Pencarian

Tujuh Tumbal Perawan 1

Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan Bagian 1


7 TUMBAL PERAWAN
oleh Pijar El Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode 024 :
7 Tumbal Perawan
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Sore yang indah melingkupi bumi. Cahaya merah tembaga di kaki langit sebelah
barat menandakan bahwa sang Raja Siang belum sampai di
peraduannya. Bekas perjalanannya masih jelas membias dalam bentuk lembayung.
Sementara itu di Desa Karang Bale pun suasana tampak cerah. Desa yang subur dan
makmur itu terletak di antara Pegunungan Sarangan dan Bukit Kundang. Sehingga
wajar kalau tak jauh di sebelah selatan desa itu terdapat telaga yang sangat
bening airnya. Apalagi pada suasana senja yang cerah seperti sekarang ini.
Ketika langit membiaskan cahaya merah lembayung, air telaga tampak begitu indah.
Berkilauan karena tertiup angin yang menimbulkan riak-riak kecil di tengahnya.
Seperti biasanya, di suasana senja seperti itu gadis-gadis Desa Karang Bale
menikmati air telaga.
Mereka mandi dan mencuci sambil bercanda ria, sesuka hati. Sore itu tampak lima
orang gadis berusia dua puluh tahunan tengah mandi sambil bersenda gurau di air
telaga. Lima gadis desa yang tengah mandi itu, tak menduga kalau tingkah laku mereka
dalam pengawasan sepasang mata tajam. Sepasang mata milik sesosok tubuh yang
bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari telaga itu.
"Hm.... Rupanya di sini gadis-gadis mandi,"
gumam pemilik sepasang mata merah yang terus
mengawasi tingkah laku kelima gadis itu. Di bibir lelaki berbadan tinggi besar
dan berwajah garang itu tersungging senyuman. "Hm... Akan tercapai cita-citaku
menjadi orang tersakti di rimba persilatan! He he he...!"
Lelaki berwajah garang dengan cambang bauk lebat itu terus bersembunyi sambil
mengawasi kelima gadis yang sedang asyik mandi di telaga. Matanya kini tertuju
pada gadis yang sedang asyik mandi di telaga.
Matanya kini tertuju pada seorang gadis berkain warna hijau daun. Gadis itu
tampak cantik sekali.
"Sss...," lelaki bertubuh kekar berpakaian jubah abu-abu itu mendesis. Seakan-
akan desakan nafsu yang menggebu-gebu, menyaksikan kemolekan tubuh gadis berkain
hijau itu. Beberapa kali lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang sosoknya
masih gagah itu menelan ludah, berusaha menahan gejolak birahinya. "Sungguh
menggairahkan...!"
Kelima gadis Desa Karang Bale itu masih mandi dengan tenang, tak tahu kalau
mereka dalam pengawasan sepasang mata tajam. Apalagi gadis berkain hijau yang
menjadi tatapan utama lelaki garang itu, nampak sangat riang. Senyumnya yang
indah, tersumbar lepas.
"Wirani, kau tak pulang?" tanya gadis berkain lurik merah yang tampak sudah naik
ke darat. Gadis itu segera membuka kainnya yang basah tanpa canggung-canggung.
Dia tak menduga kalau ada sepasang mata dan balik semak-semak belukar, yang
memandang dengan melotot penuh nafsu.
"Nanti saja! Aku masih ingin mandi...," sahut gadis berkain hijau yang dipanggil
Wirani. Dia masih berendam di telaga bersama tiga orang temannya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu," ujar gadis
berkain lurik merah, lalu melangkah meninggalkan keempat temannya yang masih
mandi. "Hati-hati, Watiri...!" seru Wirani mengingatkan sambil tertawa riang.
"Memangnya ada apa...?" tanya gadis yang
dipanggil Watiri.
"Siapa tahu ada genderuwo yang suka jahil...!"
ambut gadis berkain biru. Kemudian keempat gadis itu tertawa lepas, ketika
melihat Watiri melotot.
Watiri terus melangkah meninggalkan telaga.
Hatinya agak cemas setelah mendengar godaan keempat temannya. Bagaimanapun juga,
dia hanya seorang diri, berjalan di senja dan harus melintasi ladang yang penuh
dengan pepohonan.
Watiri melangkah tergesa-gesa. Hatinya tiba-tiba berubah takut atas ucapan
teman-temannya.
Matanya memandang ke sekeliling yang sepi, karena sebentar lagi suasana akan
gelap. Dengan langkah-langkah cepat, Watiri terus berjalan melintasi ladang yang
di sekitarnya ditumbuhi pepohonan besar.
Ucapan keempat temannya dirasakan seperti sebuah peringatan baginya. Hatinya
semakin tercekam, ketika tiba-tiba nalurinya mengatakan ada seseorang yang
menguntit di belakang.
Watiri menengok ke belakang. Namun matanya tak melihat siapa pun. Sepi sekali.
Keadaan di sekelilingnya semakin meremang gelap, karena tertutup rimbun
pepohonan. Berkali-kali matanya mengawasi ke sekeliling dan memberanikan diri
menengok ke belakang dengan perasaan takut.
"Oh, mengapa bulu kudukku meremang?" keluh Watiri sambil memegangi tengkuknya
yang terasa sangat dingin. Matanya masih menyapu ke sekeliling yang gelap dan
sepi. Rasa takut pun semakin
mencekam. Angin senja berhembus perlahan, membawa
hawa dingin yang menusuk ke kulit. Namun tubuh Watiri justru mengeluarkan
keringat, bercampur air telaga yang belum kering benar dari kulitnya.
Langkahnya kembali terhenti, ketika merasakan ada seseorang yang mengikuti.
Kembali dia menyapukan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Namun tetap tak
dilihatnya orang atau apa saja yang menguntit di belakang. Hanya kesunyian
dengan hembusan angin yang semakin membuat Watiri bertambah tercekam rasa takut.
Gadis itu tidak berlari. Seakan hatinya menuntut agar tetap berada di tempat
itu, untuk mengetahui siapa yang sejak tadi menguntitnya.
"Mungkinkah teman-teman yang sedang meng-
goda dan menakut-nakutiku?" tanya Watiri dalam hati menduga-duga. Matanya
kembali memandang ke sekeliling, berusaha meyakinkan diri kalau di sekitar
tempat itu memang tidak ada apa-apa.
Watiri hendak melanjutkan langkahnya pulang.
Namun tiba-tiba terdengar suara gemeresak, seperti kaki seseorang yang menginjak
daun kering. Kresek! Watiri tersentak. Langkahnya langsung terhenti.
Kemudian kepalanya menoleh ke belakang. Lagi-lagi tak ada siapa-siapa di
belakangnya. Sepi! Tak ada seorang manusia pun di tempat itu selain dirinya.
Perasaan takut semakin mencekam jiwa gadis itu.
Tanpa berteriak atau berlari, Watiri membalikkan tubuh ke belakang, lalu berdiri
mematung sambil mengawasi tempat asal suara tadi. Dia tahu pasti, kalau kebun
karet itu tak ada apa-apanya. Hampir setiap sore selama bertahun-tahun
dilewatinya tempat itu. Tak pernah terjadi sesuatu yang aneh dan
menakutkan. "Ah, mungkin hanya angin atau binatang," gumam Watiri berusaha menghibur diri.
Gadis itu kemudian melanjutkan langkah kakinya. Namun tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat muncul dari balik pohon karet besar. Watiri tersentak kaget. Dia
hendak menjerit tapi sosok bayangan besar itu telah mendahului menotok tubuh
Watiri. Tuk! Tuk! "Ukh!"
Keluhan kecil terdengar dari mulut Watiri.
Kemudian tubuh gadis berkain lurik merah itu terkulai pingsan tak sadarkan diri.
Secepat itu pula, sosok tubuh besar menyambar tubuh Watiri dan membawa pergi
menuju selatan.
*** Empat gadis cantik warga Desa Karang Bale yang masih di telaga bergerak naik,
ketika suasana mulai menggelap. Tanpa menaruh curiga, kalau ada orang yang
mengintip, mereka langsung membuka kain basahan. Kemudian segera berganti dengan
gaun mereka. "Kita pulang, yuk!" ajak gadis bergaun jingga.
"Ayo! Sebentar lagi gelap," timpal gadis bergaun biru.
Dengan diselingi canda ria, keempat gadis itu meninggalkan telaga untuk kembali
ke rumah masing-masing. Tentu saja mereka pun melintasi jalan di ladang Kemudian
masuk ke perkebunan karet, sama dengan yang dilewati Watiri. Karena hanya jalan
itulah yang terdekat sampai di kampung mereka.
