentar, pandangi si pemuda.
Sementara si pemuda menarik-narik
karet ketapelnya seperti mau membidik burung di atas pohon.
Tapi gadis itu segera mendekati si
pemuda. Dengan wajah takut si pemuda memandang dan melangkah mundur. Si gadis
menatap dengan tajam dan wajahnya tampak berang.
Plaak...! Si gadis menampar lagi.
Kali ini kenai lengan si pemuda, karena pemuda itu menghalangi wajahnya dengan
melintangkan lengan.
"Kurang ajar! Kau anggap aku burung beo, ya"!"
"Aku bersiul sendiri kok!"
"Bohong! Kau pasti bersiul untuk menggoda ku! Kau kira aku gadis murahan yang
tiap malam jual diri"!"
"Aku tidak menganggapmu begitu. Ta-pi kalau kau memang mau jual diri, aku coba
untuk menawarkannya!"
"Keparat! gadis itu makin menggeram marah. Maka kakinya segera berkelebat
menendang si pemuda. Tendangan itu cukup tepat dan tak tertangkis oleh si
pemuda. Beet...! Buuhk...!
"Uuhk...!" Si pemuda menyeringai karena perutnya terkena tendangan dengan telak.
Rasa mual dan mulas pun mulai membuat napasnya menjadi sesak. Pemuda kurus
itu jatuh terduduk membentur pohon saat menerima tendangan si gadis berpakaian
serba kuning itu.
"Rupanya kau mau main-main dengan Estigina, ya"!" sambil ia menepuk dadanya,
membanggakan namanya sendiri sebagai Estigina.
Pemuda itu menunduk dalam duduk
sambil pegangi perutnya yang mulas. Semakin didekati Estigina semakin berkerut
tubuhnya. "Aku paling benci jika digoda pemuda dengan siulan! Ku anggap hal itu me-
rendahkan harga diriku!"
"Aak... aku... aku bersiul untuk memanggil burung yang akan kubidik. Tapi
ternyata yang datang dirimu. Mana kutahu kalau siulanku bukan mendatangkan
burung tapi mendatangkan dirimu. Aku...."
"Cukup!" bentak Estigina. "Coba ma-na ketapel mu"!"
Estigina langsung merebut ketapel
dari tangan si pemuda berwajah polos bagai seorang bocah ingusan itu. Estigina
memeriksa ketapel itu.
"Mana batunya"! Kalau kau mau membidik burung pasti ada batu di ketapel ini"!"
"Bat... batunya jatuh," jawab si pemuda dengan takut dan gugup.
"Alasan!" sentak Estigina sambil membuang ketapel itu. "Sekali lagi kau
bersiul menggoda ku, rontok gigimu!" se-raya si gadis berpedang di pinggang itu
mengacungkan kepalan tangannya. Setelah itu, ia buru-buru teruskan langkahnya
tanpa hiraukan pemuda berbaju coklat tua itu.
Pemuda itu segera memungut ketapel-
nya yang tadi dibuang di semak-semak. Ia bicara sendiri dalam nada menggerutu
pelan. "Dasar tolol aku ini! Mengapa tadi ketapel ini tidak ku isi dengan batu biar
kelihatan benar-benar mau membidik burung"!"Uuh...! Otak kalau nakal akhirnya
ketahuan juga, ya"! Sial! Perutku jadi mual begini. Tendangannya keras sekali.
Untung perutku tak sampai jebol, Kalau perutku sampai jebol, nanti kalau aku
makan bagaimana"!"
Pertanyaan-pertanyaan bodoh itu
terlontar pelan dari mulut si pemuda, seakan ia bicara dengan dirinya sendiri.
ia mencoba mengambil napas panjang untuk melonggarkan sesuatu yang terasa
menyesak di perutnya. Sambil menghirup napas panjang kepalanya mendongak ke
atas. Dili-hatnya seekor burung gagak terbang sebatas dedaunan pohon!
Pemuda itu buru-buru mengambil batu dan menempatkan pada ketapelnya. Burung itu
dibidik sesaat dengan satu mata agak terpejam.
Breet...! Plok...!
"Kaaak...!" suara burung memekik satu kali, kemudian burung itu meluncur dari
jatuh di balik semak seberang sana.
"Wah, jauh sekali jatuhnya"! Sebaiknya kucari burung itu. Lumayan bisa untuk isi
perut siang ini!"
Pemuda bersabuk kain putih itu se-
gera berlari ke semak-semak seberang. ia tak tahu kalau burung yang berhasil
dije-pretnya mengenai bagian kepala itu jatuh tepat di depan langkah Estigina.
Sang gadis terpekik pendek karena kaget dan melompat mundur dengan jantung
berdebar-debar. Plook...!
"Hahh..."! Setan belang! Pasti ulah si pemuda tolol itu! Seenaknya saja ia
melemparkan bangkai burung di depanku"!
Rupanya ia benar-benar minta dihajar sampai babak belur baru merasa jera meng-
gangguku!"
Estigina berbalik arah dan hampiri
si pemuda di tempat tadi. Wajah cantiknya benar-benar dibungkus oleh kemarahan
yang seolah-olah tak bisa dijinakkan lagi itu.
Tapi ketika sampai di sana, si pemuda tak ada dan Estigina menyangka pemuda itu
bersembunyi. Maka ia pun mencari pemuda tersebut di sekitar tempat itu. Ia tak
tahu bahwa si pemuda sudah menemukan burung buruannya dengan menerabas semak me-
motong jalan. "Nah, lumayan dapat seekor!" si pemuda nyengir kegirangan. "Sebaiknya segera
kubakar di bawah pohon rindang yang tadi. Tempat itu terasa nyaman dan cocok
untuk bersantap siang begini!"
Tetapi sebelum pemuda itu tiba di
tempat dia mendengar suara pekikan kecil.
"Aauw...!"
Rupanya Estigina telah ditotok se-
seorang dari belakang. Orang itu menyentilkan batu kerikil sebesar kacang tanah.
Tees...! Batu itu tepat kenai tengkuk Estigina, sehingga gadis itu terpekik
kaget. Namun setelah itu Estigina tak mam-
pu berseru lagi. Ia jatuh terpuruk dengan lemas. Ia bagaikan tak mempunyai
tulang dan urat sedikit pun. Tetapi ia masih mempunyai kesadaran, masih bisa
melihat, juga masih bisa berkecamuk dalam hati.
"Kita bersenang-senang sebentar, Sayang ku!" ujar seorang pemuda dan pemuda itu
segera tertawa dalam gumam.
Estigina sadar tubuhnya dibawa ke
balik semak-semak ilalang. Estigina juga melihat jelas wajah pemuda yang
menotok-nya itu cukup tampan, berkumis dan bercambang tipis, hidungnya mancung,
rambut-nya bergelombang sepundak. Pemuda yang berusia sekitar dua puluh lima
tahun itu mengenakan pakaian serba merah dengan sabuk hijau dari kain. Kedua
tangannya men- genakan gelang kulit binatang warna hitam bertali silang-silang. Tubuhnya
tinggi, kekar, berotot dan berkulit langsat bersih.
Baju merah lengan panjang yang di-
kenakan itu tak dikancingkan, sehingga dadanya yang bidang tampak berbulu halus.
Di balik baju itu, ia menyelipkan sebuah senjata lengkung yang dinamakan
bumerang. "Siapa dia" Aku tak kenal dengannya" Mau apa dia membawaku ke balik semak-semak
ini"!" tanya hati Estigina dengan berdebar-debar.
Rupanya pemuda itu mempunyai ilmu
'Wicara Batin', sehingga ia dapat mendengar suara batin seseorang dalam jarak
tertentu. Maka ketika ia mendengar kecamuk batin Estigina, ia pun lebarkan
senyum dan berkata dengan suara pelan.
"Kita memang belum pernah bertemu dan belum saling kenal. Tapi sebentar la-gi
kita akan saling merasakan keindahan yang luar biasa, Manisku. Heh, heh, heh,
heh!" "Hei, apa-apaan ini"! Mengapa dia melepasi pakaianku"! Ooh..."! Oh, jangan..."!"
seru hati Estigina.
Pemuda itu mendengarnya dan berka-
ta, "Tenang saja. Jangan gugup dan jangan takut. Aku hanya akan membagi
kebahagiaan denganmu, Sayang...."
Kata-kata si pemuda yang seperti
orang menggumam itu didengar oleh pemuda yang tadi ditampar oleh Estigina.
Pemuda berbaju coklat segera mendekati suara itu dengan langkah pelan. Namun ia
tak berani menerobos masuk ke semak-semak, karena dari tempatnya berdiri sudah
dapat melihat apa yang dilakukan oleh si pemuda tampan berbaju merah itu. Tempat
tersebut lebih tinggi dari tempat yang dipakai menggelar tubuh mulus Estigina
itu. "Oh, mau diapakan gadis itu?"tanya batin pemuda berkalung ketapel. Pertanyaan
batin itu tak tertangkap oleh ilmu
'Wicara Batin' si pemuda berbaju merah, karena jaraknya lebih dari tiga langkah.
Pemuda berkalung ketapel itu menggerak-gerakkan kepalanya agar bisa memandang
secara keseluruhan.
"Ooh, pemuda itu manusia serigala"!
Dia mau memakan bibir Estigina"! Lho, ta-pi... tapi apa benar bibir gadis itu
di-makan sampai habis"!"
Pemuda berbaju merah ternyata men-
ciumi wajah cantik Estigina. Ciuman itu merayap dan sekarang hinggap di bibir
mungil Estigina. Bibir itu dipagut-pagut pelan, dilumat dengan lembut sambil
tangannya meraba dada si gadis.
Estigina ingin meronta, namun tak
kuasa. Bahkan menggelengkan kepala untuk hindari kecupan tersebut juga tak punya
daya sedikit pun. Ia hanya meratap dalam
hatinya. "Jangan... jangan... ooh, jangan nodai aku...."
