Pencarian

Bencana Pedang Asmara 2

Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara Bagian 2


lawannya terus menerjang ke arah batu itu.
"Dweeer...!"
Batu bekas tempat bertumpunya si pemuda
hancur berkeping-keping, serpihan debu dan batu ke-
cil-kecil bertebaran di mana-mana.
"Peri Lingga! Tamunya sudah datang sendiri!
Apa saja kerjamu di situ, heh...!" tanyanya dengan sesungging senyum rawan.
"Wuuus! Jleeek...!"
Dari semak-semak yang terletak di sebelah Uta-
ra, sesosok tubuh ramping dengan jubah menjela telah
hadir pula di tempat itu. Bahkan tak lama kemudian di depan mulut gua itu telah dipenuhi oleh belasan wanita dan pria
berjubah hitam.
"Minggir kalian semuanya! Biarkan aku sendiri
yang akan menjajal kehebatan aki nini bersenjata
ruyung penggebuk anjing ini...!" perintah Andika, begitu melihat para bawahannya
mulai bergerak dengan
tujuan menyerang dua kakek nenek yang belum mere-
ka ketahui identitasnya ini.
"Mampuslah kalian orang-orang berpenyakit ji-
wa...!" teriak si nenek berambut merah. Lalu hantamkan satu pukulan yang
menimbulkan serangkum ge-
lombang berhawa panas luar biasa. Pada saat yang
sama kakek rambut putih juga kirimkan satu pukulan
yang menimbulkan udara dingin melebihi salju.
Dua pukulan sakti yang dilepas dengan sasa-
ran yang sama membuat Andika mengerutkan alisnya.
Walau bagaimanapun dua kekuatan ini memiliki aki-
bat yang berbeda-beda. Antara dingin dan panas. Se-
muanya sama-sama dapat menimbulkan akibat yang
sangat patal. Tapi Andika adalah seorang tokoh muda
yang memiliki senjata serta tenaga dalam yang dapat
menimbulkan rebawa aneh. Dan bahkan pemuda ini
tak pernah gentar menghadapi resiko yang bagaimana
pun bentuknya. Maka dengan nekad dia memapaki
pukulan 'Geletar Jagat' yang dilepaskan oleh dua la-
wannya dengan pukulan 'Jiwa Merana Di Tinggal Ke-
kasih' yang telah dikuasainya dengan baik.
"Wuuuk...!"
Pukulan tanpa ujud namun menimbulkan aki-
bat yang sangat luar biasa ini laksana kilat menyong-
song datangnya pukulan yang membawa dua sifat be-
da. "Duuummm...!" Kakek nenek rambut merah
putih terdorong dua tindak ke belakang. Sementara
pemuda wajah coreng moreng jubah menjela, hanya
tergetar saja beberapa saat lamanya. Dapat dibayang-
kan betapa tenaga dalam yang dimiliki oleh pemuda itu berada satu tingkat di
atas lawan-lawannya.
"Hebat! Dari dulu hingga kini, baru kutemui
dua ekor monyet ompong yang memiliki tenaga dalam
yang lumayan." Tanpa merasa malu-malu, Andika
memuji. "Sebelum kalian binasa di ujung Pedang Asmara, kukira tak salah kalau
kalian harus menye-
butkan asal usul kalian. Dan mengapa pula datang-
datang langsung menyerang...?" hardik Andika dengan wajah tanpa ekperesi.
"Huh... manusia berpenyakit sarap. Sudah ber-
bulan-bulan kami mencari murid kami yang hilang
tiada tentu rimbanya. Tiada dinyana, kiranya disinilah sarangnya para iblis
pembunuh berdarah dingin itu...!
Manusia keparaaat... apakah salah dan dosa mere-
ka...?" maki si kakek rambut putih dengan senjata menyilang di depan dada.
Andika hanya mendengus
mendengar kata-kata kasar yang diucapkan oleh si
kakek. Kini mengertilah dia akan duduk persoalan
yang sebenarnya. Di luar dugaan si nenek maupun
kakek itu, seperti pada dirinya sendiri, pemuda wajah coreng moreng ini berucap:
Langit hitam, cakrawala hati hitam
Manusia tak tahu bagaimana bumi bermula
Juga tiada mengerti bagaimana langit ditegak-
kan Gelimang harta hanya menimbulkan keegoisan
Tapi lihatlah sekeping hati
Dalam jiwa ini...
Yang dulu tergilas oleh ketidakpastian jaman
Ah... Engkau dan aku, juga siapa saja tak mungkin
tahu, Apa yang akan terjadi di hari esok
Tiada manusia tempat bertanya,
Juga tiada yang pasti...
Karena kepastian itu, hanyalah sebuah kema-
tian... Kakek dan nenek yang dalam dunia persilatan terkenal dengan julukan
'Sepasang Ruyung Emas',
nampak saling pandang sesamanya. Rasanya kali ini
mereka berhadapan dengan orang berpenyakit jiwa
yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Dari pulau
Tak Bertuan mereka datang untuk mencari muridnya
yang tiada pernah kembali. Tetapi begitu mereka telah menemukan jejaknya,
kiranya tokoh yang dihadapinya
itu memiliki kepandaian yang sangat luar biasa.
Sebagaimana murid-murid dari berbagai pergu-
ruan yang tiada dikenalnya, kakek rambut putih dan
nenek rambut merah merasa yakin bahwa mayat yang
telah membusuk yang mereka temukan di dalam ju-
rang pembuangan mayat itu, tiga diantaranya pastilah
merupakan murid-murid wanitanya. Apabila mereka
mengingat kematian murid-muridnya yang secara
menggenaskan itu, maka amarah di dalam dada mere-
kapun berkobar-kobar. Mereka pada akhirnya sudah
tiada perduli lagi dengan kehebatan yang dimiliki oleh lawannya. Dengan amarah
yang tertahan-tahan, akhirnya dua orang tokoh dari pulau Tak Bertuan inipun
membentak:" Penyair edan... manusia sinting, berotak miring! Kau telah menculik
dan membunuh tiga orang
muridku! Sungguhpun kepandaianmu setinggi gunung
dan sebanyak buih sabun! Kami tak pernah merasa
gentar untuk menghadapimu...!" Lagi-lagi Andika me-
nyambutnya dengan sesungging senyum yang begitu
dingin. "Perjuangan yang sia-sia adalah perjuangan yang tak pernah di
perhitungkan dengan matang...!
Begitu juga halnya dengan kematian yang sia-sia, juga karena hanya menuruti api
dendam...! Hak... hak...
hak...! Kuberi kesempatan pada kalian untuk menga-
lahkanku. Namun jika kalian tak mampu melakukan-
nya. Kalian harus bersedia berbakti kepadaku...!" kata Andika mengancam.
"Jangan banyak mulut! Makanlah senjata kami
ini...!" bentak si nenek rambut merah. Kemudian dengan gerakan yang sangat
cepat, dua-duanya langsung
menerjang dengan hantamkan ruyung berwarna emas
yang dapat mengembang dan menguncup secara se-
pontan. "Ha... ha... ha...!" Andika tergelak-gelak. Gerakan tubuhnya ringan
saja, seolah senjata yang diha-
dapinya hanya merupakan senjata mainan anak-anak.
Dalam keadaan mengkelit menghindari sambaran sen-
jata lawannya, Andika meraba bagian punggungnya
dan langsung mencabut senjatanya yang berupa sebi-
lah Pedang berwarna hitam kebiru-biruan. Ketika sen-
jata yang telah menelan banyak korban itu tercabut
dari sarungnya. Maka mendengunglah bunyi aneh
yang tiada berketentuan. Tangan pemuda wajah coreng
moreng ini langsung bergetar hebat. Wajah kedua la-
wannya terkesiap, mereka menyadari betapa berba-
hayanya senjata di tangan lawannya itu. Bahkan sebe-
lum mereka bertarung dengan pemuda itu, mereka me-
lihat betapa senjata itu secara terus menerus menge-
luarkan bunyi mendengung. Selanjutnya dengan
mempergunakan jurus 'Di Tinggal Kekasih', senjata di
tangan Andika menerpa deras ke arah senjata di tan-
gan kakek rambut putih. Namun sebelum senjata itu
berhasil mencapai sasarannya, senjata di tangan ne-
nek rambut merah menyambut dari bagian samping
kanannya. "Traaak...!"
Secara aneh senjata di tangan pemuda muka
coreng moreng berbalik menghantam senjata di tangan
si nenek. Ruyung emas di tangan nenek rambut merah
terbelah menjadi dua. Bahkan seandainya nenek ini ti-
dak cepat-cepat menarik tangannya, sudah barang
tentu tangannyapun menjadi korban Pedang Asmara di
tangan Andika. "Keparat...!" maki nenek rambut merah sambil berusaha mengembalikan keseimbangan
tubuhnya. "Kubun...!" mengetahui senjata istrinya dapat dihancurkan oleh Andika, kakek
rambut putih menjadi
gusar. Namun belum lagi dia berhasil melampiaskan
amarahnya, senjata di tangan Andika berhasil memba-
bat buntung senjata di tangan kakek rambut putih.
Bahkan mungkin, jika Andika mau melakukannya
tangan si kakek yang keriputan itupun dapat dia bun-
tungi sekaligus. Sungguhpun dia tak berniat membun-
tungi tangan si kakek. Namun satu tendangan yang
begitu telak tetap dilakukannya.
"Buuk...!"
"Gusruuk...!"
"Kampret! Pemuda iblis itu telah memaksaku
mencium kotoran sapi!" maki si kakek di dalam hati.