Suasana sudah mulai gelap. Apalagi di dalam
perkebunan karet itu, cahaya lembayung di langit barat benar-benar tertutup
rimbun dedaunan karet.
"Tentunya Wati ketakutan mendengar gurauan kita, Wirani," ujar gadis bergaun
coklat. "Hi hi hi..., kasihan dia, ya?" sahut Wirani, sepertinya merasa bersalah telah
menakut-nakuti temannya.
"Ah, tapi kau tak ada apa-apa," selak gadis bergaun kuning.
"Ya. Memangnya ada apa" Setiap hari kita lewat sini, tak ada gendaruwo seperti
yang kamu katakan."
Keempat gadis itu terus melangkah sambil
bercanda ria penuh kebahagiaan, melintasi kebun karet yang telah mulai gelap dan
sepi. "Sebentar lagi gelap. Kita harus segera sampai di rumah," ajak Wirani pada
ketiga temannya. Mereka pun melangkah semakin cepat, sampai akhirnya tiba di
kampung. Keempatnya saling berpisah untuk menuju rumah masing-masing.
*** Kegelisahan seketika melanda kedua orang tua Watiri, setelah sejak sore menanti,
anaknya belum juga pulang. Padahal biasanya Watiri telah pulang sejak sore tadi.
Bahkan gadis itu biasanya sudah tidur.
"Kang, kenapa anak kita belum pulang?" tanya seorang wanita berusia sekitar
empat puluh tahun dengan wajah cemas, sambil melangkah mendekati sang Suami yang
sedang duduk di dipan ruang tamu rumahnya. Lelaki setengah baya itu pun,
nampaknya sedang menunggu anaknya. Hari telah malam.
Biasanya saat seperti ini Watiri sudah tidur di
kamarnya. "Iya, ya" Ke mana tuh anak?" gumam lelaki
berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan wajah gelisah. Nampaknya lelaki
ini sangat mencemaskan k-selamatan putrinya.
"Apa tidak sebaiknya kau tanyakan pada Wirani atau Rumi, Kang?" saran istrinya.
Ayah Watiri diam. Ditariknya napas dalam-dalam seakan berusaha membuang perasaan
yang meng-gelisahkan jiwanya. Betapa tidak! Malam telah semakin larut. Suasana
kian sepi, tapi Watiri, anaknya belum juga sampai di rumah.
"Baiklah. Aku akan menanyakan pada anak Ki Lurah Sentana," ujar ayah Watiri.
"Hati-hati di rumah, Rah! Aku pergi dulu untuk mencari Watiri."
"Hati-hati, Kang! Sebaiknya kau bawa golok," ujar Nyi Samirah menyarankan.
"Meskipun Desa Karang Bale aman, hal-hal yang tak terpikirkan, bisa saja
terjadi. Bisa saja ada binatang malam yang ganas.
Bukankah dengan membawa senjata bisa jaga diri?"
pikir ibu Watiri. Itu sebabnya perempuan itu menyarankan suaminya agar membawa
golok. "Ya ya, kau benar. Tolong ambilkan goloknya!"
pinta lelaki kurus dengan tubuh jangkung itu.
Nyi Sumirah bergegas mengambilkan golok
suaminya. Tak lama kemudian telah keluar dengan membawa golok. "Ini, Kang."
Dimasukkan golok itu ke ikat pinggangnya.
Kemudian lelaki setengah baya berpakaian coklat itu melangkah meninggalkan rumah
untuk mencari tahu, di mana anaknya berada.
Dengan langkah tergesa-gesa, ayah Watiri menuju rumah Ki Lurah Sentana. Saat itu
di rumah Kepala
Desa Karang Bale tampak masih terang. Sepertinya di rumah Ki Lurah Sentana
sedang kedatangan tamu.
"Selamat malam...!" sapa ayah Watiri pada kedua penjaga rumah Ki Lurah Sentana.
"Selamat malam," sahut kedua penjaga itu
hampir bersamaan.
"Ada apa, Ki Pardi?" tanya salah seorang dari kedua penjaga yang berbadan tegak
tinggi dengan alis mata tebal. "Sepertinya ada keperluan penting, Ki. Tak
seperti biasanya malam-malam begini kau datang."
"Ah, tidak, Ki Barman. Aku hanya ingin bertemu Ki Lurah," jawab ayah Watiri yang
ternyata bernama Pardi.
"Sebentar, aku sampaikan pada Ki Lurah," jawab Ki Barman. Kemudian lelaki
berusia lima puluh tahun berpakaian loreng itu melangkah meninggalkan serambi
rumah, untuk menemui Ki Lurah Sentana.
"Suruh dia masuk, Barman!" dari dalam terdengar suara Ki Lurah Sentana
memerintah centeng itu.
Ki Barman melangkah keluar untuk menemui
tamu Ki Lurah itu. Ki Pardi mengangguk dengan mulut mengurai senyum, karena tadi
mendengar suara Ki Lurah Sentana dari dalam rumahnya.
"Ki Pardi, kau disuruh masuk," ujar Ki Barman.
"Terima kasih," jawab Ki Pardi. Kemudian setelah memberi hormat pada kedua
jawara penjaga rumah Ki Lurah Sentana lelaki setengah baya itu masuk.
Di dalam rumah Kepala Desa Sentana saat itu ada seorang tamu yang tak lain adik
Ki Lurah Sentana sendiri. Kedua kakak beradik itu tengah berbincang-bincang.
Seketika mereka menghentikan obrolan, ketika Ki Pardi masuk.
"Selamat malam, Ki Lurah!" sapa Ki Pardi sambil
menjura hormat pada Ki Lurah Sentana dan adiknya, Ki Tunjung Melur atau yang
dikenal dengan sebutan Pendekar Kali Bengawan. Lelaki bertubuh tegap itu
mengurai senyum menerima kedatangan penduduk desa itu.
"Selamat malam," jawab Ki Lurah Sentana.
"Silakan duduk, Ki!"
Ki Pardi pun menurut duduk.
"Ada apa malam-malam begini kau datang, Ki?"
tanya Kepala Desa Karang Bale itu.
"Maaf, Ki Lurah! Apakah Nini Wirani sudah
pulang?" Ki Pardi balik bertanya.
Mendengar pertanyaan aneh itu Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur mengerutkan
kening. Ki Lurah Sentana langsung menatap lekat wajah Ki Pardi yang menunduk,
sepertinya merasa keheranan dan tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
"Sudah. Ada apa, Ki?" tanya lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan wajah
nampak tenang penuh wibawa. Mata Ki Lurah Sentana tetap menatap wajah Ki Pardi,
seakan ingin menyelidik apa yang sesungguhnya terjadi.
"Anak saya belum pulang, Ki," ujar Ki Pardi, menjawab pertanyaan Ki Lurah
Sentana. "Hah"! Anakmu, Watiri belum pulang?" ulang Ki Lurah Sentana. Matanya terbelalak
kaget mendengar pemberitahuan Ki Pardi.
"Benar, Ki," jawab Ki Pardi sambil meng-
anggukkan kepala. Tidak hanya Ki Lurah Sentana, adiknya Ki Tunjung Melur pun
membelalakkan mata karena terkejut.
"Kau tak bergurau, Ki Pardi?" tanya Ki Lurah Sentana.
"Mana mungkin saya berani bercanda padamu, Ki
Lurah?" "Hm," gumam Ki Lurah Sentana. Wajahnya
seketika berubah kelabu. "Sebentar, kupanggil Wirani dulu..., Wirani...!"
"Saya, Ayah...!" sahut Wirani dari dalam.
"Kemari sebentar!" perintah Ki Lurah Sentana.
Dari dalam, muncul Wirani dan ibunya. Keduanya mendekat dan duduk di kursi yang
masih kosong. "Ada apa, Ayah?" tanya Wirani dengan kening mengerut, melihat ayah Watiri ada di
rumahnya. Gadis itu tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Apakah kau tadi mandi bersama Watiri?" tanya Ki Lurah Sentana seraya menatap
wajah putrinya.
"Benar, Ayah." Wirani mengangguk seraya
menoleh ke wajah Ki Pardi.


Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pulangnya..." Apa kau bersama dia?"
"Tidak, Ayah. Watiri lebih dahulu pulang," jawab Wirani, "Memangnya ada apa,
Ayah?" "Dia belum pulang," sahut Ki Lurah Sentana.
"Hah"!"
Wirani tersentak kaget, mendengar jawaban
ayahnya. "Bagaimana mungkin?" pikir Warani.
"Bukankah Watiri pulang lebih dahulu" Bahkan hari belum begitu petang. Masa dia
tersesat?"
