Kembalinya Si Tangan Setan 3
Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan Bagian 3
tetapi.mengapa harus begitu" Bukankah masih banyak jalan lain yang bisa engkau
tempuh.,.?" Hning Ksaban tersenyum sinis! Kemudian dengan sedih dia berucap:
"Uwa tak tahu. Betapa kejadian itu sangat menyakitkan sekali,
meskipun saat itu aku masih empat
tahun. Tetapi masih segar dalam ingatanku, betapa ayah bertarung mati-matian menghadapi keroyokan yang
jumlahnya sangat banyak sekali. Aku masih dapat mengingat, betapa ibu
merintih dan menjerit-jerit manakala si bangsat Giris Rawa dan beberapa orang
kawannya mencabik-cabik pakaian ibu, lalu setelah itu... mereka..
bangsat terkutuk itu secara bergantian menindih tubuh ibu. Kemudian setelah
dewasa seperti sekarang ini baru
kuketahui bahwa mereka memperkosa
ibuku. Aku melihatnya! Haruskah aku berdiam diri, Uwa...?" isak Hning Ksaban,
dan untuk pertama kalinya si Tangan Setan ini menitikkan air
matanya. Tiada kata yang terucap dari mulut si Tabib. Dia tahu bagaimana
perasaan si gadis saat itu. Seandainya dia sendiri yang mengalami kejadian
itu, diapun tak tahu apa yang harus diperbuatnya terkecuali membalas
dendam. "Menyesal sakali, waktu itu aku tak sempat mengetahui kejadian yang
sesungguhnya. Terkadang sebagai orang tua aku memang seringkali tak
berguna...!" kata Tabib Setan Gila menyesali diri.
"Sudahlah, Uwa tak bersalah!
Semuanya terjadi begitu cepat, yang penting Uwa tak perlu menghalangi
setiap apa yang ingin ku katakan!"
"Adipati Giris Rawa bukan manusia sembarangan, nduk, di samping itu dia juga
memiliki begundal pilihan. Aku selalu mengkhawatirkan
keselamatanmu...!"
Mendengar kata-kat si Tabib,
tiba-tiba Hning
Ksaban tertawa mengekeh. Wajahnya yang tadinya
menunduk sedih kini telah berubah
kembali menjadi beringas, liar dan galak. Lalu dia berkata lantang!
"Hi... hi... hi! Selama lima
belas tahun guruku Setan Tua Tangan Seribu telah mendidikku sedemikian rupa,
terlatih pula untuk memburu
lawan yang manapun. Tak seorangpun yang mampu melukaiku dengan
senjatanya. Giris Rawa dan orang-
orangnya itu akan kubunuh, Uwa...!"
Berkata begitu, tubuh Hning Ksaban nampak berputar-putar. Semakin lama semakin
kencang tak ubahnya bagai
sebuah gasing. Berssamaan dengan itu bergemuruhlah angin kencang bak
laksana suara ribuan lebah. Maka
seiringan bagaikan kapas tubuh Hning Ksaban berkelebat lenyap meninggalkan Tabib
Setan Gila yang termangu di
tempatnya-Orang ini tampak gelengkan kepala begitu mengetahui kehebatan yang
dimiliki oleh Hning Ksaban alias si Tangan Setan.
* * * Rumah kediaman Adipati Giris Rawa
malam itu dipenuhi oleh para pembantu pembantunya. Agaknya sebentar lagi akan
segera di adakan pertemuan khusus dengan sang penguasa Trengganu itu.
Suasana hening menyelimuti segenap ruangan. Tak se-rangpun di antara mereka yang
berani buka suara. Wajah masing-masing nampak tertunduk dalam-dalam. Tak berapa
lama kemudian dari balik sebuah pintu besar yang berukir indah, muncullah sang
Adipati Giris Rawa. Laki-laki berbadan tinggi kurus namun berperut bagaikan gentong itu nampak
melangkah dengan kewibawaan yang dibuat-buat. Beberapa saat
setelahnya dia sudah duduk di
singgasananya yang empuk penuh
kemegahan. Laki-laki berkulit kuning pucat dengan sepasang matanya yang tak jauh
bedanya dengan orang yang sedang mengantuk itu. Untuk beberapa saat lamanya
nampak memandangi tujuh orang pembantu-pembantu utamanya. Di antara mereka
terdapat pula Dingklang. Laki-laki kumis ikan lele yang beberapa hari lalu
sempat menjadi pecundang Tabib Setan Gila.
Setelah puas memandangi para
pembantu-pembantunya, Giris Rawa
menyenderkan kepalanya. Sejurus dia melirik kanan kiri memberi tanda
gundik-gundiknya untuk meninggalkan tempat itu. Setelah perempu-an-perempuan
peliharaan itu semuanya
telah berlalu dari ruangan pertemuan, sambil mengusap-usap perutnya yang gendut
dan lucu diapun mulai membuka percakapan.
"Saudara-saudara sekalian,
tahukah anda mengapa hari ini tidak seperti biasanya, saya mengundang
saudara untuk mengadakan pertemuan ini?" tanya Giris Rawa dengan pongahnya. Yang
ditanya saling berbisik-bisik sesamanya. Lalu secara serentak mereka menjawab.
"Tidak tahu, ya Sang Adipati
Junjungan...!" ucap mereka serentak sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
Bukan main berangnya sang Adipati angkuh itu dibuatnya demi mendengar para
bawahannya. Wajahnya yang kuning pucat itu semakin bertambah pucat
karena menahan marah.
"Guoblook semua kalian ini! Dua puluh lima sen setiap bulan yang
kuberikan pada kalian itu, bukan hanya sekedar untuk mengatakan tidak tahu
melulu, mengerti?" ulang sang Adipati.
Lagi-lagi secara serentak:
"Mengerti Ketua...!"
"Mengerti apa..."!" bentak Giris Rawa, seraya mengelus-elus jenggotnya yang
tidak lebih baik dari buntut
kuda. "Maksud ketua, dua puluh lima sen itu bukan gaji buta pemberian nenek moyangmu,
Yang Mulia...!"
"Wei... bangsat betul kalian.
Berani kali kalian menyebut-nyebut
nenek moyangku yang sudah mampus.
Apakah ingin kugantung...?" Maki sang Adipati kesal sekali. Pucat wajah
mereka demi mendengar ancaman Sang Junjungan, lalu cepat-cepat mereka meralat
ucapannya. "Ketua maafkan kami! Kami tak bermaksud menyebut-nyebut orang yang sudah tiada.
Maksud kami, gaji bulanan itu bukanlah merupakan pemberian yang cuma-cuma. Semua
itu dibayar, sebagai imbalan atas tugas-tugas yang telah kami selesaikan selama
ini!" ralat si Dingklang mewakili kawan-kawannya yang lain. Giris Rawa angguk-
anggukkan kepalanya sebagai tanda puas!
"Bagus, di antara sekian banyak.
Engkau memang salah seorang anak buah yang memiliki kecerdasan lebih. Engkau
memang pantas mendapat penghargaan tertinggi dariku...!" ucap sang Adipati.
Bukan alang kepalang
girangnya hati si Dingklang mendengar keputusan sang Adipati. Tetapi begitu
Giris Rawa melanjutkan ucapannya,
wajah si Dingklang menjadi lesu
kembali. "Tetapi penghargaan, itu nanti Dingklang! Setelah semua urusan yang akanu kita
bicarakan ini dapat
diselesaikan dengan baik, dalam arti pelaksanaannya...!"
"Tidak ada, Yang Mulia!" kata si Dingklang berusaha menyembunyikan
perasaan. "Bagus! Bagus! Aku sangat suka pada orang yang punya pengertian
sepertimu." kata Giris Rawa Jumawa.
"Yang mulia Adipati, lebih dari sekedar pujian. Kami yakin masih ada hal lain
yang akan Adipati bicarakan dengan kami. Kami sudah siap untuk mendengarkannya.
Sudilah Adipati
memulainya...!" usul salah seorang di antara mereka yang bernama Banu
Keling, nampaknya dari sekian banyak pembantu-pembantu Adipati, laki-laki dari
Bukit Monyet selalu menunjukkan sikap ketidaksenangannya pada sang Adipati yang
selalu membuat mual
perutnya. "Usul yang bagus saudara Banu keling. Saya memang segera akan
membuka pertemuan ini." menyela si Adipati. Beberapa saat setelahnya, keadaan di
dalam ruangan itu hening kembali. Sesekali daja terdengar desah nafas sang
pimpinan. Agaknya dia
sedang memikirkan sesuatu yang akan dikatakannya pada para pembantu.
"Begini!" Giris Rawa membuka percakapan kembali. Seperti yang
saudara-saudara
ketahui, sudah berjalan hampir setahun, wilayah
kekuasaanku ini menjadi gempar dengan adanya aksi si Tangan Setan. Korban sudah
begitu banyak. Bahkan belakangan diketahui, paman Wimba yang merupakan sesepuh
kadipaten dan juga beberapa orang muridnya tewas secara mengerikan di tangan
iblis itu. Aku ingin saudara ikut mencari jalan keluarnya untuk dapat menyeret
si Tangan Setan yang telah menginjak-injak
kewibawaanku...!"
"Ampun Adipati...!" Banu Keling menjura dalam-dalam. Sepintas sang Adipati
menoleh ke arah Banu Keling.
"Ya, kalau ada usul! Jangan
segan-segan untuk mengatakannya
Saudara Banu Keling...!"
"Begini ketua! Seperti kita sudah ketahui, saudara Wimba sesungguhnya bukanlah
orang yang bisa dianggap
sepele dalam hal ilmu kepandaian silat dan permainan pedang hitamnya. Bahkan
diapun seorang guru dari puluhan orang murid! Kalau saudara Wimba dan
beberapa orang muridnya saja, yang bisa dikatakan memiliki kepandaian
tinggi, dapat dikalahkan oleh si Tangan Setan bahkan sampai tewas di
tangannya. Maka aku yang bodoh ini dapat menduga bahwa orang itu
berkepandaian sangat tinggi...!" Sang Adipati angguk-anggukkan kepala, lalu
diapun menambahi!
"Engkau benar, saudara Banu
Keling! Siapapun si Tangan Setan.
Sudah pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi, di samping memiliki pukulan
beracun yang sampai saat ini tiada obatnya...!"
"Benar yang mulia. Bahkan Tabib Setan Gila sendiri ketika bertemu
denganku mengakui kalau dirinya tak sanggup memberikan kesembuhan!" sela si
Dingklang malu-malu.
* * * 10 "Tetapi engkau katakan padaku, bahwa engkau sempat bentrok dengan Tabib itu
saudara Dingklang...!" tegur si Adipati dengan pandangan
menyelidik. "Benar! Hal itu terjadi karena Tabib Gila itu mengatakan tak sanggup untuk
mengobati kawan-kawan yang
terkena pukulan beracun si Tangan
Setan...!" kilah si Dingklang. Giris Rawa sempat tercengang demi mendengar
pengakuan pembantunya itu. Lalu timbul dalam fikirannya, kalau memang benar
bawahannya itu sempat bentrok dengan si Tangan Setan. Itu berarti si Dingklang
mengenali siapa adanya si Tangan Setan itu.
"Dingklang, kelau memang benar ucapanmu itu. Sudah barang tentu
engkau mengenali bagaimana tampangnya si Tangan Setan itu...?"
"Ee... sulit... untuk
mengatakannya, ketua! Sebab orang itu mengenakan topeng, tetapi kalau
menitik suaranya, aku yakin si Tangan Setan nampaknya seorang perempuan
belaka...!"
"Perempuan...!" gumam Giris Rawa tanpa sadar. Seingatnya dia tak pernah punya
musuh seorang wanita. Kalau pun ada, mereka itu tak ada yang berumur panjang!
Menurut pendapatnya si Tangan Setan tak mungkin menyebar teror
secara mengerikan seperti itu, kalau tak punya alasan tertentu. Tiba-tiba dengan
sangat penasaran sekali dia kembali bertanya.
"Tahukah engkau, bagaimana kira-kira rupa di balik topeng itu...!"
"Tidak ketua... tetapi menurut keyakinanku, kemungkinan besar wajah di balik
topeng itu masih sangat
muda...!" jawab si Dingklang tanpa ragu-ragu.
"Dingklang, jangan engkau
mengada-ada. Menurutku tak mungkin seorang wanita yang masih sedemikian muda
telah begitu berani membuat
urusan yang besar di kadipaten
Trengganu ini, lagipula apa masuk akal kalau bocah sedemikian bau kencur
sudah mampu menguasai pukulan-pukulan maut yang sudah sedemikian sempurna?"
menyela Banu Keling merasa kurang
sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Dingklang. Lain halnya dengan Banu
Keling, lain pula dengan Giris
Rawa, Saat Itu dia mulai sudah dapat menduga-duga, siapa adanya perempuan yang
berjuluk si Tangan Setan itu. Dia masih ingat betapa waktu itu Panji Paksi,
Adipati yang malang itu
mempunyai seorang anak perempuan yang tidak keburu mereka binasakan karena ada
seseorang berkerudung yang
menyelamatkannya. Kejadian itu kini sudah hampir delapan belas tahun yang lalu.
Sangat masuk akal kalau bocah itu kini sudah berangkat dewasa, dan mungkin saja
dialah yang berjuluk Si Tangan Setan itu. Dengan senyum penuh kelicikan,
wajahnya yang kuning pucat itu kini nampak berobah sedikit cerah.
Kemudian begitu pongahnya dia
memandang pada para bawahannya.
"Saudara Banu Keling! Mungkin apa yang dikatakan oleh adi Dingklang
sudah mulai mendekati kebenaran...!"
ucapnya dengan sesungging senyum
memualkan. "Apa maksudmu, Ketua...!" tanya yang lainnya.
"Masih ingatkah kalian dengan
peristiwa besar delapan belas tahun yang lalu!" Giris Rawa balik bertanya.
Yang ditanya masing-masing kerutkan
kening. Sama-sama mencoba mengingat-ingat. Begitu mereka mengerti!
"Maksud Yang Mulia Adipati,
mengenai keluarga Panji Paksi...!"
"Benar! Bagus kalau kalian masih mengingatnya. Seperti kita ketahui bukankah
kala itu Panji Paksi punya seorang anak perempuan yang sempat diselamatkan oleh
orang berkerudung?"
