Pencarian

Kalung Keramat Warisan Iblis 1

Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis Bagian 1


KALUNG KERAMAT WARISAN IBLIS Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Kalung Keramat Warisan Iblis
128 hal; 12 x 18 cm
1 Sore hari itu pertempuran seru terjadi di halaman Kadipaten Pakisaji. Mayat
bergelimpangan mengerikan di sekitar tempat itu. Jeritan para prajurit terdengar
menyayat hati. Lelaki tinggi besar berjubah hitam sedang mengamuk. Kuku-kukunya yang panjang
dan tajam mencengkeram prajurit Kadipaten Pakisaji dengan ganas.
Orang itu membunuh dengan mudah, karena memiliki
ilmu yang sangat tinggi.
"Aaakh...!"
"Ukh...!"
Jeritan kematian senantiasa terdengar. Dan lelaki berwajah sangat seram itu
tertawa tergelak-gelak.
Alisnya tebal. Kumis dan jenggotnya juga lebat. Sedang-kan matanya memerah bagai
darah, tajam menatap setiap orang.
"Ha ha ha...!"
Lelaki itu tampak puas melihat mayat-mayat
bergelimpangan di halaman Kadipaten Pakisaji.
Sudah puluhan prajurit dibunuhnya. Mereka
memang tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi kesaktian lawan. Setangguh-
tangguhnya seorang prajurit, tak akan mampu menandingi tokoh golongan hitam
seperti lelaki berwajah setan itu.
Sedangkan orang yang dapat diandalkan untuk
menghadapi lawan yang ganas itu tidak ada sama sekali. Para senapati yang
memiliki kesaktian lebih tinggi
dari para prajurit saat itu tidak berada di sana. Mereka
sedang mengejar seseorang yang telah melakukan
pembunuhan terhadap Adipati Prakasi. Pemimpin mereka itu dibunuh dengan cara
keji. Lehernya tertembus
oleh kerisnya sendiri setelah terlibat pertarungan seru
dengan lawan yang membunuhnya.
Maka tak pelak lagi, lelaki berwajah setan itu
dengan leluasa memporak-porandakan Kadipaten Pakisaji.
"Ha ha ha...! Aku puas! Aku puas! Satu persatu
akan kuhancurkan kadipaten-kadipaten yang kuat di
tanah Jawa Dwipa ini. Ha ha ha...!"
Lelaki berwajah setan itu terus tertawa-tawa
sambil menghajari prajurit yang menyerangnya. Menendang dan membanting mereka
dengan seenaknya,
tanpa belas kasihan sedikit pun. Seperti membunuh
sekawanan kelinci saja. Jiwa manusia seperti tak berarti baginya.
Sebagian prajurit yang tak memiliki nyali, kabur meninggalkan kadipaten.
Sedangkan para penduduk kalang-kabut berlarian tunggang-langgang sambil
berjeritan. Para wanita, anak-anak berteriak dan menangis. Karena suami atau
ayahnya mati dibunuh lelaki berwajah setan itu.
Ada lima prajurit yang memiliki ilmu silat agak
lumayan coba melawannya berbarengan.
"Heaaat...!"
Golok-golok kelima prajurit itu membabat ke
tubuh lelaki berjubah serba hitam itu. Namun begitu
membabat tubuh lelaki berwajah setan itu golok-golok
itu malah patah dua.
"Hah..."!"
"Ha ha ha...!" lelaki berwajah setan itu tertawa
tergelak-gelak.
Lima prajurit yang menyerang menjadi keheranan. Wajah mereka seketika pucat
pasi. Seluruh tubuh
kelima prajurit itu gemetaran. Mereka mau lari, tapi
tak bisa. Kaki mereka mendadak terasa berat. Maka lelaki berwajah setan dengan
amat mudah menghajar
kelima prajurit itu sampai mati.
Jeritan panjang dari kelima prajurit malang itu
terdengar menyayat hati. Mereka terjerembab ke tanah
dengan tubuh berlumuran darah. Seorang wanita berlari sambil berteriak-teriak
dan menangis, menghampiri mayat suaminya yang baru saja dibunuh lelaki berwajah
setan itu. "Kakang... Kakang...!" seru wanita itu sambil
menangis, meratapi kematian suaminya.
Lelaki berwajah setan malah tertawa melihat
wanita itu meratapi suaminya yang baru saja terbunuh.
"Ha ha ha.... Kau tak perlu lagi menangisi suamimu. Aku bersedia menjadi
penggantinya. Ha ha
ha...!" kata lelaki berwajah setan dengan suara yang
besar menakutkan.
"Kau manusia biadab!" teriak wanita itu seraya
berdiri Tangan kanan wanita itu telah menggapai golok
yang tergeletak di tanah. Lalu diserangnya lelaki berwajah setan. Namun dengan
mudah lelaki itu memegang lengannya dan dengan sekali totok, dia telah
pingsan. "Akh...!" pekik wanita itu perlahan.
"Kau akan jadi santapan ku hari ini, Perempuan Ayu. Ha ha ha...!"
Dengan langkah tenang lelaki itu pergi dari halaman Kadipaten Pakisaji.
Sementara para penduduk
yang melihatnya makin ketakutan. Mereka hanya
mengintip dari balik pohon dan semak-semak di sekitar kadipaten yang telah
porak-poranda itu.
Sampai di ujung jalan, lelaki berwajah setan itu
tiba-tiba menghilang.
Barulah orang-orang yang tadi bersembunyi
berhamburan keluar. Para wanita dan anak-anak menangis mencari suami atau
orangtua mereka yang
mungkin mati dibunuh lelaki tadi.
Sementara mereka dilanda kesedihan, lima senapati bersaudara muncul. Kelimanya
berpakaian sama, dengan blangkon menutupi kepala mereka. Dan di
pinggang masing-masing terselip semacam senjata kelewang.
"Ya, Gusti...! Apa yang telah terjadi...?" gumam
Sentanu, orang tertua dari lima bersaudara itu.
Mereka segera berlari menghampiri kerumunan
dengan perasaan tak karuan.
"Apa yang telah terjadi, Kisanak..?" tanya Sentanu pada seorang prajurit yang
sempat lolos dari tangan lelaki berwajah setan.
"Ma... manusia setan itu.... Di... dia datang lagi.... Akh...," prajurit itu tak
kuasa lagi meneruskan
ucapannya. Kemudian dia terkulai tanpa nyawa lagi.
Rupanya luka-luka di sekujur tubuhnya tak tertahan
lagi. "Edan! Biadab...! Tak salah lagi, ini pasti perbuatan si Rekso!" desis Sentanu
perlahan. Wajahnya
tampak penuh kesedihan bercampur kemarahan.
"Benar-benar binatang! Bukan manusia yang
membunuh demikian keji...," gerutu Sancaka yang
berdiri di sebelah kanan Sentanu.
"Siapa kiranya yang berbuat ini semua, Kakang...?" tanya Sandika pada Sentanu.
"Rekso Bagaspati!" jawab Sentanu tegas. Wajahnya tampak penuh geram dan dendam.
"Kita harus
cepat mencarinya. Sudah tiga bulan terakhir kejadian
seperti ini terjadi di kadipaten lain."
"Rupanya Rekso ingin menghancurkan orangorang perguruan aliran putih, agar
maksudnya terlaksana...," sahut Sancaka penuh geram. Telapak tangannya mengepal
kuat-kuat. Sedangkan dadanya naik turun dengan cepat, menandakan kemarahannya
sudah memuncak. "Kita kecolongan, Kakang...," keluh Sandika dengan suara lirih.
"Ya.... Mari kita makamkan jasad mereka....
Kumpulkan semua prajurit yang masih hidup untuk
menguburkan prajurit dan penduduk yang mati," perintah Sentanu pada adik-
adiknya. "Baik, Kakang...," keempat adiknya menjawab
bersamaan. Lalu mereka segera pergi untuk mengumpulkan prajurit yang masih
hidup. Sentanu kembali memandangi jasad para prajurit. Ia berjongkok perlahan dengan
perasaan yang tak karuan. Ia merasa bersalah telah meninggalkan
Adipati Prakasi.
"Aku merasa bersalah, semestinya aku tak pergi
bersama keempat adikku...," keluh Sentanu.
*** Pagi itu udara tak begitu terik. Angin semilir
menyapu lembah yang menghijau. Sepasang kaki melangkah mantap menapaki jalan
berumput di lereng
lembah itu. Kaki tersebut milik seorang pemuda bertubuh tegap dan berwajah
ganteng. Rambutnya sedikit
ikal, panjang sebatas bahu. Tubuhnya ditutup rompi
kulit ular sanca dengan suling berkepala naga keemasan di pinggangnya. Siapa
lagi kalau bukan Pendekar
Gila atau Sena Manggala.
Sena tampak riang pagi itu. Pemuda itu tertawa-tawa kecil sambil menggaruk-garuk
kepala, dan sesekali menepuk-nepuk pantat. Tingkahnya memang
mirip orang gila. Terkadang dia berjingkrak-jingkrak,
seperti monyet.
"Daerah ini tampaknya cukup nyaman dan
aman. Mudah-mudahan di depan, di bawah lembah ini
ada desa. Aku sudah lapar...," gumam Sena, berbicara
pada diri sendiri.
Sena kemudian menuruni jalan yang berbelokbelok. Di kanan dan kirinya berjajar
pepohonan. Sesampai di bawah, pada dataran yang rata dan luas,
Sena berhenti sejenak. Ia memandang ke sekeliling.
"Hi hi hi.... Sepi. Tapi aku suka tempat ini. Kalau saja perutku tidak
keroncongan, ingin rasanya aku
beristirahat lama di sini," kata Sena.
Sambil tertawa-tawa sendiri tak beda dengan
orang gila, Sena terus menyapukan pandangan ke sekeliling daerah itu.
