Istana Langit Perak 1
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak Bagian 1
ISTANA LANGIT PERAK Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Istana Langit Perak
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.11
1 Ludiro terpaksa berguling ke tanah secara tiba-tiba, karena sebuah batu seukuran
genggaman tangannya
meluncur dari arah samping. Seseorang telah melem-
parkannya dari balik persembunyian. Andai kata Ludiro yang bertubuh sedikit
pendek itu tidak segera berguling ke depan, sudah pasti batu itu akan mengenai
pelipis-nya. Pelemparnya tergolong jitu dan mempunyai daya
lempar yang cukup cepat.
Sayang sekali Ludiro tak sempat memeriksa siapa
pelempar gelapnya itu. Karena begitu ia bangkit, hendak meneliti keadaan
sekitarnya, tahu-tahu ada dua batu
yang meluncur dari arah kiri dan kanannya. Sekali lagi Ludiro berguling ke depan
dalam keadaan tubuh menyentuh tanah.
"Bangsaaatt...! Keluar kau kalau berani....!" teriak Ludiro seraya berguling
lagi, karena kini tiga batu menyerang dalam satu arah. Salah satu batu ada yang
mengenai betisnya, namun ilmu kekebalan tubuh yang
ada pada Ludiro membuat lemparan itu bagai tak terasa menyentuh kulitnya.
Sebelum serangan batu datang lagi, Ludiro buru-
buru bersembunyi dari balik akar pohon yang berlapis-lapis bagai dinding papan
itu. Mata tuanya masih lugas bergerak nanar, mencari
pelempar gelap dari balik rimbunan semak berduri. Ia tak menemukan tanda-tanda
kehidupan di balik semak
itu. Ia mendengus kesal. Kemudian dengan satu gera-
kan menghentak, tubuhnya melenting bagai belalang
terbang, dan hinggap di sebuah dahan pohon tanpa su-
ara. "Setan mana yang berani membokongku tadi?" geru-tunya pelan sambil ia memeriksa
keadaan sekeliling da-
ri atas pohon. Sepi. Gerakan samar pun tak ada yang menimbulkan
kecurigaan. Geram dan dongkol hati Ludiro menghadapi serangan licik itu. Namun
ia tetap bersabar, berdiri di atas dahan sebuah pohon berdaun lebat, matanya
bergerak liar dan tangan kanannya siap memegang pedang
Jalak Pati yang terselip di pinggang kirinya.
"Pasti perbuatan orang iseng yang berjiwa pengecut!"
geramnya seraya hendak meninggalkan dahan pohon.
Namun tiba-tiba, sebatang dahan kering seukuran
lengan manusia dewasa meluncur ke arahnya. Dahan
kering itu melesat dari bawah menuju ke atas. Dada
atau kepala Ludiro yang menjadi sasarannya. Dahan itu meluncur dengan cepat
tanpa sempat diketahui Ludiro
siapa pelemparnya. Namun dengan cepat pula Ludiro
mencabut pedang Jalak Pati dan menangkis dahan itu
sehingga benda tersebut berubah arah, meluncur me-
nuju tempat di mana ia lemparkan tadi.
Harapan Ludiro, dahan kering itu akan mengenai pe-
lemparnya sendiri dari balik persembunyian. Tetapi,
ternyata dahan itu hanya menembus semak ilalang dan
rimbunan berduri. Hanya suara "Krrosaaaak...!" tanpa ada pekik seseorang yang
terkena dahan tersebut.
"Gila...! Siapa orangnya yang melakukan kelicikan seperti ini"!" geram Ludiro
seraya memasang kewaspa-daan, menoleh kian ke mari dengan pedang siap dite-
baskan. Ia pun berseru dengan jengkelnya:
"Hei, Setan kurap...! Keluar kau dari persembu-
nyianmu. Kalau memang kita ada urusan, selesaikan
secara jantan!"
Detik demi detik berlalu. Namun tak ada jawaban
apa pun yang didengar Ludiro. Hanya hembusan angin
yang sangat tipis, dan bahkan suara Krosak pun tak
terdengar sedikit pun. Sepi. Dan benar-benar sunyi.
Ludiro menyabarkan diri, menunggu dengan waspa-
da di atas pohon itu. Lama sekali ia tenggelam dalam kesunyian hutan yang berada
tak jauh dari pantai.
Mungkin penyerang gelap merasa bosan mempermain-
kan Ludiro, sehingga ia pergi begitu saja setelah beberapa serangan gelapnya tak
berhasil mengenai tubuh
Ludiro. Karena merasa aman, Ludiro pun bergegas turun da-
ri atas pohon. Tapi baru saja ia merendahkan kaki hendak meloncat ke bawah,
tahu-tahu beberapa batu me-
luncur dari arah belakangnya dengan cepat. Ludiro merasakan ada hembusan angin
yang menuju ke arah
punggungnya. Segera ia berbalik sambil mengibaskan
pedang Jalak Pati. Terdengar bunyi, "tring... tring....
tring... buk!" Salah satu batu menghantam dada Ludiro dengan keras. Memang tidak
menimbulkan luka, namun hentakannya yang keras itu membuat Ludiro ter-
jengkang ke belakang, dan jatuh dari atas pohon. Un-
tung ia segera bersalto ke belakang dua kali, sehingga tubuhnya dapat menapak ke
tanah kembali dengan mulus.
"Keluar kau, Jahanaaaaam....!" teriak Ludiro sangat marah. Karena lama tak
terdengar jawaban dan tak ada serangan lagi, Ludiro merasa benar-benar
dipermainkan oleh musuh gelapnya.
Segera ia memasukkan pedang Jalak Pati ke sarung-
nya. Dengan hati bergetar karena marah, Ludiro men-
cabut Cambuk Naga yang bertengger di pundaknya.
Cambuk itu bergagang hitam, terbuat dari serat sutra warna putih. Namun senjata
warisan Putri Ayu Sekar
Pamikat itu memang mempunyai kekuatan yang luar
biasa. Ludiro melecutkan cambuk tersebut ke udara
dengan satu gerakan yang belum pernah dilakukan
olehnya, yaitu gerakan memutarkan cambuk di udara
bagai sedang mengelilingi bagian atas kepalanya. Dan memang seperti yang sudah-
sudah, Ludiro selalu tidak
mengerti harus bergerak bagaimana dalam mengguna-
kan cambuk itu. Namun, biasanya tangan dan kakinya
bergerak sendiri, bagai ia sedang melancarkan satu jurus untuk senjata Cambuk
Naga itu. Sehingga, kali ini pun ia sedikit heran dan kagum, karena gerakan
memutar dari cambuk itu menimbulkan letupan beberapa
kali: "Taar...tar...taar... tar...taaar...!"
Pada saat itu pula, dari ujung cambuk keluar kilatan api yang bagai memercik ke
sana-sini. Ludiro sendiri heran dan tidak tahu jurus apa itu namanya. Yang
jelas, ia segera menghentikan gerakan memutar cambuk
di udara setelah ia tahu bahwa rumput ilalang dan semak berduri mulai terbakar
di sana-sini. Api menyala dan menjadi makin berkobar. Ludiro kebingungan
sendiri, lalu segera melesat cepat ke arah lain, ke tempat yang belum terbakar.
Tempat itu lebih mendekati tepian hutan dan lebih lega dari tempat semula. Dari
situ ia dapat melihat hutan yang terbakar dengan asap kian
lama semakin menebal.
Bukan nyala api yang ditunggu Ludiro, tapi kemun-
culan penyerang gelapnya yang diharapkan muncul ka-
rena terkurung api. Ternyata, sampai beberapa lama,
tak satu pun manusia yang kelihatan muncul atau ber-
gerak melarikan diri dari kobaran api tersebut. Sepertinya di hutan itu hanya
ada Ludiro seorang diri.
"Brengsek...!" geram Ludiro dengan hati menjadi semakin dongkol dan penasaran
kepada penyerang gelap-
nya. "Ia mampu bertahan dalam kobaran api. Manusia atau setan sebenarnya dia
itu" Gila! Betul-betul gila!
Aku dipermainkan dengan seenaknya. Apa maksud
orang itu sebenarnya?"
Ludiro memasukkan Cambuk Naga pada tempatnya
yang melekat pada punggung. Ia menghempaskan nafas
panjang dalam satu kekesalan. Sekali lagi ia mencoba bersabar untuk menunggu
kemunculan penyerang ge-
lapnya, namun tetap saja tak ada yang muncul. Padahal menurut perkiraan Ludiro,
mereka lebih dari satu
orang. Buktinya mereka mampu menyerang dengan ba-
tu dari beberapa arah secara bersamaan.
"Ah, untuk apa mengurus kelicikan gila ini"!" pikir Ludiro. "Tugasku adalah
pergi ke Pulau Kramat dan menolong Jaka Bego dari cengkeraman Nyai Katri,
penguasa pulau tersebut. Kasihan Jaka jika ia harus mati dengan sia-sia di
sana..." Ludiro melangkah dengan tenang, namun gerakannya tetap seperti lompatan
anak kijang menembus hutan. Ia tak mau peduli lagi dengan penyerang gelapnya.
Baginya, lebih cepat mencapai
pantai lebih baik, dan ia akan segera menyeberangi lautan, menuju Pulau Kramat
tempat Jaka Bego ditawan.
Namun ketika ia tiba di pantai, langkahnya terhenti
seketika, dan tubuhnya merunduk dengan rendah, nya-
ris jongkok di tempat. Sebuah batu karang lebih besar dari kepalan tangannya
melayang dari arah samping ki-ri. Batu itu bagai dilemparkan dengan tenaga dalam
sehingga gerakannya mirip seulas sinar membias dan me-
nyerang Ludiro. Untung Ludiro sigap, sehingga batu itu melesat di atas
kepalanya, dan membentur tebing karang yang berada jauh di sebelah kanan Ludiro.
Terdengar suara dentuman kecil akibat benturan batu karang dengan tebing.
Dentuman itu pun mengakibatkan tebing karang rontok sebagian dan batu
pelemparnya han-
cur bagai debu.
"Edan! Pasti orang berilmu tinggi yang menyerangku dari tadi itu," kata Ludiro
dalam hati sambil memandang kagum terhadap benturan batu karang tersebut.
"Untung bukan kepalaku yang terkena batu karang itu.
Untung hanya tebing kokoh yang akhirnya rontok juga
sebagian bebatuannya."
Ludiro mencari-cari penyerangnya. Hatinya sangat
jengkel. Ia pun berteriak keras-keras, "Setaaaaan...! Di
mana kamu"! Keluaaar...! Keluar...! Hadapi aku secara jantan, Kunyuk...!"
Deburan ombak samar-samar bagai sebuah riak
laut. Tak ada jawaban dan kata. Ludiro memeriksa
tempat datangnya lemparan tadi, namun ia tidak meli-
hat sesuatu yang mencurigakan. Tapak manusia pun
tak ada di sana. Kesal sekali hati Ludiro. Akhirnya dengan beberapa kali
gerakan, Ludiro bersalto ke udara
dan memekik, "Ciaaaatt...!"
Senjata rahasianya yang berupa mata pisau kecil itu
meluncur di beberapa arah dan mengenai beberapa
tempat belukar. Sekali lagi Ludiro melesat sambil bersalto di udara, tangannya
bergerak cepat melemparkan senjata rahasianya yang sudah jarang terpakai. Namun
senjata-senjata itu bagai mengenai tempat kosong. Tak ada suara orang mengaduh
atau memekik kesakitan.
Berarti tak ada seseorang yang terkena lemparan senja-ta rahasia beracun itu.
Ludiro berseru, "Pengecut...! Keluarlah! Ayo, kita bertanding secara ksatria!
Jangan main sembunyi-sembunyi seperti tikus sawah!"
Tiba-tiba Ludiro bergerak cepat, merundukkan kepa-
la dalam posisi miring ke kiri dan tangannya bergerak cepat ke atas, menangkap
satu benda yang dilemparkan dari arah tak diketahui. Benda itu berdesing lembut,
ta-pi telinga Ludiro mampu menangkap desingan itu, se-
hingga dengan cepat dan tangkas ia pun berhasil me-
nangkap benda itu ke dalam genggamannya.
"Seet...!"
Ludiro tercengang melihat benda yang ditangkapnya
dengan tangan kanan itu. Ternyata sebuah senjata rahasia berupa mata pisau
beracun. Senjatanya sendiri.
"Biadab...! Ini senjataku sendiri yang dikembalikan oleh penyerang gelapku.
Gila! Edan! Apa-apaan sebenarnya ini" Siapa dia" Atau mereka" Atau..." Ludiro
memandang nanar ke arah tempat datangnya lemparan
tersebut. Ia masih menggenggam senjata rahasianya
sendiri sambil mencari-cari sesuatu yang bisa menim-
bulkan kecurigaan. Ia berseru:
"Baiklah, Kawan..! Aku tak mau melawan seorang
perempuan! Sebaiknya kita lupakan saja masalah ini
dan kau kuanggap menang! Aku tak mau melayanimu!"
Dari suatu tempat balik pohon, ada suara yang me-
nyahut: "Aku bukan perempuan, Babi!"
Ludiro terperanjat, kini mulai menegang karena se-
bentar lagi ia pasti akan mengetahui siapa penyerang gelapnya itu.
"Kau bohong, Kawan. Kau pasti seorang perempuan.
Kau dapat merasakan kebancianmu, Kawan!" Ludiro sengaja membuat panas hati
lawannya dengan penghi-naan itu.
"Bagaimana dengan kebancianmu, ha" Kamu tidak
bisa temukan aku, ha"! Kamu tolol!"
Ludiro agak berkerut dahi. Suara orang itu seper-
tinya aneh. Punya nada dan aksen tersendiri. Ludiro
memancing pembicaraan lagi, "Apakah aku perlu menemukan kamu"! Apakah aku perlu
datang kepadamu
dan memenggal kepalamu"!"
"Sebaiknya begitulah...!"
O, rupanya suara itu datang bukan dari semak atau
balik pohon, melainkan dari atas pohon. Tapi pohon
yang mana, Ludiro masih bingung memastikannya. Ia
hanya berkata lagi:
"Apa kau tak menyesal kalau aku memenggal kepa-
lamu"!"
Ludiro segera memasang telinga baik-baik, menyi-
mak arah jawaban yang akan didengarnya. Suara itu
mengatakan: "Tidak mungkin aku menyesal, karena sebelum ka-
mu memenggal kepalaku, kepalamu sudah akan hancur
lebih dulu!"
Begitu mengetahui arah datangnya suara, Ludiro se-
gera melemparkan senjata rahasianya itu ke arah atas pohon berdaun lebat.
Senjata mata pisau kecil itu melesat cepat, menembus rimbunan daun. Lalu Ludiro
me- nunggu suara orang mengaduh atau pekik kesakitan.
Tetapi tidak ada suara itu. Ini pertanda senjata tidak mengenai tubuh lawannya.
Sebetulnya, justru sekarang Ludiro mendengar suara berdesing lembut menuju
arahnya. Ludiro segera bersalto ke udara dengan posisi tangannya menukik ke
bawah, lalu menangkap sesuatu
yang terlempar dari atas pohon tersebut.
Oh, ternyata senjata rahasianya yang tadi kembali
lagi dari balik rimbunan daun pohon itu. Ini menandakan bahwa ketangkasan orang
yang bersembunyi tak
dapat dianggap remeh. Orang itu seperti punya ilmu
yang cukup tinggi dan cukup membahayakan. Buk-
tinya, sudah dua kali ia mampu menangkap senjata ra-
hasia dari Ludiro, dan bahkan mampu mengembalikan
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi dengan suatu serangan yang membuat Ludiro sedi-
kit terteter. Tangan Ludiro sudah hendak mencabut Cambuk
Naga untuk membuat semua daun terbakar. Tetapi
niatnya itu tertunda, karena seorang lelaki telah muncul dari balik kerimbunan
daun. Ia meloncat dalam satu gerakan ringan, turun dari atas pohon. Ia berdiri
tegap dan sigap menghadap Ludiro.
"Apakah aku seorang perempuan?" katanya, dan Ludiro masih terpana beberapa saat.
Ludiro merasa belum mengenal lelaki tinggi, tegap
dengan rambut putih semua, sama putihnya dengan
rambut Ludiro sendiri. Lelaki itu mengenakan pakaian hitam, baju lengan panjang
yang dilapisi rompi merah sepanjang bawah perut. Ia bermata sipit, tajam, dan
berkumis melengkung ke bawah hingga di dagu. Cela-
nanya hitam berhias garis kuning emas di bagian te-
piannya. Alas kakinya berupa sepatu kulit binatang
yang panjangnya nyaris sampai ke betis. Ia menampak-
kan betul sosok seorang keturunan Tiongkok.
Rompi merahnya yang panjang itu berhias benang
emas membentuk sirip ikan atau sisik ikan yang lebar-lebar. Ludiro dapat
memastikan rompi itu cukup berat karena agaknya terbuat dari campuran logam
dengan kain. Mungkin itu merupakan baju anti senjata tajam
yang menjadi pelindung bagian tubuhnya. Sedangkan
ikat pinggang yang dikenakan mirip seutas tali besar, namun terbuat dari lapisan
kain dan pada kedua
ujungnya terdapat logam runcing berbentuk mata tom-
bak sebesar telinganya yang caplang. Agaknya, ikat
pinggang itulah satu-satunya senjata yang dimiliki lelaki bermata sipit namun
tajam itu. Badannya memang sedikit gemuk, tapi bukan gendut. Sikapnya berdiri
yang menaruh kedua tangannya di belakang itu menampakkan betul bahwa ia orang
berilmu tinggi, sekaligus merupakan orang terhormat di kalangannya. Tapi aneh-
nya, ia hanya sendirian, tanpa pendamping satu pun.
Keadaan pakaiannya pun tidak begitu rapi, ada bebera-pa bagian yang robek,
terutama pada bagian lengan. Ini menandakan bahwa ia habis melakukan perjalanan
jauh, atau setidaknya habis menemukan malapetaka
yang tak sempat merenggut nyawanya.
Ludiro sejak tadi memperhatikan lelaki Cina dengan
dahi berkerut. Bahkan di hati Ludiro mencoba-coba
menerka apa maksud lelaki itu menyerangnya"
"Kamu heran melihat aku, ha?" kata lelaki itu seraya melangkah mendekat beberapa
kali. "Kita memang belum pernah saling berjumpa, bu-
kan?" Senyum sinis tersungging di bibir lelaki itu. "Mungkin memang baru kali ini kita
berjumpa. Tetapi aku ma-
sih ingat wajahmu, ketika kau menghancurkan anak
buahku dan kapalku di sebuah pantai..." (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO).
Ludiro semakin berkerut dan bersungut-sungut. Le-
laki itu makin mendekat dengan kedua tangan masih
bertaut di belakang pinggangnya.
"Aku Laksamana Chou...! Aku ayah dari gadis Yin Yin yang diculik oleh pemuda
picisan, dan kau telah
menghambat gerakan anak buahku yang ingin mencari
pemuda itu. Kau telah membantai mereka, lalu meng-
hancurkan kapalku dengan isinya. Sekarang, sudah
saatnya aku menuntut balas kekejianmu!"
Ludiro manggut-manggut dengan tenang. Kini ia in-
gat peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika ia bertarung melawan orang-orang
Tiongkok di sebuah pantai.
Pada waktu itu mereka sedang memburu Jaka Bego un-
tuk mengorek keterangan di mana Yin Yin, putri Lak-
samana Chou itu disembunyikan. Sebenarnya, mereka
hanya salah sangka. Karena sesungguhnya yang mela-
rikan gadis Yin Yin itu adalah Ekayana, saudara kem-
bar Lanangseta. Tapi Laksamana Chou menuduh La-
nangseta itulah yang membawa kabur anak gadisnya.