Dengan bersusah payah dia berusaha bangkit kembali,
setelah melap mukanya yang belepotan kotoran sapi,
laki-laki dari pulau Tak Bertuan ini bermaksud mener-
jang kembali dengan pukulan-pukulan tangan kosong-
nya. Namun tiada diduga-duga tubuh Andika nampak
melesat laksana terbang. Cepat sekali gerakan Andika, hingga satu detik kemudian
dua pekerjaan yang membutuhkan kelihaian luar biasa berhasil dia selesaikan
dengan baik: "Tuuk! Tuuk!"
Dua totokan berturut-turut mendarat tepat di
bagian tubuh, nenek rambut merah dan si kakek ram-
but putih. Secara peraktis tubuh yang dalam keadaan
tertotok itupun terasa sulit untuk digerakkan. Tiada yang dapat dilakukan oleh
tokoh dari pulau Tak Bertuan ini terkecuali mencaci maki dengan kata-kata
yang begitu kasar.
"Kalau aku mau, bukankah sejak dari tadi aku
dapat membunuh kalian berdua" Heh tapi aku tak in-
gin melakukannya. Tenaga kalian masih kubutuhkan
untuk menggempur Saudagar Legawa...!" kata Andika dengan senyum mengejek.
"Jangan kira kami mau bersekongkol dengan
manusia iblis sepertimu...!" tukas kakek dan nenek da-ri Pulau Tak Bertuan
hampir bersamaan. Tanpa meng-
hiraukan kata-kata kedua orang tua ini. Andika mem-
beri isyarat pada Peri Lingga untuk memenjarakan me-
reka di ruangan bawah tanah. Pembantu-pembantu
setia inipun dengan sigap melakukan perintah yang
diberikan oleh atasan mereka.
*** 6 Hampir setiap malam rumah besar yang sangat
mewah dijaga ketat oleh belasan orang para pembantu
saudagar Legawa. Penjagaan bukan saja dilakukan di
bagian depan, namun di bagian belakang rumah yang
berpagar tembok tinggi itu juga tak luput dari penja-
gaan. Demikianlah hal seperti itu secara terus-
menerus di lakukan oleh saudagar Legawa sejak
adanya peristiwa pertempuran yang menelan korban
belasan orang prajurit-prajurit Katemenggungan.
Setiap saat hati saudagar ini selalu diliputi oleh
rasa was-was dan perasaan bersalah. Bagaimanapun
orang yang sekarang ini dihadapinya adalah merupa-
kan orang yang mempunyai pengaruh besar terhadap
pemerintahan kerajaan Rantingkam yang berpusat di
Kota Sabuk Intan. Bukan mustahil seandainya Tu-
menggung Jayeng Rono meminta bantuan dari Kota
Raja akan berdatangan sekian banyak bala bantuan
yang sudah pasti memiliki ilmu perang yang sangat
tinggi. Sedangkan dipihaknya sendiri, orang yang pal-
ing dia andalkan adalah Pendekar Hina Kelana. Dan
pemuda itupun hingga sampai saat itu masih belum
juga kembali dari bepergian. Menghadapi kenyataan
seperti itu, hampir sepanjang malam saudagar yang
dulunya silau dengan pangkat dan kedudukan ini
menjadi semakin gelisah.
Sementara itu di halaman yang begitu luas,
nampak beberapa orang pembantu saudagar Legawa
dengan senjata siap di tangan berjalan hilir mudik melakukan tugasnya. Udara
malam yang terasa begitu
menggigit sudah tiada mereka hiraukan. Mereka nam-
pak bersemangat dalam melakukan tugasnya. Hal ini
dapat dimaklumi karena saudagar Legawa telah mem-
beri mereka tambahan upah yang begitu besar.
"Njul...! Malam ini rasanya sangat dingin sekali ya...! Masih jam sembilan
mataku sudah ngantuk...
eeh... ngantuk...!" Selak salah seorang dari penjaga itu pada kawan yang
berjalan di sisinya.
"Ho'oh...! Aku pun begitu, mana lagi malam
sangat dingin sekali...!" Kata kawannya yang disebut panjul. "Hmm! Pantesan,
malam ini malam Jumat Kli-won! Saat-saat seperti ini hantu pasti pada bergen-
tayangan..."
"Ahk... kau bikin suasana jadi serem aja...!"
"Sangkut... Sangkut... kau ini orang pengecut!
Tak pantas menjadi centeng apalagi peronda malam
seperti sekarang ini...!" celetuk Baginjul.
"Pantesnya aku jadi apa...?"
"Kalau kau mau jadi pedagang terasi atau ubi...
malam-malam begini kau pasti di rumah bersama
anak bini... Hidup anteng, malam yang dingin jadi an-
get...!" "Ah bicaramu parno melulu...!"
"Bukan parno, goblook...!" protes kawannya.
"Jadi apa...?"
"Porno...!"
"Porno..."!" Sambut Sangkut merasa terheran-heran dengan apa yang baru saja
dikatakan oleh ka-
wannya. "Porno makanan apa sih...!"
"Makanan ringan, tolol...!" celetuk Baginjul se-kenanya. Kedua penjaga malam itu


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian tertawa
ngakak, kemudian berjalan cepat menuju ke arah ban-
gunan bagian belakang. Namun serta merta suara ta-
wa mereka terhenti saat mana terdengar suara jeritan
yang begitu panjang menyayat. Kedua orang itu nam-
pak saling berpandangan untuk beberapa saat la-
manya. Detik kemudian mereka mendengar suara
denting beradunya senjata tajam.
"Di sebelah Utara rumah ini...!" teriak Sangkut pada Baginjul. Dengan gerakan
yang sangat gesit, ke-duanyapun berlarian ke arah itu. Ketika mereka sam-
pai di tempat terjadinya pertempuran. Mereka melihat
dua orang pendatang telah berhasil merobohkan enam
orang penjaga yang berada di tempat itu.
Melihat sepak terjang orang-orang ini, Baginjul
dan Sangkut sudah dapat menduga bahwa dua orang
pendatang ini ternyata memiliki kepandaian yang ting-
gi. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Baginjul dan Sangkut
yaitu pembantu Legawa yang memiliki kepandaian
yang lumayan tinggi bila dibandingkan dengan kawan-
kawannya segera menerjang maju sambil hantamkan
senjatanya yang berupa tombak berukuran sangat
panjang. Mendapat tekanan yang datangnya secara ti-
ba-tiba ini sudah tentu membuat dua orang pendatang
jadi terkejut. Namun hal itu hanya sesaat saja terjadi, karena beberapa detik
kemudian mereka pun sudah
berhadapan dengan Baginjul dan Sangkut.
"Kepandaianmu boleh juga, Sobat...!" geram salah seorang dari pendatang itu
sambil mengerahkan
jurus-jurus tangan kosongnya.
"Pendatang tengik. Siapakah kalian ini...?" teriak Baginjul, dengan suara
menggembor bagai ban-
teng marah. "Siapa kami" Huh... suruh dulu keluar sauda-
gar Legawa manusia terkutuk itu. Nanti baru akan ku
jelaskan pada kalian...!" dengus salah seorang pendatang bertubuh pendek kurus.
Lalu tanpa sungkan-
sungkan pula terus berusaha mendesak Sangkut, den-
gan sabetan-sabetan kipasnya yang dapat mengem-
bang dan menguncup. Nampaknya Sangkut dan Ba-
ginjul sebagai orang yang telah berpengalaman dan
memiliki ilmu lumayan tinggi tidak mudah di tunduk-
kan begitu saja, terbukti sampai sejauh itu serangan senjata lawannya masih
dapat dielakkan oleh Sangkut
dan Baginjul. "Hemm. Keparaat juga, anjing-anjing penjaga saudagar Legawa
ini...!" maki si pendatang sambil melompat ke belakang beberapa kali.
"Heeuuup...!"
Dua orang pendatang bertubuh kurus pendek
ini secara serentak nampak merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Kemudian secara perlahan tan-
gan itu menyilang dengan senjata kipas merentang le-
bar. "Zeeb... Zeeeb...!"
"Haaiiiit...!" Terdengar dua teriakan menggeledek, saat mana dua orang pendatang
ini membuka ju-
rus silat 'Kipas Berkabut', yaitu sebuah jurus kipas
andalan yang selama ini telah mengangkat nama me-
reka di dalam dunia persilatan. Sangat jarang orang
yang tau tentang asal usul si Kipas Kembar ini, tapi
kalangan persilatan cukup mengenal mereka sebagai
orang yang tidak menyukai segala bentuk kerja sama
dengan partai maupun pihak lain. Permainan kipas
mereka yang dikenal sebagai sangat beracun dengan
uapnya yang kebiru-biruan telah banyak merenggut
korban jiwa. Namun sesungguhnya bukan itu saja
yang dikuasai, Kipas Kembar adalah merupakan tipe
manusia yang punya kegemaran mengumpulkan ben-
da-benda langka. Salah satu diantaranya adalah men-
gumpulkan berbagai jenis mutiara.
Konon dari daerah yang terletak di Selatan sa-
na, sering mereka mendengar berita yang disampaikan
dari mulut ke mulut. Di daerah yang masih merupa-
kan wilayah kekuasaan Tumenggung Jayeng Rono,
terdapat saudagar yang sangat kaya yang selama ini
dikenal sebagai pedagang mutiara dan intan. Apa yang
mereka dengar sudah barang tentu sangat menarik
perhatian mereka, bahkan merekapun berambisi ingin
menguasai barang-barang yang sangat berharga itu.