Suara batin itu didengar oleh si
pemuda, namun tidak dihiraukan. Si pemuda justru merayapkan kecupannya ke leher
Estigina. Lidahnya merayapi sekitar leher beberapa saat, sambil berusaha melepas
bajunya sendiri.
"Ooh, tubuhmu mulus sekali, Sayang!
Hmmm... dadamu sungguh menantang gairah-ku. Bukan main indahnya!" ujar si pemuda
dengan suara berbisik. Kemudian mulutnya menempel di dada itu. Ujung dada yang
masih tampak ranum itu dilumatnya dengan lembut.
"Oooh...!" si gadis mengeluh dalam hati. Ia dapat merasakan desiran nikmat,
namun batin yang bertentangan membuat kenikmatan itu tak bisa diresapi. Hasrat
yang ada dalam jiwanya adalah meronta, memberontak dari cumbuan si orang asing
itu. Agaknya Estigina tak punya kesempa-
tan lagi untuk hindari noda. Pemuda itu dengan santainya mengatur posisi
Estigina, termasuk menjauhkan kedua kaki gadis itu. Sementara kedua tangan
Estigina di-rentangkan ke atas hingga ketiaknya terbuka bebas. Pemuda itu benar-
benar ber-jaya atas diri Estigina. Diciumnya seluruh tubuh Estigina dengan
pagutan-pagutan
kecil dan sapuan lidah yang menghangat.
Pemuda berkalung ketapel tak bisa
berkutik. Apa yang disaksikan oleh matanya itu membuatnya panas dingin dan
tubuhnya gemetaran, giginya gemeretak bagai berada di puncak gunung bersalju.
Celananya menjadi basah sendiri, akibat keringat dinginnya mengalir deras di
sekujur tubuh. "Apakah... apakah itu yang dinamakan bercumbu"!" pikir pemuda berkalung ketapel
yang masih polos dan lugu itu.
"Apakah kalau bercumbu harus... harus ucapkan kata 'sayang' beberapa kali"
Ooh... tapi kenapa pemuda itu tak menaruh belas kasihan kepada Estigina" ia
menggigiti tubuh Estigina yang ramping dan berkulit semulus itu" Estigina bisa
mati akibat gigitan berbisa itu! Oh, dasar orang tak punya otak!" maki pemuda
itu dalam sebaris gerutuan batinnya. "Mungkin tindakan seperti itulah yang
dinamakan perkosaan."
Pemandangan yang makin lama semakin menggetarkan jiwanya itu telah membuat
lututnya bagai tak bertulang. Akhirnya pemuda berkalung ketapel duduk di bawah
pohon, terlindung akar-akar pohon yang pipih dan besar itu. Ia meringkuk di sana
dengan menggigil dan gigi gemeretak.
"Kok rasanya aku kepingin buang air kecil, ya?" gumam hati pemuda berkalung
ketapel. Namun ia tak mampu berdiri mencari tempat untuk buang air kecil. Ia
semakin lemas, semakin merasa tak mempunyai kaki lagi. Matanya masih memandang
ke balik semak ilalang dari celah-celah akar pohon tersebut. Ia masih melihat si
pemuda berbaju merah yang sudah mulai mengen-durkan celananya.
Namun tiba-tiba terdengar suara si-
ulan yang mengalun tinggi, meliuk-liuk bagai nyanyian kematian. Siulan itu
mempunyai getaran tersendiri yang mampu menggugah perasaan duka di hati siapa
sa-ja yang mendengarnya.
"Fuuiiiuuu... uuiiiuu... uuiiuuut!
Fuuuiii, fuuuii, fuuiiit...!"
Pemuda itu tak jadi kendorkan cela-
na. Gerakannya terhenti seketika, karena merasa akan ada segumpal duka yang
meng-ganjal di dadanya. Ia pun segera teringat kematian ayah dan ibunya yang
meninggalkan dirinya dalam usia sepuluh tahun. Suara siulan itu makin lama
semakin mengiris hati, sangat menyedihkan dan menimbulkan bayangan-bayangan yang
memilukan. "ibuu, Ayaaah... mengapa kalian pergi saat aku masih kecil" Ooh, ibuu...
Ayah... sekarang anakmu hidup sebatang kara...," ratap hati pemuda bercambang
tipis itu. Estigina sendiri sempat sadari ke-
janggalan tersebut. Ia tahu si pemuda mu-
lai bangkit berdiri, tak jadi merenggut kesuciannya. Tapi tangis di hati
Estigina semakin meratap-ratap karena terpengaruh suara siulan yang
membangkitkan kesedihan itu.


Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia dan pemuda yang mau memperko-
sanya itu tidak tahu bahwa siulan itu berasal dari mulut berbibir tebal si
pemuda lugu itu. Rupanya pemuda berkalung ketapel itu mempunyai getaran suara
siul yang mampu menyentuh perasaan, membangkitkan saraf duka, membuat orang yang
mendengarnya menjadi sedih. Bahkan bisa membuat orang menangis meraung-raung di
luar kesadaran orang tersebut.
Entah apa lagi yang dapat dilakukan oleh suara siulan itu selain membuat orang
menjadi sedih dan menangis, yang jelas siulan itu telah membuat si pemerkosa
kehilangan gairah. Jika ia tak melawannya dengan napas tenaga dalam, maka pemuda
pemerkosa itu akan menangis meraung-raung seperti menghadapi kematian orang
tuanya. Hilangnya gairah untuk menikmati
kehangatan seorang gadis membuat pemuda tersebut akhirnya melangkah pergi dengan
menahan tangis setelah merapikan pakaiannya. Ia melangkah dalam lamunan duka, di
mana bayangan saat-saat jenazah ibu dan ayahnya dimakamkan terpampang jelas
dalam benaknya.
Akhirnya ia berlari cepat dengan
kerahkan tenaganya untuk melawan rasa du-ka yang nyaris membuatnya menitikkan
air mata. Ia pergi tanpa pedulikan si gadis yang masih terkapar tanpa busana
secuil pun itu.
Sedangkan si pemuda berkalung keta-
pel duduk meringkuk di balik pohon per-sembunyiannya dengan tubuh masih
menggigil dan jantung berdetak-detak. Siulannya dihentikan setelah ia melihat
pemuda berbaju merah pergi dan Estigina masih terkapar polos tanpa seekor lalat
pun di atas tubuhnya. Namun pemuda berkalung ketapel itu tetap menganggap
Estigina telah diperkosa oleh pemuda berbaju merah itu.
* ** 15 PADA saat itu, Pendekar Kembar dari Gunung Merana dalam keadaan terpisah satu
dengan yang lainnya. Soka Pura sibuk mencari putri Adipati yang bernama Rara
Wulan. Soka mendapat kabar dari Bandar Getih bahwa Rara Wulan minggat lagi dari
istana kadipaten Wilujaga. Kali ini kepergian Rara Wulan bukan karena protes
kepada sang ayah yang ingin kawin lagi, melainkan karena merasa tersiksa menahan
rindu kepada Soka, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Gadis Penyebar
Cinta"). Soka pergi bersama Bandar Getih
tanpa seizin ayah angkatnya; si Pawang Badai, dan tanpa pamit kepada Raka Pura.
Sang kakak tak ingin adik kembarnya celaka dalam perjalanan mencari Rara Wulan.
Karenanya, atas seizin ayah angkatnya, Raka pergi mencari Soka Pura. Tentu saja
sebaris gerutu kejengkelan meluncur dari mulut Pendekar Kembar sulung itu.
"Bocah edan itu selalu bikin pusing kepalaku! Persoalannya selalu tak jauh dari
urusan perempuan. Bosan aku! Apa ja-dinya jika seluruh perempuan di dunia
tenggelam ke dasar bumi, apakah Soka juga ikut menenggelamkan diri ke dasar
bumi" Hmmm! Konyol itu namanya!"
Perjalanan Raka Pura, si Pendekar
Kembar sulung tiba di tempat Estigina.
Tetapi sebelumnya pemuda berkalung ketapel itu sempat kebingungan menghadapi
Estigina yang masih tertotok jalan darahnya dan menjadi lumpuh tanpa daya apa-
apa itu. Rasa iba membuat pemuda kurus agak pendek itu ingin menolong gadis itu.
Tetapi ia tak tahu harus berbuat apa terhadap gadis yang terkapar tanpa busana
itu. "Kalau aku mendekat, nanti aku ditampar. Kalau tidak mendekat, nanti aku dikira
mengintipnya. Aduh, serba salah
kalau begini!" keluh pemuda lugu itu.
"Tapi kalau dia dibiarkan terkapar tanpa penutup sedikit pun, ooh... kasihan!
Selain bisa membuatnya masuk angin, juga bisa membuat tubuhnya yang putih mulus
itu dikerumuni semut. Kalau ada burung terbang di atasnya dan membuang kotoran,
tubuh putih mulusnya bisa terkena kotoran burung. Hmmm... sebaiknya aku nekat
menutupi tubuhnya itu biar tidak kering terpanggang matahari."
Akhirnya si pemuda nekat dekati Es-
tigina walau dengan langkah ragu-ragu dan hati berdebar-debar. Estigina terkejut
ketika melihat wajah polos pemuda yang tadi ditamparnya itu muncul sambil menen-
teng bangkai burung. Keadaannya yang tak berdaya membuatnya serba jengkel. Ingin
menyuruh pemuda itu pergi, tak bisa. Ingin menampar pemuda itu, tak bisa. Ingin
meminta tolong pun tak bisa. Akhirnya da-da Estigina terasa sakit sekali menahan
gejolak batin yang tak terpenuhi sedikit pun itu.