Laksamana Chou hanya tahu, bahwa Ludiro dan Jaka
Bego adalah orang-orangnya Lanangseta.
"Bersiaplah untuk mati dengan tersiksa..!" kata Laksamana Chou yang sudah tidak
menautkan kedua tan-
gan ke belakang. Ia bersiap mengadakan pertarungan
dengan Ludiro. "Tunggu! Tahan emosimu, Laksamana. Kita jangan
sampai salah anggapan dan menjadi korban kare-
nanya." "Aku tidak salah anggapan. Aku melihat sendiri dari teropong di kapalku, bahwa
kaulah orangnya yang
membantai semua anak buahku, kecuali si pengkhianat
Huang Pai!"
"Memang. Memang aku yang membantai mereka, te-
tapi itu karena mereka salah anggapan juga, dan aku
terpaksa mempertahankan diri daripada harus mati di
tangan anak buahmu!" kata Ludiro tetap menjaga ke-siagaan. "Ketahuilah,
Laksamana Chou, bahwa putrimu, Yin Yin itu, ada di tangan Pendekar Maha Pedang
yang bernama Ekayana. Dan aku bukan orangnya
Ekayana. Aku ada di pihak Lanangseta, Si Pendekar
Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti!"
Chou menuding Ludiro dengan geram, "Kau tidak
perlu mengulur-ulur waktu, sekarang saatnya aku me-
nuntut balas atas kematian anak buahku dan kehancu-
ran kapalku!"
Tiba-tiba dari tangan yang menunjuk itu keluarlah
semacam kabut tipis yang melesat bagai disemburkan
dari ujung telunjuk. Ludiro buru-buru menghindar dengan menghentakkan kaki dan
menjadi melambung, me-
lesat ke arah Laksamana Chou. Kaki Ludiro miring, lurus, menerjang kepala
Laksamana Chou. Namun tan-
gan Laksamana menepaknya sebagai sebuah selendang
yang menyabet mata kaki Ludiro.
Sabetan itu cukup lembut dan pelan, namun mampu
membuat tubuh Ludiro bagai dilemparkan oleh suatu
tenaga yang cukup kuat. Ludiro jatuh tanpa bisa men-
gatur keseimbangan tubuhnya. Kaki Chou menghentak
ke tanah kuat-kuat. Andai Ludiro tidak berguling ke ki-ri, maka kepala Ludirolah
yang akan terkena hentakan kaki tersebut. Ludiro tahu kalau kaki Laksamana yang
satu pasti akan menyusul menyerangnya, namun sebelum hal itu terjadi, Ludiro
telah mengirimkan jurus
Tendangan Dewa Mimpinya. Ia berputar dengan ping-
gulnya, lalu kedua kakinya menendang ke atas dalam
kecepatan yang luar biasa sehingga kedua kaki itu
mengenai paha dan selangkangan Laksamana Chou.
Akibatnya, Laksamana Chou menyeringai kesakitan,
dan ia buru-buru melompat mundur sampai beberapa
langkah. "Kuingatkan sekali lagi," kata Ludiro yang telah berdiri tegak, "Jangan kita
menjadi korban hawa nafsu, Laksamana. Pertarungan ini adalah pertarungan sia-
sia!" "Jahanam kau! Kau boleh menganggap pertarungan
ini sebagai pertarungan sia-sia, tetapi aku merasa di-tuntut oleh sekian banyak
arwah anak buahku yang
mati di tanganmu. Dan saat ini mereka mendesakku
untuk segera membunuhmu. Karena itu, sekarang te-
rimalah jurus Paruh Rajawaliku, hiiiaaat...!"
Kedua tangan Laksamana terangkat ke depan wa-
jahnya, menampakkan kedua jari di masing-masing
tangan yang mengeras. Kaki Laksamana terangkat ber-
satu, juga ke depan, seakan seekor Rajawali yang siap mencocok ubun-ubun
manusia. Ludiro masih memandangi gerakan jurus yang terasa aneh baginya itu. Ia
mundur satu langkah pada saat kaki Laksamana Chou
yang kiri maju ke depan dengan kedua tangan memben-
tang kokoh, sekuat kedua jari yang mengeras bagai besi itu. Lalu gerakan tangan
Laksamana menyilang dan
bergerak-gerak cepat membingungkan penglihatan. Pa-
da saat itu, ia berguling ke tanah beberapa kali, dan berhenti tepat di bawah
Ludiro. Lalu dengan cepat kedua tangannya menotok masing-masing kaki Ludiro
dengan keras. Ludiro hanya berkelit, mengangkat kedua kakinya menghindari
totokan yang mungkin berbahaya.
Dengan cepat kaki kanan Ludiro menendang dagu Lak-
samana Chou. Lelaki sipit dan berkumis melengkung
sampai di dagu itu terdongak seketika. Tetapi di luar dugaan, kedua kakinya
melengkung ke atas, dengan
posisi dada masih menempel di tanah. Kedua kaki yang melengkung itu bergerak
cepat, hingga sampai ke bagian depan. Pada saat itu kedua tangan Laksamana
Chou menghentak ke tanah, sehingga meluncurlah tu-
buh itu dalam keadaan telentang. Kaki terarah ke dada Ludiro dan keduanya
menjejak Ludiro dengan keras.
Laksamana Chou tak memberi kesempatan Ludiro
untuk bertindak memberi serangan balik. Laksamana
sudah lebih dulu mengandalkan kekuatan jari-jarinya
untuk menembus dada Ludiro. Tetapi dengan sigap
tangan Ludiro menangkis tiap pukulan.
"Hiaaat...! Hiiaat...! Hiiat...!"
"Huaaah...! Huuh...! Huuh...!" Ludiro menangkis serangan ke dada, ke leher, ke
perut, ke mata dan kemana saja arah kedua jurus tangan menotok itu ditangkisnya
dengan cepat. Namun pada satu kesempatan, Ludiro
berhasil menyodokkan lututnya ke perut Laksamana
dalam posisi tubuh miring ke kiri dan merendah. Lutut Ludiro masuk telak
mengenai ulu hati Laksamana sehingga lelaki berbaju hitam itu mendelik bagai
sukar bernafas. Pada saat tubuh Laksamana mengejang itulah Ludiro menghantam
dada Laksamana dengan pukulan
ganda. Akibatnya, tubuh Laksamana terpental ke bela-
kang dengan mulut menyemburkan darah kental. Ia
terhuyung-huyung. Mengusap darah di mulutnya den-
gan lengan baju dan siap menerjang Ludiro. Kalau saja Ludiro tidak berkelit
dengan melambung ke atas,
mungkin ia akan terkena tendangan beruntun dari kaki Laksamana Chou.
"Hiaaaat...!" Ludiro memekik seraya bersalto dan kakinya dapat mendarat di
pundak Laksamana Chou. Ia
ingin menghantamkan tinjunya ke ubun-ubun Laksa-
mana Chou, namun dengan cepat dan di luar dugaan,
Laksamana Chou menggerakkan kakinya ke atas. Lu-
tutnya hampir mencium hidung sendiri, dan pada saat
itu tendangan kuat mengenai punggung Ludiro. Henta-
kan kaki itu sangat keras, sehingga Ludiro mengerang kesakitan dengan tubuh
terguling ke bawah. Ludiro be-
lum sempat berdiri pada saat itu kaki Laksamana me-
nendang sekali lagi dengan tendangan putar yang amat keras. Kaki Laksamana
dengan telak menghajar rahang
Ludiro, sehingga Ludiro terjengkang ke belakang dan
terguling-guling. Posisi Ludiro telentang pada saat itu.
Dan Laksamana menyerangnya dengan jurus totok ke-
dua jari yang kekar bagai besi itu. Ludiro masih sempat menangkis setiap
serangan balik dengan tangan atau
dengan kaki yang mengibas kian ke mari.
"Hiaaaaaat...!" Tubuh Ludiro berputar di tanah dengan menggunakan punggungnya.
Tendangan Dewa kembali menerjang perut Laksamana dengan kuat se-
hingga tubuh Laksamana terpental, melambung ke
atas. Ludiro segera berguling dan berdiri tegap dengan kepala sedikit pusing.
Sewaktu kaki Laksamana hampir menempel pada
tanah, Ludiro buru-buru menyerangnya dengan satu
pukulan tangan kanan ke arah perut laksamana. Tetapi pukulan itu di tangkis
dengan telapak kaki Laksamana sehingga pergelangan tangan Ludiro merasa ngilu.
Ludiro sempat terpelanting terputar tubuhnya, dan pada
saat itulah tangan Laksamana menyerobot cepat sambil ia melayangkan tubuh ke
atas. Ludiro tak sadar apa
yang telah terjadi. Ia bergegas untuk mencabut pedang Jalak Patinya, namun
gerakannya itu terhenti, karena ia melihat laksamana Chou telah berdiri dengan
menggenggam Cambuk Naga.
Mata Ludiro terbelalak kaget dengan mulut terngan-
ga. Sementara itu, Laksamana Chou sengaja mengambil
posisi agak menjauhi Ludiro. Ia tersenyum getir seraya mengacungkan tangan yang
memegang Cambuk Naga.
"Kau akan mati oleh pusakamu sendiri, Iblis Bu-
suk...!" Laksamana Chou tertawa. "Tapi bukan sekarang kau harus mati. Aku punya
gagasan untuk menukar
cambuk ini dengan Yin Yin putriku! Serahkan putriku
Yi Yin, maka kau boleh mengambil cambuk ini, itu pun kau harus merebutnya!"
"Tunggu...!" Laksamana Chou melesat seperti kilasan cahaya kemerah-merahan.
Ludiro terbengong, cambuknya hilang.
*** 2 Tanpa menunggu banyak pertimbangan, Ludiro pun
melesat mengejar laksamana Chou.
"Berhenti kau, Bajingan...! Berhenti...!" Ludiro berteriak keras dalam luapan
amarahnya. Betapa pun ja-
dinya, Ludiro tetap harus mengejar Cambuk Naga yang
berhasil diserobot oleh Laksamana Chou. Barangkali
Laksamana Chou telah mengetahui letak kekuatan Lu-
diro ada pada cambuk tersebut. Barangkali juga ia telah melihat betapa
dahsyatnya Cambuk Naga itu sewaktu
dipakai melawan sekian banyaknya anak buahnya. Sa-
mudra bisa bergolak dan kapalnya pun tunggang lang-
gang diterbalikkan oleh kekuatan yang ada pada cam-
buk tersebut. Karena itu, mungkin sejak awalnya me-
mang sudah menjadi rencana Laksamana Chou, bahwa
ia harus bisa mencuri cambuk yang selalu disandang di pundak Ludiro.
Sementara itu, Ludiro sendiri tidak mau kehilangan
pusaka warisan bekas putri asuhannya, yaitu Sekar
Pamikat. Memang tanpa cambuk itu pun Ludiro telah
mempunyai suatu keistimewaan, yaitu tubuhnya tak
dapat digores oleh senjata tajam. Ia telah menjadi kebal karena makan lumut
bercahaya yang ditemukan dalam
goa Malaikat, (dalam kisah RAHASIA SENDANG
BANGKAI). Tetapi, tanggung jawabnya terhadap tugas
merawat dan menjaga dua pusaka: Cambuk Naga dan
Pedang Jalak Pati milik Sekar Pamikat, itulah yang
membuat ia harus mengejar Laksamana Chou.
"Laksamana Chou...! Laksamana Chou...! Kita bertanding secara ksatria...!
Bangsat, kau...!" Ludiro me-nyumpah-nyumpah dalam kemarahan ia seraya ia ber-
lari bagai kilat.
Namun agaknya ia telah kehilangan jejak. Ia menyu-
suri pantai, tepian hutan, juga tak terlihat jejak Laksamana Chou. Ia bergegas
naik ke bukit karang yang ada di tepi pantai, siapa tahu Laksamana Chou ada di
sana. Namun yang ia temui justru keadaan lain.
Ia melihat sosok wanita berdiri di tepi tebing dari bukit karang itu. Di samping
dari situ ia bisa melihat gugusan Pulau Kramat yang ada di tengah lautan, juga
ia telah menemukan sosok wanita tanpa daya berpakaian
serba hitam. Mulanya ia mengira Laksamana Chou, te-
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi setelah ia memperhatikan rambut panjang terurai dan dipermainkan angin
pantai itu, ia yakin betul bahwa perempuan itu adalah Mahani, anak Pak Lodang
yang dulu diselamatkan oleh Lanangseta dari cengke-
raman Adipati Legowo. Ludiro mengenal betul siapa gadis itu, sebab waktu itu ia
pula yang mengawal keluarga Lodang mengungsi ke desa Tayub.
"Mahani..." sapa Ludiro dengan hati-hati.
Mahani berpaling menampakkan wajahnya yang pe-
nuh tangis serta luka memar. Di sudut mata kirinya
tampak membiru, ujung bibirnya berdarah, kering. Ba-
gian atas alisnya yang tebal itu tergores luka yang sudah mengering namun masih
kelihatan memerah.
"Paman Ludiro..." Mahani menyapa pelan, namun ia masih berdiri di tepian tebing.
Satu kali ia melangkah, maka tubuhnya akan hancur dihunjam karang-karang
runcing yang bercuatan di dasar tebing itu. Ludiro sedikit curiga melihat
keadaan Mahani seperti itu. Pasti ada sesuatu yang ingin dilakukan gadis
berkulit sawo ma-
tang itu. "Mahani, apa yang telah terjadi?" Ludiro mendekat pelan-pelan.
"Jangan mendekati, Paman...! Jangan mendekat...!"
tangis Mahani menghambur tersengguk-sengguk.
Semakin heran saja Ludiro melihat keanehan terse-
but. "Mahani, tolong jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?" Ludiro berhenti melangkah.
"Apa yang telah terjadi padamu dan apa yang akan kau lakukan di tepi teb-
ing itu?" Mahani menggeleng. Mengisak dalam tangisnya.
Keadaannya yang berpaling sangat mengkhawatirkan
hati Ludiro. Sekali kakinya terpeleset, maka tamatlah riwayat Mahani.
"Mahani tolong jelaskan segalanya yang terjadi..."
Ludiro sengaja bicara dengan hati-hati.
"Aku ingin mati, Paman..." jawab Mahani mengisak sekali lagi.
Ludiro semakin berkerut dahi. "Ada apa kau sebenarnya" Mengapa kau berkata
begitu, Mahani?"
"Lanangseta, Paman...! Lanangseta... ooh..." Mahani menangis semakin jadi. Ia
menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya.
"Mengapa dengan Lanangseta?"
"Ia kejam. Kejam sekali, Paman...!"
Ludiro merasa bingung dengan kalimat demi kalimat
yang diucapkan Mahani.
"Bagaimana kalau kita bicara baik-baik, Mahani.
Pergilah dari situ, nanti kau tergelincir jatuh ke bawah."
"Biar! Memang itu tujuanku. Mati!"
Ludiro menggeleng-geleng samar, sekalipun Mahani
tidak melihatnya. "Agaknya anak ini mau bunuh diri,"
pikir Ludiro yang kemudian mengambil sikap hati-hati, berusaha mengulur niat
Mahani, syukur bisa menunda
langkah picik gadis itu.
Ludiro memperlihatkan sikapnya yang tenang, seka-
lipun sebenarnya menyimpan kecemasan yang mende-
barkan hati. "Mungkin aku bisa menolongmu, Mahani. Bicaralah dengan tenang dan menjauhlah
dari tepi tebing."
"Tidak! Tidak ada yang bisa menolongku! Hatiku telah dihancurkan oleh
Lanangseta, ia membiarkan ga-
disnya menyiksaku seperti ini, Paman..." Mahani memperlihatkan beberapa luka di
pundak, atas dada, serta di tangannya.
Agak janggal rasanya jika gadis Lanangseta setega
itu melakukan penyiksaan kepada Mahani. Jika benar
kata-kata Mahani, berarti Kirana itulah yang dimaksud gadis Lanangseta. Sebab
Kirana, putri Bukit Badai itulah yang menjadi istri Lanangseta secara syah.
Menurut Ludiro, tak mungkin Kirana akan berbuat setega itu. Ia kenal betul,
bahwa Kirana seorang perempuan yang
anggun dan berwibawa. Ia memang bisa berbuat kejam,
tapi terhadap lawan yang kasar dan ganas. Bukan ter-
hadap gadis selugu Mahani.
"Mahani, dalam keadaan serba sedih dan gelap, memang tak terlihat ada kesempatan
untuk bisa lolos. Tapi kalau kita mau menenangkan diri dan berbagi kesedi-han
dengan orang lain, pasti ada jalan keluar dari masalah yang kau hadapi. Nah,
sekarang tolong ceritakan, masalah apa yang kau hadapi sebenarnya. Sehingga
kau hendak mengambil jalan picik itu"!"
Mahani masih mengisak beberapa kali, dan Ludiro
bersabar. Beberapa saat kemudian, Mahani pun mence-
ritakan apa yang telah dialaminya.
*** Agaknya selama ini Mahani benar-benar ingin men-
jadi pendamping hidup Lanangseta. Ia sangat mencintai
pendekar muda yang tampan itu. Tetapi, hatinya men-
jadi hancur ketika ia mendengar kabar bahwa Lanang-
seta hendak menikah dengan perempuan lain. Kemu-
dian ia berlari dari rumah, mencari Lanangseta dan
bermaksud menggagalkan perkawinan Lanangseta den-
gan Kirana. Dalam pelariannya itu, ia sempat bertemu dengan
seorang gadis Cina. Gadis itu sedang bermesraan den-
gan Ekayana, adik kembar Lanangseta. Lalu, Mahani
mengamuk dalam keadaan tanpa memiliki ilmu bela diri sedikit pun. Peristiwa itu
pernah dipergoki oleh Ludiro dan Jaka Bego, yang kemudian dijelaskan oleh
Ludiro, bahwa orang yang disangka Mahani sebagai Lanangseta
itu sebenarnya adalah Pendekar Maha Pedang. Ekaya-
na. Adik kembar Lanangseta. Sedangkan pada waktu
itu, Jaka Bego mengatakan bahwa Lanangseta sendiri
saat ini sedang mengejar pencuri Bunga Teratai Wingit di Pulau Kramat. Maka
seketika itu pula Mahani pergi mengejar Lanangseta ke pantai yang akan menjadi
jalur perjalanan Lanang menuju Pulau Kramat. Mahani bermaksud mencegat
perjalanan Lanangseta untuk mengu-
tarakan cinta dan kesetiaannya. Memang selama ini ia belum mengutarakan isi
hatinya yang sebenarnya kepada Lanang. Karena itu, ia lekas-lekas meninggalkan
Ludiro. Jaka Bego dan sepasang kekasih yang konon
adalah adik kembar Lanangseta itu. Dan pada waktu
itu, Jaka Bego segera memburu Mahani, sebab Jaka
Bego memang naksir gadis lugu itu. (ada dalam kisah: IBLIS PULAU KRAMAT)
Rupanya Mahani gagal menemukan Lanangseta. Ia
tak berhasil mencegat perjalanan Lanangseta. Lalu timbul pemikiran dalam
benaknya, bahwa mungkin sekali
ia dibohongi oleh Ludiro dan Jaka Bego. Mungkin saja pemuda ganteng yang
disangkanya Lanangseta itu sesungguhnya memang Lanangseta. Sebab seingatnya,
Lanangseta tidak pernah menceritakan tentang adik
kembarnya, dan lagi, apa yang ada pada pemuda yang
dipergokinya sedang bermesraan dengan gadis Tiongkok itu, memang serupa betul
dengan Lanangseta. Tak ada
yang berbeda sedikit pun. Itulah menurut pemandan-
gan dan pendapat Mahani. Sehingga, Mahani pun kem-
bali masuk ke hutan, tempat ia memergoki gadis Cina
dengan pendekar tampan itu. Mahani yakin, bahwa
Ekayana itu sebenarnya adalah Lanangseta yang meru-
bah nama demi menutupi penyelewengannya.
