Istana Langit Perak 2
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak Bagian 2
"Ayolah, Jaka..." sekali lagi Andini memperkuat ren-gekannya. Nyai Katri juga
ikut bergelayutan di pundak satunya lagi. Jaka Bego memandang wajah cantik ber-
hidung bangir dan berbibir ranum segar itu. Nyai ikut merengek, namun lebih
menyerupai sebuah bujukan:
"Ayolah... ceritakan segalanya jika kau mampu me-nunjukkan ketampananmu,
tunjukkanlah kepada ka-
mi." Jaka tersenyum geli sendiri.
"Kalian akan menjadi gila jika melihat ketampananku."
"Kami memang sudah tergila-gila kepadamu," bisik Nyai dalam desah sambil mencium
belakang telinga Ja-ka Bego.
Andini menambahkan kata seraya menciumnya juga,
"Sekarang pun kami sudah tergila-gila padamu, Jaka."
Hati Jaka Bego merasa bangga, dirinya seakan me-
layang mendapat pujian seperti itu. Saat itu, terutama sejak Nyai dan Andini
kehilangan ilmu mereka, Jaka
Bego merasa seperti seorang Pangeran di pulau itu. Seorang pangeran yang
dikagumi oleh kedua perempuan
cantik dan menggairahkan. Tanpa disadari sebenarnya
dialah yang kini menjadi penguasa tunggal Pulau Kra-
mat, sebab hanya dialah orang terkuat di pulau itu.
Namun, ketololan Jaka Bego membuat ia tidak menya-
dari hal itu, dan masih saja merasa sebagai tawanan
Nyai Katri, sehingga segala perintah Nyai Katri selalu di-laksanakan.
"Siapa dirimu sebenarnya, Jaka Bego" Mengapa kau sampai menguasai ilmu Asmara
Pasak Dewa yang amat
dahsyat itu" Dari mana kau peroleh ilmu Pasak Dewa
itu, Jaka?" Nyai mendesaknya dengan halus, sehingga Jaka Bego tidak merasa
dipaksa mengaku siapa dirinya.
Dalam hal itu, Jaka Bego hanya berkata: "Kalau kau tanya padaku itu salah, Nyai.
Sebab aku sendiri tidak tahu, siapa diriku. Aku juga tidak percaya kalau aku
mempunyai ilmu Pasak Dewa. Menurutku, aku ini biasa-biasa saja."
"Tapi kau mempunyai kesaktian yang mengagum-
kan," bisik Andini sambil mendengus-dengus di leher jaka Bego. Sesekali Jaka
Bego menggelinjang. Ia berkata: "Ah, kesaktian itu kan hanya kebetulan saja."
"Kebetulan bagaimana?" tanya Nyai Katri penuh seli-dik.
"Yaaah... kebetulan saja kau menemukan aku seba-
gai orang paling sakti seantero jagad raya. Kalau kau bertemu dengan, orang
lain, yaah... kau kebetulan saja menemukan orang yang tidak sesakti aku. Jelas?"
Nyai Katri merasa kecewa, ternyata jawaban Jaka
Bego tak lebih dari jawaban konyol. Ia membanggakan
diri secara tak langsung, dan Nyai tak mau menangga-
pinya lagi. Ia sibuk meremas-remas sesuatu yang mem-
buat Jaka Bego berkata:
"Nyai... apakah aku harus tidur sesore ini?"
"Sebaiknya begitu," jawab Andini yang sudah mulai bernafas tak teratur.
"Ah... masih terlalu sore, kan?" Jaka mengeluh.
"Hari boleh menjadi sore tapi kau harus tetap sesegar udara pagi, Jaka," bisik
Nyai Katri yang mengalami hal serupa dengan Andini. "Aku senang berlayar di pagi
ha-ri, udaranya segar dan..."
Andini menyahut, "Dan karena itu kau harus meminum ramuan itu, supaya seperti
pagi yang segar, Ja-
ka..." "Ya, minumlah...! Percaya saja kepada kami, itu bukan racun yang membahayakan
jiwamu. Alangkah bo-
dohnya kalau kami punyai niat meracuni kamu, lantas
siapa yang akan mendayung sampan kami nanti jika
kau mati, Jaka. Minumlah... Itu tanda sayang kami kepadamu."
"Aaaah...! Perempuan katanya memang selalu ba-
nyak menuntut.... dasar!" Jaka Bego menggerutu, namun ia mengambil juga minuman
itu. Ia pun segera
meminum ramuan yang terbuat dari seduhan air daun
binari dengan madu lebah hutan. Sekali tenggak, mi-
numan itu habis. Andini dan Nyai Katri tersenyum bersama, merasa mereka akan
memperolah suatu keisti-
mewaan lebih hangat lagi dari Jaka Bego. Syaraf kedua perempuan itu memang sudah
tak banyak bisa berpikir
hal-hal lain kecuali tentang kemesraan yang menghan-
gat. Itu juga akibat pengaruh ilmu Pasak Dewa yang telah berhasil menjerat dan
mempengaruhi jiwa mereka.
Andini dan Nyai Katri sama-sama menuntun Jaka
Bego ke kamar. Sambil bercanda dan tertawa mengikik
merek sengaja menggoda Jaka Bego dengan sentuhan-
sentuhan yang sensitif. Jaka Bego mengikik dalam sua-tu gerakan menggelinjang
jika bagian tubuhnya yang
peka disentuh atau pun digelitik oleh kedua perempuan itu. Waktu ia sampai di
pembaringan, ia menguap. Matanya mulai sayu, bicara dan tawanya mulai mengam-
bang. "Hei, kau jadi mengantuk, ya" Mengantuk sungguh?"
goda Andini seraya mempermainkan bagian tubuh Jaka
Bego. Saat itu, Jaka Bego mengangguk-angguk, tak da-
pat bicara apa-apa. Nyai Katri menelentangkan Jaka
Bego dengan gairah yang berkobar-kobar. Ia tertawa seraya memandang Andini:
"Ia sengaja mempermainkan kita, supaya kita mendayung sendiri, hi, hi, hiii..."
Andini menyahut dalam tawanya pula: "Untung aku sudah bersiap diri untuk
mendayung..."
Beberapa saat, terdengar dengkuran Jaka Bego. Nyai
Katri dan Andini sama-sama masih mengikik geli.
"Dia tertidur betulan..." "Biarkan saja, justru kita bebas mendayung dan
berlayar ke mana pun kita mau,"
jawab Nyai Katri. Kemudian ia bicara berbisik kepada Andini, "Lihat... semakin
kuat dan perkasa, bukan?"
"Ramuanmu sungguh hebat, Nyai. Jaka kelihatan tetap segar dan semakin
mengagumkan walau dalam
keadaan tertidur. Hi, hi, hi... Dia benar-benar embun pagi yang segar dan...
dan..." Andini memandang heran wajah Jaka Bego. Ia kini semakin berbisik: "Hei,
Nyai... lihat wajahnya berasap..."!" Nyai membelalakkan mata kendati tetap bekerja
dengan teratur.
"Astaga... benar! Ia berasap, bahkan... bahkan di bagian dada serta perutnya
ini, lihat... ini juga berasap."
Andini menjadi tegang. "Oooh..."! Dia mulai membengkak, Nyai. Dia membengkak
dan...dan..." Andini menutup mulutnya dengan tangan. "Aku takut ia akan meledak
Nyai..." "Ajaib sekali! Apa yang terjadi pada dirinya sebenarnya...."
Nyai Katri ketakutan, ia segera turun dari pembarin-
gan. Andini juga demikian. Ia melangkah mundur den-
gan mata masih membelalak memandang Jaka Bego
yang mengeluarkan asap. Seluruh tubuhnya membeng-
kak sedikit demi sedikit, bahkan pada bagian pusa-
kanya itu pun kian membesar dan bertambah tinggi.
Nyai sendiri segera lari ke luar dari kamar dengan kepanikan dan ketakutan yang
tak pernah dimiliki sebe-
lumnya. Andini menyusul dalam kegugupan. Nafasnya
tak teratur. Ia sama saja dengan Nyai. Tidak menghi-
raukan pakaian yang tertinggal di lantai kamar.
"Nyai... bagaimana dia" Apa yang kau minumkan kepadanya itu sebenarnya?" Andini
sangat cemas dan bingung.
"Entahlah. Kupikir... kupikir itu ramuan yang biasa, wajar-wajar saja, aku...
aku pernah memberikan ramuan serupa kepada Prabima, tetapi... ia tidak mengalami
perubahan mengerikan seperti Jaka.... Oh, Andi-
ni... aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri Jaka Bego..."
"Kita telah membunuh dia, Nyai...! Kita lari saja...!"
"Di luar, hari sudah malam... Kita mau lari ke ma-na?" Nyai Katri sangat cemas,
dan Andini kebingungan.
"Bagaimana kalau arwahnya sampai menuntut ke-
pada kita?" Kata Andini, dan memang baru sekarang juga mereka berdua merasa
takut kepada arwah, padahal dulu Nyai Katri justru sering bercanda dan berta-
rung dengan arwah-arwah penasaran. Tapi kali ini, ia benar-benar merasa takut
sekali jika arwah Jaka Bego memburu dan mencekiknya. Ia memiliki unsur ketakutan
yang sama dengan perempuan biasa.
Tiba-tiba dari kamar terdengar suara seseorang me-
manggil: "Nyai...."! Andini..."!"
Kedua perempuan itu saling pandang dalam ketaku-
tan yang memuncak. Kaki dan tangan mereka gemeta-
ran. "Di mana kalian...! Kenapa pergi" Nyai..."!"
"Nyai, kau dipanggil...!" bisik Andini dalam ketakutan. Nyai Katri menggeleng,
ketika di dorong maju ke kamar, ia tetap bertahan tidak mau masuk ke kamar.
"Itu suara Jaka, bukan?" bisik Nyai. Andini mengangguk. "Dia masih hidupkah...?"
Andini menggeleng. "Entah! Atau... arwahnya yang memanggilmu, Nyai..."
*** 4 Kedua perempuan tanpa busana itu melangkah
mundur menjauhi kamar. Keringat dingin mengucur
dari pori-pori kulit mereka yang halus lembut. Suara seorang lelaki dari dalam
kamar membuat mereka semakin dicekam rasa takut dan tak tahu harus berbuat
apa mereka. "Andini....! Ah, brengsek kau. Kenapa kau biarkan aku seperti ini..."!" suara
itu terdengar lagi.
Andini menjadi lebih ketakutan lagi. Ia mendekati
pintu keluar, dan Nyai Katri buru-buru menyusulnya.
Mereka berniat melarikan diri keluar dari rumah. Tetapi baru saja pintu hendak
dibuka, wajah-wajah mereka
yang cantik itu semakin menegang dalam kekaguman
yang mencekam. Seorang pemuda tampan keluar dari kamar Nyai Ka-
tri. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap. Badannya kekar dan berotot. Rambutnya
tak terlalu panjang dan berge-lombang ikal. Wajahnya bersih, dengan hidung
bangir dan mata kebiru-biruan. Alis matanya tidak terlalu tebal, namun bulu matanya
cukup lebat dan lentik bagi
ukuran bulu mata lelaki.
Pemuda itu tidak mengenakan baju, sehingga da-
danya yang bidang dan kekar itu tampak terbentang jelas. Ia hanya mengenakan
kain selimut yang dililitkan asal jadi pada bagian perut sampai batas paha ke
atas sedikit. Ia berkulit kuning langsat, halus dan bersih. Di wajahnya ada
kumis yang tipis. Sangat tipis, namun justru menambah ketampanannya yang luar
biasa me- mukau. Kedua pundaknya datar, otot-otot lengannya
kelihatan menonjol namun lembut.
Andini dan Nyai Katri sama-sama terbengong seperti
patung bugil. Mata mereka tak bisa berkedip, dan mulut mereka tetap melongo.
Mereka benar-benar terpukau
oleh ketampanan pemuda itu. Mulut dan lidah bagai
susah untuk digerakkan. Kelu. Mereka benar-benar ter-kesima oleh pemandangan
yang tak pernah terbayang-
kan sebelumnya.
Pemuda itu mendekati Nyai Katri dan Andini setelah
memeriksa tubuhnya sendiri. Ia tersenyum mempesona,
namun kedua perempuan itu tak mampu membalas-
nya. Mereka masih terpukau dalam keheranan yang
amat tinggi. "Nyai...?" sapanya lembut dan menyejukkan hati.
"Andini...?" ia memandang Andini dengan sepasang ma-ta kebiru-biruan. Bau harum
yang sangat melenakan
tercium dari tubuh pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, setelah pemuda itu melipat
tangan di dada seraya tersenyum tipis mempesona. Nyai Katri mulai dapat menelan
ludahnya sendiri, dan matanya pun bisa untuk berkedip. Ia mengucal-ngucal
sepasang matanya, dan sekali lagi memandang tegas-
tegas ke arah pemuda tampan berbibir ranum itu. De-
bar-debar di dada Nyai Katri bagai ingin menghentikan detak jantung.
Pemuda itu berkata dengan lembut, "Kau pasti telah memberiku minuman yang
mengandung madu. Benar,
bukan?" Nyai Katri seperti orang dihipnotis. Ia mengangguk,
bahkan kelihatan ketololannya. Lalu, dengan bibir ge-metar ia berkata:
"Si... siapa... siapakah kau... sebenarnya...?" suara itu pun nyaris hilang, tak
terdengar. "Kalian sama sekali tidak mengenaliku?"
Nyai Katri mengangguk, Andini juga mengangguk
dengan mulut masih melongo. Mereka berdua benar-
benar seperti orang tolol tanpa busana selembar be-
nangpun. Pemuda itu kelihatan semakin tenang dan
menawan dengan senyumnya.
"Aku... Jaka Bego."
Kedua pasang mata perempuan itu sama-sama ber-
gerak melebar. Lalu mereka saling pandang dalam kebi-suan, dan setelah itu
kembali memandang pemuda ter-
sebut. Mereka menampakkan tatapan mata tidak per-
caya, sehingga pemuda itu meraih tangan Nyai Katri
dan tangan Andini, lalu ia menuntun kedua perempuan
itu ke dekat meja. Nyai dan Andini seperti sepasang
kerbau yang dicucuk hidungnya: menurut saja. Di situ, pemuda tampan itu berkata
dengan bahasa yang ra-mah, suara yang lembut, enak di dengar serta menga-
gumkan. "Namaku yang sebenarnya.... Indra Mada. Aku hidup bukan di alam ini, tetapi di
Suralaya..."
"Suralaya"!" Andini dan Nyai sama-sama mende-siskan kata itu. Lalu dengan
sedikit susah payah Nyai Katri berkata pelan:
"Suralaya... tempat para dewa..."
"Ya. Benar. Dari sana asalku. Aku mencari ayahku, yaitu seorang dewa yang
melakukan kesalahan, lalu dibuang ke alam kehidupan manusia. Ia menjelma men-
jadi manusia. Ayahku itu bernama Bhirawa Mada. Ka-
rena ia terusir dari Suralaya, dan menjadi manusia, ka-barnya ia bernama Pramban
Jati, atau dikenal sebagai Si Tongkat Besi. Ayahku itu adalah dewa Kejayaan,
sedangkan aku anaknya, dewa Seribu Mimpi. Tugasku
mengatur impian-impian yang mempunyai makna seba-
gai perlambang kehidupan manusia yang bersangkutan.
Dan aku sengaja melakukan kesalahan di Suralaya, su-
paya aku dibuang ke alam ini. Dengan dibuangnya aku
ke sini, maka aku akan dapat bertemu dengan ayahku,
yang sejak kecil tak pernah kutemui..."
Andini dan Nyai Katri termangu-mangu mendengar
penuturan kisah itu. Mereka sama sekali tidak memiliki keraguan sedikit pun.
Cerita dan ketampanan Indra
Mada telah melunakkan segala kecurigaan, sehingga
membuat mereka sangat percaya dan tetap mengagumi
Indra Mada. Pemuda jelmaan Jaka Bego itu berjalan mondar-
mandir sambil berbicara penuh kelembutan dan enak
didengar. "Ibuku seorang bidadari," katanya. "Sewaktu ia melihat aku dibuang ke alam
kehidupan ini, ia menangis
sampai mencucurkan air mata darah. Lalu penguasa
Suralaya menjadi iba dan kasihan kepada ibuku, Ia berjanji akan mengembalikan
ujudku seperti semula, apa-
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bila aku telah mengecap kemanisan alam manusia ini,
yaitu madu dan cinta!"
Tak satupun dari kedua perempuan itu ada yang be-
rani bicara. Selain memang Indra Mada mencerminkan
kharisma tersendiri, juga mereka merasa sayang jika
harus bicara dan membuat suara Indra Mada itu ter-
henti. Karena itu, mereka diam, menyimak suara Indra Mada yang enak di dengar
dan menimbulkan getaran
tersendiri di dalam hati mereka.
"Dulu..." sambung Indra Mada. "Aku pernah menelan setetes madu, ketika aku
menjadi seorang tawanan di
kapal. Dan aku hampir saja menjelma menjadi ujud
yang sebenarnya. Tetapi aku tidak merasakan cinta,
bahkan memang belum pernah sehingga aku kembali
lagi menjadi ujud Jaka Bego."
Indra Mada menceritakan sekilas peristiwa ia ditahan di kapal Laksamana Chou
dalam kisah KUTUKAN JAKA
BEGO. Ia pun menjelaskan.
"Tetapi di sini, aku telah merasakan manisnya cinta seorang perempuan, dan
manisnya madu yang kau berikan padaku. Maka, ujud Jaka Bego pun terpaksa ku-
tinggalkan dan berubah dengan sendirinya menjadi
ujudku seperti ini..." seraya Indra Mada mengembangkan kedua tangannya, seakan
memperlihatkan keadaan
dirinya. "Apakah..." Nyai Katri ragu-ragu ingin bicara. Tapi Indra Mada menyuruh Nyai
Katri tenang dan tak perlu
takut-takut untuk bicara, maka Nyai pun melanjutkan
kata-katanya: "Apakah... aku akan kembali ke Suralaya jika sudah berubah seperti ini?"
"O, tidak! Dalam keadaan seperti ini, berarti aku telah bebas. Aku boleh tinggal
di alammu, atau boleh pu-lang ke alam para dewa kapan saja aku mau. Tetapi aku
tidak ingin kembali lebih dulu sebelum aku menemukan ayahku: Si Tongkat Besi.
Apakah kalian pernah mendengar nama itu?"
"Ya. Dulu aku pernah mendengar namanya, tapi se-
karang tidak lagi. Dan aku tidak tahu di mana dia," jawab Nyai Katri yang mulai
memperoleh ketenangan ba-
tinnya. "Bagaimana dengan Lanangseta...?"