Ujar si Adipati.
"Apa hubungannya antara anak si bangsat Panji Paksi dengan si Tangan Setan,
Ketua...!" tanya mereka hampir bersamaan. Sudah barang tentu
pertanyaan mereka ini membuat jengkel sang Adipati.
"Kalian ini goblok semua. Otak kalian malah tidak lebih baik dari otak keledai
dungu. Hubungannya ya sudah jelas ada! Bocah cilik itu sudah barang tentu kalau
masih hidup sekarang ini sudah dewasa. Bukan tak mungkin si manusia berkerudung itu telah
mengajarkan ilmu sakti
kepadanya!"
"Hmm. Benar juga... kalau begitu yang menjadi sasaran utama dalam
terornya sudah jelas engkau yang mulai Adipati...!" kata Banu Keling.
"Tolol!. Bukan aku sendiri,
tetapi kita semua yang ada di
kadipaten ini...!" ucapnya marah sekali.
; "Benar. Mengapa dulu kita tidak membunuhnya sekalian, bikin penyakit saja...!"
menyela si Dingklang.
"Sudah... semuanya sudah telat...
sudah terlambat! Tak perlu kita
Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari kambing hitam. Yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana caranya
meringkus bocah itu secepatnya...!"
bentak Giris Rawa, lalu ia gebraknya meja berukir indah yang berada di
hadapannya. Hingga meja itupun hancur berkeping-keping. Pucat wajah orang-orang
di sekelilingnya demi melihat kemarahan sang junjungan, wajah mereka nampak
tertunduk dalam-dalam. Sepasang mata Giris Rawa yang buas dan keji itu untuk
beberapa saat lamanya menyapu pandang pada para bawahannya, setelah itu akhirnya
diapun berkata tegas.
"Dalam keadaan segawat sekarang itu, aku tak pernah meminta pada
kalian untuk saling berbantahan,
kalian kuundang kemari adalah untuk membicarakan bagaimana akal kita
menghadapi sepak terjang bocah itu yang sudah melebihi takaran. Bocah itu
sangat berbahaya, bahkan
bisa menghancurkan kita dalam waktu cepat atau lambat kalau kita tak memasang
perangkap untuk menangkapnya. Jangan kalian-fikir kita dapat dengan mudah
meringkusnya, kalau kita tidak
mempergunakan akal lama...!" Lagi-lagi Adipati Trengganu mendengus.
"Maksud yang mulia kita biarkan si Tangan Setan datang sendiri ke
mari...!".:
"Tak salah...!" ujar Giris Rawa dengan sesungging senyum penuh
kelicikan. Semua orang yang hadir di situ nampak terdiam begitu mendengar
keputusan sang Adipati. Sebagian di antara mereka ada yang setuju dengan siasat
yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pengecut, sedangkan
sebagian yang lain nampaknya menjadi ragu-ragu. Walaupun mereka ini memang tak
berani secara terang-terangan mengatakan apa yang
terkandung dalam hati masing-masing.
"Bagaimana apakah kalian merasa setuju dengan usulku itu...?" tanya sang
Adipati. "Setuju sih setuju Adipati...
tetapi yang jadi persoalannya sekarang
ini adalah, apakah si Tangan Setan mau datang ke mari atau tidak!"
"Weii... mahluk apakah engkau
ini, kok tolol banget.. Si Tangan
Setan mengincar kita, sudah pasti dia cepat atau lambat datang ke mari...!"
"Betul juga... kalau begitu akur saja dah..,!". menyahut Banu Keling dan lain-
lainnya secara serentak.
Dalam pada itu salah seorang di
antara mereka di pintu utama datang dengan tergopoh-gopoh memberi laporan.
Wajah pengawal itu nampak sangat pucat sekali. Sesampainya di depan Adipati
pengawal pintu utama itu langsung berlutut dan menjatuhkan diri.
"Celaka Yang Mulia, lapor Yang Terhormat... eeh.. maksud...!" ucapnya tersendat
dan terbata-bata.
"Bajul Buntung... mau ngomong
saja pakek au.. au.. au... siapa yang mengajarimu menjadi gugup seperti itu"
Coba bicara baik-baik...!" bentak sang Adipati nampak sangat marah sekali.
"Ba... baik... yang mulia! Begini ada seorang pengacau di luar sana...!"
kata si pengawal memberi laporan.
"Pengacau! Apakah kalian tidak mampu membereskan bangsat itu".Ke mana kawan-
kawanmu yang lain. Apakah mereka
tidur saja kerjanya...?" gerutu sang Adipati dengan mata memerah.
"Kami sudah mengadakan
perlawanan, yang mulia! Tetapi malah kawan-kawan kami semuanya tewas...!"
jawabnya dengan tubuh gemetaran.
"Tewaas...?" Giris Rawa sampai terlonjak dari tempat duduknya demi mendengar
laporan pengawalnya. Tiga puluh orang penjaga bukanlah sedikit.
Mereka juga telah dilatih dengan
berbagai ilmu kanuragan oleh Wimba.
Bagaimana bisa terjadi pengawal yang begitu banyak jumlahnya bisa
dirobohkan oleh pengacau. Beberapa saat kemudian dia kembali berpaling pada
pengawalnya. "Pengawal linglung! Berapa
banyakkah para pengacau itu...?" tanya sang Adipati.
"Tidak banyak, Yang Mulia hanya satu orang...!"
"Tolol... sinting... guoblok...
semua! Begitu banyak orang diluaran sana, cuma menangkap satu orang saja nggak
becus. Malah pada mati lagi...!"
"Orang itu memiliki pukulan
beracun dan berkepandaian silat sangat tinggi, Yang Mulia...!"
kata si pengawal memberi penjelasan. Kejut di
hati Giris Rawa bukan alang kepalang.
Lalu timbul pula dugaannya bahwa orang itulah yang sesungguhnya sedang mereka
bicarakan saat itu.
"Kalian semua!" ucap sang Adipati memandang ke segenap ruangan! Kemudian
lanjutnya: "Di Trengganu ini tak seorangpun yang memiliki kepandaian melebihi
kakang Wimba dan memiliki pukulan beracun pula. Aku
merasa yakin, agaknya inilah manusianya si Tangan Setan yang kita sedang tunggu-tunggu
itu. Aku ingin agar kalian
mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Ringkus manusia biang malapetaka itu hidup atau mati." perintah Giris Rawa.
Akhirnya tanpa membuang-buang
waktu lagi, Sang Adipati dan orang-orangnya nampak berserabutan ke luar dari
rumah Adipati. Sampainya di
halaman yang begitu luas, persis
seperti apa yang dilaporkan oleh
penjaga pintu. Terlihatlah pemandangan yang benar-benar menggiriskan. Mayat-
mayat pengawal kadipaten yang
jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu nampak bergelimpangan di berbagai
tempat. Mereka semuanya tewas dengan wajah menghitam dan biru akibat
terkena pukulan Raja Cobra. Semua mata
menyaksikan pemandangan itu nampak bergidik. Ngeri dan cemas berbaur
menjadi satu. Merah paras sang Adipati demi melihat seluruh pengawalnya
terbantai habis. Tubuhnya yang kurus nampak bergemetaran, kedua bibirnya yang
menghintam itu nampak terkatup rapat. Saat itu bulan sabit ketujuh masih
berselimut kabut, sang Adipati dan lain-lainnya nampak mengitarkan pandangan
kesegenap malam. Suasana terasa
sepi mencekam. Dalam
kemarahannya yang meluap-luap itu.
Tiba-tiba Giris Rawa berteriak
lantang: "Setaaaaan...! Manusia yang
mengaku dirinya si Tangan Setan!
Jangan hanya ngumpet di gelapannya malam. Keluarlah... pengawal-pengawal itu
bukan :apa-apamu! Aku Adipati
Trengganu merupakan lawan,
keluaarrr...!" perintah sang Adipati memberi tantangan. Namun, sejauh itu tiada
sai-hutan apapun, suara Adipati yang sedemikian lantangnya menggema di
keheningan malam yang sepi.
"Agaknya orang itu telah pergi dari tempat ini, Adipati...!" menyela Banu
Keling. Tanpa berpaling dari
posisinya, Giris Rawa berkata gusar:
"Huh! Aku tak percaya, dia pasti masih berada di sekitar tempat
ini...!" bantah sang Adipati.
"Manusia keparat si Tangan Setan!
Keluarlah dari tempat persembunyianmu"
Si Dingklang ikut-ikutan pula
berteriak. "Kuatan dikit! Mungkin si Tangan Setan jenis manusia tuli...!"sergah salah
seorang di antaranya.
"Bajul Buntung! Tadi juga sudah kuatan, mungkin kupingmu saja yang budek...!"
kata si Dingklang pada si botak yang berdiri di sisinya.
"Sial betul kalian ini. Mengapa saling berbantahan... ayo cepat cari di sekitar
tempat ini!" bentak Giris Rawa nampak sangat marah sekali.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
terdengar suara tawa mengekeh. Lalu melesatlah sesosok bayangan dari atas
wuwungan rumah, begitu cepat bayangan itu berkelebat hingga tahu-tahu dia sudah
menginjakkan kakinya tidak
begitu jauh dari tempat Adipati dan orang-orangnya berdiri. Serentak
perhatian mereka tertuju pada si
manusia yang mengenakan topeng biru.
Beberapa saat kemudian tanpa diberi komando, orang-orang Giris Rawa itupun
langsung mengepugn si Tangan Setan.
Mengetahui gelagat, si Tangan Setan malah tertawa ngikik.
"Hi... hi... hi...! Manusia-
manusia serakah, hari ini akan kuhapus nama kebesaranmu dari kolong langit
ini...!" teriak si Tangan Setan geram sekali. Berkali-kali Giris Rawa
meludah ke tanah demi mendengar ucapan si orang bertopeng itu. Lalu tak kalah
gusarnya diapun menyela:
"Ho... ho... ho...! Budak setan, sekalipun seratus lapis engkau kenakan topeng
itu jangan kau kira aku tak dapat mengenalimu Ayahmu Panji Paksi telah mampus di
tangan kami. Kupikir sebentar lagi engkaupun akan mengalami nasib yang sama
pula, atau mungkin lebih mengerikan dari sekedar apa yang di alami oleh orang
tuamu...!"
"Bagus kalau engkau mengenaliku!
Tahukah kau sudah berapa banyak dosa yang engkau tumpuk...!" tukas si Tangan
Setan mencemooh.
"Tolol sekali engkau ini!
Pembunuhan yang engkau lakukan semena-meha saja sudah menutup jalan bagimu untuk
bertobat. Masikah
engkau menghitung-hitung kesalahanku yang sesungguhnya teramat kecil...!"
"Keparaat! Hieeeh...!"
"Arrghk!" Sekali lagi tangan si gadis ber-kelebat, dua orang
bawahannya terpelanting roboh. Tewas secara mengerikan seketika itu juga,
mendidihlah darah sang Adipati
dibuatnya. * * * 11 "Jahanam terkutuk! Engkau telah membunuh. orang-orang kepercayaanku.
Ingat dan jangan harap aku mau
mengampunimu .!" maki sang Adipati, dan saat itu juga dia sudah mencabut
senjatanya yang berupa sebuah keris lekuk tujuh bergerigi.
"Akupun tak perlu merengek minta ampun padamu, bangsat Giris Rawa...!"
"Sialan...!"
Adipati Giris Rawa sudah
bermaksud ke arah si Tangan Setan, tetapi Banu Keling mencegah!
"Ketua biarkan kami yang
meringkus bocah setan ini...!"
Serentak dengan
ucapannnya, Banu
Keling, si Dingklang dan dua orang lainnya segera mengepung si Tangan.
Setan. Gadis bertopeng itu kembali tergelak-gelak. Begitu cepat tubuhnya
berkelebat sambil keluarkan seruan.
"Hari ini Adipati sialan dan para begundal-gundalnya benar-benar segera kukirim
ke liang kubur...!"
"Tutup bacotmu betina setan!
Sheaaa...!" Banu Keling kirimkan satu babatan satu bacokan mengarah pada bagian
kepala dan pinggang. Pada saat yang sama menderu pula satu serangan dari arah
samping kiri yang
dilancarkan oleh si Dingklang. Si Tangan Setan keluarkan tawa mengekeh, tubuhnya
sedikit condong ke samping kanan, lalu tanpa terduga-duga
bagaikan seekor jangkrik tubuh itu melentik ke udara.
"Wuaa...!"
"Semprul sialan! Hampir saja kita saling bacok-bacokkan Banu keling...!"
gerutu si Dingklang saat mana senjata mereka hampir saja bertemu satu sama lain.
Masih untung meskipun suasana gelap remang-re-mang
mereka nampak sangat hati-hati dalam melakukan
penyerangan. Andai tidak, sudah barang
tentu mereka secara tak sengaja sudah saling bunuh.
"Bet! Bet!"
Banu Keling lagi-lagi membuka
serangan, kali ini sambil menyerang dia kirimkan satu pukulan maut yang diberi
nama, Ular Gunung mencatok Tikus, Begitu tangan kanannya membabat ke arah depan,
tengan kiri terentang ke atas, kemudian berkiblat.
Tak ayal satu sapuan gelombang
angin yang teramat kencang segera
menerjang ke arah si Tangan Setan.
Jubah Kuning yang dikenakan oleh si Tangan Setan sampai berkibar-kibar di landa
angin pukulan yang dilepaskan oleh Banu Keling. Pembantu Adipati itu berharap
satu pukulan yang
dilepaskan itu telah mampu merobohkan si Tangan Setan atau setidak-tidaknya
membuat dia kelabakan. Akan tetapi tak disangka-sangka si Tangan Setan
sebaliknya malah mendengus dan
keluarkan ucapan yang membuat orang-orang Adipati semakin gusar.
"Puih! Pukulan mainan bocah
begini mana ada apa-apanya. Nih
kukembalikan. Bersamaan dengan
ucapannya. Si Tangan Setan lambaikan tangan kirinya. Praktis pukulan yang
dilepaskan oleh Banu Keling bukan saja tak pernah mencapai sasarannya, lebih
dari itu. Pukulan itu kini malah
berbalik menyerang pemiliknya dengan kekuatan yang berlipat ganda.
