Pencarian

Kemelut Di Karang Galuh 2

Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh Bagian 2


kemudian direntangkan lebar-lebar dengan paksa. Kedua tangannya direntang pula,
lalu diikat di tanah. Lestari berusaha
memberotak, tapi sia-sia. Sambil menjinjing bayi, lelaki muda berpakaian hitam
melangkah dengan pongah mendekati tubuh Lestari yang sudah terikat di tanah itu.
Kedua anak buahnya memegangi kaki Lestari. Lelaki juling yang dilukai Lestari
memegangi kedua tangan wanita itu sambil menjulurkan lidah, serta mengancam
Lestari dengan tombaknya.
"Lepaskan! Lepaskan...! Tolooong, tolooong...!"
teriakan Lestari tak ada yang mendengar. Karena tempat itu sangat terpencil dari
desa mana pun. Akhirnya wanita malang itu hanya menerima kenyataan yang sangat menyedihkan.
Lelaki muda itu menyetubuhi Lestari sepuas-puas hatinya. Setelah puas, ketiga
anak buahnya pun diberi kesempatan menikmati secara bergantian.
Sampai akhirnya Lestari pingsan. Dengan darah terus mengucur dari kedua
selangkangan. Setelah itu Lestari dilepas begitu saja. Dan bayi yang tak berdosa itu ditaruh
di dekat ibunya yang tak berdaya. Namun, entah dari mana Lestari mendapatkan
kekuatan, tubuhnya menggeliat bangkit lalu menyerang salah seorang berpakaian
hijau dengan menusukkan golok yang sempat dipungut di tanah.
Jrabs! "Aaa...!"
Tusukan Lestari yang sepenuh tenaga itu tembus ke dada lelaki itu. Ambruklah
tubuh lelaki berpakaian hijau itu. Namun, ketika Lestari hendak membabatkan
pedang lagi, tiba-tiba sebuah pukulan keras mendarat di dadanya.
"Akh...!"
Lestari terpekik keras dan tubuhnya langsung roboh ke belakang. Dan menindih
bayinya! Kontan bayi itu mati.
Melihat Lestari mati bersama bayinya, lelaki muda itu memerintahkan anak buahnya
agar segera pergi.
"Ayo, kita segera kembali ke seberang! Tapi kita perlu mengambil hadiah
pekerjaan ini. Lalu kita habisi sekalian tumenggung bodoh itu...!" perintah
lelaki muda bertampang culas itu.
"Ya...! Kita habisi Tumenggung Kalisewu itu bersama seluruh anak buahnya. Kita
kuras harta mereka! Ha ha ha...!" sahut si juling dengan tertawa terbahak-bahak.
Dengan cepat mereka meninggalkan tempat itu.
Ki Kerta yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu, tak mampu berbuat apa-apa.
Sekujur tubuhnya gemetaran. Rasanya tak kuat berdiri.
Sementara itu langit makin gelap, awan hitam bergulung bagai ombak laut. Dan
sebentar-sebentar geledek dan petir menyambar. Seakan langit akan runtuh! Angin
pun bertiup sangat kencang. Hingga pondok Lestari dan lainnya bagai hendak roboh
terkena tiupan angin yang sangat kencang itu.
Ki Kerta masih saja bersembunyi di tempatnya, dengan tubuh gemetaran. Matanya
menatap mayat Lestari yang tertelungkup di tanah menindih bayinya.
Ki Kerta berusaha berdiri, tapi terasa berat. Mungkin karena rasa takut yang
berlebihan, serta kesedihan melihat kejadian mengenaskan dan biadab tadi.
Kembali petir menyambar, diiringi suara guntur mengelegar. Awan hitam berarak-
arakan tertiup angin semakin menambah suasana yang mencekam saat itu.
Dari arah barat tampak dua lelaki memanggul kayu bakar berjalan menuju rumah
Lestari. Kedua orang itu tak lain Sanjaya dan Purnama. Wajah mereka nampak
kelelahan. Keringat membasahi
kening dan mukanya, walaupun udara saat itu dingin karena hembusan angin yang
kencang. Ketika Purnama dan Sanjaya memasuki pagar halaman rumah, mereka tersentak kaget
bukan kepalang. Sanjaya menatap tubuh wanita yang begitu dikenalnya tertelungkup
dengan darah di bagian perut.
"Lestari...! Tari..."!" teriak Sanjaya setelah sadar kalau yang dilihat ternyata
istrinya. Dengan gemetaran Sanjaya membalikkan tubuh Lestari yang telah mati. Dan...
"Hah..."! Anakku, anakku..."!" Sanjaya makin membelalakkan mata ketika melihat
bayinya telah mati tertindih tubuh Lestari.
"Hah..."! Setan, Iblis siapa yang berani berbuat semua ini! Aaahhh...! Oh,
Gusti! Gusti...! Kenapa tidak diriku saja yang menjadi korban kebiadapan manusia
itu...! Keluar kau Iblis, dedemit...! Ayo hadapi akuuu..., keluaaar...!"
Sanjaya berteriak-teriak karena marah, jengkel, menyesal, dan kecewa. Bagai
orang gila, lari ke sana kemari dengan memegang golok terhunus. Purnama berusaha
mencegahnya. Namun justru dipukul dan ditendangnya.
"Sabar, Kang! Sabarlah...!" Purnama coba menenangkan kakaknya. Namun Sanjaya
tetap saja ngamuk, semua yang ada di depannya ditendang dan dihancurkan. Matanya
merah bagai banteng marah.
Giginya beradu, bergemeretakan. Dadanya naik turun dengan cepat. Menandakan
lelaki itu sangat marah.
Saat itu muncul Ki Kerta dari balik semak-semak.
"Nak Purnama... tolong! Tolooong saya..., Nak Purnama...!" seru Ki Kerta yang
berusaha berdiri, tapi jatuh lagi. Purnama menoleh ke asal suara panggilan
itu, setelah mencari sebentar, muncul kembali kepala Ki Kerta dari balik semak-
semak. "Hah"! Ki Kerta..."!" pekik Purnama lirih, lalu melompat.
Dalam sekejap Purnama telah sampai di dekat Ki Kerta. Purnama segera menggotong
Ki Kerta. Sementara itu Sanjaya masih mengamuk. Setelah hujan mulai turun, barulah Sanjaya
agak sadar. Dirinya berlutut di dekat mayat Lestari. Dipeluknya tubuh Lestari
lalu digendongnya sang Bayi yang tak berdosa itu. Sungguh hancur hati dan
perasaan Sanjaya. Di-ciuminya pipi bayi itu berulang-ulang.
"Oh, Gusti..., tunjukkan siapa yang melakukan semua ini! Aku harus membuat
pembalasan...! Oh, anakku! Maafkan ayahmu...!" Sanjaya memeluk bayinya penuh kasih sayang dan kembali menciumi.
Purnama yang telah membawa masuk Ki Kerta ke pondok, kembali keluar menghampiri
Sanjaya. Kakinya ikut berjongkok, memandangi kakaknya dengan perasaan iba.
"Kang, sebaiknya Mbakyu Lestari kita bawa masuk! Kasihan dia...," ucap Purnama
kemudian dengan suara pelahan.
Sanjaya tak menjawab dan tidak menoleh sedikit pun. Lelaki yang malang itu terus
saja menciumi bayinya. Lalu memandangi mayat istrinya yang cantik dan berhati
mulia itu. "Kalau saja aku tak membawanya pergi..., tak mungkin semua ini terjadi! Aku
telah berdosa,"
gumam Sanjaya lirih sekali.
Hujan semakin deras. Petir menyambar, menambah suasana makin keruh dan mencekam.
Langit semakin gelap oleh awan hitam yang bergayut.
Segelap hati Sanjaya saat itu.
"Kang, kasihan istrimu. Hujan semakin deras...,"
ajar Purnama lagi. Namun Sanjaya tetap diam, hanya memandangi wajah istrinya
yang telah menjadi mayat itu. Purnama yang merasa tak tahan melihat mayat kakak
iparnya tergeletak dan basah diguyur hujan, segera mengangkatnya. Dibawanya
tubuh basah berlumur darah itu ke dalam pondoknya.
Sanjaya rupanya kaget dan sadar. Dengan meng-gendong mayat bayinya, Sanjaya pun
berdiri dan melangkah pelahan ke pondoknya. Sehari setelah penguburan Lestari,
Sanjaya suka menyendiri. Setiap hari duduk melamun di makam istrinya. Nafsu
makannya berkurang, tidak mau kerja lagi kecuali termenung dan menyendiri.