Dengan modal tekad dan semangat yang menggebu-
gebu, berangkatlah mereka menuju ke Utara. Yaitu
yang merupakan tempat tinggal saudagar kaya yang
kemudian mereka ketahui bernama Legawa. Di sepan-
jang perjalanan yang mereka tempuh, tak bosan-
bosannya mereka bertanya pada orang yang mereka
temui. Akhirnya mereka pun mengetahui bahwa sau-
dagar Legawa sesungguhnya telah membina hubungan
kekeluargaan dengan pihak Katemenggungan. Namun
hubungan itu seperti diketahui berubah menjadi se-
buah permusuhan yang telah merenggut korban jiwa,
hanya dikarenakan keluarga Tumenggung merasa ter-
tipu atas perkawinan yang dilakukan oleh putranya
atas putri saudagar Legawa. Seperti diketahui dari pihak keluarga saudagar
Legawa kemudian tak mau te-
rima begitu saja.
Nah mempergunakan kesempatan itu si Kipas
Kembar cepat-cepat mengambil keputusan dan lang-
sung bertindak. Karena mengira para penjaga di sepu-
tar tempat itu tidak begitu ketat, maka seenaknya saja mereka melompati dinding
tembok yang memiliki tinggi
tak lebih dari tiga meter. Tapi ketika mereka harus
berhadapan dengan Sangkut dan Baginjul, mereka me-
rasa di dalam rumah kediaman saudagar Legawa ma-
sih terdapat banyak lawan-lawan yang mungkin saja
berilmu tangguh. Itu sebabnya mereka tak ingin me-
nyia-nyiakan kesempatan yang terbatas itu. Sesaat se-
telah si Kipas Kembar keluarkan jurus-jurus andalan-
nya, maka dalam waktu beberapa jurus di muka per-
mainan tombak di tangan Baginjul dan Sangkut nam-
pak sudah tidak berkembang lagi. Bahkan beberapa
jurus di muka, dua orang pembantu saudagar Legawa
ini sudah kena di desak.
"Wuut...!"
"Haeees...!"
Tubuh Baginjul nyaris terhantam kipas temba-
ga di tangan lawannya. Sedangkan Sangkut saat itu
sudah kena ditendang oleh lawannya yang lain. Dalam
keadaan tunggang langgang ini Sangkut cepat-cepat
bangkit kembali, lalu berteriak-teriak memberi perin-
tah kepada kawan-kawannya.
"Cepat kalian beri tahu saudagar...!"
"Cepaaat...!" Baginjul yang sudah dalam kea-
daan semakin terdesak itu menyambung. Tanpa
buang-buang waktu lagi, tiga orang pembantu, lang-
sung berlari-lari menuju ke dalam bangunan besar itu.
"Keadaan bisa runyam, Hiihh...!" Sambil berguman salah seorang dari lawannya
hantamkan kipas
di tangannya mengarah bagian dada Baginjul. Masih
untung laki-laki bersenjata tombak ini masih sempat
membaca kemana arah gerakan senjata lawannya.
Dengan sangat cepat dia miringkan tubuhnya ke
samping. "Breet...!"
"Ahkgh...!"
Baginjul keluarkan seruan tertahan saat mana
bagian bahunya masih juga tersambar ujung kipas di
tangan lawannya. Darah kehitam-hitaman meleleh dari
bagian luka yang terobek. Rasa nyeri dan linu segera
menjalari bagian tubuh yang terluka ini. Sadarlah Ba-
ginjul ternyata senjata di tangan lawannya mengan-
dung racun yang sangat keji. Si Kipas Kembar dari Se-
latan ini keluarkan suara tawa mengekeh. Sedetik ke-
mudian kedua orang itu memburu dua orang lawannya
dengan maksud menghabisinya sekaligus. Kali ini ke-
mungkinan untuk menghindari serangan mematikan
dari lawannya sudah sangat tipis sekali.
"Wuuuk...!"
Baginjul dan Sangkut masih berusaha me-
nangkis serangan kipas yang datangnya begitu cepat.
"Ahh. Nyeplos...!" seru salah seorang lawannya.
Kemudian dengan disertai sesungging senyum menge-
rikan kipas di tangan kedua orang itu menderu. Bagin-
jul dan Sangkut masih berusaha menghindari terjan-
gan kipas itu. Namun agaknya sebentar lagi maut pasti akan menjemput mereka
andai pada saat-saat yang
sangat menegangkan itu tidak berkelebat sosok bayan-
gan merah ke arah mereka! "Braaak! Braak...!"
Si Kipas Kembar keluarkan seruan tertahan.
Tubuh mereka terdorong tiga tombak ke belakang.
Orang-orang ini merasakan senjata mereka membentur
sesuatu yang begitu keras, hingga menyebabkan tan-
gan-tangan mereka terasa nyeri dan sakit.
"Keparat...! Siapakah kau ini...?" bentak salah seorang diantara mereka begitu
melihat kehadiran seorang pemuda berpakaian merah dengan rambut pan-
jang dikuncir. Pemuda itu berdiri tegak dengan kedua
tangan menyilang di depan dada,
"Semestinya akulah yang bertanya, siapakah
kalian ini...!" gumam si pemuda dengan sikap acuh.
"Saudara Baginjul dan Sangkut! Menepilah aku
ingin menjajal sampai di mana kehebatan dua ekor
kunyuk ini...!" Perintahnya lagi tanpa memperdulikan dua orang lawannya yang
masih dalam keadaan ter-bengong-bengong. Yang diperintah nampak menuruti
apa yang diinginkan oleh pemuda berkuncir yang su-
dah tak asing lagi bagi kita ini.
"Kurang ajar! Sebelum kau mampus di tangan
kami, lebih baik kau sebutkan nama bapak moyang-
mu...!" "Tak perlu! Aku sudah mengetahui siapa adanya kalian ini. Bahkan siang
tadi aku juga sudah
mendengar apa yang kalian bicarakan... he... he...
he...! Maling tengik, kalau kalian tidak cepat-cepat merat dari hadapanku.
Kalian segera tahu apa akibat-
nya...!" "Kalau begitu kau akan segera mampus...!" bentak dua orang itu. Lalu
tanpa menunggu lebih lama la-
gi, keduanya pun mulai membuka serangan-serangan
gencar. Tapi mungkin Kipas Kembar tiada menyadari
bahwa lawan yang dihadapinya kali ini adalah seorang
tokoh muda yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Dan mereka pada akhirnya harus membuka matanya
lebar-lebar saat mana serangan-serangan sengit yang
dilakukannya selalu saja mencapai sasaran yang ko-
song. Sebaliknya yang menjadi lawannya masih den-
gan mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk terus
bergerak cepat tak berketentuan. Kadang tubuhnya
nampak terhuyung-huyung, di lain saat dengan kece-
patan yang sangat luar biasa dia menerjang lawannya
dengan tendangan-tendangan yang mematikan. Kea-
daan seperti itu tak berlangsung lama, sekejap kemu-
dian si pemuda melentingkan tubuhnya ke arah tem-
bok batu, selanjutnya pemuda dari negeri Bunian in-
ipun hantamkan tangannya mengarah pada pihak la-
wan yang berusaha memburu dirinya. "Wuuust...!"
Serangkum gelombang sinar Ultra Violet den-
gan telak menghantam tubuh mereka. Dua orang la-
wannya terpelanting roboh dengan keadaan tubuh se-
tengah matang. Tiada erangan maupun rintihan yang
keluar dari mulut mereka ini. Tubuh mereka hanya
berkelojotan sesaat, kemudian terdiam untuk selama-
lamanya. "Untung anda cepat datang saudara Kelana! Ji-
ka tidak entah bagaimana dengan nasib kami se-
mua...!" sambut saudagar yang selalu takut pada kematian ini dengan disertai
sesungging senyum keme-
nangan. "Sudahlah! Aku sudah mengetahui semuanya.
Orang-orang ini datang dari Selatan dengan tujuan in-
gin merampok harta bendamu...!" jawab si pemuda tawar. "Tapi kita pantas
merayakan kepulanganmu
dan atas kemenangan yang kau peroleh." ujar Legawa.
"Di depan sana masih terlalu banyak musuh
yang mengancam keselamatanmu, saudagar! Ada
baiknya kalau kita istirahat malam ini...!"
"Baiklah... silakan...!" ujar saudagar Legawa
dengan sikap mengalah.
*** 7 Sesuai dengan keputusan yang sudah sama-
sama disetujui oleh Lesmana dan orang tuanya. Yaitu
Tumenggung Jayeng Rono sendiri, berikut para pem-
bantu-pembantunya. Penyerangan yang akan dilaku-
kan oleh keluarga Katemenggungan terhadap keluarga
Legawa dilakukan dua tahap. Tahap pertama dipimpin
oleh Lesmana putera Tumenggung Jayeng Rono. Yang
ikut serta dalam penyerangan pertama ini antara lain adalah Roda Paksi dan
Maling Durjana serta puluhan
prajurit-prajurit Katemenggungan yang bersenjata
lengkap. Sedangkan serangan kedua dipimpin lang-
sung oleh Tumenggung Jayeng Rono sendiri dengan
dibantu oleh Kincir Angin, Jelatu dan dua puluh orang perajuritnya yang
bersenjatakan panah.
Hampir tiga hari persiapan yang telah di perhi-
tungkan secara matang itu dilakukan. Dan ketika ma-
tahari hampir tenggelam di upuk Barat, dan suasana
di seluruh alam diliputi kegelapan. Maka iring-iringan pasukan yang sudah siap
melakukan pertempuran itu
berangkatlah menuju tempat kediaman Saudagar Le-
gawa. Di sepanjang perjalanan yang mereka tempuh,
tak seorangpun yang berani mengeluarkan suara atau
bahkan bicara barang sepatah katapun. Yang terden-
gar saat itu hanyalah derap langkah kaki kuda tung-
gangan yang jumlahnya mencapai puluhan ekor. Se-
dangkan yang selebihnya hanyalah kesunyian belaka.