Hampir saja Mahani kehilangan jejak. Ia tiba di tem-
pat semula, tapi tempat itu telah kosong. Namun suara tawa seorang gadis masih
terdengar samar-samar. Kemudian Mahani segera memburu arah suara tawa itu.
Pasti gadis Cina itu dengan Lanangseta sedang bercan-da, pikir Mahani.
Ternyata dugaannya itu benar. Ia melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa Lanangseta saat itu sedang menggendong Yin Yin, gadis
Cina, seraya sesekali men-ciumi gadis itu. Mahani yang percaya betul bahwa pe-
muda itu adalah Lanangseta, merasa hatinya bagai ter iris pedih melihat canda
dan kemesraan mereka. Namun ia bersabar sampai ia mengikuti dari kejauhan ke
mana perginya kedua orang tersebut.
Dengan hati hancur, Mahani menguntit langkah me-
reka, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah sungai kecil. Mereka menyusuri
tepian sungai, dan Mahani pun
ikut menyusuri tepian sungai. Sungai itu semakin me-
lebar, dan di ujung sana terdapat sebuah air terjun yang tidak begitu lebat
namun cukup deras. Yin Yin dan kekasihnya yang disangka Mahani adalah Lanangseta
itu menyusuri tepian sungai sampai masuk di balik de-rasnya air terjun. Rupanya
di sana ada sebuah goa yang tertutup air terjun itu. Goa tersebut menjadi tempat
persembunyian Yin Yin dengan kekasihnya, sekaligus
menjadi tempat berlindung bagi mereka.
Cinta sudah terlanjur membakar darah. Mahani tak
memperdulikan bahaya. Ia meniti bebatuan licin untuk mencapai batuan tepi goa.
Kemudian dengan bersusah
payah, ia berhasil juga masuk ke dalam goa tersebut.
Agaknya sudah cukup lama gadis Yin Yin dan pemuda
yang disangka Lanang itu tinggal di dalam goa tersebut, terbukti dengan
banyaknya obor dan perapian yang ada di dalam goa.
"Lanang..!" seru Mahani. Suara itu menggema, dan kedua orang itu belum terlihat.
Mahani masuk lebih ke dalam. Ia masih berteriak, "Lanang...! Jangan tinggalkan
aku...!" Langkah Mahani sangat hati-hati. Di situ keadaan ti-
dak bertanah datar. Banyak bebatuan yang menonjol
dan berlumut. Obor-obor penerang tertempel pada dinding dan di sela bebatuan.
Tanpa obor penerang itu, Mahani akan terantuk batu beberapa kali, atau bahkan
akan menabrak batu-batu besar yang bertonjolan bagai dinding-dinding penyekat
kamar. "Lanangsetaaaaaa...! Jangan bohongi aku! Aku tahu kau Lanangseta...! Aku
mencintaimu, Lanang...! Jangan tinggalkan aku...! Aku lebih dulu mengenalmu dan
mencintaimu daripada gadis bermata sipit ituuu...!" se-ru Mahani tanpa
memperhitungkan hal-hal lain. Ia te-
rus saja masuk ke kedalaman goa, melompati bebatuan, membelok di sela-sela batu
setinggi lebih dari tinggi tubuhnya.
"Perempuan lacur...!" terdengar suara menggema dari mulut seorang perempuan yang
belum terlihat Mahani.
Mahani berhenti melangkah, dan ia pun mulai
menggeletukkan gigi melihat kemunculan Yin Yin dalam busana setengah telanjang.
Agaknya ia telah mengerja-kan sesuatu yang tertunda karena kehadiran Mahani
yang berteriak-teriak tadi.
"Apa perlumu ke mari, Perempuan lacur"!" kata Yin Yin yang bersuara kecil namun
tandas. Menyakitkan
hati. "Kau yang perempuan lacur!" balas Mahani. "Kau merebut kekasih orang! Rakus!"
Mahani bicara dengan mata membelalak lebar, memancarkan dendam dan
kemarahan. Yin Yin dengan berani menyampar Mahani dan me-
nampar pipi Mahani keras-keras, sehingga Mahani me-
mekik kesakitan.
"Berani bicara seenaknya di depanku, kubunuh kau!
Kau belum tahu siapa aku, hah"!" bentak Yin Yin sambil merapikan pakaiannya.
Mahani semakin marah. Ia menatap Yin Yin dengan
sorot mata berapi-api. Pada saat itu, Yin Yin meluda-hinya dengan kasar. Mahani
semakin sakit hatinya, ia segera mengambil batu dan melemparkannya kepada
Yin Yin. Tetapi belum sempat Mahani melemparkan ba-
tu itu, pergelangan tangannya telah tersentil batu kecil yang melesat dari jari
jemari Ekayana.
"Uuh...!" Mahani menyeringai kesakitan. Tulang-tulang jemarinya bagaikan
dipatah-patah. Terasa sakit dan ngilu sekali, sehingga untuk menggenggam batu
pun ia tak sanggup. Mahani berpaling memandang
Ekayana yang berada di atas sebuah batu ceper. Lelaki itu sudah telanjang dada
dan hanya mengenakan bagian bawah pakaian saja. Ia tersenyum sinis kepada
Mahani. "Lanang..."! Kau lupa padaku"!" Mahani meratap.
"Dia bukan Lanang! Dia Ekayana!" bentak Yin Yin.
Mahani berpaling memandang Yin Yin dengan geram
kemarahan. Lalu ia memaki Yin Yin dengan kata-kata:
"Perempuan murahan! Kau bohongi aku dengan see-
nak perutmu, ya" Kau pikir aku tidak bisa mengenali
Lanangseta" Hem...! Ketahuilah olehmu, Perempuan Ja-
lang, bahwa aku lebih kenal Lanang ketimbang kamu!
Aku memandang Lanang dengan mata hatiku yang me-
nyimpan cinta, sedangkan kau memandang Lanang
hanya dengan nafsu binatangmu! Ciih...!"
"Plak...! Plak...!"
Yin Yin menampar muka Mahani dengan keras. Ga-
dis desa itu tak dapat menghindar, sebab ia memang tidak pernah berkelahi dan
tidak memiliki ilmu silat sedikit pun. Sedangkan Yin Yin agaknya mempunyai ilmu
silat sekali pun hanya beberapa jurus. Ia segera meng-hampiri Mahani yang tengah
merangkak karena terja-
tuh, dan dengan keras Yin Yin menendang mulut Ma-
hani hingga tepian bibirnya robek dan berdarah.
"Ini upah bagi perempuan lancang!" kata Yin Yin.
Mahani menjerit kesakitan. Ia menutup mulutnya
dengan telapak tangan dan memandang Ekayana.
"Lanang... tolong aku...!" ucapnya tak jelas sambil menangis. Ekayana hanya
tersenyum dan tetap duduk
di tempat. "Maaf, aku bukan Lanangseta...! Aku Ekayana...!"
"Bohong!" teriak Mahani. "Aku tahu kau adalah Lanangseta. Aku pernah memelukmu
dan..." "Pergi kau dari sini, Keparat!" teriak Yin Yin yang mempunyai suara kecil seraya
menendang perut Mahani. Mahani terguling dan kepalanya membentur batu.
Yin Yin yang merasa tak suka mendengar Mahani per-
nah memeluk Ekayana, segera menarik rambut Mahani.
Lalu dengan keras ia menghantam wajah Mahani se-
hingga membiru mata Mahani yang kiri. Belum puas
dengan itu, Yin Yin mengibaskan kukunya hingga
menggores kening Mahani dan berdarah.
"Laannaaang...! Tolooooong....!" Mahani menjerit-jerit dalam kesakitannya.
Mahani tak sempat melihat apakah orang yang dikira Lanang itu bertindak atau
tidak, tapi yang ia ketahui, bahwa tubuhnya dilemparkan dari
atas batu oleh Yin Yin. Ia berusaha untuk bangkit setelah kepalanya membentur
tepian batu, namun Yin Yin
telah siap menghajarnya lagi dengan tendangan ke
pinggang Mahani.
"Pergi kau...! Pergi dari sini...! Kau mengganggu kebahagiaan kami, hih...!"
"Aaauhh...!" Mahani terguling menabrak bebatuan runcing. Yin Yin terus
menghajarnya, memukul, menendang, bahkan melemparnya dengan batu beberapa
kali, Mahani tak dapat menghindar sedikit pun. Ia lemas. Dan ia membiarkan
tubuhnya terseret-seret oleh
tangan Yin Yin. Kemudian ia masih sadar saat ia dilemparkan keluar goa, menembus
curahan air terjun. Dan
ketika ia jatuh ke sungai, ia sudah tidak sadarkan diri lagi. Ketika ia siuman,
ia mendapatkan dirinya terdam-par di tepi sungai. Kakinya tersangkut lilitan
akar pohon. *** Ludiro menghela nafas, merasa iba mendengar cerita
Mahani. Ia sengaja membiarkan gadis itu menangis teri-sak-isak. Sebab jika ia
mendekat, takut kalau Mahani bahkan nekad loncat dari atas tebing karang itu.
"Sebab itu, Paman..." kata Mahani di sela isaknya.
"Saya lebih baik mati daripada menanggung siksaan seperti ini."
Ludiro menghela nafas lagi. Lalu berkata pelan:
"Aku ingin menolongmu, tapi izinkan aku mende-
kat..."
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak! Paman mendekat, aku loncat!" ancam Mahani dengan sungguh-sungguh. Ludiro
hanya angkat ba-
hu, merasa tak sanggup menjelaskan maksudnya lagi.
"Saya ingin mati dengan cara saya sendiri, Paman.
Biar lengkap sudah penderitaanku ini."
"Kau mencintai Lanangseta sungguh?"
Mahani memandang Ludiro, mulai tertarik dengan
kata-kata Ludiro.
"Apakah.... apakah Paman benar-benar bisa meno-
longku?" "Akan kucoba. Kalau kau yakin maka aku akan bi-
sa." Mahani menggeleng. "Tapi semuanya sudah terlanjur, Paman. Aku sudah
terlanjur sakit hati kepadanya, terlebih kepada gadis Cina itu! Aku ingin
membunuh-nya!"
"Kalau kau mati bunuh diri, apakah kau bisa membunuh Yin Yin, gadis Cina itu?"
Ludiro memancing kesadaran Mahani.
Mahani diam saja. Mengisak dalam tangisnya.
Ludiro berkata lagi dengan tenang, dan ia bergerak
maju perlahan-lahan.
"Kalau kau bunuh diri, kau bodoh! Kau tidak akan bisa membalas dendam kepada Yin
Yin, yang telah menyiksamu sedemikian keji. Kalau aku jadi kamu, aku
akan membalas dendam dulu kepada Yin Yin, setelah
itu baru bunuh diri. Andaikata sekarang kau bunuh di-ri, bukankah mereka berdua
tetap bermesraan dan se-
makin menghangat" Oh, alangkah tololnya kamu jika
kamu mau mati demi kebahagiaan mereka?"
Suara isak tangis masih terdengar. Namun kata-kata
Mahani tenggelam tak terdengar lagi. Agaknya ia mulai menyadari apa yang
dikatakan Ludiro itu.
"Mahani.." Ludiro berkata lagi dengan hati-hati. Ia mencoba merubah jalan
pikiran gadis anak Pak Lodang
itu dengan bujukannya. "Kau seharusnya bisa me-
nyingkirkan Yin Yin. Kau akan bebas memiliki kekasih Yin Yin jika gadis itu
sudah kau singkirkan. Kau bebas bercinta dengan pemuda yang kau harapkan itu..."
"Tidak! Aku sudah terlanjur benci dengan Lanangseta!" teriak Mahani sambil
bergegas menepi. Ludiro ce-
mas. "Sabar...! Pikirkan lebih masak lagi, Mahani."
"Aku sudah pikirkan, dan inilah keputusanku! Aku harus pergi meninggalkan
mereka, meninggalkan dunia
ini!" Mahani semakin menepi, sesekali memandang ke
bawah. Ludiro menjadi khawatir sekali.
"Mahani, dengarkan nasihatku... kau bisa mencintai pemuda lain yang lebih
ganteng dan lebih gagah dari
Lanangseta. Kau bisa..."
"Tidak, Paman! Tidak ada pilihan lain bagiku!"
"Sabar, Mahani... Aku bisa membantumu...!"
"Tidak ada yang bisa membantuku!"
Gadis ini keras kepala juga, pikir Ludiro dalam ke-
bingungannya. "Begini saja, Mahani... sebaiknya..."
Mahani menyahut, "Sebaiknya aku pergi sekarang, Paman. Selamat tinggal.
Sampaikan salamku kepada
Lanangseta, semoga ia berbahagia di atas kematianku
ini...!" "Mahani...! Mahani, tunggu...!"
"Aaaahhh...!"
Mahani terpeleset kakinya dan ia pun terguling jatuh dari atas tebing.
"Mahaniiii....!" teriak Ludiro yang menjadi panik melihat peristiwa itu. Ia
hampir saja terjerumus ikut masuk ke dalam tebing kalau saja ia tidak segera
meng- hentikan langkah kakinya. Ia buru-buru menjauh dari
mulut tebing karang dan berlutut dengan mata terpejam dan kedua tangan
menggenggam kuat-kuat.
"Picik...! Picik sekali otakmu, Mahani...!"
Ludiro merasa gagal menolong Mahani. Ia merasa
seperti orang bodoh. Ia jengkel sendiri kepada dirinya, juga kepada Mahani yang
benar-benar keras kepala itu.
"Bodoh! Bodoh aku, Ludiro...!" teriak Ludiro sendiri
dalam kejengkelannya. Ia memukul-mukulkan tinjunya
ke paha sendiri sampai beberapa kali. Kemudian ia tertunduk diam. Nafasnya yang
terengah-engah diredakan.
Ia mencari ketenangan diri dengan menghela nafas be-
berapa kali. Ia masih bersimpuh dan menjaga keseim-
bangan jiwanya.
Tiba-tiba ada suara yang dikenal Ludiro memanggil-
nya. "Paman..."
Ludiro bergegas mengangkat wajah dan memandang
lelaki gagah dan kekar yang berjalan sambil menggen-
dong Mahani. "Lanang..."!" Ludiro segera bangkit dan mendekat.
"Kau... kau telah berhasil menyelamatkan dia, Lanang?"
Lanangseta, Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Ma-
laikat Pedang Sakti itu hanya menyunggingkan senyum
tipis. Kedua tangannya masih menggendong tubuh Ma-
hani yang dalam keadaan pingsan.
"Luar biasa. Sangat di luar dugaan...!" kata Ludiro.
"Dia menjadi korban nafsunya sendiri! Hampir saja dia mati dengan sia-sia...!"
kata Lanang sambil memperhatikan Mahani yang terpejam pingsan.
"Ya. Dan... syukurlah kau berhasil menyelamatkan dia."
"Kebetulan saja saya berada di bawah, memandangi Pulau Kramat itu. Saya menerka-
nerka, apa yang dilakukan Nyai Katri, penguasa Pulau Kramat itu terhadap Jaka
Bego, teman kita. Dan saya juga sedang mem-bayangkan apa yang sedang kau lakukan
di pulau itu, Paman. Tapi rupanya, kau belum berangkat ke sana.
Aku mendengar suaramu berbicara dengan Mahani. La-
lu kulihat, keadaan Mahani sangat gawat kau pasti tak akan bisa menolongnya,
Paman. Dia gadis keras kepala.
Sebab itu, diam-diam aku berjaga-jaga di bawah sana.
Dan ketika dugaanku benar, Mahani nekad terjun dari
tebing jurang karang ini, aku segera melesat menang-
kapnya. Tapi... dia sudah tak sadarkan diri."
Lanangseta meletakkan Mahani pelan-pelan di tem-
pat yang agak datar. Ludiro manggut-manggut, ada pe-
rasaan lega yang terhempas lewat nafasnya.
"Aku tak bisa memusatkan pikiran untuk menolongnya, Lanang. Ada masalah lain
yang lebih penting."
"Dan masalah itu yang membuat paman Ludiro be-
lum berangkat menyeberang ke Pulau Kramat?" tanya Lanang.
Ludiro mengangguk. "Ya. Aku... aku..." Ludiro kelihatan bingung. Lanangseta
memperhatikan gugusan pu-
lau di seberang lautan. Pulau Kramat. Tiba-tiba ia terkejut mendengar Ludiro
berkata: "Cambuk Naga hilang, Lanang..."
Wajah Lanang berpaling cepat, bagai mendapat sua-
tu tamparan keras demi mendengar kata-kata itu.
Mata Lanangseta memandang punggung Ludiro, dan
ia tidak melihat Cambuk Naga di sana. Ia menggeram
dalam kecemasan.
"Gila! Siapa yang mencurinya, Paman"! Siapa!"
Pandangan mata Ludiro sayu. Ia menunduk, merasa
bersalah. Lalu dengan suara pelan ia pun menjawab:
"Ayah Yin Yin..."
"Laksamana Chou itu?"
Ludiro mengangguk. Lanangseta menggeram gemas
dan memukulkan tangan kirinya ke tangan kanannya.
"Kurang ajar...! Orang itu agaknya perlu mendapat pelajaran yang keras, supaya
ia tahu persis bahwa kita sebenarnya tidak mempunyai urusan dengan dia!"
"Aku sudah mencoba bertarung dengannya..."
"Dan, Paman Ludiro kalah?"
"Tidak begitu. Bukan soal kalah atau menang, tetapi rupanya ia telah mengincar
Cambuk Naga. Ia ingin
membalas dendam terhadap kematian anak buahnya
yang kuhancurkan beberapa waktu yang lalu itu. Tetapi yang paling utama, dia
ingin agar anak gadisnya dikembalikan. Dia masih mengira kita-kita orang yang
melarikan Yin Yin."
"Biadab! Jahanam juga Yin Yin itu...!"
"Dia akan menukar Cambuk Naga dengan putrinya.
Jika Yin Yin dikembalikan, maka Cambuk Naga pun
akan dikembalikan, meski dengan cara harus merebut-
nya!" Lanangseta termenung dengan geraham menggele-
tuk. Kemudian ia bertanya dengan kemarahan yang
terpendam: "Ke mana arah kepergiannya" Biar aku saja yang
merebut kembali Cambuk Naga."
Ludiro menggeleng. "Entah ke mana. Tetapi sewaktu aku mengejarnya, tahu-tahu aku
kehilangan jejak, dan menemukan Mahani di sini, mau bunuh diri."
"Aaaah...!" Lanang mendesah jengkel. "Kalau begitu, sekarang Paman pergi saja
dengan Mahani. Dia yang
tahu tempat persembunyian Ekayana dan Yin Yin, me-
nurut ceritanya yang sempat kudengar tadi. Paksa Yin Yin untuk kembali kepada
orang tuanya, dan paksa
Ekayana untuk melepaskan Yin Yin, lalu merebut kem-
bali Cambuk Naga. Katakan, aku yang menyuruhnya.
Dan, aku sendiri yang akan membebaskan Jaka Bego di
Pulau Kramat itu...!"
*** 3 JAKA BEGO, sosok manusia muda yang kurus ke-
rempeng dengan rambut tak pernah teratur. Tampang
bloon yang menghias setiap penampilannya itu sering
membuat orang gemas kepada ketololannya. Kini ia
menjadi tawanan Nyai Katri, seorang perempuan cantik sebagai penguasa Pulau
Kramat. Lanangseta dan Ludiro pernah keteter menghadapi
kesaktian Nyai Katri ketika peristiwa di Tebing Neraka, maupun di istana Sendang
Bangkai. Perempuan itu hidup pada zaman ayah Kirana, Sabdawana, belum lahir.
