Pencarian

Iblis Pulau Hantu 1

Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu Bagian 1


IBLIS PULAU HANTU Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1992
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Iblis Pulau Hantu
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Desa Randu Alang malam ini terasa sepi. Da-
ri kejauhan terdengar lolongan serigala memecah
keheningan. Rumah-rumah penduduk tertutup
rapat-rapat. Serangga malam kembali bernyanyi
setelah hujan yang sejak tadi turun mulai berhen-
ti. Gerimis jatuh satu persatu menyuarakan tem-
bang sumbang. Wira Atmaja terduduk lesu di ruang depan
rumahnya yang besar. Baru saja siang tadi pen-
duduk memilihnya kembali menjadi kepala desa.
Namun tidak seperti biasanya, pemilihan itu di-
kacaukan oleh tewasnya salah seorang warga
dengan cara yang amat mengerikan. Wajah Su-
gianta rusak bagai disayat-sayat senjata tajam.
Ususnya terburai ke mana-mana. Tak seorangpun
yang mengetahui, perbuatan siapa itu. Tiba-tiba
saja mayat itu terlempar di kakinya, tepat saat
pemilihan usai dan orang-orang bersorak kegi-
rangan karena dia terpilih kembali. Saat itu juga orang-orang berkerumun sambil
bertanya-tanya,
apakah ini awal malapetaka yang menimpa mere-
ka" Dan satu-satu meninggalkan tempat, kembali
ke rumah masing-masing sambil mengunci pintu
dan jendela rapat-rapat.
Laki-laki berumur sekitar limapuluh tahun
itu mondar-mandir sesaat dan kembali duduk
dengan wajah gelisah. Pandangannya menatap lu-
rus-lurus ke depan. Gerimis mulai reda, namun
lolongan serigala semakin nyaring terdengar. Dia
kembali menghela nafas sesak.
"Siapa itu"!" bentaknya dengan suara yang agak keras saat satu bayangan
berkelebat. Laki-laki itu coba menegaskan sambil kucek-kucek
mata. Tak ada apa-apa! Ranting-ranting pohon di
depan rumahnya yang terlihat lewat lobang angin
bergerak-gerak ditiup angin. Dia coba mene-
gaskan sambil melangkah pelan mengintai ke
luar. Terlihat sepi. Angin dingin menyapu wajah-
nya. Laki-laki itu menghela nafas lega. Tapi baru saja dia putar tubuh dan
kembali ke tempat se-mula, tiba-tiba!
"Bruak!"
Pintu depan hancur berantakan. Seseorang
menerobos masuk dan berdiri garang di ambang
pintu. Tubuhnya pendek dan gempal, serta agak
buncit perutnya. Kepalanya botak dengan wajah
rusak teramat mengerikan. Telinganya lebar, dan
sepasang matanya seolah hendak keluar. Sekilas
orang itu seperti setan pencabut nyawa. Tanpa
sadar, kepala desa itu mundur dengan tubuh ge-
metar ketakutan.
"Si... siapa kau...?"
Orang itu menyeringai sesaat. Terlihat ba-
risan giginya yang runcing kehitam-hitaman. Ter-
lihat seram dan menakutkan sekali.
Mendengar suara keras tadi, seorang perem-
puan setengah baya tergopoh-gopoh keluar ka-
mar. "Paaak...! Ohh..."
Tubuhnya langsung ambruk dan pekiknya
menghilang seketika saat beradu pandang dengan
orang yang berada di depan pintu. Perempuan se-
tengah baya itu agaknya ketakutan sekali melihat
wajah orang itu, dan tanpa sadar dia langsung
pingsan. Wira Atmaja ingin memburu perempuan
itu. "Diam di tempatmu, Wira!" bentak orang itu.
Sang kepala desa langsung hentikan langkah.
Wajahnya kian pucat saat orang itu mendekat
dengan perlahan-lahan.
"Si... siapa kau se... sebenarnya dan ma...
mau apa...?"
"Ha... ha... ha... ha...! Mungkin kau tak mengenaliku lagi, bukan" Aku Burisrawa
yang se- puluh tahun lalu kau siksa bersama kembrat-
kembratmu di desa ini!" kata orang itu dengan suara nyaring bagai perempuan.
"Aku datang ke sini menuntut balas, Wira! Menuntut balas atas
perlakuan kalian padaku!"
"Hah"! Tak mungkin! Tak mungkin! Kau su-
dah tenggelam di telaga itu"!" sahut kepala desa itu sambil terus mundur
ketakutan. Terbayang di
benaknya peristiwa sepuluh tahun lalu. Seorang
gelandangan buruk rupa berkeliaran di desa me-
reka. Penduduk menganggapnya sebagai biang
bencana dan malapetaka. Sebagai kepala desa,
tentu saja dia turun tangan untuk mengatasi ke-
resahan masyarakat. Secara baik-baik dia menyu-
ruh gelandangan itu untuk pergi dari desa mere-
ka. Tapi karena tak mau menurut, kepala desa itu
kesal juga, kemudian menyuruh beberapa pemu-
da desa untuk bertindak dengan cara apapun.
Namun secara tak disangka-sangka, orang itu
melawan. Sudah tentu pemuda-pemuda desa itu
mengeroyoknya beramai-ramai, dan hal inilah
yang tak diperhitungkan kepala desa itu. Karena
kalap dan amarah yang meluap, beberapa orang
pemuda itu melakukan tindakan diluar peri ke-
manusiaan dengan merajam seluruh tubuh orang
itu dan menenggelamkannya ke dalam sebuah te-
laga di ujung desa setelah tubuhnya diikat den-
gan batu besar agar tak mengapung. Lalu mereka
tinggalkan begitu saja.
"Kenyataannya aku masih hidup Wira, dan
kaulah kini yang harus mati!" Orang itu menyeringai sinis. Tangan kirinya meraih
sesuatu di balik pinggang. Kepala desa itu tergagap dan kerin-
gat dingin mengucur deras saat melihat orang itu
acungkan senjata. Sebuah tombak sepanjang dua
depa dan di ujung sisinya terdapat bentuk seperti clurit tajam mengkilat.
"Parjo! Diman...!" teriaknya keras memanggil penjaga. Namun tak ada sahutan. Dia
mulai panik dengan tubuh menggeletar hebat.
"Percuma kau memanggil mereka. Keduanya
telah kukirim ke akherat. Kau tahu, Wira" Semua
orang-orang yang ikut menenggelamkanku saat
itu akan mati dengan cara yang mengerikan. Bu-
kankah siang tadi kau telah melihat si Sugiarta"
Nah, karena di desa ini kulihat cuma kau saja
yang masih ada, maka kaulah yang mendapat gi-
liran. Yang lain akan mendapat giliran. Akan ku-
cari di manapun mereka berada!"
"Tidak! Tidaaaaaaaaaak...!"
Kepala desa itu menjerit-jerit ketakutan dan
berusaha lari ke dalam. Namun sekali bergerak,
orang itu telah berada di depannya. Kemudian
dengan bengis ayunkan senjatanya. Sebentar saja
terdengar jeritan kematian yang menyayat. Wajah
kepala desa itu habis disayat-sayat. Perutnya ro-
bek bagai dicabik-cabik. Ususnya berceceran di
ruangan itu. Orang itu terus membabatkan senja-
tanya dengan sadis, dan... astaga! Tubuh kepala
desa itu dipotong-potongnya menjadi beberapa
bagian! Tak puas dengan itu, kembali dia beraksi
menyayat-nyayat tubuh perempuan setengah
baya yang dalam keadaan pingsan. Terdengar
lenguhan pendek. Tubuh perempuan itu tewas
dengan cara yang sama. Kemudian orang itu
mengobrak abrik seluruh ruangan dan meng-
hancurkan segalanya hingga porak poranda. Se-
telah puas melakukan itu, dia berteriak nyaring
bagai kerasukan setan.
"Ha... ha... ha... ha...! Semua akan mendapat bagian! Semua akan mendapat bagian
dari Iblis Pulau Hantu! Kalian yang dulu menyiksaku ha-
bis-habisan! Kalian yang menendangku bagai anj-
ing kurap saat aku mengemis-ngemis ingin men-
jadi murid di perguruanmu! Kalian yang dulu
mengejekku dan menistaku karena wajahku bu-
ruk rupa! Kalian akan terima balasan! Kalian
akan terima balasan dari Iblis Pulau Hantu! Ha...
ha... ha... ha...!"
Setelah puas berteriak-teriak sambil keluar-
kan tawa panjang yang nyaring bagai suara pe-
rempuan dan mendirikan bulu roma, orang itu
melesat cepat. Gerakannya bagai kilat, sebentar
saja telah hilang dari pandangan. Tempat itu
kembali sepi. Orang-orang desa yang mendengar
suara itu dari rumahnya, tak ada yang berani ke-
luar. Masing-masing bersembunyi di kolong ran-
jang atau di balik lemari.
Lolongah serigala dari kejauhan semakin se-
nyap terdengar. Serangga malam seakan malas
bersuara. Sebentar saja suasana desa itu seperti
di pekuburan. Sunyi senyap!
2 Giri Dharma tampak sedang berbincang-
bincang dengan beberapa orang murid utama-
nya. Orang tua berumur tujuh puluh tahun, yang
dalam dunia persilatan dikenal sebagai si Pedang
Mata Seribu itu agaknya sedang membicarakan
sesuatu yang sifatnya rahasia. Terlihat dari pem-
bicaraan mereka dengan suara perlahan dan
ruangan yang tertutup ini.
"Hamba juga tak mengetahuinya, guru," sahut Bomantara. "Orang-orang tak ada yang
me-ngenalinya. Orang itu datang dan pergi bagai se-
tan gentayangan," lanjut salah seorang murid tertua itu.