Perjalanan berkuda yang mereka tempuh sebenarnya


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidaklah begitu jauh, bahkan hanya memakan waktu
tak kurang dari tiga jam. Namun daerah yang mereka
lalui setelah meninggalkan istana Katemenggungan
adalah daerah yang di kelilingi oleh hutan lebat yang di dalamnya selalu
berkeliaran binatang buas, terlebih-lebih pabila malam hari begini.
Setengah jam melewati hutan perawan di se-
panjang jalan itu, jalan yang ditempuh selanjutnya
adalah lereng-lereng bukit gundul dan berbatu cadas
serta agak sulit untuk dilalui, karena selain jalan itu sempit, di sebelah sisi
kiri jalan itu adalah sebuah jurang menganga yang sangat sulit untuk diukur
keda- lamnya. Sampai di jalan terjal berbatu ini, rombongan berkuda itu dengan sangat
terpaksa harus mengurangi
kecepatan lari kuda-kuda tunggangan mereka. Saat itu
Lesmana yang berada di depan rombongan itu nampak
memberi isyarat pada kawan-kawannya:
"Orang-orang yang berada di belakang, kurangi
kecepatan kalian. Jalan ini terlalu sulit buat kita lalui.
Berhati-hatilah, salah melangkah di sisi kiri jurang telah siap menanti
kalian...!" Kawan-kawan dan para bawahannya nampaknya tak perlu memberi jawaban
atas peringatan Lesmana itu. Sebab mereka pun sudah
melihat tentang adanya bahaya yang mengancam di si-
si kiri mereka. Demi menjaga terjadinya sesuatu yang
tidak diingini, maka perjalanan itu bagai rangkak ku-
da-kuda tunggangan yang baru saja belajar berlari.
Namun dengan sikap sabar para penunggangnya terus
menghela kuda-kuda itu dengan kewaspadaan penuh.
Dalam kegelapan yang hanya diterangi sinar bulan
yang remang-remang, mendadak kuda tunggangan
yang berada di bagian paling depan meringkik keras,
kaki depan terangkat ke udara, bahkan kuda-kuda itu
kemudian melonjak-lonjak bagai melihat sesuatu yang
menakutkan. Andai saja para penunggangnya tidak li-
hai dalam mengendalikan kuda, dapat dipastikan me-
reka sudah terbanting sejak tadi.
"Hiihiiieeeh...! Hieeeeh...!"
"Hitam! Apakah yang kalian lihat, hingga ham-
pir membuat celaka tuanmu sendiri?"
"Mungkin ada sesuatu yang tak beres di tempat
ini, Tuan Lesmana...?" Yang menyahuti adalah Roda Paksi yang saat itu juga
sedang berusaha mengendalikan kudanya.
"Tapi aku tak melihat sesuatu apapun di depan
sana...?" bantah Lesmana setelah memperhatikan suasana di depan.
"Hikhik... hieehh...!" Kuda tunggangan itu kembali meronta-ronta dan berubah
liar. Hampir saja Les-
mana terbanting dari atas kuda yang ditungganginya.
"Keparaat! Pada dedemit yang bersembunyi di
kegelapan! Cepat-cepatlah tunjukkan diri, sebelum
tuanmu ini benar-benar menjadi marah...!" bentak Lesmana dengan disertai
pengerahan tenaga dalam
yang cukup kuat. Sejenak adalah kesunyian belaka.
Tiada jawaban apapun. Dan suara Lesmana bergema
sampai ke dasar jurang. Barulah saat kemudian ter-
dengar suara tawa menyeramkan yang bersumber dari
balik bukit batu cadas yang terletak di sebelah kanan mereka.
"Hee...ha... hhaaa... haa... huaaa... ha,...! Manusia licik yang bernama
Lesmana! Setelah kau reng-
gut kehormatan istrimu sendiri, kini kau datang den-
gan tujuan ingin menyebar malapetaka...! Sayang...
sungguh sayang...! Manusia gila kehormatan seperti
Legawa tak pernah menyadari atas kelicikanmu...!"
Sambut suara itu seperti mencemoohkan diri Lesmana.
Mendengar kata-kata yang terasa bagai menelanjangi
dirinya di depan orang banyak sudah barang tentu
Lesmana menjadi gusar. Selanjutnya laki-laki berusia
lebih dari seperempat abad inipun melompat dari atas
punggung kudanya dengan diikuti oleh Roda Paksi dan
Maling Durjana.
"Manusia bangsat yang bersembunyi di kegela-
pan. Kau benar-benar seorang pemfitnah keji, keluar-
lah...!" teriak Lesmana. Jika saja saat itu suasana dalam keadaan terang
benderang, sudah barang pasti
mereka yang berada di sekeliling Lesmana dapat meli-
hat betapa wajah pemuda itu nampak memerah.
"Putra Tumenggung keparaat...! Orang-orang
lain boleh mendewa-dewakan dirimu seperti seorang
Maharaja besar. Tapi tidak buat si Pedang Asmara...
aku akan membongkar semua kedokmu Lesmana!" ka-
ta Satria Pedang Asmara dari balik kepekatan malam.
Selanjutnya terdengarlah lantunan bait-bait sairnya:
Lembah Patah Hati sehari telah tertinggal jauh...
Si anak malang berjalan gontai menelusuri ka-
but Antara ada dan tiada ia mendengar gamelan
pengantin Nun jauh di sana, di sebuah tempat yang tersa-
mar Desah keriangan adalah senyummu yang penuh
kelicikan Malam pengantin bernoda dengan darah...
Selembar kesucian telah terengkut
Titik-titik air mata, terbalas sesungging senyum
iblis Dan kau berlalu dalam malam
Tidak lebih dari perampok jalanan yang kelapa-
ran... Kau adalah anak singa
Yang mampu mencabik-cabik raga dengan taring
dan kuku-kukumu
Dan korbanmu adalah keledai-keledai dunguh
Yang selalu dahaga karena kemarau panjang
Sedangkan siaku yang empunya bicara, adalah
sisi terhempas Yang kini menuntut balas...
Andika atau yang lebih dikenal sebagai Satria
Pedang Asmara, terdiam sejenak. Dari balik kegelapan
itu dia dan orang-orangnya dapat melihat. Betapa
Lesmana, Roda Paksi dan Maling Durjana nampak sal-
ing pandang sesamanya. Kemudian setelah maju se-
langkah Roda Paksi mewakili yang lain-lainnya.
"Penyair sinting yang berjuluk Satria Pedang
Asmara..." Kami tak pernah mengenalmu, mengapa
kau menghadang perjalanan kami...!" kata laki-laki bertubuh jangkung ini,
menyadari lawan berilmu tinggi dia berbicara dengan suara merendah. Terdengar
suara erangan marah, kemudian disertai dengan berkele-
batnya beberapa sosok tubuh menghampiri rombongan
Lesmana. Dengan tanpa menimbulkan suara, Andika
dan orang-orangnya menjejakkan kakinya tepat lima
langkah di depan Lesmana dan kawan-kawannya.
"Manusia pembawa roda pedati! Kau tak men-
getahui duduk persoalannya. Kuperintahkan menying-
kirlah kau...!" bentak Andika, namun sepasang matanya tak pernah beralih dari
Lesmana. Sebaliknya
Lesmana berusaha mengenali siapa laki-laki berwajah
coreng moreng ini. Mendengar suaranya sepertinya dia
pernah mengenal si pemilik suara yang saat itu terus
memandang sinis ke arah dirinya.
"Persoalanmu dengan Tuan Lesmana, itu berar-
ti persoalanku juga! Jangan harap kami mau mematu-
hi perintahmu...!"
"Kalau begitu, kaupun termasuk anjing-anjing
Katemenggungan yang perlu dihukum!" maki Satria
Pedang Asmara. Saat itu dia sudah memberi aba-aba
pada Peri Lingga, kakek rambut putih, nenek rambut
merah yang berhasil dia pengaruhi dengan serbuk Ra-
cun Bunga Asmara. Namun sebelum mereka sempat
melakukan gebrakan, terdengar suara bentakan keras
dari mulut Lesmana:
"Tahan...!" teriak laki-laki itu, lalu melompat ke depan. "Kau takut mati,
manusia tengik...?"
"Hemm!" Lesmana berguman. "Rasa-rasanya aku seperti mengenalmu, kau pasti
Andika, yang dulu
pernah terusir dari rumah saudagar Legawa...!" ucap-nya dengan sesungging senyum
sinis. "Bagus! Di saat ajal menjemputmu, kau ternya-
ta masih mengenaliku...!"
"Ha... ha... ha!" Tanpa tertahankan lagi, tawa Lesmana pun lepas. "Selama ini
kau pasti menderita karena cintamu selalu di tolak. Bertahun-tahun kau
menghilang, kukira kau sudah mampus karena putus
asa. Tak dinyana kini kau muncul lagi dengan sebuah
julukan yang tidak lucu...!" kata Putra Tumenggung Jayeng Rono dengan disertai
tawa berkepanjangan.
Andika nampak diam saja begitu mendengar kata-kata
yang terasa merobek luka-luka lama ini. Otot-otot tu-
buhnya terasa menegang, sepasang matanya menco-
rong tajam tanpa ekperesi. Tiada diduga-duga, pemuda
wajah coreng moreng jubah menjela ini pun hantam-
kan satu pukulan ke arah Lesmana. Selarik Gelom-
bang sinar yang tiada berujud menerjang ke depan.