"Kau tahu ke mana dia, Wirani?"
"Tidak, Ayah. Kami semua tahu kalau dia telah pulang lebih dahulu. Dan kami
pikir Watiri telah sampai di rumah, ketika kami naik dari telaga," tutur Wirani
masih dengan kening mengerut. Gadis itu seakan tak percaya dengan apa yang baru
saja didengarnya.
"Mungkinkah ucapanku yang hanya bergurau
benar terjadi?" tanya Wirani dalam hati. "Apakah benar ada. gendruwo yang suka
menculik gadis" Ah,
aneh sekali...! Ke mana Watiri sebenarnya?"
Semua yang ada di dalam terdiam dengan
perasaan yang masih bergelut di hati masing-masing.
Mereka heran, mengapa Watiri yang pulang lebih awal justru belum sampai di
rumah" Mungkinkah Watiri tersesat" Rasanya aneh, kalau sampai tersesat. Karena
Watiri sejak kecil hidup di Desa Karang Bale. Seperti gadis-gadis desa atau
warga yang lain, telah belasan tahun lamanya Watiri memahami benar daerah
sekitar telaga. Sejak umur lima atau tujuh tahun mereka telah akrab dengan
tempat itu. Sungguh aneh dan tak masuk akal kalau Watiri tersesat!
"Apakah Ki Pardi telah mencari ke rumah
tetangga terdekat?" tanya Ki Tunjung Melur memecahkan kesunyian.
"Belum," sahut Ki Pardi.
"Cobalah Ki Pardi! Kalau memang tak ada dan belum juga pulang, tabuhlah
kentongan dua kali.
Kami akan segera ke rumah Ki Pardi," saran Ki Tunjung Melur.
"Baiklah kalau begitu, saya mohon diri!"
"Silakan!" sahut Ki Lurah Sentana.
"Selamat malam...!"
"Selamat malam!" sahut Ki Lurah Sentana dan keluarganya.
Ki Pardi pun segera melangkah keluar dengan perasaan yang semakin tak menentu.
Hatinya gelisah dan diliputi kecemasan, karena tak tahu ke mana anak gadisnya
hingga malam begini belum juga pulang. Apa lagi setelah mendengar penuturan
Wirani bahwa anaknya telah pulang lebih dulu daripada teman-temannya.
"Jangan-jangan, anakku diculik," pikir Ki Pardi
semakin gelisah. Langkah kakinya semakin cepat, seakan tak sabar untuk segera
sampai di rumah.
Hatinya berharap benar sampai di rumah Watiri telah kembali.
Malam yang gelap, semakin terasa mencekam
jiwanya yang sedang dilanda kegelisahan. Langkah-langkah kaki Ki Pardi semakin
cepat, bahkan kini mulai berlari. Hatinya berharap segera sampai di rumah dan
menemukan anaknya pulang.
Ki Pardi sampai di rumah dengan napas terengah-engah dan tubuh basah berkeringat
setelah menghela napas agar tak tersengal-sengal, tangannya mengetuk pintu.
"Siapa...?" terdengar Nyi Sumirah dari dalam bertanya.
"Aku...," sahut Ki Pardi.
Tak lama kemudian, pintu sudah terbuka. Dari dalam muncul istrinya.
"Bagaimana, Kang?" tanya Nyi Sumirah penuh harap.
"Hh, Nini Wirani telah pulang. Katanya anak kita malah pulang lebih awal," desah
Ki Pardi seraya menghempaskan napas panjang-panjang.
"Ke mana anak kita ya, Kang?"
"Itulah yang tak kumengerti. Jangan-jangan..."
"Jangan-jangan kenapa, Kang?" tanya Nyi
Sumirah semakin bertambah cemas.
"Anak kita diculik, Rah."
"Kang...," desis Nyi Sumirah semakin cemas.
Ki Pardi segera berjalan mendekati kentongan di depan rumahnya. Segera
dipukulnya kentongan itu.
Terdengar bunyi keras kentongan sebanyak dua kali.
Tong! Tong...! Tak lama kemudian, Ki Lurah Sentana dan
adiknya serta Ki Barman, salah seorang jawara penjaga rumah Ki Lurah telah
datang. "Bagaimana, Ki, apakah sudah kau temukan?"
tanya Ki Lurah Sentana.
"Belum, Ki Lurah. Saya menduga, anak saya
diculik," ujar Ki Pardi.
"Jangan menduga yang tak baik, Ki! Sebaiknya kita panggil warga untuk mencari
Watiri," ujar Ki Lurah Sentana. "Barman, kau tabuh tiga kali kentongan agar
warga keluar!"
"Baik, Ki Lurah."
Tong! Tong! Tong...!
Ki Barman menabuh kentongan sebanyak tiga
kali, sesaat kemudian terdengar suara kentongan lain saling menyambut. Warga
Desa Karang Bale bergegas keluar dan langsung menuju rumah Ki Pardi, tempat awal
kentongan pertama terdengar. Wajah warga Desa Karang Bale diselimuti
ketidakmengertian, untuk apa Ki Pardi memanggil mereka.
"Ada apa, Ki Lurah?" tanya warga ingin tahu.
"Saudara-saudaraku, anak Ki Pardi belum pulang!
Untuk itu, sebagai saudara sedesa, kita patut membantu mencarinya!" seru Ki
Lurah Sentana. "Siapkan obor, kita akan mencari anak Ki Pardi!"
Tanpa diperintah dua kali, warga Desa Karang Bale pun segera menjalankan
perintah kepala desa.
Tidak lama kemudian, warga desa yang dipimpin langsung kepala desa berusaha
mencari Watiri.
Mereka mengelilingi Desa Karang Bale dengan membawa obor. Namun setelah seluruh
penjuru desa dikelilingi, mereka tak menemukan gadis itu.
"Mungkin diculik gendruwo, Ki Lurah!" seru salah seorang warga nyeletuk.
"Ngawur!" bentak Ki Lurah Sentana. "Kita ke
telaga! Siapa tahu dia kembali ke telaga."
Mereka pun segera berjalan menuju telaga
tempat tadi sore Watiri dan teman-temannya mandi.
Namun, sampai di sana, mereka tak menemukan siapa-siapa.
"Tak ada siapa-siapa, Ki Lurah," lapor salah seorang warga.
"Hm, apa benar diculik gendruwo?" gumam Ki Lurah Sentana setengah percaya,
setengah tidak.
Rasanya aneh, kalau gendruwo menculik gadis. Lagi pula, kalau memang ada
gendruwo, bukankah sejak dulu ada kejadian seperti sekarang ini"
"Bagaimana, Ki Lurah" Apa kita akan terus
mencari?" tanya warga desa.
"Tidak! Kita pulang saja!" jawab Ki Lurah Sentana.
Dengan tanpa hasil, warga desa dan Ki Lurah Sentana kembali ke desa. Malam
semakin kelam, menjadikan suasana kian mencekam.
*** 2 Watiri menggeliat. Tubuhnya dirasakan lemas seperti tak bertulang, setelah
semalaman pingsan karena keadaan tertotok. Mata gadis itu perlahan-lahan
membuka, memandang ke sekelilingnya yang terasa sangat asing. Di sekelilingnya
hanya dinding-dinding batu cadas. Dingin dan lembab.
"Uh...!" Watiri melenguh ketika dirasakan tangan dan kakinya tak dapat
digerakkan. Ternyata tangan dan kakinya diikat pada ujung-ujung sebuah meja
batu. "Oh, di mana aku" Mengapa tangan dan kakiku diikat?"
Watiri kembali memandang ke sekeliling tempat itu, berusaha mengetahui di mana
dirinya berada.
Matanya hanya melihat dinding-dinding batu cadas.
"Goa..." Oh, mengapa aku berada di dalam goa?"
keluh Watiri dengan perasaan cemas dan takut, karena suasana yang sangat sunyi
di goa itu. Apalagi ketika Watiri menengadahkan kepala, tubuhnya bergidik. Di
atas kepalanya, tampak sebuah golok besar dan tajam. Golok itu terletak di atas
dua buah batu, menghadap ke kepala Watiri.
"Oh, untuk apa golok itu?" pikir Watiri, semakin dilanda kecemasan. "Mungkinkah
aku akan disembelih" Oh, tidak...! Aku tak mau, disembelih!"
Watiri semakin dicekam perasaan takut, ketika terlintas dalam benaknya bahwa
mungkin dirinya akan dijadikan korban persembahan. Dia tak tahu, siapa orang
yang telah membawanya ke goa itu. Yang sempat diingatnya hanya sesosok tubuh
tinggi dan besar yang melesat mendekati tubuhnya. Namun setelah itu tak ingat apa-apa lagi
karena tubuhnya tertotok.