Keadaan seperti itu berjalan hampir sebulan. Untung Ki Praba datang ketika
mendengar peristiwa itu.
"Jaya..., sebaiknya kau lupakan peristiwa itu! Kalau terus-menerus begini tak
akan ada habisnya," nasihat Ki Praba dengan nada berat. "Sekarang, sebaiknya kau
mulai memperdalam ilmu silatmu. Untuk membalas dendammu demi istri dan anakmu,"
lanjut Ki Praba.
Sanjaya yang masih duduk bersila di atas potongan batang pohon besar di dalam
pondoknya hanya menghela napas panjang.
"Menurut keterangan Ki Kerta, sebelum mereka pergi menyebutkan kata ke seberang.
Dan menyebut juga Tumenggung Kalisewu, orangtua istri kakakmu bukan begitu
Purnama"!" tanya Ki Praba sambil menoleh ke Purnama.
"Benar, Ki," jawab Purnama perlahan sambil mengangguk.
"Jelas sudah. Setelah aku mendengar berita itu
aku dan beberapa penduduk desa menyelidiki keadaan Ketumenggungan Kalisewu.
Ternyata Ketumenggungan Kalisewu telah musnah porak poranda. Pangeran Cakra dan
Tumenggung Rogo Kusuma, ayah Lestari mati terbunuh!" tutur Ki Praba tegas.
"Hah"! Mati...?" gumam Sanjaya kaget dan tak mengerti. Matanya terbelalak
menatap Ki Praba dan Purnama bergantian. Dengan kening berkerut mulutnya terbuka
sepertinya ingin menanyakan sesuatu, tapi tak bisa keluar suaranya.
"Kau tentu heran, dan bertanya siapa pembunuh itu, bukan?" ujar Ki Praba tiba-
tiba, "Pembunuhnya tak lain orang yang dibayar oleh orangtua Lestari untuk
membunuhmu!" sambung Ki Praba.
Sanjaya kembali terkejut, matanya terbelalak lebar. Dadanya naik turun dengan
cepat, menahan amarah. Dirinya masih belum bisa mengeluarkan kata-kata.
"Tapi karena kau tak ada, dan melihat istrimu yang cantik itu. Manusia-manusia
biadab itu membunuh Lestari setelah menggauli Lestari," sejenak Ki Praba
menghentikan kata-katanya. Lelaki itu tahu kalau hati Sanjaya sedang menahan
marah dan dendam yang amat besar.
"Dan Lestari yang juga sudah kuanggap sebagai anakku akhirnya menemui ajalnya.
Karena ia kena pukulan lelaki itu, setelah Lestari berhasil membunuh salah satu
dari mereka...!" ucap Ki Praba lagi mengakhirinya.
"Siapa lelaki itu, Ki?" tanya Sanjaya dengan suara bergetar.
Ki Praba tak segera menjawab. Lelaki itu menatap sejenak wajah Sanjaya. Kemudian
mengalihkan pandangan ke tempat lain seraya menghela napas panjang.
"Beruk Ireng! Salah satu dari tiga bersaudara dalam kelompok Serigala Hitam!
Rupanya orang-orang yang dibayar oleh Tumenggung Rogo Kusuma, mertuamu itu
berkhianat! Mereka menghancurkan ketumenggungan itu dengan licik dan keji...."
"Beruk Ireng!" Sanjaya geram. Giginya bergemeretak. Sedang matanya membeliak
tajam. Jemari tangannya mengepal kuat, seakan menahan amarah yang menggelegak.
*** 4 Selesai bercerita panjang lebar, Purnama lalu bergerak turun dari bale-bale.
Kemudian melangkah mendekati tiang penyangga rumah bilik itu. Kedua tangannya
dilipat di dadanya. Matanya menatap jauh kegelapan malam. Ditariknya napas
dalam-dalam. Seakan-akan hatinya kembali sedih teringat peristiwa lima tahun silam.
Sena manggut-manggut, lalu menggaruk-garuk kepalanya.
"Ah mengharukan.... Lalu bagaimana nasib dan kelanjutan Ketumenggungan
Kalisewu...?" tanya Sena lagi.
Purnama menoleh ke wajah Sena, lalu kembali memandang ke depan.
"Ketumenggungan itu dikuasai kelompok Serigala Hitam bersaudara. Karena dendam
kami yang membara. Maka aku dan Kakang Sanjaya, dibantu penduduk desa, melawan
mereka. Kami serang mereka ketika tengah mengadakan pesta gila!
Tengah malam, Ketika mereka mabuk dan tertidur karena minuman tuak, kami
menyerang. Dengan mudah kami dapat membasmi manusia-manusia pengkhianat dan
pemeras itu. Beruk Ireng yang terbangun mendengar ribut-ribut, keluar dari
sebuah kamar dalam keadaan mabuk. Dan Kakang Sanjaya yang melihatnya tak
memberikan kesempatan!
Dihabisi si Beruk Ireng dengan memenggal kepalanya. Kemudian tubuhnya dicincang.
Habis...!"
Purnama menghentikan kata-katanya sejenak,
ditariknya napas panjang. "Kalau saja Beruk Ireng dalam keadaan sadar, tak
mungkin Kakang Sanjaya dapat mengalahkannya. Sebab ilmu Beruk Ireng cukup
tinggi! Namun sayang, kami tak dapat menemukan Raden Kumbara dan saudara
tertuanya, yaitu Kala Bendana! Ilmunya sangat tinggi. Dan dialah dalang semua
kejahatan ini!"
"Jadi sejak itu mereka lalu mencari tempat di seberang" Atau...," tanya Sena
ingin tahu. "Ya. Mereka tinggal di pulau seberang sana. Dan orang-orang rimba persilatan
menjuluki dengan nama Pulau Neraka," jawab Purnama.
"Tapi bagaimana tadi dia mendapatkan kereta kuda dan beberapa kuda" Dan kenapa
Raden Kumbara tiba-tiba muncul dengan sengaja memancing kekeruhan lagi"!" tanya
Sena. Mendengar pertanyaan Sena, Purnama jadi berpikir. Dirinya sendiri merasa agak
aneh. Lalu Purnama menoleh ke wajah Sena dan melangkah ke bale-bale lagi, lalu
duduk di pinggirnya.
"Aku sendiri masih mencari-cari jawabannya,"
sahut Purnama dengan nada datar.
"Dan aku heran, mengapa baru sekarang mereka membalas dendam itu. Semestinya
kalau mereka memang orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, akan segera
membalas kalian!" ujar Sena mencoba memberi pendapat pada Purnama.
Purnama manggut-manggut sambil memegang keningnya. Pemuda itu masih berpikir
keras. "Mungkinkah mereka menyusun kekuatan! Karena semua antek-anteknya telah kami
habisi. Tinggal Raden Kumbara dan Kala Bendana yang saat itu tak kami temukan.
Sebenarnya mereka tak memiliki ilmu silat yang tinggi. Hanya keberanian dan
kelicikan yang membuat mereka disegani dan dianggap jago di rimba persilatan...!" ujar Purnama
setelah mendapatkan jawaban dan dugaan. Purnama kembali berdiri dan mondar-
mandir dengan kedua tangannya di belakang. Kepalanya tertunduk menatapi lantai
tanah. "Aha! Pendapatmu agak masuk akal. Tapi kita harus tetap waspada. Dan perlu aku
beritahukan, kemarin malam ketika aku hendak memasuki Desa Karang Galuh ini, aku
dicegat dua manusia yang mirip kera! Apakah mereka itu orang Serigala Hitam...?"
tanya Sena. Mendengar keterangan Sena, Purnama merasa kaget. Segera dibalikkan tubuhnya
menghadap ke Sena. Matanya menatap wajah Sena seakan menyelidik. Lalu kembali
membuang muka dan mondar-mandir.
Melihat sikap Purnama, Sena tercenung. Keningnya tampak terkemyit, dan
menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan. Kemudian cengar-cengir sendiri.
"Apakah pertanyaanku tadi menyinggung perasa-annya" Atau...," gumam Sena lirih.
Sambil terus menggaruk-garuk kepalanya.
Pada saat itu keluarlah Ki Praba dari dalam rumah.
"Rupanya kalian berdua sangat akrab. Apa yang sedang kalian obrolkan...?" tanya
Ki Praba seraya tersenyum.
"Kami hanya bercerita tentang masa lalu, Ki.
Untuk menghilangkan kantuk. Sebab kita harus berjaga-jaga. Siapa tahu orang-
orang Serigala Hitam menyerang kita," jawab Purnama sambil menundukkan kepala.
