Pencarian

Kemelut Di Karang Galuh 3

Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh Bagian 3


"Aha, kalau memang itu sudah menjadi keputusan kalian, aku hanya setuju,'",
sahut Sena, 'Tapi, apakah!
kalian yakin Kala Bendana mau datang seorang diri?"i Sanjaya dan Purnama kembali
diam dan salinjjj pandang. Kening keduanya mengerut. Hati mereka kembali
bimbang. Memang ucapan Sena benar. TentJ
Kala Bendana yang licik, tak akan bersedia datang se?' orang diri. Sudah barang
tentu, Kala Bendana akan datang bersama anak buahnya. Hal itu sudah dapat
dipikirkan, karena kebanyakkan tokoh sesat berla" seperti itu. Mereka tak akan
menghargai jiwa ksatria.
Mereka akan menghalalkan segala macam cara.
Yang ada dalam benak mereka, hanyalah
kemenangan dan kepuasan.
"Benar juga katamu, Sena. Bukan menjadi rahasia umum lagi, kalau tokoh hitam
akan menghalalkan segala cara," gumam Sanjaya sambil menggaruk-garuk kepala.
Dihelanya napas panjang-panjang, seakan berusaha membuang perasaan gemasnya yang
selalu melekat di dada.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Sena" Kami tak bisa menunggu sampai datangnya
para dewa yang akan menolong kami," ujar Purnama dengan penuh harap terhadap
gagasan Sena yang akan mampu memberi pandangan baik bagi mereka dan warga Desa
Karang Galuh. "Aha, kurasa hanya ada satu jalan," ujar Sena yang langsung mendapat tanggapan
dari kakak-beradik itu.
"Apa itu, Sena?" tanya keduanya bersamaan sambil memandang penuh harap ke wajah
Sena. Sena tak langsung menjawab. Mulutnya tampak cengengesan dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Tatapan matanya kini tertuju kepada mayat Tiga Mata Setan yang
tergeletak tak jauh dari mereka.
Sepertinya ada sesuatu gagasan untuk menggunakan mayat ketiganya dalam menempuh
jalan bagi mereka.
"Hi hi hi...! Kalian lihat tiga mayat itu?"
'Ya," sahut Sanjaya dengan kening mengerut, tak mengerti maksud Sena yang
sebenarnya. Begitu pula halnya dengan Purnama, dia masih belum mengerti maksud
Sena. Matanya menatap Sena dengan pandangan tak mengerti. Keningnya mengerut,
berlipat-lipat. Mulutnya bungkam, menunggu jawaban dari Sena yang masih
cengengesan itu. "Untuk apa mayat mereka?"
"Aha, aku ada akal! Dengan mayat mereka,
tentunya Kala Bendana akan marah. Dia akan mengirim pasukan. Kita tinggal
menunggu mereka,"
ujar Sena membeberkan gagasannya.
"Aku belum mengerti," dengus Sanjaya.
"Ya! Katakanlah apa sebenarnya rencanamu itu!"
pinta Purnama yang masih bingung.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya nyengir kuda, sedang matanya memandang
lepas ke lautan luas. Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat.
Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihempas-kan penahan.
"Baik..., hi hi hi...! Akan kuterangkan," ujar Sena.
Kemudian setelah cengengesan dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala
sesaat, dirinya mulai menjelaskan. "Dengan ketiga mayat itu, kita akan memancing
Kala Bendana, agar keluar. Kita kirim ketiga mayat itu ke Pulau Neraka."
"Dengan apa?" sela Sanjaya tak sabar.
"Ya! Siapa yang akan membawa mereka ke sana?"
tanya Purnama masih belum mengerti.
"Aha, kurasa kita tak perlu repot mengutus seseorang. Ketiga mayat itu, kita
kirim dengan menggunakan peti," sahut Sena.
Sanjaya dan Purnama melongo bengong mendengar penuturan Sena. Mereka tak
menyangka, kalau Sena berpikiran begitu tajam. Padahal pemuda berpakaian rompi
kulit ular itu persis orang gila.
Namun ternyata pikirannya sangat tajam.
"Bagaimana, Kisanak?" tanya Sena.
"Aku setuju," sahut Sanjaya.
"Aku juga," sahut Purnama menimpali.
"Aha, kini semuanya sudah kita sepakati. Kita tinggal meminta pendapat pada Ki
Lurah. Bagaimanapun Ki Praba merupakan orang tua di desa ini.
Sudah selayaknya dia kita mintai pendapat," tutur Sena.
"Bagaimana dengan ketiga mayat itu?" tanya Sanjaya, "Aku khawatir ada orang yang
akan membawanya. Bukankah dengan begitu gagal rencana kita?"
Sena memonyongkan mulutnya. Kemudian
cengengesan dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap ketiga
mayat itu, kemudian menengadah ke langit, seakan mencari sesuatu di atas sana.
"Aha, kalau begitu, kita harus membawanya," kata Sena sambil menoleh pada
Sanjaya dan Purnama yang saling pandang. "Bagaimana?"
"Baiklah."
Mereka segera mengangkat seorang satu mayat Tiga Mata Setan. Ketiganya kemudian
melangkah menuju rumah Kepala Desa Karang Galuh, untuk meminta pendapat orang
tua itu atas rencana mereka.
Di timur, mentari nampak merangkak perlahan naik menyinari bumi. Penduduk Desa
Karang Galuh pun kelihatan mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
*** 6 Siang dengan terik mentari yang panas bagaikan hendak memanggang bumi dan
seisinya. Namun orang-orang penduduk Desa Karang Galuh nampak tetap bekerja.
Mereka bagaikan tak mengenal lelah, terus bekerja untuk mengolah hidup dan
kehidupan. Mereka bertani sibuk di sawah. Yang nelayan tampak tengah mempersiapkan jaring
dan perahunya. Pemandangan seperti itulah yang tampak setiap hari di Desa Karang Galuh yang
memang tak jauh letaknya dari pantai.
Di bale-bale bambu di rumah Ki Praba nampak empat lelaki duduk bersila. Di
hadapan mereka, terdapat empat cangkir kopi dengan dua piring ubi rebus yang
hjngat Keempat lelaki itu, tiga masih muda sedangkan seorang lagi tua. Mereka
tiada lain Ki Praba, Sanjaya, Purnama, dan Sena. Nampaknya mereka tengah
berbincang-bincang.
Di ruangan depan rumah Kepala Desa Karang Galuh itu tampak tergeletak tiga sosok
mayat. Ketiga mayat itu tak lain Tiga Mata Setan. Ketiga mayat itu sedang dijaga
beberapa penduduk desa yang sengaja diundang Ki Praba.
"Apa rencana kalian?" tanya Ki Praba seraya mengangkat cangkir kopinya. Matanya
memandang satu persatu wajah tiga lelaki muda yang ada di hadapannya. Kemudian
tatapan mata lelaki tua itu, tertuju pada wajah Sanjaya.
"Kami mempunyai rencana mengirim ketiga mayat anak buah Kala Bendana, Ki," sahut
Sanjaya. Ki Praba mengerutkan kening. Matanya menyipit, masih menatap wajah Sanjaya.
Kepalanya mengangguk-angguk, sedangkan tangannya membelai-belai jenggot yang tak
begitu panjang dan berwarna keputihan.
"Dengan apa?"
"Dengan peti kayu, Ki," sahut Purnama.
"Untuk apa...?" kini tatapan mata lelaki tua Kepala Desa Karang Galuh tertuju
pada Purnama yang menjawab pertanyaannya tadi.
"Saudara Sena yang akan menjelaskannya, Ki,"
ujar Purnama melimpahkan jawaban pada Sena yang masih cengengesan sambil
menundukkan kepala.
Sedangkan tangannya kini menggaruk-garuk kepala.
Sementara tangan kirinya, mempermainkan tikar yang terbuat dari-pandan.