Nyai Katri dan Andini saling bertatapan
sejenak, kemudian Andini bertanya kepada Indra
Mada. "Apakah Lanangseta itu ayahmu?"
Indra Mada melangkah menjauhi Andini dan Nyai
Katri dengan senyum menghias bibirnya yang ranum.
"Bukan begitu maksudku. Selama ini, aku sengaja mengikuti Lanangseta, karena aku
mencium bau darah
dewa pada dirinya. Aku tak tahu apakah dia dewa atau bukan, tetapi ia pernah
menyebutkan gelar Malaikat
Pedang Sakti. Dan itu adalah gelar dari ayahku. Aku belum sempat menanyakannya,
sebab selama ikut dia, se-
lalu saja ada masalah yang harus kutangani. Kepada
dia pun aku belum sempat menceritakan siapa diriku.
Dan memang dalam keadaan penting saja aku harus
menceritakan tentang jati diriku, termasuk kepada kalian..."
"Apakah kami termasuk orang penting menurutmu?"
tanya Andini yang juga mulai tenang.
"Ya. Penting, karena kalian telah melihat ujudku yang sebenarnya. Itulah tadi
kukatakan, kalian akan gi-la jika melihat wajahku yang sebenarnya."
Nyai Katri mulai tersipu. Ia berkata lirih, "Agaknya kata-katamu itu memang
benar." "Nah, kau sudah mulai memancing-mancingku, bu-
kan?" Nyai Katri semakin tersipu, demikian juga Andini.
Lalu dengan pelan Nyai bertanya:
"Apakah aku tak boleh lagi memancing-mancingmu?"
Indra Mada merasa terpojok dengan pertanyaan itu.
Ia ingin mengalihkan pembicaraan, tetapi Nyai sudah
menyerang dengan pertanyaan serupa:
"Apakah kita sudah tidak boleh saling bercinta lagi?"
"Ya, apakah kami tak boleh berlayar lagi denganmu?"
sahut Andini yang mulai bersemangat.
Indra Mada tersenyum lebar, dan semakin mengge-
tarkan hati Nyai Katri dan Andini.
"Aku seorang dewa..." kata Indra Mada. "Seharusnya, seorang dewa tidak boleh
bercumbu dengan manusia."
Wajah-wajah cantik itu lesu dan tampak kecewa. In-
dra Mada memperhatikan sejenak, lalu berkata:
"Tapi karena aku hidup di alam manusia, dan aku kembali berujud seperti ini
karena manusia, maka...
aku pun harus mau menerima kodrat kemanusiaanku,
yaitu mengenal cinta!"
"Jadi..."!" Mata Nyai Katri berbinar-binar penuh harap.
"Jadi, tak ada salahnya aku bercinta, kalau toh cinta dan kemesraan itu bagian
dari naluri manusia."
"Dan kau masih mau bercinta dengan kami sekali
pun untuk satu malam?" Andini mendesak.
Indra mada tersenyum, bahkan tertawa tanpa suara.
Ia berkata dengan wibawa:
"Apa salahnya, kalau toh kuanggap hal itu adalah suatu persembahan bagi dewa.
Sungguh penghormatan
atas diriku yang telah hadir di antara kalian..."
Andini tertawa girang seraya memandang Nyai Katri.
"Aku ingin malam ini jangan berlalu sampai berbulan-bulan," kata Andini.
"Kuharap juga dinginnya malam jangan bergeser sedikit pun, sehingga aku dapat
meresapi betapa hangatnya pelukan dewa itu," sahut Nyai Katri.
"Tunggu dulu..." sergah Indra Mada. Kedua perempuan itu menatapnya dengan ragu.
Indra Mada berkata
lagi: "Tapi jangan salahkan aku kalau kalian menjadi bu-
dak nafsu kalian sendiri. Dan jangan salahkan aku kalau kalian menjadi sakit
karena bercumbu denganku."
"Menjadi sakit...?" Andini berkerut dahi.
Indra Mada mengangguk. "Kau sudah mengenal ke-
hebatan Jaka Bego bukan?"
"Ya..." jawab Andini dan Nyai bersahut-sahutan.
"Kalian mengagumi keistimewaan dayung Jaka Bego yang dulu pernah kalian katakan
sebagai pedang panjang yang mampu menembus dinding karang, bukan?"
"Ya... ya, betul!"
Indra Mada tersenyum. "Itu Jaka Bego. Dengan sosok Jaka Bego saja kau telah
terkagum-kagum dan ke-
canduan, sedangkan aku... di atas Jaka Bego lima tingkat lebih tinggi
keberadaanku."
Nyai Katri dan Andini saling berpandangan, berkerut
dahi pertanda kurang jelas dengan kata-kata itu. Ke-
mudian Indra Mada membuka kain penutup tubuhnya,
dan mata kedua perempuan itu membelalak lebar-lebar
memandang ke suatu arah yang membuatnya berdebar-
debar namun juga menggairahkan.
Andini dan Nyai Katri sudah terpengaruh oleh keku-
atan ilmu Asmara Pasak Dewa, sehingga pikiran mereka tak akan pernah jauh dari
masalah birahi dan kemesraan. Kini mereka baru tahu, bahwa memang pantas
Jaka Bego mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa, sebab
sebenarnya Jaka Bego itu adalah Dewa Seribu Mimpi
yang sangat mengagumkan.
Nyai Katri dan Andini sama-sama merasa menjadi
perempuan paling beruntung di dunia itu, karena hanya mereka berdualah yang
benar-benar mampu menjadikan impian berubah kenyataan. Khayalan tentang seo-
rang lelaki jantan yang maha hebat sering mereka
bayangkan, bahkan impikan. Dan sekarang Dewa Seri-
bu Mimpi membuat impian itu menjadi kenyataan yang
mengakibatkan Andini dan Nyai Katri memekik-mekik
di tengah kesunyian malam.
Indra Mada, memang jauh lebih tinggi nilainya den-
gan Jaka Bego. Kalau pada saat Indra Mada menjadi
Jaka Bego, Nyai Katri sudah sangat mengagumi dan
tergila-gila, maka kali ini, Nyai hampir-hampir tidak menyadari bahwa dirinya
adalah seorang perempuan.
Andini sendiri juga tidak bisa menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai
seorang wanita. Mereka lepas
kontrol dan mengerang keras-keras, bahkan terkadang
menjerit tinggi menikmati nilai yang lima kali lebih besar dari Jaka Bego.
Indra Mada mendayung sampannya dengan tanpa
berhenti sebentar pun. Ia membiarkan perempuan-
perempuan itu berada di puncak paling tinggi, bahkan berulangkali. Dan ia
sendiri masih mampu melesatkan
anak panah dengan kuat sekali pun sudah sepuluh kali ia memanah dalam kondisi
cepat dan kuat. Ia bagai seorang pemanah yang tak pernah kehabisan panah, bagai
seekor ular yang menyemburkan bisa beracun tanpa
pernah mengalami kekurangan semburan bisa, sekali-
pun ia telah menyembur musuhnya berkali-kali.
Waktu fajar menyingsing, di mana Indra Mada belum
berhenti sebentar pun untuk mendayung sampan, pada
saat itu Andini telah terkapar di lantai dengan lunglai.
Sedikit pun tak ada tenaga yang tersisa kecuali nafas, sementara itu, Nyai Katri
pun menyusul lemas bagai
kapas setelah Indra Mada sama-sama mendaki keting-
gian gunung dan berjaya di puncaknya.
Indra Mada segera berlabuh ketika matahari mulai
memancarkan sinar kemerahan. Keringatnya yang ber-
cucuran, mengabarkan bau harum tak berkesudahan.
Keringat dewa ternyata telah mampu menimbulkan
pengaruh tersendiri bagi manusia yang menciumnya.
Indra Mada yang dulunya dikenal Jaka Bego itu baru
saja ingin membaringkan tubuh di sisi Nyai Katri yang
pucat pasi itu. Namun ia terpaksa bergegas bangun karena ia merasa ada sepasang
mata yang mengintainya
dari sela-sela dinding kamar. Indra Mada mengenakan
pakaian Jaka Bego, sebuah rompi kulit binatang dan ce-lana hitam. Ia bergegas
keluar dari kamar. Tapi anehnya, sepasang mata yang mengintainya itu masih tetap
menempel pada dinding kamar yang terbuat dari kayu-kayu kasar. Bahkan sampai
Indra Mada berada di bela-
kang orang yang mengintip, orang itu masih belum bisa lepas dari dinding rumah
panjang itu. Ia masih saja
mengintip, bagai tak menyadari bahwa di dalam kamar
sudah tak terdapat seorang lelaki dengan segala kegia-tannya.
Indra Mada melemparkan selembar daun kering ke
kaki pengintip itu seraya berkata:
"Tontonan yang mahal, ya Bung..."!"
"Aaaauuwa...!" Orang itu menjerit tertahan. Mata kakinya bagai dilempar dengan
batu besar, sekali pun sebenarnya hanya dengan daun kering.
"Apakah itu pekerjaanmu, Laksamana"!" kata Indra Mada.
Rupanya orang yang mengintip itu adalah Laksama-
na Chou. Ia terkejut ketika Indra Mada menyebutkan
namanya. Ia merasa tidak mengenal lelaki tampan dan
berkulit bersih itu. Karenanya, Laksamana Chou ber-
sungut-sungut, matanya memandang tajam, bertanya-
tanya dalam hati.
"Seorang Laksamana dari negeri Tiongkok, sungguh memalukan melakukan kegiatan
mengintip dua putri
yang sedang dimabuk birahi. Kurasa bukan itu tujuan-
mu ke mari, Laksamana Chou," tutur Indra Mada dengan tenang sekali.
Sambil masih menyeringai kesakitan pada mata ka-
kinya, Laksamana Chou bertanya: "Siapa kamu sebenarnya, hah"!"
"Aku Indra Mada," jawab Indra Mada dengan tersenyum-senyum. Laksamana Chou
tampak semakin he-
ran. "Indra Mada"! Aku tidak kenal sama kamu..."
"Tentu. Tapi aku kenal kamu, Laksamana Chou. Aku juga kenal dengan anak buahmu,
algojomu yang bernama Huang Pai. Dan aku tahu, kau mencari anakmu
yang bernama Yin Yin, bukan"!"
Tentu saja kata-kata itu sangat mengherankan Lak-
samana Chou, sebab dia tidak tahu kalau yang ada di
hadapannya itu adalah orang yang pernah ditawannya
dalam urusan hilangnya anak gadis Laksamana: Yin
Yin. Lelaki berambut putih dengan kumis melengkung
sampai di dagu itu tidak tahu, bahwa pemuda yang ada di depannya itu adalah Jaka
Bego yang telah merubah
ujudnya menjadi Indra Mada.
"Dari mana kau mengetahui namaku, nama anakku,
nama penghianatku: Huang Pai itu" Dari mana kau pe-
roleh keterangan itu, hah"!"
"Dari... yah... dari dirimu sendiri, Laksamana." Indra Mada menertawakan
Laksamana Chou.
"Kalau begitu kau tahu di mana putriku Yin Yin berada" Apakah kau ikut membantu
pemuda yang mela-
rikan Yin Yin?"
Indra Mada menggeleng dengan tenang, santai.
"Saya tidak pernah berurusan dengan putrimu. Dari dulu sudah kukatakan, saya
tidak mengenal siapa itu
Yin Yin. Dan terus terang..." Indra Mada berbisik, "Aku tidak pernah punya
keinginan untuk mengenal putrimu
itu, tahu"!"
"Biadab kau...! Sekali lagi berkata begitu, kurobek mulutmu, Babi!"
"Dan sekali lagi kau berani mengintip rumah ini, ku-cungkil matamu keduanya,
Babi juga!"
Laksamana Chou menggeram. Indra Mada sengaja
berjalan menjauhi Laksamana Chou.
"Tunggu...! Ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu...!" seru Laksamana
sambil mengikuti langkah Indra Mada.
Indra Mada berjalan terus, tidak menghiraukan kata-
kata tersebut. Namun tujuannya adalah memancing
Laksamana Chou agar menjauh dari rumah Nyai Katri.
"Indra Mada..! Berhenti...!" seru Laksamana Chou bagai menghardik anak buahnya
saja. Indra Mada tetap melangkah, dan Laksamana Chou merasa tidak dihor-mati.
Padahal ia terbiasa di hormati dan disegani anak buahnya. Maka, menghadapi sikap
Indra Mada seperti
itu, ia menjadi marah. Segera ia bermaksud memberi
pelajaran kepada anak muda tersebut: Kakinya miring
dalam posisi lurus, dan ia melayang menerjang tengkuk kepala Indra Mada.
Namun dengan tanpa menoleh sedikit pun Indra Ma-
da segera berpaling ke belakang dengan kaki kanannya melayang bagai sebuah
sabetan pedang, mengenai tulang kering Laksamana. Akibatnya, Laksamana Chou
meringis kesakitan dan tubuhnya terpelanting sampai
memutar satu kali. Lalu ia jatuh terduduk di tanah. Indra Mada berdiri di
depannya tanpa hormat sedikit pun.
Laksamana sebenarnya semakin panas hatinya, namun
apa boleh buat, ia terpaksa harus mengusap-usap tu-
lang kakinya yang terasa sakit sekali, bagai berbenturan dengan kaki yang
terbuat dari besi.
"Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Laksamana?"
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Indra mada dengan tenang dan tangannya bersi-
lang di dada. Rompi Jaka Bego yang dikenakan itu se-
benarnya sangat mengganggu kenyamanannya karena
sesak, tapi untuk sementara ini Indra Mada tidak
menghiraukannya dulu.
Laksamana Chou berkata dalam posisi duduk di ta-
nah sambil mengusap-usap tulang keringnya.
"Aku tadi melihat seorang perempuan cantik yang tergolek di kamar bersamamu..."
"Aku yakin kau menelan air liurmu, bukan?"
Laksamana gelisah antara terhina dan tak dapat
berbuat apa-apa. Kakinya masih terasa ngilu, dan di-
kuat-kuatkan untuk berbicara dengan Indra Mada.
"Kau seharusnya menghormatiku. Aku seorang Lak-
samana!" "Aku belum sempat memikirkan bagaimana cara
menghormatimu. Yang jelas, apa maksudmu membica-
rakan perempuan itu kepadaku?"
Laksamana diam sebentar, menghela nafas.
"Berdirilah, Laksamana... rasa-rasanya lebih enak kau bicara dengan berdiri,
bukan?" Laksamana Chou sedikit terbelalak dan terbengong.
Aneh, rasa sakit pada tulang kering kakinya hilang. Kakinya jadi ringan dan enak
dipakai untuk berdiri! Laksamana menggoyang-goyangkan kakinya itu, dan me-
mang sudah tak merasa ngilu sedikit pun.
"Bicaralah, Laksamana..! Aku tidak suka bicara denganmu terlalu lama. Kau
memuakkan di mataku!"
Laksamana merasa tersinggung. Ia menggeram dan
melancarkan pukulan. Namun pukulan itu dihindari
oleh Indra Mada dengan cara menarik kepalanya ke be-
lakang. "Sudahlah, jangan main-main...!" Indra Mada bagai menghardik, dan Laksamana
menjadi enggan menyerangnya lagi.
"Kenapa dengan perempuan yang kau intip tadi?"
Laksamana menjawab dengan bersungut-sungut ka-
rena masih menyimpan kedongkolan:
"Aku sepertinya pernah melihat perempuan itu dalam sebuah lukisan Tiongkok."
"O, ya..." Lantas?"
"Apakah dia yang bernama Areswara?"
"Entah, ya...?" jawab Indra Mada, lalu hendak pergi lagi. Tapi Laksamana Chou
segera melompat tinggi dan bersalto melewati atas kepala Indra Mada. Namun pada
saat ia hendak menjejakkan kakinya ke tanah, Laksamana Chou itu terjengkang
bagai kehilangan keseim-
bangan tubuh. Ia menyeringai sambil memegangi ping-
gangnya, sedangkan Indra Mada hanya tertawa tanpa
suara. "Kau tidak sopan, lewat di atas kepalaku tanpa per-misi, itulah akibatnya...!"
kata Indra Mada masih dalam gaya Jaka Bego.
Laksamana Chou berusaha berdiri sambil mengurut
pinggangnya yang nyeri sedikit itu.
"Indra Mada, dengar keteranganku..." kata Laksamana. "Kalau benar ia yang
bernama Areswara, maka ia adalah Ratu Bajak Laut pada zaman dulu yang sangat
kejam dan ganas. Ia memang cantik, tapi kecantikannya itu adalah maut bagi
lelaki yang mencoba mendeka-tinya."
Indra Mada menggumam. "Dari mana kau bisa tahu
hal itu?" "Kedatanganku ke sini adalah ingin menemuinya! Itu tujuan yang sebenarnya."
"Kalau begitu, temui saja dia! Tapi ingat, kau bisa bertemu dengannya, tapi
tidak bisa bernafas selamanya." Indra Mada bicara sambil tersenyum-senyum,
sedangkan Laksamana Chou begitu tegang dan serius.
"Indra Mada, kuperingatkan kepadamu, jangan berlagak jadi pahlawan iblis betina
itu! Kau akan celaka sendiri di tangannya, tahu"!"
"Alasannya apa?"
"Dia perempuan paling kejam di dunia! Leluhurku, bangsa Cina sejak zaman dinasti
I-Tsing, telah banyak yang menjadi korban keganasannya sebagai Ratu Bajak
Laut Perairan Selatan. Memang, ia pernah bercinta den-
gan seorang keturunan Liang Tau Ming, tokoh bajak
laut juga pada masa itu, dan ia pernah dilukis oleh kekasihnya itu. Namun,
akhirnya sang kekasih dibunuh-
nya juga. Dan... aku adalah keturunan dari Liang Tau Ming. Aku tahu persis
kehidupan Ratu Areswara, perempuan yang ada di dalam kamar itu. karenanya, aku
ke mari justru mencarinya..."
"Untuk apa" Kamu kan sudah bertemu dengannya di kamar, tadi?" kata Indra Mada.
Laksamana Chou menggumam pelan dan berfikir.
Kalau ia berkata lagi, "Bagaimana kalau kita kerja sa-ma?"
"Ah, aku tidak suka bekerja," jawab Indra Mada seenaknya. Laksamana semakin keki
dengan sikap Indra
Mada. "Kerjasama ini akan menghasilkan sesuatu yang
amat berharga dari hidup kita, Indra Mada."
"Sangat berharga?" Indra menertawakan pertanda kurang tertarik atas tawaran
tersebut. Tapi, ia jadi ingin tahu.
"Maksudmu, kerjasama apa, Laksamana?"
