Pencarian

Dendam Asmara Liar 2

Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Bagian 2


"Aauh...!" Walet Perak memekik pendek.
Ternyata yang terkena sabetan pedang adalah lengan kirinya.
Sebelum Walet Perak semakin berang, Betina
Rimba sentakkan pinggulnya dan
dalam waktu kurang dari sekejap ia sudah bangkit berdiri dengan pedang siap
melesat kembali. Tapi pada saat itu, Walet Perak sudah berguling-guling cepat
dan berdiri dengan satu kaki berlutut. Jaraknya dari lawan sekitar delapan
langkah. Ada cukup waktu bagi si Walet Perak untuk segera bangkit sambil menahan
rasa sakit pada luka di lengan kirinya.
Saat itu, kemarahan si Walet Perak mulai bangkit akibat merasa dilukai lebih
dulu. Wajahnya pun segera menyeringai dan kecantikannya pudar. Kulit wajahnya
berubah menjadi merah kehitaman dan
giginya keluarkan sepasang taring runcing.
Mata si Walet Perak berubah merah dengan alis meninggi.
"Gggrrrh...!"
Suaranya pun menyeramkan, membuat
Betina Rimba menunda penyerangannya.
Betina Rimba tahu, dalam keadaan wajah sudah berubah, seseorang tak boleh
menyerang Walet Perak dengan gegabah.
Karena serangan itu bisa diputar balik oleh kesaktian 'Aji Burisrawa'-nya dan
membahayakan nyawa si penyerang sendiri.
Karena itulah, Betina Rimba segera bergerak ke samping pelan-pelan menunggu
kesempatan baik untuk menghujamkan pedangnya ke perut si Walet Perak.
Mereka tak tahu bahwa saat itu di
seberang sungai telah hadir sepasang mata yang menyelinap di antara semak
ilalang dan memperhatikan pertarungan tersebut.
Sepasang mata milik seorang pemuda berusia sebaya dengan mereka, bertubuh
tinggi, tegap dan berotot kekar dengan warna kulit sawo matang. Pemuda itu
berambut panjang sepundak agak bergelombang, mengenakan ikat kepala kuning dan
baju tangan lengan warna hijau tua, sama dengan warna celananya. Pemuda itu juga
menyandang pedang di pinggangnya yang berikat kain hitam. Ia mempunyai
ketampanan yang cukup mencengangkan kaum wanita, terutama dengan kumis tipis,
cambang tipisnya yang membuat wajah itu semakin tampak jantan.
Pemuda itu terlihat jelas pada saat Walet Perak yang berwajah menyeramkan itu
menerjang Betina Rimba dengan gerakan liar dan sukar dihindari. Kukunya yang
berubah menjadi tajam dan hitam itu menyambar wajah Betina Rimba ketika pedang
Betina Rimba menangkis tebasan pedang si Walet Perak.
Weees...! Nyaris saja wajah Betina Rimba yang cantik itu rusak total akibat terkena
sambaran kuku runcing mirip mata pisau tajam itu. Untung saja Betina Rimba
segera tarik kepala ke belakang dengan sedikit menengadah, sehingga cakaran kuku
itu tak mengenai kuiit wajahnya sedikit pun.
Ia segera putar tubuhnya dan menendang ke belakang dengan cepat dan penuh
curahan tenaga dalam. Tendangan itu tepat kenai perut Walet Perak.
Buuughk...! Tubuh Walet Perak terpental tujuh
langkah jauhnya dan jatuh terbanting dalam keadaan miring.
Brrruk...! "Gggrrrhh...!"
Bangsat kau Betina Rimbaaa...!"
teriaknya menyeramkan dengan wajah menyeringai ganas.
Lalu tiba-tiba dari ujung pedang Walet Perak yang disentakkan ke depan keluar
sinar merah yang menyerupai meteor kecil.
Sinar merah itu melesat cepat ke arah Betina Rimba.
Claaap, wuuus...!
Betina Rimba tak mau kalah main sinar.
Ia pun sabetkan pedangnya dari belakang menjadi lurus ke depan.
Suuuut...! Dan ujung pedang itu segera keluarkan selarik sinar hijau yang segera
bertabrakan dengan sinar merah dalam jarak lima langkah di depan Walet Perak.
Claaap, blaaarr...!
Ledakan kuat timbul dari benturan dua sinar
tersebut. Cahaya biru kemerahan
membias dalam sekejap. Cahaya itu
keluarkan gelombang sentakan cukup kuat, sehingga tubuh Betina Rimba pun
terhempas dan terbanting setelah membentur batu besar dan tinggi itu.
"Uuh...! Keparat betui si Walet Perak itu. Agaknya aku tak boleh sekadar
menghajarnya. Aku harus membunuhnya tanpa ragu-ragu lagi!!" geram Betina Rimba
dalam hatinya. Ia pun segera bangkit dengan niat melepaskan jurus maut yang
dapat menghabisi nyawa si Walet Perak dalam satu gebrakan.
Tapi tiba-tiba sinar merah itu datang lagi menyambarnya dari ujung pedang si
Walet Perak. Weees...! Mau tak mau Betina Rimba segera
melepaskan sarung pedangnya dan tangan kirinya menyentak ke depan dengan telapak
tangan terbuka.
Wuuut...! Dari telapak tangan itu melesatlah sinar hijau bundar sebesar genggaman bayi.
Claaap...! Weees...! Blegaaarrr...! Dentuman Itu semakin kuat, lebih besar dari yang pertama. Tubuh Betina Rimba
terlempar dan masuk ke perairan sungai.
Byuuur...! Sementara itu, si Walet Perak hanya terpelanting membentur pohon, lalu segera
tegak kembali dan menggeram dengan menampakkan taringnya yang runcing.
"Gggrrhh...!"
Walet Perak berlari menuruni tanggul, Ia Ingin mengejar Betina Rimba yang sedang
melawan arus sungai. Tetapi pada saat itu, sekelebat bayangan hijau melesat
cepat dan menyambar tubuh Betina Rimba.
Wuuut, wuuus...!
Bayangan hijau itu melesat bagaikan sinar berkelebat. Tapi ia juga melepaskan
cahaya kuning terang yang tahu-tahu sudah ada didepan Walet Perak. Dengan
menggeragap kaget, si Walet Perak
sentakkan tangannya ke depan dan dari telapak tangan itu keluar sinar merah
berbentuk mata tombak. Namun baru saja sinar merah itu melesat dua jengkal dari
telapak tangan, ternyata sinar kuning itu telah menghantamnya lebih dulu.
Jegaaar...! "Grrraaoow...!"
Walet Perak terlempar dalam keadaan tubuhnya berasap dan menjadi biru memar.
Ia berguling-guling di rerumputan bawah tanggul bagaikan makhluk yang mengamuk
dengan ganas. Rupanya Walet Perak terbakar bagian dalamnya oleh daya ledak yang dahsyat tadi.
la segera melesat naik ke tanggul dan menggeram penuh murka. Namun agaknya la
sadar bahwa dirinya telah semakin lemah dalam keadaan bagian dalamnya terbakar.
la harus menyingkir sesaat untuk padamkan kobaran api yang membakar bagian dalam
tubuhnya itu. Maka, Walet Perak pun segera melesat tinggalkan tempat tersebut.
Weess...! Ternyata bayangan hijau yang menyambar Betina Rimba adalah seorang pemuda yang
tadi mengintai dari celah-celah
daun ilalang. Ia membawa Betina Rimba yang terkulai lemas ke daratan. Membujurkan
tubuh tanpa pakaian selain penutup tempat-tempat pentingnya saja itu di
rerumputan, dekat sarung pedang yang dibuang tadi.
Betina Rimba masih sadar, masih bisa memandang siapa orang yang menolongnya.
Namun ia belum bisa bicara karena dadanya terasa bagaikan dipaku dengan pasak
sebesar tombak.
"Jangan banyak bergerak dulu. Kurasa ada sesuatu bagian yang hangus di dalam
tubuhmu!" ujar pemuda berpakaian hijau itu. "Akan kucoba untuk salurkan hawa
murniku agar lukamu tak menjadi parah."
Sebenarnya pemuda itu tidak sendirian.
Ia bersama seorang sahabatnya yang berbadan pendek dan agak gemuk, mengenakan
pakaian abu-abu. Temannya itu berusia sedikit lebih tua darinya. Wajahnya yang
bundar dengan pipi yang bengkak mirip sepasang bakpao itu, ternyata sudah berada
di seberang sungai dan sedang mengintai dari balik bebatuan besar. Mata si wajah
bundar mirip kue serabi itu terbelalak ketika tahu bahwa temannya sedang meraba
dada seorang perempuan cantik yang tidak berjubah dan berbaju.
"Wah, lagi-lagi nasib si Wiraga sangat beruntung. Tadi aku menemukan seekor
kambing hutan mau beranak, sekarang dia menemukan seorang perempuan cantik
mau... mau... apakah juga mau beranak" Oh, tidak!
Kulihat perut perempuan itu tidak
membuncit. Dan yang dipegang si Wiraga adaiah bagian dada. Hmmm... pasti tangan
si Wiraga sedang melakukan kenakalan kecil-kecilan! Kurang ajar!" geram orang
tersebut. Tab, tab, tab, tab...!
Si bundar berpakaian abu-abu itu
melompat di antara batu-batu sungai dengan lincahnya. Dalam sekejap ia sudah
berada di seberang sungai dan berdiri di depan pemuda berpakaian hijau yang
ternyata bernama Wiraga Itu.
"Hei, apa yang kau Iakukan itu, Wiraga!" hardik si muka bundar.
"Aku sedang memeriksa denyut nadinya!"
ujar Wiraga sambil nyengir.
"Bukan di situ yang berdenyut, tapi di tempatmu sendiri!"
"Jangan menggangguku, Pongge! Gadis ini terluka dalam dan... ah, sudahlah!
Menjauhlah dulu!"
"Kuberitahukan pada Guru kalau kau tak mau hentikan kenakalanmu, Wiraga!"
