Kalung Keramat Warisan Iblis 2
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis Bagian 2
"Aku bisa mengerti. Kau telah menyelamatkan
jiwaku, Tuan Pendekar. Terima kasih. Aku akan membalas segala kebaikanmu...,"
ujar Sentanu dengan suara masih terdengar lemah.
"Ah! Janganlah kau berterima kasih padaku.
Kau harus mengucapkannya pada Yang Maha Kuasa.
Aku hanya perantara. Semua nasib dan umur manusia
hanya Sang Hyang Widhi yang menetapkan."
Selesai berkata begitu, Sena segera bangkit
mendekati Sentanu.
"Bagaimana dadamu" Apakah masih terasa
nyeri?" tanya Sena kemudian.
"Agak lebih enak, namun tubuhku masih le-
mas...," jawab Sentanu perlahan.
"Sebaiknya kau istirahat beberapa hari. Biar
kau kuantar pulang."
"Tidak usah. Terima kasih.... Aku dapat pulang
sendiri. Aku sudah cukup merepotkan Tuan Pendekar...."
"Jangan lagi kau menyebutku Tuan Pendekar.
Panggil saja aku Sena," ujar Sena.
"Baiklah."
"Ayolah, biar kau kuantar sampai perbatasan
desa ini...," kata Sena, sambil bergerak membantu
Sentanu bangun. Sentanu masih terlihat lemas, membuat Pendekar Gila tak tega
melepas lelaki itu pulang
sendiri ke Kadipaten Pakisaji.
"Sobat, biarlah aku menemanimu ke kadipaten.
Aku tak ingin terjadi lagi hal yang tak diharapkan menimpa dirimu."
Dengan tulus Sena berkata pada lelaki di sampingnya. Sentanu terharu mendengar
ucapan Sena. "Oh, Gusti...! Ternyata masih ada orang yang
mau berbaik hari menolongku. Terima kasih, Sena...,"
Sentanu memeluk Sena dengan penuh kegembiraan
bercampur haru.
Pendekar Gila hanya cengengesan dan membalas pelukan Sena. Setelah melepas
pelukan, Sena menggaruk-garuk kepala seperti kebiasaannya. Kedua
lelaki itu kemudian melangkah menuruni jalan yang
landai menuju arah barat.
5 Goa Neraka tampak menyeramkan meskipun
diterangi obor di beberapa bagian dindingnya. Karena
hampir di setiap sudut dinding terpajang tengkorak
manusia dan tubuh binatang buas yang diawetkan.
Seperti ular sebesar paha manusia yang melingkar tepat di atas sebuah singgasana
yang terdapat di dalam
ruangan goa. Ular sanca yang telah dikeringkan itu
bagai masih hidup dengan mulut menganga. Tak kurang dari sepuluh meter panjang
ular langka itu. Goa
Neraka adalah goa tempat tinggal Rekso Bagaspati.
Saat itu dia sedang duduk di singgasananya. Wajahnya
tampak memerah karena menahan amarah. Dan tibatiba Rekso Bagaspati berdiri
sambil mendengus keras.
"Huh!"
Kemudian Rekso Bagaspati mondar-mandir dengan langkah lebar. Tangan kirinya
terus mengusapusap kumisnya yang lebat, sedang tangan kanannya
bertolak pinggang. Langkahnya yang berdebam keras
seperti akan meruntuhkan dinding goa itu.
"Ghrrr.... Bodoh! Gegabah! Seharusnya kau bisa membunuhnya! Dan aku heran,
kenapa pemuda gila itu dapat mengetahui racun yang kau campur dalam
minuman itu" Mungkin kau memancing kecurigaan
pemuda itu, Ronggo...!" hardik Rekso Bagaspati dengan
suara menggema.
"Ampuni aku, Ayah. Tapi seingatku, pemuda itu
berdiri di dekat jendela dan tidak mempedulikan ku...,!
jawab Ronggo Lawe sambil menunduk, tak berani menatap wajah ayah angkatnya.
"Aneh, benar-benar aneh! Rupanya pemuda
sinting itu memiliki ilmu cukup tinggi. Mungkinkah
pemuda itu yang kita cari...?"
Sejenak Rekso Bagaspati berpikir dan duduk
kembali di singgasananya.
"Ha ha ha.... Aku ingat pada jurus dan lagaknya. Ya, tak salah lagi. Dia pasti
Pendekar Gila yang
tersohor itu!"
"Pendekar Gila"!" ulang Ronggo Lawe kaget. La-
lu menatap Rekso Bagaspati yang masih tertawa tergelak-gelak.
"Kali ini aku tak akan gagal mengupas kulitnya!
Ha ha ha.... Ronggo! Kemari kau!" perintah Rekso Bagaspati.
Ronggo Lawe segera mendekati. Kemudian Rekso Bagaspati membisikkan sesuatu pada
anak angkatnya. Ronggo Lawe mengangguk-angguk sambil tersenyum, tanda setuju.
"Suatu rencana yang sempurna, Ayah. Ha ha
ha...!" "Ingat pesanku tadi. Kali ini jangan sampai
gagal. Kita akan lebih leluasa kalau Pendekar Gila
mampus! Aku akan menguasai jagat ini, rimba persilatan ini. Ha ha ha...!"
Suara tawa Rekso Bagaspati menggema sampai
keluar goa yang terletak di dalam hutan angker itu.
Binatang-binatang yang malam itu sedang tertidur,
mendadak terbangun mendengar tawa manusia iblis
itu. Binatang yang telah dikeringkan di dalam goa itu
seperti ikut tertawa juga. Sementara ular sanca yang
melingkar di atas singgasana Rekso Bagaspati pun bagai hidup. Matanya
memancarkan sinar merah darah,
dan lidahnya seakan menjulur panjang keluar, menjilati kepala Rekso Bagaspati
yang berada tepat di bawahnya.
Tawa Rekso Bagaspati perlahan-lahan hilang.
Suasana kembali sepi mencekam. Kemudian Rekso
Bagaspati bangkit dan melangkah ke sebuah pintu goa
yang tertutup. Dengan menghentakkan tangan kanannya ke dinding pintu itu,
seketika pintu itu terbuka.
Asap merah bercampur biru mengepul ke luar. Rekso
Bagaspati melangkah masuk, lalu pintu tertutup kembali.
Di dalam ruangan yang cukup luas, terdapat
sebuah ranjang bulat berukuran lebar yang cukup untuk empat orang. Ranjang itu
terbuat dari batu-batu
besar yang ditata sedemikian rupa. Di atasnya tertumpuk dedaunan yang telah
dikeringkan sebagai kasur,
dan dialasi oleh kulit rusa. Di kanan dan kiri ranjang
aneh itu ada obor besar untuk menerangi ruangan.
Begitu Rekso Bagaspati merebahkan tubuhnya
di ranjang itu, empat wanita muda yang cantik-cantik
masuk dari pintu-pintu rahasia. Pakaian mereka minim dengan bagian dada dan
bawah hanya ditutupi
kulit binatang. Keempatnya langsung naik ke atas ranjang mereka siap melayani
nafsu Rekso Bagaspati yang
luar biasa. Tak heran karena Rekso Bagaspati setengah manusia, setengah setan!
Ia titisan setan dengan
kalung Safir Bermata Iblis!
Dengan buasnya Rekso Bagaspati menerkam,
menciumi dan menggeluti salah seorang dari empat perempuan muda itu. Sedang yang
lain terus membangkitkan birahi Rekso Bagaspati dengan segala cara. Mereka harus
bisa memuaskan Rekso Bagaspati dan menuruti semua kehendaknya. Kalau tidak,
perempuanperempuan itu akan lebih cepat dibunuh dan darah
serta dagingnya dimakan untuk memperpanjang ilmu
setan Rekso Bagaspati.
Setiap bulan purnama, pasti akan ada korban
untuk persembahan bagi guru Rekso Bagaspati yang
tak lain arwah bekas pemimpin orang-orang aliran setan yang dikenal dengan
sebutan Dedemit Kolobendono. Ia baru menampakkan dirinya jika Rekso Bagaspati
telah menyediakan darah perawan! Wujudnya sangat
menyeramkan. Akibatnya Rekso Bagaspati harus mendapatkan darah perawan bila
waktunya tiba. Jika tidak, dia akan kehilangan ilmu sekaligus jiwanya.
Seringkali Rekso Bagaspati turun sendiri untuk
mencari darah perawan. Itu sebabnya Rekso Bagaspati
sangat ingin sekali memusnahkan Pendekar Gila yang
selalu membela kaum lemah. Dan Pendekar Gila merupakan musuh utamanya! Dan harus
dibinasakan dengan segala cara.
*** Sena Manggala berada di Kadipaten Pakisaji,
tempat Sentanu tinggal. Tampak dia baru saja ingin
meninggalkan kadipaten itu setelah mengantar Sentanu. Karena dia harus kembali
meneruskan pencarian
jejak Rekso Bagaspati.
"Sebenarnya kami ingin menahanmu tinggal satu-dua hari lagi di sini. Tapi kami
tak bisa memaksa.
Namun demikian, sudilah kau mampir lagi ke tempat
yang sederhana ini," ujar Sentanu, melepas kepergian
Sena. Sena hanya tersenyum sambil menggarukgaruk kepala.
"Terima kasih. Kalau Tuhan mengizinkan, aku
akan kembali kemari," jawab Sena bersahabat.
Selesai berkata begitu, Pendekar Gila segera
melangkah pergi. Sentanu memperhatikannya dengan
penuh haru, mengiringi kepergian Sena. Seraya melangkah, Sena melambaikan
tangan. Dan dibalas oleh
Sentanu dan beberapa muridnya. Perpisahan yang
sangat mengharukan bagi mereka. Namun mereka sama-sama menyadari, bahwa sebagai
manusia, mereka
tidak bisa menghindar dari perpisahan. Terlebih perpisahan tersebut terjadi
karena Sena harus melanjutkan
tugasnya untuk menegakkan kebenaran.
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap
tubuh Sena telah berada di pesisir Pantai Banjaran, di
mana sehari sebelumnya dia bermalam di tempat itu
bersama Sentanu.
Sejenak Sena menghentikan larinya. Matanya
memandang ke sekeliling tempat itu. Kemudian perjalanannya diteruskan. Sena tiba
di perbukitan yang
tampak sepi. Sementara itu matahari yang tadi berada di sebelah timur, kini telah berada di
atas kepala Sena. Terik matahari membuat Pendekar Gila menyeka keringat yang
membasahi keningnya. Kemudian tubuhnya
melesat pergi ke arah timur.
Ketika Sena sampai di tempat lapang yang dikelilingi batu cadas, terdengar
keributan dari arah bawah
tempatnya berdiri. Hal itu mengundang perhatian pemuda tampan itu. Bergegas
tubuhnya mencelat ke
pinggir jurang. Dari tempat itu, mata Sena dapat melihat seorang wanita berbaju
warna biru muda tengah
dikeroyok dua lelaki berwajah bengis.
Ditilik dari penampilan dan sikap kedua lelaki
itu, tampaknya mereka bermaksud merampok sekaligus hendak menggagahi gadis yang
dikeroyok. Wanita yang rambutnya digelung dengan sebagian sisa rambutnya dibiarkan terurai
di bagian belakangnya, tampak gesit menangkis atau menyerang kedua perampok yang
bertingkah konyol itu. Pedang wanita itu beradu dengan senjata perampok yang
berbentuk tombak bermata tiga dengan panjang hanya setengah tombak biasa.
Karena kain yang dikenakan wanita itu memiliki belahan di depan tanpa celana
panjang di baliknya
maka ketika kakinya menendang tinggi, terlihat jelas
paha dan betisnya yang putih dan mulus.
Saat itu kedua pengeroyoknya sesaat menghentikan serangan. Mata mereka langsung
melotot menyaksikan keindahan yang luar biasa tersebut.
Melihat lawannya terkesima, wanita yang dikeroyok tak menyia-nyiakan kesempatan
baik yang dimi-
likinya. "Heaaa...!"
Dengan cepat wanita itu membabatkan pedangnya ke arah kedua perampok itu. Kontan
saja mereka yang menghentikan serangannya karena terpana akan
kemulusan paha dan betis wanita ayu itu, menjadi pucat.
Seorang dari mereka yang terlambat menghindar hampir saja tergores ujung pedang
wanita itu, kalau saja temannya tidak menubruknya ke samping
dengan cepat "Hah"! Hampir saja leherku amblas!" maki lelaki yang hampir terbabat lehernya
itu. Mereka segera siap menyerang wanita itu kembali. Keduanya melabrak serentak
dengan senjata masing-masing, seolah begitu bernafsu untuk menjadikan
wanita itu sebagai bulan-bulanan mereka.
Pedang perempuan itu kembali beradu dengan
tombak bermata tiga milik para penyerangnya. Namun
kemampuannya untuk bertahan menghadapi senjatasenjata maut itu tidaklah lama.
Kedudukannya makin
tidak menguntungkan, dikepung dari dua penjuru.
Sampai akhirnya sinar putih berkelebat di depan hidung wanita itu dari atas ke
bawah dan.... Bret! Bret! Bret..!
Ketika wanita itu memandang ke bawah, ternyata tiga kancing bajunya tersingkap
lebar. Sepasang
mata lelaki botak dan kawannya langsung membelalak
menyaksikan satu pemandangan yang begitu menggiurkan.
Wanita itu cepat-cepat menutupi pakaiannya
seraya melompat mundur. Si botak tertawa tergelakgelak dan tampak dia menelan
ludah, lalu menjulurkan lidahnya. Belum sempat wanita itu merapikan pakaian
atasnya, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda
menuju tempat itu.
Ternyata pengendaranya adalah seorang lelaki
berwajah jelek dan berikat kepala kulit macan tutul.
Mata sebelah kirinya rusak seperti bekas bacokan. Wajahnya yang persegi dihiasi
alis tebal, hidung lebar dan
kumis lebat yang panjang. Tak terlihat keramahan di
bibir penunggang kuda itu, terlebih untuk memperlihatkan senyum. Dialah pemimpin
dua orang yang mengeroyok wanita itu. Pundaknya menyandang pedang, tanpa memakai baju. Dadanya
yang berbulu lebat bagai orang utan membuat perempuan itu makin
dilanda ketakutan. Apalagi ketika lelaki yang baru datang itu dengan kasar
menarik tubuhnya ke atas kuda.
"Ha ha ha.... Kakang, kau datang tepat pada
waktunya! Untuk menikmati santapan lezat ini, bukan..." Ha ha ha...!" sambut
lelaki berkepala botak
sambil memegangi perutnya yang buncit tanpa tertutup baju
"Jangan...! Lepaskan... lepaskan!" teriak perempuan itu sambil berusaha berontak
ketika hendak dinaikkan ke punggung kuda.
"He he he.... Jangan nakal, Manis.... Nanti kau
akan merasakan nikmatnya surga dunia.... Ha ha
ha...!" ujar lelaki berkepala botak. Didorong dan diremasnya pantat perempuan
yang padat itu agar dapat
segera naik ke punggung kuda milik pemimpinnya.
"Auw! Kurang ajar!" bentak perempuan itu seraya terus meronta liar.
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa rasa kasihan, lelaki yang berada di atas
punggung kuda terus menjambak rambut perempuan
itu. "Akh...!"
Perempuan itu memekik kesakitan. Pada saat
itu lelaki berkepala botak dengan kuat mendorong tubuhnya ke atas kuda sampai
terduduk di depan lelaki
berwajah jelek "Dimas berdua tunggu di sini. Aku akan menikmati betina ini sepuas-puasnya.
Setelah itu, baru
Dimas berdua boleh ambil," ujar lelaki berwajah jelek
itu, setelah menotok wanita di depannya.
Selesai berkata demikian, lelaki itu melarikan
kudanya. Tapi baru saja kudanya dilarikan lima tombak, tiba-tiba muncul
seseorang menghadang lari kudanya.
"Bangsat..! Siapa kau..."! Kurang ajar!" bentak
orang itu keras dengan suara serak. Matanya mendelik
marah sekali! "Kau yang kurang ajar, Lelaki Pengecut! Kau
hanya berani sama perempuan! Manusia macam kalian memang perlu diberi
pelajaran!" umpat Pendekar
Gila sambil menggaruk-garuk kepala serta cengengesan. Tingkahnya yang aneh
seperti orang gila itu membuat lelaki berwajah jelek marah karena merasa dihina
begitu rupa. "Kau benar-benar cari mampus, Pemuda Sinting! Kau bicara seenaknya. Apa kau
tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa"!" geramnya penuh amarah.
"Dengan orang utan yang tidak mengerti adat!
He he he...!" jawab Sena disusul tawa mengejek
"Bangsat! Minggir kau, atau..."
Lelaki itu tak melanjutkan ucapannya. Dia
bermaksud langsung menerjang Sena dengan kudanya. Namun entah kenapa kuda itu
tak mau bergerak, seakan takut pada Pendekar Gila yang berdiri tenang tempatnya
sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya tak bergerak sejengkal pun.
Mau tak mau orang itu melompat cepat dari
kuda. Diikuti dengan jatuhnya tubuh perempuan malang yang masih tertotok kaku.
Lelaki berkepala botak beserta kawannya sege-
ra mengurung pemuda tampan namun bertingkah
aneh yang mencari perkara. Senjata mereka terhunus
di tangan masing-masing. Tombak bermata tiga seperti
mengancam tubuh Sena dengan pantulan sinar di
ujung-ujungnya.
Tapi hal itu sama sekali tidak membuat Sena
bergeming dari tempatnya.
"Orang-orang utan ini kenapa jadi marahmarah tak karuan" Hi hi hi...!" ejek
Sena. "Setan alas!"
Amarah lelaki berwajah jelek itu meledak.
"Kau mau mengantar nyawa pada Baga Sura!"
Sret! Lelaki berwajah jelek yang mengaku bernama
Baga Sura itu menghunus pedangnya
"Cincang saja tubuhnya, Kakang...!" seru lelaki
berkepala botak sambil memainkan tombak bermata
tiganya, diikuti temannya yang ternyata bisu. Lelaki itu
hanya bisa tertawa dan mengangguk.
Baga Sura mengayunkan pedangnya di depan
hidung Sena. Pendekar Gila hanya menundukkan kepala. Lalu dengan gerakan yang
sukar ditangkap mata,
tubuhnya berkelebat ke kanan dan menghantamkan
pukulan ke rusuk Baga Sura.
Des! "Aaa...!"
Baga Sura memekik panjang. Tubuhnya terhuyung lima tombak ke belakang. Lelaki
berkepala botak dan temannya tersentak dan mulai ragu untuk
menyerang Pendekar Gila yang tetap cengengesan
mengejek mereka.
"Ternyata kalian hanya orang-orang besar mulut! Tak cocok dengan tampang seram
kalian!" ejek Sena lagi, lalu tertawa riuh rendah.
Baga Sura yang masih sempoyongan berusaha
menyerang Sena kembali. Dia tidak peduli lagi pada
darah segar yang menetes dari mulutnya. Matanya
mendelik penuh amarah, siap melabrak
"Heaaa...!"
Baga Sura membabatkan pedangnya beberapa
kali dengan cepat sambil menerjang ke wajah. Pedangnya berkelebat bertubi-tubi.