"Katakanlah, Nak Sena!" pinta Ki Praba ingin tahu apa yang direncanakan Sena.
Pemuda tampan berambut gondrong yang mengikat kepalanya dengan kulit ular itu
masih tampak cengengesan. Setelah mengelus-elus rompinya yang juga terbuat dari
kulit ular, pendekar yang sangat kesohor di rimba persilatan itu muiai membuka
mulut "Aha, begini, Ki. Selama ini, kita tak dapat menumpas gerombolan Kala Bendana.
Hal itu karena kita tak mampu menghadapinya secara langsung.
Kabarnya persembunyian mereka sulit ditembus.
Untuk itulah kami bermaksud mengirim mayat Tiga Mata Setan. Aku berharap Kala
Bendana akan keluar dari sarang dan menghadapi kita. Hal ini kuanggap cara
paling tepat untuk dapat menghadapi dan menumpasnya...."
Ki Praba sejenak terdiam dengan kening mengerut Nampaknya lelaki tua itu tengah
mempertimbangkan
gagasan Sena. Bagaimanapun, sebagai kepala desa dirinya harus mempertimbangkan
segala sesuatu sebelum melakukan tindakan. Karena semuanya menyangkut
keselamatan hidup warga desanya.
"Dengan kata lain, kalian akan menantang Kala Bendana dan Purba Kelakon ke desa
ini?" tanya Ki Praba.
"Begitulah, Ki," sahut Sanjaya. "Bagaimana jika yang datang anak buahnya?" "Aha,
itu memang yang kami inginkan," jawab Sena.
"Maksudmu...?" tanya Ki Praba masih tak mengerti.
"Aha, bukankah dengan kedatangan anak
buahnya, kita akan semakin ringan" Semakin banyak anak buah Kala Bendana yang
tertumpas, semakin kecil kekuatannya. Cepat atau lambat Kala Bendana akan
keluar," ujarnya dengan mulut cengengesan sambil tangan kirinya masih
mempermainkan tikar pandan.
Ki Praba mengangguk-anggukkan kepala, mendengar keterangan Sena. Seulas senyum
mengembang di bibirnya yang tua. Seakan gagasan Sena memberi jalan terang
baginya, untuk -dapat melepaskan desa dan penduduknya dari ancaman Kala Bendana
yang selama ini masih terus meng-hantui.
"Bagaimana, Ki?" tanya Sanjaya meminta
kepastian. "Gagasan yang bagus!" puji Ki Praba, "Aku setuju."
"Aha, terima kasih," sahut Sena sambil menundukkan kepala.
"Kalau begitu, kita harus membuat peti untuk ketiga mayat itu," kata Purnama.
"Benar! Sebaiknya, kita kumpulkan warga desa
untuk membantu kita membuat peti," usul Ki Praba.
"Kami setuju," jawab Sanjaya.
"Kamil...!" seru Ki Praba memanggil salah seorang penduduk desanya yang sedang
menjaga ketiga mayat Tiga Mata Setan.
"Saya, Ki!" sahut seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan, dengan
perawakan kurus tinggi. Lelaki yang dipanggil Kamil melangkah mendekati tempat
kepala desanya dan Sena serta kakak-beradik Sanjaya dan Purnama berada. Kemudian
lelaki itu menjura, memberi hormat, "Ada apa, Ki?"
"Aku perintahkan agar seluruh warga desa berkumpul di sini," ujar Ki Praba.
"Baik, Ki. Sekarang juga, Ki Lurah?" sahut Kamil.
"Ya sekarang. Kapan lagi?"
"Baik, akan saya laksanakan."
Setelah menjura memberi hormat pada keempat lelaki yang duduk di bale-bale,
Kamil pun beriari-lari untuk memberitahukan pada penduduk Desa Karang Galuh akan
panggilan Ki Praba. Sedangkan temannya yang lain, segera membunyikan kentongan
panggilan. Dalam sekejap saja, semua penduduk desa yang mendengar suara kentongan ditabuh
dengan keras, berduyun-duyun datang ke rumah kepala desa. Di wajah mereka,
tergambar ketidakmengertian akan panggilan itu.
Ki Praba, Sanjaya, dan Sena atau Pendekar Gila sepontan bangun dari duduknya
melihat warga desa berbondong-bondong datang. Sesaat kemudian halaman rumah
Kepala Desa Karang Galuh telah dipadati warga desa. Terdengar mulut-mulut mereka
bertanya-tanya.
"Ada apa Ki Lurah memanggil kami?" salah seorang warga bertanya. "Apakah Kala
Bendana hendak menyerang desa kita?"
"Tidak! Bahkan kitalah yang akan menumpas gerombolan Kala Bendana!" sahut Ki
Praba dengan mata berbinar-binar, merasa gembira melihat warganya masih menurut
dan sangat patuh terhadap semua aturan.
"Apakah kita mampu, Ki Lurah?" warga yang lain bertanya.
Ki Praba tersenyum, kemudian menoleh ke wajah Sanjaya, Purnama, dan Sena.
"Kalian lihat, tiga orang anak buah Kala Bendana telah mati di tangan Sena.
Berarti kekuatan Kala Bendana dapat kita kurangi. Maka itu pula, aku mengundang
saudara-saudara untuk datang. Aku ingin meminta dukungan pada seluruh warga desa
untuk membuat peti bagi ketiga mayat itu!" ujar Ki Praba sambil menunjuk mayat-mayat Tiga
Mata Setan yang tergeletak di sisi kanan depan rumah dan sedang dijaga sepuluh
warga desa. Semua warga seketika memandang ke arah tiga mayat yang ditunjuk Ki Praba. Mata
mereka membelalak, setelah tahu siapa ketiga mayat itu.
Tanpa sadar, dari mulut mereka serentak terdengar menyebut gelar ketiganya.
"Tiga Mata Setan..."!"
"Benar! Mereka Tiga Mata Setan, yang selama ini kita takuti. Namun dengan adanya
Pendekar Gila di desa kita ini, kita tak perlu takut pada mereka," ujar Ki Praba
sambil menoleh ke wajah Sena yang cengengesan memandang ke langit dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Seketika semua warga kembali tersentak kaget mendengar
Ki Praba menyebut Pendekar Gila. Tentu saja para warga terkejut melihat pendekar
muda yang sangat kesohor
itu ada di rumah kepala desa.
"Pendekar Gila"!" seru warga.
"Ya!"
"Apakah kau tidak hanya berusaha menenangkan hati kami, Ki Lurah?" tanya warga
desa tak percaya kalau di desa mereka telah datang Pendekar Gila.
Pendekar yang namanya akhir-akhir ini menjadi perbincangan dan sangat dikenal
baik di kalangan rimba persilatan maupun orang-orang biasa.
"Tidak! Aku tak pernah berdusta. Lihat oleh kalian sendiri! Yang berdiri di
sebelah kiri Purnama, adalah Pendekar Gila, murid Singo Edan dari Goa Setan,"
tutur Ki Praba memperkenalkan Sena pada warga desanya. Orang-orang semakin
membuka mata dengan mulut ternganga, setelah tahu kalau selama ini orang yang
bertingkah laku gila di desanya ternyata pendekar sakti.
Secara serentak semua warga desa menjura, padahal tak ada yang memerintah.
Mereka baru menyadari kalau pemuda berpakaian rompi kulit ular itu Pendekar
Gila. "Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar!" seru beberapa orang yang di barisan
depan. "Aha, mengapa kalian berlaku begitu" Aku bukanlah dewa, yang patut kalian
sembah. Aku manusia seperti kalian. Aku datang, karena panggilan nurani-ku, yang
tak suka pada tindak kejahatan. Marilah, kita bahu-membahu menghancurkan
kejahatan!" ujar Sena dengan tingkah lakunya yang konyol persis orang gila.
Sambil berkata begitu mulutnya cengengesa sambil menggaruk-garuk kepala dengan
tangan kanan. "Setuju...!"
"Kami siap!"