"Perempuan itu..." Laksamana mendekat dan agak berbisik, "Perempuan itu menimbun
harta karun yang cukup banyak dari hasil bajakannya.... Konon, harta
tersebut disimpannya dalam sebuah tempat yang diberi nama Istana Langit
Perak..." Laksamana clingak-clinguk sebentar, lalu katanya lagi. "Desak dia,
bujuk dia supaya memberitahu di mana letak Istana Langit Perak.
Nanti harta-harta berharga itu kita bagi dua. Bagaima-na" Setuju?"
*** 5 INDRA MADA hanya tersenyum sinis mendengar
rencana Laksamana Chou. Kemudian tanpa memberi
jawaban apa pun, Indra mada melangkah meninggalkan
lelaki bermata sipit itu.
"Indra Mada..." sapa Laksamana lagi. "Pikirkanlah kesempatan ini. Hanya kita
berdua yang akan menjadi
penguasa harta karun tersebut. Ayolah, Indra..."
Laksamana mendesak Indra Mada sambil mengikuti
langkahnya. Tetapi Indra Mada seperti orang tuli, tetap berjalan dengan tenang.
Ia sedang menikmati kesejukan dan kesegaran udara pagi.
Laksamana menahan pundak Indra Mada seraya
berkata: "Jangan bodoh, Indra Mada. Di dunia ini hanya aku yang tahu kalau perempuan itu
menyimpan harta karun hasil bajakannya. Hanya aku yang memiliki buku
catatan tentang dirinya, dan lukisan dari leluhurku tentang dia. Percayalah...!
Percayalah, bahwa aku tidak akan menipumu..."
Pundak Indra Mada disentakkan, kemudian ia me-
langkah lagi seraya berkata:
"Hartaku lebih banyak dari harta yang kau incar!"
Laksamana sedikit bingung. Ia berhenti, lalu berkata:
"Kalau begitu, baiklah... akan kupaksa sendiri dia supaya mengaku..."
Indra Mada tetap bagaikan tidak peduli dengan kata-
kata Laksamana. Ia berjalan terus menyusuri rimbunan semak di kanan kiri jalan
setapak. Sampai akhirnya ia tiba di pantai, memandang birunya laut yang bagai
permadani menghampar. Menikmati cahaya pagi yang
kian meninggi. Tapi di dalam hati Indra Mada menggumam beberapa
kali dan berkecamuk sendiri.
"Istana Langit Perak..." Apa benar di sana ada harta karun yang amat banyak" Apa
benar. Nyai Katri masih
menyimpan harta bajakannya dulu" hemm. Laksamana
Chou itu akhirnya mengaku sendiri apa yang menjadi
tujuan utamanya. Ia memburu legenda lama. Barangka-
li juga ayah atau kakeknya pun pernah gagal memburu
legenda lama itu, sehingga ia bertekad meneruskannya.
Ah, manusia terkadang menjadi gelap mata hatinya jika sudah berurusan dengan
harta benda. Laksamana itu
sendiri sudah tidak begitu mementingkan jiwa putrinya.
Pikirannya mulai dipadati oleh Istana Langit Perak yang belum tentu ada." Indra
Mada tertawa sendiri.
Namun tiba-tiba ia berkerut dahi, seperti ada sesua-
tu yang baru saja disadarinya. Ia pun menggumam dan
manggut-manggut, lalu berkata dalam hati:
"Tapi... sepertinya aku tadi melihat cambuk yang terselip di pinggang belakang"
Ya, cambuk itu... cambuk itu kurasa bukan cambuknya. Pasti Cambuk Naga milik
Paman Ludiro. Oh, benar. Mataku tak dapat dibohongi.
Aku kenal betul dengan Cambuk Naga yang sering ber-
tengger di pundak Ludiro. Jika begitu, berarti telah terjadi sesuatu pada diri
Ludiro. hemm... Laksamana itu telah berhasil merampas Cambuk Naga dan... dan
barangkali senjata itulah yang menjadi andalannya untuk menemukan Istana Langit
Perak"!"
Indra Mada bergegas kembali ke rumah. Hatinya se-
dikit was-was tentang diri Nyai Katri dan Andini. Kegeli-sahannya itu ternyata
menjadi kenyataan. Indra Mada
melihat laksamana Chou menggeret dengan paksa tan-
gan Nyai Katri untuk diikatkan pada pohon di samping rumah.
"Lepaskan...! Lepaskan aku, Setan...!" Nyai Katri masih meronta-ronta, dan ia
tidak mempunyai kekuatan
untuk melawan kekerasan. Laksamana Chou dengan
bangga menampar Nyai Katri berulang kali. Ia merasa
dapat mengalahkan perempuan yang dianggapnya sakti
dan hebat itu. Ia merasa berhasil membaca sebuah
mantera yang diucapkan sebelumnya, dan berguna un-
tuk menundukkan perempuan. Kali ini ia merasa telah
berhasil menundukkan perempuan yang terkenal keke-
jamannya. Laksamana Chou mengikat tubuh Nyai Katri
yang hanya mengenakan gaun tipis sekali itu pada po-
hon, setelah itu memaksanya dengan cara kasar.
"Katakan sekarang juga, di mana letak Istana Langit Perak, hah..."! Di mana"!
Ayo, katakan!"
Nyai Katri hanya menyeringai kesakitan ketika ram-
butnya dijambak dengan kasar oleh Laksamana Chou.
"Cepat katakan, Iblis...! Atau kupenggal kepalamu untuk tumbal Istana Langit
Perak itu, hah"!"
"Aku tidak tahu...! Aku tidak tahu sama sekali...!"
Nyai Katri merengek kesakitan. Ia benar-benar tidak
berdaya. Kalau saja ia masih mempunyai ilmunya yang
tersedot Asmara Pasak Dewa, barangkali sudah dilu-
matkan tubuh Laksamana Chou itu saat ini juga.
"Kau harus kusiksa supaya mau mengaku, ya"!"
bentak Laksamana Chou seraya hendak mencabut
cambuk yang terselip di pinggangnya. Nyai Katri sangat ketakutan.
"Jangan..! Oooh... jangan siksa aku...!"
"kalau begitu, katakan, di mana letak Istana Langit Perak. Lekas...!"
"Kau salah alamat...! Mungkin bukan aku orangnya yang mengetahui tentang istana
itu...! Bukan aku! Aku tidak tahu tentang Istana itu...!"
"Bohong...!" bentak Laksamana seraya memukulkan cambuk yang masih digulung itu.
Pipi Nyai Katri tergores gagang cambuk, dan berdarah. Ia menjerit kesakitan.
Lalu Laksamana Chou mengambil jarak untuk
mencambuk tubuh Nyai Katri. Cambuk itu sudah tidak
di gulung lagi. Kini bahkan melambai ke atas dan siap untuk dilecutkan.
Tetapi waktu dihentakkan ke depan, ternyata cam-
buk itu menjadi kaku bagaikan akar pohon. Meliuk-
liuk, namun tidak lemas, sehingga tidak dapat dile-
cutkan. Laksamana Chou memandang dengan heran
dan kebingungan. Bagaimana mungkin cambuk itu bisa
menjadi seperti akar yang tak memiliki kelenturan sama sekali" Nyai Katri
sendiri menghentikan tangisnya dan memandang heran pada keajaiban tersebut.
"Babi...! Babi busuk...! Kenapa jadi begini"!" caci Laksamana Chou sambil
mencoba mengibas-ngibaskan
cambuk. "Mana bisa kau memakai dan menggunakan cambuk
orang lain..." Indra Mada berkata dari belakang Laksamana Chou.
"Babi panggang...!" geram Laksamana Chou melihat kehadiran Indra Mada. Pemuda
tampan itu tersenyum
sinis dengan matanya yang biru berkerling kepada Nyai Katri yang amat ketakutan
itu. "Indra Mada...! Kalau kau mau bergabung denganku, bergabunglah, tapi jangan
ganggu urusanku!" kata Laksamana Chou. Ia masih mencoba mengibas-ngibaskan
cambuk yang tetap kaku seperti akar pohon.
"Bergabung denganmu hanya mendidik diri menjadi orang serakah, Laksamana...!"
"Kalau begitu, pergilah. Jangan ganggu pekerjaan-ku!"
Indra Mada hanya tertawa pendek, "kalau mau pergi, bukan aku, tapi kamu yang
seharusnya pergi, Laksamana. Ingatlah pada putrimu Yin Yin, pikirkan kesela-
matannya, siapa tahu ia sedang diperkosa oleh banyak pemuda di sana....!"
"Tutup mulutmu, Bangsat!" teriak Laksamana yang gampang terpancing menjadi marah
itu. "Daripada kau mengejar harta Istana Langit Perak yang belum tentu ada, lebih
baik kau mengejar putrimu agar tidak menjadi perempuan jalang yang keluyuran
setiap malam!"
Laksamana Chou menggeram dengan mata mende-
lik. Kemudian ia menyerang Indra Mada dengan sebuah
tendangan yang melayang. Indra Mada hanya mengelak
ke kiri, lalu berjalan ke arah Nyai Katri. Sementara itu, Laksamana terjerembab
ke tanah dan mengerang kesakitan. Anehnya, pada saat itu cambuk tersebut menjadi
lemas, bisa untuk melecut, dan bisa mengibas dengan
luwes. "Indra Mada...!" serunya, tapi Indra Mada tidak menjawab, dengan tenang ia
membuka tali yang mengikat
tubuh Nyai Katri. Ia mencium perempuan itu sekali dan sekilas.
"Masuklah ke kamar, Nyai... biar kutangani urusan ini."
"Jaka... hati-hati..." Nyai Katri menampakkan kek-hawatirannya. Indra Mada hanya
mengangguk sambil
mengerlingkan mata. Pada saat itu, Laksamana Chou
melecutkan cambuk ke arah punggung Indra Mada.
"Awas...!" pekik Nyai Katri.
Dengan tanpa menoleh, tangan Indra Mada mengibas
ke punggung dan menangkap ujung cambuk yang nya-
ris menghantam punggungnya. Ia berbalik seraya masih memegangi cambuk itu.
Laksamana Chou berusaha
menariknya dengan sekuat tenaga. Namun ia tidak ber-
hasil, padahal Indra Mada memegangi ujung cambuk
dengan tersenyum-senyum kepada Nyai Katri, bahkan
kali ini karena Nyai Katri cemas, ingin membantu Indra Mada menarik cambuk itu,
ia mendekat. Tetapi oleh Indra Mada justru dipeluk pinggangnya, dan dicium, pi-
pinya. Indra Mada berkata pelan.
"Kusuruh ke dalam malah mendekat...! Nanti kamu
terkena cambuk Laksamana itu lho....!"
"Mari kubantu menariknya, Jaka..." kata Nyai.
"Tidak usah. Ini sebuah permainan kecil kok. O, ya...
kenapa ia menyiksamu, Nyai" Benarkah kau mengeta-
hui tentang Istana Langit Perak...?"
Indra Mada menarik cambuk itu dengan santai sam-
bil ngobrol dengan Nyai Katri. Sedangkan Laksamana
Chou jangan kewalahan. Ia memeras tenaga untuk ber-
tahan supaya jangan tertarik ke depan, namun tarikan Indra Mada begitu kuat
walau dilakukan dengan santai, sehingga Laksamana Chou pun tersentak maju.
"Apa benar kau menyimpan harta di dalam Istana
Langit Perak itu" Di mana letak istana itu, Nyai...!"
Sambil berkata begitu, Indra Mada menyongsong tu-
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buh laksamana dengan gerakan kaki menyamping dan
terhempas ke depan, mengenai dada Laksamana. Pada
saat itu, tangan Indra Mada melepaskan cambuk, dan
tubuh Laksamana terhempas beberapa langkah karena
tendangan tadi. Ia menggeram dan berusaha untuk
berdiri. Cambuk dilipat kembali, diselipkan ke pinggang, karena Laksamana merasa
tidak terbiasa menggunakan
cambuk itu sehingga seakan menghambat setiap gera-
kannya. "Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu, Jaka.
Tapi... kau harus mau berjanji," bisik Nyai Katri yang masih dalam dekapan Indra
Mada. "Janji" O, ya..." Janji apa?"
Indra Mada tertawa-tawa, tapi tangan kirinya dengan
cepat mampu menangkap lemparan batu dari Laksa-
mana, sekalipun ia tidak melihatnya.
"Bagaimana kalau kita ke dalam, mumpung Andini
belum bangun dari tidurnya..." bisik Nyai Katri, dan Indra Mada bertambah
mengakak pelan, tetapi kakinya
menendang kian ke mari, mengembalikan lemparan ba-
tu dari Laksamana Chou.
"Gila...!" pikir Laksamana Chou. "Ia dapat menangkis dan menghindari seranganku
sekalipun ia tidak melihat ke arah sini. Ilmu apa yang dimilikinya itu" Ia
ngobrol dengan santai, sambil menangkap lemparan batu, bahkan mampu
mengembalikan dengan tendangan kakinya
yang bagai mempunyai mata sendiri kaki itu. Masa, aku harus kalah dengan anak
ingusan"! Hemm....!" Laksamana Chou, kagum, tapi juga jengkel dan ingin meng-
hajar Indra Mada. Ia belum tahu siapa Indra Mada itu.
Kalau saja ia tahu mungkin ia akan sungkan bertarung dengan orang muda yang
tampan itu. "Kau ke dalam dulu, nanti aku menyusul." kata Indra Mada kepada Nyai Katri. "Aku
bereskan soal semut merah itu, Nyai...!"
Nyai Katri segera masuk ke dalam rumah. Laksama-
na Chou menyerang Indra Mada dengan gerakan ma-
tanya yang mampu mengangkat bebatuan untuk me-
nyerang Indra Mada. Indra Mada berkelit, menghindar
dan menangkapi batu-batu yang melayang sendiri den-
gan kekuatan pandangan mata Chou. Namun lama-
lama Indra Mada berkata:
"Capek, ah...!" Ia diam saja, menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara
itu, batu-batu yang melayang cepat ke arahnya hanya berhenti beberapa jengkal
dari depan hidungnya. Batu itu berjatuhan sendiri, seakan membentur dinding yang
tebal yang terpasang
di depan Indra Mada. Sehingga dewa tampan itu tanpa
merunduk, menghindari kian ke mari, namun telah
mampu melumpuhkan serangan yang belum sempat
menyentuh tubuhnya.
"Laksamana Chou..!" seru Indra Mada. "kuminta kalau mau bertarung denganku, yang
niat...! Jangan
ogah-ogahan begitu. Menyerang yang betul...!" ledek Indra Mada dan membuat
Laksamana Chou semakin pe-
nasaran. Ia melemparkan batu besar dengan kedua
tangannya. "Rasakan lemparan Inti Besiku ini, hiaaat...!" Batu itu dilemparkan kuat-kuat,
melayang cepat ke arah Indra Mada.
Pada saat batu melayang ke atas, Indra Mada terse-
nyum girang, Ia menendang kerikil di tanah. Kerikil itu melayang cepat,
menyongsong gerakan batu besar, lalu membenturnya. "Prool...!" Batu besar itu
hancur seketika karena benturan dengan kerikil yang ditendang oleh kaki Indra
Mada itu. Laksamana Chou terperanjat kaget, lalu tertegun
memandang batu besar yang sudah dialiri tenaga Inti
Besi itu hancur menjadi serpihan-serpihan yang memu-
kau. Padahal biasanya tenaga Inti Besi yang dimiliki Laksamana itu mampu
menghancurkan sebuah kapal
dengan sekali lempar. Batu yang disaluri tenaga Inti Be-si, akan menimbulkan
ledakan keras jika menyentuh
benda lain. Tetapi kali ini, batu bertenaga Inti Besi itu hanya ambrol bagai
cadas keropos ketika menyentuh
kerikil kecil yang ditendang Indra Mada.
"Kamu mau berkelahi apa mau main-main, hah?"
tanya Indra Mada meledek. Laksamana Chou mengge-
ram dengan nafas terengah-engah diburu amarah.
"Anak babi...! Jangan sombong dulu dengan ilmumu yang baru sekuku hitam itu.
Terimalah ilmu Api Naga
ini, heeaat...!" Laksamana menggerakkan tangannya yang berjari terbuka ke arah
samping kiri semua, lalu dirapatkan kedua telapak tangannya itu, di tarik dengan
kuat ke arah depan dada, dan sekarang dihentak-
kan ke depan dengan teriakan seperti tadi. Lalu dari telapak tangan itu
keluarlah dua gumpal api yang me-
nyembur bagi terlepas dari mulut naga. Dua gumpalan
api itu melesat cepat ke arah Indra Mada. Indra Mada meniup pelan, seperti ia
meniup lilin. Dan gulungan api itu berbalik arah, kini menuju Laksamana sendiri.
Mata Laksamana Chou tak sempat berkedip, bahkan ia ter-
cengang bagai patung di tempat. Lalu, tak ayal lagi kedua gulungan api itu
menerjang tubuhnya, dan Laksa-
mana Chou berteriak-teriak dengan jejingkrakkan.
"Ooouuww... Aaauuw...! Aapiii...! Oooh, tubuhku terbakar...! Aauuuuh...
panaaaas...! Panaaaaas....!"
Laksamana berguling-guling untuk memadamkan
api yang membungkus tubuhnya, tetapi api belum mau
padam. Ia terpaksa berlari sempoyongan mencapai pan-
tai untuk memadamkan api tersebut.
Indra Mada tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan
kepanikan Laksamana Chou. Ia hanya berteriak:
"Makanya jangan suka main api...! Nanti terbakar...!"
"Jaka..." panggil Nyai Katri yang keluar dari rumah dan memandang keadaan
Laksamana. "Ia pasti terjun ke laut, Jaka..."
"Biar saja," sambil Jaka Bego yang sudah merubah diri menjadi Indra Mada itu
mendekati Nyai Katri. "Salahnya sendiri bermain api, ya kebakar. Kalau bermain
cinta, ya... ya enak..." Indra Mada mencubit pipi Nyai Katri yang tidak terluka.
Nyai ketawa canggung, sepertinya ada sesuatu yang meresahkan. Ia segera mengge-
ret tangan Indra Mada untuk masuk ke dalam.
Ia duduk di depan meja yang tingginya hanya seba-
tas betis manusia jika berdiri. Ia duduk bersimpuh di lantai, sedangkan Indra
Mada masih memandang kepergian api yang membungkus Laksamana. Ia meman-
dangnya dari jendela yang terbuka lebar.
"Jaka, duduklah sini dekat aku..." kata Nyai Katri.
Jaka Bego melirik dengan senyum menggoda. Ia du-
duk di dekat Nyai Katri seraya berkata:
"Kau masih capek kan, Nyai?"
Nyai hanya tersenyum malu. "Sudah agak segar setelah tertidur sejenak tadi,"
katanya. "Dan kau membutuhkan aku lagi?"