"Hah..."!" serunya tertahan.
Sena tampak gembira ketika matanya melihat
sebuah telaga yang cukup besar di depan kanannya.
Sena segera berlari kecil mendekati sambil tertawa dan
berjingkrakan. "Sebaiknya aku menyegarkan badan dulu di telaga ini...," gumam Sena. Tangannya
mempermainkan air telaga yang bening dan dingin itu.
Tapi baru saja Sena hendak membuka pakaian,
pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah
di belakangnya. Sena sengaja tak segera bertindak,
seakan ia tak mendengar suara itu. Sena terus membersihkan wajahnya dengan air
telaga itu. Rupanya Sentanu bersaudara muncul dari balik baru dan semak di sekitar tempat
itu. Kelima lelaki
itu melompat gagah di belakang tubuh Pendekar Gila.
"Hai! Kisanak...!" tegur Sentanu dengan nada
tinggi. Sena acuh, seakan tidak mendengar seruan tadi. Dia tetap saja membersihkan wajah
dan lengannya dengan air telaga.
"Hei! Apa kau tuli..."!" bentak Sentanu kemudian, karena tegurannya tidak
diacuhkan Sena.
Sancaka yang berwatak agak keras dan mudah
marah, segera melangkah mendekati Sena. Dengan kasar ditariknya rompi Sena.
Namun tubuh pemuda itu
tidak bergeming sedikit pun.
"Hah... "!" Sancaka jadi kaget dan heran. Matanya membelalak. "Edan! Orang ini
rupanya bukan orang biasa...."
Sentanu dan ketiga saudaranya yang lain juga
ikut heran dan bertanya-tanya dalam hati. Siapa pemuda berompi kulit ular sanca
itu" "Hi hi hi...."
Tubuh Sena tiba-tiba berbalik lalu dengan gerakan lemah ia bangkit sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Tentu saja Sancaka yang berada
di dekatnya menjadi kaget. Kakinya menyurut satu
tombak dari Sena.
Kelima bersaudara itu mengerutkan kening
menyaksikan ulah Sena yang seperti orang tak waras.
Sentanu saling pandang dengan saudara-saudaranya.
"Mungkin orang ini jelmaan Rekso, Kakang.
Bukankah Rekso dapat berubah wujud..." ujar Sandika mengingatkan Sentanu.
"Benar, Kakang. Kita harus waspada...," timpal
Sumbaga. Sentanu hanya mengangguk perlahan.
"Kisanak...! Siapa kau dan dari mana asalmu"!"
tanya Sentanu dengan nada agak tinggi pada Sena.
"Hi hi hi...!"
Sena kembali tertawa sambil menggaruk-garuk
kepala dan menepuk-nepuk pantat. Membuat Sentanu
dan keempat adiknya kembali mengerutkan kening.
Mereka benar-benar dibuat terheran-heran.
"Hei...! Apa kau tuli"! Aku tahu kau coba mengelabui aku, Rekso!" bentak Sentanu
sambil menuding
ke arah Sena. Sena yang mendengar ucapan Sentanu jadi mengerutkan kening.
"Rekso..."!" gumam Sena tak mengerti. Lalu bibirnya cengengesan seraya
berjingkrak-jingkrak "Hi hi
hi...!" "Keparat! Ditanya malah cengengesan...!" Sentanu mulai marah.
"Sebaiknya kita ringkus dia, Kakang...," kata
Sancaka dengan geram.
Di bentak oleh Sancaka begitu rupa tidak menjadikan Sena takut. Dia bertingkah
semakin menggila.
Tubuhnya melompat-lompat sambil menggaruk-garuk
kepala dan menepuk pantat, disertai derai tawa geli.
"Kurang ajar! Ini tak bisa dibiarkan, Kakang...!"
seru Sancaka lagi. Ia cepat mencabut kelewangnya, diikuti ketiga saudaranya.
Hanya Sentanu yang agak tenang.
"Tunggu. Kalian jangan gegabah...!" sergah Sentanu, melarang keempat adiknya
yang sudah menghunus kelewang. Mereka pun telah mengurung Sena.
Sancaka yang dicegah oleh Sentanu merasa


Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesal. Giginya bergemerutuk menahan kekesalan. Demikian pula dengan yang lain.
"Kisanak, sebelum kesabaran kami hilang, katakan siapa kau dan apa tujuanmu
memasuki daerah
ini..."!" tanya Sentanu dengan suara keras.
"Apakah ada larangan untuk memasuki daerah
ini?" Sena balik bertanya dengan tingkah masih seperti
orang gila. "Kurang ajar...! Tangkap...!" seru Sentanu memerintahkan adik-adiknya untuk
menangkap Sena.
Tampaknya dia telah kehilangan kesabaran.
Keempat lelaki yang telah mengurung Sena segera melompat serempak sambil
mengayunkan kelewangnya.
"Heaaa...!"
"Mampus kau, Orang Gila...!" teriak Sancaka.
Namun belum lagi senjata mereka sampai ke
tubuhnya, dengan cepat Sena melompat ke udara
sambil bersalto melewati empat lelaki bersaudara itu.
"Hah..."!"
Keempatnya berseru heran. Biasanya jurus itu
tak pernah gagal menundukkan lawan. Tapi kali ini serangan mereka gagal. Melihat
serangan adik-adiknya
gagal, Sentanu segera melompat membantu mereka.
Kini kelima bersaudara itu dengan serempak menyerang Sena yang tetap cengengesan
dan menggarukgaruk kepala.
"Heaaat...!"
Wut! Wut! Wut...!
Suara kelewang mendesing di atas kepala Pendekar Gila yang merunduk. Sedangkan
Sentanu yang belum mencabut kelewangnya menghantamkan pukulan tangan kosong ke arah wajah
Pendekar Gila yang
sedang merunduk. Namun pendekar muda itu sudah
mengetahuinya. Dipapakinya pukulan Sentanu dengan
serangan balik yang cepat, yang sukar dilakukan oleh
orang lain. Karena saat itu Sena dalam posisi merunduk. Jika bukan dia, tak
mungkin dapat melakukan
serangan balik itu.
Dengan gerakan yang terlihat pelan, tapi sebenarnya cepat, Sena menghentakkan
kedua telapak tangannya. "Heaaa...!"
Blarrr! "Akh...!" Sentanu memekik, tubuhnya terhuyung tiga tombak ke belakang.
Sena lalu cepat berkelit sambil bersalto beberapa kali di tanah. Kemudian dengan
gerakan cepat ia
sudah berdiri tiga tombak di depan lawan-lawannya.
Empat dari kelima lelaki yang menamakan diri
mereka Kelewang Maut itu segera menyerang Sena
kembali. Namun Sena tetap tenang. Tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Dia tak
menghindar dari serangan
keempat Kelewang Maut.
"Heaaa...!"
Wut! Wut...! "Heaaat...!"
Hanya dengan memiringkan tubuh ke kanan
dan kiri, Pendekar Gila mengelakkan sabetan keempat
kelewang yang mengarah ke leher dan dadanya. Diakhiri dengan lompatan, Sena
menendang sambil berputar di udara.
Krak! Desss! "Aaakh...!"
Tendangan sepasang kaki Pendekar Gila tepat
menghajar kepala keempat Kelewang Maut. Mereka
berjatuhan diiringi jerit kesakitan.
Melihat keempat adiknya gagal menangkap Sena dan malah mendapat cidera, Sentanu
bangkit dan mencabut kelewangnya. Tak dipedulikannya rasa sakit
yang masih bersarang di dadanya.
"Pemuda gila! Kali ini kau tak akan lolos dari
tanganku. Ayo kita adu ilmu satu lawan satu!" tantang
Sentanu dengan geram.
Sentanu mulai mengumpulkan tenaga dalamnya dengan merentangkan kedua tangannya
lebarlebar bagai elang akan terbang. Sedangkan kedua kakinya membuat kuda-kuda
yang mantap. Kelewang di
tangan kanannya dengan cepat dipermainkan di atas
kepala. Kemudian dengan gerakan membabat, Sentanu
memperagakan jurus-jurus mautnya. Jurus 'Kelewang
Maut Mencabut Nyawa'.
"Hi hi hi.... Kisanak.... Maaf, aku sebenarnya ti-
dak mau berselisih dengan kalian. Masih banyak hal
penting yang harus kukerjakan. Maaf, aku tak ada
waktu lagi meladeni kalian...," kata Sena dengan
gayanya yang khas. Lalu secepat kilat tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.
Sentanu menjadi jengkel bukan main.
"Sancaka, Sandika... Sumbaga, Sumirta. Ayo
kita kejar pemuda gila itu...!" serunya cepat.
Maka kelima Kelewang Maut itu pun melesat
mengejar Sena, meninggalkan tempat itu
2 Lima bersaudara Kelewang Maut masih mengejar Pendekar Gila. Sudah cukup jauh
berlari. Namun tak ada tanda-tanda kalau orang yang diburu akan
terkejar. Aneh"! Pemuda gila itu begitu cepat menghilang. Ilmu apa yang digunakannya"
Padahal aku dan
adik-adikku telah menggunakan tenaga dalam penuh!
Gumam Sentanu dalam hari. Nafasnya naik turun, keringat membasahi kening dan
tubuhnya. Begitu pula
dengan keempat adiknya.
"Dugaanku tak meleset, Kakang. Orang gila itu
pasti jelmaan Rekso Bagaspati yang kita cari. Manusia
laknat!" geram Sancaka. Walaupun wajahnya tampak
kelelahan. "Yah, Kakang. Kalau bukan Rekso, siapa lagi"!