Seandainya Banu Keling tidak cepat-cepat menghindar dengan cara
berjumpalitan. Sudah dapat dipastikan dia akan binasa oleh pukulannya
sendiri, Sumpah serapah berhamburan dari mulut laki-laki itu, ketika
pukulan Ular Gunung Mencatok Tikus masih saja. menyerempet bagian tumit kakinya.
Serentak dengan bersurutnya Banu Keling, maka si Dingklang dan dua orang lain
nampak bergerak maju.
Dengan senjata sebilah pedang
tipis di tangan masing-masing. Ketiga orang ini menggempur si Tangan Setan dari
berbagai arah. Akan tetapi
nampaknya si Tangan Setan sudah tak ingin mengulur-ulur waktu lagi.
Secepatnya serangan-serangan itu datang menggempurnya silih berganti, maka lebih
cepat lagi tubuhnya
berkelebat, hingga manakala dari si Dingklang dan dua orang lainnya
menderu ke arahnya, tanpa sungkan-
sungkan kedua tangannya yang telah
teraliri tenaga dalam itupun secara tepat memapaki.
"Crak! Crak! Crak!"
"Buk!"
Bagai membentur batu karang saja
layaknya, ketika pedang di tangan
ketiga orang itu mencapai sasarannya.
Kejut di hati mereka bukan alang
kepalang, mereka tak pernah menyangka kalau si Tangan Setan memiliki
kekebalan tubuh yang sangat luar
biasa. Begitupun halnya dengan Adipati Giris Rawa yang saat itu nampak
menyaksikan jalannya pertarungan anak buahnya dari tempat yang tidak begitu jauh
dari halaman rumah Kadipaten itu.
Sementara itu si Dingklang dan
dua orang lainnya begitu mengetahui lawannya , kebal terhadap senjata, mereka
bermaksud untuk mencari titik kelemahan lainnya. Tetapi begitu dia berusaha
menarik senjata yang menempel di jemari tangan si gadis bertopeng.
Ketiga orang ini dibuat lebih terkejut lagi. Karena ternyata mata pedang di
Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan mereka telah menempel begitu lekat di antara celah-celah jemari lawannya.
Pada saat itu pulalah si Tangan Setan kirimkan tiga pukulan kilat secara
bertubi-tubi. "Buk! Buk! Buk!"
"Wuaea...!"
Bagai ranting kering ditiup topan
ketika orang itupun tanpa ampun lagi terlempar sedemian menyedihkan. Tiga
jeritan maut terdengar saling susul menyusul. Seandainya kejadian singkat itu
berlangsung siang hari, sudah
tentu Banu Keling dan Adipati Giris Rawa, akan menjadi jerih begitu melihat
tubuh orang-orangnya yang
terkena pukulan beracun, nampak
melempuh dan berubah menghitam
seketika itu juga. Kini tinggallah pentolan-pentolan Kadipaten nampak memandangi
mayat-mayat para
pembantunya yang tewas secara
menyedihkan. Sungguhpun hati Banu
Keling dan Giris Rawa dibakar
kemarahan yang meluap-luap, tetapi kini agaknya mereka mulai menyadari bahwa
caci maki sudah tiada gunanya.
Dan sejauh itu dia sudah dapat menduga seberapa hebat kekuatan dan
kedahsyatan. yang dimiliki oleh si Tangan Setan. Maka. kini tanpa banyak kata
lagi, Giris Rawa kembali mencabut keris lekuk tujuh bergerigi miliknya.
Begitupun Banu keling, laki-laki
berkulit arang inipun tak tinggal
diam. Segera pula di lolosnya sebuah bola baja berduri yang selama ini
nampak melilit di pinggangnya.
Beberapa saat kemudian bagai
saling berlomba, dua orang pentolan Kadipaten Trengganu itupun dengan
senjata-senjata aneh namun
menyeramkan. Segera kirimkan serangan-serangan ganas. Dengan senjata di
tangan mereka, setiap tusukan maupun babatan selalu saja menimbulkan deru angin
yang menggiriskan. Agaknya
senjata-senjata milik pentolan-
pentolan Kadipaten itu juga mengandung racun yang ganas. Ini terbukti si
Tangan Setan yang memiliki kekebalan terhadap segala macam racun saja
nampak bertindak sangat hati-hati. Hal ini ternyata memang membuka kesempatan
yang cukup besar bagi Banu Keling dan Giris Rawa untuk mendesak lawannya dengan
sangat leluasa sekali.
Gebrakan-gebrakan berikut ternyata memang si Tangan Setan nampak mulai terdesak,
gempuran-gempuran yang
dilakukan dari dua arah oleh lawan-lawannya secara sambung-menyambung itu.
Membuat si Tangan Setan tak mampu mengembangkan jurus-jurus silat yang di
milikinya. Akibatnya sambil terus
bertahan dia hanya mampu mengelak dan menangkis. Bukan main kesalnya hati si
Tangan Setan, demi mangetahui betapa hebat gabungari jurus-jurus
silat yang dimainkan oleh lawan-lawannya.
Lebih dari itu yang patut di akui oleh si Tangan Setan adalah cara kerjasama di
antara kedua orang itu yang
sedemikian baiknya, sehingga meskipun permainan ilmu silat mereka bukan
berasal dari satu sumber tetapi
menunjukkan kekompakkan yang sangat serasi.
Dalam pada itu, Giris Rawa dan
Banu Keling kelihatan terus mendesak lawannya sampai ke tembok pagar,
beberapa kali senjata di tangan Giris Rawa yang berupa keris bergerigi
berhasil merobek beberapa bagian dari pakaian lawannya. Giris Rawa yang saat itu
merasa berada di atas angin, nampak terkekeh-kekeh. Begitu melihat bagian-bagian
tertentu dari tubuh si Tangan Setan. Yang seperti sama-sama diketahui
sesungguhnya merupakan
seorang wanita. Beberapa saat kemudian Banu Keling yang sudah semakin kalap dan
tak sabaran ini nampak berteriak keras, bersamaan dengan jeritannya itu pula,
tubuhnya berkelebat lebih cepat.
Bola baja berduri yang berada dalam genggamannya diputar sedemikian
cepatnya, hingga menimbulkan bunyi mendengung menyakitkan gendang
telinga. Satu kesempatan, Banu Keling tampak memberi isyarat pada Giris Rawa.
Mengetahui gelagat, Adipati bangsat itu cepat-cepat menyurut
beberapa langkah! Pada saat itu pula Banu Keling yang sudah merencanakan segala
sesuatunya segera mengayunkan rantai bola baja di tangannya.
"Nguuuuung!"
Laksana suara ribuan lebah, bola
baja berduri itu mendengung.
Sesungging seringai maut membias di bibir Banu Keling. Saat senjata di tangannya
bergerak sedemikian cepat pada bagian kepala si Tangan Setan.
Si Tangan Setan nampak terkesima
begitu mengetahui datangnya serangan yang begitu cepat dan tiba-tiba ini.
Sekejap dia menjadi gugup! Tetapi
bukan si Tangan Setan namanya kalau dalam menghadapi serangan yang
demikian saja dia sudah kelabakan.
Demikianlah ketika bola berduri itu dua jengkal hampir menghancurkan
kepalanya. Di saat Banu Keling dan Giris Rawa menyangka bahwa kali itu si
Tangan Setan sudah tak dapat
menghindar dari kematian. Secara
mendadak dan tiada disangka-sangka oleh pentolan-pentolan Kadipaten
Trengganu, tubuh si Tangan Setan
nampak kembali menelentik ke udara.
"Haiiiit"
Bola baja yang seharusnya
menghantam kepala si Tangan Setan, sebaliknya terus meluncur mencapai sasaran
yang kosong. "Craak! Bluuum"
Luncuran yang sudah sangat sulit
pada akhirnya menghantam tembok
dinding sehingga mengakibatkan tembok itu menjadi porak poranda.
Agaknya serangan yang gagal
mencapai sasarannya itu telah membuat Banu Keling menjadi sangat penasaran
sekali. Dengan melarang Giris Rawa terlebih dahalu, pada akhirnya dia maju
seorang diri. Sebelum mulai
gebrakan berikutnya diapun berteriak lantang.
"Tangan Setan! Karena hari ini aku tak mampu mengembalikanmu ke
neraka. Maka lebih baik berhenti jadi manusia....!"
"Bagus! Kalau engkau berhenti
jadi gembongnya manusia sesat, aku
sarankan engkau jadi Raja Cacing Tanah saja...!"
"Hait...mampuslah engkau bocah sombong...!" teriak Banu Keling.
Rantai Bola Baja di tangannya kembali menderu, semakin lama nampak bergerak
semakin cepat, hingga pada akhirnya hanya tinggal merupakan bayang-bayang saja.
Di lain pihak. Si Tangan Setan yang diserang sedemikian rupa, kini malah nampak
tenang-tenang saja. Hal ini sesungguhnya sangat wajar, karena rupanya dalam
keadaan terdesak tadi sesungguhnya dia sedang berusaha
memecahkan permainan setiap jurus ilmu silat lawannya. Kini setelah misteri
jurus-jurus ilmu silat si Giris Rawa dan Banu Keling terpecahkan. Maka
makin mudahlah baginya untuk
mematahkan serangan pihak lawan
apalagi kini Banu Keling yang sudah sangat penasaran itu mencegah Sang Adipati
untuk mengeroyok si Tangan Setan.
Dalam gebrakan-gebrakan
berikutnya nyatalah bahwa permainan silat maupun pukulan-pukulan yang
dilepaskannya, sudah dapat di baca oleh si Tangan Setan. Hingga pada
akhirnya, sungguhpun Banu Keling
berusaha mati-matian dan bahkan telah mengerahkan segenap kemampuannya,
namun tetap saja setiap serangan yang di lancarkannya selalu saja patah di
tengah jalan. Satu kesempatan, bola baja di tangan Banu Keling kembali menderu,
bahkan lebih cepat lagi bila dibandingkan dengan serangan-serangan terdahulu.
Bersamaan dengan
berkelebatnya tubuh Banu Keling. Maka si Tangan Setan yang memang sudah
bersiap-siap melepaskan pukulan
beracunnya juga ikut bergerak lebih cepat lagi. Tetapi manakala bola baja di
tangan Banu Keling mengejar dari arah belakangnya. Sebaliknya dia malah hentikan
gerakan dan berdiri tiada bergeming. Banu Keling dan Giris Rawa menyangka bahwa
si Tangan Setan
kiranya sudah menyerah dan mau
menerima kematian.
"Nguuung!"
Beberapa inci lagi bole berduri
itu menyambar perut si Tangan Setan, maka tangan kanannya bergerak laksana
kilat. "Creeep!"
Dua orang pentolan Trengganu itu
sama-sama terbelalak penuh kejut
begitu mengetahui dengan sangat mudah
pihak lawannya, bukan saja dapat
mengelakkan hantaman bola baja itu, tetapi sebaliknya malah mampu pula menangkap
dengan sangat tepat senjata milik musuhnya. Banu Keling tak dapat berfikir
panjang manakala satu
sentakan dari tenaga yang sangat
besar, merenggutkan bola baja itu dari tangannya. Belum lagi habis kejut di
hatinya. Tanpa terduga-duga, laksana meteor. Si Tangan Setan menyambitkan bola
baja berduri itu pada pemiliknya.
Senjata maut itu terus melesat
sebegitu cepat, ke arah Banu Keling.
Giris Rawa yang sempat melihat
kejadian itu berteriak memberi
peringatan. "Saudara Banu Keling...
awaaaas...!" Percuma saja Giris Rawa memberi peringatan pada Banu Keling, sebab
laki-laki yang sudah sangat
gugup itu sudah tak mampu mengelak lagi. Tak ampun senjatanya sendiri,
menghantam bagian dadanya.
"Broooook!" '
Banu Keling menjerit lirih
manakala bola baja itu membuat remuk dadanya. Darah nampak memancar deras dari
tulang-tulang iga yang
berserabutan ke luar itu. Tiada
keluhan yang terdengar, mata Banu
Keling nampak melotot memandang pada si Tangan Setan. Tetapi hanya sesaat saja,
karena tidak begitu lama
kemudian. Bagai pohon pisang yang
ditebang, maka tubuhnya ambruk tanpa mampu berkutik lagi. Mengetahui keadaan
lawannya, si Tangan Setan
tertawa mengekeh. Secara perlahan dia berpaling pada Giris Rawa, yang kini
nampak sangat gusar sekali begitu
melihat kematian kawannya. Banu
Keling! Dengan tersenyum aneh si
Tangan Setan yang hatinya, sudah
dipenuhi kobaran nafsu membunuh itupun membentak.
"Giris Rawa...! Apa yang bisa kau perbuat" Semua orang-orangmu telah kubikin
mampus... Sebentar lagi, sudah barang tentu tiba giliranmu pula...!"
"Bangsat, jangan kira aku menjadi takut menghadapimu. Majulah! Sekalipun kulitmu
sekebal kulit badak, tetapi dengan keris pusaka ini engkau akan segera binasa!"
teriak Giris Rawa.
"Mampuslah engkau bangsat
pembunuh orang tuaku... haiiit...!"
maki si Tangan Setan. Serentak dengan ucapannya itu, si Tangan .Setah alias
Hning Ksaban tanpa basa basi lagi
langsung saja menerjang dan kirimkan pukulan-pukulan yang sangat diandalkan pada
Adipati Trengganu. Sebaliknya dengan sangat gesit pula Giris Rawa memapaki
setiap datangnya serangan
yang dilancarkan oleh si Tangan Setan.
Sementara itu, Buang Sengketa
yang baru saja sampai di tempat yang sama kurang
lebih sepeminum teh
lamanya. Nampak dengan tegang
mengintai jalannya pertarungan dari kerimbunan pohon. Dari percakapan dan
perdebatan yang sempat dia dengar
tadi, tahulah dia kini siapa
sesungguhnya si Tangan Setan yang namanya saja menjadi momok bagi
masyarakat banyak. Sebelumnya sama sekali dia tiada mengira kalau si
Tangan Setan sesungguhnya seorang
gadis yang berparas cantik, hal ini dia ketahui beberapa saat kemudian, setelah
Giris Rawa berhasil
menyetakkan topeng muka yang di
kenakan oleh si gadis. Bukan main
senang nya Adipati Trengganu itu demi melihat sosok wajah di balik topeng itu.