Usianya sudah cukup banyak. Ia dulu pernah menjadi
suami keturunan leluhur Bukit Badai, yaitu leluhur Kirana, istri Lanangseta.
Bahkan menurut cerita Sabda-
wana, Nyai Katri yang dulu bernama Areswara itu per-
nah menjadi pimpinan kapal bajak laut, yang kejam, tak kenal ampun, dan
kekuatannya itu tak ada yang bisa
menandingi. Banyak kapal yang pernah dijungkir-
balikkan, dihancurkan dengan tenaga dalamnya setelah seluruh hartanya terkuras
habis oleh anak buah Nyai
Katri. Tetapi siapa sangka ia akan bertekuk lutut di hada-
pan Jaka Bego, pemuda ingusan yang tak tentu rim-
banya itu. Siapa akan menduga kalau seluruh kesak-
tian Nyai Katri dapat terkuras habis ketika ia bercumbu dengan Jaka Bego sampai
beberapa hari beberapa malam. Bahkan Andini, bekas kekasih Ekayana yang lebih
cenderung mencintai Lanangseta itu juga tertunduk
lunglai dalam dekapan Jaka Bego. Andini bukan pe-
rempuan sembarangan. Ia mempunyai kesaktian juga
yang bisa diandalkan. Tapi toh ia kini menyesal dan
menangis setelah ilmu Asmara Pusaka Dewa menyerap
segala ilmu tenaga dalamnya melalui kemesraan bersa-
ma Jaka Bego. Andini yang ingin bergabung dengan Nyai Katri, ini
sudah menjadi perempuan biasa, tanpa kepandaian dan
kekuatan yang dahsyat. Begitu juga Nyai Katri, tak jauh berbeda dengan ibu rumah
tangga yang lebih banyak
memikirkan makanan dan masakan ketimbang ber-
tanding adu kedigdayaan. Kedua perempuan yang men-
diami Pulau Kramat itu masih belum mengerti, siapa
sebenarnya Jaka Bego itu, Yang mereka tahu, Jaka Be-
go hanyalah sosok pemuda kurus kerempeng yang tidak
punya daya tarik seperti laki-laki lainnya. Jaka Bego lebih kelihatan
ketololannya ketimbang kehebatannya dalam hidup keseharian. Satu-satunya
kehebatan yang ada pada Jaka Bego adalah kejantanannya yang mem-
bius sukma kedua perempuan itu. Nyai Katri sendiri
mengakui, bahwa belum pernah ia menemukan kejan-
tanan yang luar biasa hebatnya sepanjang hidup Nyai.
Hanya pada Jaka Bego sajalah segala impiannya dalam
bercinta menjadi satu ujud kenyataan yang mencekam
jiwa. Apa yang bisa dilakukan Nyai Katri dan Andini tanpa
ilmu dan kesaktian, adalah menjadi seorang perempuan yang selalu merindukan
kehangatan Asmara Pasak De-wa. Hanya itu. Dari hari ke hari, mereka tak habis-
habisnya bagai kumbang menghisap madu dari setang-
kai bunga surgawi. Jaka Bego yang memang bego itu
tak merasa dijadikan kuda dari kedua perempuan itu.
Malam, siang, maupun pagi, Jaka Bego bagai seorang
nelayan yang siap mengarungi samudra dengan sampan
dan dayung kejantanannya. Sebenarnya ia bisa saja lari dari pulau tersebut. Nyai
Katri maupun Andini tak akan mampu menghalanginya lagi, sebab kedua perempuan
itu sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan
Jaka Bego. Tetapi, Jaka Bego tidak mau. Bahkan ia bisa saja membunuh Nyai Katri
dan Andini, namun ia juga
tidak mau. "Mengapa kau tidak mau lari atau membunuh ka-
mi?" Nyai Katri pernah bertanya begitu pada suatu malam, di mana Andini pun
tidur di dalam pelukan Jaka
Bego sebelah kiri, sedang Nyai Katri di sebelah kanannya.
Waktu itu Jaka Bego hanya berkata:
"Lari" Lari ke mana?"
"Ke mana saja!" jawab Nyai Katri seraya tangannya melakukan kegiatan yang
sesekali membuat Jaka Bego
mendesis. "Aku tidak punya rumah, Nyai. Aku tidak punya
tempat tinggal. Jadi, di mana aku merasa senang, di si-tu aku tinggal dan
berdiam diri sampai aku bosan."
"Jadi kau senang tinggal di pulau ini bersama kami berdua ini?" Andini menyahut
sambil merayapkan jari jemarinya dan membuat Jaka Bego menggelinjang geli.
"Kupikir, saat ini aku memang masih senang hidup di pulau ini," kata Jaka Bego.
"Tenang, damai, aku tidak dimusuhi orang lain dan tidak memusuhi orang lain."
"Apakah kau akan bosan, Jaka?" bisik Nyai Katri.
"Bosan?" Jaka Bego mengerutkan kening. Diam sesaat, lalu menggeleng. "Entahlah.
Mungkin juga bisa bosan. Sebab aku dulu tinggal bersama seorang petani juga
bosan, disuruh mencangkul sawah terus."
"Gawat! Padahal di sini kaupun disuruh mencangkul terus," timpal Andini. Dan
Nyai Katri tertawa kecil.
Kata Nyai, "Rasa-rasanya kami bisa mati jika kau tak mau mencangkul, Jaka. Kami
butuh tenagamu dan
cangkulmu untuk mencangkuli sawah kami, agar kami
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa tetap hidup." Andini menimpal lagi:
"Cangkul yang panjang dan berkekuatan seratus tenaga kuda, bukan?" Lalu
perempuan berkulit kuning langsat itu tertawa mengikik, demikian juga Nyai Katri
dan Jaka Bego. "Aku khawatir kalau kau akan bosan mencangkul di sini."
Jaka Bego menjawab, "Kalian ini seperti orang dun-gu. Di sini kan tidak ada
sawah" Bagaimana aku bisa
mencangkul" Dan, apakah kalian lupa bahwa sehari-
harian aku jarang turun dari ranjang, bagaimana bisa
kalian berkata bahwa aku di sini juga mencangkul" Rasanya kok tidak pernah."
Andini yang manja itu tertawa dalam desah, ia me-
mainkan bibir Jaka Bego seraya berkata, "Sawah di sini kan berbeda dengan sawah
di tempat lain."
"Di sini memang tidak ada sawah," kata Jaka Bego yang belum mengerti maksud
pembicaraan itu.
"Kami inilah sawah-sawahmu," bisik Nyai Katri.
Andini dan Nyai Katri semakin mengikik, tetapi Jaka
Bego diam dalam ketololannya. Di luar pengetahuan-
nya, tentang bahasa cinta itu, Jaka Bego merasa bang-ga, sebab kini dirinya yang
dulu seperti daun kering tak pernah ada yang mau meliriknya, sekarang malahan
dua perempuan cantik sekaligus yang mau meremas-
remasnya. Kalau saja ia daun kering biasa, sudah tentu hancur dalam beberapa
remasan. Beruntung sekali ia
daun kering yang berlapis logam baja, sehingga kendati diremas-remas beberapa
kali oleh dua perempuan tak
akan retak sedikit pun.
Suatu kekuatan misterius ada pada diri Jaka Bego,
dan hal ini tidak disadari oleh Jaka Bego sendiri. Namun Nyai Katri tahu, bahwa
Jaka bego bukan orang
sembarang. Secara diam-diam ia mengakui bahwa di-
rinya telah mutlak dikalahkan oleh Jaka Bego yang
mampu membuat Nyai Katri seperti perempuan desa,
tanpa kekuatan dan ilmu. Tetapi sesekali memang ser-
ing timbul kecemasan pada diri Nyai maupun Andini,
mereka takut kalau Jaka Bego kehabisan tenaga tak
mampu lagi mencangkul untuk mereka. Karena itu,
Nyai Katri dan Andini pagi itu bergegas untuk mencarikan ramuan yang akan
menjaga kekuatan Jaka Bego
dalam mencangkul.
"Aku tak ingin ia kehabisan daya," kata Nyai.
Andini menyahut, "Aku khawatir juga begitu, Nyai, jadi, setidaknya kita harus
merawat dia supaya tetap
sehat dan mempunyai daya untuk mengarungi lautan
lepas bersama kita. Apakah Nyai ada gagasan lain?"
Nyai Katri yang berwajah lebih cantik dan lebih
mempesona dari Andini itu hanya mengangguk. Berun-
tung sekali walau segala ilmunya telah sirna, namun kecantikannya yang muda
tidak ikut luntur akibat se-rapan Asmara Pasak Dewa dari Jaka Bego itu. Sehingga
gelora Nyai Katri dalam bercumbu, tak jauh berbeda
dengan hasrat bercinta Andini. Gairahnya adalah gairah perempuan berusia muda
yang seakan sedang di puncak pubertas. Karena itu, Nyai pun tak ingin gairahnya
kandas hanya karena Jaka Bego lunglai.
"Seingatku, di Pulau ini ada lebah dan sarangnya pada sebuah pohon. Bagaimana
kalau kita mencari ma-du di sarang lebah itu. Dengan madu dan rebusan daun
binari, kita dapat menjaga kesehatan dan kekuatan bertahan Jaka Bego," kata Nyai
Katri kepada Andini.
"Aku setuju. Tapi jangan katakan kecemasan ini kepada Jaka Bego, nanti dia tahu
kalau kita lemah dan
tergantung kepada dia."
"Ah, dia memang sudah tahu. Hanya saja dia sendiri juga menyukai ketergantungan
kita." Andini tersenyum bangga. Paling tidak ia masih
mempunyai harapan bahwa suatu impian mesra akan
mampu diresapi sampai beberapa hari. Ia merasa se-
bentuk kebahagiaan batiniah akan mampu dilahapnya
sampai beberapa lama, jika benar bahwa Jaka Bego
menyukai ketergantungannya.
"Tapi, Nyai... apakah kekuatan kita, ilmu-ilmu kita tidak dapat kembali lagi
melalui bantuan Jaka Bego"
Apakah akan hilang selamanya?"
Nyai Katri juga menggelisahkan hal itu Namun ia
berkata dengan mata memandang ke atas, mencari di
mana ada sarang lebah yang tergantung pada dahan
pohon. Mereka bicara sambil melangkah memburu ma-
du hutan. "Setahuku, ilmu yang telah terserap oleh kekuatan Asmara Pasak Dewa tidak bisa
kembali lagi kepada kita.
Hilang musnah begitu saja dari kita,, namun menjadi-
kan kuat pada diri orang yang memilik ilmu Asmara Pasak Dewa. Sebetulnya, saat
ini Jaka Bego mempunyai
kesaktian yang maha dahsyat, seperti kesaktianku du-
lu. Apalagi sekarang ia juga memiliki kesaktianmu, itu akan membuatnya menjadi
lebih hebat lagi. Mungkin
dapat mengalahkan Lanangseta."
Andini menggumam panjang. Nyai meneruskan kata:
"Ia dapat bergerak di luar kesadaran, memperagakan ilmu pukulan Bidadari Senja
milikmu, atau Siluman
Raga Muspra yang kumiliki itu, dan yang lain-lainnya.
Kala dia mau dia bisa. Tapi agaknya dia tidak mau..."
"Tidak mau atau memang tidak tahu?"
Nyai berhenti melangkah. "Maksudmu tidak tahu
bahwa ia telah memiliki semua ilmu kita?"
"Ya. Bisa saja ia menggunakan ilmu Pasak Dewa di luar kesadarannya, sehingga ia
tidak tahu persis bahwa dirinya sebenarnya sudah berilmu tinggi."
Nyai Katri manggut-manggut. "Bisa juga... ya, ya.."
Nyai Katri tampak bimbang. "Tapi, siapa tahu ia hanya berlagak tolol dan
mempunyai maksud tersendiri?"
Kini Andini menggumam panjang lagi. Lalu ia pun
berkata, "Kita belum pernah membicarakan hal itu dengannya, Nyai. Siapa tahu dia
bisa mengembalikan ke-
kuatan kita sebenarnya?"
Nyai Katri yang bergaun ungu itu memandang Andini
yang mengenakan gaun tipis milik Nyai berwarna kun-
ing gading. "Dulu aku secerdas kamu, malah lebih cerdas dari kamu," kata Nyai. "Tetapi,
aneh... sekarang aku tidak mempunyai kecerdasan seperti itu, sehingga aku tidak
mempunyai pikiran seperti yang kau katakan tadi."
Andini hanya angkat bahu dan berkata, "Aku hanya ingin melawan Lanangseta dan
istrinya, kalau kekuatan dan ilmu-ilmuku itu bisa kembali lagi."
Nyai diam merenung, seperti ada yang sedang ia pi-
kirkan. Andini memandangnya dengan heran, seakan
menunggu sesuatu yang akan diucapkan Nyai Katri.
"Lanangseta...?" ucap Nyai dalam gumam. "Apakah dia belum dikalahkan oleh
Prabima, si Putra Tunggal
itu?" "Nyatanya sampai detik ini Prabima tidak pernah datang lagi kepada kita. Pasti
ia telah dibunuh Lanangseta, Nyai."
"Dibunuh...?" kata-kata ini pun terucap dalam gumam.
"Kau yakin Prabima bisa dikalahkan Lanangseta?"
"Ya. Aku mempunyai keyakinan akan hal itu."
Nyai mendengus dan berjalan lagi, matanya meman-
dang ke atas pohon, mencari sarang lebah yang bisa di-ambil madunya buat
campuran minuman Jaka Bego.
Hati Nyai sebenarnya gelisah jika memikirkan Prabima, bimbang dengan pertarungan
Prabima. Karena sampai
saat itu pun Nyai tidak bisa mengontrol apakah Prabima masih hidup atau sudah
mati. Jika memang benar Prabima yang sudah dibekali beberapa ilmu oleh Nyai itu
dapat dikalahkan Lanangseta, maka sekarang ini tak
ada lagi orang yang bisa mengalahkan Pendekar Pusar
Bumi itu kecuali... Jaka Bego sendiri. Jaka Bego mempunyai kekuatan yang maha
dahsyat, dan kekuatannya
itulah yang mampu menandingi kehebatan Lanangseta.
Tapi, dapatkah Nyai Katri mengadu Jaka Bego dengan
Lanangseta"
Nyai Katri menghilangkan pikiran itu, sebab sarang
lebah yang dicari-carinya sudah ketemu. Namun ia
mengeluh sedih, lalu berkata:
"Kalau saja aku masih mempunyai kesaktian yang
dulu, dengan mudah aku dapat terbang mengambil sa-
rang lebah itu."
"Ya. Aku pun dapat demikian, Nyai. Tetapi keadaan kita sekarang sudah lain. Kita
harus memanjatnya,
Nyai..." Jaka Bego sendiri tidak tahu kemana kedua perem-
puan cantik berambut panjang itu pergi. Yang ia rasakan adalah masa istirahat
yang nyaman. Ia tidak ter-
ganggu gelitik dan desahan nafas kedua perempuan itu.
Ia tertidur dengan nyenyak, bahkan mendengkur. Dan
pada sore hari, ia bangun. Di meja telah terhidang makanan, buah-buahan dan
segelas minuman berwarna
kehijau-hijauan. Setelah menyantap ikan bakar bersa-
ma kedua perempuan bergaun tipis sekali itu, Jaka Be-go pun disuruh meminum
ramuan yang dibikin oleh
Nyai Katri. "Minumlah, supaya badanmu tetap sehat dan segar,"
kata Nyai kepada Jaka Bego yang memandang heran ke
arah minuman tersebut.
"Percuma saja..." ujar Jaka Bego lesu. "Badanku tak akan bisa segar. Tetap saja
kurus kerempeng begini dari dulu sampai sekarang. Dulu juga ada orang yang me-
nyuruhku minum jamu. Katanya jamu gemuk badan.
Setelah kuminum beberapa gelas, badanku tetap saja
kurus kerempeng, tidak bisa gemuk-gemuk juga. Mala-
han perutku kembung karena kebanyakan minum jamu
itu." "Ramuan ini memang tidak bisa menggemukkan ba-
dan, hanya membuat badan menjadi segar, sehat dan..."
"Bersemangat tinggi," sahut Andini seraya mengikik.
Tangannya masih saja mempermainkan sesuatu pada
diri Jaka Bego sehingga Jaka Bego sesekali menggelinjang dalam desis yang
pendek. "Apakah menurut kalian aku kurang mempunyai
semangat hidup?" tanya Jaka Bego yang tidak paham
dengan arah pembicaraan mereka.
"Bukan semangat hidup maksudku."
"O, jadi semangat apa yang kau maksud?"
"Biasa... semangat untuk mendayung sampan," balas Nyai Katri yang sama sekali
tidak kelihatan wibawa dan angker seperti dulu.
"Apakah kita akan berlayar mengarungi lautan" Kenapa aku harus mendayung lagi"
Apakah kalian tidak
bisa mendayung sendiri?" Jaka Bego, jelas kelihatan be-gonya.
"Sekali pun kami siap mendayung sendiri, tapi kau harus tetap punya semangat
mengarungi lautan, Jaka,"
kata Nyai Katri. "Karena itu minumlah ramuan ini, tidak pahit dan tidak meracuni kok."
"Ah, tak perlu...!"
"Biar kau sehat, Jaka" bujuk Nyai.
"Aku masih tetap sehat walau ceking begini."
"Jaka..." Andini mau bicara tapi terpotong oleh kalimat Jaka Bego.
"Kau tidak percaya kalau aku tetap sehat" Kau lihat aku sakit-sakitan, ya?"
Andini memandang Jaka Bego dengan tatapan pe-
nuh nafsu. Ia melirik ke bagian bawah Jaka bego, dan ia menelan ludahnya
sendiri. Tanpa sadar ia berkata,
"Kau memang kelihatan sehat. Selalu sehat. Dan ini membuatku merasa heran. Sudah
sekian lama, bahkan
terlalu sering kamu mencangkul di ladang asmara, tapi kau masih kelihatan sehat-
sehat saja. Kau tidak kelihatan pucat seperti kami berdua. Benar-benar aneh,
bagi-ku." "Bagiku tidak aneh. Kau pucat karena kau kurang darah." ujar Jaka Bego sambil
mencomot buah seperti jambu, namun bukan jambu, Jaka tak tahu namanya.
"Kau memang luar biasa, Jaka," timpal Nyai Katri.
"Kau sangat mengagumkan. Hanya saja tampangmu ti-
dak mempunyai daya tarik. Perempuan lain yang belum
mengetahui kehebatan cangkulmu, ia tidak akan tergiur sedikit pun denganmu.
Kecuali kami, kami telah mengetahui keistimewaanmu, sehingga kami tak pernah
memperdulikan wajahmu yang tak sedikit pun tampan."
"Menghina...!" Jaka Bego bersungut-sungut cembe-rut.
"Jangan marah..." Nyai mencium pipi Jaka Bego.
"Aku bicara sesungguhnya. Aku tidak pernah memperdulikan apakah kau tampan atau
tidak. Kau telah me-
mikatku dengan keistimewaanmu, Jaka."
Jaka Bego masih bersungut-sungut, dan ia mengge-
rutu: "Kalau aku sudah memperlihatkan ketampananku,
kalian akan menyanjungku sampai ke ujung langit,"
ujarnya. "Kenapa tidak?" sahut Andini. "Perhatikanlah siapa dirimu sebenarnya, Jaka. Kami
merindukan hal itu."
Jaka Bego melirik Andini yang bergelayutan di pun-
daknya. Andini bahkan mencium bibir Jaka Bego, ken-
dati Jaka Bego masih tertegun bagai sedang memper-
timbangkan sesuatu. Menurutnya, itu sebuah rengekan
manja yang jarang ia peroleh dari seorang perempuan
cantik seperti Andini.