Ilmu pedangnya asing dan
aneh di mata Sena. Tapi Pendekar Gila mampu menghadapinya dengan ilmu
meringankan tubuh yang sempurna. Gerakannya seperti lamban, namun sebenarnya
tidak. Itu karena ilmu yang dimiliki Sena sangat tinggi.
Akibatnya tebasan pedang Baga Sura hanya membabat
angin dan batang pohon.
Cras! Pendekar Gila bersalto beberapa kali di udara.
Kemudian kakinya mendarat ke tanah dengan ringan
di belakang Baga Sura. Dicoleknya punggung Baga Sura dari belakang.
Baga Sura membalik cepat. Dia kaget. Saat itu
Sena menyentakkan pukulan yang tak begitu keras di
dada Baga Sura.
Desss! Baga Sura kembali terpental ke belakang dan
membentur anak buahnya yang berkepala botak yang
sejak tadi hanya menonton. Melihat ketangguhan ilmu
silat Pendekar Gila, nyali lelaki berkepala botak itu jadi
menciut. Dia segera memutuskan untuk cepat-cepat
menggotong Baga Sura yang terkulai tanpa daya.
Sementara itu wanita yang belum diketahui
namanya masih tergeletak di tempatnya dalam keadaan tertotok. Sena segera
menghampirinya dan dengan satu gerakan, Sena melenyapkan totokan itu. Wanita
yang berparas cantik dan bertubuh bahenol itu
tersadar. "Oh...! Ke mana manusia-manusia keparat
itu"!" seru perempuan itu, lalu dia berdiri dan membereskan pakaiannya yang
koyak. Sena diam tak menjawab. Pendekar muda itu
nampak acuh saja melihat tingkah perempuan di dekatnya.
"Tentunya Tuan yang telah menolongku. Terima
kasih. Aku tak akan lupa membalas kebaikan Tuan...,"
ucap perempuan itu dengan suara lembut sambil mendekati Sena yang terus
menggaruk-garuk kepala. "Namaku Sekarsari.... Tuan siapa?"
Pendekar Gila segan menjawab pertanyaan wanita yang mengaku bernama Sekarsari
itu. Kakinya malah melangkah menjauhi tempat itu.
"Sebaiknya kau pergi. Pulanglah ke desamu.
Hari sudah menjelang malam. Tak baik seorang perempuan berjalan bersama laki-
laki. Lagi pula, aku
bukan laki-laki yang suka ditemani perempuan."
Mendengar tutur kata Sena, Sekarsari hanya
tersenyum. Perempuan itu makin mendekati Sena
yang terus berjalan meninggalkannya. Merasa tidak
dipedulikan, Sekarsari mulai mencari akal. Sejenak dia
berpikir sambil terus menguntit Sena.
Beberapa hari ini aku menemukan orang yang
aneh-aneh. Pertama orang bercaping dengan pakaian
sama dengan Rekso Bagaspati yang begitu saja menghilang. Kini aku bertemu
perempuan yang cukup cantik. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada
diri perempuan yang mengaku bernama Sekarsari ini.
Ah...! Dunia makin tua. Makin banyak orang aneh! Gerutu Sena dalam hati sambil
melangkah. Sena terus
berpikir tentang manusia-manusia aneh yang begitu
muncul terus menghilang. Seperti halnya orang bercaping yang ditemuinya di
kedai. "Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan Sekarsari yang mem-
buat Sena menghentikan langkahnya dan menoleh ke
belakang. Dilihatnya perempuan muda yang cantik
dengan dandanan seronok itu terjatuh. Sepasang tangannya memegangi kaki kanannya
yang mungkin terkilir atau digigit binatang. Sena tak langsung menghampiri.
Pemuda itu hanya menggaruk-garuk kepala
sambil cengar-cengir.
"Tolong...! Tolong kakiku, Tuan. Aduh....
Huuu...!" rengek Sekarsari. Wajahnya tampak menahan sakit. Sena yang memang
tidak bisa melihat wanita dalam kesusahan, mau tak mau melangkah mendekati
Sekarsari yang sedang meringis kesakitan.
"Tolong kakiku, Tuan... Di bagian ini terasa kejang," ujar Sekarsari sambil
menunjuk bagian pahanya
yang tersingkap dengan tangan kanan. Paha mulus itu
terlihat jelas di mata Sena. Sena membuang muka
sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dia kembali berdiri dan melangkah
meninggalkan Sekarsari. Ternyata
Sekarsari hanya berpura-pura, karena dia tak ingin ditinggal oleh Sena.
Sekarsari tersenyum genit seraya
menggigit bibirnya. Kemudian dia bangkit mengejar
Sena yang sudah tiga tombak di depannya.
"Apakah Tuan marah padaku?" tanya Sekarsari
setelah berada di samping Sena.
Sena tak menjawab. Pandangannya lurus ke
depan. Wajahnya tampak kesal.
"Maafkan aku, Tuan. Tapi bukan maksudku
mempermainkan Tuan. Aku hanya tak ingin ditinggal
sendirian di daerah yang penuh dengan orang-orang
jahat ini," ujar Sekarsari dengan suara masih lembut
Sena menghentikan langkahnya, lalu menatap
Sekarsari dengan pandangan menyelidik. Tatapan mata Sena tajam, bagai menembus
sukma perempuan itu.
Sekarsari yang dipandang demikian rupa jadi gugup.
Kepalanya segera menunduk. Sena malah cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala.
"Kau belum menceritakan kenapa kau sampai
dihadang oleh orang-orang tadi. Lalu, apa tujuanmu
memasuki daerah rawan ini?" tanya Sena menyelidik.
Nada suaranya tegas.
"Mungkin... aku akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau menerangkan
siapa dirimu dan mengapa mau menolongku," ungkap Sekarsari
dengan suara lebih tegas. Tak selembut tadi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya lagi, lalu
menggeleng-geleng.
Kau tak perlu tahu namaku, aku hanya manusia biasa yang tak tentu tujuan. Dan
kau tanya kenapa
aku mau menolongmu" Itu memang sudah kewajibanku. Aku selalu rela menolong orang
yang lemah dan tertindas. Begitulah aku...," tutur Sena tanpa maksud
menyombong. "Untung aku bertemu dengan Tuan. Kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi santapan
manusiamanusia keparat tadi. Sekali lagi ku mohon Tuan mau
memberi tahu nama Tuan. Biar hatiku lega...," ucap
Sekarsari setengah mendesak.
Sena memandang wajah perempuan muda itu
dalam-dalam. Kemudian kepalanya menganggukangguk.
"Baiklah. Aku Sena.... Dan, sekarang kuminta
kau menjelaskan tujuanmu. Kalau tidak, aku akan segera pergi. Banyak hal yang
harus kuselesaikan," kata
Sena agak mengancam.
"Baik..," ujar Sekarsari. "Aku datang dari jauh,
dari sebuah perkampungan nelayan di Pantai Selatan.
Letaknya tak jauh dari Kadipaten Pakisaji. Sedangkan
tujuanku ke tempat ini untuk mencari seseorang."
"Mencari seseorang?" ulang Sena. "Siapa orang
itu" Suamimu" Atau...?"
Sena mengerutkan kening dan menggarukgaruk kepala.
"Rekso Bagaspati!" jawab Sekarsari mantap.
Pendekar Gila terkejut mendengar jawaban perempuan cantik itu.
"Ada urusan apa kau dengannya" Soal kalung
keramat itu juga, atau apa?"
"Bagaimana kau tahu tentang kalung itu..."!"
tanya Sekarsari. Dia juga tampak terkejut "Kalung itu
tak habis-habisnya menimbulkan malapetaka!"
Sena jadi makin ingin tahu tentang siapa dan
apa tujuan wanita itu.
"Jadi kau tahu banyak tentang kalung itu..."
tanya Sena. Yang ditanya tidak menjawab.
"Ayo, jawablah. Mungkin kita bisa bekerja sama...," bujuk Sena,
"Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh
liku-liku dan bahaya. Malapetaka mengancam setiap
saat. Apalagi bagi kami, kaum hawa..."
"Ucapanmu mungkin benar. Hanya saja, tentu
kau mempunyai alasan untuk mencari Rekso Bagaspati yang juga pernah mau
membunuhku...," ujar Sena
menjelaskan. Sekarsari yang mendengar keterangan Sena jadi mengerutkan kening. Ditatapnya
Sena dengan pandangan tajam, seakan menyelidik kebenaran ucapan
Sena. Lalu setelah merasa kalau Sena berkata jujur,
Sekarsari menarik napas panjang. Pandangannya dialihkan ke depan. Matanya
menerawang jauh.
"Aku ingin membunuh Rekso Bagaspati!"
Jawaban Sekarsari itu membuat Sena kaget
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Dia merasa Sekarsari
terlalu nekat. "Membunuh orang seperti Rekso Bagaspati bu-
kan soal mudah. Apalagi kau seorang perempuan. Bukan aku merendahkan ilmumu. Kau
tahu lebih banyak
tentang kesaktian kalung keramat itu, bukan?"
Sekarsari kembali berpaling ke arah Sena. Perempuan cantik itu menyeringai.
"Jika kita memakai otak, apa pun pasti bisa dilakukan."
Sena mengangguk-angguk. "Dia telah membunuh suamiku!" ujar Sekarsari kembali.
Nada suaranya begitu geram. "Ooo...! Urusan dendam kesumat rupanya?" kata Sena pula. "Tapi mengapa sampai
Rakso Bagaspati
membunuh suamimu?"
"Dia merampas kalung itu! Kalung itu milik suamiku!"
"Apa..."!" Sena kembali terkejut
"Kalung itu mulanya milik Kakang Waskita, suamiku...," tutur Sekarsari kemudian.
Suaranya agak tersendat. Sena kembali mengangguk-angguk. Kemudian
dia menghela napas panjang. Sena tampak tertarik
dengan ucapan Sekarsari tadi.
"Apakah kau tahu dari mana suamimu mendapatkan kalung keramat itu...?" tanya
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sena tiba-tiba,
membuat Sekarsari agak kaget.
Wanita itu mengerutkan kening. Ditatapnya wajah Sena penuh selidik. Sena yang
dipandangi seperti
itu hanya menggaruk-garuk kepala dan tersenyum.
Setelah berpikir beberapa saat dan menganggap
pendekar yang telah menyelamatkannya adalah orang
baik-baik, maka Sekarsari memulai ceritanya.
"Sepuluh tahun silam, suamiku bertengkar
denganku. Malam harinya dia pergi ke Pantai Karang
Loh. Seperti biasa, jika habis bertengkar denganku,
suamiku melakukan hal demikian. Dia menyendiri,
untuk menghindari pertengkaran lebih jauh. Suamiku
sebenarnya sangat mencintai ku. Hanya terkadang aku
sering tak tahan dengan kemiskinan yang kami alami.... Itulah yang terkadang
membuatku suka marahmarah."
Sejenak Sekarsari menghentikan ceritanya. Wajahnya menampakkan kesedihan yang
dalam. Bola matanya yang bening, kini sudah digenangi air mata.
Setelah menyeka air mata, Sekarsari kembali
melanjutkan ceritanya.
"Sejak itu Kakang Waskita menghilang entah ke
mana. Saat itu hidupku terasa seperti neraka. Untung
para tetangga senasib, semuanya baik terhadapku.
Mereka semua memperhatikan keadaanku. Dan rupanya suamiku ingin membahagiakan
aku. Dia mencari
ilmu dengan bertapa di sebuah goa di tepian Pantai Selatan. Tapi dia selalu
gagal. Godaan selalu menghalanginya. Akhirnya suamiku pergi ke sebuah pulau
kecil yang bernama Pulau Kandaran. Di pulau itulah suamiku mendapatkan satu benda
keramat berupa kalung
iblis dengan rantai kayu hitam bermata safir. Menurut
suamiku, seorang lelaki tua renta mula-mula muncul
di hadapannya. Dan secara perlahan lelaki tua itu berubah wujud menjadi sosok
makhluk menyeramkan.
Makhluk itu tinggi besar bagai raksasa. Wajahnya dipenuhi dengan darah serta
bertaring. Matanya berlubang seperti tengkorak. Telinganya panjang. Mengerikan!
Suamiku mula-mula takut, tubuhnya gemetaran,
dan wajahnya pucat. Namun secara mendadak ketakutannya hilang begitu saja ketika
makhluk menakutkan
itu menghembuskan napas yang bau amis! Makhluk
itu berjalan di atas air laut menghampiri suamiku yang
masih duduk bersila di dalam sebuah goa karang di
tepian pantai pulau itu...."
Sejenak Sekarsari menghentikan ceritanya. Dia
menarik napas panjang. Sementara Sena memperhatikan wanita itu sambil menggaruk-
garuk kepala. Cukup
aneh dan mengerikan juga ceritanya....! Nilai Sena dalam hati. Matanya dengan
tajam menatap Sekarsari.
"Lalu, bagaimana selanjutnya?" tanya Sena perlahan.
Sekarsari menoleh ke arah Sena. Sejenak ditatapnya pemuda gagah itu. Kemudian
Sekarsari memulai ceritanya lagi.
"Menurut suamiku, makhluk itu bisa berubahubah wujud. Sebelum, memberi kalung
itu, makhluk itu mencoba tekad suamiku. Kalau suamiku gagal, dia
akan mati. Tapi kalau berhasil, kalung keramat itu
akan menjadi miliknya. Makhluk ini menjelma menjadi
seorang wanita yang sangat cantik. Dengan segala cara
dia mencoba merayu agar iman suamiku runtuh. Tapi
ternyata suamiku tabah. Setiap cobaan lain yang lebih
menyeramkan dan menggiurkan dapat dilawan oleh
suamiku. Sampai akhirnya kalung berkekuatan gaib
itu diberikan pada suamiku. Menurutnya, ketika kalung keramat itu ada di
pangkuannya, seluruh badannya terasa panas dingin beberapa saat. Namun kemudian
kembali seperti biasa dan dia merasa lebih segar
dan kuat..."
Sena yang mendengarkan mengangguk-angguk
tanda mengerti.
"Sungguh aku salut akan ketabahan suamimu.
Lalu, bagaimana ceritanya kalung itu bisa jatuh ke
tangan orang lain...?" tanya Sena ingin tahu lebih jauh.
Sekarsari menghela napas panjang. Kemudian
memulai kembali cerita tentang suaminya.
"Rupanya kesaktian dan keampuhan kalung
keramat itu sudah tersebar ke mana-mana. Terutama
ke telinga Pangeran Pari Ongso yang tamak. Dia orang
yang paling tergiur untuk memiliki kalung keramat itu.
Dengan berbagai cara dia berusaha agar suamiku mau
menyerahkan kalungnya. Suamiku dibujuk dengan
imbalan harta, uang, serta kedudukan yang terhormat
di kadipaten. Namun suamiku menolaknya. Karena
kami ingin ketenangan. Apalagi aku sedang hamil tua.
Lagi pula, suamiku termasuk salah seorang yang paling benci pada Pangeran Pari
Ongso. Karena pangeran
itu licik. Sifatnya buruk, tidak ada belas kasihan pada
rakyat kecil."
Kembali Sekarsari menghentikan ceritanya. Dia
menelan ludah sejenak. Kesempatan itu digunakan
Sena untuk bertanya lagi.
"Lalu, bagaimana tindakan pangeran itu selanjutnya" Dan juga suamimu?"
"Pangeran menyewa jawara-jawara untuk membunuh suamiku serta menteror ku. Tapi
suamiku selalu dapat mengalahkan orang-orang sewaan Pangeran
Pari Ongso. Karena rencananya selalu gagal, maka
dengan licik dia pura-pura bertobat akan perbuatannya. Setelah suamiku tahu
kalau yang merencanakan
pembunuhan terhadap dirinya adalah Pangeran Pari
Ongso. Dasar suamiku orang yang lugu serta mudah
memaafkan. Maka suamiku tak jadi membunuh pangeran itu. Dengan siasat liciknya,
pada suatu malam
pangeran mengundang suamiku untuk merayakan
persahabatan mereka. Tapi ternyata suamiku diracuni
oleh pangeran. Minuman untuk suamiku diberi bubuk
racun ganas. Seketika suamiku sekarat dan mati, maka dengan mudah kalung keramat
itu pindah ke tangan Pangeran Pari Ongso.... Kematian suamiku mengejutkan semua
orang, terlebih diriku. Sedangkan mayat
suamiku tak dapat ditemukan," Sekarsari menghentikan ceritanya. Tanpa terasa dia
telah menangis.
Sena yang melihatnya jadi merasa iba. Beberapa saat hening, hanya isak tangis
Sekarsari yang terde-
ngar. "Setelah Pangeran Pari Ongso mendapatkan kalung itu, dia menghilang entah ke
mana. Tumenggung
Adipura yang mengetahui kebusukannya, dibunuhnya
juga. Aku telah kehilangan segalanya. Sementara itu
kandungan ku semakin membesar. Aku jatuh sakit..."
Sena makin iba mendengar akhir cerita Sekarsari. Dia coba menenangkan hati
Sekarsari dengan
memegang bahu wanita itu dengan lembut
"Maaf.... Seharusnya aku tak menanyakan lebih
jauh padamu, Sekar...."
"Tidak apa-apa...," sahut Sekarsari sambil
menggelengkan kepalanya. "Biar kau mengerti keadaanku sebenarnya.... Bayiku mati
begitu lahir...."
Kembali Sekarsari terisak-isak. Sedih saat teringat masa silamnya. Sementara
Sena hanya menghela napas panjang seraya menggeleng perlahan. Wajahnya masih
tampak terharu.
"Manusia iblis itu harus dilenyapkan secepatnya," gumam Sena geram.
Sekarsari masih terisak-isak. Disekanya air mata yang membasahi pipinya dengan
kain. "Setelah seminggu melahirkan bayiku, aku meninggalkan Desa Karang Loh untuk
menghilangkan kenangan buruk yang ku alami. Pikiranku kacau. Kuikuti langkah kaki. Jika sudah
merasa lelah, baru aku
istirahat di mana saja...."
"Kenapa kau tidak mencari handai taulan atau
sanak saudara?" tanya Sena lembut dan hati-hati, takut kalau Sekarsari
tersinggung. "Aku tak mempunyai siapa-siapa lagi. Aku anak
tunggal...," jawab Sekarsari lemah. "Di benakku saat
itu hanya ada satu tekad untuk membalas dendam
pada Pangeran Pati Ongso yang telah tersohor dengan
nama Rekso Bagaspati...! Tapi aku tak memiliki ke-
pandaian ilmu silat. Didorong oleh tekad dan rasa dendam yang membara dalam
diriku, aku mencari tahu di
mana tempat perguruan silat yang paling tersohor....
Sampai ujung dunia pun aku akan datangi, asal aku
bisa menjadi pendekar wanita yang tangguh. Namun
harapanku selalu gagal. Rasanya tidak ada titik terang
dalam kehidupanku...."
Sekarsari menarik napas panjang. Dipandanginya Sena sebentar dengan tatapan
sayu. Sementara
Sena hanya diam. Lalu tangannya menggaruk-garuk
kepala. Bibirnya tersenyum tulus. Sungguh malang
nasib wanita ini...! Kata Sena dalam hati.
"Rupanya Hyang Widhi masih memberikan
ujian padaku. Semua orang sepertinya jijik bila bertemu denganku, karena
pakaianku seperti gembel. Rasanya saat itu aku ingin mati saja. Habis cobaan
satu, muncul cobaan lain yang lebih menyakitkan...."