"Uuh... halus sekali kulit tubuhnya?" pikir pemuda itu setelah ia meraba lengan
tangan kiri Estigina yang masih merentang ke atas kepala. Usapan itu dilakukan
setelah pemuda tersebut merangkak pelan-pelan dekati Estigina, dan ternyata
Estigina tak bergerak sedikit pun, kecuali kedipan matanya yang basah oleh air
mata itu. "Celaka! Apakah si tolol ini juga ingin memperkosanya"! Matilah aku kalau dia
ikut-ikutan pemuda jalang tadi!" ujar batin Estigina. Sekalipun Ia belum jadi
kehilangan kesuciannya, tapi karena seluruh tubuhnya sudah dijamah dengan
ciuman, ia merasa sudah diperkosa.
Pemuda itu memang konyol. ia meman-
dangi tubuh itu lebih dulu dengan mata berbinar-binar namun tangan tak berani
memegang ini-itu. Hanya tadi ia mengusap lengan Estigina, selebihnya ia tak
berani, karena naluri kelelakiannya membuat jantungnya berdetak cepat seperti
saat mengintip dari gundukan tanah di atasnya itu.
Rasa malu Estigina tak tertolong
lagi. Jiwanya bergolak, darahnya terbakar, kemarahannya ingin meledak ketika
pemuda itu memandanginya dari bagian kepala sampai kaki. Pandangan mata itu
dilakukan dengan pelan-pelan dan sambil merangkak. Seakan si pemuda sedang
memandangi sesuatu yang amat dikagumi dan mengherankan, sehingga Estigina
menitikkan air mata lagi karena tak bisa lampiaskan kemarahannya yang
menyakitkan da-da itu.
"Oh, ini dia pakaiannya," ujar hati pemuda itu. Ia memungut pakaian Estigina
yang tadi dilemparkan di tepian semak
oleh si pemuda jalang tadi.
Estigina ingin menjerit meluapkan
kemarahannya ketika melihat pemuda itu membentang-bentangkan pakaiannya dari
yang luar sampai yang dalam. Rasa malu bagaikan sebongkah batu yang menyumbat
pernafasannya. Namun apa boleh buat, dalam keadaan lumpuh begitu Estigina hanya bisa menatap
pakaiannya yang dijepit memakai dua jari kanan-kiri dan dibentang-bentangkan
oleh si pemuda. Dahi pemuda itu berkerut bagai merasa aneh terhadap pakaian-
pakaian tersebut.
Padahal di dalam hati pemuda itu
bertanya-tanya, "Jika pakaian ini harus kukenakan ke tubuhnya, lalu bagaimana
ca-ra mengenakannya" Nanti disangkanya aku mau kurang ajar, pegang-pegang
tubuhnya tanpa izin"! Tapi kalau tidak dipakaikan, dia tidak mau mengenakan
pakaian sendiri.
Apakah dia akan berbaring begitu terus sampai malam tiba"!"
Pemuda itu tak tahu kalau Estigina
lumpuh karena terkena totokan. Pemuda itu tak berani mengajaknya bicara, karena
takut menyinggung perasaan si gadis dan ke-na tampar lagi.
"Ah, masa bodo dengan pakaian ini!"
pemuda itu melemparkannya ke semak-semak yang tadi. Lalu ia diam berpikir dalam
keadaan berdiri dekat kaki Estigina. Ma-
tanya sesekali melirik ke tubuh polos itu dengan napas kian sesak dan lutut tak
bi-sa tenang. "Sebaiknya kucarikan penutup lain, biar tubuhnya tak dikerumuni lalat!"
ujarnya dalam hati. Maka, pemuda itu pun segera memetikkan daun-daun lebar yang
tumbuh di sekitar tempat itu. Beberapa daun seperti daun pohon jati itu segera
diletakkan di atas tubuh si gadis itu.
Helai demi helai daun itu ditata
rapi hingga akhirnya menutup seluruh tubuh gadis itu. Bahkan wajah gadis itu pun
ditutupnya dengan beberapa daun lebar tersebut. Kini keadaan Estigina justru
seperti seonggok sampah berbentuk orang berbaring.
"Dasar tolol! Maha bodoh!" maki Estigina dalam hati, karena ia tidak bisa
menolak saat tubuhnya di tutup dengan daun-daun lebar itu. "Mengapa pakaianku
justru dibuang ke sana" Mengapa ia tidak menutup tubuhku dengan pakaian itu"
Uuuh... raja tolol!"
Sekalipun begitu, Estigina tahu
maksud hati pemuda itu yang ingin melin-dunginya dengan ketololan yang ada.
Sikap si pemuda yang tadi hanya memandangi tubuh polos tanpa memegang sana-sini
kecuali lengan, juga dinilai si gadis sebagai sikap yang baik dari otak seorang
pemuda yang bodoh. Tetapi rasa dongkol dan kesal
kepada pemuda itu masih tetap mengganggu batin Estigina.
Si pemuda sendiri merasa telah me-
lakukan sesuatu dengan benar dan baik. Ia bahkan sempat tersenyum dan
menghembuskan napas panjang karena merasa lega atas apa yang tadi membuatnya
bingung sendiri itu.
"Nah, "sekarang tubuhnya sudah ter-tutup semua. Tak akan dibakar terik matahari,
tak akan dikerumuni lalat...."
Tapi ia tak tahu bahwa beberapa he-
lai daun penutup tubuh itu mempunyai semut-semut kecil yang menggigiti tubuh
Estigina dengan panas. Estigina ingin sekali menjerit sepuas-puasnya membuang
kemarahan dan kejengkelan hatinya. Tapi yang dapat dilakukan hanya menitikkan
air mata sambil menahan clekit-clekit panas akibat gigitan semut kecil itu.
"Setelah begini, apa lagi yang harus kulakukan, ya"!" pikir pemuda itu sambil
garuk-garuk kepala. "Hmmm... aku harus cari orang dan minta tolong pada orang
itu untuk memakaikan pakaian Estigina. Jadi kalau ada apa-apa, biar orang itu
yang kena marah dan kena tampar oleh Estigina!" ujar hati pemuda itu berkepu-
tusan. Sebelum pemuda itu bergerak ting-
galkan tempat, ia sempat melihat sekelebat bayangan putih melintas di hutan
seberang. Kontan saja tanpa berpikir pan-
jang pemuda itu bersuit keras memanggil bayangan putih itu.
"Suiiittt...!"
Siulan panjang itu berhasil menarik perhatian seseorang yang sedang berkelebat
itu. Orang tersebut hentikan langkah dan memandang ke arah pemuda berbaju
coklat. Pemuda itu lambaikan tangannya, maka orang berpakaian putih yang tak
lain adalah Raka Pura itu segera mendekatinya.
Pemuda itu tertegun sebentar meman-
dang kehadiran sesosok pemuda yang
usianya sedikit lebih tua darinya itu. Ia merasa kagum melihat ketampanan Raka
Pu-ra, merasa ingin memiliki tubuh yang kekar, tegap dan gagah seperti Raka
Pura. Ia sempat terpesona memandang pedang kristal yang terselip di pinggang kiri Raka
Pura itu. "Pasti dia seorang panglima perang yang kehilangan kudanya," ujar hati si pemuda
berkalung ketapel itu.
"Hel, ada apa kau memanggilku dengan siulan sekeras itu"!" tegur Raka Pura
dengan nada sedikit tegas.
"Hmmm... eehh... anu, aku mau minta tolong padamu."
Raka Pura memandangi wajah pemuda
sebayanya yang tampak resah itu. Raka merasa baru kali itu bertemu dengan pemuda
tersebut, sehingga ia perlu tanyakan nama lebih dulu.
"Siapa namamu dan dari mana asal-mu?"
"Hmmm... aku berasal dari desa kaki bukit seberang itu. Hmmm... namaku...
namaku: Bujang Bodo.
Apakah... apakah namamu juga Bujang Bodo?" Ia ganti bertanya dengan polos,
membuat Raka Pura sunggingkan senyum ge-li.
"Bukan. Namaku bukan Bujang Bodo."
"Jadi, namamu Bujang apa" Bujangan"!"
"Namaku tidak pakai Bujang. Aku bernama Raka Pura. Kau bisa memanggilku Raka
saja." "Ooo... kok beda, ya" Padahal usia-mu kuperkirakan tak jauh dari usiaku."
"Usia itu tidak mempengaruhi nama, Bujang Bodo!" kata Raka dengan menahan geli.
Ia mulai tahu pemuda yang dihada-pinya sekarang adalah pemuda yang kurang
wawasan dan kecerdasannya cekak. Ia harus banyak memaklumi jika nanti banyak
pertanyaan tolol yang dilontarkan padanya.
"Apa yang harus kulakukan untuk me-nolongmu. Bujang Bodo"!"
"Hmmm... eeh...," Bujang Bodo agak sulit mengatakannya. Sebentar-sebentar
matanya melirik ke tumpukan daun yang memancing perasaan heran di hati Raka
Pura. Saat itu Raka menganggap tumpukan daun adalah sesuatu yang tidak berarti dan bu-
kan hai yang meresahkan. Tapi dengan memperhatikan gerakan mata Bujang Bodo,
Raka Pura menjadi tertarik juga dengan tumpukan daun itu.
"Raka, hmmm... apakah kau pernah mengenakan pakaian pada diri seorang gadis?"
"Apa maksudmu"!" Raka Pura berkerut dahi, lebih mendekati Bujang Bodo.
"Hmmm... apakah... apakah kau pernah mengenakan pakaian pada diri seorang gadis
yang telanjang polos?"
Raka sempat tertawa pelan. "Perta-nyaanmu sangat aneh, Bujang! Tentu saja aku
belum pernah mengenakan pakaian pada diri seorang gadis, karena aku tidak
mempunyai adik perempuan. Adikku seorang lelaki yang sudah pandai mengenakan
pakaian sendiri."
"Aku juga bisa mengenakan pakaian sendiri. Tapi aku tak bisa, hmm... maksudku,
tak berani mengenakan pakaian pada seorang gadis."
"Maksudmu gadis kecil" Adikmu?"
"Bukan, bukan...! Dia bukan adikku, tapi..,."
"O, kalau mengenakan pakaian untuk gadis kecil, kurasa aku bisa membantumu.
"Juga mengenakan celananya?"