"Mungkin selamanya aku membutuhkan kamu, Ja-
ka. Apalagi sekarang kau sudah tidak seperti Jaka Bego yang dulu. Sekarang kau
sudah menjadi dirimu sebenarnya: Indra Mada. Tentu aku semakin enggan mele-
paskan pelukan ini darimu..." Nyai Katri memeluk erat Jaka Bego. Ia memang lebih
senang memanggil Indra
Mada dengan nama Jaka Bego, atau Jaka saja. Rasa-
rasanya lebih enak dan lebih romantis bagi Nyai.
"Ingin ke kamar sekarang?" bisik Jaka Bego atau Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi
itu. "Nanti saja," jawab Nyai dengan suara pelan. "Ada sesuatu yang sangat
kucemaskan."
"Tentang diriku?"
"Tentang orang yang terbakar tadi..."
Indra Mada sedikit heran, sekali pun tak dikeli-
hatkan. "Ada apa" Kenapa kau mencemaskan dia, Nyai?"
"Dia... dia pasti menyelam dalam-dalam untuk memadamkan apinya."
"Ya, biar saja. Kau juga menyelam semalaman bersamaku untuk memadamkan api
birahimu, bukan?"
Nyai mencubit kecil di pipi Indra Mada. Ia berbisik
dalam keresahan:
"Orang itu membahayakan jika sampai menyelam
terlalu dalam Jaka."
"Mengapa membahayakan?"
"Dia akan..." kata-kata itu terhenti, Nyai bagai ragu untuk mengatakan sesuatu,
tetapi setelah Indra Mada
mendesaknya, akhirnya Nyai pun berkata lagi:
"Dia akan menemukan apa yang dicarinya."
Indra Mada kurang jelas. "Maksudmu...?"
"Dia mencari Istana Langit Perak, bukan?"
"Ya. Ia tadi juga sempat membujukku untuk bekerja sama mencari istana itu."
Indra Mada mengusap-usap rambut Nyai yang panjang dan halus bagai serat sutera
itu. Lalu ia bertanya:
"Apakah istana itu memang ada?"
"Ya..." jawab Nyai pelan setelah berdiam sesaat.
"Ada sungguh?"
"Sungguh."
"Di mana?"
"Di bawah pulau ini..."
"Wow...!" Indra Mada tampak serius. "Jadi, di bawah pulau ini terdapat sebuah
istana yang megah"!"
Nyai memandang Indra Mada. Ia mengangguk.
"Aku yang membangunnya bersama anak buahku,
dulu ketika aku menjadi pimpinan bajak laut. Di situ aku menyimpan harta
rampokan dari beberapa kapal
bangsawan maupun kapal dagang. Tetapi, hanya emas
permata yang kusimpan di sana. Harta itu akan kuwa-
riskan kepada keturunanku kelak, yaitu anak-anak
kuat yang telah kurancang untuk menguasai bumi.
Dengan harta itu nantinya keturunanku akan memban-
gun sebuah istana megah di atas laut, sebagai pusat
pemerintahan kerajaan dunia utama. Itu rencanaku,
Jaka..." "Wah, suatu rencana yang amat besar...!" ujar Indra Mada dengan sungguh-sungguh.
"Memang. Karena itu, aku harus menjaganya di pulau ini. Aku tak rela jika harta
itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi... keadaanku sekarang sudah berbeda dengan
yang dulu, Jaka... Aku sudah lemah dan tidak mempunyai tenaga apa-apa. Hanya itu
sisa tenagaku, dan
mungkin juga dengan Andini pun demikian..." Nyai Katri menampakkan wajah
dukanya. Ia permainkan tepian
rompi yang dikenakan Indra Mada, matanya meman-
dang sayu dan mengharukan.
Nyai berkata lagi dengan sendu, "Aku telah lalai, telah melakukan kebodohan yang
sangat kubenci. Asma-
ra Pasak Dewamu telah menyerap semua ilmuku dan
merubahku menjadi perempuan biasa, tanpa kehebatan
dan kekuatan sebagai pendekar putri. Kalau saja kau
pergi meninggalkan aku, saat ini juga aku akan bunuh diri, karena merasa tidak
mempunyai harapan lagi dalam hidupku. Kurasa Andini pun demikian. Dan... da-
lam keadaan seperti ini, aku tak bisa menjaga Istana Langit Perak. Aku
membiarkan harta itu lolos diserobot orang tanpa bisa kulakukan sesuatu untuk
mencegah-nya...."
Sepasang mata yang bening indah itu kini mulai
memerah. Bahkan berkaca-kaca karena basah oleh air
mata yang hendak menetes. Indra Mada memperhatikan
Nyai Katri dengan suatu keharuan dan rasa kasihan
yang menggelisahkan hati.
Nyai berkata dengan sendatan isak tangis yang me-
milu: "Jaka... tolonglah aku. Kembalikan segala ilmuku dengan caramu. Aku berjanji
akan menyerahkan Istana
Langit Perak ke tanganmu. Kuserahkan semua kepa-
damu harta-harta itu, asal kau kembalikan kekuatanku yang telah kau serap dengan
ilmu Asmara Pasak Dewa
itu.." "Untuk apa aku memiliki harta sebanyak itu" Di Suralaya sudah banyak harta,
Nyai..." "Oooh... Jaka, tolonglah aku. Aku ingin memperoleh kekuatanku kembali, dan
tentang harta itu... terserah kau, mau kau apakan, terserah... aku menurut
saja...!" Indra Mada termenung beberapa lama, lalu berkata:
"Aku ingin melihat istana itu dulu, lalu kuputuskan aku harus berbuat apa."
"Baik. Tapi... bagaimana aku bisa berenang sampai ke kedalaman laut, aku tidak
mempunyai ilmu penahan
nafas seperti dulu. Aku akan kehabisan udara jika harus berenang mencapai istana
itu." "Gampang. Menghisaplah udara dari mulutku... ma-
ka kau akan seperti menghirup udara di alam bebas..."
Nyai tertawa girang. Ia memeluk Indra Mada. Hara-
pan dan semangatnya untuk menjadi perempuan sehe-
bat dulu mulai terbayang di pelupuk mata. Maka saat
itu juga Nyai Katri mengajak Indra Mada ke pantai. Andini masih tertidur, dan
mereka sepakat untuk tidak
membangunkannya.
Langka-langkah kaki Nyai Katri terlihat ringan dan
lincah, bagai penuh harapan masa depan. Ia menggan-
deng tangan Indra Mada, sesekali bergelayutan di pundak. Canda mereka membaur
menjadikan tawa. Kelakar
mereka tak jauh dari masalah nafsu dan birahi.
Namun langkah mereka terhenti seketika karena di
depan mereka telah berdiri sesosok tubuh tegap, gagah dan tampan. Orang itu
mengenakan rompi dari kulit be-ruang dan menyandang pedang di punggungnya. Indra
Mada terbelalak, demikian juga Nyai Katri. Tapi masing-masing mempunyai arti
kejutan yang berbeda. Nyai Ka-
tri terkejut dan cemas melihat Lanang menghadang di
depannya, karena ia takut jika Lanang menyerang se-
dangkan ia sudah tidak mempunyai ilmu apa pun. Te-
tapi Indra Mada terkejut karena saat ini ia berhadapan dengan Lanang bukan
sebagai Jaka Bego, tetapi sebagai Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi yang menjalin
hubungan erat dengan Nyai Katri. Indra Mada tahu, kedatangan Pendekar Pusar Bumi
itu untuk membunuh Nyai
Katri, tetapi Indra Mada sendiri punya urusan dengan perempuan tersebut tentang
Istana Langit Perak. Indra Mada dalam kebimbangan yang samar.
"Selamat jumpa, Nyai Katri..." sapa Lanangseta dengan wajah tegas, seakan siap
membunuh. Nyai dan In-
dra Mada saling bungkam. Lanangseta berkata dengan
tegas: "Bebaskan Jaka Bego, temanku! Jangan menunggu
pedangku membunuhmu, Nyai...!"
"Lanangseta..." sapa Indra Mada. "Kau telah berhadapan dengan Jaka Bego."
Lanang menggeleng tanpa senyum. "Jangan bodohi
aku, dan jangan mendesak naluriku untuk membunuh
kalian!" Nyai menyahut pembicaraan, "Lanangseta, dia ini adalah..."
Indra Mada segera menyahut, "Nyai... tinggalkan dia.
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nanti kita urus setelah urusan kita selesai. Mari...!"
Indra Mada meraih tubuh Nyai Katri yang semampai
dan seksi itu, kemudian ia melesat pergi meninggalkan Lanangseta. Lanang segera
berseru: "Berhenti...!"
Karena tak ada balasan, Indra Mada tetap melesat
sambil menggendong Nyai Katri, maka tak ada pilihan
lain bagi Lanangseta untuk melancarkan serangannya.
Ia menghentakkan tangannya ke depan, "Wiwaha Mok-saaaa...!" Dan seberkas sinar
hijau muda melesat dari telapak tangannya ke arah Indra Mada. Sinar itu akan
menghancur-leburkan tubuh Indra Mada dan Nyai Katri. Tetapi Indra Mada memutar
tubuhnya dengan cepat sehingga seperti gumpalan asap. Akibatnya, sinar hijau
muda itu memantul balik saat hendak menghantamnya.
Lanangseta merunduk menghindari sinar hijau muda
yang meluncur ke arah kepalanya sendiri. Lalu, suara ledakan terdengar, dan
beberapa pohon rubuh seketika karena terkena benturan sinar hijau muda itu.
Lanangseta tercengang, karena baru sekarang ia melihat seseorang bisa
mengembalikan pukulan ilmu Wiwaha Moksa
yang biasanya membuat orang yang terkena menjadi
debu seketika. Pohon yang roboh itu pun kini tinggal serbuk hitam bagai debu
arang. "Siapa pemuda yang menyelamatkan Nyai Katri
itu...?" pikir Lanangseta seraya mengejarnya.
Tubuh Indra Mada melayang tinggi sewaktu menca-
pai pantai. Dengan tetap menggendong Nyai Katri, ia
melesat ke tengah lautan. Lalu menyelam di kedalaman air seperti sebuah lembing
yang dipanahkan dari udara.
Lanangseta yang sempat menyaksikan hal itu, sungguh
kagum. Gerakan Indra Mada membuatnya semakin pe-
nasaran, ingin mengetahui siapa pemuda itu. Maka
dengan segera ia pun melesat ke tengah lautan, dan
ikut-ikutan menyelam dengan gerakan seperti angin topan menembus lautan. Lanang
berenang dengan gera-
kan tenaga dalamnya sehingga ia meluncur cepat seper-ti anak panah di dalam air.
Namun, Indra Mada pun ju-ga seperti anak panah di dalam air. Cepat, bahkan lebih
cepat dari gerakan Lanangseta.
Nyai Katri kehabisan nafas, ia megap-megap. Kemu-
dian Indra Mada segera mengecup bibir Nyai Katri yang tetap digendongnya dalam
posisi sejajar dengan tubuhnya, jadi seperti sepasang suami istri sedang
bercinta di atas ranjang. Tangan Nyai Katri memeluk erat leher dan punggung
Indra Mada, sementara itu, gerakan telapak
kaki Indra Mada begitu cepat, dan setiap hentakannya mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang jarang dimiliki orang.
Nyai Katri seperti bernafas di alam bebas. Ia menye-
dot udara dari dalam mulut Indra Mada, dan bernafas
dengan cara begitu. Tetapi repotnya, perpaduan kedua bibir itu menimbulkan
gejolak birahi di hati Nyai Katri.
Begitu kuat gejolaknya itu sehingga tangan Nyai Katri yang satu berani merayap
ke bagian tertentu dari Indra Mada.
Mereka meluncur menghindari karang-karang den-
gan gesit, sedangkan Lanangseta yang mengejarnya se-
sekali nyaris membentur karang. Akibatnya, ia agak tertinggal jauh. Namun sebuah
ilmu yang telah dipelajari dari gurunya telah membuat ia pun tahan tidak
bernafas beberapa lama. Ia terus meluncur mengejar Indra
Mada. Dan sesekali ia curiga, merasa heran dan nyaris
tak percaya melihat gerakan Indra Mada yang berada di atas tubuh Nyai Katri.
Dalam hati Lanangseta hanya
mengecam, "Dasar perempuan mesum... sempat-
sempatnya dalam keadaan seperti ini berbuat yang ti-
dak senonoh...! Uhh... gila! Tapi ke mana pun mereka pergi, akan kukejar terus!
Nyai Katri harus mati di tanganku, dan pemuda itu pun harus ikut ke neraka ber-
sama perempuan mesum itu..."
Tepat Indra Mada dan Nyai Katri melintasi puncak
kebahagiaan yang menggila, pada saat itu Nyai menun-
juk sebuah tebing berlereng di kedalaman laut. Pada lereng tebing itu terdapat
goa karang yang sangat lebar.
Nyai menyuruh Indra Mada masuk ke sana dengan ge-
rakan isyarat. Lalu Indra Mada pun meluncur ke goa
karang, dan Lanangseta mengejarnya. Rupanya goa itu
tidak semata-mata sebuah goa biasa, melainkan mem-
punyai bangunan mewah di dalamnya. Di dalam goa
itu, ada bagian yang tidak terendam air. Di sana ada tangga menuju ke atas.
Indra Mada dan Nyai Katri naik ke atas, ternyata mereka sampai di tempat datar
dan berdinding lapisan perak dari berbagai perhiasan yang ditempelkan.
Semakin naik ke atas, ke lantai berikutnya, mata In-
dra Mada terbelalak dalam senyuman megah. Di lantai
itu terdapat ruangan sangat lebar, berlantai susunan emas batangan, dan
dindingnya pun terbuat dari lapisan-lapisan emas tebal. Agaknya emas yang sudah
dilebur untuk dijadikan suatu lempengan pelapis dinding.
Sedangkan bagian atap ruangan lebar itu terbuat dari perak putih dengan hiasan
batu-batu warna-warni yang mengagumkan. Di dalam ruangan tersebut keadaan
sangat terang, karena banyak lampu dari obor yang terbuat dengan bahan tembaga-
tembaga berbentuk pipa.
Agaknya nyala api itu bukan dari minyak tanah biasa, melainkan memakai semacam
batu bara yang mengha-
silkan warna api biru ke kuning-kuningan.
"Mengagumkan sekali...!" ujar Indra Mada.
"Kuserahkan semua ini untukmu, Jaka, asal kau
kembalikan kekuatanku dan ilmu-ilmuku..." kata Nyai Katri yang berjalan ke
singgasana, kursi singgasana itu terbuat dari perak berlapis emas dan berhiaskan
batu-batu jamrud, pirus dan intan permata lainnya. Ada sebuah ruangan di
belakang kursi singgasana. Pintu
ruangan itu terbuat dari emas murni, dan ketika Nyai Katri membukanya, maka
berkerliplah segunung perhiasan yang menyilaukan pandangan mata.
"Apakah tempat ini tidak ada penjaganya?"
"Dulu ada," jawab Nyai Katri. "Aku telah membuat beberapa pagar yang terdiri
dari aliran tenaga dalamku.
Jangankan orang masuk ke sini, baru berada di perai-
ran luar goa saja mereka akan mati hangus termakan
pagar tenaga Mata Apiku yang kupasang sejak dari sini sampai di kejauhan luar
goa. Tapi sejak ilmuku kau serap dengan Asmara Pasak Dewamu, maka pagar itu pun
hilang, dan tempat ini menjadi sangat rawan. Mudah
dimasuki siapa saja."
Ada lima pintu kamar yang sengaja dibuka oleh Nyai
Katri, dan kelima pintu kamar itu terbuat dari emas, ju-ga di dalamnya terdapat
segunung perhiasan yang me-
nyilaukan. "Makanya, Jaka... kalau kau mau mengembalikan
ilmu-ilmuku, maka tempat ini menjadi milikmu. Terse-
rah akan kau apakan itu urusanmu. Aku tak akan ikut
campur lagi..."
Nyai Katri berjalan ke arah lain, saat itu Indra Mada mengagumi enam pilar besar
yang terbuat dari emas
murni dengan manik-manik batu permata yang berki-
lauan, tersusun rapi serta sangat indah. Ia ikut melangkah ke arah Nyai Katri
berjalan. Rupanya perempuan
itu membawa Indra Mada ke sebuah kamar berpintu
emas berukir. Pintunya cukup besar, ada batu permata warna merah pada bagian
tengahnya sebesar piring
makan. Nyai Katri mengusap batu merah delima itu dari atas ke bawah, dan pintu
itu pun terbuka ke samping.
Maka terlihatlah sebuah kamar tidur yang berlimpah
perhiasan serta permata mengagumkan. Ranjang dan
segala perabot di kamar tidur itu semua terbuat dari emas dan perak putih. Nyai
menyuruh Indra Mada masuk ke kamar. Ia berbisik.
"Atau kau akan tinggal di kamar ini sebagai suami istri bersamaku" Kujamin kau
tak akan sempat keluar
dari kamar." Nyai Katri mengikik dalam gelitikan jemarinya yang nakal.
"Jaka..." sambungnya lagi, "Lakukanlah keinginan-ku. Kembalikanlah keadaanku
seperti semula, dan...
kau bebas berbuat dengan harta kekayaan ini. Kaulah
yang akan menjadi penguasa Istana Langit Perak....!"
Indra Mada tertawa pelan, ia memeluk Nyai Katri dan
mencium kening Nyai Katri, sementara itu Nyai Katri
masih sempat merayapkan tangannya ke daerah terten-
tu di tubuh Indra Mada. Lalu setelah Nyai merengek
dengan erangan memancing birahi, Indra Mada pun
berkata: "Akan kukembalikan kekuatanmu. Kukembalikan
semua ilmu yang terserap oleh Pasak Dewa, tetapi ada satu hal yang harus kau
lakukan untuk itu..."
"Oh, apakah itu, Jaka" Aku akan melakukannya...!"
"Semadi Serap...!"
"Semadi Serap"!" Nyai berkerut dahi. "Apa itu?"
"Tubuhmu harus sanggup berdempet dengan tubuh-
ku selama empat puluh hari dengan keadaan... saling
berhubungan badan."
Nyai memekik kegirangan. Tentu saja ia sangat
sanggup dan mau melakukannya. Tetapi bagaimana
dengan nasibnya dalam incaran Lanangseta" Bisakah ia
selamat sampai melakukan Semadi Serap" Benarkan Is-
tana Langit Perak menjadi milik Indra Mada" Dan ba-
gaimana nasib Cambuk Naganya sendiri" Kisah
SERULING KEMATIAN itulah yang akan menuntaskan
cerita ini. SELESAI Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** 2 *** *** *** 3 *** 4 *** 5 SELESAI Gelang Kemala 10 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Pendekar Sakti Suling Pualam 20
"Ayolah, Jaka..." sekali lagi Andini memperkuat ren-gekannya. Nyai Katri juga
ikut bergelayutan di pundak satunya lagi. Jaka Bego memandang wajah cantik ber-
hidung bangir dan berbibir ranum segar itu. Nyai ikut merengek, namun lebih
menyerupai sebuah bujukan:
"Ayolah... ceritakan segalanya jika kau mampu me-nunjukkan ketampananmu,
tunjukkanlah kepada ka-
mi." Jaka tersenyum geli sendiri.