Sejenak Sekarsari menghentikan ucapannya.
"Pernah suatu hari menjelang magrib, aku bermaksud berteduh di sebuah gubuk
kecil di luar sebuah desa, jauh dari rumah penduduk. Baru saja ku
rebahkan badan untuk melepas lelah, tiba-tiba muncul
tiga lelaki berbadan kekar dan berwajah garang dengan
memakai baju serba hitam. Ketiganya menerkam dengan buas. Mereka hendak
memperkosaku. Aku tak kuasa melawan, walaupun seluruh tenagaku sudah ku
kerahkan. Jangankan tiga orang yang memegang ku,
satu orang pun aku tak sanggup. Apalagi saat itu mereka memegang kedua kaki dan
tanganku, lalu direntangkan lebar-lebar. Sangat mengerikan!"
Kembali Sekarsari menghentikan kata-katanya.
Dia bergidik sendiri.
"Aku hanya bisa berteriak minta tolong, minta
dikasihani oleh mereka. Namun manusia-manusia itu
seakan sudah diselimuti nafsu birahi yang besar. Me-
reka tak menghiraukan lagi ucapanku. Mereka makin
ganas.... Namun pada saat kritis, tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat bagai angin kencang. Dan seketika ketiga lelaki yang hendak
memperkosaku tergeletak
tanpa nyawa lagi. Selanjutnya aku sudah tak ingat
apa-apa lagi, aku pingsan. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah pondok di lereng
gunung. Di situlah aku
mendapatkan pelajaran ilmu silat dari seorang lelaki
tua.... Aku merasa senang sekali...," Sekarsari mengakhiri ceritanya yang cukup
panjang itu dengan menarik napas lega.
Sena tersenyum. Dia merasa ikut senang mendengar cerita Sekarsari, wanita malang
itu. Kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Lalu, sekarang kau hendak ke Tawang Sewu
untuk membalas dendam atas kematian suamimu...?"
Walau tak menjawab, tapi Sena tahu perempuan itu membenarkan ucapannya
"Lebih baik kau kembali ke desa dan melupakan Pangeran Pari Ongso yang kini
menjadi Rekso Bagaspati itu. Susah untuk menandinginya. Apalagi kalung keramat
itu masih di tangannya. Tentu kau tahu
keampuhan kalung maut itu, bukan" Salah-salah kau
sendiri yang celaka!"
"Aku memang sudah siap untuk menyusul suamiku," sahut Sekarsari.
Sena menggaruk-garuk kepala.
"Apakah kau berniat mendapatkan kalung itu
kembali?" tanya Sena kemudian.
"Kalaupun kudapat, kalung sakti itu akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke
dalam laut..."
"Tidak mudah mendapatkan kalung itu kembali. Tidak gampang mencari Rekso
Bagaspati, manusia
seribu muka yang kini menguasainya.... Dan mana
aku tahu kalau kau bukan Rekso Bagaspati yang me-
nyamar menjadi perempuan...?"
Ucapan Sena itu membuat Sekarsari tersentak.
Ditatapnya Sena dengan pandangan menyelidik seraya
menghela napas panjang. Sena yang dipandang begitu
hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Tapi aku percaya kalau kau bukan Rekso Bagaspati. Wajah dan sinar matamu
menunjukkan kau
adalah seorang pendekar yang cukup disegani. Hanya
tingkah Tuan agak aneh. Dan itu yang mengingatkan
aku pada berita di rimba persilatan tentang munculnya
Pendekar Gila...," ucap Sekarsari kemudian.
Kini Sena-lah yang tersentak mendengar tutur
kata Sekarsari yang seperti tahu siapa dia sebenarnya.
Sena jadi makin cepat menggaruk-garuk kepala sambil
cengar-cengir. Lalu dia tertawa-tawa pada Sekarsari
yang terus mengawasi gerak-gerik Sena.
"Kau bicara apa" Lucu-lucu sekali. Bicaramu
ngelantur!" ujar Sena. Lalu dia melangkah pergi. Sekarsari segera memburunya,
lalu berjalan di sebelah
kiri Sena. "Apakah Tuan mau membantuku untukmenemukan dan memusnahkan manusia yang bernama
Rekso Bagaspati itu...?"
"Sebaiknya kau jangan panggil aku tuan.... Aku
hanya orang biasa. Panggil saja Sena...," kata Sena.
"Baik, Sena. Tapi kau belum menjawab maksud
ku...," tukas Sekarsari kemudian.
"Oya..., ya...."
"Jadi kita pergi sama-sama mencarinya?"
"Kita katamu?" tanya Sena.
Sekarsari tersenyum manis.
"Bukankah kau mau membantuku untuk mencari dan menumpas Rekso Bagaspati..." Dan
seperti yang kau katakan, tak mungkin aku sendiri bisa menemukan dan mengalahkan manusia
iblis itu...."
Sena terus menggaruk-garuk kepala. Dia tampak bingung sekali. Bagaimana caranya
agar Sekar tidak bersamanya dalam mencari Rekso Bagaspati" Belum sempat Sena
mendapatkan cara, Sekarsari dengan
nada memohon kembali berucap.
"Kalau kau tak mau membantuku dan membiarkan aku berjalan bersamamu, aku akan
bunuh diri...," ujar Sekarsari seraya mengeluarkan pedang dari
sarungnya. "Eh! Tunggu...! Tunggu...!" cegah Sena yang tak
tega menyaksikan Sekarsari mau bunuh diri. Sebenarnya Sena hanya mencoba sampai
di mana kemantapan
hati Sekarsari. "Baiklah. Tapi, aku ingin kau menyamar sebagai laki-laki. Sebab
aku risih berjalan bersama perempuan. Apalagi secantik kau, bisa terjadi macam-
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
macam." "Hm.... Usul yang bagus! Tapi, di mana aku bisa mendapatkan kumis dan jenggot
palsu...?" keluh
Sekarsari pada Sena.
"Iya, ya. Hm..., gampang. Kita mampir di Desa
Tegal Sari. Itu, di bawah bukit sana...."
Sekarsari mengangguk dan tersenyum. Sena
tak banyak kata lagi. Kakinya diayunkan meninggalkan tempat itu diikuti
Sekarsari. 6 Sena dan Sekarsari yang telah memasuki sebuah desa mengamati daerah sekitarnya.
Tampaknya desa itu biasa-biasa saja. Kesibukan para penduduknya seperti desa-desa lain
yang aman dan tenteram.
Mereka berlalu-lalang dengan kesibukan masingmasing.
Namun di sudut jalan dekat warung kopi, terli-
hat sekumpulan orang yang sedang berjudi. Pakaian
dan wajah mereka menunjukkan kalau mereka bukan
orang baik-baik. Sepertinya bukan penduduk desa itu.
Dan hampir semuanya menyandang golok di pinggang.
Sambil minum, mereka terus berjudi. Tingkah
laku mereka sungguh tak sedap dipandang mata. Bila
ada gadis desa yang sedang lewat, tak segan-segan mereka menggoda atau menjamah
tubuh gadis itu dengan
kasar. Bahkan pada saat Sena dan Sekarsari melintasi
tempat judi itu, mata keduanya sempat melihat seorang dari penjudi yang tidak
ikut bermain sedang merangkul seorang wanita muda dengan paksa seraya
menciumi dan meremas-remas buah dadanya. Wanita
itu hanya bisa menangis sambil mengeluh. Sementara
orang-orang yang lewat tak ada yang berani melarang
atau membela wanita muda itu.
"Keparat! Ternyata orang edan ada di manamana. Aku yakin mereka itu komplotan
lelaki yang mengeroyokku tadi...!" kata Sekarsari dengan geram.
Tanpa banyak omong lagi, dia melesat ke arah para
penjudi itu. Sena yang tak menduga sama sekali tindakan
Sekarsari, tak sempat mencegah. Dia hanya dapat
memperhatikan dari tempatnya. Sena ingin tahu, sampai di mana keberanian dan
kepandaian ilmu silat Sekarsari yang sesungguhnya.
"Hei, Monyet! Lepaskan wanita itu!" bentak Sekarsari sambil bertolak pinggang
pada orang-orang
yang sedang menggerayangi tubuh wanita muda tadi
Orang yang sedang mempermainkan wanita itu
kaget, termasuk orang yang sedang berjudi. Mereka
menoleh ke arah Sekarsari yang menatap dengan pandangan sinis.
"Phuih! Kalian manusia laknat yang perlu diberi
pelajaran...! Lepaskan wanita itu kataku!" bentak Se-
karsari lagi karena lelaki kurang ajar itu belum melepaskan wanita yang baju
bagian atasnya sudah terbuka. Lelaki itu berkumis dan bercambang lebat dengan
satu mata kirinya ditutup kain hitam. Codetnya melintang di pipi sebelah
kanannya. "He he he...!"
Lelaki itu malah tertawa tergelak-gelak sambil
terus menciumi wanita di pelukannya.
"Kalau kau ingin merasakan ciuman dan remasanku juga, kemarilah! He he he...,"
ujar lelaki bermata
satu, menggoda Sekarsari. Yang lain jadi tertawa terbahak-bahak. Sebagian dari
para penjudi itu kini berpaling dan menghadap ke arah Sekarsari.
"He he he...! Edan, ini baru santapan lezat!
Ayo..., kemarilah, Manis. Jangan galak-galak. He he
he...!" celetuk seorang penjudi sambil menoleh ke arah
Sekarsari. Lalu dia bergerak bangkit, setelah melempari kartunya ke atas meja,
diikuti yang lain.
Kini mereka menghentikan permainan judi. Semua berdiri dengan tingkah laku yang
memuakkan Sekarsari. Konyol dan kurang ajar.
"Biasanya wanita yang galak malah lebih panas
mainnya...!" seloroh orang berperut gendut dan berwajah persegi dengan ikat
kepala menutupi seluruh
rambutnya. Lantas saja semua tertawa tergelak-gelak, Sekarsari sudah tak sabar. Tiba-tiba
tubuhnya menyergap orang yang memegangi wanita desa. Dengan cepat
pula Sekarsari melancarkan pukulan beruntun disusul
dengan tendangan keras ke arah perut dan wajah
orang itu. "Aaa.... Ukh...!"
Dengan gesit Sekarsari melakukan pengamanan terhadap wanita desa itu. Dibawanya
dia menjauhi tempat itu. Lalu Sekarsari kembali menghadapi para
penjudi. Keenam penjudi itu menjadi marah melihat temannya dipermalukan di depan orang-
orang desa yang
sedang berlalu lalang.
"Bangsat! Wanita ini rupanya mau cari mampus. Mau dikasih kenikmatan malah cari
perkara! Serang.,.!" perintah orang berpakaian lebih bagus dari
kelima lelaki lain. Rambutnya panjang melebihi bahu,
serta berikat kepala hitam yang menutupi bagian rambut atasnya. Bajunya lengan
panjang berwarna hijau
tua, celana hitam dan ikat pinggang lebar dari kulit. Di
pinggangnya terselip golok panjang.
Lima penjudi itu serentak menyerang Sekarsari
dengan membacokkan golok masing-masing. Namun
Sekarsari cepat meloncat seraya mencabut pedangnya.
Wanita itu hinggap di atas meja judi.
Wut! Wut...! Lima batang golok segera membabat kaki Sekarsari. Sekarsari kembali melenting ke
udara sambil menendang dengan sepasang kakinya ke arah dua
orang yang berada di kiri dan kanannya.
Buk! Buk..! "Hukh!"
"Akh...!"
Kedua lelaki yang terkena tendangan Sekarsari
terhuyung dua tombak ke belakang. Sekarsari berdiri
tegak kembali di atas meja judi tadi dengan senyum
mengejek "Ayo..., maju kalian semua! Kau juga!" tantang
Sekarsari sambil menunjuk ke arah orang berbaju hitam yang sejak tadi hanya
melihat kawannya bertarung melawan Sekarsari.
Melihat semua itu, Sena yang masih berdiri
tempatnya hanya cengengesan sambil menggaruk garuk kepala.
"Boleh juga ilmu silat perempuan misterius ini"
gumam Sena pada diri sendiri.
Sementara itu pemimpin para penjudi yang
berbaju hijau, telah ikut menyerang Sekarsari dengan
menebaskan golok panjangnya dengan cepat. Batok
kepala Sekarsari pasti akan tertebas, jika dia terlambat
mengelak "Edan!" maki Sekarsari sambil bersalto ke belakang. Lalu dia kembali berdiri.
Dan tanpa menunggu
lama, Sekarsari balik menyerang dengan sabetan pedangnya. Secepat kilat
senjatanya membabat ke tubuh
lawan. Wajah orang yang berikat kepala hitam bagai
bajak laut itu langsung pucat.
Melihat pemimpinnya dalam keadaan genting,
kelima kawannya kembali menyerang Sekarsari dengan golok. Sekarsari yang sudah
benar-benar muak
dengan orang-orang keparat itu segera memapaki serangan lawan. Dengan
mempermainkan pedangnya sedemikian rupa, dia menangkis golok-golok yang
diarahkan kepadanya.
Trang! Trang...!
Pedang dan golok beradu, hingga menciptakan
pijaran api. Sementara golok di tangan kelima lawan
patah, lalu terlepas dari genggaman mereka. Mendapati kenyataan itu, kelima
penjudi yang bertampang seram dan buruk itu kaget bukan kepalang. Kelimanya
saling pandang. Mereka tampak mulai gentar. Perlahan-lahan mereka melangkah
mundur seraya memandang Sekarsari yang berdiri dengan tertawa mengejek
"Ayo, maju. Atau aku yang maju untuk memelukmu! Katanya tadi kalian ingin
menikmati tubuhku,
ayo...!" ujar Sekarsari sinis.
Kelima penjudi tadi tak menjawab. Mereka terpaku.
Tiba-tiba lelaki berbaju hijau tanpa diduga me-
nyerang Sekarsari dari belakang. Namun Sekarsari rupanya sudah menduganya.
Dengan cepat tubuhnya
me-loncat ke udara, lalu berbalik arah sambil menghunus pedangnya. Dan
ditebasnya pedang tersebut ke
dada lawan dengan cepat.
Sret! Cras! "Aaakh...!"
Orang berbaju hijau memekik. Dadanya tersayat. Belum sempat lawan balik
menyerang, Sekarsari
sudah menendang telak ke dada dan wajah orang berbaju hijau itu. Kembali lawan
memekik dengan tubuh
terpental tiga tombak ke belakang. Tubuhnya langsung
membentur meja judi.
Brak! Orang itu tak berkutik lagi. Sementara itu, kelima kawannya berusaha melarikan
diri. Namun Pendekar Gila segera menghadang mereka.
"Hei, kalian belum meminta maaf pada wanita
itu. Cepat kembali!" perintah Sena penuh wibawa.
Kelima orang yang belum mengenal Sena, menurut saja seperti anak sapi. Kini
orang-orang yang
semula ditakuti penduduk desa, tak ubahnya seperti
tikus. Sena hanya cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala memandangi kelima orang yang berjalan ke
arah Sekarsari sambil menatap lelaki berbaju hijau
yang masih pingsan dengan darah mengucur dari mulutnya. Sedangkan dadanya
membiru akibat tendangan Sekarsari tadi.
Sekarsari menoleh ke arah Sena. Sena memberikan isyarat Sekarsari mengangguk.
Lalu kembali melihat kelima lelaki yang terbungkuk-bungkuk mendekatinya.
"Hei! Cepat kalian ke sini!" bentak Sekarsari
"Kalian sudah membuat penduduk desa ini ketakutan
dan menderita. Kini kalian harus menerima ganjaran!"
"Ampun... ampuni kami. Kami tidak akan berbuat buruk lagi...," ratap lelaki
bermata satu. Diikuti
teman-temannya.
"Kau tadi yang mengganggu wanita itu"! Matamu yang tinggal satu itu lebih baik
ku butakan sekalian, biar kau tidak dapat melihat tubuh wanita yang
montok dan cantik..!" ancam Sekarsari sambil menghunuskan pedangnya ke mata
lelaki bermata satu.
Kontan lelaki itu menyembah bersujud di kaki Sekarsari.
"Ampun... ampuni saya.... Ampuni saya. Saya
berjanji tidak akan mengulangi lagi," rengeknya dengan tubuh gemetaran, karena
ujung pedang Sekarsari
masih berada di dekat matanya. Peluh membasahi wajah lelaki itu.
"Ha ha ha.... Dasar lelaki kerdil! Hei, sekarang
aku tanya, siapa yang menyuruhmu memeras orang
desa dan berbuat seenak udel mu di sini"!" bentak Sekarsari kemudian.
Sementara itu lelaki berbaju hijau mulai sadar.
Dengan meringis dia berusaha bangkit, namun tubuhnya masih terasa sakit. Tapi
ketika melihat Sekarsari
mengancam kawannya, secara diam-diam dan licik dia
ingin mengambil kesempatan itu untuk menyerang Sekarsari dari belakang. Dengan
cepat dia bangkit dan
membabatkan golok panjangnya ke leher Sekarsari.
Namun belum sempat pedang itu mendarat di leher
Sekarsari.... "Aaa...!"
Sekarsari kaget dan berbalik sambil melompat
mundur selangkah. Terlihatlah tubuh orang yang hendak membokongnya mengejang
dengan mata melotot.
Setelah itu dia tewas.
Sekarsari memandang Sena. Pemuda yang di-
pandang hanya cengar-cengir sambil menggaruk-garuk
kepala. Lalu dia melangkah menuju kedai kopi.
Sekarsari menghela napas panjang. Ia tahu kalau Sena yang menyelamatkan jiwanya.
Kemudian tubuhnya berbalik ke arah kelima orang tadi.
"Pergi kalian! Katakan pada pemimpin kalian,
bahwa aku menunggu di desa ini. Cepat pergi atau kubunuh kalian!" perintah
Sekarsari keras. Kontan kelima orang itu kabur bagai dikejar setan, keluar dari
Desa Tegal Sari.
Pemilik kedai dan orang-orang yang melihat kejadian tadi tampak kagum pada
kehebatan Sekarsari.
Tapi mereka tidak berani menunjukkan kegembiraan.
Terlihat dari wajah mereka yang tegang, seperti ada sesuatu yang membuat mereka
takut "Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku," ucap Sekarsari ketika sudah
berada di dekat Sena.
Pendekar Gila tak menjawab. Dia tetap diam
sambil cengar-cengir, membuat Sekarsari merasa agak
kesal karena terima kasihnya seolah tidak ditanggapi
Sena. Tapi akhirnya Sekarsari mengerti sifat Sena yang
aneh dan terkadang seperti orang gila itu.
"Sekarang apa rencana kita selanjutnya" Apakah kita perlu tinggal di sini untuk
satu-dua hari?"
tanya Sekarsari pada Sena.
Sena tak langsung menjawab. Dia hanya memandang Sekarsari demikian rupa. Sekilas
terbayang wajah Mei Lie yang sangat dikasihi dan dicintainya.
Sena tersenyum sendiri.
Melihat senyum Sena yang begitu manis, Sekarsari jadi mengerutkan kening. Justru
dia yang merasa risih. Wajahnya jadi bersemu merah. Kepalanya
ditundukkan. "Kenapa kau memandangku begitu, Sena?"
tanya Sekarsari perlahan.
Sena yang mendengar pertanyaan perempuan
itu jadi tersentak dari lamunannya.