"Dalam atau luar?" tanya Raka dengan usil sambil tersenyum geli.
"Luar dalam," jawab Bujang Bodo
membuat Raka lepaskan tawa walau tak sampai terbahak-bahak. Bujang Bodo ikut
tertawa, tapi sumbang dan masih tetap dengan hati resah.
"Baik, aku akan membantumu. Mana gadis kecil itu, dan mana pakaiannya"!"
"Hemm... eeh... sebentar!" Bujang Bodo kebingungan mencari pakaian Estigina.
Pakaian itu terlalu terbenam di semak ilalang sehingga tak terlihat dengan
mudah. Raka Pura geleng-geleng kepala sam-
bil tersenyum memperhatikan Bujang Bodo kebingungan mencari pakaian di semak-
semak. Sambil menunggu pakaian itu dite-mukan, Raka Pura sempatkan diri buang
air kecil, karena memang sejak tadi ia sudah ingin buang air kecil.
Cuuur...! Air kecil dibuang di de-
kat tumpukan daun, memunggungi Bujang Bo-do. Tentu saja hal itu mengejutkan si
Bujang Bodo. Pemuda itu membelalakkan matanya dengan mulut terperangah melihat
Raka Pura buang air kecil tepat di samping kepala gadis yang ditutupi dedaunan
itu. "Aduh, gawat! Kenapa dia buang air di situ" Bisa-bisa wajah Estigina terkena
percikan air kecil-kecil itu. Nanti aku lagi yang disalahkan dan ditampar"!"
ujar Bujang Bodo dengan hati cemas. Pakaian kuning itu sudah didapatkan dari
segera diserahkan kepada Raka Pura.
Sambil merapikan celananya, Raka
hampiri Bujang Bodo yang pegangi pakaian kuning. Ia tampak tenang dan kalem,
sepertinya tak pernah buang air di dekat kepala seorang gadis.
Bujang Bodo hanya berkata, "Lain kali jangan buang air di situ."
"O, ya"! Kenapa tak boleh?"
"Hmm... hmm... mengganggu pernapasan orang."
Raka Pura tertawa kecil. Peringatan itu dianggap sindiran untuk menjaga ke-
bersihan lingkungan.
"Ini pakaiannya...," Bujang Bodo serahkan pakaian itu.
Raka Pura terperanjat melihat uku-
ran pakaian cukup besar untuk seorang gadis kecil dalam sanggahannya tadi.
Bahkan ia bertambah kaget ketika melihat ukuran celana baik luar maupun dalam
yang sudah bukan milik gadis. kecil lagi itu.
"Gila..."!" mata Raka terbelalak lebih lebar lagi. "ini... ini.... Ah, kau
gila!" Raka Pura sentakkan tangan membuang semua pakaian itu.
"Katamu kau mau membantuku" Katamu kau bisa mengenakan pakaian seorang gadis?"
"Iya, tapi tidak segede itu! ini bukan pakaian seorang gadis kecil tapi seorang
perawan!" Raka agak ngotot.
"Aku... aku tak bilang kalau gadis itu masih kecil. Aku... aku hanya ingin
meminta bantuanmu untuk mengenakan pakaian kepada seorang gadis yang polos tanpa
selembar benang pun."


Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Edan kau ini!" gumam Raka Pura dengan berdebar-debar, karena ia belum pernah
berbuat seseronok itu. Berbeda dengan adiknya; Soka Pura, yang tak akan gemetar
sedikit pun jika diminta bantuannya untuk mengenakan pakaian pada diri seorang
gadis sebesar apa pun.
"Bujang, sebaiknya mintalah bantuan yang lain saja, aku akan membantumu."
"Bantuan yang kubutuhkan hanya itu tadi; mengenakan pakaian."
"Tapi... tapi itu tidak mungkin kulakukan. Sebab... sebab aku belum pernah
menyentuh tubuh gadis tanpa busana! Dan lagi, kurasa gadis itu bisa
mengenakannya sendiri. Di lihat dari ukuran baju dan celana luar dalamnya pasti
dia sudah besar dan bisa mengenakan pakaian sendiri."
"Seharusnya memang begitu. Tapi gadis itu tak bisa atau tak mau kenakan
pakaiannya sejak ia selesai diperkosa."
"Diperkosa"! Edan lagi ini!" gumam Raka dengan wajah kian menegang.
"Siapa yang memperkosanya" Kaukah pemerkosanya"!"
"Belum!" Bujang Bodo ngotot sekali.
"Ehh... maksudku, bukan! Bukan aku pemer-
kosanya! Tapi aku melihat rupa orangnya."
Raka pandangi wajah Bujang Bodo,
ternyata wajah itu memancarkan kejujuran.
Raka pun percaya dengan pengakuan Bujang Bodo.
"Lalu, di mana gadis itu sekarang?"
Bujang Bodo mendekat dan berbisik,
"Itu... yang kututup dengan daun-daun!"
"Hahh..."!" Raka Pura terkejut memandang tempatnya buang air tadi. Bujang Bodo
segera dekati tumpukan daun itu dan membukanya sebagian. Tanpa disengaja daun
yang dibuka adalah daun tempat penutup
'mahkota' si gadis.
"ini dia...!"
"Jabang bayi..."!" Raka Pura terpekik dan segera palingkan wajah tak berani
memandang terlalu lama. Jantungnya langsung berdetak cepat sekali, napasnya
mulai terasa sesak dan kedua tangannya terasa gemetaran.
"Ayolah, Raka...!" seru Bujang Bo-do. Raka berpaling memandang Bujang Bodo
dengan mulut ternganga mau bicara. Tapi ternyata Bujang Bodo ada di samping
gadis itu dan daun-daun penutup sudah dising-kirkan semua dari tubuh si gadis,
sehingga tubuh itu tampak keseluruhannya.
"Edan!" Raka makin terpekik. "Sint-ing! Gila! Goblok! Tutup dia!" seru Raka
Pura. "Bantulah aku menutupnya dengan pa-
kaian itu, Raka!"
"Aku tak sanggup!" sentak Raka dalam keadaan memunggungi. "Kalau gadis kecil aku
sanggup, tapi kalau sebesar itu aku tak sanggup!"
"Adanya sebesar ini! Mana mungkin bisa dikecilkan dulu"!" ujar Bujang Bodo
semakin ngotot.
Tapi Bujang Bodo segera terkejut
begitu pandangi tubuh mulus itu.
"Lho... kok jadi bengkak-bengkak begini"!" ucapnya tanpa sadar.
Estigina masih tetap sadar dan men-
dengar ucapan itu. Hatinya diliputi rasa ingin menampar wajah Bujang Bodo sampai
bonyok. Andai saja kala itu ia sudah bisa bicara, maka ia akan membentak Bujang
Bo-do memberitahukan keadaan tubuhnya yang bengkak-bengkak memerah karena
gigitan semut berbisa rendah itu.
Raka Pura semakin tak berani pan-
dangi gadis yang masih dalam posisi seperti saat diperkosa itu. Raka semakin
deg-degan karena ingat saat buang air ta-di. Rasa malu dan takut tergiur membuat
Raka jadi serba salah dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
* ** 3 SETELAH mendapat penjelasan dari
Bujang Bodo lebih lengkap dan lebih tenang lagi, Raka Pura segera dapat simpul-
kan bahwa Estigina terkena totokan. Totokan itu yang membuatnya tak berdaya,
bagaikan orang lumpuh. Tetapi bagaimana mu-lanya sampai Estigina terkena totokan
si pemerkosa, Raka tidak tahu, sebab Bujang Bodo pun tidak jelaskan awal
peristiwa pemerkosaan itu.
"Kukira karena dia kekenyangan sehingga tak bisa bergerak-gerak lagi,"
ujar Bujang Bodo setelah mendapat penjelasan dari Raka tentang jurus totok saraf
itu. Mereka bicarakan hal itu di balik pohon, tempat Bujang Bodo mengintip
adegan hot itu.
"Kurasa dia masih bisa mendengar suara dan mengingat rupa," ujar Raka Pu-ra.
"Akan kulepaskan pengaruh totokannya itu dan...."
"Jangan!" cegah Bujang Bodo.' Nanti kita yang kena sasaran kemarahannya. Aku-lah
yang paling banyak dapat tamparan darinya. Dia gadis yang galak, Raka!"
"Aku akan bicara dulu padanya sebelum kulepaskan totokan itu."
Raka Pura pun dekati Estigina den-
gan langkah mundur. Ia tak mau ada kesan memanfaatkan kesempatan blak-blak itu
dengan memandanginya. Karena itu ia sengaja bicara memunggungi Estigina.
"Nona, aku sudah dapat penjelasan dari Bujang Bodo tentang nasibmu! Kau telah
terkena totokan dari si pemerkosa itu. Tentunya kau ingat wajah dan ciri-ciri si
pemerkosa itu. Kuharap kau tidak marah padaku ataupun pada Bujang Bodo.
Kami tak bermaksud memanfaatkan keadaanmu yang serba polos itu. Tapi aku akan
melepaskan pengaruh totokan itu asal kau bersumpah dalam hatimu tak akan marah
pada kami dan tak akan menyalahkan Bujang Bodo maupun aku!"
Estigina memang mendengar suara
itu. Ia mengerti maksud pemuda tampan yang satu ini. Ia juga mendengar nama Ra-
ka Pura dan Bujang Bodo disebutkan pada saat kedua pemuda itu saling berkenalan.
Hati gadis itu akhirnya tak menya-
lahkan kedua pemuda tersebut, karena ia akhirnya paham keadaan Bujang Bodo yang
kurang cerdas itu dan sikap Raka Pura yang malu dan takut kepada wanita, teru-
tama wanita telanjang sepertinya saat itu.