Tiba-tiba dari dalam goa muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian abu-
abu. Matanya yang tajam memandang penuh nafsu. Dengan bibir mengurai senyum
menyeringai, lelaki bertubuh tinggi besar itu melangkah menghampiri Watiri yang
semakin ketakutan. "Siapa kau, Ki?" tanya Watiri dengan ketakutan, memandang tajam wajah lelaki
berusia sekitar enam puluh tahun yang tampak masih gagah.
"He he he...! Sungguh menggiurkan! Kau memang seorang gadis yang sangat
menggiurkan. Aku Datuk Raja Beracun.... He he he!" ujar lelaki tua itu sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Matanya tak berkedip merayapi tubuh Watiri yang dalam
keadaan setengah telanjang.
Watiri kian ketakutan melihat kebuasan yang tersirat dalam tatapan tajam lelaki
bernama Datuk Raja Beracun itu.
"Siapa kau"! Kenapa kau ikat aku seperti ini?"
bentak Watiri dengan suara bergemetar. Matanya yang bening melotot penuh
kebencian setelah dapat menduga kalau lelaki tua berpakaian abu-abu itu tentu
hendak berbuat jahat terhadapnya. "Kembalikan aku pada orangtuaku!"
"He he he..., nanti akan kukembalikan, Manis.
Tenanglah dahulu! Kita akan menikmati sesuatu yang belum pernah kau alami," ujar
Datuk Raja Beracun sambil tertawa terkekeh. Kemudian tanpa menghiraukan Watiri
yang meronta-ronta, berusaha melepaskan diri, Datuk Raja Beracun berlalu
meninggalkan tempat itu. Sambil tertawa terbahak-
bahak lelaki tua itu terus melangkah ke ruangan dalam.
Watiri semakin tegang dan gelisah, setelah mendengar kata-kata yang baru saja
diucapkan Datuk Raja huracun. Hatinya semakin benci
bercampur marah dan ketakutan. Ucapan lelaki tua itu dianggapnya sangat
menjijikkan. Namun
bagaimana harus menghindarinya. Dirinya tak sudi melayani nafsu datuk tua itu.
Sementara tangan dan kaki terbelenggu di meja batu. Untuk bergerak saja sulit,
apalagi melepaskan diri. Jelas tak mungkin.
Berapa besar kekuatan seorang wanita seperti dirinya. Rasa putus asa pun mulai
menjalar di hati gadis cantik itu.
"Hyang Widi, lindungilah hambamu ini!" seru Watiri dengan suara lirih.
Ditengadahkan wajahnya, memandang langit-langit goa. Tidak terasa air matanya
meleleh. Watiri merasa sedih, cemas dan takut saat itu. Apalagi setelah
mendengar ucapan lelaki tua yang sama sekali belum pernah dikenalnya itu.
Sementara itu, di dalam goa Datuk Raja Beracun nampak tengah duduk bersila. Di
hadapannya, terdapat sebuah perapian yang mengepulkan asap lebat. Rupanya sang
Datuk tengah melakukan upacara, memanggil arwah yang menjadi sesem-bahannya.
Matanya terpejam. Bibirnya bergerak, mengucapkan mantera-mantera yang sulit
untuk diikuti. Sesaat kemudian dari perapian mengepul asap yang
semakin lama semakin tebal, seiring dengan kecepatan mantera yang dirapalkan
Datuk Raja Beracun. Dari kepulan asap tebal itu samar-samar muncul sebuah
bayangan. Lama kelamaan bayangan
itu semakin membesar dan membentuk sosok
manusia. Namun bukan sosok manusia biasa.
Melainkan manusia berkepala serigala.
Dan anehnya lagi di kepala terdapat tiga buah tanduk. Dua tanduk di sisi kanan
dan kiri, sedangkan sebuah lagi di atas.
"Auuu...!"
"Ada apa kau memanggilku, Raja Beracun?"
suara keras bergetar dan parau terdengar dari mulut manusia serigala itu. Kepala
yang hitam dengan sorot mata tajam tampak menatap Datuk Raja Beracun yang tengah
menyembah. "Ampun, Guru! Sengaja saya mengundang Guru, semata-mata karena hendak melakukan
penyempurnaan ajian 'Walik Akal'," jawab Datuk Raja Beracun penuh hormat
"Hua ha ha...! Jadi kau ingin memiliki ajian itu, Raja Beracun..." Bukankah kau
telah memiliki ajian
'Serigala Hitam'" Masih belum cukupkah?" tanya manusia berkepala serigala sambil
tertawa terbahak-bahak. Suaranya bergema keras memenuhi ruangan dalam goa itu.
Datuk Raja Beracun hanya mampu menundukkan kepala. Sepertinya lelaki tinggi
besar bermuka garang dihiasi cambang bauk tebal itu tersindir oleh ucapan
makhluk berkepala serigala.
"Itu kalau Guru berkenan," desah Raja Beracun lirih dengan kepala masih
tertunduk. "Hua ha ha...! Aku sebagai gurumu, tentu saja mendukung keinginanmu...," ujar
manusia berkepala serigala. "'Tapi, apa sebenarnya maksudmu mem-pelajari ajian
'Walik Akal'" He he he...! Apa yang sedang kau cita-citakan, Raja Beracun?"
Datuk Raja Beracun terdiam. Namun kepalanya
tampak terangguk-angguk.
"Hm, katakanlah!"
"Sebenarnya, saya ingin menjadi orang yang paling sakti di rimba persilatan,
Guru," jawab Datuk Raja Beracun.
"Hanya itu?" tanya manusia berkepala serigala.
Sesaat Datuk Raja Beracun terdiam. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan ingin
membuang perasaan di dalam hatinya yang bergejolak. Ada keinginan lain yang sebenarnya
tersembunyi di hati kecilnya. Dirinya ingin menjadi pimpinan para pendekar,
sekaligus orang yang ditakuti setaraf dengan raja, baik oleh para pendekar
maupun orang biasa.
"Ada lagi, Guru."
"Katakan, apa lagi?" tanya manusia berkepala serigala.
"Saya ingin menjadi pimpinan di rimba
persilatan," jawab Raja Beracun.
"Hua ha ha...! Sebenarnya, tanpa ajian 'Walik Akal'
pun, kau akan mampu melakukan semua yang kau inginkan," tutur manusia berkepala
serigala. "Belum, Guru. Karena masih banyak pendekar aliran lurus yang memiliki ilmu
tinggi. Mereka tak mudah untuk ditaklukkan," ujar Datuk Raja Beracun tetap
dengan kepala tertunduk, tak berani beradu pandang dengan manusia serigala di
hadapannya. "Auuu...! Jadi kau tetap bertekad mendalami ajian itu, Raja Beracun?" tanya
manusia berkepala serigala.
"Benar, Guru."
"Hm...! Apakah kau tahu, apa yang harus
dilakukan untuk menyempumakan ajianmu?" tanya manusia serigala itu dengan suara
menggeram keras.
"Tahu, Guru."
"Tujuh gadis tumbal. Sanggupkah kau men-
dapatkan gadis-gadis itu?"
Tampaknya manusia berkepala serigala pun
merasa khawatir kalau-kalau muridnya, Datuk Raja Beracun akan mengalami
kesulitan. Menculik tujuh perawan bukanlah pekerjaan mudah.
"Sanggup, Guru."
"Hm, kalau begitu, aku tak bisa menolak
permintaanmu. Siapkanlah tujuh orang perawan. Dan yang harus kau ingat, jangan
mengambil gadis yang lahir pada malam satu Sura," ujar manusia berkepala
serigala mengingatkan, menjadikan Datuk Raja Beracun tersentak dan mengerutkan
kening. "Kenapa, Guru?" tanya Datuk Raja Beracun.
"Ketahuilah olehmu! Kalau kau menggeluti gadis yang lahir malam satu Sura, maka
bukan ilmu 'Walik Akal' yang kau dapatkan! Malah kau akan kehilangan segala-
galanya," kata manusia berkepala serigala menjelaskan. "Bukan itu saja. Penguasa
alam kegelapan akan murka sekali."
"Baik, Guru. Segala petuah yang Guru berikan, akan saya ingat selalu," jawab


Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Datuk Raja Beracun.
"Nanti malam, tepat Bintang Pari berada di tengah-tengah, lakukanlah pengorbanan
itu," perintah manusia berkepala serigala. "Sekarang aku pergi. Ingat baik-baik
pesanku tadi...!"