Manusia biasa tidak mungkin secepat itu menghilang...," tambah Sandika sambil
menyeka keringat di
keningnya. "Ya. Tapi kalau kuperhatikan perlawanannya
terhadap kita, tampaknya dia tak bermaksud mencide-
rai atau membunuh kita. Sedangkan kita semua tahu
kalau Rekso tidak pernah membiarkan lawannya hidup. Apalagi kabur seperti pemuda
itu...," ucap Sentanu pada adik-adiknya. Sentanu berpikir keras. Siapa
sebenarnya pemuda berompi kulit ular sanca itu.
Belum lagi Sentanu mendapatkan jawaban, tiba-tiba Sancaka yang berwatak keras
dan gampang marah berkata, "Kakang tak usah ragu. Orang gila itu pasti
Rekso Bagaspati. Kita harus segera meringkusnya hidup atau mati! Rasanya kita
berdosa kalau tidak dapat
meringkus atau membunuhnya. Penduduk Pakisaji telah banyak mati dibunuh manusia
iblis itu. Jadi kita
harus berani berkorban juga demi kebenaran dan ketenteraman rimba persilatan."
Sentanu menganggukkan kepala perlahan
sambil memegang dagu.
"Benar. Tapi kita harus hati-hati, tak boleh gegabah. Kita harus memakai otak,
jangan hanya dengan
kekuatan. Namun menurut perasaanku, pemuda yang
bertingkah aneh seperti orang gila itu...."
"Bukan Rekso...! Begitu maksud Kakang?" potong Sancaka cepat sebelum Sentanu
meneruskan kalimatnya.
Sentanu menatap Sancaka tajam-tajam, lalu
kepalanya mengangguk perlahan.
"Kakang tak usah berkhayal. Sebaiknya kita
cepat mencari manusia iblis itu. Kalau tidak, hidup kita seperti dalam
neraka...!" sungut Sancaka.
"Benar, Kakang. Kita juga harus bisa melenyapkan kalung keramat itu. Kalau
tidak, Rekso akan
kebal terus. Dia akan lebih sering melakukan pembunuhan dan menculik gadis-gadis
desa, demi kekebalannya," sambung Sandika dengan nada lebih lunak
dari Sancaka. "Aku mengerti. Dan kita harus memusnahkan
manusia iblis itu. Tapi kita harus jujur, bahwa sebenarnya kekuatan kita belum
tentu mampu mengalahkan Rekso yang berilmu sangat tinggi. Apalagi dengan
benda keramat berupa kalung itu," tutur Sentanu
mengingatkan adik-adiknya.
"Tapi kita sudah sepakat untuk berkorban melawan manusia keparat itu!" kembali
Sancaka menegaskan dengan penuh emosi.
Rupanya tanpa sepengetahuan mereka, seseorang duduk dengan santai di atas cabang
pohon yang besar. Dia dengan tenang mendengar seluruh percakapan Lima Kelewang Maut. Orang
itu tak lain Sena
Manggala. Bibirnya cengar-cengir mendengar perdebatan lima bersaudara di
bawahnya. Sambil mengorekngorek telinganya dengan bulu ayam, Sena terus
mengawasi mereka.
"Hi hi hi...!"
Tiba-tiba tawa Sena meledak, karena rasa geli
di telinganya. Hingga orang yang berada di bawah tersentak kaget dan mencari-
cari asal suara tawa itu.
Kelima Kelewang Maut berpencar seraya memandangi sekeliling tempat itu. Sentanu
akhirnya menemukan Sena yang tampak tak peduli dirinya diketahui oleh kelima
bersaudara itu. Dia terus asyik tertawa-tawa geli sambil mengorek telinga dengan
bulu ayam. Entah kapan Sena mendapatkan bulu ayam itu.
Sancaka yang sudah tak sabar segera melenting ke
atas. Lelaki itu bermaksud menghajar Sena. Namun
belum sempat Sancaka membabatkan kelewangnya,
Pendekar Gila yang terlihat acuh tiba-tiba saja menendang. Kakinya mendarat
tepat di tangan kanan Sancaka yang menggenggam kelewang. Senjata itu jatuh
disusul tubuh Sancaka. Rupanya Sena melancarkan
pukulan tangan kirinya dengan cepat setelah menen-
dang. dan.... Melihat Sancaka gagal, Sentanu menjadi murka
"Heaaa...!"
Sentanu melompat sambil membabatkan kelewangnya. Namun Sena sudah siap
menghadapi serangan itu. Dengan cepat tubuhnya dijatuhkan, seperti
pesenam. Ia berkelit lincah di cabang pohon itu. Dengan kepala di bawah, kedua
kakinya ditekuk dan bertahan di cabang pohon. Akibatnya kelewang Sentanu
hanya menghajar pangkal cabang pohon tersebut.
Krak! Cabang pohon itu patah. Namun tubuh Pendekar Gila sudah bersalto turun. Lalu
mendarat dengan
mantap di tanah berumput.
Di bawah, Sena sudah ditunggu oleh Sumbaga,
Sumirta dan Sandika. Ketiganya langsung menyerang
Sena. Wut! Wut! "Heaaa...!"
Sena menangkis serangan mereka dengan kedua tangan dan terkadang merunduk atau
berkelit bagai belut. Kelewang-kelewang itu nyaris mengenai leher
Pendekar Gila. Sabetan dan tusukan ketiganya begitu
cepat dan beragam, membuat Sena tak bisa main-main. Maka dengan cerdik Sena
melompat ke udara lalu
bersalto melewati ketiganya. Pendekar Gila mendarat
di dekat Sancaka yang sudah siap menantinya. Pendekar Gila bergerak mundur dan
kelima Kelewang Maut
cepat mengurungnya.
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala
sambil tertawa cengengesan. Kemudian kepalanya
menggeleng berulang-ulang.
"Kalian ini lucu. Hi hi hi.... Sudah kukatakan
aku tak mau ribut dengan kalian...."
"Kali ini kami sudah tidak dapat memberi ampun kepada orang macam kau! Aku tak
bisa kau kelabui, Rekso...!" bentak Sentanu geram.
"Rekso...?" ulang Sena sambil mengerutkan kening. "Hei...! Kau menyebut namaku
Rekso" Hi hi hi.....
Benar-benar lucu. Edan!"
"Kau yang edan! Sengaja kau rubah wujud mu
seperti itu agar kami tak mengenalmu. Kami bukan
orang-orang bodoh, Rekso...! Kau boleh pergi setelah
menyerahkan kalung keramat penyebar maut itu padaku, sebelum kesabaran kami
hilang...!" timpal Sentanu gusar.
"Ayo serahkan kalung keramat Safir Mata Iblis
itu!" ancam Sandika yang berada tepat di depan Sena.
Sambil menggaruk-garuk kepala, Sena mencoba berpikir. Tapi belum sempat
menemukan jawaban, seorang
dari lima Kelewang Maut kembali membentak dengan
suara keras. "Jangan kau coba mencari jalan untuk menipu
kami, Rekso! Sebaiknya cepat kau serahkan kalung
itu...!" "Hi hi hi...! Kalian ini memang orang-orang bodoh! Kalian tahu"! Namaku bukan
Rekso! Enak saja
namaku dirubah. Hi hi hi...!" kata Sena. Kali ini dia
agak kesal. Nada suaranya terdengar tinggi dan berwibawa.
Sejenak Sentanu dan keempat adiknya saling
pandang. Suara Sena yang penuh wibawa, membuat
mereka mengerutkan kening. Suara Sena tadi seolah
suara dewa yang mengingatkan mereka.
Namun Sancaka cepat berujar dengan penuh
kemarahan. "Kami sudah tak bisa memperpanjang kesabaran lagi. Sebaiknya cepat kau serahkan
kalung keramat itu...!"
Sena. Sancaka menghunus kelewangnya ke wajah
"Sabar, Kisanak. Sabar...."
"Aaah.... Jangan banyak mulut! Kau telah
membunuh prajurit-prajurit Kadipaten Pakisaji dan
Adipati Prakasi dengan keji! Kini kau harus menerima
pembalasan...!"
Suara Sancaka terdengar lantang penuh kemarahan. Seketika itu juga mereka
mengurung Pendekar
Gila. Sena yang dikurung bukannya gentar, dia malah cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala dan menepuk-nepuk pantatnya, persis orang gila.
"Kalian ini memang orang-orang yang suka
membuat keonaran dan tidak bersahabat. Menuduh
orang seenaknya! Aku belum pernah membunuh. Apalagi datang ke Kadipaten
Pakisaji. Aku baru mendengar nama kadipaten itu dari mulut kalian! Dan aku tidak
memiliki kalung keramat yang kalian sebut-sebut


Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu...!" bantah Sena santai.
Kemudian dicabutnya Suling Naga Sakti dari
ikat pinggangnya. Diangkatnya tinggi-tinggi benda itu.
Mendadak selarik sinar membias dari kepala naga
berwarna keemasan itu. "Yang kumiliki hanya ini...."
Lima Kelewang Maut mendadak terkesiap saat
mata mereka melihat sinar yang menggetarkan membersit dari mata naga di pangkal
suling itu. Dengan
warna sinar keperakan, sinar itu menyilaukan mata
mereka. Sentanu yang tertua dari kelima bersaudara itu
ingin menanyakan sesuatu. Tapi karena keempat
adiknya sudah tak sabar untuk meringkus Sena, maka
Sentanu terpaksa ikut menyerang dengan membabatkan kelewangnya berbareng ke arah
Sena. Pendekar Gila dengan cepat melenting ke atas.
Maka tebasan kelima orang itu hanya membabat angin. Sedangkan Pendekar Gila
sudah bertengger pada
sebuah cabang pohon sambil menggaruk-garuk kepala
dan mulut cengengesan.
Kelima penyerangnya jadi semakin kesal. Serentak mereka menyerang Sena dengan
cepat. Tubuh kelima orang itu melompat ke arah Pendekar Gila
sambil menghunjamkan kelewangnya dengan ganas.