"Masalah ini harus segera dituntaskan, ka-
lau tidak, apa kata orang-orang persilatan ter-
hadap perguruan kita" Perguruan Bulan Terbelah
hanya berpangku tangan melihat bencana di seki-
tarnya!" "Jadi apa yang harus kita perbuat, guru?"
tanya Dasagriwa.
"Pertanyaan yang bagus Dasagriwa!" sahut orang tua itu. "Untuk inilah kalian
berlima ku-kumpulkan. Aku ingin kalian mencari orang itu
dan mengambil tindakan terhadapnya!"
"Maksud guru kami harus menumpasnya?"
tanya Aditya meyakinkan.
"Jalan terakhir begitu. Tapi menurutku tak
ada jalan lain. Orang ini harus cepat-cepat di-
enyahkan sebelum dia membuat kekacauan yang
lebih parah!"
"Kami siap melakukannya, guru!" sahut kelima orang itu sambil menjura hormat.
"Bagus! Kalian boleh berangkat sekarang!"
Belum lagi mereka bangkit, terdengar suara ribut-
ribut dari halaman depan. Seseorang masuk ke
ruangan itu dengan tergopoh-gopoh.
"Ampun, guru...!" katanya dengan nafas ter-engah-engah. "Di luar ada pengacau.
Kami telah berusaha mencegahnya sekuat tenaga, tapi dia
berilmu sangat tinggi. Banyak kawan-kawan yang
telah binasa di tangannya. Mohon petunjuk,
guru...." Tanpa menunggu perintah gurunya, kelima
murid utama itu melesat ke halaman dengan ce-
pat. Mereka melihat sesosok tubuh yang amat
mengerikan sedang membantai murid-murid Per-
guruan Bulan Terbelah yang mengeroyoknya. Tu-
buhnya pendek gempal dengan perut buncit dan
bekas-bekas luka sayat yang mengerikan. Kepa-
lanya botak dengan telinga lebar dan sepasang
mata yang seolah hendak copot dari sarangnya.
Orang itu memakai baju putih agak besar dengan
gambar bola-bola sebesar kepalan tangan berwar-
na hitam. Di tangan kanannya terlihat sebatang
tombak berujung lancip sepanjang dua depa. Pa-
da sisi ujung tombaknya itupun terdapat leng-
kungan tajam bagai clurit, berkilat-kilat ditimpa sinar matahari siang ini.
Untuk sesaat kelima
orang itu terpaku di tempatnya melihat peman-
dangan itu. Namun mereka cepat sadar manakala
jeritan-jeritan kematian mulai riuh terdengar. Kelimanya cepat lompat mendekati
dan membentak keras. "Setan keparat mana yang berani mengacau
di Perguruan Bulan Terbelah ini"!"
Mendengar bentakan itu, orang berwajah ru-
sak ini palingkan wajah. Beberapa murid yang ta-
di mengeroyoknya, cepat menyingkir manakala
melihat kelima murid utama itu turun tangan.
"Hmmm... kaliankah murid-murid utama si
tua celaka itu"!"
"Siapa kau, kisanak" Dan kenapa membuat
kekacauan di sini"!" sahut Bomantara.
"Siapa aku tak jadi masalah! Suruh si tua
bangka Giri Dharma itu keluar menemuiku. Ka-
lau dia tak berani, biarkan aku masuk ke dalam
dan menggorok lehernya."


Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat!" maki Aditya garang. "Orang sepertimu memang patut mampus. Tak ada
angin tak ada hujan, tiba-tiba membuat kekacauan dan
ingin membunuh guru kami!"
"Menyingkirlah kalian sebelum kutebas ba-
tang leher kalian satu-satu!"
Bomantara masih bisa bersikap sabar mela-
deni kata-kata tamu yang tak diundang itu.
"Kisanak, kalau ada sesuatu rasanya lebih
baik dimusyawarahkan. Siapa tahu ada jalan ke-
luar yang terbaik. Kenapa harus melalui keka-
cauan seperti ini?"
"Kakang Bomantara, kenapa harus beramah-
tamah pula?" sahut Dasagriwa tak sabar. "Sudah jelas maksud orang ini, dan dia
telah membuktikannya dengan membantai murid-murid
perguruan. Apa yang kita tunggu"!"
"Nah, menyingkirlah!"
Mendengar ucapan orang itu, tentu saja Bo-
mantara tak bisa berlama-lama lagi. Lebih-lebih
saat orang berwajah rusak itu telah pasang kuda-
kuda dan siap menyerang mereka berlima.
"Sheaaaa...!"
Dengan teriakan nyaring, tiba-tiba tangan
kanannya yang memegang senjata unik itu telah
berkelebat cepat membabat kelima orang di de-
pannya. Tentu saja mereka berkelit dan balas
menyerang. Masing-masing telah mencabut pe-
dang dan mengurung lawan dengan ketat.
"Yeaaaa...!!"
"Trang! Trang!"
"Wuuuut!"
Kelima orang itu tersentak kaget manakala
senjata mereka beradu. Terasa tenaga lawan me-
nindih tenaga dalam mereka. Tangan mereka ber-
getar hebat dan kesemutan. Ini sudah membukti-
kan bahwa tenaga dalam lawan berada dua ting-
kat di atas mereka. Kalau saja dia mau, tentu me-
reka telah dibuat tak berdaya dalam segebrakan
tadi. Agaknya orang itu memperingati dengan ca-
ra begitu. Tapi mana mau kelimanya mundur dan
mengaku kalah. Apalagi lawan telah membantai
belasan murid-murid perguruan. Tentu pamor
mereka akan jatuh dan lebih penting lagi, tujuan
orang ini harus dicegah sekuat tenaga.
"Tikus-tikus got tak berguna, apa kalian pi-
kir bisa ungkulan melawan Iblis Pulau Hantu"
Sebentar lagi nyawa kalian akan lepas, dan be-
rikutnya si keparat Giri Dharma itupun akan te-
rima bagiannya pula!" kata orang itu menggeram.
Selesai dengan kata-katanya, tubuhnya kembali
mencelat ke arah lima murid utama Perguruan
Bulan Terbelah dengan kecepatan yang sulit di-
ikuti mata. Bomantara dan kawan-kawannya tak mau
berlaku ayal-ayalan lagi. Mereka segera mainkan
jurus terhebatnya yang diberi nama Kilat Pedang
Membelah Malam. Jika seorang saja yang me-
mainkan jurus ini, hebatnya luar biasa. Kelebatan pedang bagai ribuan mata
pedang, yang memo-tong-motong tubuh lawan. Itulah sebabnya Ki Giri
Dharma dijuluki si Pedang Mata Seribu. Kini ju-
rus itu dimainkan oleh lima orang dengan kom-
pak. Tentu saja hebatnya bukan kepalang.
Namun bagi orang bermuka buruk bernama
Burisrawa itu, kelebatan pedang lawan hanya
disambutnya dengan kekehan kecil mengejek dan
menganggap enteng. Sambil mendengus sinis ke-
sudahannya, dia mainkan jurus terhebatnya pada
tingkat ketiga yang diberi nama Memutus Urat
Membuang Hidup. Kehebatannya segera dibukti-
kan dengan mendesak pertahanan lawan. Berkali-
kali ujung senjatanya yang melengkung bagai clu-
rit tajam itu digunakan untuk mengait pedang
lawan. Begitu gagal, ujung tombak yang runcing
berkelebat menyambar tubuh kelimanya.
"Trang! Trang! Breeet!"
Bomantara dan Aditya berhasil memapaki
serangan lawan. Namun salah seorang menjerit
kesakitan manakala perutnya robek dibabat
ujung senjata lawan yang berbentuk clurit. Usus-
nya langsung terburai. Tubuhnya limbung sesaat
dan akhirnya ambruk dengan menggelepar-
gelepar bagai ayam dipotong. Sesaat kemudian
nyawanya pun lepas!
"Keparat busuk!" maki Dasagriwa kalap.
Dengan sejadi-jadinya dia menyerang lawan. Seo-
rang lagi segera membantunya. Bomantara dan
Aditya coba mencegah. Namun tak keburu!
"Cras! Cras!"
"Prol! Prol!"
Dengan sekali bergerak, senjata di tangan
lawan terayun ke pangkal leher kedua penye-
rangnya. Tak dapat dihindari. Kedua orang itu tak sempat berteriak manakala
kepala mereka jatuh
menggelinding. "Jahanam!" maki Aditya dengan tubuh
menggigil. Dengan hati-hati dia menyerang lawan.
Bomantara pun sudah tak bisa lagi menahan sa-
bar. Sebagai murid utama, dia bertanggung jawab
atas semua kejadian yang menimpa perguruan-
nya. Maka meski telinganya mendengar bentakan
nyaring untuk menahan niatnya, dia tetap me-
nyerang orang berwajah buruk itu.
"Heaaaaaaaaaaat...!"
"Wuk! Wuk!"
"Cras! Cras!"
Nasib mereka tak lebih baik dari keduanya.
Pinggang Aditya dibabat hingga tubuhnya ter-
belah dua. Tubuh Bomantara ditusuk senjata la-
wan bagai disate hingga menembus bagian pung-
gung. Dan ketika orang berwajah buruk itu me-
narik senjatanya, terlihat pemandangan yang
mengerikan. Tubuh Bomantara di bagian dada
dan perut hancur. Usus dan daging-dagingnya
berserakan di tempat itu, sebab lawan menarik
senjatanya dengan cara memutar-mutarnya.