Harpa Iblis Jari Sakti 1 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 6
ISTANA LANGIT PERAK Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Istana Langit Perak
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.11
1 Ludiro terpaksa berguling ke tanah secara tiba-tiba, karena sebuah batu seukuran
genggaman tangannya
meluncur dari arah samping. Seseorang telah melem-
parkannya dari balik persembunyian. Andai kata Ludiro yang bertubuh sedikit
pendek itu tidak segera berguling ke depan, sudah pasti batu itu akan mengenai
pelipis-nya. Pelemparnya tergolong jitu dan mempunyai daya
lempar yang cukup cepat.
Sayang sekali Ludiro tak sempat memeriksa siapa
pelempar gelapnya itu. Karena begitu ia bangkit, hendak meneliti keadaan
sekitarnya, tahu-tahu ada dua batu
yang meluncur dari arah kiri dan kanannya. Sekali lagi Ludiro berguling ke depan
dalam keadaan tubuh menyentuh tanah.
"Bangsaaatt...! Keluar kau kalau berani....!" teriak Ludiro seraya berguling
lagi, karena kini tiga batu menyerang dalam satu arah. Salah satu batu ada yang
mengenai betisnya, namun ilmu kekebalan tubuh yang
ada pada Ludiro membuat lemparan itu bagai tak terasa menyentuh kulitnya.
Sebelum serangan batu datang lagi, Ludiro buru-
buru bersembunyi dari balik akar pohon yang berlapis-lapis bagai dinding papan
itu. Mata tuanya masih lugas bergerak nanar, mencari
pelempar gelap dari balik rimbunan semak berduri. Ia tak menemukan tanda-tanda
kehidupan di balik semak
itu. Ia mendengus kesal. Kemudian dengan satu gera-
kan menghentak, tubuhnya melenting bagai belalang
terbang, dan hinggap di sebuah dahan pohon tanpa su-
ara. "Setan mana yang berani membokongku tadi?" geru-tunya pelan sambil ia memeriksa
keadaan sekeliling da-
ri atas pohon. Sepi. Gerakan samar pun tak ada yang menimbulkan
kecurigaan. Geram dan dongkol hati Ludiro menghadapi serangan licik itu. Namun
ia tetap bersabar, berdiri di atas dahan sebuah pohon berdaun lebat, matanya
bergerak liar dan tangan kanannya siap memegang pedang
Jalak Pati yang terselip di pinggang kirinya.
"Pasti perbuatan orang iseng yang berjiwa pengecut!"
geramnya seraya hendak meninggalkan dahan pohon.
Namun tiba-tiba, sebatang dahan kering seukuran
lengan manusia dewasa meluncur ke arahnya. Dahan
kering itu melesat dari bawah menuju ke atas. Dada
atau kepala Ludiro yang menjadi sasarannya. Dahan itu meluncur dengan cepat
tanpa sempat diketahui Ludiro
siapa pelemparnya. Namun dengan cepat pula Ludiro
mencabut pedang Jalak Pati dan menangkis dahan itu
sehingga benda tersebut berubah arah, meluncur me-
nuju tempat di mana ia lemparkan tadi.
Harapan Ludiro, dahan kering itu akan mengenai pe-
lemparnya sendiri dari balik persembunyian. Tetapi,
ternyata dahan itu hanya menembus semak ilalang dan
rimbunan berduri. Hanya suara "Krrosaaaak...!" tanpa ada pekik seseorang yang
terkena dahan tersebut.
"Gila...! Siapa orangnya yang melakukan kelicikan seperti ini"!" geram Ludiro
seraya memasang kewaspa-daan, menoleh kian ke mari dengan pedang siap dite-
baskan. Ia pun berseru dengan jengkelnya:
"Hei, Setan kurap...! Keluar kau dari persembu-
nyianmu. Kalau memang kita ada urusan, selesaikan
secara jantan!"
Detik demi detik berlalu. Namun tak ada jawaban
apa pun yang didengar Ludiro. Hanya hembusan angin
yang sangat tipis, dan bahkan suara Krosak pun tak
terdengar sedikit pun. Sepi. Dan benar-benar sunyi.
Ludiro menyabarkan diri, menunggu dengan waspa-
da di atas pohon itu. Lama sekali ia tenggelam dalam kesunyian hutan yang berada
tak jauh dari pantai.
Mungkin penyerang gelap merasa bosan mempermain-
kan Ludiro, sehingga ia pergi begitu saja setelah beberapa serangan gelapnya tak
berhasil mengenai tubuh
Ludiro. Karena merasa aman, Ludiro pun bergegas turun da-
ri atas pohon. Tapi baru saja ia merendahkan kaki hendak meloncat ke bawah,
tahu-tahu beberapa batu me-
luncur dari arah belakangnya dengan cepat. Ludiro merasakan ada hembusan angin
yang menuju ke arah
punggungnya. Segera ia berbalik sambil mengibaskan
pedang Jalak Pati. Terdengar bunyi, "tring... tring....
tring... buk!" Salah satu batu menghantam dada Ludiro dengan keras. Memang tidak
menimbulkan luka, namun hentakannya yang keras itu membuat Ludiro ter-
jengkang ke belakang, dan jatuh dari atas pohon. Un-
tung ia segera bersalto ke belakang dua kali, sehingga tubuhnya dapat menapak ke
tanah kembali dengan mulus.
"Keluar kau, Jahanaaaaam....!" teriak Ludiro sangat marah. Karena lama tak
terdengar jawaban dan tak ada serangan lagi, Ludiro merasa benar-benar
dipermainkan oleh musuh gelapnya.
Segera ia memasukkan pedang Jalak Pati ke sarung-
nya. Dengan hati bergetar karena marah, Ludiro men-
cabut Cambuk Naga yang bertengger di pundaknya.
Cambuk itu bergagang hitam, terbuat dari serat sutra warna putih. Namun senjata
warisan Putri Ayu Sekar
Pamikat itu memang mempunyai kekuatan yang luar
biasa. Ludiro melecutkan cambuk tersebut ke udara
dengan satu gerakan yang belum pernah dilakukan
olehnya, yaitu gerakan memutarkan cambuk di udara
bagai sedang mengelilingi bagian atas kepalanya. Dan memang seperti yang sudah-
sudah, Ludiro selalu tidak
mengerti harus bergerak bagaimana dalam mengguna-
kan cambuk itu. Namun, biasanya tangan dan kakinya
bergerak sendiri, bagai ia sedang melancarkan satu jurus untuk senjata Cambuk
Naga itu. Sehingga, kali ini pun ia sedikit heran dan kagum, karena gerakan
memutar dari cambuk itu menimbulkan letupan beberapa
kali: "Taar...tar...taar... tar...taaar...!"
Pada saat itu pula, dari ujung cambuk keluar kilatan api yang bagai memercik ke
sana-sini. Ludiro sendiri heran dan tidak tahu jurus apa itu namanya. Yang
jelas, ia segera menghentikan gerakan memutar cambuk
di udara setelah ia tahu bahwa rumput ilalang dan semak berduri mulai terbakar
di sana-sini. Api menyala dan menjadi makin berkobar. Ludiro kebingungan
sendiri, lalu segera melesat cepat ke arah lain, ke tempat yang belum terbakar.
Tempat itu lebih mendekati tepian hutan dan lebih lega dari tempat semula. Dari
situ ia dapat melihat hutan yang terbakar dengan asap kian
lama semakin menebal.
Bukan nyala api yang ditunggu Ludiro, tapi kemun-
culan penyerang gelapnya yang diharapkan muncul ka-
rena terkurung api. Ternyata, sampai beberapa lama,
tak satu pun manusia yang kelihatan muncul atau ber-
gerak melarikan diri dari kobaran api tersebut. Sepertinya di hutan itu hanya
ada Ludiro seorang diri.
"Brengsek...!" geram Ludiro dengan hati menjadi semakin dongkol dan penasaran
kepada penyerang gelap-
nya. "Ia mampu bertahan dalam kobaran api. Manusia atau setan sebenarnya dia
itu" Gila! Betul-betul gila!
Aku dipermainkan dengan seenaknya. Apa maksud
orang itu sebenarnya?"
Ludiro memasukkan Cambuk Naga pada tempatnya
yang melekat pada punggung. Ia menghempaskan nafas
panjang dalam satu kekesalan. Sekali lagi ia mencoba bersabar untuk menunggu
kemunculan penyerang ge-
lapnya, namun tetap saja tak ada yang muncul. Padahal menurut perkiraan Ludiro,
mereka lebih dari satu
orang. Buktinya mereka mampu menyerang dengan ba-
tu dari beberapa arah secara bersamaan.
"Ah, untuk apa mengurus kelicikan gila ini"!" pikir Ludiro. "Tugasku adalah
pergi ke Pulau Kramat dan menolong Jaka Bego dari cengkeraman Nyai Katri,
penguasa pulau tersebut. Kasihan Jaka jika ia harus mati dengan sia-sia di
sana..." Ludiro melangkah dengan tenang, namun gerakannya tetap seperti lompatan
anak kijang menembus hutan. Ia tak mau peduli lagi dengan penyerang gelapnya.
Baginya, lebih cepat mencapai
pantai lebih baik, dan ia akan segera menyeberangi lautan, menuju Pulau Kramat
tempat Jaka Bego ditawan.
Namun ketika ia tiba di pantai, langkahnya terhenti
seketika, dan tubuhnya merunduk dengan rendah, nya-
ris jongkok di tempat. Sebuah batu karang lebih besar dari kepalan tangannya
melayang dari arah samping ki-ri. Batu itu bagai dilemparkan dengan tenaga dalam
sehingga gerakannya mirip seulas sinar membias dan me-
nyerang Ludiro. Untung Ludiro sigap, sehingga batu itu melesat di atas
kepalanya, dan membentur tebing karang yang berada jauh di sebelah kanan Ludiro.
Terdengar suara dentuman kecil akibat benturan batu karang dengan tebing.
Dentuman itu pun mengakibatkan tebing karang rontok sebagian dan batu
pelemparnya han-
cur bagai debu.
"Edan! Pasti orang berilmu tinggi yang menyerangku dari tadi itu," kata Ludiro
dalam hati sambil memandang kagum terhadap benturan batu karang tersebut.
"Untung bukan kepalaku yang terkena batu karang itu.
Untung hanya tebing kokoh yang akhirnya rontok juga
sebagian bebatuannya."
Ludiro mencari-cari penyerangnya. Hatinya sangat
jengkel. Ia pun berteriak keras-keras, "Setaaaaan...! Di
mana kamu"! Keluaaar...! Keluar...! Hadapi aku secara jantan, Kunyuk...!"
Deburan ombak samar-samar bagai sebuah riak
laut. Tak ada jawaban dan kata. Ludiro memeriksa
tempat datangnya lemparan tadi, namun ia tidak meli-
hat sesuatu yang mencurigakan. Tapak manusia pun
tak ada di sana. Kesal sekali hati Ludiro. Akhirnya dengan beberapa kali
gerakan, Ludiro bersalto ke udara
dan memekik, "Ciaaaatt...!"
Senjata rahasianya yang berupa mata pisau kecil itu
meluncur di beberapa arah dan mengenai beberapa
tempat belukar. Sekali lagi Ludiro melesat sambil bersalto di udara, tangannya
bergerak cepat melemparkan senjata rahasianya yang sudah jarang terpakai. Namun
senjata-senjata itu bagai mengenai tempat kosong. Tak ada suara orang mengaduh
atau memekik kesakitan.
Berarti tak ada seseorang yang terkena lemparan senja-ta rahasia beracun itu.
Ludiro berseru, "Pengecut...! Keluarlah! Ayo, kita bertanding secara ksatria!
Jangan main sembunyi-sembunyi seperti tikus sawah!"
Tiba-tiba Ludiro bergerak cepat, merundukkan kepa-
la dalam posisi miring ke kiri dan tangannya bergerak cepat ke atas, menangkap
satu benda yang dilemparkan dari arah tak diketahui. Benda itu berdesing lembut,
ta-pi telinga Ludiro mampu menangkap desingan itu, se-
hingga dengan cepat dan tangkas ia pun berhasil me-
nangkap benda itu ke dalam genggamannya.
"Seet...!"
Ludiro tercengang melihat benda yang ditangkapnya
dengan tangan kanan itu. Ternyata sebuah senjata rahasia berupa mata pisau
beracun. Senjatanya sendiri.
"Biadab...! Ini senjataku sendiri yang dikembalikan oleh penyerang gelapku.
Gila! Edan! Apa-apaan sebenarnya ini" Siapa dia" Atau mereka" Atau..." Ludiro
memandang nanar ke arah tempat datangnya lemparan
tersebut. Ia masih menggenggam senjata rahasianya
sendiri sambil mencari-cari sesuatu yang bisa menim-
bulkan kecurigaan. Ia berseru:
"Baiklah, Kawan..! Aku tak mau melawan seorang
perempuan! Sebaiknya kita lupakan saja masalah ini
dan kau kuanggap menang! Aku tak mau melayanimu!"
Dari suatu tempat balik pohon, ada suara yang me-
nyahut: "Aku bukan perempuan, Babi!"
Ludiro terperanjat, kini mulai menegang karena se-
bentar lagi ia pasti akan mengetahui siapa penyerang gelapnya itu.
"Kau bohong, Kawan. Kau pasti seorang perempuan.
Kau dapat merasakan kebancianmu, Kawan!" Ludiro sengaja membuat panas hati
lawannya dengan penghi-naan itu.
"Bagaimana dengan kebancianmu, ha" Kamu tidak
bisa temukan aku, ha"! Kamu tolol!"
Ludiro agak berkerut dahi. Suara orang itu seper-
tinya aneh. Punya nada dan aksen tersendiri. Ludiro
memancing pembicaraan lagi, "Apakah aku perlu menemukan kamu"! Apakah aku perlu
datang kepadamu
dan memenggal kepalamu"!"
"Sebaiknya begitulah...!"
O, rupanya suara itu datang bukan dari semak atau
balik pohon, melainkan dari atas pohon. Tapi pohon
yang mana, Ludiro masih bingung memastikannya. Ia
hanya berkata lagi:
"Apa kau tak menyesal kalau aku memenggal kepa-
lamu"!"
Ludiro segera memasang telinga baik-baik, menyi-
mak arah jawaban yang akan didengarnya. Suara itu
mengatakan: "Tidak mungkin aku menyesal, karena sebelum ka-
mu memenggal kepalaku, kepalamu sudah akan hancur
lebih dulu!"
Begitu mengetahui arah datangnya suara, Ludiro se-
gera melemparkan senjata rahasianya itu ke arah atas pohon berdaun lebat.
Senjata mata pisau kecil itu melesat cepat, menembus rimbunan daun. Lalu Ludiro
me- nunggu suara orang mengaduh atau pekik kesakitan.
Tetapi tidak ada suara itu. Ini pertanda senjata tidak mengenai tubuh lawannya.
Sebetulnya, justru sekarang Ludiro mendengar suara berdesing lembut menuju
arahnya. Ludiro segera bersalto ke udara dengan posisi tangannya menukik ke
bawah, lalu menangkap sesuatu
yang terlempar dari atas pohon tersebut.
Oh, ternyata senjata rahasianya yang tadi kembali
lagi dari balik rimbunan daun pohon itu. Ini menandakan bahwa ketangkasan orang
yang bersembunyi tak
dapat dianggap remeh. Orang itu seperti punya ilmu
yang cukup tinggi dan cukup membahayakan. Buk-
tinya, sudah dua kali ia mampu menangkap senjata ra-
hasia dari Ludiro, dan bahkan mampu mengembalikan
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi dengan suatu serangan yang membuat Ludiro sedi-
kit terteter. Tangan Ludiro sudah hendak mencabut Cambuk
Naga untuk membuat semua daun terbakar. Tetapi
niatnya itu tertunda, karena seorang lelaki telah muncul dari balik kerimbunan
daun. Ia meloncat dalam satu gerakan ringan, turun dari atas pohon. Ia berdiri
tegap dan sigap menghadap Ludiro.
"Apakah aku seorang perempuan?" katanya, dan Ludiro masih terpana beberapa saat.
Ludiro merasa belum mengenal lelaki tinggi, tegap
dengan rambut putih semua, sama putihnya dengan
rambut Ludiro sendiri. Lelaki itu mengenakan pakaian hitam, baju lengan panjang
yang dilapisi rompi merah sepanjang bawah perut. Ia bermata sipit, tajam, dan
berkumis melengkung ke bawah hingga di dagu. Cela-
nanya hitam berhias garis kuning emas di bagian te-
piannya. Alas kakinya berupa sepatu kulit binatang
yang panjangnya nyaris sampai ke betis. Ia menampak-
kan betul sosok seorang keturunan Tiongkok.
Rompi merahnya yang panjang itu berhias benang
emas membentuk sirip ikan atau sisik ikan yang lebar-lebar. Ludiro dapat
memastikan rompi itu cukup berat karena agaknya terbuat dari campuran logam
dengan kain. Mungkin itu merupakan baju anti senjata tajam
yang menjadi pelindung bagian tubuhnya. Sedangkan
ikat pinggang yang dikenakan mirip seutas tali besar, namun terbuat dari lapisan
kain dan pada kedua
ujungnya terdapat logam runcing berbentuk mata tom-
bak sebesar telinganya yang caplang. Agaknya, ikat
pinggang itulah satu-satunya senjata yang dimiliki lelaki bermata sipit namun
tajam itu. Badannya memang sedikit gemuk, tapi bukan gendut. Sikapnya berdiri
yang menaruh kedua tangannya di belakang itu menampakkan betul bahwa ia orang
berilmu tinggi, sekaligus merupakan orang terhormat di kalangannya. Tapi aneh-
nya, ia hanya sendirian, tanpa pendamping satu pun.
Keadaan pakaiannya pun tidak begitu rapi, ada bebera-pa bagian yang robek,
terutama pada bagian lengan. Ini menandakan bahwa ia habis melakukan perjalanan
jauh, atau setidaknya habis menemukan malapetaka
yang tak sempat merenggut nyawanya.
Ludiro sejak tadi memperhatikan lelaki Cina dengan
dahi berkerut. Bahkan di hati Ludiro mencoba-coba
menerka apa maksud lelaki itu menyerangnya"
"Kamu heran melihat aku, ha?" kata lelaki itu seraya melangkah mendekat beberapa
kali. "Kita memang belum pernah saling berjumpa, bu-
kan?" Senyum sinis tersungging di bibir lelaki itu. "Mungkin memang baru kali ini kita
berjumpa. Tetapi aku ma-
sih ingat wajahmu, ketika kau menghancurkan anak
buahku dan kapalku di sebuah pantai..." (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO).
Ludiro semakin berkerut dan bersungut-sungut. Le-
laki itu makin mendekat dengan kedua tangan masih
bertaut di belakang pinggangnya.
"Aku Laksamana Chou...! Aku ayah dari gadis Yin Yin yang diculik oleh pemuda
picisan, dan kau telah
menghambat gerakan anak buahku yang ingin mencari
pemuda itu. Kau telah membantai mereka, lalu meng-
hancurkan kapalku dengan isinya. Sekarang, sudah
saatnya aku menuntut balas kekejianmu!"
Ludiro manggut-manggut dengan tenang. Kini ia in-
gat peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika ia bertarung melawan orang-orang
Tiongkok di sebuah pantai.
Pada waktu itu mereka sedang memburu Jaka Bego un-
tuk mengorek keterangan di mana Yin Yin, putri Lak-
samana Chou itu disembunyikan. Sebenarnya, mereka
hanya salah sangka. Karena sesungguhnya yang mela-
rikan gadis Yin Yin itu adalah Ekayana, saudara kem-
bar Lanangseta. Tapi Laksamana Chou menuduh La-
nangseta itulah yang membawa kabur anak gadisnya.