"Ini bukan kenakalan! Aku sedang salurkan hawa murniku, Tolol!"
"Tapi jempolmu itu kenapa menelusup di balik kain penutup bukit"!"
"OoOh... ini tak sengaja!" Wiraga bersungut-sungut dan menarik keluar ibu
jarinya yang memang menelusup di balik kain kuning yang berbentuk dan berukuran
seperti tutup mangkuk kecil itu.
Pongge, si muka bundar itu, akhirnya melompat ke atas batu setinggi dada Wiraga.
ia duduk di sana sambil bersungut-sungut dan sebentar-sebentar melirik tangan
Wiraga. "Kalau urusan perempuan cantik ditanganinya sendiri. Giliran urusan kambing
beranak, aku yang disuruh
menangani! Uuh...! Kalau begini caranya, kapan aku dapat bagian seempuk dia"!"
gerutu Pongge sengaja dikeraskan agar didengar Wiraga. Tapi pemuda tampan
bercambang tipis itu tak mempeduiikan suara yang didengarnya. Ia tetap
berkonsentrasi menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Betina Rimba.
"Aku mau mandi, ah!" ujar Pongge seperti bicara pada diri sendiri. ia segera
melompat ke balik batu dan
melepaskan pakaiannya.
"Mumpung bertemu sungai, kapan lagi mandinya"! Sudah beberapa hari aku tak
mandi, baunya sampai membuat tanaman pada layu!"
Byuuur...! Pongge pun terjun ke sungai dan
menikmati kesejukan airnya. ia menyelam beberapa kali dengan berkecipak seperti
anak kecil kegirangan.
Betina Rimba mulai bernapas dengan lancar. Matanya berkedip-kedip saat pandangi
Wiraga. Tangan Wiraga segera dilepaskan, karena wajah pucat Betina Rimba telah
sirna. Wajah itu menjadi segar kembali, dan suara si perempuan terdengar sedikit
parau. "Apa maksudmu menolongku begini"!"
"Apakah tindakanku ini salah?"
"Salah!" jawab Betina Rimba dengan tegas, lalu ia bangkit dan duduk
berhadapan dengan Wiraga. Matanya tak berkedip pandangi Wiraga yang punya senyum
menawan itu. "Lain kali biarkan kuselesaikan sendiri pertarunganku! Jangan mencampuri
urusanku!"
"Kau nyaris celaka! Aku tak tega melihatmu terlempar begitu. Aku takut kau
tewas!" "Walet Perak tak akan mampu membuatku tewas. Justru aku yang akan membunuhnya!"
"Lawanmu cukup tangguh, dan...."
"Dia bukan orang yang tangguh! limunya masih di bawah ilmuku!"
"Tapi kenapa kau terlempar beberapa kali"!" bantah Wiraga.
"Aku hanya ingin menghajarnya. Tapi ternyata dia memang ingin membunuhku, maka
niatku pun berubah untuk membunuhnya.
Sebelum niatku terlaksana, kau telah ikut campuri. Aku benci dengan orang yang
suka ikut campur urusan orang lain!"
"Maafkan aku jika kau tersinggung.
Boleh kutahu namamu?" Wiraga segera alihkan pembicaraan agar tak terjadi
perdebatan yang dapat membawa suasana tak sehat.
"Mengapa kau tanyakan?"
"Aku ingin bersahabat denganmu," jawab Wiraga terang-terangan.
Betina Rimba sempat berpikir, "Tampan juga anak ini! Badannya kekar dan
cambangnya bikin hatiku
berdesir-desir sejak tadi. Hmmm... kurasa tak ada jeleknya jika ia kujadikan sahabatku.
Setidaknya bisa membantuku untuk
menghadapi orang-orangnya Ratu Cumbu Laras."
Sementara itu, di hati Wiraga sendiri membatin kata yang hampir sama.
"Cantik sekali dia. Badannya penuh bulu, bikin aku deg-degan sejak tadi.
Kurasa jika sudah bersahabat, ia mau membantuku mencari Panji Pura. Setidaknya
jika ada bahaya, ia bisa membantu
memerangi bahaya itu."
Pandangan mata yang saling beradu Itu membuat mereka menjadi merasa lebih akrab
dari sebelumnya. Betina Rimba pun akhirnya berkata kepada Wiraga.
"Kau sudah pernah mendengar nama Betina Rimba?"
"Belum," jawab Wiraga. "Apakah itu namamu?" Gadis berhidung mancung itu
anggukkan kepala. Senyumnya mengembang tipis, seperti sedang tersenyum sinis.
Wiraga memperlebar senyumnya dalam keadaan masih jongkok di depan gadis yang
duduk di rerumputan itu.
"Kau bisa memanggilku Wiraga."
"Apakah itu namamu?"
"Bukan. Nama anjing piaraanku," jawab Wiraga dalam kelakar membuat Betina Rimba
sedikit perlebar senyum. Sangat sedikit sekali, nyaris tetap kelihatan tersenyum
sinis. "Siapa perempuan berwajah menyeramkan tadi?" tanya Wiraga teringat wajah si
Walet Perak. "Aku tak bisa ceritakan sekarang.
Badanku masih lemah. Aku butuh tempat untuk istirahat beberapa saat."
"Oh, aku tadi lewat sebelah sana dan kulihat tak jauh dari sini ada gua tempat
persinggahan para pengembara. Kurasa kau bisa beristirahat di sana dengan
nyaman." "Tunjukkan padaku tempat itu!" kata Betina Rimba dengan tegas, lalu ia segera
bangkit. Wiraga pun berdiri dan pandangi si Pongge yang sedang kegirangan di
dalam air. Ketika Pongge menyelam lagi, Wiraga segera menyambar pakaian Pongge,
tapi goloknya tidak ikut disambarnya. Pakaian itu segera dibawa pergi ke gua
bersama Betina Rimba.
"Mengapa kau bawa pakaian temanmu itu?"
"Biar dia tak bisa menyusulku! Dia teman yang gemar mengganggu teman. Dengan
membawa pergi pakaiannya, ia tak akan mencariku ke mana-mana!"
Betina Rimba geleng-geleng kepala
sambil sunggingkan senyum tipis berkesan sinis lagi. Namun gerakannya menjadi
lebih cepat lagi, karena Wiraga melesat dalam beberapa lompatan cepat. Mereka
menghilang sebelum Pongge muncul dari kedalaman air.
Ketika si muka bundar itu muncul, la terkejut melihat Wiraga dan Betina Rimba
sudah tak ada di tempatnya. Lebih terkejut lagi setelah menyadarl pakaiannya tak
ada di tempat semula.
"Jabang bayi! Pasti ini kerjaan si Wiraga! Kampret bodong dia itu!" gerutu
Pongge dengan hati dongkol, lalu ia pun berteriak keras-keras.
"Wiragaaaa...!"
* * *

Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

6 BETINA RIMBA belum pernah masuk ke dalam gua itu, sehingga ia harus memeriksa
keadaan keamanannya. Bagaimanapun juga ia tak mau terjebak oleh kebodohannya
sendiri, dan tetap menaruh curiga kepada pemuda yang mengaku bernama Wiraga.
"Siapa tahu dia menjebakku dan berada di pihak Nyai Ratu?" pikir Betina Rimba
sambil melirik ke sana-sin! dan melangkah mengitari gua tak berlorong itu.
"Dari mana asalmu, Betina Rimba?"
tanya Wiraga sambil duduk di atas batu setinggi pinggul. Saat itu Betina Rimba
tiba di depannya dan menatap dengan kepala sedikit menunduk karena ketinggian
tubuhnya. "Kau sendiri dari mana?" Betina Rimba ganti bertanya.
"Kau ini ditanya kok jadi ganti bertanya?" Wiraga tersenyum sambil geleng-geleng
kepala. "Kau tak perlu curiga padaku. Aku bukan orang jahat seperti lawanmu yang
berwajah menyeramkan tadi.
Aku dari Perguruan Elang Bumi."
Betina Rimba terkesiap dan membatin,
"Kalau tak salah, Perguruan Elang Bumi itu adalah perguruannya Panji Pura"!"
Dengan kalem si pemuda bercambang
tipis itu berkata lagi.
"Aku dan Pongge mendapat tugas dari guru kami untuk mencari seorang sahabat yang
hilang. la dalam keadaan tak waras.
Maklum keluarganya habis dibantai oleh sekelompok manusia bertopeng dan bayi
kembarnya yang baru Iahir itu juga hliang entah ke mana...."
Betina Rimba semakin tak enak hati mendengar penjelasan itu. Ia tahu yang
dimaksud adaiah Panji Pura, tapi ia berlagak tak tahu menahu tentang kasus
pembantaian itu.
"Siapa nama temanmu itu, Wiraga?"
"Panji Pura. Ciri-cirinya, berperawakan hampir mirip denganku...."
Betina Rimba berlagak menyimak
penjelasan Wiraga tentang ciri-clri Panji Pura, tapi dalam hatinya ia tertawa
karena ia sudah tahu ciri-ciri tersebut. Tiba-tiba ia menemukan gagasan yang
terlintas dalam benaknya saat Wiraga menceritakan ciri-ciri manusia bertopeng
yang membantai seluruh keluarga Panji Pura. Wiraga menceritakan ciri topengnya,
sesuai dengan penjelasan yang diterima saksi mata dalam peristiwa tersebut.
"O, topeng itu..."! Ya, aku pernah melihat orang memakai topeng seperti yang kau
sebutkan tadi."
"Kau tahu siapa pemilik topeng itu?"
sergah Wiraga. "Barnyak sekali yang memiliki topeng seperti itu. Aku pernah bertarung dengan
tiga orang bertopeng, dan ketiganya berhasil kulumpuhkan. Ketika topeng mereka
kubuka, ternyata mereka adalah orang Pesisir Kulon. Mereka adalah orangnya Ratu
Cumbu Laras!"
"Oh, betulkah"!" Wiraga
terkejut karena merasa baru sekarang mendapat keterangan seperti itu.