Purnama maupun Sanjaya sangat meng-
hargai kepala desa yang telah dianggap orangtua mereka.
Mendengar jawaban Purnama, Ki Praba hanya manggut-manggut sambil memegangi
jenggotnya. "Bagus! Malam ini memang terasa panjang bagi kita. Seakan tak akan berganti
pagi. Ini semua merupakan cobaan dan ujian bagi kita semua. Benar kan, Nak
Sena...?" tanya Ki Praba kemudian. Matanya menatap Sena.
"Benar, Ki," jawab Sena singkat. Ki Praba tersenyum. Lalu kembali masuk ke
rumahnya. Kali ini Purnama yang mengikutinya.
"Sebentar aku ambilkan minum di dalam...!" kata Purnama pada Sena yang masih
duduk bersila di bale-bale. Sena hanya menganggukkan kepala.
"Kenapa Purnama tampak terkejut dan gelisah ketika aku tanya tentang kedua
manusia kera?" kata Sena dalam hati. "Ada apa sebenarnya" Atau...?"
Sena lalu kembali cengengesan sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala.
*** Malam terlewati tanpa kejadian apa-apa. Suasana di Desa Karang Galuh tampak sepi
dan sunyi. Tak seperti hari-hari sebelum kejadian penculikan Ranti anak Nyi
Karti. Sore harinya ketika penduduk tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ki
Praba, Sena, Sanjaya, dan Purnama tengah terlibat dalam perbincangan di serambi
depan rumah kepala desa itu.
Tiba-tiba terdengar derap kaki-kaki kuda memasuki Desa Karang Galuh. Sepuluh
orang penunggang kuda, lengkap dengan senjata tombak
menggebah kuda mereka memasuki mulut desa.
Pakaian mereka beraneka ragam. Ada yang coklat, hitam, merah, hijau, dan abu-
abu! Tampang mereka yang tampak garang terhias kumis tebal. Semua mengenakan
ikat kepala berwarna-warni.
Ketika memasuki desa, sepuluh orang berkuda itu berpencar. Dengan teriakan-
teriakan keras mereka mengobrak-abrik rumah para penduduk! Melukai orang yang
berlarian ketakutan. Mereka tak segan-segan membabat dan menusuk, serta
memukulkan tombak masing-masing ke tubuh penduduk desa yang berpapasan. Tak
peduli lelaki atau perempuan.


Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan bengis mereka dibunuh dan dilukai.
Jeitan dan teriakan orang-orang desa didengar Ki Praba, Sena, dan Purnama.
Keempat orang itu terkejut. Namun Sena tampak lebih tenang. Sena tak segera
bangkit. Bahkan justru menggaruk-garuk kepalanya seperti merasa gatal.
Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama melesat keluar dari serambi rumah.
Crak! Crak! "Aaa...!"
"Ukh...!"
"Tolooong...! Tolooong...!"
Teriakan dan jeritan kematian terdengar di sana-sini. Dan orang-orang berkuda
itu seperti kesetanan, tanpa belas kasihan sedikit pun. Mereka terus memporak-
porandakan desa itu.
"Heaaa...!"
Sanjaya dan Purnama segera melompat sambil bersalto ke tempat orang-orang
berkuda. Sanjaya dan Purnama menghadang mereka sambil membabatkan goloknya
dengan geram dan ganas!
Crakkk! Jrabs! "Aaakh...!"
"Ukh...!"
Dua orang dari gerombolan itu terpelanting dari punggung kuda ketika golok
Sanjaya dan Purnama membabat perut mereka. Kedua kakak-beradik itu kemudian
berpencar, sama-sama menghadapi lawan.
Ketika Sanjaya sedang bertarung dan berhasil menjatuhkan salah seorang dari
kuda, tiba-tiba dari belakang, seorang lawan yang lain melarikan kudanya dengan
kencang. Tampaknya lelaki bersenjata tombak itu hendak menerjang Sanjaya.
"Heaaa...!"
Namun belum sempat orang berkuda itu menerjang dan menusukkan tombaknya tahu-
tahu terpekik keras. Tubuhnya terjungkal dengan kepala pecah membentur tanah.
Sanjaya yang baru sadar, menoleh cepat. Dilihatnya orang itu sudah mati. Lalu
dengan cepat lelaki muda berpakaian serba kuning itu menghadapi lawannya yang
sudah terluka sabetan goloknya.
"Manusia macam kalian ini mesti mampus...!"
dengus Sanjaya. Dengan geram orang kepercayaan kepala desa itu melesat
menyerang. Tombak dan golok saling beradu.
Trang! Trang! Trang!
Dukkk! "Ukh...!"
Orang itu terpekik ketika tinju Sanjaya mendarat telak dirusuknya. Seketika
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut meringis kesakitan. Sanjaya
tak ingin memberi kesempatan pada lawannya. Tangannya kembali membabatkan
goloknya dengan sekuat tenaga.
Jrab! Jrabs! Perut dan leher penjahat itu hampir putus! Darah segar muncrat membasahi sekujur
tubuhnya yang telah terkapar tak bernyawa. Melihat lawannya telah roboh Sanjaya
mengalihkan perhatian ke tempat pertempuran lain. Tampak Purnama, adiknya tengah
berusaha menghadapi dua orang lawan.
"Heat...!"
Trak! Trakkk! Dengan gesit dan tangkas Purnama menghadang serangan dua lawannya yang sudah
turun dari kuda.
Golok Purnama beradu keras, dengan dua tombak lawan. Lalu dengan cepat sekali
kakinya menendang perut lawan sambil berputar.
"Hea...!"
Bluk! Bluk! "Aaakh...!"
Kedua lawan itu terhuyung, namun segera kembali memasang kuda-kuda dan siap
menyerang secara bersamaan.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
"Heh"!"
Kedua penjahat itu tersentak kaget, ketika melihat Purnama tiba-tiba melenting
ke udara. Tubuh terbalut pakaian serba kuning itu melesat cepat sambil
membabatkan goloknya ke leher kedua lawan.
Jrab! Brettt! "Aaakh...!"
Pekikan keras terdengar dari kedua lelaki itu ketika golok Purnama membabat
telak leher mereka.
Telah lima orang dari gerombolan berkuda tewas di tangan kedua kakak-beradik
itu. Tak jauh dari rumah kepala desa, tampak Ki Praba tengah menghadapi dua lawan
yang masih berada di
punggung kuda. Ki Praba yang memiliki ilmu silat cukup lumayan dapat mengimbangi
kedua lawannya.
"Hah"! Mampus kau, Kakek Tua!" seru salah seorang penunggang kuda sambil
menusukkan tombak ke dada Ki Praba. Kepala Desa Karang Galuh itu menoleh sambil
tetap mencekal kuat tombak lawan yang lain.
Wuttt! Ki Praba mengelak dengan merebahkan badan disertai tarikan kuat tangan kanannya
yang mengunci tombak lawan. Sehingga tombak itu dapat dikuasai Ki Praba.
Melihat Ki Praba telentang di tanah sambil memegang tombak, penjahat yang gagal
mencederai lelaki tua itu bergerak. Dengan cepat ditancapkan tombaknya ke dada
Ki Praba. Namun bersamaan dengan itu tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat merenggut
tubuh kepala desa itu dari ancaman maut.
Entah kapan sosok penolong Ki Praba itu melancarkan serangan. Gerakannya yang
begitu cepat tak tertangkap mata biasa. Ki Praba sendiri tersentak kaget melihat
lawannya tiba-tiba telah ambruk dengan dada hangus seperti terbakar.
Ternyata Sena yang menolong Ki Praba dari bahaya kematian. Pemuda berompi kulit
ular itu mengamankan kepala desa di serambi rumahnya.
Lalu dengan cepat kembali melesat ke arena pertempuran.
Gerombolan itu kini tinggal tiga orang. Nampaknya ketiganya memiliki ilmu yang
tak boleh diremehkan.
Nyatanya Sanjaya dan Purnama yang menghadapi mereka nampak terus terdesak dan
kewalahan. Permainan tombak mereka tampak begitu
sempurna. Dibabatkan ke sana kemari dengan cepat dan terkadang diputar-putarnya
tombak itu hingga seperti baling-baling.
"Heaaa...!"
"Hah...!"
Wuttt! Wuttt! Trang! Trang! Trang!
Dentang nyaring terdengar beberapa kali ketika senjata mereka saling beradu
keras. "Aaa...!" tiba-tiba Purnama terpekik. Ternyata rusuknya terserempet ujung tombak
lawan. Darah segar mengucur. Namun pemuda itu kembali menyerang dibantu kakaknya
yang mengetahui bahwa Purnama terluka.