"Kalian akan menjadi gila jika melihat ketampananku."
"Kami memang sudah tergila-gila kepadamu," bisik Nyai dalam desah sambil mencium
belakang telinga Ja-ka Bego.
Andini menambahkan kata seraya menciumnya juga,
"Sekarang pun kami sudah tergila-gila padamu, Jaka."
Hati Jaka Bego merasa bangga, dirinya seakan me-
layang mendapat pujian seperti itu. Saat itu, terutama sejak Nyai dan Andini
kehilangan ilmu mereka, Jaka
Bego merasa seperti seorang Pangeran di pulau itu. Seorang pangeran yang
dikagumi oleh kedua perempuan
cantik dan menggairahkan. Tanpa disadari sebenarnya
dialah yang kini menjadi penguasa tunggal Pulau Kra-
mat, sebab hanya dialah orang terkuat di pulau itu.
Namun, ketololan Jaka Bego membuat ia tidak menya-
dari hal itu, dan masih saja merasa sebagai tawanan
Nyai Katri, sehingga segala perintah Nyai Katri selalu di-laksanakan.
"Siapa dirimu sebenarnya, Jaka Bego" Mengapa kau sampai menguasai ilmu Asmara
Pasak Dewa yang amat
dahsyat itu" Dari mana kau peroleh ilmu Pasak Dewa
itu, Jaka?" Nyai mendesaknya dengan halus, sehingga Jaka Bego tidak merasa
dipaksa mengaku siapa dirinya.
Dalam hal itu, Jaka Bego hanya berkata: "Kalau kau tanya padaku itu salah, Nyai.
Sebab aku sendiri tidak tahu, siapa diriku. Aku juga tidak percaya kalau aku
mempunyai ilmu Pasak Dewa. Menurutku, aku ini biasa-biasa saja."
"Tapi kau mempunyai kesaktian yang mengagum-
kan," bisik Andini sambil mendengus-dengus di leher jaka Bego. Sesekali Jaka
Bego menggelinjang. Ia berkata: "Ah, kesaktian itu kan hanya kebetulan saja."
"Kebetulan bagaimana?" tanya Nyai Katri penuh seli-dik.
"Yaaah... kebetulan saja kau menemukan aku seba-
gai orang paling sakti seantero jagad raya. Kalau kau bertemu dengan, orang
lain, yaah... kau kebetulan saja menemukan orang yang tidak sesakti aku. Jelas?"
Nyai Katri merasa kecewa, ternyata jawaban Jaka
Bego tak lebih dari jawaban konyol. Ia membanggakan
diri secara tak langsung, dan Nyai tak mau menangga-
pinya lagi. Ia sibuk meremas-remas sesuatu yang mem-
buat Jaka Bego berkata:
"Nyai... apakah aku harus tidur sesore ini?"
"Sebaiknya begitu," jawab Andini yang sudah mulai bernafas tak teratur.
"Ah... masih terlalu sore, kan?" Jaka mengeluh.
"Hari boleh menjadi sore tapi kau harus tetap sesegar udara pagi, Jaka," bisik
Nyai Katri yang mengalami hal serupa dengan Andini. "Aku senang berlayar di pagi
ha-ri, udaranya segar dan..."
Andini menyahut, "Dan karena itu kau harus meminum ramuan itu, supaya seperti
pagi yang segar, Ja-
ka..." "Ya, minumlah...! Percaya saja kepada kami, itu bukan racun yang membahayakan
jiwamu. Alangkah bo-
dohnya kalau kami punyai niat meracuni kamu, lantas
siapa yang akan mendayung sampan kami nanti jika
kau mati, Jaka. Minumlah... Itu tanda sayang kami kepadamu."
"Aaaah...! Perempuan katanya memang selalu ba-
nyak menuntut.... dasar!" Jaka Bego menggerutu, namun ia mengambil juga minuman
itu. Ia pun segera
meminum ramuan yang terbuat dari seduhan air daun
binari dengan madu lebah hutan. Sekali tenggak, mi-
numan itu habis. Andini dan Nyai Katri tersenyum bersama, merasa mereka akan
memperolah suatu keisti-
mewaan lebih hangat lagi dari Jaka Bego. Syaraf kedua perempuan itu memang sudah
tak banyak bisa berpikir
hal-hal lain kecuali tentang kemesraan yang menghan-
gat. Itu juga akibat pengaruh ilmu Pasak Dewa yang telah berhasil menjerat dan
mempengaruhi jiwa mereka.
Andini dan Nyai Katri sama-sama menuntun Jaka
Bego ke kamar. Sambil bercanda dan tertawa mengikik
merek sengaja menggoda Jaka Bego dengan sentuhan-
sentuhan yang sensitif. Jaka Bego mengikik dalam sua-tu gerakan menggelinjang
jika bagian tubuhnya yang
peka disentuh atau pun digelitik oleh kedua perempuan itu. Waktu ia sampai di
pembaringan, ia menguap. Matanya mulai sayu, bicara dan tawanya mulai mengam-
bang. "Hei, kau jadi mengantuk, ya" Mengantuk sungguh?"
goda Andini seraya mempermainkan bagian tubuh Jaka
Bego. Saat itu, Jaka Bego mengangguk-angguk, tak da-
pat bicara apa-apa. Nyai Katri menelentangkan Jaka
Bego dengan gairah yang berkobar-kobar. Ia tertawa seraya memandang Andini:
"Ia sengaja mempermainkan kita, supaya kita mendayung sendiri, hi, hi, hiii..."
Andini menyahut dalam tawanya pula: "Untung aku sudah bersiap diri untuk
mendayung..."
Beberapa saat, terdengar dengkuran Jaka Bego. Nyai
Katri dan Andini sama-sama masih mengikik geli.
"Dia tertidur betulan..." "Biarkan saja, justru kita bebas mendayung dan
berlayar ke mana pun kita mau,"
jawab Nyai Katri. Kemudian ia bicara berbisik kepada Andini, "Lihat... semakin
kuat dan perkasa, bukan?"
"Ramuanmu sungguh hebat, Nyai. Jaka kelihatan tetap segar dan semakin
mengagumkan walau dalam
keadaan tertidur. Hi, hi, hi... Dia benar-benar embun pagi yang segar dan...
dan..." Andini memandang heran wajah Jaka Bego. Ia kini semakin berbisik: "Hei,
Nyai... lihat wajahnya berasap..."!" Nyai membelalakkan mata kendati tetap bekerja
dengan teratur.
"Astaga... benar! Ia berasap, bahkan... bahkan di bagian dada serta perutnya
ini, lihat... ini juga berasap."
Andini menjadi tegang. "Oooh..."! Dia mulai membengkak, Nyai. Dia membengkak
dan...dan..." Andini menutup mulutnya dengan tangan. "Aku takut ia akan meledak
Nyai..." "Ajaib sekali! Apa yang terjadi pada dirinya sebenarnya...."
Nyai Katri ketakutan, ia segera turun dari pembarin-
gan. Andini juga demikian. Ia melangkah mundur den-
gan mata masih membelalak memandang Jaka Bego
yang mengeluarkan asap. Seluruh tubuhnya membeng-
kak sedikit demi sedikit, bahkan pada bagian pusa-
kanya itu pun kian membesar dan bertambah tinggi.
Nyai sendiri segera lari ke luar dari kamar dengan kepanikan dan ketakutan yang
tak pernah dimiliki sebe-
lumnya. Andini menyusul dalam kegugupan. Nafasnya
tak teratur. Ia sama saja dengan Nyai. Tidak menghi-
raukan pakaian yang tertinggal di lantai kamar.
"Nyai... bagaimana dia" Apa yang kau minumkan kepadanya itu sebenarnya?" Andini
sangat cemas dan bingung.
"Entahlah. Kupikir... kupikir itu ramuan yang biasa, wajar-wajar saja, aku...
aku pernah memberikan ramuan serupa kepada Prabima, tetapi... ia tidak mengalami
perubahan mengerikan seperti Jaka.... Oh, Andi-
ni... aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri Jaka Bego..."
"Kita telah membunuh dia, Nyai...! Kita lari saja...!"
"Di luar, hari sudah malam... Kita mau lari ke ma-na?" Nyai Katri sangat cemas,
dan Andini kebingungan.
"Bagaimana kalau arwahnya sampai menuntut ke-
pada kita?" Kata Andini, dan memang baru sekarang juga mereka berdua merasa
takut kepada arwah, padahal dulu Nyai Katri justru sering bercanda dan berta-
rung dengan arwah-arwah penasaran. Tapi kali ini, ia benar-benar merasa takut
sekali jika arwah Jaka Bego memburu dan mencekiknya. Ia memiliki unsur ketakutan
yang sama dengan perempuan biasa.
Tiba-tiba dari kamar terdengar suara seseorang me-
manggil: "Nyai...."! Andini..."!"
Kedua perempuan itu saling pandang dalam ketaku-
tan yang memuncak. Kaki dan tangan mereka gemeta-
ran. "Di mana kalian...! Kenapa pergi" Nyai..."!"
"Nyai, kau dipanggil...!" bisik Andini dalam ketakutan. Nyai Katri menggeleng,
ketika di dorong maju ke kamar, ia tetap bertahan tidak mau masuk ke kamar.
"Itu suara Jaka, bukan?" bisik Nyai. Andini mengangguk. "Dia masih hidupkah...?"
Andini menggeleng. "Entah! Atau... arwahnya yang memanggilmu, Nyai..."
*** 4 Kedua perempuan tanpa busana itu melangkah
mundur menjauhi kamar. Keringat dingin mengucur
dari pori-pori kulit mereka yang halus lembut. Suara seorang lelaki dari dalam
kamar membuat mereka semakin dicekam rasa takut dan tak tahu harus berbuat
apa mereka. "Andini....! Ah, brengsek kau. Kenapa kau biarkan aku seperti ini..."!" suara
itu terdengar lagi.
Andini menjadi lebih ketakutan lagi. Ia mendekati
pintu keluar, dan Nyai Katri buru-buru menyusulnya.
Mereka berniat melarikan diri keluar dari rumah. Tetapi baru saja pintu hendak
dibuka, wajah-wajah mereka
yang cantik itu semakin menegang dalam kekaguman
yang mencekam. Seorang pemuda tampan keluar dari kamar Nyai Ka-
tri. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap. Badannya kekar dan berotot. Rambutnya
tak terlalu panjang dan berge-lombang ikal. Wajahnya bersih, dengan hidung
bangir dan mata kebiru-biruan. Alis matanya tidak terlalu tebal, namun bulu matanya
cukup lebat dan lentik bagi
ukuran bulu mata lelaki.
Pemuda itu tidak mengenakan baju, sehingga da-
danya yang bidang dan kekar itu tampak terbentang jelas. Ia hanya mengenakan
kain selimut yang dililitkan asal jadi pada bagian perut sampai batas paha ke
atas sedikit. Ia berkulit kuning langsat, halus dan bersih. Di wajahnya ada
kumis yang tipis. Sangat tipis, namun justru menambah ketampanannya yang luar
biasa me- mukau. Kedua pundaknya datar, otot-otot lengannya
kelihatan menonjol namun lembut.
Andini dan Nyai Katri sama-sama terbengong seperti
patung bugil. Mata mereka tak bisa berkedip, dan mulut mereka tetap melongo.
Mereka benar-benar terpukau
oleh ketampanan pemuda itu. Mulut dan lidah bagai
susah untuk digerakkan. Kelu. Mereka benar-benar ter-kesima oleh pemandangan
yang tak pernah terbayang-
kan sebelumnya.
Pemuda itu mendekati Nyai Katri dan Andini setelah
memeriksa tubuhnya sendiri. Ia tersenyum mempesona,
namun kedua perempuan itu tak mampu membalas-
nya. Mereka masih terpukau dalam keheranan yang
amat tinggi. "Nyai...?" sapanya lembut dan menyejukkan hati.
"Andini...?" ia memandang Andini dengan sepasang ma-ta kebiru-biruan. Bau harum
yang sangat melenakan
tercium dari tubuh pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, setelah pemuda itu melipat
tangan di dada seraya tersenyum tipis mempesona. Nyai Katri mulai dapat menelan
ludahnya sendiri, dan matanya pun bisa untuk berkedip. Ia mengucal-ngucal
sepasang matanya, dan sekali lagi memandang tegas-
tegas ke arah pemuda tampan berbibir ranum itu. De-
bar-debar di dada Nyai Katri bagai ingin menghentikan detak jantung.
Pemuda itu berkata dengan lembut, "Kau pasti telah memberiku minuman yang
mengandung madu. Benar,
bukan?" Nyai Katri seperti orang dihipnotis. Ia mengangguk,
bahkan kelihatan ketololannya. Lalu, dengan bibir ge-metar ia berkata:
"Si... siapa... siapakah kau... sebenarnya...?" suara itu pun nyaris hilang, tak
terdengar. "Kalian sama sekali tidak mengenaliku?"
Nyai Katri mengangguk, Andini juga mengangguk
dengan mulut masih melongo. Mereka berdua benar-
benar seperti orang tolol tanpa busana selembar be-
nangpun. Pemuda itu kelihatan semakin tenang dan
menawan dengan senyumnya.
"Aku... Jaka Bego."
Kedua pasang mata perempuan itu sama-sama ber-
gerak melebar. Lalu mereka saling pandang dalam kebi-suan, dan setelah itu
kembali memandang pemuda ter-
sebut. Mereka menampakkan tatapan mata tidak per-
caya, sehingga pemuda itu meraih tangan Nyai Katri
dan tangan Andini, lalu ia menuntun kedua perempuan
itu ke dekat meja. Nyai dan Andini seperti sepasang
kerbau yang dicucuk hidungnya: menurut saja. Di situ, pemuda tampan itu berkata
dengan bahasa yang ra-mah, suara yang lembut, enak di dengar serta menga-
gumkan. "Namaku yang sebenarnya.... Indra Mada. Aku hidup bukan di alam ini, tetapi di
Suralaya..."
"Suralaya"!" Andini dan Nyai sama-sama mende-siskan kata itu. Lalu dengan
sedikit susah payah Nyai Katri berkata pelan:
"Suralaya... tempat para dewa..."
"Ya. Benar. Dari sana asalku. Aku mencari ayahku, yaitu seorang dewa yang
melakukan kesalahan, lalu dibuang ke alam kehidupan manusia. Ia menjelma men-
jadi manusia. Ayahku itu bernama Bhirawa Mada. Ka-
rena ia terusir dari Suralaya, dan menjadi manusia, ka-barnya ia bernama Pramban
Jati, atau dikenal sebagai Si Tongkat Besi. Ayahku itu adalah dewa Kejayaan,
sedangkan aku anaknya, dewa Seribu Mimpi. Tugasku
mengatur impian-impian yang mempunyai makna seba-
gai perlambang kehidupan manusia yang bersangkutan.
Dan aku sengaja melakukan kesalahan di Suralaya, su-
paya aku dibuang ke alam ini. Dengan dibuangnya aku
ke sini, maka aku akan dapat bertemu dengan ayahku,
yang sejak kecil tak pernah kutemui..."
Andini dan Nyai Katri termangu-mangu mendengar
penuturan kisah itu. Mereka sama sekali tidak memiliki keraguan sedikit pun.
Cerita dan ketampanan Indra
Mada telah melunakkan segala kecurigaan, sehingga
membuat mereka sangat percaya dan tetap mengagumi
Indra Mada. Pemuda jelmaan Jaka Bego itu berjalan mondar-
mandir sambil berbicara penuh kelembutan dan enak
didengar. "Ibuku seorang bidadari," katanya. "Sewaktu ia melihat aku dibuang ke alam
kehidupan ini, ia menangis
sampai mencucurkan air mata darah. Lalu penguasa
Suralaya menjadi iba dan kasihan kepada ibuku, Ia berjanji akan mengembalikan
ujudku seperti semula, apa-
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bila aku telah mengecap kemanisan alam manusia ini,
yaitu madu dan cinta!"
Tak satupun dari kedua perempuan itu ada yang be-
rani bicara. Selain memang Indra Mada mencerminkan
kharisma tersendiri, juga mereka merasa sayang jika
harus bicara dan membuat suara Indra Mada itu ter-
henti. Karena itu, mereka diam, menyimak suara Indra Mada yang enak di dengar
dan menimbulkan getaran
tersendiri di dalam hati mereka.
"Dulu..." sambung Indra Mada. "Aku pernah menelan setetes madu, ketika aku
menjadi seorang tawanan di
kapal. Dan aku hampir saja menjelma menjadi ujud
yang sebenarnya. Tetapi aku tidak merasakan cinta,
bahkan memang belum pernah sehingga aku kembali
lagi menjadi ujud Jaka Bego."
Indra Mada menceritakan sekilas peristiwa ia ditahan di kapal Laksamana Chou
dalam kisah KUTUKAN JAKA
BEGO. Ia pun menjelaskan.
"Tetapi di sini, aku telah merasakan manisnya cinta seorang perempuan, dan
manisnya madu yang kau berikan padaku. Maka, ujud Jaka Bego pun terpaksa ku-
tinggalkan dan berubah dengan sendirinya menjadi
ujudku seperti ini..." seraya Indra Mada mengembangkan kedua tangannya, seakan
memperlihatkan keadaan
dirinya. "Apakah..." Nyai Katri ragu-ragu ingin bicara. Tapi Indra Mada menyuruh Nyai
Katri tenang dan tak perlu
takut-takut untuk bicara, maka Nyai pun melanjutkan
kata-katanya: "Apakah... aku akan kembali ke Suralaya jika sudah berubah seperti ini?"
"O, tidak! Dalam keadaan seperti ini, berarti aku telah bebas. Aku boleh tinggal
di alammu, atau boleh pu-lang ke alam para dewa kapan saja aku mau. Tetapi aku
tidak ingin kembali lebih dulu sebelum aku menemukan ayahku: Si Tongkat Besi.
Apakah kalian pernah mendengar nama itu?"
"Ya. Dulu aku pernah mendengar namanya, tapi se-
karang tidak lagi. Dan aku tidak tahu di mana dia," jawab Nyai Katri yang mulai
memperoleh ketenangan ba-
tinnya. "Bagaimana dengan Lanangseta...?"