"Ini keterangan berharga sekali dan perlu segera kusampaikan kepada Guru"
ujarnya dalam hati, kemudian ia ajukan tanyai lagi kepada Betina Rimba.
"Kau yakin kalau pemillik topeng seperti itu adalah orangnya Ratu Cumbu Laras"!"
"Aku yakin sekali, karena pada waktu itu aku segera menyerang Pesisir Kulon, dan
ternyata mereka mengakui telah mengirimkan tiga orangnya bertopeng untuk
melukaiku. Akibat penyerangan dan
pembunuhan dl wilayahku itu, sampai sekarang aku menjadi buronan Ratu Cumbu
Laras. Perempuan yang tadi bertarung denganku adalah utusan Nyai Ratu Cumbu
Laras untuk menangkap atau membunuhku!"
"Ooo...." Wiraga manggut-manggut sambil pandangi Betina Rimba yang berada empat
langkah dari tempatnya duduk.
"Pantas kelihatannya lawanmu tadi liar sekali. Kurasa kita perlu menyatukan
kekuatan kita untuk lumpuhkan orang-orangnya Ratu Cumbu Laras. Bagaimana
menurutmu, Betina Rimba"!"
Perempuan itu menghampiri Wiraga lagi.
Kini ia berdiri daiam jarak kurang dari satu jangkauan tangan Wiraga. Wajah
mereka saiing berhadapan dan mata mereka beradu pandang.
"Apakah kau sudah siap menyatu denganku, Wiraga?"
"Siap sekali!" jawab Wiraga dalam senyum. "Menyatu yang bagaimana maksudmu?"
Wiraga tampak mulai nakal.
Betina Rimba menyentuh bibir Wiraga dengan ujung telunjuknya.
"Menyatu dalam arti sebenarnya. Kau dan aku merapatkan badan menjadi satu.
Apakah kau setuju?"
Pandangan mata Betina Rimba mulai
menjadi sayu dan nakal. Wiraga tak mau kalah nakal dengan senyumannya.
"Kau menantang gairahku, Betina Rimba.,.."
"Sambutlah tantanganku kalau kau mampu," ujar Betina Rimba sambil masih meraba
bibir Wiraga dengan ujung
telunjuknya. Wiraga membiarkan telunjuk itu bermain di bibirnya. Kini ia membalas meraba
bibir sensual Betina Rimba yang menggemaskan jika hanya dipandang saja itu.
Ketika jari telunjuk Wiraga menempel di bibir Betina Rimba, bibir itu langsung
merekah sedikit, menyambar jari tersebut.
Betina Rimba menggigit telunjuk Wiraga dengan gigitan mesra. Wiraga justru
mendorong telunjuknya dan masuk ke mulut Betina
Rimba. Telunjuk itu segera
dimainkan oleh lidah Betina Rimba,
sesekali dihisapnya, sesekaii dikeluarkan dari mulut. Sebelum jari itu keluar
semua, Betina Rimba menelannya lagi dan menghisap jemari itu.
Hisapan lembut membuat hati Wiraga semakin berdesir indah. Ia pun segera
menyambar jari telunjuk perempuan itu dan menghisapnya kuat-kuat, lalu menarik
mundur kepalanya pelan-pelan hingga jemari itu keluar dari mulut secara pelan
pula. Hal itu dilakukan Wiraga berulang-
ulang, tapi jarinya sendiri sengaja diturunkan dari mulut Betina Rimba. Jari itu
merayap pelan ke dagu, lalu ke leher dan terus menyusuri belahan dada yang sekal
dan tampak kencang itu. Betina Rimba akhirnya mendesis dengan mata mulai
terbeliak. "Sssshh... aaaah...."
Tangan kirinya menarik penutup dada hingga penutup itu tak berfungsi lagi.
Maka tangan Wiraga pun bebas menjamah ke mana saja dan sasaran utama adalah
gumpalan dada yang kanan. Wiraga
mengusapnya pelan-pelan dengan telapak tangan melebar. Ujung gumpalan dada itu
mulai mengeras dan suara desah keindahan semakin terdengar jelas dari mulut
Betina Rimba. "Sssshhh, aaahh.... Mainkan terus, mainkan, oooh, yaaah... yaah... terus,
Wiraga, terus...!"
Sementara itu tangan Betina Rimba pun ikut merayapi pinggang Wiraga dengan
menelusupkan tangannya ke celah baju.
Tangan itu bergerak turun pelan-pelan sambil sesekali meremas kulit tubuh
Wiraga. Gerakannya yang lamban itu
akhirnya mencapai pinggul Wiraga.. Tangan Wiraga menarik tali simpul ikat
pinggangnya. Serrrt, teees. Maka tangan Betina Rimba memperoleh kelonggaran dan dapat menelusup lebih dalam
lagi, sampai akhirnya ia menemukan sesuatu yang menantang dengan tegar dan
perkasanya. la meremas sesuatu itu sambil tangan yang satu telah lepas dari
mulut Wiraga itu menarik kepala pemuda itu hingga merapat di dadanya.
"Oouh, pagutlah... pagut
yang kuat...." Mulut Wiraga terbuka, Betina Rimba mendesakkan ujung dadanya hingga masuk ke
mulut itu. Suuut...! Wiraga memagutnya.
"Aaooow...! Oohh. Oohh... terus, terus... kencang lagi, Wiraga! Keras lagi,
oohh, yaaah... yah, nikmat sekali, Wiraga!
Uuuuh...!"
Betina Rimba tak segan-segan berseru, menge-rang, memekik dan mendesak-desak. la
akhirnya menjadi liar. Wiraga dijambak, kepalanya didongakkan, lalu bibir Wiraga
dilumatnya habis dengan tangan meremas-remas kehangatan Wiraga yang telah tegar
dan sangat menantang itu.
Kecupan bibir sedikit tebal itu bukan hanya di mulut Wiraga saja, tadi juga
turun ke bawah dan menyapu leher Wiraga dengan
lidahnya yang lincah. Sesekali
leher itu dipagut-pagutnya, kadang juga digigit kecii sebagai tanda kegemasan si
gadis bertubuh sekal itu. Wiraga sengaja pasrah dengan menyandarkan pinggang
belakang ke batu setinggi pinggang itu.
Betina Rimba semakin mengganas. Ia menyapukan
lidahnya di seluruh dada Wiraga, bahkan memagut-magut noda hitam yang ada di kanan kiri dada Wiraga.
Pemuda Itu dlbuai oleh keindahan yang cukup tinggi ketika mulut Betina Rimba
mencaplok noda hitam di dada Itu.
"Oouh, Betina... Betina, nikmat sekali itu. " Ooouh...!" Wiraga pun mengerang
panjang dengan kepala terdongak karena ditikam rasa nikmat begitu tinggi.
Gadis itu pun bangkit sambil
menyusurkan lidahnya ke tubuh Wiraga
sampai akhirnya mereka bertemu dalam kecupan bibir kembali. Kini Wiraga beraksi
seperti yang dilakukan Betina Rimba tadi.
Kecupannya menyusuri tubuh berbulu halus itu, sampai akhirnya menemukan pusar si
wanita. "Oouh...! Terus, terus, jangan berhenti di situ, terusss...!" Betina Rimba
menekan kepala Wiraga hingga kepala itu turun.
"Aku tak tahan lagi, Wira... aku ingin kau melakukannya sekarang Sekarang,
Wira... oouh, oouh...!"
Wiraga pun bangkit sambil merayapkan kecupan bibirnya ke dada Betina Rimba.
Kecupan itu memutar hingga mencapai punggung si gadis yang berbulu agak lebat
namun lembut itu. Si gadis akhirnya menggelinjang ketika tengkuknya dipagut-
pagut oleh Wiraga, punggungnya digigiti kecil, dan lidah Wiraga menyapu seluruh
permukaan punggung tersebut.
"Oouh, Wiraga... lakukan sekarang, jangan permainkan aku lagi. Oouh...
sekarang, Wiraga!" seru Betina Rimba tak sabar lagi.
Kedua tangannya berpegangan batu
besar, kakinya jauh dari batu itu hingga ia membungkuk, dan kedua kaki itu
seperti saling bermusuhan hingga saling berjauhan.
Maka, Wiraga pun menikamnya dari belakang dengan sentakan lembut tapi mantap.
"Aooooww...!" pekik Betina Rimba ketika Wiraga membenamkan diri ke dalam jutaan
rasa nikmat itu.
"Oouh, indah sekali, Wiraga! Terus...!
Terus, jangan berhenti. Lebih cepat lagi, cepat lagi, ooh, yaah, yah... oouh,
sssshhh... aaaah! Oouuuh, cepat lagi, cepat lagi, yang keras! Hajar aku yang
keras, oooh, yaaah, begitu, begitu....
Oouuh...!"
Ramai sekali perempuan itu jika sedang menga-rungi lautan cintanya. la memang
perempuan yang tangguh dan tegar. Sampai beberapa saat lamanya Wiraga mengarungi
samudera kemesraannya, perempuan itu belum mau mencapai puncak keindahannya.
Agaknya ia masih suka mempermainkan debar-debar hatinya sendiri sehingga Wiraga
pun kini bermandi peluh dan bernapas terputus-putus.
"Berbaringlah!" perintah Betina Rimba dengan nada galak setelah ia membentangkan
baju Wiraga di tanah. Pemuda itu pun segera berbaring. Betina Rimba
mengganaskan ciumannya ke sekujur tubuh Wiraga yang agaknya tak mau dikalahkan
itu. Setelah sesaat ia mengganas dengan ciumannya, ia pun menikamkan diri
sendiri dengan menggunakan pusaka miiik Wiraga.
Slaaap...! "Aaaakh...!" ia memekik dengan kepala terdongak dan tubuh mengeras. Kejap
berikutnya ia melonjak-lonjak dengan seribu kata berhamburan bersama napas yang
terengah-engah.
"Oouh, oouh...! Nikmat sekali, Wiraga!
Ooouh, ooouh... bangsat kau!"