Namun ketiga lawan tampaknya mampu membaca serangan yang dilancarkan kedua
kakak-beradik berpakaian kuning itu. Sehingga tanpa menemui kesulitan, ketiga
orang jahat itu mematahkan serangan Purnama dan Sanjaya.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar mengiringi serangan mereka.
Trang! Trang! Trang! Crabs! Jrabs!
"Hukh..!"
"Aaa...!"
Pekikan keras terdengar susul-menyusul. Dada Sanjaya tertusuk tombak lawan.
Begitu pula yang dialami Purnama. Wajahnya tersambar tombak hingga robek dan
mengucurkan darah. Pada saat kedua bersaudara ini sudah mulai terhuyung-huyung
menahan sakit, ketiga orang itu secara serentak melancarkan serangan, tanpa
memberi ampun. "Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Ketiga anggota gerombolan itu melompat cepat ke udara untuk menghabisi nyawa
Sanjaya dan Purnama. Namun tanpa diduga sama sekali sesosok bayangan berkelebat
begitu cepat memapak serangan dahsyat mereka.
Pletak! Blukkk! "Akh...!"
"Aaa...!"
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Dalam sekejap mata ketiga anggota
gerombolan jahat telah bergelimpangan tewas di tanah. Di antara ketiga mayat itu
berdiri seorang pemuda berpakaian rompi dari kulit ular. Siapa lagi kalau bukan
Pendekar Gila. Sanjaya dan Purnama yang telah terluka sempat tersentak kaget. Apalagi ketika
mata mereka melihat benda yang digenggam pemuda bertingkah laku aneh itu. Sena
tersenyum lucu sambil memegangi Suling Naga Saktinya.
Keterkejutan pun dialami Ki Praba. Kepala desa itu tengah memegangi tangannya
yang terluka karena terinjak kaki-kaki kuda, ketika tadi menjatuhkan diri
menghindari serangan musuh. Dari serambi rumahnya Ki Praba sempat melihat
senjata Sena yang tadi dipergunakan untuk menghabisi ketiga lawannya.
Sebuah suling berkepala ular naga!
"Sudah kuduga dari semula.... Pemuda gagah ini bukan pemuda biasa. Benda yang
digenggamnya itu menunjukkan siapa Nak Sena sebenarnya. Nak Sena ini...," gumam
Ki Praba lirih sambil manggut-manggut.
Nampaknya lelaki tua itu telah tahu, kalau Sena tak lain si Pendekar Gila dari
Goa Setan. Murid Singo Edan yang sudah kesohor di dunia persilatan.
Sepuluh mayat nampak bergeletakan di sana-sini.
Sena masih berdiri di tempatnya. Matanya memandangi mayat-mayat dengan perasaan
tak karuan. Hatinya merasa iba pada penduduk desa yang lemah, menjadi korban para durjana
tak dikenal itu.
"Apa ini ada hubungannya dengan kematian Raden Kumbara..."!" gumam Sena dalam
hati. Ketika Sanjaya dan Purnama mendekatinya, Sena menyelipkan kembali Suling Naga
Sakti ke pinggang.
"Terima kasih... Pendekar...," ucap Sanjaya dengan lemah.
Sena yang disebut pendekar tampak mengerutkan kening. Lalu menggaruk-garuk
kepalanya. "Ah ah ah...! Kenapa kau menyebutku
pendekar..."!" tanya Sena sambil menggeleng-geleng kepala dan cengengesan.
"Kau pantas disebut, pendekar, Sena...!"
Terdengar suara Ki Praba yang berjalan mendekati mereka.
Sena dan Sanjaya, serta Purnama menoleh pada Ki Praba. Sena kembali menggaruk-
garuk kepala sambil cengengesan. Hal itu membuat Ki Praba makin yakin terhadap
dugaannya. "Bukan saja karena Nak Sena telah membantu dan menolong kami. Tapi karena benda
yang terselip di pinggangmu itu. Aku mengenal benda itu milik seseorang yang
sangat kukagumi sampai saat ini.
Dan kaulah Pendekar Gila dari Goa Setan, murid Singo Edan!" ucap Ki Praba jelas
dan mantap. "Ah ah ah...! Ki Praba mungkin salah. Aku hanya seorang pemuda biasa dan bodoh!"
sahut Sena sambil cengengesan.
Ki Praba menepuk bahu Sena, lalu merangkulnya.
"Aku bagaikan mimpi bertemu dengan murid Singo
Edan yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Dan kuharap kau mau tinggal di desa ini sesuka hati, Nak Sena...! Bagaimana,
Jaya, Purnama!"
"Kami berdua bukan hanya setuju, Ki. Bahkan dengan sangat hormat mengharapkan
Pendekar mau mengabulkan permohonan kami," jawab Sanjaya dengan wajah berseri-
seri penuh harap.
"Bukankah kita telah saling akrab" Walaupun semula kami berdua merasa curiga
terhadap Pendekar...," sahut Purnama menyambung kata-kata kakaknya.
"Benar," Kembali Sanjaya membenarkan, "Maafkan atas kecurigaan kami itu...!"
Pendekar Gila hanya tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap wajah
Purnama dan Sanjaya dengan mulut cengengesan.
"Sudah pernah kukatakan kepada Purnama
bahwa aku tak ingin melihat orang lemah tertindas, diperas, dan disakiti. Aku
sangat senang dapat berkawan, bahkan menjalin persaudaraan dengan kalian berdua.
Juga semua penduduk di desa ini. Tapi aku tak bisa tinggal lebih lama di
sini...," ujar Sena.
Mendengar ucapan akhir Sena wajah mereka nampak berubah, penuh kekecewaan.
Harapan mereka agar pendekar itu bisa memberikan ketenangan bagi warga Desa
Karang Galuh. Melihat itu, Sena memahami dan harinya
tergugah. "Tapi..., demi Ki Praba dan kalian, serta semua penduduk Desa Karang Galuh...,
aku setuju. Tapi mungkin hanya satu atau dua hari saja...," ujar Sena seraya
cengengesan. Walaupun merasa kurang puas dengan jawaban Sena. Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama
nampak sedikit gembira. Setidak-tidaknya mereka dapat terhibur. Dan dapat bertukar
pikiran dengan Sena yang mereka segani dan kagumi.
Sena merangkul Sanjaya dan Purnama, dengan penuh keakraban.
"Ayolah, kita kembali ke rumah...!" ajak Ki Praba kemudian.
"Bagaimana dengan mayat-mayat ini, Ki?" tanya Purnama.
"Oh, ya. Sebaiknya kita bereskan dan kita kubur mereka," jawab Kepala Desa
Karang Galuh itu.
Maka bergegaslah mereka mengumpulkan para penduduk untuk menguburkan mayat-mayat
itu. *** Sore telah berganti malam. Suasana di Desa Karang Galuh nampak mulai tenang.
Terdengar suara gamelan dari salah satu rumah penduduk. Gending yang dibawakan
begitu meresap, lalu mengalun merdu suara seorang wanita yang diiringi gending
Jawa itu. Nyanyian itu menggambarkan kesuburan desa dan gagahnya pendekar pelindung kaum
lemah. Gamelan dan gending mengalun terus sampai jauh malam.
"Alangkah senang dan tenteramnya hati, jika kita dapat merasakan keadaan seperti
ini selama-lamanya...!" ujar seorang lelaki yang duduk di serambi rumah bersama
beberapa orang warga desa lainnya.
'Ya..., aku selalu berdoa agar pendekar itu tetap tinggal di desa ini...!" sahut
seorang pemuda yang duduk di sisinya.
"Tapi, kurasa cukup Den Sanjaya dan Purnama saja. Keduanya juga memiliki ilmu
yang cukup lumayan," sahut yang lainnya.
"Benar. Tapi kau lihat tadi. Kalau saja pendekar itu tak cepat bertindak, tentu
Den Sanjaya dan Purnama akan dapat dikalahkan oleh orang-orang jahat itu.
Bahkan mungkin juga Ki Lurah," sahut yang lain lagi.
"Ya, gerakan dan serangan yang dilakukan sukar dilihat dengan mata. Tahu-tahu
lawan sudah ambruk, mati!"
Kemudian mereka kembali terdiam, mendengarkan gending yang masih tetap
berkumandang itu.