"Biadab...!" maki Giri Dharma yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Sepasang
matanya nya-lang menatap orang bertubuh pendek itu. Kedua
bibirnya terkatup rapat dan rahang bergemele-
tukan. Hawa kesadisan menyatu dalam jiwanya
saat itu juga. "Hmm.... Giri Dharma!" dengus orang itu dengan sorot mata yang tak kalah sadis.
"Kaupun akan mengalami nasib yang sama seperti ke-
lima murid-murid utamamu itu!"
"Siapa kau sebenarnya"!"
"Sepuluh tahun yang lalu, kau mengusirku
bagai anjing kurap saat aku mengemis-ngemis in-
gin belajar ilmu silat di perguruan bututmu ini!
Kau masih ingat peristiwa itu?"
Orang tua itu berusaha mengingat-ingat.
Keningnya berkerut beberapa saat. "Jadi kau
orang yang bernama Burisrawa itu?"
"Tak salah! Ingatanmu ternyata masih tajam.
Seharusnya aku tak mendendam padamu atau
murid-muridmu. Tapi kalian mengusirku dan
memperlakukanku seperti binatang. Maka hari
inipun aku telah bersumpah akan memper-
lakukan kalian seperti binatang pula!"
"Burisrawa, keinginanmu untuk belajar ilmu
silat tempo hari adalah ingin mencelakai orang.
Kau ingin membunuh orang-orang yang telah
menghinamu. Tentu saja keinginan seperti itu
kami tolak!"
"Jangan banyak omong, keparat! Aku ber-
sumpah akan membunuh orang-orang seperti-
mu!" Selesai berkata, Burisrawa kirim satu serangan pada orang tua itu. Tentu
saja Giri Dhar-
ma yang sejak tadi telah bersiaga dapat menghin-
darinya dengan manis dan balik menyerang lawan
dengan satu sabetan pedang. Melihat lawan den-
gan mudah membunuh kelima murid-murid uta-
manya, pasti dia berilmu tinggi. Orang tua itu tak mau berlaku sungkan lagi. Dia
segera mainkan jurus terhebatnya yaitu, Kilat Pedang Membelah
Malam. Pedang di tangannya bergulung-gulung
mengimbangi kelebatan senjata lawan.
"Trang! Trang!"
Giri Dharma terkejut kaget. Tangannya te-
rasa kesemutan akibat benturan dua senjata itu.
Tahulah dia bahwa tenaga dalam lawan setingkat
lebih tinggi di atasnya. Dengan menggeram hebat
dia kembali menyerang dengan menggunakan il-
mu peringan tubuh tingkat tinggi dan sebisa
mungkin menghindari bentrokan senjata. Tentu
saja hal ini dapat dengan mudah diketahui lawan.
Burisrawa yang menyebut dirinya sebagai Ib-
lis Pulau Hantu, mainkan jurus pamungkasnya
tingkat kedua yang diberi nama Menampar Di-
ngin Membakar Luka. Kehebatannya bukan kepa-
lang. Meski tubuhnya terlihat berat namun dia
mampu bergerak seringan kapas. Lebih-lebih sen-
jata di tangan itu berkelebat dengan kecepatan
luar biasa. Kadang mengait tangan atau kaki la-
wan, di lain saat menikam ke arah jantung den-
gan tiba-tiba. Tentu saja hal ini membuat ketua
Perguruan Bulan Terbelah terdesak hebat.
Kelebatan-kelebatan pedangnya mampu di-
hindari lawan dengan gerakan manis.
"Crat! Crat!"
Giri Dharma tersentak kaget. Dari kelima jari
lawan, mencelat selarik sinar berwarna hitam
menghantam tubuhnya. Dengan pontang panting
dia berusaha menghindarkan diri.
"He... he...he...!" Burisrawa terkekeh kegi-rangan. "Ingin kulihat, apa kau bisa
menghindar dari pukulan Angin Hitamku ini!"
"Wuk!"
Saat orang tua itu jungkir balik hindari pu-
kulan saktinya, Burisrawa sabetkan senjata di
tangan kanannya. Masih untung Giri Dharma me-
rasakan angin sabetan lawan hingga bisa meng-
hindar. Namun saat orang bertubuh gempal itu
tusukkan mata tombak, terlihat paha kiri orang
tua itu keserempet. Dia mengeluh kecil. Saat itu
juga dari kelima jari kaki kiri lawan melesat kembali sinar hitam.
"Crat! Crat!"
"Tras! Tras! Tras! Tras!"
"Wuaaaaaa...!!"
Giri Dharma menjerit setinggi langit dengan
tubuh ambruk dan menggelepar-gelepar. Dari da-
hi, leher, jantung, dan perut, serta kemaluannya
terlihat berwarna hitam dan mengepulkan asap
yang berbau sangit. Kelihatannya bukan sekedar
pukulan biasa, sebab tubuh orang tua itu seperti
ditusuk dengan besi membara dan tembus pada
bagian belakang tubuh. Nyawanya melayang da-
lam beberapa saat.. Burisrawa tertawa panjang,
nyaring bagai perempuan. Kepalanya tengadah ke
atas dengan wajah puas.
Perbuatannya tentu saja tak bisa didiamkan
murid-murid Perguruan Bulan Terbelah. Tanpa
dikomando lagi, serentak mereka mengurung
orang berwajah buruk itu dan menyerangnya ha-
bis-habisan. Tapi apalah artinya jumlah mereka
yang banyak namun punya kepandaian jauh di
bawah lawan. Dalam sekejap saja Burisrawa ber-
pesta pora membantai mereka. Senjata di tangan-
nya berkelebat, dan dari kelima jari tangan kiri melesat pukulan Angin Hitam.
Teriak kematian
menggema dari tempat itu. Sebentar saja murid-
murid perguruan Bulan Terbelah, habis dibantai.
Sisanya yang punya nyali kecil, melarikan diri.
Burisrawa kembali tertawa panjang, dan ce-
pat tinggalkan tempat itu setelah tiada seorang
pun yang tersisa hidup!
3 Seorang pemuda berwajah tampan berbaju
merah lusuh dan kumal, terlihat berjalan pelan-
memasuki sebuah desa. Rambut panjangnya di-
kuncir pada bagian belakang. Ada sebuah periuk
besar yang selalu dibawa-bawanya ka mana-
mana. Sepintas terlihat bahwa pemuda ini seo-
rang gembel hina yang sedang melakukan perja-
lanan jauh. Siapakah pemuda ini sebenarnya"
Tak lain dari Buang Sengketa, alias Pendekar Hi-
na Kelana. Murid si Bangkotan Koreng Seribu
yang kesohor di delapan penjuru angin sebagai
tokoh sakti yang tak terkalahkan.
Pandangannya menyapu ke setiap sudut de-
sa ini. Sepasang alisnya berkerut melihat pe-
mandangan yang menyedihkan. Di mana-mana
terlihat mayat-mayat bergelimpangan dengan
keadaan yang mengerikan. Ada yang kepalanya
terpisah, tubuhnya tersayat-sayat. Ada lagi usus-
nya terburai ke mana-mana. Lalu tak kalah seram
pula, seluruh tubuhnya terpisah-pisah. Pemuda
yang merupakan anak si Piton Utara, alias raja
dari negeri Bunian itu, menggeram hebat.
"Manusia laknat mana pula yang tega mela-
kukan perbuatan seperti ini...?" katanya dengan rahang bergemeletuk. "Tentulah
dia sebangsa setan berujud manusia. Betul-betul sadis dan tak
berperikemanusiaan!"


Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendengarannya yang tajam mendengar sua-
ra lirih seseorang. Dengan cepat pemuda itu ber-
balik. Dari sebuah rumah yang porak poranda
dan sebagian tiang-tiangnya berpatahan, terlihat
seseorang berusaha merayap ke luar. Seluruh tu-
buhnya penuh darah. Buang Sengketa cepat me-
lompat ke sampingnya, dan berjongkok sambil
memeriksa nadi orang itu.
"To... to... long...."
"Tenanglah, Pak. Saya akan berusaha meno-
long. Apa yang telah terjadi di sini, Pak?" tanya pemuda itu. Sebenarnya dia tak
tega untuk mengatakan bahwa umur orang itu tinggal beberapa
saat lagi saja. Kedua kakinya buntung dan men-
geluarkan banyak darah. Punggungnya pun habis
disayat-sayat. Nafasnya megap-megap, dan batok
kepalanya retak mengeluarkan darah.
"I... iblis.... Pu... lau Han... tu...!" sahut orang itu. Selesai berkata
begitu, kepalanya terkulai di pangkuan Buang Sengketa. Nyawanya pun lepas
saat itu juga. Si pemuda dari negeri Bunian itu
bertanya-tanya.
"Iblis Pulau Hantu" Apakah bangsat itu.
yang membuat malapetaka ini?" pikirnya sambil berucap lirih.
"Ser! Ser!"
Buang Sengketa cepat bersalto beberapa kali
saat telinganya mendengar desir angin dari bela-
kang. Baru saja dia jejakkan kaki, satu se-rangan tiba-tiba menghantam tubuhnya.
Cepat pemuda itu berkelit dan kirim satu tendangan. Namun la-
wan agaknya mampu menghindar. Saat itu pula
Buang Sengketa kembali melompat mundur un-
tuk memastikan siapa penyerangnya itu. Namun
sungguh tiada diduganya. Orang itu adalah gadis
jelita yang mengenakan pakaian serba biru. Ram-
butnya yang panjang diikat pita biru pula.
"Siapakah engkau, Nona" Kenapa tiba-tiba
menyerang tiada ujung pangkal?"
"Huh, orang sepertimu pantas untuk mam-
pus!" sahut gadis itu sinis. Di tangan kanannya tergenggam sebilah keris
berlekuk sembilan. Di
tengahnya terdapat ukiran bunga tanjung.