Datuk Raja Beracun mengangguk-angguk tanda menyetujui persyaratan yang diajukan
gurunya. Manusia berkepala serigala itu pun perlahan-lahan berubah samar-samar, kemudian
menyatu dengan asap perapian yang tebal.
Datuk Raja Beracun melakukan sembah,
kemudian bangun dan segera melangkah dari
ruangan pemujaan, menuju tempat Watiri berada.
Gadis itu nampak semakin ketakutan, menyaksikan lelaki bertubuh besar itu
mendekatinya. Apalagi melihat senyum menyeringai di bibir sang Datuk, membuat
Watiri semakin gemetar tak karuan.
"Lepaskan aku! Kembalikan aku pada orang
tuaku," pinta Watiri setengah mengiba dengan lelehan air mata membasahi kedua
pipinya. Gadis itu tampak berusaha meronta, tetapi tak mampu karena kedua tangan
dan kakinya diikat.
"He he he... Sabar, Cah Ayu! Besok, kau akan kembali. He he he!" Datuk Raja
Beracun melangkah mendekati tubuh Watiri yang hanya terbungkus kain lurik merah
sampai ke dada. Matanya merah penuh nafsu, memandang lekat tubuh Watiri yang
mulus itu. Jakunnya turun naik. Beberapa kali lelaki tua berwajah beringas itu, menelan
ludah. Tampaknya tak mampu menahan gejolak birahi yang menggebu-gebu.
Perlahan-lahan, tangan sang Datuk menjulur ke dada Watiri yang menonjol.
Kemudian dengan nakal, meraba kedua buah dada gadis itu.
"Iblis! Lepaskan aku...!" Watiri berteriak-teriak memaki. Namun Datuk Raja
Beracun tak meng-hiraukannya. Dengan bibir masih mengurai senyum, tangannya
terus menjamah tubuh gadis itu. Diremas-remasnya kedua buah dada Watiri. Gadis
itu tampak kian marah. Wajahnya memerah. Namun seketika itu juga, tiba-tiba
dirasakan ada suatu hawa aneh menjalar di dalam tubuhnya. Napasnya memburu.
Sedangkan kepalanya terasa pening dengan
pandangan berkunang-kunang. Semakin lama tubuhnya semakin tegang, gemetaran, dan
bergairah. "He he he...!" Datuk Raja Beracun yang terus
meremasi buah dada Watiri, sambil terkekeh senang.
Ternyata Racun Birahi yang disalurkan melalui telapak tangannya, telah bekerja
sebagaimana yang diharapkan. Terbukti gadis montok itu kini mendesis dengan mata
mengerjap-ngerjap. Bahkan kini tak terdengar caci-maki dari mulutnya. Gadis itu
seperti dilanda nafsu birahi yang bergejolak hebat. "Aaah...!
Oh,..!" Hanya lenguhan dan desisan yang keluar dari mulut Watiri, yang membuat nafsu
Datuk Raja Beracun semakin menggebu-gebu. Bergejolak, laksana api yang membakar
tubuhnya. Tangan Datuk Raja Beracun merobek kain yang masih menutupi tubuh
Watiri. Bret! Kini tubuh Watiri polos, tak tertutup sehelai benang pun. Gadis itu semakin
mendesis keras, dengan mata terpejam.
"Oh, Ki...!"
"He he he Sabar, Cah Ayu! Belum saatnya kita melakukan apa yang kau harapkan.
Tunggulah nanti malam!" ujar Daluk Raja Beracun sambil terkekeh-kekeh. Dan tiba-
tiba lelaki tua itu melepaskan remasan tangannya, kemudian melangkah
meninggalkan tempat itu. Tinggal Watiri yang tersiksa dengan gejolak birahi yang
membakar jiwanya.
*** Malam yang dinantikan oleh Datuk Raja Beracun akhirnya datang. Berarti upacara
tumbal perawan sebagai syarat utama untuk mendapatkan ajian Walik Akal sebentar
lagi akan berlangsung, saat Bintang Pari tepat berada di atas kepala.
"Auuu...! Auuu...!"
Lolongan anjing hutan terdengar bersahut-
sahutan. Seakan binatang-binatang itu merasakan adanya sesuatu yang akan
terjadi. Sesuatu kejadian yang sangat mengerikan. Anjing-anjing itu seperti
tengah memberi peringatan kepada manusia. Suara-suara lolongan itu terasa mampu
membuat merinding tubuh orang yang mendengarnya.
Begitu pula dengan Watiri yang kini terkapar di atas altar batu. Gadis itu
semakin ketakutan. Namun hatinya telah pasrah karena tak mampu berbuat apa-apa.
Watiri merasakan hawa dingin yang menggigilkan.
Bulu kuduknya semakin meremang berdiri,
mendengar lolongan anjing hutan. Apalagi suasana di dalam goa itu sangat sepi,
tak ada siapa-siapa. Hanya dirinya sendiri, dengan tangan dan kaki terbelenggu
pada meja batu.
"Oh Hyang Widi, apa yang akan terjadi pada diriku?" keluh Watiri dengan suara
bergetar karena kedinginan dan rasa takut. Sementara itu lolongan anjing
terdengar semakin bersahutan. Sepertinya binatang-binatang itu memberi tahu akan
terjadi sesuatu pada dirinya. Air mata gadis itu meleleh, sedih, dan takut
beraduk menjadi satu di dalam dadanya. Matanya yang menangis, memandang ke atas,
pada langit-langit goa yang gelap. Tangisnya semakin berderai keras, merasakan
takut yang tiada terkira.
Malam semakin larut, dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang sumsum.
Suasana di dalam goa tempat Watiri berada, semakin mencekam. Gadis itu pun
semakin merasakan ketakutan. Tangisnya semakin keras, terdengar. Gemanya
berputar-putar dipantulkan dinding goa.
"He he he...!"
Dari dalam goa, muncul Datuk Raja Beracun.
Matanya yang merah, menatap penuh nafsu pada gadis yang semakin bertambah
ketakutan itu. Lelaki tua bertubuh tinggi itu, melangkah mendekati Watiri yang
terbaring dan terikat di atas batu.
"Tidak! Jangan dekati aku...! Lepaskan ikatan ini!"
teriak Watiri sambil berusaha membuka. Namun tangan dan kakinya yang terikat,
membuat tubuhnya tak mampu bergerak apalagi bangkit dari ter-baringnya. Semakin
keras dia meronta, semakin terasa sakit pergelangan tangan dan kakinya yang
terikat. "He he he...! Percuma kau meronta-ronta, Cah Ayu!" ujar Datuk Raja Beracun
sambil melangkah mendekati batu besar itu. Matanya yang merah, tak berkedip
menatap tubuh Watiri yang dalam keadaan telanjang bulat.
Perlahan-lahan Datuk Raja Beracun membuka
pakaiannya. Kemudian dengan bibir mengurai senyum, mendekati tubuh Watiri yang
telanjang. "Tidak! Jangaaan...!" teriak Watiri berusaha menolak apa yang akan dilakukan
Datuk Raja Beracun terhadap dirinya. Dilempar-lemparkan kepalanya, berusaha
menolak perbuatan lelaki tua itu. Namun percuma saja melakukan itu, karena Datuk
Raja Beracun bagaikan tak peduli. Lelaki berusia enam puluh tahun yang masih
gagah itu, kini tampak semakin buas. Tubuhnya yang juga telanjang, menindih
tubuh Watiri. "He he he...! Sebentar lagi, kau akan merasa kenikmatan, Cah Ayu," desisnya
sambil terus merayap naik.
"Lepaskan...! Oh.... Ah... Sss...!" Watiri kini benar-benar merasakan gejolak
birahi yang menggebu-gebu.
Rupanya Racun Birahi yang dilancarkan Datuk Raja Beracun melalui remasan dan
usapan tangan pada buah dadanya telah bekerja. Hal itu yang membuat Watiri mulai
terseret ke dalam gelombang nafsu meluap-luap. Tak ada lagi perasaan marah yang
melekat dalam hatinya. Yang ada hanyalah perasaan nafsu yang menggebu-gebu.
Datuk Raja Beracun semakin menjadi-jadi,
merasa Racun Birahi yang dijalankan lewat usapan dan remasan tangannya telah
mempengaruhi Watiri.
Kini dengan penuh kebuasan, lelaki tua berwajah beringas itu menggumuli tubuh
Watiri. Gadis itu kian menggerinjang dengan desahan-desahan lirih.
"Ah...! Oh...! Sss...!"
Datuk Raja Beracun kian cepat bergerak.
Matanya yang merah, semakin membara penuh
birahi. Sementara Watiri dalam keadaan tak sadar, menerima perbuatan Datuk Raja
Beracun. Matanya mengerjap-ngerjap, dengan desisan-desisan penuh kepuasan.
