Pencarian

Satria Terkutuk Kaki Tunggal 1

Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Bagian 1


SATRIA TERKUTUK
BERKAKI TUNGGAL
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 009 :
Satria Terkutuk Berkaki Tunggal
ABU KEISEL http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Sesungguh pun air di dalam telaga
itu hanya tinggal satu jengkal saja
jaraknya di atas permukaan lumpur. Namun laki-laki kurus berkepala botak itu
tetap saja melemparkan kailnya di dalam telaga yang tidak seberapa airnya itu.
Begitu pun tetap seperti waktu-waktu
sebelum-nya. Manakala kail yang tidak
berumpan itu menyentuh air, begitu cepat benang yang menjadi pengikatnya nampak
bergerak-gerak. Secepat itu, laki-laki
tua berkepala botak itu pun langsung
menyentakkan gagang kail yang berada
dalam genggamannya. Anehnya meskipun
kail itu tak pernah diberi umpan apapun, akan tetapi tetap dia mendapatkan ikan
seperti yang diharapkannya. Siapapun
adanya orang ini, kalangan persilatan
selaiu memanggilnya dengan julukan si
Pengail Aneh. Tak ada yang tahu secara
persis, apakah nama itu ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai pemancing
atau karena pula kebiasaan hidupnya yang suka bertingkah yang macam-macam.
Pada saat itu si Pengail Aneh tampak
tersenyum-senyum begitu mendapatkan
seekor ikan besar yang panjang dan gemuk.
Cepat-cepat dia memasukkan ikan yang
baru saja didapatkannya ke dalam kepis.
"Hem! Lima sepuluh ekor lagi sudah lumayanlah." gumamnya sambil
menepuk-nepuk kepis yang melekat di
pinggangnya. "Put! Put!"
Dua ekor ikan jurung besar kembali
melayang di udara. Ikan itu
menggelepar-gelepar. si Pengail Aneh
kembali mengekeh. Tak lama kemudian dia pun berkata pada dirinya sendiri.
"Sepuluh dua puluh ekor lagi sudah lumayan untuk bekal satu minggu...!"
kata si Pengail Aneh sambil memasukkan
dua ekor ikan itu ke dalam kepisnya.
Setelah itu, dia kembali melemparkan
mata kailnya. Sama seperti keadaan
semula. Begitu kailnya menyentuh
kedalaman air telaga, kail itu kembali
bergerak-gerak kembali.
"Wuut! Wuut!"
si Pengail Aneh cepat-cepat
menyentakkan kailnya, kali ini seekor
ikan jurung berukuran sangat besar
sekali, nampak mencelat dari dalam
telaga. si Pengail Aneh lagi-lagi
berucap sembari memasukkan ikan tersebut ke dalam kepis.
"Kalau ada dua puluh sampai tiga
puluh ekor lagi sudah sangat lumayan
sekali untuk persediaan satu
purnama...." Berkata begitu, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Kemudian tanpa
menoleh, tangannya nampak meraba-raba
pada kepis yang melekat di pinggangnya.
Seingat laki-laki tua berkepala botak
itu, kepis yang dibawanya sesungguhnya
berukuran kecil. Akan tetapi kalau tak
salah hitung, dia sudah memasukkan ikan ke dalamnya kurang lebih lima belas
ekor. Padahal rata-rata ikan-ikan itu
berukuran lumayan besarnya. Tetapi
mengapa masih belum penuh juga kepis itu.
Manakala si Pengail Aneh beranjak
berdiri dari tempatnya dengan hati
penasaran. Maka semakin bertambah
heranlah dia. Karena begitu dia
memeriksa pada kepis yang terikat di
pinggangnya, kepis tersebut ternyata
bolong di bagian pantatnya. Hanya
tinggal seekor saja ikan jurung di
dalamnya. Sedangkan empat belas lainnya telah raib entah ke mana.
Heran bercampur penasaran, Pengail
Aneh ini meneliti rerumputan yang tumbuh di sekitar tempat itu, tetapi tak
seekor pun ikan tercecer di sekitar
rumput-rumput itu. .
"Ikan-ikan pada tolol semua, sudah dibuatkan sarang yang bagus masih juga
kabur, sia-sia saja pekerjaanku hari
ini!" si Pengail Aneh nyeletuk panjang pendek. Dalam keadaan kebingungan
seperti itu mendadak terdengar pula nada ucapan mencemooh.
"Hek.... hek.... hek....! Pengail
Aneh Setan Gempor! Senang sekali hari ini aku bisa ikut menikmati hasil jerih
payahmu...!"
Mendengar teguran itu, cepat-cepat
Pengail Aneh putar badannya. Dari nada
ucapan tadi, agaknya dia sudah
mengetahui siapa adanya orang yang
bersembunyi di balik sebatang pohon
besar tersebut. Bukan main geramnya si
Pengail Aneh melihat semua hasil jerih
payahnya dihabiskan oleh orang itu. Lalu dengan sekali lompat tubuhnya sudah
melayang begitu ringannya. Dan tahu-tahu dia sudah berada di depan orang yang
berada di balik pohon besar tersebut.
Dalam keadaan kesal bercampur marah si
Pengail Aneh berseru.
"Setan Alas. Tak dinyana kiranya
engkaulah yang mencuri ikan-ikan
tangkapanku di dalam kepis ini. Enak
betul...!" bentaknya marah.
"Tinggal makan saja apa susahnya,
toh ikan-ikan itu tidak bertuan...!"
menyela si laki-laki yang bersembunyi di balik pohon, dan tanpa memperdulikan
kehadiran si Pengail Aneh, dia terus saja enak-enakkan menggerogoti ikan
jurung yang masih mentah dan berbau amis tak karuan itu dengan lahapnya.
Mual rasanya perut si Pengail Aneh
demi melihat cara si laki-laki tua
berbadan gemuk itu demi menyaksikan
caranya mengunyah ikan yang tak pernah di matangkan sebelumnya itu. Dalam
kejengkelannya itu, tiba tiba dia
membentak. "Setan Kroya... sebetulnya kalau
engkau yang menjadi maling dari
ikan-ikan milikku aku tak pernah
keberatan, tetapi caramu memakan ikan
itu, yang tak jauh bedanya dengan
binatang buas membuat aku muak! Rasanya ingin kugebuk mulutmu yang rakus
itu...!" Mendengar celoteh si Pengail Aneh si
tua gemuk yang berjuluk Setan Kroya itu pun tertawa mengekeh. Kemudian sambil
mengkremus kepala seekor ikan jurung
yang lebih besar lagi, maka dia pun
berkata; "Tolol betul engkau ini, masa engkau sampai hati menggebuk mulut sahabat
sendiri. Pula sejak dulu engkau mana
mampu melakukan itu...!" ucap Setan Kroya mencemooh. Dihina sedemikian rupa, si
Pengail Aneh bukannya menjadi marah, sebaliknya dia balik mengejek.
"Heh, andai bapak moyangmu masih
hidup, belum tentu dia mampu menghadapi aku dalam sepuluh jurus saja, apalagi
cuma engkau, budak kemarin yang hanya
memiliki kepandaian silat picisan...!"
tukas si Pengail Aneh.
"Frussh!" si Setan Kroya
menyemburkan daging ikan mentah yang
masih bersisa di mulutnya. Dipandanginya si Pengail Aneh sampai-sampai kedua
bola matanya yang lebar itu pun tiada
berkedip. "Berani betul engkau menyebut-nyebut bapak moyangku! Apakah
engkau sudah tahu betapa hebatnya bapak moyangku itu...?" bentak Setan Kroya
serius sekali. "Belum...!"