Secepat itu pula Sena melenting dan turun kembali
dengan ringan. Orang-orang ini rupanya tidak bisa dikasih hati. Hampir saja perutku jadi
sasaran senjata mereka!
Gerutu Sena dalam hari. Begitu kaki para pengeroyok
mendarat di tanah, mereka langsung menyerbu Sena
lagi dengan lebih ganas.
Namun Pendekar Gila dengan cepat merebahkan tubuhnya ke belakang dibarengi
dengan tendangan kaki kanannya ke seorang lawan yang berada di
depan. Tak pelak lagi, perut orang itu bagai dihantam
benda yang berat. Dia terpental deras lima tombak ke
belakang. Melihat saudaranya terluka, empat orang lainnya makin kalap. Dengan memutar-
mutar senjata, mereka mengurung Sena untuk memulai jurus ampuh
mereka. Namun Pendekar Gila yang tak mau lebih lama lagi berurusan dengan kelima
bersaudara itu, segera membuka jurus mautnya. Setelah mencium Suling
Naga Saktinya, Sena mempermainkan suling itu dengan gerakan bagai menari.
Pada saat Sena hendak menghentakkan Suling
Naga Sakti ke para lawannya, tiba-tiba Sentanu berseru,
"Tunggu, Kisanak...! Tunggu!"
Seruan Sentanu membuat keempat saudaranya
bingung. Mereka saling pandang tak mengerti.
"Ada apa, Kakang..."!" tanya Sancaka kesal.
"Diam kau...!" bentak Sentanu,
Sena sebenarnya memang tak ingin menggunakan Suling Naga Saktinya untuk
menghancurkan kelima orang itu.
Sejenak kelimanya saling pandang. Sena kembali menggaruk-garuk kepala. Suling
Naga Saktinya yang berada dalam genggaman tangan kanannya diturunkan.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Sentanu, dengan suara tak segarang tadi.
Sena tak langsung menjawab. Tangannya malah menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. Dipandanginya kelima orang yang masih dalam keheranan itu.
"Hi hi hi.... Baiklah kalau kalian ingin tahu siapa aku sebenarnya. Yang jelas
aku bukan Rekso seperti yang kalian tuduhkan padaku, Aku Sena, Sena
Manggala...."
Kelimanya saling pandang dengan mata yang
bersinar terkejut.
"Sena Manggala...?" ulang Sentanu perlahan.
"Kisanak, kalau kami boleh tahu, apa nama senjata,
yang Kisanak miliki itu?"
Sena hanya cengar-cengir bodoh.
"Hi hi hi.... Kalian ini seperti anak kecil. Pakai
tanya segala. Ini hanya sebuah suling. Guruku memberi nama Suling Naga Sakti,"
ucap Sena sambil cengengesan.
Lima orang di sekelilingnya tersentak kaget bukan main. Mereka lagi-lagi saling
pandang. "Sudah kuduga ketika kulihat kepala suling tadi...," gumam Sentanu lirih.
"Oh.... Kalau begitu, Kisanak adalah Pendekar
Gila?" Sena tak menjawab meski ucapan orang di depannya memang benar. Sena malah
menggaruk-garuk
kepala. "Maaf..., kami telah salah sangka. Harap Tuan
Pendekar mau memaafkan kami. Hanya saja, apakah
Tuan Pendekar dapat menjelaskan maksud kehadiran
Tuan Pendekar di kawasan kami...?"
Sena sebenarnya ingin lekas-lekas meninggalkan tempat itu. Namun diam-diam dia
pun ingin mengetahui lebih jauh siapa Rekso Bagaspati. Juga tentang
kalung keramat yang sempat didengarnya dari kelima
bersaudara itu.
"Sebelum ku jelaskan maksud dan tujuanku.
Aku ingin tahu, Siapa kalian sebenarnya?" tanya Sena
sambil menyelipkan Suling Naga Sakti ke pinggang.
"Kami lima bersaudara dari Kadipaten Pakisaji.
Aku yang tertua. Namaku Sentanu. Kami dikenal dengan julukan Lima Kelewang
Maut." Sena mengernyitkan kening. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Melihat pakaian dan wajah kalian, aku percaya
kalian adalah orang-orang persilatan dari aliran putih.
Tapi gerak-gerik kalian siang ini tidak beda dengan gerombolan perampok. Tidak
kusangka, kalian yang selama ini disegani ternyata bertindak memalukan."
"Kami memang salah," ucap Sentanu. "Semua
terjadi karena kejengkelan kami sudah di puncaknya.
Kami bermaksud menangkap hidup atau mati manusia
Iblis bernama Rekso Bagaspati, serta melenyapkan kalung keramat pembawa petaka
itu. Walaupun kami harus mengorbankan nyawa sekalipun."
"Benar, Tuan Pendekar. Kadipaten Pakisaji diporak-porandakan. Adipati Prakasi
dibunuh dengan keji, demikian juga penduduk dan prajurit kadipaten.
Sedangkan wanita-wanitanya diculik untuk pemuas
nafsu iblisnya," sambung Sancaka. Kali ini suaranya
tak segarang sebelum dia tahu siapa pemuda berompi
kulit ular sanca itu.
"Edan! Benar-benar edan...!" maki Sena. Rasa
bencinya timbul setelah mendengar penuturan Sentanu dan Sencaka.
"Kalau Tuan Pendekar mau membantu kami
untuk menangkap atau membunuh Rekso Bagaspati,
serta merebut kalung pembawa petaka itu..., kami
sangat berterima kasih."
Sena tak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sambil menggaruk-garuk kepala.
Dan sambil tersenyum, kepalanya digelengkan.
"Kami sangat mengharapkan Tuan Pendekar
mau membantu kami. Kami berlima tak mungkin dapat mengalahkan manusia iblis
itu." Pendekar Gila menatap tajam Sentanu, lalu
memandang yang lainnya satu persatu.
"Aku bukannya tidak mau membantu kalian.
Tapi aku pun banyak pekerjaan yang lebih berat dari
apa yang kalian hadapi...," tolak Sena berbohong.
Sebenarnya, Pendekar Gila tertarik juga akan
keterangan Sentanu tadi. Tapi dia ingin menyelidiki
sendiri kebenaran cerita Sentanu. Sena pun paling
benci dan murka jika ada orang semacam Rekso Bagaspati itu.
Sentanu dan keempat saudaranya tampak kecewa. Itu terlihat dari wajah mereka
yang lusuh dan tak bersemangat. Hanya Sentanu yang bisa sedikit meredam kekecewaannya.
Sementara itu Sena telah melangkah jauh meninggalkan mereka. Menaiki lembah ke
arah timur. Sentanu dan keempat saudaranya memandang
kepergian Pendekar Gila dengan perasaan masingmasing. Yang pasti mereka kecewa
akan sikap Pende-
kar Gila. "Kita tak bisa mendesaknya. Tingkah laku seorang pendekar tersohor terkadang
memang aneh, misterius. Tapi aku yakin Pendekar Gila punya cara tersendiri untuk
menumpas kejahatan, demi ketenteraman rimba persilatan ini...," kata Sentanu
seperti berdesah.
3 Sinar matahari yang semula bersinar terang,
mulai berubah kemerahan. Tanda hari menjelang senja. Saat itu Sena tengah
melangkahkan kakinya memasuki sebuah kedai makan yang cukup luas.
Di sana ada beberapa meja berukuran besar
dan sedang. Sena cepat-cepat mengambil tempat paling sudut. Selama seharian
penuh dia memang menahan lapar. Itu sebabnya Sena tampak agak bergegas.
Perutnya sudah tidak bisa diajak berdamai lagi. Sena
segera memesan makanan.
Selang beberapa saat, makanan datang. Sena
segera menyantap makanan dengan lahap. Dia tak
mempedulikan sekelilingnya. Yang penting perutnya
bisa cepat terisi.
Tapi nafsu makannya jadi agak menurun ketika
tanpa sengaja matanya memandang lelaki bercaping
pandan. Pakaiannya serba hitam, dan juga kotor.
Apakah orang itu yang bernama Rekso Bagaspati" Tanya Sena dalam hari. Dia
menghentikan makannya. Kemudian tangannya dicuci dengan air yang
telah disediakan dalam kobokan terbuat dari tanah liat
Mata Sena terus memandangi lelaki bercaping
itu. Melihat gerak-geriknya yang aneh dan mencurigakan.... Ah, kenapa aku jadi
pusing" Kata Sena lagi
dalam hati. Lalu dia mencoba mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil
meneguk air minumnya.
Tapi ketika Sena menoleh kembali ke arah
orang bercaping tadi, ternyata lelaki itu telah menghilang.
"Hah"! Edan...! Ke mana manusia itu?" gumam
Sena kesal. Matanya terus menyapu ke seluruh ruangan.
Tapi, lelaki itu tak juga ditemukannya. Mungkin lelaki
bercaping itu ke belakang untuk buang air kecil. Begitu pikir Sena. Namun
setelah cukup lama menunggu,
lelaki bercaping itu tak muncul-muncul.
"Ki...!" Sena segera memanggil pemilik kedai
dan cepat membayar makanan dan minuman.
"Terima kasih, Den," kata pemilik kedai sambil
menerima uang dari Sena.
Sena pun segera bangkit dan keluar dari kedai.
Sejenak Sena berhenti di ambang pintu masuk kedai,
matanya menyapu ke sekeliling dengan tajam. Setelah
itu barulah dia melangkah meninggalkan tempat itu
untuk mengejar lelaki bercaping tadi.
"Setan alas...! Ke mana kunyuk itu pergi"!" maki Sena seraya terus memburu
cepat. Sementara itu sang Surya makin condong ke
barat. Sinarnya semakin memerah. Menjadikan suasana tidak seterang tadi. Angin
pun terasa dingin oleh
angin semilir. Ketika sampai di ujung jalan dekat sebuah
bangunan kosong, Sena menghentikan langkahnya.