"Ukh...!"
"Ahk...!"
Keduanya mengejang dengan mata membeliak,
lalu terkulai penuh kepuasan.
Setelah pingsan beberapa saat, terdengar isak tangis dari mulut Watiri. Kemudian
perlahan-lahan matanya membuka jalang. Dari mulutnya keluar pekikan keras,
menyesali apa yang telah terjadi terhadap dirinya. Kehormatannya telah direnggut
lelaki berbadan tinggi besar yang kini tersenyum menyeringai.
"Tidak...! Bajingan! Lebih baik aku mati!" teriak
Watiri sambil berusaha bunuh diri dengan
membantingkan kepala, namun karena kaki dan tangannya terikat, gerakannya sangat
sulit Gadis itu benar-benar merasa putus asa, setelah menyadari kalau
keperawanannya telah terenggut
Sementara Datuk Raja Beracun yang telah mendapatkan semuanya, terkekeh senang.
Perlahan bangun dari duduknya. Dikenakan kembali pakaiannya.
"He he he...! Bagaimana, Cah Ayu?"
"Kurang ajar! Iblis...! Laknat...!" maki Watiri di sela isak tangisnya. Namun
Datuk Raja Beracun tak marah meski dicaci maki begitu rupa. Bahkan, lelaki
tinggi besar bermuka garang itu semakin tertawa terkekeh.
Kemudian, tanpa menghiraukan Watiri yang
menangis penuh penyesalan, Datuk Raja Beracun berlalu meninggalkan ruangan itu
menuju keluar goa untuk melihat Bintang Pari.
Datuk Raja Beracun berdiri di depan pintu goa.
Wajahnya menengadah ke langit yang bening.
Bintang-gemintang tampak berkerlap-kerlip. Bintang Pari yang dijadikan pedoman,
nampak telah berada di atas kepalanya. Berarti dirinya harus segera menjalankan
upacara persembahan itu.
"He he he...! Akulah yang akan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan,"
ujar Datuk Raja Beracun sambil tertawa terbahak-bahak. Datuk Raja Beracun
melangkah ke dalam goa. Sesaat berhenti di dekat altar batu, tempat Watiri masih
menangis sambil mencaci maki.
"Iblis! Lepaskan aku! Atau bunuhlah aku...!" teriak Watiri kalap. Dia berusaha
meronta sekuat tenaga-nya, dengan kepala dicobanya untuk dibenturkan pada alas
altar. Namun tak juga sampai, karena kaki
dan tangannya terpentang.
"He he he...! Sabar, Cah Ayu! Sebentar lagi kau akan pulang," ujar Datuk Raja
Beracun sambil melangkah menuju dua batu tinggi, tempat sebuah golok besar
tergantung. Diambilnya golok itu.
Mulutnya menyeringai seperti mengejek Watiri.
Ditimang-timangnya golok besar dan tajam itu. "He he he...!"
Mata Watiri membuka lebar menyaksikan golok besar dan tajam kini telah terangkat
di tangan Datuk Kaja Beracun. Golok itu tampak mengerikan, seakan-akan menyimpan
hawa pembunuhan.
"Tidak...!" jerit Watiri dengan mata membeliak ketakutan, menyaksikan golok
besar dan tajam terayun ke lehernya. Watiri berusaha mengelak, tapi karena
tangan dan kakinya diikat dan direntang, sulit baginya untuk mengelak.
Hingga.... Wrt! "Aaa...!"
Crak! Watiri hanya sempat berteriak pendek, karena golok itu telah menebas lehernya.
Seketika kepalanya lepas dan menggelinding di lantai goa. Darah muncrat dari
leher gadis itu. Dengan mata terpicing, Datuk Raja Beracun mendekati tubuh
Watiri yang sudah tak berkepala lagi. Diraupnya darah yang tergenang di sekitar
rubuh gadis itu, lalu digunakan untuk mencuci wajahnya. Bahkan kemudian
diminumnya darah yang masih mengalir lewat leher yang buntung itu.
"Nyem nyem...! Hua ha ha...! Akulah yang akan menjadi orang paling sakti di
rimba persilatan ini!"
Datuk Raja Beracun tak puas hanya sampai di situ. Dengan kuku-kukunya yang
panjang, dibelahnya dada Watiri. Kemudian bagaikan tak mengenal belas
kasih, dicopotnya jantung Watiri, lalu dimakan sampai habis.
Bersamaan dengan habisnya jantung Watiri,
tubuh Datuk Raja Beracun nampak merah membara.
Mulutnya menyeringai penuh kepuasan. Matanya yang merah, semakin membara,
menatap sosok mayat Watiri yang terkapar bersimbah darah.
"Hua ha ha...!"
Datuk Raja Beracun tertawa terbahak-bahak
bagaikan orang tak waras. Kemudian dibukanya ikatan di tangan dan kaki mayat
Watiri. Lalu diangkatnya tubuh Watiri. Setelah mengambil kepalanya yang tadi
menggelinding, Datuk Raja Beracun melesat meninggalkan goa tempatnya berdiam
diri. Angin malam menghembuskan hawa dingin
diikuti dengan lolongan anjing hutan yang mampu membuat bulu kuduk berdiri.
Datuk Raja Beracun terus berkelebat pergi menembus kegelapan malam sambil
memanggul mayat Watiri. Sedangkan tangan kiri menenteng kepala gadis itu yang
matanya membelalak.
"Hua ha ha...!"
Dengan tertawa-tawa bagaikan orang gila, Datuk Raja Beracun terus berlari
menuruni lereng Gunung Welirang. Larinya yang begitu cepat, menunjukkan kalau
Datuk Raja Beracun pun menguasai ilmu silat yang cukup tinggi. Hal itu dapat
dilihat dari betapa ringan kakinya menuruni lereng pegunungan sambil memanggul
tubuh Watiri. Datuk Raja Racun terus berlari ke utara, menuju Desa Karang Bale. Malam semakin
mencekam, dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang sum-sum.
3 Pagi-pagi sekali, warga Desa Karang Bale tiba-tiba digegerkan dengan
ditemukannya mayat Watiri di depan rumahnya. Kepala mayat itu tergeletak di
samping tubuhnya. Dan yang lebih mengerikan, dada gadis itu berlubang dengan
jantung sudah tak ada lagi. Darah kering berserakan di tubuhnya.
Nyi Sumirah menjerit sejadi-jadinya, ketika mendapati anaknya sudah menjadi
bangkai dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Sedangkan Ki Pardi hanya dapat
meneteskan air mata duka.
"Benar-benar perbuatan biadab!" pikirnya dengan hati kesal.
Ki Lurah Sentana ketika mendengar kabar
tentang peristiwa itu, langsung berangkat menuju rumah Ki Pardi. Adiknya, Ki
Tunjung Melur pun tak mau ketinggalan, segera mengikuti, berangkat ke rumah ayah
Watiri. Mereka sebagai orang-orang yang dipercaya untuk memimpin Desa Karang
Bale, merasa bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa warganya.
"Biadab!" dengus Ki Sentana dengan mata
membeliak, menyaksikan keadaan mayat Watiri.
"Jelas ini bukan tindakan dedemit atau iblis. Ini tindakan manusia yang sangat
biadab!" "Kakang, nampaknya sebelum dibunuh, Watiri di-perkosa dahulu," ujar Ki Tunjung
Melur, ketika matanya menyaksikan sesuatu kerusakan pada kemaluan Watiri. Napas
Ki Tunjung Melur terasa berat. Bagaimana pun sebagai adik Ki Sentana,
Kepala Desa Karang Bale, dirinya merasa ber-kewajiban membantu dalam keamanan
desa itu. Ki Sentana mencoba membuktikan dugaan
adiknya. Dan memang benar, matanya dapat melihat ada bekas-bekas tindak
perkosaan. Hal itu membuat Ki Lurah Sentana semakin bertambah geram
terhadap pelaku yang sampai saat ini belum diketahui orangnya.
"Bedebah! Ini benar-benar penghinaan bagi kita!
Rupanya ada orang yang hendak menggunting dalam lipatan," ujar Ki Sentana dengan
wajah memerah marah. Namun, dirinya tak dapat berbuat apa-apa, karena tak tahu
orang yang harus dicurigai. Kepala desa itu pun tak tahu siapa sebenarnya pelaku
pembunuhan secara keji itu. Peristiwa itu telah membuat gempar warga desa. Desa
Karang Bale yang selama ini tenang dan damai, tiba-tiba saja dikejutkan dengan
adanya pembunuhan keji itu.