Sambil tertawa-tawa, Giris Rawa segera melancarkan totokan-totokan mautnya. Dia
berharap andai si Tangan Setan dapat diringkusnya hidup-hidup
sudah barang tentu dia bisa dengan sangat leluasa mempermainkan si Tangan Setan
dengan sekehendak hatinya.
Lain halnya dengan pendekar kita
ini. Sejak dia tadi mendengar
perdebatan antara Giris Rawa dan si Tangan Setan. Akhirnya dia yang semula
bermaksud menghukum si Tangan Setan karena sepak terjangnya yang begitu kejam.
Kini nampaknya si pemuda agak lunak sedikit dalam menjatuhkan
hukuman. Baginya paling tidak si
Tangan Setan meskipun cantik harus dipotong kedua tangannya, sebagai
hukuman akibat pembunuhan keji yang telah dilakukannya selama ini.
* * * 12 Sementara itu biarlah untuk Giris
Rawa, gadis itu sendiri yang akan menentukan hukumannya. Demikian
pendekar ini menyimpulkan. Dalam pada itu pertarungan antara si Tangan Setan dan
Adipati Trengganu itu sudah
berlangsung puluhan jurus. Meskipun begitu, setelah gebrakan demi gebrakan
berlangsung, akhirnya nyatalah bahwa Giris Rawa dalam pertarungan ini sudah
mulai nampak jatuh di bawah angin.
Kalau tadinya dia mempunyai maksud untuk meringkus si Tangan Setan hidup-hidup
tetapi agaknya kini dia harus merubah keinginannya. Mendahului si Tangan Setan
atau dirinya yang akan didahului. Karena teringat sampai di situlah maka dia
berusaha mencecar lawannya dengan keris bergerigi di tangannya. Tetapi sayang
sekali, segala-galanya telah berubah kini. Sepenuhnya si Tangan Setan alias
Hning Ksaban telah menguasai pertarungan, hingga jurus-jurus silat yang dia
mainkanpun kini sudah teramat sulit untuk
dikembangkan. Jurus demi jurus
terlewati, sementara Giris Rawa nampak jatuh bangun mempertahankan diri. Satu
saat Adipati Trengganu itu menusukkan kerisnya mengarah pada bagian dada Hning
Ksaban, tetapi gadis itu malah lebih nekad lagi memapaki bagian
ujungnya yang runcing.
"Craaak!"
Si Tangan Setan mengekeh begitu
melihat senjata di
tangan lawan menjadi bengkok karena beradu dengan telapak tangannya. Di tempat
persembunyiannya
Buang Sengketa sendiri sempat dibuat terbelalak tak percaya begitu menyaksikan bahwa tubuh si
gadis tak mempan dengan pusaka
Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apapun. Dalam keadaan seperti itu
terdengar pula bentakan si gadis.
"Giris Rawa, senjatamu tak ada gunanya! Sekali ini telah tiba
giliranmu untuk terima kematian
dariku. Meskipun dendamku padamu
setinggi gunung dan sedalam lautan.
Tetapi kali ini aku bertindak cukup adil, ingatlah kalau engkau dapat
menahan dua pukulan beracun si Raja Cobra aku akan mengampuni jiwamu,
tetapi kalau tidak. Engkau memang lebih pantas untuk secepatnya sempai ke
neraka!" Kalau Giris Rawa yang agaknya
licik mengerti tentang
hal ihwal pukulan beracun si Raja Cobra, tetapi lain lagi halnya dengan pendekar ini.
Dia nampak sangat terperanjat sekali demi mendengar pukulan beracun si Raja
Cobra ada disebut-sebut oleh si gadis.
Sebab seperti apa yang pernah
dituturkan oleh gurunya sendiri si Bangkotan Koreng Seribu, bahwa pukulan
beracun Raja Cobra sampai sejauh itu hanya dimiliki oleh seorang datuk
sesat tanpa nama yang sampai saat ini tinggal di Pulau Seribu Ular. Dan
patut diakui bawah siapapun yang
terkena pukulan itu sangat sulit dan tak mungkin ada harapan lagi jiwanya dapat
di selamatkan. Sebab hingga saat itu tak seorangpun Tabib di empat
penjuru mata angin yang dapat
menyembuhkannya. Tetapi kini,
bagaimana mungkin gadis yang mengaku dirinya sebagai si Tangan Setan bisa
memiliki pukulan yang sangat langka itu. Kalaupun mungkin, bukankah Pulau Seribu
Ular itu tak seorangpun yang tahu tempatnya. Diam-diam dia jadi ingin tahu
seberapa hebat pukulan
beracun si Raja Cobra yang telah
banyak merenggut nyawa banyak orang itu.
Pada saat itu. Hning Ksaban alias
si Tangan Setan telah bersiap-siap dengan pukulan mautnya. Sementara
Giris Rawa tanpa henti-hentinya terus melakukan serangan-serangan gencar.
Ketika beberapa saat setelahnya,
tangan Hning Ksaban tiba-tiba saja telah berubah menjadi hitam. Lalu
tanpa membuang-buang kesempatan lagi,
gadis keturunan Panji Paksi itupun langsung melakukan pukulan mautnya yang
pertama. "Haeeet!"
Satu gelombang biru pekat,
melesat sedemikian cepatnya pada Giris Rawa yang saat itu sedang
berjumpalitan di udara. Sang Adipati nampak sangat terkejut begitu
merasakan adanya sambaran angin yang begitu dingin dan menyesakkan rongga
dadanya. Secepatnya dengan senjatanya yang sudah tak karuan ujudnya mencoba
memapaki datangnya pukulan beracun itu. Tetapi kiranya pukulan si Raja Coba
memiliki kekuatan tiga kali lipat dari apa yang diperkirakannya.
"Blaaar!"
Akibatnya bukan saja senjatanya
yang sudah sangat rusak itu entah mental ke mana. Tetapi lebih parah lagi
tubuhnya terpelanting tujuh
tombak dalam keadaan hangus menghitam.
Tubuh Giris Rawa membentur tembok
rumahnya sendiri, darah mengalir dari mulut, hidung dan telinganya. Beberapa
saat lamanya Adipati Trengganu itu nampak memandang sayu pada si Tangan Setan,
wajahnya yang semakin menghitam nampak terdiam tiada bergeming.
Akhirnya secara perlahan tubuh itu berkelojotan lemah. Hingga kemudian tubuh
itupun diam untuk selama-lamanya. Tewaslah musuh besar si
Tangan Setan itu secara mengerikan, si Tangan Setan terduduk dengan wajah
tertunduk. Kini setelah segalanya
berakhir dia nampak menitikkan air mata. Tiba-tiba dia berkata lirih namun
mengandung penyesalan yang
teramat dalam. "Ibu... ayah...! Aku telah
kembali untuk membalaskan sakit hati ini. Aku tahu semua itu tak berarti banyak,
bagimu. Tetapi bagi anakmu yang engkau tinggal seorang diri,
kematian mereka adalah karena
kesombongannya sendiri. Maafkan aku ayah karena aku harus kembali pada datuk
tanpa nama yang telah
kutinggalkan di Pulau Seribu Ular
seorang diri. Biarlah dia nanti yang akan menghukumku atas segala
tindakanku yang telah membunuh banyak orang. Aku rela mati di tangan orang yang
telah membesarkan aku selama
ini!" kata si gadis dengan air mata berlinangan. Namun beberapa saat
kemudian tiba-tiba dia hentikan
tangisnya, tiba-tiba dia memandang pa-
da kerimbunan pohon tempat di mana Pendekar Hina Kelana bersembunyi. Lalu
berkata pelan! "Manusia yang memiliki julukan Pendekar Hina Kelana! Turunlah dari tempat per-
sembunyianmu. Sebagai
seorang pendekar, katanya
engkau berniat menghukumku dengan membuntungi tanganku. Mengapa ragu,
lakukanlah....!" perintah si gadis.
Buang Sengketa menjadi terkejut juga, bagaimana mungkin si Tangan Setan bisa
mengenali namanya, dan lebih dari itu dari mana dia tahu kalau dia bermaksud
menghukum si gadis
dengan cara membuntungi tangannya..."
"Anak raja Ular Piton Utara.
Ketahuilah membunuh dan menghukum itu bukanlah wewenangmu! Nyawaku menjadi milik
guruku. Lebih dari itu pusaka Golok Buntungmu tak kan pernah mau mengotori
dirinya dengan darahku.
Karena sesungguhnya aku dan gurukulah yang telah menjaga sebagian badan golokmu
itu di lautan sekitar tempat tinggal kami...!" jelas si Tangan Setan panjang
lebar. Dan tentu saja penjelasan si gadis membuat Pendekar Hina Kelana terheran-
heran. Bagaimana mungkin gadis yang berjuluk si Tangan
Setan itu bisa me-ngenalinya
sedemikian rupa" Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba si gadis kembali
menyela." "Pemuda tampan berperiuk. Mengapa harus bingung, bukankah engkau ini muridnya si
Bangkotan Koreng Seribu, apakah gurumu mengatakan bermusuhan dengan guruku?"
tanya si Tangan Setan berpura-pura tak sabar lagi, pemuda itu segera melesat
turun dari tempat persembunyiannya.
Kemudian dengan
sangat penasaran sekali dia bertanya.
"Engkau inikah orangnya yang
berjuluk si Tangan Setan yang telah bikin onar dimana-mana...?"
"Tak salah! Tetapi salah besar kalau engkau menilaiku sebagai tukang buat onar!"
kata si Tangan Setan membantah.
"Engkau telah membunuh orang di mana-mana, masihkah engkau mungkir?"
"Buang Sengketa...!" Lagi-lagi si Tangan Setan membuat kejutan dengan menyebut
nama si pemuda.
"Engkau tahu namaku... siapakah engkau...?" tanya si pemuda semakin bloon.
"Ya... karena guruku pernah
bercerita tentangmu padaku...!"
"Maksudmu datuk tanpa nama itu, atau yang berjuluk si Tangan Seribu?"
Tanya Buang Sengketa, begitu teringat cerita gurunya.
"Ya...!'' "Tetapi mengapa engkau membunuhi begitu banyak orang-orang yang tiada
berdosa...?"
"Engkau tak pernah tahu Kelana...
bahwa sebelum aku dirawat oleh guruku, yaitu kakek buyutmu sendiri.
Sesungguhnya aku adalah anak seorang Adipati di Trengganu ini. Tetapi
mereka malah memberontak dan
membunuhnya. Sedangkan orang-orang yang engkau lihat bergelimpangan di tanganku,
itu sesuai dengan daftar nama yang diberikan oleh sang guru.
Sebegitulah orang-orang yang telah membantai orang tuaku dan sangat wajar kalau
mereka mendapat ganjaran yang setimpal...!"
Buang Sengketa angguk-anggukkan
kepala, kini dia mulai mengerti bahwa sesungguhnya si Tangan Setan adalah
seorang murid sahabat gurunya, untuk itu dia tak perlu turun tangan sebab dia
tahu, seperti apa yang dikatakan si Bangkotan Koreng Seribu, bahwa
Datuk Tanpa Nama sudah barang tentu
sangat konsekwen
dalam menghukum
muridnya. Tetapi satu yang tiada dia sangka sama sekali. Bahwa Datuk Tanpa nama
itu masih merupakan kakek
buyutnya sendiri, pula merupakan
penjaga setengah bagian yang lainnya dari pusaka yang dimilikinya. Lalu timbul
pula dalam fikirannya. Andai dia dapat mengikuti si Tangan Setan, sudah barang
tentu dia dapat
mengetahui lebih cepat di manakah
sesungguhnya tempat pertapaan Raja Piton Utara, yang merupakan ayah
kandungnya. Ketika pemuda ini menoleh dan menarik nafas pendek-pendek,
agaknya si Tangan Sentan mengetahui apa yang ada di dalam fikiran si
pemuda. Maka tak lama
kemudian, sebelum si pemuda mengemukakan uneg-unegnya, dia sudah menyela terlebih dulu.
"Aku tahu engkau sudah tak sabar untuk mempersatukan Golok Buntungmu, dan
mungkin juga engkau sudah sangat ingin bertemu dengan ayahmu si Raja Ular Piton
Utara. Tetapi ketahuilah, bahwa kebajikan yang engkau perbuat masih belum cukup
bagimu untuk di
nyatakan layak atau tidak bertemu
dengan Yang Mulia Raja. Pesan sang
guru, supaya engkau banyak-banyak
menolong sesama terlebih dahulu.
Setelah itu jumpailah orang tua yang bernama Tabib Setan Gila sewindu
kemudian, Orang itu tinggal di Lembah Tapis Angin untuk masa yang akan
datang...!" jelas si Tangan Setan penuh wibawa.
"Apa hakmu melarangku untuk dapat bertemu dengan ayahku...!" Kata Buang Sengketa
tersinggung. "Aku tak punya hak untuk
melarangmu. Aku hanya menyampaikan pesan buyutmu. Lebih dari itu semua ini
merupakan perintah ayahmu. Sang Maharaja Negeri Bunian!" kata si gadis dari
Pulau Seribu Ular itu.
"Mengapa harus begitu, satu windu bukanlah sebuah waktu yang singkat "
protes Pendekar Hina Kelana.
"Semua itu adalah untuk menguji kesabaranmu, Baiklah, aku tak punya banyak waktu
Kelaha... jangan coba-coba menguntitku. Sebab ilmu cepatmu Ajian Sapu Angin tak
akan berarti banyak untuk mengejarku...!" Seusai dengan ucapannya, tanpa kata
lagi tubuh Hning Ksaban nampak berputarputar laksana sebuah gasing. Semakin lama
semakin cepat. Kemudian sekali
saja angin kencang bertiup, maka tubuh si Tangan Setan bagai sebuah kapas nampak
melayang lenyap tiada berbekas.