"Oh.... Apa kau bilang tadi... He he he...!" Sena
balik bertanya seraya menggaruk-garuk kepala. Wajahnya tampak memerah juga. Dia
merasa Sekarsari
tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Keduanya lalu diam. Sekarsari tidak menjawab
pertanyaan Sena. Dia hanya mengulum bibirnya. Bibirnya yang kini basah karena
dikulum, nampak semakin menggairahkan.
"Sebaiknya kita mencari tahu tentang para penjudi tadi," usul Sena tiba-tiba.
"Ki, siapa orang yang
menjadi kepala desa di sini?" lanjut Sena, bertanya pada pemilik kedai.
"Oh, rumahnya di sebelah sana, Den. Ki Sapto
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namanya. Dia seorang muslim yang taat beribadah.
"Terima kasih, Ki. Permisi...," ucap Sena setelah
membayar pemilik warung itu.
Setelah Sena dan Sekarsari berlalu, penduduk
Desa Tegal Sari mulai ramai membicarakan keduanya.
Mereka pada umumnya merasa senang dengan kehadiran Sena dan Sekarsari. Penduduk
desa itu memang
sangat membutuhkan orang-orang semacam mereka.
Kalau tidak, ketenangan tak akan kunjung datang.
Mereka akan selalu was-was dan ketakutan setiap
saat. Sebab, orang-orang semacam penjudi-penjudi tadi akan datang lagi setiap
waktu. Sena dan Sekarsari akhirnya bertemu dengan
Ki Sapto, Kepala Desa Tegal Sari. Mereka dipersilakan
masuk oleh Ki Sapto yang sebagian rambutnya telah
memutih. Dengan blangkon dan berbaju lengan panjang serta kain seperti layaknya
orang Jawa, Ki Sapto
menerima Sena dan Sekarsari dengan ramah.
"Silakan, silakan... !" sambut Ki Sapto.
"Terima kasih, Ki," jawab Sekarsari perlahan.
Setelah mereka duduk, barulah Ki Sapto menjelaskan keadaan Desa Tegal Sari.
"Mereka memang orang-orang biadab, tak ada
orang lain yang dapat melawan mereka. Aku sendiri
bukannya tidak berani.... Tapi, percuma saja menentang. Mereka didalangi oleh
manusia yang berilmu
tinggi. Aku tidak mau penduduk desa ini dibantai....
Itu sebabnya selama ini aku hanya bisa menahan sakit
di dada. Rasanya aku sudah tidak bisa menangis lagi
jika mendengar atau melihat gadis-gadis desa ini diculik untuk dijadikan
persembahan manusia iblis itu."
"Persembahan" Siapa manusia iblis yang Ki
Sapto maksud?" Sena tampak sangat ingin tahu. Begitu pula Sekarsari. Wajah
wanita itu mulai sedikit tegang.
"Siapa lagi kalau bukan Rekso Bagaspati. Gadis-gadis itu dipersembahkan sebagai
tumbal ilmu setannya. Setiap bulan purnama manusia iblis itu melakukannya. Jika
dia tidak mendapatkan gadis-gadis
yang masih perawan, ilmunya akan hilang...," jawab Ki
Sapto, setelah menghela napas sejenak
"Tak salah lagi. Pasti ini berkaitan dengan kalung keramat keparat itu!" potong
Sekarsari penuh gejolak kemarahan. "Di mana sarang manusia iblis itu,
Ki?" "Aku tidak bisa menjelaskan. Manusia itu bagai
setan. Tidak seorang pun yang tahu di mana sarangnya.... Inilah yang
merepotkan," jawab Ki Sapto sambil
memegangi keningnya. Lelaki setengah baya itu tampaknya sedang berpikir.
Sekarsari menarik napas panjang. Kepalanya
menoleh ke arah Sena yang tengah menggaruk-garuk
kepala. Ki Sapto terdiam, seakan digelayuti kekhawati-
ran setelah memberi tahu semua hal tadi pada Sena
dan Sekarsari. Sena tahu, apa yang sedang dipikirkan
Ki Sapto. "Ki Sapto tidak usah takut. Tak ada orang yang
akan mengganggu Aki," tutur Sena pada Ki Sapto.
"Kalau diizinkan, biarlah malam ini kami menginap di rumahmu, Ki," timpal
Sekarsari, memutuskan
dengan tiba-tiba.
Sena tentu saja menjadi tersentak. Dia sempat
mendelik ke arah Sekarsari yang dianggapnya lancing.
Sekarsari hanya mencibir pada Sena.
"Ooo.... aku malah lebih senang kalau kalian
berdua mau bermalam di rumah yang jelek ini...," jawab Ki Sapto penuh
kegembiraan. "Ayo, silakan diminum Den..."
"Terima kasih, Ki...," kata Sekarsari sambil
menganggukkan kepala.
Sena menarik napas panjang. Dia menggelenggeleng sambil menggaruk-garuk kepala.
Malam pun tiba perlahan. Sepi mencekam hari
yang kian kelam. Suasana sangat angker. Tak seorang
pun berani keluar rumah. Sebagian lampu rumah sudah dipadamkan. Padahal hari
baru lepas magrib.
Angin bertiup kencang dari arah hutan di sebelah barat Desa Tegal Sari. Disertai
lolongan anjing hutan yang melengking panjang.
Sena terlihat berada di serambi rumah Ki Sapto. Pemuda itu duduk bersila di atas
sebuah balai-balai
beralaskan tikar yang agak usang. Matanya menatap
tajam ke depan. Seperti patung, ia tak bergerak sedikit
pun. Rupanya Sena sedang memusatkan pikirannya.
Dari pintu tampak Sekarsari muncul. Sesaat
wanita itu berhenti memandangi Sena yang sedang
bersemadi. Sekarsari tak ingin mengganggu. Dia sen-
gaja menunggu sampai Sena selesai.
Setelah Sena selesai bersemadi, barulah Sekarsari mendekati dan duduk di
sebelahnya. Sena menggeser tubuhnya agak jauh dari Sekarsari. Namun Sekarsari
tidak tersinggung, karena dia tahu kalau Sena
memang tidak seperti lelaki lain.
"Kenapa kau belum juga tidur?" tanya Sena datar.
"Belum ngantuk. Kau sendiri...?" Sekarsari balik bertanya. Suaranya terdengar
manja. Sena makin kesal. Ingin rasanya dia pergi meninggalkan perempuan itu, tapi dia
tidak mau melukai
perasaan wanita. Jadi dia hanya bisa menahan hati
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Penduduk desa ini rupanya begitu takut dengan Rekso. Lihat, semua pintu rumah
tertutup rapat.
Sepi, sepi sekali. Mungkinkah Rekso malam ini akan
muncul seperti ucapan Ki Sapto tadi sore?" Sekarsari
langsung bicara soal Desa Tegal Sari yang dilanda bencana yang diciptakan Rekso
Bagaspati dan anak
buahnya. "Kita tunggu saja. Tapi menurut firasat ku,
Rekso tak mungkin muncul. Dia akan muncul pada
bulan purnama nanti," jawab Sena.
"Kalau begitu, sekitar empat hari lagi. Tapi perasaanku berkata lain. Dia akan
muncul malam ini.
Karena dia tahu kita sedang berada di sini untuk mencarinya," ujar Sekarsari
mantap dan penuh keyakinan.
Baru saja Sekarsari selesai berkata, tiba-tiba
terlihat selarik sinar kemerahan meluncur dari ujung
desa sebelah barat. Sena segera bangkit. Demikian pula Sekarsari. Malah Wanita
itu hendak bergegas pergi.
Namun Sena cepat menahannya sambil memberi isyarat agar Sekarsari duduk kembali.
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar jeritan yang mengejutkan Sena dan Sekarsari dari dalam
rumah Ki Sapto.
Sena segera melesat masuk ke dalam rumah, disusul
oleh Sekarsari.
Apa yang mereka lihat" Tubuh istri Ki Sapto
kaku membiru. Sedangkan Ki Sapto tampak tertunduk
menghadapi mayat istrinya. Terdengar desah napas
dan isak tangis Ki Sapto yang masih membelakangi
Sena dan Sekarsari.
Tanpa curiga apa-apa, Sekarsari segera mendekati Ki Sapto. Baru saja dia
menyentuh punggung lelaki setengah baya yang dikenal sebagai muslim yang
taat beribadah, mendadak dia berbalik dan menyerang
Sekarsari. Wajah Ki Sapto tidak lagi terlihat lembut dan
soleh. Wajahnya telah berubah garang, dengan mata
merah serta gigi yang dibasahi darah.
Sekarsari segera terkena pukulan dan terpental
tiga tombak ke belakang. Tubuhnya membentur dinding rumah dari bilik hingga
jebol. Sena yang melihat
hal itu, dengan cepat menghadang Ki Sapto yang hendak menyerang Sekarsari.
Dengan pukulan beruntun,
Pendekar Gila menghantam dada Ki Sapto yang rupanya telah dirasuki roh Rekso
Bagaspati. Rupanya, sinar merah tadi yang menjadi penyebab, bisik Sena dalam hati sambil
terus melancarkan serangan.
Satu tendangan kaki kanan Sena tepat mengenai ulu hati Ki Sapto. Lelaki itu
mengerang. Suara
yang terdengar bukan seperti manusia. Erangannya
bagai erangan makhluk halus yang melengking aneh.
Sena segera mengumpulkan tenaga dalamnya untuk
menghadapi setiap kemungkinan.
Kesiagaan Sena ternyata beralasan. Tiba-tiba
jari telunjuk Ki Sapto retak-retak dan mengeluarkan
selarik sinar merah yang meluncur ke arah Sena. Pendekar Gila cepat memapak
sinar itu dengan menghentakkan kedua telapak tangannya.
"Heaaa...!"
Blar! Blar! Terdengar ledakan yang dahsyat. Tubuh Sena
terhuyung selangkah ke belakang. Dan Ki Sapto tampak pucat. Kemudian secara
tiba-tiba tubuhnya menjadi biru. Bibirnya menyeringai sebelum tubuhnya ambruk.
Bersamaan dengan itu, terdengar gelak tawa dari
seseorang. Dan Pendekar Gila segera berbalik, ternyata
Rekso Bagaspati telah menampakkan wujudnya yang
asli. Dengan pongah manusia iblis itu berdiri memandang Sena dengan tajam.
Tangan kirinya tampak menenteng tubuh Sekarsari.
Sena terbelalak melihat Sekarsari dalam cengkeraman Rekso Bagaspati.
"Ha ha ha.... Ternyata Pendekar Gila yang tersohor di rimba persilatan sangat
mudah tertipu oleh
ku. Ha ha ha...! Kini sudah saatnya kau mati, Pendekar Gila. Dan aku akan lebih
leluasa melaksanakan
keinginan untuk menguasai jagat. Ha ha ha...!" ejek
Rekso Bagaspati sambil tertawa tergelak-gelak.
Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala.
Meski begitu dia tetap waspada dan siap melancarkan
serangan ke arah Rekso Bagaspati. Tapi sebelum Pendekar Gila melancarkan
serangan, dari tubuh Rekso
Bagaspati tiba-tiba bermunculan manusia-manusia
aneh mirip mayat hidup dengan tubuh dan wajah berlumuran darah.
Sena agak terkejut menyaksikan lima orang
mengerikan keluar dari tubuh Rekso Bagaspati. Gelak
tawa Rekso Bagaspati masih terdengar. Seakan mengejek dan ingin membuyarkan
perhatian Pendekar Gila.
Namun Pendekar Gila tak menghiraukan.
Dengan gerakan cepat, Pendekar Gila mengelakkan serangan makhluk jelmaan itu.
Tubuhnya bersalto ke udara, disusul dengan pukulan dan tendangannya.
Des! Des! Rekso Bagaspati jejadian itu terpekik ketika serangan Sena mengenai sasaran.
Namun sesaat kemudian mereka kembali menyerang Sena dari semua
arah. Pendekar Gila segera mengerahkan kembali pukulan dan tendangannya sambil
melompat "Heaaa...!"
Des, des...! Herannya makhluk-makhluk itu tetap kebal
terhadap pukulan dan tendangan Sena. Tanpa terasa,
pertarungan telah berlangsung jauh di luar rumah Ki
Sapto. Kini Pendekar Gila mengerahkan tenaga dalamnya, setelah bersalto menjauhi kelima
makhluk itu. Dengan gerakan cepat Sena mengangkat kedua tangannya, lalu langsung
menghentakkan tangan kanannya ketika lawan-lawannya menyerang bersamaan.
"Heaaa...!"
Selarik sinar merah membara yang keluar dari
tangan Pendekar Gila menghajar kelima makhluk jejadian itu.
Glarrr...! "Aaarghhh...!"
Makhluk-makhluk jejadian itu kontan saja terbakar. Sesaat kemudian mereka
hilang, berganti dengan asap ungu yang bergulung di depan Sena.
Gelak tawa Rekso Bagaspati kembali terdengar
bagai mengguncang bumi.
"Ha ha ha... Pendekar Gila! Kali ini kau berhasil
mengalahkan aku, tapi kau tak akan bisa membunuhku...! Ha ha ha...!"
Disertai hembusan angin yang kencang, suara
Rekso Bagaspati perlahan-lahan menghilang. Keadaan
kembali sepi. Setelah itu Pendekar Gila melesat kembali ke
rumah Ki Sapto. Ternyata rumah itu telah terbakar
habis. Sementara itu orang-orang desa menjerit, seraya
berhamburan ke luar rumah, karena rumah mereka
tiba-tiba ikut terbakar.
Perempuan, lelaki yang muda dan tua menjerit
atau menangis minta tolong. Sena sangat terenyuh melihat semua kejadian
tersebut. Segera dia membantu
penduduk untuk memadamkan api. Dengan ilmunya,
Sena akhirnya dapat memadamkan api yang membakar rumah-rumah penduduk Desa Tegal
Sari. "Terima kasih, Den. Terima kasih.... Kalau tidak
ada Aden, mungkin kami sudah tak memiliki apa-apa
lagi," ucap seorang lelaki tua sambil menggendong cucu perempuannya yang
bertelanjang dada.
"Sudahlah, Ki. Sekarang tenangkan dulu hatimu. Biarlah saya yang akan
membereskan rumahmu,"
ujar Sena tenang. Lalu tangannya menggaruk-garuk
kepala. Setelah itu, dia berlalu dari tempat berkerumun para penduduk desa untuk
melanjutkan perjalanannya mencari Rekso Bagaspati.
Seorang lelaki muda tiba-tiba mengejar Sena.
Setelah dekat, tubuhnya membungkuk memberi hormat.
"Maaf, Tuan Pendekar.... Nama saya Guntoro....
Saya ingin memberitahukan sesuatu pada Tuan Pendekar," ujar lelaki muda yang
mengaku bernama Guntoro itu.
Sena mengerutkan kening seraya menatap tajam pemuda itu.
"Ada apa?" tanya pendek.
"Saya diutus seseorang untuk menyampaikan
pesan pada Tuan Pendekar."
"Pesan" Dari siapa?" tanya Sena heran.
"Dia tidak menyebutkan namanya. Tapi ini pesannya," kata Guntoro sambil
mengulurkan secarik
surat yang terbuat dari daun kering.
Sena mengambil surat itu dari tangan Guntoro.
Dibacanya isi surat itu.
Pendekar Gila! Kalau kau ingin temanmu selamat, kau harus menemuiku besok di
Bukit Tengkorak
menjelang magrib.
Rekso Bagaspati
Selesai membaca surat, Sena menarik napas
dalam-dalam sambil menggaruk-garuk kepala. Tapi
begitu hendak berkata dengan pemuda yang membaca
surat itu, si pemuda yang bernama Guntoro tadi
menghilang entah ke mana. Sena jadi kaget. Dia memandang ke sekeliling tempat
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu dengan tajam, tapi
pemuda itu tak terlihat olehnya.
Sena segera berkelebat meninggalkan Desa
Tegal Sari. Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', Sena sudah
berada di suatu tempat yang asing baginya. Tempat
tersebut seakan tidak berpenghuni. Sedangkan tanahnya gersang. Batu-batu cadas
yang menjulang tinggi
menambah keangkeran dan kesan gersang daerah itu
7 Sena terus melangkah menuruni jalan berdebu
di antara tebing cadas. Hari semakin sore ketika Sena
memasuki sebuah desa kecil yang porak-poranda.
Langkahnya dihentikan. Dipandanginya sekeliling desa
kecil itu. Yang tampak hanya serakan mayat-mayat di
sana-sini. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Ia menggelengkan kepala.
"Edan! Ini pasti perbuatan Rekso dan antekanteknya...! Huh...!" rutuk Sena.
Asap mengepul hampir di seluruh desa. Entah
apa nama desa itu, Sena sendiri tak mengenalnya. Sena kembali melangkah
perlahan. Diperhatikannya sesosok mayat perempuan dengan seorang anak kecil
yang mati secara mengerikan di sebelahnya. Muka dan
dadanya hancur. Darah di tubuh keduanya telah mengering.
"Keparat..! Aku harus cepat membinasakan manusia iblis itu!" desis Sena penuh
luapan kemarahan.
Tiba-tiba sebuah gerobak besar muncul dari
ujung desa sebelah utara. Sena segera waspada. Pandangannya tak lepas pada
gerobak yang ditarik dua
ekor kuda. Binatang-binatang itu tampak letih. Itu bisa
terlihat ketika kedua kuda penarik gerobak berhenti di
depan sebuah reruntuhan rumah di ujung jalan desa
itu. Sena cepat mendekati gerobak itu. Kusirnya
seorang lelaki muda beralis tebal dan berbibir dower
turun dari gerobak. Mata sebelah kanannya rusak. Dia
tampak acuh, seakan tak melihat Sena yang berada setengah tombak dari gerobak
"Kisanak. Barang apa yang kau bawa?" tanya
Sena ingin tahu.
Kusir yang ditanya hanya angkat bahu sambil
terus melangkah.
"Kalau mau tahu, periksa saja," ucapnya sera,
tanpa memandang Sena.
Sena mengerutkan kening, lalu menggarukgaruk kepala. Orang ini aneh! Gumam Sena
dalam hati. Lalu didekatinya gerobak itu untuk diperiksa. Tan-
gannya segera menyingkap sebuah karung. Sena terkejut. Matanya membelalak.
"Mayat manusia!" desisnya.
Pendekar Gila menoleh ke arah di mana kusir
tadi berada. Namun kusir gerobak itu sudah lenyap
entah ke mana. Suasana jadi makin mencekam. Hatinya jadi sedikit was-was.
"Kurang ajar, aku telah masuk daerah kekuasaan Rekso. Dia ingin mencoba ilmu
setannya... Edan!"
maki Sena setengah berteriak.
Sena cepat melesat meninggalkan tempat itu.
Baru saja kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba beberapa benda tajam berbentuk
anak panah meluncur ke
arahnya. Sena yang sudah siap menghadapi segala
kemungkinan dengan cepat memapaki senjata-senjata
beracun itu. Kedua telapak tangannya dihentakkan
hingga ajian 'Si Gila Melebur Gunung Karang' menghantam senjata-senjata itu.
Glar! Glar! Kilatan cahaya merah melebur senjata-senjata
itu hingga hancur. Bersamaan dengan itu, terdengar
pekikan panjang di kejauhan. Disusul dengan jatuhnya lima orang dengan tubuh
Memburu Iblis 14 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 22
"Aku bisa mengerti. Kau telah menyelamatkan
jiwaku, Tuan Pendekar. Terima kasih. Aku akan membalas segala kebaikanmu...,"
ujar Sentanu dengan suara masih terdengar lemah.
