Pencarian

Kencan Di Ujung Maut 1

Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut Bagian 1


KENCAN DI UJUNG MAUT Hak cipta dan Copy Right
pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit.
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 002 :
Kencan Di Ujung Maut
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 PUNCAK Gunung Merana masih tetap
dibayang-bayangi oleh kabut tipis yang menyebarkan hawa dingin. Dalam
bayang-bayang kabut tipis itu lah seraut wajah polos dalam usia remaja tampak
mencucurkan keringat. Tenaganya dike-rahkan untuk menahan bobot badannya yang
sedang mengangkat kedua kaki ke atas dan kepala ke bawah. Tangan kanannya yang
menyangga berat badan itu bertumpu pada sebatang tonggak bambu yang runcing
setinggi lutut.
Dengan tangan kiri di kebelakangkan tubuh itu berjuhgkir balik dalam posisi
tegak dan diam tanpa gerak. Telapak tangannya yang bertumpu pada keruncingan
tonggak bambu itu makin lama semakin gemetar. Keruncingan tonggak bambu itu
seakan ingin menembus ke telapak tangan bocah muda tersebut. Namun karena
pengendalian tenaga dalam yang disalurkan melalui ke tangan kanannya itulah yang
membuat keruncingan bambu tak mampu menembus telapak tangan tersebut
"Pusatkan perhatian dan tenaga ke tanganmu. Jangan bergeser sedikit pun, agar
pengendalian tenaga dalam itu benar-benar mampu kau kuasai, Raka" ujar seorang
lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun lebih. Lelaki itu berpakaian putih
krem dan berikat pinggang kain hitam. Orang tersebut mempunyai rambut
abu-abu sepunggung, jenggot dan kumisnya tipis berwarna abu-abu pula. Dengan
tongkat hitam di tangan kanan, lelaki tua itu pa-dangi anak angkatnya yang
bernama Raka dengan pandangan penuh wibawa. Si jubah putih kusam itu tak lain
adalah Pawang Badai, penunggu makam keramat yang menjadi kuburan Eyang
Mangkuranda, guru si Pawang Badai sendiri.
Si jubah putih kusam hingga mirip warna krem itu melangkah ke arah kanan Raka
Pura. Rupanya di sana juga ada seorang bocah remaja lagi yang melakukan hal
serupa. Bagi yang tak tahu, bocah remaja usia sekitar lima belas tahun itu akan
disangka sebagai si Raka Pura, karena mempunyai kesamaan pada wajah, potongan
tubuh, rambut dan pakaian.
Bocah remaja itu adalah Soka Pura, adik kembar si Raka Pura. la berpakaian putih
bersih dengan baju tanpa lengan dan ikat pinggang kain merah, sama dengan yang
dikenakan Raka Pura, kakak kembarnya.
"Atur napasmu, Soka! Jangan terlalu boros napas, supaya pengendalian tenaga pun
keluar secara teratur."
"Beres, Ayah!"
Soka masih bisa menjawab. la tampak lebih santai dari Raka. Sekalipun tubuhnya
juga berjungkir balik dengan telapak tangan kiri bertumpu pada keruncingan
bambu, namun ia tampak melakukannya dengan ringan. Keringatnya tidak sederas
keringat kakaknya.
Udara dingin yang hadir bersama
kabut seakan tak mampu menyerap keringat dari tubuh Raka. Maka anak itu
terpejam, karena pencurahan tenaga d-lamnya benar-benar diatur dan dipusatkan ke
telapak tangan. Tetapi Soka masih bisa membuka mata dan melirik ke arah
kakaknya, bahkan sempat tersenyum melihat kakaknya berkeringat deras.
"Jika telapak tangan kalian mulai terasa panas, dan pusat keruncingan bambu
mulai menyengat, segera turun serta lepaskan tangan kalian. Itu berarti
kemampuan tenaga dalam kalian sudah mencapai titik tertinggi dan jika diteruskan
dapat membuat tenaga dalam kalian membalik arah, mencederai diri kalian
sendiri," ujar Pawang Badai sambil melangkah dengan kalem, penuh wibawa.
Bocah kembar itu sepertinya sedang berlomba unjuk kemampuan. Menurut perhitungan
Pawang Badai, mestinya mereka sudah harus berhenti, karena rasa panas muiai
menyengat telapak tangan mereka. Tetapi kenyataannya, mereka masih bertahan,
seakan sama-sama gengsi jika harus menyudahi latihan lebih duiu.
Beberapa saat kemudian, ternyata
Raka Pura lebih dulu mengakhiri latihan tersebut. Telapak tangannya terasa panas
dan ujung keruncingan yang ditekan dengan telapak tangan itu telah terasa
memantulkan tenaga dalam yang
dikeluarkan. Jleeg...! Dalam satu sentakan tubuh Raka Pura melesat ke belakang, lalu menapakkan kakinya
ke tanah dengan tegak.
"Huuuffh...!" Raka hembuskan napas kelelahannya. Pawang Badai mendekatinya, lalu
memeriksa telapak tangan kanan Raka. Ternyata ada noda merah matang sebesar
kacang hijau di tengah telapakannya itu.
"Kalau tadi kau tak segera hentikan latihan ini, maka tenaga dalammu akan
membalik dan merusak jaringan uratmu!"
ujar Pawang Badai.
"Aku sudah tak kuat menahan panas, Ayah."
"Hmmm..., bagus! Nanti sore kita ulangi lagi."
Raka sedikit mencemaskan adiknya
karena Soka terlalu lama menahan tubuh dengan telapak tangan bertumpu pada
keruncingan bambu. la pun segera
mengingatkan kepada sang adik.
"Jangan dipaksakan, Soka! Nanti jaringan uratmu rusak sendiri. Turunlah jika
sudah merasa tak mampu bertahan lagi."
Tetapi Soka Pura menjawab dengan
senyum konyolnya.
"Jangan samakan ketahananku dengan ketahananmu, Raka! Aku masih sanggup
begini terus sampai matahari tenggelam nanti."
"Sombong!"
dengus Raka sambil
melengos, sementara Soka menertawa-kannya tanpa suara.
Pawang Badai sempat merasa heran dan kagum dengan ketahanan Soka.
"Gila! Mestinya dia tak akan mampu cengar-cengir begitu. Setidaknya ia akan
mengucurkan keringat sederas keringat Raka. Mestinya pula dia tak akan mampu
sebegitu lamanya lakukan latihan ini"!"
Pawang Badai mulai curiga dengan
kemampuan Soka bertahan dalam keadaan seperti itu. Pandangan mata si tua
bertubuh kurus itu mulai menangkap sesuatu yang ganjil di tangan kiri Soka yang
dipakai bertumpu pada ujung
keruncingan bambu tersebut.
Pawang Badai melangkah kalem dekati Soka. Tiba-tiba ia menangkap punggung tangan
kiri Soka yang bertumpu di atas keruncingan bambu itu.
Teeb...! Tangan itu diremas oleh Pawang
Badai. "Turunlah!" perintah Pawang Badai.
"Apa maksud, Ayah" Aku masih mampu bertahan beberapa saat lagi, Ayah."
"Turunlah sekarang juga!" hardik Pawang Badai.
Dengan gerakan agak pelan. Soka Pura pun akhirnya menurunkan kakinya yang semula
lurus ke atas dengan kepala di
bawah. Tapi tangan kirinya tetap
digenggam oleh sang ayah angkat. Hal Itu membuat Raka menjadi heran dan mencoba
menerka-nerka apa yang terjadi pada diri adik kembarnya itu, sehingga si ayah
angkat tampak mau marah. Raka pun dekati mereka.
Soka suka berdiri tegak, tapi tangan kirinya masih menggenggam karena diremat
oleh Pawang Badai. Ketika matanya beradu pandang dengan mata si Pawang Badai,
Soka menjadi salah tingkah dan cengar-cengir kecut.
"Buka genggaman tanganmu!" perintah Pawang Badai.
"Anu. begini, hmmm... soalnya, begini, hmmm...." Soka semakin salah tingkah.
"Buka genggamanmu!" hardik sang ayah angkat.
Soka takut, dan membuka kepalan
tangannya pelan-pelan. Sang kakak ikut memandang tegang saat genggaman tangan si
adik membuka pelan-pelan.
"Oh..."!" Raka terkejut, karena ternyata di telapak tangan Soka terdapat
sepotong kulit hewan yang tebal.
Sepotong kulit berukuran kecil itulah yang dipakai alas bertumpu di atas
keruncingan bambu tadi.
"Curang kau!" bentak Raka Pura dengan dongkol. "Pantas kau bisa bertahan lama
sekali, rupanya kau
melapisi telapak tanganmu dengan kulit binatang!"
"He, he, he...! Habis kalau tidak pakai tatakan takut bambunya nyoblos
tanganku," ujar Soka dengan
cengar-cengir. Buuhk...! Raka memukul punggung adiknya de-
ngan jengkel. "Hei, kau berani memukulku, hah"!"
Soka menjadi berang. la mau mengejar kakaknya yang segera menjauh, tapi
tangannya tak dilepaskan dari genggaman si Pawang Badai.
"Kau yang, salah, Soka!" ujar Pawang Badai. "Ayah tak suka mempunyai anak yang
licik!" "Aku bukan licik, tapi cerdik, Ayah!" bantah Soka, lalu terdengar suara Raka
berseru di belakang ayah angkatnya.
"Hukum dia, Ayah! Hukum yang berat biar kapok!"
Pawang Badai segera berkata,
"Hukumanmu adalah berdiri dengan ujung jempol kakimu, satu kaki diangkat, satu
kaki untuk berdiri! Jangan berhenti sebelum matahari terbenam."
"Syukurrr...! Rasain, berdiri seperti burung bangau!" ledek Raka.
"Awas kau nanti!" ancam Soka.
"Lakukan sekarang juga, Soka!"
hardik Pawang Badai. Mau tak mau Soka melakukan hukuman itu, berdiri dengan satu
kaki dan hanya mernakai ujung jempol
kakinya saja, sementara kedua tangan harus merentang lurus ke samping tak boleh
turun ke bawah.
Pawang Badai sangat tegas dalam
mengajar dan mendidik kedua anak
angkatnya itu. Tak ada ampun bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran dalam
masa latihan. Bahkan bila perlu, hukuman yang dijatuhkan kepada yang bersalah
berupa tamparan beberapa kali.
Namun bagaimanapun juga, Pawang
Badai sangat sayang kepada si kembar, Raka dan Soka, demikian pula istrinya, Nyi
Padmi. Sekalipun Raka dan Soka bukan anak kandung mereka, tapi mereka
mencurahkan kasih sayangnya seperti halnya curahan kasih sayang seorang ayah dan
ibu kandung. Sampai usia lima belas tahun itu, Soka dan Raka belum tahu bahwa ia adalah anak
angkat si Pawang Badai dan Nyai Padmi. Menurut kedua orangtua itu, belum saatnya
menceritakan siapa orangtua Raka dan Soka sebenarnya. Pawang Badai bersikeras
untuk tidak menceritakan hal itu sebelum kedua anak itu menyelesaikan pelajaran
ilmu kanuragan yang harus mereka kuasai sepenuhnya.
