Pencarian

Pemberontakan Ki Reksogeni 2

Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni Bagian 2


pengintaian yang mestinya dijalankan dengan
sungguh-sungguh dan penuh waspada. Memang
begitulah yang dilakukan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa semenjak
keduanya bertemu.
Kecocokan hati mereka telah menimbulkan jalinan
tali kasih. (Baca Pendekar Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kuan Im").
Mei Lie sendiri merasa pertemuan dengan
Pendekar Gila bagai telah diatur oleh Dewata. Sehingga, meskipun setiap kali
orang yang bertemu
mereka selalu menertawakan dan mencemoohkan
tingkah laku Sena yang seperti orang gila, Mei Lie
tak pernah menghiraukannya.
Teringat akan hal itu lunturlah kejengkelan
yang tadi sempat timbul di hati Mei Lie. Perlahanlahan kepalanya direbahkan ke
kaki Sena yang menyelonjor di batang pohon. Sena tampaknya
memahami perasaan kekasihnya. Dielusnya rambut Mei Lie perlahan.
"Kita harus berjaga sampai pagi di pohon
ini, Kakang Sena," ujar Mei Lie lirih.
"Ya, ya. Tadi sempat kudengar besok pagi Ki
Lurah Brajanala dan orang-orangnya akan pergi ke
tempat pengasingan Pangeran. Kita harus menyelamatkannya."
Mei Lie mengangguk-anggukkan kepala.
Beberapa saat kemudian keduanya saling membisu. Tak ada suara kecuali desis
angin malam yang
menerpa dedaunan dan bunyi binatang malam.
Bulan keperakan menggantung di langit biru. Malam perlahan merayap saat dinihari
terlewati. Di ufuk timur mulai tampak semburat warna
kemerahan pertanda fajar menyingsing.
Tiba-tiba terdengar pintu rumah Ki Lurah
Brajanala terbuka dan beberapa orang keluar. Tak
lama kemudian, empat orang penunggang kuda
melesat dari halaman rumah besar itu. Mereka
adalah Ki Lurah Brajanala dan tiga orang tangan
kanannya. Keempatnya menggebah kuda yang berlari ke arah barat.
"Kakang, Kakang Sena! Bangun!" bisik Mei
Lie yang melihat Pendekar Gila menyandarkan kepala ke batang pohon dengan mata
terpejam. "Hup... et ets..., ehh!" Sena geragapan seperti kaget. Kemudian, menubruk tubuh
Mei Lie hingga gadis itu terpeluk di dadanya.
"Ihh...!" Mei Lie mendorong tubuh Sena. Dedaunan pohon tampak bergoyang.
"Hi hi hi.... Kau kira aku tidur, ya?" ejek Sena dengan mulut cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie kesal sekali melihat tingkah kekasihnya yang konyol. "Lihat, mereka
sudah berangkat..."
"Ya ya ya...," sahut Sena dengan mengangguk-anggukkan kepala dan mata
dipejamkan. "Hup!"
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu melompat turun mendahului Mei Lie. Dengan
ringan sekali kedua kakinya mendarat di tanah. Mei Lie
menyusul dengan gerakan serupa.
Sepasang pendekar muda itu melesat ke
arah barat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam sekejap saja
keduanya telah menghilang tertutup kabut pagi yang mulai turun
ke bumi. 7 Brakkk! Meja ukir kayu jati itu hancur berkepingkeping dipukul Naga Merah Dari Merapi.
"Bedebah! Jadi, bocah edan itu masih hidup, heh"!" bentaknya dengan suara
bergetar dan parau. Tangan kanannya terkepal kuat-kuat. Matanya seketika merah menahan amarah
yang meluap-luap di dadanya.
Ternyata pemimpin Lembah Merapi Merbabu itu pun termakan kabar angin tentang
tewasnya Pendekar Gila. Padahal, sebenarnya yang tewas dengan tubuh terbakar
dalam duel antara
Pendekar Gila dengan kembarannya adalah Pendekar Gila samaran. Memang tak ada
yang tahu waktu itu Sena Manggala mengenakan pakaian
putih. Hingga, lawannya yang mengenakan pakaian rompi kulit ular dikira Pendekar
Gila. Meskipun saat itu Sena Manggala sendiri mengalami luka dalam yang sangat parah,
tapi segera mendapat pertolongan dari gurunya, Singo Edan
yang juga menyaksikan pertarungan itu. (Baca
serial Pendekar Gila dalam episode: "Petaka Seo-
rang Pendekar").
Para pembesar istana Lembah Merapi Merbabu yang berkumpul di ruangan itu terdiam
seribu bahasa. Tak satu pun yang berani mengucapkan kata-kata, baik tanggapan
maupun saran. Mereka semua tahu kalau Ki Reksogeni telah murka, siapa pun tak akan mampu
menghadapinya. Kemurkaannya adalah petaka bagi orang-orang di
sekitarnya. Itulah sebabnya, malam itu bagi para pembesar Istana merupakan saat yang
menegangkan. Entah apa yang akan terjadi seandainya kemarahan lelaki berjuluk Naga Merah Dari
Merapi ini tak terkendali. Tak seorang pun di antara mereka yang berani menatap wajah Ki Reksogeni. Semua
tertunduk ketakutan.
"Paman Senapati...," Ki Reksogeni memanggil Senapati Sentanu. "Lekas baca surat
itu!" Senapati Sentanu segera melaksanakan perintah itu. Dibukanya gulungan surat yang
tadi dibawa Gardawaka dan dibacanya keras-keras. Ki
Reksogeni mengangguk-anggukkan kepala dengan
gigi geraham ditekan kuat-kuat. Pemimpin Lembah
Merapi Merbabu ini tak tahan lagi ingin segera melaksanakan permintaan Patih
Abiyasa. "Kalau begitu, Paman Senapati, malam ini
juga siapkan bala tentara! Besok pagi-pagi sekali
kita harus sudah berangkat. Aku khawatir Pangeran Pramudya datang lebih dulu
istana. Suasana
akan bertambah kacau. Pendukungnya lebih banyak. Bahkan, tampaknya seluruh
rakyat masih menanti kedatangan putra mahkota itu...," ujar Ki
Reksogeni. Tapi, Gardawaka segera menyambuti.
"Ki Reksogeni, saya hampir lupa. Kabar
yang kudengar dari Ki Lurah Brajanala, Permaisuri
Ayu Mustika telah mengutus beberapa orang prajurit untuk menjemput Pangeran
Pramudya. Atas saran Ki Lurah Brajanala, Pangeran Putra Mahkota akan dibawa di suatu tempat
untuk diamankan,
agar jangan sampai di istana dalam waktu dekat
ini," tutur Gardawaka mengejutkan Ki Reksogeni.
"Heh"! Lalu, bagaimana dengan Empat Iblis
Merbabu" Ada lagi yang tak beres di sini!" gumam
Ki Reksogeni dengan mata membelalak. "Sudah
hampir sepekan mereka belum kembali. Aku khawatir mereka menemui kegagalan. Ah,
sudahlah. Tapi kalau ceritamu benar, Pangeran Pramudya
berarti sudah berada di tangan Patih Abiyasa. Ha
ha ha...! Putraku tetap akan menduduki tahta raja. Tak lama lagi, Danu.
Tunggulah, ayahmu akan
memberikan dukungan kuat...!"
Lelaki berjuluk Naga Merah Dari Merapi itu
tertawa gembira. Cita-cita yang telah dua puluh
tahun lamanya tersimpan di hati kini hampir menjadi kenyataan. Dua puluh tahun
ia menunggu kesempatan itu. Sampai putra tunggalnya direlakan
diangkat menjadi anak oleh Prabu Wirabuana,
penguasa Kerajaan Tanjung Anom yang tidak memiliki anak.
Namun, dulu ia tak menyangka sama sekali
kalau perpisahan dengan putranya ternyata membuka jalan bagi cita-citanya.
Selama menjabat sebagai senapati di Kerajaan Bumi Segara ia telah
mempunyai keinginan untuk merebut kekuasaan
Raja Galih Kertarejasa. Keinginan menjadikan keturunannya duduk sebagai penguasa
kerajaan itu ternyata mendapat dukungan dari Patih Abiyasa
yang waktu itu masih menjabat sebagai senapati.
Siasat dan nasihat untuk merintis jalan ke
arah sana diperoleh dari Ki Lurah Brajanala, mertua Patih Abiyasa. Namun ketika
pemberontakan dilaksanakan, kegagalanlah yang diperolehnya.
Pasukannya banyak yang tewas di tangan tentara
kerajaan. Bahkan, ia kabur untuk menyelamatkan
diri. "Paman Senapati, bagaimanapun kita harus
segera mempersiapkan pasukan. Besok pagi-pagi
sekali kita harus sudah berangkat menuju kotajara." Ki Reksogeni mengulang
kembali perintahnya
kepada Senapati Sentanu. "Perjalanan dengan pasukan mungkin akan memakan waktu
dua hari dua malam. Kalau kita tak segera berangkat, aku
khawatir keadaan akan berubah. Apalagi Pendekar
Gila kini berada di sana. Hm... Kenapa Pangeran
Pramudya tidak dibunuh saja?" gumam Ki Reksogeni menyesali sikap Patih Abiyasa.