"Ah! Janganlah kau berterima kasih padaku.
Kau harus mengucapkannya pada Yang Maha Kuasa.
Aku hanya perantara. Semua nasib dan umur manusia
hanya Sang Hyang Widhi yang menetapkan."
Selesai berkata begitu, Sena segera bangkit
mendekati Sentanu.
"Bagaimana dadamu" Apakah masih terasa
nyeri?" tanya Sena kemudian.
"Agak lebih enak, namun tubuhku masih le-
mas...," jawab Sentanu perlahan.
"Sebaiknya kau istirahat beberapa hari. Biar
kau kuantar pulang."
"Tidak usah. Terima kasih.... Aku dapat pulang
sendiri. Aku sudah cukup merepotkan Tuan Pendekar...."
"Jangan lagi kau menyebutku Tuan Pendekar.
Panggil saja aku Sena," ujar Sena.
"Baiklah."
"Ayolah, biar kau kuantar sampai perbatasan
desa ini...," kata Sena, sambil bergerak membantu
Sentanu bangun. Sentanu masih terlihat lemas, membuat Pendekar Gila tak tega
melepas lelaki itu pulang
sendiri ke Kadipaten Pakisaji.
"Sobat, biarlah aku menemanimu ke kadipaten.
Aku tak ingin terjadi lagi hal yang tak diharapkan menimpa dirimu."
Dengan tulus Sena berkata pada lelaki di sampingnya. Sentanu terharu mendengar
ucapan Sena. "Oh, Gusti...! Ternyata masih ada orang yang
mau berbaik hari menolongku. Terima kasih, Sena...,"
Sentanu memeluk Sena dengan penuh kegembiraan
bercampur haru.
Pendekar Gila hanya cengengesan dan membalas pelukan Sena. Setelah melepas
pelukan, Sena menggaruk-garuk kepala seperti kebiasaannya. Kedua
lelaki itu kemudian melangkah menuruni jalan yang
landai menuju arah barat.
5 Goa Neraka tampak menyeramkan meskipun
diterangi obor di beberapa bagian dindingnya. Karena
hampir di setiap sudut dinding terpajang tengkorak
manusia dan tubuh binatang buas yang diawetkan.
Seperti ular sebesar paha manusia yang melingkar tepat di atas sebuah singgasana
yang terdapat di dalam
ruangan goa. Ular sanca yang telah dikeringkan itu
bagai masih hidup dengan mulut menganga. Tak kurang dari sepuluh meter panjang
ular langka itu. Goa
Neraka adalah goa tempat tinggal Rekso Bagaspati.
Saat itu dia sedang duduk di singgasananya. Wajahnya
tampak memerah karena menahan amarah. Dan tibatiba Rekso Bagaspati berdiri
sambil mendengus keras.
"Huh!"
Kemudian Rekso Bagaspati mondar-mandir dengan langkah lebar. Tangan kirinya
terus mengusapusap kumisnya yang lebat, sedang tangan kanannya
bertolak pinggang. Langkahnya yang berdebam keras
seperti akan meruntuhkan dinding goa itu.
"Ghrrr.... Bodoh! Gegabah! Seharusnya kau bisa membunuhnya! Dan aku heran,
kenapa pemuda gila itu dapat mengetahui racun yang kau campur dalam
minuman itu" Mungkin kau memancing kecurigaan
pemuda itu, Ronggo...!" hardik Rekso Bagaspati dengan
suara menggema.
"Ampuni aku, Ayah. Tapi seingatku, pemuda itu
berdiri di dekat jendela dan tidak mempedulikan ku...,!
jawab Ronggo Lawe sambil menunduk, tak berani menatap wajah ayah angkatnya.
"Aneh, benar-benar aneh! Rupanya pemuda
sinting itu memiliki ilmu cukup tinggi. Mungkinkah
pemuda itu yang kita cari...?"
Sejenak Rekso Bagaspati berpikir dan duduk
kembali di singgasananya.
"Ha ha ha.... Aku ingat pada jurus dan lagaknya. Ya, tak salah lagi. Dia pasti
Pendekar Gila yang
tersohor itu!"
"Pendekar Gila"!" ulang Ronggo Lawe kaget. La-
lu menatap Rekso Bagaspati yang masih tertawa tergelak-gelak.
"Kali ini aku tak akan gagal mengupas kulitnya!
Ha ha ha.... Ronggo! Kemari kau!" perintah Rekso Bagaspati.
Ronggo Lawe segera mendekati. Kemudian Rekso Bagaspati membisikkan sesuatu pada
anak angkatnya. Ronggo Lawe mengangguk-angguk sambil tersenyum, tanda setuju.
"Suatu rencana yang sempurna, Ayah. Ha ha
ha...!" "Ingat pesanku tadi. Kali ini jangan sampai
gagal. Kita akan lebih leluasa kalau Pendekar Gila
mampus! Aku akan menguasai jagat ini, rimba persilatan ini. Ha ha ha...!"
Suara tawa Rekso Bagaspati menggema sampai
keluar goa yang terletak di dalam hutan angker itu.
Binatang-binatang yang malam itu sedang tertidur,
mendadak terbangun mendengar tawa manusia iblis
itu. Binatang yang telah dikeringkan di dalam goa itu
seperti ikut tertawa juga. Sementara ular sanca yang
melingkar di atas singgasana Rekso Bagaspati pun bagai hidup. Matanya
memancarkan sinar merah darah,
dan lidahnya seakan menjulur panjang keluar, menjilati kepala Rekso Bagaspati
yang berada tepat di bawahnya.
Tawa Rekso Bagaspati perlahan-lahan hilang.
Suasana kembali sepi mencekam. Kemudian Rekso
Bagaspati bangkit dan melangkah ke sebuah pintu goa
yang tertutup. Dengan menghentakkan tangan kanannya ke dinding pintu itu,
seketika pintu itu terbuka.
Asap merah bercampur biru mengepul ke luar. Rekso
Bagaspati melangkah masuk, lalu pintu tertutup kembali.
Di dalam ruangan yang cukup luas, terdapat
sebuah ranjang bulat berukuran lebar yang cukup untuk empat orang. Ranjang itu
terbuat dari batu-batu
besar yang ditata sedemikian rupa. Di atasnya tertumpuk dedaunan yang telah
dikeringkan sebagai kasur,
dan dialasi oleh kulit rusa. Di kanan dan kiri ranjang
aneh itu ada obor besar untuk menerangi ruangan.
Begitu Rekso Bagaspati merebahkan tubuhnya
di ranjang itu, empat wanita muda yang cantik-cantik
masuk dari pintu-pintu rahasia. Pakaian mereka minim dengan bagian dada dan
bawah hanya ditutupi
kulit binatang. Keempatnya langsung naik ke atas ranjang mereka siap melayani
nafsu Rekso Bagaspati yang
luar biasa. Tak heran karena Rekso Bagaspati setengah manusia, setengah setan!
Ia titisan setan dengan
kalung Safir Bermata Iblis!
Dengan buasnya Rekso Bagaspati menerkam,
menciumi dan menggeluti salah seorang dari empat perempuan muda itu. Sedang yang
lain terus membangkitkan birahi Rekso Bagaspati dengan segala cara. Mereka harus
bisa memuaskan Rekso Bagaspati dan menuruti semua kehendaknya. Kalau tidak,
perempuanperempuan itu akan lebih cepat dibunuh dan darah
serta dagingnya dimakan untuk memperpanjang ilmu
setan Rekso Bagaspati.
Setiap bulan purnama, pasti akan ada korban
untuk persembahan bagi guru Rekso Bagaspati yang
tak lain arwah bekas pemimpin orang-orang aliran setan yang dikenal dengan
sebutan Dedemit Kolobendono. Ia baru menampakkan dirinya jika Rekso Bagaspati
telah menyediakan darah perawan! Wujudnya sangat
menyeramkan. Akibatnya Rekso Bagaspati harus mendapatkan darah perawan bila
waktunya tiba. Jika tidak, dia akan kehilangan ilmu sekaligus jiwanya.
Seringkali Rekso Bagaspati turun sendiri untuk
mencari darah perawan. Itu sebabnya Rekso Bagaspati
sangat ingin sekali memusnahkan Pendekar Gila yang
selalu membela kaum lemah. Dan Pendekar Gila merupakan musuh utamanya! Dan harus
dibinasakan dengan segala cara.
*** Sena Manggala berada di Kadipaten Pakisaji,
tempat Sentanu tinggal. Tampak dia baru saja ingin
meninggalkan kadipaten itu setelah mengantar Sentanu. Karena dia harus kembali
meneruskan pencarian
jejak Rekso Bagaspati.
"Sebenarnya kami ingin menahanmu tinggal satu-dua hari lagi di sini. Tapi kami
tak bisa memaksa.
Namun demikian, sudilah kau mampir lagi ke tempat
yang sederhana ini," ujar Sentanu, melepas kepergian
Sena. Sena hanya tersenyum sambil menggarukgaruk kepala.
"Terima kasih. Kalau Tuhan mengizinkan, aku
akan kembali kemari," jawab Sena bersahabat.
Selesai berkata begitu, Pendekar Gila segera
melangkah pergi. Sentanu memperhatikannya dengan
penuh haru, mengiringi kepergian Sena. Seraya melangkah, Sena melambaikan
tangan. Dan dibalas oleh
Sentanu dan beberapa muridnya. Perpisahan yang
sangat mengharukan bagi mereka. Namun mereka sama-sama menyadari, bahwa sebagai
manusia, mereka
tidak bisa menghindar dari perpisahan. Terlebih perpisahan tersebut terjadi
karena Sena harus melanjutkan
tugasnya untuk menegakkan kebenaran.
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap
tubuh Sena telah berada di pesisir Pantai Banjaran, di
mana sehari sebelumnya dia bermalam di tempat itu
bersama Sentanu.
Sejenak Sena menghentikan larinya. Matanya
memandang ke sekeliling tempat itu. Kemudian perjalanannya diteruskan. Sena tiba
di perbukitan yang
tampak sepi. Sementara itu matahari yang tadi berada di sebelah timur, kini telah berada di
atas kepala Sena. Terik matahari membuat Pendekar Gila menyeka keringat yang
membasahi keningnya. Kemudian tubuhnya
melesat pergi ke arah timur.
Ketika Sena sampai di tempat lapang yang dikelilingi batu cadas, terdengar
keributan dari arah bawah
tempatnya berdiri. Hal itu mengundang perhatian pemuda tampan itu. Bergegas
tubuhnya mencelat ke
pinggir jurang. Dari tempat itu, mata Sena dapat melihat seorang wanita berbaju
warna biru muda tengah
dikeroyok dua lelaki berwajah bengis.
Ditilik dari penampilan dan sikap kedua lelaki
itu, tampaknya mereka bermaksud merampok sekaligus hendak menggagahi gadis yang
dikeroyok. Wanita yang rambutnya digelung dengan sebagian sisa rambutnya dibiarkan terurai
di bagian belakangnya, tampak gesit menangkis atau menyerang kedua perampok yang
bertingkah konyol itu. Pedang wanita itu beradu dengan senjata perampok yang
berbentuk tombak bermata tiga dengan panjang hanya setengah tombak biasa.
Karena kain yang dikenakan wanita itu memiliki belahan di depan tanpa celana
panjang di baliknya
maka ketika kakinya menendang tinggi, terlihat jelas
paha dan betisnya yang putih dan mulus.
Saat itu kedua pengeroyoknya sesaat menghentikan serangan. Mata mereka langsung
melotot menyaksikan keindahan yang luar biasa tersebut.
Melihat lawannya terkesima, wanita yang dikeroyok tak menyia-nyiakan kesempatan
baik yang dimi-
likinya. "Heaaa...!"
Dengan cepat wanita itu membabatkan pedangnya ke arah kedua perampok itu. Kontan
saja mereka yang menghentikan serangannya karena terpana akan
kemulusan paha dan betis wanita ayu itu, menjadi pucat.
Seorang dari mereka yang terlambat menghindar hampir saja tergores ujung pedang
wanita itu, kalau saja temannya tidak menubruknya ke samping
dengan cepat "Hah"! Hampir saja leherku amblas!" maki lelaki yang hampir terbabat lehernya
itu. Mereka segera siap menyerang wanita itu kembali. Keduanya melabrak serentak
dengan senjata masing-masing, seolah begitu bernafsu untuk menjadikan
wanita itu sebagai bulan-bulanan mereka.
Pedang perempuan itu kembali beradu dengan
tombak bermata tiga milik para penyerangnya. Namun
kemampuannya untuk bertahan menghadapi senjatasenjata maut itu tidaklah lama.
Kedudukannya makin
tidak menguntungkan, dikepung dari dua penjuru.
Sampai akhirnya sinar putih berkelebat di depan hidung wanita itu dari atas ke
bawah dan.... Bret! Bret! Bret..!
Ketika wanita itu memandang ke bawah, ternyata tiga kancing bajunya tersingkap
lebar. Sepasang
mata lelaki botak dan kawannya langsung membelalak
menyaksikan satu pemandangan yang begitu menggiurkan.
Wanita itu cepat-cepat menutupi pakaiannya
seraya melompat mundur. Si botak tertawa tergelakgelak dan tampak dia menelan
ludah, lalu menjulurkan lidahnya. Belum sempat wanita itu merapikan pakaian
atasnya, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda
menuju tempat itu.
Ternyata pengendaranya adalah seorang lelaki
berwajah jelek dan berikat kepala kulit macan tutul.
Mata sebelah kirinya rusak seperti bekas bacokan. Wajahnya yang persegi dihiasi
alis tebal, hidung lebar dan
kumis lebat yang panjang. Tak terlihat keramahan di
bibir penunggang kuda itu, terlebih untuk memperlihatkan senyum. Dialah pemimpin
dua orang yang mengeroyok wanita itu. Pundaknya menyandang pedang, tanpa memakai baju. Dadanya
yang berbulu lebat bagai orang utan membuat perempuan itu makin
dilanda ketakutan. Apalagi ketika lelaki yang baru datang itu dengan kasar
menarik tubuhnya ke atas kuda.
"Ha ha ha.... Kakang, kau datang tepat pada
waktunya! Untuk menikmati santapan lezat ini, bukan..." Ha ha ha...!" sambut
lelaki berkepala botak
sambil memegangi perutnya yang buncit tanpa tertutup baju
"Jangan...! Lepaskan... lepaskan!" teriak perempuan itu sambil berusaha berontak
ketika hendak dinaikkan ke punggung kuda.
"He he he.... Jangan nakal, Manis.... Nanti kau
akan merasakan nikmatnya surga dunia.... Ha ha
ha...!" ujar lelaki berkepala botak. Didorong dan diremasnya pantat perempuan
yang padat itu agar dapat
segera naik ke punggung kuda milik pemimpinnya.
"Auw! Kurang ajar!" bentak perempuan itu seraya terus meronta liar.
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa rasa kasihan, lelaki yang berada di atas
punggung kuda terus menjambak rambut perempuan
itu. "Akh...!"
Perempuan itu memekik kesakitan. Pada saat
itu lelaki berkepala botak dengan kuat mendorong tubuhnya ke atas kuda sampai
terduduk di depan lelaki
berwajah jelek "Dimas berdua tunggu di sini. Aku akan menikmati betina ini sepuas-puasnya.
Setelah itu, baru
Dimas berdua boleh ambil," ujar lelaki berwajah jelek
itu, setelah menotok wanita di depannya.
Selesai berkata demikian, lelaki itu melarikan
kudanya. Tapi baru saja kudanya dilarikan lima tombak, tiba-tiba muncul
seseorang menghadang lari kudanya.
"Bangsat..! Siapa kau..."! Kurang ajar!" bentak
orang itu keras dengan suara serak. Matanya mendelik
marah sekali! "Kau yang kurang ajar, Lelaki Pengecut! Kau
hanya berani sama perempuan! Manusia macam kalian memang perlu diberi
pelajaran!" umpat Pendekar
Gila sambil menggaruk-garuk kepala serta cengengesan. Tingkahnya yang aneh
seperti orang gila itu membuat lelaki berwajah jelek marah karena merasa dihina
begitu rupa. "Kau benar-benar cari mampus, Pemuda Sinting! Kau bicara seenaknya. Apa kau
tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa"!" geramnya penuh amarah.
"Dengan orang utan yang tidak mengerti adat!
He he he...!" jawab Sena disusul tawa mengejek
"Bangsat! Minggir kau, atau..."
Lelaki itu tak melanjutkan ucapannya. Dia
bermaksud langsung menerjang Sena dengan kudanya. Namun entah kenapa kuda itu
tak mau bergerak, seakan takut pada Pendekar Gila yang berdiri tenang tempatnya
sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya tak bergerak sejengkal pun.
Mau tak mau orang itu melompat cepat dari
kuda. Diikuti dengan jatuhnya tubuh perempuan malang yang masih tertotok kaku.
Lelaki berkepala botak beserta kawannya sege-
ra mengurung pemuda tampan namun bertingkah
aneh yang mencari perkara. Senjata mereka terhunus
di tangan masing-masing. Tombak bermata tiga seperti
mengancam tubuh Sena dengan pantulan sinar di
ujung-ujungnya.
Tapi hal itu sama sekali tidak membuat Sena
bergeming dari tempatnya.
"Orang-orang utan ini kenapa jadi marahmarah tak karuan" Hi hi hi...!" ejek
Sena. "Setan alas!"
Amarah lelaki berwajah jelek itu meledak.
"Kau mau mengantar nyawa pada Baga Sura!"
Sret! Lelaki berwajah jelek yang mengaku bernama
Baga Sura itu menghunus pedangnya
"Cincang saja tubuhnya, Kakang...!" seru lelaki
berkepala botak sambil memainkan tombak bermata
tiganya, diikuti temannya yang ternyata bisu. Lelaki itu
hanya bisa tertawa dan mengangguk.
Baga Sura mengayunkan pedangnya di depan
hidung Sena. Pendekar Gila hanya menundukkan kepala. Lalu dengan gerakan yang
sukar ditangkap mata,
tubuhnya berkelebat ke kanan dan menghantamkan
pukulan ke rusuk Baga Sura.
Des! "Aaa...!"
Baga Sura memekik panjang. Tubuhnya terhuyung lima tombak ke belakang. Lelaki
berkepala botak dan temannya tersentak dan mulai ragu untuk
menyerang Pendekar Gila yang tetap cengengesan
mengejek mereka.
"Ternyata kalian hanya orang-orang besar mulut! Tak cocok dengan tampang seram
kalian!" ejek Sena lagi, lalu tertawa riuh rendah.
Baga Sura yang masih sempoyongan berusaha
menyerang Sena kembali. Dia tidak peduli lagi pada
darah segar yang menetes dari mulutnya. Matanya
mendelik penuh amarah, siap melabrak
"Heaaa...!"
Baga Sura membabatkan pedangnya beberapa
kali dengan cepat sambil menerjang ke wajah. Pedangnya berkelebat bertubi-tubi.
Ilmu pedangnya asing dan
aneh di mata Sena. Tapi Pendekar Gila mampu menghadapinya dengan ilmu
meringankan tubuh yang sempurna. Gerakannya seperti lamban, namun sebenarnya
tidak. Itu karena ilmu yang dimiliki Sena sangat tinggi.