Laksamana Chou hanya tahu, bahwa Ludiro dan Jaka
Bego adalah orang-orangnya Lanangseta.
"Bersiaplah untuk mati dengan tersiksa..!" kata Laksamana Chou yang sudah tidak
menautkan kedua tan-
gan ke belakang. Ia bersiap mengadakan pertarungan
dengan Ludiro. "Tunggu! Tahan emosimu, Laksamana. Kita jangan
sampai salah anggapan dan menjadi korban kare-
nanya." "Aku tidak salah anggapan. Aku melihat sendiri dari teropong di kapalku, bahwa
kaulah orangnya yang
membantai semua anak buahku, kecuali si pengkhianat
Huang Pai!"
"Memang. Memang aku yang membantai mereka, te-
tapi itu karena mereka salah anggapan juga, dan aku
terpaksa mempertahankan diri daripada harus mati di
tangan anak buahmu!" kata Ludiro tetap menjaga ke-siagaan. "Ketahuilah,
Laksamana Chou, bahwa putrimu, Yin Yin itu, ada di tangan Pendekar Maha Pedang
yang bernama Ekayana. Dan aku bukan orangnya
Ekayana. Aku ada di pihak Lanangseta, Si Pendekar
Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti!"
Chou menuding Ludiro dengan geram, "Kau tidak
perlu mengulur-ulur waktu, sekarang saatnya aku me-
nuntut balas atas kematian anak buahku dan kehancu-
ran kapalku!"
Tiba-tiba dari tangan yang menunjuk itu keluarlah
semacam kabut tipis yang melesat bagai disemburkan
dari ujung telunjuk. Ludiro buru-buru menghindar dengan menghentakkan kaki dan
menjadi melambung, me-
lesat ke arah Laksamana Chou. Kaki Ludiro miring, lurus, menerjang kepala
Laksamana Chou. Namun tan-
gan Laksamana menepaknya sebagai sebuah selendang
yang menyabet mata kaki Ludiro.
Sabetan itu cukup lembut dan pelan, namun mampu
membuat tubuh Ludiro bagai dilemparkan oleh suatu
tenaga yang cukup kuat. Ludiro jatuh tanpa bisa men-
gatur keseimbangan tubuhnya. Kaki Chou menghentak
ke tanah kuat-kuat. Andai Ludiro tidak berguling ke ki-ri, maka kepala Ludirolah
yang akan terkena hentakan kaki tersebut. Ludiro tahu kalau kaki Laksamana yang
satu pasti akan menyusul menyerangnya, namun sebelum hal itu terjadi, Ludiro
telah mengirimkan jurus
Tendangan Dewa Mimpinya. Ia berputar dengan ping-
gulnya, lalu kedua kakinya menendang ke atas dalam
kecepatan yang luar biasa sehingga kedua kaki itu
mengenai paha dan selangkangan Laksamana Chou.
Akibatnya, Laksamana Chou menyeringai kesakitan,
dan ia buru-buru melompat mundur sampai beberapa
langkah. "Kuingatkan sekali lagi," kata Ludiro yang telah berdiri tegak, "Jangan kita
menjadi korban hawa nafsu, Laksamana. Pertarungan ini adalah pertarungan sia-
sia!" "Jahanam kau! Kau boleh menganggap pertarungan
ini sebagai pertarungan sia-sia, tetapi aku merasa di-tuntut oleh sekian banyak
arwah anak buahku yang
mati di tanganmu. Dan saat ini mereka mendesakku
untuk segera membunuhmu. Karena itu, sekarang te-
rimalah jurus Paruh Rajawaliku, hiiiaaat...!"
Kedua tangan Laksamana terangkat ke depan wa-
jahnya, menampakkan kedua jari di masing-masing
tangan yang mengeras. Kaki Laksamana terangkat ber-
satu, juga ke depan, seakan seekor Rajawali yang siap mencocok ubun-ubun
manusia. Ludiro masih memandangi gerakan jurus yang terasa aneh baginya itu. Ia
mundur satu langkah pada saat kaki Laksamana Chou
yang kiri maju ke depan dengan kedua tangan memben-
tang kokoh, sekuat kedua jari yang mengeras bagai besi itu. Lalu gerakan tangan
Laksamana menyilang dan
bergerak-gerak cepat membingungkan penglihatan. Pa-
da saat itu, ia berguling ke tanah beberapa kali, dan berhenti tepat di bawah
Ludiro. Lalu dengan cepat kedua tangannya menotok masing-masing kaki Ludiro
dengan keras. Ludiro hanya berkelit, mengangkat kedua kakinya menghindari
totokan yang mungkin berbahaya.
Dengan cepat kaki kanan Ludiro menendang dagu Lak-
samana Chou. Lelaki sipit dan berkumis melengkung
sampai di dagu itu terdongak seketika. Tetapi di luar dugaan, kedua kakinya
melengkung ke atas, dengan
posisi dada masih menempel di tanah. Kedua kaki yang melengkung itu bergerak
cepat, hingga sampai ke bagian depan. Pada saat itu kedua tangan Laksamana
Chou menghentak ke tanah, sehingga meluncurlah tu-
buh itu dalam keadaan telentang. Kaki terarah ke dada Ludiro dan keduanya
menjejak Ludiro dengan keras.
Laksamana Chou tak memberi kesempatan Ludiro
untuk bertindak memberi serangan balik. Laksamana
sudah lebih dulu mengandalkan kekuatan jari-jarinya
untuk menembus dada Ludiro. Tetapi dengan sigap
tangan Ludiro menangkis tiap pukulan.
"Hiaaat...! Hiiaat...! Hiiat...!"
"Huaaah...! Huuh...! Huuh...!" Ludiro menangkis serangan ke dada, ke leher, ke
perut, ke mata dan kemana saja arah kedua jurus tangan menotok itu ditangkisnya
dengan cepat. Namun pada satu kesempatan, Ludiro
berhasil menyodokkan lututnya ke perut Laksamana
dalam posisi tubuh miring ke kiri dan merendah. Lutut Ludiro masuk telak
mengenai ulu hati Laksamana sehingga lelaki berbaju hitam itu mendelik bagai
sukar bernafas. Pada saat tubuh Laksamana mengejang itulah Ludiro menghantam
dada Laksamana dengan pukulan
ganda. Akibatnya, tubuh Laksamana terpental ke bela-
kang dengan mulut menyemburkan darah kental. Ia
terhuyung-huyung. Mengusap darah di mulutnya den-
gan lengan baju dan siap menerjang Ludiro. Kalau saja Ludiro tidak berkelit
dengan melambung ke atas,
mungkin ia akan terkena tendangan beruntun dari kaki Laksamana Chou.
"Hiaaaat...!" Ludiro memekik seraya bersalto dan kakinya dapat mendarat di
pundak Laksamana Chou. Ia
ingin menghantamkan tinjunya ke ubun-ubun Laksa-
mana Chou, namun dengan cepat dan di luar dugaan,
Laksamana Chou menggerakkan kakinya ke atas. Lu-
tutnya hampir mencium hidung sendiri, dan pada saat
itu tendangan kuat mengenai punggung Ludiro. Henta-
kan kaki itu sangat keras, sehingga Ludiro mengerang kesakitan dengan tubuh
terguling ke bawah. Ludiro be-
lum sempat berdiri pada saat itu kaki Laksamana me-
nendang sekali lagi dengan tendangan putar yang amat keras. Kaki Laksamana
dengan telak menghajar rahang
Ludiro, sehingga Ludiro terjengkang ke belakang dan
terguling-guling. Posisi Ludiro telentang pada saat itu.
Dan Laksamana menyerangnya dengan jurus totok ke-
dua jari yang kekar bagai besi itu. Ludiro masih sempat menangkis setiap
serangan balik dengan tangan atau
dengan kaki yang mengibas kian ke mari.
"Hiaaaaaat...!" Tubuh Ludiro berputar di tanah dengan menggunakan punggungnya.
Tendangan Dewa kembali menerjang perut Laksamana dengan kuat se-
hingga tubuh Laksamana terpental, melambung ke
atas. Ludiro segera berguling dan berdiri tegap dengan kepala sedikit pusing.
Sewaktu kaki Laksamana hampir menempel pada
tanah, Ludiro buru-buru menyerangnya dengan satu
pukulan tangan kanan ke arah perut laksamana. Tetapi pukulan itu di tangkis
dengan telapak kaki Laksamana sehingga pergelangan tangan Ludiro merasa ngilu.
Ludiro sempat terpelanting terputar tubuhnya, dan pada
saat itulah tangan Laksamana menyerobot cepat sambil ia melayangkan tubuh ke
atas. Ludiro tak sadar apa
yang telah terjadi. Ia bergegas untuk mencabut pedang Jalak Patinya, namun
gerakannya itu terhenti, karena ia melihat laksamana Chou telah berdiri dengan
menggenggam Cambuk Naga.
Mata Ludiro terbelalak kaget dengan mulut terngan-
ga. Sementara itu, Laksamana Chou sengaja mengambil
posisi agak menjauhi Ludiro. Ia tersenyum getir seraya mengacungkan tangan yang
memegang Cambuk Naga.
"Kau akan mati oleh pusakamu sendiri, Iblis Bu-
suk...!" Laksamana Chou tertawa. "Tapi bukan sekarang kau harus mati. Aku punya
gagasan untuk menukar
cambuk ini dengan Yin Yin putriku! Serahkan putriku
Yi Yin, maka kau boleh mengambil cambuk ini, itu pun kau harus merebutnya!"
"Tunggu...!" Laksamana Chou melesat seperti kilasan cahaya kemerah-merahan.
Ludiro terbengong, cambuknya hilang.
*** 2 Tanpa menunggu banyak pertimbangan, Ludiro pun
melesat mengejar laksamana Chou.
"Berhenti kau, Bajingan...! Berhenti...!" Ludiro berteriak keras dalam luapan
amarahnya. Betapa pun ja-
dinya, Ludiro tetap harus mengejar Cambuk Naga yang
berhasil diserobot oleh Laksamana Chou. Barangkali
Laksamana Chou telah mengetahui letak kekuatan Lu-
diro ada pada cambuk tersebut. Barangkali juga ia telah melihat betapa
dahsyatnya Cambuk Naga itu sewaktu
dipakai melawan sekian banyaknya anak buahnya. Sa-
mudra bisa bergolak dan kapalnya pun tunggang lang-
gang diterbalikkan oleh kekuatan yang ada pada cam-
buk tersebut. Karena itu, mungkin sejak awalnya me-
mang sudah menjadi rencana Laksamana Chou, bahwa
ia harus bisa mencuri cambuk yang selalu disandang di pundak Ludiro.
Sementara itu, Ludiro sendiri tidak mau kehilangan
pusaka warisan bekas putri asuhannya, yaitu Sekar
Pamikat. Memang tanpa cambuk itu pun Ludiro telah
mempunyai suatu keistimewaan, yaitu tubuhnya tak
dapat digores oleh senjata tajam. Ia telah menjadi kebal karena makan lumut
bercahaya yang ditemukan dalam
goa Malaikat, (dalam kisah RAHASIA SENDANG
BANGKAI). Tetapi, tanggung jawabnya terhadap tugas
merawat dan menjaga dua pusaka: Cambuk Naga dan
Pedang Jalak Pati milik Sekar Pamikat, itulah yang
membuat ia harus mengejar Laksamana Chou.
"Laksamana Chou...! Laksamana Chou...! Kita bertanding secara ksatria...!
Bangsat, kau...!" Ludiro me-nyumpah-nyumpah dalam kemarahan ia seraya ia ber-
lari bagai kilat.
Namun agaknya ia telah kehilangan jejak. Ia menyu-
suri pantai, tepian hutan, juga tak terlihat jejak Laksamana Chou. Ia bergegas
naik ke bukit karang yang ada di tepi pantai, siapa tahu Laksamana Chou ada di
sana. Namun yang ia temui justru keadaan lain.
Ia melihat sosok wanita berdiri di tepi tebing dari bukit karang itu. Di samping
dari situ ia bisa melihat gugusan Pulau Kramat yang ada di tengah lautan, juga
ia telah menemukan sosok wanita tanpa daya berpakaian
serba hitam. Mulanya ia mengira Laksamana Chou, te-
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi setelah ia memperhatikan rambut panjang terurai dan dipermainkan angin
pantai itu, ia yakin betul bahwa perempuan itu adalah Mahani, anak Pak Lodang
yang dulu diselamatkan oleh Lanangseta dari cengke-
raman Adipati Legowo. Ludiro mengenal betul siapa gadis itu, sebab waktu itu ia
pula yang mengawal keluarga Lodang mengungsi ke desa Tayub.
"Mahani..." sapa Ludiro dengan hati-hati.
Mahani berpaling menampakkan wajahnya yang pe-
nuh tangis serta luka memar. Di sudut mata kirinya
tampak membiru, ujung bibirnya berdarah, kering. Ba-
gian atas alisnya yang tebal itu tergores luka yang sudah mengering namun masih
kelihatan memerah.
"Paman Ludiro..." Mahani menyapa pelan, namun ia masih berdiri di tepian tebing.
Satu kali ia melangkah, maka tubuhnya akan hancur dihunjam karang-karang
runcing yang bercuatan di dasar tebing itu. Ludiro sedikit curiga melihat
keadaan Mahani seperti itu. Pasti ada sesuatu yang ingin dilakukan gadis
berkulit sawo ma-
tang itu. "Mahani, apa yang telah terjadi?" Ludiro mendekat pelan-pelan.
"Jangan mendekati, Paman...! Jangan mendekat...!"
tangis Mahani menghambur tersengguk-sengguk.
Semakin heran saja Ludiro melihat keanehan terse-
but. "Mahani, tolong jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?" Ludiro berhenti melangkah.
"Apa yang telah terjadi padamu dan apa yang akan kau lakukan di tepi teb-
ing itu?" Mahani menggeleng. Mengisak dalam tangisnya.
Keadaannya yang berpaling sangat mengkhawatirkan
hati Ludiro. Sekali kakinya terpeleset, maka tamatlah riwayat Mahani.
"Mahani tolong jelaskan segalanya yang terjadi..."
Ludiro sengaja bicara dengan hati-hati.
"Aku ingin mati, Paman..." jawab Mahani mengisak sekali lagi.
Ludiro semakin berkerut dahi. "Ada apa kau sebenarnya" Mengapa kau berkata
begitu, Mahani?"
"Lanangseta, Paman...! Lanangseta... ooh..." Mahani menangis semakin jadi. Ia
menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya.
"Mengapa dengan Lanangseta?"
"Ia kejam. Kejam sekali, Paman...!"
Ludiro merasa bingung dengan kalimat demi kalimat
yang diucapkan Mahani.
"Bagaimana kalau kita bicara baik-baik, Mahani.
Pergilah dari situ, nanti kau tergelincir jatuh ke bawah."
"Biar! Memang itu tujuanku. Mati!"
Ludiro menggeleng-geleng samar, sekalipun Mahani
tidak melihatnya. "Agaknya anak ini mau bunuh diri,"
pikir Ludiro yang kemudian mengambil sikap hati-hati, berusaha mengulur niat
Mahani, syukur bisa menunda
langkah picik gadis itu.
Ludiro memperlihatkan sikapnya yang tenang, seka-
lipun sebenarnya menyimpan kecemasan yang mende-
barkan hati. "Mungkin aku bisa menolongmu, Mahani. Bicaralah dengan tenang dan menjauhlah
dari tepi tebing."
"Tidak! Tidak ada yang bisa menolongku! Hatiku telah dihancurkan oleh
Lanangseta, ia membiarkan ga-
disnya menyiksaku seperti ini, Paman..." Mahani memperlihatkan beberapa luka di
pundak, atas dada, serta di tangannya.
Agak janggal rasanya jika gadis Lanangseta setega
itu melakukan penyiksaan kepada Mahani. Jika benar
kata-kata Mahani, berarti Kirana itulah yang dimaksud gadis Lanangseta. Sebab
Kirana, putri Bukit Badai itulah yang menjadi istri Lanangseta secara syah.
Menurut Ludiro, tak mungkin Kirana akan berbuat setega itu. Ia kenal betul,
bahwa Kirana seorang perempuan yang
anggun dan berwibawa. Ia memang bisa berbuat kejam,
tapi terhadap lawan yang kasar dan ganas. Bukan ter-
hadap gadis selugu Mahani.
"Mahani, dalam keadaan serba sedih dan gelap, memang tak terlihat ada kesempatan
untuk bisa lolos. Tapi kalau kita mau menenangkan diri dan berbagi kesedi-han
dengan orang lain, pasti ada jalan keluar dari masalah yang kau hadapi. Nah,
sekarang tolong ceritakan, masalah apa yang kau hadapi sebenarnya. Sehingga
kau hendak mengambil jalan picik itu"!"
Mahani masih mengisak beberapa kali, dan Ludiro
bersabar. Beberapa saat kemudian, Mahani pun mence-
ritakan apa yang telah dialaminya.
*** Agaknya selama ini Mahani benar-benar ingin men-
jadi pendamping hidup Lanangseta. Ia sangat mencintai
pendekar muda yang tampan itu. Tetapi, hatinya men-
jadi hancur ketika ia mendengar kabar bahwa Lanang-
seta hendak menikah dengan perempuan lain. Kemu-
dian ia berlari dari rumah, mencari Lanangseta dan
bermaksud menggagalkan perkawinan Lanangseta den-
gan Kirana. Dalam pelariannya itu, ia sempat bertemu dengan
seorang gadis Cina. Gadis itu sedang bermesraan den-
gan Ekayana, adik kembar Lanangseta. Lalu, Mahani
mengamuk dalam keadaan tanpa memiliki ilmu bela diri sedikit pun. Peristiwa itu
pernah dipergoki oleh Ludiro dan Jaka Bego, yang kemudian dijelaskan oleh
Ludiro, bahwa orang yang disangka Mahani sebagai Lanangseta
itu sebenarnya adalah Pendekar Maha Pedang. Ekaya-
na. Adik kembar Lanangseta. Sedangkan pada waktu
itu, Jaka Bego mengatakan bahwa Lanangseta sendiri
saat ini sedang mengejar pencuri Bunga Teratai Wingit di Pulau Kramat. Maka
seketika itu pula Mahani pergi mengejar Lanangseta ke pantai yang akan menjadi
jalur perjalanan Lanang menuju Pulau Kramat. Mahani bermaksud mencegat
perjalanan Lanangseta untuk mengu-
tarakan cinta dan kesetiaannya. Memang selama ini ia belum mengutarakan isi
hatinya yang sebenarnya kepada Lanang. Karena itu, ia lekas-lekas meninggalkan
Ludiro. Jaka Bego dan sepasang kekasih yang konon
adalah adik kembar Lanangseta itu. Dan pada waktu
itu, Jaka Bego segera memburu Mahani, sebab Jaka
Bego memang naksir gadis lugu itu. (ada dalam kisah: IBLIS PULAU KRAMAT)
Rupanya Mahani gagal menemukan Lanangseta. Ia
tak berhasil mencegat perjalanan Lanangseta. Lalu timbul pemikiran dalam
benaknya, bahwa mungkin sekali
ia dibohongi oleh Ludiro dan Jaka Bego. Mungkin saja pemuda ganteng yang
disangkanya Lanangseta itu sesungguhnya memang Lanangseta. Sebab seingatnya,
Lanangseta tidak pernah menceritakan tentang adik
kembarnya, dan lagi, apa yang ada pada pemuda yang
dipergokinya sedang bermesraan dengan gadis Tiongkok itu, memang serupa betul
dengan Lanangseta. Tak ada
yang berbeda sedikit pun. Itulah menurut pemandan-
gan dan pendapat Mahani. Sehingga, Mahani pun kem-
bali masuk ke hutan, tempat ia memergoki gadis Cina
dengan pendekar tampan itu. Mahani yakin, bahwa
Ekayana itu sebenarnya adalah Lanangseta yang meru-
bah nama demi menutupi penyelewengannya.