Roda Paksi, Maling Durjana secara hampir berbareng
melompat ke samping menghindari datangnya pukulan
yang mendatangkan hawa aneh ini. Tapi beberapa
orang prajurit Katemenggungan berikut kuda-kuda
tunggangan menjadi korban pukulan ganas yang dile-
paskan oleh Andika. Lima orang prajurit Katemeng-
gungan berikut kuda yang mereka tunggangi terjung-
kal roboh dan tiada berkutik-kutik lagi. Terbelalak setiap pasang mata demi
melihat akibat pukulan yang di-
lepaskan oleh pihak lawannya. Roda Paksi yang terga-
bung dalam rombongan itu, dan gampang naik darah.
Langsung saja melepas roda-roda yang memiliki empat
sisi tajam yang selama ini merupakan senjata yang di
andalkannya. Senjata berbentuk bulat macam roda
pedati ini mendesing dan mengancam bagian leher ser-
ta kepala Andika. Namun lebih cepat lagi, pemuda dari lembah Patah Hati ini
berhasil menghindari terjangan
senjata yang berbentuk aneh ini.
Tanpa dapat dihindari lagi, pertarunganpun pe-
cah. Perempuan jubah hitam beserta belasan orang
bawahannya langsung merangsak ke arah prajurit-
prajurit berkuda, Nenek rambut merah dan kakek
rambut putih dari Pulau Tak Bertuan secara bersa-
maan menggempur Maling Durjana. Sedangkan Andika
atau Satria Pedang Asmara berhadapan dengan Roda
Paksi dan Lesmana. Dalam gebrakan pertama ini,
Lesmana maupun Roda Paksi langsung mencecar la-
wannya dengan senjata mautnya. Sejauh itu Andika
masih terus melayaninya dengan pukulan-pukulan
andalannya. Di lain pihak pertarungan Peri Lingga yang di-
bantu oleh belasan anak buahnya melawan prajurit-
prajurit kerajaan nampak berlangsung tak seimbang,
Hanya dalam waktu beberapa jurus saja, prajurit-
prajurit Katemenggungan ini telah berdesak hebat.
Bahkan secara pelan namun cukup pasti, satu demi
satu prajurit-prajurit Katemenggungan ini bergelim-
pangan dengan tubuh berlumur darah terbabat senjata
di tangan Peri Lingga dan kawan-kawannya. Pada ke-
nyataannya, lawan-lawan yang dihadapi oleh prajurit
Katemenggungan ini memang merupakan lawan yang
tangguh, bahkan boleh dikata bukan tandingan mere-
ka. Terbukti menjelang pertempuran empat puluh ju-
rus, seluruh prajurit-prajurit Katemenggungan terbabat habis dan tiada bersisa
lagi. Peri Lingga dan ka-
wan-kawannya yang telah berhasil memenangkan per-
tempuran, akhirnya hanya diam di tempat sambil men-
jaga segala kemungkinan yang tidak diingini.
Sementara itu pertarungan antara Maling Dur-
jana melawan keroyokan sepasang Ruyung Maut,
nampak berlangsung seru dan seimbang. Masing-
masing lawan sudah mengarahkan jurus-jurus maut-
nya. Bahkan pukulan-pukulan yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi yang mereka
milikipun telah mereka lepaskan. Sejauh itu masih be-
lum ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai
pemenangnya. Denting beradunya senjata andalan yang mere-
ka miliki terasa bagai merobek keheningan malam. Di
sudut lain, Lesmana dan Roda Paksi sudah banyak
menguras tenaga dalam usaha merubuhkan lawan-
lawannya. Tubuh mereka bahkan telah bermandi ke-
ringat, padahal saat itu malam terasa begitu dingin.
Pukulan-pukulan beruntun tak ayal lagi saling bertu-
brukan, bunga api berpijar. Hingga membuat kegela-
pan yang menyungkup itu menjadi terang diperciki
bunga api. Menjelang pertempuran tujuh puluh lima
jurus, senjata Lesmana yang berupa sebilah pedang
bergagang Intan berhasil melukai bagian pangkal len-
gan Andika. Bahkan selang beberapa saat setelahnya,
roda maut yang melayang bagaikan gasing dari tangan
Roda Paksi berhasil pula melukai bagian dada Satria
Pedang Asmara. Sungguhpun luka-luka yang ditim-
bulkan akibat sambaran senjata di tangan lawannya
tidak begitu parah. Namun cukup membuat tubuh An-
dika terhuyung-huyung, darah merembas tanpa henti.
Melihat kenyataan ini, Peri Lingga sudah bermaksud
turun ke gelanggang pertempuran membantu ketua
mereka. Namun niat itu akhirnya mereka urungkan
begitu melihat ketuanya mencabut Pedang Asmara
yang menggelantung di bagian punggungnya. Seiring
dengan tercabutnya pedang yang telah banyak me-
renggut korban jiwa itu dari bagian punggungnya, ma-
ka tanpa ayal lagi, kata-katanyapun menyambut:
Kepada si empunya jiwa Serakah...
Sambutlah nyanyian kematian yang tiada mem-
bekas... Pedang Asmara menghunjam tanpa darah
Dan aku yang akan melakukannya...
"Hiaaat...!" teriakan yang terasa bagai mencabik-cabik gendang telinga di sertai
suara mendengung
yang begitu aneh. Sementara pedang itu terus mengge-
letar tanpa dapat dikendalikan lagi. Begitu bergebrak, Andika telah pula
mempergunakan jurus 'Menanti Kekasih Tiada Kunjung Datang' yaitu jurus tingkatan


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke- tiga dari empat jurus Pedang Asmara yang telah dikua-
sainya. Menghadapi saat-saat menegangkan seperti itu
Roda Paksi lontarkan senjatanya yang bulat namun
bersisi tajam. Tanpa ayal, senjata aneh itu melesat
mengancam bagian tenggorokan Andika. Tapi Satria
Pedang Asmara, tiada bergeming sedikitpun, pedang di
tangan tetap berputar sedemikian rupa, membuat se-
buah perisai diri. Hingga sampai senjata yang berupa roda terbang itu melabrak
ke arah pertahanan dirinya.
"Braaak...!"
Menyusul roda-roda yang satunya lagi.
"Braaal...!"
Senjata itu hancur berkeping-keping. Roda
Paksi tercengang, namun kelengahan yang hanya be-
berapa detik itu harus ditebusnya dengan sangat mah-
al. "Jrees...!" Andika tiada melihat bagaimana dada yang tertembus senjata miliknya
itu berkelojotan, karena pada saat itu senjata di tangannya yang secara terus
menerus memperdengarkan bunyi mendengung ini
telah membelok ke arah lain. Dan yang menjadi sasa-
ran mata pedangnya kali ini adalah Lesmana. Putra
Tunggal Tumenggung Jayeng Rono itu menjadi terke-
siap, sama sekali dia tiada menyangka senjata di tan-
gan lawannya mampu melakukan gerakan aneh seperti
itu. Menyadari bahaya mengancam jiwanya, Lesmana
putar senjatanya untuk melindungi diri. Namun tetap
saja senjata di tangan Andika mampu menembus per-
tahanan lawan. "Braak... Praaang... Jroos....!"
Pedang di tangan Lesmana hancur menjadi be-
berapa bagian, sebaliknya Pedang Asmara terus men-
deru meminta korban. Putra Tumenggung Jayeng Rono
keluarkan jeritan menyayat. Sesaat tubuhnya limbung,
kemudian ambruk ke bumi tanpa mengeluarkan darah
setetespun. Pada saat yang hampir bersamaan terden-
gar pula jeritan lain. Begitu Andika menoleh sambil
menyarungkan pedang pada rangkanya, pemuda wajah
coreng-moreng itu melihat tubuh Maling Durjana juga
ambruk ke bumi termakan senjata ruyung di tangan
kakek dan nenek dari Pulau Tak Bertuan.
"Bagus! Kalian telah melakukannya dengan
baik! Tapi tugas kita belum selesai." kata Andika pelan.
"Aku ingin menjajal kehebatan saudagar Angkuh Legawa dan Tumenggung Jayeng Rono
yang pasti akan
menuntut balas atas kematian putranya...!"
"Apakah kita akan meluruk ke rumah kedia-
man Saudagar Legawa...!" tanya Peri Lingga.
"Kita memang harus berangkat sekarang ju-
ga...!" kata Andika, dingin.
*** 8 "Menurut kabar yang kudengar dari orang-
orangku, iring-iringan rombongan Lesmana yang ber-
maksud meluruk ke mari, semuanya tewas terbantai di
Bukit Tumojong...!" kata saudagar Legawa siang itu ketika mengadakan pertemuan
dengan pendekar Hina
Kelana di ruangan pribadinya.
"Aku telah melihatnya sendiri, sebelum orang-
orangmu melihat mayat-mayat bergelimpangan di te-
pian jurang berikut kuda-kuda yang mereka tunggan-
gi...!" "Bagus! Si keparaat Lesmana mampus, mungkin itu sudah karmanya...!"
selak Indah Dewi. Pada roman mukannya tidak sedikitpun menunjukkan rasa
duka atas kematian bekas suami yang tiada dicin-
tainya itu. "Mungkin malam itu mereka akan melakukan
penyerbuan kemari! Namun keburu dihadang oleh
orang lain...!" desah Legawa tanpa menghiraukan kata-kata putrinya yang begitu
sinis. "Puluhan prajurit bersenjata lengkap, dengan di
bantu oleh beberapa orang tokoh golongan hitam. Tak
salah, pastilah putranya Tumenggung Jayeng Rono itu
termasuk sahabatnya para golongan sesat!" gumam si pemuda. "Tapi melihat luka-
luka yang tiada meninggalkan darah sedikitpun, aku jadi tak mengerti bagai-
mana mungkin di kolong langit ini ada senjata yang
memiliki keanehan seperti itu?"