"Jelek-jelek, Bujang Bodo sebenarnya telah berusaha menolongku dengan ke-
bodohannya. Seharusnya aku tak menyimpan kemarahan kepada pemuda itu. Jika tak
ada Bujang Bodo, mungkin pemerkosa itu bisa datang lagi sebelum pengaruh
totokanku buyar. Untung Bujang Bodo segera memanggil Raka Pura yang baru kali ini kulihat,
sehingga mudah-mudahan ia benar-benar bi-sa membebaskan diriku dari totokan si
ke-parat itu."
Raka sengaja diam, memberi kesempa-
tan pada hati si gadis untuk berkesimpulan setelah mendengar ucapannya tadi.
Setelah diperkirakan si gadis selesai berkesimpulan, Raka Pura perdengarkan sua-
ranya lagi dengan tetap memunggungi nya.
"Jika aku memandang mu dari kejauhan, jangan kau anggap aku berniat kurang ajar
kepadamu. Aku hanya mengincar urat nadimu untuk melepaskan totokan itu! Akan
kulakukan dari jarak jauh dengan lemparan batu kecil. Jika kau kulempar
berulang-ulang, ku mohon jangan marah dan dongkol padaku, karena itu berarti
lemparan ku belum tepat kenai urat nadi yang dapat membuyarkan totokan itu."
Raka Pura menengok sedikit, walau
tetap tidak memandang ke arah gadis itu, tapi jelas meminta perhatian khusus
dari si gadis. "Kalau kau tetap menyalahkan aku dan Bujang Bodo, maka aku akan menotok mu lebih
parah dari saat ini, dan akan kami biarkan selamanya!"
Raka ambil napas panjang, kemudian
berkata sedikit keras, "Akan kumulai...!"
Bujang Bodo hanya diam di atas gun-
dukan tanah tempatnya mengintai tadi. Ia mendengar ucapan Raka Pura dan manggut-
manggut membenarkan kata-kata itu. Raka Pura segera kembali dekati Bujang Bodo.
Ia mengambil beberapa batu kerikil yang akan dilemparkan. Bujang Bodo membantu
mencarikan batu, lalu diserahkan kepada Raka. "Ini yang agak besar...."
"Untuk apa batu sebesar ini"!" ujar Raka sambil membuang batu sebesar kepalanya
yang diberikan Bujang Bodo.
"Biar lemparanmu lebih mantap la-gi!"
"Bisa mati gadis itu kalau dilempar pakai batu sebesar ini. Tolol!" sentak Raka
Pura mulai jengkel, tapi di sela kejengkelan itu ia menyimpan tawa geli dan
memaklumi keadaan Bujang Bodo.
Raka mulai menyentilkan batu perta-
ma. Tess..! Tapi karena matanya memandang tubuh polos dan tangannya gemetaran,
maka lemparan itu tidak kenai sasaran. Batu kecil itu justru kenai pelipis
Estigina. Tuuk. "Aduh!" Estigina memekik dalam ha-ti.
Tees, tees, tees...!
Tiga lemparan batu yang disentilkan dengan di saluri tenaga dalam secukupnya itu
masih meleset dari sasaran. Batu itu kenai perut," pinggang dan ujung dada si
gadis, membuat si gadis memekik beberapa
kali dan ingin menangis karena kesakitan.
Raka Pura gelisah. Keringat dingin-
nya mengalir deras karena terlalu lama memandang tubuh polos. Akibatnya sentilan
batunya tidak bisa tepat kenai sasaran.
Padahal ia ingin sentilan batu itu kenai urat nadi bagian leher, sedikit di
bawah urat besar yang ada di leher tersebut.
"Sialan! Aku terlalu gugup, sehingga sejak tadi sentilanku tak bisa kenai
sasaran!" gumamnya pelan tanpa memandang Bujang Bodo. Si Bujang Bodo justru
memandangnya dengan hati kecewa.
"Kau harus tenang."
"Memang. Tapi...tapi aku tak bisa tenang karena baru kali ini kulihat gadis
sepolos itu dan semulus itu."
Raka Pura tarik napas dalam-dalam
menenangkan kegundahan hatinya sesaat, lalu menyentilkan batu kerikil lagi ke
arah leher Estigina. Tess, teess...!
Melihat dua sentilan itu tidak mem-
buat Estigina sadar, maka Bujang Bodo mengambil segumpal tanah padat. Ia
melemparkan tanah padat itu menggunakan ketapelnya. Wess...! Plook...!
"Edan kau ini!" bentak Raka Pura.
"Kena! Bidikanku tak pernah meleset. Buktinya kena di pipi gadis itu!"
"Jangan ikut-ikutan melempar, apa-lagi dengan ketapelmu! Kau pikir kita sedang
berburu burung puyuh"!"
Bujang Bodo menggerutu tak jelas
sambil bersungut-sungut. Ia tak tahu bahwa saat itu Estigina memekik keras dalam
hati, karena rasakan sakit sekali saat pipinya terkena slepetan Bujang Bodo. Ra-
ka pun menduga begitu hingga menaruh rasa kasihan sekali kepada si gadis.
"Awas, kalau kau ikut-ikutan melempar, lagi, ku lempar sendiri kepalamu dengan
batu yang kau ambil tadi!" ancam Raka Pura dengan hati jengkel.
Tees...! Raka Pura sentilkan batu
lagi. Kali ini tepat kenai sasaran. Estigina tersentak. suara jeritan mengawali
kesadarannya, menandakan dirinya terlepas dari pengaruh totokan si pemerkosa
tadi. "Aaaa..!"
Bujang Bodo kaget dan segera berla-
ri cepat menjauhi tempat itu dengan rasa takut. Gerakan Bujang Bodo yang berlari
cepat bersamaan suara jeritan itu membuat Raka Pura sempat kaget dan ikut lari
pu-la. Tapi ia segera sadar bahwa hal itu tak perlu dilakukan. Akhirnya ia
hentikan langkah dan tertawa geli sendiri dalam hatinya.
"Kenapa aku ikut-ikutan goblok seperti si Bujang"!" gerutu Raka dalam ha-ti.
Gadis itu menangis meratap-ratap.
Seluruh perasaannya yang sejak tadi meng-gumpal di dalam dada, kini tercurah se-
mua. "Nona... hentikan tangismu. Tolong hentikan tangismu dulu," bujuk Raka dengan
ragu-ragu untuk mendekatinya. Sang gadis tetap menangis hingga terisak-isak.
Raka Pura terpaksa membujuknya lagi.
"Nona... Estigina, hentikan dulu tangismu, Estigina."
"Persetan dengan bujukan mu! Kau tidak merasakan sakitnya jiwa raga ku di-
perlakukan begitu keji oleh pemuda jahanam itu!" bentak Estigina.
"Mak... maksudku... menangisnya nanti dulu. Sekarang pakailah dulu pa-kaianmu!"
"Oooh..."!" Estigina terperanjat dan segera sadar bahwa ungkapan perasaannya
membuat lupa mengenakan pakaian. Ia pun buru-buru mengenakannya sambil lanjutkan
tangis yang menghiba hati Raka Pu-ra. Sementara itu, Bujang Bodo memandang dari
kejauhan dengan kepala tertunduk, sesekali melirik cemas dan terharu.
Kesedihan itu bukan kesedihan main-
main atau dibuat-buat. Bagi seorang gadis, 'mahkota' adalah bagian yang sangat
dikeramatkan. Kini 'mahkota' itu telah dibeberkan begitu saja dan dijamah se-
enaknya. Rasa malunya begitu besar, membakar dendam dan kemarahan. Karenanya
tangis Estigina sulit di redakan. Raka Pura sampai bingung mencari cara untuk
membujuk tangis itu.
"Lebih baik aku mati daripada harus menanggung malu begini!" ujar Estigina di
sela isak tangisnya.
Bujang Bodo beranikan diri berkata
dalam keadaan berdiri di belakang Raka Pura.
"Kalau kau mati, kau tak bisa marah-marah kepada pemuda itu! Jangan mati dulu
sebelum marah kepada pemuda itu."
Ucapan lugu terasa menyadarkan emo-
si Estigina. Dendamnya mulai membara bagai mendidihkan seluruh darah dalam
tubuhnya. Bayangan pemuda bercambang tipis dianggap telah memperkosanya masih
lekat dalam ingatan. Mata indah itu pun menyipit pancarkan dendam yang begitu
besar. "Aku harus membunuhnya! Aku harus membunuh lelaki itu!"
"Jangan kau bunuh," ujar Raka Pura.
"Kalau kau membunuhnya maka dia tak merasa punya tanggung jawab yang harus dipi-
kulnya. Dia telah memperkosamu, merusak harapan hidupmu, dia harus berani
bertan-gung jawab dengan mengawinimu dan...."
"Tak sudi aku kawin dengannya! Per-kawinan belum cukup menebus dendamku padanya!
Kematianlah yang membuat dendamku akan reda dan pasrah kepada sang nasib!
Sekarang juga aku akan mencarinya!"
"Tunggu...!"
"Aduuh...!" Estigina menyeringai
kesakitan. Tubuhnya terasa sakit semua sejak kejadian itu, ia tak mampu berjalan
cepat atau melangkah terlalu lebar. Belum lagi rasa gatal dan panas di sekujur
tubuhnya akibat gigitan semut dari daun-daun penutup tubuh tadi. Estigina
akhirnya jatuh lemas. Jiwa yang terpukul membuat semangat hidupnya menurun,
tenaganya bagai mengendap tanpa gairah lagi.
Raka Pura segera memapah gadis itu.
Hatinya benar-benar trenyuh melihat duka sang gadis. Tapi ia bingung, harus ke
ma-na membawa sang gadis untuk menenangkan jiwa dan beristirahat beberapa saat.
"Jauhkah tempat tinggalmu dari si-ni, Bujang Bodo"!"
"Tidak seberapa jauh! Perjalanannya tak sampai sehari semalam," jawab Bujang
Bodo. "Aku butuh tempat untuknya!"
"Aku juga butuh tempat."
"Maksudku, bawa aku ke tempat tinggalmu, biar Estigina dapat menenangkan jiwa
dan beristirahat!"