Mendapat jawaban seperti itu, Setan
Kroya nampak angguk-anggukkan
kepalanya. Dan tiba-tiba pula dia
menambahi. "Kalau begitu sama. Aku pun tak tahu bapak moyangku memiliki kepandaian yang
hebat atau tidak, atau bahkan tak
memiliki kepandaian sama sekali pun aku tak tahu. Sebab, kalau bapak moyangku
orang yang hebat, sudah barang tentu aku tak memiliki gelar yang paling jelek di
kolong langit ini! Setan Kroya si Gembel Pengemis. Coba bayangkan betapa malunya
aku...!" ucap si Gembel Kroya seolah pada dirinya sendiri. Sementara itu demi
mendengar pengakuan sahabatnya yang
terasa polos dan lucu, tiba-tiba si
Pengail Aneh sudah tidak dapat menahan
tawanya lagi. "Hek... hek.. hek! Dulu pernah ada seseorang bercerita, Setan Kroya. Dia
bilang begini, kawannya yang bernama
Setan Kroya itu, sesungguhnya anak
seorang pengemis, sedangkan nenek
moyangnya merupakan raja dari seluruh
golongan gembel...." si Pengail Aneh tersenyum mahfum, kemudian lanjutnya.
"Jadi sesungguhnya engkau ini masih keturunannya bangsawan, Setan
Kroya...!"
"Apa maksudmu...?" tanya laki-laki tua berbadan gemuk itu tak mengerti.
"Ah, masa engkau sudah tua bangka seperti itu tidak bisa mengerti apa yang aku
maksudkan...?"
"Bicara muter-muter. Ngomong terus terang saja mengapa...?" bentak Setan Kroya
plototkan matanya yang bulat dan
besar. "Maksudku.... engkau ini termasuk
ahli waris Pangeran gembel.... he....
he... he....!" si Pengail Aneh kali ini ganti mengekeh.
"Kuya...! Pengail Aneh Manusia
sinting, berani sekali engkau
menghinaku. Kiranya kau benar-benar
ingin kugebuk...!"
"Jangan main gebuk seenak perutmu.
Dosamu karena mencuri ikan milikku saja sudah sulit untuk engkau bayar. Tetapi
sebagai kawan baik, aku mengampunimu,
satu lagi yang perlu kutanyakan padamu
Gembel Bangsawan...!" Si Pengail Aneh urungkan ucapannya, hal ini membuat
Setan Kroya semakin penasaran.
"Cacing botak, cepat katakan apa
yang ingin engkau katakan. Aku muak
melihat tampangmu yang menjijikkan itu..
!" Si Pengail Aneh tertawa ganda.
"Sabar dulu, aku heran. Lima tahun kita tak bertemu. aku fikir engkau sudah
menjadi manusia yang betul, tak kusangka engkau malah menjadi nggak benar!" si
Pengail Aneh masih tetap pada sikapnya.
Setan Kroya kertakkan rahang, dia sangat kesal sekali melihat si Pengail Aneh
dengan sengaja mempermainkannya.
"Pengail sinting, selain mencaci
maki, apakah tak ada lagi yang lainnya
yang hendak kau tanyakan padaku...?"
"Hmm. Sudah kuduga, pasti hal itu
yang akan kau tanyakan padaku, Setan
Kroya! Tetapi ada baiknya kalau aku ingin mengetahui apa saja yang engkau bawa
dari dunia ramai itu, bagus atau malah semakin memuakkan?"
"Pengail sinting, keadaan di rimba persilatan bukan seperti yang kau
tanyakan itu, Sebaliknya sangat
menegangkan dan penuh harap-harap
cemas...!. Mendapat jawaban seperti itu, si Pengail Aneh Kerutkan alisnya.
Gurat-gurat ketuaan semakin membekas di keningnya.
Beberapa saat lamanya dia terdiam
untuk mencoba menebak apa yang
dimaksudkan oleh kawannya yang satu ini.
Tetapi karena dia belum juga menemukan
jawabannya, maka akhirnya dia pun
menyela. "Nampaknya begitu serius sekali
berita yang engkau bawa itu, Setan Kroya!
Sampai-sampai orang Ngadiluwih yang
sudah lima tahun tak pernah menjambangi Susukan ini, kini muncul didepan
hidungku....!"
"Engkau tak perlu
menyindir-nyindirku, manusia kropok....
masakan berita persilatan yang begitu
santer dan menghebohkan itu tak pernah
engkau dengar...?" tukas Setan Kroya dengan mata sebelah terpicing.
si Pengail Aneh tersenyum tawar, dia
cukup menyadari. Walaupun dia dan
sahabatnya, si Setan Kroya sama-sama
edannya. Akan tetapi dalam hal-hal
tertentu laki-laki tua berbadan gembrot itu tidak bisa dibuat main-main. Begitu
mengetahui, roman muka si Setan Kroya
nampak serius sekali, maka tanpa
basa-basi lagi diapun langsung duduk
ngejeblok di sisi sahabat karibnya itu.
"Terus.... ceritalah padaku,
mengenai segala kemelut rimba
persilatan, sesungguhnya aku yang sudah tua bangka ini tak ingin mau perduli.
Tapi kalau berita itu, memang ternyata
cukup serius, maka kupikir-pikir tak ada salahnya kalau sekali-sekali aku yang
sudah hampir masuk liang kubur ini


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarnya".
Si Pengail Aneh
menimpali. Mendengar ucapan si Pengail Aneh,
Setan Kroya nampak terdiam untuk
beberapa saat lamanya. Lalu dia teringat pada dirinya sendiri. Selama ini sama
seperti yang dilakukan oleh si Pengail
Aneh, dia sendiri pun sudah tak ingin
lagi muncul di rimba persilatan, dia
ingin menjauhi segala urusan dunia
ramai, semua itu semata-mata karena dia juga ingin memanfaatkan sisa-sisa
usianya untuk melebur dosa-dosa masa
lalu yang tak bisa terhitung dengan jari.
Baik Setan Kroya maupun si Pengail Aneh, dulunya adalah sama-sama merupakan dua
orang tokoh golongan lurus di bagian
Barat Daya. Dalam menumpas kejahatan
mereka sama-sama bertindak tak pandang
bulu. Membunuh dengan kesadisan yang
luar biasa adalah merupakan pekerjaan
rutin mereka. Hal ini sudah barang tentu banyak pihak yang tak senang dengan
segala bentuk sepak terjangnya. Meskipun begitu tak seorang pun dari bekas
musuh-musuhnya yang berani bertindak
maupun mengambil tindakan gegabah
terhadap orang-orang ini. Sebab selain
kedua tokoh ini memiliki ilmu silat yang
tinggi juga selama ini tak seorang pun
yang mampu mengalahkan mereka berdua.
"Hehe... he... he...! Orang
Bludrek..... Kau pikir cuma engkau saja yang sudah muak dengan segala bentuk
sepak terjang dunia persilatan yang
penuh dengan angkara murka itu" Huh, aku sendiri sudah sangat bosan sekali untuk
mengingat-ingatnya. Pula sampai saat ini semua dosa-dosaku belum semuanya
diampuni oleh Sang Hyang Widi...!"
"Kalau sudah merasa bertaubat,
mengapa engkau hari ini nongol di depan hidungku?"
Ditanya seperti itu, Setan Kroya
tundukkan kepalanya. Dalam hati dia pun sesungguhnya sudah tak ingin keluyuran
di dunia ramai, akan tetapi haruskah dia berdiam diri, kalau ada orang lain yang
coba-coba mencemarkan nama baiknya di
dunia ramai, padahal sudah hampir lima
tahun dia menyepi diri di Ngadiluwih.
Lalu kini, secara tiba-tiba rimba
persilatan menjadi gempar dengan sosok
iblis yang mengaku sebagai dirinya.
* * * 2 Dia tak mau menerima begitu saja,
apalagi orang yang mencatut namanya
tersebut berasal dari golongan hitam.
Baginya lebih baik mati dalam
mempertahankan nama baik, ketimbang
harus mati menunggu waktu dalam
penyepian. "Pangeran Gembel.... Mengapa engkau diam sedemikian rupa" Ataukah engkau ini
sedang berkhayal tentang istrimu yang
mampus dalam kesesatan itu...?" Bentakan si Pengail Aneh yang begitu tiba-tiba
membuat Setan Kroya alias si Gembel Kroya nampak tersadar dari lamunannya.