"Apakah kita tak pantas mencurigai seseorang, Ki?" tanya Ki Pardi. Sebagai
seorang ayah, dirinya benar-benar sedih, melihat kejadian yang menimpa anaknya.
Ki Sentana terdiam dengan mengulum bibir.
Pandangan matanya kosong sepertinya tengah berpikir dan mencoba mereka-reka
siapa yang pantas untuk dicurigai. Dihelanya napas dalam-dalam, berusaha
melonggarkan dada yang terasa bergemuruh.
"Sepuluh tahun sudah peristiwa seperti ini berlalu. Ketika Ki Boleng menghilang,


Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian semacam ini pun ikut hilang. Namun kini, tiba-tiba peristiwa yang
pernah terjadi, kembali muncul,"
gumam Ki Sentana dengan suara berat.
"Mungkinkah Ki Boleng muncul kembali, Kang?"
tanya Ki Tunjung Melur.
"Entahlah," sahut Ki Sentana. "Menurut kabar, Ki Boleng telah mati di tangan
Singo Edan, si Pendekar Gila dari Goa Setan."
Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi yang mendengar Ki Boleng telah mati mengerutkan
kening, "Kalau Ki Boleng penganut ilmu setan dengan cara
mengorbankan gadis telah mati, lalu siapa yang kini melakukan pembunuhan ini?"
pikir hati mereka bertanya-tanya heran.
"Mungkin muridnya, Kang?" tanya Ki Tunjung Melur mencoba mereka-reka.
"Tidak," sahut Ki Lurah Sentana.
"Kenapa, Kakang" Bukankah mungkin saja sang Murid mewarisi ilmu gurunya...?"
tanya Ki Tunjung Melur.
"Ki Boleng tak punya murid," sahut Ki Sentana.
Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi terdiam mendengar ucapan Ki Sentana. Kalau benar
Ki Boleng tak memiliki murid, lalu siapa lagi yang melakukan kekejian itu" Hati
mereka diliputi ketidakmengertian.
Jelas orang-orang yang mengorbankan perawan untuk tumbal, pasti orang-orang yang
menganut aliran seperti Ki Boleng.
"Atau mungkin saudara seperguruannya, Kang,"
ujar Ki Tunjung Melur.
Ki Sentana terdiam. Keningnya berkerut, seolah-olah, tengah mencoba berpikir.
Kalau memang saudara seperguruan Ki Boleng, jelas hal itu bisa saja terjadi.
Tetapi, siapa saudara seperguruan Ki Boleng"
Selama mi, Ki Sentana tak pernah mendengar kalau Ki Boleng memiliki saudara
seperguruan. "Kurasa Ki Boleng tak memiliki saudara
seperguruan," desah Ki Sentana. "Ki Boleng murid tunggal Ki Persasi, seorang
resi sakti. Ki Persasi sebenarnya berhaluan lurus, itu sebabnya dirinya sangat
murka ketika mengetahui sang Murid berlaku sesat. Bahkan muridnya melebihi
iblis. Dan oleh karena itu pula, Ki Persasi akhirnya meminta tolong pada Singo
Edan, Pendekar Gila dari Goa Setan untuk menghentikan sepak terjang sang Murid.
Dan setelah muridnya binasa, Ki Persasi pun menghilang entah ke mana."
Secara singkat dan jelas, Ki Sentana menuturkan kisah tentang Ki Boleng, tokoh
yang sepuluh tahun silam pernah menggemparkan Desa Karang Bale dengan
perbuatannya yang keji. Kini, setelah sepuluh tahun tokoh sesat itu binasa di
tangan Singo Edan, muncul lagi kejadian yang hampir sama.
"Mungkinkah arwahnya bangkit kembali?" tanya Ki Tunjung Melur semakin penasaran.
Karena kejadian itu sama persis dengan tindakan Ki Boleng.
"Bisa jadi," gumam Ki Sentana. "Tapi..."
"Tapi apa, Kang?"
"Apa mungkin?" tanya Ki Sentana seperti tak percaya kalau semua kejadian yang
dialami Watiri merupakan perbuatan arwah Ki Boleng.
"Mengapa Kakang berkata begitu?" tanya Ki
Tunjung Melur dengan kening mengerut. Matanya menatap wajah Ki Sentana, seakan-
akan ingin mengetahui apa yang sebenarnya tersimpan dalam benak kakaknya.
"Kurasa arwah tak akan memperkosa," sahut Ki Sentana, membuat Ki Tunjung Melur
dan Ki Pardi manggut-manggut. Apa yang dikatakan kepala desa itu tidak salah.
Arwah merupakan makhluk gaib tak
mungkin melakukan perkosaan. Apalagi terhadap manusia. Namun seandainya benar
yang melakukan arwah, mungkin kemaluan Watiri tak akan sampai hancur seperti
itu. Semua terdiam, tak ada yang bisa menjawab
keganjilan itu.
Sementara itu, warga Desa Karang Bale nampak mulai berdatangan ke rumah Ki Pardi
untuk melayat. Di wajah mereka tercermin iba bercampur takut, terhadap kejadian aneh itu.
Apalagi para warga yang memiliki anak gadis, lebih merasa cemas dan ketakutan.
Mereka khawatir kalau-kalau anak perawan mereka menjadi korban selanjutnya dari
perbuatan penculik gelap itu.
*** Siang yang panas, cahaya matahari terasa sangat menyengat. Angin yang berhembus
pun meniupkan hawa yang kurang nyaman di kulit. Dari arah utara tampak sesosok
lelaki muda berambut gondrong tengah melangkah memasuki mulut Desa Karang Bale.
Pemuda tampan berpakaian rompi terbuat dari kulit ular itu bertingkah laku
seperti orang gila.
Mulutnya tampak cengengesan. Lalu terdengar bernyanyi-nyanyi sendirian sambil
berjingkrak-jingkrakan. Sebentar kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala
seperti kegatalan. Mulutnya terus cengar-cengir. Tingkah lakunya yang aneh itu
tentu saja membuat setiap orang yang melihat atau berpapasan merasa heran. Atau
bahkan mungkin ada pula yang menaruh rasa curiga terhadap tingkah lakunya yang
konyol itu. "Pemuda gila...," gumam salah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun
dengan tubuh tinggi tegap. "Kasihan, pemuda setampan dia harus gila! "Iya, ya"
Sayang sekali, pemuda tampan begitu jiwanya tak waras!" sambung rekannya. Lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun berbadan tinggi kurus dengan kumis panjang.
Kedua lelaki setengah baya itu tak henti-hentinya menatap pemuda gila yang tak
lain Sena Manggala atau lebih terkenal dengan julukan Pendekar Gila.
"Ah ah ah, panas sekali!" gumam Sena dengan mulut cengengesan.
Sejenak Pendekar Gila menghentikan langkahnya.
Memandang dengan mata menyipit dan mulut nyengir ke sekelilingnya. Seakan-akan
tengah mencari tempat untuk berteduh dari panasnya mentari.
Kedua orang lelaki setengah baya itu masih memperhatikan tingkah laku Pendekar
Gila yang lucu.
Bahkan tingkah lakunya semakin lucu dan konyol ketika hendak menghindar dari
panas matahari.
"Aha, Kisanak sekalian, di manakah ada kedai sekitar sini...?" tanya Sena
setelah menyadari sejak tadi dirinya menjadi perhatian kedua lelaki setengah
baya itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, mulutnya cengengesan. Kemudian
kakinya melangkah mendekati kedua lelaki tua itu, yang tersentak kaget dan
berlari terbirit-birit ketakutan.
"Orang gila itu mengejar kita!"
"Cepat lari!"
Kedua orang tua itu lari tunggang-langgang, takut kalau-kalau pemuda bertingkah
laku gila akan mengamuk. Biasanya memang mereka melihat orang gila mengamuk jika
diperhatikan. Itu sebabnya
mereka langsung kabur ketika Pendekar Gila menghampiri.
Pendekar Gila tertawa cekikikan menyaksikan kejadian lucu itu. Tangannya
menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.
"Ah ah ah, lucu sekali! Aneh memang dunia ini.
Kadangkala, orang gila menjadi sasaran tuduhan. Hi hi hi...!" gumamnya sambil
menggeleng-geleng kepala.
Setelah memperhatikan kedua orang tua yang lari terbirit-birit, dengan masih
cengengesan sambil bernyanyi-nyanyi Pendekar Gila meneruskan
langkahnya. *** Pendekar Gila yang sedang mencari sebuah kedai untuk beristirahat, seketika
menghentikan langkah ketika lima orang lelaki bermuka garang berdiri menghadang
di hadapannya. Kelima lelaki berpakaian sama dan bersenjata golok terselip di
pinggang itu, menatap tajam wajahnya. Satu orang yang berkumis tebal dengan
rambut terurai lurus, melangkah maju.