Plaaak...! Wiraga ditamparnya, tapi gadis itu masih melonjak-lonjak bagai kegirangan
mendapat sejuta kebahagiaan.
Plak, plak, plak...!
"Oouh, kau benar-benar jantan, Wiraga!
Uuuhm...! Aaah.... bangsat kau! Bangsat kau, aaah... nikmat sekali kau, hah"!
Ouuuh...!"
Plak, plak, plak...!
"Wiraga! Wiraga!" sentaknya dengan mata mendelik dan tangan mencengkeram rambut
Wiraga kuat-kuat, bahkan kepala Wiraga sampai terangkat.
"Wiragaaa...! Oouh, oouh...! Aku ingin bersamamu! Lepaskan, lepaskan
kemesraanmu! Kita berada di puncak, Wiraga!"
"Oh, yaaaah. yaah... kulepaskan Betina! Ouh...!"
"Wiragaaaaa...! Aaaaa...!"
"Haaaaahhhk...!"
Keduanya sama-sama menjerit keras-
keras. Keduanya saiing meremas kuat-kuat.
Wiraga mengamuk, Betina Rimba mengganas dan menjadi buas.
Gua Itu penuh dengan suara teriakan mereka yang telah mencapai
puncak keindahan bersama-sama itu.
Suara tersebut menggema keluar, sampai di telinga Pongge yang masih merendam
diri di perairan sungai. Tapi yang didengar Pongge hanya suara gaduh dalam satu
jeritan menggema. la tak bisa mengenali apakah suara itu suara Wiraga atau
seekor singa mengamuk ganas.
" Jangan-jangan singa lapar sedang menuju kemari?" pikirnya mulai cemas.
"Wah, bisa-bisa tubuhku yang bulat Ini dltelannya tanpa dlkunyah lagi. Mana tak
pakai baju lagi, pasti disangka udang kupasan"!"
Pongge menjadi panik. la bukan
berdebar-debar saja namun juga gemetar.
Mulanya ia ingin nekat naik ke permukaan sungai dan mencari dedaunan sebagai
penutup tubuhnya, tapi tiba-tiba ia harus merendam diri lagi karena dilihatnya
ada tiga perempuan sedang berjalan melintas di atas tanggul. Ketiga perempuan
Itu masih muda-muda dan mengenakan pakaian silat berbeda warna.
"Waduh, gawat...!" sambil Pongge merendam diri. "Mudah-mudahan mereka tidak
kemari" Tapi apa yang diharapkan Pongge
ternyata berbeda. Tiga gadis itu memandang ke arah Pongge, salah seorang
menuding dan berbisik-bisik. Pongge mulai semakin cemas. ia berlagak tidak
melihat gadis-gadis itu dan melakukan gerakan-gerakan yang seolah-olah sedang
mandi. Wut, wut, wut...!
Tiga gadis itu justru melompat dari atas tanggul dan mendekati tepian sungai.
"Aduh, celaka bantat kalau begini!"
keluh hati Pongge. "Mereka justru mendekat! Sial! Ini gara-gara ulah si Wiraga,
bikin aku gemetaran di dalam air sungai!"
"Kang, kami mau numpang tanya padamu!"
seru si gadis berpakaian serba hitam itu.
"Naiklah kemari, ada yang ingin kami bicarakan denganmu, Kang!" timpaltemannya
yang berpakaian serba jingga itu.
"Aak... aku sedang sibuk!"
Pongge berlagak sibuk mencari udang.
Kedua tangannya terendam dalam air.
Padahal tadi ia sudah berlagak sibuk mandi, sekarang berubah pura-pura sibuk
mencari udang. ini akibat Pongge salah tingkah karena didekati tiga gadis cantik
itu. "Apa yang kau cari di situ, Kang?"
"Udang!" jawabnya pendek, seakan acuh tak acuh pada mereka.
"Tahukah kau wilayah Pesisir Kulon itu, Kang"!" tanya si baju kuning. Pongge
berlagak tak mendengar atau sedang sibuk menangkap udang di bebatuan.
"Kang...!" bentak si baju kuning.
"Ssst...! Jangan brisik, nanti udang-udang ini kaget dan lari ke mana-mana!"


Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si baju jingga semakin keraskan suara.
"Kami mau bicara denganmu! Dekatlah kemari! Atau kami akan menyeretmu naik dari
tempatmu itu"!"
"Aku sedang sibuk, Nona-nona cantik!
Kalau kalian mau bicara denganku, tunggu kalau aku sudah tak sibuk!" seru Pongge
jengkel, tapi ia tetap merendam badan sebatas dada.
"Kami hanya ingin menanyakan letak benteng Pesisir Kulon itu! Tahukah kau"!"
"Aku tak tahu!" jawab Pongge ketus dan tak memandang yang diajak bicara.
"Kenalkah kau dengan Ratu Cumbu Laras"!" seru gadis berpakaian hitam.
Pongge tak menjawab, maksudnya biar ketiga gadis itu sebal padanya dan segera
pergi. Tapi rupanya ketiga gadis dari Tebing Naga itu sama-sama bandel, tak mau
tahu kesibukan seseorang. Bahkan yang berpakaian jingga segera membentak dengan
lantang. "Penyu pitak! Kau mau kemari atau kutenggelamkan dari sini, hah"! Cepat kemari,
kami mau bicara denganmu!"
Pongge semakin jengkel dan bingung.
Mana mungkin ia datang mendekati mereka sementara tubuhnya tanpa selembar benang
pun. Ketiga gadis itu menyangka Pongge mengenakan celana pendek, karena sedang
lakukan kesibukan mencari udang. Tak mungkin telanjang, pikir mereka.
"Kuhitung tiga kali kalau kau tak menghormati kami dengan mendekat kemari,
kutenggelamkan kau dari sini!" seru si baju jingga. "Satu... dua...."
Pongge jengkel sekali, ia langsung berdiri di atas batu hingga permukaan air
menjadi sebatas betisnya.
"Apa mau kalian sebenarnya, hah..."!"
"Hiiiii...!"
Ketiga gadis itu saiing menjerit dan cepat-cepat lari tinggalkan Pongge yang
mirip anak penyu baru Iahir.
* * * 7 RUPANYA pihak Tebing Naga ingin
menuntut balas kepada Ratu Cumbu Laras atas kematian si Wajah Keranda. Karena
orang bertampang kuburan itu ternyata adalah putra sulung Penguasa Tebing Naga
yang berjuluk, Nyai Sekap Madu.
Wilayah Tebing Naga dibagi menjadi dua: utara dan selatan. Yang utara diserahkan
kepada si Wajah Keranda, yang selatan diserahkan kepada si Wajah Sutera.
Pada mulanya, Nyai Sekap Madu
mempercayakan kepada si Wajah Keranda untuk menuntut balas atas kematian Wajah
Sutera. Tetapi ternyata Wajah Keranda sendiri terbunuh. Yang mereka tahu, Wajah
Keranda terbunuh dalam pertarungan melawan Ratu Cumbu Laras. Mereka tidak tahu
kematian itu di tangan Panji Pura.
Oleh sebab itulah, Nyai Sekap Madu sudah tak punya toleransi lagi. la harus
muncul sendiri sebagai sang pencabut nyawa Ratu Cumbu Laras. la mengutus tiga
murid. perempuannya untuk menyelidiki kelemahan Ratu Cumbu Laras.
Tiga murid itulah yang bertemu dengan Pongge, dan akhirnya menemukan sendiri
wilayah Pesisir Kulon. Mereka berhasil dapatkan kabar bahwa Ratu Cumbu Laras
adalah perempuan yang haus kemesraan lelaki, namun juga mendendam kepada setiap
lelaki. Maka kali ini Nyai Sekap Madu mengutus muridnya yang tampan dan masih
berusia dua puluh dua tahun. Pemuda itu bernama Karta Lawa.
"Rayu dia, usahakan dia jatuh dalam pelukanmu, kemudian tancapkan jarum 'Sigar
Rolas' ini ke dalam tubuhnya!" ujar perempuan tua berusia enam puluh tahun
lebih, namun kulitnya masih kencang, dan wajahnya masih menyimpan sisa
kecantikan masa muda. Itulah wajah Nyai Sekap Madu, tokoh aliran hitam yang tak
kentara kehltamannya.
"Apa kekuatan jarum 'Sigar Rolas' ini, Guru"!" tanya Karta Lawa.
"Melumpuhkan kedua belas ilmu andalan lawan. Dengan begitu, Ratu Cumbu Laras
dapat kuhancurkan dengan mudah. Ingat, jangan kau hancurkan sendiri perempuan
itu. Dia adalah bagianku, karena dia telah membunuh kedua anakku dan seorang
menantuku!"
"Baik, Guru! Saya akan segera larikan diri setelah menancapkan jarum 'Sigar
Rolas' itu!"
"Bagus! Sekarang, akan kumasukkan jarum beracun ganas ini ke kulit pahamu.
Buka celana!"
"Hmmm, eeeh, anu... celana dibuka semua, Guru?"
"Jangan membantah! Buka celanamu!"
Karta Lawa yang tampan tapi rada konyol itu sempat membatin, "Wah, jangan-jangan
mau diperkosa?"
Plaaak...! Tiba-tiba ia mendapat tamparan dari gurunya yang cukup keras.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Tolol!" bentak sang guru. Rupanya Nyai
Sekap Madu dapat mendengar ucapan batin seseorang, sehingga ia mengetahui apa
yang diucapkan dalam batin muridnya yang tampan itu.
Karta Lawa segera melepaskan celananya sampai sebatas lutut. Nyai Sekap Madu
meraba samping paha kanan sang murid untuk mencari kuiit yang lunak dan bisa
untuk menyimpan jarum beracun itu. Jika jarum itu tidak mengenai darah, maka
racunnya tak dapat bekerja dan tidak membahayakan orang tersebut. Maka jarum
harus dalam keadaan tertutup antara kuiit ari dengan kuiit sebenarnya.