"Ah. pertanyaan tadi membuatku
teringat pada keadaan sadar atau tidak, Pengail Sinting...!"
"Apa maksudmu...?" tanya si Pengail Aneh tak mengerti.
"Semestinya orang yang sudah setua aku ini, tak usah pergi ke mana-mana,
seperti engkau. Sampai saat ini tetap
ngejeplok di Susukan ini, tetapi siapa
sudi aku terus tetap melakukan nyepi,
sementara namaku di luaran sana dicatut
orang demi maksud-maksud yang kukira
memang tak baik...!"
"Hek.... Hek.... Hek...! siapa sih yang mencatut nama jelekmu itu, hingga
membuat panas kupingmu...?" sergah si Pengail Aneh dengan diiringi sesungging
tawa mengekeh. Agaknya Setan Kroya
merasa kurang senang dengan sikap
sahabatnya yang masih saja tetap tak mau serius.
"Pengail goblok, terus saja engkau bercanda, sebentar lagi kail mu itu
kupatah-patahkan...!" bentaknya marah.
"Hus. Jangan! Tanpa kail di tanganku ini, mana mungkin engkau bisa makan ikan
itu andai tanpa kail itu, pula aku bisa mampus tanpa senjata itu, engkau pikir
mana lebih baik antara kailku dengan toya butut pemukul anjing milikmu?" menyela
si Pengail Aneh masih tetap saja
bercanda. "Manusia Kropok sialan...!"
Hampir saja Setan Kroj?a
mengayunkan toyanya ke arah kepala si
Pengail Aneh jika laki-laki tua itu tidak cepat-cepat menyergah
"Gembel Kroya... Baiklah,
baiklah.... Aku serius. Sekarang
ceritakan apa sesungguhnya yang telah
terjadi dengan namamu itu...?"
Legalah hati Setan Kroya begitu
mendengar ucapan si Pengail Aneh dari
Susukan itu. Setan Kroya kemudian nampak menarik nafas pendek pendek, sepasang
matanya yang bulat besar itu pun nampak memandang lurus ke depan. Lalu tak
berapa lama kemudian dia pun sudah mulai buka
bicara. "Sekarang ini, rimba persilatan
sedang dilanda situasi yang serba tak
menentu!" desahnya seolah-olah
menyesalkan. Kemudian lanjutnya.
"Orang-orang pada mampus tanpa diketahui sebab musababnya. Menurut kabar yang ku
dengar, sudah dua bulan purnama ini, di kaki Gunung Gili Manuk telah terjadi
pertarungan tokoh-tokoh kelas satu, yang berakhir dengan banyak kematian...!"
"Ee.... tunggu dulu, apa
sesungguhnya yang menjadi persoalan
sehingga pertarungan itu sampai
terjadi...?" potong si Pengail Aneh dengan sangat penasaran sekali. Yang
ditanya terdiam sesaat lamanya.
"Menurut kabar yang kudengar pula, sekarang ini kaum rimba persilatan
sedang memperebutkan siapa
sesungguhnya yang pantas menjadi
tokoh kelas satu di kolong langit
ini...?" "Tokoh kelas satu" Untuk apa hal itu diributkan?" tanya si Pengail Aneh merasa
sangat heran sekali.
"Ada yang bilang, bahwa siapa pun yang berhasil keluar dalam adu kesaktian itu,
maka dialah yang berhak menguasai
seluruh kaum persilatan!"
"Puh! Undang-undang orang edan dari mana itu Setan Kroya.. Kau jangan
mengada-ada...!" cibir si Pengail Aneh.
"Jangan protes dulu. Itu makanya
kalau ada orang sedang bicara engkau
jangan seenak perutmu saja main
protes...!"
"Baiklah.. baiklah, coba engkau
teruskan..." perintah si Pengail Aneh.
"Aku merasa sangat yakin ada
pihak-pihak lenentu yang dengan sengaja memanfaatkan ini untuk kepentingan
tertentu pula. Hal itu aku tak peduli,
tetapi karena ada yang coba-coba memakai namaku untuk suatu tujuan yang tak
jelas. Maka hal itu tidak bisa kubiarkan
berlarut-larut !" Ketus Setan Kroya
menggeram. "Hek. hek.. hek... Agaknya
ketenaran namamu membuat orang lain iri hati, Setan Gembel. Sampai-sampai nama
bututmu mereka bawa-bawa untuk
kepentingan yang tak jelas ..!" tukas Hi
Pengail Aneh dengan tawa mengejek. Tanpa merasa tersinggung sedikit pun Setan
Kroya menyambung.
"Kurasa bukan itu yang menjadi
tujuan mereka. Cara mereka dalam
bertindak atau apa pun yang akan mereka kerjakan, aku malah khawatir kalau pada
akhirnya bukan nama kita saja yang
terlibat dalam sesuatu yang tak baik.
Tetapi akhirnya malah menyeret kita pada sesuatu yang tidak pernah kita
ingini...!" ujar Setan Kroya merasa was-was.
"Heh... kiranya, tempat
pangasinganmu selama ini malah membuatmu jadi seorang pengecut, Setan
Gembel...!"
Merah panas Si Setan Kroya begitu
mendengar ucapan si Pengai! Aneh dengan nada mencemooh itu. Kemudian tanpa
disangka-sangka dia pun cepat-cepat
menyela. "Pengail sinting.... mati bagiku
sekarang dan nanti bukanlah apa-apa
Tetapi aku sangat tidak rela kalau sampai ada orang yang tak kukenal coba-coba
mempergunakan namaku!"
si Pengail Aneh nampak
angguk-anggukkan kepalanya. dalam hati
dia juga membenarkan kata-kata Setan
Kroya. Dalam pada itu mendadak dia
teringat sesuatu"
"Lalu apa yang akan engkau
lakukan...?" Tanyanya kemudian
Si Setan Kroya terdiam untuk sesaat
lamanya! "Kalau menurutmu apa yang paling
pantas untuk kulakukan...?" Laki-laki tua berbadan gemuk itu balik bertanya.
Yang ditanya garuk-garuk kupingnya yang tak gatal, lalu dia pun memandang pada
si Setan Kroya.
"Kalau menurutku, ada baiknya
engkau selidiki siapa sesungguhnya orang yang telah mempergunakan namamu itu,
kemudian cari tahu apa tujuan dari semua itu!" ujar si Pengail Aneh.
"Tetapi di mana harus kumulai, semua orang-orang di jalanan sana pada bungkam
semuanya, manakala aku baru saja mencoba tanyakan pada mereka!"
"Hemmm.... repot juga." gumam si Pengail Aneh sambil menarik nafas
dalam-dalam. Tak lama sesudahnya dia pun menyambung kembali.
"Menurutmu apakah pertarungan
pemilihan tokoh nomor satu seperti yang didesas desuskan masih mungkin akan
berlangsung kembali...?"
"Agaknya sih begitu, sebab sampai
saat ini kudengar masih belum ditentukan secara pasti siapa adanya yang menjadi
pemenang dalam adu kesaktian tersebut!"
"Huh, tolol sekali engkau ini!
Dengan belum ditentukannya siapa yang
keluar sebagai pemenang
dalam pertandingan maut itu, ini sudah dapat
dipastikan bahwa pertarungan gila itu
masih akan berlanjut lagi...!" ujar si Pengail Aneh mcmberikan pendapat.
Lagi-lagi si Setan Kroya
menganguk-anggukkan kepalanya.
"Oh ya, benar juga pendapatmu itu!
Kalau menurut apa yang kudengar tak
sampai dua purnama yang akan datang di
Gunung Gili Manuk pula pertarungan
gila-gilaan itu berlanjut kembali!"
"Aku sangat berkeyakinan dalang
dari semua apa yang terjadi itu, pasti
juga hadir dalam pertarungan itu.. "
ucapnya berpendapat.