"Perintahkan pada kami! Kami telah siap menjalankan perintah! Demi keselamatan
warga desa...! Demi Desa Karang Galuh!"
"Ya, kita ganyang Kala Bendana!"
"Kita tumpas kejahatan...!"
Sorak-sorai yang gemuruh riuh warga desa tampak bersemangat menyambut Pendekar
Gila, laksana air bah yang tak terbendung lagi. Mereka mengeluarkan perasaan
yang selama ini terpendam, karena tekanan rasa takut terhadap Kala Bendana yang
mempunyai mata-mata di mana-mana. Namun dengan adanya Sena, semangat warga desa,
yang semula hampir padam, kini menyala berkobar.
"Terima kasih... terima kasih atas kesediaan kali an. Namun belum saatnya kita
berperang. Aku hanya meminta kalian, untuk membuatkan tiga peti.
Kemudian, kuharap semua warga berwaspada dan selalu siap. Karena jika ketiga
peti mati itu sampai di tempat Kala Bendana, bukan tak mungkin Kala Bendana akan
mengirim pasukan," ujar Ki Praba penuh wibawa. Peringatan itu tampaknya disambut
baik seluruh warga desa. Mereka mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
"Kapan kami membuat peti, Ki Lurah?" tanya warga.
"Bila mungkin, saat ini juga!" sahut Sanjaya. "Baik.
Kami akan membuatnya!" Warga desa dengan hati penuh harap agar di nya terbebas
dari Kala Bendana, segera bekerja. Mereka langsung menebang pohon.
Ada yang membelah, Ada yang menggergaji. Ada yang menghaluskan serta membuat dan
merancang. Mereka bekerja dengan penuh semangat, bergotong royong.
Ketika mentari bergeser agak ke barat, tiga peti
yang diminta kepala desa pun telah selesai dibuat.
Warga Desa Karang Galuh segera memasukkan ketiga mayat itu ke dalam peti.
Kemudian mereka langsung menggotong ketiga peti itu ke tepi laut Dengan
menggunakan getek, ketiga peti mati yang berisi mayat Tiga Mata Setan dialirkan
ke tengah.

Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus senantiasa siap!" ujar Ki Praba kembali memperingatkan warga
desanya. "Kami siap...!" sahut seluruh warga sambil mengangkat ke atas tangan kanan yang
memegang golok.
Di laut, getek yang membawa tiga peti mati, perlahan-lahan terus bergerak ke
tengah. Cepat atau lambat getek itu pasti akan ditemukan para anak buah Kala
Bendana di Pulau Neraka sana.
*** Senja telah datang, sinar mentari redup tak sepanas ketika siang. Di Pulau
Neraka, nampak dua orang prajurit bersenjatakan tombak sedang mengawasi sekitar
pulau itu. Mata mereka yang tajam, memandang ke selatan. Tampaklah samar-samar
daratan tanah Jawa yang hijau. Ketika keduanya menajamkan pandangan ke lautan,
tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan adanya sebuah getek atau rakit yang menuju
Pulau Neraka, tempat mereka berada. Di atas rakit itu, terdapat tiga peti mati.
"Kala Kuning! Lihat, ada tiga peti di atas rakit!"
seru Kala Hijau pada temannya sambil menunjuk ke laut. Rakit itu bergerak
perlahan, semakin mendekat ke tepian Pulau Neraka.
"Hai, benar! Siapakah yang telah mengirim peti
mati itu?" gumam Kala Kuning dengan mata masih menatap rakit yang di atasnya
terdapat tiga peti.
"Apakah Tiga Mata Setan yang mengirimnya, karena mereka telah berhasil membunuh
Ki Praba serta dua saudara Sanjaya dan Purnama?" tanya Kala Hijau menerka-nerka.
Matanya terus menatap tajam rakit pembawa tiga peti mati.
"Mungkin juga. Sebaiknya kau lapor pada pimpinan, biar aku menunggu di sini!"
usul Kala Kuning.
"Baiklah kalau begitu."
Kala Hijau pun bergegas meninggalkan tepian Pulau Neraka untuk melaporkan hal
itu pada ketuanya, Kala Bendana. Sementara, Kala Kuning menunggu sampai rakit
itu menepi, untuk mengetahui apa isi peti mati itu.
Kala Hijau dengan terburu-buru melangkah ke; markasnya, di mana tiga pimpinannya
berada. Saat itu, Kala Bendana, Braga Kunta dan Purba Kelakon tengah berkumpul.
Nampaknya ketiga pimpinan Gerombolan Iblis Merah sedang membicarakan sesuatu.
"Ampun Ketua, Kalau Hijau menghadap," seru lelaki berusia sekitar empat puluh
tahun dengan wajaH garang berpakaian hijau. Kala Hijau menjura hormat.
Ketiga pimpinan Gerombolan Iblis Merah seketika menghentikan pembicaraan mereka.
Ketiganya langsung menoleh kepada Kala Hijau.
"Ada apa, Kala Hijau?" tanya lelaki bermuka kasar dengan cambang bauk tebal yang
tak lain Ka Bendana.
"Kami melihat rakit membawa tiga peti mati," ujar Kala Hijau melaporkan.
"Hm, apakah kalian telah memeriksa isinya?"
tanya lelaki bertubuh gagah berpakaian serba hitam.
"Belum, Ketua. Itu sebabnya hamba menghadap,"
jawab Kala Hijau.
"Baiklah, kami akan segera ke sana," kali ini yang berkata lelaki berusia
sekitar enam puluh lima tahun dengan jenggot dan kumis tebal yang tak lain Purba
Kelakon. Ketiga lelaki yang memimpin Gerombolan Iblis Merah itu melangkah meninggalkan
ruang per-temuan, keluar dari tempat itu. Kala Hijau mengikuti di belakang.
Mereka melangkah menuju tempat Kala Hijau dan Kala Kuning bertugas hari itu.
"Hm, mungkinkah Tiga Mata Setan telah berhasil menunaikan tugasnya?" gumam Kala
Bendana. "Mungkin juga, Kakang. Tetapi, mengapa hanya tiga" Tidak sekalian dengan
Pendekar Gila?" tanya Braja Kunta, lelaki berusia sekitar enam puluh tahun,
mengenakan pakaian coklat Pertanyaannya seperti bergumam padajdiri sendiri.
Matanya memandang ke rakit yang semakin mendekat ke pantai.
"Cepat kau panggilkan teman-temanmu untuk menarik rakit itu ke sini!" perintah
lelaki berjubah ungu dan mengenakan blangkon batik berwarna hitam yang bernama
Purba Kelakon. "Baik, Ketua!" jawab Kala Kuning. Tanpa di-perintah kedua kalinya, Kala Kuning
segera berkelebat pergi untuk memanggil rekan-rekannya. Tidak lama kemudian,
Kala Kuning telah kembali datang dengan dua puluh orang anak buah Gerombolan
Iblis Merah. Gerombolan Iblis Merah merupakan nama baru gabungan antara anak
buah Kala Bendana dengan Purba Kelakon.
"Kala Kuning, tarik rakit itu dan angkat peti itu...!"
perintah Kala Bendana.
"Daulat, Ketua!"
Kala Kuning dan kedua puluh rekannya segera menceburkan diri ke laut untuk
menarik rakit yang jaraknya tinggal lima belas tombak dari daratan.
Kedua puluh satu anak buah Kala Bendana segera berenang mendekati rakit.
Kemudian mereka menarik dan mendorong rakit kayu itu, semakin mendekat ke
pimpinan mereka yang menunggu di daratan.
Rakit itu pun sampai. Kala Bendana dan dua ketua lainnya segera mendekati anak
buah yang mengangkat rakit ke daratan.
Kala Bendana segera membuka satu persatu peti mati itu. Seketika mata mereka
membelalak, setelah tahu isi peti mati itu. Dari mulut mereka mendesis,
menyebutkan nama ketiga orang yang telah mati.