Namun karena wajah sang guru masih punya sisa kecantikan, ditambah lagi badan
sang guru yang juga masih tampak agak kencang, putih mulus, berpinggul ketat,
gumpalan dadanya tampak rada montok, masih seperti perempuan separuh baya yang
sedang hangat-hangatnya karena memang ia pandai merawat diri, mau tak mau rabaan
pada paha Karta Lawa itu menimbulkan 'greeeng...'
sendiri bagi si murid konyol itu.
Sang guru tahu, ada sesuatu yang
menggeliat dalam diri sang murid, tapi ia cuek saja. Ia tetap mencari kuiit ari
di paha kanan sang murid, sampai akhirnya ditemukannya tempat itu. Lalu jarum
'Sigar Rolas' yang mirip merek tembakau itu disusupkan pelan-pelan ke kulit ari
paha sang murid.
Bleeesss.... "Sakit?"
"Tid... tid... tidak, Guru," jawab Karta Lawa dengan menggeragap karena gemetar.
Bukan gemetar karena masukhya jarum, tapi gemetar karena diraba pahanya.
Maklum, usianya masih muda, masih mudah
'greng' jika disentuh tangan perempuan.
Jarum itu tersisa bagian pangkalnya yang mempunyai bulatan warna coklat, mirip
kulit paha itu sendiri. Bulatah coklat kecii itu berguna untuk memudahkan si
Karta Lawa mencabutnya pada saat jarum itu dibutuhkan.
Selesai menyusupkan jarum itu, Nyai Sekap Madu mengusap paha dengan mantra
khusus, agar tidak mudah diketahui lawan si Karta Lawa nantinya. Pada saat
tangan mengusap paha tersebut, Karta Lawa semakin
'greeeeng' dan bahkan seperti menantang dengan gagahnya.
Sang guru melirik bagian yang
menantang itu, lalu tersenyum tipis, membuat Karta Lawa menjadi tersipu-sipu.
"Kau belum pernah tidur dengan perempuan, bukan"!"
"Bel... belum, Guru! Hmmm... maaf, saya tutup dulu, Guru!"
"Tunggu," sergah sang guru sambil menahan tangan Karta Lawa yang ingin menaikkan
celananya itu. Mata sang guru memandang ke arah sesuatu yang menantang itu.
"Bagi seorang perempuan yang doyan kemesraan lelaki, seperti si Cumbu Laras, kau
dianggap mempunyai kekuatan yang kecil dan tidak membakar gairahnya."
"Maaaks... maksudnya, apa yang kecil tadi, Guru?"
"Ini...!" sang guru menuding sesuatu yang menantang dengan tegak itu. "Buat si
Cumbu Laras, ini termasuk kecil. Perlu diperbesar supaya menarik perhatian."
"Tap... tapi bagaimana cara
membesarkannya, Guru! Dari dulu dia sudah kuasuh dan kurawat bik-baik tapi tidak
mau lekas besar."
"Taruh kedua tanganmu ke belakang, akan kuperbesar dia!"
Karta Lawa akhirnya menurut apa
perintah sang guru. Kedua tangan
dikebelakangkan. Sang guru segera
menudingkan ujung telunjuknya ke ujung
'pusaka' si anak muda itu. Kejap kemudian, Karta Lawa merasakan ada hawa panas
yang masuk ke dalam 'pusaka'nya itu.
Caas...! "Aaow...!" ia menarik mundur secara refleks. Sang guru hempaskan napas.
Rupanya ia sudah selesai memperbesar
'pusaka' milik Karta Lawa itu. Ternyata rasa panas pun cepat hilang, Karta Lawa
pandangi 'pusaka'-nya sendiri.
"Hahhh..."!" ia mendelik kaget melihat ukuran 'pusaka'-nya yang menurutnya telah
menjadi dua kali lipat dari ukuran semula.
"Berangkatlah dan temui si Cumbu Laras itu! Aku akan membayang-bayangimu dalam
jarak tertentu. Lepaskan sinar merah pijar ke atas langit, maka aku akan tahu
bahwa jarum itu telah kau tusukkan dalam tubuh si Cumbu Laras. Aku akan segera
datang menyerangnya!"
"Baa... baik... baik, Guru!" sambil Karta Lawa mengenakan celananya lagi.
"Wah, kok jadi sesak begini" Gawat"!"
ujarnya dalam hati, sang guru hanya tersenyum, lalu membiarkan muridnya pergi
tunaikan tugas. .
Pada saat itu, ternyata ada pihak lain yang merencanakan menyerang Pesisir Kulon
dengan sasaran kematian sang Ratu Cumbu Laras. Pihak lain itu adalah Perguruan
Elang Bumi yang mendapat keterangan dari Wiraga tentang pembantaian massal itu.
Tentu saja Perguruan Elang Bumi berada di pihak Panji Pura, sekalipun si Panji
Pura masih belum ditemukan.
Resi Pangkayon, yang menjadi guru
besar sekaligus Ketua Perguruan Elang Bumi itu, berkata kepada para muridnya
yang berkumpul di pelataran.
"Kita menyerang bukan semata-mata karena balas dendam. Kita melumpuhkan
perempuan itu karena kekejiannya sudah melampaui batas dan sangat membahayakah
kehidupan di muka bumi ini! Jika ia tidak kita hentikan, maka pembantaian
seperti itu masih tetap akan berlanjut sewaktu-waktu!"
Para murid menyimak baik-baik katakata sang guru besar itu. Dalam benak mereka
terbayang wajah-wajah pucat tak berdosa yang bergelimpangan, seakan nyawa
manusia tak berarti lagi pada saat itu.
"Berangkat dan musnahkan perempuan itu! Tak ada lagi waktu untuk
mengadilinya!" perintah sang guru besar Resi Pangkayon.
Pada saat itu, Betina Rimba berada bersama Wiraga di salah satu sudut paling
belakang. Betina Rimba tersenyum dalam hati, karena ia sebentar lagi akan
melihat Ratu Cumbu Laras menjadi kalang kabut diserang oleh orang-orang
Perguruan Elang Bumi.
"Kau akan ikut menyerangnya pula, Betina Rimba"!" tegur Wiraga.
"Ya, tapi aku hanya akan menyerang Ratu Cumbu Laras. Kucari kelengahannya dan
kuserang ia dengan jurus yang mematikan!"
"Bagus! Aku akan mendampingimu terus!"
ujar Pongge yang merasa ingin ikut ambil bagian seb-gai pendamping Betina Rimba
dalam penyerangan nanti. Padahal ia memanfaatkan perempuan itu untuk
berlindung dari bahaya yang dapat
menyerangnya sewaktu-waktu.
Ketika orang Perguruan Elang Bumi
bergegas menuju ke Pesisir Kulon yang memakan waktu sehari semalam, ternyata
Karta Lawa sudah lebih dulu sampai di istana Pesisir Kulon. Dengan berlagak
menyamar sebagai seorang pemuda desa yang sedang mencari tabib untuk mengobati
kakeknya yang sakit, Karta Lawa sempat dicurigai oleh penjaga perbatasan wilayah
Pesisir Kulon. Ia ditangkap dipantai, lalu diserahkan kepada Ratu Cumbu Laras.
Sang Ratu mulai tergoda oleh senyum si Karta Lawa yang memang mempunyai daya
tarik tersendiri itu. Kepolosannya dalam bersikap dan berbicara membuat sang
Ratu merasa mendapat keberuntungan sendiri dalam hatinya.
"Ia tampak masih polos dan lugu. Aku sangat bergairah dengan anak kemarin sore.
Gairahku akan meluap-luap jika berhadapan dengan bocah polos yang belum mengenal
cumbuan. Pasti dia akan menurut jika kusuruh begini-begitu. Ooh... i-dah sekali.
Semangatnya pun pasti masih menggebu-gebu sehingga dalam waktu singkat ia dapat
kuajak mengulangi keindahan itu.
Hik, hik, hik...!"
Di depan Karta Lawa yang polos tanpa senjata itu, Ratu Cumbu Laras berkata
dengan tegas. "Aku adalah seorang tabib juga untuk segala macam penyakit. Mengapa kau harus
mencarinya ke mana-mana?"
"Oh, kalau begitu, sangat kebetulan sekali aku tertangkap di pantai tadi.
Ternyata justru aku bertemu dengan seorang tabib sakti. Oh, Nyai Ratu... maukah
kau menyembuhkan kakekku sekarang juga?"
"Kakekmu akan sembuh, tapi terlebih dulu kau harus menjelaskan jenis penyakit
yang dideritanya."
"Baik, akan kujelaskan...."
"Tunggu! Jangan di sini, tapi di kamar. Aku ingin mendengarnya sambil
beristirahat!"
Kemudian sang Ratu membawa Karta Lawa ke kamarnya. Pemuda itu sudah tahu maksud
sang Ratu, namun harus masih tetap berlagak bodoh.
Setelah sampai di kamar, sang Ratu pun berkata, "Jangan-jangan kau kemari
membawa penyakit dari kakekmu" Agaknya penyakit kakekmu itu sangat menular."
"Oh, tap... tapi aku tidak merasa sakit apa-apa, Nyai Ratu."
"Kau harus kuperiksa dulu untuk meyakinkan bahwa kau tidak tercemar oleh
penyakit tersebut."
"Baik. Aku bersedia."
"Lepaskan semua pakaianmu."
"Hahh..."!" Karta Lawa berlagak kaget.
"Lepaskan dan berbaringlah di ranjang itu, aku akan memeriksamu lebih teliti
lagi!" Karta Lawa gemetar saat melepaskan semua yang dipakainya. Kali ini ia benar-
benar gemetar, bukan berpura-pura, sebab mata sang Ratu memandangnya penuh goda.
Wajah cantik dan dada montok itu seakan melambai-lamhai di depan mata Karta
Lawa. "Berbaringlah," ujar sang Ratu dengan lembut sambil mengusap punggung anak muda
itu. Karta Lawa puq menurut. la berbaring dengan kedua kaki merapatkan kedua
tangan menggenggam sesuatu yang telah diperbesar oleh gurunya itu.