"Sulit, Ki Reksogeni. Yang menjalankan perintah penjemputan itu adalah para
prajurit. Patih
Abiyasa rupanya belum yakin benar terhadap dukungan mereka. Sehingga, tak
mungkin Patih Abiyasa memerintahkan untuk membunuh Pangeran
Pramudya," tutur Gardawaka yang banyak mendapat keterangan penting selama
penyelusupannya ke kotaraja. "Sementara kalau yang menjemput bukan orang-orang
istana mungkin Ki Ranuje-
laga, gurunya, takkan mengizinkan Pangeran Pramudya pergi"
Ki Reksogeni manggut-manggut. Diam-diam
Naga Merah Dari Merapi mengagumi anak buahnya yang memiliki ketajaman pikiran
ini. "Baik. Kalau begitu kalian boleh bubar sekarang. Perintahkan kepada semua
pasukan agar mempersiapkan perbekalan!" ujar Ki Reksogeni
menutup pertemuan malam itu.
Para pembesar istana segera meninggalkan
tempat pertemuan. Malam itu juga para prajurit
dikumpulkan untuk mengadakan persiapan.
8 Telah lima hari lima malam Pangeran Pramudya berada di suatu tempat yang belum
dikenalnya. Hingga sore ini berarti telah sepekan ia
meninggalkan Gunung Srandil berpisah dengan
Resi Ranujelaga. Semula ia tidak mengira akan
mengalami kejadian seperti ini. Apalagi Ki Ranujelaga sendiri dengan tanpa
menaruh curiga menyerahkan Pangeran Pramudya kepada keempat prajurit kerajaan
yang menjemputnya.
Pangeran Pramudya baru menyadari penculikan itu ketika dirinya tidak dibawa ke
istana. Padahal dia tahu, menurut cerita gurunya, saat ini
istana kerajaan tengah dilanda masalah besar.
Pangeran Pramudya mencoba mencari akal
untuk dapat lolos dari tempat pengasingan. Beberapa kali dia tanyakan kepada
para prajurit yang
menjaganya. "Kami hanya menjalankan tugas untuk
menjaga Raden. Kami sendiri tak mengetahui
maksud semua ini...," begitu jawaban mereka selalu.
"Siapa yang memerintahkan kalian?"
"Permaisuri dan Kanjeng Patih Abiyasa."
"Tapi, mungkin hari ini atau besok Raden
akan segera dijemput Ki Brajanala...," sahut prajurit yang lain.
"Siapa Brajanala...?" tanya Pangeran Pramudya dengan kening berkerut. Ia semakin
tak mengerti. "Masa' Raden tidak mengenalnya. Ki Lurah
Brajanala bekas mertua Patih Abiyasa, ayahanda
Permaisuri Ayu Mustika," jawab prajurit itu sambil
tersenyum. Tersentak Pangeran Pramudya mendengar
nama Ki Lurah Brajanala. Pernah didengarnya cerita dari gurunya kalau
ayahandanya memiliki
mertua seorang lurah. Namun ketika mendengar
lurah itu juga mertua Patih Abiyasa ini sungguh
sangat mengejutkannya.
Inikah yang dimaksud dua musuh besar kerajaan" Semula aku menduga hanya Ki
Reksogeni yang menjadi musuh utama kerajaan, pikir Pangeran Pramudya.
"Kalau begitu, aku tak perlu menunggu Ki
Lurah Brajanala!" ujar Pangeran Pramudya dengan
wajah memerah. "Aku harus segera berangkat ke
istana...!"
"Raden, keselamatan jiwa raga Raden bera-
da di tangan kami. Kami tak segan-segan bertindak kasar kalau Raden tidak
menurut!" Tiba-tiba
terdengar ucapan bernada dingin dari seorang lelaki bertubuh gagah yang berdiri
di ambang pintu.
"Kurang ajar!" bentak Pangeran Pramudya
marah. "Kau anggap apa diriku"!"
Pangeran Pramudya melompat hendak keluar dari bangunan tua mirip penjara. Namun
lelaki berwajah bengis yang tidak mengenakan pakaian prajurit itu segera
menyergapnya. Tangan
kanannya melancarkan pukulan ke dada Pangeran
Pramudya. Sebagai seorang pemuda yang telah memperdalam ilmu silat, Pangeran Pramudya
melihat pukulan itu. Cepat tubuhnya dilemparkan ke kanan. Pukulan lelaki berpakaian
coklat tua itu pun
tidak mengenai sasaran. Begitu berhasil menghindar, Pangeran Pramudya melesat
keluar. "Kejar! Cepat kejar!" perintah lelaki berwajah bengis kepada para prajurit.
Enam orang prajurit memburu Pangeran
Pramudya. Namun gerakan mereka kalah cepat
dengan lelaki berwajah bengis yang telah melesat.
Gerakannya yang gesit dan ringan menunjukkan
kalau ia memiliki ilmu yang tak dapat diremehkan.
Sesaat kemudian....
"Heaaat...!"
Bukkk! Pangeran Pramudya memekik kesakitan.
Sebuah pukulan mendarat di punggungnya. Tubuh pangeran yang mengenakan pakaian
putih itu terjungkal ke depan. Namun dengan gesit dia sege-
ra melompat bangkit. Bersamaan dengan itu pukulan tangan kosong lawan meluncur


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke arah kepala.
Plakkk! Mulut Pangeran Pramudya meringis kesakitan ketika tangan kanannya berhasil
memapaki pukulan lawan. Tampaknya, lelaki bengis itu mengerahkan tenaga dalam.
Mengetahui lawannya tak tanggungtanggung dalam melancarkan pukulan, Pangeran
Pramudya segera mengerahkan kemampuan yang
dimilikinya. Cepat pemuda itu melompat menghindari sebuah tendangan yang hampir
menyambar perutnya. Dan, menyusulinya dengan melancarkan
pukulan jarak jauh.
Wuttt! "Heit!"
"Rupanya kau punya kemampuan juga,
Pangeran," ujar lelaki bengis setelah berhasil mengelakkan pukulan jarak jauh
Pangeran Pramudya.
"Sedikit. Tapi untuk menghadapi begundal
sepertimu aku tidak kewalahan!"
Pangeran Pramudya merangsek maju dengan pukulan-pukulan cepat dan beruntun.
Namun, lelaki bengis itu ternyata dengan mudah
mengelakkan setiap pukulannya.
Bahkan, pada satu kesempatan lawan melompat dan melancarkan dua pukulan beruntun
dengan ibu jari. Gerakan itu dilakukan dengan cepat sekali ketika Pangeran
Pramudya berusaha
mencabut keris yang terselip di pinggang.
Pangeran Pramudya langsung terpekik. Tubuhnya lunglai dan jatuh ke tanah terkena
totokan pada jalan darahnya.
Baru saja para prajurit yang berdatangan ke
tempat itu hendak mengangkat tubuh sang pangeran, empat orang penunggang kuda
menghampiri mereka. "Apa yang kalian lakukan?" tanya penunggang kuda yang berada paling depan.
"Ki Lurah. Pangeran kita berusaha melarikan diri," lapor lelaki berwajah bengis
ketika melihat yang datang Ki Lurah Brajanala.
"Bunuh dia!" perintah Ki Lurah Brajanala
menuding Pangeran Pramudya yang masih terkulai
di tanah. "Buang mayatnya. Kita tidak memerlukan pangeran ingusan itu!"
Para prajurit tampak bimbang mendengar
perintah Ki Lurah Brajanala.
"Ah ah ah...! Orang tua tak tahu diri kau, Ki
Lurah!" Tiba-tiba terdengar ucapan seseorang yang
diiringi tawa terbahak-bahak. Ki Lurah Brajanala
sampai tersentak kaget. Sesaat kemudian, sesosok
bayangan berkelebat cepat dan menyambar tubuh
Pangeran Pramudya. Belum sempat para prajurit
menyadari apa yang terjadi, sosok bayangan itu telah melesat pergi.
Melihat kejadian itu, Ki Lurah Brajanala
melompat turun dari punggung kuda. Lelaki tua
itu melesat hendak mengejar sosok bayangan yang
membawa lari Pangeran Pramudya. Ketiganya pun
tak ketinggalan menyusul Ki Lurah Brajanala.
"Hiaaat...!"
Bentakan melengking nyaring mengejutkan
keempat lelaki itu. Lari mereka terhenti ketika di
depan telah berdiri menghadang seorang wanita
cantik dengan pedang terhunus.
"Bidadari Pencabut Nyawa!" desis Ki Lurah
Brajanala dengan mata terbelalak kaget. "Apa yang
kau inginkan dengan mencampuri urusan kami?"
"Kejahatan besar yang kalian perbuat harus
ditumpas, Ki Lurah!" sahut Mei Lie dengan tatapan
tajam menusuk wajah Ki Lurah Brajanala.
"Bedebah!" Ki Lurah Brajanala melompat setelah mencabut pedang di punggungnya.