Dia menggaruk-garuk kepala, kemudian menghela napas panjang.
"Edan, benar-benar iblis! Baru saja tadi kulihat
dia berbelok ke sini...!" rutuk Sena kesal ketika me-
nyadari buruannya telah menghilang.
Baru saja Sena akan melangkah pergi, tiba-tiba
sesosok bayangan muncul menghadangnya. Sena agak
terkejut. Tapi sesaat kemudian mulutnya cengengesan
sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aku tidak suka ada orang yang menguntit
ku...!" ucap orang bercaping itu dengan nada suara
yang tegas dan berat.
"Hi hi hi.... Ternyata kau memiliki ilmu yang
tinggi.... Maaf kan aku," jawab Sena dengan tenang
sambil cengar-cengir.
"Karena kau telah lancang membuntuti ku,
maka kau harus menerima ganjaran...."
Selesai berkata demikian, lelaki bercaping itu
segera melancarkan pukulan ke arah Sena.
"Heaaa...!"
Wut! Wut! Sena tersentak kaget. Serangan lelaki bercaping
itu ternyata begitu cepat. Hampir saja dadanya terkena
pukulan. Untunglah Pendekar Gila tidak lengah. Dengan satu gerakan indah, dia
bergerak ke samping.
Serangannya yang hanya mengenai angin,
membuat lelaki bercaping itu makin penasaran.
"Heaaat..! Rasakan ini, Pemuda Edan!"
Kembali lelaki bercaping itu menyusulkan pukulan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Namun Pendekar Gila hanya berkelit dan menangkis dengan tangan kiri
atau kanan untuk meladeni serangan cepat itu.
Namun dalam hati, Sena sesungguhnya mengakui kemampuan lawan. Apalagi kalau
menilik dari tendangan dan pukulan lawan yang keras, mematikan
serta menimbulkan suara angin yang kencang.
Wut! Wut! Karena serangannya tidak mengenai sasaran,
lelaki bercaping itu berusaha kabur. Namun Sena ce-
pat bertindak menghalangi lelaki itu. Dia melompat
melewati tubuh lelaki bercaping itu, lalu mendarat tepat di hadapannya. Namun
lelaki yang dihadang itu
dengan cepat pula menghindar. Tubuhnya melompat
ke belakang Sena.
Kesabaran Pendekar Gila habis. Dengan jengkel
dia kembali menghadang dan langsung meninju ke dada orang berbaju serba hitam
itu. Dia hanya ingin
menjatuhkannya. Karena itu serangannya hanya dilakukan dengan tenaga luar yang
keras, ditambah sedikit tenaga dalam. Namun saat tangan kirinya hampir
menyentuh tubuh lawan, lelaki bercaping lebar itu sudah berkelebat cepat sekali.
Tubuhnya mengelak ke
samping kiri. Lalu dia segera melepas serangan balasan berupa tusukan dua jari
ke leher Sena. Entah mau
menotok atau menusuk tembus batang leher Pendekar
Gila. Perkelahian akhirnya berlanjut kembali. Kali ini
malah lebih seru.
Setelah mengelakkan tusukan jari yang ganas
itu Sena menghantamkan sikut kirinya ke rusuk lawan. Namun lagi-lagi lawannya
berhasil mementahkan


Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan itu dengan satu kemplangan deras ke batok
kepala Sena. Pendekar Gila cepat mengelak dengan
memiringkan tubuhnya ke samping.
Hebat juga orang ini. Batok kepalaku hampir
remuk dibuatnya! Gumam Sena dalam hati.
Setelah berkelahi hampir dua belas jurus, Pendekar Gila segera menyadari bahwa
dalam ilmu silat
dan tenaga dalam, lawan jauh berada di bawahnya.
Tapi satu hal yang membuat orang itu sulit dikalahkan. Dia memiliki kecepatan
gerak yang luar biasa.
Tubuhnya dengan ringan berkelebat kian kemari. Kalau saja yang dihadapinya bukan
Pendekar Gila, mungkin sudah berapa kali orang berbaju serba hitam
itu berhasil menggebuk lawan tandingnya.
Enam belas jurus telah dilampaui. Pendekar Gila mulai dapat mencium kelelahan
lawannya. Ternyata
lawan yang dihadapinya memang masih mentah dalam
pengalaman. Maka Sena pun mulai melancarkan serangan-serangan tipuan.
Pendekar Gila mulai menari dengan jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat'. Sedangkan lelaki bercaping kini mengeluarkan jurus
andalannya yang bernama 'Tapak Sakti'.
Pada suatu saat pukulan 'Tapak Sakti' orang
bercaping meluncur ganas ke dada Sena. Anehnya,
Sena belum juga terlihat hendak berkelit. Bahkan ketika pukulan itu tinggal
sejengkal lagi dari dadanya.
Rupanya dia sengaja melakukan itu untuk
menjajal kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi Sena tidak mau sembarangan, dia pun
telah mengerahkan
tenaga dalam untuk membentengi dadanya.
Bukkk! Jotosan keras tepat melanda dada Sena. Tubuhnya berguncang keras. Sambil menahan
sakit, Pendekar Gila melihat lawannya mundur. Apakah
orang itu turut merasakan sakit pada tangan kanannya" Yang jelas tangannya yang
semula mengepal
membentuk tinju, kini merenggangkan jari-jarinya keluar, tanda dia dijalari rasa
sakit. Di saat itulah Pendekar Gila menyergap ke depan. Gerakannya seperti
hendak membuntal pinggang lawan. Tetapi tanpa diduga tangan kirinya tiba-tiba
melayang ke atas lalu
menarik lepas caping lebar di kepala lawan. Mulut
orang itu mengeluarkan suara tertahan ketika caping
yang terbuat dari daun pandan lepas dari kepalanya.
Dan secepat kilat orang itu melesat pergi meninggalkan Sena yang belum sempat
melihat jelas wajah lelaki itu.
Sena menggerutu kesal sambil memegangi caping di tangan kirinya.
"Dasar belut! Hari ini aku mendapat sial. Tapi
apakah dia benar si Rekso itu"!" tanya Sena pada diri
sendiri. Kemudian dia menggaruk-garuk kepala sambil
menepuk-nepuk pantat.
Sena memandangi caping pandan itu sejenak.
Lalu tubuhnya berbalik dan berjalan menuju desa
kembali untuk bermalam dan istirahat, setelah sekian
hari kurang tidur. Sena mengayunkan langkah dengan
mantap. Tangan kirinya masih memegang caping lebar
tadi. Malam pun mulai datang, suasana di Desa
Pandawa tampak tenang sekali. Lampu-lampu yang
terbuat dari bambu yang diberi sumbu tertancap di
depan rumah penduduk desa. Angin berhembus kencang menambah sejuknya udara di
malam yang tenang
itu. *** Esok paginya Sena tampak sudah meninggalkan Desa Pandawa. Dia melangkah cepat
menuruni lereng bukit menuju timur. Terkadang dia melompat
dengan ringan untuk memotong jalan.
Wajah Pendekar Gila pagi itu tampak segar.
Langkah dan lompatan kakinya menggambarkan keriangan. Sesekali tubuhnya melompat
di antara bebatuan. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna sekali, lompatan Sena bagai seekor rusa yang melesat. Tubuhnya
melompat dan melayang
dengan ringan, lalu hinggap di atas sebuah batu besar
yang agak tinggi.
Sesaat Sena berhenti. Matanya memandang sekeliling tempat itu. Sekilas dia
terbayang akan Mei Lie,
gadis ayu dan lugu dari Cina. Ingin rasanya Sena cepat
menemui Mei Lie. Namun tugas dan petualangannya
belum selesai. Saat Sena merenungi masa-masa pertemuannya dengan Mei Lie sambil memandang ke
arah pemandangan di bawah sana, tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat dengan cepat.
Sena merasakan itu. Dia tersentak dari lamunannya. Bergegas tubuhnya berbalik,
sedangkan matanya menyapu sekeliling tempat itu. Sesaat kemudian
ia menghela napas panjang.
Ah.... Mungkin hanya perasaanku. Atau memang ada orang yang sedang memperhatikan
ku" Pikirnya kemudian. Pendekar Gila lalu menggaruk-garuk
kepala dengan tangan kirinya seraya cengengesan. Tapi baru saja kakinya hendak
melangkah untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba....
"Tuan Pendekar....!" seru seseorang dari arah
belakang. Suara itu seperti dikenali Sena. Dia menghentikan langkahnya. Perlahan kepalanya
menoleh. Ternyata Sentanu dan ketiga adiknya.
"Tuan Pendekar....!"
Dengan terengah-engah Sentanu berkata. Wajahnya tampak kelelahan dan memendam
beban. "Kau..." Ada apa, Sobat?" tanya Sena kalem.
"Rekso membunuh adik kami yang bernama
Sancaka. Kami sempat bentrok dengan manusia iblis
itu," cerita Sentanu penuh getar pada suaranya. Sejenak Sentanu menghentikan
ucapannya. Sena menggaruk-garuk kepala, dia merasa iba
sekaligus heran.
"Itu sebabnya kami mencarimu. Dengan jujur
kami mengaku kalau kami tak mampu melawannya.
Kami terpaksa lari menghindar...," kembali Sentanu
men-jelaskan pada Sena.
Apakah orang bercaping itu benar jelmaan Rekso..." Atau..." Sena menerka-nerka
sendiri dalam hari.
Karena dia mendengar dari keterangan Sentanu ketika
pertama kali bertemu, bahwa Rekso memiliki kepandaian menyamar.
"Kapan kalian bertemu dengannya?" tanya Sena
pada Sentanu. "Kemarin, menjelang magrib...! Dia muncul dengan tiba-tiba untuk menghadang
kami, ketika kami
berusaha mencari Tuan Pendekar...," jawab Sentanu
tegas dan jelas.