Nyai Katri dan Andini saling bertatapan
sejenak, kemudian Andini bertanya kepada Indra
Mada. "Apakah Lanangseta itu ayahmu?"
Indra Mada melangkah menjauhi Andini dan Nyai
Katri dengan senyum menghias bibirnya yang ranum.
"Bukan begitu maksudku. Selama ini, aku sengaja mengikuti Lanangseta, karena aku
mencium bau darah
dewa pada dirinya. Aku tak tahu apakah dia dewa atau bukan, tetapi ia pernah
menyebutkan gelar Malaikat
Pedang Sakti. Dan itu adalah gelar dari ayahku. Aku belum sempat menanyakannya,
sebab selama ikut dia, se-
lalu saja ada masalah yang harus kutangani. Kepada
dia pun aku belum sempat menceritakan siapa diriku.
Dan memang dalam keadaan penting saja aku harus
menceritakan tentang jati diriku, termasuk kepada kalian..."
"Apakah kami termasuk orang penting menurutmu?"
tanya Andini yang juga mulai tenang.
"Ya. Penting, karena kalian telah melihat ujudku yang sebenarnya. Itulah tadi
kukatakan, kalian akan gi-la jika melihat wajahku yang sebenarnya."
Nyai Katri mulai tersipu. Ia berkata lirih, "Agaknya kata-katamu itu memang
benar." "Nah, kau sudah mulai memancing-mancingku, bu-
kan?" Nyai Katri semakin tersipu, demikian juga Andini.
Lalu dengan pelan Nyai bertanya:
"Apakah aku tak boleh lagi memancing-mancingmu?"
Indra Mada merasa terpojok dengan pertanyaan itu.
Ia ingin mengalihkan pembicaraan, tetapi Nyai sudah
menyerang dengan pertanyaan serupa:
"Apakah kita sudah tidak boleh saling bercinta lagi?"
"Ya, apakah kami tak boleh berlayar lagi denganmu?"
sahut Andini yang mulai bersemangat.
Indra Mada tersenyum lebar, dan semakin mengge-
tarkan hati Nyai Katri dan Andini.
"Aku seorang dewa..." kata Indra Mada. "Seharusnya, seorang dewa tidak boleh
bercumbu dengan manusia."
Wajah-wajah cantik itu lesu dan tampak kecewa. In-
dra Mada memperhatikan sejenak, lalu berkata:
"Tapi karena aku hidup di alam manusia, dan aku kembali berujud seperti ini
karena manusia, maka...
aku pun harus mau menerima kodrat kemanusiaanku,
yaitu mengenal cinta!"
"Jadi..."!" Mata Nyai Katri berbinar-binar penuh harap.
"Jadi, tak ada salahnya aku bercinta, kalau toh cinta dan kemesraan itu bagian
dari naluri manusia."
"Dan kau masih mau bercinta dengan kami sekali
pun untuk satu malam?" Andini mendesak.
Indra mada tersenyum, bahkan tertawa tanpa suara.
Ia berkata dengan wibawa:
"Apa salahnya, kalau toh kuanggap hal itu adalah suatu persembahan bagi dewa.
Sungguh penghormatan
atas diriku yang telah hadir di antara kalian..."
Andini tertawa girang seraya memandang Nyai Katri.
"Aku ingin malam ini jangan berlalu sampai berbulan-bulan," kata Andini.
"Kuharap juga dinginnya malam jangan bergeser sedikit pun, sehingga aku dapat
meresapi betapa hangatnya pelukan dewa itu," sahut Nyai Katri.
"Tunggu dulu..." sergah Indra Mada. Kedua perempuan itu menatapnya dengan ragu.
Indra Mada berkata
lagi: "Tapi jangan salahkan aku kalau kalian menjadi bu-
dak nafsu kalian sendiri. Dan jangan salahkan aku kalau kalian menjadi sakit
karena bercumbu denganku."
"Menjadi sakit...?" Andini berkerut dahi.
Indra Mada mengangguk. "Kau sudah mengenal ke-
hebatan Jaka Bego bukan?"
"Ya..." jawab Andini dan Nyai bersahut-sahutan.
"Kalian mengagumi keistimewaan dayung Jaka Bego yang dulu pernah kalian katakan
sebagai pedang panjang yang mampu menembus dinding karang, bukan?"
"Ya... ya, betul!"
Indra Mada tersenyum. "Itu Jaka Bego. Dengan sosok Jaka Bego saja kau telah
terkagum-kagum dan ke-
canduan, sedangkan aku... di atas Jaka Bego lima tingkat lebih tinggi
keberadaanku."
Nyai Katri dan Andini saling berpandangan, berkerut
dahi pertanda kurang jelas dengan kata-kata itu. Ke-
mudian Indra Mada membuka kain penutup tubuhnya,
dan mata kedua perempuan itu membelalak lebar-lebar
memandang ke suatu arah yang membuatnya berdebar-
debar namun juga menggairahkan.
Andini dan Nyai Katri sudah terpengaruh oleh keku-
atan ilmu Asmara Pasak Dewa, sehingga pikiran mereka tak akan pernah jauh dari
masalah birahi dan kemesraan. Kini mereka baru tahu, bahwa memang pantas
Jaka Bego mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa, sebab
sebenarnya Jaka Bego itu adalah Dewa Seribu Mimpi
yang sangat mengagumkan.
Nyai Katri dan Andini sama-sama merasa menjadi
perempuan paling beruntung di dunia itu, karena hanya mereka berdualah yang
benar-benar mampu menjadikan impian berubah kenyataan. Khayalan tentang seo-
rang lelaki jantan yang maha hebat sering mereka
bayangkan, bahkan impikan. Dan sekarang Dewa Seri-
bu Mimpi membuat impian itu menjadi kenyataan yang
mengakibatkan Andini dan Nyai Katri memekik-mekik
di tengah kesunyian malam.
Indra Mada, memang jauh lebih tinggi nilainya den-
gan Jaka Bego. Kalau pada saat Indra Mada menjadi
Jaka Bego, Nyai Katri sudah sangat mengagumi dan
tergila-gila, maka kali ini, Nyai hampir-hampir tidak menyadari bahwa dirinya
adalah seorang perempuan.
Andini sendiri juga tidak bisa menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai
seorang wanita. Mereka lepas
kontrol dan mengerang keras-keras, bahkan terkadang
menjerit tinggi menikmati nilai yang lima kali lebih besar dari Jaka Bego.
Indra Mada mendayung sampannya dengan tanpa
berhenti sebentar pun. Ia membiarkan perempuan-
perempuan itu berada di puncak paling tinggi, bahkan berulangkali. Dan ia
sendiri masih mampu melesatkan
anak panah dengan kuat sekali pun sudah sepuluh kali ia memanah dalam kondisi
cepat dan kuat. Ia bagai seorang pemanah yang tak pernah kehabisan panah, bagai
seekor ular yang menyemburkan bisa beracun tanpa
pernah mengalami kekurangan semburan bisa, sekali-
pun ia telah menyembur musuhnya berkali-kali.
Waktu fajar menyingsing, di mana Indra Mada belum
berhenti sebentar pun untuk mendayung sampan, pada
saat itu Andini telah terkapar di lantai dengan lunglai.
Sedikit pun tak ada tenaga yang tersisa kecuali nafas, sementara itu, Nyai Katri
pun menyusul lemas bagai
kapas setelah Indra Mada sama-sama mendaki keting-
gian gunung dan berjaya di puncaknya.
Indra Mada segera berlabuh ketika matahari mulai
memancarkan sinar kemerahan. Keringatnya yang ber-
cucuran, mengabarkan bau harum tak berkesudahan.
Keringat dewa ternyata telah mampu menimbulkan
pengaruh tersendiri bagi manusia yang menciumnya.
Indra Mada yang dulunya dikenal Jaka Bego itu baru
saja ingin membaringkan tubuh di sisi Nyai Katri yang
pucat pasi itu. Namun ia terpaksa bergegas bangun karena ia merasa ada sepasang
mata yang mengintainya
dari sela-sela dinding kamar. Indra Mada mengenakan
pakaian Jaka Bego, sebuah rompi kulit binatang dan ce-lana hitam. Ia bergegas
keluar dari kamar. Tapi anehnya, sepasang mata yang mengintainya itu masih tetap
menempel pada dinding kamar yang terbuat dari kayu-kayu kasar. Bahkan sampai
Indra Mada berada di bela-
kang orang yang mengintip, orang itu masih belum bisa lepas dari dinding rumah
panjang itu. Ia masih saja
mengintip, bagai tak menyadari bahwa di dalam kamar
sudah tak terdapat seorang lelaki dengan segala kegia-tannya.
Indra Mada melemparkan selembar daun kering ke
kaki pengintip itu seraya berkata:
"Tontonan yang mahal, ya Bung..."!"
"Aaaauuwa...!" Orang itu menjerit tertahan. Mata kakinya bagai dilempar dengan
batu besar, sekali pun sebenarnya hanya dengan daun kering.
"Apakah itu pekerjaanmu, Laksamana"!" kata Indra Mada.
Rupanya orang yang mengintip itu adalah Laksama-
na Chou. Ia terkejut ketika Indra Mada menyebutkan
namanya. Ia merasa tidak mengenal lelaki tampan dan
berkulit bersih itu. Karenanya, Laksamana Chou ber-
sungut-sungut, matanya memandang tajam, bertanya-
tanya dalam hati.
"Seorang Laksamana dari negeri Tiongkok, sungguh memalukan melakukan kegiatan
mengintip dua putri
yang sedang dimabuk birahi. Kurasa bukan itu tujuan-
mu ke mari, Laksamana Chou," tutur Indra Mada dengan tenang sekali.
Sambil masih menyeringai kesakitan pada mata ka-
kinya, Laksamana Chou bertanya: "Siapa kamu sebenarnya, hah"!"
"Aku Indra Mada," jawab Indra Mada dengan tersenyum-senyum. Laksamana Chou
tampak semakin he-
ran. "Indra Mada"! Aku tidak kenal sama kamu..."
"Tentu. Tapi aku kenal kamu, Laksamana Chou. Aku juga kenal dengan anak buahmu,
algojomu yang bernama Huang Pai. Dan aku tahu, kau mencari anakmu
yang bernama Yin Yin, bukan"!"
Tentu saja kata-kata itu sangat mengherankan Lak-
samana Chou, sebab dia tidak tahu kalau yang ada di
hadapannya itu adalah orang yang pernah ditawannya
dalam urusan hilangnya anak gadis Laksamana: Yin
Yin. Lelaki berambut putih dengan kumis melengkung
sampai di dagu itu tidak tahu, bahwa pemuda yang ada di depannya itu adalah Jaka
Bego yang telah merubah
ujudnya menjadi Indra Mada.
"Dari mana kau mengetahui namaku, nama anakku,
nama penghianatku: Huang Pai itu" Dari mana kau pe-
roleh keterangan itu, hah"!"
"Dari... yah... dari dirimu sendiri, Laksamana." Indra Mada menertawakan
Laksamana Chou.
"Kalau begitu kau tahu di mana putriku Yin Yin berada" Apakah kau ikut membantu
pemuda yang mela-
rikan Yin Yin?"
Indra Mada menggeleng dengan tenang, santai.
"Saya tidak pernah berurusan dengan putrimu. Dari dulu sudah kukatakan, saya
tidak mengenal siapa itu
Yin Yin. Dan terus terang..." Indra Mada berbisik, "Aku tidak pernah punya
keinginan untuk mengenal putrimu
itu, tahu"!"
"Biadab kau...! Sekali lagi berkata begitu, kurobek mulutmu, Babi!"
"Dan sekali lagi kau berani mengintip rumah ini, ku-cungkil matamu keduanya,
Babi juga!"
Laksamana Chou menggeram. Indra Mada sengaja
berjalan menjauhi Laksamana Chou.
"Tunggu...! Ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu...!" seru Laksamana
sambil mengikuti langkah Indra Mada.
Indra Mada berjalan terus, tidak menghiraukan kata-
kata tersebut. Namun tujuannya adalah memancing
Laksamana Chou agar menjauh dari rumah Nyai Katri.
"Indra Mada..! Berhenti...!" seru Laksamana Chou bagai menghardik anak buahnya
saja. Indra Mada tetap melangkah, dan Laksamana Chou merasa tidak dihor-mati.
Padahal ia terbiasa di hormati dan disegani anak buahnya. Maka, menghadapi sikap
Indra Mada seperti
itu, ia menjadi marah. Segera ia bermaksud memberi
pelajaran kepada anak muda tersebut: Kakinya miring
dalam posisi lurus, dan ia melayang menerjang tengkuk kepala Indra Mada.
Namun dengan tanpa menoleh sedikit pun Indra Ma-
da segera berpaling ke belakang dengan kaki kanannya melayang bagai sebuah
sabetan pedang, mengenai tulang kering Laksamana. Akibatnya, Laksamana Chou
meringis kesakitan dan tubuhnya terpelanting sampai
memutar satu kali. Lalu ia jatuh terduduk di tanah. Indra Mada berdiri di
depannya tanpa hormat sedikit pun.
Laksamana sebenarnya semakin panas hatinya, namun
apa boleh buat, ia terpaksa harus mengusap-usap tu-
lang kakinya yang terasa sakit sekali, bagai berbenturan dengan kaki yang
terbuat dari besi.
"Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Laksamana?"
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Indra mada dengan tenang dan tangannya bersi-
lang di dada. Rompi Jaka Bego yang dikenakan itu se-
benarnya sangat mengganggu kenyamanannya karena
sesak, tapi untuk sementara ini Indra Mada tidak
menghiraukannya dulu.
Laksamana Chou berkata dalam posisi duduk di ta-
nah sambil mengusap-usap tulang keringnya.
"Aku tadi melihat seorang perempuan cantik yang tergolek di kamar bersamamu..."
"Aku yakin kau menelan air liurmu, bukan?"
Laksamana gelisah antara terhina dan tak dapat
berbuat apa-apa. Kakinya masih terasa ngilu, dan di-
kuat-kuatkan untuk berbicara dengan Indra Mada.
"Kau seharusnya menghormatiku. Aku seorang Lak-
samana!" "Aku belum sempat memikirkan bagaimana cara
menghormatimu. Yang jelas, apa maksudmu membica-
rakan perempuan itu kepadaku?"
Laksamana diam sebentar, menghela nafas.
"Berdirilah, Laksamana... rasa-rasanya lebih enak kau bicara dengan berdiri,
bukan?" Laksamana Chou sedikit terbelalak dan terbengong.
Aneh, rasa sakit pada tulang kering kakinya hilang. Kakinya jadi ringan dan enak
dipakai untuk berdiri! Laksamana menggoyang-goyangkan kakinya itu, dan me-
mang sudah tak merasa ngilu sedikit pun.
"Bicaralah, Laksamana..! Aku tidak suka bicara denganmu terlalu lama. Kau
memuakkan di mataku!"
Laksamana merasa tersinggung. Ia menggeram dan
melancarkan pukulan. Namun pukulan itu dihindari
oleh Indra Mada dengan cara menarik kepalanya ke be-
lakang. "Sudahlah, jangan main-main...!" Indra Mada bagai menghardik, dan Laksamana
menjadi enggan menyerangnya lagi.
"Kenapa dengan perempuan yang kau intip tadi?"
Laksamana menjawab dengan bersungut-sungut ka-
rena masih menyimpan kedongkolan:
"Aku sepertinya pernah melihat perempuan itu dalam sebuah lukisan Tiongkok."
"O, ya..." Lantas?"
"Apakah dia yang bernama Areswara?"
"Entah, ya...?" jawab Indra Mada, lalu hendak pergi lagi. Tapi Laksamana Chou
segera melompat tinggi dan bersalto melewati atas kepala Indra Mada. Namun pada
saat ia hendak menjejakkan kakinya ke tanah, Laksamana Chou itu terjengkang
bagai kehilangan keseim-
bangan tubuh. Ia menyeringai sambil memegangi ping-
gangnya, sedangkan Indra Mada hanya tertawa tanpa
suara. "Kau tidak sopan, lewat di atas kepalaku tanpa per-misi, itulah akibatnya...!"
kata Indra Mada masih dalam gaya Jaka Bego.
Laksamana Chou berusaha berdiri sambil mengurut
pinggangnya yang nyeri sedikit itu.
"Indra Mada, dengar keteranganku..." kata Laksamana. "Kalau benar ia yang
bernama Areswara, maka ia adalah Ratu Bajak Laut pada zaman dulu yang sangat
kejam dan ganas. Ia memang cantik, tapi kecantikannya itu adalah maut bagi
lelaki yang mencoba mendeka-tinya."
Indra Mada menggumam. "Dari mana kau bisa tahu
hal itu?" "Kedatanganku ke sini adalah ingin menemuinya! Itu tujuan yang sebenarnya."
"Kalau begitu, temui saja dia! Tapi ingat, kau bisa bertemu dengannya, tapi
tidak bisa bernafas selamanya." Indra Mada bicara sambil tersenyum-senyum,
sedangkan Laksamana Chou begitu tegang dan serius.
"Indra Mada, kuperingatkan kepadamu, jangan berlagak jadi pahlawan iblis betina
itu! Kau akan celaka sendiri di tangannya, tahu"!"
"Alasannya apa?"
"Dia perempuan paling kejam di dunia! Leluhurku, bangsa Cina sejak zaman dinasti
I-Tsing, telah banyak yang menjadi korban keganasannya sebagai Ratu Bajak
Laut Perairan Selatan. Memang, ia pernah bercinta den-
gan seorang keturunan Liang Tau Ming, tokoh bajak
laut juga pada masa itu, dan ia pernah dilukis oleh kekasihnya itu. Namun,
akhirnya sang kekasih dibunuh-
nya juga. Dan... aku adalah keturunan dari Liang Tau Ming. Aku tahu persis
kehidupan Ratu Areswara, perempuan yang ada di dalam kamar itu. karenanya, aku
ke mari justru mencarinya..."
"Untuk apa" Kamu kan sudah bertemu dengannya di kamar, tadi?" kata Indra Mada.
Laksamana Chou menggumam pelan dan berfikir.
Kalau ia berkata lagi, "Bagaimana kalau kita kerja sa-ma?"
"Ah, aku tidak suka bekerja," jawab Indra Mada seenaknya. Laksamana semakin keki
dengan sikap Indra
Mada. "Kerjasama ini akan menghasilkan sesuatu yang
amat berharga dari hidup kita, Indra Mada."
"Sangat berharga?" Indra menertawakan pertanda kurang tertarik atas tawaran
tersebut. Tapi, ia jadi ingin tahu.
"Maksudmu, kerjasama apa, Laksamana?"