Wuttt! Trangng! Serangan lelaki itu dipapaki pedang Mei Lie
hingga menimbulkan bunyi berdentang keras. Ki
Lurah Brajanala tergetar akibat benturan hebat
itu. Mei Lie sendiri meringis merasakan getaran
pada tangannya yang membuatnya seperti kesemutan.
Melihat kenyataan itu, ketiga kawan Ki Lurah Brajanala meluruk maju melancarkan
serangan secara serentak. Mei Lie bergegas melompat
mundur dengan mengayunkan pedangnya menangkis babatan dan tusukan senjata lawan.
Pertarungan serupun terjadi. Teriakan-teriakan mereka serta bunyi benturan
pedang memecah keheningan sore di tempat itu.
Meskipun Mei Lie yang berjuluk Bidadari
Pencabut Nyawa mampu bergerak cepat dan lincah, keroyokan lawan-lawannya membuat
gadis itu kewalahan. Gempuran hebat Ki Lurah Brajanala yang memiliki ilmu pedang
sangat handal mem-
buat Mei Lie tak sempat menggunakan ilmu andalannya.
Bahkan, ketika memasuki jurus kedua puluh lima, Mei Lie mendapat pukulan hebat
dari lelaki berjubah biru, kawan Ki Lurah Brajanala. Gadis itu terpekik
kesakitan. Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.
Blukkk! "Hukh, uhh!"
Mei Lie memuntahkan darah segar dari mulutnya. Pukulan lawan yang mendarat di
punggungnya telah mengakibatkan luka dalam. Namun
begitu, Mei Lie masih berusaha bangkit berdiri.
Tubuhnya sedikit goyah. Pandangannya dirasakan
berkunang-kunang. Gadis itu bertekad untuk tetap menghadapi lawan, meskipun tahu
sangat membahayakan jiwanya.
Dalam keadaan terluka, sedikit saja bergerak atau mengeluarkan tenaga bisa
berakibat lebih
parah. Namun diam tanpa berupaya sama artinya
menyerahkan nyawa. Orang-orang golongan hitam
seperti mereka takkan peduli biar pun musuhnya
sudah tak berdaya.
Melihat Mei Lie bangkit berdiri, ketiga kawan Ki Lurah Brajanala berlari
menghampirinya.
Mereka siap membabatkan pedang ke tubuh Mei
Lie. Namun.... "Hiaaa...!"
Trang! Trangng!
Sesosok bayangan berkelebat dan menangkis ketiga pedang yang hampir saja
mendarat di tubuh Mei Lie. Ketiga lelaki berjubah biru berpen-
talan jatuh. "Ah ah ah...! Kenapa kalian hanya berani
dengan seorang perempuan?" ejek pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain
Pendekar Gila. "Bocah Edan, kau bawa ke mana Pangeran
Pramudya"!" dengus Ki Lurah Brajanala menatap
tajam pada Sena.
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan. "Untuk apa kau
simpan Pangeran Pramudya yang tengah ditunggu rakyat banyak, Ki" Akan kau
jadikan dia Pendekar Gila sepertiku..." Hi hi hi, lucu! Ternyata kau pandai juga
main sulap. Kenapa mesti jadi lurah" Keliling saja
ke kota-kota main sulap, Ki!"
Tak henti-hentinya Pendekar Gila mengejek
Ki Lurah Brajanala.
"Serang!" Ki Lurah Brajanala yang murka
bukan main mendengar ejekan Sena, segera memberi perintah kepada ketiga
kawannya. Ketiga lelaki berjubah biru langsung melesat
melakukan serangan.
"Hi hi hi...! Ini tukang sulap juga rupanya.
Ha ha ha... Tukang sulap berseragam biru!
Brrttt...!" Sena memonyongkan bibirnya mengeluarkan bunyi seperti kentut.
Tubuhnya dilentingkan
ke udara. Dan, dari atas dengan cepat Suling Naga
Sakti di tangan kanannya diayunkan.
Wuttt! Pletakkk! Salah satu lawannya memekik kesakitan
ketika suling itu memukul kepalanya. Namun be-
lum sempat Sena mendarat ke tanah, pedang lawan yang lain telah menyambarnya.
Wuttt! "Hait!"
Trang! Ditangkisnya sambaran pedang itu dengan
Suling Naga Sakti. Kemudian, dilanjutkan dengan
babatan ke arah perut. Pekikan kaget keluar dari
mulut lelaki yang berjubah biru. Tubuhnya bergetar lalu jatuh. Namun dia segera
bangkit berdiri.
Dengan geram lelaki itu melompat melancarkan
serangan lagi. "Hi hi hi.... Kalian seperti badut-badut tukang sulap. Ayo, maju, biar kukentuti
mulut kalian...!"
Mendengar ejekan yang menyakitkan telinga
itu, Ki Lurah Brajanala terpancing amarahnya.
Tubuhnya segera melesat seraya mengayunkan
pedang. Sambaran pedang itu terdengar menderuderu seolah tak ingin memberi
kesempatan kepada
Sena untuk mengeluarkan kata-kata ejekan.
Kini Pendekar Gila menghadapi keroyokan
empat orang. Dengan jurus 'Si Gila Membelah
Awan' Sena memutar Suling Naga Sakti-nya memapaki setiap sambaran pedang lawan.
Namun, sebentar kemudian tubuhnya tiba-tiba berputar
cepat bagaikan gasing. Melalui jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' gempuran keempat
lawannya pun terpecah.
Keempat pengeroyoknya kalang kabut
menghindari tubuh Sena yang berputar kencang.
Sebab, melancarkan serangan pun tak mampu
mengenai sasaran. Dalam putaran itu Sena terus
menggerakkan Suling Naga Sakti untuk menangkis.
Setelah sekian lama Pendekar Gila mempermainkan keempat lawannya, dia berhenti
berputar. Mulutnya nyengir memandangi mereka
yang terpaku dengan mata membelalak. Tapi, Ki
Lurah Brajanala segera tersadar dari rasa kagetnya.
"Terimalah ilmu 'Pedang Pembelah Karang'
ini. Heaaa...!" Dengan teriakan keras menggelegar,
Ki Lurah Brajanala memutar pedangnya. Tiba-tiba
pedang itu mengeluarkan sinar kuning yang menyilaukan mata.
Melihat lawannya mengerahkan ilmu andalan, Pendekar Gila dengan tenang
meletakkan suling di bibirnya. Seketika terdengar bunyi melengking nyaring.
Sekejap kemudian, melesatlah selarik
sinar merah. Srraatss! Glarrr...! Pekikan keras menyayat hati terdengar dari
mulut Ki Lurah Brajanala. Ketika tubuhnya melompat hendak menghantamkan pedang,
sinar merah dari suling berkepala naga milik Sena menghantamnya. Tubuh lelaki
tua itu terlontar jauh ke
belakang dan menghantam sebatang pohon besar.
Tubuhnya membiru. Sebentar Ki Lurah Brajanala
berkelojotan, kemudian tewas!
Ketiga kawan Ki Lurah Brajanala sempat
tertegun melihat kematian pimpinannya. Tapi kemudian mereka melompat bersamaan
melancar- kan serangan. Dengan cepat pemuda berpakaian
rompi kulit ular itu menyatukan kedua telapak
tangannya. Lalu, dihantamkannya ke arah ketiga
lawan yang tengah memburu ke arahnya. Seketika
angin dahsyat berhembus kencang menerpa ketiga
lelaki berpakaian biru. Pekikan kematian terdengar
susul-menyusul saat tubuh mereka menghantam
pepohonan besar.
Sesaat kemudian, dari balik pepohonan
bermunculan enam orang prajurit dan melangkah
menghampiri Pendekar Gila.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar!" seru
mereka hampir bersamaan. Keenam prajurit itu
langsung berlutut di hadapan Sena. "Kami tidak
tahu-menahu dengan persoalan yang tengah terjadi. Kami hanya sekadar menjalankan
tugas dari istana, Tuan Pendekar."
"Sudahlah. Kalian jangan berlaku seperti
ini," ujar Sena dengan cengengesan. "Kalian kuburkan mayat-mayat itu dan segera
kembali ke istana."
Pendekar Gila kemudian melangkah mendekati Mei Lie yang terduduk lemas tak jauh
dari tempat itu. Diangkatnya tubuh gadis itu, lalu melesat pergi.
9 "Uhh...!"
Pangeran Pramudya Wisnutama melenguh
lirih. Tubuhnya menggeliat bangkit dari pembarin-
gan batu di sebuah ruangan bangunan tua mirip
penjara. Bangunan ini digunakan untuk menyekap
dirinya selama beberapa hari, sebelum akhirnya
ditolong Pendekar Gila.
Tak lama kemudian Mei Lie pun tersadar
dari pingsannya. Wajah gadis itu masih sedikit pucat. Luka dalam yang
dideritanya baru saja pulih
setelah Pendekar Gila menyembuhkannya. Beberapa saat lamanya Sena mengalirkan
hawa murni melalui kedua telapak tangan yang ditempelkan ke
dada Mei Lie. Gadis berpakaian putih itu kini duduk bersila. Beberapa kali ditariknya napas
dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk memulihkan tenaga dalamnya.