Malam itu Desa Karang Galuh tampak tenang dan aman. Walaupun ada sebagian
penduduk yang sedih, karena suami atau anak mereka tewas dalam pertarungan tadi
sore. Sementara di rumah Ki Praba, tampak Sena, Sanjaya, Purnama, dan Ki Praba tengah
terlihat dalam pembicaraan di ruang tengah. Mereka duduk bersila di lantai
beralaskan tikar. Meski ada meja kursi di ruangan cukup luas itu, mereka memilih
duduk di lantai.
Itulah kebiasaan Ki Praba jika sedang merunding-kan atau membicarakan suatu
masalah yang penting.
Suasana terasa lebih akrab dan tidak kaku.
Di luar suasana gelap. Angin bertiup lebih kencang, menghembuskan hawa dingin.
Gemerisik dedaunan dan angin menerpa dinding rumah Ki Praba terdengar di antara
sayup-sayup alunan gamelan.
Lampu-lampu rumah penduduk sudah mulai
dipadamkan. Hanya obor-obor bambu yang ter-pancang di depan rumah penduduk masih
menyala terang. Apinya bergoyang-goyang tertiup angin malam.
Sementara itu alunan gamelan sudah tak terdengar lagi. Suasana berubah sepi.
Dingin dan mencekam.
Namun di rumah kepala desa masih menyala lampu ruangan tengah. Ki Praba masih


Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbincang-bincang dengan Sena serta kakak beradik Sanjaya dan Purnama.
"Menurutku kejadian tadi ada hubungannya dengan kematian Raden Kumbara. Aku
yakin mereka orang-orang dari Serigala Hitam pimpinan Kala Bendana. Dan kabarnya
ia mendapat bantuan dari orang-orang aliran hitam lain...," tutur Ki Praba
perlahan. "Tapi apa sebenarnya maksud tujuan mereka, Ki...?" tanya Sanjaya seperti orang
bodoh. "Kamu ini apa sudah linglung"! Pertama Raden Kumbara terbunuh olehmu. Kedua,
tampaknya Kala Bendana berhasrat tetap ingin menguasai desa kita yang subur
ini...," ujar Ki Praba.
"Tapi, mereka yang lebih dulu mencari gara-gara!
Memancing kemarahan kita dengan membawa Ranti seenaknya tanpa ada basa-basi pada
Ki Praba. Dan juga pantas Kakang Sanjaya membunuhnya, karena Raden Kumbara
adalah saudara Beruk Ireng yang dengan keji membunuh Kak Lestari," sahut Purnama
membela kakaknya.
"Aku mengerti..., aku mengerti. Tapi desa kita akan dibumihanguskan! Mereka kini
sangat kuat. Bagaimana nanti nasib penduduk desa ini..." Ini yang sangat aku khawatirkan!
Bukan karena aku takut terhadap mereka. Mereka memang harus dimusnah-kan. Tapi
bagaimana caranya untuk melawan mereka...?" tutur Ki Praba dengan suara bergetar
cemas. Keempat lelaki itu diam tak bersuara beberapa saat. Hanya wajah-wajah mereka
yang menunjukkan ketegangan dan cemas.
Namun Sena tampak tenang. Tangan kanannya mengusap-usap kening, lalu menggaruk-
garuk kepala, sambil mulutnya cengengesan.
"Apakah ada maksud lain, selain mereka ingin menguasai Desa Karang Galuh ini,
Ki?" tanya Sena membuka kesunyian.
"Aku rasa tak ada. Memang aku mendengar kabar, bahwa mereka telah mengumpulkan
kekuatan untuk menguasai desa-desa di Jawadwipa ini. Mereka ingin memusnahkan
tokoh-tokoh aliran putih dengan cara mereka," tutur Kepala Desa Karang Galuh
memberikan keterangan. "Menurut kabar, kelompok Serigala Hitam pun bersekutu
dengan Purba Kelakon.
Pimpinan orang-orang aliran sesat! Purba Kelakon memiliki ilmu dalam tiga puluh
dua jurus yang tak terlihat; Alias semu! Selain itu dia pun memiliki serbuk
beracun; yang mematikan. Tak sampai lima belas langkah, orang yang terkena
serbuk racun 'Pemunah Jiwa' akan mati! Mungkin hanya Nak Sena yang dapat melawan racun ganas
itu...," ujar Ki Praba seraya menatap wajah Sena.
"Aku tak tahu, Ki Lurah. Apa diriku mampu melawan racun itu. Walaupun aku
menguasai ilmu pemunah racun seperti itu. Kekuatan racun ber-macam-macam...,"
jawab Sena kalem.
Mendengar jawaban Sena, Ki Praba mengangguk-angguk sambil mengusap jenggotnya.
Sementara, Sanjaya dan Purnama nampak cemas dan menundukkan kepala.
Pada saat mereka terdiam tiba-tiba Sena melesat ke atas atap rumah, hingga
jebol. "Hih!"
Brukkk! Sanjaya, Purnama, dan Ki Praba hanya mampu
terperangah melihat gerakan Sena melesat.
Ternyata di atas rumah kepala desa ada sesosok tubuh manusia berwajah kera
berpakaian serba hitam yang tengah berusaha kabur. Rupanya orang itu tadi
mendengarkan pembicaraan mereka.
"Kau lagi rupanya!" bentak Sena pada orang bermuka kera itu, yang pernah
menghadang Sena ketika memasuki Desa Karang Galuh tiga hari yang lalu.
Tokoh bermuka kera itu tiba-tiba menyerang Sena dengan senjata rahasia. Pendekar
Gila terkesiap dibuatnya. Namun, karena dirinya memiliki ilmu yang cukup tinggi,
senjata rahasia yang dilemparkan manusia kera itu melesat. Pendekar Gila
melenting ke udara sambil bersalto berulang kali. Kemudian sangat ringan kakinya
mendarat di atap rumah di belakang manusia berwajah kera itu. Pendekar Gila
segera membalas dengan tendangan dan pukulan yang cepat ke dada dan muka
lawannya. Plakkk! Blukkk!
"Ukh...!"
Lelaki bermuka kera itu terpekik, ketika tendangan dan pukulan Pendekar Gila
mendarat di punggungnya. Namun seakan tak merasa sakit, tubuhnya segera bangkit.
Kemudian dengan cepat goloknya menyabet kaki Pendekar Gila. Secepat kilat
Pendekar Gila melompat meluncurkan tendangan.
Plak! Kembali tendangan Pendekar Gila mendarat wajah lawannya. Karena terdesak, orang
bermuka kera itu melompat turun sambil bersalto ke tanah. Pendekar Gila
mengejarnya. Belum sampai kaki orang bermuka kera itu menginjak tanah, Pendekar
Gila sudah mendahului, dengan menendang sambil berputar ke
muka dan dada lawan.
"Heaaa...!"
Blukkk! "Aaa...!"
Orang bermuka kera itu tersungkur bergulingan di tanah. Tangannya memegangi
dada. Darah segar keluar dari mulutnya. Pendekar Gila segera menghampiri dan
memegang baju orang itu.
"Katakan, apa maksudmu mengintai dan mendengarkan kami bicara"! Siapa yang
menyuruhmu"!"
tanya Pendekar Gila dengan geram.
Pada saat itu Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama.
Sudah berada di dekat Pendekar Gila, berdiri memandangi orang bermuka kera itu.
"Ayo, katakan! Kalau tidak kau kubunuh...!" bentak Sanjaya dengan keras sambil
mengacungkan goloknya ke kepala orang bermuka kera itu.
"Ayo, katakan! Kami tak akan membunuhmu...,"
kata Sena lagi. Nadanya lebih perlahan.
Belum sempat orang bermuka kera itu memberikan jawaban, tiba-tiba berontak.
Sanjaya bermaksud menjambak rambutnya. Namun alangkah terkejutnya mereka semua.
Ternyata rambut itu lepas dari kepalanya.
"Hah"!"
Semua membelalakkan mata. Karena ternyata orang itu mengenakan topeng. Dan
seorang wanita muda berparas cantik yang tak lain Ranti tampak tersentak pula.
"Ya, Gusti...!" gumam Ki Praba.
Belum sempat mereka menanyakan sesuatu pada Ranti, tiba-tiba mata gadis itu
mendelik dan mulutnya terbuka lebar, dengan lidah terjulur panjang. Sesaat
tubuhnya berkelojotan, tapi kemudian diam tak
bergerak. Mati!
"Ilmu setan...!" gumam Pendekar Gila lirih.
"Apa hubungan Ranti dengan mereka..."!" tanya Sanjaya pada dirinya sendiri.
"Ranti diperalat oleh Purba Kelakon yang menguasai ilmu sesat. Ilmu setan, ilmu
sihir! Dan Ranti sudah dimasuki pikiran dan kekuatan gaib manusia itu.