Sena mengangguk-angguk. Kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala. Keningnya
berkerut. Matanya memandangi Sentanu dan ketiga saudaranya.
"Kami merasa gagal total dan malu! Kami tidak
akan kembali ke kadipaten...," kata Sentanu dengan
nada lemah dan suara serak.
Sena merasa ikut bersalah tidak membantu
mereka. Tapi dia tak ingin diikuti Sentanu bersaudara.
Dia hanya ingin menyelidiki di mana sarang Rekso Bagaspati. Lagi pula, saat itu
Sena belum percaya penuh
pada keterangan Sentanu. Tapi kini dia mulai percaya
padanya. Apalagi mendengar Sancaka, adik Sentanu
yang paling berani dan berilmu lebih tinggi dari ketiga
adiknya yang lain telah tewas di tangan Rekso Bagaspati.
Sena menghela napas dalam-dalam. Kembali
dipandanginya Sentanu dan ketiga adiknya.
"Kisanak. Maafkan aku. Namun bukan aku
bermaksud buruk. Aku sebenarnya mau membelamu,
dengan caraku sendiri. Harap Kisanak mengerti dan
memaklumi ku...," tutur Sena.
"Kami dapat mengerti, Tuan Pendekar Kami
bersyukur kalau Tuan Pendekar memang mau mem-
bantu kami untuk melenyapkan manusia iblis itu,"
ucap Sentanu sambil menjura pada Sena.
"Kisanak jangan menjura begitu. Aku bukan raja atau raden. Aku sama seperti
kalian, hanya orang
biasa...," cegah Sena tegas.
Sejenak mereka terdiam. Tak ada yang bicara.
Tangan Sena kembali menggaruk-garuk kepala seraya
cengar-cengir. "Apakah orang-orang aliran putih tidak mau
bersatu untuk melawan Rekso Bagaspati...?" tanya Sena pada Sentanu
"Pada purnama yang lalu telah diadakan pertemuan rahasia para tokoh persilatan
se-Jawa Tengah di Pantai Parangtritis. Pertemuan juga dihadiri oleh sesepuh persilatan
terkemuka dari selatan dan utara.
Kami telah setuju untuk menumpas Rekso dan merebut kalung itu. Namun tak ada di
antara kami yang
berhasil...," kata Sentanu, menjelaskan pada Sena.
Sena memegang bahu Sentanu dengan lembut
"Percayalah, Kisanak... Dengan keyakinan dan
percaya diri, kita akan dapat menemukan manusia iblis itu. Dan aku akan
memusnahkannya. Namun kita
harus mempergunakan akal untuk menaklukkan manusia macam Rekso...," ucap Sena,
memberi semangat
pada Sentanu. "Ya.... Terima kasih, Tuan Pendekar. Rasanya
hari ini hati kami mulai lega. Karena Tuan Pendekar
mau bekerja sama dengan kami. Kalau ingin mendapatkan kemenangan, kita memang
harus berani berkorban. Dan Sancaka mati demi saya dan adik-adik
saya yang lain.... Lalu, sekarang apa yang harus kita
lakukan, Tuan Pendekar?" tanya Sentanu, setelah terdiam beberapa saat.
"Mari kita mencari tempat bicara yang nyaman.
Hm.....Apakah di dekat sini ada kedai untuk istirahat
dan melepas lelah" Tentunya Kisanak cukup lelah, bukan?" tanya Sena bersahabat.
"Ada di balik bukit itu," jawab Sentanu sambil
menunjuk ke suatu tempat.
Kemudian, kelima lelaki itu segera menuju kedai yang dimaksud Sentanu. Tak
berapa lama berjalan,
mereka pun tiba.
Kedai itu tampak dipadati pengunjung. Dari
luar sudah terdengar suara tawa gaduh di dalam rumah makan itu. Suara tawa itu
terlontar dari mulut tiga orang berparas angker dan buruk di salah satu meja.
Salah seorang yang bertingkah angkuh, berpakaian
merah menyerupai jubah dengan pakaian dalam berwarna hitam, celana hitam serta
ikat kepala merah
dengan bulatan-bulatan hitam. Rambutnya terurai
panjang tak teratur sebatas bahu. Wajahnya panjang
dengan hidung mancung ke bawah. Kumisnya tipis.
Sedangkan tubuhnya sedikit kurus. Matanya cekung
dan garang, bagai mata setan. Dia dikenal dengan julukan Muka Setan atau si
Pedang Akherat.
Penduduk di desa itu rata-rata tidak suka pada
si Muka Setan. Selain kejam, penindas kaum lemah,
orang itu juga selalu membuat onar. Kesombongannya
berpangkal dari kepandaiannya memainkan pedang.
Selain ayahnya, hanya dia jago pedang kelas satu di
tanah Jawa, begitu koarnya. Karena itu semua orang
harus hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan
apa saja yang dimintanya.
Sambil mempertunjukkan kebolehannya main
pedang, si Muka Setan yang nama sebenarnya Ronggo
Lawe, tertawa-tawa sambil memegang kendi arak di
tangan kirinya.
Kedua temannya berpakaian sama seperti
Ronggo Lawe. Hanya saja berlengan pendek dan tidak
memakai ikat kepala. Rambut keduanya terlepas pan-
jang tak teratur dengan alis tebal dan sinar mata garang. Bibirnya pun tebal
seperti bibir kuda. Wajah keduanya, persegi empat, buruk sekali.
Dengan pedangnya, Ronggo Lawe membabat lalat yang beterbangan di ruangan kedai.
Sudah berpuluh-puluh lalat dapat dibabatnya. Bayangkan, bagaimana kalau manusia"
Tiba-tiba Ronggo Lawe menendang salah satu
kursi yang ada di dekatnya.
"Kalian lihat semua! Jangan ada yang berkedip.
Lalat-lalat ini perlu dibikin mampus!" serunya.
Dengan gerakan cepat sambil tertawa-tawa seperti pemabuk, Ronggo Lawe kembali
memamerkan kebolehannya. Para pengunjung yang memang benci,
tak menghiraukannya. Hanya sebagian saja dari mereka yang menyaksikan. Ini
membuat Ronggo Lawe marah. Tanpa banyak mulut lagi, segera dihampirinya salah
seorang yang tak sudi melihat kebolehannya.
Tengkuk orang yang sedang menikmati makanannya
itu ditendang, hingga makanan yang ada di mulutnya
tersembur keluar bersama cairan merah dari mulutnya. Seketika orang itu tak
bergerak lagi. Setelah itu Ronggo Lawe tertawa. tergelakgelak. Pada saat itulah Sena, Sentanu
dan ketiga saudaranya memasuki kedai itu. Mereka segera duduk di
meja paling luar dekat pintu masuk, karena hanya meja itu yang masih kosong.
Saat itu pula beberapa orang
bergegas keluar dengan wajah ketakutan. Sekilas Pendekar Gila melirik Ronggo
Lawe yang sedang mempermainkan pedangnya.
Sena dan Sentanu bersaudara segera duduk
dengan tenang. Namun sesaat kemudian, Sentanu
membisikkan sesuatu ke telinga Sena. Pendekar Gila
mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian Sentanu berbisik pada saudara-saudaranya.
Wajah mereka tampak jadi waspada.
"Ternyata di rimba persilatan banyak orang
edan!" gumam Sena sambil cengar-cengir.
Salah seorang dari anak buah Ronggo Lawe rupanya mengenali Sena setelah melihat
pakaiannya. Namun orang itu terlihat sedikit ragu. Matanya terus
mengawasi gerak-gerik Sena dan Sentanu bersaudara.
Seorang pelayan segera menghampiri meja Sena. Tapi baru saja pelayan itu
melangkah, salah seorang anak buah Ronggo Lawe yang tadi mengawasi Sena, segera
melarangnya dan mendorong pelayan itu dengan kasar.
"Kau tak perlu melayani orang asing itu. Biar
aku yang melayaninya," kata anak buah Ronggo Lawe
yang bernama Kebo Ireng pada pelayan. Lalu dengan
langkah tegap, dihampirinya meja Sena dan kawankawan.
Sena menyambut Kebo Ireng dengan ramah,
mengajaknya duduk sambil cengengesan. Sedangkan
Sentanu bersaudara sedikit tegang.
"Silakan, Kisanak..," hatur Sena menyilakan
Kebo Ireng yang bibirnya tebal mirip bibir kuda itu.
Tapi Kebo Ireng membalasnya dengan kasar. Ia


Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggebrak meja dengan tangan kanannya yang kekar
dan berbulu lebat
Brak! "Ha ha ha...!"
Kebo Ireng tertawa tertawa-tawa bangga. Sena
ikut tertawa dan menggaruk-garuk kepala, tapi Sentanu sebaliknya. Ia menjadi
marah dan berdiri hendak
menyerang Kebo Ireng. Tapi segera dicegah oleh Sena;
dengan merentangkan tangan kirinya.
"Sabar, Sobat. Tenanglah! Memang di rimba
persilatan saat ini banyak orang-orang edan!"
Mendengar ucapan Sena, kontan saja Kebo
Ireng, naik pitam. Tanpa basa-basi lagi, Kebo Ireng
mengantarkan pukulan ke dada Sena. Pukulan yang
tiba-tiba dan dahsyat itu dielakkan Sena hanya dengan
memiringkan tubuh ke samping kanan disertai tangkisan tangan kanannya yang
langsung mengunci lengan
Kebo Ireng. Disusul dengan hentakan tangan kirinya
yang keras. "Akh...!"
Brak! Kebo Ireng terpental tiga tombak dan jatuh di
atas meja dekat Ronggo Lawe yang kaget dibuatnya.