"Dari mana Tuan Pendekar mengetahui
tempat ini...?" tanya Pangeran Pramudya dengan
suara agak parau.
"Ah ah ah... Jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu, Raden!" sahut Sena
cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya. "Panggil saja
aku Sena!"
"Baiklah. Tadi aku hampir tak percaya melihat kedatanganmu, Sena."
"Apakah Raden juga tahu kabar kematianku
itu?" tanya Sena dengan mulut nyengir.
Pangeran Pramudya mengangguk. "Dua
orang prajurit yang datang lebih dulu bercerita banyak kepada Eyang Ranujelaga


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang kejadian
yang melanda istana...."
"Hh..., Raden. Resi Ranujelaga telah meninggal beberapa saat setelah
keberangkatan Ra-
den bersama para prajurit itu."
Tersentak Pangeran Pramudya mendengar
ucapan Sena. "Benar firasatku," gumamnya lirih,
hampir tak terdengar. "Ketika mereka membawaku
ke tempat ini, hatiku mulai merasa curiga. Siapa
yang telah membunuh Eyang Guru, Sena?"
"Empat Iblis Merbabu. Mereka mengatasnamakan Ki Reksogeni. Tapi, mereka telah
membayar lunas kematian Ki Ranujelaga," tutur Sena.
"Dari mana kau tahu tempat kediaman kami?"
"Aku membuntuti mereka setelah mendengar keterangan dari kawanku Dogol. Dia
memperoleh banyak keterangan dari seorang dayang di istana."
"Ah, sungguh aku tak dapat mengungkapkan rasa terima kasihku kepada kalian!"
ujar Pangeran Pramudya dengan menggeleng-gelengkan
kepala. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia terharu
teringat akan nasibnya. Seorang putra mahkota
yang disingkirkan dari istana.
"Sudahlah. Yang penting kini Raden selamat
Rakyat dan negara tengah menunggu kedatangan
Raden. Meski di istana telah bertahta Pangeran
Danuwirya, tapi rakyat tidak setuju. Mereka masih
mengharapkan kedatangan Raden untuk menduduki tahta kerajaan...," ujar Mei Lie
mengingatkan Pangeran Pramudya.
"Hmm. Berapa lama perjalanan ke istana,
Sena?" "Dengan mengendarai kuda mungkin sekitar sehari semalam. Tapi aku yakin kita
bisa me- nempuhnya lebih cepat" jawab Sena cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, membuat
Pangeran Pramudya tersenyum melihatnya.
"Sungguh aku buta dengan wilayah negaraku sendiri," gumam Pangeran Pramudya
menyesali diri. "Bukankah ini masih termasuk wilayah kerajaan, Sena?"
"Kurasa begitu, Raden," sahut Sena. Kemudian, menoleh kepada Mei Lie. "Kau
bagaimana, Mei...?" "Kurasa sebaiknya kita segera berangkat,
Raden," usul Mei Lie seraya bangkit dari duduknya.
Pangeran Pramudya mengangguk dan bergegas bangkit berdiri. Pendekar Gila dan Mei
Lie pun melesat menyertai Pangeran Pramudya Wisnutama meninggalkan tempat
pengasingannya.
Benar apa yang dikatakan Pendekar Gila.
Mereka tak harus memakan waktu sehari semalam
untuk sampai ke kotaraja. Sena sengaja membawa
Mei Lie dan Pangeran Pramudya menerobos hutan
dan semak-semak, menyimpang dari jalan yang
biasa dilalui orang jika ingin ke kotaraja.
Pendekar Gila tentu saja telah banyak mengetahui seluk-beluk tempat yang
dilaluinya. Ia pernah menempuhnya ketika berusaha melarikan
diri dari kejaran tentara kerajaan dan tokoh-tokoh
persilatan yang menuduhnya telah menculik Putri
Sekar Arum. Selama perjalanan, Sena menceritakan bagaimana dirinya hampir mengalami
kekalahan hebat ketika bertarung dengan penculik Putri Sekar
Arum. Untung saja Singo Edan turun tangan
membantunya. Baru kali itu Pendekar Gila menemukan tokoh yang memiliki kemiripan
ilmu dengan dirinya.
Ketika fajar menyingsing di ufuk timur,
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Pangeran Pramudya
telah sampai dekat tapal batas kotaraja.
Atas saran Mei Lie, Pangeran Pramudya dibawa ke tempat kediaman Ki Narotama.
Pilihan itu diambil untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan jika pangeran langsung
dibawa ke istana.
Namun baru saja ketiganya menginjakkan
kaki di halaman rumah Ki Narotama, terdengar deru kaki kuda menuju rumah besar
itu. Penunggang kuda putih melompat turun dan melangkah
menghampiri Sena.
"Tuan Pendekar!" Prajurit itu membungkukkan badan. "Ada kabar penting yang harus
segera saya sampaikan kepada Senapati Saka Bawana," ujarnya mendahului Sena
berlari masuk ke
dalam rumah. Pendekar Gila, Mei Lie, dan Pangeran Pramudya segera menyusul masuk.
Senapati Saka Bawana, Ki Narotama, dan
beberapa panglima tinggi kerajaan yang tengah
menunggu kedatangan Pendekar Gila terkejut melihat kedatangan prajurit itu.
"Kanjeng Senapati, kami melihat serombongan pasukan datang dari arah utara.
Mereka berjumlah lima puluh orang dan semua menunggang
kuda," lapor prajurit itu dengan napas terengah.
"Hmm. Mereka telah datang, Ki." Senapati
Saka Bawana menoleh, menatap Ki Narotama.
"Ha ha ha...!" Pendekar Gila masuk dengan
memperdengarkan tawa terbahak, mengejutkan
semua yang ada di ruangan itu. "Kami juga datang, Kanjeng Senapati!"
Semua memandang dengan mata terbelalak
kepada pemuda berwajah tampan mengenakan
pakaian kuning gading yang berdiri di samping
Pendekar Gila. "Hi hi hi...! Tentu kalian terkejut. Raden,
merekalah para pendukung Raden," ujar Sena menoleh kepada Pangeran Pramudya yang
memandangi mereka dengan tersenyum haru.
Mendengar ucapan Pendekar Gila, semua
orang di ruangan itu bangkit berdiri. Lalu, berlutut
di depan Pangeran Pramudya. Tak terkecuali prajurit yang baru saja menyampaikan
laporan. Bahkan, dialah yang pertama memberi sambutan.
"Aduh. Ampunkan saya yang buta ini, Kanjeng Pangeran. Sungguh saya tak mengira
kalau Pangeran yang datang bersama Tuan Pendekar Gila...."
"Sudahlah. Jangan kalian berlaku seperti
itu. Tanpa kalian, apalah artinya diriku ini." suara
Pangeran Pramudya bergetar. Matanya yang bening berkaca-kaca, tak mampu menahan
rasa haru yang tiba-tiba menyemak hatinya.
"Kalau begitu, kita tak boleh berlama-lama
berada di sini. Pasukan Lembah Merapi Merbabu
telah datang," ujar Senapati Saka Bawana yang
menjadi pemimpin gerakan itu. "Kita cegat mereka
sebelum sampai ke istana."
"Benar. Kanjeng Senapati. Saya khawatir
saat ini pasukan kita yang bermarkas di utara telah bertempur dengan mereka.
Sedangkan kekuatan kita hanya sepuluh orang," sahut prajurit yang
melaporkan kedatangan pasukan Ki Reksogeni.
"Maaf, Kanjeng Pangeran. Sudilah Raden tetap berada di sini dengan dijaga
beberapa orang prajurit. Bukan kami meremehkan kemampuan
Raden. Kami mengkhawatirkan kalau sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan,
suasana bisa bertambah kacau. Rakyat dan negara mengharapkan keselamatan Raden." Senapati
Saka Bawana mengucapkan kata-kata itu dengan hati-hati.
Takut membuat Pangeran Pramudya tersinggung.
"Hh.... Dengan berat hati aku menerima saran mu, Senapati," ujar Pangeran
Pramudya, mengangguk.
Akhirnya Senapati Saka Bawana, Ki Narotama, Pendekar Gila dengan disertai
beberapa prajurit dan panglima tinggi segera berangkat pergi.
Para prajurit dan panglima mengendarai kuda. Sedangkan Pendekar Gila, Senapati
Saka Bawana, dan Ki Narotama memilih mengerahkan ilmu lari
mereka. Sementara Mei Lie menerima saran Pendekar Gila untuk menjaga Pangeran
Pramudya. 10 "Reksogeni! Kakang Reksogeni!" Patih Abiyasa berteriak dari atas punggung kuda
putih. Ia memimpin sepuluh orang prajurit menyambut ke-
datangan pasukan Lembah Merapi Merbabu. "Atas
nama kerajaan, aku menyambut dengan gembira
kedatangan pasukanmu!"
Lelaki enam puluhan yang berpakaian ketat
warna hitam itu kemudian melompat dari punggung kuda. Dihampirinya Ki Reksogeni
yang telah turun dari kuda hitamnya.