"Bagaimana kalau dia kita bawa ke rumahku"!"
"Memang itu maksud kata-kataku ta-di!" bentak Raka Pura jengkel sendiri dengan
kebodohan pemuda kurus itu. Maka, Bujang Bodo pun segera membawa mereka ke
rumahnya. Bujang Bodo tinggal bersama seorang
kakek. Ia adalah satu-satunya cucu yang masih tersisa dari amukan bencana alam
beberapa tahun yang lalu. Bujang Bodo ternyata cucu seorang tukang pande besi
yang bernama Ki Darmala.
Sang kakek yang berbadan kurus na-
mun tampak ulet dalam bekerja membuat pe-ralatan dapur, senjata dan sebagainya
itu juga menaruh rasa iba hati kepada nasib Estigina. Setelah Ki Darmala
mendengar ciri-ciri pemuda yang memperkosa Estigina dari mulut Bujang Bodo,
diperkuat dengan pernyataan Estigina yang membenarkan ucapan Bujang Bodo, maka
pak tua berusia sekitar enam puluh tahun itu segera menggumam dan manggut-
manggut. "Beberapa hari yang lalu, seorang sahabatku juga singgah kemari," ujar Ki
Darmala. "Ia juga menceritakan tentang nasib malang keponakannya yang diperkosa
oleh pemuda berciri-ciri seperti itu. Menurut sahabatku itu, pemuda tersebut
bernama Bima Sura yang kemudian dikenal dengan nama Iblis Pemburu Wanita."
"Iblis Pemburu Wanita?" gumam Raka Pura sambil kerutkan dahi, karena merasa
asing dengan nama dan julukan itu.
"Kabar yang kudengar dari sahabatku, Iblis Pemburu Wanita itu berasal dari Teluk


Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serong," ujar Ki Darmala ketika malam tiba dan mereka menginap di rumah Bujang
Bodo itu. "Menurut sahabatku, Iblis Pemburu Wanita itu berilmu tinggi, karena ia murid
dari tokoh aliran hitam yang cukup kondang di kawasan pantai utara, yaitu Resi
Murang Sarak!"
"Aku pernah dengar nama Resi Murang Sarak!" sahut Estigina. "Dia tokoh tua yang
pernah mati satu kali dan bangkit lagi dari kuburnya setelah empat puluh hari!"
"Benar. Sahabatku juga jelaskan tentang hal itu. Nona Estigina! Dia memang tokoh
aliran hitam yang punya segu-dang ilmu setan! ilmu yang diturunkan kepada sang
murid itulah yang membuat sang murid menjadi brutal, ganas dan haus perempuan,"
sambung Ki Darmala.
Raka Pura menyimak baik-baik kete-
rangan itu dan mencatat dalam otaknya tentang siapa sebenarnya Iblis Pemburu
Wanita itu. Bahkan ia sempat berkerut da-hi ketika Ki Darmala berkata lagi
kepada Estigina.
"Menurut kabar burung yang didengar oleh sahabatku itu, Bima Sura selalu akan
memperkosa perempuan, setidaknya bercumbu dengan lawan jenisnya untuk menambah
kesaktiannya. Dalam empat puluh hari ia tidak lakukan hal itu, maka ia akan mati
termakan kesaktiannya sendiri. Sebab ia mempunyai ilmu aneh yang selalu
membutuhkan tumbal berupa kehangatan seorang wa-
nita!" "Kalau begitu dia harus dimusnahkan agar tidak merusak kehidupan kaum wanita
yang belum menjadi korbannya!" tegas Raka Pura sepertinya ia bicara pada diri
sendiri. "Dia memang harus dihancurkan!" geram Estigina.
"Aku ikut menghancurkan!" timpal Bujang Bodo.
Sang kakek menyahut, "Apa yang akan kau hancurkan, Jang"!"
"Hmm... hmm... apa sajalah, asal mudah dihancurkan akan kuhancurkan!" jawab
Bujang Bodo dengan wajah polos tak ada kesan bercanda. Ekspresi wajah itu hanya
membuat hati yang lainnya menjadi kesal. Sang kakek akhirnya menggerutu sambil
melengos dari cucunya.
"Kalau tak tahu persoalannya jangan ikut-ikutan, nanti kau mati nganggur, Jang!
Lebih baik di rumah saja membantu pekerjaan kakek ini!"
"Aku mau jadi pendekar, Kek!"
"Pendekar apa"! Bicaramu saja ja-rang betul kok mau jadi pendekar"! Kalau kau
mau jadi pendekar, bergurulah kepada Pendekar Kembar dari Gunung Merana!
Kudengar sekarang yang sedang jadi bahan pembicaraan para tokoh dunia persilatan
adalah kedahsyatan ilmu si Pendekar Kembar itu!"
Raka Pura terperanjat dan segera
tundukkan kepala saat Ki Darmala sebut-sebut Pendekar Kembar. Ia memang belum
perkenalkan diri kepada mereka bahwa ia adalah Pendekar Kembar.
Estigina tiba-tiba bersemangat da-
lam ucapannya. "Kalau begitu, bagaimana jika kita minta bantuan Pendekar Kembar untuk melawan
Iblis Pemburu Wanita itu"!"
"Kurasa itu gagasan yang baik, Nona Estigina!" sahut Ki Darmala dengan
bersemangat pula. Raka Pura hanya sunggingkan senyum tipis dan tetap tenang.
"Apakah kau tahu letak Gunung Merana"!" tanya Estigina kepada Raka Pura.
Pemuda itu tetap tenang walau menganggukkan kepala dan mengulum senyum sendiri.
"Aku tahu tempat itu," akhirnya ia berkata pelan tapi pasti.
Estigina tampak mulai berseri penuh semangat karena merasa yakin dapat hancurkan
Iblis Pemburu Wanita jika dibantu Pendekar Kembar. Ia tak tahu salah satu
Pendekar Kembar sudah ada di depannya.
* * * 4 HUTAN cemara tumbuh berjajar rapi
di sepanjang lereng pegunungan. Cemara-cemara hutan yang mempunyai dahan besar
bercabang-cabang itu menjadi tempat pelarian bagi seorang gadis cantik jelita
bertahi lalat kecil di sudut bibir bawahnya. Gadis yang gemar mengenakan jubah
tanpa lengan warna merah dengan rambut dikelabang dua dan berpita merah juga itu
tak lain adalah Rara Wulan, putri tunggal dari Adipati Damardikan.
Gadis berusia dua puluh tahun itu
memang terkenal bengal, bandel, tapi bukan liar, ia sering menentang peraturan-
peraturan istana yang dikeluarkan oleh ayahandanya sendiri.
Sudah dua kali ini ia minggat dari
istana kadipaten. Dulu ia minggat gara-gara tak setuju dengan rencana sang ayah
yang akan menikah dengan Bintari Ayu. Sekarang ia minggat dari Istana karena
ingin mencari buah hati dan pria kerinduan-nya; Soka Pura.
Rupanya gadis itu benar-benar jatuh cinta kepada Soka Pura, sehingga kerinduan
yang semakin hari semakin merimbun itu tak sanggup dibendungnya dalam istana
kadipaten. Soka berjanji akan datang men-gunjungi nya, paling tidak sedikitnya
se-minggu sekali. Pendekar Kembar bungsu itu
akan apel ke istana. Tetapi sudah lebih dari sebulan Soka Pura tak pernah datang
ke istana kadipaten, sehingga Rara Wulan nekat mencari Soka tanpa seizin
ayahnya. Ia hanya mengetahui bahwa Pendekar
Kembar berasal dari Gunung Merana. Maka arah yang men-jadi sasaran pelariannya
itu adalah Gunung Merana. Tapi ia sendiri tak tahu di mana Gunung Merana itu" Ia
tak mempunyai peta atau kompas yang bisa menjadi penunjuk langkahnya, tapi ia
berani mencari Soka. Jika bukan gadis nekat tak mungkin berani lakukan hal itu.
Jika bukan karena hati menampung gejolak cinta tak mungkin ia berani menerabas
hutan, naik-turun bukit, sampai akhirnya tiba di hutan cemara itu.
"Aku ingat, Ayah punya kenalan seorang ahli nujum yang tinggal di hutan cemara
ini," pikir Rara Wulan. "Kurasa lebih baik mencari rumah Eyang Rangkasewa dan
meminta bantuannya untuk mencari di mana Soka berada."
Di sekitar hutan cemara itu, nama
Rangkasewa memang cukup dikenal bagi para pengembara maupun para tokoh di rimba
persilatan, ia seorang tokoh yang disega-ni juga, karena setiap orang yang
datang padanya selalu diketahui maksud hatinya sebelum orang itu mengawali
pembicaraan. Selain ilmu silatnya tergolong tinggi, Eyang Rangkasewa juga seorang tokoh bero-
tak cerdas namun sering berlagak bodoh.
Dalam usianya yang sudah mencapai delapan puluh tahun itu, Eyang Rangkasewa
belum mempunyai seorang murid pun, sehingga ke-hebatannya dalam ilmu nujum dan
kanuragan belum diturunkan kepada siapa pun.
"Kelak jika seluruh ilmuku sudah kuturunkan kepada seorang murid aku baru bisa
mati dengan tenang," ujarnya kala itu kepada ayah Rara Wulan. Hubungannya dengan
Adipati Damardikan sangat baik, karena ia pernah menjadi penasihat adipati dalam
masa pemerintahan Purwadita, kakek dari Adipati Damardikan yang berarti kakek
buyutnya Rara Wulan.
Tetapi mencari tempat kediaman
Eyang Rangkasewa bukanlah hal yang mudah.
Hutan cemara yang begitu luasnya bagai menenggelamkan pondok sang ahli nujum,
sehingga dapat membuat orang patah semangat dalam upaya menemui Eyang Rangkasewa
itu. Rara Wulan sendiri sudah hampir se-
harian tidak berhasil temukan pondok Eyang Rangkasewa. Ia lelah berjalan
menyusuri hutan cemara yang berpohon renggang itu. Dan pada saat ia duduk di
atas batu bawah pohon, tiba-tiba sekelebat bayangan datang menghampirinya. Rara
Wulan terkejut dan sempat menggeragap karena menyangka bayangan yang
mendekatinya itu adalah Soka Pura.