Akibatnya tebasan pedang Baga Sura hanya membabat
angin dan batang pohon.
Cras! Pendekar Gila bersalto beberapa kali di udara.
Kemudian kakinya mendarat ke tanah dengan ringan
di belakang Baga Sura. Dicoleknya punggung Baga Sura dari belakang.
Baga Sura membalik cepat. Dia kaget. Saat itu
Sena menyentakkan pukulan yang tak begitu keras di
dada Baga Sura.
Desss! Baga Sura kembali terpental ke belakang dan
membentur anak buahnya yang berkepala botak yang
sejak tadi hanya menonton. Melihat ketangguhan ilmu
silat Pendekar Gila, nyali lelaki berkepala botak itu jadi
menciut. Dia segera memutuskan untuk cepat-cepat
menggotong Baga Sura yang terkulai tanpa daya.
Sementara itu wanita yang belum diketahui
namanya masih tergeletak di tempatnya dalam keadaan tertotok. Sena segera
menghampirinya dan dengan satu gerakan, Sena melenyapkan totokan itu. Wanita
yang berparas cantik dan bertubuh bahenol itu
tersadar. "Oh...! Ke mana manusia-manusia keparat
itu"!" seru perempuan itu, lalu dia berdiri dan membereskan pakaiannya yang
koyak. Sena diam tak menjawab. Pendekar muda itu
nampak acuh saja melihat tingkah perempuan di dekatnya.
"Tentunya Tuan yang telah menolongku. Terima
kasih. Aku tak akan lupa membalas kebaikan Tuan...,"
ucap perempuan itu dengan suara lembut sambil mendekati Sena yang terus
menggaruk-garuk kepala. "Namaku Sekarsari.... Tuan siapa?"
Pendekar Gila segan menjawab pertanyaan wanita yang mengaku bernama Sekarsari
itu. Kakinya malah melangkah menjauhi tempat itu.
"Sebaiknya kau pergi. Pulanglah ke desamu.
Hari sudah menjelang malam. Tak baik seorang perempuan berjalan bersama laki-
laki. Lagi pula, aku
bukan laki-laki yang suka ditemani perempuan."
Mendengar tutur kata Sena, Sekarsari hanya
tersenyum. Perempuan itu makin mendekati Sena
yang terus berjalan meninggalkannya. Merasa tidak
dipedulikan, Sekarsari mulai mencari akal. Sejenak dia
berpikir sambil terus menguntit Sena.
Beberapa hari ini aku menemukan orang yang
aneh-aneh. Pertama orang bercaping dengan pakaian
sama dengan Rekso Bagaspati yang begitu saja menghilang. Kini aku bertemu
perempuan yang cukup cantik. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada
diri perempuan yang mengaku bernama Sekarsari ini.
Ah...! Dunia makin tua. Makin banyak orang aneh! Gerutu Sena dalam hati sambil
melangkah. Sena terus
berpikir tentang manusia-manusia aneh yang begitu
muncul terus menghilang. Seperti halnya orang bercaping yang ditemuinya di
kedai. "Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan Sekarsari yang mem-
buat Sena menghentikan langkahnya dan menoleh ke
belakang. Dilihatnya perempuan muda yang cantik
dengan dandanan seronok itu terjatuh. Sepasang tangannya memegangi kaki kanannya
yang mungkin terkilir atau digigit binatang. Sena tak langsung menghampiri.
Pemuda itu hanya menggaruk-garuk kepala
sambil cengar-cengir.
"Tolong...! Tolong kakiku, Tuan. Aduh....
Huuu...!" rengek Sekarsari. Wajahnya tampak menahan sakit. Sena yang memang
tidak bisa melihat wanita dalam kesusahan, mau tak mau melangkah mendekati
Sekarsari yang sedang meringis kesakitan.
"Tolong kakiku, Tuan... Di bagian ini terasa kejang," ujar Sekarsari sambil
menunjuk bagian pahanya
yang tersingkap dengan tangan kanan. Paha mulus itu
terlihat jelas di mata Sena. Sena membuang muka
sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dia kembali berdiri dan melangkah
meninggalkan Sekarsari. Ternyata
Sekarsari hanya berpura-pura, karena dia tak ingin ditinggal oleh Sena.
Sekarsari tersenyum genit seraya
menggigit bibirnya. Kemudian dia bangkit mengejar
Sena yang sudah tiga tombak di depannya.
"Apakah Tuan marah padaku?" tanya Sekarsari
setelah berada di samping Sena.
Sena tak menjawab. Pandangannya lurus ke
depan. Wajahnya tampak kesal.
"Maafkan aku, Tuan. Tapi bukan maksudku
mempermainkan Tuan. Aku hanya tak ingin ditinggal
sendirian di daerah yang penuh dengan orang-orang
jahat ini," ujar Sekarsari dengan suara masih lembut
Sena menghentikan langkahnya, lalu menatap
Sekarsari dengan pandangan menyelidik. Tatapan mata Sena tajam, bagai menembus
sukma perempuan itu.
Sekarsari yang dipandang demikian rupa jadi gugup.
Kepalanya segera menunduk. Sena malah cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala.
"Kau belum menceritakan kenapa kau sampai
dihadang oleh orang-orang tadi. Lalu, apa tujuanmu
memasuki daerah rawan ini?" tanya Sena menyelidik.
Nada suaranya tegas.
"Mungkin... aku akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau menerangkan
siapa dirimu dan mengapa mau menolongku," ungkap Sekarsari
dengan suara lebih tegas. Tak selembut tadi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya lagi, lalu
menggeleng-geleng.
Kau tak perlu tahu namaku, aku hanya manusia biasa yang tak tentu tujuan. Dan
kau tanya kenapa
aku mau menolongmu" Itu memang sudah kewajibanku. Aku selalu rela menolong orang
yang lemah dan tertindas. Begitulah aku...," tutur Sena tanpa maksud
menyombong. "Untung aku bertemu dengan Tuan. Kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi santapan
manusiamanusia keparat tadi. Sekali lagi ku mohon Tuan mau
memberi tahu nama Tuan. Biar hatiku lega...," ucap
Sekarsari setengah mendesak.
Sena memandang wajah perempuan muda itu
dalam-dalam. Kemudian kepalanya menganggukangguk.
"Baiklah. Aku Sena.... Dan, sekarang kuminta
kau menjelaskan tujuanmu. Kalau tidak, aku akan segera pergi. Banyak hal yang
harus kuselesaikan," kata
Sena agak mengancam.
"Baik..," ujar Sekarsari. "Aku datang dari jauh,
dari sebuah perkampungan nelayan di Pantai Selatan.
Letaknya tak jauh dari Kadipaten Pakisaji. Sedangkan
tujuanku ke tempat ini untuk mencari seseorang."
"Mencari seseorang?" ulang Sena. "Siapa orang
itu" Suamimu" Atau...?"
Sena mengerutkan kening dan menggarukgaruk kepala.
"Rekso Bagaspati!" jawab Sekarsari mantap.
Pendekar Gila terkejut mendengar jawaban perempuan cantik itu.
"Ada urusan apa kau dengannya" Soal kalung
keramat itu juga, atau apa?"
"Bagaimana kau tahu tentang kalung itu..."!"
tanya Sekarsari. Dia juga tampak terkejut "Kalung itu
tak habis-habisnya menimbulkan malapetaka!"
Sena jadi makin ingin tahu tentang siapa dan
apa tujuan wanita itu.
"Jadi kau tahu banyak tentang kalung itu..."
tanya Sena. Yang ditanya tidak menjawab.
"Ayo, jawablah. Mungkin kita bisa bekerja sama...," bujuk Sena,
"Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh
liku-liku dan bahaya. Malapetaka mengancam setiap
saat. Apalagi bagi kami, kaum hawa..."
"Ucapanmu mungkin benar. Hanya saja, tentu
kau mempunyai alasan untuk mencari Rekso Bagaspati yang juga pernah mau
membunuhku...," ujar Sena
menjelaskan. Sekarsari yang mendengar keterangan Sena jadi mengerutkan kening. Ditatapnya
Sena dengan pandangan tajam, seakan menyelidik kebenaran ucapan
Sena. Lalu setelah merasa kalau Sena berkata jujur,
Sekarsari menarik napas panjang. Pandangannya dialihkan ke depan. Matanya
menerawang jauh.
"Aku ingin membunuh Rekso Bagaspati!"
Jawaban Sekarsari itu membuat Sena kaget
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Dia merasa Sekarsari
terlalu nekat. "Membunuh orang seperti Rekso Bagaspati bu-
kan soal mudah. Apalagi kau seorang perempuan. Bukan aku merendahkan ilmumu. Kau
tahu lebih banyak
tentang kesaktian kalung keramat itu, bukan?"
Sekarsari kembali berpaling ke arah Sena. Perempuan cantik itu menyeringai.
"Jika kita memakai otak, apa pun pasti bisa dilakukan."
Sena mengangguk-angguk. "Dia telah membunuh suamiku!" ujar Sekarsari kembali.
Nada suaranya begitu geram. "Ooo...! Urusan dendam kesumat rupanya?" kata Sena pula. "Tapi mengapa sampai
Rakso Bagaspati
membunuh suamimu?"
"Dia merampas kalung itu! Kalung itu milik suamiku!"
"Apa..."!" Sena kembali terkejut
"Kalung itu mulanya milik Kakang Waskita, suamiku...," tutur Sekarsari kemudian.
Suaranya agak tersendat. Sena kembali mengangguk-angguk. Kemudian
dia menghela napas panjang. Sena tampak tertarik
dengan ucapan Sekarsari tadi.
"Apakah kau tahu dari mana suamimu mendapatkan kalung keramat itu...?" tanya
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sena tiba-tiba,
membuat Sekarsari agak kaget.
Wanita itu mengerutkan kening. Ditatapnya wajah Sena penuh selidik. Sena yang
dipandangi seperti
itu hanya menggaruk-garuk kepala dan tersenyum.
Setelah berpikir beberapa saat dan menganggap
pendekar yang telah menyelamatkannya adalah orang
baik-baik, maka Sekarsari memulai ceritanya.
"Sepuluh tahun silam, suamiku bertengkar
denganku. Malam harinya dia pergi ke Pantai Karang
Loh. Seperti biasa, jika habis bertengkar denganku,
suamiku melakukan hal demikian. Dia menyendiri,
untuk menghindari pertengkaran lebih jauh. Suamiku
sebenarnya sangat mencintai ku. Hanya terkadang aku
sering tak tahan dengan kemiskinan yang kami alami.... Itulah yang terkadang
membuatku suka marahmarah."
Sejenak Sekarsari menghentikan ceritanya. Wajahnya menampakkan kesedihan yang
dalam. Bola matanya yang bening, kini sudah digenangi air mata.
Setelah menyeka air mata, Sekarsari kembali
melanjutkan ceritanya.
"Sejak itu Kakang Waskita menghilang entah ke
mana. Saat itu hidupku terasa seperti neraka. Untung
para tetangga senasib, semuanya baik terhadapku.
Mereka semua memperhatikan keadaanku. Dan rupanya suamiku ingin membahagiakan
aku. Dia mencari
ilmu dengan bertapa di sebuah goa di tepian Pantai Selatan. Tapi dia selalu
gagal. Godaan selalu menghalanginya. Akhirnya suamiku pergi ke sebuah pulau
kecil yang bernama Pulau Kandaran. Di pulau itulah suamiku mendapatkan satu benda
keramat berupa kalung
iblis dengan rantai kayu hitam bermata safir. Menurut
suamiku, seorang lelaki tua renta mula-mula muncul
di hadapannya. Dan secara perlahan lelaki tua itu berubah wujud menjadi sosok
makhluk menyeramkan.
Makhluk itu tinggi besar bagai raksasa. Wajahnya dipenuhi dengan darah serta
bertaring. Matanya berlubang seperti tengkorak. Telinganya panjang. Mengerikan!
Suamiku mula-mula takut, tubuhnya gemetaran,
dan wajahnya pucat. Namun secara mendadak ketakutannya hilang begitu saja ketika
makhluk menakutkan
itu menghembuskan napas yang bau amis! Makhluk
itu berjalan di atas air laut menghampiri suamiku yang
masih duduk bersila di dalam sebuah goa karang di
tepian pantai pulau itu...."
Sejenak Sekarsari menghentikan ceritanya. Dia
menarik napas panjang. Sementara Sena memperhatikan wanita itu sambil menggaruk-
garuk kepala. Cukup
aneh dan mengerikan juga ceritanya....! Nilai Sena dalam hati. Matanya dengan
tajam menatap Sekarsari.
"Lalu, bagaimana selanjutnya?" tanya Sena perlahan.
Sekarsari menoleh ke arah Sena. Sejenak ditatapnya pemuda gagah itu. Kemudian
Sekarsari memulai ceritanya lagi.
"Menurut suamiku, makhluk itu bisa berubahubah wujud. Sebelum, memberi kalung
itu, makhluk itu mencoba tekad suamiku. Kalau suamiku gagal, dia
akan mati. Tapi kalau berhasil, kalung keramat itu
akan menjadi miliknya. Makhluk ini menjelma menjadi
seorang wanita yang sangat cantik. Dengan segala cara
dia mencoba merayu agar iman suamiku runtuh. Tapi
ternyata suamiku tabah. Setiap cobaan lain yang lebih
menyeramkan dan menggiurkan dapat dilawan oleh
suamiku. Sampai akhirnya kalung berkekuatan gaib
itu diberikan pada suamiku. Menurutnya, ketika kalung keramat itu ada di
pangkuannya, seluruh badannya terasa panas dingin beberapa saat. Namun kemudian
kembali seperti biasa dan dia merasa lebih segar
dan kuat..."
Sena yang mendengarkan mengangguk-angguk
tanda mengerti.
"Sungguh aku salut akan ketabahan suamimu.
Lalu, bagaimana ceritanya kalung itu bisa jatuh ke
tangan orang lain...?" tanya Sena ingin tahu lebih jauh.
Sekarsari menghela napas panjang. Kemudian
memulai kembali cerita tentang suaminya.
"Rupanya kesaktian dan keampuhan kalung
keramat itu sudah tersebar ke mana-mana. Terutama
ke telinga Pangeran Pari Ongso yang tamak. Dia orang
yang paling tergiur untuk memiliki kalung keramat itu.
Dengan berbagai cara dia berusaha agar suamiku mau
menyerahkan kalungnya. Suamiku dibujuk dengan
imbalan harta, uang, serta kedudukan yang terhormat
di kadipaten. Namun suamiku menolaknya. Karena
kami ingin ketenangan. Apalagi aku sedang hamil tua.
Lagi pula, suamiku termasuk salah seorang yang paling benci pada Pangeran Pari
Ongso. Karena pangeran
itu licik. Sifatnya buruk, tidak ada belas kasihan pada
rakyat kecil."
Kembali Sekarsari menghentikan ceritanya. Dia
menelan ludah sejenak. Kesempatan itu digunakan
Sena untuk bertanya lagi.
"Lalu, bagaimana tindakan pangeran itu selanjutnya" Dan juga suamimu?"
"Pangeran menyewa jawara-jawara untuk membunuh suamiku serta menteror ku. Tapi
suamiku selalu dapat mengalahkan orang-orang sewaan Pangeran
Pari Ongso. Karena rencananya selalu gagal, maka
dengan licik dia pura-pura bertobat akan perbuatannya. Setelah suamiku tahu
kalau yang merencanakan
pembunuhan terhadap dirinya adalah Pangeran Pari
Ongso. Dasar suamiku orang yang lugu serta mudah
memaafkan. Maka suamiku tak jadi membunuh pangeran itu. Dengan siasat liciknya,
pada suatu malam
pangeran mengundang suamiku untuk merayakan
persahabatan mereka. Tapi ternyata suamiku diracuni
oleh pangeran. Minuman untuk suamiku diberi bubuk
racun ganas. Seketika suamiku sekarat dan mati, maka dengan mudah kalung keramat
itu pindah ke tangan Pangeran Pari Ongso.... Kematian suamiku mengejutkan semua
orang, terlebih diriku. Sedangkan mayat
suamiku tak dapat ditemukan," Sekarsari menghentikan ceritanya. Tanpa terasa dia
telah menangis.
Sena yang melihatnya jadi merasa iba. Beberapa saat hening, hanya isak tangis
Sekarsari yang terde-
ngar. "Setelah Pangeran Pari Ongso mendapatkan kalung itu, dia menghilang entah ke
mana. Tumenggung
Adipura yang mengetahui kebusukannya, dibunuhnya
juga. Aku telah kehilangan segalanya. Sementara itu
kandungan ku semakin membesar. Aku jatuh sakit..."
Sena makin iba mendengar akhir cerita Sekarsari. Dia coba menenangkan hati
Sekarsari dengan
memegang bahu wanita itu dengan lembut
"Maaf.... Seharusnya aku tak menanyakan lebih
jauh padamu, Sekar...."
"Tidak apa-apa...," sahut Sekarsari sambil
menggelengkan kepalanya. "Biar kau mengerti keadaanku sebenarnya.... Bayiku mati
begitu lahir...."
Kembali Sekarsari terisak-isak. Sedih saat teringat masa silamnya. Sementara
Sena hanya menghela napas panjang seraya menggeleng perlahan. Wajahnya masih
tampak terharu.
"Manusia iblis itu harus dilenyapkan secepatnya," gumam Sena geram.
Sekarsari masih terisak-isak. Disekanya air mata yang membasahi pipinya dengan
kain. "Setelah seminggu melahirkan bayiku, aku meninggalkan Desa Karang Loh untuk
menghilangkan kenangan buruk yang ku alami. Pikiranku kacau. Kuikuti langkah kaki. Jika sudah
merasa lelah, baru aku
istirahat di mana saja...."
"Kenapa kau tidak mencari handai taulan atau
sanak saudara?" tanya Sena lembut dan hati-hati, takut kalau Sekarsari
tersinggung. "Aku tak mempunyai siapa-siapa lagi. Aku anak
tunggal...," jawab Sekarsari lemah. "Di benakku saat
itu hanya ada satu tekad untuk membalas dendam
pada Pangeran Pati Ongso yang telah tersohor dengan
nama Rekso Bagaspati...! Tapi aku tak memiliki ke-
pandaian ilmu silat. Didorong oleh tekad dan rasa dendam yang membara dalam
diriku, aku mencari tahu di
mana tempat perguruan silat yang paling tersohor....
Sampai ujung dunia pun aku akan datangi, asal aku
bisa menjadi pendekar wanita yang tangguh. Namun
harapanku selalu gagal. Rasanya tidak ada titik terang
dalam kehidupanku...."
Sekarsari menarik napas panjang. Dipandanginya Sena sebentar dengan tatapan
sayu. Sementara
Sena hanya diam. Lalu tangannya menggaruk-garuk
kepala. Bibirnya tersenyum tulus. Sungguh malang
nasib wanita ini...! Kata Sena dalam hati.
"Rupanya Hyang Widhi masih memberikan
ujian padaku. Semua orang sepertinya jijik bila bertemu denganku, karena
pakaianku seperti gembel. Rasanya saat itu aku ingin mati saja. Habis cobaan
satu, muncul cobaan lain yang lebih menyakitkan...."
Sejenak Sekarsari menghentikan ucapannya.