"Ha ha ha.... Selamat berjumpa lagi, Adi Abiyasa! Kegagahanmu ternyata masih
seperti dulu,"
ujar Ki Reksogeni yang mengenakan jubah merah
menyala. Keduanya berjabat tangan dan saling berpelukan.
"Putramu menunggu di istana, Kakang Reksogeni," ujar Patih Abiyasa.
Dipersilakannya lelaki
berjuluk Naga Merah Dari Merapi itu naik kembali
ke kudanya. Patih Atriyasa sendiri segera melangkah menuju kudanya.
Namun, baru saja keduanya menarik tali
kekang kuda, tiba-tiba....
"Haiii... para pengkhianat! Manusiamanusia busuk seperti kalian harus enyah dari
muka bumi ini...!"
Terdengar bentakan keras menggelegar yang
dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Para prajurit kelihatan sangat terkejut.
Semua menoleh ke
arah suara bentakan itu.
Seorang lelaki setengah baya berpakaian lurik lengan panjang berdiri dengan
gagahnya di belakang para prajurit kerajaan. Di samping kanannya berdiri lelaki
tua berpakaian serupa. Matanya
yang tajam menatap Ki Reksogeni dengan menyi-
ratkan bara dendam.
"Saka Bawana, dan kau Narotama, apa yang
kalian inginkan?" dengus Patih Abiyasa menentang
pandang kedua lelaki berpakaian lurik itu.
"Huh! Keparat tak tahu malu! Seharusnya
aku yang bertanya, untuk apa para pemberontak
itu didatangkan kemari...?" bantah Senapati Saka
Bawana. "He he he...! Kalian tak berhasil bertindak
apapun pada kerajaan, Bawana," sahut Patih Abiyasa terkekeh. "Tahta raja telah
diduduki Pangeran Danuwirya. Dan ketahuilah, Pangeran Danuwirya adalah anak
Kakang Reksogeni."
Terbelalak mata Senapati Saka Bawana dan
Ki Narotama mendengar ucapan Patih Abiyasa. Selama ini mereka tidak mengetahui
kalau Pangeran Danuwirya anak seorang pemberontak kerajaan.
"Dan, Sekar Arum adalah anakku, Saka
Bawana. Ha ha ha...! Karena itu kukatakan, kalian
tak berhak tahu urusan kami. Dua puluh tahun
lamanya kami menunggu kesempatan baik ini.
Tanpa sepengetahuan kalian, kami telah mengatur
siasat ini. Kuserahkan istriku, Ayu Mustika, ketika
Raja Galih Kertarejasa menghendakinya untuk dijadikan selir. Inilah pembuka
jalan bagiku untuk
melanjutkan cita-cita. Aku ingin keturunan ku
menduduki tahta Kerajaan Bumi Segara."
Kegeraman Senapati Saka Bawana semakin
menjadi-jadi. Wajahnya yang keras terlihat merah
membara dengan mata membelalak tajam.
"Bedebah! Tak kusangka selama ini ada
musuh dalam selimut. Abiyasa, ingat kekejian ka-
lian tak akan mendapatkan hasil. Saat ini seluruh
rakyat masih menunggu kedatangan Pangeran
Pramudya. Asal kau tahu saja, Abiyasa dan kau
Reksogeni, usaha kalian untuk melenyapkan Pangeran Pramudya telah gagal. Ki
Lurah Brajanala
keparat itu telah mampus di tangan Pendekar Gila!"
Dengan penuh kemarahan Senapati Saka
Bawana berkata kepada Patih Abiyasa yang kini
diapit sepuluh prajurit pengiringnya.
"Kurang ajar!" bentak Patih Abiyasa murka.
Apalagi, ketika dilihatnya dari balik pepohonan
bermunculan dua puluh orang prajurit Senapati
Saka Bawana. "Serang...!"
"Serbuuu...!"
"Serang...!'"
Trang! Trang! Pekikan-pekikan keras penuh kemarahan
terdengar susul-menyusul memecah keheningan
pagi. Prajurit berkuda pendukung Senapati Saka
Bawana berlari menuju kancah pertempuran.
Dengan penuh semangat, pasukan Lembah Merapi
Merbabu yang dipimpin Senapati Sentanu pun
menyambut mereka.
Seketika pertempuran sengit pecah. Dentangan suara pedang, golok, serta keris
terdengar di sana-sini. Ditingkahi jerit kesakitan para prajurit yang bergelimpangan jatuh
dari kuda tunggangannya.
Darah segar membasahi tanah berumput di
pertigaan jalan tak jauh dari tapal batas kota itu.
Dalam sekejap belasan prajurit dari kedua belah
pihak tewas berjatuhan.
Di tempat yang agak terpisah dari kancah
pertempuran, Senapati Saka Bawana dengan gigih
menghadapi Patih Abiyasa. Sambaran-sambaran
keris lelaki berpakaian lurik itu berkelebatan mengancam. Namun sebagai seorang
patih, Abiyasa bukan lawan yang enteng. Setiap tusukan dan
sambaran senjata Senapati Saka Bawana dapat ditangkis atau dihindarkannya.
Keduanya bertarung dengan mengerahkan
ilmu andalan masing-masing. Keris Senapati Saka
Bawana memancarkan cahaya kemerahan setiap
kali berkelebat. Tidak percuma ia diangkat sebagai
senopati kerajaan. Kalau bukan Patih Abiyasa lawannya, mungkin sudah tewas
termakan keris pusaka yang mampu mengeluarkan hawa panas itu.
Di tempat lain, Ki Reksogeni bertarung dengan Ki Narotama. Lelaki berjuluk Naga
Merah Dari Merapi ini tak ingin memberi kesempatan pada lawannya untuk bertahan lebih lama


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Ki Narotama yang mantan senapati berusaha sekuat tenaga mengimbangi permainan
lawan. Tapi, tampaknya sia-sia. Ilmu lawan jauh lebih
tinggi di atasnya. Belum lima belas jurus pertarungan mereka, Ki Narotama telah
terdesak hebat.
Bahkan, dalam satu kesempatan Ki Reksogeni
mengebutkan jubah merahnya.
Wrrreettt! Suatu serangan dahsyat yang tak terduga
sama sekali. Sabetan kain merah itu mengeluarkan hawa panas dan memiliki daya
dorong yang sangat kuat. Tubuh Ki Narotama terlontar beberapa tombak. Padahal, sambaran itu
belum mengenai tubuhnya.
"Tak kusangka Ki Reksogeni memiliki kemampuan sehebat ini," gumam Ki Narotama
dengan mata membelalak heran. Ki Reksogeni dulu
hanya seorang senapati yang kemampuannya tidak terpaut jauh dengan dirinya. Dua
puluh tahun berpisah ternyata Ki Reksogeni telah mampu mengembangkan ilmunya secara
mengagumkan. "He he he... Kau tentu heran, Narotama.
Naga Merah yang kumiliki kini telah menyatu dengan jiwaku. Jangankan kau,
Narotama. Bocah
sinting murid Singo Edan itu pun dapat kupecundangi. Sudah tak tahan aku ingin
meremukkan kepalanya!" Ki Reksogeni tertawa mengejek melihat
keterkejutan Ki Narotama.
Tiba-tiba, Ki Reksogeni menoleh ke arah barat. Didengarnya gemuruh kaki kuda
mendatangi tempat pertempuran. Dua puluh orang penunggang kuda datang. Mereka para
narapidana yang
beberapa hari lalu dibebaskan oleh Patih Abiyasa.
Keterkejutan Ki Reksogeni lenyap seketika.
Kini mulutnya menyunggingkan senyum gembira.
Para narapidana segera menyerbu pasukan pendukung Senapati Saka Bawana. Sesaat
kemudian, dari arah selatan muncul lima belas orang penunggang kuda. Mereka para panglima
dan prajurit yang semalam berada di rumah Ki Narotama.
Pertempuran yang jauh lebih seru berlangsung. Pasukan Senapati Saka Bawana yang
mendukung Pangeran Pramudya terlalu keberatan
menghadapi lima puluh pasukan Ki Reksogeni.
Apalagi, ketika para narapidana yang bengis dan
tak kenal ampun membabi buta membantai lawanlawannya.
Jerit kematian berkumandang susulmenyusul. Prajurit Senapati Saka Bawana
satupersatu berguguran. Sementara itu, Ki Narotama
yang kewalahan menghadapi lawannya semakin
terdesak hebat. Sebuah pukulan tangan kosong Ki
Reksogeni mendarat telak di punggungnya setelah
dia berhasil mengelak dari tendangan keras lawan.
Lelaki berpakaian lurik lengan panjang itu terpental ke samping dan bergulingan
di tanah. Darah
merah merembes dari sela-sela bibirnya.
Dengan mulut meringis menahan sakit, Ki
Narotama berusaha bangkit berdiri. Tangannya
memegangi dadanya yang terasa sesak. Pukulan
lawan telah mengakibatkan luka dalam yang cukup parah. Baru saja dia berdiri, Ki
Reksogeni telah melompat sambil mengebutkan jubahnya.
Wuttt! Brrrts! "Hah...!"
Naga Merah Dari Merapi tersentak kaget
Tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah.