"Mungkin juga Pengail Botak. Tetapi yang tak habis kumengerti, mengapa
orang-orang itu begitu tololnva mau
diadu domba dengan hal-hal yang
sesungguhnya kurang patut untuk
dilakukan oleh seorang
pendekar-pendekar persilatan..." gumam
Setan Kroya merasa sangat penasaran
sekali. "Aku merasa yakin semua itu ada yang melatar belakanginya...!"
Lagi-lagi laki-laki berbadan gemuk
itu pun mengagguk -angguk kan kepalanya.
"Cukup beralasan juga pendapatmu
itu Pengail Sinting, agaknya otakmu
semakin tua semakin sehat saja. Apakah
itu ada hubungannya dengan rambutmu yang berguguran itu?"
Wei... sial sekali engkau ini, kau
pikir aku senang dengan segala pujianmu itu Setan Gembel!" sentak si Pengail
Aneh nampak konyol kembali.
"Siapa yang memuji" Masa engkau
tidak tau kalau aku malah menghinamu?"
kata laki-laki itu sambil tertawa-tawa
lucu. "Kutu kuprat! sial betul engkau ini, cepat-cepat menggelindinglah dari
hadapanku...!" perintahnya marah.
"Eiiittt.... Tunggu dulu Aku masih ada satu pertanyaan yang harus engkau
jawab hari ini juga...!"
"Cepat cepatlah katakan sebelum aku benar-benar menendangmu ke tengah telaga
itu!" Setan Kroya nampak cengar cengir
melihat ulah kawannya sendiri.
"Begini! Apakah engkau juga ingin
sama-sama pergi denganku...?" tanya si Gembel Kroya penuh harap. Tetapi yang
ditanya malah tersenyum mengejek.
"Sudah kukatakan padamu sejak lima tahun ketika kita bertemu di Bukit
Linglung bahwa aku tak mungkin pergi
meninggalkan pengasinganku di Susukan
ini. Walau seribu orang sekalipun
mempergunakan namaku untuk jalan
sesat...!" sela si Pengail Aneh mendadak berubah seperti orang pikun. Sebaliknya
kini Setan Kroyalah yang meledak
tawanya. Dalam keadaan seperti itu,
Setan Kroya cukup menyadari bahwa
penyakit sinting sahabatnya itu sedang
kambuh kembali.
"Pengail geblek! Engkau ini
sesungguhnya cerdas namun tolol, pinter namun bodoh. Masakan engkau yang begitu
disegani di rimba persilatan, akan
membiarkan begitu saja andai namamu
dicatut orang untuk tujuan-tujuan tak


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik...?" menyela si Setan Kroya.
Tiba-tiba seperti orang yang sedang
kebingungan si Pengail Aneh, tengok
kanan tengok kiri. Bagai orang yang baru terjaga dari tidurnya matanya
berkeriapan pula.
"Apa katamu, aku tolol tapi pinter, rupanya aku baru saja bilang apa padamu?"
tanyanya seperti tak mengerti apa yang
baru saja diucapkannya.
"Dasar pikun! Masakan sebagai orang yang disegani di kalangan rimba
persilatan engkau akan membiarkan saja
namamu dipakai oleh orang lain.
Bagaimana pula andai orang itu mengaku
sebagai dirimu setelah memperkosa bini
orang...?" tanya si Setan Kroya sembari tersenyum -senyum.
"Waa.... kurang asem. Tidak bisa,
orang itu pasti akan kuseret dan kugebuk atau bahkan kupelintir lehernya sampai
putus...!" tukasnya terburu-buru.
"Lalu seandainya suatu saat ada
seseorang yang mempergunakan namamu
untuk tujuan-tujuan yang sesungguhnya
sangat bertentangan dengan hati kecilmu.
Apakah engkau sampai mampu
akan ngejoprak di Susukan ini...?" tanya Setan Kroya penuh kemenangan.
si Pengail Aneh kernyitkan alisnya
yang putih namun hanya tinggal beberapa helai saja.
"Engkau pikir apakah aku tolol,
meskipun aku sudah hampir tersungkur ke dalam kubur, tidak nantinya kubiarkan
siapa pun memakai namaku secara
sembarangan. Engkau tahu bahwa dulu
maupun nanti kail mautku ini masih mampu untuk menggantung siapa pun yang punya
maksud-maksud tak baik...!"
"Hemmmm! Bagus, jadi engkau pun akan berbuat yang sama. Andai nama besarmu
dipergunakaan secara serampangan oleh
orang lain...!"
"Tentu saja...!" sahut si Pengail Aneh.
"Bagus.... Karena saat ini
namakulah yang paling pertama dicatut
oleh orang lain, agaknya aku harus
kelayapan terlebih dahulu." kata Setan Kroya, kemudian untuk sesaat lamanya dia
menoleh dan memandang pada si Pengail
Aneh. Setelah itu dia pun menyambung
kembali. "Pengail sinting! Aku berharap
suatu saat namamu menjadi diminati oleh orang lain, sehingga menyebabkanmu harus
merangkak dari sarangmu...!" ejek Setan Kroya.
"Mudah-mudahan tidak begitu...!"
gumam si Pengail Aneh tersenyum-senyum.
"Harus begitu...!" bantah Setan Kroya.
"Tidak mungkin, Pangeran Gembel"
"Mungkin saja...!" sergah Setan Kroya.
"Mana bisa...!" si Pengail Aneh nampak ngotot.
Dalam pada itu tiba-tiba Setan Kroya
menunjuk ke suatu tempat.
"Eh.....Apa itu...?" kata si Setan Kroya pada si Pengail Aneh, serentak
pengail ini pun menoleh.
"Mana...?" tanya si Pengail Aneh.
Tiada sahutan, akhirnya dengan rasa
penasaran dia pun berpaling kembali pada Setan Kroya. Namun dia tidak melihat
sahabatnya itu ada di tempat. Maka
tahulah dia bahwa Setan Kroya sengaja
mengerjainya. Akhirnya tanpa membuang
waktu lagi, dia pun berkelebat pergi
meninggalkan telaga itu.
* * * 3 Panas terasa terik membakar.
Sejauh-jauh mata memandang hanya kepulan debu-debu jalanan yang diterbangkan
oleh hembusan angin kering.
Nun di kejauhan sana, nampak sebuah
titik hitam berjalan terseok-seok
melintasi padang kerontang yang
membentang begitu luas. Semakin lama
titik hitam tersebut semakin bertambah
jelas, hingga pada akhirnya semakin
bertambah nyata. Maka terlihatlah sosok bayangan seorang pemuda berusia
kira-kira dua puluh lima tahun. Pemuda
berkulit hitam legam itu berperawakan,
tinggi semampai dengan bentuk badan
kekar berotot menonjol. Sementara.
Pakaian yang dikenakannya tak jauh beda dengan warna kulitnya. Sepintas lalu
pemuda itu mengesankan sebagai seorang
laki-laki yang sangat perkasa. Apalagi
dengan sebilah pedang panjang tergantung di punggungnya. Tak pelak lagi siapa
pun orangnya sudah pasti dapat menduga bahwa pemuda bertampang dingin itu tentu
merupakan seorang pengelana yang
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Sayangnya ada satu sisi terburuk
pada penampilan pemuda itu, kakinya yang terkutung sebatas paha, telah
membuatnya harus berteman dengan sebuah tongkat,
kemana pun dia pergi. Inilah salah satu ciri yang menonjol yang dimiliki oleh
pemuda itu. Tetapi walaupun begitu tak
seorang pun ada yang berani bertindak
sembarangan terhadapnya. Jangankan
orang-orang yang sebaya dengannya.
Sedangkan beberapa tokoh angkatan tua
saja sudah sangat banyak yang telah
menjadi pecundangnya. Bahkan puluhan di antaranya menemui ajal secara
mengerikan. Betapapun pemuda ini
memiliki tubuh yang tidak sempurna,
tetapi siapa sangka dia memiliki
segudang cita-cita untuk dapat merajai
seluruh dunia persilatan. Lebih dari
sekedar itu dia pun secara halus dapat
memperalat orang lain untuk melakukan
tipu muslihat dan adu domba. Salah satu sisi yang benar-benar sangat menyimpang
dari kebiasaan pada umumnya adalah
kebenciannya terhadap seorang wanita.