Hampir saja Mahani kehilangan jejak. Ia tiba di tem-
pat semula, tapi tempat itu telah kosong. Namun suara tawa seorang gadis masih
terdengar samar-samar. Kemudian Mahani segera memburu arah suara tawa itu.
Pasti gadis Cina itu dengan Lanangseta sedang bercan-da, pikir Mahani.
Ternyata dugaannya itu benar. Ia melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa Lanangseta saat itu sedang menggendong Yin Yin, gadis
Cina, seraya sesekali men-ciumi gadis itu. Mahani yang percaya betul bahwa pe-
muda itu adalah Lanangseta, merasa hatinya bagai ter iris pedih melihat canda
dan kemesraan mereka. Namun ia bersabar sampai ia mengikuti dari kejauhan ke
mana perginya kedua orang tersebut.
Dengan hati hancur, Mahani menguntit langkah me-
reka, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah sungai kecil. Mereka menyusuri
tepian sungai, dan Mahani pun
ikut menyusuri tepian sungai. Sungai itu semakin me-
lebar, dan di ujung sana terdapat sebuah air terjun yang tidak begitu lebat
namun cukup deras. Yin Yin dan kekasihnya yang disangka Mahani adalah Lanangseta
itu menyusuri tepian sungai sampai masuk di balik de-rasnya air terjun. Rupanya
di sana ada sebuah goa yang tertutup air terjun itu. Goa tersebut menjadi tempat
persembunyian Yin Yin dengan kekasihnya, sekaligus
menjadi tempat berlindung bagi mereka.
Cinta sudah terlanjur membakar darah. Mahani tak
memperdulikan bahaya. Ia meniti bebatuan licin untuk mencapai batuan tepi goa.
Kemudian dengan bersusah
payah, ia berhasil juga masuk ke dalam goa tersebut.
Agaknya sudah cukup lama gadis Yin Yin dan pemuda
yang disangka Lanang itu tinggal di dalam goa tersebut, terbukti dengan
banyaknya obor dan perapian yang ada di dalam goa.
"Lanang..!" seru Mahani. Suara itu menggema, dan kedua orang itu belum terlihat.
Mahani masuk lebih ke dalam. Ia masih berteriak, "Lanang...! Jangan tinggalkan
aku...!" Langkah Mahani sangat hati-hati. Di situ keadaan ti-
dak bertanah datar. Banyak bebatuan yang menonjol
dan berlumut. Obor-obor penerang tertempel pada dinding dan di sela bebatuan.
Tanpa obor penerang itu, Mahani akan terantuk batu beberapa kali, atau bahkan
akan menabrak batu-batu besar yang bertonjolan bagai dinding-dinding penyekat
kamar. "Lanangsetaaaaaa...! Jangan bohongi aku! Aku tahu kau Lanangseta...! Aku
mencintaimu, Lanang...! Jangan tinggalkan aku...! Aku lebih dulu mengenalmu dan
mencintaimu daripada gadis bermata sipit ituuu...!" se-ru Mahani tanpa
memperhitungkan hal-hal lain. Ia te-
rus saja masuk ke kedalaman goa, melompati bebatuan, membelok di sela-sela batu
setinggi lebih dari tinggi tubuhnya.
"Perempuan lacur...!" terdengar suara menggema dari mulut seorang perempuan yang
belum terlihat Mahani.
Mahani berhenti melangkah, dan ia pun mulai
menggeletukkan gigi melihat kemunculan Yin Yin dalam busana setengah telanjang.
Agaknya ia telah mengerja-kan sesuatu yang tertunda karena kehadiran Mahani
yang berteriak-teriak tadi.
"Apa perlumu ke mari, Perempuan lacur"!" kata Yin Yin yang bersuara kecil namun
tandas. Menyakitkan
hati. "Kau yang perempuan lacur!" balas Mahani. "Kau merebut kekasih orang! Rakus!"
Mahani bicara dengan mata membelalak lebar, memancarkan dendam dan
kemarahan. Yin Yin dengan berani menyampar Mahani dan me-
nampar pipi Mahani keras-keras, sehingga Mahani me-
mekik kesakitan.
"Berani bicara seenaknya di depanku, kubunuh kau!
Kau belum tahu siapa aku, hah"!" bentak Yin Yin sambil merapikan pakaiannya.
Mahani semakin marah. Ia menatap Yin Yin dengan
sorot mata berapi-api. Pada saat itu, Yin Yin meluda-hinya dengan kasar. Mahani
semakin sakit hatinya, ia segera mengambil batu dan melemparkannya kepada
Yin Yin. Tetapi belum sempat Mahani melemparkan ba-
tu itu, pergelangan tangannya telah tersentil batu kecil yang melesat dari jari
jemari Ekayana.
"Uuh...!" Mahani menyeringai kesakitan. Tulang-tulang jemarinya bagaikan
dipatah-patah. Terasa sakit dan ngilu sekali, sehingga untuk menggenggam batu
pun ia tak sanggup. Mahani berpaling memandang
Ekayana yang berada di atas sebuah batu ceper. Lelaki itu sudah telanjang dada
dan hanya mengenakan bagian bawah pakaian saja. Ia tersenyum sinis kepada
Mahani. "Lanang..."! Kau lupa padaku"!" Mahani meratap.
"Dia bukan Lanang! Dia Ekayana!" bentak Yin Yin.
Mahani berpaling memandang Yin Yin dengan geram
kemarahan. Lalu ia memaki Yin Yin dengan kata-kata:
"Perempuan murahan! Kau bohongi aku dengan see-
nak perutmu, ya" Kau pikir aku tidak bisa mengenali
Lanangseta" Hem...! Ketahuilah olehmu, Perempuan Ja-
lang, bahwa aku lebih kenal Lanang ketimbang kamu!
Aku memandang Lanang dengan mata hatiku yang me-
nyimpan cinta, sedangkan kau memandang Lanang
hanya dengan nafsu binatangmu! Ciih...!"
"Plak...! Plak...!"
Yin Yin menampar muka Mahani dengan keras. Ga-
dis desa itu tak dapat menghindar, sebab ia memang tidak pernah berkelahi dan
tidak memiliki ilmu silat sedikit pun. Sedangkan Yin Yin agaknya mempunyai ilmu
silat sekali pun hanya beberapa jurus. Ia segera meng-hampiri Mahani yang tengah
merangkak karena terja-
tuh, dan dengan keras Yin Yin menendang mulut Ma-
hani hingga tepian bibirnya robek dan berdarah.
"Ini upah bagi perempuan lancang!" kata Yin Yin.
Mahani menjerit kesakitan. Ia menutup mulutnya
dengan telapak tangan dan memandang Ekayana.
"Lanang... tolong aku...!" ucapnya tak jelas sambil menangis. Ekayana hanya
tersenyum dan tetap duduk
di tempat. "Maaf, aku bukan Lanangseta...! Aku Ekayana...!"
"Bohong!" teriak Mahani. "Aku tahu kau adalah Lanangseta. Aku pernah memelukmu
dan..." "Pergi kau dari sini, Keparat!" teriak Yin Yin yang mempunyai suara kecil seraya
menendang perut Mahani. Mahani terguling dan kepalanya membentur batu.
Yin Yin yang merasa tak suka mendengar Mahani per-
nah memeluk Ekayana, segera menarik rambut Mahani.
Lalu dengan keras ia menghantam wajah Mahani se-
hingga membiru mata Mahani yang kiri. Belum puas
dengan itu, Yin Yin mengibaskan kukunya hingga
menggores kening Mahani dan berdarah.
"Laannaaang...! Tolooooong....!" Mahani menjerit-jerit dalam kesakitannya.
Mahani tak sempat melihat apakah orang yang dikira Lanang itu bertindak atau
tidak, tapi yang ia ketahui, bahwa tubuhnya dilemparkan dari
atas batu oleh Yin Yin. Ia berusaha untuk bangkit setelah kepalanya membentur
tepian batu, namun Yin Yin
telah siap menghajarnya lagi dengan tendangan ke
pinggang Mahani.
"Pergi kau...! Pergi dari sini...! Kau mengganggu kebahagiaan kami, hih...!"
"Aaauhh...!" Mahani terguling menabrak bebatuan runcing. Yin Yin terus
menghajarnya, memukul, menendang, bahkan melemparnya dengan batu beberapa
kali, Mahani tak dapat menghindar sedikit pun. Ia lemas. Dan ia membiarkan
tubuhnya terseret-seret oleh
tangan Yin Yin. Kemudian ia masih sadar saat ia dilemparkan keluar goa, menembus
curahan air terjun. Dan
ketika ia jatuh ke sungai, ia sudah tidak sadarkan diri lagi. Ketika ia siuman,
ia mendapatkan dirinya terdam-par di tepi sungai. Kakinya tersangkut lilitan
akar pohon. *** Ludiro menghela nafas, merasa iba mendengar cerita
Mahani. Ia sengaja membiarkan gadis itu menangis teri-sak-isak. Sebab jika ia
mendekat, takut kalau Mahani bahkan nekad loncat dari atas tebing karang itu.
"Sebab itu, Paman..." kata Mahani di sela isaknya.
"Saya lebih baik mati daripada menanggung siksaan seperti ini."
Ludiro menghela nafas lagi. Lalu berkata pelan:
"Aku ingin menolongmu, tapi izinkan aku mende-
kat..."
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak! Paman mendekat, aku loncat!" ancam Mahani dengan sungguh-sungguh. Ludiro
hanya angkat ba-
hu, merasa tak sanggup menjelaskan maksudnya lagi.
"Saya ingin mati dengan cara saya sendiri, Paman.
Biar lengkap sudah penderitaanku ini."
"Kau mencintai Lanangseta sungguh?"
Mahani memandang Ludiro, mulai tertarik dengan
kata-kata Ludiro.
"Apakah.... apakah Paman benar-benar bisa meno-
longku?" "Akan kucoba. Kalau kau yakin maka aku akan bi-
sa." Mahani menggeleng. "Tapi semuanya sudah terlanjur, Paman. Aku sudah
terlanjur sakit hati kepadanya, terlebih kepada gadis Cina itu! Aku ingin
membunuh-nya!"
"Kalau kau mati bunuh diri, apakah kau bisa membunuh Yin Yin, gadis Cina itu?"
Ludiro memancing kesadaran Mahani.
Mahani diam saja. Mengisak dalam tangisnya.
Ludiro berkata lagi dengan tenang, dan ia bergerak
maju perlahan-lahan.
"Kalau kau bunuh diri, kau bodoh! Kau tidak akan bisa membalas dendam kepada Yin
Yin, yang telah menyiksamu sedemikian keji. Kalau aku jadi kamu, aku
akan membalas dendam dulu kepada Yin Yin, setelah
itu baru bunuh diri. Andaikata sekarang kau bunuh di-ri, bukankah mereka berdua
tetap bermesraan dan se-
makin menghangat" Oh, alangkah tololnya kamu jika
kamu mau mati demi kebahagiaan mereka?"
Suara isak tangis masih terdengar. Namun kata-kata
Mahani tenggelam tak terdengar lagi. Agaknya ia mulai menyadari apa yang
dikatakan Ludiro itu.
"Mahani.." Ludiro berkata lagi dengan hati-hati. Ia mencoba merubah jalan
pikiran gadis anak Pak Lodang
itu dengan bujukannya. "Kau seharusnya bisa me-
nyingkirkan Yin Yin. Kau akan bebas memiliki kekasih Yin Yin jika gadis itu
sudah kau singkirkan. Kau bebas bercinta dengan pemuda yang kau harapkan itu..."
"Tidak! Aku sudah terlanjur benci dengan Lanangseta!" teriak Mahani sambil
bergegas menepi. Ludiro ce-
mas. "Sabar...! Pikirkan lebih masak lagi, Mahani."
"Aku sudah pikirkan, dan inilah keputusanku! Aku harus pergi meninggalkan
mereka, meninggalkan dunia
ini!" Mahani semakin menepi, sesekali memandang ke
bawah. Ludiro menjadi khawatir sekali.
"Mahani, dengarkan nasihatku... kau bisa mencintai pemuda lain yang lebih
ganteng dan lebih gagah dari
Lanangseta. Kau bisa..."
"Tidak, Paman! Tidak ada pilihan lain bagiku!"
"Sabar, Mahani... Aku bisa membantumu...!"
"Tidak ada yang bisa membantuku!"
Gadis ini keras kepala juga, pikir Ludiro dalam ke-
bingungannya. "Begini saja, Mahani... sebaiknya..."
Mahani menyahut, "Sebaiknya aku pergi sekarang, Paman. Selamat tinggal.
Sampaikan salamku kepada
Lanangseta, semoga ia berbahagia di atas kematianku
ini...!" "Mahani...! Mahani, tunggu...!"
"Aaaahhh...!"
Mahani terpeleset kakinya dan ia pun terguling jatuh dari atas tebing.
"Mahaniiii....!" teriak Ludiro yang menjadi panik melihat peristiwa itu. Ia
hampir saja terjerumus ikut masuk ke dalam tebing kalau saja ia tidak segera
meng- hentikan langkah kakinya. Ia buru-buru menjauh dari
mulut tebing karang dan berlutut dengan mata terpejam dan kedua tangan
menggenggam kuat-kuat.
"Picik...! Picik sekali otakmu, Mahani...!"
Ludiro merasa gagal menolong Mahani. Ia merasa
seperti orang bodoh. Ia jengkel sendiri kepada dirinya, juga kepada Mahani yang
benar-benar keras kepala itu.
"Bodoh! Bodoh aku, Ludiro...!" teriak Ludiro sendiri
dalam kejengkelannya. Ia memukul-mukulkan tinjunya
ke paha sendiri sampai beberapa kali. Kemudian ia tertunduk diam. Nafasnya yang
terengah-engah diredakan.
Ia mencari ketenangan diri dengan menghela nafas be-
berapa kali. Ia masih bersimpuh dan menjaga keseim-
bangan jiwanya.
Tiba-tiba ada suara yang dikenal Ludiro memanggil-
nya. "Paman..."
Ludiro bergegas mengangkat wajah dan memandang
lelaki gagah dan kekar yang berjalan sambil menggen-
dong Mahani. "Lanang..."!" Ludiro segera bangkit dan mendekat.
"Kau... kau telah berhasil menyelamatkan dia, Lanang?"
Lanangseta, Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Ma-
laikat Pedang Sakti itu hanya menyunggingkan senyum
tipis. Kedua tangannya masih menggendong tubuh Ma-
hani yang dalam keadaan pingsan.
"Luar biasa. Sangat di luar dugaan...!" kata Ludiro.
"Dia menjadi korban nafsunya sendiri! Hampir saja dia mati dengan sia-sia...!"
kata Lanang sambil memperhatikan Mahani yang terpejam pingsan.
"Ya. Dan... syukurlah kau berhasil menyelamatkan dia."
"Kebetulan saja saya berada di bawah, memandangi Pulau Kramat itu. Saya menerka-
nerka, apa yang dilakukan Nyai Katri, penguasa Pulau Kramat itu terhadap Jaka
Bego, teman kita. Dan saya juga sedang mem-bayangkan apa yang sedang kau lakukan
di pulau itu, Paman. Tapi rupanya, kau belum berangkat ke sana.
Aku mendengar suaramu berbicara dengan Mahani. La-
lu kulihat, keadaan Mahani sangat gawat kau pasti tak akan bisa menolongnya,
Paman. Dia gadis keras kepala.
Sebab itu, diam-diam aku berjaga-jaga di bawah sana.
Dan ketika dugaanku benar, Mahani nekad terjun dari
tebing jurang karang ini, aku segera melesat menang-
kapnya. Tapi... dia sudah tak sadarkan diri."
Lanangseta meletakkan Mahani pelan-pelan di tem-
pat yang agak datar. Ludiro manggut-manggut, ada pe-
rasaan lega yang terhempas lewat nafasnya.
"Aku tak bisa memusatkan pikiran untuk menolongnya, Lanang. Ada masalah lain
yang lebih penting."
"Dan masalah itu yang membuat paman Ludiro be-
lum berangkat menyeberang ke Pulau Kramat?" tanya Lanang.
Ludiro mengangguk. "Ya. Aku... aku..." Ludiro kelihatan bingung. Lanangseta
memperhatikan gugusan pu-
lau di seberang lautan. Pulau Kramat. Tiba-tiba ia terkejut mendengar Ludiro
berkata: "Cambuk Naga hilang, Lanang..."
Wajah Lanang berpaling cepat, bagai mendapat sua-
tu tamparan keras demi mendengar kata-kata itu.
Mata Lanangseta memandang punggung Ludiro, dan
ia tidak melihat Cambuk Naga di sana. Ia menggeram
dalam kecemasan.
"Gila! Siapa yang mencurinya, Paman"! Siapa!"
Pandangan mata Ludiro sayu. Ia menunduk, merasa
bersalah. Lalu dengan suara pelan ia pun menjawab:
"Ayah Yin Yin..."
"Laksamana Chou itu?"
Ludiro mengangguk. Lanangseta menggeram gemas
dan memukulkan tangan kirinya ke tangan kanannya.
"Kurang ajar...! Orang itu agaknya perlu mendapat pelajaran yang keras, supaya
ia tahu persis bahwa kita sebenarnya tidak mempunyai urusan dengan dia!"
"Aku sudah mencoba bertarung dengannya..."
"Dan, Paman Ludiro kalah?"
"Tidak begitu. Bukan soal kalah atau menang, tetapi rupanya ia telah mengincar
Cambuk Naga. Ia ingin
membalas dendam terhadap kematian anak buahnya
yang kuhancurkan beberapa waktu yang lalu itu. Tetapi yang paling utama, dia
ingin agar anak gadisnya dikembalikan. Dia masih mengira kita-kita orang yang
melarikan Yin Yin."
"Biadab! Jahanam juga Yin Yin itu...!"
"Dia akan menukar Cambuk Naga dengan putrinya.
Jika Yin Yin dikembalikan, maka Cambuk Naga pun
akan dikembalikan, meski dengan cara harus merebut-
nya!" Lanangseta termenung dengan geraham menggele-
tuk. Kemudian ia bertanya dengan kemarahan yang
terpendam: "Ke mana arah kepergiannya" Biar aku saja yang
merebut kembali Cambuk Naga."
Ludiro menggeleng. "Entah ke mana. Tetapi sewaktu aku mengejarnya, tahu-tahu aku
kehilangan jejak, dan menemukan Mahani di sini, mau bunuh diri."
"Aaaah...!" Lanang mendesah jengkel. "Kalau begitu, sekarang Paman pergi saja
dengan Mahani. Dia yang
tahu tempat persembunyian Ekayana dan Yin Yin, me-
nurut ceritanya yang sempat kudengar tadi. Paksa Yin Yin untuk kembali kepada
orang tuanya, dan paksa
Ekayana untuk melepaskan Yin Yin, lalu merebut kem-
bali Cambuk Naga. Katakan, aku yang menyuruhnya.
Dan, aku sendiri yang akan membebaskan Jaka Bego di
Pulau Kramat itu...!"
*** 3 JAKA BEGO, sosok manusia muda yang kurus ke-
rempeng dengan rambut tak pernah teratur. Tampang
bloon yang menghias setiap penampilannya itu sering
membuat orang gemas kepada ketololannya. Kini ia
menjadi tawanan Nyai Katri, seorang perempuan cantik sebagai penguasa Pulau
Kramat. Lanangseta dan Ludiro pernah keteter menghadapi
kesaktian Nyai Katri ketika peristiwa di Tebing Neraka, maupun di istana Sendang
Bangkai. Perempuan itu hidup pada zaman ayah Kirana, Sabdawana, belum lahir.