Buang Sengketa menggerutu. Sialan dia selalu tahu saja setiap apa yang aku
rencanakan! Kemudian tak lama setelah itu, tanpa memperdulikan mayat-mayat yang
berserakan pendekar ini setapak demi setapak mulai melangkah ke arah Timur. Alam
terasa semakin dingin
menggigit. Tetapi pemuda ini sudah tiada perduli lagi.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel Tukang Edit : beno
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Bara Diatas Singgasana 20 Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Raja Silat 24
tetapi.mengapa harus begitu" Bukankah masih banyak jalan lain yang bisa engkau
tempuh.,.?" Hning Ksaban tersenyum sinis! Kemudian dengan sedih dia berucap:
"Uwa tak tahu. Betapa kejadian itu sangat menyakitkan sekali,
meskipun saat itu aku masih empat
tahun. Tetapi masih segar dalam ingatanku, betapa ayah bertarung mati-matian menghadapi keroyokan yang
jumlahnya sangat banyak sekali. Aku masih dapat mengingat, betapa ibu
merintih dan menjerit-jerit manakala si bangsat Giris Rawa dan beberapa orang
kawannya mencabik-cabik pakaian ibu, lalu setelah itu... mereka..
bangsat terkutuk itu secara bergantian menindih tubuh ibu. Kemudian setelah
dewasa seperti sekarang ini baru
kuketahui bahwa mereka memperkosa
ibuku. Aku melihatnya! Haruskah aku berdiam diri, Uwa...?" isak Hning Ksaban,
dan untuk pertama kalinya si Tangan Setan ini menitikkan air
matanya. Tiada kata yang terucap dari mulut si Tabib. Dia tahu bagaimana
perasaan si gadis saat itu. Seandainya dia sendiri yang mengalami kejadian
itu, diapun tak tahu apa yang harus diperbuatnya terkecuali membalas
dendam. "Menyesal sakali, waktu itu aku tak sempat mengetahui kejadian yang
sesungguhnya. Terkadang sebagai orang tua aku memang seringkali tak
berguna...!" kata Tabib Setan Gila menyesali diri.
"Sudahlah, Uwa tak bersalah!
Semuanya terjadi begitu cepat, yang penting Uwa tak perlu menghalangi
setiap apa yang ingin ku katakan!"
"Adipati Giris Rawa bukan manusia sembarangan, nduk, di samping itu dia juga
memiliki begundal pilihan. Aku selalu mengkhawatirkan
keselamatanmu...!"
Mendengar kata-kat si Tabib,
tiba-tiba Hning
Ksaban tertawa mengekeh. Wajahnya yang tadinya
menunduk sedih kini telah berubah
kembali menjadi beringas, liar dan galak. Lalu dia berkata lantang!
"Hi... hi... hi! Selama lima
belas tahun guruku Setan Tua Tangan Seribu telah mendidikku sedemikian rupa,
terlatih pula untuk memburu
lawan yang manapun. Tak seorangpun yang mampu melukaiku dengan
senjatanya. Giris Rawa dan orang-
orangnya itu akan kubunuh, Uwa...!"
Berkata begitu, tubuh Hning Ksaban nampak berputar-putar. Semakin lama semakin
kencang tak ubahnya bagai
sebuah gasing. Berssamaan dengan itu bergemuruhlah angin kencang bak
laksana suara ribuan lebah. Maka
seiringan bagaikan kapas tubuh Hning Ksaban berkelebat lenyap meninggalkan Tabib
Setan Gila yang termangu di
tempatnya-Orang ini tampak gelengkan kepala begitu mengetahui kehebatan yang
dimiliki oleh Hning Ksaban alias si Tangan Setan.
* * * Rumah kediaman Adipati Giris Rawa
malam itu dipenuhi oleh para pembantu pembantunya. Agaknya sebentar lagi akan
segera di adakan pertemuan khusus dengan sang penguasa Trengganu itu.
Suasana hening menyelimuti segenap ruangan. Tak se-rangpun di antara mereka yang
berani buka suara. Wajah masing-masing nampak tertunduk dalam-dalam. Tak berapa
lama kemudian dari balik sebuah pintu besar yang berukir indah, muncullah sang
Adipati Giris Rawa. Laki-laki berbadan tinggi kurus namun berperut bagaikan gentong itu nampak
melangkah dengan kewibawaan yang dibuat-buat. Beberapa saat
setelahnya dia sudah duduk di
singgasananya yang empuk penuh
kemegahan. Laki-laki berkulit kuning pucat dengan sepasang matanya yang tak jauh
bedanya dengan orang yang sedang mengantuk itu. Untuk beberapa saat lamanya
nampak memandangi tujuh orang pembantu-pembantu utamanya. Di antara mereka
terdapat pula Dingklang. Laki-laki kumis ikan lele yang beberapa hari lalu
sempat menjadi pecundang Tabib Setan Gila.
Setelah puas memandangi para
pembantu-pembantunya, Giris Rawa
menyenderkan kepalanya. Sejurus dia melirik kanan kiri memberi tanda
gundik-gundiknya untuk meninggalkan tempat itu. Setelah perempu-an-perempuan
peliharaan itu semuanya
telah berlalu dari ruangan pertemuan, sambil mengusap-usap perutnya yang gendut
dan lucu diapun mulai membuka percakapan.
"Saudara-saudara sekalian,
tahukah anda mengapa hari ini tidak seperti biasanya, saya mengundang
saudara untuk mengadakan pertemuan ini?" tanya Giris Rawa dengan pongahnya. Yang
ditanya saling berbisik-bisik sesamanya. Lalu secara serentak mereka menjawab.
"Tidak tahu, ya Sang Adipati
Junjungan...!" ucap mereka serentak sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
Bukan main berangnya sang Adipati angkuh itu dibuatnya demi mendengar para
bawahannya. Wajahnya yang kuning pucat itu semakin bertambah pucat
karena menahan marah.
"Guoblook semua kalian ini! Dua puluh lima sen setiap bulan yang
kuberikan pada kalian itu, bukan hanya sekedar untuk mengatakan tidak tahu
melulu, mengerti?" ulang sang Adipati.
Lagi-lagi secara serentak:
"Mengerti Ketua...!"
"Mengerti apa..."!" bentak Giris Rawa, seraya mengelus-elus jenggotnya yang
tidak lebih baik dari buntut
kuda. "Maksud ketua, dua puluh lima sen itu bukan gaji buta pemberian nenek moyangmu,
Yang Mulia...!"
"Wei... bangsat betul kalian.
Berani kali kalian menyebut-nyebut
nenek moyangku yang sudah mampus.
Apakah ingin kugantung...?" Maki sang Adipati kesal sekali. Pucat wajah
mereka demi mendengar ancaman Sang Junjungan, lalu cepat-cepat mereka meralat
ucapannya. "Ketua maafkan kami! Kami tak bermaksud menyebut-nyebut orang yang sudah tiada.
Maksud kami, gaji bulanan itu bukanlah merupakan pemberian yang cuma-cuma. Semua
itu dibayar, sebagai imbalan atas tugas-tugas yang telah kami selesaikan selama
ini!" ralat si Dingklang mewakili kawan-kawannya yang lain. Giris Rawa angguk-
anggukkan kepalanya sebagai tanda puas!
"Bagus, di antara sekian banyak.
Engkau memang salah seorang anak buah yang memiliki kecerdasan lebih. Engkau
memang pantas mendapat penghargaan tertinggi dariku...!" ucap sang Adipati.
Bukan alang kepalang
girangnya hati si Dingklang mendengar keputusan sang Adipati. Tetapi begitu
Giris Rawa melanjutkan ucapannya,
wajah si Dingklang menjadi lesu
kembali. "Tetapi penghargaan, itu nanti Dingklang! Setelah semua urusan yang akanu kita
bicarakan ini dapat
diselesaikan dengan baik, dalam arti pelaksanaannya...!"
"Tidak ada, Yang Mulia!" kata si Dingklang berusaha menyembunyikan
perasaan. "Bagus! Bagus! Aku sangat suka pada orang yang punya pengertian
sepertimu." kata Giris Rawa Jumawa.
"Yang mulia Adipati, lebih dari sekedar pujian. Kami yakin masih ada hal lain
yang akan Adipati bicarakan dengan kami. Kami sudah siap untuk mendengarkannya.
Sudilah Adipati
memulainya...!" usul salah seorang di antara mereka yang bernama Banu
Keling, nampaknya dari sekian banyak pembantu-pembantu Adipati, laki-laki dari
Bukit Monyet selalu menunjukkan sikap ketidaksenangannya pada sang Adipati yang
selalu membuat mual
perutnya. "Usul yang bagus saudara Banu keling. Saya memang segera akan
membuka pertemuan ini." menyela si Adipati. Beberapa saat setelahnya, keadaan di
dalam ruangan itu hening kembali. Sesekali daja terdengar desah nafas sang
pimpinan. Agaknya dia
sedang memikirkan sesuatu yang akan dikatakannya pada para pembantu.
"Begini!" Giris Rawa membuka percakapan kembali. Seperti yang
saudara-saudara
ketahui, sudah berjalan hampir setahun, wilayah
kekuasaanku ini menjadi gempar dengan adanya aksi si Tangan Setan. Korban sudah
begitu banyak. Bahkan belakangan diketahui, paman Wimba yang merupakan sesepuh
kadipaten dan juga beberapa orang muridnya tewas secara mengerikan di tangan
iblis itu. Aku ingin saudara ikut mencari jalan keluarnya untuk dapat menyeret
si Tangan Setan yang telah menginjak-injak
kewibawaanku...!"
"Ampun Adipati...!" Banu Keling menjura dalam-dalam. Sepintas sang Adipati
menoleh ke arah Banu Keling.
"Ya, kalau ada usul! Jangan
segan-segan untuk mengatakannya
Saudara Banu Keling...!"
"Begini ketua! Seperti kita sudah ketahui, saudara Wimba sesungguhnya bukanlah
orang yang bisa dianggap
sepele dalam hal ilmu kepandaian silat dan permainan pedang hitamnya. Bahkan
diapun seorang guru dari puluhan orang murid! Kalau saudara Wimba dan
beberapa orang muridnya saja, yang bisa dikatakan memiliki kepandaian
tinggi, dapat dikalahkan oleh si Tangan Setan bahkan sampai tewas di
tangannya. Maka aku yang bodoh ini dapat menduga bahwa orang itu
berkepandaian sangat tinggi...!" Sang Adipati angguk-anggukkan kepala, lalu
diapun menambahi!
"Engkau benar, saudara Banu
Keling! Siapapun si Tangan Setan.
Sudah pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi, di samping memiliki pukulan
beracun yang sampai saat ini tiada obatnya...!"
"Benar yang mulia. Bahkan Tabib Setan Gila sendiri ketika bertemu
denganku mengakui kalau dirinya tak sanggup memberikan kesembuhan!" sela si
Dingklang malu-malu.
* * * 10 "Tetapi engkau katakan padaku, bahwa engkau sempat bentrok dengan Tabib itu
saudara Dingklang...!" tegur si Adipati dengan pandangan
menyelidik. "Benar! Hal itu terjadi karena Tabib Gila itu mengatakan tak sanggup untuk
mengobati kawan-kawan yang
terkena pukulan beracun si Tangan
Setan...!" kilah si Dingklang. Giris Rawa sempat tercengang demi mendengar
pengakuan pembantunya itu. Lalu timbul dalam fikirannya, kalau memang benar
bawahannya itu sempat bentrok dengan si Tangan Setan. Itu berarti si Dingklang
mengenali siapa adanya si Tangan Setan itu.
"Dingklang, kelau memang benar ucapanmu itu. Sudah barang tentu
engkau mengenali bagaimana tampangnya si Tangan Setan itu...?"
"Ee... sulit... untuk
mengatakannya, ketua! Sebab orang itu mengenakan topeng, tetapi kalau
menitik suaranya, aku yakin si Tangan Setan nampaknya seorang perempuan
belaka...!"
"Perempuan...!" gumam Giris Rawa tanpa sadar. Seingatnya dia tak pernah punya
musuh seorang wanita. Kalau pun ada, mereka itu tak ada yang berumur panjang!
Menurut pendapatnya si Tangan Setan tak mungkin menyebar teror
secara mengerikan seperti itu, kalau tak punya alasan tertentu. Tiba-tiba dengan
sangat penasaran sekali dia kembali bertanya.
"Tahukah engkau, bagaimana kira-kira rupa di balik topeng itu...!"
"Tidak ketua... tetapi menurut keyakinanku, kemungkinan besar wajah di balik
topeng itu masih sangat
muda...!" jawab si Dingklang tanpa ragu-ragu.
"Dingklang, jangan engkau
mengada-ada. Menurutku tak mungkin seorang wanita yang masih sedemikian muda
telah begitu berani membuat
urusan yang besar di kadipaten
Trengganu ini, lagipula apa masuk akal kalau bocah sedemikian bau kencur
sudah mampu menguasai pukulan-pukulan maut yang sudah sedemikian sempurna?"
menyela Banu Keling merasa kurang
sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Dingklang. Lain halnya dengan Banu
Keling, lain pula dengan Giris
Rawa, Saat Itu dia mulai sudah dapat menduga-duga, siapa adanya perempuan yang
berjuluk si Tangan Setan itu. Dia masih ingat betapa waktu itu Panji Paksi,
Adipati yang malang itu
mempunyai seorang anak perempuan yang tidak keburu mereka binasakan karena ada
seseorang berkerudung yang
menyelamatkannya. Kejadian itu kini sudah hampir delapan belas tahun yang lalu.
Sangat masuk akal kalau bocah itu kini sudah berangkat dewasa, dan mungkin saja
dialah yang berjuluk Si Tangan Setan itu. Dengan senyum penuh kelicikan,
wajahnya yang kuning pucat itu kini nampak berobah sedikit cerah.
Kemudian begitu pongahnya dia
memandang pada para bawahannya.
"Saudara Banu Keling! Mungkin apa yang dikatakan oleh adi Dingklang
sudah mulai mendekati kebenaran...!"
ucapnya dengan sesungging senyum
memualkan. "Apa maksudmu, Ketua...!" tanya yang lainnya.
"Masih ingatkah kalian dengan
peristiwa besar delapan belas tahun yang lalu!" Giris Rawa balik bertanya.
Yang ditanya masing-masing kerutkan
kening. Sama-sama mencoba mengingat-ingat. Begitu mereka mengerti!
"Maksud Yang Mulia Adipati,
mengenai keluarga Panji Paksi...!"
"Benar! Bagus kalau kalian masih mengingatnya. Seperti kita ketahui bukankah
kala itu Panji Paksi punya seorang anak perempuan yang sempat diselamatkan oleh
orang berkerudung?"
Ujar si Adipati.