"Pernah suatu hari menjelang magrib, aku bermaksud berteduh di sebuah gubuk
kecil di luar sebuah desa, jauh dari rumah penduduk. Baru saja ku
rebahkan badan untuk melepas lelah, tiba-tiba muncul
tiga lelaki berbadan kekar dan berwajah garang dengan
memakai baju serba hitam. Ketiganya menerkam dengan buas. Mereka hendak
memperkosaku. Aku tak kuasa melawan, walaupun seluruh tenagaku sudah ku
kerahkan. Jangankan tiga orang yang memegang ku,
satu orang pun aku tak sanggup. Apalagi saat itu mereka memegang kedua kaki dan
tanganku, lalu direntangkan lebar-lebar. Sangat mengerikan!"
Kembali Sekarsari menghentikan kata-katanya.
Dia bergidik sendiri.
"Aku hanya bisa berteriak minta tolong, minta
dikasihani oleh mereka. Namun manusia-manusia itu
seakan sudah diselimuti nafsu birahi yang besar. Me-
reka tak menghiraukan lagi ucapanku. Mereka makin
ganas.... Namun pada saat kritis, tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat bagai angin kencang. Dan seketika ketiga lelaki yang hendak
memperkosaku tergeletak
tanpa nyawa lagi. Selanjutnya aku sudah tak ingat
apa-apa lagi, aku pingsan. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah pondok di lereng
gunung. Di situlah aku
mendapatkan pelajaran ilmu silat dari seorang lelaki
tua.... Aku merasa senang sekali...," Sekarsari mengakhiri ceritanya yang cukup
panjang itu dengan menarik napas lega.
Sena tersenyum. Dia merasa ikut senang mendengar cerita Sekarsari, wanita malang
itu. Kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Lalu, sekarang kau hendak ke Tawang Sewu
untuk membalas dendam atas kematian suamimu...?"
Walau tak menjawab, tapi Sena tahu perempuan itu membenarkan ucapannya
"Lebih baik kau kembali ke desa dan melupakan Pangeran Pari Ongso yang kini
menjadi Rekso Bagaspati itu. Susah untuk menandinginya. Apalagi kalung keramat
itu masih di tangannya. Tentu kau tahu
keampuhan kalung maut itu, bukan" Salah-salah kau
sendiri yang celaka!"
"Aku memang sudah siap untuk menyusul suamiku," sahut Sekarsari.
Sena menggaruk-garuk kepala.
"Apakah kau berniat mendapatkan kalung itu
kembali?" tanya Sena kemudian.
"Kalaupun kudapat, kalung sakti itu akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke
dalam laut..."
"Tidak mudah mendapatkan kalung itu kembali. Tidak gampang mencari Rekso
Bagaspati, manusia
seribu muka yang kini menguasainya.... Dan mana
aku tahu kalau kau bukan Rekso Bagaspati yang me-
nyamar menjadi perempuan...?"
Ucapan Sena itu membuat Sekarsari tersentak.
Ditatapnya Sena dengan pandangan menyelidik seraya
menghela napas panjang. Sena yang dipandang begitu
hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Tapi aku percaya kalau kau bukan Rekso Bagaspati. Wajah dan sinar matamu
menunjukkan kau
adalah seorang pendekar yang cukup disegani. Hanya
tingkah Tuan agak aneh. Dan itu yang mengingatkan
aku pada berita di rimba persilatan tentang munculnya
Pendekar Gila...," ucap Sekarsari kemudian.
Kini Sena-lah yang tersentak mendengar tutur
kata Sekarsari yang seperti tahu siapa dia sebenarnya.
Sena jadi makin cepat menggaruk-garuk kepala sambil
cengar-cengir. Lalu dia tertawa-tawa pada Sekarsari
yang terus mengawasi gerak-gerik Sena.
"Kau bicara apa" Lucu-lucu sekali. Bicaramu
ngelantur!" ujar Sena. Lalu dia melangkah pergi. Sekarsari segera memburunya,
lalu berjalan di sebelah
kiri Sena. "Apakah Tuan mau membantuku untukmenemukan dan memusnahkan manusia yang bernama
Rekso Bagaspati itu...?"
"Sebaiknya kau jangan panggil aku tuan.... Aku
hanya orang biasa. Panggil saja Sena...," kata Sena.
"Baik, Sena. Tapi kau belum menjawab maksud
ku...," tukas Sekarsari kemudian.
"Oya..., ya...."
"Jadi kita pergi sama-sama mencarinya?"
"Kita katamu?" tanya Sena.
Sekarsari tersenyum manis.
"Bukankah kau mau membantuku untuk mencari dan menumpas Rekso Bagaspati..." Dan
seperti yang kau katakan, tak mungkin aku sendiri bisa menemukan dan mengalahkan manusia
iblis itu...."
Sena terus menggaruk-garuk kepala. Dia tampak bingung sekali. Bagaimana caranya
agar Sekar tidak bersamanya dalam mencari Rekso Bagaspati" Belum sempat Sena
mendapatkan cara, Sekarsari dengan
nada memohon kembali berucap.
"Kalau kau tak mau membantuku dan membiarkan aku berjalan bersamamu, aku akan
bunuh diri...," ujar Sekarsari seraya mengeluarkan pedang dari
sarungnya. "Eh! Tunggu...! Tunggu...!" cegah Sena yang tak
tega menyaksikan Sekarsari mau bunuh diri. Sebenarnya Sena hanya mencoba sampai
di mana kemantapan
hati Sekarsari. "Baiklah. Tapi, aku ingin kau menyamar sebagai laki-laki. Sebab
aku risih berjalan bersama perempuan. Apalagi secantik kau, bisa terjadi macam-
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
macam." "Hm.... Usul yang bagus! Tapi, di mana aku bisa mendapatkan kumis dan jenggot
palsu...?" keluh
Sekarsari pada Sena.
"Iya, ya. Hm..., gampang. Kita mampir di Desa
Tegal Sari. Itu, di bawah bukit sana...."
Sekarsari mengangguk dan tersenyum. Sena
tak banyak kata lagi. Kakinya diayunkan meninggalkan tempat itu diikuti
Sekarsari. 6 Sena dan Sekarsari yang telah memasuki sebuah desa mengamati daerah sekitarnya.
Tampaknya desa itu biasa-biasa saja. Kesibukan para penduduknya seperti desa-desa lain
yang aman dan tenteram.
Mereka berlalu-lalang dengan kesibukan masingmasing.
Namun di sudut jalan dekat warung kopi, terli-
hat sekumpulan orang yang sedang berjudi. Pakaian
dan wajah mereka menunjukkan kalau mereka bukan
orang baik-baik. Sepertinya bukan penduduk desa itu.
Dan hampir semuanya menyandang golok di pinggang.
Sambil minum, mereka terus berjudi. Tingkah
laku mereka sungguh tak sedap dipandang mata. Bila
ada gadis desa yang sedang lewat, tak segan-segan mereka menggoda atau menjamah
tubuh gadis itu dengan
kasar. Bahkan pada saat Sena dan Sekarsari melintasi
tempat judi itu, mata keduanya sempat melihat seorang dari penjudi yang tidak
ikut bermain sedang merangkul seorang wanita muda dengan paksa seraya
menciumi dan meremas-remas buah dadanya. Wanita
itu hanya bisa menangis sambil mengeluh. Sementara
orang-orang yang lewat tak ada yang berani melarang
atau membela wanita muda itu.
"Keparat! Ternyata orang edan ada di manamana. Aku yakin mereka itu komplotan
lelaki yang mengeroyokku tadi...!" kata Sekarsari dengan geram.
Tanpa banyak omong lagi, dia melesat ke arah para
penjudi itu. Sena yang tak menduga sama sekali tindakan
Sekarsari, tak sempat mencegah. Dia hanya dapat
memperhatikan dari tempatnya. Sena ingin tahu, sampai di mana keberanian dan
kepandaian ilmu silat Sekarsari yang sesungguhnya.
"Hei, Monyet! Lepaskan wanita itu!" bentak Sekarsari sambil bertolak pinggang
pada orang-orang
yang sedang menggerayangi tubuh wanita muda tadi
Orang yang sedang mempermainkan wanita itu
kaget, termasuk orang yang sedang berjudi. Mereka
menoleh ke arah Sekarsari yang menatap dengan pandangan sinis.
"Phuih! Kalian manusia laknat yang perlu diberi
pelajaran...! Lepaskan wanita itu kataku!" bentak Se-
karsari lagi karena lelaki kurang ajar itu belum melepaskan wanita yang baju
bagian atasnya sudah terbuka. Lelaki itu berkumis dan bercambang lebat dengan
satu mata kirinya ditutup kain hitam. Codetnya melintang di pipi sebelah
kanannya. "He he he...!"
Lelaki itu malah tertawa tergelak-gelak sambil
terus menciumi wanita di pelukannya.
"Kalau kau ingin merasakan ciuman dan remasanku juga, kemarilah! He he he...,"
ujar lelaki bermata
satu, menggoda Sekarsari. Yang lain jadi tertawa terbahak-bahak. Sebagian dari
para penjudi itu kini berpaling dan menghadap ke arah Sekarsari.
"He he he...! Edan, ini baru santapan lezat!
Ayo..., kemarilah, Manis. Jangan galak-galak. He he
he...!" celetuk seorang penjudi sambil menoleh ke arah
Sekarsari. Lalu dia bergerak bangkit, setelah melempari kartunya ke atas meja,
diikuti yang lain.
Kini mereka menghentikan permainan judi. Semua berdiri dengan tingkah laku yang
memuakkan Sekarsari. Konyol dan kurang ajar.
"Biasanya wanita yang galak malah lebih panas
mainnya...!" seloroh orang berperut gendut dan berwajah persegi dengan ikat
kepala menutupi seluruh
rambutnya. Lantas saja semua tertawa tergelak-gelak, Sekarsari sudah tak sabar. Tiba-tiba
tubuhnya menyergap orang yang memegangi wanita desa. Dengan cepat
pula Sekarsari melancarkan pukulan beruntun disusul
dengan tendangan keras ke arah perut dan wajah
orang itu. "Aaa.... Ukh...!"
Dengan gesit Sekarsari melakukan pengamanan terhadap wanita desa itu. Dibawanya
dia menjauhi tempat itu. Lalu Sekarsari kembali menghadapi para
penjudi. Keenam penjudi itu menjadi marah melihat temannya dipermalukan di depan orang-
orang desa yang
sedang berlalu lalang.
"Bangsat! Wanita ini rupanya mau cari mampus. Mau dikasih kenikmatan malah cari
perkara! Serang.,.!" perintah orang berpakaian lebih bagus dari
kelima lelaki lain. Rambutnya panjang melebihi bahu,
serta berikat kepala hitam yang menutupi bagian rambut atasnya. Bajunya lengan
panjang berwarna hijau
tua, celana hitam dan ikat pinggang lebar dari kulit. Di
pinggangnya terselip golok panjang.
Lima penjudi itu serentak menyerang Sekarsari
dengan membacokkan golok masing-masing. Namun
Sekarsari cepat meloncat seraya mencabut pedangnya.
Wanita itu hinggap di atas meja judi.
Wut! Wut...! Lima batang golok segera membabat kaki Sekarsari. Sekarsari kembali melenting ke
udara sambil menendang dengan sepasang kakinya ke arah dua
orang yang berada di kiri dan kanannya.
Buk! Buk..! "Hukh!"
"Akh...!"
Kedua lelaki yang terkena tendangan Sekarsari
terhuyung dua tombak ke belakang. Sekarsari berdiri
tegak kembali di atas meja judi tadi dengan senyum
mengejek "Ayo..., maju kalian semua! Kau juga!" tantang
Sekarsari sambil menunjuk ke arah orang berbaju hitam yang sejak tadi hanya
melihat kawannya bertarung melawan Sekarsari.
Melihat semua itu, Sena yang masih berdiri
tempatnya hanya cengengesan sambil menggaruk garuk kepala.
"Boleh juga ilmu silat perempuan misterius ini"
gumam Sena pada diri sendiri.
Sementara itu pemimpin para penjudi yang
berbaju hijau, telah ikut menyerang Sekarsari dengan
menebaskan golok panjangnya dengan cepat. Batok
kepala Sekarsari pasti akan tertebas, jika dia terlambat
mengelak "Edan!" maki Sekarsari sambil bersalto ke belakang. Lalu dia kembali berdiri.
Dan tanpa menunggu
lama, Sekarsari balik menyerang dengan sabetan pedangnya. Secepat kilat
senjatanya membabat ke tubuh
lawan. Wajah orang yang berikat kepala hitam bagai
bajak laut itu langsung pucat.
Melihat pemimpinnya dalam keadaan genting,
kelima kawannya kembali menyerang Sekarsari dengan golok. Sekarsari yang sudah
benar-benar muak
dengan orang-orang keparat itu segera memapaki serangan lawan. Dengan
mempermainkan pedangnya sedemikian rupa, dia menangkis golok-golok yang
diarahkan kepadanya.
Trang! Trang...!
Pedang dan golok beradu, hingga menciptakan
pijaran api. Sementara golok di tangan kelima lawan
patah, lalu terlepas dari genggaman mereka. Mendapati kenyataan itu, kelima
penjudi yang bertampang seram dan buruk itu kaget bukan kepalang. Kelimanya
saling pandang. Mereka tampak mulai gentar. Perlahan-lahan mereka melangkah
mundur seraya memandang Sekarsari yang berdiri dengan tertawa mengejek
"Ayo, maju. Atau aku yang maju untuk memelukmu! Katanya tadi kalian ingin
menikmati tubuhku,
ayo...!" ujar Sekarsari sinis.
Kelima penjudi tadi tak menjawab. Mereka terpaku.
Tiba-tiba lelaki berbaju hijau tanpa diduga me-
nyerang Sekarsari dari belakang. Namun Sekarsari rupanya sudah menduganya.
Dengan cepat tubuhnya
me-loncat ke udara, lalu berbalik arah sambil menghunus pedangnya. Dan
ditebasnya pedang tersebut ke
dada lawan dengan cepat.
Sret! Cras! "Aaakh...!"
Orang berbaju hijau memekik. Dadanya tersayat. Belum sempat lawan balik
menyerang, Sekarsari
sudah menendang telak ke dada dan wajah orang berbaju hijau itu. Kembali lawan
memekik dengan tubuh
terpental tiga tombak ke belakang. Tubuhnya langsung
membentur meja judi.
Brak! Orang itu tak berkutik lagi. Sementara itu, kelima kawannya berusaha melarikan
diri. Namun Pendekar Gila segera menghadang mereka.
"Hei, kalian belum meminta maaf pada wanita
itu. Cepat kembali!" perintah Sena penuh wibawa.
Kelima orang yang belum mengenal Sena, menurut saja seperti anak sapi. Kini
orang-orang yang
semula ditakuti penduduk desa, tak ubahnya seperti
tikus. Sena hanya cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala memandangi kelima orang yang berjalan ke
arah Sekarsari sambil menatap lelaki berbaju hijau
yang masih pingsan dengan darah mengucur dari mulutnya. Sedangkan dadanya
membiru akibat tendangan Sekarsari tadi.
Sekarsari menoleh ke arah Sena. Sena memberikan isyarat Sekarsari mengangguk.
Lalu kembali melihat kelima lelaki yang terbungkuk-bungkuk mendekatinya.
"Hei! Cepat kalian ke sini!" bentak Sekarsari
"Kalian sudah membuat penduduk desa ini ketakutan
dan menderita. Kini kalian harus menerima ganjaran!"
"Ampun... ampuni kami. Kami tidak akan berbuat buruk lagi...," ratap lelaki
bermata satu. Diikuti
teman-temannya.
"Kau tadi yang mengganggu wanita itu"! Matamu yang tinggal satu itu lebih baik
ku butakan sekalian, biar kau tidak dapat melihat tubuh wanita yang
montok dan cantik..!" ancam Sekarsari sambil menghunuskan pedangnya ke mata
lelaki bermata satu.
Kontan lelaki itu menyembah bersujud di kaki Sekarsari.
"Ampun... ampuni saya.... Ampuni saya. Saya
berjanji tidak akan mengulangi lagi," rengeknya dengan tubuh gemetaran, karena
ujung pedang Sekarsari
masih berada di dekat matanya. Peluh membasahi wajah lelaki itu.
"Ha ha ha.... Dasar lelaki kerdil! Hei, sekarang
aku tanya, siapa yang menyuruhmu memeras orang
desa dan berbuat seenak udel mu di sini"!" bentak Sekarsari kemudian.
Sementara itu lelaki berbaju hijau mulai sadar.
Dengan meringis dia berusaha bangkit, namun tubuhnya masih terasa sakit. Tapi
ketika melihat Sekarsari
mengancam kawannya, secara diam-diam dan licik dia
ingin mengambil kesempatan itu untuk menyerang Sekarsari dari belakang. Dengan
cepat dia bangkit dan
membabatkan golok panjangnya ke leher Sekarsari.
Namun belum sempat pedang itu mendarat di leher
Sekarsari.... "Aaa...!"
Sekarsari kaget dan berbalik sambil melompat
mundur selangkah. Terlihatlah tubuh orang yang hendak membokongnya mengejang
dengan mata melotot.
Setelah itu dia tewas.
Sekarsari memandang Sena. Pemuda yang di-
pandang hanya cengar-cengir sambil menggaruk-garuk
kepala. Lalu dia melangkah menuju kedai kopi.
Sekarsari menghela napas panjang. Ia tahu kalau Sena yang menyelamatkan jiwanya.
Kemudian tubuhnya berbalik ke arah kelima orang tadi.
"Pergi kalian! Katakan pada pemimpin kalian,
bahwa aku menunggu di desa ini. Cepat pergi atau kubunuh kalian!" perintah
Sekarsari keras. Kontan kelima orang itu kabur bagai dikejar setan, keluar dari
Desa Tegal Sari.
Pemilik kedai dan orang-orang yang melihat kejadian tadi tampak kagum pada
kehebatan Sekarsari.
Tapi mereka tidak berani menunjukkan kegembiraan.
Terlihat dari wajah mereka yang tegang, seperti ada sesuatu yang membuat mereka
takut "Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku," ucap Sekarsari ketika sudah
berada di dekat Sena.
Pendekar Gila tak menjawab. Dia tetap diam
sambil cengar-cengir, membuat Sekarsari merasa agak
kesal karena terima kasihnya seolah tidak ditanggapi
Sena. Tapi akhirnya Sekarsari mengerti sifat Sena yang
aneh dan terkadang seperti orang gila itu.
"Sekarang apa rencana kita selanjutnya" Apakah kita perlu tinggal di sini untuk
satu-dua hari?"
tanya Sekarsari pada Sena.
Sena tak langsung menjawab. Dia hanya memandang Sekarsari demikian rupa. Sekilas
terbayang wajah Mei Lie yang sangat dikasihi dan dicintainya.
Sena tersenyum sendiri.
Melihat senyum Sena yang begitu manis, Sekarsari jadi mengerutkan kening. Justru
dia yang merasa risih. Wajahnya jadi bersemu merah. Kepalanya
ditundukkan. "Kenapa kau memandangku begitu, Sena?"
tanya Sekarsari perlahan.
Sena yang mendengar pertanyaan perempuan
itu jadi tersentak dari lamunannya.