"Tiga Mata Setan...!"
"Kurang ajar! Mereka benar-benar mencari penyakit! Berani benar mereka
menghinaku!" dengus Kala Bendana geram. Gigi-giginya saling beradu, menandakan
kemarahannya sudah tak terbendung lagi. Tangannya mengepal-ngepal; sepertinya
siap meremukkan batok kepala orang yang telah berani mengirim mayat ketiga anak
buah kepadanya, "Akan kuremukkan batok kepalanya!"
"Sabar, Adi Kala Bendana! Kita tidak boleh terbawa perasaan kita," ujar Purba
Kelakon berusaha menyabarkan rekannya yang tampak sudah sangat marah, "Kau harus
ingat. Tentunya orang yang mengirim Tiga Mata Setan bukanlah tokoh sembarangan.
Tiga Mata Setan bukan orang-orang sembarangan. Ilmu mereka jelas tinggi. Namun
mengapa mereka sampai mati dengan muka
gosong?" Kala Bendana terdiam. Namun wajahnya masih menggambarkan amarah yang meluap-
luap. Dia benar-benar merasa dihina oleh orang yang mengirim ketiga peti mati
beserta isinya.
"Benar, Kakang. Apa yang dikatakan Kakang Purba Kelakon memang benar. Jelas yang
melakukan semua ini, bukan orang sembarangan seperti Ki Praba dan dua bersaudara
Sanjaya dan Purnama.
Hm, aku jadi yakin, tentunya pendekar itu ada di Desa Karang Galuh," gumam Braga
Kunta, bekas anggota Gerombolan Serigala Hitam itu. Braga Kunta adalah kawan
seperguruan dengan Beruk Ireng yang dibunuh Sanjaya dalam pesta gila.
"Bagaimana kau bisa yakin kalau ini semua tindakan Pendekar Gila...?" tanya Kala
Bendana dengan kening mengerut, belum percaya.
"Kau lihat wajah mereka seperti terbakar, Kakang?"
"Ya!"
"Kau tahu, kenapa mereka, Kakang?"
"Tidak!" sahut Kala Bendana cepat.
Braga Kunta menarik napas dalam-dalam.
Matanya menatap tajam pada mayat Tiga Mata Setan. Ada dua kemungkinan yang
sedang dipikirkan.
Kala Bendana memandangi wajah adik seperguruannya yang nampak kalem, seakan ada
sesuatu yang sedang dipikirkan Braga Kunta.
"Ada dua kemungkinan yang menjadikan ketiganya mati."
"Apa itu?" desak Kala Bendana ingin tahu.
"Pertama, mereka menyerang dengan ilmu Mata Setan, dan ditangkis oleh Suling
Naga Sakti milik Pendekar Gila...," tutur Braga Kunta.
"Ah, bagaimana mungkin hanya sebuah suling bisa mengembalikan sinar api mereka?"
bantah Kala Bendana tak percaya.
Braga Kunta tersenyum sambil menghela napas, kemudian digeleng-gelengkan
kepalanya. "Memang kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri, sulit untuk dipercaya,
Kakang. Suling itu memang merupakan senjata sakti bagi Pendekar Gila. Itu pula
yang menjadikannya semakin bertambah sakti," jawab Braga Kunta.
"Hm," gumam Kala Bendana tak jelas, "Lalu kemungkinan kedua?"
Braga Kunta tak langsung menjawab. Kembali dia menghela napas panjang, berusaha
menenangkan hatinya. Bagaimanapun dirinya belum pernah bentrok melawan Pendekar
Gila. Namun setidaknya tokoh dalam Serigala Hitam ini sering mendengar sepak
terjang pendekar muda itu. Dan selama ini, di-dengarnya kalau pendekar muda itu
belum ada yang mampu mengalahkannya. Itu juga yang membuat Braga Kunta merasa
cemas, karena bagaimanapun tidak mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan
pendekar murid Singo Edan penghuni Goa Setan itu
"Kemungkinan kedua, Tiga Mata Setan terkena sinar sakti dari sepasang mata
kepala Naga di Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila."
"Heh"!"
"Hah"!" Kala Bendana dan Purba Kelakon
tersentak mendengar penuturan Braga Kunta.
Mereka baru mendengar tentang suling yang mampu mengeluarkan sinar sakti. Selama
ini, mereka menganggap senjata-senjata mereka yang berbentuk caping maut dan
sangat besar merupakan senjata-senjata sakti, dan tak ada lagi senjata sakti
lainya. "Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Bendana minta pendapat dari adik
seperguruannya yang lebih cerdas dibandingkan dengan dirinya.
"Kita kirim pasukan ke Desa Karang Galuh.
Sebisanya, harus ada yang hidup untuk melaporkan pada kita akan apa yang
sebenarnya ada di Desa Karan Galuh," usul Braga Kunta.
"Benar! Aku setuju," sambut Purba Kelakon.
"Baiklah kalau begitu. Kala Hijau, kau pimpin d puluh orang untuk menyerbu ke
Desa Karang Galuh.
Sebisanya, kau harus memberi laporan ke sini!" pe rintah Kala Bendana.
"Baik, Ketua!" jawab Kala Hijau. Sore itu pula, Kala Hijau dengan dua puluh anak
buah Gerombolan Iblis Merah berangkat untuk mela kukan penyerbuan ke Desa Karang
Galuh sekali memeriksa benar tidaknya kalau Pendekar Gilaa di desa tersebut.
*** 7 Malam baru saja tiba dengan gelap yang menyelimuti bumi. Begitu pula keadaan di
Desa Karang Galuh, gelap bagaikan sebuah kelambu raksasa yang membentang dan
menyelimuti desa itu. Namun, lain dengan malam-malam biasa yang sepi, malam itu
Desa Karang Galuh kelihatan masih hidup. Masih banyak warga yang berlalu-lalang
di pantai. Atau di dalam desa yang terletak di pesisir laut itu.
Semenjak sore Sena, Sanjaya, dan Purnama berada di rumah Ki Praba. Seperti
biasanya, mereka duduk-duduk di bale-bale bambu di ruang tengah.
Malam itu mereka menyusun rencana untuk dapat menghancurkan Gerombolan Iblis
Merah. Namun saat itu, bukan hanya keempat orang pendekar saja.
Ada sekitar sepuluh orang warga desa ikut berbincang-bincang bersama kepala desa
mereka. "Apakah Nak Sena yakin kalau Kala Bendana akan mengirim pasukannya?" tanya Ki
Praba seperti belum yakin, kalau Kala Bendana akan mengirim pasukan.
"Aha, kurasa begitu, Ki. Dengan kematian tiga orang utusannya, Kala Bendana akan
marah," jawab Sena dengan mulut cengengesan.
"Hm, tetapi sudah malam, mereka belum datang,"
gumam Ki Praba melemparkan pandangan ke utara.
Jarak rumah Ki Praba dengan pesisir, tidak begitu jauh. Hanya sekitar seratus
tombak. "Mungkin Kala Bendana sedang mengatur siasat.
"Ya! Kurasa begitu," Purnama menimpali. "Bagaimanapun penjagaan di pesisir harus
kuat. Kita juga
harus siap jika Kala Bendana menggunakan siasat yang di luar dugaan kita. Bukan
begitu, Kakang Sena?" Kali ini Purnama menyebut kakang terhadap Pendekar Gila,
sebagai tanda hormatnya.
"Aha, kau benar, Purnama. Bisa saja Kala Bendana melakukan serangan tidak dari
laut. Mungkin saja dari arah timur, barat, ataupun selatan," jawab Pendekar Gila.
Jawaban itu membuat Ki Praba mengangguk-anggukkan kepala.
"Parlan, apakah batas desa telah dijaga ketat?"
tanya Ki Praba kepada utusannya yang bernama Parlan.
"Sudah, Ki." jawab Parlan tegas.
"Bagus! Kurasa kita memang harus waspada.