"Ooh..."!" Rara Wulan segera sadar bahwa pemuda tampan yang kini berada di
depannya itu ternyata bukan Soka Pura.
Pemuda itu tidak dikenalnya. Tapi raut wajahnya yang tampan, senyumnya yang
kalem dan kegagahannya yang meyakinkan membuat Rara Wulan menjadi tak perlu
merasa takut. Hanya wajib curiga, karena rasa asingnya terhadap pemuda
berpakaian serba merah yang bajunya tak dikancingkan itu.
"Sia... siapa kau?" tanya Rara Wulan dengan pandangan curiganya.
"Aku seorang sahabat baru yang sejak dari lembah sana sudah mengikutimu.
Namaku; Bima Suta!"
Pemuda itu memperkenalkan nama as-
linya. Seandainya ia memperkenalkan julu-kannya yang dikenal orang banyak
sebagai Iblis Pemburu Wanita, maka Rara Wulan tak mau menanggapi senyum ramah
pemuda itu. "Mau apa kau mengikutiku dari sa-na?"
"Ingin tahu namamu," jawab Bima Su-ra dengan kalem, senyumnya memancarkan pesona
kegagahannya. Tapi hati Rara Wulan tidak mudah terpikat oleh senyuman itu.
Ia menjaga hatinya untuk tidak terpikat kecuali hanya mengakui bahwa senyum itu
memang indah dipandang mata.
Setelah diam sambil memandang bebe-
rapa saat, Rara Wulan pun perkenalkan namanya. Sikapnya tetap dijaga agar tidak
kelihatan sebagai wanita yang mudah ter-bujuk rayuan dan senyuman.
"Namaku: Wulan! Untuk apa kau ingin mengetahui namaku?" setelah berkata begitu,
hati Rara Wulan bicara sendiri, "Bagaimanapun juga aku masih tetap memilih Soka
Pura ketimbang pemuda ini!"
Rara Wulan tak tahu kalau Bima Sura mempunyai ilmu Wicara Batin', sehingga
ucapan batin Rara Wulan itu dimanfaatkan oleh pemuda itu untuk mengelabuinya
"Kalau begitu apa-yang kucari memang benar." ujarnya.
"Apa maksudmu?"
"Seorang sahabat menyuruhku mencari gadis yang bernama Wulan. Ternyata sekarang
aku sudah menemukannya."
"Siapa yang menyuruhmu mencariku?"
"Soka Pura!"
"Ooh. yaa .."!" Rara Wulan terkejut dan wajahnya menjadi tajam, sinar matanya
berbinar-binar menampakkan keriangannya.
"Di mana dia sekarang" Katakan. di mana Soka Pura berada"!" sambil Rara Wulan
dekati pemuda itu dan mengguncang-guncang lengannya, Nada bicaranya mulai tampak
manja. seakan merengek ingin segera dite-mukan dengan Soka Pura.
Bima Sura tersenyum girang. "Dia ada di suatu tempat dan aku harus memba-wamu ke
sana!" "Oh, ya... aku mau! Bawalah aku ke
sana sekarang juga! Bawalah aku, Bima Su-ra!".
Tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka berdua.
"Jangan mau tertipu oleh bujuk rayuannya, Gadis dungu!"
Tentu saja mereka terkejut dan se-
gera berpaling memandang ke belakang.
Ternyata di sana sudah berdiri seorang nenek berjubah kuning lusuh. Nenek
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu berambut putih rata disanggul di tengah
kepala. Rara Wulan yang merasa asing dengan nenek bertongkat putih itu segera
undurkan diri beberapa langkah, tapi Bima Sura justru tersenyum sinis sambil
bertolak pinggang satu tangan.
"Rupanya kau masih belum jera dan tetap menguntitku, Nini"!"
"Sebelum kau minggat ke neraka, aku tetap akan memburumu, Iblis Pemburu Wanita!
Kau telah merusak kehormatan cucuku dengan memperkosanya. Maka hukuman yang
layak adalah mengirim mu ke neraka!" ujar sang nenek yang sebenarnya adalah Nini
Sawandupa. Ia mempunyai cucu bernama Ratih Selayang yang juga kenalan baik
Pendekar Kembar; Raka dan Soka, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Kencan Di Ujung Maut").
Rupanya pemuda itu telah berhasil
memperkosa Ratih Selayang, sehingga sang
nenek menjadi murka dan memburunya dengan penuh dendam. Sementara itu, Rara
Wulan semakin undurkan diri menjauh begitu mendengar tindakan Bima Sura.
Kecemasannya menjadi bertambah, keraguannya terhadap Bima Sura pun mulai
menguasai batinnya.
Apalagi Nini Sawandupa menyambung
kata-katanya dengan suara lantang, di-iringi dengan nada murkanya yang tak ter-
bendung lagi itu.
"Sudah lama kutahu kau adalah Iblis Pemburu Wanita yang kerjanya merenggut
mahkota para gadis, bahkan para janda pun mau dibujuk untuk melayani gairah
setanmu itu! Sudah lama kutahu kau berbuat begitu untuk memperkokoh ilmu
pemberian gurumu; Resi Murang Sarak! Tapi aku tak pernah peduli dengan tingkahmu
selama kau tidak mengganggu cucuku! Dan sekarang kau telah menjadikan cucuku;
Ratih Selayang, sebagai korbanmu. Maka jangan harap kau bisa hidup lebih lama
lagi, Bima Sura!"
"Jaga mulutmu, Nenek peot!" geram Bima Sura dengan wajah mulai menampakkan
keberangannya. Matanya melirik sekejap ke arah Rara Wulan, dan ternyata gadis
itu menyimak ucapan Nini Sawandupa. Hati pemuda itu menjadi terbakar dan mulai
timbul hasrat untuk membunuh Nini Sawandupa.
"Kalau kemarin-kemarin aku lari da-rimu karena tak ingin memperkosamu, tapi
sekarang kau telah memancing murkaku. Ma-
ka mau tak mau kau harus memperkosa nyawamu agar keluar dari raga yang sudah bau
tanah itu!"
"Bersumpahlah untuk tidak lari dari pertarungan ini sebelum di antara kita ada
yang mati!" geram Nini Sawandupa sambil melangkah ke Samping, mencari kesempatan
untuk menyerang lebih dulu.
"Aku hanya bisa bersumpah; tidak akan membiarkan kau hidup lebih dari sepuluh
helaan napas!" ujar Bima Sura dengan mata mengecil, memancarkan kebencian yang
dalam. "Buktikan sumpahmu, Jahanam!
Hiaaah...!"
Nini Sawandupa melompat bagai singa ingin menerkam mangsanya. Tangan kanannya
mengangkat tongkat putih yang siap dihantamkan ke kepala Bima Sura.
Namun dengan tanpa bergeser dari
tempatnya berdiri, Bima Sura sentakkan tangannya ke depan, dan gelombang tenaga
dalam cukup besar keluar dari telapak tangan itu. Wuuuss...! Nini Sawandupa
merasa seperti diterjang sebongkah batu yang sangat besar. Brruus...! Tubuh
kurus itu akhirnya terpental ke belakang tanpa bisa menjaga keseimbangan
geraknya. Brruuk..! Nini Sawandupa jatuh ter-
banting dalam jarak delapan langkah dari tempatnya berdiri tadi.
"Habis sudah riwayatmu, Nenek keri-
put! Heeahh...!"
Rara Wulan terbelalak kagum menyak-
sikan gerakan Bima Sura yang berjungkir balik, plik-plak, dengan cepat hingga
menyerupai bayangan menggelinding ke arah Nini Sawandupa. Dalam sekejap saja
pemuda itu sudah tiba di depan Nini Sawandupa yang baru saja bangkit dari
jatuhnya. "Haahhh...!!" suara pemuda itu menyentak sambil telapak tangannya juga
menghantam ke depan. Dada sang nenek akan jebol jika terkena pukulan telapak
tangan itu. Tetapi rupanya Nini Sawandupa masih mampu bergerak dengan lincah dan
cepat. Dengan menarik satu kaki ke bela-
kang dan sedikit merendak, ia berhasil menahan telapak tangan Bima Sura dengan
telapak tangan kirinya. Plaakk...!
Kedua telapak tangan itu saling me-
nempel dan mereka tampak seperti saling dorong. Sang nenek kerahkan tenaga
dalamnya untuk imbangi kekuatan tenaga dalam Bima Sura. Akibatnya pertemuan dua
telapak tangan itu mengepulkan asap putih yang makin lama semakin tebal. Tubuh
Nini Sawandupa bergetar. wajahnya menjadi merah. Tubuh pemuda itu berkeringat
walau tak terlalu kelihatan menguras tenaga.
Rara Wulan memandang dari balik po-
hon dengan tegang. Ia melihat jelas Nini Sawandupa mulai keluarkan darah dari
mulut dan hidungnya, sedangkan Bima Sura
masih tampak bersih dan tak kelihatan ngotot sekali.
"Hiiaaah...!" tiba-tiba Nini Sawandupa memekik keras. Keduanya sama-sama
tersentak ke belakang, terhuyung-huyung.
Namun tiba-tiba kaki Nini Sawandupa menjejak pohon di belakangnya. Wuutt..!
Tubuh sang Nenek melambung di udara, ber-salto maju melewati atas kepala
lawannya. Lalu kaki sang nenek segera menendang punggung Bima Sura dengan keras.
Desss...! "Aahk...!" Bima Sura tersentak ke depan dan terhuyung-huyung nyaris jatuh dalam
keadaan punggungnya berasap. Tendangan Nini Sawandupa membuat punggung Bima Sura
bagaikan terbakar.