"Jika mereka diberi tahu sekarang, maka pikiran mereka tidak akan terpusat pada
ilmu yang mereka pelajari," ujar Pawang Badai kepada istrinya Nyi Padmi, yang
dulu bertindak sebagai dukun bayi pada saat si kembar itu lahir dari
seorang ibu bernama Muninggar. (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Dendam Asmara Liar").
Kedua suami istri yang menjadi
penunggu makam keramat Eyang Mangkuranda alias si Dewa Kencan itu, adalah
pasangan yang mandul tapi tetap saling setia.
Kehadiran si kembar membuat mereka merasa hidup serba indah dan bahagia, walau
kadang kedua anak itu sering bikin jengkel hati mereka. Mereka merawat si anak
kembar setelah mendapat perintah dari roh sang guru, si Dewa Kencan itu, dan
bahkan Pawang Badai sendiri
diizinkan untuk menurunkan ilmunya kepada Raka dan Soka.
Roh Eyang Mangkuranda memang sering perdengarkan suara tanpa rupa kepada mereka.
Bukan hanya didengar oleh Pawang Badai dan Nyi Padmi saja, tapi suara tanpa rupa
itu juga sesekali didengar oleh Raka dan Soka.
Bahkan jika kedua anak itu saling berlatih di hutan belakang makam, mereka
sering mendengar suara orang tua tertawa terkekeh-kekeh tanpa ada wujud yang
bisa mereka lihat. Pada mulanya memang mereka takut, tapi setelah terbiasa
mereka tidak merasa takut dan tidak merasa heran lagi. Mereka akan langsung
mengetahui bahwa suara tawa tanpa rupa itu adalah suara roh Eyang Mangkuranda,
yang dalam silsilahnya sebagai kakek guru mereka.
Pernah pada suatu sore, ketika
mereka berlatih menghancurkan batu dengan tangan kosong, suara tawa tanpa rupa
itu terdengar lagi di antara mereka berdua.
Pawang Badai memberi tugas kepada si anak kembar itu untuk menghancurkan batu
sebesar kepala kerbau, masing-masing anak mendapat bagian sepuluh batu.
"Ah, enteng! Baru sepuluh batu. Dua puluh batu pun aku tak keberatan," ujar Soka
Pura sambil mencibir konyol.
"Jangan meremehkan tugas ini, Soka!
Satu batu saja belum tentu bisa kau hancurkan dalam waktu setengah hari, apalagi
sepuluh batu"!" kata kakaknya dengan bersungut-sungut, sang adik hanya cengar-
cengir. Raka mendekati sebongkah batu yang sudah disiapkan oleh Pawang Badai sehari
sebelum mereka mendapat tugas tersebut.
Batu itu dihantam dengan tangannya.
Desss...! "Aaaow...!" Raka memekik kesakitan sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Batu itu masih utuh, hanya geripis tepiannya saja. Rupanya tenaga anak itu belum
mampu disalurkan ke tangannya, sehingga yang diperoleh hanya rasa ngilu pada
tulang lengannya.
Soka menertawakan kakaknya yang
menyeringai menahan sakit pada
pergelangan tangannya.
"Percuma kalau makan sering nambah tapi mukul batu begitu saja tak becus!"
kecam adiknya. "Alaaa... kau sendiri belum tentu becus!"
"Eh, jangan menyepelekan Soka Pura, ya" Biar begini-begini tiap malam aku selalu
mimpi bertemu Eyang Dewa Kencan dan menerima kekuatan hawa saktinya,"
sambil Soka membusungkan dada dan mencibir sombong.
"Coba kau hantam salah satu batu bagianmu itu!"
"Boleh saja! Lihat kehebatanku ini...!"
Soka segera dekati salah satu batu, kemudian batu itu dihantam dengan telapak
tangan kirinya.
Dees...! Praak...! Ternyata batu itu terbelah menjadi dua bagian, walaupun tak sama besar.
Raka tertegun melihat kenyataan
itu. Soka makin membusungkan dada dengan sombongnya. Raka segera tak mau kalah,
ia menghantam batu yang tadi belum bisa hancur itu dengan telapak tangan
kanannya. Dees...! "Aauh...!" Raka mengibas-ngibaskan tangannya yang kesakitan, sedangkan batu itu
masih utuh tanpa geripis sedikit pun.
"Nah, lihat...! Mana kekuatanmu, Raka" Kekuatanmu hanya di perut saja,
khususnya untuk menampung nasi.
Perhatikan caraku memukul ini...."
Soka memilih salah satu batu,
kemudian dengan setengah berjongkok, batu itu dihantamnya dengan tangan kiri.
Dees...! Prrak...! Batu tersebut terbelah menjadi tiga bagian tak sama besar.
Diam-diam si Pawang Badai telah
muncul di tempat itu, memperhatikan kemampuan Soka dalam memecahkan batu tadi.
Raka tampak sedih dan malu karena selalu dikecam oleh adiknya. Dari tadi tak
satu batu pun yang sudah berhasil dihantamnya hingga pecah.
"Lihat, dua batu akan kuhantam berturut-turut dengan cepat!" ujar Soka setelah


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memilih dua batu yang
bersebelahan. Ia menghantam kedua batu itu secara beruntun dengan tangan kiri
Des, des...! Prak, prak...! Lalu ia berdiri tegak dengan dada membusung, memandang ke arah kakaknya yang
terbengong kagum. Soka tampak semakin sombong, bersiul mondar-mandir menyindir
kakaknya. Pada saat itulah terdengar suara
tawa yang terkekeh. Mereka tak kaget lagi, dan segera memberi hormat dengan
sikap tegak dan kepala menunduk.
"Selamat sore, Eyang...," sapa mereka serempak.
"Heh, heh, heh, hen...! Rupanya kalian sedang beradu kecerdasan otak, Cucu-
cucuku"!"
"Bukan kecerdasan otak, tapi kekuatan tenaga dalam yang kami adu, Eyang," ujar
Raka meralat kata-kata roh Eyang Mangkuranda itu.
"Kau menghantam batu dengan tenaga, tapi adikmu menghantam batu dengan akal."
"Apa maksud, Eyang?"
"Ada sepuluh batu yang tadi malam sudah dipecahkan dulu oleh Soka memakai palu
besi. Batu yang pecah ditautkan lagi hingga seperti batu yang masih utuh.
Sebab itulah Soka setiap menghantam batu langsung pecah atau terbelah, karena
batu-batu yang dipukul adaiah batu-batu pilihannya, yaitu batu yang sudah
dipecahkan pada malam harinya."
"Ah, jangan memfitnah begitu, Eyang!" sela Soka dengan cemberut.
"Heh, heh, heh... coba sekarang hantam lagi satu batu sampai terbelah seperti
tadi!" "Baik, Eyang! Kumohon Eyang melihat dengan cermat."
Soka melangkah dekati batu yang ada di bawah pohon, padahal di depannya tadi ada
batu agak kecil, tapi ia memilih yang di bawah pohon. Tentunya batu yang di
bawah pohon adalah batu yang sudah dibelah dengan palu besi besar pada malam
harinya. Soka mencibir sombong, "Lihat ini, Raka...!"
Batu itu pun dihantamnya dengan
tangan kiri. Tapi ketika tangan kiri itu melesat untuk menghantam batu, ternyata
batu tersebut berpindah tempat dengan cepat dan batu yang lainnya bergeser ke
tempat batu yang pindah tadi.
Wees, slaap...!
Tangan kiri Soka pun tiba di batu tersebut.
Dess...! "Aaaoow...!" Ia memekik keras-keras sambil berjingkat-jingkat dengan tangan
dikibas-kibaskan Batu itu tetap utuh tanpa geripis sedikit pun, sementara tangan
Soka justru menjadi bengkak. la tak tahu kalau batu itu sudah diganti dengan
kekuatan gaib oleh roh Eyang Mangkuranda dengan batu yang masih utuh.
Karenanya, ketika Soka memekik kesakitan dan mengibas-ngibaskan tangannya,
terdengar pula suara tawa tanpa rupa dari roh Eyang Mangkuranda.
"Heh, heh, heh, heh...! Itulah tandanya kalau kau memukul bukan memakai tenaga
tapi memakai akal."
Pawang Badai segera mendekati
mereka sambil manggut-manggut. Soka menjadi cemas ketika mengetahui si Pawang
Badai mendekatinya. Sementara itu, Raka menggerutu tiada habisnya dengan hati
dongkol karena dikelabuhi adiknya.
"Pantas setiap batu dihantam langsung pecah! Huuuh...! Licik!" kepala Soka
didorong keras oleh Raka hingga tersentak maju. Soka mau marah, tapi segera
terdengar suara Pawang Badai memanggilnya.
"Soka...! Jika kau selalu
menggunakan akalmu untuk mengelabuiku, itu sama saja kau mendidik dirimu untuk
menjadi lemah dan bodoh."
"Maaa... maaf. Ayah."
"Jika kau bertemu dengan musuh, tak mungkin kepala musuh kau retakkan dulu pada
malam harinya, lalu kau tantang bertarung pada siang harinya!"
Raka menimpali dengan nada kesal,
"Hukum saja dia, Ayah!"
Pawang Badai berkata, "Sebagai hukumannya, hantamlah batu disana sampai pecah
atau terbelah, sambil Pawang Badai menuding ke suatu tempat. Soka
terbelalak kaget dan menegang.
"Mampus aku!" gerutunya sambil memandangi batu sebesar anak sapi yang tampak
kokoh dan sangat keras itu.
"Sebelum batu itu pecah walau hanya secuil, kau tak diizinkan untuk pulang.
Makan malammu akan dihabiskan oleh Raka jika kau tak bisa membuat batu itu
pecah!" "Asyik, dapat makan dua piring!"
seru Raka sambil meledek adiknya dengan menari-nari jejingkrakan.
"Sial! Gara-gara roh Eyang Dewa Kencan melihat kekuranganku, aku jadi kena
hukuman seberat ini!"
Gerutuan itu didengar pula oleh roh Eyang Mangkuranda yang rupanya selalu
mendampingi sisa muridnya dan anak didikan sang murid itu. Tapi roh Eyang
Mangkuranda itu hanya tertawa terkekeh-kekeh dalam gema, kemudian seperti
menjauh dan lenyap tanpa suara lagi. Soka Pura terpaksa berusaha merasa
menghantam batu itu dengan tangan kirinya, karena ia memang kidal, dan berusaha
secepatnya dapat selesaikan tugas tersebut. Sebab ia tak ingin jatah makannya
malam itu disantap oleh sang kakak.
Mereka memang selalu tampak
bersaing dalam menuntut ilmu.
Masing-masing ingin dianggap paling unggul. Terutama sang adik, selalu tak ingin
dikalahkan oleh sang kakak, padahal ketekunannya lebih tinggi sang kakak. Oleh
karenanya, Soka selalu mencari cara agar dapat mengungguli kakaknya dengan
menggunakan berbagai akal dan kelicikan. Namun pada akhirnya ia selalu mengakui
bahwa ia kurang tekun dalam berlatih. Mau tak mau ia
mempertinggi ketekunannya, walau hanya sampai batas dapat sejajar dengan ilmu
yang dimiliki kakaknya. Jika sudah sejajar, ketekunan Soka kembali berkurang dan
selalu bikin ulah yang menjengkelkan Pawang Badai.
Mereka diwajibkan bangun pagi dan berlari mengelilingi puncak Gunung Merana itu.