"Kakang, Kelana...?"
"Hemm! Ada apa...?" tanya si pemuda, kemu-
dian melirik pada Indah Dewi.
"Tahukah kakang siapa yang telah melakukan
pembunuhan itu...?" Buang Sengketa gelengkan kepalanya pelan.
"Aku yakin pasti dia yang telah melakukan-
nya...!" "Dia siapa, putriku...?" tanya Legawa secara se-pontanitas Indah Dewi
nampak terdiam, ada keragu-
raguan membayangi wajahnya yang tidak begitu can-
tik. "Katakanlah, putriku... siapa yang kau mak-
sudkan dengan dia...?" desak Saudagar Legawa dengan hati berdebar.
"Orang yang telah melakukan pembunuhan itu
pastilah, Kakang Andika...!" jawab Indah Dewi tersendat-sendat.
"Andika...?" desis Legawa terperangah. "Bagaimana mungkin...?"
"Di dunia ini, kemungkinan apapun bisa terja-
di, Tuan Legawa... oh ya, siapakah Andika itu...?"
tanya Buang Sengketa. Mendengar pertanyaan yang di-
lontarkan Buang Sengketa, maka semakin bertambah
memerahlah wajah saudagar Legawa dibuatnya
"Sebuah kesalahan besar dulu pernah kulaku-
kan. Ya, saat itu mata hatiku memang benar-benar bu-
ta..! Sering kunilai kehebatan seseorang itu dari segi-segi kemampuan
duniawi...! Hingga aku mengabaikan
kesucian cinta seorang anak manusia terhadap lawan
jenisnya...!" desah saudagar kaya ini sambil menarik nafas pendek.
"Apakah maksudmu, Tuan...?" tanya si pemuda penasaran.
"Orang yang bernama Andika itu dulunya ada-
lah kekasih Indah Dewi. Kuakui, dia dan putriku ini
sama-sama saling mencinta. Sayangnya sebagaimana
yang kukatakan tadi, bahwa saat itu aku benar-benar
buta dan tergila-gila pada pangkat dan kedudukan...!
Aku dengan sengaja telah memisahkan mereka, bah-
kan orang-orangku telah melakukan penyiksaan pada
pemuda itu. Tanpa sengaja ayah ibunyapun tewas di
tangan orang-orang kepercayaanku... oh betapa besar
kesalahanku pada anak itu, dia telah begitu menderita.
Semua ini gara-gara ulah si keparat Tumenggung
Jayeng Rono dan putra Tunggalnya Lesmana...!" gumam Legawa sambil berusaha
menahan air matanya
agar tak sampai menggelinding jatuh.
Semua apa yang dikatakan oleh Legawa sudah
barang tentu membuat kaget mereka, yang hadir di
ruangan itu. Terlebih-lebih Indah Dewi, yang selama
ini menyangka bahwa kematian orang tua Andika ha-
nyalah sebuah kecelakaan biasa yang terjadi diladang
orang tuanya. Seperti diketahuinya, orang tua Andika
bekerja di kebun saudagar Legawa setengah hari, sete-
lah kembali dari berdagang tape uli dan ikan asin.
"Jad... jadi, ayahlah yang telah menyebabkan
kematian orang tua, Kakang Andika?" kata Indah Dewi tersendat-sendat. "Sungguh
keterlaluan, orang terhormat semacammu begitu tega melakukan pembunuhan
terhadap orang-orang yang tiada berdaya...!" Semakin bertambah merah wajah
saudagar Legawa mendengar
kata-kata pedas yang baru saja diucapkan oleh pu-
trinya. Dalam hati dia mengakui kesalahannya, tapi
dia sadar, penyesalan yang terjadi juga sudah tiada
gunanya. Tak mungkin dapat membangkitkan orang
yang sudah mati.
"Itulah sisi terburuk dari kehidupan masa lalu-
ku, Indah...! Rasa-rasanya sekarang ini aku tak punya muka untuk menghabiskan
sisa-sisa hidupku lebih
lama lagi!" ucap saudagar Legawa seperti putus asa.
Buang Sengketa terdiam untuk sesaat lamanya, ba-
gaimanapun dia maklum dengan guncangan batin
yang dialami oleh laki-laki berumur lima puluhan ini.
Selanjutnya dengan suara berwibawa, pemuda ini be-
rucap: "Sudahlah! Tiada guna menyesalkan masa lalu, kesedihan yang berlarut-
larut tak akan pernah menyelesaikan masalah dalam bentuk apapun! Katakanlah,
sekarang ini sang Hyang Widi telah membukakan ca-
krawala hati tuan, dan anda pantas bersukur kare-
nanya." "Dosa-dosaku bertumpuk. Bahkan sulit untuk diampuni, ah... semoga saja,
satu saat kelak pemuda
itu datang kemari untuk menagih hutang nyawa...!"
katanya pasrah.
"Hemm! Aku hanya berdoa, semoga pemuda itu
masih punya hati untuk memaafkan segala kesala-
hanmu...!"
"Apa" Memaafkan aku..." Heh... tidak, semua
itu hanya akan menyeretku dalam penyesalan yang
berkepanjangan...!" sentak saudagar itu dengan mata melotot.
"Ayah! Untuk apa bersikeras, semuanya sudah
berlalu, ayah...!" rintih janda kembang ini dengan hati pedih. Ketika mereka
sedang terlibat perbincangan seperti itu, tiba-tiba salah seorang pembantu
saudagar Legawa datang tergopoh-gopoh memberi laporan:
"Laporan saudagar!" kata pembantu merangkap pengawal ini dengan nafas terengah-
engah. "Apa yang telah terjadi...?" tanya saudagar Legawa dengan perasaan cemas.
"Tumenggung Jayeng Rono beserta prajurit-
perajuritnya mengamuk di halaman depan. Lima orang
bawahan tewas, juga dua ekor kerbau yang berada di
kandang sebelah dibunuhnya...!"
"Kurang ajar! Segala macam kerbau kau bawa-
bawa...! Sudah kembali ke depan, kami segera datang
ke sana...!" bentak saudagar Legawa. Kemudian beran-jak dari tempat duduknya,
namun begitu dia menoleh
ke arah Pendekar Pedang Kelana. Pemuda berkuncir
itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Dengan sangat
tergesa-gesa, bapak dan anak ini tak menunggu lebih
lama terus bergegas menuju halaman depan rumah-
nya. Sementara itu, Buang Sengketa yang paling du-
luan sampai di halaman rumah saudagar Legawa,
langsung berhadapan dengan Tumenggung Jayeng Ro-
no yang telah berdiri di halaman luas beserta belasan orang anak buahnya yang
bersenjatakan panah.
"Pemuda gembel! Mana saudagar Legawa yang
telah bikin sengsara putraku...! Suruh dia keluar ce-
pat...! Kalau tidak, rumah mewah ini akan kubakar...!"
teriak Tumenggung Jayeng Rono dalam kemarahan-
nya. "Kau datang telah membunuhi sekian banyak
orang! Dan putramu tewas bukan di tempat ini. Kesa-
lahan manakah yang kau tuntut...?" tanya si pemuda begitu tenangnya.
"Aku tak perlu bicara denganmu, bocah berpe-
riuk..! Yang kuinginkan nyawanya saudagar Legawa...
dan putrinya...!" bentak Tumenggung Jayeng Rono, dan wajahnya yang sudah
dipenuhi kerut-merut ini
berubah kelam membesi.
"Aku telah mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya. Kuharap engkau mau menyudahi persoa-
lan ini sampai di sini saja, pulanglah...!" kata si pemuda bagai memerintah
seorang anak kecil.
"Keparaat! Kau malah mau mengguruiku...!"
"Ha,... ha... ha...!" Buang Sengketa tergelak-
gelak. "Putramu yang licik itu kau bela mati-matian.
Kau merupakan orang terhormat, Tumenggung...! Tapi
kulihat kau tak pernah becus mengurus putramu yang
telah begitu banyak membuat kesalahan-kesalahan
besar...!"
"Jadah! Kau benar-benar membuat kesabaran-
ku lenyap, budak gembel...! Kuperingatkan padamu
sekali lagi, cepat suruh keluar Saudagar Legawa...!" perintah Tumenggung Jayeng
Rono, dengan nafas mem-
buru karena dibakar api kemarahannya sendiri.
"Tak perlu kau memerintah pemuda ini, bekas
besan! Sekarang katakan apa yang kau inginkan...!"
Tukas Legawa, yang secara tiba-tiba telah berdiri di si-si Buang Sengketa
bersama putrinya. Begitu sinis ta-
tapan mata Tumenggung Jayeng Rono begitu melihat
kehadiran Legawa dan Indah Dewi. Sementara itu, be-
lasan prajurit Katemenggungan yang bersenjatakan
panah telah siap membidik ke arah sasarannya.
"Kau telah menipu kami dengan rasa malu yang
begitu besar. Sesuai perjanjian semua harta bendamu
harus disita! Tapi... kiranya kalian membangkang. Ka-
lian pikir kehadiran bocah berperiuk itu mampu me-
lindungi dirimu dari hunjaman panah-panah kami...?"
"Untuk sebuah kebenaran kami tak pernah ta-
kut mati, Tumenggung keparat!" tantang saudagar Legawa tanpa merasa sungkan.