Tapi pemuda itu masih mampu berba-
lik dengan cepat dan berdiri tegak dengan dada sedikit membusung. Ia segera
mengge-rakkan kedua tangannya dengan urat-urat mengencang semua dan napasnya
ditarik panjang-panjang.
Seeett, seett, seett...!


Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heeeaah...!"
Teriaknya keras-keras dalam keadaan memasang kuda-kuda siap serang. Nini
Sawandupa cepat-cepat memutar tongkatnya untuk hadapi serangan lawan. Tetapi
pemuda itu segera sodokkan tangan kanannya dalam keadaan semua jari mengeras
lurus. Suuut...! Beehk...! Nini Sawandupa tersentak
mundur karena tangan Bima Sura mengeluarkan tenaga dalam cukup besar, melesat
dengan cepat dan kuat. Perempuan tua itu akhirnya terjengkang dan berjungkir
balik di tanah hingga tongkatnya terlepas. Kejap berikutnya, Bima Sura
melayangkan tubuhnya dan kedua kakinya menginjak tubuh kurus Nini Sawandupa yang
dalam keadaan terkapar dengan telinga, hidung dan mulut keluarkan darah segar
itu. Namun pada saat kedua kaki Bima Su-
ra mau menyentuh dada Nini Sawandupa, ti-ba-tiba sekelebat bayangan melesat dari
arah samping dan menerjangnya, Wees...!
Bruusss...! "Aaahk...!" Bima Sura segera terlempar sejauh delapan langkah. Ia jatuh
terbanting di sana dan segera bangkit la-gi dengan wajah semakin murka. Namun
baru saja bangkit, sekelebat bayangan tadi telah menerjangnya lagi. Wees...!
Brruuss...! "Aaah...!" Bima Sura terpental jauh lagi. Agaknya bayangan yang bersikap me-
mihak Nini Sawandupa itu tak memberi kesempatan Bima Sura untuk memberikan
serangan balasan. Baru saja pemuda itu berdiri, ia sudah harus terlempar lagi
hingga berjungkir balik di udara. Brruus...!
Hal itu terjadi berkali-kali, sam-
pai akhirnya Bima Sura berada di tempat
yang jauh dari Nini Sawandupa. Kecepatan gerak bayangan yang menerjangnya sukar
ditahan sedikit pun. Merasa tak diberi kesempatan oleh si penyerang, Bima Sura
akhirnya berhasil meloloskan diri dengan sentakkan kakinya ke bumi saat mau
terbanting yang kesekian kalinya.
Deess..! Wuutt, wuutt...|
Pemuda itu melarikan diri dengan
cara melesat cepat, kakinya menjejak dari pohon ke pohon. Tentu saja ia pergi
sambil membawa luka dalam yang cukup berbahaya. Namun baginya lebih baik pergi
daripada mencoba melawan tapi selalu tak mendapat kesempatan.
Si bayangan yang menerjang agaknya
sengaja tak mau mengejar. Ia kembali ke tempat Nini Sawandupa terkapar dalam
keadaan sekarat. Rara Wulan segera mendekati Nini Sawandupa pada saat bayangan
itu menuju ke tempat tersebut.
Jleeg...! Bayangan itu menampakkan
wujudnya sebagai seorang kakek berjenggot putih, berambut putih dikonde tengah
kepala, dan mengenakan pakaian model biksu warna abu-abu. Rara Wulan terperanjat
girang melihat tokoh tua yang tubuhnya bagaikan tinggal tulang belulang itu.
"Eyang..."! Eyang Rangkasewa"!"
"Rara Wulan, kau telah membangunkan tidurku dengan kegelisahan batinmu dalam
mencariku!" ujar si tokoh tua yang ter-
nyata adalah Eyang Rangkasewa itu.
"Eyang, aku hampir saja tertipu oleh pemuda tadi!" ujar Rara Wulan mulai
bermanja. "Hampir saja kau terjebak bujuk rayunya. Dia hanya inginkan tubuhmu sebagai
penguat ilmunya! Tapi untung sahabatku ini datang, sehingga kau luput dari mulut
buaya darat itu!"
"Aku mencari Soka Pura, Eyang," Ra-ra Wulan segera utarakan maksudnya tanpa
basa-basi lebih dulu.
"Kita bicarakan di pondokku saja!
Bantu aku membawa tubuh Sawandupa ini!"
"Aku takut kena darah, Eyang. Aku jijik menyentuh darah!" manja si gadis.
Eyang Rangkasewa hanya geleng-geleng kepala.
Mereka pun bergegas ke pondok Eyang Rangkasewa yang letaknya di kedalaman hutan
cemara itu. * * * 5 KABAR kepergian Rara Wulan diterima Soka Pura dari pertemuannya dengan Bandar
Getih. Kala itu Soka Pura sedang dalam perjalanan pulang dari Bukit Gamping,
menyelesaikan urusan pribadi dengan Dewi
Binal. Tanpa disengaja, di perjalanan So-ka bertemu dengan Bandar Getih. Saat
itu Bandar Getih sedang dikejar-kejar oleh penduduk di sebuah desa, karena
Bandar Getih dituduh mencuri ayam.
Untung ia segera bertemu dengan So-
ka Pura dan persoalan itu bisa diselesaikan oleh Pendekar Kembar bungsu itu.
Orang-orang desa ternyata salah kejar.
Bandar Getih mengaku dimintai tolong seseorang untuk memegangi ayam. Orang itu
beralasan ingin mengejar pencuri kerbau.
Dalam keadaan memegang ayam, Bandar Getih diserbu orang-orang desa karena
terbukti memegang ayam curian. Tapi setelah Soka hadir dan beberapa orang dari
para penge-jar itu mengenali Soka sebagai Pendekar Kembar yang bungsu, maka
persoalan itu pun dapat diselesaikan secara damai Orang-orang desa menjadi
ketakutan karena Soka jelaskan bahwa Bandar Getih adalah pelayan istana
Kadipaten Wilujaga.
Sejak itulah kabar tentang keper-
gian Rara Wulan diterima oleh Soka Pura.
Maka mereka berdua mencari Rara Wulan ke arah Gunung Merana, sebab Bandar Getih
jelaskan bahwa Rara Wulan ingin nekat mencari Soka ke Gunung Merana.
Perjalanan itu tak bisa mulus, ka-
rena mereka temui beberapa peristiwa yang membuat Soka Pura terpaksa turun
tangan. Bandar Getih yang penggugup itu merasa
mendapat banyak pengalaman selama ikuti perjalanan Soka Pura.
Bahkan kali ini perjalanan mereka
terhambat oleh datangnya suara desah dan rintihan panjang seorang perempuan dari
balik semak-semak. Soka Pura yang berotak jahil selalu ingin mengintip suara-
suara kenikmatan seperti itu. Mau tak mau Bandar Getih ikut mengintai dari balik
kerimbunan semak.
"Ya, ampun..."! Aku kenal dengan perempuan itu"!" ujar Soka Pura berbisik tepat
di telinga Bandar Getih yang berke-pala botak tengah, tapi bagian bawah kepala
ditumbuhi rambut tipis. Dalam usia sekitar empat puluh tahun, sebenarnya pe-
mandangan itu tidak membuat Bandar Getih sampai gemetaran. Namun karena Bandar
Getih sudah lama hidup menduda, maka peman-dangan itu membuatnya berdebar-debar
dan tak mampu menyangga tubuhnya, akhirnya ia berlutut pelan-pelan.
Apa yang mereka lihat adalah per-
cumbuan seorang perempuan dengan seorang pemuda yang tak lain adalah Bima Sura.
Pada saat itu, Soka dan Bandar Getih belum mengetahui siapa Bima Sura
sebenarnya. Tapi Soka sudah kenal dengan perempuan yang melayani gairah Bima
Sura itu. Perempuan berambut sebahu tanpa ikat kepala yang mempunyai wajah cantik dan
bibir sensual itu tak lain adalah Selir Pa-
mujan, murid mendiang Nyai Demit Selingkuh.
Darah Soka sempat mendidih melihat
Selir Pamujan membalas ciuman Bima Sura dengan ganasnya. Sebab biar
bagaimanapun, Selir Pamujan pernah menjadi teman kencan Soka dan sempat merasa
ingin memiliki So-ka. Kecemburuannya kepada Dewi Binal membuat Selir Pamujan
akhirnya pergi tinggalkan Soka setelah Kipas Kedung Gairah milik gurunya yang
dicuri Dewi Perang itu hancur di ujung pedang Raka, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Cumbuan Menjelang Ajal")
"Apakah karena ia merasa kecewa denganku, maka ia lakukan hal itu bersama pemuda
sebayaku"! Secepat itukah hatinya berpindah ke pelukan lelaki lain"!" pikir Soka
Pura sambil menahan rasa ingin melabrak mereka.
Soka Pura tak tahu kalau hal itu
dilakukan Selir Pamujan dalam keadaan tidak sadar. Hasratnya untuk berkelana
membuang kenangan indah bersama Soka Pura itu terhenti oleh kemunculan Bima
Sura. Pemuda itu tampak sengaja menghadang
langkah Selir Pamujan dengan gagah dan menampakkan, sikap perkasanya. Bima Sura
yang baru saja semalaman sembuhkan luka dalamnya dari serangan Eyang Rangkasewa
itu sengaja memandang Selir Pamujan dengan senyum menggoda.
"Kaukah murid Nyai Demit Selingkuh yang bernama Selir Pamujan"!"
"Benar!" jawab Selir Pamujan dengan nada ketus. "Siapa kau"! Aku tidak merasa
mengenalmu!"
"Aku murid Resi Murang Sarak dari Teluk Serong. Gurumu kenal dengan guruku, dan
kita pernah bertemu dalam suatu pertemuan di Bukit Gadang. Hanya saja waktu itu
kau tidak memperhatikan diriku karena kau dalam keadaan terluka akibat
Pendekar Seribu Diri 5 Golok Halilintar Karya Khu Lung Bloon Cari Jodoh 19
^