"Sabar dulu, nona. Aku tak mengerti apa
yang engkau maksudkan?"
"Maksudku sudah jelas. Untuk apa lagi eng-
kau coba memutar balikkan persoalan!" Bu-
kankah engkau yang membunuh orang-orang de-
sa ini!?" "Engkau menuduhku membunuh orang-
orang desa ini"!" sahut pemuda dari negri Bunian itu terbelalak kaget.
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi" Aku baru saja tiba dan menemukan orang
tua itu tergeletak tak berdaya dengan luka parah
di tubuhnya!"
Untuk beberapa saat gadis itu tak berkata
apa-apa. Namun wajahnya masih tetap menun-
jukkan kegarangan dan rasa tak percaya. Pan-
dangannya menyapu Pendekar Hina Kelana dari
ujung rambut kepala hingga kaki. Ada perasaan
geli di hatinya. Apakah pemuda ini kurang waras"
Membatin gadis itu. Wajahnya yang tampan, po-
los seperti bocah usia lima tahun. Rambutnya
yang gondrong dikuncir. Dan yang lebih aneh lagi,
dia membawa-bawa periuk besar. Bagaimana
mungkin orang seperti itu bisa berbuat kejam"
Pastilah yang dikatakannya tadi benar. Dia pen-
datang juga sepertiku! Lanjut batinnya. Tapi
tunggu dulu! Banyak orang-orang jahat yang
punya wajah tampan atau cantik. Siapa tahu
yang satu ini adalah diantaranya!
"Percayalah, Nona!" lanjut Pendekar Hina Kelana coba meyakinkan. "Aku sama
sekali tak tahu menahu soal kejadian di desa ini. Aku hanya seorang pengembara
yang kebetulan lewat saja."
"Kalau begitu, siapa kau ini sebenarnya"!"
tanya gadis itu masih dengan suara garang. Men-
dengar pertanyaan itu, murid si Bangkotan Ko-
reng Seribu ketawa geli.
"Kenapa engkau malah tertawa"!" lanjut gadis itu dengan suara kurang senang.
"Bagaimana aku tak tertawa. Kau menanyai-
ku seperti aku ini anak-anak saja. Tapi baiklah.
Pertanyaanmu itu akan kujawab. Namaku Buang
Sengketa."
"Buang Sengketa...?" Gadis itu tertegun sesaat. "Namamu aneh sekali. Baru
sekarang aku mendengar nama seaneh itu. Tapi... tunggu dulu!
Guruku pernah bercerita tentang seorang pende-
kar muda yang selalu membawa-bawa periuk...."
Dia berpikir sejenak. Tiba-tiba wajahnya berubah
kaget. "Apakah engkau yang bergelar Pendekar Hi-
na Kelana"!"
"Nona, itulah sebenarnya julukanku. Seo-
rang gembel yang tiada berguna..." sahut Buang
Sengketa merendah.
"Ah, maafkanlah aku..." kata gadis itu sambil sarungkan kembali keris di
tangannya. "Kukira engkau adalah orang yang belakangan ini sering
membuat kekacauan itu."
"Apakah maksudmu si Iblis Pulau Hantu?"
"Jadi..." Jadi engkau mengetahuinya juga"!"
"Orang tua tadi sempat memberitahu sebe-
lum dia tewas." sahut Pendekar Hina Kelana.
"Nona, apakah engkau dapat memberi kete-
rangan padaku, siapa iblis itu sebenarnya?"
Gadis itu melangkah pelan mendekati pemu-
da itu. "Entahlah. Akupun kurang jelas. Mengenai orang itu. Hanya saja
belakangan ini kekejamannya semakin meningkat. Pertama kali dia mem-
buat kekacauan didesa Randu Alang dan mem-
bunuh kepala desa serta keluarganya. Lalu mem-
bunuh beberapa orang tertentu di desa-desa yang
lain. Kemudian perguruan Bulan Terbelah pun
menjadi korbannya pula. Ketua serta seluruh mu-
rid-murid perguruan itu habis dibantainya. Dan
belakangan ini kekejamannya semakin mening-
kat. Dia membunuh orang-orang tak berdosa,
memperkosa perempuan-perempuan desa, dan
menewaskan banyak pendekar-pendekar golon-
gan putih. Bahkan belakangan ini guruku men-
dengar, bahwa dia tak perduli apakah orang itu
baik atau jahat. Yang pasti kalau dia tak suka,
orang itu akan dibunuhnya tanpa ampun. Kor-
ban-korbannya selalu tewas dengan keadaan tu-
buh yang mengerikan sekali...."
"Benar-benar biadab!" maki Buang Sengketa.
"Agaknya orang itu sinting!. Nona, tadi engkau"
mengatakan bahwa cerita ini engkau peroleh dari
gurumu. Bolehkan aku mengenal beliau?"
Wajah gadis itu tersipu malu. "Guruku pasti-
lah tak sehebat gurumu si Bangkotan Koreng Se-
ribu." sahutnya. "Siapa yang tak kenal dengan orang tua yang pernah menggegerkan
dunia persilatan puluhan, bahkan ratusan tahun lalu" Bah-
kan sebagian orang menganggapnya sebagai le-
genda." "Ah, engkau hanya melebih-lebihkannya sa-
ja. Nona, guruku hanya manusia biasa seperti ki-
ta juga. Melihat dari gerakan ilmu silatmu, tentu gurumu adalah tokoh hebat
pula." "Orang-orang menjulukinya sebagai Silu-
man Betina Bertangan Biru...."
"Ah, ternyata aku sedang berhadapan den-
gan murid tokoh wanita yang sangat terkenal itu!"
sahut Buang Sengketa dengan wajah kagum. Da-
lam hati sebenarnya dia tertawa geli juga. Pemuda itu terpaksa berbohong agar
lawan bicaranya merasa bangga. Padahal sedikit pun dia belum per-
nah mengenal nama yang disebutkan gadis itu.
Wajahnya dibuat agar meyakinkan sekali.
Tapi gadis itupun ternyata tak bodoh. Dia
tersenyum-senyum sendiri melihat ulah pemuda
dari negeri bunian itu.
"Kenapa engkau tersenyum-senyum, Nona?"
"Aku tahu engkau berbohong, Kelana," sahutnya menyebut nama pemuda itu. Buang
Sengketa merasa bahwa gadis ini cepat merasa
akrab walau mereka baru saja berkenalan. Meli-
hat wajahnya yang cantik jelita, tentu saja pemu-
da itu lebih senang lagi. Lebih-lebih saat dia tersenyum manis dan wajah
garangnya hilang entah
kemana. "Bohong" Apa yang kubohongkan?" tanya-
nya berpura-pura.
"Engkau sebenarnya tak tahu menahu ten-
tang guruku. Bagaimana mungkin engkau bisa
mengatakan bahwa guruku sangat terkenal" Be-
liau jarang turun gunung, dan selama pe-
ngembaraanku, tak seorangpun yang pernah
mendengar namanya. Kalaupun beliau banyak
mendapat berita, itu tak lain karena beliau paling rajin menyuruh murid-muridnya
untuk turun gunung," kata gadis itu menerangkan. Mendengar itu Buang Sengketa cengengesan.
"Sudahlah. Itu tak penting!" tukas si gadis akhirnya melihat wajah pemuda itu
tersipu malu. "Saat ini yang penting adalah, aku harus mencari sarang iblis itu dan secepat
mungkin membereskannya. Sesuai dengan perintah guruku!"
"Hei! Hei! Tunggu dulu!" sahut pemuda berkuncir itu. "Bukan engkau saja yang
ingin membereskan manusia berkelakuan iblis itu. Apakah
engkau pikir aku tak mempunyai niat yang sa-
ma?" "Jadi engkaupun berniat sama sepertiku?"
"Apakah engkau tak memerlukan bantuan
ku?" Gadis itu tersenyum, dan langsung putar tubuh sambil berkata, "Lalu kenapa
sekarang buang-buang waktu" Lebih cepat menemukan sa-
rang iblis itu, lebih baik!"
Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang
tak gatal melihat ulah gadis itu lagi. Tadi garangnya minta ampun. Lalu setelah
kenal, senyumnya
tak pernah hilang. Dan sekarang sorot matanya
melirik genit saat tadi berpaling. Huuuu,. perem-
puan cantik memang ada-ada saja kelakuannya!
Membatin pemuda itu sambil gelengkan kepala.
Tak lama dia menyusul gadis itu sambil menge-
rahkan ajian Sepi Angin. Tubuhnya melesat cepat
menyusul gadis itu.
4 Sebuah pedati nampak bergerak lambat me-
nyusuri jalan setapak. Jauh di depannya terlihat
barisan gunung kapur menjulang tinggi. Di ba-
wahnya menghampar dataran luas ditumbuhi
rum put dan semak-semak. Di sebelah kanan me-
reka terdapat sebuah hutan lebat dengan pohon-
pohonnya yang besar dan kelihatan angker. Se-
mentara di sebelah kiri, agak menjorok ke bawah,
terdapat sebuah danau yang sangat luas. Danau
itu dikelilingi oleh beberapa buah bukit-bukit kecil. Yang agak mengherankan,
justru air danau
itu berwarna hitam pekat dan mengeluarkan asap
putih yang menyelimuti permukaannya. Dari ja-
lan setapak ini hanya terlihat pinggirannya saja.
Di atas pedati itu terlihat sepasang muda
mudi yang kelihatannya sedang asyik bercanda.