"Jahanam...!" geram Tumenggung Jayeng Rono.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi dia memberi isyarat
pada belasan prajurit pemanah.
"Bunuh mereka...!" teriak Tumenggung itu panik.
"Menepi dan berlindung tuan Legawa...!" perintah Buang Sengketa. Kemudian
laksana kilat dia han-
tamkan pukulan Empat Anasir Kehidupan, menyong-
song ratusan batang anak panah yang memburu ke
arah dirinya. "Brees...!"
Ratusan batang anak panah yang meluncur de-
ras ke arah dirinya hancur berkeping-keping di tengah jalan. Sedangkan yang
lainnya berpentalan ke segala
arah. Namun belum lagi si pemuda sempat menarik
nafas. Ratusan batang anak panah, kembali mendera
ke arahnya. Dengan mengandalkan jurus si Jadah
Terbuang, tubuh si pemuda bergerak cepat, menghin-
dar. Sekali lagi dia hantamkan pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang menimbulkan hawa panas itu ke arah
panah yang telah terlepas dari busurnya. Lagi-lagi ratusan batang anak panah itu
hancur berkeping-
keping. Tumenggung Jayeng Rono demi melihat kehe-
batan yang dimiliki oleh si pemuda nampak terkagum-
kagum, di samping rasa kejut yang bukan alang kepa-
lang. "Panah...!" Tumenggung Jayeng Rono sekali lagi memberi perintah. Dengan


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat pasukan pemanah
itupun mengerjakan apa yang dikatakan oleh atasan-
nya. "Edan! Kalau terus kuumbar pukulan-pukulan saktiku, lama-kelamaan tenagaku
bisa terkuras habis.
Padahal dalam tabung busur di punggung mereka
jumlah anak panah masih sedemikian banyaknya...!
Aku harus menghemat tenaga, sementara biarlah sau-
dagar Legawa dan putrinya bersembunyi di tempat
yang aman...!" batin pemuda titisan raja Ular Piton Utara ini di dalam hati.
Demikianlah saat ratusan anak panah itu kem-
bali menghunjam dirinya, tak ayal lagi, pemuda inipun lepaskan pukulan maut
pamungkas Si Hina Kelana
Merana, dengan disertai Lengkingan Ilmu Pemenggal
Roh. "Heiiikgh...!"
Pemuda ini melesat ke udara, begitu tubuhnya
berjumpalitan ke bawah. Maka diapun hantamkan
tangannya ke depan.
"Wuuuuss...!"
Serangkum gelombang sinar berwarna merah
menyala, menyambar ke arah ratusan batang anak
panah tadi, bahkan akibatnya tidak sampai disitu saja.
Ratusan batang anak panah itu hancur menjadi serpi-
han kecil, sedangkan pukulan itu terus menderu dan
menghantam belasan regu pemanah. Tubuh orang-
orang itu berpelantingan roboh dengan keadaan han-
gus. Sedangkan sisanya yang selamat, beberapa detik
kemudian juga tersungkur roboh. Semua yang terjadi
ini sudah pasti akibat lengkingan ilmu Pemenggal Roh.
Memang tak dapat disangkal karena ternyata dari te-
linga dan hidung mereka mengalirkan darah kental.
Tak satupun prajurit-prajurit Katemenggungan yang
tersisa, mereka semua roboh dalam keadaan mengge-
naskan. Sedangkan yang tertinggal adalah tiga orang
pentolan yang sudah jelas memiliki tenaga dalam yang
tinggi. Mereka itu antara lain, Kincir Angin, Jelatu dan Tumenggung Jayeng Rono
sendiri. "Tunggu apa lagi, manusia-manusia keparaat!"
"Jahanam, kau telah membunuhi semua anak
buahku hanya dalam waktu beberapa gebrakan saja!
Siapakah kau ini...!" bentak Jayeng Rono, masih belum hilang rasa
keterkejutannya.
"Ha... ha... ha...! Kalau kalian ingin tahu, akulah si Hina Kelana...?" kata si
pemuda. Hal ini tentu membuat terperanjat Kincir Angin
yang telah begitu banyak mengetahui tentang sepak
terjang pemuda keturunan negeri alam gaib itu. Jan-
gankan dirinya, sedangkan gurunya sendiri, yaitu Pa-
dri Mata Elang tewas di tangan Pendekar Golok Bun-
tung ketika terjadi pertempuran di Sindang Darah. Se-
dangkan ilmu kepandaian yang sekarang di milikinya
tak lebih dari apa yang diberikan oleh gurunya dulu.
"Ah, aku tak mungkin menandingi pemuda ini. Lesma-na sahabat yang akan kutolong
telah mati. Biarlah su-
atu saat kelak andai kepandaianku telah memenuhi
persaratan, akan kucari pemuda berkuncir itu...!" batin si Kincir Angin.
Selanjutnya tanpa menoleh-noleh
lagi, laki-laki berbadan kurus itupun pontang panting melarikan diri.
"Hei... saudara Kincir Angin, mau kemana
kau...?" tanya Tumenggung Jayeng Rono tidak mengerti.
"Ah... urusanku masih banyak! Aku segan ber-
hadapan dengan gembel itu! Uruslah persoalanmu
sendiri sampai selesai...!" kata Kincir Angin, dengan sekali berkelebat
lenyaplah orang itu dari pandangan
mereka. "Kau tak ikut-ikutan kabur Tumenggung
Jayeng Rono...?" sindir Buang Sengketa sambil menatap sinis pada sang
Tumenggung. "Aku tak sepengecut dia! Lihatlah, aku ingin
mengadu jiwa denganmu...!" teriak Tumenggung itu, selanjutnya dengan dibantu
oleh Jelatu. Kedua orang
ini segera menerjang ke arah lawannya dengan pedang
di tangan masing-masing. Buang Sengketa nampaknya
sudah memperhitungkan seberapa jauh kemampuan
yang dimiliki oleh seorang Tumenggung. Dia tak ingin
bertindak setengah-setengah. Tanpa menunggu lebih
lama. Pemuda dari negeri Bunian ini langsung menca-
but pusaka Golok Buntung yang terselip di bagian
pinggangnya. Suasana di sekeliling tempat itu menda-
dak berubah dingin luar biasa, dan Tumenggung
Jayeng Rono serta Jelatu menjadi lebih terkejut lagi
saat melihat senjata di tangan Buang Sengketa me-
mancarkan sinar merah menyala. Tapi mereka tak
sempat lagi berpikir lebih lama, karena saat-saat se-
lanjutnya senjata di tangan si pemuda telah menderu
mencecar pertahanan lawan.
Di luar sepengetahuan siapapun, kiranya ada
sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan sepak
terjang si pemuda dengan cermat. Pemilik sepasang
mata itu diam-diam mengagumi kehebatan yang dimi-
liki si pemuda. Namun di lain saat orang itupun tersenyum sinis.
"Dia berada di pihak saudagar Legawa! Pasti
pemuda berperiuk itu merupakan lawan yang paling
tangguh buatku. Aku yakin Pedang Asmara di tangan-
ku mampu mengatasi senjatanya yang berupa golok
buntung itu...!" batin si pemilik sepasang mata yang tak lain Andika adanya.
Tapi pemuda wajah coreng-moreng itu kemudian memusatkan perhatian ke arah
pertempuran saat mana dia mendengar jeritan salah
seorang dari mereka yang sedang bertempur. Saat itu
tubuh Jelatu, yaitu yang merupakan pembantu kedua
Tumenggung Jayeng Rono, nampak terhuyung-
huyung. Luka menganga di bagian lehernya begitu ba-
nyak menyemburkan darah. Tak lama setelahnya tu-
buh laki-laki itu terjengkang, berkelojotan sesaat kemudian diam untuk selama-
lamanya. Belum lagi hi-
lang keterkejutan pemuda dari Lembah Patah Hati ini,
lagi-lagi terdengar satu jeritan. Dan yang menjadi korbannya adalah Tumenggung
Jayeng Rono sendiri. Mata
pemuda itu membelalak, tapi kejadian itu tidak pernah mengurangi niatnya untuk
menghadapi pemuda itu.
"Sungguh Hebat... dalam waktu yang begitu singkat dia telah membunuh orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi." batinnya lagi. Sementara itu, Buang Sengketa
sudah menyarungkan pusaka Golok Buntung
ke dalam tempatnya. Saudagar Legawa dan Indah Dewi
datang menghampiri, dari sebuah tempat persembu-
nyiannya. "Pendekar yang sangat tangguh! Kau telah me-
nyelesaikan segala-galanya...!" puji Legawa sambil me-nepuk bahu si pemuda.
*** 9 "Segala-galanya belum berakhir, saudagar ter-
hormat! Kau belum membayar hutang nyawa dua
orang tukang kebunmu, yang dulu dibunuh dengan
cara menyiksanya. Hanya karena anaknya telah mena-
ruh cinta pada putrimu...!" kata Andika dari atas tembok pagar.
"Kakang Andika...!" pekik Indah Dewi membu-
ru. Tapi jawaban yang keluar dari mulut pemuda wa-
jah coreng-moreng menyambut dingin.
"Aku bukan Andika! Pemuda yang kau cintai
itu telah mati terkubur di dasar Lembah Patah Hati,
orang tuamu yang menyuruh dirinya untuk membu-
nuh diri. Haha... ha... ha...! Sedangkan aku adalah
orang yang mewakilinya, untuk menagih hutang nyawa
pada laki-laki yang bernama Legawa...!" berkata begitu, pemuda berjubah hitam
ini melompat turun dari atas
tembok pagar yang tingginya tidak lebih dari tiga me-
ter. Gerakan tubuhnya begitu ringan, dan tanpa me-
nimbulkan suara dia telah menjejakkan kakinya di de-
pan Buang Sengketa dan Legawa.