Dia akan bertindak lebih ganas lagi pada lawan yang berlainan jenis dengannya.
Barangkali semua itu ada hubungannya
dengan latar belakang kehidupannya.
Kini pemuda itu nampak menghentikan
langkahnya di bawah sebatang pohon besar yang terdapat di pinggiran jalan
setapak itu. Tak lama setelah itu maka pemuda ini menyandarkan badannya di bawah
batang pohon tersebut. Setelah itu dia nampak
menarik nafas dalam-dalam. Lalu rasa
kantuk pun terasa menyerangnya begitu
tiba-tiba. Sorot matanya yang dingin itu semakin lama nampak semakin meredup,
hingga pada akhirnya dia pun tertidur
dengan pulasnya. Angin kemarau yang
berhembus begitu kencangnya, membuatnya sekejap saja telah menjadi pulas sekali.
Namun lebih kurang baru setengah jam dia menikmati tidurnya, di luar pengetahuan
si pemuda, nampak berkelebat beberapa
sosok tubuh mendekati si pemuda ini. Tak lama begitu sampai di depan pemuda itu,
maka salah seorang dari ketiga orang itu langsung bertanya pada kawan-kawannya.
"Manusia pincang seperti inikah
yang telah membunuh banyak perempuan dan para pendekar lainnya di kaki Gunung
Gili Manuk, Boim...?" tanya si Kaki Pincang Mata Picak.
"Tak salah, Bang.... Manusia Kaki
Tunggal inilah orangnya...!" jawab yang bernama Boim itu takut-takut.
"Kalau begitu cepat bunuh dia...!"
perintah si Kaki Pincang Mata Picak
memberi perintah.
"Bang, apa tak sebaiknya kita
banguni dulu, baru kemudian kita
bunuh...?" tanya Boim memberi usul.
"Tolol kalian semua. Kalau engkau
membanguni dia, itu sama saja artinya
dengan mencari penyakit...!" bentak si Kaki Pincang Mata Picak marah sekali.
Namun begitu pun masih saja salah seorang di antaranya bertanya lagi.
"Tapi Bang! Membunuh orang yang
sedang tidur dosanya berlipat ganda...!"
menyela kawannya yang lainnya pula.
"sial! Mengapa harus membantah.
Kalian mulai saja atau aku yang akan
memenggal kepala kalian satu... satu di sini..."!" bentak si Kaki Tunggal Mata
Picak berang bukan main gusarnya. Dan
sudah barang tentu suara bentakan yang
begitu keras membuat si Kaki Tunggal
alias Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal
menjadi terjaga dari tidurnya. Walaupun pemuda berkaki tunggal itu tidak membuka
kedua matanya yang terpejam, namun ia
dapat mengetahui dengan baik. Bahwa di
sekelilingnya kini telah, berdiri
beberapa orang laki-laki dengan senjata terhunus. Maka masih dengan sikap
seperti orang yang sedang tertidur, dia pun menggeram:
"Hekh.... Kiranya di sekitar sini
masih saja ada lalat-lalat menjijikkan
yang minta digebuk. Gila betul.... Tak
tahu rupanya kalau majikanmu ini baru
saja melakukan pekerjaan yang sangat
melelahkan. Cepat-cepat menyingkirlah,
atau kepala yang tidak guna itu akan
menggelinding satu demi satu..!"
ancamnya penuh teguran.
"Kuya. Tikus
bangsat berkaki
tunggal, dosamu membunuhi anak bini
orang, dan nyawa orang yang tidak berdosa itu saja, sudah sulit bagiku untuk
mengampunimu. Cepat-cepatlah berdiri
untuk menerima kematian dari kami...!"
maki Mata Picak Kaki Pincang.
"Hek.... Hek.... !" si Kaki Tunggal tertawa dingin menyeramkan. Serta merta dia
pun membuka kedua matanya yang
terpejam. Begitu mengetahui orang-orang yang berdiri tak begitu jauh di
depannya. Maka gelak tawanya pun kembali menggema di siang yang terik itu. Beberapa orang
kawan si Mata Picak Kaki Pincang yang
sebelumnya meradang sudah mengetahui
sepak terjang dan kesadisan si Kaki
Tunggal nampak menggerendek dan ciut
nyalinya. Dalam pada itu, Si Kaki Tunggal tiba-tiba sudah membentak kembali.
"Puih. Kaki Pincang Mata Picak,
agaknya keadaanmu malah tidak lebih baik dari keadaanku. Aku sudah merasa sedih
dengan keadaanku sendiri, akan tetapi
aku malah lebih sedih lagi membayangkan nasibmu yang lebih buruk nanti...!"
Memerah wajah Si Mata Picak Kaki
Pincang demi mendengar ucapan Si Kaki
Tunggal yang terasa sangat mencemooh
itu. Lalu tak kalah kerasnya, dia pun
memaki. "Jahanam, Manusia iblis berkaki
tunggal..... Berbulan-bulan kaini selalu
memata-matai, sepak terjangmu. Kami
semua sudah tahu apa sesungguhnya yang
menjadi tujuanmu. Heh, satu cara yang
keji dan kotor, sebuah kebiadaban yang
tak pantas dilakukan oleh seorang demit yang mengaku dirinya sebagai seorang
ksatria...!" Si Boim yang sejak tadi hanya terdiam saja kini mulai
memberanikan diri ikut menyela.
Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal
kernyitkan alisnya begitu mendengar
ucapan Si Boim. Beberapa saat lamanya dia memandang pada laki-laki itu, dengan
sorot mata penuh kesadisan. Lalu
bibirnya yang hitam legam itu pun
menyungging seringai maut. Laki-laki
kurus yang bernama si Boim itu pun
semakin kedodoran saja nyalinya, bahkan cepat-cepat dia palingkan muka.
Sementara itu si Kaki Tunggal sudah
berkata kembali.
"Cepat katakan apa yang engkau
ketahui tentang aku, Cacing
Kerempeng...?" perintah si pemuda tak sabaran lagi.
Sebaliknya si Mata Picak Kaki
Pincang yang mendahului rekannya!
"Manusia bangsanya memedi! Kami
tahu, sesungguhnya kaulah yang telah
menggembar gemborkan tentang
pertarungan tokoh-tokoh tingkat tinggi
di Gunung Gili Manuk, dua kali purnama
yang telah lalu itu. Lebih licik lagi,
engkau dengan sengaja mencoba mengadu
domba antara satu golongan dengan
golongan lainnya. Sehingga mereka
berselisih dan saling bunuh. Aku tahu muslihatmu, setelah mereka saling bunuh.
Bukankah pada akhirnya sebagai pemenang dalam pertarungan keji itu pada akhirnya
akan berhadapan denganmu...!" kata si Mata Picak Kaki Pincang. Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal tertawa ganda
begitu mendengar ucapan si Mata Picak
Kaki Pincang. Sesungguhnya memang
tidak dapat dia sangkal bahwa apa yang
dikatakan oleh si Mata Picak memang
benar adanya. Maka beberapa saat setelah itu dia pun berkata:
"Bagus! Bagus! Ternyata meskipun
matamu picak, tetapi otakmu cukup cerdas juga. Sayangnya tokoh-tokoh sialan itu
otaknya tidak sebagus otakmu, mereka
sudah terlanjur saling bantai
sesamanya. Dan kalian...!" si
Kaki Tunggal terdiam sesaat lamanya,
lalu menyambung kembali. "Sayangnya kalian tidak mungkin bisa meralat segala apa
yang telah kusebarluaskan pada
keledai-keledai dungu itu. Satu
purnama yang akan datang, di lereng
Gunung Gili Manuk akan terjadi
pertarungan yang paling berarti dalam


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejarah dunia persilatan. Malang sekali, karena kalian yang sedikit punya
kecerdikan tak akan pernah sempat
menyaksikan pertarungan yang sangat
menegangkan itu...!" menggeram si
pemuda. Baik si Mata Picak Berkaki
Pincang maupun ketiga orang kawannya
nampak sangat terkejut sekali. Mereka
sadar, beberapa saat lagi akan terjadi
baku hantam yang menjadi penentu hidup
matinya mereka. Tetapi berbeda dengan
ketiga orang lainnya, kiranya si Mata
Picak Kaki Pincang memiliki keberanian
yang sangat luar biasa. Kalau tadi hanya ketiga orang kawannya yang mencabut
senjata masing-masing, maka kini dia pun telah meloloskan sebilah pedang berhulu
batu hitam. Dunia persilatan mengakui
akan keampuhan pedang pusaka yang kini
berada dalam genggaman si Mata Picak.