Si lelaki seorang pemuda gagah berusia seki-
tar duapuluh tahun. Di pinggangnya terselip dua
buah kapak bermata ganda. Rambutnya gon-
drong hingga ke punggung. Si gadis seorang dara
berparas elok dengan wajah kekanak-kanakan. Di
pinggangnyapun terselip sepasang kapak bermata
dua. Sesekali nampak dia menyandar tubuhnya
pada si pemuda dengan sikap manja. Tangan ka-
nan si pemuda kemudian memeluknya, sementa-
ra tangan kirinya memegang tali kendali kerbau
penarik pedati.
"Kakang Teja Pura, apakah engkau bahagia
setelah perkawinan kita ini?" tanya si gadis. Pemuda itu mengecup keningnya
sesaat. "Kenapa pula aku tak bahagia" Bertahun-
tahun kutunggu-tunggu saat seperti ini, dan se-
karang engkau telah sah menjadi istriku. Tentu
saja aku sangat bahagia?"
"Oh, benarkah itu, kakang?"
"Apakah engkau tak percaya, Lastri?"
"Aku percaya, kakang! Aku percaya pada-
mu!" sahut gadis itu sambil sandarkan kepalanya di dada si pemuda. Untuk
beberapa saat mereka
tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Pe-
muda bernama Teja Pura sesekali mempermain-
kan anak rambut di kening gadis itu.
"Kakang, ada satu permintaanku pada-
mu...?" lanjut gadis itu dengan suara lirih. "Apa itu?" "Ng... apakah engkau
sudi mengabulkannya?"
Teja Pura tertawa kecil. "Bagaimana aku bisa mengabulkannya kalau engkau tak
menjelaskan- nya?" Gadis itu ikut tersenyum. "Aku ingin kita hidup mengasingkan diri saja
dari dunia ramai.
Atau lebih baik kita bertani saja. Apakah engkau
setuju, kakang" Rasanya dunia yang sekarang ki-
ta jalani tak sesuai dengan hati nuraniku...."
Pemuda itu tak langsung menjawab. Dia ter-
diam untuk beberapa saat lamanya.
"Bagaimana kakang" Apakah engkau setu-
ju?" Pemuda itu menghela nafas panjang. Kemudian katanya dengan suara yang hati-
hati sekali, "Lastri, bapakku adalah seorang pendekar pembela kebenaran yang namanya dikenal
oleh masya- rakat. Begitupun dengan kakekku dan keturu-
nanku di atas. Dalam menjalani hidup seolah te-
lah digariskan bahwa keluarga kami dilahirkan
untuk berjuang membela kebenaran ini. Aku suka


Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjalani hidup seperti itu. Lebih-lebih pada ja-
man sekarang ini, kejahatan seolah merajalela di
mana-mana. Bagaimana mungkin aku bisa ber-
pangku tangan melihat itu" Lalu apa gunanya il-
mu silat yang bertahun-tahun kupelajari selama
ini kalau tak digunakan pada jalan yang benar?"
"Kakang, dunia persilatan itu kejam dan tak
kenal kompromi. Penuh dengan keadaan yang tak
terduga. Salah-salah malah jiwa kita yang me-
layang. Aku tak mau hal ini terjadi padamu atau
keturunan kita kelak..."
"Ada hal yang perlu engkau ketahui. Kema-
tian yang datang pada manusia bukan hanya oleh
senjata tajam atau pukulan lawan, tapi bisa da-
tang kapan saja secara tak terduga...."
"Kakang, itu tak termasuk hitungan!" potong si gadis dengan wajah cemberut.
"Tapi dalam perkelahian sesungguhnya, seseorang tewas ke-mungkinannya lebih
banyak ketimbang hal-hal
lain yang membuatnya mati."
Pemuda itu terkekeh pelan. "Lalu untuk apa
engkau belajar ilmu silat di perguruan kami?"
"Yang jelas bukan keinginanku!" sahut si Kadis masih dengan wajah cemberut.
"Engkau sendiri mengetahui bahwa orang tuaku yang me-
maksa. Kalau bukan karena mereka, tentu aku
mana mau mempelajari ilmu silat segala macam."
"Dan engkau tak bertemu denganku, bu-
kan?" ledek si pemuda sambil tersenyum. "Bukankah ini yang dinamakan jodoh"
Takdirmu te- lah ditentukan bahwa engkau harus belajar ilmu
silat. Selain untuk menjaga diri, engkau juga
mendapat hikmah yang lain. Contohnya engkau
mengenalku dan akhirnya kita menjadi sepasang
suami istri!"
Si gadis yang mendengar jawaban itu men-
dongkol betul. Dengan gemas dia memukuli bahu
si pemuda. "Hei! Hei! Nanti kita bisa terbalik dari pedati, ini!" "Biarin! Biar sekalian
mati!" sahut si gadis ngambek.
"Kalau tercemplung ke dalam danau itu?"
"Biarin! Biarin!"
Baru saja si gadis berkata begitu, tiba-tiba
terdengar suara nyaring bagai perempuan. Se-
rentak mereka terdiam. Dua pasang mata itu
mencari-cari sesuatu di balik cabang-cabang po-
hon atau tempat-tempat yang tersembunyi. Tak
terlihat seorang pun!
"Ha... ha... ha... ha...! Alangkah mesranya
dua anak manusia bercumbu di daerah kekua-
saanku. Tiada tahu bahwa Iblis Pulau Hantu bisa
murka bila daerah kekuasaannya dilalui meski
oleh seekor semut sekalipun...!"
"Kisanak, siapakah engkau" Maafkanlah
kami yang tiada tahu menahu bahwa ini daerah
kekuasaanmu!" sahut Teja Pura dengan suara
hormat. "Ha... ha... ha... ha...! Tak seorang pun yang pernah kumaafkan atas kelancangan
seseorang, kecuali dia harus... mati!"
"Huh, bangsat betul orang itu!" dengus Lastri kesal. "Seenaknya mengatakan bahwa
ini daerah kekuasaannya dan membunuh setiap orang
yang lewat. Apa dia itu sebangsa setan pencabut
nyawa"!"
"Lastri, jangan berkata seperti itu," larang Teja Pura. "Orang ini adalah tokoh
dunia persilatan tingkat tinggi. Kau dengar suaranya" Dia
mampu mengerahkan tenaga dalam tinggi me-
lalui suaranya."
Gadis itu bukannya tak merasakan telin-
ganya agak sakit mendengar suara itu, tapi di-
apun bukan sebangsa orang yang berilmu rendah.
Kapak kembar yang terselip di pinggang mereka
menandakan bahwa kedua orang ini berasal dari
Perguruan Kapak Kembar. Perguruan yang di-
pimpin oleh seorang tokoh sakti bernama Gaja-
druma atau dalam dunia persilatan lebih dikenal
sebagai Malaikat Kapak Kembar, telah kesohor ke
mana-mana. Tak sembarangan orang bisa menja-
di murid di perguruan itu. Selain dilihat bakat
dan kemauan keras, juga dilihat dari segi fisik,
seperti memiliki tulang-tulang bagus, dan seba-
gainya. Kalaupun gadis itu bisa masuk, karena
dia memiliki bakat dan fisik yang baik meski ke-
mauannya kurang. Disamping itu dia anak seo-
rang bupati yang dihormati di mana-mana. Sudah
pasti Gajadruma tak bisa menolaknya begitu saja.
Tapi bukan berarti si gadis lantas dimanja. Dia tetap mendapat perlakuan seperti
murid-murid yang lain. Itulah sebabnya ilmu silat yang dimilikinya tak rendah. Begitu pula
dengan tenaga da-
lamnya. "Ha... ha... ha... ha...! Sungguh galak dan
bersemangat engkau punya kekasih. Tapi seben-
tar lagi dia akan kehilanganmu, sebelum akhirnya
dia sendiri kubuat mampus setelah kucicipi ke-
hangatannya. Hak... hak... hak... ha...!!"
"Kurang ajar!" maki gadis itu kembali. "Kakang, orang ini harus diberi sedikit
pelajaran agar dia tahu sedang berhadapan dengan siapa saat
ini!" Teja Pura panas hatinya. Wajahnya berubah garang. Bukan karena ucapan
istrinya, melainkan
kata-kata orang tanpa ujud itu yang dinilainya
sangat keterlaluan dan berkesan merendahkan
mereka. "Kisanak, perlihatkan wajah kalau engkau
benar-benar ingin mencabut nyawaku! Biar ku-
tahu, orang seperti apa yang akan berbuat begitu
padaku!" katanya dengan suara dingin dan me-
nusuk. "Hak... hak... hak... hak...! Iblis Pulau Hantu tak pernah tunjukkan wajah.
Kalau itu dilakukan, maka orang itu tak akan bisa bernafas lagi!"
sahut suara orang itu. "Tapi karena engkau kelihatannya sudah kepingin sekali
mati, biarlah ku-
perlihatkan diri!"
Tiba-tiba di hadapan mereka melesat satu
bayangan. Kerbau yang menarik pedati melenguh
ketakutan dan mulai beringas. Kedua orang di
atas pedati itu cepat melompat saat kerbau itu
tak lagi bisa dikendalikan.
"Hak... hak... hak.... hak...! Alangkah lucunya sepasang muda-mudi terjerembab
dari atas pedati bulan madu. Hak... hak... hak... hak...!"
Kedua orang itu cepat bangkit dan mende-
ngus sinis. Pertama kali melihat wajah orang itu
yang berdiri lima tombak dari mereka, si gadis
berseru kaget sambil memeluk suaminya. Bagai-
mana tidak" Wajah orang yang dilihatnya itu san-
gat mengerikan. Tubuhnya pendek dan gempal,
serta perut yang buncit. Seluruh tubuhnya rusak
seperti disayat-sayat. Wajahnya sangat mengeri-
kan. Sepasang matanya hendak keluar, telin-
ganya lebar, dan tulang pipi serta di sekitar bibir terlihat jelas.