"Perempuan itu..." Laksamana mendekat dan agak berbisik, "Perempuan itu menimbun
harta karun yang cukup banyak dari hasil bajakannya.... Konon, harta
tersebut disimpannya dalam sebuah tempat yang diberi nama Istana Langit
Perak..." Laksamana clingak-clinguk sebentar, lalu katanya lagi. "Desak dia,
bujuk dia supaya memberitahu di mana letak Istana Langit Perak.
Nanti harta-harta berharga itu kita bagi dua. Bagaima-na" Setuju?"
*** 5 INDRA MADA hanya tersenyum sinis mendengar
rencana Laksamana Chou. Kemudian tanpa memberi
jawaban apa pun, Indra mada melangkah meninggalkan
lelaki bermata sipit itu.
"Indra Mada..." sapa Laksamana lagi. "Pikirkanlah kesempatan ini. Hanya kita
berdua yang akan menjadi
penguasa harta karun tersebut. Ayolah, Indra..."
Laksamana mendesak Indra Mada sambil mengikuti
langkahnya. Tetapi Indra Mada seperti orang tuli, tetap berjalan dengan tenang.
Ia sedang menikmati kesejukan dan kesegaran udara pagi.
Laksamana menahan pundak Indra Mada seraya
berkata: "Jangan bodoh, Indra Mada. Di dunia ini hanya aku yang tahu kalau perempuan itu
menyimpan harta karun hasil bajakannya. Hanya aku yang memiliki buku
catatan tentang dirinya, dan lukisan dari leluhurku tentang dia. Percayalah...!
Percayalah, bahwa aku tidak akan menipumu..."
Pundak Indra Mada disentakkan, kemudian ia me-
langkah lagi seraya berkata:
"Hartaku lebih banyak dari harta yang kau incar!"
Laksamana sedikit bingung. Ia berhenti, lalu berkata:
"Kalau begitu, baiklah... akan kupaksa sendiri dia supaya mengaku..."
Indra Mada tetap bagaikan tidak peduli dengan kata-
kata Laksamana. Ia berjalan terus menyusuri rimbunan semak di kanan kiri jalan
setapak. Sampai akhirnya ia tiba di pantai, memandang birunya laut yang bagai
permadani menghampar. Menikmati cahaya pagi yang
kian meninggi. Tapi di dalam hati Indra Mada menggumam beberapa
kali dan berkecamuk sendiri.
"Istana Langit Perak..." Apa benar di sana ada harta karun yang amat banyak" Apa
benar. Nyai Katri masih
menyimpan harta bajakannya dulu" hemm. Laksamana
Chou itu akhirnya mengaku sendiri apa yang menjadi
tujuan utamanya. Ia memburu legenda lama. Barangka-
li juga ayah atau kakeknya pun pernah gagal memburu
legenda lama itu, sehingga ia bertekad meneruskannya.
Ah, manusia terkadang menjadi gelap mata hatinya jika sudah berurusan dengan
harta benda. Laksamana itu
sendiri sudah tidak begitu mementingkan jiwa putrinya.
Pikirannya mulai dipadati oleh Istana Langit Perak yang belum tentu ada." Indra
Mada tertawa sendiri.
Namun tiba-tiba ia berkerut dahi, seperti ada sesua-
tu yang baru saja disadarinya. Ia pun menggumam dan
manggut-manggut, lalu berkata dalam hati:
"Tapi... sepertinya aku tadi melihat cambuk yang terselip di pinggang belakang"
Ya, cambuk itu... cambuk itu kurasa bukan cambuknya. Pasti Cambuk Naga milik
Paman Ludiro. Oh, benar. Mataku tak dapat dibohongi.
Aku kenal betul dengan Cambuk Naga yang sering ber-
tengger di pundak Ludiro. Jika begitu, berarti telah terjadi sesuatu pada diri
Ludiro. hemm... Laksamana itu telah berhasil merampas Cambuk Naga dan... dan
barangkali senjata itulah yang menjadi andalannya untuk menemukan Istana Langit
Perak"!"
Indra Mada bergegas kembali ke rumah. Hatinya se-
dikit was-was tentang diri Nyai Katri dan Andini. Kegeli-sahannya itu ternyata
menjadi kenyataan. Indra Mada
melihat laksamana Chou menggeret dengan paksa tan-
gan Nyai Katri untuk diikatkan pada pohon di samping rumah.
"Lepaskan...! Lepaskan aku, Setan...!" Nyai Katri masih meronta-ronta, dan ia
tidak mempunyai kekuatan
untuk melawan kekerasan. Laksamana Chou dengan
bangga menampar Nyai Katri berulang kali. Ia merasa
dapat mengalahkan perempuan yang dianggapnya sakti
dan hebat itu. Ia merasa berhasil membaca sebuah
mantera yang diucapkan sebelumnya, dan berguna un-
tuk menundukkan perempuan. Kali ini ia merasa telah
berhasil menundukkan perempuan yang terkenal keke-
jamannya. Laksamana Chou mengikat tubuh Nyai Katri
yang hanya mengenakan gaun tipis sekali itu pada po-
hon, setelah itu memaksanya dengan cara kasar.
"Katakan sekarang juga, di mana letak Istana Langit Perak, hah..."! Di mana"!
Ayo, katakan!"
Nyai Katri hanya menyeringai kesakitan ketika ram-
butnya dijambak dengan kasar oleh Laksamana Chou.
"Cepat katakan, Iblis...! Atau kupenggal kepalamu untuk tumbal Istana Langit
Perak itu, hah"!"
"Aku tidak tahu...! Aku tidak tahu sama sekali...!"
Nyai Katri merengek kesakitan. Ia benar-benar tidak
berdaya. Kalau saja ia masih mempunyai ilmunya yang
tersedot Asmara Pasak Dewa, barangkali sudah dilu-
matkan tubuh Laksamana Chou itu saat ini juga.
"Kau harus kusiksa supaya mau mengaku, ya"!"
bentak Laksamana Chou seraya hendak mencabut
cambuk yang terselip di pinggangnya. Nyai Katri sangat ketakutan.
"Jangan..! Oooh... jangan siksa aku...!"
"kalau begitu, katakan, di mana letak Istana Langit Perak. Lekas...!"
"Kau salah alamat...! Mungkin bukan aku orangnya yang mengetahui tentang istana
itu...! Bukan aku! Aku tidak tahu tentang Istana itu...!"
"Bohong...!" bentak Laksamana seraya memukulkan cambuk yang masih digulung itu.
Pipi Nyai Katri tergores gagang cambuk, dan berdarah. Ia menjerit kesakitan.
Lalu Laksamana Chou mengambil jarak untuk
mencambuk tubuh Nyai Katri. Cambuk itu sudah tidak
di gulung lagi. Kini bahkan melambai ke atas dan siap untuk dilecutkan.
Tetapi waktu dihentakkan ke depan, ternyata cam-
buk itu menjadi kaku bagaikan akar pohon. Meliuk-
liuk, namun tidak lemas, sehingga tidak dapat dile-
cutkan. Laksamana Chou memandang dengan heran
dan kebingungan. Bagaimana mungkin cambuk itu bisa
menjadi seperti akar yang tak memiliki kelenturan sama sekali" Nyai Katri
sendiri menghentikan tangisnya dan memandang heran pada keajaiban tersebut.
"Babi...! Babi busuk...! Kenapa jadi begini"!" caci Laksamana Chou sambil
mencoba mengibas-ngibaskan
cambuk. "Mana bisa kau memakai dan menggunakan cambuk
orang lain..." Indra Mada berkata dari belakang Laksamana Chou.
"Babi panggang...!" geram Laksamana Chou melihat kehadiran Indra Mada. Pemuda
tampan itu tersenyum
sinis dengan matanya yang biru berkerling kepada Nyai Katri yang amat ketakutan
itu. "Indra Mada...! Kalau kau mau bergabung denganku, bergabunglah, tapi jangan
ganggu urusanku!" kata Laksamana Chou. Ia masih mencoba mengibas-ngibaskan
cambuk yang tetap kaku seperti akar pohon.
"Bergabung denganmu hanya mendidik diri menjadi orang serakah, Laksamana...!"
"Kalau begitu, pergilah. Jangan ganggu pekerjaan-ku!"
Indra Mada hanya tertawa pendek, "kalau mau pergi, bukan aku, tapi kamu yang
seharusnya pergi, Laksamana. Ingatlah pada putrimu Yin Yin, pikirkan kesela-
matannya, siapa tahu ia sedang diperkosa oleh banyak pemuda di sana....!"
"Tutup mulutmu, Bangsat!" teriak Laksamana yang gampang terpancing menjadi marah
itu. "Daripada kau mengejar harta Istana Langit Perak yang belum tentu ada, lebih
baik kau mengejar putrimu agar tidak menjadi perempuan jalang yang keluyuran
setiap malam!"
Laksamana Chou menggeram dengan mata mende-
lik. Kemudian ia menyerang Indra Mada dengan sebuah
tendangan yang melayang. Indra Mada hanya mengelak
ke kiri, lalu berjalan ke arah Nyai Katri. Sementara itu, Laksamana terjerembab
ke tanah dan mengerang kesakitan. Anehnya, pada saat itu cambuk tersebut menjadi
lemas, bisa untuk melecut, dan bisa mengibas dengan
luwes. "Indra Mada...!" serunya, tapi Indra Mada tidak menjawab, dengan tenang ia
membuka tali yang mengikat
tubuh Nyai Katri. Ia mencium perempuan itu sekali dan sekilas.
"Masuklah ke kamar, Nyai... biar kutangani urusan ini."
"Jaka... hati-hati..." Nyai Katri menampakkan kek-hawatirannya. Indra Mada hanya
mengangguk sambil
mengerlingkan mata. Pada saat itu, Laksamana Chou
melecutkan cambuk ke arah punggung Indra Mada.
"Awas...!" pekik Nyai Katri.
Dengan tanpa menoleh, tangan Indra Mada mengibas
ke punggung dan menangkap ujung cambuk yang nya-
ris menghantam punggungnya. Ia berbalik seraya masih memegangi cambuk itu.
Laksamana Chou berusaha
menariknya dengan sekuat tenaga. Namun ia tidak ber-
hasil, padahal Indra Mada memegangi ujung cambuk
dengan tersenyum-senyum kepada Nyai Katri, bahkan
kali ini karena Nyai Katri cemas, ingin membantu Indra Mada menarik cambuk itu,
ia mendekat. Tetapi oleh Indra Mada justru dipeluk pinggangnya, dan dicium, pi-
pinya. Indra Mada berkata pelan.
"Kusuruh ke dalam malah mendekat...! Nanti kamu
terkena cambuk Laksamana itu lho....!"
"Mari kubantu menariknya, Jaka..." kata Nyai.
"Tidak usah. Ini sebuah permainan kecil kok. O, ya...
kenapa ia menyiksamu, Nyai" Benarkah kau mengeta-
hui tentang Istana Langit Perak...?"
Indra Mada menarik cambuk itu dengan santai sam-
bil ngobrol dengan Nyai Katri. Sedangkan Laksamana
Chou jangan kewalahan. Ia memeras tenaga untuk ber-
tahan supaya jangan tertarik ke depan, namun tarikan Indra Mada begitu kuat
walau dilakukan dengan santai, sehingga Laksamana Chou pun tersentak maju.
"Apa benar kau menyimpan harta di dalam Istana
Langit Perak itu" Di mana letak istana itu, Nyai...!"
Sambil berkata begitu, Indra Mada menyongsong tu-
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buh laksamana dengan gerakan kaki menyamping dan
terhempas ke depan, mengenai dada Laksamana. Pada
saat itu, tangan Indra Mada melepaskan cambuk, dan
tubuh Laksamana terhempas beberapa langkah karena
tendangan tadi. Ia menggeram dan berusaha untuk
berdiri. Cambuk dilipat kembali, diselipkan ke pinggang, karena Laksamana merasa
tidak terbiasa menggunakan
cambuk itu sehingga seakan menghambat setiap gera-
kannya. "Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu, Jaka.
Tapi... kau harus mau berjanji," bisik Nyai Katri yang masih dalam dekapan Indra
Mada. "Janji" O, ya..." Janji apa?"
Indra Mada tertawa-tawa, tapi tangan kirinya dengan
cepat mampu menangkap lemparan batu dari Laksa-
mana, sekalipun ia tidak melihatnya.
"Bagaimana kalau kita ke dalam, mumpung Andini
belum bangun dari tidurnya..." bisik Nyai Katri, dan Indra Mada bertambah
mengakak pelan, tetapi kakinya
menendang kian ke mari, mengembalikan lemparan ba-
tu dari Laksamana Chou.
"Gila...!" pikir Laksamana Chou. "Ia dapat menangkis dan menghindari seranganku
sekalipun ia tidak melihat ke arah sini. Ilmu apa yang dimilikinya itu" Ia
ngobrol dengan santai, sambil menangkap lemparan batu, bahkan mampu
mengembalikan dengan tendangan kakinya
yang bagai mempunyai mata sendiri kaki itu. Masa, aku harus kalah dengan anak
ingusan"! Hemm....!" Laksamana Chou, kagum, tapi juga jengkel dan ingin meng-
hajar Indra Mada. Ia belum tahu siapa Indra Mada itu.
Kalau saja ia tahu mungkin ia akan sungkan bertarung dengan orang muda yang
tampan itu. "Kau ke dalam dulu, nanti aku menyusul." kata Indra Mada kepada Nyai Katri. "Aku
bereskan soal semut merah itu, Nyai...!"
Nyai Katri segera masuk ke dalam rumah. Laksama-
na Chou menyerang Indra Mada dengan gerakan ma-
tanya yang mampu mengangkat bebatuan untuk me-
nyerang Indra Mada. Indra Mada berkelit, menghindar
dan menangkapi batu-batu yang melayang sendiri den-
gan kekuatan pandangan mata Chou. Namun lama-
lama Indra Mada berkata:
"Capek, ah...!" Ia diam saja, menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara
itu, batu-batu yang melayang cepat ke arahnya hanya berhenti beberapa jengkal
dari depan hidungnya. Batu itu berjatuhan sendiri, seakan membentur dinding yang
tebal yang terpasang
di depan Indra Mada. Sehingga dewa tampan itu tanpa
merunduk, menghindari kian ke mari, namun telah
mampu melumpuhkan serangan yang belum sempat
menyentuh tubuhnya.
"Laksamana Chou..!" seru Indra Mada. "kuminta kalau mau bertarung denganku, yang
niat...! Jangan
ogah-ogahan begitu. Menyerang yang betul...!" ledek Indra Mada dan membuat
Laksamana Chou semakin pe-
nasaran. Ia melemparkan batu besar dengan kedua
tangannya. "Rasakan lemparan Inti Besiku ini, hiaaat...!" Batu itu dilemparkan kuat-kuat,
melayang cepat ke arah Indra Mada.
Pada saat batu melayang ke atas, Indra Mada terse-
nyum girang, Ia menendang kerikil di tanah. Kerikil itu melayang cepat,
menyongsong gerakan batu besar, lalu membenturnya. "Prool...!" Batu besar itu
hancur seketika karena benturan dengan kerikil yang ditendang oleh kaki Indra
Mada itu. Laksamana Chou terperanjat kaget, lalu tertegun
memandang batu besar yang sudah dialiri tenaga Inti
Besi itu hancur menjadi serpihan-serpihan yang memu-
kau. Padahal biasanya tenaga Inti Besi yang dimiliki Laksamana itu mampu
menghancurkan sebuah kapal
dengan sekali lempar. Batu yang disaluri tenaga Inti Be-si, akan menimbulkan
ledakan keras jika menyentuh
benda lain. Tetapi kali ini, batu bertenaga Inti Besi itu hanya ambrol bagai
cadas keropos ketika menyentuh
kerikil kecil yang ditendang Indra Mada.
"Kamu mau berkelahi apa mau main-main, hah?"
tanya Indra Mada meledek. Laksamana Chou mengge-
ram dengan nafas terengah-engah diburu amarah.
"Anak babi...! Jangan sombong dulu dengan ilmumu yang baru sekuku hitam itu.
Terimalah ilmu Api Naga
ini, heeaat...!" Laksamana menggerakkan tangannya yang berjari terbuka ke arah
samping kiri semua, lalu dirapatkan kedua telapak tangannya itu, di tarik dengan
kuat ke arah depan dada, dan sekarang dihentak-
kan ke depan dengan teriakan seperti tadi. Lalu dari telapak tangan itu
keluarlah dua gumpal api yang me-
nyembur bagi terlepas dari mulut naga. Dua gumpalan
api itu melesat cepat ke arah Indra Mada. Indra Mada meniup pelan, seperti ia
meniup lilin. Dan gulungan api itu berbalik arah, kini menuju Laksamana sendiri.
Mata Laksamana Chou tak sempat berkedip, bahkan ia ter-
cengang bagai patung di tempat. Lalu, tak ayal lagi kedua gulungan api itu
menerjang tubuhnya, dan Laksa-
mana Chou berteriak-teriak dengan jejingkrakkan.
"Ooouuww... Aaauuw...! Aapiii...! Oooh, tubuhku terbakar...! Aauuuuh...
panaaaas...! Panaaaaas....!"
Laksamana berguling-guling untuk memadamkan
api yang membungkus tubuhnya, tetapi api belum mau
padam. Ia terpaksa berlari sempoyongan mencapai pan-
tai untuk memadamkan api tersebut.
Indra Mada tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan
kepanikan Laksamana Chou. Ia hanya berteriak:
"Makanya jangan suka main api...! Nanti terbakar...!"
"Jaka..." panggil Nyai Katri yang keluar dari rumah dan memandang keadaan
Laksamana. "Ia pasti terjun ke laut, Jaka..."
"Biar saja," sambil Jaka Bego yang sudah merubah diri menjadi Indra Mada itu
mendekati Nyai Katri. "Salahnya sendiri bermain api, ya kebakar. Kalau bermain
cinta, ya... ya enak..." Indra Mada mencubit pipi Nyai Katri yang tidak terluka.
Nyai ketawa canggung, sepertinya ada sesuatu yang meresahkan. Ia segera mengge-
ret tangan Indra Mada untuk masuk ke dalam.
Ia duduk di depan meja yang tingginya hanya seba-
tas betis manusia jika berdiri. Ia duduk bersimpuh di lantai, sedangkan Indra
Mada masih memandang kepergian api yang membungkus Laksamana. Ia meman-
dangnya dari jendela yang terbuka lebar.
"Jaka, duduklah sini dekat aku..." kata Nyai Katri.
Jaka Bego melirik dengan senyum menggoda. Ia du-
duk di dekat Nyai Katri seraya berkata:
"Kau masih capek kan, Nyai?"
Nyai hanya tersenyum malu. "Sudah agak segar setelah tertidur sejenak tadi,"
katanya. "Dan kau membutuhkan aku lagi?"