Soka sering malas melakukan latihan rutin tiap pagi itu, sehingga banyak cara
yang digunakan untuk
memperingan bebannya dalam melakukan latihan rutin tersebut. Seperti
misalnya, ia berlagak jatuh dan kakinya terkilir, lalu tak bisa berjalan. Mau
tak mau sang kakak menggendongnya sambil berlari sebagai tanda bahwa Raka masih
tetap sayang kepada adiknya. Begitu hampir sampai rumah, Soka buru-buru minta
diturunkan dan berlagak kakinya sudah sembuh. Maka jarak lari yang ditempuhnya
cukup pendek dan membuatnya tak terlalu lelah.
Tetapi pagi itu, Soka berlari dengan cepat sekali. Lalu di suatu tempat yang
sepi, ia sengaja berhenti dan memainkan satu jurus bertenaga dalam. Raka yang
tertinggal sempat mengintip dari balik pepohonan. Mata sang kakak menjadi
terbelalak ketika melihat Soka sentakkan tangannya ke depan dalam keadaan semua
jari lurus merapat. Sentakan tangan itu diarahkan ke sebatang pohon.
Craak...! Kulit pohon terkelupas sebagian
sebelum tangan itu menyentuh pohon tersebut. Raka yang kagum hanya bisa
membatin, "Sejak kapan dia punya Jurus itu" Ayah belum mengajarkan jurus
tersebut!"
Maka ketika Raka muncul dan
menanyakannya, dengan lagak kesombongan yang konyol Soka menjawab,
"Semalam aku bermimpi ditemui Eyang Guru lagi. Eyang Guru mengajarkan jurus itu
padaku, katanya, hanya untuk diriku.
Jadi maaf kalau aku tak bisa
mengajarkannya padamu, Raka!"
Raka merasa iri, bagaimanapun juga ia harus bisa membujuk adiknya agar
mengajarkan jurus tersebut.
"Ayah akan marah padamu dan kau akan dihukum terjun ke jurang kalau
menggunakan jurus itu tanpa seizin Ayah.
Akan kuadukan kepada Ayah kalau kau tak mau ajarkan jurus itu padaku."
"Jangan begitu kau, Raka! Aku bisa mampus kalau disuruh terjun ke jurang!"
"Makanya ajarkanlah jurus dari Eyang Guru itu!"
"Baiklah, tapi berjanjilah kau tak akan mengadukan hal ini kepada Ayah!"
"Aku berjanji!"
"Sumpah..."!"
"Sumpah!"
"Sumpah apa?"
"Sumpah serapah juga berani!"
"Uuuh...!" Soka bersungut-sungut, tapi akhirnya jurus itu diajarkan pula kepada
Raka. Mereka memang sering ditemui
mendiang Eyang Guru, Dewa Kencan. Seakan di dalam mimpi itu mereka benar-benar
hidup bersama Eyang Guru. Jurus-jurus
yang diajarkan kepada mereka sebagian besar belum dimiliki oleh Pawang Badai,
tapi ada juga yang sudah dimiliki Pawang Badai, hanya saja belum diturunkan
kepada mereka. Tetapi tepat pada malam bulan
purnama, ketika udara dingin namun tanpa kabut setebal biasanya, Pawang Badai
perintahkan si anak kembar itu untuk lakukan semadi kubur.
"Apakah tak terlalu bahaya bagi mereka?" ujar Nyi Padmi yang merasa was-was
mendengar kedua anak kembar itu akan lakukan semadi kubur.
"Tidak apa-apa. Kurasa mereka sudah cukup kuat melakukan semadi kubur, tapi usia
mereka kini sudah tujuh belas tahun," jawab Pawang Badai menenteramkan hati
istrinya tercinta.
Kini anak kembar itu memang sudah berusia tujuh belas tahun. Mereka tumbuh
sebagai pemuda yang gagah dan tampan.
Badan mereka kekar berisi, sesuai dengan tinggi tubuh mereka. Ilmu yang
ditempuhnya pun semakin tinggi lagi.
Semadi kubur adalah melakukan
semadi dengan badan terkubur di tanah sampai batas leher. Semadi kubur itu
berguna untuk menyatukan getaran nadi dengan getaran bumi, sehingga setiap
getaran tubuh yang disalurkan melalui tenaga dalam dapat membuat bumi pun
bergetar. "Berapa lama kami harus lakukan semadi kubur, Ayah?"
"Lamanya empat puluh hari!" jawab Pawang Badai.
"Lama sekali"!" gerutu Soka.
"Bagaimana kalau dipersingkat menjadi empat hari saja. Ayah."
"Atau tiga hari saja," timpal Raka.
Soka menambahkan lagi, "Soalnya Raka tidak akan kuat menahan lapar jika sampai
empat puluh hari!"
"Enak saja! Kalau hanya menahan lapar empat puluh hari. aku kuat saja.
Tapi menahan pipis yang tidak kuat, Ayah!"
"Tidak ada penawaran!" tegas Pawang Badai. "Kalian harus mampu melakukannya,
karena semadi kubur adalah kunci
pengendalian tenaga untuk memperoleh bantuan tenaga dari getaran bumi. Kalau
kalian tak melakukannya, maka kalian tak akan memperoleh ilmu yang bisa dibilang
dahsyat!" Kedua pemuda kembar itu saling
melirik, lalu menyentak bahu tanpa pasrah. Mau tak mau mereka harus lakukan
semadi kubur tersebut, karena mereka sama-sama ingin mencapai pelajaran tingkat
tinggi. Pada hari kesepuluh, mereka tidak mengalam gangguan apa-apa. Tapi pada hari
ketiga belas, yang merupakan angka keramat, mereka mendapat gangguan dari
berbagai makhluk halus yang mengerikan.
Gangguan itu bisa diatasi oleh mereka.
Demikian pula gangguan-gangguan pada hari berikutnya.
Ketika mereka mencapai malam
keempat puluh, tiba-tiba mereka
merasakan sekujur tubuh mereka bergetar.
Dari getaran pelan sampai getaran tinggi yang membuat mereka bagai diguncang
oleh sang bumi.
Rasa panas menyengat di sekujur
tubuh mereka sampai pada bagian kepala yang tak ikut terkubur itu. Mereka
bagaikan dimasukkan ke dalam lumpur lahar yang membuat kulit tubuh mereka terasa
melepuh dan matang.
Namun mereka masih terus saling
bertahan karena mereka tak ingin gagal.
Soka tak ingin gagal sementara kakaknya berhasil, Raka sendiri tak ingin gagal
sementara adiknya berhasil.
Ketika melewati pertengahan malam, udara dingin menyerang mereka tidak seperti
biasanya. Hawa dingin itu terasa meresap ke bumi dan membungkus tubuh mereka
yang terkubur. Alam pun akhirnya dihinggapi oleh busa-busa salju. Kepala kedua
anak kembar itu menjadi putih karena terbungkus busa salju. Mereka bukan saja
menggigil. namun nyaris tak bisa bernapas karena jantung mereka terasa membeku.
Mereka bertahan terus karena waktunya tinggal setengah malam lagi.
Menjelang fajar menyingslng,
tiba-tiba mereka yang dikubur secara bersebelahan dasar jarak dua langkah,
dikejutkan oleh datangnya sinar terang benderang yang amat menyilaukan. Sinar
itu semula melesat bagaikan kunang-kunang terbang cepat, berputar-putar
mengelilingi mereka beberapa kali, akhirnya hinggap di atas sehelai daun semak.
Sinar yang besarnya seperti kunang-kunang itu berwarna putih dan makin lama
semakin besar, bertambah lebar, lalu menyilaukan pandangan mata mereka.
Kekuatan pancaran sinarnya begitu tinggi, sehingga mata mereka terasa buta. Tapi
dalam kebutaan tersebut, mereka segera melihat sesosok bayangan seorang kakek
berjenggot panjang dan berkepala gundul. Kakek itu mengenakan jubah kuning
seperti pakaian biksu dan membawa tasbih dari manik-manik berwarna biru menyala.
Mereka akhirnya tak merasa asing
lagi melihat sosok tua yang berdiri di depan mereka itu. Sebab sosok tua itu
sering mereka temui di alam mimpi. Sosok tua tersebut tak lain adalah Eyang
Mangkuranda alias si Dewa Kencan, yang berwajah ramah dan murah senyum.
"Hebat, hebat, hebat...! Heh, heh, heh...! Kalian telah menyerap ilmu
'Getar Jagat' yang jarang dimiliki orang," ujar si Eyang Guru. "Dari semua
muridku, hanya si Pawang Badai, ayah angkat kalian itu, yang mampu kuasai ilmu
'Getar Jagat'! Memang masih ada beberapa ilmu yang akan kuturunkan langsung
kepada kalian nanti. Tapi ada satu hal yang teramat penting dan harus kalian
lakukan setelah ini!"
Kedua pemuda kembar itu sama-sama menyimak setiap kata Eyang Guru, tak satu pun
yang berani menyahut atau memotong kata-kata tersebut. Walau dalam hati mereka
ada satu kejanggalan kala
mendengar sang Eyang Guru menyebutkan nama Pawang Badai sebagai ayah angkat
mereka. Ini benar-benar mengejutkan namun juga membuat mereka menjadi bimbang
dengan pendengarannya sendiri.
"Hal yang terpenting harus sekali kalian lakukan adalah mengambil sepasang
pusaka yang bernama 'Pedang Tangan Malaikat' yang ada di Gua Mulut Naga.
Segeralah berangkat sebelum pusaka milik ayahku itu menjadi milik orang lain!"
Blaaap...! Tiba-tiba cahaya menyiiaukan itu
lenyap seketika bersama hilangnya bayangan Eyang Guru Mangkuranda.
Pandangan mata mereka kembali gelap pekat bagaikan buta, dan jiwa mereka seperti
melayang-layang di tempat yang hampa udara.
* * * 2 PAWANG Badai terkejut ketika kedua anak kembar itu menanyakan tentang
'Pedang Tangan Malaikat'. Mata si tua Pawang Badai terkesip sambil sembunyikan
rasa curiga. Satu persatu si anak kembar itu ditatapnya tanpa bicara. Suasana
hening meliputi mereka bertiga, sedikit menegangkan.
"Jika Ayah tidak berkenan dengan pertanyaan kami, sebaiknya kita lupakan saja
pertanyaan tadi, Ayah," ujar Raka Pura dengan rasa takut kena marah sang ayah
angkat. "Dari mana kalian mendengar tentang pedang pusaka itu?" tanya Pawang Badai
dengan suara nyaris datar tanpa tekanan.
"Semalam roh Eyang Mangkuranda menemui kami, Ayah," jawab Raka dengan tetap
duduk bersila di depan Pawang Badai, sedangkan Soka pun duduk bersila di samping
kakaknya. Mendengar jawaban itu, Pawang Badai semakin kaget, hanya saja rasa kaget itu
masih bisa disembunyikan dengan sikap tenang dan penuh wibawa.
"Kami hanya ingin tahu apakah benar Pedang Tangan Malaikat itu memang ada, dan
mengapa kami diutus Eyang Guru untuk mengambil pedang itu di Gua Mulut Naga.
Hanya itu tujuan pertanyaan kami, Ayah,"
tambah Raka Pura, sementara sang adik masih diam saja.