"Desa ini sedang tak aman, siapa kau"!" bentak lelaki berusia sekitar empat
puluh lima tahun dengan tegas. Matanya yang lebar, menatap tajam pada Pendekar
Gila penuh selidik.
"Hi hi hi..., lucu sekali!" gumam Sena seperti tak menghiraukan pertanyaan
lelaki ini. Mulutnya cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu
membuat lelaki berpakaian biru mengkilap seperti beludru itu semakin gusar.
"Bocah Gila, katakan siapa kau sebenarnya"!"
bentak Walang Kejer dengan gusar, karena merasa pertanyaannya tak dihiraukan.
"Hi hi hi..a Gila..." Aha, memang aku gila. Tetapi aku tidak segila kau, yang
main bentak pada orang,"
sahut Sena disertai tawa cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala, yang membuat Walang Kejer berserta keempat walang
lainnya bertambah geram.
"Bocah Edan! Ditanya malah cengengesan!"
sentak Walang Kerik.
Nampaknya lelaki bertubuh kurus dengan kumis tipis itu, tak sabar melihat
tingkah laku Pendekar Gila yang konyol. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun
itu, melangkah maju sambil tangannya meraba gagang golok.
"Aha, beginikah sambutan pendekar Desa Karang Bale?" gumam Sena dengan
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang
Walang Kerik yang sedang meraba gagang golok. "Ah ah ah! Kurasa tak sepantasnya
kalian berbuat seperti itu. Bukankah warga Desa Karang Bale terkenal dengan
keramahannya?"
Kelima Walang Sakti itu saling pandang,
mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Ah, aku mendengar warga Desa Karang Bale
sangat menghormati tamunya. Mengapa kini kulihat lain?" tanya Pendekar Gila
seperti bergumam.
Kemudian dengan mulut cengengesan, digeleng-gelengkan kepalanya.
"Bocah Gila, katakan siapa kau sebenarnya dan ada maksud apa kau datang ke desa
ini?" tanya Walang Kejer. Amarahnya agak mereda, setelah memperhatikan gerak-
gerik dan penuturan Pendekar
Gila, nampaknya Walang Kejer mengetahui suatu kekuatan yang dimiliki diri pemuda
bertingkah laku gila itu.
"Aha, aku hanya seorang pemuda gila yang tak tentu arah. Kemana pikiran gilaku
mengajak, ke sana aku melangkah," tutur Pendekar Gila setengah berfilsafat yang
menjadikan Walang Kejer semakin mengerutkan kening. Pikirannya semakin ber-
sungguh-sungguh menyelidik Pendekar Gila yang nampak masih cengengesan.
"Kau petualang?" tanya Walang Kejer me-
mastikan. "Hi hi hi...! Kau tahu dari mana, Kisanak?" tanya Sena sambil cekikikan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
"Dasar bocah gila! Bukankah tadi kau yang
mengatakannya"!" bentak Walang Kerik dengan geram. Matanya melotot memandang
penuh kebencian pada Pendekar Gila.
"Aha, kau nampaknya pemarah, Kisanak" Ah ah ah, sangat berbahaya! Kurasa, tak
sepantasnya kau marah. Sebagai pendekar desa kau haruslah sabar dan berjiwa
besar," ujar Pendekar Gila bernada menggurui.
Mendengar ucapan Pendekar Gila barusan,
kelima Walang Sakti tersentak marah. Mereka sepertinya merasa tersinggung.
"Kurang ajar! Lancang sekali kau mengguruiku, Bocah Gila!" dengus Walang Kerik
seraya melangkah maju dengan tangan kanan siap mencabut golok.
Namun dengan cepat, Walang Kejer sebagai orang tertua di dalam Lima Walang Sakti
segera mencegahnya. "Sabar! Apa yang dikatakannya memang benar.
Kita tak boleh sembarangan mencurigai seseorang."
"Tapi nampaknya dia perlu kita curigai, Kang,"
kilah Walang Kerik.
"Hm, kurasa memang begitu, karena dia orang asing di Desa Karang Bale ini.
Namun, keramah-tamahan dan sikap sopan santun yang sudah dikenal banyak orang
tak boleh kita lupakan. Sabarlah dulu!"
usai menenangkan adiknya, Walang Kejer mendekati Pendekar Gila yang masih
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Aneh..., aneh...! Dunia ini memang aneh," gumam Pendekar Gila.
Kemudian tanpa menghiraukan kelima Walang Sakti, dia bernyanyi-nyanyi sendiri.
Sambil mendongak, memandang langit biru Pendekar Gila melolos Suling Naga Sakti
yang terselip diikat pinggangnya. Lalu dengan enaknya ditiupnya suling itu,
mengalunkan nyanyian yang merdu.
Lima Walang Sakti hanya bisa bengong
menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Walang Kerik yang paling tak suka tampak
geram dengan wajah merah. Hatinya benar-benar jengkel melihat tingkah laku
Pendekar Gila yang baginya menyebal-kan. Ditanya benar-benar justru dengan enak-
enakan bernyanyi sambil meniup sulingnya.
"Bocah Edan! Hentikan tiupan sulingmu yang sumbang itu!" bentak Walang Kerik.
Pendekar Gila menghentikan tiupan sulingnya.
Matanya menoleh ke wajah Walang Kerik. Mulutnya cengengesan. Kemudian setelah
menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggang, tangannya menggaruk-garuk
kepala. "Aha, rupanya kau tak suka bernyanyi, Kisanak"
Pantas..., pantas kalau kau pemarah," sindir
Pendekar Gila dengan tingkahnya yang konyol. Hal itu tentu saja membuat Walang
Kerik semakin marah.
"Kurang ajar! Dia memang perlu dihajar, Kakang!
Biarkan aku menghajarnya!" dengus Walang Kerik sambil mencelat maju dengan
tangan menarik gagang golok.
Srt! "Kuhajar kau, Bocah Gila! Hea...!" tangan Walang Kerik membabatkan goloknya
dengan gerakan melengkung. Wrt! Mendapat serangan begitu cepat, Pendekar Gila segera berkelit dengan jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat'. Ditundukkan tubuhnya ke bawah, kemudian meliuk-liuk
ke kanan dan ke kiri dengan gerakan lemah gemulai.
Wut! Golok yang dibabatkan Walang Kerik menderu hanya beberapa jari di sebelah
kanannya. Dengan cepat, Pendekar Gila mengibaskan kaki kanannya menendang kaki
kiri Walang Kerik yang menekuk dan berada di depan.
"Hea!"
Wrt! Dengan cepat Walang Kerik bergerak sambil
membabatkan goloknya. namun....
Plak! Bugk! "Aduh!"
Walang Kerik terpekik keras. Tubuhnya yang belum mantap setelah menyerang, tanpa
ampun lagi harus terjengkang jatuh karena sambaran kaki Pendekar Gila. Walang
Kerik meringis, ketika dirasakan tulang mata kakinya sakit. Sedangkan Pendekar
Gila kini berjingkrakan sambil terkikik
nyaring dengan tangan menggaruk-garuk kepala, persis seekor kera kegirangan.
Keempat Walang Sakti lainnya yang menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila,
terperangah kagum bercampur keheranan. Mereka tak menyangka kalau dalam satu
jurus saja, pemuda bertingkah gila itu dapat menjatuhkan Walang Kerik.
"Kurang ajar! Jangan kau girang dulu, Bocah Gila!
Aku akan mengadu nyawa denganmu!" dengus
Walang Kerik semakin marah, karena merasa diejek begitu rupa di depan keempat
saudaranya. Tubuhnya segera bangkit berdiri. Kemudian dengan cepat mengatur
kedudukan kuda-kudanya. Matanya
menatap penuh amarah pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. "Tahan!" tiba-tiba dari arah barat, terdengar suara seseorang berseru. Bentakan
keras itu membuat Walang Kerik yang hendak menyerang, seketika menghentikan
geraknya. Serentak mereka semua menoleh ke tempat asal suara tadi.
Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan pakaian warna merah bata
lengan panjang melangkah menghampiri Lima Walang Sakti yang seketika menjura
memberi hormat. Di belakangnya lelaki berwajah tenang dan berwibawa berjalan
mengiringi. "Ampun, Ki Lurah! Ada seorang pemuda berpura-pura gila hendak membuat onar di
Desa Karang Bale ini," tutur Walang Kerik sambil menjura pada Ki Lurah Sentana
Bentrok Rimba Persilatan 14 Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Penelitian Rahasia 8
^