Mengerikan...," tutur Ki Praba sambil menggeleng kepala.
"Kalau begitu mungkin Nyi Karti juga diperalat mereka, Ki," kata Purnama yang
teringat akan Nyi Karti, ibunya Ranti.
"Bisa jadi. Ayo, kita cari Nyi Karti," ajak Ki Praba.
Mereka segera pergi dengan cepat ke rumah Nyi Karti.
"Aku yakin mereka juga ingin membunuhku...,"
ujar Sena dalam hati.
*** Ketika Sanjaya dan Purnama memasuki rumah Nyi Karti, ternyata wanita separo baya
itu telah mati dengan keadaan mengerikan. Dadanya berlubang, seperti terhantam
senjata tajam. "Ya, Gusti...!" gumam Ki Praba. Lelaki itu kembali menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Biadab...!" dengus Sanjaya dengan geram.
"Lalu siapa orang bertopeng kera satu lagi..."!"
tanya Sena dalam hati.
Sena menggaruk-garuk kepala. Sepertinya tak menghiraukan keadaan yang sudah
mulai mencekam dan seram itu. Pemuda berompi kulit ular itu nampak tak sedikit
pun merasa tegang. Dirinya bahkan terus cengengesan.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Nak Sena?"
tanya Ki Praba yang nampak mulai gelisah.
Sena menggaruk-garuk kepala. Sejenak matanya menatap Sanjaya dan Purnama sambil
cengengesan. "Sebelum penduduk menjadi korban lagi,
sebaiknya kita melakukan penyelidikan secepat mungkin ke tempat mereka. Apa ada
yang tahu di mana sarang manusia-manusia keparat itu...?" tanya Sena ingin tahu.
"Kami belum tahu dengan jelas. Karena mereka sangat pintar. Tak seorang pun
mengetahui sarang mereka dengan pasti. Namun menurut perasaanku di dua tempat
itu. Pertama di seberang, di Pulau Neraka. Dan satu lagi di bekas bangunan
tempat tinggal Pangeran Cakra Sentana. Karena waktu Raden Kumbara menculik
Ranti, datang dengan kereta kuda bekas milik Pangeran Cakra Sentana!"
kata Sanjaya memberikan keterangan.
"Hm...!" Sena manggut-manggut sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Lalu tertawa-tawa sendiri, membuat ketiga orang yang me-nemaninya bingung serta
merasa aneh melihat Sena.
Namun ketiganya segera memaklumi.
"Kita harus merencanakan sesuatu...!" usul Sena sambil melangkah dan menggaruk-
garuk kepala tanpa mempedulikan ketiga orang yang diajak bicara.
Melihat Sena yang seperti orang acuh itu, Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama
terpaksa beranjak dari tempatnya dan mengikutinya. Sena terus berjalan menuju
rumah Ki Praba.
"Pendekar ini memang aneh. Namun menyenangkan...," gumam Sanjaya lirih.
Tiba-tiba Sena menghentikan langkahnya, demikian juga Ki Praba, Sanjaya, dan
Purnama. "Aku sudah menemukan cara untuk menemukan sarang mereka...," kata Sena dengan
wajah ceria sambil menggaruk-garuk kepala. "Ssst! Ssst...!" lalu Sena
membisikkan sesuatu ke telinga Sanjaya.
Sanjaya mengangguk dan tersenyum.
Pada saat itu sepasang mata mengamati gerak-gerik mereka dari balik semak-semak,
tak jauh dari rumah Ki Praba. Kemudian sepasang mata itu melesat hilang di
kegelapan malam.
Sena bersama Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama lalu masuk rumah Ki Praba. Suasana
kembali sunyi, sepi, dan makin mencekam. Hanya suara binatang-binatang malam
yang terdengar, memecah keheningan malam yang gelap gulita.
*** 5 Sinar matahari pagi menghangatkan bumi. Suasana cerah melingkupi sekitar pantai.
Angin yang bertiup kencang dari laut menerpa pepohonan. Ombak laut tampak
bergulung-gulung berkejaran menuju pantai.
Seakan hendak mendorong sebuah perahu yang tengah berlayar perlahan menuju
daratan. Tak lama kemudian perahu yang tidak terlalu besar itu telah sampai di
pantai. Dari perahu itu tampak berlompatan tiga orang lelaki berwajah garang. Baru saja
berjalan beberapa langkah ketiganya dikejutkan adanya suara seperti tiupan
suling di kejauhan.
"Heh, suara suling...!" desis salah seorang dari ketiga lelaki yang berusia
sekitar empat puluh tahun, berpakaian rompi belang merah hitam.
"Ya! Suara suling itu aneh," sambung lelaki bermuka lonjong, tapi hampir mirip
dengan yang pertama. Hanya berbeda pada hidungnya yang besar, meski mancung.
"Kurasa itu bukan suling biasa," sambut lelaki berbadan agak pendek dengan
cambang bauk lebat.
Ketiga lelaki itu terkenal dengan julukan 'Tiga Mata Setan'.
Tiga Mata Setan merupakan anak buah Purba Kelakon yang ditugaskan untuk datang
ke Desa Karang Galuh. Orang pertama dari Tiga Mata Setan bernama Tangkur Wulung.
Yang kedua bernama Braja Wulun. Dan yang ketiga bernama Barong Wulung.
Ketiganya bersenjatakan sama, rantai besi berduri.
Sementara itu suara suling makin terdengar jelas di telinga mereka. Tiga Mata
Setan segera melangkah ke darat.
"Suara suling itu membuat kupingku bisa tuli...!"
sungut Tangkur Wulung sambil matanya mencari-cari dari mana asal suara suling
itu. "Kenapa kau pusingkan suara suling itu. Tujuan kita mencari makan, perempuan,
dan harta!" sahut Braja Wulung yang berjalan di sisi kirinya.
Suara suling makin jelas lagi ketika ketiganya telah melewati beberapa gubuk
milik penduduk di pinggir pantai itu dan terus naik ke daratan yang lebih
tinggi. Tiba-tiba Barong Wulung yang bertubuh paling besar itu menghentikan langkah.
Sepertinya ada sesuatu yang dilihatnya. Hal itu dilakukan pula kedua kawannya.
Ketiganya melihat seorang pemuda bertengger di pohon besar dan rindang.
"Sepertinya aku kenal pemuda yang memainkan suling di atas cabang pohon itu.
Hati-hati, kalau dugaanku benar kita harus menangkapnya!" ujar Barong Wulung.
Matanya terus menatap tajam pemuda berpakaian rompi dari kulit ular yang terus
meniup sulingnya.
"Siapa pemuda itu Kakang Barong..."!" tanya Braja Wulung sambil melemparkan
pandangan ke atas pohon.
"Dia Pendekar Gila yang kita cari. Kau lupa bahwa Kala Bendana akan memberikan
hadiah pada siapa pun yang dapat menangkap Pendekar Gila itu hidup atau mati,
untuk diserahkan padanya...! He he he...!"
jawab Barong Wulung sambil memelintir kumisnya.
"Kalau begitu kita segera ringkus pemuda itu..., kata Tangkur Wulung yang
berbadan lebih kecil dari dua temannya.
"Kau jangan gegabah! Pemuda itu bukan pendekar sembarangan, bisa-bisa kita yang
jadi korbannya!"
jawab Barong Wulung. "Kita berpencar! Kalian berdua harus selalu siap dan
bergerak cepat jika aku dalam kesulitan. Ayo, kita mulai pekerjaan kita!"
Pemuda yang tengah meniup suling memang tak salah lagi, dia Sena Manggala atau
lebih dikenal dengan julukan si Pendekar Gila. Pemuda tampan berambut gondrong
itu masih asyik mengalunkan lagu merdu dengan Suling Naga Saktinya. Seakan-akan
tak menghiraukan sama sekali ada tiga orang yang tengah mengancam jiwanya. Tak
bergeming sedikit pun dari tempatnya. Tubuhnya dengan enak berbaring di sebatang
cabang pohon dengan kaki terjuntai ke bawah, Barong Wulung makin dekat dari
tempat Sena berada. Ketika lelaki bertubuh besar dan berkumis melintang itu
berada sekitar delapan tombak dari pohon tiba-tiba melancarkan serangan kilat.
Tangannya yang kokoh besar melontarkan senjata berupa rantai ke tubuh Sena yang
masih terbaring di atas cabang pohon.
Srattt! Crakkk...! .