"Alangkah mesranya! Alangkah enaknya!
Hak... hak... hak... hak...! Akupun nanti akan
mengalaminya. Hak... hak... hak... hak...!"
"Kisanak, siapakah engkau" Bicaramu se-
makin ngawur!" bentak Teja Pura. Tapi orang itu bukannya menyahut, malah
mengeluarkan sebuah tombak sepanjang dua depa. Ujungnya
runcing, dan di sisinya pun terdapat clurit yang
bersambung langsung. Dia berjalan pelan men-
dekati mereka dengan wajah beringas. Melihat itu
tentu saja si pemuda bersiap-siap menggenggam
sepasang kapak dan menggeser tubuh istrinya ke
dekat pedati yang terbalik akibat diamuk kerbau
yang telah lari entah kemana.
"Heeaaaaaaaaa...!!"
Dengan satu teriakan keras, orang berwajah
buruk itu menyerang si pemuda. Tentu saja Teja
Pura tak mau tinggal diam. Tubuhnya berkelit ce-
pat dan balas menyerang dengan sepasang kapak
di tangan. "Yeaaaaaa...!!"
"Trang! Trang!"
"Akh!"
Pemuda itu keluarkan jerit tertahan saat
senjata mereka beradu. Kulit telapak tangannya
terkelupas. Itu menandakan tenaga dalam lawan
jauh berada di atasnya. Melihat keadaan itu, ce-
pat dia berteriak pada istrinya saat lawan kembali ayunkan senjata.
"Lastri, menjauh dari sini! Lari sekuat tenagamu. Ayo, cepat lari!!"
"Tidak, kakang. Biar kita hadapi iblis ini bersama-sama!" sahut gadis itu sambil
mengelua- rkan sepasang kapaknya.
"Lari kataku! Ayo, lari!!" bentak Teja Pura kesal.
"Tidak!" bantah gadis itu tak kalah garang.
"Apapun yang terjadi aku akan tetap bersamamu di sini."
Pemuda itu tak sempat lagi membentak ma-
nakala dia harus meladeni serangan lawan yang-
bertubi-tubi. Dengan mengandalkan ilmu pa-
mungkasnya yang diberi nama Membelah Angin
Menebang Hutan, menandakan si pemuda betul-
betul menganggap tinggi pada lawan dan tak mau
berlaku ayal-ayalan.
Sementara itu si gadis memberanikan diri
untuk mengeroyok lawan meski kadang-kadang
perutnya mual melihat wajah lawan yang menge-
rikan itu. Tapi hal ini bukannya menguntungkan
Teja Pura. Justru dia yang harus repot, melin-
dungi gadis itu dari serangan lawan yang agaknya
berusaha menotok gadis itu.
Siapakah orang berwajah buruk rupa ini se-
benarnya" Tak lain dari Burisrawa, atau seperti
yang disebutkannya tadi yaitu, Iblis Pulau Hantu.
Seperti diketahui, ilmu silat dan kesaktian orang ini tinggi tiada terkira. Oleh
sebab itu, lepas jurus pertama, dia segera mainkan jurus Memutus Urat
Membuang Hidup yang merupakan jurus pa-
mungkasnya tingkat ketiga. Tak sembarangan
orang bisa menandingi jurus dahsyatnya ini. Ma-
ka tak heran meski Teja Pura sekalipun yang da-
lam perguruan Kapak Kembar termasuk murid
tertua, mulai kerepotan menghadapinya. Bahkan
mulai terlihat pelan-pelan dia terdesak.
Dalam keadaan begitu, Burisrawa terus
mendesaknya dan seolah mengabaikan serangan-
serangan yang dilancarkan Lastri. Namun saat
posisi Teja Pura dalam keadaan yang tak men-
guntungkan, secepat kilat Lastri berteriak ken-
cang ayunkan sebuah kapak ke batok kepala la-
wan. Burisrawa berguling ke bawah bagai treng-
giling dan meletik bagai ikan. Tangan kirinya be-
kerja cepat menotok punggung gadis itu. Tak am-
pun lagi! Tubuh Lastri ambruk dalam keadaan
kaku. Orang berwajah buruk itu dengan cepat
merangkulnya sambil menyeringai sadis. Tangan
kirinya kembali bergerak menotok urat suara si
gadis hingga tak mampu mengeluarkan caci maki.
Melihat keadaan itu, tentu saja Teja Pura marah
bukan kepalang. Dengan cepat dia bangkit sambil
ayunkan kapaknya.
"Jahanam keparat! Lepaskan istriku!"
"Crat! Crat!"
Dari jari telunjuk dan jari tengah Burisrawa
melesat seberkas sinar berwarna hitam yang
langsung menghantam tubuh Teja Pura di kening
dan jantung. Tapi pemuda itu mampu bersalto
untuk menghindari. Namun dua berkas sinar itu
kembali melesat seakan saling susul menyusul.
Teja Pura tak mampu menghindari. Batok kepala
bagian belakang dihantam selarik sinar hitam itu
dan langsung menembus ke jidatnya membuat
lobang sebesar jempol kaki. Sebuah sinar yang
lain menghantam punggung kiri dan terus me-
nembus jantung. Pemuda itu ambruk sambil ke-
luarkan jerit kematian. Mata Lastri mendelik ga-
rang melihat suaminya tewas dengan cara itu.
Namun dalam keadaan begini dia tak mampu
berbuat apa-apa. Tanpa sadar air matanya jatuh
bercucuran menahan pedih hati serta amarah
yang meluap. "Hak... hak... hak... hak...! Suamimu telah
mampus. Sekarang tak ada lagi yang akan meng-
ganggu kita. Hak... hak... hak... hak...!" teriak orang berwajah buruk itu
sambil tertawa keras.
Tiba-tiba matanya mendelik garang sambil mena-
tap gadis di pangkuannya. Lastri merasa tersirap
darahnya melihat itu. Jantungnya seolah berhenti
berdetak. Dari dekat ini jelas sekali bagaimana
bentuk wajah orang itu semakin menyeramkan.
Urat-urat di bola matanya yang seakan-akan ke-
luar dari sarangnya berwarna merah dan berakar
ke seluruh permukaannya.
Tulang-tulang tengkorak kepala terlihat jelas
sekali. Gadis itu menutup matanya dengan pera-
saan ngeri yang teramat sangat. Tapi alangkah
kagetnya dia manakala orang itu mencabik-cabik
pakaiannya seperti orang kesetanan.
"Hak... hak... hak...! Siapa yang bisa meng-
halangi kehendak Iblis Pulau Hantu"! Ha... ha...
ha...!" Burisrawa ketawa panjang.. Kemudian
dengan penuh nafsu dia menggumuli gadis itu.
Lastri tak tahu harus bagaimana berbuat lagi.
Hatinya penuh dikecam ketakutan dan ma-


Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rah yang meledak-ledak. Rongga dadanya seakan
bergema teriakan-teriakan memaki. Air matanya
mulai meleleh menahan pedih. Saking tak kuat
menahan gejolak perasaan hati, gadis itu pingsan
tak sadarkan diri. Suara tawa Iblis Pulau Hantu
semakin bergema panjang.
5 Dua orang itu terlihat berlari-lari kecil sambil
tertawa-tawa. Seorang gadis berbaju biru dengan
rambut dikuncir. Wajahnya elok, dan tubuhnya
ramping. Seorang lagi adalah pemuda berwajah
tampan, mengenakan baju lusuh dan dekil ber-
warna merah. Rambutnya yang gondrong dikuncir
seperti gadis itu. Yang lebih aneh lagi, pemuda itu membawa-bawa sebuah periuk
besar. Sepintas
orang akan menyangkanya sebagai tak waras.
Namun siapa duga bahwa pemuda itulah yang
namanya akhir-akhir ini banyak dibicarakan du-
nia persilatan, dengan menumbangkan tokoh-
tokoh sesat. Siapa lagi kalau bukan Buang Seng-
keta alias Pendekar Hina Kelana itu adanya.
Sebentar-sebentar dilihatnya gadis itu berlari
kencang dan meninggalkannya jauh beberapa
tombak sambil ketawa renyah meledek.
"Ayo, Kelana! apakah engkau tak bisa me-
nyusulku?"
Pemuda murid si Bangkotan Koreng Seribu
itu gelengkan kepala kesal. Gadis ini sudah cu-
kup-cukup menguji kesabarannya. Sikapnya ji-
nak-jinak merpati, namun bisa berubah ketus
dengan seketika. Lagi pula sombongnya kele-
watan. Sengaja dia mengerahkan ilmu lari ce-
patnya seperti meledek pemuda itu. Dan yang le-
bih membuatnya kesal lagi, sampai saat ini, dia
tak tahu siapa nama gadis itu.
"Ayo! Apakah engkau tak bisa lagi memper-
cepat larimu"!"
"Untuk apa menyusulmu" Toh dengan mu-
dah aku akan mengalahkanmu," sahut pemuda
dari negeri Bunian itu balas memanasi. Dan ter-
nyata pancingannya mengena. Suara gadis itu be-
rubah tinggi dengan nada sengit.
"Mana mungkin engkau bisa mengalahkan
ilmu lariku! Guruku telah membuktikannya se-
lama ini, dan tiada seorang pun yang pernah me-
nang dalam hal ilmu lari dengannya!"
"Bagaimana kalau aku bisa mengalahkan-
mu?" "Aku mengaku kalah padamu!"
"Buat apa taruhan seperti itu," sahut Buang Sengketa dengan suara malas-malasan
dan mengejek. "Baik. Aku akan penuhi apapun permin-
taanmu!" "Betul"!"