Selain licik, mereka terkenal bengis dan buas. Mereka tak segan-segan membunuh
siapa saja, tanpa mengenal belas kasihan," gumam Ki Praba.
Tiba-tiba dari arah utara seorang penduduk desa nampak berlari-lari menuju
rumah. Hal itu membu"
orang-orang yang berada di rumah kepala desa seketika menoleh kepada lelaki,
berusia sekitar tiga puluh tahun yang menuju ke tempat itu.
"Musuh datang, Ki Lurah," seru lelaki kurus ber kumis tipis itu dengan napas
tersengal-sengal.
"Hm, benar juga dugaanmu, Nak Sena. Mari, kita sambut kedatangan mereka! Parlan,
perintahkan para para penjaga batas desa untuk ke pesisir!"
perintah Praba kepada Parlan.
"Baik, Ki Lurah."
"Ah ah ah...! Kurasa malam ini kita akan pesta dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Kita harus ke pesisir. Ayo...!" ajak Ki Praba.
Mereka pun segera berlarian menuju pesisir untuk menyambut kedatangan anak buah
Gerombolan Iblis
Merah. Sedangkan Parlan, kini berlari untuk meng-hubungi rekan-rekannya yang
bertugas menjaga di perbatasan Desa Karang Galuh.
*** Dari arah utara, masih dalam jarak sekitar seratus tombak nampak sebuah perahu
berlayar menuju ke pesisir. Di dalam perahu itu, terlihat dua puluh satu orang
mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah tertutup kain ala ninja. Di punggung
mereka, bertengger pedang panjang.
"Jangan kita serang dulu, sebelum mereka turun!"
perintah Ki Praba pada warga desa yang bersembunyi di balik rerumputan tinggi
yang tumbuh di pesisir pantai. Sedangkan Sena, kini dengan tenang duduk
bertengger di sebuah cabang pohon besar.
Mata Sena terus mengawasi gerak-gerik pasukan berpakaian hitam yang masih berada
di atas perahu.
Mulutnya cengengesan, tangannya menggaruk-garuk kepala. Sengaja Sena naik ke
pohon, agar dapat memantau gerak-gerik kedua puluh satu orang yang semakin
bertambah dekat ke pesisir.
"Aha, kurasa sebentar lagi akan ada pesta besar,"
jumam Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya
kemudian memandang rerumputan yang paling dekat dengan pantai, empat Sanjaya dan
Purnama, serta Ki Praba berada. Orang-orang berpakaian serba hitam itu
berlompatan turun dari perahu, karena telah sampai di depan. Mata mereka
memandang tajam ke sekeliling tempat itu. Kemudian seorang yang berjalan di
depan menggerakkan tangan kanan, memerintah pada kedua puluh temannya agar
bergerak maju. Mereka baru saja berjalan sekitar sepuluh langkah meninggalkan perahu ketika
tiba-tiba dari semak-semak terdengar seruan Ki Praba memerintah pada warganya
untuk menyerang.
"Serang...!"
"Hea!"
"Yea!"
Dari semak-semak yang lebat, bermunculan warga desa dengan senjata terhunus
menyerang dua puluh satu manusia berpakaian hitam. Pasukan ber-selubung kain
hitam itu tersentak kaget. Lalu segera mencabuti pedang yang tersampir di pundak
masing-masing. "Serbu!" perintah Kala Hijau terdengar. Tangan-nnya bergerak memberi isyarat
agar menyerang.
Kedua puluh anak buah segera merangsek maju memapak serangan dari warga Desa
Karang Galuh. Srtttl Srttt! "Heaaa...!"
Trang! Trang! Trang!
"Heaaa...!"
Malam itu pun pertarungan seru tak dapat di-cegah. Mereka membaur dalam
persabungan nyawa yang menggariskan. Siapa yang lengah, akan menemui ajal.
Suasana di pesisir yang semula tenang dan indah seketika berubah menjadi ajang
pertarungan. Jeritan-jeritan kematian dan pekikan menyerang, terdengar membelah
kegelapan malam.
Kemarahan seluruh warga Desa Karang Galuh seperti menemukan tempat pelampiasan.
Mereka bertemu dengan sepasukan berpakaian hitam yang marah karena Tiga Mata


Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setan terbunuh.
Sena masih bertengger di atas cabang sebuah
pohon sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya terus
menyaksikan pertarungan seru itu. Digeleng-gelengkan kepalanya, seakan berusaha
membuang perasaan hatinya yang sedih. Sedih melihat nyawa-nyawa manusia harus
melayang. Sedih melihat keangkaramurkaan senantiasa datang menjarah dan
menyusahkan manusia yang tidak berdosa. Seperti yang sedang dialami warga Desa
Karang Galuh. "Jagat Dewa Batara! Sampai kapan pertumpahan darah berakhir?" gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Bantu Ki Lurah! Serang...!" dari arah timur, dua puluh warga langsung membantu
Ki Praba menghadapi pasukan yang dikirim Kala Bendana.
"Hea!"
Wrttt! Trangngng! Dentang suara benturan pedang, golok, dan keris terus terdengar memecah
keheningan malam.
Teriakan dan pekikan keras penuh kemarahan ber-baur dengan suara ombak laut.
Cras! "Akh...!"
Bersamaan jeritan itu, menggelepar sesosok tubuh manusia, terbanting di pasir.
Sesaat tubuh itu menge-ang sekarat, kemudian diam bersimbah darah.
Meski dikeroyok puluhan warga desa, nampaknya anak buah Kala Bendana tidak
gentar sedikit pun.
Mereka terus menghadang serangan dengan penuh keberanian. Pedang panjang di
tangan mereka bergerak cepat membabat dan menangkis seran golok warga desa yang
juga kalap. Pertarungan semakin seru. Seakan-akan tak ada tanda bakal berhenti.
Sementara angin laut bertiup kencang. Dingin mencekam.
"Habisi mereka...!" teriak Sanjaya dengan lantang, kemudian tubuhnya berkelebat
menghadang Kala Hijau yang sedang mengamuk sambil menebaskan pedangnya menyerang
lima warga desa yang menyerangnya,
"Aku lawanmu! Hea...!"
Dengan penuh kemarahan dan dendam, Sanjaya segera menyerang Kala Hijau. Pedang
di tangannya bergerak cepat dengan jurus 'Tapak-Tapak Dewa Air'
Gerakan pedang di tangan Sanjaya, tak ubahnya se perti air yang mengalir. Sekali
serangan gagal, tahu-tahu pedangnya telah kembali menyerang dengan tusukan dan
tebasan ke tubuh lawan. Cepat dan beruntun!
"Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! "Aits...!" Kala Hijau tersentak kaget, segera dimiringkan tubuhnya ke samping
kiri mengelak. Hal itu membuat tusukan pedang Sanjaya melesat beberapa jari di
samping kanannya. Namun belum juga Kala Hijau mengubah kedudukan, dengan cepat
Sanjaya telah mengirimkan sebuah tendangan kaki kanannya.
"Yea!"
Wrettt! "Heh"!" Kala Hijau tersentak kaget, tak menyangka kalau lawan akan menyerang
dengan tendangan! Dirinya berusaha menangkis dengan membabatkan pedang ke kaki
lawan. "Hih...!"
Wuttt! Sanjaya segera menarik kaki kanannya dengan
cepat. Kemudian menyusulkan pukulan tangan kirinya ke dada lawan secepat pedang
lawan terangkat.
"Hea!"
Degk! "Ukh...!" Kala Hijau melenguh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Matanya memandang ke sekelilingnya, berusaha mencari Pendekar Gila.
Namun tak dilihatnya Pendekar Gila berada di tempat itu.
"Hm, aku harus pergi untuk memberitahukan pada Ketua, bahwa di sini tak ada
Pendekar Gila," gumam hati Kala Hijau sambil berusaha mengelakkan serangan-
serangan Sanjaya yang cepat dan mematikan.