Usianya sudah cukup banyak. Ia dulu pernah menjadi
suami keturunan leluhur Bukit Badai, yaitu leluhur Kirana, istri Lanangseta.
Bahkan menurut cerita Sabda-
wana, Nyai Katri yang dulu bernama Areswara itu per-
nah menjadi pimpinan kapal bajak laut, yang kejam, tak kenal ampun, dan
kekuatannya itu tak ada yang bisa
menandingi. Banyak kapal yang pernah dijungkir-
balikkan, dihancurkan dengan tenaga dalamnya setelah seluruh hartanya terkuras
habis oleh anak buah Nyai
Katri. Tetapi siapa sangka ia akan bertekuk lutut di hada-
pan Jaka Bego, pemuda ingusan yang tak tentu rim-
banya itu. Siapa akan menduga kalau seluruh kesak-
tian Nyai Katri dapat terkuras habis ketika ia bercumbu dengan Jaka Bego sampai
beberapa hari beberapa malam. Bahkan Andini, bekas kekasih Ekayana yang lebih
cenderung mencintai Lanangseta itu juga tertunduk
lunglai dalam dekapan Jaka Bego. Andini bukan pe-
rempuan sembarangan. Ia mempunyai kesaktian juga
yang bisa diandalkan. Tapi toh ia kini menyesal dan
menangis setelah ilmu Asmara Pusaka Dewa menyerap
segala ilmu tenaga dalamnya melalui kemesraan bersa-
ma Jaka Bego. Andini yang ingin bergabung dengan Nyai Katri, ini
sudah menjadi perempuan biasa, tanpa kepandaian dan
kekuatan yang dahsyat. Begitu juga Nyai Katri, tak jauh berbeda dengan ibu rumah
tangga yang lebih banyak
memikirkan makanan dan masakan ketimbang ber-
tanding adu kedigdayaan. Kedua perempuan yang men-
diami Pulau Kramat itu masih belum mengerti, siapa
sebenarnya Jaka Bego itu, Yang mereka tahu, Jaka Be-
go hanyalah sosok pemuda kurus kerempeng yang tidak
punya daya tarik seperti laki-laki lainnya. Jaka Bego lebih kelihatan
ketololannya ketimbang kehebatannya dalam hidup keseharian. Satu-satunya
kehebatan yang ada pada Jaka Bego adalah kejantanannya yang mem-
bius sukma kedua perempuan itu. Nyai Katri sendiri
mengakui, bahwa belum pernah ia menemukan kejan-
tanan yang luar biasa hebatnya sepanjang hidup Nyai.
Hanya pada Jaka Bego sajalah segala impiannya dalam
bercinta menjadi satu ujud kenyataan yang mencekam
jiwa. Apa yang bisa dilakukan Nyai Katri dan Andini tanpa
ilmu dan kesaktian, adalah menjadi seorang perempuan yang selalu merindukan
kehangatan Asmara Pasak De-wa. Hanya itu. Dari hari ke hari, mereka tak habis-
habisnya bagai kumbang menghisap madu dari setang-
kai bunga surgawi. Jaka Bego yang memang bego itu
tak merasa dijadikan kuda dari kedua perempuan itu.
Malam, siang, maupun pagi, Jaka Bego bagai seorang
nelayan yang siap mengarungi samudra dengan sampan
dan dayung kejantanannya. Sebenarnya ia bisa saja lari dari pulau tersebut. Nyai
Katri maupun Andini tak akan mampu menghalanginya lagi, sebab kedua perempuan
itu sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan
Jaka Bego. Tetapi, Jaka Bego tidak mau. Bahkan ia bisa saja membunuh Nyai Katri
dan Andini, namun ia juga
tidak mau. "Mengapa kau tidak mau lari atau membunuh ka-
mi?" Nyai Katri pernah bertanya begitu pada suatu malam, di mana Andini pun
tidur di dalam pelukan Jaka
Bego sebelah kiri, sedang Nyai Katri di sebelah kanannya.
Waktu itu Jaka Bego hanya berkata:
"Lari" Lari ke mana?"
"Ke mana saja!" jawab Nyai Katri seraya tangannya melakukan kegiatan yang
sesekali membuat Jaka Bego
mendesis. "Aku tidak punya rumah, Nyai. Aku tidak punya
tempat tinggal. Jadi, di mana aku merasa senang, di si-tu aku tinggal dan
berdiam diri sampai aku bosan."
"Jadi kau senang tinggal di pulau ini bersama kami berdua ini?" Andini menyahut
sambil merayapkan jari jemarinya dan membuat Jaka Bego menggelinjang geli.
"Kupikir, saat ini aku memang masih senang hidup di pulau ini," kata Jaka Bego.
"Tenang, damai, aku tidak dimusuhi orang lain dan tidak memusuhi orang lain."
"Apakah kau akan bosan, Jaka?" bisik Nyai Katri.
"Bosan?" Jaka Bego mengerutkan kening. Diam sesaat, lalu menggeleng. "Entahlah.
Mungkin juga bisa bosan. Sebab aku dulu tinggal bersama seorang petani juga
bosan, disuruh mencangkul sawah terus."
"Gawat! Padahal di sini kaupun disuruh mencangkul terus," timpal Andini. Dan
Nyai Katri tertawa kecil.
Kata Nyai, "Rasa-rasanya kami bisa mati jika kau tak mau mencangkul, Jaka. Kami
butuh tenagamu dan
cangkulmu untuk mencangkuli sawah kami, agar kami
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa tetap hidup." Andini menimpal lagi:
"Cangkul yang panjang dan berkekuatan seratus tenaga kuda, bukan?" Lalu
perempuan berkulit kuning langsat itu tertawa mengikik, demikian juga Nyai Katri
dan Jaka Bego. "Aku khawatir kalau kau akan bosan mencangkul di sini."
Jaka Bego menjawab, "Kalian ini seperti orang dun-gu. Di sini kan tidak ada
sawah" Bagaimana aku bisa
mencangkul" Dan, apakah kalian lupa bahwa sehari-
harian aku jarang turun dari ranjang, bagaimana bisa
kalian berkata bahwa aku di sini juga mencangkul" Rasanya kok tidak pernah."
Andini yang manja itu tertawa dalam desah, ia me-
mainkan bibir Jaka Bego seraya berkata, "Sawah di sini kan berbeda dengan sawah
di tempat lain."
"Di sini memang tidak ada sawah," kata Jaka Bego yang belum mengerti maksud
pembicaraan itu.
"Kami inilah sawah-sawahmu," bisik Nyai Katri.
Andini dan Nyai Katri semakin mengikik, tetapi Jaka
Bego diam dalam ketololannya. Di luar pengetahuan-
nya, tentang bahasa cinta itu, Jaka Bego merasa bang-ga, sebab kini dirinya yang
dulu seperti daun kering tak pernah ada yang mau meliriknya, sekarang malahan
dua perempuan cantik sekaligus yang mau meremas-
remasnya. Kalau saja ia daun kering biasa, sudah tentu hancur dalam beberapa
remasan. Beruntung sekali ia
daun kering yang berlapis logam baja, sehingga kendati diremas-remas beberapa
kali oleh dua perempuan tak
akan retak sedikit pun.
Suatu kekuatan misterius ada pada diri Jaka Bego,
dan hal ini tidak disadari oleh Jaka Bego sendiri. Namun Nyai Katri tahu, bahwa
Jaka bego bukan orang
sembarang. Secara diam-diam ia mengakui bahwa di-
rinya telah mutlak dikalahkan oleh Jaka Bego yang
mampu membuat Nyai Katri seperti perempuan desa,
tanpa kekuatan dan ilmu. Tetapi sesekali memang ser-
ing timbul kecemasan pada diri Nyai maupun Andini,
mereka takut kalau Jaka Bego kehabisan tenaga tak
mampu lagi mencangkul untuk mereka. Karena itu,
Nyai Katri dan Andini pagi itu bergegas untuk mencarikan ramuan yang akan
menjaga kekuatan Jaka Bego
dalam mencangkul.
"Aku tak ingin ia kehabisan daya," kata Nyai.
Andini menyahut, "Aku khawatir juga begitu, Nyai, jadi, setidaknya kita harus
merawat dia supaya tetap
sehat dan mempunyai daya untuk mengarungi lautan
lepas bersama kita. Apakah Nyai ada gagasan lain?"
Nyai Katri yang berwajah lebih cantik dan lebih
mempesona dari Andini itu hanya mengangguk. Berun-
tung sekali walau segala ilmunya telah sirna, namun kecantikannya yang muda
tidak ikut luntur akibat se-rapan Asmara Pasak Dewa dari Jaka Bego itu. Sehingga
gelora Nyai Katri dalam bercumbu, tak jauh berbeda
dengan hasrat bercinta Andini. Gairahnya adalah gairah perempuan berusia muda
yang seakan sedang di puncak pubertas. Karena itu, Nyai pun tak ingin gairahnya
kandas hanya karena Jaka Bego lunglai.
"Seingatku, di Pulau ini ada lebah dan sarangnya pada sebuah pohon. Bagaimana
kalau kita mencari ma-du di sarang lebah itu. Dengan madu dan rebusan daun
binari, kita dapat menjaga kesehatan dan kekuatan bertahan Jaka Bego," kata Nyai
Katri kepada Andini.
"Aku setuju. Tapi jangan katakan kecemasan ini kepada Jaka Bego, nanti dia tahu
kalau kita lemah dan
tergantung kepada dia."
"Ah, dia memang sudah tahu. Hanya saja dia sendiri juga menyukai ketergantungan
kita." Andini tersenyum bangga. Paling tidak ia masih
mempunyai harapan bahwa suatu impian mesra akan
mampu diresapi sampai beberapa hari. Ia merasa se-
bentuk kebahagiaan batiniah akan mampu dilahapnya
sampai beberapa lama, jika benar bahwa Jaka Bego
menyukai ketergantungannya.
"Tapi, Nyai... apakah kekuatan kita, ilmu-ilmu kita tidak dapat kembali lagi
melalui bantuan Jaka Bego"
Apakah akan hilang selamanya?"
Nyai Katri juga menggelisahkan hal itu Namun ia
berkata dengan mata memandang ke atas, mencari di
mana ada sarang lebah yang tergantung pada dahan
pohon. Mereka bicara sambil melangkah memburu ma-
du hutan. "Setahuku, ilmu yang telah terserap oleh kekuatan Asmara Pasak Dewa tidak bisa
kembali lagi kepada kita.
Hilang musnah begitu saja dari kita,, namun menjadi-
kan kuat pada diri orang yang memilik ilmu Asmara Pasak Dewa. Sebetulnya, saat
ini Jaka Bego mempunyai
kesaktian yang maha dahsyat, seperti kesaktianku du-
lu. Apalagi sekarang ia juga memiliki kesaktianmu, itu akan membuatnya menjadi
lebih hebat lagi. Mungkin
dapat mengalahkan Lanangseta."
Andini menggumam panjang. Nyai meneruskan kata:
"Ia dapat bergerak di luar kesadaran, memperagakan ilmu pukulan Bidadari Senja
milikmu, atau Siluman
Raga Muspra yang kumiliki itu, dan yang lain-lainnya.
Kala dia mau dia bisa. Tapi agaknya dia tidak mau..."
"Tidak mau atau memang tidak tahu?"
Nyai berhenti melangkah. "Maksudmu tidak tahu
bahwa ia telah memiliki semua ilmu kita?"
"Ya. Bisa saja ia menggunakan ilmu Pasak Dewa di luar kesadarannya, sehingga ia
tidak tahu persis bahwa dirinya sebenarnya sudah berilmu tinggi."
Nyai Katri manggut-manggut. "Bisa juga... ya, ya.."
Nyai Katri tampak bimbang. "Tapi, siapa tahu ia hanya berlagak tolol dan
mempunyai maksud tersendiri?"
Kini Andini menggumam panjang lagi. Lalu ia pun
berkata, "Kita belum pernah membicarakan hal itu dengannya, Nyai. Siapa tahu dia
bisa mengembalikan ke-
kuatan kita sebenarnya?"
Nyai Katri yang bergaun ungu itu memandang Andini
yang mengenakan gaun tipis milik Nyai berwarna kun-
ing gading. "Dulu aku secerdas kamu, malah lebih cerdas dari kamu," kata Nyai. "Tetapi,
aneh... sekarang aku tidak mempunyai kecerdasan seperti itu, sehingga aku tidak
mempunyai pikiran seperti yang kau katakan tadi."
Andini hanya angkat bahu dan berkata, "Aku hanya ingin melawan Lanangseta dan
istrinya, kalau kekuatan dan ilmu-ilmuku itu bisa kembali lagi."
Nyai diam merenung, seperti ada yang sedang ia pi-
kirkan. Andini memandangnya dengan heran, seakan
menunggu sesuatu yang akan diucapkan Nyai Katri.
"Lanangseta...?" ucap Nyai dalam gumam. "Apakah dia belum dikalahkan oleh
Prabima, si Putra Tunggal
itu?" "Nyatanya sampai detik ini Prabima tidak pernah datang lagi kepada kita. Pasti
ia telah dibunuh Lanangseta, Nyai."
"Dibunuh...?" kata-kata ini pun terucap dalam gumam.
"Kau yakin Prabima bisa dikalahkan Lanangseta?"
"Ya. Aku mempunyai keyakinan akan hal itu."
Nyai mendengus dan berjalan lagi, matanya meman-
dang ke atas pohon, mencari sarang lebah yang bisa di-ambil madunya buat
campuran minuman Jaka Bego.
Hati Nyai sebenarnya gelisah jika memikirkan Prabima, bimbang dengan pertarungan
Prabima. Karena sampai
saat itu pun Nyai tidak bisa mengontrol apakah Prabima masih hidup atau sudah
mati. Jika memang benar Prabima yang sudah dibekali beberapa ilmu oleh Nyai itu
dapat dikalahkan Lanangseta, maka sekarang ini tak
ada lagi orang yang bisa mengalahkan Pendekar Pusar
Bumi itu kecuali... Jaka Bego sendiri. Jaka Bego mempunyai kekuatan yang maha
dahsyat, dan kekuatannya
itulah yang mampu menandingi kehebatan Lanangseta.
Tapi, dapatkah Nyai Katri mengadu Jaka Bego dengan
Lanangseta"
Nyai Katri menghilangkan pikiran itu, sebab sarang
lebah yang dicari-carinya sudah ketemu. Namun ia
mengeluh sedih, lalu berkata:
"Kalau saja aku masih mempunyai kesaktian yang
dulu, dengan mudah aku dapat terbang mengambil sa-
rang lebah itu."
"Ya. Aku pun dapat demikian, Nyai. Tetapi keadaan kita sekarang sudah lain. Kita
harus memanjatnya,
Nyai..." Jaka Bego sendiri tidak tahu kemana kedua perem-
puan cantik berambut panjang itu pergi. Yang ia rasakan adalah masa istirahat
yang nyaman. Ia tidak ter-
ganggu gelitik dan desahan nafas kedua perempuan itu.
Ia tertidur dengan nyenyak, bahkan mendengkur. Dan
pada sore hari, ia bangun. Di meja telah terhidang makanan, buah-buahan dan
segelas minuman berwarna
kehijau-hijauan. Setelah menyantap ikan bakar bersa-
ma kedua perempuan bergaun tipis sekali itu, Jaka Be-go pun disuruh meminum
ramuan yang dibikin oleh
Nyai Katri. "Minumlah, supaya badanmu tetap sehat dan segar,"
kata Nyai kepada Jaka Bego yang memandang heran ke
arah minuman tersebut.
"Percuma saja..." ujar Jaka Bego lesu. "Badanku tak akan bisa segar. Tetap saja
kurus kerempeng begini dari dulu sampai sekarang. Dulu juga ada orang yang me-
nyuruhku minum jamu. Katanya jamu gemuk badan.
Setelah kuminum beberapa gelas, badanku tetap saja
kurus kerempeng, tidak bisa gemuk-gemuk juga. Mala-
han perutku kembung karena kebanyakan minum jamu
itu." "Ramuan ini memang tidak bisa menggemukkan ba-
dan, hanya membuat badan menjadi segar, sehat dan..."
"Bersemangat tinggi," sahut Andini seraya mengikik.
Tangannya masih saja mempermainkan sesuatu pada
diri Jaka Bego sehingga Jaka Bego sesekali menggelinjang dalam desis yang
pendek. "Apakah menurut kalian aku kurang mempunyai
semangat hidup?" tanya Jaka Bego yang tidak paham
dengan arah pembicaraan mereka.
"Bukan semangat hidup maksudku."
"O, jadi semangat apa yang kau maksud?"
"Biasa... semangat untuk mendayung sampan," balas Nyai Katri yang sama sekali
tidak kelihatan wibawa dan angker seperti dulu.
"Apakah kita akan berlayar mengarungi lautan" Kenapa aku harus mendayung lagi"
Apakah kalian tidak
bisa mendayung sendiri?" Jaka Bego, jelas kelihatan be-gonya.
"Sekali pun kami siap mendayung sendiri, tapi kau harus tetap punya semangat
mengarungi lautan, Jaka,"
kata Nyai Katri. "Karena itu minumlah ramuan ini, tidak pahit dan tidak meracuni kok."
"Ah, tak perlu...!"
"Biar kau sehat, Jaka" bujuk Nyai.
"Aku masih tetap sehat walau ceking begini."
"Jaka..." Andini mau bicara tapi terpotong oleh kalimat Jaka Bego.
"Kau tidak percaya kalau aku tetap sehat" Kau lihat aku sakit-sakitan, ya?"
Andini memandang Jaka Bego dengan tatapan pe-
nuh nafsu. Ia melirik ke bagian bawah Jaka bego, dan ia menelan ludahnya
sendiri. Tanpa sadar ia berkata,
"Kau memang kelihatan sehat. Selalu sehat. Dan ini membuatku merasa heran. Sudah
sekian lama, bahkan
terlalu sering kamu mencangkul di ladang asmara, tapi kau masih kelihatan sehat-
sehat saja. Kau tidak kelihatan pucat seperti kami berdua. Benar-benar aneh,
bagi-ku." "Bagiku tidak aneh. Kau pucat karena kau kurang darah." ujar Jaka Bego sambil
mencomot buah seperti jambu, namun bukan jambu, Jaka tak tahu namanya.
"Kau memang luar biasa, Jaka," timpal Nyai Katri.
"Kau sangat mengagumkan. Hanya saja tampangmu ti-
dak mempunyai daya tarik. Perempuan lain yang belum
mengetahui kehebatan cangkulmu, ia tidak akan tergiur sedikit pun denganmu.
Kecuali kami, kami telah mengetahui keistimewaanmu, sehingga kami tak pernah
memperdulikan wajahmu yang tak sedikit pun tampan."
"Menghina...!" Jaka Bego bersungut-sungut cembe-rut.
"Jangan marah..." Nyai mencium pipi Jaka Bego.
"Aku bicara sesungguhnya. Aku tidak pernah memperdulikan apakah kau tampan atau
tidak. Kau telah me-
mikatku dengan keistimewaanmu, Jaka."
Jaka Bego masih bersungut-sungut, dan ia mengge-
rutu: "Kalau aku sudah memperlihatkan ketampananku,
kalian akan menyanjungku sampai ke ujung langit,"
ujarnya. "Kenapa tidak?" sahut Andini. "Perhatikanlah siapa dirimu sebenarnya, Jaka. Kami
merindukan hal itu."
Jaka Bego melirik Andini yang bergelayutan di pun-
daknya. Andini bahkan mencium bibir Jaka Bego, ken-
dati Jaka Bego masih tertegun bagai sedang memper-
timbangkan sesuatu. Menurutnya, itu sebuah rengekan
manja yang jarang ia peroleh dari seorang perempuan
cantik seperti Andini.
Harpa Iblis Jari Sakti 1 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 6