"Apa hubungannya antara anak si bangsat Panji Paksi dengan si Tangan Setan,
Ketua...!" tanya mereka hampir bersamaan. Sudah barang tentu
pertanyaan mereka ini membuat jengkel sang Adipati.
"Kalian ini goblok semua. Otak kalian malah tidak lebih baik dari otak keledai
dungu. Hubungannya ya sudah jelas ada! Bocah cilik itu sudah barang tentu kalau
masih hidup sekarang ini sudah dewasa. Bukan tak mungkin si manusia berkerudung itu telah
mengajarkan ilmu sakti
kepadanya!"
"Hmm. Benar juga... kalau begitu yang menjadi sasaran utama dalam
terornya sudah jelas engkau yang mulai Adipati...!" kata Banu Keling.
"Tolol!. Bukan aku sendiri,
tetapi kita semua yang ada di
kadipaten ini...!" ucapnya marah sekali.
; "Benar. Mengapa dulu kita tidak membunuhnya sekalian, bikin penyakit saja...!"
menyela si Dingklang.
"Sudah... semuanya sudah telat...
sudah terlambat! Tak perlu kita
Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari kambing hitam. Yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana caranya
meringkus bocah itu secepatnya...!"
bentak Giris Rawa, lalu ia gebraknya meja berukir indah yang berada di
hadapannya. Hingga meja itupun hancur berkeping-keping. Pucat wajah orang-orang
di sekelilingnya demi melihat kemarahan sang junjungan, wajah mereka nampak
tertunduk dalam-dalam. Sepasang mata Giris Rawa yang buas dan keji itu untuk
beberapa saat lamanya menyapu pandang pada para bawahannya, setelah itu akhirnya
diapun berkata tegas.
"Dalam keadaan segawat sekarang itu, aku tak pernah meminta pada
kalian untuk saling berbantahan,
kalian kuundang kemari adalah untuk membicarakan bagaimana akal kita
menghadapi sepak terjang bocah itu yang sudah melebihi takaran. Bocah itu
sangat berbahaya, bahkan
bisa menghancurkan kita dalam waktu cepat atau lambat kalau kita tak memasang
perangkap untuk menangkapnya. Jangan kalian-fikir kita dapat dengan mudah
meringkusnya, kalau kita tidak
mempergunakan akal lama...!" Lagi-lagi Adipati Trengganu mendengus.
"Maksud yang mulia kita biarkan si Tangan Setan datang sendiri ke
mari...!".:
"Tak salah...!" ujar Giris Rawa dengan sesungging senyum penuh
kelicikan. Semua orang yang hadir di situ nampak terdiam begitu mendengar
keputusan sang Adipati. Sebagian di antara mereka ada yang setuju dengan siasat
yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pengecut, sedangkan
sebagian yang lain nampaknya menjadi ragu-ragu. Walaupun mereka ini memang tak
berani secara terang-terangan mengatakan apa yang
terkandung dalam hati masing-masing.
"Bagaimana apakah kalian merasa setuju dengan usulku itu...?" tanya sang
Adipati. "Setuju sih setuju Adipati...
tetapi yang jadi persoalannya sekarang
ini adalah, apakah si Tangan Setan mau datang ke mari atau tidak!"
"Weii... mahluk apakah engkau
ini, kok tolol banget.. Si Tangan
Setan mengincar kita, sudah pasti dia cepat atau lambat datang ke mari...!"
"Betul juga... kalau begitu akur saja dah..,!". menyahut Banu Keling dan lain-
lainnya secara serentak.
Dalam pada itu salah seorang di
antara mereka di pintu utama datang dengan tergopoh-gopoh memberi laporan.
Wajah pengawal itu nampak sangat pucat sekali. Sesampainya di depan Adipati
pengawal pintu utama itu langsung berlutut dan menjatuhkan diri.
"Celaka Yang Mulia, lapor Yang Terhormat... eeh.. maksud...!" ucapnya tersendat
dan terbata-bata.
"Bajul Buntung... mau ngomong
saja pakek au.. au.. au... siapa yang mengajarimu menjadi gugup seperti itu"
Coba bicara baik-baik...!" bentak sang Adipati nampak sangat marah sekali.
"Ba... baik... yang mulia! Begini ada seorang pengacau di luar sana...!"
kata si pengawal memberi laporan.
"Pengacau! Apakah kalian tidak mampu membereskan bangsat itu".Ke mana kawan-
kawanmu yang lain. Apakah mereka
tidur saja kerjanya...?" gerutu sang Adipati dengan mata memerah.
"Kami sudah mengadakan
perlawanan, yang mulia! Tetapi malah kawan-kawan kami semuanya tewas...!"
jawabnya dengan tubuh gemetaran.
"Tewaas...?" Giris Rawa sampai terlonjak dari tempat duduknya demi mendengar
laporan pengawalnya. Tiga puluh orang penjaga bukanlah sedikit.
Mereka juga telah dilatih dengan
berbagai ilmu kanuragan oleh Wimba.
Bagaimana bisa terjadi pengawal yang begitu banyak jumlahnya bisa
dirobohkan oleh pengacau. Beberapa saat kemudian dia kembali berpaling pada
pengawalnya. "Pengawal linglung! Berapa
banyakkah para pengacau itu...?" tanya sang Adipati.
"Tidak banyak, Yang Mulia hanya satu orang...!"
"Tolol... sinting... guoblok...
semua! Begitu banyak orang diluaran sana, cuma menangkap satu orang saja nggak
becus. Malah pada mati lagi...!"
"Orang itu memiliki pukulan
beracun dan berkepandaian silat sangat tinggi, Yang Mulia...!"
kata si pengawal memberi penjelasan. Kejut di
hati Giris Rawa bukan alang kepalang.
Lalu timbul pula dugaannya bahwa orang itulah yang sesungguhnya sedang mereka
bicarakan saat itu.
"Kalian semua!" ucap sang Adipati memandang ke segenap ruangan! Kemudian
lanjutnya: "Di Trengganu ini tak seorangpun yang memiliki kepandaian melebihi
kakang Wimba dan memiliki pukulan beracun pula. Aku
merasa yakin, agaknya inilah manusianya si Tangan Setan yang kita sedang tunggu-tunggu
itu. Aku ingin agar kalian
mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Ringkus manusia biang malapetaka itu hidup atau mati." perintah Giris Rawa.
Akhirnya tanpa membuang-buang
waktu lagi, Sang Adipati dan orang-orangnya nampak berserabutan ke luar dari
rumah Adipati. Sampainya di
halaman yang begitu luas, persis
seperti apa yang dilaporkan oleh
penjaga pintu. Terlihatlah pemandangan yang benar-benar menggiriskan. Mayat-
mayat pengawal kadipaten yang
jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu nampak bergelimpangan di berbagai
tempat. Mereka semuanya tewas dengan wajah menghitam dan biru akibat
terkena pukulan Raja Cobra. Semua mata
menyaksikan pemandangan itu nampak bergidik. Ngeri dan cemas berbaur
menjadi satu. Merah paras sang Adipati demi melihat seluruh pengawalnya
terbantai habis. Tubuhnya yang kurus nampak bergemetaran, kedua bibirnya yang
menghintam itu nampak terkatup rapat. Saat itu bulan sabit ketujuh masih
berselimut kabut, sang Adipati dan lain-lainnya nampak mengitarkan pandangan
kesegenap malam. Suasana terasa
sepi mencekam. Dalam
kemarahannya yang meluap-luap itu.
Tiba-tiba Giris Rawa berteriak
lantang: "Setaaaaan...! Manusia yang
mengaku dirinya si Tangan Setan!
Jangan hanya ngumpet di gelapannya malam. Keluarlah... pengawal-pengawal itu
bukan :apa-apamu! Aku Adipati
Trengganu merupakan lawan,
keluaarrr...!" perintah sang Adipati memberi tantangan. Namun, sejauh itu tiada
sai-hutan apapun, suara Adipati yang sedemikian lantangnya menggema di
keheningan malam yang sepi.
"Agaknya orang itu telah pergi dari tempat ini, Adipati...!" menyela Banu
Keling. Tanpa berpaling dari
posisinya, Giris Rawa berkata gusar:
"Huh! Aku tak percaya, dia pasti masih berada di sekitar tempat
ini...!" bantah sang Adipati.
"Manusia keparat si Tangan Setan!
Keluarlah dari tempat persembunyianmu"
Si Dingklang ikut-ikutan pula
berteriak. "Kuatan dikit! Mungkin si Tangan Setan jenis manusia tuli...!"sergah salah
seorang di antaranya.
"Bajul Buntung! Tadi juga sudah kuatan, mungkin kupingmu saja yang budek...!"
kata si Dingklang pada si botak yang berdiri di sisinya.
"Sial betul kalian ini. Mengapa saling berbantahan... ayo cepat cari di sekitar
tempat ini!" bentak Giris Rawa nampak sangat marah sekali.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
terdengar suara tawa mengekeh. Lalu melesatlah sesosok bayangan dari atas
wuwungan rumah, begitu cepat bayangan itu berkelebat hingga tahu-tahu dia sudah
menginjakkan kakinya tidak
begitu jauh dari tempat Adipati dan orang-orangnya berdiri. Serentak
perhatian mereka tertuju pada si
manusia yang mengenakan topeng biru.
Beberapa saat kemudian tanpa diberi komando, orang-orang Giris Rawa itupun
langsung mengepugn si Tangan Setan.
Mengetahui gelagat, si Tangan Setan malah tertawa ngikik.
"Hi... hi... hi...! Manusia-
manusia serakah, hari ini akan kuhapus nama kebesaranmu dari kolong langit
ini...!" teriak si Tangan Setan geram sekali. Berkali-kali Giris Rawa
meludah ke tanah demi mendengar ucapan si orang bertopeng itu. Lalu tak kalah
gusarnya diapun menyela:
"Ho... ho... ho...! Budak setan, sekalipun seratus lapis engkau kenakan topeng
itu jangan kau kira aku tak dapat mengenalimu Ayahmu Panji Paksi telah mampus di
tangan kami. Kupikir sebentar lagi engkaupun akan mengalami nasib yang sama
pula, atau mungkin lebih mengerikan dari sekedar apa yang di alami oleh orang
tuamu...!"
"Bagus kalau engkau mengenaliku!
Tahukah kau sudah berapa banyak dosa yang engkau tumpuk...!" tukas si Tangan
Setan mencemooh.
"Tolol sekali engkau ini!
Pembunuhan yang engkau lakukan semena-meha saja sudah menutup jalan bagimu untuk
bertobat. Masikah
engkau menghitung-hitung kesalahanku yang sesungguhnya teramat kecil...!"
"Keparaat! Hieeeh...!"
"Arrghk!" Sekali lagi tangan si gadis ber-kelebat, dua orang
bawahannya terpelanting roboh. Tewas secara mengerikan seketika itu juga,
mendidihlah darah sang Adipati
dibuatnya. * * * 11 "Jahanam terkutuk! Engkau telah membunuh. orang-orang kepercayaanku.
Ingat dan jangan harap aku mau
mengampunimu .!" maki sang Adipati, dan saat itu juga dia sudah mencabut
senjatanya yang berupa sebuah keris lekuk tujuh bergerigi.
"Akupun tak perlu merengek minta ampun padamu, bangsat Giris Rawa...!"
"Sialan...!"
Adipati Giris Rawa sudah
bermaksud ke arah si Tangan Setan, tetapi Banu Keling mencegah!
"Ketua biarkan kami yang
meringkus bocah setan ini...!"
Serentak dengan
ucapannnya, Banu
Keling, si Dingklang dan dua orang lainnya segera mengepung si Tangan.
Setan. Gadis bertopeng itu kembali tergelak-gelak. Begitu cepat tubuhnya
berkelebat sambil keluarkan seruan.
"Hari ini Adipati sialan dan para begundal-gundalnya benar-benar segera kukirim
ke liang kubur...!"
"Tutup bacotmu betina setan!
Sheaaa...!" Banu Keling kirimkan satu babatan satu bacokan mengarah pada bagian
kepala dan pinggang. Pada saat yang sama menderu pula satu serangan dari arah
samping kiri yang
dilancarkan oleh si Dingklang. Si Tangan Setan keluarkan tawa mengekeh, tubuhnya
sedikit condong ke samping kanan, lalu tanpa terduga-duga
bagaikan seekor jangkrik tubuh itu melentik ke udara.
"Wuaa...!"
"Semprul sialan! Hampir saja kita saling bacok-bacokkan Banu keling...!"
gerutu si Dingklang saat mana senjata mereka hampir saja bertemu satu sama lain.
Masih untung meskipun suasana gelap remang-re-mang
mereka nampak sangat hati-hati dalam melakukan
penyerangan. Andai tidak, sudah barang
tentu mereka secara tak sengaja sudah saling bunuh.
"Bet! Bet!"
Banu Keling lagi-lagi membuka
serangan, kali ini sambil menyerang dia kirimkan satu pukulan maut yang diberi
nama, Ular Gunung mencatok Tikus, Begitu tangan kanannya membabat ke arah depan,
tengan kiri terentang ke atas, kemudian berkiblat.
Tak ayal satu sapuan gelombang
angin yang teramat kencang segera
menerjang ke arah si Tangan Setan.
Jubah Kuning yang dikenakan oleh si Tangan Setan sampai berkibar-kibar di landa
angin pukulan yang dilepaskan oleh Banu Keling. Pembantu Adipati itu berharap
satu pukulan yang
dilepaskan itu telah mampu merobohkan si Tangan Setan atau setidak-tidaknya
membuat dia kelabakan. Akan tetapi tak disangka-sangka si Tangan Setan
sebaliknya malah mendengus dan
keluarkan ucapan yang membuat orang-orang Adipati semakin gusar.
"Puih! Pukulan mainan bocah
begini mana ada apa-apanya. Nih
kukembalikan. Bersamaan dengan
ucapannya. Si Tangan Setan lambaikan tangan kirinya. Praktis pukulan yang
dilepaskan oleh Banu Keling bukan saja tak pernah mencapai sasarannya, lebih
dari itu. Pukulan itu kini malah
berbalik menyerang pemiliknya dengan kekuatan yang berlipat ganda.