Kemudian setelahnya, laki-laki itu pun
sudah bersiap-siap untuk menyerang
lawannya. Di luar dugaan mereka, begitu
mengetahui pedang batu hitam itu pun si Kaki Tunggal tertawa mengekeh.
Sampai-sampai dia memegangi perutnya
yang terasa kaku.
"Mata Picak, pedangmu memang bagus, tetapi mungkin permainan pedangmu sangat
mengecewakan aku. Hak.... hak....
hak.... Majulah kalian semua! Aku Satria Terkutuk Berkaki Tunggal pasti akan
melayani kalian sampai tersungkur ke
liang kubur!"
"Bangsaaat! Hiaaaaa...!"
Dengan diawali satu bentakan tinggi
melengking, maka keempat orang itu
secara serentak langsung menggempur si
Kaki Tunggal dari berbagai arah. Sekejap saja senjata di tangan masing-masing
telah berkelebat cepat, sehingga
membentuk gulungan-gulungan sinar maut
yang menggidikkan. Hebat sekali
permainan senjata mereka itu. Sehingga
dalam waktu sepemakan sirih, Satria
Terkutuk Berkaki Tunggal sudah terkurung hebat dalam sambaran-sambaran ganas
mata senjata lawan-lawannya. Akan tetapi
meskipun permainan pedang lawan yang
terkenal dengan nama, Gerombolan Beruang
Menyergap Mangsa itu, nampak sedemikian hebatnya, namun si Kaki Tunggal masih
nampak tenang-tenang saja. Bahkan
berulang kali dia malah keluarkan suara tawa mengekeh. Hal ini sudah barang
tentu membuat para pengeroyok yang dipimpin
oleh Mata Picak Kaki Pincang, menjadi
marah dan penasaran sekali.
Maka akhirnya bagai sebuah titiran,
keempat orang itu pun terus memutar
senjata di tangan mereka secepatnya.
Meskipun gerakan senjata mereka
sedemikian sebatnya, namun si Kaki
Tunggal masih dengan sangat mudah
mengelakkan setiap serangan yang
datangnya bagai membadai tersebut. Satu ketika, tubuh si Kaki Tunggal nampak
berjingkrak-jingkrak, si Mata Picak Kaki Pincang. kirimkan satu tusukan satu
babatan. Dia berharap, kalaupun serangan kilat itu dapat dielakkan oleh si Kaki
Tunggal, paling-paling adalah salah
satunya saja. Sedangkan serangan yang
lain pasti dapat menembus pada bagian
tubuh si Kaki Tunggal atau
setidak-tidaknya lawan akan terluka
parah, maka: "Beet! Bet!"
Pedang berhulu batu hitam itu pun
berkelebat menyambar ke arah dada dan
kepala pihak lawannya. Sesaat si Kaki
Tunggal berseru aneh.
"Wut!"
Begitu cepat, si Kaki Tunggal
menyambar tubuh salah seorang lawannya
untuk dijadikan perisai. si Mata Picak
yang tiada pernah menyangka lawannya
akan berbuat kelicikan, nampak sangat
terkejut sekali, sedapatnya dia berusaha untuk membelokkan ujung senjatanya yang
nampak meluncur tak terkendali. Namun
usahanya itu nampaknya menjadi sia-sia
belaka, karena lebih cepat lagi si Kaki Tunggal telah dengan sengaja menyodorkan
tubuh lawannya ke ujung senjata yang
bermata sangat tajam itu. Maka kejadian fatal pun sudah tak dapat lagi
dihindari. "Jbroos...!"
"Aarrrggghk!"
Mata pedang milik si Mata Picak Kaki
Pincang masih menancap di dada kawannya sendiri ketika si Kaki Tunggal
melepaskan tubuh lawannya dari
tangannya. Darah menyembur dari luka
yang menganga, bahkan sebagian di
antaranya sampai menyemprot ke muka si
Mata Picak. Seketika itu juga si Mata
Picak dan dua orang kawannya nampak
terperangah, mata mereka sama-sama
melotot tak percaya.
Meledaklah tawa si Kaki Tunggal demi
menyaksikan kejadian dan hasil kerjanya sendiri. Wajahnya membayangkan kepuasan
jiwanya yang penuh dengan angkara murka.
Sesaat setelahnya, serta merta dia pun
membentak ''Satu kesempatan telah begitu baik
kuberikan pada kalian. Tetapi karena
memang kalian ini tikus-tikus dungu, tak dinyana kalian telah membantai kawan
sendiri. Puih, sungguh sangat memalukan sekali...!" menyela Kaki Tunggal masih
dengan tawa mengejek. . .
"Sialan.... Engkau telah berbuat
licik! Mengapa bukan dirimu saja yang
engkau pasrahkan untuk ditembus pedangku ini...?" maki Mata Picak Kaki Pincang
gusar sekali. * * * 4 "Bah! Mata Picak, engkau sendiri
yang berbuat kesalahan, mengapa kini
engkau coba-coba menutup-nutupi
ketololanmu...?"
"Bangsaaat...!" maki si Mata Picak Kaki Pincang, tanpa banyak kata lagi dia pun
kembali menerjang musuhnya dengan
kemarahan yang meluap-luap. Dalam
kesempatan seperti itu sambil menghindar si Kaki Tunggal berseru:
"Kunyuk Pincang Mata Picak!
Kesempatan bagimu habislah sudah, maka
kini bersiap-siaplah kalian untuk
menerima kematian...!" Seusai dengan kata-katanya sebentar kemudian si Kaki
Tunggal bagai tak memiliki suatu cacat
apa pun nampak begitu gesit mulai
jurus-jurus silat tingkat tinggi. Ketiga lawan-lawannya nampak tercengang
seketika itu juga! Apalagi si Mata Picak Kaki Pincang, Mulanya dia hanya
menyangka walaupun si Kaki Tunggal
merupakan seorang pemuda sakti, tetapi
tidaklah dia mengira sampai sehebat itu.
Apalagi dia mengetahui bahwa pemuda itu hanyalah memiliki kaki sebelah. Tidak
seperti dirinya, meskipun pincang tetapi memiliki dua kaki.
Maka setelah mengetahui kehebatan
pihak lawan, kini dia sudah tak ingin
bertindak tanggung lagi. Kaki Pincang
Mata Picak segera kerahkan semua
kepandaian yang dimilikinya. Begitu juga halnya dengan dua orang kawannya,
meskipun dua orang itu memiliki
kepandaian beberapa tingkat di bawah si Mata Picak, namun dalam keadaan tertentu
kedua orang kawannya itu memiliki
kenekatan yang sangat luar biasa.