"Seumur hidup aku tak pernah ingkar janji."
"Baiklah. Nah, engkau berlarilah lebih da-
hulu. Engkau lihat hutan di ujung sana" Ke sana
arah kita. Kalau engkau bisa mendahuluiku, biar-
lah aku akan menjadi budakmu yang setia sela-
manya," sahut pemuda itu lebih memanasi den-
gan mengecilkan kemampuan si gadis. Sudah ba-
rang tentu hal ini membuat gadis itu lebih berse-
mangat mengalahkan pemuda itu. Tanpa me-
nunggu waktu lagi, tubuh rampingnya dengan
cepat melesat bagai anak panah. Tak tanggung-
tanggung, gadis itu mengerahkan seluruh ilmu la-
ri cepat yang dimilikinya. Maka tubuhnya hanya
terlihat kelebatannya saja.
Hutan yang ditunjuk si pemuda, dari sini
hanya terlihat gundukan berwarna hijau saja.
Jaraknya masih ratusan tombak lagi. Kalau
gadis itu kalah, dia bukan hanya menjatuhkan
pamor guru dan perguruannya saja, melainkan
harga dirinyapun ikut jatuh. Namun dia terlalu
yakin bahwa ilmu lari cepatnya tiada tanding. Gu-
runya sendiri mengatakan hal itu. Jadi meski
mengetahui bahwa pemuda itu murid si Bang-
kotan Koreng Seribu yang telah kesohor itu, sama
sekali tak membuatnya jatuh mental. Malah se-
mangatnya semakin menggebu-gebu. Bukankah
dengan mengalahkan murid orang tua yang telah
melegenda itu adalah suatu kehebatan luar bi-
asa" Tapi alangkah kagetnya gadis itu manakala
sesampainya di sana, dilihatnya pemuda ber-
kuncir itu sedang bersandar pada sebuah pohon
sambil tersenyum kecil. Wajahnya langsung cem-
berut. "Bagaimana nona" Bukankah engkau telah
kukalahkan" Aku telah membuktikan kata-ka-
taku, dan sekarang giliranmu untuk membukti-
kan ucapanmu."
"Apa yang engkau inginkan...?" sahut gadis itu lesu sambil buang pandang.
"Tadi engkau berkata, apapun yang kuminta
akan engkau penuhi. Nah, sekarang aku akan
meminta tiga hal padamu...."
"Jangan bertele-tele! Sebutkan apa mau-
mu"!" sahut gadis itu ketus.
"Pertama, siapa namamu?"
"Tanjung Sari!" sahut gadis itu tanpa basa basi. "Nama yang bagus...!" kata
Buang Sengketa bergumam. "Berapa usiamu saat ini?"
"Apa itu perlu?"
"Ingat! Engkau telah berjanji. Jawab saja
pertanyaanku!"
"Tujuh belas tahun!" sahut gadis itu semakin gondok.
"Nah, yang ketiga. Wajahmu cantik, pasti ba-
nyak pemuda yang tertarik denganmu. Begitu ju-
ga aku. Namun melihat tingkahmu, pastilah tak
seorangpun yang berani dekat denganmu...."
"Cepat katakan jangan berputar-putar begi-
tu!" Buang Sengketa terkekeh pelan. "Baiklah, Aku ingin engkau menjadi
kekasihku...."
"Apa"! Gila!! Apa engkau pikir aku suka pa-
damu"!"
Buang Sengketa garuk-garuk kepala yang
tak gatal sambil melangkah pelan dari tempat itu.
"Yaaaah, kalau engkau tak suka, aku tak
memaksamu. Hanya saja perlu engkau ingat jan-
jimu tadi, dan suatu saat bila bertemu dengan
gurumu yang mulia itu, akan kukatakan pada be-
liau bahwa muridnya yang bernama Tanjung Sari
adalah seorang yang ingkar janji..." katanya dengan suara perlahan. Mendengar
itu, bola mata si
gadis semakin lebar dan wajahnya langsung be-
rubah garang. "Gila! Gila! Kalau engkau lakukan itu ku-
bunuh engkau!!" teriaknya tak karuan sambil
mengikuti pemuda itu dan berteriak-teriak kem-
bali di depannya.
"Nona, kenapa harus berteriak-teriak se-
gala" Bukankah tadi engkau yang mengatakan
akan memenuhi apa saja yang kuminta kalau
engkau kalah" Lalu kenapa engkau sekarang in-
gkar janji?"
"Tapi permintaanmu tak bisa kuterima dan
tak masuk akal!" bantah si gadis. "Engkau boleh saja meminta hal lain daripada
itu." "Bagaimana kalau akhirnya aku malah me-
minta yang bukan-bukan" Contohnya, aku me-
mintamu melakukan hubungan suami istri. Apa-
kah engkau akan suka?"
"Plaaak!"
Secara tak diduga, telapak tangan gadis itu
melayang ke pipi Buang Sengketa. Pemuda itu
mengusap pipinya yang terasa pedas dengan wa-
jah bengong tak mengerti. Gadis itu sendiri tergagap sambil pandangi tangannya.
Entah kenapa, tiba-tiba dia berlari dari tempat itu dengan sese-gukkan. Buang Sengketa semakin
bingung saja jadinya. Kenapa pula gadis itu tiba-tiba menan-
gis" "Sudahlah, nona. Kalau engkau tak suka pa-da permintaanku itu, yah kuanggap
tiada saja..."
kata pemuda itu sambil melangkah pelan mende-
kati si gadis yang menangis kecil. Wajahnya diha-
dapkan pada batang pohon. Buang Sengketa pal-
ing tidak tahan melihat sikap perempuan seperti
itu. Saking tak tahu apa yang harus dilakukan-
nya, dia berputar-putar pelan di tempat itu, dan
akhirnya melangkah ke satu arah.
Pendengarannya yang tajam, mendengar su-
ara rintihan kecil. Dengan cepat tubuhnya mele-
sat ke arah itu. Terlihat seorang gadis tergolek tak berdaya di atas rerumputan.
Wajahnya pucat pa-si. Tubuhnya kelihatan lemah sekali. Selintas saja pemuda itu
mengetahui bahwa gadis itu dalam
keadaan tertotok. Tapi dia tak tahu harus berbuat bagaimana, sebab gadis itu
dalam keadaan bugil.
Dengan untung-untungan dia menotok pada ba-
gian pinggang agak ke atas. Syukur berhasil. Ga-
dis itu bangkit dan palingkan wajah sambil me-
nangis keras. Buang Sengketa sendiri tak tahu
harus berbuat apa. Dia hanya bisa palingkan wa-
jah, sebab gadis itu seolah tak memperdulikan
kehadirannya di situ.
"Oh, Kakang Teja Pura. Sungguh malang be-
nar nasibnya. Bukankah sudah kukatakan tiada
guna hidup dalam dunia persilatan. Tapi engkau
tak menurut kata-kataku. Akhirnya beginilah ja-
dinya," kata gadis itu sambil mengeluh. Kemudian terdengar tangisannya dengan
suara agak keras.
Buang Sengketa memberanikan diri untuk meli-
rik. Tahulah dia kenapa gadis itu menangis seper-
ti itu. Seorang pemuda terlihat terbujur kaku di
hadapannya. Pada kening dan jantungnya ada lo-
bang sebesar jempol kaki. Dari situ menetes da-
rah satu-satu. Sebagian kelihatan telah monger-
ing. Belum lagi pemuda itu berpikir apa yang se-
baiknya dia lakukan, tiba-tiba terdengar gadis itu tertawa panjang.
"Hi... hi... hi... hi... hi...! Kakang, coba lihat!
Lihat anak kita sebentar lagi akan lahir. Kakang, ayolah! Kenapa engkau tidur
lama sekali" Apakah
engkau sudah tak sayang lagi padaku"!"
Buang Sengketa kerutkan dahi. Dalam sang-
kaannya, gadis ini tentu sudah gila. Belum tentu
pemuda yang tergeletak itu kekasih atau sua-
minya. Berpikir ke situ, dia putar tubuh dan ber-
niat kembali ke tempat Tanjung Sari. Namun baru
saja melangkah dua tindak, tiba-tiba gadis itu
mengejar dan memeluknya erat-erat sambil berte-
riak histeris. "Kakang Teja Pura...!! Akan ke manakah
engkau"! Apakah engkau tega meninggalkan aku
begitu saja setelah jahanam itu menodaiku"! Oh,
engkau sungguh kejam. Lihatlah, Kakang"! Aku
sedang mengandung anakmu, bukan anak si ja-
hanam itu"! Lihat, Kakang"!"
Pemuda dari negeri Bunian itu jengah sendi-
ri. Si gadis menunjuk-nunjukkan perutnya. yang
sedikit menggunung. Bukannya dia tak mau
menghiraukan, tapi harus bersikap bagaimana"
Gadis itu sama sekali tak sadar bahwa tubuhnya
tak terbungkus sehelai benang pun. Sehingga ter-
lihat jelas daerah terlarangnya.
Buang Sengketa hanya bisa mendorongnya
sedikit agar menjauh.
"Nona, sadarlah! Aku bukan siapa-siapamu.
Aku cuma seorang pengelana biasa. Sadarlah,
nona!" "Apa" Engkau pura-pura tak mengenaliku
lagi, Kakang" Oh, sungguh malang betul na-
sibku," sahut gadis itu sambil menggigit jemari-nya dengan wajah masghul. Tapi
tiba-tiba wa- jahnya kembali riang dan merangkul pemuda itu
lebih erat lagi.
"Kakang, lihatlah! Aku masih hidup. Iblis itu meninggalkan aku begitu saja tanpa
sebab setelah mendengar bunyi pluit dari arah danau sana,"
tunjuknya ke satu tempat. "Ta... tapi, Kakang. Iblis itu sempat menodaiku.