"Hi hi hi...! Ada apa, Ki?" tanya seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular
yang tiba-tiba melesat dan memapaki sambaran jubah Ki Reksogeni.
"Kaukah bocah edan berjuluk Pendekar Gila
itu..."!" Ki Reksogeni menatap penuh selidik Pendekar Gila yang cengengesan
sambil menggaruk-
garuk kepala. "Aha, begitulah orang menjuluki diriku," jawab Sena memicingkan mata kirinya.
"Hm. Sudah lama aku ingin bertemu denganmu, Bocah Edan! Kebetulan sekarang usil
mengganggu urusanku!" dengus Ki Reksogeni. Sena hanya cengar-cengir
mendengarnya. "Ah ah ah.... Pemberontak busuk seperti dirimu harus dihukum gantung di depan
rakyat, Reksogeni!"
"Kurang ajar! Heaaa...!"
Naga Merah Dari Merapi membentak keras.
Ia melompat mengebutkan jubah merahnya. Terciptalah deman angin kencang serta
hawa panas menyengat. Wuttt! "Hait!"
Pendekar Gila yang telah menyaksikan jurus itu tadi, ketika Ki Reksogeni
menyerang Ki Narotama segera melempar tubuhnya ke belakang.
Sambaran jubah yang telah berubah kaku itu
hanya menghantam tempat kosong.
Mengetahui lawannya dapat menghindar,
Naga Merah Dari Merapi segera memburunya dengan cepat. Kedua tangannya yang
membentuk cakar raga berkelebatan menyambar tubuh Sena. Lelaki berjenggot tebal
itu demikian gencar melancarkan serangan.
Pendekar Gila pun tampaknya tak ingin kecolongan. Menyadari lawannya bukanlah
tokoh sembarangan, dia tak bisa berbuat gegabah. Untuk
melecehkan seperti yang biasa dilakukan jika
menghadapi lawan yang ringan kini tak bisa dilakukannya. Setelah meliuk-liukkan
tubuh dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena kemudian memutar tubuhnya dengan cepat
Melihat jurus aneh yang digunakan Pendekar Gila, Ki Reksogeni sempat terkesima.
Namun kemudian segera ditepiskan perasaan itu. Dia terus memburu Pendekar Gila dengan
jurus 'Cakar Naga Api' yang menyebabkan jemari tangannya berubah merah membara. Gerakannya
yang cepat membuat Sena agak kebingungan. Ketika jubahnya yang lebar dikebutkan kuat-kuat,
tubuh Sena tergetar menahan deru angin kencang yang ditimbulkannya. Sampai....
"Hih!"
Wrrett! "Aaakhh!"
Pendekar Gila memekik tertahan. Sambaran
jubah lawan menyerempet punggungnya. Pemuda
berpakaian rompi kulit ular itu terhuyung-huyung
ke belakang. Hawa panas menyengat menjalari sekujur tubuhnya.
Tubuh Sena belum dapat berdiri seimbang
ketika Ki Reksogeni melesat memburunya. Sepasang Cakar Naga Api yang merah
membara menyambar tubuh Sena. Namun, Pendekar Gila melihat serangan ganas itu.
Cepat kakinya dihentakkan dan melenting ke udara.
"Huakhhh...!"
Kegagalan serangannya membuat Naga Merah Dari Merapi murka. Geraman keras
dikeluarkan lelaki berjubah merah itu.
Sementara dengan tubuh masih melayang
di udara Sena menyadari betul musuhnya benarbenar menginginkan kematiannya.
Kesempatan yang hanya beberapa kejap itu dipergunakan Pendekar Gila untuk menepukkan kedua
telapak tangan di atas kepala. Dan, saat mendarat dengan tegap di tanah dia
menghentakkan kedua telapak
tangannya yang terbuka ke depan.
'"Inti Brahma'! Heaaat..!"
Wusss! Serangkum api melesat memburu Ki Reksogeni yang juga tengah mengerahkan ajian
andalannya. Dari kedua tangan Ki Reksogeni melesat
cahaya kuning memapaki serangan 'Inti Brahma'
Pendekar Gila. Maka....
Wrrrs! Glarrr *** Sementara jauh di tempat lain, di dalam istana kerajaan, tengah terjadi
kekacauan. Belasan
prajurit pendukung Patih Abiyasa yang ditugaskan
berjaga di istana kewalahan menghadapi kemarahan rakyat. Entah siapa yang
mengerahkan para
penduduk kota untuk memasuki istana kerajaan.
Ratusan warga kota berbondong-bondong datang
dan mengamuk di istana setelah para prajurit gagal mencegah mereka.
"Mana pangeran gadungan itu...?"
"Bunuh dia...!"
"Bunuh saja anak pemberontak keparat
itu...!" "Dia tidak berhak atas tahta kerajaan kita.
Cincang saja tubuhnya!"
Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar di sana-sini. Mereka sebagian
berhasil memasuki istana. Sebagian lagi tengah bertarung
dengan para prajurit yang berjaga di pintu gerbang. Beberapa orang terlibat
bahu-membahu untuk dapat melompati pagar istana.
Rupanya, salah seorang prajurit pendukung
Senapati Saka Bawana telah memberitahu rakyat
kalau Pangeran Danuwirya ternyata anak Ki Reksogeni. Bukan putera mahkota dari
Kerajaan Tanjung Anom.
Di dalam istana, Permaisuri Ayu Mustika
dan Putri Sekar Arum kebingungan dan ketakutan. Demikian pula dengan Pangeran
Danuwirya. Di kamar pribadi Raja Galih Kertarejasa mereka
menyembunyikan diri. Pangeran Danuwirya telah
menghunus pedang untuk menjaga kemungkinan
masuknya warga kota ke ruangan itu.
Ternyata benar. Dari luar terdengar gemuruh kaki mendekati kamar itu. Sesaat
kemudian pintu digedor dengan keras. Beberapa lelaki dengan berbagai macam senjata tajam
telah berdiri di
depan pintu kamar.
"Keluar kau, Keparat! Pangeran gadungan
anak pemberontak, Bangsat! Keluar! Keluar!"
Seorang lelaki separo baya menggedor-gedor
pintu kamar dengan penuh kemarahan. Sebenarnya mereka menyadari tindakan seperti
itu tidak layak dilakukan di dalam istana. Namun, rasa
benci dan marah setelah mengetahui yang berkuasa di istana ternyata musuh besar
kerajaan memaksa mereka mengenyahkan rasa rikuh dan tidak sopan.
Ketika tidak mendapat sahutan dari dalam
kamar, salah seorang yang bertubuh kekar menendang pintu. Tapi, pintu kayu
berukir itu terlalu
kuat untuk dirobohkan. Baru setelah tiga orang
melakukannya secara serentak, tiba-tiba pintu dibuka dari dalam.
"Heaaa...!"
Wuttt! Crrasss! Crabb! Pekikan keras terdengar menyayat. Tiga
orang penduduk yang tadi hendak mendobrak pintu terjungkal dengan tubuh
berlumuran darah.
Seorang dadanya terbelah. Dua orang lagi leher
dan perutnya robek. Rupanya, Pangeran Danuwirya yang telah bersiap-siap dengan
pedangnya bergerak cepat membuka pintu lalu membabat dan
menusukkan senjatanya.
Melihat kejadian itu para penduduk yang
berada di luar kamar bertambah marah. Mereka
menyerbu masuk. Terjadilah pertarungan seru di
dalam kamar. Teriakan-teriakan Putri Sekar Arum
dan ibunya meningkahi pekikan para penduduk
yang mengeroyok Pangeran Danuwirya.
Pangeran Danuwirya ternyata bukan pemuda sembarangan. Di dalam ruangan yang
tidak seberapa luasnya dan menghadapi keroyokan lima
orang penduduk bersenjata tajam, dia mampu
mengatasi. Ketika salah seorang penduduk membabatkan parangnya, Pangeran Danuwirya melompat
keluar dari kamar. Beberapa orang yang berada di
luar langsung menghujaninya dengan sabetan dan
tusukan golok serta parang. Namun sekali lagi
pemuda bertubuh gagah dan berwajah tampan itu
berhasil mengelakkan diri dengan bergulingan di
lantai. Ketika itulah Pangeran Danuwirya mendengar jeritan istrinya, Putri Sekar Arum,
dari dalam kamar. "Diajeng...!" Pangeran Danuwirya menyambuti jeritan Putri Sekar Arum. Ketika dia
menoleh ke pintu terlihat Putri Sekar Arum dan ibunya telah ditangkap dua orang
pengeroyoknya. "Hiaaa...!"
Pangeran Danuwirya melenting dan bersalto
beberapa kali di udara. Cepat pedangnya berputar
menyambar beberapa orang di bawahnya. Seketika
pekikan-pekikan keras terdengar dari mereka yang
terbabat pedang Pangeran Danuwirya.
Pangeran Danuwirya berhasil mendarat
dengan sempurna tepat di depan Putri Sekar Arum
dan ibunya. Namun sayang, seorang penduduk
yang menggenggam golok besar telah lebih dulu
membabatkan senjata itu ke tubuh Pangeran Danuwirya. Babatan penuh kemarahan itu
mendarat telak punggung kanannya.