Seandainya Banu Keling tidak cepat-cepat menghindar dengan cara
berjumpalitan. Sudah dapat dipastikan dia akan binasa oleh pukulannya
sendiri, Sumpah serapah berhamburan dari mulut laki-laki itu, ketika
pukulan Ular Gunung Mencatok Tikus masih saja. menyerempet bagian tumit kakinya.
Serentak dengan bersurutnya Banu Keling, maka si Dingklang dan dua orang lain
nampak bergerak maju.
Dengan senjata sebilah pedang
tipis di tangan masing-masing. Ketiga orang ini menggempur si Tangan Setan dari
berbagai arah. Akan tetapi
nampaknya si Tangan Setan sudah tak ingin mengulur-ulur waktu lagi.
Secepatnya serangan-serangan itu datang menggempurnya silih berganti, maka lebih
cepat lagi tubuhnya
berkelebat, hingga manakala dari si Dingklang dan dua orang lainnya
menderu ke arahnya, tanpa sungkan-
sungkan kedua tangannya yang telah
teraliri tenaga dalam itupun secara tepat memapaki.
"Crak! Crak! Crak!"
"Buk!"
Bagai membentur batu karang saja
layaknya, ketika pedang di tangan
ketiga orang itu mencapai sasarannya.
Kejut di hati mereka bukan alang
kepalang, mereka tak pernah menyangka kalau si Tangan Setan memiliki
kekebalan tubuh yang sangat luar
biasa. Begitupun halnya dengan Adipati Giris Rawa yang saat itu nampak
menyaksikan jalannya pertarungan anak buahnya dari tempat yang tidak begitu jauh
dari halaman rumah Kadipaten itu.
Sementara itu si Dingklang dan
dua orang lainnya begitu mengetahui lawannya , kebal terhadap senjata, mereka
bermaksud untuk mencari titik kelemahan lainnya. Tetapi begitu dia berusaha
menarik senjata yang menempel di jemari tangan si gadis bertopeng.
Ketiga orang ini dibuat lebih terkejut lagi. Karena ternyata mata pedang di
Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan mereka telah menempel begitu lekat di antara celah-celah jemari lawannya.
Pada saat itu pulalah si Tangan Setan kirimkan tiga pukulan kilat secara
bertubi-tubi. "Buk! Buk! Buk!"
"Wuaea...!"
Bagai ranting kering ditiup topan
ketika orang itupun tanpa ampun lagi terlempar sedemian menyedihkan. Tiga
jeritan maut terdengar saling susul menyusul. Seandainya kejadian singkat itu
berlangsung siang hari, sudah
tentu Banu Keling dan Adipati Giris Rawa, akan menjadi jerih begitu melihat
tubuh orang-orangnya yang
terkena pukulan beracun, nampak
melempuh dan berubah menghitam
seketika itu juga. Kini tinggallah pentolan-pentolan Kadipaten nampak memandangi
mayat-mayat para
pembantunya yang tewas secara
menyedihkan. Sungguhpun hati Banu
Keling dan Giris Rawa dibakar
kemarahan yang meluap-luap, tetapi kini agaknya mereka mulai menyadari bahwa
caci maki sudah tiada gunanya.
Dan sejauh itu dia sudah dapat menduga seberapa hebat kekuatan dan
kedahsyatan. yang dimiliki oleh si Tangan Setan. Maka. kini tanpa banyak kata
lagi, Giris Rawa kembali mencabut keris lekuk tujuh bergerigi miliknya.
Begitupun Banu keling, laki-laki
berkulit arang inipun tak tinggal
diam. Segera pula di lolosnya sebuah bola baja berduri yang selama ini
nampak melilit di pinggangnya.
Beberapa saat kemudian bagai
saling berlomba, dua orang pentolan Kadipaten Trengganu itupun dengan
senjata-senjata aneh namun
menyeramkan. Segera kirimkan serangan-serangan ganas. Dengan senjata di
tangan mereka, setiap tusukan maupun babatan selalu saja menimbulkan deru angin
yang menggiriskan. Agaknya
senjata-senjata milik pentolan-
pentolan Kadipaten itu juga mengandung racun yang ganas. Ini terbukti si
Tangan Setan yang memiliki kekebalan terhadap segala macam racun saja
nampak bertindak sangat hati-hati. Hal ini ternyata memang membuka kesempatan
yang cukup besar bagi Banu Keling dan Giris Rawa untuk mendesak lawannya dengan
sangat leluasa sekali.
Gebrakan-gebrakan berikut ternyata memang si Tangan Setan nampak mulai terdesak,
gempuran-gempuran yang
dilakukan dari dua arah oleh lawan-lawannya secara sambung-menyambung itu.
Membuat si Tangan Setan tak mampu mengembangkan jurus-jurus silat yang di
milikinya. Akibatnya sambil terus
bertahan dia hanya mampu mengelak dan menangkis. Bukan main kesalnya hati si
Tangan Setan, demi mangetahui betapa hebat gabungari jurus-jurus
silat yang dimainkan oleh lawan-lawannya.
Lebih dari itu yang patut di akui oleh si Tangan Setan adalah cara kerjasama di
antara kedua orang itu yang
sedemikian baiknya, sehingga meskipun permainan ilmu silat mereka bukan
berasal dari satu sumber tetapi
menunjukkan kekompakkan yang sangat serasi.
Dalam pada itu, Giris Rawa dan
Banu Keling kelihatan terus mendesak lawannya sampai ke tembok pagar,
beberapa kali senjata di tangan Giris Rawa yang berupa keris bergerigi
berhasil merobek beberapa bagian dari pakaian lawannya. Giris Rawa yang saat itu
merasa berada di atas angin, nampak terkekeh-kekeh. Begitu melihat bagian-bagian
tertentu dari tubuh si Tangan Setan. Yang seperti sama-sama diketahui
sesungguhnya merupakan
seorang wanita. Beberapa saat kemudian Banu Keling yang sudah semakin kalap dan
tak sabaran ini nampak berteriak keras, bersamaan dengan jeritannya itu pula,
tubuhnya berkelebat lebih cepat.
Bola baja berduri yang berada dalam genggamannya diputar sedemikian
cepatnya, hingga menimbulkan bunyi mendengung menyakitkan gendang
telinga. Satu kesempatan, Banu Keling tampak memberi isyarat pada Giris Rawa.
Mengetahui gelagat, Adipati bangsat itu cepat-cepat menyurut
beberapa langkah! Pada saat itu pula Banu Keling yang sudah merencanakan segala
sesuatunya segera mengayunkan rantai bola baja di tangannya.
"Nguuuuung!"
Laksana suara ribuan lebah, bola
baja berduri itu mendengung.
Sesungging seringai maut membias di bibir Banu Keling. Saat senjata di tangannya
bergerak sedemikian cepat pada bagian kepala si Tangan Setan.
Si Tangan Setan nampak terkesima
begitu mengetahui datangnya serangan yang begitu cepat dan tiba-tiba ini.
Sekejap dia menjadi gugup! Tetapi
bukan si Tangan Setan namanya kalau dalam menghadapi serangan yang
demikian saja dia sudah kelabakan.
Demikianlah ketika bola berduri itu dua jengkal hampir menghancurkan
kepalanya. Di saat Banu Keling dan Giris Rawa menyangka bahwa kali itu si
Tangan Setan sudah tak dapat
menghindar dari kematian. Secara
mendadak dan tiada disangka-sangka oleh pentolan-pentolan Kadipaten
Trengganu, tubuh si Tangan Setan
nampak kembali menelentik ke udara.
"Haiiiit"
Bola baja yang seharusnya
menghantam kepala si Tangan Setan, sebaliknya terus meluncur mencapai sasaran
yang kosong. "Craak! Bluuum"
Luncuran yang sudah sangat sulit
pada akhirnya menghantam tembok
dinding sehingga mengakibatkan tembok itu menjadi porak poranda.
Agaknya serangan yang gagal
mencapai sasarannya itu telah membuat Banu Keling menjadi sangat penasaran
sekali. Dengan melarang Giris Rawa terlebih dahalu, pada akhirnya dia maju
seorang diri. Sebelum mulai
gebrakan berikutnya diapun berteriak lantang.
"Tangan Setan! Karena hari ini aku tak mampu mengembalikanmu ke
neraka. Maka lebih baik berhenti jadi manusia....!"
"Bagus! Kalau engkau berhenti
jadi gembongnya manusia sesat, aku
sarankan engkau jadi Raja Cacing Tanah saja...!"
"Hait...mampuslah engkau bocah sombong...!" teriak Banu Keling.
Rantai Bola Baja di tangannya kembali menderu, semakin lama nampak bergerak
semakin cepat, hingga pada akhirnya hanya tinggal merupakan bayang-bayang saja.
Di lain pihak. Si Tangan Setan yang diserang sedemikian rupa, kini malah nampak
tenang-tenang saja. Hal ini sesungguhnya sangat wajar, karena rupanya dalam
keadaan terdesak tadi sesungguhnya dia sedang berusaha
memecahkan permainan setiap jurus ilmu silat lawannya. Kini setelah misteri
jurus-jurus ilmu silat si Giris Rawa dan Banu Keling terpecahkan. Maka
makin mudahlah baginya untuk
mematahkan serangan pihak lawan
apalagi kini Banu Keling yang sudah sangat penasaran itu mencegah Sang Adipati
untuk mengeroyok si Tangan Setan.
Dalam gebrakan-gebrakan
berikutnya nyatalah bahwa permainan silat maupun pukulan-pukulan yang
dilepaskannya, sudah dapat di baca oleh si Tangan Setan. Hingga pada
akhirnya, sungguhpun Banu Keling
berusaha mati-matian dan bahkan telah mengerahkan segenap kemampuannya,
namun tetap saja setiap serangan yang di lancarkannya selalu saja patah di
tengah jalan. Satu kesempatan, bola baja di tangan Banu Keling kembali menderu,
bahkan lebih cepat lagi bila dibandingkan dengan serangan-serangan terdahulu.
Bersamaan dengan
berkelebatnya tubuh Banu Keling. Maka si Tangan Setan yang memang sudah
bersiap-siap melepaskan pukulan
beracunnya juga ikut bergerak lebih cepat lagi. Tetapi manakala bola baja di
tangan Banu Keling mengejar dari arah belakangnya. Sebaliknya dia malah hentikan
gerakan dan berdiri tiada bergeming. Banu Keling dan Giris Rawa menyangka bahwa
si Tangan Setan
kiranya sudah menyerah dan mau
menerima kematian.
"Nguuung!"
Beberapa inci lagi bole berduri
itu menyambar perut si Tangan Setan, maka tangan kanannya bergerak laksana
kilat. "Creeep!"
Dua orang pentolan Trengganu itu
sama-sama terbelalak penuh kejut
begitu mengetahui dengan sangat mudah
pihak lawannya, bukan saja dapat
mengelakkan hantaman bola baja itu, tetapi sebaliknya malah mampu pula menangkap
dengan sangat tepat senjata milik musuhnya. Banu Keling tak dapat berfikir
panjang manakala satu
sentakan dari tenaga yang sangat
besar, merenggutkan bola baja itu dari tangannya. Belum lagi habis kejut di
hatinya. Tanpa terduga-duga, laksana meteor. Si Tangan Setan menyambitkan bola
baja berduri itu pada pemiliknya.
Senjata maut itu terus melesat
sebegitu cepat, ke arah Banu Keling.
Giris Rawa yang sempat melihat
kejadian itu berteriak memberi
peringatan. "Saudara Banu Keling...
awaaaas...!" Percuma saja Giris Rawa memberi peringatan pada Banu Keling, sebab
laki-laki yang sudah sangat
gugup itu sudah tak mampu mengelak lagi. Tak ampun senjatanya sendiri,
menghantam bagian dadanya.
"Broooook!" '
Banu Keling menjerit lirih
manakala bola baja itu membuat remuk dadanya. Darah nampak memancar deras dari
tulang-tulang iga yang
berserabutan ke luar itu. Tiada
keluhan yang terdengar, mata Banu
Keling nampak melotot memandang pada si Tangan Setan. Tetapi hanya sesaat saja,
karena tidak begitu lama
kemudian. Bagai pohon pisang yang
ditebang, maka tubuhnya ambruk tanpa mampu berkutik lagi. Mengetahui keadaan
lawannya, si Tangan Setan
tertawa mengekeh. Secara perlahan dia berpaling pada Giris Rawa, yang kini
nampak sangat gusar sekali begitu
melihat kematian kawannya. Banu
Keling! Dengan tersenyum aneh si
Tangan Setan yang hatinya, sudah
dipenuhi kobaran nafsu membunuh itupun membentak.
"Giris Rawa...! Apa yang bisa kau perbuat" Semua orang-orangmu telah kubikin
mampus... Sebentar lagi, sudah barang tentu tiba giliranmu pula...!"
"Bangsat, jangan kira aku menjadi takut menghadapimu. Majulah! Sekalipun kulitmu
sekebal kulit badak, tetapi dengan keris pusaka ini engkau akan segera binasa!"
teriak Giris Rawa.
"Mampuslah engkau bangsat
pembunuh orang tuaku... haiiit...!"
maki si Tangan Setan. Serentak dengan ucapannya itu, si Tangan .Setah alias
Hning Ksaban tanpa basa basi lagi
langsung saja menerjang dan kirimkan pukulan-pukulan yang sangat diandalkan pada
Adipati Trengganu. Sebaliknya dengan sangat gesit pula Giris Rawa memapaki
setiap datangnya serangan
yang dilancarkan oleh si Tangan Setan.
Sementara itu, Buang Sengketa
yang baru saja sampai di tempat yang sama kurang
lebih sepeminum teh
lamanya. Nampak dengan tegang
mengintai jalannya pertarungan dari kerimbunan pohon. Dari percakapan dan
perdebatan yang sempat dia dengar
tadi, tahulah dia kini siapa
sesungguhnya si Tangan Setan yang namanya saja menjadi momok bagi
masyarakat banyak. Sebelumnya sama sekali dia tiada mengira kalau si
Tangan Setan sesungguhnya seorang
gadis yang berparas cantik, hal ini dia ketahui beberapa saat kemudian, setelah
Giris Rawa berhasil
menyetakkan topeng muka yang di
kenakan oleh si gadis. Bukan main
senang nya Adipati Trengganu itu demi melihat sosok wajah di balik topeng itu.