Suara yang ditimbulkan dari lontaran senjata itu keras sekali, dan senjata yang
berupa baja bulat berduri itu menghantam batang pohon di dekat kepala Pendekar
Gila. Namun tanpa terkejut sedikit pun, kepala Pendekar Gila dengan perlahan menoleh
ke Barong Wulung yang tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba Pendekar Gila ikut
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu mulutnya cengengesan persis
orang gila. "Hi hi hi...! Kau rupanya punya mainan yang menarik, Kisanak!" seru Pendekar
Gila dari atas pohon. Tampak tangannya menggaruk-garuk kepala.
Mendengar ucapan Pendekar Gila, Barong Wulung terbelalak marah. Kemudian dengan
geram melangkah mendekati pohon tempat Pendekar Gila bertengger.
"Hei! Kau pemuda gila, turun...! Jangan berlagak bodoh kau! Tunjukkan
kebolehanmu! Aku sengaja datang untuk mencincangmu, Pendekar Gila!" teriak
Barong Wulung sambil menuding-nudingkan tangannya ke atas pohon.
"Hi hi hi...! Lucu sekali orang ini! He he he...! Ha ha ha...! Pagi-pagi aku
bertemu badut berkumis melintang! Hi hi hi...!" ejek Pendekar Gila yang kini
telah duduk di cabang pohon menghadap Barong Wulung.
Sementara itu dari dua arah kiri dan kanan Pendekar Gila muncul Tangkur Wulung
dan Braja Wulung sambil memutar-mutarkan bola baja berduri terikat rantai.
Keduanya tersenyum sinis dengan mata merah membara.
"Ha ha ha...! Hi hi hi...!"
Pendekar Gila tertawa-tawa terus sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah laku
aneh itu membuat Tiga Mata Setan semakin geram.
"Orang gila! Mulutmu perlu merasakan senjataku ini...!"
Selesai berkata begitu, Barong Wulung dengan cepat melancarkan serangan dengan
menghantam-kan senjatanya ke kepala Pendekar Gila.
Srattt! Wrettt! Wusss!
Hembusan angin dari lontaran ketiga senjata berbentuk bola duri itu terasa
menyentakkan dedaunan.
Namun Pendekar Gila dengan cepat pula men-


Pendekar Gila 23 Kemelut Di Karang Galuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuhkan tubuhnya sambil bersalto ke belakang beberapa kali untuk mengelakkan
serangan dahsyat itu.
Blarrr! Brakkk!
Suara ledakan terdengar ketika dua bola berduri itu menghantam batang pohon.
Seketika batang pohon itu hancur dan roboh. Bagai tersambar petir.
Sementara itu, Pendekar Gila sudah mendaratkan kakinya di tanah. Dengan
cengengesan tangan kanannya menepuk-nepuk pantat sambil gelang-geleng kepala.
Tingkah lakunya yang lucu, persis orang gila.
"Hi hi hi...! Ternyata kalian ini pengecut. Tak cocok dengan badan kalian yang
seperti kebo," ejek Pendekar Gila.
Mendengar ejekan itu, wajah Tiga Mata Setan berubah merah. Dengan cepat dan
geram Braja Wulung melontarkan senjatanya menyerang Pendekar Gila. Serangan
dahsyat kali ini disertai pergerakan tenaga dalam yang kuat.
"Nih rasakan..., mampus kau, Gila! Heaaa...!"
Bola baja berduri itu melesat cepat. Deru anginnya terasa menggetarkan. Namun
Pendekar Gila dengan cepat mengelak, hanya dengan memiringkan tubuhnya ke
samping. Kemudian dengan cepat pula pemuda itu melancarkan serangan balasan yang
tak terduga sama sekali.
"Heaaa...!"
Wusss! Plakkk! "Ugkh...!"
Braja Wulung terpekik ketika pukulan jarak jauh yang dilancarkan Pendekar Gila
menghantamnya, tubuhnya terhuyung beberapa tombak ke belakang.
Melihat kawannya terjatuh, Barong Wulung dan Tangkur Wulung kaget. Mereka kian
murka. Matanya membelalak lebar merah menahan geram. Mata itu bagai mempunyai
kekuatan gaib, mampu mengeluarkan sinar merah. Diiringi teriakan keras
menggelegar Barong Wulung dan Tangkur Wulung bergerak menyerang.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Melihat sinar merah yang cukup membahayakan itu, Pendekar Gila segera mencabut
senjata andalannya. Dengan cepat dan kuat Suling Naga Sakti dihentakkan untuk
memapak sinar merah serta gempuran bola baja berduri yang meluncur menyerangnya.
Trakkk! Jglarrr. ! "Uaaakhhh...!"
Teriakan panjang terdengar dari kedua Mata Setan itu. Karena tangkisan Pendekar
Gila dengan Suling Naga Saktinya mampu membalikkan serangan mereka. Sehingga
sinar merah dari mata Barong Wulung dan Tangkur Wulung berbalik dan menghantam
tubuh mereka. Maka tak ayal lagi, tubuh kedua Mata Setan terpental deras sekitar
lima tombak ke belakang. Sementara itu, Pendekar Gila tetap berdiri dengan kuda-
kudanya yang mantap.
Dengan cengengesan matanya menatap kedua lawan yang terkapar tak berkutik. Dada
kedua lelaki berwajah garang itu hangus terhantam kekuatan senjata mereka.
Sementara itu Barong Wulung yang tadi terkena pukulan jarak jauh, berusaha
bangkit dan hendak menyerang Pendekar Gila.
"Hei...! Kalau kau masih ingin hidup jangan coba-coba melawanku!" ujar Pendekar
Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. "Kau rupanya orang-orang
Beruk Ireng dan Kala Bendana...!"
Tiga Mata Setan tak menjawab karena masih merasa kesakitan. Mereka saling
mendekap dada dengan mulut meringis-ringis.
Pada saat itu tiba-tiba muncul Sanjaya dengan wajah geram menatap ketiga
begundal. Begitu pula Purnama yang muncul dari arah lain.
Sanjaya yang mengenali Tiga Mata Setan dengan bengis menatap mereka penuh
dendam. "Apa benar ketiga orang ini antek-antek Kala Bendana dan Purba Kelakon?" tanya
Pendekar Gila pada Sanjaya.
"Hm...,benar, Pendekar. Mereka manusia keparat yang harus kita hukum setimpal
dengan perbuatan mereka selama ini. Ketiga orang inilah yang menjadi mata-mata
serta tukang cari perempuan-perempuan desa untuk dipersembahkan kepada Purba
Kelakon si penganut ilmu setan itu!" tutur Sanjaya dengan geram. Seakan-akan
sudah tak sabar untuk memusnahkan Tiga Mata Setan.
Sena menggangguk-angguk sambil menggaruk kepala dengan cengengesan. Kemudian
menyelipkan Suling Naga Saktinya di pinggang.
"Tapi kita tidak boleh menghukum sendiri.
Sebaiknya mereka kita bawa ke desa agar diadili...!"
ujar Sena. "Hhh... Aku kurang setuju, Sena. Percuma orang macam mereka ini diadili. Dan aku
punya rencana...,"
sanggah Purnama yang dari tadi diam.
Purnama mendekati Sena dan membisikkan
sesuatu di telinganya. Sena mengerutkan kening, lalu tertawa-tawa sambil
menggaruk-garuk kepala.
Setelah itu tangannya menepuk-nepuk pantat, persis seperti kera.
"Hi hi hi.... He he he...! Ternyata saudara yang satu ini punya gagasan baik.
Coba kau beritahu Sanjaya...!" ujar Pendekar Gila sambil terus menggaruk-garuk
kepala. Purnama pun segera membisikkan hal yang sama pada kakaknya. Sanjaya mengerutkan
kening lalu menganggukkan kepala menyetujui rencana adiknya.
"Hei! Kalau kalian masih ingin hidup, tunjukkan di mana pimpinan kalian
bersembunyi saat ini"! Cepat katakan atau kalian pilih mati!" perintah Sanjaya
dengan suara keras.
Tiga Mata Setan diam, tak menjawab. Seakan-akan mereka lebih memilih mati
daripada hidup.
Karena mereka pikir sama saja. Tiga Mata Setan bungkam sambil menundukkan
kepala. Melihat ketiganya seperti tak menghiraukan per-mintaannya, Sanjaya makin marah.
Dengan geram ditendangnya salah seorang dari Tiga Mata Setan.
Namun Pendekar Gila cepat melarang ketika Sanjaya hendak melakukan lagi.
"Tunggu Sanjaya! Sabarlah, lebih baik kita lepas saja mereka. Tak ada gunanya
lagi orang macam begini. Biarlah mereka pergi...!" ujar Pendekar Gila sambil
mengedipkan mata pada Sanjaya. Sanjaya mengerti maksud isyarat itu.