"Kangmas...!"
Putri Sekar Arum berteriak panik melihat
suaminya terhuyung-huyung dengan punggung
mengucurkan darah segar. Pemuda tampan itu berusaha tetap berdiri. Namun, rasa
sakit yang mendera punggung membuatnya sempoyongan. Sekali
lagi seorang penduduk membabatkan parang. Tapi, Pangeran Danuwirya sempat
melihatnya. Dengan gerakan yang tidak begitu cepat dia berhasil
mengelakkan serangan mengerikan itu. Ketika
langkahnya terjajar mundur itulah sebuah tendangan keras mendarat di punggungnya
yang telah robek oleh babatan golok.
Pangeran Danuwirya terjungkal ke lantai.
Beberapa saat tubuhnya menggeliat-geliat dengan
mulut mengerang kesakitan. Para penduduk
memperhatikannya. Permaisuri Ayu Mustika dan
Putri Sekar Arum menangis pilu melihat Pangeran
Danuwirya dalam keadaan luka parah.
Dua orang penduduk mendekat dan mengangkat tubuh Pangeran Danuwirya yang telah


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarat. Bagaimanapun bencinya mereka, melihat
penderitaan pemuda itu rasanya tak sampai hati.
Entah apa yang akan dilakukan para penduduk
itu. Mungkin akan ditolongnya, meskipun jika selamat tetap akan mendapat hukuman
sebagai musuh kerajaan.
Namun baru beberapa langkah mereka
menggotong tubuh penuh darah itu, kepala Pangeran Danuwirya terkulai ke samping
kiri. Nyawanya telah putus saat itu juga.
Putri Sekar Arum dan Permaisuri Ayu Mustika langsung menghambur memeluk tubuh
Pangeran Danuwirya. Ibu dan anak itu menangis sejadi-jadinya.
Para penduduk menangkap dan mengamankan Putri Sekar Arum dan Permaisuri Ayu
Mustika. Keduanya sebagai tahanan pihak kerajaan yang tetap akan mendapat
ganjaran berupa
hukuman. 11 "Aaakhh...!"
"Aaakhh...!"
Tidak hanya Pendekar Gila dan Ki Reksogeni yang mengeluarkan jeritan kesakitan.
Para prajurit yang sedang bertempur pun mengerang dengan tubuh meregang. Ada
pula yang bergulingan di
tanah. Hawa di sekitar tempat pertempuran berubah panas menyengat setelah
terjadi benturan hebat dua kekuatan api milik Pendekar Gila dan Ki
Reksogeni. Pendekar Gila yang terdorong beberapa
langkah ke belakang langsung menyatukan kedua
telapak tangan di atas kepala. Pemuda itu mengerahkan ajian 'Inti Salju' untuk
mengusir hawa panas yang menyelubungi udara di sekitar tempat
pertempuran. Sayang, belum berhasil Sena mengeluarkan
ajian itu Naga Merah Dari Merapi telah berteriak
keras. Suara dahsyat yang menggetarkan itu
membuat beberapa prajurit yang tengah dilanda
hawa panas terjungkal ke tanah. Yang lain menutup kedua telinga dengan telapak
tangan sambil menahan getaran di tubuhnya. Nampaknya, praju-
rit-prajurit itu mengerahkan tenaga dalam untuk
menahan pengaruh getaran. Namun apa yang terjadi" Telinga mereka mengeluarkan
cairan merah. Darah! Pendekar Gila yang berhasil membebaskan
diri dari pengaruh getaran segera menyadari keadaan itu. Marabahaya akan
menimpanya kalau
sedikit saja ia lengah menghadapi musuhnya. Sena teringat bagaimana dirinya
ketika berhadapan
dengan Pendekar Gila samaran. Kemampuan dan
ilmu tokoh-tokoh golongan hitam ternyata banyak
yang melebihi dirinya.
Sambil tetap mengerahkan tenaga dalam
untuk menahan pengaruh teriakan Ki Reksogeni,
Pendekar Gila meloloskan Suling Naga Sakti-nya.
Dengan tubuh gemetaran Sena menempelkan badan suling ke mulutnya. Terdengarlah
suara yang melengking nyaring. Sebentar meninggi sebentar
kemudian menurun, mengalunkan lagu yang sulit
diterka iramanya.
Mendengar alunan suara suling wajah tokoh berjuluk Naga Merah Dari Merapi tampak
berubah. Hatinya tergetar hebat. Sambil menggeram
dia menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
Sepasang matanya yang tajam berubah merah. Sekejap kemudian, dihentakkannya
kuat-kuat kedua telapak tangannya ke depan.
Wusss! Slats! Bersamaan dengan hentakan tangan Ki
Reksogeni yang mengeluarkan angin panas, mele-
sat selarik sinar kemerahan dari sepasang mata
kepala naga di suling Pendekar Gila. Hingga....
Glarrr...! "Huakh...!"
Ledakan keras menggelegar ketika kedua
kekuatan dahsyat itu bertabrakan di udara. Dengan tubuh terdorong ke belakang,
Naga Merah Dari Merapi memekik keras. Pendekar Gila pun tak
luput dari pengaruh dahsyat itu. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh ke
tanah. Keduanya segera bangkit berdiri. Ki Reksogeni tampak murka sekali. Ia memutar
kedua tangannya. Kejadian yang membuat para prajurit terkejut terlihat di tubuh
lelaki berjubah merah itu.
Tubuh Ki Reksogeni berubah wujud menjadi
seekor ular naga besar. Sepasang matanya menyala-nyala. Mulutnya yang besar
mengeluarkan raungan-raungan keras, seolah hendak menelan
tubuh Pendekar Gila. Naga besar berwarna kemerahan itu meliuk-liuk dengan
sepasang cakarnya
yang berkuku tajam, menyambar-nyambar tubuh
Sena. Namun dengan gesit dan secepat kilat Pendekar Gila melompat ke sana kemari
mengelakkan serangan naga jelmaan itu.
"Hi hi hi...! Ki Reksogeni, kenapa kau ubah
dirimu jadi belut macam begitu" Hea...!" Sena melompat tinggi menghindari
sambaran cakar naga
jelmaan Ki Reksogeni.
Ketika Sena berhasil menjauh dari lawannya, Suling Naga Sakti dilemparkan ke
tanah. Dari badan suling tampak asap putih keluar mengepul
ke udara. Asap putih itu bergulung-gulung membentuk sesosok makhluk. Ketika asap
putih sirna terlihatlah seekor ular naga berwarna keemasan.
Binatang itu langsung bergerak menghadang naga
merah yang hendak memburu Pendekar Gila.
"Hrrrkhhh...!"
"Hoarrrkhh...!"
Kedua naga itu akhirnya saling belit. Saling
cakar dan menggigit. Berusaha membinasakan satu sama lain.
"Hi hi hi...! Bertarunglah kau melawan nagaku, Ki Reksogeni...!"
Para prajurit yang tadi bertempur dengan
sengitnya kini terhenti dan terkesima menyaksikan
pertarungan aneh itu. Mereka lupa dengan keadaan masing-masing yang tengah
berada di medan
laga. Ketika suasana tegang menyelimuti medan
pertempuran, dari arah selatan tampak dua orang
penunggang kuda. Seorang pemuda berpakaian
kuning gading, dan temannya seorang wanita cantik berambut panjang. Mereka
adalah Pangeran
Pramudya Wisnutama dan Mei Lie. Keduanya pun
terkejut melihat pertarungan kedua naga itu.
Sementara Pendekar Gila memusatkan batin dan pikirannya. Kedua tangannya
diangkat ke atas kepala. Kemudian, perlahan-lahan ditariknya
ke dada dengan kedua telapak tangan telah saling
menempel. "Hhh.... Ilmu siluman seperti itu harus kumusnahkan dengan 'Ilmu Tamparan
Sukma'. Tak ada jalan lain bagiku," gumam Sena dalam hati.
Sena mendorong kuat-kuat kedua telapak
tangannya ke depan sambil mengeluarkan bentakan keras.
"Hah...!"
Jlegarrr...! "Hooaarrkhh...!"
Naga merah jelmaan Ki Reksogeni meraung
keras menggetarkan tempat pertarungan. Pukulan
Pendekar Gila yang tidak berwujud menghantam
tubuhnya. Naga itu terdorong beberapa tombak ke
belakang. Tubuhnya jatuh bergulingan di tanah.
Binatang itu meronta-ronta kesakitan. Beberapa
saat kemudian, naga jelmaan itu berubah kembali
menjadi Ki Reksogeni. Lelaki berjubah merah yang
wajahnya kini memucat itu membelalakkan mata
penuh kegeraman. Dalam keadaan tubuh masih
goyang, dia sempat mengebutkan jubahnya melancarkan serangan.
Pendekar Gila yang tak menduga serangan
tiba-tiba itu tentu saja terkejut. Ia menduga dengan Ilmu Tamparan Sukma
lawannya akan hancur
menjadi debu. Sena melompat ke samping untuk menghindar. Namun gerakannya terlambat. Serangan
jubah merah Ki Reksogeni berhasil menghantam
tubuhnya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
terlontar belasan tombak ke belakang. Dan, jatuh
tak jauh dari tempat Mei Lie dan Pangeran Pramudya berada.