Sambil tertawa-tawa, Giris Rawa segera melancarkan totokan-totokan mautnya. Dia
berharap andai si Tangan Setan dapat diringkusnya hidup-hidup
sudah barang tentu dia bisa dengan sangat leluasa mempermainkan si Tangan Setan
dengan sekehendak hatinya.
Lain halnya dengan pendekar kita
ini. Sejak dia tadi mendengar
perdebatan antara Giris Rawa dan si Tangan Setan. Akhirnya dia yang semula
bermaksud menghukum si Tangan Setan karena sepak terjangnya yang begitu kejam.
Kini nampaknya si pemuda agak lunak sedikit dalam menjatuhkan
hukuman. Baginya paling tidak si
Tangan Setan meskipun cantik harus dipotong kedua tangannya, sebagai
hukuman akibat pembunuhan keji yang telah dilakukannya selama ini.
* * * 12 Sementara itu biarlah untuk Giris
Rawa, gadis itu sendiri yang akan menentukan hukumannya. Demikian
pendekar ini menyimpulkan. Dalam pada itu pertarungan antara si Tangan Setan dan
Adipati Trengganu itu sudah
berlangsung puluhan jurus. Meskipun begitu, setelah gebrakan demi gebrakan
berlangsung, akhirnya nyatalah bahwa Giris Rawa dalam pertarungan ini sudah
mulai nampak jatuh di bawah angin.
Kalau tadinya dia mempunyai maksud untuk meringkus si Tangan Setan hidup-hidup
tetapi agaknya kini dia harus merubah keinginannya. Mendahului si Tangan Setan
atau dirinya yang akan didahului. Karena teringat sampai di situlah maka dia
berusaha mencecar lawannya dengan keris bergerigi di tangannya. Tetapi sayang
sekali, segala-galanya telah berubah kini. Sepenuhnya si Tangan Setan alias
Hning Ksaban telah menguasai pertarungan, hingga jurus-jurus silat yang dia
mainkanpun kini sudah teramat sulit untuk
dikembangkan. Jurus demi jurus
terlewati, sementara Giris Rawa nampak jatuh bangun mempertahankan diri. Satu
saat Adipati Trengganu itu menusukkan kerisnya mengarah pada bagian dada Hning
Ksaban, tetapi gadis itu malah lebih nekad lagi memapaki bagian
ujungnya yang runcing.
"Craaak!"
Si Tangan Setan mengekeh begitu
melihat senjata di
tangan lawan menjadi bengkok karena beradu dengan telapak tangannya. Di tempat
persembunyiannya
Buang Sengketa sendiri sempat dibuat terbelalak tak percaya begitu menyaksikan bahwa tubuh si
gadis tak mempan dengan pusaka
Pendekar Hina Kelana 8 Kembalinya Si Tangan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apapun. Dalam keadaan seperti itu
terdengar pula bentakan si gadis.
"Giris Rawa, senjatamu tak ada gunanya! Sekali ini telah tiba
giliranmu untuk terima kematian
dariku. Meskipun dendamku padamu
setinggi gunung dan sedalam lautan.
Tetapi kali ini aku bertindak cukup adil, ingatlah kalau engkau dapat
menahan dua pukulan beracun si Raja Cobra aku akan mengampuni jiwamu,
tetapi kalau tidak. Engkau memang lebih pantas untuk secepatnya sempai ke
neraka!" Kalau Giris Rawa yang agaknya
licik mengerti tentang
hal ihwal pukulan beracun si Raja Cobra, tetapi lain lagi halnya dengan pendekar ini.
Dia nampak sangat terperanjat sekali demi mendengar pukulan beracun si Raja
Cobra ada disebut-sebut oleh si gadis.
Sebab seperti apa yang pernah
dituturkan oleh gurunya sendiri si Bangkotan Koreng Seribu, bahwa pukulan
beracun Raja Cobra sampai sejauh itu hanya dimiliki oleh seorang datuk
sesat tanpa nama yang sampai saat ini tinggal di Pulau Seribu Ular. Dan
patut diakui bawah siapapun yang
terkena pukulan itu sangat sulit dan tak mungkin ada harapan lagi jiwanya dapat
di selamatkan. Sebab hingga saat itu tak seorangpun Tabib di empat
penjuru mata angin yang dapat
menyembuhkannya. Tetapi kini,
bagaimana mungkin gadis yang mengaku dirinya sebagai si Tangan Setan bisa
memiliki pukulan yang sangat langka itu. Kalaupun mungkin, bukankah Pulau Seribu
Ular itu tak seorangpun yang tahu tempatnya. Diam-diam dia jadi ingin tahu
seberapa hebat pukulan
beracun si Raja Cobra yang telah
banyak merenggut nyawa banyak orang itu.
Pada saat itu. Hning Ksaban alias
si Tangan Setan telah bersiap-siap dengan pukulan mautnya. Sementara
Giris Rawa tanpa henti-hentinya terus melakukan serangan-serangan gencar.
Ketika beberapa saat setelahnya,
tangan Hning Ksaban tiba-tiba saja telah berubah menjadi hitam. Lalu
tanpa membuang-buang kesempatan lagi,
gadis keturunan Panji Paksi itupun langsung melakukan pukulan mautnya yang
pertama. "Haeeet!"
Satu gelombang biru pekat,
melesat sedemikian cepatnya pada Giris Rawa yang saat itu sedang
berjumpalitan di udara. Sang Adipati nampak sangat terkejut begitu
merasakan adanya sambaran angin yang begitu dingin dan menyesakkan rongga
dadanya. Secepatnya dengan senjatanya yang sudah tak karuan ujudnya mencoba
memapaki datangnya pukulan beracun itu. Tetapi kiranya pukulan si Raja Coba
memiliki kekuatan tiga kali lipat dari apa yang diperkirakannya.
"Blaaar!"
Akibatnya bukan saja senjatanya
yang sudah sangat rusak itu entah mental ke mana. Tetapi lebih parah lagi
tubuhnya terpelanting tujuh
tombak dalam keadaan hangus menghitam.
Tubuh Giris Rawa membentur tembok
rumahnya sendiri, darah mengalir dari mulut, hidung dan telinganya. Beberapa
saat lamanya Adipati Trengganu itu nampak memandang sayu pada si Tangan Setan,
wajahnya yang semakin menghitam nampak terdiam tiada bergeming.
Akhirnya secara perlahan tubuh itu berkelojotan lemah. Hingga kemudian tubuh
itupun diam untuk selama-lamanya. Tewaslah musuh besar si
Tangan Setan itu secara mengerikan, si Tangan Setan terduduk dengan wajah
tertunduk. Kini setelah segalanya
berakhir dia nampak menitikkan air mata. Tiba-tiba dia berkata lirih namun
mengandung penyesalan yang
teramat dalam. "Ibu... ayah...! Aku telah
kembali untuk membalaskan sakit hati ini. Aku tahu semua itu tak berarti banyak,
bagimu. Tetapi bagi anakmu yang engkau tinggal seorang diri,
kematian mereka adalah karena
kesombongannya sendiri. Maafkan aku ayah karena aku harus kembali pada datuk
tanpa nama yang telah
kutinggalkan di Pulau Seribu Ular
seorang diri. Biarlah dia nanti yang akan menghukumku atas segala
tindakanku yang telah membunuh banyak orang. Aku rela mati di tangan orang yang
telah membesarkan aku selama
ini!" kata si gadis dengan air mata berlinangan. Namun beberapa saat
kemudian tiba-tiba dia hentikan
tangisnya, tiba-tiba dia memandang pa-
da kerimbunan pohon tempat di mana Pendekar Hina Kelana bersembunyi. Lalu
berkata pelan! "Manusia yang memiliki julukan Pendekar Hina Kelana! Turunlah dari tempat per-
sembunyianmu. Sebagai
seorang pendekar, katanya
engkau berniat menghukumku dengan membuntungi tanganku. Mengapa ragu,
lakukanlah....!" perintah si gadis.
Buang Sengketa menjadi terkejut juga, bagaimana mungkin si Tangan Setan bisa
mengenali namanya, dan lebih dari itu dari mana dia tahu kalau dia bermaksud
menghukum si gadis
dengan cara membuntungi tangannya..."
"Anak raja Ular Piton Utara.
Ketahuilah membunuh dan menghukum itu bukanlah wewenangmu! Nyawaku menjadi milik
guruku. Lebih dari itu pusaka Golok Buntungmu tak kan pernah mau mengotori
dirinya dengan darahku.
Karena sesungguhnya aku dan gurukulah yang telah menjaga sebagian badan golokmu
itu di lautan sekitar tempat tinggal kami...!" jelas si Tangan Setan panjang
lebar. Dan tentu saja penjelasan si gadis membuat Pendekar Hina Kelana terheran-
heran. Bagaimana mungkin gadis yang berjuluk si Tangan
Setan itu bisa me-ngenalinya
sedemikian rupa" Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba si gadis kembali
menyela." "Pemuda tampan berperiuk. Mengapa harus bingung, bukankah engkau ini muridnya si
Bangkotan Koreng Seribu, apakah gurumu mengatakan bermusuhan dengan guruku?"
tanya si Tangan Setan berpura-pura tak sabar lagi, pemuda itu segera melesat
turun dari tempat persembunyiannya.
Kemudian dengan
sangat penasaran sekali dia bertanya.
"Engkau inikah orangnya yang
berjuluk si Tangan Setan yang telah bikin onar dimana-mana...?"
"Tak salah! Tetapi salah besar kalau engkau menilaiku sebagai tukang buat onar!"
kata si Tangan Setan membantah.
"Engkau telah membunuh orang di mana-mana, masihkah engkau mungkir?"
"Buang Sengketa...!" Lagi-lagi si Tangan Setan membuat kejutan dengan menyebut
nama si pemuda.
"Engkau tahu namaku... siapakah engkau...?" tanya si pemuda semakin bloon.
"Ya... karena guruku pernah
bercerita tentangmu padaku...!"
"Maksudmu datuk tanpa nama itu, atau yang berjuluk si Tangan Seribu?"
Tanya Buang Sengketa, begitu teringat cerita gurunya.
"Ya...!'' "Tetapi mengapa engkau membunuhi begitu banyak orang-orang yang tiada
berdosa...?"
"Engkau tak pernah tahu Kelana...
bahwa sebelum aku dirawat oleh guruku, yaitu kakek buyutmu sendiri.
Sesungguhnya aku adalah anak seorang Adipati di Trengganu ini. Tetapi
mereka malah memberontak dan
membunuhnya. Sedangkan orang-orang yang engkau lihat bergelimpangan di tanganku,
itu sesuai dengan daftar nama yang diberikan oleh sang guru.
Sebegitulah orang-orang yang telah membantai orang tuaku dan sangat wajar kalau
mereka mendapat ganjaran yang setimpal...!"
Buang Sengketa angguk-anggukkan
kepala, kini dia mulai mengerti bahwa sesungguhnya si Tangan Setan adalah
seorang murid sahabat gurunya, untuk itu dia tak perlu turun tangan sebab dia
tahu, seperti apa yang dikatakan si Bangkotan Koreng Seribu, bahwa
Datuk Tanpa Nama sudah barang tentu
sangat konsekwen
dalam menghukum
muridnya. Tetapi satu yang tiada dia sangka sama sekali. Bahwa Datuk Tanpa nama
itu masih merupakan kakek
buyutnya sendiri, pula merupakan
penjaga setengah bagian yang lainnya dari pusaka yang dimilikinya. Lalu timbul
pula dalam fikirannya. Andai dia dapat mengikuti si Tangan Setan, sudah barang
tentu dia dapat
mengetahui lebih cepat di manakah
sesungguhnya tempat pertapaan Raja Piton Utara, yang merupakan ayah
kandungnya. Ketika pemuda ini menoleh dan menarik nafas pendek-pendek,
agaknya si Tangan Sentan mengetahui apa yang ada di dalam fikiran si
pemuda. Maka tak lama
kemudian, sebelum si pemuda mengemukakan uneg-unegnya, dia sudah menyela terlebih dulu.
"Aku tahu engkau sudah tak sabar untuk mempersatukan Golok Buntungmu, dan
mungkin juga engkau sudah sangat ingin bertemu dengan ayahmu si Raja Ular Piton
Utara. Tetapi ketahuilah, bahwa kebajikan yang engkau perbuat masih belum cukup
bagimu untuk di
nyatakan layak atau tidak bertemu
dengan Yang Mulia Raja. Pesan sang
guru, supaya engkau banyak-banyak
menolong sesama terlebih dahulu.
Setelah itu jumpailah orang tua yang bernama Tabib Setan Gila sewindu
kemudian, Orang itu tinggal di Lembah Tapis Angin untuk masa yang akan
datang...!" jelas si Tangan Setan penuh wibawa.
"Apa hakmu melarangku untuk dapat bertemu dengan ayahku...!" Kata Buang Sengketa
tersinggung. "Aku tak punya hak untuk
melarangmu. Aku hanya menyampaikan pesan buyutmu. Lebih dari itu semua ini
merupakan perintah ayahmu. Sang Maharaja Negeri Bunian!" kata si gadis dari
Pulau Seribu Ular itu.
"Mengapa harus begitu, satu windu bukanlah sebuah waktu yang singkat "
protes Pendekar Hina Kelana.
"Semua itu adalah untuk menguji kesabaranmu, Baiklah, aku tak punya banyak waktu
Kelaha... jangan coba-coba menguntitku. Sebab ilmu cepatmu Ajian Sapu Angin tak
akan berarti banyak untuk mengejarku...!" Seusai dengan ucapannya, tanpa kata
lagi tubuh Hning Ksaban nampak berputarputar laksana sebuah gasing. Semakin lama
semakin cepat. Kemudian sekali
saja angin kencang bertiup, maka tubuh si Tangan Setan bagai sebuah kapas nampak
melayang lenyap tiada berbekas.
Buang Sengketa menggerutu. Sialan dia selalu tahu saja setiap apa yang aku
rencanakan! Kemudian tak lama setelah itu, tanpa memperdulikan mayat-mayat yang
berserakan pendekar ini setapak demi setapak mulai melangkah ke arah Timur. Alam
terasa semakin dingin
menggigit. Tetapi pemuda ini sudah tiada perduli lagi.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel Tukang Edit : beno
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Bara Diatas Singgasana 20 Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Raja Silat 24