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah menghempaskan napas
panjang, Pawang Badai pun mulai menjawab pertanyaan tersebut dengan suara pelan,
namun jelas didengar oleh mereka berdua.
"Pedang Tangan Malaikat itu memang ada. Pedang pusaka itu dulu milik ayah dan
pamannya Eyang Guru yang bernama Eyang Suralaya dan Eyang Surapati.
Keduanya adalah tokoh berilmu tinggi dan merupakan anak kembar, seperti kalian."
Soka Pura sempat menyela kata, "Jadi pedang itu ada dua, Ayah?"
"Benar, pedang pusaka itu memang ada dua," jawab Pawang Badai. "Menurut cerita
Eyang Guru Mangkuranda yang pernah kudengar, kedua pedang pusaka itu mempunyai
kehebatan yang luar biasa.
Jika mereka berdua sudah menghunus pedang, maka tak ada lawan yang bisa
menandinginya. Akhirnya mereka sepakat untuk tinggalkan dunia persilatan dan
mengasingkan diri di tempat yang sunyi.
Sepasang pedang kembar itu disimpan oleh Eyang Suralaya dan Eyang Surapati di
suatu tempat yang tak diketahui oleh siapa pun. Bahkan menurut pengakuan Eyang
Dewa Kencan semasa hidupnya, beliau juga tidak mengetahui di mana pedang pusaka
tersebut disembunyikan oleh ayah dan paman beliau."
"Tapi mengapa semalam Eyang Guru Mangkuranda bisa menyebutkan nama tempat
penyimpanan pedang tersebut?" sela Soka Pura.
"Itulah yang tak kumengerti. Tapi barangkali saja, roh Eyang Guru kalian itu
diutus pula oleh roh ayah dan paman beliau untuk sampaikan nama tempat kepada
kalian, yaitu Gua Mulut Naga."
"Di mana letak gua itu. Ayah?" tanya Raka setelah Pawang Badai hentikan
blcaranya beberapa saat. Raka Pura tampak lebih berambisi untuk dapatkan pedang
pusaka tersebut, jika benar pedang itu memang ada.
"Tanyakan kepada orang-orang rimba persilatan, salah satu dari mereka pasti ada
yang tahu di mana letak Gua Mulut Naga itu. Karena jika kalian bisa dapatkan
pedang pusaka tersebut, maka kalian barulah berhak menggunakan gelar: Pendekar.
Entah kalian mau berjuluk pendekar apa pun juga, yang jelas harus dapatkan
pedang itu lebih dulu."
"Apakah Eyang Guru tak pernah mengutus Ayah atau murid lainnya untuk mengambil
pedang itu?"
"Jangankan mengutus, menyebutkan nama Gua Mulut Naga saja belum pernah.
Baru sekarang aku mendengar nama Gua Mulut Naga itu, Soka."
"Kalau begitu kami lebih beruntung daripada murid-murid
Eyang Guru Mangkuranda sebelumnya, ya?" ujar Soka kepada kakaknya. "Kita dianggap murid
terhormat ketimbang...."
"Ketimbang Ayah, begitu maksudmu?"
potong Raka. Soka Pura hanya meilrik ayah
angkatnya sambil berkata, "Aku tidak bilang begitu lho, Ayah! Raka yang merasa
mengatakan begitu!"
Takut sang ayah tersinggung, Raka buru-buru kembalikan pada pembicaraan awal.
"Jadi, menurut Ayah apakah kami tetap harus mencari Gua Mulut Naga?"
"Ya. Kalian harus cari tempat itu dan dapatkan kedua pedang pusaka
tersebut. Setelah mendapatkan pedang tersebut, cepatlah pulang dan tunggu roh
Eyang Guru kalian menemui kalian, entah dalam mimpi maupun dalam bayangan!"
"Kami akan kerjakan tugas itu, Ayah!" ujar Raka dengan tegas, pada waktu itu Nyi
Padmi muncul membawakan hidangan makan siang untuk mereka bersama.
"Mau ke mana kalian?"
"Mencari pusaka Pedang Tangan Malaikat, Ibu!" jawab Raka.
"Biar kami berdua sama-sama jadi pendekar!" timpal Soka dengan wajah memancarkan
rasa bangga. "Ah, sudahlah tak perlu ke mana-mana lagi. Cukuplah kalian mempunyai bekal ilmu
dari ayahmu ini. Kalau kalian pergi, kami akan merasa sepi. Ayah dan Ibu sudah
tua, sudah dekat masa dipanggil oleh Hyang Maha Kuasa. Kami ingin pergunakan
sisa hidup kami yang tinggal beberapa saat lagi ini untuk menikmati
kebahagiaan bersama kalian!"
"Mereka tetap harus berangkat!"
ujar Pawang Badai kepada istrinya. "Ini bukan sekadar harapan dan cita-cita
mereka, namun sudah merupakan suatu tugas Eyang Mangkuranda sendiri yang
mengutus mereka mencari pedang pusaka itu."
"Oh..."! Jadi kalian ditemui oleh roh Eyang Mangkuranda lagi?" Nyi Padmi agak
kaget. "Benar, Ibu," jawab Raka, kemudian mengulangi cerita pertemuan mereka dengan
bayangan roh Eyang Mangkuranda.
"Jika begitu, Ibu tak bisa bilang apa-apa lagi," kata Nyi Padmi dengan nada
sedih. "Berangkatlah dan dapatkan dengan segera pedang tersebut, Anak-anakku."
"Kami akan berangkat secepatnya.
Tapi ada satu hal lagi yang ingin kami tanyakan kepada Ayah dan Ibu," ujar Raka
Pura. "Tentang apa lagi?"
Raka melirik Soka, seakan mendesak adiknya yang bicara. Tapi Soka memberi
isyarat dengan anggukan dan kedipan mata, seakan mendesak sang kakak saja yang
bicara. Terjadilah masa hening beberapa saat yang menimbulkan rasa heran di hati
Pawang Badai dan Nyi Padmi.
"Katakan, apa yang ingin kalian tanyakan itu"!" desak Nyi Padmi.
"Hmmm... apakah... apakah benar kami ini anak angkat Ayah dan Ibu?"
Akhirnya Raka Pura yang bicara
dengan wajah murung. Soka Pura tundukkan kepala, seakan tak mau tampakkan
wajahnya yang juga ikut murung karena diliputi debar-debar kesedihan. Nyi Padmi
beradu pandang dengan suaminya.
Wajah Nyi Padmi pun mulai tampak
membendung duka dan kecemasan.
"Mengapa kalian bertanya begitu, Anakku?" ujar Nyi Padmi yang segera bersimpuh
di tengah-tengah antara Raka dan Soka. Kedua tangannya mengusap-usap kepala
pemuda kembar itu.
Sambungnya lagi, "Bukankah kalian masih ingat bahwa sejak kecii kalian berdua
dibesarkan oleh Ayah dan Ibu"
Mengapa kalian mempunyai pertanyaan seperti itu, Anakku"!"
"Ibu...," Raka beranikan bicara lagi dengan lirih. "Semalam bayangan roh Eyang
Mangkuranda sempat rnenyinggung masalah itu walau hanya sepintas
sekali." Pawang Badai segera menarik napas dalam-dalam, sepertinya ada sesuatu yang
ditekan kuat-kuat dari dalam hatinya, lalu bicara kepada istrinya, "Mereka sudah
besar, sudah waktunya mengetahui siapa diri mereka sebenarnya. Barangkali
begitulah maksud Eyang Guru
Mangkuranda!"
Raka Pura dan Soka Pura mulai
menahan debar-debar dalam hatinya. Namun keduanya sama-sama tundukkan wajah
dengan kesedihan kian merambah. Setelah sama-sama saling membisu beberapa helaan
napas, Pawang Badai perdengarkan
suaranya lagi dengan tenang dan
berwibawa. Raka Pura dan Soka Pura.... Kalian adalah anak-anakku juga anak ibumu ini, Sejak
kecil, bahkan sejak kalian lahir, kamilah yang merawat kalian. Kasih sayang kami
tercurah sepenuhnya untuk kalian. Sakit kalian adalah sakit Ayah dan Ibu, nyawa
kalian adalah nyawa kami juga. Tetapi sesungguhnya, kami hanyalah perawat kalian
berdua. Tugas kami hanyalah merawat, membesarkan,
mendidik, dan mencintai kalian dengan sepenuh hati...."
Nyi Padmi juga tundukkan kepala.
Bola matanya tangis keharuan yang ditahan dalam dadanya. Kedua tangannya masih
pegang punggung Raka dan Soka di kanan kirinya.
Kini sudah waktunya kalian
mengetahui, bahwa tugas Ayah dan Ibu hanya itu. Sedangkan lahirkan kalian bukan
kami. Kalian dilahirkan dari rahim seorang ibu berhati mulia yang bernama
Muninggar yang bersuamikan seorang putra Demang bernama Panji Pura. Mereka
berdua itulah orangtua kalian yang sebenarnya.
Muninggar dan Panji Pura itulah ibu dan ayah kandung kalian...."
Raka dan Soka semakin tundukkan
wajah. Bayang-bayang kedukaan semakin
mengembang kuat di wajah kedua pemuda kembar Itu. Lidah mereka sama-sama terasa
kelu, sehingga sulit bicara dan menelan ludah. Tetapi suara isak tangis mulai
terdengar di samping mereka. Suara isak tangis samar-samar itu tak lain adalah
tangis keharuan Nyi Padmi, ibu angkat mereka.
Pawang Badai masih bersuara tenang dan tegar, namun nada suaranya
menyejukkan hati kedua pemuda kembar itu, bahkan menimbulkan perasaan iba yang
menghadirkan tangis di batin mereka.
"Kakek kalian adalah Ki Demang Yasaguna, yang menjabat sebagai Demang di wilayah
Pademangan kaki Gunung Merana ini. Pada saat ibu kandungmu Muninggar, ingin
melahirkan kalian, ibumu di sini sedang dalam perjalanan menemui Ki Demang
Yasaguna untuk sampaikan firasat buruk yang hadir melalui mimpi. Ibumu yang
kurus inilah yang menolong
kelahiran kalian dari rahim Ibu Mulia Muninggar...."
Akhirnya seluruh kisah kelahiran
Raka dan Soka dituturkan oleh Pawang Badai dengan suara yang lembut namun punya
nada bijaksana sekali. Cerita itu juga menyinggung nyinggung nama Ratu Cumbu
Laras yang menjadi biang bencana bagi keluarga Panji Pura. Kala itu Ratu Cumbu
Laras berskandal dengan Panji Pura, sehingga saat Muninggar melahirkan
anak kembar hingga nyawanya tak
tertolong, Panji Pura sedang berada dalam pelukan Ratu Cumbu Laras.
Kelahiran bayi kembar membuat Ratu Cumbu Laras gembira, karena ia sedang
membutuhkan tumbai bayi kembar sebagai korban persembahan bagi tuannya, yaitu
iblis Dewa Seribu Laknat.