"Rentangkan ke samping kedua tanganmu, Karta!" perintah sang Ratu dengan lembut
pula. Karta Lawa pun terpaksa merentangkan tangannya kesamping.
"Oooh..."!" sang Ratu terperangah kagum dan matanya mendelik memandangi sesuatu
yang ternyata telah berdiri tegak penuh tantangan itu.
"Kau memiliki 'pusaka' yang sungguh dahsyat, Karta...," ucap sang Ratu dengan
nada mendesah. Jantung Karta Lawa berdebar-debar, menyentak-nyentak dadanya, karena pada saat
itu sang Ratu mendekatinya dan menyambarnya dengan kedua tangan. Sambaran itu
diiakukan dengan hati-hati sekali, sementara wajahnya masih memancarkan cahaya
kekaguman dan kegembiraan.
"Diam-diam kau punya kehebatan yang tersembunyi, Karta. Kenapa kau tak katakan
sejak tadi, Sayang?"
"Ak... aku... aku... any...." Karta Lawa tak bisa bicara karena gemuruh di dalam
dadanya semakin keras. Keringat dinginnya pun keluar semua, dan tubuhnya merasa
semakin gemetaran.
Sang Ratu tak pedulikan keadaan pemuda itu. la sibuk mengusap-usap sesuatu yang
terasa hangat dan mendebarkan itu.
Gairahnya terbakar dan cepat menjadi berkobar-kobar. la tak sabar, laiu menciumi
paha Karta Lawa dengan lidah menari ke sana-sini.
"Oouh, ooh, Nyai... ja... jangan, Nyai...." Karta Lawa benar-benar takut, tapi
tak mampu melarang atau menghindar, karena ia merasakan kenikmatan yang mengalir
deras dari kaki sampai ubun-ubun kepalanya.
Ratu Cumbu Laras semakin bergairah jika mendengar suara lelaki
ketakutan begitu. Ia bahkan menyapu seluruh tempat di sekitar paha Karta Lawa dengan
lidahnya. Seeet...! Akhirnya lidah itu menuju puncak,
kemudian menelan 'hidangan'
tersebut dengan pelan-pelan sekali.
"Ooh, Nyai... Nyai Ratu... aduuuh...
Nyai...." "Sakitkah?" sang Ratu hentikan gerakannya sejenak.
"Hmmm... hmmmh... tidak, Nyai...."
"Kau suka?"
"Suk... suk... suka sekali. Oooh...
lagi, Nyai. Lagi...."


Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang Ratu mengikik kegirangan,
kemudian ia menelan 'hidangan' itu pelan-pelan lagi. Tapi kali ini tangannya
meraih tangan Karta Lawa. Karena ia berdiri membungkuk di samping ranjang, maka
tangan Karta Lawa dengan mudah dapat dituntun hingga menyentuh "mahkota'-nya,
setelah sang 'mahkota' dibuka penutupnya. Tangan Karta Lawa pun segera menari-
nari dengan malu, namun justru tarian malu-malu itu yang menimbulkan keindahan
tersendiri bagi sang Ratu. Sementara itu, mulut sang Ratu masih melahap
'hidangan' yang tersedia.
Karta Lawa bermandi keringat dingin.
Sang Ratu tak sabar lagi, kemudian ia naik ke atas ranjang dan Karta Lawa
didudukinya. "Oooooh...!"
Sang Ratu memekik panjang ketika ia sengaja menikamkan diri hingga 'pusaka'
itu terbenam habis. Kemudian pinggulnya pun mulai menggeliat dalam putaran semu,
pelan, tapi mantap baginya.
Karta Lawa sibuk dibuai oleh
keindahan, hingga lupa akan tugasnya, lupa dengan jarum 'Sigar Rolas' itu.
Akibatnya, semalam suntuk ia meluncur di samudera kenikmatan bersama sang Ratu.
Apa yang diinginkan sang Ratu selalu dilayaninya, karena ternyata melayani
kemesraan seperti itu sangat indah dan menyenangkan. Bahkan ia sempat berpikir,
"Alangkah sayangnya jika perempuan seperti ini harus dibunuh?"
Mungkin karena lelahnya, Karta Lawa akhirnya tertidur di ujung pagi. Saat ia
tertidur itulah, Ratu Cumbu Laras yang mendapat getaran ganjil dalam hatinya,
segera menemukan jarum 'Sigar Rolas' di paha kanan Karta Lawa. Jarum itu dicabut
pelan-pelan, sehmgga Karta Lawa tak terbangun.
Sekalipun Nyai Sekap Madu telah
menutupnya dengan kekuatan gaib, namun jarum itu masih dapat terlihat oleh mata
Ratu Cumbu Laras, karena kekuatan iblis Dewa Seribu Laknat memberitahukan adanya
bahaya yang akan menyerangnya. Sang Ratu ganti menyirap Karta Lawa, hingga
pemuda itu tertidur dengan nyenyak sekali. la tak merasa kalau sudah dipindahkan
di suatu tempat.
Ketika ia bangun, ternyata sudah
berada di sebuah ruangan kumuh dan pengab berdinding lembab. Keadaannya masih
tanpa pakaian, namun kedua kaki dan kedua tangannya terikat merentang dikedua
tiang. "Oooh..." Mengapa aku mimpi begini"
Ah, tak enak sekali mimpi begini. Aku harus segera bangun...!" pikirnya. Namun
tiba-tiba sebuah cambuk melecut tubuhnya dari belakang dan sangat mengagetkan
sekaligus menyakitkan.
Ctaaaarr...! "Aaaow...!" teriak Karta Lawa. la segera sadar bahwa di depannya telah berdiri
seorang perempuan cantik bermata sayu yang mengenakan jubah merah jambu.
Perempuan itu tak lain adalah Ratu Cumbu Laras, dengan didampingi dua pengawal
wanita di kanan kirinya, dan dua lagi pengawal lelaki bertubuh kekar berotot
sedang memegangi cambuk di belakangnya.
Lelaki itulah yang selalu ditugaskan menyiksa pria yang habis bercumbu dengan
sang Ratu, untuk kemudian menghabisi pria itu jika sang Ratu tidak
membutuhkannya lagi.
"Oh, ternyata aku tidak sedang bermimpi"!" pikir Karta Lawa dengan tegang dan
ketakutan. "Kau sudah bangun, Sayang"!" ujar sang Ratu dengan senyum sinis sambil mendekati
Karta Lawa, lalu tangannya bermain nakal di ujung 'pusaka' pemuda itu.
"Rupanya tidurmu nyenyak sekali, dan percintaan kita semalam melenakan sekali,
sehingga kau tak sempat mencabut jarum beracun ini!" sambil sang Ratu
menunjukkan jarum 'Sigar Rolas' yang membuat Karta Lawa tercengang.
"Itu... itu... anu... itu...."
"Kau pasti orang suruhan yang ditugaskan membunuhku dengan jarum beracun ini!
Siapa yang menyuruhmu"!"
"Hmmm... tidak, eh... bukan, eh...
anu...." "Cambuk dia!" sentak sang Ratu.
Ctaar, ctaar, ctaaaar...!
Karta Lawa memekik keras-keras
menerima cambukan dari belakang dalam keadaan tanpa pakaian. Lecutan cambuk itu
diterimanya lebih dari dua puluh kali, sehingga tubuhnya pun babak belur dengan
luka mengerikan.
"Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Karta"! Kalau kau tak mau menjawab, akan
kupotong 'pusaka' kebanggaanmu ini!"
Sang Ratu berseru kepada pengawalnya,
"Pinjam pedangmu!"
"Ja... jangan, jangan...! Ampun, Nyai!
Kau boleh potong rambut dan kukuku, tapi jangan potong yang satu itu, Nyai!
Kasihan, dia anak yatim piatu! Ooh, ampun...ampun, Nyai Ratu...." Karta Lawa pun
menangis ketakutan melihat sang Ratu sudah memegang pedang.
Akhirnya Karta Lawa mengaku bahwa ia memang disuruh oleh Nyai Sekap Madu,
gurunya sendiri. Karta Lawa jelaskan, siapa Nyai Sekap Madu itu, selanjutnya
semua rahasia itu terbongkar di depan Ratu Cumbu Laras.
"Karta Lawa, kau masih ingin bercumbu denganku seperti semalam?"
"Maa...masih.
Masih sekali, Nyai!
Mmm... maksudku, masih bersemangat sekali...."
"Kau mau selamanya bercumbu denganku?"
"Mau, mau... mau sekali, Nyai!" jawab Karta Lawa penuh semangat. "Aku memang
Ingin selalu bercumbu denganmu, karena kau... kau luar blasa indahnya, Nyai...."
"Kalau begitu, kau harus penuhi syaratnya."
"Apa syaratnya, Nyai?"
"Kembalilah dan temui gurumu itu.
Tancapkan jarum ini ke tubuhnya sendiri, lalu panggil pengawalku itu, suruh ia
menghabisi gurumu. Kau bersedia atau tidak"!"
"Sangat bersedia, Nyai Ratu! Sangat bersedia!" jawab Karta Lawa berapi-api.
Pikirnya, "Lebih baik kehilangan Nyai Guru daripada tidak mendapat kemesraan
seperti semalam. Toh kalau aku menolak, aku akan mati. Sedangkan aku baru kali
ini menikmati kehangatan seorang perempuan.
Apakah baru semalam menikmati kehangatan perempuan sudah harus cepat-cepat mati"
Nanti dulu, ah!"
Tiba-tiba Walet Perak yang telah
sembuh dari lukanya itu segera datang menghadap Ratu Cumbu Laras.
"Kita diserang, Nyai Ratu!"
"Oh, ya..."! Siapa yang menyerang"
Orang-orang Tebing Naga"!"
"Bukan! Mereka dari Perguruan Elang Bumi!"
Ratu Cumbu Laras terkejut, langsung teringat kepada Panji Pura, karena ia tahu
Panji Pura dari Perguruan Elang Bumi.