Meja itu hancur tertimpa tubuh Kebo Ireng yang besar.
Sena kembali cengengesan sambil menggarukgaruk kepala. Sementara itu, Sentanu
dan saudarasaudaranya makin tegang. Mereka kian waspada.
"Kalian tak perlu ikut campur. Biar kuselesaikan sendiri. Orang-orang macam ini
perlu diberi pelajaran," ucap Sena pada Sentanu dan saudaranya.
"Hei! Setan mana yang berani menciderai kawanku!" seru Ronggo Lawe dengan mata
melotot lebar sambil menghunus pedang.
Sementara, para pengunjung yang berada di situ diam seribu bahasa. Di dalam
hati, mereka merasa
senang dan gembira kalau ada orang yang bisa menghajar Ronggo Lawe dan kawan-
kawannya. "Pemuda gila itu ternyata hebat, ya?" bisik seorang pengunjung kedai pada
temannya. "Ya.... Biar tahu rasa si muka buruk itu. Mampus kau!" timpal yang lain, ikut
berbisik Ronggo Lawe sudah berada di dekat meja Sena.
Dengan geram dan angkuh, kaki kanannya diangkat
ke atas meja, tepat di depan wajah Sena. Sena hanya
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Seakan tak
menghiraukan tindakan Ronggo Lawe.
"Hei, Kunyuk! Rupanya kau tidak sayang pada
nyawamu!" hardik Ronggo Lawe seraya mengusapusap dada dan tertawa-tawa. "Kau
rupanya punya nyali besar, Orang Asing. Ha ha ha...!"
Sena tak melihat tangan lelaki berwajah buruk
itu bergerak, tahu-tahu dirasakannya sambaran angin
di atas kepalanya. Seekor lalat naas yang melayang
mengitari kepala Sena terbabat putus, lalu jatuh pada
permukaan meja di hadapannya.
Gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepat!
"Kau memang hebat, Kisanak..," puji Sena dengan tingkah seperti orang gila.
Namun nadanya terdengar mengejek
Ronggo Lawe tahu kalau dia diejek. Dengan marah sekali ditendangnya Sena,
dibarengi dengan babatan pedang.
Dengan cepat namun tampak gemulai, Pendekar Gila mengelak dan tahu-tahu Sena
sudah duduk di atas kursi lain. Pemuda itu tertawa-tawa dan menggaruk-garuk kepalanya. Membuat
Ronggo Lawe makin
naik pitam. "Orang asing keparat!" bentak Ronggo Lawe.
"Kau rasakan pedangku ini. Heaaa...!"
4 Sena yang diserang mengelak dengan merebahkan tubuhnya ke belakang. Gerakannya
seperti sangat pelan, bagai sedang menari dengan menundukkan kepala. Lalu tubuhnya berkelebat
ke kanan sambil menyapukan kaki ke pinggang Ronggo Lawe.
Buk! Ronggo Lawe memekik dan tersentak. Sama sekali tidak diduganya kalau dalam
keadaan demikian
Pendekar Gila bisa melakukan serangan balik dengan
cepat. Sementara kedua teman Ronggo Lawe hanya
menonton sambil meneguk arak. Keduanya merasa
yakin kalau akan mampu mengalahkan Pendekar Gila.
Sedangkan Sentanu dan ketiga saudaranya tetap mengawasi dengan sikap waspada.
Sentanu yakin kalau
Sena akan mudah mengatasi Ronggo Lawe.
"Hi hi hi...!"
Pendekar Gila tertawa-tawa mengejek sambil
menggaruk-garuk kepala dan menepuk pantatnya seperti monyet. Membuat Ronggo Lawe
semakin marah. "Mampus kau, Pemuda Gila! Heaaa...!"
Swing! Swing! Dua sabetan dan tusukan mengarah ke dada
Sena. "Phuih! Hanya tusukan dan sabetan tipuan! Hi
ha ha...!" ejek Sena sambil cengengesan, dan menggaruk-garuk kepala.
Ronggo Lawe terkesiap. Serangan yang dilancarkan tadi memang hanya merupakan
satu tipuan. Bagaimana lawan bisa mengetahuinya"!
Edan, dia bisa membaca tipuan ku! Kunyuk!
Siapa orang sinting ini"! Umpat Rongga Lawe dalam
hati. Dia mulai berhati-hati untuk menyerang.
Para pengunjung yang menyaksikan pertarungan itu tampak merasa senang melihat
Ronggo Lawe dipermainkan oleh pemuda bertingkah gila itu. Wajah
mereka berbinar-binar, mendukung Pendekar Gila.
"Rasakan kau! Orang jahat harus dikasih ganjaran...!" umpat salah seorang yang
ada di kedai itu.
"Iya! Biar tahu rasa! Modar kau...!" timpal teman di sebelahnya sambil mencibir.
Sedangkan pemilik kedai hanya tersenyum-senyum, tak lagi setegang
tadi. Setelah mementahkan serangan Ronggo Lawe,
Pendekar Gila dengan cepat menyiapkan pukulan yang
dahsyat dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Jarijari tangannya mengembang
lurus ke atas. Mulanya
menyatu, kemudian direntangkan melebar. Diteruskan
dengan menghantam ke atas dengan telapak tangan.
Namun tidak sepenuhnya Sena menggunakan jurus
itu. Dia tidak mau membunuh Ronggo Lawe.
Sepasang tangan Sena menyapu dalam gerakan
gelombang. Kecepatannya sangat luar biasa. Tangannya terlihat menjadi berpuluh-
puluh pasang serta bergelombang dahsyat menciptakan angin deras yang
mengejutkan Ronggo Lawe. Keterpanaan lawan dimanfaatkan Pendekar Gila dengan
baik. Tangan kanannya
mendadak terlontar dari gerak gelombang yang diciptakannya, lalu menghajar telak
dada lawan. Tak pelak
lagi tubuh Ronggo Lawe terpental keluar dari kedai itu
dan membentur pohon besar di halaman kedai.
"Ternyata kepandaianmu hanya sedikit, tapi
mulutmu besar! Ayo bangun!" bentak Sena setelah tiba
di hadapan Ronggo Lawe.
Mulut Ronggo Lawe tampak memuntahkan darah segar, demikian juga dari lubang
hidung, dan telinganya.
"Manusia pemeras seperti kau memang harus
mendapat ganjaran setimpal!" lanjut Sena dengan nada
mengejek. Tangan kanannya merenggut rambut Ronggo Lawe yang sudah tak berdaya
itu. Sementara itu, Kebo Ireng dan Kebo Ijo yang
melihat pemimpin mereka dicundangi, segera mengambil langkah seribu. Sedangkan
penduduk yang tadi
berada di dalam kedai malah menyerbu ke luar. Mereka beramai-ramai meminta agar
Sena membunuh Ronggo Lawe. Kalau tidak, manusia durjana itu akan
kembali memeras dan menindas orang-orang lemah.
"Bunuh saja, Tuan Pendekar! Bunuh...!" seru
mereka beramai-ramai.
Mendengar teriakan orang-orang itu, Sena dan
Sentanu yang telah berada di sampingnya mengerutkan kening dan saling pandang.
"Apakah orang ini masih mempunyai pemimpin?" tanya Sentanu ingin tahu.
"Ayahnya sendiri pemimpinnya. Tapi kami tak
pernah melihat wujud ayah Ronggo Lawe," sahut seorang pemuda di dekat Sentanu.
"Kalian tahu siapa nama ayahnya Ronggo
Lawe?" tanya Sentanu tak sabar.
"Orang-orang menyebutnya Penguasa Jagat...
Hanya itu yang kami tahu," jawab yang lain.
Tangan kiri Sena menggaruk-garuk kepala, sementara bibirnya cengar-cengir.
Sedang tangan kanannya yang merenggut kepala Ronggo Lawe direnggangkan. Tubuh
Ronggo Lawe pun jatuh lemas di tanah.
Nafasnya tampak sesak
Dan di saat semuanya sedang berpikir, tiba-tiba
sesosok bayangan hitam besar berkelebat cepat disertai angin kencang menerpa
mereka. Bayangan itu melepas pukulan berupa selarik sinar ungu yang menggumpal
bagai asap. Kemudian segera menyambar beberapa orang di sana, termasuk Pendekar
Gila, Sentanu dan saudara-saudaranya.
Serangan yang mendadak itu membuat Pendekar Gila tak sempat menghindar, namun
dia masih bisa menangkis dan menyerang dengan pukulan 'Inti
Api'. Ledakan besar pecah di tempat itu, menciptakan lidah api yang membersit terang,
karena serangan
bayangan tadi bentrok dengan pukulan 'Inti Api' milik
Pendekar Gila. Setelah sinar akibat ledakan itu hilang,
Ronggo Lawe pun lenyap entah ke mana. Hanya asap
tebal mengepul di tempat Ronggo Lawe tadi tergeletak
Pendekar Gila memulihkan kembali tenaga dalamnya yang banyak terkuras, akibat
bentrokan pukulan tadi. Setelah usai, didekatinya Sentanu yang tergeletak akibat
pukulan maut milik sosok tak dikenal tadi.
"Bagaimana keadaanmu, Kisanak?" tanya Sena
perlahan, sambil memegangi bahu Sentanu.
"Dadaku sesak sekali. Ohhh...! Mungkinkah tadi Rekso?"
"Entahlah...."
Sentanu memegangi dadanya. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya.
"Bisa kami menumpang di tempatmu, Ki?"
tanya Sena pada pemilik kedai.
"Oh, dengan senang hati, Tuan Pendekar. Kami
akan siapkan segala keperluan, Tuan. Karena Tuan
Pendekar telah menyelamatkan kami semua...," jawab
pemilik kedai dengan sangat gembira. Dia merasa
aman kalau Sena dan Sentanu bersaudara bisa tinggal
bersamanya. Hari makin sore. Sinar matahari makin memerah dan condong ke arah barat. Sena
mengobati luka dalam Sentanu dengan ramuan-ramuan dedaunan
disertai tenaga dalamnya. Rupanya Sentanu masih dapat diselamatkan.