Pawang Badai pun menceritakan
malapetaka yang melanda wiiayah
Pademangan, di mana semua penduduk Pademangan tewas dibantai oleh
orang-orang bertopeng. Orang-orang bertopeng itu adalah kaki tangan Ratu Cumbu
Laras. Hanya dua orang yang selamat, yaitu seorang penduduk dan Panji Pura,
sebab pada waktu terjadi pembantaian massal, Panji Pura masih berada dalam
dekapan Ratu Cumbu Laras, sedangkan bayi kembar sudah lebih dulu dibawa pergi ke
puncak Gunung Merana oleh Pawang Badai. Maka ketika Panji Pura pulang ke rumah
dan mengetahui keluarganya telah dibantai semua, termasuk seluruh penduduk Pademangan, lelaki
itu pun akhirnya menjadi gila dan pergi entah ke mana mengikuti alam
kegilaannya, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Dendam Asmara Liar").
Wajah duka dan hati meratap sedih kini mulai berangsur-angsur pudar, berganti
warna-warna dendam yang
akhirnya memancar dari pandangan mata
kedua pemuda kembar itu. Bayangan Ratu Cumbu Laras yang diceritakan Pawang Badai
melekat kuat di pelupuk mata Raka dan Soka. Kobaran api dendam mendidihkan darah
mereka, membuat panas terasa sesak. Bahkan Soka Pura tampak
berkeringat dingin karena menahan gejolak murka di dalam hatinya.
"Sampai sekarang, kami tak pernah mendengar kabar di mana ayah kandungmu si
Panji Pura, itu berada," sambung Pawang Badai. "Tapi firasatku mengatakan, suatu
saat kalian akan bertemu dengan ayah kandung kalian, bahkan besar kemung-
kinannya kalian akan bertemu dengan Ratu Cumbu Laras. Karena sampai sekarang aku
tak pernah mendengar kabar tentang kematian Ratu Cumbu Laras."
Dengan suara parau dan gemetar, Raka Pura berkata sambil mengangkat kepala
menegakkan dada, demikian pula yang dilakukan Soka Pura.
"Aku akan menantang pertarungan dengan Ratu Cumbu Laras sampai salah satu dari
kami ada yang mati, Ayah!"
"Izinkan tanganku berlumur darah untuk mencabut jantung Ratu Cumbu Laras dan
meremas-remasnya, Ayah!" sahut Soka Pura dengan kulit wajah kemerah-merahan.
"Anakku...," Nyi Padmi buka suara dengan sisa duka yang membuat parau dan
bergetar suaranya. "... jika kalian ingin lakukan hal itu jangan berdasarkan
dendam, tapi lakukanlah demi kedamaian
hidup sesama yang telah dirusak oleh Ratu Cumbu Laras itu, Nak."
"Benar apa kata ibumu itu, Raka dan Soka," sahut Pawang Badai. "Jiwa yang
dirasuki dendam hanya akan membuat Jiwa itu akan menjadi liar, dan hidup pun
menjadi miskin ketenangan, miskin pula perdamaian. Jangan kobarkan api dendam
dalam hati kalian, karena api dendam yang berkobar hanya akan membuat hidupmu
kering dan tandus. Tetapi berbuatlah kebajikan terhadap sesama, tundukkan
keangkara murkaan, lawanlah kejahatan demi kebenaran, niscaya hidupmu akan penuh
ketenangan, kedamaian dan
keteduhan. Di dalam menumpas keangkara murkaan itulah, pembalasan yang kalian
tuntut akan terbalas dengan sendirinya tanpa dirongrong oleh api dendam
kesumat. Hiduplah dalam kesadaran akan tugasmu sebagai umat manusia yang harus
tolong-menolong dan saling mengasihi di antara sesama."
Menurut Raka Pura, nasihat itu cukup bijaksana dan mampu meredamkan api dendam
di dalam hatinya. Tetapi hati Soka Pura berpendapat lain.
"Saling mengasihi boleh-boleh saja, tapi kalau Ratu Cumbu Laras lewat di
depanku, kuhabisi kurajang habis dari ujung rambut sampai ke jempol kakinya!"
Akhirnya Pawang Badai dan Nyi Padmi melepas kepergian kedua pemuda kembar itu
yang ingin mencari Pedang Tangan
Malaikat. Sebab siapa pun yang memiliki Pedang Tangan Malaikat, maka ia berhak
menyandang geiar seorang pendekar yang diakui oleh dunia persilatan.
"Hati-hatilah jika kalian bertemu dengan seorang lelaki, yang mempunyai wajah
mirip kalian, karena siapa tahu dia adalah ayah kandung kalian sendiri si Panji
Pura. Sujudlah di kakinya, karena biar bagaimanapun dia adalah ayah kandung
kalian sendiri," pesan Pawang Badai.
"Kami akan turuti pesan Ayah ini,"
ujar Raka Pura.
"Jika kalian sempat bertemu dengan ayah kandung kalian, sampaikan salamku dan
ibumu di sini kepada beliau. Dan ingat, katakan kepadanya bahwa kau adalah murid
Eyang Mangkuranda alias si Dewa Kencan. Sedangkan aku dan ibumu di sini hanya
sebagai orangtua angkat kalian, pembimbing dan perawat kalian.
Guru kalian tetap Eyang Mangkuranda, karena seluruh ilmu yang kuajarkan kepada
kalian adalah ilmu warisan beliau."
Pawang Badai menepuk-nepuk pundak Raka dan Soka yang berdiri bersebelahan.
"Kita sama-sama murid Eyang Mangkuranda.
Jaga nama baik aliran silat kita dan jangan mencoreng nama perguruan kita di
mata dunia persilatan!"
"Baik, Ayah!" Jawab keduanya secara bersamaan.
"Berangkatlah, Anakku! Tunjukkan pada dunia persilatan bahwa aliran Dewa Kencan
masih ada dan tetap menjadi pembela kebenaran!"
"Baik, Ayah! Kami mohon pamit dan mohon doa restu Ayah serta Ibu yang tak
mungkin bisa kami lupakan seumur hidup kami!"
"Anakku...," Nyi Padmi menitikkan air mata ketika memeluk Raka dan Soka.
Kedua anak muda itu diciuminya dengan curahan kasih sayang tiada tara. Raka dan
Soka hanya menangis haru dalam hati masing-masing. Rasa berat meninggalkan sang
orang tua angkat membuat mereka saling memeluk lama kedua orang tua itu.
"Raka, jaga adikmu baik-baik, ya Nak?" pesan Nyi Padmi di sela tangisnya.
"Aku akan selalu ingat pesan Ibu ini!" tegas Raka menyenangkan hati sang ibu
angkat. "Soka, bantu kakakmu dalam
kesulitan apa pun, ya Nak."
"Baik, Ibu," jawab Soka dengan suara bergetar menahan kesedihan.
Pawang Badai segera berkata,
"Kalian tak boleh saling bertengkar.
Karena perpaduan jurus kalian akan menghasilkan kekuatan dahsyat yang sulit
dicari tandingannya. Yang tua harus banyak mengalah, yang muda pun jangan kurang
ajar! Ingat itu, Soka!"
"Ya, aku akan ingat selalu nasihat Ayah!"
"Berbaliklah ke belakang. Aku butuh punggung kalian!" ujar Pawang Badai.
Kedua anak kembar itu segera
berbalik memunggungi Pawang Badai. Kedua telapak tangan Pawang Badai segera
ditempelkan di punggung mereka. Tubuh lelaki berjenggot abu-abu itu mulai
bergetar. Makin lama getarannya makin kuat, rona wajahnya pun tampak menegang.
Lalu, dari masing-masing telapak tangan yang ditempelkan ke punggung kedua anak
kembar itu mulai berasap. Bertambah lama bertambah banyak pula asap tersebut.
Kini tubuh Pawang Badai bukan saja bergetar namun berguncang-guncang dengan
telapak tangan tetap menapak di punggung Raka dan Soka. Sementara itu, Raka dan
Soka mengeraskan urat mereka, kodua tangan mereka sedikit mengembang dan
menggenggam. Mereka merasakan hawa panas bercampur dingin silih berganti meresap


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam tubuh mereka, menjalar dari punggung ke kepala dan ke telapak kaki.
Brrruk...! Tiba-tiba Pawang Badai jatuh
terduduk dan napasnya terengah-engah, wajah pun menjadi pucat. Raka dan Soka
sama-sama terkejut dan segera membantu Pawang Badai untuk berdiri.
"Ayaaah..."!"
"Tak apa, aku hanya kesemutan!" ujar Pawang Badai dengan tenang. Ia pun
berdiri setelah sang istri ikut menolong dengan wajah cemas.
Kini Pawang Badai berhadapan dengan Raka dan Soka, kedua tangannya menepuk pelan
pipi si anak kembar tersebut.
Pluk, pluk...! "Kutitipkan jurus 'Badai Jalang'
kepada kalian, sebagai tanda kasih sayangku yang paling tinggi tetap menyertai
ke mana pun kalian berada.
Pergunakan dalam keadaan sangat
terpepet. Tangan, napas dan tenagamu akan bergerak sendiri lalu mengeluarkan
badai dahsyat jika hati atau mulut kalian menyebut kata 'Badai Jalang' sambil
menahan napas dipusar."
"Terima kasih, Ayah!"
"Jurus 'Badai Jalang' juga membuat kalian bersahabat dengan badai mana pun,
sehingga tubuh kalian tak akan
dihempaskan oleh sang badai, walaupun batu sebesar kerbau dapat diguling-
kannya." "Kami paham, Ayah," ujar Raka Pura.
"Kini jurus 'Badai Jalang' sudah tak ada padaku.
Kalianlah pemilik dari ilmu tunggal yang tidak dimiliki oleh tokoh mana pun di
rimba persilatan itu!"
Rasa bangga dan haru menyelimuti
hati mereka. Rasa bangga itu mengembang dalam hati karena kini mereka telah
memiliki ilmu tunggal yang hanya dimiliki oleh si Pawang Badai tersebut,
tetapi hati mereka pun terharu karena rasakan betapa besar cinta kasih si Pawang
Badai sampai rela serahkan jurus
'Badai Jalang' kepada mereka. Cinta kasih kedua orang penjaga makam keramat
itulah yang membuat langkah Raka dan Soka terasa mantap dan tegar saat turun
dari Gunung Merana dan menghamburkan diri ke dalam kancah dunia persilatan.
Kedua pemuda yang memiliki wajah seperti pinang dibelah dua itu memandang lurus
bagai menembus masa depan dengan penuh keberanian dan semangat kependekaran.
* * * 3 MELINTASI lembah landai berhutan
jati liar, melangkah kedua pemuda kembar yang sulit dibedakan itu terpaksa
terhenti. Mereka mendengar suara pekik pertarungan yang melengking tinggi dan
menarik perhatian. Mereka sepakat bergegas ke arah pertarungan itu untuk melihat
sekaligus membandlngkan
jurus-jurus mereka dengan jurus-jurus yang dipakai dalam pertarungan tersebut.
"Kita jangan ikut campur urusan mereka!"
"Jangan!" tegas Soka Pura.
"Kita hanya melihat sejauh mana kehebatan jurus dan ilmu mereka yang
bertarung itu. Ingat, kita hanya
melihat!" "Nonton!"
"Melihat!"
"lya, sama saja dengan nonton!"
"Beda. Melihat itu bersifat
mengamati, tapi kalau menonton itu bersifat menikmati!"
Perdebatan mereka terhenti dengan sendirinya ketika mereka tiba di sebuah tebing
setinggi lima tombak. Dari atas tepian tebing itu mereka melihat jelas siapa
yang bertarung di bawah sana.
Seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun sedang terpelanting akibat
pukulan perempuan berjubah hijau dari jarak jauh. Perempuah berjubah hijau itu
hantamkan pukulan tenaga dalamnya tanpa sinar ke arah si gadis Secara refleks
kedua tangan si gadis menahan pukulan tersebut dengam membentangkan kedua
telapak tangannya di depan dada. Tetapi agaknya pukulan tenaga dalam lawan cukup
besar, sehingga gadis itu terpelanting dan jatuh terbanting.
Brruk...! Menyedihkan sekali.
Seorang nenek yang sejak tadi masih diam pandangi pertarungan itu dari bawah
pohon, kali ini serukan kata kepada perempuan berjubah hijau.
"Cukup, Peri Kenanga! Kurasa cucuku memang bukan tandinganmu!"
"Jadi kau yang ingin menggantikan cucumu untuk pindah ke neraka, Nini
Sawandupa"!" seru perempuan berjubah hijau yang ternyata bernama Peri Kenanga
itu. Tetapi sang nenek yang dipanggil dengan nama Nini Sawandupa itu justru
tertawa kecil bernada mengejek.
"Hik, hik, hik, hik...! Jangan sesumbar dulu di depanku, Peri Kenanga.
Kau bisa saja menumbangkan cucuku, si Ratih Selayang itu, tapi jangan harap kau
bisa bergerak dari hadapanku!
Hiaaah...!"
Nini Sawandupa yang mengenakan
jubah lengan panjang warna kuning lusuh itu segera sentakan tongkatnya ke depan.
Wuuut...! Tiba-tiba dari ujung tongkatnya
melesat sinar merah lurus sebesar kelingkingnya.
Claaap...! Peri Kenang hantamkan kepalan
tangannya ke depan, bertepatan dengan itu dari tengah kepalan tangannya melesat
sinar hijau lebair menghantam sinar merahnya Nini Sawandupa.
Claap...! Blaaarrr...! Terjadilah ledakan bergelombang
sentak cukup besar yang membuat Nini Sawandupa terlempar ke belakang sejauh
empat langkah dan jatuh terbanting.
Brruk...! Tulang-tulangnya seakan nyaris
patah semua karena kerentaannya.
Sedangkan si Peri Kenanga hanya
terdorong mundur beberapa langkah, namun segera tegak kembali, siap hadapi
lawannya. "Kuat juga yang berjubah hijau Itu,"
gumam Raka seperti bicara pada diri sendiri.
Soka Pura menimpali, "Cantik sekali!"
"Yang mana?"
"Yang berwajah imut-imut itu!"
sambil mata Soka pandangi gadis berwajah imut-imut dengan mengenakan baju tanpa
lengan berwarna biru terang dan
celananya pun berwarna biru terang.
"Gadis itu sedang beristirahat sambil menahan rasa sakitnya. Untuk apa
diperhatikan"! Perhatikan saja yang sedang bertarung itu!"
"Bukankah sudah kubllang tadi, kita menonton saja. Katamu, menonton itu berarti
menikmati, dan sekarang aku sedang menikmati sesuatu yang
menyegarkan pandangan mataku!" ujar Soka sambil tetap tak berkedip pandangi
gadis berambut Surus sepundak dengan poni depan. Gadis cantik itu tampak sedang
berusana berdiri dengan berpegangan pada pohon. Tapi ia tak mampu berdiri cepat
karena bagian dadanya tejasa sakit akibat terhantam pukulan jarak jauhnya si
Peri Kenanga. Perempuan berusia sekitar empat
puluh tahun itu segera berseru kepada nenek berusia sekitar tujuh puluh tahun.
"Jika kau tetap merahasiakan keterangan yang kubutuhkan, aku tak akan memberi
ampun lagi pada kalian berdua!"
"Peri Kenanga, aku ini sudah tua.
Untuk apa aku berbohong kepadamu kalau memang aku benar-benar tidak mengetahui
di mana letak Gua Mulut Naga Itu!"
Raka dan Soka sama-sama terkejut.
Mata mereka saling pandang sejenak sebelum mereka lanjutkan perhatian ke tempat
pertarungan. "Rupanya mereka punya masalah sendiri dengan gua yang sedang kita cari, Raka!"
bisik Soka, sang adik. ,
"Ya, tapi diamlah dulu, kita lihat dulu apa yang terjadi pada diri si jubah
hijau jika sang nenek masih tetap merahasiakan tempat tersebut."
Perempuan berjubah hijau lengan
panjang ternyata semakin berang ketika sang nenek dan cucunya tetap tak mau
memberikan keterangan tentang Gua Mulut Naga itu. Rupanya perempuan itu bukan
sekadar perempuan yang punya ilmu sedang-sedang saja, melainkan berilmu cukup
tinggi, sehingga Nini Sawandupa dihajarnya habis-habisan. Jika sang nenek saja
dihajar habis-habisan oleh Peri Kenanga, apalagi sang cucu cantik itu.
Berulangkali Ratih Selayang dibuat terpental dan terbanting-banting oleh
pukulan tenaga dalam Peri Kenanga.
Akhirnya gadis cantik imut-imut bermata bundar indah itu mencabut senjatanya
yang sejak tadi terselip di pinggang, sebuah trisula putih kristal, seperti
terbuat dari beling tembus pandang.
Seet...! Nini Sawandupa berseru dengan
suaranya yang serak dan tubuh
terhuyung-huyung karena dadanya terkena pukulan bertenaga dalam yang membuat
darahnya keluar dari mulut.
"Ratih, jangan pergunakan senjata itu! Jangan...!"
Tapi Ratih Selayang tidak pedulikan seruan neneknya. Trisula bening itu tiba-
tiba memancarkan cahaya merah indah, bagaikan seberkas cahaya merah yang
terselubung beling putih. Trisula itu diangkat lurus ke atas, seakan diacungkan
kepada sang langit. Salah satu kakinya terlipat ke atas, kaki yang satunya
berdiri tegak. Tangan kiri Ratih Selayang mengembang ke samping dan suaranya
memekik panjang.
"Guntur Petaka...!"
Tiba-tiba trisuia Itu diarahkan
kepada Peri Kenanga. Tetapi tepat pada saat itu Peri Kenanga lakukan lompatan
plik-plak, berjungkir balik dengan pergunakan kedua tangan dan kaki untuk
memutar di tanah.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Wees...! Tubuh itu melambung tinggi di udara, sementara trisula telah melesat sinar merah
bercabang tujuh, menyebar ke arah depannya.
Cralaap...! Di udara, Peri Kenanga sentakkan
kedua jari tangan kanannya ke arah Ratih Selayang, dan melesatlah sinar biru
terang berbintik-bintik bagaikan bunga api.
Craaps...! Nini Sawandupa cepat-cepat
tengkurap ke tanah. Jika tidak ia akan tersambar sinar merah dari trisuia
tersebut. Tujuh sinar merah yang
menyebar itu akhirnya menghantam
pepohonan dan batu sebesar manusia dewasa.
Blar, blegar...!
Bummm...! Apa pun yang terkena tujuh sinar
merah itu langsung hancur menjadi serbuk iembut yang beter-bangan ke mana-mana.
Batu sebesar orang dewasa itu lenyap dan serbuknya berhamburan, sedangkan enam
pohon yang terkena sinar dari trisuia itu Juga sirna dalam sekejap. Tahu-tahu
ada serbuk cokiat kehijauan bertaburan ke mana-mana dan bau kayo kering pun
menyebar seketika itu juga.
Sedangkan sinar birunya Peri
Kenanga melesat dari sasaran, karena pada saat itu Ratih Selayang segera tumbang
ke belakang bagai kehabisan
tenaga. Sinar biru itu menghantam sebatatig pohon besar dan tinggi.
Blaar...! Pohon itu tetap utuh tanpa lecet
sedikit pun. Bahkan satu daunnya tak ada yang jatuh ke bumi.
"Gila! Ternyata jurus mautnya si gadis cantik itu masih lebih dahsyat dari jurus
sinar birunya Peri Kenanga!" ujar Soka Pura dengan perasaan kagum. "Kurasa
seandainya tadi....''
Kata-kata Soka Pura terhenti dan
wajah pemuda itu menjadi lebih
terbelalak tegang lagi, matanya tak berkedip pandangi pohon yang terkena sinar
birunya Peri Kenanga itu.
Pohon tersebut tiba-tiba mengecil, mengecil, dan terus mengecil sambil menjadi
rendah, sampai akhirnya kel seperti rumput dan lenyap tanpa bekas lagi.
Mulut Soka ternganga tanpa bisa
bicara. Mata pun tak bisa berkedip sampai beberapa saat lamanya. Sedangkan Raka
Pura hanya bisa memandang tak berkedip, namun bibirnya terkatup rapat tanpa
suara. Kedua anak kembar itu sama-sama terkesima dan terpaku beberapa saat
melihat pohon yang terkena sinar biru tadi.
Peri Kenanga ternyata masih bisa
daratkan kakinya ke bumi dengan tegak. la tak mengalami kekurangan tenaga
seperti yang terjadi pada diri Ratih Selayang.
Tetapi pada saat itu, Nini Sawandupa segera lepaskan serangan mautnya dari
tongkat yang disodorkan kedepan. Tubuh Nini Sawandupa melayang bagaikan terbang
dari tanah menuju ke punggung Peri Kenanga. Gerakan melayangnya begitu cepat,
sehinga sukar dihindari oleh lawan.
"Hiaaaah...!"
Weees...! Duuhk...! Blaaap...! Sinar merah membias lebar dalam
sekejap ketika tongkat itu menyodok punggung Peri Kenanga. Perempuan
berjubah hijau itu berkutang kuning menutupi gumpalan dadanya yang masih tampak
montok itu segera terjungkal ke depan dengan keluarkan suara pekik tertahan.
Haahk...!"
Wuuurs...! Peri Kenanga berguling di tanah, tapi dengan cepat ia segera berdiri dengan satu
lututnya, kemudian mencabut kipas hitam dari pinggangnya. Kipas itu segera
dibentangkan dalam satu sentakan.
Berrtt...! Lalu dikibaskan dari kiri ke kanan.
Weess...! Tubuh Nini Sawandupa yang sedang ingin menerjangnya lagi dengan
tongkatnya itu terlempar seketika bagai diterjang badai kencang. Tapi ia sempat
melepaskan cahaya putih seperti senjata rahasia secara beruntundari ujung kepala
tongkatnya. Clap, clap, clap...!
Tiga sinar putih kecil itu dihadang oleh kipas hitam Peri Kenanga. Namun yang
terjadi adalah ledakan besar pada saat sinar-sinar itu menghantam ben tangan
kipas hitam. Blaarrr...! "Edan! Dahsyat-dahsyat ilmu
mereka"!"
gumam Soka Pura. "Tapi
bagaimana dengan gadis itu" Apakah ia mati" Mengapa tidak bergerak, Raka"!
Mengapa ia tidak bergerak"!" sambil mengguncang pundak Raka. Raka
menyentakkan pundaknya dengan jengkel.
"Mana kutahu! Tanyakan sendiri padanya apakah dia mati atau hanya setengah
mati!" sentak Raka dalam gerutuan yang bersungut-sungut.
Pandangan mata Raka segera kembali kepada si Peri Kenanga dan Nini
Sawandupa. Keduanya ternyata mengalami luka berdarah yang keluar dari mulut
mereka. Peri Kenanga yang bangkit itu terpaksa limbung ke sana-sini, tampak
memaksakan diri untuk dapat bertahan.