"Mampuslah kau, Bajingan! Hea...!" dengan di-landasi perasaan marah dan dendam,
Sanjaya terus menyerang. Pedang di tangannya menyambar-nyabar ke tubuh Kala
Hijau. Namun, dengan cepat Kala Hijau melentingkan tubuh ke atas. Kemudian
dengan lompatan ' Harimau'-nya Kala Hijau melesat menuju laut. Dan tanpa rasa
takut, Kala Hijau langsung mencebur ke laut.
Byurrr! "Hai, mau lari ke mana kau, Bajingan!" bentak Sanjaya seraya mengejar. Namun
tubuh Kala Hijau telah menghilang, tenggelam ke dalam laut. Sanjaya tak peduli,
terus memandangi laut tempat tubuh Kala Hijau tenggelam, menunggu sampai Kala
Hijau muncul. Lama sekali Sanjaya menunggu, tetapi Kala Hijau tak juga muncul ke permukaan.
Kala Hijau bagaikan tenggelam di dasar laut Merasa lawan sudah tak aka muncul
lagi, Sanjaya pun kembali berkelebat ke tempat pertempuran.
*** Pertarungan semakin seru, dengan kehadiran Sanjaya yang langsung mengganas.
Namun, pertempuran kini nampak tak seimbang lagi. Kedua puluh lawan, mulai
terdesak. Apalagi dengan kehadiran Sanjaya. Pedang di tangan pemuda berpakaian
kuning itu bagaikan haus darah. Sekali berkelebat, seketika itu pula nyawa
melayang. "Hea!"
Wrt! "Akh...!" satu orang lawan terbabat pedang Sanjaya. Perutnya terkoyak dengan
usus terburai keluar. Tubuh lelaki berpakaian hitam itu meregang.
Kemudian menggelepar-gelepar dan diam tak bernyawa.
Sanjaya dan Purnama bagaikan dua ekor banteng teriuka. Marah! Pedang di tangan
mereka, bergerak cepat dengan jurus andalan 'Sepasang Pedang Dewa Angin'. Jurus
itu sangat dahsyat, terbukti pedang di tangan kedua kakak-beradik itu bagaikan
menghilang. Yang nampak hanya kilatan-kilatan samar.
"Heaaa!"
"Yeaaa!"
Wrt! Wrttt! Dengan jurus pemungkas, Sanjaya dan Purnama terus merangsek lawan-lawannya.
Pedang mereka menebas dan menusuk sangat cepat. Sehingga sulit bagi lawan untuk
dapat mengelakkan serangan mereka.
Wrttt! Brettt! "Akh...!" kembali pedang di tangan Sanjaya meminta korban. Kali ini leher
lawannya sebagai
sasaran. Leher itu hampir putus. Darah menyembur deras. Sesaat tubuh korban
menggelepar, kemudian diam. Tewas!
Purnama pun tak mau kalah. Dengan jurus yang sama pemuda itu bergerak cepat
menusukkan pedang ke lawan-lawannya. Gerakan menusuknya sangat cepat. Sehingga
lawan tak mampu bergerak untuk mengelak.
"Hea!"
Wrttt! Blesss! "Aaakh...!" seorang lawan tertembus pedang di tangan Purnama sampai ke punggung.
Dan ketika Purnama mencabut pedangnya, saat itu pula nampak tubuh bagian dada
lawan berlubang dan menyem-burkan darah deras, membasahi sekujur tubuh. Lelaki
berpakaian hitam itu terbelalak. Tubuhnya menge-jang, kemudian ambruk mencium
tanah dan mati.
Di pihak lain, Ki Praba dan warga desa pun tak mau kalah. Mereka mengamuk dengan
ganas, men-desak lawan-lawannya.
"Bunuh semuanya..!" teriak Ki Praba.
"Habisi mereka...!" warga menyahuti dengan mengangkat senjata mereka. Salah
seorang warga membawa pentungan sepanjang lengan. Dipentung-kannya kayu itu ke
rubuh manusia berpakaian hitam dari belakang.
Pletakkk! "Aduh...!" orang itu menjerit. Pedangnya terlepas.
Kemudian tangannya langsung memegangi kepala yang pecah akibat pentungan salah
seorang warga desa. Tubuhnya berputar-putar sambil terus mendekap kepalanya yang
pecah. Darah merembes keluar bercampur otak. Tubuhnya melemas, lalu
ambruk mencium pasir pantai.
Pendekar Gila yang masih bertengger di atas cabang pohon tak mau tinggal diam.
Ketika ada salah seorang lawan melenting ke udara, dengan cepat tangannya
bergerak menyambar pakaian orang itu.
Trep! "Hi hi hi...! Mau lari ke mana, Kawan?" tanya Sena sambil cengengesan dengan
tangan kiri menggaruk-garuk kepala. Diangkatnya tubuh orang itu tinggi-tinggi.
Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam dilemparkan tubuh orang itu ke atas.
Werrr! "Wuaaa...! Tolooong...!" tubuh orang itu terlontar ke atas, kemudian menukik ke
bawah dengan cepat Kepalanya berada di bawah. Sehingga ketika sampai di tanah,
tubuh itu langsung menancap dengan kepala terbenam di tanah.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala,
menganggap kejadian itu sebuah lelucon. "Lucu...! Lucu sekali! Ada juga orang
yang main akrobat dalam pertempuran seperti ini."
Sisa pasukan berpakaian hitam yang tinggal lima orang itu, kini semakin
bertambah ketakutan. Apalagi setelah mereka tahu kalau Pendekar Gila ada di
situ. Mereka merasa telah ditipu mentah-mentah oleh Pendekar Gila, yang bersembunyi
dan bertengger di cabang pohon.
"Heaaa!"
Salah seorang dari kelima menusia berpakaian hitam itu melesa hendak menyerang
Pendekar Gila, namun ketika tubuhnya sedang melayang ke atas, Ki Praba mendadak
membabatkan pedangnya ke atas.
"Hih!"
Wrt! Cras! "Akh...!" orang yang melayang hendak menyerang Pendekar Gila seketika
terbanting. Perutnya me-nganga, tersambar pedang kepala desa itu.
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa-tawa sambil berjingkrakan seperti seekor
kera di atas pohon, "Ah ah ah, kau telah berjasa padaku, Ki."
Ki Praba hanya tersenyum melihat tingkah laku Sena yang konyol. Yang lain
bertempur, Pendekar Gila justru berjingkrakan sambil tertawa terbahak-bahak
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kalau saja yang bertingkah begitu bukan
Pendekar Gila, Kepala Desa Karang Galuh itu tentu marah dan menganggap orang itu
pengecut yang hanya berani sembunyi.
Pertarungan semakin tak seimbang. Empat orang berpakaian hitam terdesak semakin
hebat Apalagi dua di antara gerombolan itu kini harus menghadapi Sanjaya dan
Purnama yang berilmu di atas mereka.
"Hea!"
Dengan penuh amarah Sanjaya menggebrak.
Dengan jurus 'Angin Menuai Bunga' pemuda itu membabatkan pedangnya ke tubuh
lawan yang semakin kewalahan. Lawan kini bagaikan tak diberi kesempatan sedikit
pun untuk melakukan serangan.
Bahkan kini untuk mengelak pun seperti kehilangan ruang geraknya. Ke mana dia
melesat, ke situ pula pedang Sanjaya memburu. Sampai akhirnya....
"Heaaa...!"
Bret! "Akh...! pedang Sanjaya kembali memakan korban.
Tubuh lawan sesaat menggelepar dengan perut mem-burai. Kemudian diam tak
bernyawa. Bersamaan dengan itu pula, Purnama pun menusukkan pedang-
nya ke leher lawan.
"Hea!"
Suiiit! Bret! "Akh...!"
Leher lawan pun seketika tertembus pedang Purnama, hingga hampir putus. Dalam
sekejap saja, kini anak buah Kala Bendana habis tak tersisa lagi.