"Mungkin selamanya aku membutuhkan kamu, Ja-
ka. Apalagi sekarang kau sudah tidak seperti Jaka Bego yang dulu. Sekarang kau
sudah menjadi dirimu sebenarnya: Indra Mada. Tentu aku semakin enggan mele-
paskan pelukan ini darimu..." Nyai Katri memeluk erat Jaka Bego. Ia memang lebih
senang memanggil Indra
Mada dengan nama Jaka Bego, atau Jaka saja. Rasa-
rasanya lebih enak dan lebih romantis bagi Nyai.
"Ingin ke kamar sekarang?" bisik Jaka Bego atau Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi
itu. "Nanti saja," jawab Nyai dengan suara pelan. "Ada sesuatu yang sangat
kucemaskan."
"Tentang diriku?"
"Tentang orang yang terbakar tadi..."
Indra Mada sedikit heran, sekali pun tak dikeli-
hatkan. "Ada apa" Kenapa kau mencemaskan dia, Nyai?"
"Dia... dia pasti menyelam dalam-dalam untuk memadamkan apinya."
"Ya, biar saja. Kau juga menyelam semalaman bersamaku untuk memadamkan api
birahimu, bukan?"
Nyai mencubit kecil di pipi Indra Mada. Ia berbisik
dalam keresahan:
"Orang itu membahayakan jika sampai menyelam
terlalu dalam Jaka."
"Mengapa membahayakan?"
"Dia akan..." kata-kata itu terhenti, Nyai bagai ragu untuk mengatakan sesuatu,
tetapi setelah Indra Mada
mendesaknya, akhirnya Nyai pun berkata lagi:
"Dia akan menemukan apa yang dicarinya."
Indra Mada kurang jelas. "Maksudmu...?"
"Dia mencari Istana Langit Perak, bukan?"
"Ya. Ia tadi juga sempat membujukku untuk bekerja sama mencari istana itu."
Indra Mada mengusap-usap rambut Nyai yang panjang dan halus bagai serat sutera
itu. Lalu ia bertanya:
"Apakah istana itu memang ada?"
"Ya..." jawab Nyai pelan setelah berdiam sesaat.
"Ada sungguh?"
"Sungguh."
"Di mana?"
"Di bawah pulau ini..."
"Wow...!" Indra Mada tampak serius. "Jadi, di bawah pulau ini terdapat sebuah
istana yang megah"!"
Nyai memandang Indra Mada. Ia mengangguk.
"Aku yang membangunnya bersama anak buahku,
dulu ketika aku menjadi pimpinan bajak laut. Di situ aku menyimpan harta
rampokan dari beberapa kapal
bangsawan maupun kapal dagang. Tetapi, hanya emas
permata yang kusimpan di sana. Harta itu akan kuwa-
riskan kepada keturunanku kelak, yaitu anak-anak
kuat yang telah kurancang untuk menguasai bumi.
Dengan harta itu nantinya keturunanku akan memban-
gun sebuah istana megah di atas laut, sebagai pusat
pemerintahan kerajaan dunia utama. Itu rencanaku,
Jaka..." "Wah, suatu rencana yang amat besar...!" ujar Indra Mada dengan sungguh-sungguh.
"Memang. Karena itu, aku harus menjaganya di pulau ini. Aku tak rela jika harta
itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi... keadaanku sekarang sudah berbeda dengan
yang dulu, Jaka... Aku sudah lemah dan tidak mempunyai tenaga apa-apa. Hanya itu
sisa tenagaku, dan
mungkin juga dengan Andini pun demikian..." Nyai Katri menampakkan wajah
dukanya. Ia permainkan tepian
rompi yang dikenakan Indra Mada, matanya meman-
dang sayu dan mengharukan.
Nyai berkata lagi dengan sendu, "Aku telah lalai, telah melakukan kebodohan yang
sangat kubenci. Asma-
ra Pasak Dewamu telah menyerap semua ilmuku dan
merubahku menjadi perempuan biasa, tanpa kehebatan
dan kekuatan sebagai pendekar putri. Kalau saja kau
pergi meninggalkan aku, saat ini juga aku akan bunuh diri, karena merasa tidak
mempunyai harapan lagi dalam hidupku. Kurasa Andini pun demikian. Dan... da-
lam keadaan seperti ini, aku tak bisa menjaga Istana Langit Perak. Aku
membiarkan harta itu lolos diserobot orang tanpa bisa kulakukan sesuatu untuk
mencegah-nya...."
Sepasang mata yang bening indah itu kini mulai
memerah. Bahkan berkaca-kaca karena basah oleh air
mata yang hendak menetes. Indra Mada memperhatikan
Nyai Katri dengan suatu keharuan dan rasa kasihan
yang menggelisahkan hati.
Nyai berkata dengan sendatan isak tangis yang me-
milu: "Jaka... tolonglah aku. Kembalikan segala ilmuku dengan caramu. Aku berjanji
akan menyerahkan Istana
Langit Perak ke tanganmu. Kuserahkan semua kepa-
damu harta-harta itu, asal kau kembalikan kekuatanku yang telah kau serap dengan
ilmu Asmara Pasak Dewa
itu.." "Untuk apa aku memiliki harta sebanyak itu" Di Suralaya sudah banyak harta,
Nyai..." "Oooh... Jaka, tolonglah aku. Aku ingin memperoleh kekuatanku kembali, dan
tentang harta itu... terserah kau, mau kau apakan, terserah... aku menurut
saja...!" Indra Mada termenung beberapa lama, lalu berkata:
"Aku ingin melihat istana itu dulu, lalu kuputuskan aku harus berbuat apa."
"Baik. Tapi... bagaimana aku bisa berenang sampai ke kedalaman laut, aku tidak
mempunyai ilmu penahan
nafas seperti dulu. Aku akan kehabisan udara jika harus berenang mencapai istana
itu." "Gampang. Menghisaplah udara dari mulutku... ma-
ka kau akan seperti menghirup udara di alam bebas..."
Nyai tertawa girang. Ia memeluk Indra Mada. Hara-
pan dan semangatnya untuk menjadi perempuan sehe-
bat dulu mulai terbayang di pelupuk mata. Maka saat
itu juga Nyai Katri mengajak Indra Mada ke pantai. Andini masih tertidur, dan
mereka sepakat untuk tidak
membangunkannya.
Langka-langkah kaki Nyai Katri terlihat ringan dan
lincah, bagai penuh harapan masa depan. Ia menggan-
deng tangan Indra Mada, sesekali bergelayutan di pundak. Canda mereka membaur
menjadikan tawa. Kelakar
mereka tak jauh dari masalah nafsu dan birahi.
Namun langkah mereka terhenti seketika karena di
depan mereka telah berdiri sesosok tubuh tegap, gagah dan tampan. Orang itu
mengenakan rompi dari kulit be-ruang dan menyandang pedang di punggungnya. Indra
Mada terbelalak, demikian juga Nyai Katri. Tapi masing-masing mempunyai arti
kejutan yang berbeda. Nyai Ka-
tri terkejut dan cemas melihat Lanang menghadang di
depannya, karena ia takut jika Lanang menyerang se-
dangkan ia sudah tidak mempunyai ilmu apa pun. Te-
tapi Indra Mada terkejut karena saat ini ia berhadapan dengan Lanang bukan
sebagai Jaka Bego, tetapi sebagai Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi yang menjalin
hubungan erat dengan Nyai Katri. Indra Mada tahu, kedatangan Pendekar Pusar Bumi
itu untuk membunuh Nyai
Katri, tetapi Indra Mada sendiri punya urusan dengan perempuan tersebut tentang
Istana Langit Perak. Indra Mada dalam kebimbangan yang samar.
"Selamat jumpa, Nyai Katri..." sapa Lanangseta dengan wajah tegas, seakan siap
membunuh. Nyai dan In-
dra Mada saling bungkam. Lanangseta berkata dengan
tegas: "Bebaskan Jaka Bego, temanku! Jangan menunggu
pedangku membunuhmu, Nyai...!"
"Lanangseta..." sapa Indra Mada. "Kau telah berhadapan dengan Jaka Bego."
Lanang menggeleng tanpa senyum. "Jangan bodohi
aku, dan jangan mendesak naluriku untuk membunuh
kalian!" Nyai menyahut pembicaraan, "Lanangseta, dia ini adalah..."
Indra Mada segera menyahut, "Nyai... tinggalkan dia.
Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nanti kita urus setelah urusan kita selesai. Mari...!"
Indra Mada meraih tubuh Nyai Katri yang semampai
dan seksi itu, kemudian ia melesat pergi meninggalkan Lanangseta. Lanang segera
berseru: "Berhenti...!"
Karena tak ada balasan, Indra Mada tetap melesat
sambil menggendong Nyai Katri, maka tak ada pilihan
lain bagi Lanangseta untuk melancarkan serangannya.
Ia menghentakkan tangannya ke depan, "Wiwaha Mok-saaaa...!" Dan seberkas sinar
hijau muda melesat dari telapak tangannya ke arah Indra Mada. Sinar itu akan
menghancur-leburkan tubuh Indra Mada dan Nyai Katri. Tetapi Indra Mada memutar
tubuhnya dengan cepat sehingga seperti gumpalan asap. Akibatnya, sinar hijau
muda itu memantul balik saat hendak menghantamnya.
Lanangseta merunduk menghindari sinar hijau muda
yang meluncur ke arah kepalanya sendiri. Lalu, suara ledakan terdengar, dan
beberapa pohon rubuh seketika karena terkena benturan sinar hijau muda itu.
Lanangseta tercengang, karena baru sekarang ia melihat seseorang bisa
mengembalikan pukulan ilmu Wiwaha Moksa
yang biasanya membuat orang yang terkena menjadi
debu seketika. Pohon yang roboh itu pun kini tinggal serbuk hitam bagai debu
arang. "Siapa pemuda yang menyelamatkan Nyai Katri
itu...?" pikir Lanangseta seraya mengejarnya.
Tubuh Indra Mada melayang tinggi sewaktu menca-
pai pantai. Dengan tetap menggendong Nyai Katri, ia
melesat ke tengah lautan. Lalu menyelam di kedalaman air seperti sebuah lembing
yang dipanahkan dari udara.
Lanangseta yang sempat menyaksikan hal itu, sungguh
kagum. Gerakan Indra Mada membuatnya semakin pe-
nasaran, ingin mengetahui siapa pemuda itu. Maka
dengan segera ia pun melesat ke tengah lautan, dan
ikut-ikutan menyelam dengan gerakan seperti angin topan menembus lautan. Lanang
berenang dengan gera-
kan tenaga dalamnya sehingga ia meluncur cepat seper-ti anak panah di dalam air.
Namun, Indra Mada pun ju-ga seperti anak panah di dalam air. Cepat, bahkan lebih
cepat dari gerakan Lanangseta.
Nyai Katri kehabisan nafas, ia megap-megap. Kemu-
dian Indra Mada segera mengecup bibir Nyai Katri yang tetap digendongnya dalam
posisi sejajar dengan tubuhnya, jadi seperti sepasang suami istri sedang
bercinta di atas ranjang. Tangan Nyai Katri memeluk erat leher dan punggung
Indra Mada, sementara itu, gerakan telapak
kaki Indra Mada begitu cepat, dan setiap hentakannya mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang jarang dimiliki orang.
Nyai Katri seperti bernafas di alam bebas. Ia menye-
dot udara dari dalam mulut Indra Mada, dan bernafas
dengan cara begitu. Tetapi repotnya, perpaduan kedua bibir itu menimbulkan
gejolak birahi di hati Nyai Katri.
Begitu kuat gejolaknya itu sehingga tangan Nyai Katri yang satu berani merayap
ke bagian tertentu dari Indra Mada.
Mereka meluncur menghindari karang-karang den-
gan gesit, sedangkan Lanangseta yang mengejarnya se-
sekali nyaris membentur karang. Akibatnya, ia agak tertinggal jauh. Namun sebuah
ilmu yang telah dipelajari dari gurunya telah membuat ia pun tahan tidak
bernafas beberapa lama. Ia terus meluncur mengejar Indra
Mada. Dan sesekali ia curiga, merasa heran dan nyaris
tak percaya melihat gerakan Indra Mada yang berada di atas tubuh Nyai Katri.
Dalam hati Lanangseta hanya
mengecam, "Dasar perempuan mesum... sempat-
sempatnya dalam keadaan seperti ini berbuat yang ti-
dak senonoh...! Uhh... gila! Tapi ke mana pun mereka pergi, akan kukejar terus!
Nyai Katri harus mati di tanganku, dan pemuda itu pun harus ikut ke neraka ber-
sama perempuan mesum itu..."
Tepat Indra Mada dan Nyai Katri melintasi puncak
kebahagiaan yang menggila, pada saat itu Nyai menun-
juk sebuah tebing berlereng di kedalaman laut. Pada lereng tebing itu terdapat
goa karang yang sangat lebar.
Nyai menyuruh Indra Mada masuk ke sana dengan ge-
rakan isyarat. Lalu Indra Mada pun meluncur ke goa
karang, dan Lanangseta mengejarnya. Rupanya goa itu
tidak semata-mata sebuah goa biasa, melainkan mem-
punyai bangunan mewah di dalamnya. Di dalam goa
itu, ada bagian yang tidak terendam air. Di sana ada tangga menuju ke atas.
Indra Mada dan Nyai Katri naik ke atas, ternyata mereka sampai di tempat datar
dan berdinding lapisan perak dari berbagai perhiasan yang ditempelkan.
Semakin naik ke atas, ke lantai berikutnya, mata In-
dra Mada terbelalak dalam senyuman megah. Di lantai
itu terdapat ruangan sangat lebar, berlantai susunan emas batangan, dan
dindingnya pun terbuat dari lapisan-lapisan emas tebal. Agaknya emas yang sudah
dilebur untuk dijadikan suatu lempengan pelapis dinding.
Sedangkan bagian atap ruangan lebar itu terbuat dari perak putih dengan hiasan
batu-batu warna-warni yang mengagumkan. Di dalam ruangan tersebut keadaan
sangat terang, karena banyak lampu dari obor yang terbuat dengan bahan tembaga-
tembaga berbentuk pipa.
Agaknya nyala api itu bukan dari minyak tanah biasa, melainkan memakai semacam
batu bara yang mengha-
silkan warna api biru ke kuning-kuningan.
"Mengagumkan sekali...!" ujar Indra Mada.
"Kuserahkan semua ini untukmu, Jaka, asal kau
kembalikan kekuatanku dan ilmu-ilmuku..." kata Nyai Katri yang berjalan ke
singgasana, kursi singgasana itu terbuat dari perak berlapis emas dan berhiaskan
batu-batu jamrud, pirus dan intan permata lainnya. Ada sebuah ruangan di
belakang kursi singgasana. Pintu
ruangan itu terbuat dari emas murni, dan ketika Nyai Katri membukanya, maka
berkerliplah segunung perhiasan yang menyilaukan pandangan mata.
"Apakah tempat ini tidak ada penjaganya?"
"Dulu ada," jawab Nyai Katri. "Aku telah membuat beberapa pagar yang terdiri
dari aliran tenaga dalamku.
Jangankan orang masuk ke sini, baru berada di perai-
ran luar goa saja mereka akan mati hangus termakan
pagar tenaga Mata Apiku yang kupasang sejak dari sini sampai di kejauhan luar
goa. Tapi sejak ilmuku kau serap dengan Asmara Pasak Dewamu, maka pagar itu pun
hilang, dan tempat ini menjadi sangat rawan. Mudah
dimasuki siapa saja."
Ada lima pintu kamar yang sengaja dibuka oleh Nyai
Katri, dan kelima pintu kamar itu terbuat dari emas, ju-ga di dalamnya terdapat
segunung perhiasan yang me-
nyilaukan. "Makanya, Jaka... kalau kau mau mengembalikan
ilmu-ilmuku, maka tempat ini menjadi milikmu. Terse-
rah akan kau apakan itu urusanmu. Aku tak akan ikut
campur lagi..."
Nyai Katri berjalan ke arah lain, saat itu Indra Mada mengagumi enam pilar besar
yang terbuat dari emas
murni dengan manik-manik batu permata yang berki-
lauan, tersusun rapi serta sangat indah. Ia ikut melangkah ke arah Nyai Katri
berjalan. Rupanya perempuan
itu membawa Indra Mada ke sebuah kamar berpintu
emas berukir. Pintunya cukup besar, ada batu permata warna merah pada bagian
tengahnya sebesar piring
makan. Nyai Katri mengusap batu merah delima itu dari atas ke bawah, dan pintu
itu pun terbuka ke samping.
Maka terlihatlah sebuah kamar tidur yang berlimpah
perhiasan serta permata mengagumkan. Ranjang dan
segala perabot di kamar tidur itu semua terbuat dari emas dan perak putih. Nyai
menyuruh Indra Mada masuk ke kamar. Ia berbisik.
"Atau kau akan tinggal di kamar ini sebagai suami istri bersamaku" Kujamin kau
tak akan sempat keluar
dari kamar." Nyai Katri mengikik dalam gelitikan jemarinya yang nakal.
"Jaka..." sambungnya lagi, "Lakukanlah keinginan-ku. Kembalikanlah keadaanku
seperti semula, dan...
kau bebas berbuat dengan harta kekayaan ini. Kaulah
yang akan menjadi penguasa Istana Langit Perak....!"
Indra Mada tertawa pelan, ia memeluk Nyai Katri dan
mencium kening Nyai Katri, sementara itu Nyai Katri
masih sempat merayapkan tangannya ke daerah terten-
tu di tubuh Indra Mada. Lalu setelah Nyai merengek
dengan erangan memancing birahi, Indra Mada pun
berkata: "Akan kukembalikan kekuatanmu. Kukembalikan
semua ilmu yang terserap oleh Pasak Dewa, tetapi ada satu hal yang harus kau
lakukan untuk itu..."
"Oh, apakah itu, Jaka" Aku akan melakukannya...!"
"Semadi Serap...!"
"Semadi Serap"!" Nyai berkerut dahi. "Apa itu?"
"Tubuhmu harus sanggup berdempet dengan tubuh-
ku selama empat puluh hari dengan keadaan... saling
berhubungan badan."
Nyai memekik kegirangan. Tentu saja ia sangat
sanggup dan mau melakukannya. Tetapi bagaimana
dengan nasibnya dalam incaran Lanangseta" Bisakah ia
selamat sampai melakukan Semadi Serap" Benarkan Is-
tana Langit Perak menjadi milik Indra Mada" Dan ba-
gaimana nasib Cambuk Naganya sendiri" Kisah
SERULING KEMATIAN itulah yang akan menuntaskan
cerita ini. SELESAI Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** 2 *** *** *** 3 *** 4 *** 5 SELESAI Gelang Kemala 10 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Pendekar Sakti Suling Pualam 20