"Kakang Sena...!" Mei Lie tampak khawatir
sekali. Sambil meringis menahan sakit, Pendekar
Gila bangkit berdiri. Ketika dilihatnya Mei Lie telah
melesat, Sena tak rela Mei Lie nekat menghadapi
Ki Reksogeni yang diketahuinya berilmu sangat
tinggi. Pendekar Gila cepat melesat memburu Mei
Lie. "Mei Lie!" teriak Sena. "Biarkan Naga Sakti
menghadapinya. Akan ku coba sekali lagi mengerahkan Tamparan Sukma sebelum dia
menjelma kembali menjadi naga...!"
"Aku akan membantumu dengan Ilmu
'Pedang Tebasan Batin', Kakang Sena!" balas Mei
Lie. Pendekar Gila hanya mengangguk sambil
nyengir Kedua muda-mudi itu mendekati Ki Reksogeni yang tengah kewalahan menghadapi
serangan Naga Sakti jelmaan Suling Naga Sakti.
Namun baru saja Mei Lie dan Sena berhasil
mendekat, Ki Reksogeni menghantamkan sebuah
pukulan dahsyat ke arah naga lawan.
Wusss! Jlegarrr...! "Hooaarrkh...!"
Naga Sakti meraung keras. Tubuhnya berubah kembali menjadi Suling Naga Sakti.
Ki Reksogeni yang berjuluk Naga Merah Dari Merapi memang tokoh yang sangat
lihai. Ilmu silumannya mampu menahan keampuhan Ilmu
'Tamparan Sukma' Pendekar Gila. Padahal, ilmu
itu sanggup membinasakan siluman macam apa
pun. Kini, Pendekar Gila dan Mei Lie mencoba
menggabungkan ilmu andalan mereka. Ilmu
'Pedang Tebasan Batin' yang mampu menghancurleburkan tubuh lawan akan digabung
dengan Tamparan Sukma.
Keduanya telah bersiaga ketika Ki Reksogeni mengalihkan perhatian kepada mereka.
"Heaaa...!"
Wuttt! Lelaki berjubah merah itu mendorong kedua
telapak tangannya. Namun, Sena dan Mei Lie yang
bersiaga penuh segera melentingkan tubuh ke
udara. Sambaran angin kencang berhawa panas
itu pun tak mengenai sasaran.
Glarrr...! Glamr...!
Brakkk! Dua batang pohon besar terhantam serangan Ki Reksogeni. Keduanya langsung
tumbang dengan batang gosong seperti terbakar.
Ketika berhasil mendarat di tanah dengan
sempurna, Sena tak mau membuang-buang waktu. Dihantamkannya Ilmu 'Tamparan
Sukma'. Wusss! Brrets! Terhantam telak pukulan jarak jauh Sena,
Naga Merah Dari Merapi terhuyung ke depan beberapa tombak. Ketika berhasil
mengembalikan keseimbangan tubuhnya, sebuah sambaran pedang
Mei Lie melesat dari samping.
Wuttt! Crrass! Pedang Mei Lie berhasil mengenai lawan.
Tapi, lelaki berjubah merah itu tak menghiraukan
tangannya yang tersambar pedang Mei Lie. Memang, bekas sambaran itu tidak
memperlihatkan luka atau goresan sedikit pun. Tentu saja kenyataan ini mengejutkan orang-orang
yang menyaksikan pertarungan.
Ki Reksogeni hendak mengebutkan jubahnya menyerang Mei Lie yang masih berjarak
dua tombak di depannya. Tapi, Pendekar Gila telah
mendahului. Pemuda berambut gondrong itu mengulangi lagi pukulan ilmu 'Tamparan
Sukma'-nya. Jleglarrr...! Tak terdengar teriakan atau erangan dari
mulut Ki Reksogeni. Tubuh lelaki berjubah merah
itu retak-retak bagai sebuah batu pualam. Sesaat
kemudian, ketika angin berhembus keras, tubuh
tua itu hancur menjadi debu!
Semua yang berada di tempat pertempuran
terkejut. Anak buah Naga Merah Dari Merapi
maupun para prajurit kerajaan membelalakkan
mata penuh takjub dan heran. Mereka tak percaya
melihat apa yang baru saja terjadi.
Bagai tersadar dari sebuah mimpi, mereka
kemudian saling berpandangan. Ketika menyadari
keadaan, pasukan Lembah Merapi Merbabu yang
tinggal lima belas orang serta-merta menjatuhkan
diri di depan Pendekar Gila.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Kami kalah. Kami menyerah. Ampunkan nyawa kami!"
Begitu pula prajurit yang mendukung Patih
Abiyasa. Mereka yang tinggal lima orang langsung
berlutut di depan Sena ketika mengetahui Patih
Abiyasa telah tewas di tangan Senapati Saka Ba-
wana. Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala
sambil cengengesan.
"Bukan kepadaku kalian minta ampun. Kalian tetap akan mendapat hukuman dari
raja. Mohonlah ampun kepada Kanjeng Pangeran Pramudya," ujar Sena menunjuk
Pangeran Pramudya


Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang masih duduk di punggung kuda putih tak
jauh dari tempat itu.
"Prajurit, tangkap mereka!" Senapati Saka
Bawana memberi perintah pada anak buahnya.
Beberapa prajurit dan panglima, termasuk
Panglima Ganjar Seta, segera meringkus para
pemberontak. Mereka digiring menuju Pangeran
Pramudya yang memandang mereka dengan wajah
dingin. "Kanjeng Pangeran, semua kami serahkan
pada Raden," ujar Senapati Saka Bawana.
"Bawa mereka ke istana. Kita beri ganjaran
sesuai dengan hukum yang berlaku!" titah Pangeran Pramudya.
Para pemberontak itu pun digiring menuju
tapal batas kotaraja. Mereka berjalan beriringan
menuju istana. Di belakang mereka Pangeran
Pramudya berdampingan dengan Senapati Saka
Bawana dan Ki Narotama mengiringi dengan menunggang kuda. Sementara Mei Lie dan
Pendekar Gila berjalan kaki.
"Hh... Untung saja kau datang Mei," gumam
Pendekar Gila. "Kalau pun aku tak datang kau tetap dapat
mengalahkannya, Kakang Sena. Ki Reksogeni me-
mang tak dapat dikalahkan jika ia merubah dirinya menjadi naga. Tapi dia tak
mampu merubah wujudnya sampai dua kali. Jika naga jelmaan dirinya tak mampu mengalahkan lawan,
Ki Reksogeni akan mendapat celaka. 'Tamparan Sukma'mu akan mempan di tubuhnya
bila Ki Reksogeni
dalam keadaan asli...," tutur Mei Lie menjelaskan.
"Pangeran Pramudya mengetahui banyak
tentang kelemahan Ki Reksogeni dari Resi Ranujelaga. Karena itulah beliau
menyuruhku menyusul
kemari. " "Hh. Baru kali ini kutemukan tokoh selihai
Ki Reksogeni," ujar Sena.
"Kakang Sena...!"
Tiba-tiba terdengar seseorang memanggil
Pendekar Gila. Mei Lie dan Sena menoleh ke belakang.
Seorang pemuda bertubuh tambun tengah
berlari-lari kecil menghampiri kedua pendekar
muda itu. Perutnya yang buncit bergoyang ke kanan dan ke kiri seolah hendak
lepas. "Dogol! Ke mana saja kau"!" tanya Sena setengah membentak. Ditatapnya lekat-
lekat wajah pemuda gendut yang ternyata Dogol. (Untuk mengetahui tentang tokoh lucu ini
silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode: "Serikat Serigala Merah"). "Orang sedang menghadapi
kesusahan kau tinggalkan begitu saja. Kini setelah semuanya selesai baru kau muncul. Apa
gunanya"!"
Mendengar bentakan Sena yang memasang
wajah garang dan menakutkan, Dogol gemetar ketakutan.
"Ampunkan saya, Kakang Sena. Aku bukan
enak-enak menghindari kesusahan ini. Justru aku
baru saja dari istana. Rakyat marah dan memasuki istana. Mereka tanpa rasa takut
sedikit pun membunuh para prajurit yang menjaga Pangeran
Danuwirya. Bahkan, pangeran itu tewas direjam
oleh mereka..."
"Heh"!" Sena tersentak kaget mendengar keterangan Dogol. "Ya, ya. Sudahlah! Aku
tidak marah kepadamu, Dogol!" ujarnya kemudian sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Dogol tersenyum. Dia melangkah mendahului Sena, menyusul Mei Lie yang telah
berjalan lebih dulu. Ketiganya terus berjalan mengikuti dari
kejauhan para prajurit kerajaan yang menuju istana.
Matahari pagi telah sepenggalah tingginya.
Sinarnya menerangi dan menghangatkan Kerajaan
Bumi Segara. Cerahnya matahari pagi seolah turut
menyambut kemenangan mereka dalam menumpas para pemberontak....
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Sakti 12 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Terdampar Di Pulau Hitam 2
^