Warga Desa Karang Galuh bersorak-sorai penuh kemenangan, meski pengorbanan di
pihak mereka tidak sedikit
"Hidup Ki Praba...!"
"Hidup dua pendekar bersaudara...!"
"Hidup Desa Karang Galuh...!"
Warga desa segera mengangkat tubuh Ki Praba, dan membawanya ke desa. Mereka
bagaikan melupakan apa yang baru saja terjadi, bahkan melupakan korban-korban
yang bergeletakan ke pasir pantai.
Warga desa terus mengarak kepala desa mereka berkeliling desa dengan penuh
kegembiraan. *** 8 Kala Hijau yang luput dari kematian setelah bertarung melawan warga Desa Karang
Galuh, dengan ilmu
'Katak'-nya berhasil mencapai Pulau Neraka. Namun begitu, dadanya terasa sakit
akibat pukulan Sanjaya.
Dengan sisa-sisa tenaganya Kala Bendana terus berusaha menuju Pulau Neraka,
tempat markasnya berada.
"Ukh! Sakit sekali dadaku," keluh Kala Hijau sambil terus berenang.
"Hai"! Kala Hijau, kaukah itu..."!" terdengar suara Kala Kuning berseru.
"Ukh! Tolong aku, Kuning," pinta Kala Hijau sambil menggapai-gapaikan tangan
kanannya. Kala Kuning yang saat itu sedang jaga bersama Kala Merah dan Kala Biru segera
mendekat dan menolong Kala Hijau. Mereka memapah tubuh Kala Hijau yang lemas ke
darat Kemudian ketiganya mengantar Kala Hijau menemui pimpinan mereka, di dalam
markas. Saat itu Kala Bendana tengah merenung seorang diri, menunggu kedatangan salah
seorang anak buahnya. Dirinya terkejut, ketika Kala Hijau dengan dipapah tiga
temannya datang menghadap.
"Kala Hijau, kau telah pulang. Bagaimana keadaan di Desa Karang Galuh...?" tanya
Kala Bendana. "Ampun, Ketua. Di sana tak ada Pendekar Gila.
Yang ada hanya Sanjaya dan Purnama. Namun begitu, ternyata ilmu silat Sanjaya
dan Purnama sangat tinggi. Entah bagaimana nasib kedua puluh
rekan hamba," Kala Hijau melaporkan sambil meringis-ringis menahan rasa sakit di
dadanya. "Apakah kau yakin, di sana tak ada Pendekar Gila?" tiba-tiba dari dalam muncul
Braga Kunta diikuti Purba Kelakon.
"Yakin, Ketua. Hamba telah berusaha mencari Pendekar Gila, tapi memang tak ada;"
ujar Kala Hijau meyakinkan.
"Hm...!" gumam Braga Kunta tak jelas. Diangguk-anggukkan kepalanya, seperti
percaya. Namun kemudian menggeleng-geleng dengan bibir mengurai senyum, "Aku tak
percaya, Kala Hijau. Betapapun kehebatan Sanjaya dan Purnama, mereka tak akan
mungkin dapat mengalahkan Tiga Mata Setan!"
ujarnya dengan sinis.
"Tapi, Ketua...!"
"Kau tak tahu, kalau Pendekar Gila mungkin sengaja sembunyi, dengan harapan
dapat memancing kami," ujar Purba Kelakon dengan senyum sinis mengembang di
bibirnya. Kepalanya menggeleng-geleng, tak percaya.
"Jelas, Pendekar Gila memang menantang kami!"
timpal Braga Kunta dengan suara penuh ketegasan.
"Kita harus ke sana! Masak menghadapi Pendekar Gila kita akan kalah"!" dengus
Kala Bendana tak sabar. Ingin rasanya Kala Bendana segera berangkat ke Desa
Karang Galuh, untuk bertemu dengan Pendekar Gila. Dirinya memang belum pernah
bertemu dengan Pendekar Gila. Sehingga ingin menjajaki sampai sejauh mana ilmu
silat pendekar muda, yang namanya sangat kesohor itu.
"Sabar, Kakang! Kita...."
Belum selesai Braga Kunta berkata, Kala Bendana telah menukasnya dengan cepat.
"Braga Kunta, sejak kapan kau menjadi pengecut, heh"! Kalau kau takut menghadapi
Pendekar Gila, biar aku sendiri yang menghadapinya! Kau dan Kakang Purba Kelakon
menghadapi Ki Praba dengan dua orang cecunguknya!" sentak Kala Bendana keras dan
tajam. Sehingga Braga Kunta tak dapat berkata-kata, untuk membantah. Dirinya
tahu bagaimana sifat kakak seperguruannya. Jika sudah menentukan, maka tak ada
yang bakal mampu menghalanginya.
"Aku tak takut, Kakang!"
"Kalau begitu, kita segera ke sana!"
"Malam ini juga...?" tanya Purba Kelakon.
"Ya! Malam ini juga."
Malam itu juga, Kala Bendana dan sepuluh anak buahnya berangkat ke Desa Karang
Galuh untuk melakukan penyerbuan kedua. Kala Bendana tak sabar lagi untuk segera


Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyingkirkan Ki Praba dan dua kakak-beradik Sanjaya dan Purnama. Dengan
menggunakan perahu, mereka pun berangkat menyeberangi laut menuju selatan.
*** Di rumah Kepala Desa Karang Galuh, malam itu penduduk desa nampak berkumpul.
Setelah kemenangan atas pertarungan melawan anak buah Kala Bendana, mereka
hendak melakukan syukuran.
Mereka sibuk dengan kegiatan di rumah Ki Praba.
Acara syukuran atas kemenangan mereka bertarung melawan anak buah Kala Bendana
baru saja hampir dilakukan. Namun ketika Ki Praba hendak membaca doa tiba....
"Tolooong...! Tolooong...!"
Dari arah barat, terdengar jeritan ketakutan
seorang wanita. Hal itu membuat semua orang yang berkumpul di rumah Ki Praba
tersentak kaget.
Serentak mereka saling pandang, kemudian bangkit dan segera berhamburan keluar.
Di sebelah barat nampak api berkobar-kobar.
Sepertinya tengah terjadi kebakaran. Dari arah yang sama, beberapa orang wanita
berlarian menuju rumah kepala desa.
"Aha, kurasa itu bukan kebakaran biasa, Ki," ujar Sena dengan mata menyipit
serta kening mengerut Firasatnya sebagai seorang pendekar, mengatakan bahwa
kebakaran di sebelah barat Desa Karang Galuh, bukan kebakaran biasa. Pasti ada
yang sengaja membakar. Telinganya yang tajam, mendengar suara gelak tawa
seseorang yang bersuara besar dan keras di tempat kebakaran itu.
"Maksudmu?" tanya Ki Lurah Praba.
"Apakah Kala Bendana memiliki suara berat dan keras?" Pendekar Gila balik
bertanya. "Benar," sahut Sanjaya.
"Aha, kalau begitu mereka datang, Ki Lurah!"
"Kala Bendana..."!" hampir semua tersentak kaget mendengar, ucapan Sena.
"Benar! Kala Bendana datang," jawab Sena tegas.
Mereka semakin tersentak kaget, ketika lima orang wanita yang berlari menuju
rumah Ki Lurah berteriak-teriak menyebut nama Kala Bendana.
"Tolong, Ki Lurah! Kala Bendana mengamuk, mencari Ki Lurah dan Pendekar
Gila...!" salah seorang dari wanita penduduk Desa Karang Galuh menuturkan dengan
wajah cemas. "Hm, mengapa tak langsung ke rumahku saja?"
gumam Ki Lurah Praba.
"Mereka membakari rumah, memperkosa anak
kami," tutur yang lain.
"Aha, jelas ini tak bisa didiamkan, Ki. Aku akan ke sana," ujar Sena. Kemudian
sebelum Ki Praba sempat berkata, tubuhnya telah melesat laksana terbang
menghilang di kegelapan malam.