Begitulah, seiring dengan serangan
gencar yang dilakukan oleh si Kaki
Pincang Mata Picak, maka si Boim dan
seorang lainnya yang bernama Tur Tur itu pun melakukan gebrakan gebrakan yang
sama. Matahari terasa kian menyengat,
sementara pertarungan itu dalam waktu
sekejab saja sudah berlangsung sangat
seru. Berulang kali serangan-serangan
beruntun dilancarkan oleh si Mata Picak dan kawan-kawannya, namun
serangan-serangan yang mereka bangun itu pada akhirnya menjadi kandas di tengah
jalan. Satu saat, Kaki Pincang Mata
Picak, kirimkan satu tusukan kilat
mengarah pada bagian lambung si Kaki
Tunggal. Pada saat itu pemuda berkaki
tunggal itu nampak sedang sibuk melayani kiblatan-kiblatan senjata si Boim, dan
Tur Tur. Tentu saja si Kaki Tunggal tak pernah menyangka akan adanya serangan
yang begitu cepat tersebut. Begitulah si Mata Picak berpendapat, maka tanpa
dapat dicegah lagi, luncuran pedangnya hanya
tinggal beberapa inci saja menembus
kepala lawannya. Namun pada saat-saat yang mendebarkan itu tanpa
disangka-sangka Satria Terkutuk Berkaki Tunggal, lebih cepat gerakkan tongkatnya
ke atas. Tidak cukup sampai di situ saja dia bertindak. Dengan kecepatan yang
sangat sulit diikuti mata. Pada saat Yang sama, dia pun mencabut pedang yang
menggelantungi punggungnya. Detik itu
juga pedang yang telah merenggut puluhan nyawa itu pun berkelebat.
"Creees!"
Terbeliak mata si Kaki Pincang yang
hanya cuma melek sebelah itu, mata pedang itu terasa begitu dingin menembus
bagian dadanya, hal itu menandakan bahwa pedang milik si Kaki Tunggal benar-
benar mengandung racun yang ganas. Kini si Mata Picak nampak menekan dadanya yang
tertembus senjata lawan, darah berwarna kehitam-hitaman nampak mengalir begitu
deras dari luka yang menganga. Tiada
jerit dan lolong yang terdengar, seiring dengan seluruh tubuhnya yang
begitu tiba-tiba membiru, maka si
Kaki Pincang Mata Picak beberapa saat
setelahnya nampak terhuyung-huyung.
Hingga akhirnya tersungkur tanpa
mampu bangkit lagi. Tinggallah si Boim
dan Tur Tur berdua, mereka ini nampak
sangat terkejut sekali melihat apa yang dialami oleh si Kaki Pincang Mata
Picak. Tetapi hal itu hanya sekejap
saja berlangsung, karena pada saat itu si Kaki Tunggal telah menyerang kedua
orang ini dengan tongkatnya. Sudah barang
tentu meskipun kini mereka bertahan
mati-matian. Tetapi si Kaki Tunggal
bukanlah lawan mereka yang sepadan,
betapapun mereka mengerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki, namun
semua itu tak berarti banyak bagi pemuda berkaki tunggal ini.
Tak ayal, dalam beberapa gebrakan
berikutnya, Boim dan Tur Tur sudah nampak berada jauh di bawah angin. Mati-
matian mereka memutar senjata untuk melindungi diri, tetapi tetap saja kedua
orang ini sering jatuh tunggang langgang. Hingga
pada satu kesempatan yang sesungguhnya
tidak menguntungkan bagi kedua orang
ini. Dengan nekad mereka menyerang si
Kaki Tunggal dalam jarak yang sangat
dekat sekali. Inilah saat-saat yang
paling ditunggu-tunggu oleh si Kaki
Tunggal. Begitu kedua lawannya secara
serentak membabatkan senjatanya ke
bagian leher dan kaki, pada saat itulah laksana kilat si Kaki Tunggal melolos
pedangnya dan sekaligus membabat
lawan-lawannya. Laksana diterpa badai
prahara, kedua orang ini nampak
terhuyung-huyung tak menentu, begitu
pedang si Kaki Tunggal yang memiliki
ketajaman luar biasa membabat putus
leher kedua orang itu. Baik kepala Boim maupun kepada Tur Tur, dua-duanya
sama-sama menggelinding ke tanah. Sesaat tubuh mereka nampak berputar-putar
dengan darah yang membanjir ke
mana-mana. Lalu tak lama kemudian tubuh mereka pun segera ambruk di atas tanah
berdebu. si Kaki Tunggal tersenyum
begitu dingin, demi melihat kematian
keempat orang itu. Tiba-tiba saja dia
berkata! "Orang-orang semacam kalian memang pantas mati. Terlebih-lebih kalian tahu
banyak tentang segala rencanaku...!"
gumam si Kaki Tunggal rawan. Tak lama
kemudian dia pun melangkah mendekati
mayat si Kaki Pincang Mata Picak. Lalu
dipungutnya sebilah pedang milik si Mata Picak yang bergagang batu hitam
tersebut. Sesaat dia menimang-nimang
senjata tersebut.
Sementara itu si Kaki Tunggal
kiranya tak menyadari bahwa dari jarak
yang tidak begitu jauh, seorang pemuda
lain berpakaian merah dengan sebuah
periuk besar yang selalu tergantung di
bagian pinggangnya, nampak terus
mengawasi si Kaki Tunggal. Pemuda
berwajah tampan itu nampak sangat geram sekali begitu melihat cara si Kaki
Tunggal memperlakukan lawan-lawannya.
Betapa pun tadinya dia memang hendak
turun tangan, namun pada akhirnya dia
urung. Ilmu pedang yang dimiliki oleh si Kaki Tunggal memang tinggi, bahkan
mungkin lebih tinggi dari permainan
silat yang dimilikinya. Tetapi sayangnya si Pemuda Berkaki Tunggal itu, dari
perdebatan yang sempat dia dengar
agaknya bukanlah seorang kaum persilatan yang bertujuan baik. Bahkan secara
terang-terangan telah melakukan satu
teror yang berakibat sangat fatal bagi
berbagai pihak. Semua itu dia lakukan
hanya demi memenuhi ambisinya, menjadi
penguasa yang tiada tanding di dalam
rimba persilatan. Lebih dari itu,
tindakan si Kaki Tunggal yang telah


Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak membunuh pendekar-pendekar
wanita. Hal ini membuat si jubah merah, alias Pendekar Hina Kelana menjadi naik
pitam. Maka kini tanpa tedeng
aling-aling lagi dia pun berkata lirih
namun menggetarkan pembuluh darah siapa
pun. Karena pada dasarnya, saat-saat dia berkata itu disertai dengan tenaga
dalam yang tinggi.
"Kejam sekali perbuatanmu, Setan
Hitam! Agaknya engkau ini iblis penjagal di neraka yang terlepas dari belenggu
yang merantaimu...!" Kata Pendekar Hina Kelana penuh teguran. Yang ditegur
berpaling pun tidak, seolah dia begitu
memandang rendah pada lawan yang baru
saja berkata tadi. Sungguhpun dia cukup menyadari bahwa pada saat orang yang
belum dikenalnya itu bicara, sesaat dia merasakan dadanya tergetar hebat.
Nyatalah, bahwa sebenarnya dia seorang
tokoh yang penuh percaya diri atas segala kemampuan yang dimilikinya. Sejenak si
Kaki Tunggal telengkan
kepalanya, sorot matanya yang
setajam rajawali itu sempat melihat
adanya seorang pemuda tampan berperiuk
yang kini nampak sedang enak-enakan
duduk di salah satu dahan besar
bercabang. Alis si Kaki Tunggal nampak
mengekerut, dia merasa sebelumnya tak
pernah bertemu dengan pemuda berpakaian merah sedemikian rupa. Pula
dengan penampilannya yang
dekil bagai peminta-minta,
mengingatkan si Kaki Tunggal pada
gembel-gembel pengemis dari Utara. siapa pula pemuda hina itu" Batin si Kaki
Tunggal dalam hati.
"Monyet gembel berperiuk!? Apa
pedulimu dengan segala apa yang aku
lakukan di tempat ini...?" tanya si Kaki Tunggal masih dengan nada lunak.
"Kulihat kesewenang-wenanganmu
terhadap orang itu, hal ini sudah cukup bagiku untuk menanyakannya padamu...!"
si Kaki Tunggal tersenyum mencibir
begitu mendengar kata-kata Buang
Sengketa. Kemudian dengan sangat
mencemooh, dia pun menyela!
"Pilih. Apa pedulimu, Monyet
Gembel...!"
"Tentu aku wajib mengetahuinya...!"
kata pemuda dari Negeri Bunian ini masih dengan kesabarannya.