"Kau terkena Racun Pemusnah Jiwa...! Tapi untung kau segera mendapatkan
perawatan. Kalau tidak..."
"Hah"! Racun Pemusnah Jiwa...?" ujar Sentanu
memotong ucapan Sena. "Kalau memang benar... tak
salah lagi! Sosok bayangan itu adalah Rekso...! Karena
kematian salah seorang saudara seperguruanku juga
akibat Racun Pemusnah Jiwa, tatkala kami mencoba
menangkap si keparat itu beberapa bulan lalu."
Sementara itu, Sena tetap mengobati Sentanu
dengan ilmu 'Pelebur Racun' yang didapat dari gurunya. Sengaja Sena tak
menanggapi ucapan Sentanu.
Dia tidak ingin perhatiannya saat menyalurkan ilmu
'Pelebur Racun' jadi terpecah hingga bisa membahayakan diri Sentanu sendiri.
Malam pun tiba. Suasana di Desa Pandawa
nampak sunyi mencekam. Tak ada seorang pun yang
keluar rumah atau duduk-duduk di teras rumah mereka. Para penduduk masih
diliputi rasa takut dan
khawatir dengan munculnya orang tua Ronggo Lawe
yang menyebut dirinya, Penguasa Jagat!
Namun kedai yang sekaligus menjadi tempat
tinggal pemiliknya tampak masih menyalakan lenteranya. Pertanda orang yang
berada di dalam kedai itu
masih belum tidur, walaupun hari makin larut malam.
Sentanu sudah kelihatan segar. Lelaki itu duduk di atas balai-balai ditemani
oleh ketiga adiknya.
Sedangkan Sena berdiri di dekat jendela sambil bersidekap, memandang ke luar.
Pemilik kedai dengan hati
senang menyiapkan minuman dan makanan untuk
mereka. Dibantu seorang bocah lelaki yang bertubuh
kurus tanpa baju. Pemilik kedai yang nampak lugu
dan sedikit penakut itu lalu membawa minuman dan
ubi rebus ke tempat duduk Sentanu bersaudara.
"Silakan diminum, Tuan-tuan.... Maaf kalau
kurang berkenan di hati Tuan-tuan. Maklum makanan
desa.... He he he...," ujar pemilik kedai dengan sopan
sambil membungkukkan tubuh.
Pemilik kedai segera pergi setelah memberi
hormat, diikuti oleh bocah kecil di belakangnya. Sentanu bergerak mengambil
cangkir yang terbuat dari
kayu dan menuangkan air di dalam teko tanah liat ke
cangkirnya, kemudian diikuti oleh ketiga adiknya.
Pada saat itu Sena seakan merasakan keganjilan dalam kedai itu. Telinganya
lamat-lamat menang-
kap bisikan halus suara gurunya.
"Sena, jangan kau minum air itu. Minuman itu
mengandung racun...!"
Sena tersentak mendengar suara itu. Cepat tubuhnya berbalik dan bermaksud untuk
mencegah Sentanu bersaudara agar tidak meminum air yang disuguhkan pemilik
kedai. Namun terlambat! Sentanu
dan ketiga saudaranya ternyata baru saja selesai meneguk air teh itu.
"Ya, Gusti...!" desis Sena penuh penyesalan.
Tak sampai satu menit kemudian, wajah Sentanu dan
ketiga saudaranya mulai pucat, dan membiru. Dan sesaat kemudian, darah segar
keluar dari mulut, hidung,
telinga dan mata mereka.
"Aaakh...! To... tolong.... Aaa...!"
Tubuh keempat bersaudara itu kejang-kejang
dengan mata melotot
"Kisanak, kuatkan dirimu. Aku akan menolongmu...!"
Sena segera bersila di dekat Sentanu yang sekarat untuk mengumpulkan hawa
murninya. Dia mulai melawan racun ganas yang telah memasuki tubuh
Sentanu. Beberapa saat kemudian keringat keluar dari
pori-porinya. Tubuhnya mulai berasap dan segera tangan kanannya ditempelkan ke
dada Sentanu.

Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Sentanu bergetar bagai orang terkena
tegangan listrik yang besar. Begitu pun tubuh Sena
yang tengah mengeluarkan ilmu 'Inti Sukma'. Tubuhnya bergetar kencang.... Dan
tiba-tiba terdengar teriakan yang menyayat dari mulut Sentanu, bagai memecah
kesunyian malam yang mencekam. Dibarengi dengan hentakan telapak tangan Sena
yang mengeluarkan
sinar ungu bercampur sinar kuning. Sinar kuning itu
adalah Racun Pemusnah Jiwa.
Sena mengangkat sinar itu, kemudian tangan-
nya dihentakkan dengan keras ke arah jendela. Bauran dua sinar itu melesat dan
sungguh aneh, sinar tadi
mengeluarkan lengkingan nyaring. Seperti suara
kambing yang sedang disembelih! Sinar ungu bercampur kuning itu meledak. Kembali
menjadi sosok makhluk halus yang menyeramkan, lalu menghilang di kegelapan
malam. Sena menarik napas panjang, dia merasa lega.
Peluh membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Sedangkan Sentanu kini tertidur. Di
dadanya tampak tanda merah kebiruan. Sena membuka matanya perlahan, memandangi tubuh Sentanu
yang masih tergeletak di balai-balai bambu. Sentanu memang dapat diselamatkan
oleh Sena, namun ketiga adiknya tak tertolong. Mereka tewas dengan seluruh tubuh
membiru. Sena bergerak bangun dan mencari pemilik
rumah makan itu. Namun tak seorang pun ia temui di
kamar. Ternyata di dalam kamar pemilik kedai tak ada
tempat tidur atau lemari. Kecuali sebuah kuburan tua
yang tanahnya berlubang.
"Ya, Gusti...! Iblis keparat itu rupanya telah
mencoba menipuku...," gumam Sena dengan kesal. Ketika kakinya hendak melangkah
ke luar, tiba-tiba terdengar ucapan ganjil.
"He he he...! Anak Muda, ternyata kau mudah
terkecoh. Hidupmu tak akan lama, Anak Muda. He he
he...!" Suara itu terdengar sangat menyeramkan. Ketika Sena memusatkan pikirannya sambil
memejamkan mata, dilihatnya bayangan wajah Ronggo Lawe yang
menyeramkan itu menyeringai menatap dirinya. Sena
segera menghentakkan tangan kanannya ke depan
dengan mengerahkan pukulan 'Inti Api'. Bersamaan
dengan itu terdengar teriakan keras yang sangat keras,
ketika api dari telapak tangan Sena membakar kubur-
an tua itu. Jeritan panjang yang menyeramkan terus
terdengar. Kemudian Sena segera keluar. Ia cepat
membopong tubuh Sentanu yang masih tertidur pulas.
Dibawanya tubuh Sentanu keluar dari kedai
misterius itu dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Bagai kilat,
tubuhnya meluncur seperti anak panah menjauhi rumah makan itu. Sementara itu
kedai yang ditinggalkannya sudah mulai terbakar oleh api yang dikeluarkan tangan
Sena. Dan suara jeritan perlahan-lahan
menghilang, tertelan asap hitam.
Sena kini sudah berdiri di atas bukit dengan
membopong tubuh Sentanu, jauh dari tempat tadi. Matanya memandangi rumah makan
yang masih terbakar. Api membubung tinggi bagai menerangi kegelapan malam yang
mencekam itu. "Rupanya iblis-iblis itu ingin menguasai manusia dengan cara apa saja. Aku harus
lebih hati-hati
dan waspada...," desah Sena perlahan. Lalu tubuhnya
melesat kembali dengan membawa Sentanu.
*** Mentari pagi kembali menerangi bumi. Angin
laut bertiup sepoi-sepoi menerpa daun nyiur. Daundaun itu bergerak bagai menari-
nari. Kicau burung
laut membangunkan Sena yang tidur di bawah pohon
nyiur di pesisir pantai. Di sebelahnya masih terbujur
tubuh Sentanu. Sena berdiri tegak. Sejenak otot-ototnya yang
kaku dilemaskan. Ia melakukan gerakan-gerakan indah beberapa kali untuk
memulihkan kondisi tubuhnya. Lalu duduk bersila, memusatkan pikiran dengan
memejamkan mata. Tubuhnya menghadap Laut Banjaran, tak bergerak bagai patung,
walaupun angin kencang menerpanya.
Tak berapa lama kemudian, barulah Sena
membuka mata dan menarik napas panjang. Lalu menoleh ke arah Sentanu. Lelaki itu
tampak mulai bisa
menggerakkan badannya, walaupun perlahan. Bibir
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Uh...! Di mana aku...?"
Terdengar suara Sentanu ketika matanya dibuka dan bergerak bangun sambil
memegangi dadanya
yang masih merasa sakit.
"Kau telah bebas dari maut, Sobat," kata Sena
yang masih bersila di tempatnya semula.
"Ke mana ketiga adik-adikku, Tuan Pendekar...?" tanya Sentanu ingin tahu.
Sena mengalihkan pandangan ke laut lepas.
Dari dia mulai menceritakan tentang pemilik kedai
yang menghidangkan minuman beracun, sampai ia
menemukan kuburan tua dalam kamarnya. Sentanu
langsung dapat menebak kalau ketiga adiknya tewas
karena racun yang dicampur pada minuman itu.
"Maafkan aku, karena tak dapat menolong jiwa
adik-adikmu...," sesal Sena setelah mengakhiri ceritanya.
Golok Halilintar 12 Mas Rara Seri Arya Manggada 2 Karya S H Mintardja Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa 2
^