"Kita harus membantunya! Ayo...!" ajak Ki Praba.
Kini semua bergerak menuju tempat kobaran api kebakaran.
*** Kala Bendana dan anak buahnya benar-benar
melampiaskan kemarahan dengan membakar rumah-rumah penduduk. Menyeret anak
gadis, kemudian dengan biadab memperkosa di tempat terbuka, disaksikan anak
buahnya. "Hua ha ha...!" Kala Bendana tertawa terbahak-bahak setelah melampiaskan nafsu
setannya pada seorang gadis. "Mana Pendekar Gila, hadapi aku!
Lihat Pendekar Gila, aku Kala Bendana telah datang menantangmu! Keluarlah kau,
Pangecut."
Braga Kunta saudara seperguruannya hanya mampu menghela napas panjang mendengar
seruan Kala Bendana yang sangat keterlaluan. Bagaimana pun, Braga Kunta merasa
kalau kakak seperguruannya terlalu sombong dan takabur. Apalagi dengan
memperkosa gadis, yang merupakan pantangan baginya. Namun Kala Bendana nampaknya
tak peduli. Keangkuhan dan kesombongannya, telah membuat Kala Bendana merasa, di
dunia ini tak ada yang sakti, kecu
"Ayo, keluarlah Pendekar Gila, Pengecut! Hua ha ha...! Rupanya Pendekar Gila
hanya seekor kecoa busuk yang pengecut dan penakut! Hua ha ha...!"
Kala Bendana tertawa terbahak-bahak disertai dengan ejakan dan hinaan yang
ditujukan pada Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Lucu sekali..., lucu sekali! Ada babi tolol yang berteriak di
tengah malam!"
Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari kejauhan.
Hal itu membuat Kala Bendana dan para anak buahnya tersentak kaget. Suara itu
dirasakan begitu keras hingga memekakkan telinga yang mendengar.
"Pendekar Gila...!" seru Braga Kunta yang merasa yakin kalau suara itu milik
Pendekar Gila. "Cuih! Kalau kau benar Pendekar Gila, keluarlah!"
tantang Kala Bendana, "Apa kau tak melihat, aku memperkosa gadis! Kalau kau
memang berani, hadapi aku!" teriaknya dengan suara lantang.
"Aku di sini, Babi Tolol. Hi hi hi...!"
Kala Bendana dan anak buahnya semakin
terperanjat. Mata mereka terbelalak ketika entah dari mana, tiba-tiba Pendekar
Gila telah berdiri di belakang Kala Bendana berjarak sekitar tiga tombak.
Tingkahnya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan.
Dilihat dari cara keluar dan kemunculannya yang tiba-tiba dan tak diketahui,
seharusnya Kala Bendana menyadari kalau ilmu pemuda bertingkah laku gila itu
tinggi. Namun, kesombongan dan kecongkakan, telah menyebabkan Kala Bendana tak
mau membuka mata. Bahkan dia semakin bertambah angkuh.
"Hm, jadi kau Pendekar Gila itu"!" bentak Kala Bendana dengan mata membelalak
tajam pada Pendekar Gila.
Wajah Pendekar Gila pun telah berubah merah.
Hal itu sebagai tanda kalau hatinya telah marah, menyaksikan semua tindakan Kala
Bendana yang sangat biadab. "Ya! Aku Pendekar Gila," jawab Sena dengan tegas. Meski masih cengengesan,
wajahnya yang merah membara tak dapat menyembunyikan
kemarahan. "Percuma kau memiliki ilmu setinggi langit, Kala Bendana, kalau
kesombongan dan keangkaramurkaan tak dapat kau atasi!"
"Cuih! Lancang sekali kau berani mengguruiku, Bocah Edan!" bentak Kala Bendana,
tak menaruh rasa takut sedikit pun pada Pendekar Gila yang sudah memuncak
amarahnya. "Hm, jadi kau tak mau sadar, Kala Bendana"!"
"Phuih...! Lagakmu seperti seorang resi! Hadapi aku, jangan banyak mulut! Akan
kukirim kau ke akherat sana! Dan di sana kau boleh mengajar para dedemit! Hua ha
ha...!" ejek Kala Bendana yang semakin membuat Pendekar Gila bertambah marah.
"Aku layani tantanganmu, Kala Bendana!
Waspadalah!"
Baik Kala Bendana maupun Pendekar Gila kini menyurut mundur tiga tindak. Semua
orang yang ada di situ, kini membentuk lingkaran. Mereka yang semula hendak
bertarung, kini hanya menjadi penonton. Mereka semua hendak menyaksikan duel
Kala Bendana melawan Pendekar Gila.
"Bersiaplah untuk mampus, Bocah Edan! Hea...!"
Kala Bendana langsung menggebrak dengan jurus andalannya 'Serigala Iblis
Merangsek Rusa'. Tangannya mencengkeram ke sana kemari. Namun dengan enteng
Pendekar Gila berkelit. Tubuhnya meliuk-iiui sana menari, disertai dengan
pukulan telapak tangan.
"Hea!"
Plakkk! "Ukh!"
Tubuh Kala .Bendana yang gendut besar itu terhuyung-huyung ke belakang, terkena
pukulan telapak tangan Pendekar Gila. Matanya terbelalak kaget Hampir tak
percaya kalau pemuda bertingkah laku gila itu dalam segebrakan saja mampu
menghantam-kan pukulan aneh ke dadanya.
"Cuih! Jangan dikira kau akan menang melawanku, Bocah Edan! Terimalah ajian
'Lumpur Maut'- ku. Hea...!"
Zrttt! "Aits!" dengan cepat Pendekar Gila melentingkan tubuh ke atas untuk mengelak.
Namun Kala Bendana tak mau membiarkan Pendekar Gila lepas dari ajian mautnya.
Lelaki bertubuh gendut itu mencecar dengan ajian 'Lumpur Maut'-nya.
"Hea!"
Zrttt! Zrttts! "Aits!" Pendekar Gila melompat dan berjumpalitan mengelakkan hantaman ajian maut
itu. Sehingga serangan itu menerjang sebatang pohon. Aneh!
Pohon yang terhantam ajian itu seketika mengecil dan semakin kecil sampai
akhirnya hilang. "Demi setan! Aku tak bisa terus begini!" dengusnya.
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Saktinya, kemudian dengan cepat
dibabatkan tepat pada ajian 'Lumpur Maut' yang meluncur mem-burunya.
Zrttt! Wrt! 'Lumpur Maut' itu seketika berbalik ke pemiliknya.
Kala Bendana tersentak kaget Dengan mata terbelalak dirinya berusaha menghindar.
Kala Bendana sungguh tak menyangka akan mendapat serangan balik dari ajiannya.
Tanpa ampun lagi,
tubuhnya harus menjadi sasaran ajiannya sendiri.
Zrttt! "Tobaaat...!" Kala Bendana menjerit setinggi langit dan berusaha melepaskan diri
dari lumpur mautnya.
Namun, lumpur hitam itu telah menggulungnya.
Kejadian aneh pun terjadi. Tubuh Kala Bendana semakin lama semakin kecil dan
akhirnya hilang bersama lumpur maut itu.
Melihat pimpinan mereka mati, para anak buah Kala Bendana pun segera menyerah.
Bahkan Braga Kunta yang mendahului menyerah bersama Purba Kelakon.
Mereka digiring ke balai desa, untuk mendapat hukuman yang setimpal.
Pagi telah datang, ketika Pendekar Gila meminta izin untuk meneruskan
perjalanannya mengembara.
Ki Praba, Purnama, dan Sanjaya serta warga Desa Karang Galuh berusaha mencegah.
Namun akhirnya mereka melepas juga kepergian Pendekar Gila.
Mereka memahami tanggung jawab yang diemban Pendekar Gila sebagai penegak dan
pembela kebenaran....
SELESAI Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Setan Harpa 6 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pedang Inti Es 4
^