"Andika... aku menyadari kekeliruanku dulu.
Kalau sekarang engkau datang ingin menagih nyawa
padaku, aku rela untuk kau bunuh dengan cara apa-
pun, asalkan hatimu puas. Tapi jangan sakiti putriku, karena akulah yang
bersalah. Sedangkan putriku tak
tahu apa-apa...!" kata si saudagar, pasrah.
"Huh... sudah kukatakan aku bukan Andika!
Orang itu telah mati di Lembah Patah Hati...!" dengus Andika dengan sikap acuh.
"Baiklah kalau kau tak mengakui dirimu sendi-
ri, sekarang kalau kau menghendaki nyawaku, laku-
kanlah...!" kata saudagar Legawa.
"Kematianmu segera datang, secara pelan na-
mun pasti! Tapi sebelumnya aku akan menjajal sampai
di mana kehebatan yang dimiliki oleh pemuda berpe-
riuk yang selama ini menjadi kaki tanganmu...!"
"Kakang Andika! Jangan lakukan, kakang!
Orang itu selama ini telah banyak menolong keluarga-
ku dari maut...!" desis Indah Dewi dengan mata berka-ca-kaca.
"Sudah kukatakan aku bukan Andika! Pula apa
perdulimu jika aku ingin menjajal kehebatan manusia
gembel yang menjadi pelindung keluarga terhormat
saudagar Legawa...?" kertak Andika dengan sikap semakin bertambah acuh. Pedih
rasanya hati Indah Dewi
mendapat kenyataan seperti itu. Telah begitu dingin-
kah hati pemuda yang dulu pernah mencintai dirinya
dengan sepenuh hati" Dalam pada itu, Pendekar Hina
Kelana yang sudah merasa tersinggung. Langsung
membentak marah:
"Mulutmu keterlaluan sekali, Satria Pedang
Asmara! Tak pernah kusangka urusan asmara dalam
hidupmu kiranya merupakan persoalan yang sangat
besar dan paling berarti. Tapi tak kulihat orang-
orangmu turut serta bersamamu, apakah kau merasa
malu bila orang-orang itu tahu duduk persoalan yang
sebenarnya...?" sindir pendekar ini tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Itu bukan urusanmu... Cabut senjatamu, mari
kita buktikan siapa yang paling hebat di antara kita...!"
"Hiaaaat... Chaiiiit...!"
"Siiingg...!"
Menyadari yang menjadi lawannya kali ini ada-
lah seorang tokoh muda yang sangat tangguh. Maka
begitu menggerakkan tubuhnya mengawali serangan,
Satria Pedang Asmara langsung mencabut senjatanya
yang berwarna hitam kebiru-biruan.
"Tuan Legawa, Indah Dewi...! Menyingkirlah...!"
Perintah Buang Sengketa begitu merasakan hawa yang
sangat keji menyebar lewat sambaran-sambaran pe-
dang yang sangat ganas. Buang Sengketa melentikkan
tubuhnya ke udara, dengan mempergunakan jurus si
Gila Mengamuk dan juga jurus Si Jadah Terbuang. Ge-
rakan-gerakan silat kedua pemuda itu ternyata sangat
cepat luar biasa. Hanya dalam waktu yang begitu sing-
kat, pertempuran yang menentukan hidup matinya
kedua orang ini telah berlangsung lima belas jurus.
Keringat meleleh membasahi pakaian kedua belah pi-
hak. Tapi kenyataan ini malah membuat keduanya ba-
gai dirasuki iblis yang sudah siap saling bunuh. Satu ketika Andika sambil
membabatkan pedangnya yang
mengeluarkan bunyi aneh, juga lepaskan satu pukulan
yang diberi nama 'Menanti Kekasih Tidak Kunjung Da-
tang' Pukulan itu sesungguhnya tidak berwujud, na-
mun Buang dapat merasakan akibat yang ditimbul-
kannya. Begitu pukulan itu menderu ke arah pertaha-
nannya, tubuh Buang Sengketa terdorong beberapa
tindak, dada secara tiba-tiba terasa sesak dan sulit
bernafas. "Bangsat! Orang itu benar-benar bermaksud ingin membunuhku!" batinnya.
Tapi dia pun tidak
tinggal diam, lalu dia kerahkan tiga perempat tenaga
dalamnya. Selanjutnya pukulan si 'Hina Kelana Mera-
na' yang memancarkan cahaya merah menyala itupun
dia lepaskan dengan telak.
"Wuuus...!"
Serangkum gelombang berhawa panas luar bi-
asa menyongsong datangnya pukulan tanpa ujud yang
dilepas oleh Andika.
"Blaaam...!"
Akibat bertemunya dua kekuatan sakti itu
membuat tubuh keduanya terpelanting roboh. Masing-
masing lawan nampaknya sama-sama mendapat luka
dalam yang cukup berarti. Bahkan darah kentalpun
nampak meleleh dari celah hidung dan bibir mereka.
Namun bagai tak merasakan akibat apa-apa, Andika
cepat-cepat bangkit mengatur posisi. Pedang Asmara di tangannya terus bergetar
dan memperdengarkan suara
yang sangat aneh. Sementara itu Buang Sengketa sen-
diri saat itu dengan tertatih-tatih berusaha bangkit
dan mengatur pernafasan serta mengimpun tenaga da-
lamnya. "Hiaat...!"
Diiringi dengan satu jeritan tinggi melengking.
Tubuh Andika nampak melesat dengan senjata terhu-
nus. "Heiiikgh...!"
Di sertai lengkingan Ilmu Pemenggal Roh, pe-
muda itupun cabut senjatanya yang berupa Golok an-
dalan. "Nguuung...!"
Tak ayal lagi senjata yang memiliki pamor tinggi
itupun berputar sedemikian cepat membentuk perisai
diri. Secara peraktis tubuh Buang Sengketa terbung-
kus sinar Merah yang ditimbulkan oleh pusaka Golok
Buntung di tangannya. Dingin beradu dengan dingin
membuat tubuh masing-masing lawan terasa beku.
Tapi Buang Sengketa juga berusaha mengerahkan te-
naga dalamnya sebaik mungkin agar dirinya tak ter-
pengaruh dengan pamor pedang yang berada dalam
genggaman lawannya.
"Traaang...!"
Terlihat percikan bunga api berpijar manakala
dua buah senjata yang memiliki pamor tinggi itu saling berbenturan dengan keras.
Tangan masing-masing lawan sama-sama tergetar dan kesemutan. Sesaat kedua
pemuda yang sedang bertarung itupun terhuyung-
huyung. Dan merekapun sama-sama menyeringai. Ta-
pi kejab kemudian mereka telah terlibat lagi dalam pertarungan yang lebih seru.
Andika pun telah mengelua-


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rkan jurus pedang 'Hidup Hampa' yaitu jurus tingka-
tan terakhir yang dimilikinya.
"Haiiit...!"
Teriakan pemuda wajah coreng-moreng itu
membahana, terasa bagai merobek suasana pagi. Di
pihak Buang Sengketa, tanpa sungkan-sungkan lagi
segera pula mencabut senjata lain yang berupa Cam-
buk Gelap Sayuto.
"Nguung... Jdarr... Jdaar...!"
Cambuk itu melecut, akibat yang ditimbulkan-
nya sungguh membuat Andika jadi terperangah. Kea-
daan di sekelilingnya mendadak menjadi redup. Petir
dan halilintar sambung-menyambung, kemudian sua-
sana adalah kegelapan yang menakutkan. Tapi Andika
nampaknya sudah tiada memperdulikan keadaan ini.
Kemudian dia babatkan pedangnya, cambuk di tangan
Buang menyambut...!
"Praaang... Jdaaarr...!"
Cambuk di tangan pendekar Hina Kelana ber-
hasil melibat pertengahan Pedang Asmara yang berada
dalam genggaman Andika. Betot membetotpun akhir-
nya berlangsung. Masing-masing lawan mengerahkan
segenap tenaga dalamnya. Tapi keadaan tidak beru-
bah. Dan pabila Buang Sengketa teringat pada jurus
Koreng Seribu. Serta merta dia menarik balik tenaga
dalamnya. Anehnya Andika merasakan tenaganya am-
blas begitu saja, tubuhnya bagai tersedot oleh satu kekuatan yang tiada
kelihatan. "Lepas...!"
Dengan sekali sentak, pedang yang menimbul-
kan hawa aneh itupun telah berpindah tangan. Begitu
pedang itu berada di tangan Buang Sengketa, dia me-
rasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhnya.
"Pedang Iblis!" teriak si pemuda kemudian me-nyambitkan pedang di tangannya
dengan segenap ke-
kuatan yang dimilikinya.
"Ahhk, pedangku...!" rintih Andika, kemudian terhuyung-huyung. Selanjutnya
ambruk. "Maafkan aku, Indah Dewi...!"
"Kakang Andika...!" jerit Indah Dewi yang ternyata tetap mencintai pemuda itu.
"Bawalah dia! Dalam bimbinganmu, kurasa dia
dapat mengobati luka-luka hatinya!" kata Buang Sengketa. Dan dalam kegelapan
itu, pemuda keturunan ra-
ja dari negeri Bunian itupun berkelebat pergi. Tiada
yang mengetahui kepergiannya, sebab
saat itu saudagar Legawapun sedang sibuk mengurusi
calon mantunya yang dalam keadaan pingsan.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Asmara Mumi Tua 2 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Pecut Sakti Bajrakirana 11
^