Engkau tentu tak ma-
rah, bukan" Aku... aku dibuatnya tak berdaya
sama sekali. Engkau pun saat itu sedang berta-
rung habis-habisan dengannya. Engkau pasti tak
marah, bukan?" lanjutnya dengan suara merajuk.
"Nona, sadarlah! Aku bukan apa-apamu!
Aku bukan Kakang Teja Pura yang engkau sebut-
sebut. Namaku Buang Sengketa...." sahut pemu-da itu. Belum lagi dia selesaikan
ucapannya, tiba-tiba terdengar seseorang menyahuti dengan nada
sinis. "Huh, Buang Sengketa atau Teja Pura, siapa perduli"! Yang jelas dia cuma
sebangsa lelaki hidung belang. Dengan seenaknya menodai seorang
gadis, dan meninggalkannya begitu saja!" Buang Sengketa mendongak kaget. Si
gadis bernama Tanjung Sari pasang wajah sinis sambil bersan-
dar di batang pohon.
"Ah, Tanjung Sari! Untung engkau cepat da-
tang. Maukah engkau menjelaskan pada gadis ini
bahwa aku bukan Teja Pura yang dimaksudnya"
Tentu sesama gadis engkau pasti me-
mahaminya?"
"Huh, jangan berpura-pura! Dasar laki-laki
hidung belang. Engkau hanya sejenis tikus pe-
metik bunga yang mencari mangsa gadis-gadis
desa tak berdaya. Untung aku belum masuk pe-
rangkapmu!"


Pendekar Hina Kelana 25 Iblis Pulau Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tanjung Sari, apa-apaan ini"! Apakah eng-
kau tak percaya padaku"!"
"Percaya padamu!" Huh, nanti dulu! Uruslah
gendakmu itu, biar kuurus persoalanku sendiri!"
sahut gadis berbaju biru itu ketus. Kemudian dia
putar tubuh dan berlalu secepatnya dari tempat
itu. "Tanjung Sari, tunggu! Aku akan jelaskan persoalannya!" teriak pemuda itu.
Namun baru saja dia akan bergerak, pelukan gadis itu semakin bertambah erat. Dia
berusaha meloloskan diri,
namun agaknya gadis itu memiliki tenaga dalam
lumayan, hingga membuatnya sedikit kerepotan.
"Nona, maafkanlah aku sedikit berlaku ka-
sar padamu! Tapi sungguh, aku bukan Teja Pura
yang engkau maksud. Namaku Buang Sengketa,"
kata pemuda dari negeri Bunian itu. Tangannya
menarik tangan gadis itu dengan mengerahkan
seperempat tenaga dalamnya. Begitu terlepas, tu-
buhnya melesat cepat sambil mengetrapkan ajian
Sepi Angin menyusul Tanjung Sari. Gadis yang di-
tinggalkannya itu menangis tersedu-sedu sambil
tetap berteriak-teriak memanggilnya Teja Pura.
Siapakah sebenarnya gadis itu" Tak lain dari
Lastri, istri dari Teja Pura yang telah binasa di tangan Burisrawa alias si
Iblis Pulau Hantu. Setelah orang berwajah buruk itu menodainya, ta-
dinya dia sekalian akan membunuhnya, namun
mendadak dari arah danau terdengar suatu isya-
rat. Dia buru-buru meninggalkannya begitu saja.
Sementara itu Buang Sengketa, kelabakan
mencari arah mana yang ditempuh gadis ber-
nama Tanjung Sari. Untuk sesaat dia celingukan.
Namun tiba-tiba berkelebat satu bayangan dari
arah samping. Pemuda itu langsung mengempos
ajian Sepi Angin untuk mengejar bayangan itu.
"Kelana...! Tolong...! Toloooong...!" teriak satu suara. Pemuda itu mengenali
betul siapa yang
mengeluarkan suara itu. Datangnya dari arah
bayangan yang sedang berkelebat. Hatinya mulai
was-was. Apa yang terjadi pada Tanjung Sari"
Apakah dia dalam keadaan bahaya"
Bayangan itu hampir tersusul oleh Buang
Sengketa. Kini dia dapat melihat dengan jelas.
Tanjung Sari sedang dipanggul oleh seseorang
bertubuh pendek. Tak jelas rupa orang itu dari
belakang. Tapi ilmu larinya sungguh hebat luar
biasa. Dan pemuda itu terpaksa mengerahkan
ajian Sepi Angin sampai tingkat yang tertinggi.
Kalau tak tersusul dalam beberapa saat ini, su-
dah bisa dipastikan gadis itu yang berteriak-
teriak ketakutan akan dibawa orang itu ke tem-
patnya, dan pemuda itu hampir setengah yakin
bahwa orang itu bersarang di sekitar danau yang
selalu ditutupi asap itu.
Tapi alangkah kagetnya Buang Sengketa ka-
rena dugaannya salah besar. Melihat orang itu
berlari menuju danau, dia mengira sarang orang
itu tak jauh dari tempat ini. Tapi siapa sangka dia malah melesat cepat di atas
permukaan air danau
yang berwarna hitam itu. Seolah-olah permukaan
danau itu seperti tanah dataran saja layaknya.
Pemuda itu menyumpah-nyumpah habis-habisan.
Bagaimana mungkin, dia bisa melakukan itu"!
Berjalan di atas air" Suatu hal yang mustahil. Ta-pi orang itu malah berlari
kencang dan lenyap di-
telan asap hitam yang menyelimuti seluruh per-
mukaan danau itu.
"Jahanam keparat! Lepaskan gadis itu...!" teriak Buang Sengketa dengan suara
melengking tinggi dialiri tenaga dalam. Sepasang matanya co-
ba menerobos lewat celah-celah asap, tapi tiada
berguna. Asap putih itu bagai kabut tebal dan
menghalangi pemandangan. Siapa yang tahu
bahwa di tengah-tengah danau ini ada tempat ra-
hasia" Tiba-tiba pikiran cerdiknya melintas dan
cepat dilakukannya, yaitu mengitari danau yang
lebar ini. Mana mungkin ada sesuatu di tengah-
tengah danau. Kalau orang itu punya kesaktian
yang membuatnya mampu berjalan di atas air,
pastilah itu hanya tipuan. Dengan menembus da-
nau berkabut ini, dia akan mudah mengecoh la-
wan, dan terus berlalu dari tempat ini, serta
membiarkan pengejarnya menduga-duga bahwa
sarangnya berada di tengah danau.
Namun sampai dua kali dia mengelilingi da-
nau itu, tak terlihat tanda-tanda bahwa buruan-
nya lolos dari danau ini. Pemuda itu terduduk le-
su. Pastilah orang itu mempunyai tempat di ten-
gah-tengah danau ini, pikirnya. Tapi bagaimana
mungkin aku bisa ke sana untuk membebaskan
Tanjung Sari" Membatin si pemuda dari negeri
bunian itu. "Hak... hak... hak...! Sungguh hebat engkau
punya ilmu lari, anak muda. Tapi sayang, gadis
ini tak akan bisa kembali lagi padamu, setelah
masuk ke dalam Istana Pulau Hantu. Biar engkau
punya ilmu setinggi langit, tak nanti engkau
mampu menerobos ke sini. Ha... ha... ha... ha...!"
"Keparat! Lepaskan gadis itu! Perlihatkan
engkau punya muka biar bisa kulihat bagaimana
tampangmu yang pengecut itu!"
"Hak... hak... hak... hak...!"
Tiada jawaban selain suara tawa panjang
yang terus menggema di tempat itu, dan lama ke-
lamaan hilang. Buang Sengketa penasaran betul
dengan ucapan suara itu. Apa betul dia tak bisa
berenang di danau ini" Ada bahaya apa sebenar-
nya" Diambilnya sebatang ranting dan coba men-
celupkannya ke permukaan pinggiran danau.
Alangkah kagetnya pemuda itu manakala melihat
ular-ular sebesar jempol kaki sepanjang satu
tombak, dengan cepat melilit di ranting dan terus menjalar ke tangannya. Buru-
buru dicampak-kannya ranting itu ke air danau.
"Bangsat keparat! Kalau hanya bisa ular saja barangkali aku tak harus takut,
tapi kalau seluruh danau ini dipenuhi dengan hewan melata itu,
bagaimana aku bisa selamat ke sana?" katanya memaki-maki. Dengan kesal
diputarinya lagi. danau itu sambil mencari-cari jalan rahasia ke sana.
Namun sampai matahari mulai tenggelam, belum
juga ditemukannya apa yang dicari. Pemuda itu
tak henti-hentinya memaki.
6 Bupati Tenggala mondar mandir di ruang
depan. Wajahnya tegang bercampur geram. Ter-
lukis amarah yang seolah tak terbendung. Se-
mentara itu seorang perempuan setengah baya.
menangis tersedu-sedu di kursi. Perempuan yang
tak lain dari istrinya itu sudah semalaman tak tidur memikirkan keadaan putrinya
yang sekarang bagai orang tak waras. Siapakah mereka ini sebe-
narnya" Laki-laki berumur sekitar empat puluh
tahun ini adalah seorang bupati yang menguasai
daerah Rawang Gantung, sebuah tempat yang
membawahi beberapa puluh desa. Baru saja tadi
pagi beberapa orang pengawal dikerahkan untuk
mencari putri satu-satunya yang tiba-tiba tiada
terdengar kabar beritanya setelah menyambangi
gurunya bersama muridnya. Dan tiba-tiba mereka
harus menemui kenyataan bahwa putrinya itu ti-
Legenda Kematian 4 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Hina Kelana 18
^