Jubah hijaunya menjadi hangus selebar piring makan akibat sodokan tongkat tadi.
Sedangkan Nini Sawandupa terpental jauh dan baru saja bangkit sambil terbungkuk-
bungkuk dan terbatuk-batuk.
Ia berpegangan tongkatnya yang bagaikan menancap kuat di tanah. Wajahnya menjadi


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biru legam, namun masih mampu melangkah dekati lawannya.
"Tua-tua alot juga nyawanya, ya?"
bisik Soka Pura, dan hanya dijawab seenaknya oleh Raka.
"Mungkin nyawanya terbuat dari karet mentah!"
Tapi perhatian Raka lebih tertuju pada Peri Kenanga yang tampak lebih parah dari
Nini Sawandupa itu. Hanya saja, Raka tak tahu bahwa saat itu Nini Sawandupa
sedang membatin geram dalam hatinya.
"Jahanam si
Sawandupa! Dia mengeringkan darah merahku sedikit demi sedikit dengan jurus sodokan tongkatnya
tadi. Kalau tak cepat-cepat kutangkal dengan napas penyembuh aku bisa mati
kekeringan darah sebelum matahari bergeser ke barat Terpaksa kutunda dulu
pertarungan ini. Aku harus segera menyingkir demi selamatkan diri untuk lakukan
penyerangan kembali!"
Tetapi dari mulut Peri Kenanga
sempat terlontar kata yang cukup keras walau sedikit parau dan badan oleng ke
sana-sini. "Sawandupa...! Bagaimanapun juga aku tetap akan datang mengganggu cucumu jika
kau tak mau berikan keterangan tentang rahasia gua itu! Bila perlu, cepat atau
lambat akan kuhabisi nyawa
cucumu, agar kau tersiksa hidup tanpa seorang cucu kesayangan!"
"Kubunuh kau, Keparaaat...!"
Wees...! Blaass...! Peri Kenanga melesat larikan diri, dari pertarungan berikutnya. Karena jika ia
masih tetap adu kekuatan dengan Nini Sawandupa, maka darah di sekujur
tubuhnya akan menjadi kering dan tak sempat terobati.
"Jangan lari kau bajingan....
teriak Nini Sawandupa sambil mengejar lawannya. Tapi karena ia pun memendam luka
dibagian dalam dada, maka gerakannya tak bisa lincah dan cepat seperti semula.
"Sekalipun kau lari ke ujung dunia tetap akan kuburu kau, Peri bangkai!
Belum puas hatiku jika kau masih hidup dan masih mengganggu cucuku! Berhenti kau
keparaat...!"
Soka tampak tegang pandangi Nini
Sawandupa yang mengejar Peri Kenanga.
"Celakai Nenek itu nekat sekali orangnya"! Sudah tahu lawannya lari dan dirinya
terluka, tetap saja mengejar lawan"!"
"Dia benar-benar murka kepada Peri Kenanga," ujar Raka pelan.
"Murka ya murka, tapi kalau dia akhirnya terbunuh oleh si Peri Kenanga, kita
akan kehilangan kunci rahasia menuju Gua Mulut Naga!"
Raka menatap adiknya. "Apa
maksudnya"!"
"Nenek itu pasti kunci yang dapat membuka rahasia jalan menuju Gua Mulut Naga.
Jika ia tidak tahu-menahu tentang guatersebut.tak mungkin Peri Kenanga begitu
mengancam seperti tadi!"
"Kalau begitu kita selamatkan nyawa Nini Sawandupa, siapa tahu terhadap kita dia
mau berikan keterangan rahasia gua tersebut!"
"Kejarlah dia dan dampingi agar jangan sampai nyawanya melayang di tangan Peri
Kenanga!" "Kau sendiri bagaimana"!"
"Aku akan menolong cucunya!
Tampaknya kalau tak segera ditolong, dia akan kehilangan nyawa juga. Jika kita
berhasil menolong nyawa sang cucu, tentu si nenek merasa berhutang jasa kepada
kita dan dia akan membalas jasa baik kita dengan memberikan keterangan rahasia
Gua Mulut Naga itu!"
"Benar juga pendapatmu. Kali ini otakmu rada cerdas sedikit, Soka!"
"Sudah, berangkatlah sana, Kejar si nenek! Jangan memuji orang pandai
sepertiku!"
"Hmrn...!" Raka mencibir mendengar ucapan terakhir adiknya, walau ia tahu
semata-mata hanya bercanda. la pun segera berkelebat cepat menyusul Nini
Sawandupa. Raka Pura mengunakan jurus
'Jalur Badai' yang kecepatannya
menyerupai hembusan badai tercepat.
Wuuuzzz...! Sementara itu, Soka Pura segera
berkelebat cepat menuruni tebing, hampiri si gadis berbaju biru cerah yang masih
terkapar tak berkutik itu. Ketika tiba di sana, gadis yang telentang itu
dipandangi dengan senyum berseri-seri.
"Cantik sekali! Memang benar-benar cantik gadis itu," gumamnya' dengan suara
pelan tanpa pedulikan rona wajah si gadis yang semakin memucat itu.
"Agaknya ia bukan saja kehabisan tenaga, namun juga terluka dalam akibat pukulan
Peri Kenanga tadi. Hmmm...!
Mungkin sekaranglah saatnya kucoba menggunakan jurus 'Sambung Nyawa' untuk
mengobati luka-iuka gadis ini dan memulihkan kekuatannya kembali."
Jurus 'Sambung Nyawa' adalah jurus pengobatan yang diturunkan langsung oleh
bayangan roh Eyang Mangkuranda kepada kedua anak kembar tu. 'Sambung Nyawa'
hanya istilah pengobatan saja. Jurus itu bukan saja mampu sembuhkan luka secara
ajaib, bukan saja mampu menawarkan racun apa pun, namun juga mampu pulihkan
kekuatan yang telah hilang karena suatu pertempuran.
Soka Pura sempat gemetar dan
deg-degan sebentar, karena ia harus menempelkan telapak tangannya ke tubuh gadis
itu. Dalam jurus pengobatan yang
diajarkan oleh bayangan roh Eyang Mangkuranda, telapak tangan harus ditempelkan
pada tubuh si penderita bagian mana saja, asal menempel langsung pada kulit si
penderita, tidak terhalang kain atau selembar benang pun. Bisa bagian telapak
kaki, betis, punggung, dahi, lengan, bahkan melalui telapak tangan si penderita
pun bisa. Tapi Soka Pura yang bandel dan
bertangan kidal itu bermaksud
menempelkan telapak tangan kirinya ke dada si gadis. Oleh sebab itulah ia
gemetar dan berdebar-debar sesaat. Namun ia segera pejamkan mata dan nekat
menempelkan telapak tangan kirinya di tengah dada si gadis yang mengenakan baju
tanpa lengan tapi berbelahan dada agak lebar.
Pieek...! "Aduh, hangatnya...," pikir Soka dengan nakal.
Tapi pikiran nakal itu segera
dibuang. la menarik napas dan
menyalurkan hawa murninya dan kekuatan inti gaib ke dalam tangan kiri.
Beberapa saat kemudian telapak
tangan kiri itu memancarkan cahaya bersinar-sinar warna ungu. Tubuh si gadis
segera berubah menjadi ungu samar-samar. Ketika tubuh itu telah menjadi ungu,
Soka Pura segera
melepaskan telapak tangannya.
Blaab...! Cahaya ungu bersinar-sinar pada
tangan kirinya padam seketika, tapi tubuh si gadis masih memancarkan cahaya ungu
redup. Makin lama cahaya ungu yang
menyelimuti sekujur tubuh Ratih Selayang itu menjadi semakin redup, bertanda
penyakitnya mulai menipis dan
kekuatannya mulai pulih kembali. Tiga helaan napas kemudian, cahaya ungu redup
itu hilang sama sekali dari tubuh si gadis, menandakan seluruh penyakit telah
lenyap dan kekuatan tenaganya pulih kembali.
Terbukti si gadis segera dapat
bernapas dengan teratur, matanya pun terbuka pelan-pelan. Seraut wajah tampan
dipandangnya dalam kebeningan bola mata yang bundar itu. Ratih Selayang segera
tersentak kaget dan bangkit sambil menggeser mundur tubuhnya.
"Oooh..."!" mata si gadis makin bundar karena mendelik dengan mulut terperangah
bundar pula. Soka Pura menjadi salah tingkah dan malu sendiri karena dipandang sebagai
sesuatu yang menakutkan sekaligus mengejutkan bagi si gadis.
"Apa dia pikir melihat wajah setan, sampai kagetnya seperti itu"! Sialan!"
gerutunya Soka dalam hatinya. Si gadis semakin tampak ketakutan sewaktu Soka
mengajaknya tersenyum lagi dan berusaha mendekatinya.
"Tid... tidak! Tidak...!" Ratih Selayang cepat-cepat bangkit dan berlari mundur
ke balik pohon. "Aaaa...!" ia menjerit kuat-kuat dengan wajah semakin tegang,
bagai melihat sesuatu yang amat menyeramkan.
"Ooo... gadis edan!" maki Soka dalam hati sambil berdiri dan membuang
pandangan ke arah sekelilingnya. la takut ada orang mendengar jeritan si gadis
hingga menyangka si gadis ingin diperkosanya. Akhirnya Soka pun
melontarkan pertanyaan dengan nada jengkel.
"Mengapa kau takut padaku"! Aku yang mengobati lukamu dan memulihkan
kekuatanmu. Mengapa menjerit ketakutan begitu"!"
"Kaau... kau... kaukah si Setan Cabul itu"!"
"Setan Cabul"!" gumam Soka, lalu berseru, "Namaku Soka, bukan Setan Cabul!"
"Tap... tapi... oh, tidak! Kau pasti si Setan Cabul yang gemar memperkosa
perempuan!"
"Husy! Seenaknya saja menuduh orang! Aku belum pernah memperkosa wanita. Tapi
kalau kau inginkan begitu, aku... aku pikir-pikir dulu!"
Gadis itu pandangi Soka yang
bersungut-sungut hingga beberapa saat lamanya.
"Siapa si Setan Cabul itu"!" tanya Soka dengan serius.
* * * 4 SETELAH yakin betul bahwa pemuda tampan yang berambut lurus sebahu itu bukan si
Setan Cabul, senyum gadis itu mulai mekar dari sedikit-sedikit, lama-lama
menjadi lebar dan indah. Bibir ranum itu tampak luoas sekali jika sung-gingkan
senyum lebar, memancarkan daya pesona yang membuat Soka bergetar dalam hatinya.
Apalagi melihat penampilan Soka
yang bergelang kulit hewan warna hitam dengan manik-manik putih logam, Ratih
Selayang semakin yakin bahwa pemuda bertubuh tinggi dan gagah itu bukan orang
yang perlu ditakuti. Bahkan hati kecil Ratih Selayang berkata pada dirinya
sendiri. "Dia bukan orang yang perlu
ditakuti, tapi perlu didekati."
Setelah Soka jelaskan dalam pengakuannya sebagai anak dari Pawang Badai, gadis itu segera terkesiap dan rasa
kagumnya bertambah besar, karena ia tahu tentang siapa si Pawang Badai itu.