"Mereka telah mendesak masuk, Nyai Ratu! Pintu gerbang benteng telah hancur!"
"Jahanam! Apa alasan penyerangan mereka"!"
"Mereka tahu, pihak kita yang membantai orang-orang Pademangan, Nyai!"
"Keparat! Pasti si busuk Betina Rimba yang membuka rahasia ini! Habisi mereka!
Cari Betina Rimba sampai dapat, pancung dia!" seru sang Ratu dengan murka
sekali. "Lepaskan pemuda itu dan suruh mencari gurunya. ikuti dari kejauhan, jika ia
berkhianat, bunuh!"
Sadis sekali perintah itu, tapi memang begitulah sang Ratu. Ia seperti bukan
seorang perempuan lagi. Hati dan
perasaannya telah menyatu dengan hati si iblis Dewa Seribu Laknat, sehingga ia
tak pernah mengenai belas kasihan kepada sesamanya.
* * * 8 GERBANG benteng telah jebol. Beberapa pengawal Ratu Cumbu Laras tergeletak tanpa
nyawa dalam keadaan menyedihkan. Jumlah orang Perguruan Elang Bumi cukup banyak.
Sang Ratu sendiri sempat terkejut melihat jumlah sebanyak itu.
Rupanya pihak Perguruan Elang Bumi bukan sendirian, meiainkan dibantu oleh
Perguruan Cakar Garuda yang selama ini sering bekerja sama dalam menyelesaikan
beberapa masalah. Perguruan Cakar Garuda diketuai oleh Pendeta Kandaga, sahabat
sang Resi Pangkayon sejak masa muda mereka. Kekuatan kedua perguruan itu telah
membuat pihak Ratu Cumbu Laras menjadi morat-marit, bangunan-bangunan banyak
yang rusak, bahkan sebagian ada yang runtuh total.
Suara pertarungan bergemuruh, antara denting pedang dan jerit kematian menyatu
saling silih berganti. Tak ketinggalan, si Betina Rimba pun ikut menyerang pihak
Ratu Cumbu Laras, terutama kepada para pengikut sang Ratu yang dulu merasa sirik
padanya dan bermusuhan batin dengannya.
"Hancurkan mereka! Hancurkan
semuanyaaaa...!" teriak Wiraga memberi semangat kepada teman-temannya. Demikian
pula Pongge yang punya ilmu pas-pasan, Ikut berseru, berkoar-koar sampai
suaranya serak, tanpa menyadari bahwa seruannya yang pecah itu tak dimengerti
oleh rekan-rekannya. la tetap berlindung di balik Wiraga atau si Betina Rimba.
Tetapi ketika Ratu Cumbu Laras muncul di pertarungan itu, dalam beberapa kejap
saja pihak lawannya telah dibuat tunggang langgang dan banyak korban yang
berjatuhan. Sang Ratu menjadi murka, setiap jari tangannya memercikkan cahaya
biru yang tiada hentinya bagai lompatan petir dari jari yang satu ke jari yang
lain. Jika tangan kanannya berada di ketiak kiri, lalu tangan itu mengibas ke depan,
maka percikan cahaya biru petir itu menyebar seketika dan menghantam tubuh
lawan-lawannya.
Craaalaap...! Blegaaarrr...! Entah berapa banyak tubuh manusia yang hancur oleh serangan maut Ratu Cumbu
Laras itu, sehingga tempat tersebut dalam waktu singkat telah berubah menjadi
genangan darah dan kubangan mayat.
"Majulah kalian! Majulah lagi kalau ingin hancur semuanya!" teriak sang Ratu
dengan murkanya. Sambil berteriak, ia pun melepaskan jurus-jurus
mautnya, menghamburkan cahaya kilat ke mana-mana.
Bahkan kedua matanya pun dapat keluarkan sinar merah yang melesat ke beberapa
arah dan menghantam mereka yang berusaha menyerangnya.
Biaar, blaar, jegaar, blaaar,
buuumm...! Dalam keadaan seperti itu, Betina
Rimba berusaha melepaskan pukulan jarak jauhnya, tapi selalu dapat dipatahkan
oleh sinar merah atau kilatan cahaya petir dari kesepuluh jari tangan sang Ratu.
"Kita menjauh! Dia sudah semakin ganas, berbahaya kalau tetap
menyerangnya!" ujar Betina Rimba kepada Wiraga. Maka, mereka pun segera menjauhi
medan pertarungan besar itu. Pongge sempat kebingungan ketika Wiraga dan Betina
Rimba pergi. Ia ketakutan sendiri sewaktu dua berkas sinar merah lewat di depan
hidungnya dan menghancurkan dua orang dari pihak Perguruan Cakar Garuda.
Jegaaarr... "Wiraaa... Wiraaa...!" Pongge berteriak dengan kedua kaki gemetar seakan lemas
tanpa tulang. Celananya pun menjadi basah tanpa disadari. Bau tak sedap menyebar
dari celana basah itu, sehingga tak ada seorang pun yang mau
menyingkirkannya dari tengah pertarungan itu.
Wuuuut...! Des...! Sebuah tendangan kaki telah mengenai punggung Pongge tanpa disengaja. Tendangan
itu datang dari Walet Perak yang mencoba menyerang orang Perguruan Elang Bumi.
Akibatnya, tubuh Pongge terlempar dalam keadaan melayang dan berteriak
ketakutan. "Aaaa...! Tolooooong...!"
Brrusk...! Ia jatuh di rerumputan lebat, di mana Wiraga dan Betina Rimba bersembunyi di
baliknya. "Kalian bangsat! Bangsat tulen! Kalian meninggalkan diriku di sana! Dasar mata
kalian buta semua!" Pongge memaki-maki Wiraga dan Betina Rimba.
Plaaak...! Tangan Betina Rimba menampar mulut Pongge, akibatnya makian Pongge pun hilang,
berganti suara merintih kesakitan.
Betina Rimba dan Wiraga tak pedulikan rintihan Pongge, karena perhatian mereka
berdua segera tertarik pada kemunculan bayangan hitam yang berhasil menerjang
tubuh Ratu Cumbu Laras.
Breeess...! Terjangan tersebut membuat penguasa Pesisir Kulon terlempar dan jatuh
berguling-guling.
Seorang perempuan berjubah hitam
berdiri dengan ketuaannya yang tanggung.
Perempuan itu tak lain adalah Nyai Sekap Madu yang telah melihat sinar merah
melesat ke langit. Ia menyangka sinar itu adalah isyarat dari Karta Lawa,
padahal sinar itu adalah tenaga dalam orang Perguruan Cakar Garuda yang
tertangkis pedang si Walet Perak.
"Hentikan! Hentikan tindakan sia-sia Ini! Biar aku yang mencabut nyawa
perempuan mesum itu!" tcriak Nyai Sekap Madu, membuat mereka segera hentikan
pertarungan. "Guru! Oh, syukurlah kau segera datang, Guru!" ujar Karta Lawa segera hampiri
Nyai Sekap Madu. Tindakan itu membuat Ratu Cumbu Laras menjadi tahu, bahwa
perempuan itu adalah Penguasa Tebing Naga.
"Karta, bagaimana tugasmu" Sudah beres"!"
"Beres, Guru!" kata Karta Lawa sambil menyeringai menahan luka bekas cambukan.
la dalam keadaan mengenakan pakaian, tapi mata sang Guru sempat melihat bilur-
biiur di dada Karta Lawa.
"Kau terluka, Muridku"!" sang Guru segera menarik lengan Karta Lawa. Dan pada
saat itulah, Karta Lawa punya kesempatan menancapkan jarum 'Sigar Rolas' ke
punggung sang Guru.
Jruuus.,.!! "Aaakh...!" Nyai Sekap Madu mengejang seketika, matanya pun menjadi liar,
wajahnya pucat seketika. Karta Lawa segera berlari hindari jangkauan tangan sang
Guru. "Jahanam...!" geram Nyai Sekap Madu.
"Kaau... kau mengkhianatiku, Karta...!"
Dua belas kekuatan Nyai Sekap Madu lenyap seketika setelah jarum itu terbenam
daiam tubuhnya. Ratu Cumbu Laras tak mau membuang waktu. Ia segera lepaskan
sinar merah dari matanya.
Claaap...! Sinar itu menghantam ulu hati Nyai Sekap Madu.
Jruuubs...! Buuii...! Api menyala pada ulu hati Nyai Sekap Madu. Seolah-olah ulu hati itu adalah
tempat pembakaran kemenyan yang bisa keluarkan api setelah disiram minyak tanah.
Tetapi perempuan berjubah hitam Itu masih mencoba untuk bertahan. la berjalan
limbung dekati sang Ratu sambil
menudingkan tongkatnya.
Namun tongkat itu tak bisa keluarkan sinar penggempur lawan.
"Ter... terkutuk kaau... Cumbu Laras...! Ingat... kaaau... kau akan mati di
tangan pemuda kembar yyyyang...
yaaang... menja... menjadi musuh utamamu.
Kkkau... kau akan mati sepertiku iniiii"
Glegaaarrr...! Petir menyambar salah satu pohon di luar benteng, begitu Nyai Sekap Madu selesai
lepaskan kutukannya. Setelah itu, brruk...! Nyai Sekap Madu pun tumbang dan tak
bernyawa lagi. Lalu sekujur tubuhnya terbungkus api yang sukar dipadamkan.
"Persetan dengan kutukanmu!" bentak Ratu Cumbu Laras. "Siapa lagi yang akan
menyusulnya"!" Ia memandang kepada sisa lawannya yang tinggai beberapa gelintir
itu. Mereka diam semua. Termasuk anak buah sang Ratu pun ikut diam. Tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara dari bayangan yang berkelebat melintas di atas mayat Nyai
Sekap Madu. "Aku yang akan melawanmu, Untari...!"
Ratu Cumbu Laras terkejut sekali
mendengar nama aslinya disebutkan. la segera menatap tajam pada sosok lelaki tua
berjubah putih.
"O, rupanya kau yang muncul, Pawang Badai!" ujar Ratu Cumbu Laras dengan sinis.