"Oh.... Apa kau bilang tadi... He he he...!" Sena
balik bertanya seraya menggaruk-garuk kepala. Wajahnya tampak memerah juga. Dia
merasa Sekarsari
tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Keduanya lalu diam. Sekarsari tidak menjawab
pertanyaan Sena. Dia hanya mengulum bibirnya. Bibirnya yang kini basah karena
dikulum, nampak semakin menggairahkan.
"Sebaiknya kita mencari tahu tentang para penjudi tadi," usul Sena tiba-tiba.
"Ki, siapa orang yang
menjadi kepala desa di sini?" lanjut Sena, bertanya pada pemilik kedai.
"Oh, rumahnya di sebelah sana, Den. Ki Sapto
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namanya. Dia seorang muslim yang taat beribadah.
"Terima kasih, Ki. Permisi...," ucap Sena setelah
membayar pemilik warung itu.
Setelah Sena dan Sekarsari berlalu, penduduk
Desa Tegal Sari mulai ramai membicarakan keduanya.
Mereka pada umumnya merasa senang dengan kehadiran Sena dan Sekarsari. Penduduk
desa itu memang
sangat membutuhkan orang-orang semacam mereka.
Kalau tidak, ketenangan tak akan kunjung datang.
Mereka akan selalu was-was dan ketakutan setiap
saat. Sebab, orang-orang semacam penjudi-penjudi tadi akan datang lagi setiap
waktu. Sena dan Sekarsari akhirnya bertemu dengan
Ki Sapto, Kepala Desa Tegal Sari. Mereka dipersilakan
masuk oleh Ki Sapto yang sebagian rambutnya telah
memutih. Dengan blangkon dan berbaju lengan panjang serta kain seperti layaknya
orang Jawa, Ki Sapto
menerima Sena dan Sekarsari dengan ramah.
"Silakan, silakan... !" sambut Ki Sapto.
"Terima kasih, Ki," jawab Sekarsari perlahan.
Setelah mereka duduk, barulah Ki Sapto menjelaskan keadaan Desa Tegal Sari.
"Mereka memang orang-orang biadab, tak ada
orang lain yang dapat melawan mereka. Aku sendiri
bukannya tidak berani.... Tapi, percuma saja menentang. Mereka didalangi oleh
manusia yang berilmu
tinggi. Aku tidak mau penduduk desa ini dibantai....
Itu sebabnya selama ini aku hanya bisa menahan sakit
di dada. Rasanya aku sudah tidak bisa menangis lagi
jika mendengar atau melihat gadis-gadis desa ini diculik untuk dijadikan
persembahan manusia iblis itu."
"Persembahan" Siapa manusia iblis yang Ki
Sapto maksud?" Sena tampak sangat ingin tahu. Begitu pula Sekarsari. Wajah
wanita itu mulai sedikit tegang.
"Siapa lagi kalau bukan Rekso Bagaspati. Gadis-gadis itu dipersembahkan sebagai
tumbal ilmu setannya. Setiap bulan purnama manusia iblis itu melakukannya. Jika
dia tidak mendapatkan gadis-gadis
yang masih perawan, ilmunya akan hilang...," jawab Ki
Sapto, setelah menghela napas sejenak
"Tak salah lagi. Pasti ini berkaitan dengan kalung keramat keparat itu!" potong
Sekarsari penuh gejolak kemarahan. "Di mana sarang manusia iblis itu,
Ki?" "Aku tidak bisa menjelaskan. Manusia itu bagai
setan. Tidak seorang pun yang tahu di mana sarangnya.... Inilah yang
merepotkan," jawab Ki Sapto sambil
memegangi keningnya. Lelaki setengah baya itu tampaknya sedang berpikir.
Sekarsari menarik napas panjang. Kepalanya
menoleh ke arah Sena yang tengah menggaruk-garuk
kepala. Ki Sapto terdiam, seakan digelayuti kekhawati-
ran setelah memberi tahu semua hal tadi pada Sena
dan Sekarsari. Sena tahu, apa yang sedang dipikirkan
Ki Sapto. "Ki Sapto tidak usah takut. Tak ada orang yang
akan mengganggu Aki," tutur Sena pada Ki Sapto.
"Kalau diizinkan, biarlah malam ini kami menginap di rumahmu, Ki," timpal
Sekarsari, memutuskan
dengan tiba-tiba.
Sena tentu saja menjadi tersentak. Dia sempat
mendelik ke arah Sekarsari yang dianggapnya lancing.
Sekarsari hanya mencibir pada Sena.
"Ooo.... aku malah lebih senang kalau kalian
berdua mau bermalam di rumah yang jelek ini...," jawab Ki Sapto penuh
kegembiraan. "Ayo, silakan diminum Den..."
"Terima kasih, Ki...," kata Sekarsari sambil
menganggukkan kepala.
Sena menarik napas panjang. Dia menggelenggeleng sambil menggaruk-garuk kepala.
Malam pun tiba perlahan. Sepi mencekam hari
yang kian kelam. Suasana sangat angker. Tak seorang
pun berani keluar rumah. Sebagian lampu rumah sudah dipadamkan. Padahal hari
baru lepas magrib.
Angin bertiup kencang dari arah hutan di sebelah barat Desa Tegal Sari. Disertai
lolongan anjing hutan yang melengking panjang.
Sena terlihat berada di serambi rumah Ki Sapto. Pemuda itu duduk bersila di atas
sebuah balai-balai
beralaskan tikar yang agak usang. Matanya menatap
tajam ke depan. Seperti patung, ia tak bergerak sedikit
pun. Rupanya Sena sedang memusatkan pikirannya.
Dari pintu tampak Sekarsari muncul. Sesaat
wanita itu berhenti memandangi Sena yang sedang
bersemadi. Sekarsari tak ingin mengganggu. Dia sen-
gaja menunggu sampai Sena selesai.
Setelah Sena selesai bersemadi, barulah Sekarsari mendekati dan duduk di
sebelahnya. Sena menggeser tubuhnya agak jauh dari Sekarsari. Namun Sekarsari
tidak tersinggung, karena dia tahu kalau Sena
memang tidak seperti lelaki lain.
"Kenapa kau belum juga tidur?" tanya Sena datar.
"Belum ngantuk. Kau sendiri...?" Sekarsari balik bertanya. Suaranya terdengar
manja. Sena makin kesal. Ingin rasanya dia pergi meninggalkan perempuan itu, tapi dia
tidak mau melukai
perasaan wanita. Jadi dia hanya bisa menahan hati
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Penduduk desa ini rupanya begitu takut dengan Rekso. Lihat, semua pintu rumah
tertutup rapat.
Sepi, sepi sekali. Mungkinkah Rekso malam ini akan
muncul seperti ucapan Ki Sapto tadi sore?" Sekarsari
langsung bicara soal Desa Tegal Sari yang dilanda bencana yang diciptakan Rekso
Bagaspati dan anak
buahnya. "Kita tunggu saja. Tapi menurut firasat ku,
Rekso tak mungkin muncul. Dia akan muncul pada
bulan purnama nanti," jawab Sena.
"Kalau begitu, sekitar empat hari lagi. Tapi perasaanku berkata lain. Dia akan
muncul malam ini.
Karena dia tahu kita sedang berada di sini untuk mencarinya," ujar Sekarsari
mantap dan penuh keyakinan.
Baru saja Sekarsari selesai berkata, tiba-tiba
terlihat selarik sinar kemerahan meluncur dari ujung
desa sebelah barat. Sena segera bangkit. Demikian pula Sekarsari. Malah Wanita
itu hendak bergegas pergi.
Namun Sena cepat menahannya sambil memberi isyarat agar Sekarsari duduk kembali.
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar jeritan yang mengejutkan Sena dan Sekarsari dari dalam
rumah Ki Sapto.
Sena segera melesat masuk ke dalam rumah, disusul
oleh Sekarsari.
Apa yang mereka lihat" Tubuh istri Ki Sapto
kaku membiru. Sedangkan Ki Sapto tampak tertunduk
menghadapi mayat istrinya. Terdengar desah napas
dan isak tangis Ki Sapto yang masih membelakangi
Sena dan Sekarsari.
Tanpa curiga apa-apa, Sekarsari segera mendekati Ki Sapto. Baru saja dia
menyentuh punggung lelaki setengah baya yang dikenal sebagai muslim yang
taat beribadah, mendadak dia berbalik dan menyerang
Sekarsari. Wajah Ki Sapto tidak lagi terlihat lembut dan
soleh. Wajahnya telah berubah garang, dengan mata
merah serta gigi yang dibasahi darah.
Sekarsari segera terkena pukulan dan terpental
tiga tombak ke belakang. Tubuhnya membentur dinding rumah dari bilik hingga
jebol. Sena yang melihat
hal itu, dengan cepat menghadang Ki Sapto yang hendak menyerang Sekarsari.
Dengan pukulan beruntun,
Pendekar Gila menghantam dada Ki Sapto yang rupanya telah dirasuki roh Rekso
Bagaspati. Rupanya, sinar merah tadi yang menjadi penyebab, bisik Sena dalam hati sambil
terus melancarkan serangan.
Satu tendangan kaki kanan Sena tepat mengenai ulu hati Ki Sapto. Lelaki itu
mengerang. Suara
yang terdengar bukan seperti manusia. Erangannya
bagai erangan makhluk halus yang melengking aneh.
Sena segera mengumpulkan tenaga dalamnya untuk
menghadapi setiap kemungkinan.
Kesiagaan Sena ternyata beralasan. Tiba-tiba
jari telunjuk Ki Sapto retak-retak dan mengeluarkan
selarik sinar merah yang meluncur ke arah Sena. Pendekar Gila cepat memapak
sinar itu dengan menghentakkan kedua telapak tangannya.
"Heaaa...!"
Blar! Blar! Terdengar ledakan yang dahsyat. Tubuh Sena
terhuyung selangkah ke belakang. Dan Ki Sapto tampak pucat. Kemudian secara
tiba-tiba tubuhnya menjadi biru. Bibirnya menyeringai sebelum tubuhnya ambruk.
Bersamaan dengan itu, terdengar gelak tawa dari
seseorang. Dan Pendekar Gila segera berbalik, ternyata
Rekso Bagaspati telah menampakkan wujudnya yang
asli. Dengan pongah manusia iblis itu berdiri memandang Sena dengan tajam.
Tangan kirinya tampak menenteng tubuh Sekarsari.
Sena terbelalak melihat Sekarsari dalam cengkeraman Rekso Bagaspati.
"Ha ha ha.... Ternyata Pendekar Gila yang tersohor di rimba persilatan sangat
mudah tertipu oleh
ku. Ha ha ha...! Kini sudah saatnya kau mati, Pendekar Gila. Dan aku akan lebih
leluasa melaksanakan
keinginan untuk menguasai jagat. Ha ha ha...!" ejek
Rekso Bagaspati sambil tertawa tergelak-gelak.
Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala.
Meski begitu dia tetap waspada dan siap melancarkan
serangan ke arah Rekso Bagaspati. Tapi sebelum Pendekar Gila melancarkan
serangan, dari tubuh Rekso
Bagaspati tiba-tiba bermunculan manusia-manusia
aneh mirip mayat hidup dengan tubuh dan wajah berlumuran darah.
Sena agak terkejut menyaksikan lima orang
mengerikan keluar dari tubuh Rekso Bagaspati. Gelak
tawa Rekso Bagaspati masih terdengar. Seakan mengejek dan ingin membuyarkan
perhatian Pendekar Gila.
Namun Pendekar Gila tak menghiraukan.
Dengan gerakan cepat, Pendekar Gila mengelakkan serangan makhluk jelmaan itu.
Tubuhnya bersalto ke udara, disusul dengan pukulan dan tendangannya.
Des! Des! Rekso Bagaspati jejadian itu terpekik ketika serangan Sena mengenai sasaran.
Namun sesaat kemudian mereka kembali menyerang Sena dari semua
arah. Pendekar Gila segera mengerahkan kembali pukulan dan tendangannya sambil
melompat "Heaaa...!"
Des, des...! Herannya makhluk-makhluk itu tetap kebal
terhadap pukulan dan tendangan Sena. Tanpa terasa,
pertarungan telah berlangsung jauh di luar rumah Ki
Sapto. Kini Pendekar Gila mengerahkan tenaga dalamnya, setelah bersalto menjauhi kelima
makhluk itu. Dengan gerakan cepat Sena mengangkat kedua tangannya, lalu langsung
menghentakkan tangan kanannya ketika lawan-lawannya menyerang bersamaan.
"Heaaa...!"
Selarik sinar merah membara yang keluar dari
tangan Pendekar Gila menghajar kelima makhluk jejadian itu.
Glarrr...! "Aaarghhh...!"
Makhluk-makhluk jejadian itu kontan saja terbakar. Sesaat kemudian mereka
hilang, berganti dengan asap ungu yang bergulung di depan Sena.
Gelak tawa Rekso Bagaspati kembali terdengar
bagai mengguncang bumi.
"Ha ha ha... Pendekar Gila! Kali ini kau berhasil
mengalahkan aku, tapi kau tak akan bisa membunuhku...! Ha ha ha...!"
Disertai hembusan angin yang kencang, suara
Rekso Bagaspati perlahan-lahan menghilang. Keadaan
kembali sepi. Setelah itu Pendekar Gila melesat kembali ke
rumah Ki Sapto. Ternyata rumah itu telah terbakar
habis. Sementara itu orang-orang desa menjerit, seraya
berhamburan ke luar rumah, karena rumah mereka
tiba-tiba ikut terbakar.
Perempuan, lelaki yang muda dan tua menjerit
atau menangis minta tolong. Sena sangat terenyuh melihat semua kejadian
tersebut. Segera dia membantu
penduduk untuk memadamkan api. Dengan ilmunya,
Sena akhirnya dapat memadamkan api yang membakar rumah-rumah penduduk Desa Tegal
Sari. "Terima kasih, Den. Terima kasih.... Kalau tidak
ada Aden, mungkin kami sudah tak memiliki apa-apa
lagi," ucap seorang lelaki tua sambil menggendong cucu perempuannya yang
bertelanjang dada.
"Sudahlah, Ki. Sekarang tenangkan dulu hatimu. Biarlah saya yang akan
membereskan rumahmu,"
ujar Sena tenang. Lalu tangannya menggaruk-garuk
kepala. Setelah itu, dia berlalu dari tempat berkerumun para penduduk desa untuk
melanjutkan perjalanannya mencari Rekso Bagaspati.
Seorang lelaki muda tiba-tiba mengejar Sena.
Setelah dekat, tubuhnya membungkuk memberi hormat.
"Maaf, Tuan Pendekar.... Nama saya Guntoro....
Saya ingin memberitahukan sesuatu pada Tuan Pendekar," ujar lelaki muda yang
mengaku bernama Guntoro itu.
Sena mengerutkan kening seraya menatap tajam pemuda itu.
"Ada apa?" tanya pendek.
"Saya diutus seseorang untuk menyampaikan
pesan pada Tuan Pendekar."
"Pesan" Dari siapa?" tanya Sena heran.
"Dia tidak menyebutkan namanya. Tapi ini pesannya," kata Guntoro sambil
mengulurkan secarik
surat yang terbuat dari daun kering.
Sena mengambil surat itu dari tangan Guntoro.
Dibacanya isi surat itu.
Pendekar Gila! Kalau kau ingin temanmu selamat, kau harus menemuiku besok di
Bukit Tengkorak
menjelang magrib.
Rekso Bagaspati
Selesai membaca surat, Sena menarik napas
dalam-dalam sambil menggaruk-garuk kepala. Tapi
begitu hendak berkata dengan pemuda yang membaca
surat itu, si pemuda yang bernama Guntoro tadi
menghilang entah ke mana. Sena jadi kaget. Dia memandang ke sekeliling tempat
Pendekar Gila 13 Kalung Keramat Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu dengan tajam, tapi
pemuda itu tak terlihat olehnya.
Sena segera berkelebat meninggalkan Desa
Tegal Sari. Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', Sena sudah
berada di suatu tempat yang asing baginya. Tempat
tersebut seakan tidak berpenghuni. Sedangkan tanahnya gersang. Batu-batu cadas
yang menjulang tinggi
menambah keangkeran dan kesan gersang daerah itu
7 Sena terus melangkah menuruni jalan berdebu
di antara tebing cadas. Hari semakin sore ketika Sena
memasuki sebuah desa kecil yang porak-poranda.
Langkahnya dihentikan. Dipandanginya sekeliling desa
kecil itu. Yang tampak hanya serakan mayat-mayat di
sana-sini. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Ia menggelengkan kepala.
"Edan! Ini pasti perbuatan Rekso dan antekanteknya...! Huh...!" rutuk Sena.
Asap mengepul hampir di seluruh desa. Entah
apa nama desa itu, Sena sendiri tak mengenalnya. Sena kembali melangkah
perlahan. Diperhatikannya sesosok mayat perempuan dengan seorang anak kecil
yang mati secara mengerikan di sebelahnya. Muka dan
dadanya hancur. Darah di tubuh keduanya telah mengering.
"Keparat..! Aku harus cepat membinasakan manusia iblis itu!" desis Sena penuh
luapan kemarahan.
Tiba-tiba sebuah gerobak besar muncul dari
ujung desa sebelah utara. Sena segera waspada. Pandangannya tak lepas pada
gerobak yang ditarik dua
ekor kuda. Binatang-binatang itu tampak letih. Itu bisa
terlihat ketika kedua kuda penarik gerobak berhenti di
depan sebuah reruntuhan rumah di ujung jalan desa
itu. Sena cepat mendekati gerobak itu. Kusirnya
seorang lelaki muda beralis tebal dan berbibir dower
turun dari gerobak. Mata sebelah kanannya rusak. Dia
tampak acuh, seakan tak melihat Sena yang berada setengah tombak dari gerobak
"Kisanak. Barang apa yang kau bawa?" tanya
Sena ingin tahu.
Kusir yang ditanya hanya angkat bahu sambil
terus melangkah.
"Kalau mau tahu, periksa saja," ucapnya sera,
tanpa memandang Sena.
Sena mengerutkan kening, lalu menggarukgaruk kepala. Orang ini aneh! Gumam Sena
dalam hati. Lalu didekatinya gerobak itu untuk diperiksa. Tan-
gannya segera menyingkap sebuah karung. Sena terkejut. Matanya membelalak.
"Mayat manusia!" desisnya.
Pendekar Gila menoleh ke arah di mana kusir
tadi berada. Namun kusir gerobak itu sudah lenyap
entah ke mana. Suasana jadi makin mencekam. Hatinya jadi sedikit was-was.
"Kurang ajar, aku telah masuk daerah kekuasaan Rekso. Dia ingin mencoba ilmu
setannya... Edan!"
maki Sena setengah berteriak.
Sena cepat melesat meninggalkan tempat itu.
Baru saja kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba beberapa benda tajam berbentuk
anak panah meluncur ke
arahnya. Sena yang sudah siap menghadapi segala
kemungkinan dengan cepat memapaki senjata-senjata
beracun itu. Kedua telapak tangannya dihentakkan
hingga ajian 'Si Gila Melebur Gunung Karang' menghantam senjata-senjata itu.
Glar! Glar! Kilatan cahaya merah melebur senjata-senjata
itu hingga hancur. Bersamaan dengan itu, terdengar
pekikan panjang di kejauhan. Disusul dengan jatuhnya lima orang dengan tubuh
Memburu Iblis 14 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 22