"Tidak, Pendekar. Jangan seenaknya kita melepas orang-orang ini! Mereka nanti
akan terus berbuat seenaknya. Tunggu apa lagi! Sebaiknya kita kubur mereka di
sini! Atau kita bunuh saja, baru kita ikat di pohon, biar semua orang tahu! Dan
pasti pimpinan mereka akan murka, lalu kita dapat menangkapnya,"
ujar Sanjaya dengan penuh emosi dan marah.
"Tenang, tenang! Kita tak boleh gegabah dan bertindak di luar batas. Aku yakin
mereka akan memberitahukan di mana sarang mereka sebenarnya," sahut Sena dengan
kalem sambil cengar-cengir dan terus menggaruk-garuk kepala.
Purnama sudah mengerti maksud Sena. Matanya melirik pada Sanjaya dan menghela
napas dalam-dalam. Sena, Sanjaya, dan Purnama sudah mempunyai cara dan rencana
untuk memancing Tiga Mata Setan.
Sena kemudian berjongkok, dengan perlahan bertanya pada Barong Wulung yang
tertua dari ketiganya.
"Kisanak, sebaiknya Kisanak memberitahukan, di mana Kala Bendana dan Purba
Kelakon berada. Kami ingin kejujuran Kisanak. Kami akan melepaskan kalian
bertiga. Percayalah...! Bagaimana?"
Tiga Mata Setan tetap bungkam, tak mau memberitahu atau buka mulut. Bahkan tiba-
tiba mereka mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya dan dengan cepat menelannya.
Dan..., tak beberapa lama kemudian Tiga Mata Setan kejang-kejang dan mukanya
membiru. Matanya melotot bagai mau keluar...! Mati!
Sena mengetahui maksud mereka. Dengan cepat berusaha menghalangi. Namun
terlambat karena racun yang mereka telan itu telah bekerja dengan kecepatan luar
biasa. Itulah racun 'Pencabut Nyawa'
Rupanya Tiga Mata Setan itu sangat setia akan janji sumpah mereka. Mungkin
karena pengaruh ilmu sihir milik Purba Kelakon.
"Rupanya mereka telah terkena ilmu sihir manusia setan itu. Sampai ketiganya
rela mati demi sang
Pemimpin mereka yang murka itu. Gila! Gila...!"
dengus Sanjaya geram. Purnama menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti.
Sedangkan Sena menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir....
"Hhh..! Kita terlambat," desah Sanjaya merasa kecewa sekali, karena tak dapat
mengorek keterangan dari Tiga Mata Setan.
"Aha, kau benar! Kita terlambat," sahut Sena.
Ketiganya terdiam sesaat, sepertinya sedang mencari jalan lain untuk mendapat
keterangan mengenai markas Purba Kelakon dan Kala Bendana berada.
"Jika mereka senantiasa menghilangkan jejak sulit bagi kita untuk dapat
menemukan tempat mereka,"
gumam Purnama sambil menghela napas pelan.
"Kau benar, Dimas. Kalau mereka selalu bunuh diri seperti ini kita tak akan
dapat menemukan markas mereka," timpal Sanjaya dengan wajah menggambarkan
kejengkelan. Selama ini, dendamnya pada Kala Bendana dan para begundalnya yang
telah membunuh istri dan anaknya beberapa tahun yang lalu terus berkobar-kobar
di dada. Sena nampak masih tak menanggapi ucapan ke-iua kakak-beradik itu. Dirinya masih
berpikir keras sendiri. Meskipun mulutnya tampak cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang lepas ke arah utara, tempat Pulau
Neraka nerada. Di tempat itu Kala Bendana dan antek-anteknya bersembunyi.
Sebenarnya Sena ingin berangkat ke tempat itu, tapi menurut kabar, tempat itu
sangat sulit ditempuh.
Di samping jauh dan keadaannya sangat berbahaya, markas mereka pun sangat
tersembunyi. "Aha, mengapa tak kukirim saja mayat ketiga
orang ini?" gumam Sena dalam hati, "Bukankah de ngan sampainya ketiga mayat ini
ke markas mereka, akan dapat membuat Kala Bendana mengirim anak buahnya untuk
datang lagi?"
Sena semakin cengengesan dengan tangan
kembali menggaruk-garuk kepala. Sambil menepuk-nepuk kening dengan tangan kiri
Sena melangkah mendekati Sanjaya dan Purnama yang masih diam tercenung. Keduanya
nampak masih memikirkan bagaimana un tuk dapat mengundang Kala Bendana dan
antek-anteknya datang ke desa itu.
"Aha, mengapa kalian masih juga melamun?"
tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol.
Mulutnya cengengesan, sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Kami sedang berpikir, bagaimana caranya dapat mengundang Kala Bendana dan Purba
Kelakon datang ke desa ini," jawab Sanjaya dengan tangan mengepal.
"Aha, apakah kalian siap kalau mereka datang"'
tanya Sena, yang membuat kakak-beradik Sanjaya dan Purnama mengerutkan kening
dan memandai lekat wajahnya.
"Apa maksudmu, Sena?" tanya Purnama.
"Apa kau mengira kami takut pada Kala Bendana dan Purba Kelakon?" sergah
Sanjaya, sepertinya me rasa tak senang dirinya diremehkan Sena.
"Aha, kurasa bukan itu maksudku," tukas Sena.
Mulutnya tetap cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Matanya
kembali memandang ke utara. Tampak lautan membentang luas dan di tengahnya
terdapat sebuah pulau karang yang disebut Pulau Neraka.
"Lalu...?" desak Sanjaya.
Sena tak langsung menjawab. Dirinya merenung sejenak dengan kening mengerut.
Ditengadahkan wajahnya memandang ke langit yang biru bening.
Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian dihempas-kan secara perlahan.
"Hi hi hi...! Kalian memang tak takut pada Kala Bendana dan Purba Kelakon.
Namun, bagaimana dengan warga desa ini?" tanya Sena, balik bertanya sambil
memandang lekat wajah kakak-beradik itu.
Keduanya terdiam, seakan-akan merenungkan kata-kata yang diucapkan Sena.
Apa yang dikatakan Sena benar. Kedua kakak-beradik itu memang tak akan takut
terhadap Kala Bendana dan Purba Kelakon. Tetapi, bagaimana dengan penduduk desa
yang tak berdosa" Tentunya Kala Bendana dan Purba Kelakon tak datang sendirian.
Sudah barang tentu mereka akan membawa laskar. Dan bukan tak mungkin kalau
laskarnya akan membuat kerusuhan. Bukankah dengan begitu rakyat yang akan
menanggung akibatnya"
Sanjaya menghela napas pelan. Matanya kini memandang ke arah Pulau Neraka,
tempat markas Kala Bendana berada.
"Kau memang benar, Sena. Memang, kalau Kala Bendana datang bersama pasukan sudah
barang tentu rakyat akan turut terlibat di dalamnya," desah Sanjaya menyadari
akan kekeliruannya dalam berpikir. Selama ini dirinya selalu diperbudak nafsu
dan dendam, yang membuatnya tak mampu berpikir secara jernih. Yang lipikirkan
hanyalah pembalasan dendam dan kebencian, serta antipati terhadap Kala Bendana
dan Purba Kelakon serta antek-anteknya yang telah membuat mah tangganya
berantakan. "Ya. Aku pun merasa ucapan Sena benar. Tetapi,
kalau Kala Bendana dan Purba Kelakon belum kita tumpas, desa ini tak akan pernah
aman," tutur Purnama.
"Sena tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepala. Tangannya kembali menggaruk-
garuk kepala. Matanya masih menatapi langit yang biru.
Angin bertiup lembut, menerpa rambut ketiganya.
Sena dan dua kakak-beradik Sanjaya dan Purnama masih berdiri mematung di tempat
itu. Mereka masih merenungkan bagaimana cara yang baik untuk menumpas Kala
Bendana dan Purba Kelakon serta antek-anteknya tanpa harus melibatkan penduduk
desa. "Bagaimana kalau kita menantang Kala
Bendana?" tanya Sanjaya meminta saran, tentu kepada Sena. Karena tatapan matanya
kini tertuju kepada Sena yang masih cengengesan dengan tangan menggaruki garuk
kepala. "Bagaimana, Saudara Sena?" tanya Purnama me-'
minta kepastian pendapat dari Pendekar Gila.
Keris Pusaka Sang Megatantra 9 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bloon Cari Jodoh 7
^