"Sudah waktunya kau hentikan
kekejamanmu, Untari!"
"Persetan dengan ucapanmu! Belum rela diriku mati sebelum kulihat kau menjadi


Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkai, Pawang Badai! Hiaaat...!"
Weeers...! Sinar-sinar biru yang berlompatan dari jari ke jari itu menyebar dan segera
menghantam si Pawang Badai. Dalam satu lompatan mundur, Pawang Badai segera
sentakkan kedua tangannya ke depan dan melesatlah dua sinar merah menerjang
sinar-sinar biru itu.
Blegaaarrr...! "Hiaaaah...!" Ratu Cumbu Laras melesat setelah ledakan besar itu tak berhasil
membuatnya tumbang. Pada saat itu Pawang Badai sedang terkapar oleh gelombang
ledakan yang menyentak kuat itu. Baru saja ia akan bangkit. tiba-tiba empat
sinar biru sudah keluar dari empat jari tangan.
Ratu Cumbu Laras.
Craaapp...! Jegaaar...! Keempat sinar itu mengenai dada Pawang Badai dengan telak. Kontan dada itu pecah
menjadi dua bagian dan hangus mengepulkan asap. Pawang Badai tak sempat bangkit,
lalu tergeletak tanpa nyawa.
"Modar kau sekarang, Pawang Badai!
Sakit hatiku mulai terpuaskan oleh kematianmu! Hiaaah...!"
Jegaar, jegaar, jegaaar...!
Ratu Cumbu Laras melepaskan pukulan bersinar biru secara bertubi-tubi, sehingga
raga Pawang Badai pun hancur tak berbentuk lagi.
Serpihan dagingnya
menyebar kemana-mana, tinggal bagian kepala dan kaki kanannya yang masih tampak
utuh. Ratu Cumbu Laras menggeram sambil
hembuskan napas lega. Namun sebelum ia mengucapkan kepuasan batinnya Itu, tiba-
tiba dua berkas sinar merah yang
menyerupai bola api itu melesat dari arah timur dan selatan.
Wuuus...! Glegaarr, glegaaar...!
Dua sinar besar itu hancurkan istana megah tersebut. Dalam waktu sekejap saja,
istana itu runtuh dan sisa pengikut sang Ratu yang bersembunyi di sana terpaksa
tewas tertindih reruntuhan istana.
Ratu Cumbu Laras sangat terkejut dan menjadi semakin murka. Namun sebelum ia
melepaskan serangan balik, tiba-tiba meluncurlah sinar-sinar hijau dan kuning
dari arah selatan dan timur.
Clap, clap, clap, clap...!
Blaar, blaar, blaar...!
Sinar-sinar itu menghujani Ratu Cumbu Laras.
Ia kebingungan menangkis dan
menghindarinya. Namun ia sempat melihat sinar-sinar yang menghujaninya terus
menerus itu datang dari dua sosok lelaki tua berjenggot putth, yang satu
mengenakan jubah kuning, yang satunya lagi berjubah hijau muda. Mereka herdua
ada di atas pohon, berdiri di atas ranting dan dedaunan tanpa membuat ranting
itu patah dan daun itu gugur.
Mereka adalah Resi Pangkayon dan
Pendeta Kandaga, ketua dan guru besar dua perguruan yang lakukan penyerangan
gabungan itu. "Bangsat kalian semuaaa...!" teriak Ratu Cumbu Laras, lalu melepaskan serangan
balasan yang tak pernah mengenai sasaran.
Jegaaar, blaar, blarrr, jegaaar...!
"Aaaow...!" pekik Ratu Cumbu Laras.
Tangan kirinya menjadi hangus seketika begitu sinar hijau Resi Pangkayon
mengenai pundaknya.
Jgeaaar...! Kini sinar kuning dari Pendeta Kandaga menyerempet pinggang kanannya. Pinggang
itu langsung terkelupas dan menghangus dengan asap putih mengepul samar-samar.
"Aaaakh...!" Ratu Cumbu Laras memekik lagi. Kini ia mulai sadar, kekuatannya
telah menurun pesat. Tak akan mampu jika tetap terus melawan dua tokoh tua itu.
Maka ia pun segera memutar tubuhnya dengan cepat dan,
Blaaap...! Tubuh itu menghilang lenyap bersama kepulan asap putih yang segera tersapu angin
pantai. Tapi suaranya masih terdengar dalam gema yang lama-lama kecil dan menghilang.
"Aku akan hadir kembali menghancurkan kalian semua! Ingat, aku akan hadir
kembali sebagai maut
bagi kalian semuaaa...!"
Sisa orang-orang sang Ratu pun
akhirnya membuang senjata mereka dan menyerah kalah. Resi Pangkayon dan Pendeta
Kandaga segera perintahkan sisa murid mereka untuk membawa para tawanan ke
Perguruan Elang Bumi.
Tapi sementara itu, mereka dikejutkan oleh serpihan mayat si Pawang Badai yang
ternyata berubah menjadi batang pisang daiam keadaan hancur. Resi Pangkayon dan
Pendeta Kandaga saling berpandangan, lalu sang Resi pun berkata kepada
sahabatnya itu.
"Berarti si Pawang Badai masih hidup!"
"Kurasa ia memang masih berada di puncak Gunung Merana!" balas sang Pendeta
berkepala gundul itu.
Pawang Badai memang masih hidup di puncak Gunung Merana. Ia hanya menunaikan
tugas dari mendiang gurunya untuk membuat lega hati si Ratu Cumbu Laras, karena
merasa telah membunuhnya. Padahal yang hadir di situ adalah batang pisang yang
dicipta dengan kesaktiannya hingga serupa dengan dirinya.
Pada saat itu, Pawang Badai telah
kembali ke puncak Gunung Merana, sebagai penunggu makam keramat mendiang
gurunya, juga membesarkan si bayi kembar bersama istrinya Nyi Padmi. Bayi kembar
itu pun akhirnya tumbuh menjadi bocah yang sulit dibedakan mana yang bernama
Raka Pura dan mana yang bernama Soka Pura.
Tetapi ketika bocah itu dalam usia delapan tahun, Pawang Badai mulai
memberinya pelajaran silat dan pengetahuan tentang ilmu-ilmu aliran putih.
Ternyata masing-masing bocah kembar itu mempunyai karakter yang sedikit berbeda.
Soka Pura lebih nakal dibanding kakaknya
Raka Pura. Dalam menerima
pelajaran dari Pawang Badai, sang adik sering bertingkah konyol.
"Kelak, jika kalian besar, kaiian akan menjadi
seorang pendekar yang tangguh
apablla kalian berlatih ilmu kanuragan ini dengan tekun dan rajin," ujar Pawang
Badai. "Apakah aku bisa menjadi sakti seperti Ayah?" tanya Soka Pura.
"Tentu saja bisa, Soka."
"Oh, enak sekali kalau aku bisa menjadi orang sakti. Setiap orang akan kuajak
bertarung dan...."
"Husy! Kesaktian tidak untuk menantang setiap orang, Soka. Kau harus bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang sa....?"
"Sayang!" lanjut Soka.
"Bukan yang sayang, tapi yang salah!"
ujar Raka membetulkan.
"Raka benar. Kalian harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Dan yang salah itu tidak boleh kalian bela. Kalian harus membela
kebe...?" "Kebetulan!" sahut Soka.
"Kebenaran" ralat Raka. Sang adik jadi sewot.
"Maksudku kebetulan yang kita bela orang yang benar," Soka ngotot, sang ayah
angkat segera meluruskan sambil tersenyum geli.
"Ayah, bolehkah ilmuku untuk
melindungi anak perempuan saja" Bukankah anak perempuan itu orang yang lemah dan
patut dilindungi?"
"Boleh. Tapi perempuan yang bagaimana dulu" Kalau perempuan Itu adalah tokoh
sesat beraliran hitam, kau tidak perlu melindunginya. Luruskan Jalannya, kalau
tidak mau, lawanlah dia demi kebenaran!"
"Yaaah... nanti kalau dia menangis bagaimana" Kasihankan"!"
"Eh, Soka... kita tidak boleh melindungi dan merasa kasihan kepada orang sesat.
Nanti kita malah menjadi sesat juga. Bukankah begitu, Ayah?"
"Ya, benar. Mengasihi orang yang lemah bukan berarti orang yang sesat dan tak
mau diajak ke jalan yang benar harus
dikasihani juga...."
"Ah, aku pusing menerima wejangan ini.
Aku mau tidur saja. Biar Raka saja yang mendengarkan wejangan Ayah...," lalu
bocah itu menggelosor di samping kakaknya. Sang ayah angkat hanya geleng-geleng
kepala, tapi masih tetap bersabar. Pawang Badai tak jemu-jemu mendidik si kembar
untuk menjadi sepasang
Pendekar Kembar yang
dapat berguna bagi kehidupan dan kedamaian di antara sesama. Sekalipun sering
dibuat jengkel oleh kenakalan Soka, namun Pawang Badai tetap menjadi seorang
pembimbing yang setia dan sabar.
Bagaimanapun juga Pawang Badai masih ingat kutukan Nyai Sekap Madu, yang
didengarnya sebelum ia muncul di depan ratu cantik itu.
"Benarkah si Cumbu Laras itu nantinya akan tewas di tangan bocah kembar" Apakah
yang dimaksud dalam kutukan Sekap Madu adalah Raka dan Soka?" ujar Pawang Badai
dalam hatinya. Puncak Gunung Merana diselimuti kabut tebal. Rupanya di sana telah tumbuh dua
pemuda berwajah kembar yang sedang digembleng oleh si Pawang Badai, terutama
setelah roh Eyang Mangkuranda mengizinkan Pawang Badai turunkan ilmunya kepada
kedua anak kembar itu Raka dan Soka.
SELESAI Ikuti Kelanjutannya Dalam :
"KENCAN Dl UJUNG MAUT"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/ - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Jaka Lola 8 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Pertarungan Para Pendekar 1
^