"Nenekku pernah bercerita tentang si Pawang Badai yang berilmu tinggi dan
sekarang sudah mengasingkan diri di puncak Gunung Merana."
"Dari sanalah aku berasal," sahut Soka dengan senyum menawan dan pandangan
matanya yang menggetarkan hati gadis mana pun.
"Aku jadi malu sendiri setelah yakin betul bahwa kau bukan si Setan Cabul."
"Mengapa kau sampai menyangkaku si Setan Cabul?"
"Karena... karena dia juga tampan, hanya saja tidak semuda dirimu. Tapi...
tapi...," Ratih Selayang tersipu kembali. "Sudahlah, jangan mendesikku dengan
pertanyaan seperti itu. Aku malu sekali padamu, Soka! Yang jelas Setan Cabul
adalah pria yang tak boleh melihat perempuan. la selalu memperkosanya, lalu
mencacati korbannya
entah dipotong jarinya, dipotong
tangannya, atau
dibutakan matanya, dan kekejian
lainnya." "Pantas kau sangat ketakutan" ujar Soka sambil tetap tersenyum ramah.
"Aku memang selalu merasa takut jika membayangkan peristiwa tersebut."
"Kau tak perlu takut lagi, karena sekarang aku hadir di dunia persilatan untuk
hancurkan orang-orang kejam seperti si Setan Cabul itu!"
Si gadis melirik dalam senyum yang memancarkan rasa aman dan kagum. Soka Pura
merasa disanjung dengan pandangan mata sesederhana Itu. Hatinya kembali
berdesir indah dengan tatapan mata tak mau beralih ke arah lain. Mereka masih
tetap ditempat pertarungan tadi, di bawah pohon, karena menunggu Nini Sawandupa
kembali ke tempat itu.
"Mengapa kau sampai terlibat perkara dengan perempuan berjubah hijau tadi?"
"Peri Kenanga maksudmu?"
"Ya. Siapa Peri Kenanga itu?"
"Bibi tiriku!" jawab Ratih Selayang dengan nada ketus, memancarkan
kebenciannya terhadap Peri Kenanga.
"Meski dia bibi tiriku, tapi aku menganggap tidak pernah bersaudara dengan
perempuan liar Itu!" tambah Ratih Selayang. "Dia selalu menggangguku agar nenek
menunjukkan padanya jalan menuju ke Gua Mulut Naga."
"Apakah nenekmu benar-benar
mengetahui jalan menuju gua tersebut?"
"Aku tak tahu secara pasti. Nenek selalu menghindar jika kutanyakan hal itu
padanya. Dia selalu mengaku tidak tahu tentang jalan menuju ke gua
tersebut, dan menganggap orang-orang seperti Peri Kenanga itu adalah orang gila
yang kurang kerjaan."
Soka Pura diam sebentar, batinnya berkecamuk sendiri.
"Aku tak yakin kalau Nini Sawandupa tak tahu jalan menuju Gua Mulut Naga.
Pasti ada sesuatu yang membuat Nini Sawandupa terpaksa harus tetap
merahasiakan jalan menuju gua tersebut.
Ada baiknya jika kutanyakan latar belakang kehidupan Nini Sawandupa kepada
cucunya yang cantik ini."
Namun sebelum Soka ajukan
pertanyaan lagi, Ratih Selayang sudah lebih dulu berkata kepadanya dengan suaranya yang merdu dan enak didengar itu.
"Kau mau singgah ke gubuk kami?"
"Jauhkah rumahmu itu"!"
"Tak seberapa jauh dari sini."
"Aku perlu mengetahui tentang rahasia Gua Mulut Naga itu, Ratih."
Gadis itu memandang dengan dahi
berkerut. "Untuk apa kau ingin mengetahuinya?"
"Mencari kemungkinan kalau-kalau gua itu bisa kupakai untuk berbulan madu
kelak," jawab Soka dengan tetap merahasiakan tentang adanya pedang pusaka di
sana. ia justru menjawab dengan canda, namun canda itu juga sebuah pancingan
untuk Ratih Selayang.
"Apakah kau sudah akan menikah, sehingga sudah memikirkan tempat untuk berbuian
madu?" tanya gadis itu sedikit merasa kecewa.
"Belum. Bahkan aku belum mempunyai seorang kekasih."
"Lalu, mengapa kau memikirkan masa berbulan madu?"
"Sebenarnya bukan aku yang akan menikah dan berbulan madu."
"Lalu siapa?"
"Kakakku...."
"O, kau punya kakak?" sambil mereka melangkah menuju ke tempat tinggal gadis
itu. "Ya, sekarang kakakku sedang menyusul nenekmu. Karena kami tak ingin nenekmu
tumbang di tangan Peri Kenanga yang tampaknya memang liar itu."
"Oh, syukurlah kalau nenek ada yang membayang-bayanginya."
"Memang itu tugasnya. Tapi tugasku adalah menyelamatkan dirimu dari luka parah
tadi." Ratih Selayang tundukkan kepala
sambil tersenyum manis.
"Jurus "Guntur Petaka' memang selalu menguras tenagaku dan memouatku seperti
kehilangan hidup. Karena memang sebenarnya belum waktunya aku
menggunakan jurus 'Guntur Petaka' karena kekuatanku masih belum seberapa. Tapi
tadi kupikir dapat untuk meleburkan raga bibi tiriku itu. Ternyata tidak, dan
akhirnya aku kehilangan kekuatan serta tak sadarkan diri."
"Kau juga terluka dalam yang cukup berbahaya."
"Ya, aku menyadari hal itu.
Syukurlah kau datang tepat pada
waktunya, sehingga kau dapat selamatkan nyawaku dari luka bakar yang akibat
pukulan jarak jauhnya si Peri Kenanga itu."
"Aku dan kakakku hanya kebetulan saja lewat, lalu melihatmu bertarung melawan
musuh yang tak sebanding. Sayang sebelum kami bergerak, Peri Kenanga sudah kabur
lebih dulu. Aku tak tega melihatmu terkapar tanpa daya seperti tadi."
"Sungguh kau tak tega?"
"Ya, sangat tak tega! Aku hampir saja melepaskan kemarahanku jika kakakku tidak
menghalanginya. Sepertinya kala itu aku merasa tak rela melihatmu dtsakiti oleh
Peri Kenanga."


Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hati gadis itu berdesir antara
bangga dan bahagia mendengar ucapan Soka. ia tak sadar telah hanyut dalam rayuan
kata si tampan yang memang pandai meluluhkan hati seorang gadis Itu.
"Kurasa dia akan datang lagi dalam waktu dekat nanti," kata Ratih Selayang.
"Kalau begitu aku harus menjagamu!
Aku tak ingin dia menyentuh tubuhmu lagi.
Jangankan menyentuh tubuhmu, menyentuh bayanganmu pun bisa kubunuh seketika itu
pula si Peri Kenanga!"
"Hanya menyentuh bayanganku, kau akan marah padanya"!"
"Ya. Memang begitulah aku. Entah mengapa tadi tiba-tiba aku merasa tak rela dan
sakit hati sekali melihatmu terlempar oleh pukulannya. Rasa-rasanya aku perlu
menghadapi perempuan itu secepatnya dan membunuhnya agar tidak mengganggumu
lagi!" Ratih Selayang tersenyum bangga
sekali. la merasa seperti mendapat seorang pelindung yang memanjakan dirinya.
Kemanjaan memang sering
diperoleh dari neneknya. Tapi kemanjaan kali ini terasa sangat berbeda dengan
kemanjaan sang nenek. Kemanjaan dari seorang pemuda tampan, gagah dan
menawanterasa melambungkan jiwa
ketimbang kemanjaan seorang nenek.
Debar-debar keindahan itu tiba-tiba buyar mendadak. Seberkas sinar merah bagai
bold kecil melesat dari arah samping,
Wees...! Lalu sinar merah itu menghantam
pohon di depan langkah mereka berdua.
Jegaarrr...! Pohon pun tumbang melintang jalan.
Brrrusskk...! Secara refleks tangan Soka
menyambar tubuh Ratih Selayang dan membawanya lompat mundur.
Wuuttt...! "Ooh..."! Apa yang terjadi, Soka"!"
"Seseorang ingin mencelakai kita, Ratih!" sambil napas Soka ditarik dan
dihembuskan dalam kelegaan. Tapi
pandangan matanya segera menatap tajam ke arah datangnya sinar merah tadi. Soka
segera mengambil alih di depan Ratih Selayang, seakan ia melindungi gadis itu
dan menjadi perisai siap mati jika ada bahaya yang ingin menyerang Ratih
Selayang. Sikap itu membuat hati Ratih Selayang menjadi semakin bangga dan
merasa bahagia berada bersama Soka Pura.
"Keluar kau, Setan gundul!" teriak Soka melontarkan tantangan.
Wuuut, jleeg...!
Sekelebat bayangan melintas di
depan mereka, lalu berhenti tepat di atas batang pohon yang tumbang. Soka Pura
terkesima menatap sesosok tubuh tinggi, besar, berkumis lebat dan bertampang
sangar. Seorang lelaki berpotongan mirip raksasa itu berdiri tegak sambil
memandang Soka Pura dengan mata melebar menyeramkan.
"Aku bukan setan gundul. Tikus sengit!" geram lelaki berbaju hitam dan bercelana
merah itu. Baju hitamnya yang tak dikancingkan membuat perutnya yang, buncit
tampak berpusar besar, dadanya berbulu lebat dan tampak kekar seperti tebing
cadas. Lelaki berkulit hitam itu berusia sekitar empat puluh tahun lebih, tapi
gerakannya tampak cukup matang.
Dilihat dari lompatan cepat dalam kemunculannya itu, Soka Pura dapat memastikan
bahwa lelaki itu berilmu tinggi, setidaknya cukup menguasai ilmu peringan tubuh
dengan baik. "Siapa lelaki itu, Ratih?" bisik Soka sambil sedikit menengok ke belakang tapi
matanya tetap mengawasi orang mirip raksasa yang menyelipkan golok lebar di
pinggangnya. "Apakah dia yang bernama si Setan Cabul"!" tambah Soka.
"Bukan. Dia bukan si Setan Cabul,"
bisik Ratih Selayang. "Dia adalah Palagupa, orang Lembah Hutan. Hati-hati
berhadapan dengan dia."
"Memangnya kenapa?"
"Ilmunya tinggi dan tak mau hentikan pertarungan jika lawannya belum mati."
"Wah, kacau...! Sekalinya dapat musuh segede ini"!" gumam hati Soka Pura sedikit
ngeper melihat sosok tinggi besar orang yang akan dihadapinya.
"Ratih Selayang...!" suara Palagupa cukup keras dan besar, menandakan ia sebagai
orang yang ganas dan mudah tersinggung.
"Sudah satu purnama nenekmu tak datang ke Lembah Hantu memberikan jawaban atas
pinangan ketuaku. Sang ketua tak bisa bersabar lagi. Maka hari ini juga, mau
atau tidak, aku ditugaskan untuk memboyongmu ke Lembah Hantu dan kau akan
menikah dengan sang Ketua di sana!"
"Aku tidak sudi menikah dengan ketuamu!" ketus Ratih Selayang sambil melangkah
Kisah Sepasang Rajawali 32 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Pedang Awan Merah 7
^