"Apakah mereka saudaramu, nenek
moyangmu, atau mungkin
kembrat-kembratmu?" tanya Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal.
Tanpa menjawab, tubuh Pendekar Hina
Kelana nampak melayang turun dari atas
sebuah dahan yang cukup tinggi. Kemudian dengan begitu ringannya menjejakkan
kaki dua tombak tepat di depan si Kaki
Tunggal. Mengetahui ilmu meringankan
tubuh Buang Sengketa yang sudah mencapai
taraf paling sempurna itu. si Kaki
Tunggal malah tersenyum tawar.
"Mereka memang bukan saudaraku,
tetapi dari apa yang aku dengar, engkau memang pantas mendapat hukuman yang
paling layak...!" berkata pendekar ini kemudian.
"Hak... hak... ha...! Melihat
tampangmu, agaknya engkau ini pengemis
kerak nasi. Apakah yang bisa engkau
perbuat, Gembel Berperiuk...?" kata si Kaki Tunggal menantang. Hal ini sudah
barang tentu membuat pendekar berwajah
tampan itu menjadi habis kesabarannya.
Kini dia mulai nampak marah, bahkan
secara perlahan wajahnya pun mulai
kelihatan memerah.
"Manusia bukit pantat kwali,
sungguh busuk sekali mulutmu. Agaknya
cacat yang engkau miliki malah tidak
membuatmu menjadi jera atau pun
bertobat. Janganlah engkau jual lagak di depanku...!"
si Kaki Tunggal masih tetap pada
sikapnya. Bahkan kini malah semakin
bertambah menantang.
"Apa yang bisa engkau perbuat
terhadapku Monyet Gembel. Kalau engkau
punya kebisaan atau kepandaian lainnya.
Cepat-cepat keluarkanlah! Sebelum
engkau benar-benar mati penasaran...!"
perintah si Kaki Tunggal.
"Hak...! Walaupun aku tak memiliki kemampuan apa-apa, tetapi aku tak
menginginkan kesewenang-wenangan
terjadi di depan mataku...!''
"Puih. Semut berani coba-coba
melawan gajah, engkau akan mati sia-sia, Gembel Berperiuk..."!" .
"Mati atau hidup itu bukan
wewenangmu...!" menggeram Buang
Sengketa. Si Kaki Tunggal tampak
tergelak-gelak demi mendengar apa yang
dikatakan oleh. Pendekar kita ini.
Nampak sekali bahwa dirinya terlalu
sombong dengan segala apa yang dimiliki.
Seolah di dunia ini dialah yang paling
hebat dalam segala hal.
"Kesombonganmu benar-benar
membuatmu menjadi celaka, Gembel
Hina...'." maki Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal. Seketika itu juga, wajah
Pendekar Hina Kelana berubah menjadi
kelam membasi. Kedua bibirnya kini
terkatup rapat, sementara
rahangnya mengeluarkan bunyi
berkerokotan. Dipandanginya si Kaki
Tunggal dengan sinar mata berapi-api,
tiada satu pun kata yang terucap. Akan
tetapi beberapa saat kemudian
terdengarlah jerit suaranya yang
melengking tinggi. Suara itu terdengar
sambung menyambung tak jauh bedanya
dengan suara rentetan halilintar. Bumi
tempat mereka berpijak terasa
bergetar hebat. Seketika lamanya,
si Kaki Tunggal nampak terkesima melihat apa yang sedang dilakukan oleh pemuda
dari Negeri Bunian ini.
Andai saja pemuda kaki tunggal
berbadan hitam legam itu tidak
cepat-cepat menutup indera pendengarannya, alamatlah dia mengalami nasib yang sangat mengerikan. Hal itu
tak dapat disangkal, sebab dalam
kemarahannya itu, Pendekar Hina Kelana
telah mengerahkan Lengking Ilmu
Pemenggal Roh yang terkenal sangat
dahsyat luar biasa. Walaupun si Kaki
Tunggal telah mengerahkan sebagian
tenaga saktinya, tetapi getaran Ilmu
Pemenggal Roh itu masih tetap saja
seluruh pembuluh darahnya terasa sakit
bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Beberapa saat setelah itu, bersamaan
dengan runtuhnya daun-daun hijau yang
terakhir, maka si Kaki Tunggal yang baru saja lenyap rasa keterkejutannya,
buru-buru membentak.
"Hebat... hebat...! Andai saja ada kambing bunting yang mendengar jeritan
lolonganmu itu, sudah pasti akan rontok kandungannya. Gembel Berperiuk, tak
dinyana kiranya engkau punya kebisaan
juga rupanya?" kata si Kaki Tunggal tanpa sedikit pun ada perasaan jeri
terbayang di wajahnya.
"Siapakah namamu, Bocah...?" tanya si Kaki Tunggal masih tetap memandang
remeh pada si pemuda. Bukan main geramnya Pendekar Hina Kelana, demi melihat
mimik wajah si Kaki Tunggal. Lebih dari itu,
agaknya dia pun merasa heran dengan
ketahanan yang dimiliki oleh lawannya.
Selama ini belum pernah tokoh sakti
golongan mana pun yang mampu bertahan
hidup dalam menghadapi senangan mendadak dari
Ilmu Pemenggal Roh yang
dimilikinya. Bahkan Majikan Neraka
Lembah Halilintar yang memiliki
kesaktian tiada tanding dan seorang ahli sihir pula, tak tahan terhadap gempuran
Ilmu Pemenggal Roh miliknya.
Tetapi kini ada seorang pemuda
berkaki tunggal mampu menghindari
serangan yang luar biasa itu.
* * * 5 Kenyataan itu saja telah
membuktikan bahwa sesungguhnya si Kaki
Tunggal memang benar-benar seorang tokoh muda yang memiliki kesaktian luar
biasa. "Mengapa engkau malah bengong
seperti itu. Jawab pertanyaanku
cepat...!" bentak Kstaria Terkutuk Berkaki Tunggal nampak sangat gusar
sekali. "Kalau engkau ingin jawabanku.
Marilah bertarung dulu, sampai salah
seorang di antara kita terbujur
berkalang tanah...!"tukas Buang
Sengketa. "Ho.... ho.... ho....! Agaknya
engkau belum tahu bagaimana adatnya,
Kstaria Te?rkutuk Berkaki Tunggal
rupanya...!"
"Hmmmn, kiranya engkaulah kunyuknya yang telah bikin geger di Kaki Gunung
Gili Manuk itu..."!" ucap si Hina Kelana tersenyum lega.
"Tak salah...!"
"Bagus! Bagus sekali! Untuk itu
mampuslah...!"
Bersamaan dengan ucapannya itu,
maka pendekar dari Negeri Bunian itu,
begitu bergebrak sudah kirimkan
pukulan-pukulan mautnya. Menyadari
bahwa pemuda berkuncir ini merupakan
seorang lawan yang tangguh, maka si Kaki Tunggal pun tak ingin bertindak
gegabah. Secepat kilat dia pun langsung memutar
tongkat penyangga tubuhnya ke segala
penjuru. Tongkat penyangga tubuh yang
terbuat dari tulang kaki gajah itu pun
dalam sekejap saja sudah membentuk
sebuah perisai yang sangat sulit untuk
dicari titik kelemahannya. Mengetahui
pertahanan yang di bentuk oleh pihak
lawan nampak begitu kokoh, maka tak ayal lagi tubuh Pendekar Hina Kelana nampak
bergerak semakin cepat.
Pada saat itu bukan tongkat di
tangannya saja yang berkelebat cepat,
akan tetapi tangan kanan si Kaki Tunggal pun mulai lancarkan pukulan-pukulan
mautnya. Suara hiruk pikuk dari
beradunya dua tenaga sakti, memecah
keheningan siang hari yang sangat terik.
Debu-debu beterbangan, mengepul dan
membumbung tinggi ke angkasa lepas.
Keringat mulai bercucuran dari tubuh
Kutuk Sang Angkara 3 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Tiga Dara Pendekar 13
^